STUDI FRAGMENTASI HABITAT DAN ANALISIS SEBARAN SARANG ORANG UTAN (PONGO PYGMAEUS MORIO OWEN) DI TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI FRAGMENTASI HABITAT DAN ANALISIS SEBARAN SARANG ORANG UTAN (PONGO PYGMAEUS MORIO OWEN) DI TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR"

Transkripsi

1 STUDI FRAGMENTASI HABITAT DAN ANALISIS SEBARAN SARANG ORANG UTAN (PONGO PYGMAEUS MORIO OWEN) DI TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR Sugeng Jinarto 1 dan Chandradewana Boer 2 1 Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, Sangatta. 2 Laboratorium Konservasi Fauna Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Studies on Habitat Fragmentation and Nests Dispersal Analysis of Orang Utan (Pongo pygmaeus morio Owen) in Kutai National Park, East Kalimantan. The aims of the research were to analyze fragmented forest to find out the edge effects by using orang utan nests dispersal and to predict the number of orang utan population and also the composition of flora species in orang utan s habitat. The method of research included digital image analysis, ground survey of orang utan s nests and vegetation analysis. The results of Interpreted Google image covering area of Kutai National Park showed good condition of forest composed by primary forests, secondary forests and mangrove forests as large as 148, ha (74.86%), the others were degradation forest and fragmented forest 49, ha (24.87%) and then natural condition there were water ha (0.04%), no data caused by cloud covered or shadow of cloud ha (0.24%). Kutai National Park was fragmented through 8 fragments, creating edge effect as wide as 210 m from side of main road and 80 m from Sangatta River. Estimated density of orang utan population in Prevab, Mentoko Survey Plot were 2 3 individuals per km 2, in Sangkimah Survey Plot were 1 3 individuals per km 2. In Prevab, Mentoko Survey Plot, dominant trees species were Vitex pinnata (Importance Value/IV 41.27), Cananga odorata (IV 33.63) and Eusideroxylon zwageri (IV 19.64), respectively. Dominant pole stages were C. odorata (IV 27.44), Alangium sp. (IV 18.20) and Macaranga lowii (IV 16.00), respectively. Dominant saplings stages and shrubs were Saurauia sp. (SDR ), Polyalthia peruginia (SDR ) and Fordia splendidissima (SDR ), respectively. In Sangkimah Survey Plot, dominant trees were E. zwageri (IV ), Dyera sp. (IV 36.04) and Dryobalanops lanceolata (IV 20.15), respectively. Dominant pole stages were Dracontomelon dao (IV 42.20), C. odorata (IV 24.78) and E. zwageri (IV 24.89), respectively. Dominant saplings stages and shrubs were Leea rubra (SDR ), M. gigantea (SDR ) and Ficus obsura (SDR ), respectively. The edge effect caused by road was greater than that by river. By using the recent condition it can not be overcome the future impact will be increase. Kata kunci sarang orang utan, fragmentasi, efek tepi, nilai penting jenis Taman Nasional yang merupakan salah satu benteng terakhir dari hutan alam di Indonesia tidak luput dari ancaman degradasi hutan yang terus-menerus meningkat. Kondisi ini terlihat mulai dari laporan FAO tahun 1990 dalam The Indonesian Forestry Studies, laju deforestasi hutan di Indonesia sebesar 1,3 juta ha per tahun (Darusman, 1996) dan pasca 1997 meningkat menjadi 2,8 juta ha per tahun (Purnama, 2005). Hal itu ditunjukkan pula dengan hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2000, bahwa lebih dari 101,73 juta ha hutan dan lahan rusak, 59,62 juta ha di 204

2 205 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 antaranya adalah kawasan hutan, yakni hutan lindung 10,52 juta ha, hutan konservasi 4,69 juta ha dan hutan produksi 44,42 juta ha (Purnama, 2005). Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan habitat orang utan (Pongo pygmaeus morio), satwa langka yang saat ini hanya dapat dijumpai di Indonesia saja. Kawasan ini awalnya memiliki luas 2 juta ha sebagai kawasan Suaka Margasatwa Kutai yang ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Kutai. Luas kawasan hutannya terus-menerus menyusut hingga keluar SK Menhut nomor 325/Kpts-II/1995 yang menyatakan luas kawasan adalah ha dan sekaligus penunjukan sebagai Taman Nasional Kutai pada tanggal 29 Juni Luas kawasan tersebut semakin berkurang lagi dengan usulan enclave sebagian dari kawasan TNK seluas ha oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada tahun 1999, namun kenyataan di lapangan sampai saat ini lebih dari ha kawasan telah rusak akibat perladangan, illegal logging serta pemukiman. Eskalasi kerusakan semakin terlihat sejak dibukanya jalan poros Trans Kalimantan Sangatta Bontang yang membelah kawasan TNK. Perusak hutan dapat leluasa masuk dari berbagai tempat dengan akses jalan yang ada. Anonim (2001) menyatakan, bahwa pembuatan jalan Trans Kalimantan sepanjang 65 km tersebut adalah kebijakan yang kontradiktif terhadap konsepsi pengelolaan taman nasional atau kawasan pelestarian alam. Kondisi tersebut secara nyata menyebabkan habitat orang utan menjadi terfragmen dan hingga kini belum diketahui secara pasti berapa luas habitat yang masih dapat menopang aktivitas orang utan secara layak. Selain itu, sampai dengan saat ini belum diketahui prediksi jumlah dan penyebaran orang utan berdasarkan tipe hutan yang ditempatinya serta komposisi jenis vegetasi sebagai habitat orang utan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap fragmentasi habitat guna mengetahui efek tepi terhadap penyebaran sarang orang utan dan melakukan prediksi jumlah orang utan berdasarkan keberadaan sarang serta untuk mengetahui dominasi dan komposisi jenis dari tegakan hutan berdasarkan tingkat pertumbuhanya yaitu tingkat pancang, tiang dan pohon pada habitat orang utan. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di TNK dengan rentang waktu penelitian dimulai pada bulan April 2007 sampai dengan bulan Maret Objek penelitian ini adalah citra satelit yang meliputi kawasan hutan TNK, sarang orang utan dan tegakan hutan di areal TNK. Pengolahan data citra digital dilakukan dengan tahapan yaitu data citra digital dari Google Maps dicopy dengan menggunakan metode print screen kemudian disimpan dengan tipe Tagged Image File Format (TIFF), selanjutnya dengan bantuan software Global Mapper Versi 8,01 dilakukan penentuan ketepatan letak koordinat dengan memasukkan 2 titik di lapangan sebagai Ground Control Point (GCP). Kemudian data dianalisis dengan software Image Analysis, namun karena citra dari Google Maps kurang begitu bagus, sehingga masih memerlukan bantuan Citra Aster 2005 untuk menganalisis data terutama pada daerah yang sulit dijangkau untuk pengecekan lapangan.

3 Jinarto dan Boer (2009). Studi Fragmentasi Habitat 206 Analisis citra dilakukan dengan tahapan yaitu melakukan analisis citra digital yang terdiri dari 3 saluran atau Band dalam 3 tahap yaitu: 1. Tahap koreksi yang meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. 2. Tahap penajaman citra.dengan saluran 1, 2 dan 3 (natural). 3. Tahap pengklasifikasian dengan menggunakan klasifikasi terbimbing. Selanjutnya mencari daerah terbuka yang menyebabkan hutan terfragmen kemudian melakukan klasifikasi terhadap berat ringannya fragmentasi yang dibagi atas dasar: 1. Fragmentasi ringan, bila orang utan masih memungkinkan menyeberang ke daerah hutan lainnya dengan sedikit hambatan. 2. Fragmentasi sedang, bila orang utan masih memungkinkan menyeberang ke daerah hutan lainnya namun pada kondisi tertentu misalnya pada saat aktivitas manusia di daerah tersebut cukup sepi serta areal terbuka yang digunakan untuk menyeberang tidak terlalu lebar. 3. Fragmentasi berat, bila orang utan tidak memiliki kemungkinan untuk menyeberang ke daerah hutan lainnya mengingat banyaknya pemukiman dan aktivitas manusia di daerah tersebut serta areal terbuka yang digunakan untuk menyeberang cukup luas. Selanjutnya melakukan digitasi jalan-jalan yang berada di sekitar kawasan TNK yang terlihat melalui citra digital, sedangkan jalan atau lorong yang tidak terdeteksi melalui citra digital dilakukan pengambilan koordinat di lapangan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Hasil digitasi jalan dan sungai besar dari citra digital dan koordinat lapangan digunakan untuk mencari efek tepi. Setelah itu melakukan analisis proxymity melalui buffering pada jalan atau sungai besar dengan radius sesuai dengan jarak terdekat ditemukannya sarang orang utan dengan kedua tempat tersebut dan melakukan pengukuran luas daerah tepi yaitu daerah yang terbuffer serta daerah yang tidak terkena buffer yang merupakan daerah yang kondisi hutannya masih bagus. Plot penelitian sarang orang utan terletak pada hutan yang berada dekat dengan Sungai Sangatta yaitu Plot Survei Prevab, Mentoko dan yang berdekatan dengan jalan raya yaitu Plot Survei Sangkimah dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Pada setiap lokasi, survei dimulai dengan cara membuat midline (jalur utama). Midline dapat berupa garis lurus atau mengikuti batas alam seperti sungai, punggung bukit dan lain-lain. 2. Setelah midline dibuat, kemudian membuat transek sepanjang m di daerah sebaran orang utan dengan pola sebaran transek sejajar dengan garis jalan atau sungai untuk mengetahui pengaruh efek tepi terhadap banyaknya sarang pada setiap transek. 3. Dilakukan pengambilan data posisi koordinat awal transek dengan menggunakan GPS. 4. Pada setiap transek dilakukan pengambilan data berupa: a) Kelas sarang orang utan yang dibedakan ke dalam 5 kategori, yaitu: Kelas A = sarang segar, semua daun berwarna hijau, Kelas B = sarang baru, daun campuran hijau dan coklat, Kelas C = sarang agak lama, semua daun coklat tetapi bentuk sarang utuh, Kelas D = sarang lama, banyak daun sudah jatuh, sarang berlubang dan Kelas E =

4 207 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 sarang lama sekali, daun sudah hilang dan bentuk tidak utuh lagi. b) Jenis pohon tempat sarang orang utan berada. c) Tinggi pohon sarang yang diukur dengan tongkat ukur dan diameter pohon sarang yang diukur dengan phi band. 4) Pemberian label nomor pada pohon sarang dengan Gun Tecker untuk menghindari penghitungan ulang. 5) Posisi koordinat pohon sarang orang utan. Pendugaan kepadatan populasi orang utan dihitung dengan rumus menurut Bismark (2005), yaitu: D = N/(L.2w.p.r.t), yang mana D = kepadatan populasi orang utan (per km²), L = panjang jalur (km), w = lebar jalur efektif untuk melihat sarang (km), p = proporsi orang utan membuat sarang, r = jumlah sarang yang dibuat oleh satu orang utan ratarata/hari, t = lamanya waktu sarang dari awal dibuat sampai lapuk (hari), N = jumlah sarang yang tercatat di sepanjang jalur. Analisis vegetasi di Plot Survei Prevab, Mentoko dilakukan dengan plot tertutup dibuat dalam bentuk jalur dan petak-petak pengamatan secara berimpit. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada petak dengan luas 1 ha untuk tingkat pohon dan tiang serta 0,06 ha tingkat pancang dan semak, sedangkan analisis vegetasi di Plot Survei Sangkimah, pengamatan dan pengukuran dilakukan dengan membuat petak berukuran 0,6 ha untuk tingkat pohon, 0,15 ha untuk tingkat tiang dan 0,04 ha untuk tingkat pancang serta semak. Analisis data vegetasi dihitung dengan rumus: Jumlah individu = jumlah keseluruhan individu yang terdapat pada plot penelitian. Luas Bidang Dasar (LBD) = ¼ d 2 yang mana = 22/7 dan d = diameter. Nilai Penting Jenis (NPJ) untuk vegetasi tingkat pohon dan tiang diolah berdasarkan rumus menurut Soerianegara dkk. (1978) yaitu: NPJ (%) = KR (%) + DR (%) + FR (%), yang mana KR (Kerapatan Relatif) = (Jumlah individu suatu jenis / Jumlah individu dari semua jenis) x 100. DR (Dominasi Relatif) = (Jumlah bidang dasar suatu jenis / Jumlah luas bidang dasar seluruh jenis) x 100. FR (Frekuensi Relatif) = (Jumlah frekuensi suatu jenis / Jumlah frekuensi dari seluruh jenis) x 100. Data vegetasi tingkat pancang dan semak diolah dengan rumus menurut Numata dkk. (1958) dalam Bratawinata (2001) yaitu: SDR 3 = (D +F +H ) / 3 yang mana D (Density ratio) = (Kerapatan suatu jenis tertentu / Kerapatan jenis lain yang terbanyak) x 100. F (Frequency ratio) = (Frekuensi suatu jenis tertentu / Frekuensi jenis lain yang terbanyak) x 100. H (Height ratio) = (Tinggi rata-rata suatu jenis tertentu / Tinggi rata-rata jenis lain yang terbesar) x 100. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Taman Nasional Kutai Kawasan TNK pada awalnya merupakan Hutan Persediaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan nomor 3843/AZ/1934

5 Jinarto dan Boer (2009). Studi Fragmentasi Habitat 208 tanggal 7 Mei 1934 dengan luas ha. Pemerintah Kerajaan Kutai menguatkan status sebagian dari Hutan Persediaan tersebut menjadi kawasan Wildreservaat melalui SK (ZB) nomor 80/22-ZB/1936 tanggal 10 Juli 1936 dengan luas ha. Tahun 1982 pemerintah mendeklarasikan kawasan tersebut sebagai calon Taman Nasional dalam Kongres Taman Nasional Sedunia III di Bali. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 status Suaka Margasatwa Kutai diubah menjadi Taman Nasional Kutai dengan luas kawasan sebesar ha. Kemudian pada tahun 1991 terjadi lagi pengurangan kawasan seluas ha yang digunakan untuk perluasan Kota Administratif Bontang dan PT Pupuk Kaltim yang dituangkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts/XX/1991 tanggal 22 Juli 1991 dengan luas kawasan menjadi ha (Anonim, 1993). Pada tahun 1995, pemerintah melaksanakan pengukuhan kawasan hutan Taman Nasional Kutai dengan melakukan penunjukan kawasan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 325/Kpts-II/1995 dengan luas ha. Secara geografis TNK berada pada LU dan BT dengan batas-batas yaitu: sebelah timur dibatasi oleh Selat Makasar menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km, sebelah utara dibatasi oleh Sungai Sangatta, sebelah selatan dibatasi oleh Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, sebelah barat dibatasi oleh HPH PT Kiani Lestari. Secara administratif pemerintahan, TNK dengan luas ha termasuk ke dalam Kabupaten Kutai Timur seluas ,20 ha (80%), Kabupaten Kutai Kartanegara ,35 ha (17,48%) dan Kota Bontang 5.005,45 ha ( 2,52%). Secara umum TNK memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh kawasan yaitu 77,07% dari luas kawasan. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNK beriklim tipe B dengan nilai Q berkisar antara 14,3 33,3%. Hidrologi TNK menurut Gaol (2007) terdapat 8 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: DAS Nayan seluas ,41 ha (13,32%), DAS Santan ,78 ha (5,83%), DAS Sanganakan ,19 ha (13,04%), DAS Pelakan 8.355,73 ha (4,21%), DAS Selimpus 7.191,71 ha (3,62%), DAS Sangatta ,30 ha (40,75%), DAS Menamang Kiri ,59 ha (7,87%) dan DAS Sangkimah ,28 ha (11,36%). Keragaman hayati pada kawasan ini di antaranya adalah beragam potensi flora dengan jumlah mencapai 958 jenis, di antaranya 8 dari 10 genus dalam famili Dipterocarpaceae di dunia. Keragaman fauna di kawasan ini di antaranya adalah empat jenis reptilia yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya senyulong (Tomistoma schlegellii), biawak (Varanus salvator) dan ular sawah (Python reticulatus). Selain itu terdapat 330 jenis burung yang merupakan 80% dari seluruh jenis burung yang ada di Borneo. Pada kawasan ini juga mengandung lebih dari separuh jenis mamalia Borneo yaitu sebanyak 80 jenis dan di antaranya adalah 11

6 209 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 dari 13 jenis primata Borneo termasuk di antaranya adalah orang utan (Pongo pygmaeus morio). Fragmentasi Habitat di Taman Nasional Kutai Hasil interpretasi dari Google-Citra 2008 Digital Globe liputan tahun 2008 yang meliputi TNK berdasarkan pengecekan lapangan diketahui bahwa kawasan hutan yang relatif masih bagus luasnya mencapai ,64 ha (74,86% dari luas kawasan TNK) yaitu berupa Hutan Primer, Hutan Sekunder dan Hutan Mangrove, sedangkan kawasan hutan yang terdegradasi adalah sebesar ,29 ha (24,87% dari luas kawasan TNK). Hutan Primer (klimaks) dan Hutan Sekunder yang terdapat di dalam TNK adalah areal-areal yang telah mengalami suksesi pasca kebakaran atau kerusakan akibat penebangan liar serta beberapa bekas ladang yang ditinggalkan oleh pemiliknya dalam kurun waktu yang cukup lama. Tipe Tutupan Belukar, Semak, Alang-alang dan Belukar Rawa merupakan wujud degradasi suatu kawasan hutan akibat beberapa gangguan yang sering terjadi, sehingga menyebabkan fragmentasi hutan pada kawasan TNK. Gangguan tersebut berupa kebakaran hutan, perladangan, illegal logging, perambahan kawasan dan beberapa sebab alam atau oleh aktivitas manusia lainnya. Karena gangguan yang intens dan berlangsung secara terus-menerus kawasan ini mengalami suksesi yang disklimaks (tidak kembali menjadi hutan). Belukar rawa merupakan bentuk disklimaks dari Hutan Rawa (Swamp Forest) yang mengalami gangguan, sedangkan semak dan alang-alang adalah bentuk disklimaks dari Hutan Primer dan Hutan Sekunder daratan. Hutan mangrove yang merupakan batas tepi sebelah timur kawasan TNK dengan Selat Makassar sebagian di antaranya telah rusak akibat pembuatan tambak dan konversi menjadi lahan terbuka, kondisi ini membuat satwa yang berada di dalamnya dapat terpisah dari populasinya akibat sekat berupa tambak atau lahan terbuka. Perambahan kawasan TNK terdeteksi melalui citra satelit berupa tipe tutupan lahan tanah terbuka, pertanian campuran dan lahan terbangun mencapai akumulasi luas ,16 ha (5,38% dari luas kawasan), keberadaan kawasan ini juga meyebabkan TNK terfragmentasi menjadi beberapa bagian. Beberapa alasan yang menjadikan oknum masyarakat melakukan perambahan di antaranya adalah kurangnya dukungan secara politis dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur terhadap TNK. Hal ini dapat terlihat dari keluarnya wacana enclave pada tahun 2000 yang telah memacu perambahan besar-besaran. Pertemuan parapihak terkait menginisiasi keempat desa definitif (Teluk Pandan, Sangkima, Sangatta Selatan dan Singa Geweh) untuk dienclave sebagai upaya untuk menyelamatkan TNK. Semangat ini direspon oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang ditindaklanjuti dengan penataan batas, namun demikian menyisakan 1 desa (Teluk Pandan) yang sampai saat ini masih menggantung dan memposisikan TNK sebagai objek yang dilemahkan, karena justru mengundang spekulan-spekulan untuk membuka lahan di TNK (Anonim, 2005).

7 Jinarto dan Boer (2009). Studi Fragmentasi Habitat 210 Profil Fragmentasi Habitat Kawasan hutan TNK terpecah menjadi 8 fragmen. Fragmentasi berat terjadi pada daerah di sekitar Kecamatan Sangatta Utara dan Kecamatan Teluk Pandan. Pada daerah ini banyak terdapat pemukiman dan perladangan serta aktivitas manusia yang padat, sehingga orang utan sulit untuk menyeberang karena tidak terdapat koridor. Fragmentasi sedang, terjadi di sekitar kawasan wisata alam Sangkima sampai dengan km 15 dari arah Sangatta. Orang utan masih memungkinkan menyeberang ke kawasan hutan yang lain namun hanya dapat dilakukan pada saat aktivitas manusia mulai sepi. Fragmentasi ringan terjadi di sekitar Jalan Pertamina km 9 dan sekitarnya, karena orang utan masih dapat menyeberang ke kawasan hutan lain dengan sedikit hambatan, namun kondisi kawasan hutan di daerah tersebut tidak terlalu luas karena di sekitarnya banyak terdapat ladang. Luas kawasan hutan TNK yang tersisa akibat adanya fragmentasi habitat berdasarkan perhitungan luas di peta adalah sebesar ha. Hal tersebut berarti bahwa kawasan hutan yang masih bagus telah berkurang sebesar ha atau 13,5% dari luas kawasan. Analisis Sebaran Sarang Orang Utan (Pongo pygmaeus morio) 1. Plot Survei Prevab, Mentoko Hasil perhitungan estimasi kepadatan populasi orang utan di Plot Prevab, Mentoko adalah 2,1 3,3 ekor per km². Kepadatan populasi tersebut menurut Meijaard dkk. (2001) termasuk kategori kepadatan teratur karena masih berada di bawah 10 ekor per km 2. Berdasarkan pemetaan pohon sarang dengan Sistem Informasi Geografis diketahui bahwa sebaran sarang orang utan umumnya bergerombol membentuk kelompok-kelompok kecil yang saling berdekatan satu sama lain. Pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang yang dijumpai pada plot ini sebagian besar adalah dari jenis ulin (Eusideroxylon zwageri), hal ini kemungkinan disebabkan pohon tersebut sangat kokoh dan ulet serta percabangannya cukup banyak, sehingga memudahkan satwa tersebut memanjat untuk mencari tempat yang sesuai untuk bersarang. Kelas sarang yang banyak dijumpai pada plot penelitian ini sebagian besar adalah kelas E, yaitu sarang yang telah lama sekali, daun sudah hilang dan bentuknya tidak utuh lagi. Hal ini menjadi indikator bahwa sebagian besar orang utan sudah tidak berada di tempat tersebut karena sarang telah ditinggalkan cukup lama dan kemungkinan mencari tempat bersarang baru yang lebih dekat dengan makanannya. Pohon yang digunakan sebagai sarang sebagian besar berdiameter antara 40,1 60 cm kemudian menyusul secara berurutan kelas diameter 20,1 40 cm, 60,1 80 cm, 80,1 100 cm, 0 20 cm, 120,1 140cm, 140,1 160 cm dan 100,1 120 cm.

8 211 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER Plot Survei Sangkimah Hasil perhitungan kepadatan populasi orang utan pada Plot Survei di Sangkimah adalah berkisar antara 1,2 2,8 ekor per km². Menurut Meijaard dkk. (2001) kepadatan 1 10 ekor per km² masih tergolong kepadatan teratur, namun bila dibandingkan dengan kepadatan populasi di Plot Survei Prevab, Mentoko jumlahnya lebih sedikit. Pemetaan pohon sarang dengan Sistem Informasi Geografis menunjukkan bahwa sebaran sarang orang utan di Plot Survei Sangkimah umumnya juga bergerombol. Di tempat ini dijumpai tumpukan daun Alpinia sp. yang tampak seperti sarang yang berada di atas tanah. Pada sisa tangkai daun terdapat bekas gigitan yang kemungkinan dilakukan oleh satwa yang mengambil daun tersebut untuk dijadikan tempat tidurnya. Daun-daun disusun menyerupai sarang orang utan dan bila ditekan atasnya lentur seperti kasur. Selain itu, di tempat ini juga terdapat sarang yang dijumpai soliter, terpisah dari sarang yang lain, kemungkinan sarang tersebut dibuat oleh orang utan yang baru saja dilepasliarkan di kawasan ini. Menurut keterangan petugas setempat, kawasan ini sering dijadikan tempat pelepasliaran orang utan dari tempat rehabilitasi atau hasil tangkapan langsung terhadap orang utan yang terjebak di daerah pemukiman, sehingga orang utan tersebut belum berani untuk bergabung dengan orang utan lain yang telah lama menghuni dan membentuk teritori di tempat tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa tempat bersarang disebut sebagai teritori yang batas-batasnya ditandai oleh pemiliknya berupa urin, feses dan sekresi lainnya. Teritori dipertahankan oleh satwa dengan perilaku yang agresif misalnya dengan mengeluarkan suara atau dengan perlawanan fisik (Alikodra, 1989). Pada plot survei ini sebagian besar pohon yang digunakan sebagai sarang juga dari jenis ulin (E. zwageri) sebanyak 114 batang, kemudian secara berurutan disusul sengkuang (Dracontomelon dao) 11 batang dan jambu-jambuan (Syzygium sp.). Kelas sarang sebagian besar juga adalah kelas E, tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sarang kelas yang sama di Plot Survei Prevab, Mentoko. Demikian juga jumlah sarang kelas A dan C, sedangkan kelas sarang D lebih banyak. Adapun diameter pohon yang digunakan sebagai sarang di tempat ini sebagian besar juga berdiameter antara 20,1 40 cm kemudian menyusul secara berurutan kelas diameter 40,1 60 cm, 80,1 100 cm, 60,1 80 cm, 0 20 cm, 100,1 120 cm, 120,1 140 cm dan 140,1 160 cm, sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa orang utan cenderung memilih pohon-pohon yang lebih mudah untuk dipanjat. 3. Efek Tepi Berdasarkan hasil pemetaan sarang orang utan diketahui bahwa jarak terdekat sarang dengan jalan raya Sangatta Bontang adalah 210 m, hal ini menandakan bahwa efek tepi yang terjadi pada kawasan yang berdekatan dengan jalan raya adalah sebesar 210 m, sedangkan kelas sarang yang terdekat dengan jalan raya tersebut adalah kategori kelas E, sehingga menandakan bahwa sarang sudah cukup lama ditinggalkan oleh orang utan dari tempat tersebut. Adanya aktivitas manusia serta kendaraan yang lalu lalang melewati jalan tersebut membuat orang utan enggan untuk mendekati daerah tepi karena keberadaanya menjadi terganggu oleh

9 Jinarto dan Boer (2009). Studi Fragmentasi Habitat 212 manusia. Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di hutan hujan tropis Queensland, Australia bahwa keberadaan satwa pada lebih dari 80 m dari tepi hutan (Murcia, 1995) kondisi yang terjadi di TNK jauh lebih besar yaitu 210 m. Sarang dengan kelas C yang berada paling dekat jaraknya dari jalan raya adalah berjarak 270 m. Hal tersebut menjadi indikator bahwa sarang dengan kelas yang berbeda jaraknya tidak terlampau jauh, walaupun kedua kelas sarang terdapat selisih umur 2,5 bulan. Beberapa kemungkinan lain dapat saja terjadi seperti halnya orang utan yang sama kembali membuat sarang pada tempat tersebut. Gangguan yang disebabkan oleh berbagai aktivitas yang terjadi di jalan raya Sangatta Bontang berdasarkan pantauan selama 3 hari berturut-turut seperti yang tertuang pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Daftar Kendaraan/Objek yang Melintas di Jalan Raya Sangatta Bontang Hari Tanggal Kendaraan/objek yang melintas Jenis Jumlah Jumat 14 Desember 2007 Sepeda motor 705 Mobil penumpang 281 Truk 152 Mobil pick-up 82 Bis 28 Pejalan kaki 9 Jumlah Sabtu 15 Desember 2007 Sepeda motor 602 Mobil penumpang 273 Truk 150 Mobil pick-up 78 Bis 25 Pejalan kaki 8 Jumlah Minggu 16 Desember 2007 Sepeda motor 972 Mobil penumpang 325 Truk 183 Mobil pick-up 82 Bis 20 Pejalan kaki 5 Jumlah Jarak terdekat antara sarang orang utan dengan Sungai Sangatta dari hasil pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis adalah 80 m. Ukuran tersebut menunjukkan, bahwa efek tepi dari pinggir sungai besar juga ada walaupun lebarnya lebih rendah dibanding dengan efek tepi pada daerah sekitar jalan raya. Hasil pengamatan selama 3 hari berturut-turut pada kawasan sekitar Sungai Sangatta bahwa sumber gangguan berasal dari mesin ketinting yang melewati Sungai Sangatta yaitu 6 16 unit, sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

10 213 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 Tabel 2. Daftar Kendaraan yang Melintas di Sungai Sangatta Hari Tanggal Kendaraan yang melintas Jenis Jumlah Jumat 21 Desember 2007 Ketinting 6 Sabtu 22 Desember 2007 Ketinting 12 Minggu 23 Desember 2007 Ketinting 16 Kawasan hutan TNK yang terbebas dari efek tepi adalah sebesar ha, sehingga dari hasil perhitungan tersebut terdapat ha atau 3,6% efek tepi dari luas kawasan hutan yang telah terfragmen. Hasil Analisis Vegetasi Habitat Orang Utan (Pongo pygmaeus morio) 1. Hasil analisis vegetasi di Prevab, Mentoko Pada lokasi penilitian ini, dengan ukuran plot 20x20 m sebanyak 25 plot atau seluas 1 ha dijumpai sebanyak 198 individu dari 55 jenis pohon, sehingga kerapatan pohon adalah 198 batang/ha. Tiga jenis pohon yang memiliki NPJ tertinggi adalah Vitex pinnata, Cananga odorata dan E. zwageri. Keadaan ini menunjukkan, bahwa walaupun pohon yang dominan di kawasan ini adalah jenis Vitex pinnata namun orang utan lebih memilih E. zwageri sebagai pohon yang sebagian besar digunakan sebagai sarang mengingat pohon ini memiliki ranting menggalah (seperti galah) dan menjuntai serta sifat kayu yang kuat (Kessler dan Sidiyasa, 1999). Dengan kondisi tersebut sangat mendukung orang utan untuk dapat memanjat pohonnya dan membuat konstruksi sarang yang kuat. Vegetasi tingkat tiang dari plot seluas 20x20 m dengan jumlah 25 plot atau luas plot 1 ha, dijumpai sebanyak 86 jenis dengan jumlah individu sebanyak 390 pohon sehingga kerapatannya adalah 390 batang/ha. NPJ yang menduduki urutan teratas adalah jenis C. odorata, Alangium sp. dan Macaranga lowii. Vegetasi tingkat pancang dan semak pada plot seluas 5x5 m sebanyak 25 plot atau seluas 0,06 ha dijumpai vegetasi sebanyak 68 jenis dengan jumlah individu sebanyak 389 batang, kerapatan individu sebesar batang/ha. Nilai Summed of Dominace Ratio yang tertinggi adalah jenis Saurauia sp. Terdapat 2 dari 10 jenis yang mendominasi plot tersebut yang merupakan pakan orang utan yaitu jenis Ficus sp. dan F. ribes (Galdikas, 1982 dalam Meijaard dkk., 2001). 2. Hasil analisis vegetasi di Sangkimah Vegetasi tingkat pohon pada ukuran plot 20x20 m sebanyak 15 plot atau luas plot 0,6 ha dijumpai 18 jenis pohon dengan jumlah individu sebanyak 37 pohon sehingga kerapatan pohon adalah 61 batang/ha. Jenis pohon dengan NPJ tertinggi (113,3029%) adalah ulin. Pohon ini merupakan pohon mayoritas yang dipilih sebagai pohon sarang bagi orang utan. Vegetasi tingkat tiang pada plot penelitian seluas 10x10 m sebanyak 15 plot atau seluas 0,15 ha ditemukan sebanyak 19 jenis dengan individu sebanyak 29 batang, sehingga kerapatan individu adalah sebanyak 193 pohon/ ha. NPJ yang menduduki urutan teratas juga jenis ulin dengan NPJ mencapai 42,2892%, kemudian disusul C. odorata (kenanga) dan D. dao (sengkuang). Kenanga

11 Jinarto dan Boer (2009). Studi Fragmentasi Habitat 214 merupakan pohon sarang, sedangkan sengkuang adalah jenis pohon pakan orang utan. Vegetasi tingkat pancang dan semak pada plot seluas 5x5 m sebanyak 15 plot atau seluas 0,04 ha dijumpai vegetasi sebanyak 46 jenis dengan jumlah individu sebanyak 683 batang, sehingga kerapatan individu adalah batang/ha. Nilai Summed of Dominance Ratio tertinggi adalah jenis Leea rubra, jenis ini tidak tercantum pada daftar makanan orang utan menurut Galdikas (1984). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Di TNK masih terdapat hutan dengan kondisi yang relatif bagus dengan luas yang lebih besar (74,86%) daripada hutan yang terdegradasi (24,87%). Hutan yang terdegradasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat orang utan dan menimbulkan efek tepi yang negatif terhadap keberadaan orang utan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin jauhnya orang utan membuat sarang dari tepi hutan. Dampak dari fragmentasi dan efek tepi yang ditimbulkan diperkirakan semakin besar, karena tidak ada lagi informasi adanya orang utan yang menyeberangi jalan Sangatta Bontang dan ini juga didukung oleh data hasil penelitian ini, di mana sarang orang utan semakin jauh dari daerah tepi. Efek tepi dari keberadaan jalan Sangata Bontang dan Sungai Sangatta akan bertambah besar dikarenakan frekuensi penggunaan jalan dan sungai tersebut oleh masyarakat. Efek tepi yang bersifat buatan (jalan) lebih berdampak negatif dibandingkan efek tepi yang bersifat alami (sungai). Besarnya efek tepi yang diukur dari keberadaan sarang orang utan merupakan asumsi untuk melihat besarnya pengaruh efek tepi terhadap habitat satwa secara keseluruhan. Tidak ditemukannya sarang baru (Kelas sarang A) pada sekitar daerah tepi menunjukkan dampak dari efek tepi secara nyata. Hasil perhitungan estimasi kepadatan populasi orang utan menunjukkan bahwa di Plot Survei Prevab, Mentoko jumlahnya lebih tinggi daripada di Plot Survei Sangkimah, hal ini disebabkan oleh gangguan pada daerah tepi di Sangkimah lebih besar dibandingkan dengan di Prevab, Mentoko. Nilai Penting Jenis (NPJ) vegetasi tertinggi baik pada tingkat pohon maupun tiang pada Plot Survei Prevab, Mentoko bukan merupakan pohon yang dipilih untuk tempat bersarang, sedangkan pada Plot Survei Sangkimah adalah pohon sarang. Summed of Dominance Ratio (SDR) pada pertumbuhan tingkat pancang yang tertinggi, baik pada Plot Survei Prevab maupun Sangkimah bukan merupakan pohon pakan. Saran Untuk melihat pengaruh efek tepi terhadap keberadaan sarang orang utan diperlukan data yang lebih banyak dengan melakukan inventarisasi di sepanjang sungai atau jalan dengan arah transek tegak lurus dari sungai atau jalan tersebut. Adanya temuan tumpukan daun Alpinia sp. serupa dengan sarang di atas tanah diperlukan penelitian lanjutan tentang perilaku orang utan dalam membuat sarang terutama pada orang utan yang telah berusia sangat tua dan tidak mampu memanjat pohon.

12 215 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S Pengeloalaan Satwa Liar. Jilid I. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor Anonim Laporan Penelitian Studi Sosial dan Antropologi Masyarakat Pemukim dan Penggarap dalam Taman Nasional Kutai. Kerja Sama Antara Taman Nasional Kutai dan Pusat Studi Lingkungan Universitas Mulawarman, Samarinda. Anonim Potret Taman Nasional Kutai. Draft #0. Bikal, Samarinda. Anonim Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai Taman Nasional Kutai, Bontang. Bismark, M Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur. Buletin Plasma Nutfah 11 (2). Komisi Nasional Plasma Nutfah (KNPN), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Bratawinata, A.A Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Darusman, D Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam Pengusahaan Hutan. Makalah disampaikan pada Seminar Mahasiswa Kehutanan Indonesia VI tanggal Desember 1996 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Galdikas, B.M.F Adaptasi Orang Utan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press, Jakarta Gaol, M.R.L Analisis Fungsi Kawasan Menggunakan Pengideraan Jauh dan Sistem informasi Geografis di Taman Nasinal Kutai. Tesis Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda Kessler, P.J.A. dan K. Sidiyasa Pohon-pohon Hutan Kalimantan Timur. Pedoman Mengenal 280 Jenis Pohon Pilihan di Daerah Balikpapan Samarinda. Tropenbos Kalimantan Series 2. Mofec Tropenbos Kalimantan Project, Balikpapan. Meijaard, E.; H.D. Rijksen dan S.N. Kartikasari Di Ambang Kepunahan. Kondisi Orang Utan Liar di Awal Abad Ke-21. The Gibbon Foundation and Tropenbos, Jakarta. Murcia, C Edge Effects in Fragmented Forests: Implications for Conservation. Tree 10 (2). Elsevier Science Ltd., England. Purnama, B.M Aspek Lingkungan dan Hukum dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari). Paper disampaikan pada Seminar Nasional Kehutanan dengan Tema Masa Depan Pengelolaan Hutan Alam dalam Persepektif Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan diselenggarakan oleh APHI di Samarinda. Soerianegara, I. dan A. Indrawan Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup IPB, Bogor.

13

Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur

Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur M. Bismark Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor ABSTRACT Orang

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI KAWASAN HUTAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL KUTAI

ANALISIS FUNGSI KAWASAN HUTAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL KUTAI ANALISIS FUNGSI KAWASAN HUTAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL KUTAI Mentaya Raya Lumban Gaol 1, Risman Situmeang 2 dan M. Sumaryono 2 1 Dinas Kehutanan Kabupaten

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Fisik Kawasan 4.1.1. Letak Kawasan hutan mangrove di Pantai Tanjung Bara termasuk dalam kawasan konsesi perusahaan pertambangan batubara PT. Kaltim Prima

Lebih terperinci

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL WILAYAH HPH PT. INDEXIM UTAMA DI KABUPATEN BARITO UTARA KALIMANTAN TENGAH Oleh/by MUHAMMAD HELMI Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR A. Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Kebakaran pada Kawasan Hutan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP 1. Dr. Yaya Rayadin 2. Adi Nugraha, SP. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PARAKASAK Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT ECOSITROP

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN TFT 2018 Document Prepared by: The Forest Trust Jl. Dr.Wahidin No 42 Semarang, Jawa Tengah Indonesia Ph +62 24 8509798 1 PENGANTAR DEFINISI Sungai adalah alur atau wadah air

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Eugenia 13 (4) Oktober 2007 STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Roni Konerj11*, Oedy Ouryadi Solihin21, Oamayanti Buchorj31," dan Rudi Tarumingkeng4)

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

Taman Nasional Kutai

Taman Nasional Kutai Oleh : Kepala Balai TN Kutai / Ketua Organizing Committee Mitra TNK Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembentukan Kelembagaan Multipihak untuk Kolaborasi Pengelolaan Hutan Lindung Batang Toru Brastagi,

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Pulosari Pegunungan Akarsari - Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Pulosari Pegunungan Akarsari - Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Pengambilan data untuk penyusunan profil keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di kawasan Gunung Pulosari dilaksanakan pada tanggal 17 Juni s/d 15 Agustus

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01 0 32

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang

IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG. 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang. Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 51 IV. GAMBARAN UMUM KOTA BONTANG 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bontang Gambar 4.1 Peta Wilayah Kota Bontang 52 Kota Bontang terletak antara 117 23 BT - 117 38 BT dan 0 01 LU - 0 12 LU atau berada pada

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR

NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR NILAI EKONOMI AIR HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN DI BALIKPAPAN KALIMANTAN TIMUR Syahrir Yusuf Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Value of Water Economic of

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunung aktif paling aktif di dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-7 tahun sekali merupakan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Karang Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Karang Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu dan Tempat Pengambilan data untuk penyusunan profil keanekaragaman hayati dan perubahan tutupan lahan di kawasan Gunung Karang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni s/d 22 Agustus 2014

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK)

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK) PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK) Danang Arif Maullana dan Arief Darmawan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof.

Lebih terperinci

Mengembalikan Fungsi Ekosistem. Fungsi Ekosistem 11/1/2013. Ruang Lingkup. Konservasi. Pemanfaatan dan pelestarian. Restorasi.

Mengembalikan Fungsi Ekosistem. Fungsi Ekosistem 11/1/2013. Ruang Lingkup. Konservasi. Pemanfaatan dan pelestarian. Restorasi. Strategi Restorasi Ekologi dalam Konservasi Satwa Liar di Kawasan Hutan Tropis Terfragmentasi Studi Kasus Implementasi Strategi Konservasi Orangutan (Pongo pygmaeus morio) pada Berbagai Multi-Fungsi Landskap

Lebih terperinci