KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL): ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL): ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951"

Transkripsi

1 KAJIAN HUKUM PENETAPAN BASELINE (GARIS PANGKAL): ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE, 1951 Disusun untuk Memenuhi Nilai Tugas pada Mata Kuliah Kelembagaan Hukum Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Dosen Pengampu : Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum. Oleh: MEEZAN ARDHANU ASAGABALDAN PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN SUMBER DAYA PANTAI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

2 I. PENDAHULUAN 1.1. Sejarah Anglo Norwegian Fisheries Case, 1951 Salah satu kasus yang terkenal dan tertua dalam sengketa perikanan yang ada di dunia, dan menjadi suatu keputusan hukum laut yang baru adalah Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tahun Sengketa antara Inggris dan Norwegia ini mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum laut internasional, terutama dalam menentukan garis pangkal (baseline) dari mana laut teritorial mulai diukur (Green, 1952). Sejarah terjadinya sengketa antara Inggris dengan Norwegia dan Denmark (satu kerajaan) yaitu pada abad ke-17, dimana nelayan Inggris tidak dapat menangkap ikan di perairan pantai Norwegia dalam jangka waktu yang lama yaitu antara tahun 1616 hingga tahun 1906 (290 tahun), setelah Raja Norwegia dan Denmark mengajukan keberatan kepada Raja Inggris. Hal ini terjadi karena Norwegia telah menetapkan batas laut teritorial sejauh empat mil (tahun 1812) dan pada tahun 1889, Norwegia memperkenalkan sistem pengukuran dangan menarik garis lurus dari batu karang dan pulau pulau yang terdapat di pantai Norwegia. Akan tetapi, mulai tahun 1906 beberapa kapal nelayan Inggris mulai muncul di lepas pantai Timur Finnmark dan pada tahun 1908, mereka kembali dalam jumlah yang lebih besar (Fisheries Case, 1951). Insiden pertama terjadi pada tahun 1911, yaitu ketika sebuah kapal pukat harimau (trawl) milik Inggris ditangkap dan disita karena melanggar daerah larangan yang telah ditetapkan wilayah Norwegia. Berbagai negosiasi terjadi antara kedua pemerintah. Tahun 1922 dan seterusnya insiden kembali terjadi, dan puncaknya yaitu pada tahun 1932, kapal pukat harimau (trawl) Inggris memperluas jangkauan kegiatan perikanan mereka hingga di daerah lepas pantai Norwegia barat dari Cape Utara. Pada waktu itulah ketegangan antara kedua negara terjadi (Green, 1951). Pada tanggal 27 Juli 1933, Pemerintah Inggris mengajukan protes kepada pemerintah Norwegia tentang delimitasi laut territorial dan garis pangkal pantai. Tahun 1935, tepatnya pada tanggal 12 Juli, Norwegia menetapkan batas batas perikanan ekslusif melalui Firman Raja (Royal Decree) menurut hukum internasional dari 66 derajat 28,8' LU (Fisheries Case, 1951).

3 Firman Raja ini yang merujuk pada Firman Firman Raja sebelumnya yang dikeluarkan di tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 di dalam pertimbangannya (preamble) menyatakan hak nasionalnya yaitu keadaan geografis khusus pada pantai Norwegia dengan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan penduduk bagian Utara daripada Norwegia. Sejarah kasus sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia 1951 Perkara antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case tahun 1951) mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional Penetapan Garis Pangkal (Baseline) Norwegia Sejak ditetapkannya batas batas perikanan wilayah lepas pantai Norwegia yang sah menurut Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Inggris tidak dapat menerima dekrit Raja Norwegia tersebut karena dianggap bertentangan dengan hukum Internasional. Inggris tidak menyangkal hak Norwegia untuk memiliki lebar laut teritorial sejauh 4 mil, namun yang dipermasalahkan adalah cara penarikan garis pangkal lurus. Inggris berpendirian bahwa garis pangkal harus ditarik menurut garis pasang surut dari tanah daratan (permanent dry land) yang merupakan bagian dari wilayah Norwegia. Dalam pandangan Inggris, skjaergaard merupakan gugusan pulau pulau yang terletak dihadapan pantai Norwegia, dimana bukan merupakan bagian dari daratan tetap Norwegia (Green, 1952). Hal ini menyebabkan yang tadinya nelayan Inggris bebas melakukan penangkapan ikan di sana, kini sesuai dengan dekrit Raja Norwegia menjadi bagian dari wilayah Norwegia. Sehingga dengan sendirinya menjadi daerah tertutup bagi negara dan nelayan asing (khususnya negara Inggris). Sedangkan untuk Norwegia, penarikan ini menguntungkan bagi nelayan Norwegia karena dapat mengambil ikan di daerah tersebut dan dapat melindungi kehidupan nelayannya. Oleh karena itu Inggris mengajukan masalah tersebut kepada International Court of Justice (ICJ) (Rothwell dan Tim, 2010) Mahkamah Internasional (ICJ) menelaah tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas asas pasang surut, yakni:

4 1. Cara trace parallele, dimana garis batas luar mengikuti segala liku dari garis pasang surut; 2. Cara arcs of circles, dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu; dan 3. Cara straight base-line (garis pangkal lurus), dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubung titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang surut. ICJ menyatakan bahwa dari ketiga cara di atas, cara arcs of circles dikesampingkan oleh Mahkamah dengan alasan tidak relevan. Pihak inggris berpendapat bahwa penarikan garis pangkal lurus di Norwegia menjadi benar ketika menarik dari muka suatu teluk (bay), bukan dari satu pulau kepulauan lain depan pantai atau depan gugusan pulau (skjaergaard). Ditambah lagi, menurut pihak Inggris panjang garis pangkal dimuka suatu teluk tidak boleh melebihi 10 mil (Agoes, 1952). Mahkamah Internasional, dalam keputusannya, menyatakan tidak sependapat dengan pihak Inggris. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia telah sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku pada umumnya pada suatu keadaan khusus. Mahkamah juga menolak pendapat Inggris bahwa garis pangkal lurus hanya dapat ditarik dimuka suatu teluk. Mahkamah juga tidak dapat menerima pernyataan Inggris bahwa panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 10 mil. Mahkamah menyatakan pendapat bahwa (Louis dan John, 2000); The Norwegian Government in fixing the base-lines for the delimitation of the Norwegian fisheries zone by the 1936 Decree has not violated international law Selanjutnya Mahkamah mengatakan bahwa: The delimitation of sea areas has always an international aspect; it cannot be dependent merely upon the will of the coastal State as expressed in its municipal law. Some reference must be made to the close dependence of the territorial sea upon the land domain. It is the land which confers upon the coastal State a right to the waters off its coasts

5 The real question raised in the choice of baselines is in effect whether certain sea areas lying within these lines are sufficiently closely linked to the land domain to be subject to the reg me of internal waters. There is one consideration not to be over looked; the scope of which extends beyond purely geographical factors; that of certain economic interests peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly evidenced by a long usage. Setelah dua tahun melewati persidangan, akhirnya Mahkamah Internasional mengakhiri kasus ini pada tanggal 18 desember 1951 dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia telah sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah sebagai berikut (Kusumatmaja, 1999); 1. Sudah menjadi hukum kebiasaan (turun temurun) pada Norwegia sejak abad ke 17 bahwa daerah tersebut milik Norwegia 2. Skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan teritorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia 3. Wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk lokal Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber mata pencaharian bagi nelayan nelayan Norwegia, sejak abad ke Dengan melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai pantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan Pertimbangan pertimbangan yang diambil oleh ICJ memutuskan bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia. Dari kasus seperti ini, dapat ditarik penetapan bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut teritorial sebuah negara pantai dapat diambil dari gugusan pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai salah satu landmark dalam hukum internasional dan melahirkan Konvensi Jenewa yang dimuat dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Agoes, 1991).

6 II. PEMBAHASAN 2.1. Ketentuan Penetapan Baseline setelah putusan Mahkamah Internasional pada Anglo Norwegian Fisheries Case Prinsip hukum internasional yang terdapat dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case ini adalah mengenai penetapan baseline zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (baseline) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outerlimit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas (Churcill dan Law, 1999). Kasus Anglo Norwegian Fisheries Case merupakan sejarah dalam hukum laut internasional bahwa pengakuan cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau-pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk gegrafis yang khas sehingga melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 (Louis, 1984). Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu lintas damai (right of innocent passage) (Fitzmaurice, 1959). Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam halhal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam; (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat tersebut adalah sebagai berikut (Fitzmaurice, 1959). 1. Garis garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum dari pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). 2. Garis garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low tide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan

7 mercusuar atau instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3) 3. Penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan wilayah negara lain dengan laut lepas (ayat 5). Ayat 4 tambahan sebagai ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis dari suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama. Dengan kata lain bahwa suatu negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem normal baseline dan straight baseline (Fitzmaurice, 1959). Setelah diratifikasinya konvensi hukum laut 1982, maka tiga cara penarikan garis pangkal dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, yang akan dijelaskan lebih detail pada bab selanjutnya (Agus, 1991); 1. Garis pangkal biasa (Normal Baseline), yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti segala liku liku (morfologi) pantai. 2. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline), yaitu garis air terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar dari pantai daratan utama suatu negara atau dari pantai pada gugusan pulau dimukannya 3. Garis pangkal lurus kepulauan (Archipelagics Baseline), yaitu garis-garis air rendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar dari wilayah negara 2.2. Garis pangkal (Baseline) Wilayah laut memiliki karakteristik geografis yang berbeda dengan wilayah daratan, dimana di daratan dapat kita lihat dengan jelas perbedaan atau perbatasan wilayah suatu negara yang dapat berupa suatu keadaan alamiah maupun perbatasan yang dibentuk secara tidak alami. Namun, dalam wilayah laut untuk menentukan baselines tersebut tentulah sangat sulit. Terdapat pasang surut air laut yang bersifat tidak tetap, yang berubah dari hari ke hari dan dari musim ke musim (Churcill dan Lowe, 1999).

8 Normal Baseline (Garis Pangkal Biasa) Pasal 3 Geneva Convention on The Territorial Sea and Contigous Zone 1958 (TSC) dan Pasal 5 UNCLOS dimuat ketentuan tentang penentuan pengukuran baseline yang digunakan untuk menentukan wilayah maritim suatu negara yang kemudian disebut sebagai normal baseline (Churcill dan Lowe, 1999). The normal baselines for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal state (Pasal 5 UNCLOS). Gambar 2.1. Normal Baseline, garis yang membedakan daerah arsiran, yang merupakan bagian dari wilayah perairan yang mendekat kedarat (disebut sebagai internal waters), dan daerah yang tidak berarsir yang merupakan Territorial Sea.

9 Normal baseline merupakan titik surut air laut sepanjang garis pantai yang mengelilingi suatu wilayah darat dari satu negara. Adapun karakteristik daripada baselines tersebut adalah (Pasal 3 UNCLOS) a. They [baselines] are water not land lines, i.e., water-crossing not coasthugging; b. Because they [baselines] cross water and do not lie along the coast, they enclose an area between themselves and the coast, which has the status not of territorial sea but of internal waters. Dalam karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa, baseline bukan merupakan wilayah perairan dan juga bukan merupakan garis darat yang dapat ditentukan dengan mudah. Baseline menentukan suatu pengukuran dalam menentukan Territorial Sea yang merupakan zona maritim suatu negara (Gerarld, 1959) Straight Baseline (Garis Pangkal Lurus) Negara negara pantai di dunia tidaklah memiliki keadaan geografis yang sama, dimana dengan mudah dapat ditentukan suatu normal baseline berdasarkan titik surut air laut. Terdapat keadaan dimana bentuk geografis dari garis pantai tidak beraturan, yang membentuk suatu keadaan yang menyulitkan menentukan titik surut air laut itu sendiri. Pasal 4 TSC dan Pasal 7 UNCLOS mengatur ketentuan metode pengukuran baseline yang disebut sebagai straight baseline ynang digunakan pada kasus Anglo Norwegian Fisheries Case (Willberforce,1952). Garis pantai Norwegia berbentuk dari perairan perairan kecil yang mengelili karang karang sempit yang terdiri dari gugusan pulau pulau, pulau kecil, bebatuan karang yang sering disebut sebagai skjaergaard. Since the mainland is bordered in its western sector by the skjaergaard (literally, rock rampart), which constitute a whole with the mainland, it is the outer line of the skjaergaard wich must be taken into account in delimiting the belt of Norwegian territorial waters (Green, 1951) Straight baseline tersebut digunakan oleh Norwegia dalam menentukan baseline darimana zona maritimnya diukur. Pasal 7 UNCLOS, paragraf 1 menentukan bahwa in localities where the coast line is deeply indented or cut into, or if there is a fringe of islands along the coast in its

10 immediate vicinity, the method of straight baselines joining appropriate points may be employed.... Seperti halnya pada keadaan geografis Norwegia tersebut, dapat digunakan straight baseline yang menghubungkan titik titik terluar pulau tersebut sebagai titik pangkal zona maritim, dikarenakan adanya fringe of islands along the coast in its immediate vicinity. (Willberforce, 1952). Gambar 2.2. Straight Baseline, metode penentuan garis pangkal yang digunakan dalam kasus Anglo Norwegian Fisheries Case tahun 1951

11 Archipelagics Baseline (Garis Pangkal Kepulauan) Wilayah benua yang berbatasan dengan laut tentu saja akan berbeda dengan wilayah suatu pulau yang dikelilingi lautan, dan wilayah kepulauan yang sambung menyambung diantara wilayah laut. Negara kepulauan tersebut disebut sebagai Archipelagic State yang mana diartikan sebagai suatu negara yang mana wilayahnya keseluruhan terbentuk dari gugusan kepulaun dan pulau-pulau (Pasal 46 (a) UNCLOS) (Agoes, 1991). Archipelagic states yang demikian tentu akan memiliki tendensi yang berbeda dalam menentukan wilayah laut negara mereka. Sehingga dalam Pasal 47 UNCLOS diaturlah suatu ketentuan mengenai Archiplagics Baseline yang menentukan bahwa: archipelagic state may drew straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost island and dying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main island and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1 (paragraph 1). Hak yang diberikan kepada negara kepulauan tersebut adalah menentukan garis baseline yang mengelilingi negara tersebut dari titik terluar pulau pulau yang ada, dan membentuk suatu wilayah yang terdiri dari wilayah daratan dan perairan pedalaman (internal waters). Terdapat empat kondisi khusus yang harus dipenuhi dalam pemakaian Archipelagic baseline yang ada pada Pasal 47 UNCLOS, yaitu sebagai berikut: a. All main of lands of the archipelagic state must be a system of archipelagic baselines; b. The ratio of water area and land area in the system of archipelagic baselines is between 1 to 1 and 9 to 1; c. The length of the archipelagic baselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 percent of the total number of baselines enclosing any archipelago may exceed the length, up to a maximum length of 125 nautical mile; d. The drawing of the archipelagic baselines shall not depart to any appreciable extent from the general configuration of the archipelago.

12 Selain itu, terdapat juga batasan yang diatur dalam penggunaan suatu archipelagic baseline, antara lain; a. The baseline shall not depart to any appreciable extent from the general configuration of the archipelago; b. Shall not be drawn to and from low-tide elevations, unless lighthouses or similar installations which are permanently above sea level have been built on them where a low-tide elevation is situated wholly or partly within the territorial sea of the nearest islands; c. Shall not be applied in such a manner as to cut off from the high seas or the exclusive economic zone the terriotorial sea of another state. Ketentuan penggunaan archipelagic baseline dikarenakan wilayah laut pedalaman (internal waters) dari suatu negara tersebut dianggap sebagai satu kesatuan wilayah dengan daratan yang menghubungkan antara satu pulau ke pulau yang lain dimana merupakan sebagai kedaulatan negara. Indonesia merupakan salah satu contoh negara kepulauan yang telah memakai archipelagics baseline dalam menentukan batas baseline negaranya. Indonesia pertama kalinya menyatakan klaim yurisdiksi maritim yaitu pada tahun 1950an, melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang menyatakan keselurahan area perairan yang menghubungkan antara kepulauan Indonesia adalah dibawah kedaulatan Negara Indonesia. Dibentuknya UNCLOS 1982 memberikan legitimasi Indonesia sebagai suatu archipelagic states. Pada Tahun 1996, dikeluarkan Undang Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang didasarkan pada ketentuan archipelagic states yang telah dirumuskan pada UNCLOS (Patmasari, 2010).

13 Gambar 2.3. Titik Koordinat Geografi Archipelagics Baseline Negara Indonesia

14 III. PENUTUP Kasus Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo Norwegian Fisheries Case) adalah kasus tentang bagaimana wilayah yang memiliki daerah pantai khusus menetapkan penarikan garis pangkal pantai. Kasus sengketa ini menjadi landasan dari penetapan hukum penetapan Garis Pangkal suatu wilayah oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dan melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 yang digunakan hingga sekarang. Cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk geografis yang khas.

15 DAFTAR PUSTAKA Agoes, Etty R Konvensi Hukum Laut Abardin. Bandung Churcill, R. and A. V. Lowe. The Law of The Sea 3 rd Edition Manchester University Press. Halaman 31. Fisheries Case, Judgement of 18 December 1951, ICJ Reports, 1951 Fitzmaurice, Gerald Some Results of The Geneva Conference on The Law of The Sea Part I The Territorial Sea and Contiguous Zone and Related Topics.. The International and Comparative Law Quarterly Vol. 8 No. 1. Halaman 76 Green, L.C The Anglo-Norwegian Fisheries Case, I CJ Report P: 116. Wiley. The Modern Law Review, Vol. 15, No. 3 pp Koers. W. Albert Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Universitas Gajah Mada Press, Yogjakarta, Kusumaatmadja, Mochtar Hukum Laut Internasional, Cetakan Keempat, BPHN, CV. Trimitra Mandiri, Jakarta; Hlm. xii. Louis B Shon & John E. Noyes Cases and Materials on the Law of the Sea.Transnational Publishers, New York. Louis B Sohn The law of The Sea In A Nut Shell. West Publishing Co. Halaman 37 Patmasari, T The Indonesian Archipelagic Baselines: Technical and Legal Issues and The Changing of Enviroment. Diunduh dari Paper2-Patmasari.pdf, 1 Juni 2016, 19:00 WIB. Halaman 4 Rothwell, Donald R. dan Tim Stephens, The İnternational Law of the Sea, Hart Publishing, Oregon RR Churchil and AV Lowe The Law of the Sea, Manchester University Press. Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Willberforce, R. O. Some Aspects of The Anglo-Norwegian Fisheries Case Transaction of Grotius Society, Vol.38, Problems of Public and Private International Law, Transaction for the Year Halaman

BASELINE. Fungsi: Urgensi: 6/24/2009. (c) imanprihandono 1. Zona-zona. Maritim berdasarkan LOSC 1982 ZONMAR. Upaya-upaya pengaturan Baselines:

BASELINE. Fungsi: Urgensi: 6/24/2009. (c) imanprihandono 1. Zona-zona. Maritim berdasarkan LOSC 1982 ZONMAR. Upaya-upaya pengaturan Baselines: BASELINE Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Fungsi: 1. Adalah garis yang

Lebih terperinci

PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI PENARIKAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN

PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI PENARIKAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN Kresno Buntoro - Permasalahan Dalam Implementasi Penarikan Garis Pangkal Kepulauan PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI PENARIKAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN Oleh: KRESNO BUNTORO Dosen Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82) Mufti Fathonah Muvariz Prodi Teknik Informatika Konsentrasi Teknik Geomatika Course Outline Perairan Pedalaman Laut Teritorial Zona

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PENGUKURAN LEBAR LAUT TERITORIAL MENGGUNAKAN GARIS PANGKAL MENURUT UNCLOS 1982 DAN PENERAPANNYA DALAM HUKUM INDONESIA

PENGUKURAN LEBAR LAUT TERITORIAL MENGGUNAKAN GARIS PANGKAL MENURUT UNCLOS 1982 DAN PENERAPANNYA DALAM HUKUM INDONESIA 40 PENGUKURAN LEBAR LAUT TERITORIAL MENGGUNAKAN GARIS PANGKAL MENURUT UNCLOS 1982 DAN PENERAPANNYA DALAM HUKUM INDONESIA Oleh: Eva Johan Fakultas Hukum Universitas Sultan Tirtayasa, Serang Banten Abstract

Lebih terperinci

CARA PENETAPAN BATAS ZEE ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA DENGAN MEDIAN LINE. Ansori

CARA PENETAPAN BATAS ZEE ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA DENGAN MEDIAN LINE. Ansori CARA PENETAPAN BATAS ZEE ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI SELAT MALAKA DENGAN MEDIAN LINE Ansori ABSTRAK : Penelitian ini secara menyeluruh mempunyai tujuan untuk memperjelas batas-batas ZEE antara Indonesia

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI Retno Windari Poerwito FOKUS MATERI Apakah hukum internasional mengatur kegiatan reklamasi? Hukum internasional yang mengatur tentang kewenangan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA.

PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA. PENGATURAN PENARIKAN GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN (GPLK) MENURUT UNCLOS III 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA. Mochammad Irfan 1, Dwi Astuti Palupi 1, Narzif 2 1 Ilmu Hukum Department, Faculty of

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Oleh: Anak Agung Gede Seridalem Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program

Lebih terperinci

Kapita Selekta Kebijakan Perikanan Tangkap

Kapita Selekta Kebijakan Perikanan Tangkap Wilayah Negara Pengertian negara secara umum, pada awalnya terdapat dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak dan kewajiban negara, yang menyebutkan beberapa unsur daripada suatu negara sebagai

Lebih terperinci

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982 Putri Triari Dwijayanthi I Nyoman Bagiastra Program Kekhususan

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengakuan konsepsi Indonesia sebagai Negara Kepulauan merupakan sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA

KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA Erlina Dosen Fakultas Syari ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Abstrak Dasar

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak

SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak Penetapan batas maritim suatu negara pantai dengan negara yang berhadapan maupun negara yang berdampingan tentunya perlu

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura BAB II DASAR TEORI 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura Seperti yang telah kita ketahui, permasalahan batas maritim untuk Indonesia dengan Singapura sudah pernah disinggung dan disepakati

Lebih terperinci

The Exclusive Economic Zone. Batas/Delimitasi ZEE. Definisi Umum ZONA MARITIM

The Exclusive Economic Zone. Batas/Delimitasi ZEE. Definisi Umum ZONA MARITIM ZONA MARITIM The Exclusive Economic Zone Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com

Lebih terperinci

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Heryoso Setiyono, Ibnu Pratikto, Hariyadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang Abstrak UU No 32

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT Aspek-aspek Geodetik... ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT Joko Hartadi Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta email: jokohartadi@upnyk.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Penentuan Garis Pangkal dan Garis Batas Laut Teritorial antara Republik Indonesia dan Republik Demokratis Timor Leste

Prinsip-Prinsip Penentuan Garis Pangkal dan Garis Batas Laut Teritorial antara Republik Indonesia dan Republik Demokratis Timor Leste iv Prinsip-Prinsip Penentuan Garis Pangkal dan Garis Batas Laut Teritorial antara Republik Indonesia dan Republik Demokratis Timor Leste Robby Setiawan 110110060361 Skripsi ini mengkaji prinsip-prinsip

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER

PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER oleh JOHN PETRUS ADITIA AMBARITA I Made Pasek Diantha Made Maharta Yasa BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang begitu pesat. Menurut J.G. Starke 1, tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

PENENTUAN TITIK TERLUAR DARI PULAU REKLAMASI BERDASARKAN UNCLOS 1982

PENENTUAN TITIK TERLUAR DARI PULAU REKLAMASI BERDASARKAN UNCLOS 1982 SKRIPSI PENENTUAN TITIK TERLUAR DARI PULAU REKLAMASI BERDASARKAN UNCLOS 1982 ANAK AGUNG DALEM ARIYUDHA NIM. 1203005020 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i PENENTUAN TITIK TERLUAR DARI PULAU

Lebih terperinci

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra Aldea Noor Alina 3509 100 005 Dengan bimbingan Ir. Yuwono MS. Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan

Lebih terperinci

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009 Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 24 Juni 2009 Pada tanggal 23 Juni 2009 di Markas Besar Legiun Veteran RI diselenggarakan ceramah tentang masalah Ambalat. Yang bertindak sebagai pembicara adalah Laksma

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR Rosmi Hasibuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Overlap claming

Lebih terperinci

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL)

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL) Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL) DIKA AYU SAFITRI 3507 100 026 Page 1 Latar Belakang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 355 TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Tommy Hendra Purwaka * Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Jalan Jenderal

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN

I. BAB I PENDAHULUAN I. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 pulau dengan dua pertiga diantaranya merupakan wilayah lautan. Berdasarkan UNCLOS (United

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang merupakan bagian dari komunitas dunia. Salah satu organisasi komunitas dunia tersebut adalah Perserikatan

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batas dibedakan dalam dua hal utama, yaitu fungsi batas, dan bentuk batas (fisik). Batas secara fungsional merupakan manifestasi daripada suatu sistem yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km 2 atau sama dengan 2/3 dari luas total wilayah Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan kondisi geografisnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya yang berupa perairan. Kondisi geografis tersebut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 maka salah satu prioritas utama bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI Dr. Sri Handoyo dan Ir. Tri Patmasari, M.Si Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL Disampaikan pada Dialog Publik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS IN THE WESTERN AND CENTRAL PENGELOLAAN SEDIAAN

Lebih terperinci

PENGUATAN HAK BERDAULAT (SOUVEREIGN RIGHT) PADA ZEE INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM LAUT. Indien Winarwati

PENGUATAN HAK BERDAULAT (SOUVEREIGN RIGHT) PADA ZEE INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM LAUT. Indien Winarwati PENGUATAN HAK BERDAULAT (SOUVEREIGN RIGHT) PADA ZEE INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM LAUT Indien Winarwati Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Jl. Raya Telang, Kec. Kamal, Bangkalan

Lebih terperinci

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Negara Berasal dari kata : sovereignty (Inggris) superanus (Latin) Berarti : yang teratas kekuasaan tertinggi Pengertian Kedaulatan: Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

LANDAS KONTINEN. Truman Proclamation Continental Shelf Convention North Sea Continental Shelf Case

LANDAS KONTINEN. Truman Proclamation Continental Shelf Convention North Sea Continental Shelf Case LANDAS KONTINEN Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Truman Proclamation

Lebih terperinci

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA Immanuel Yulian Yoga Pratama Ilmu Hukum, Universitas Atma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur pulau-pulau yang tersebar luas dalam jumlah lebih dari 13.000 pulau besar dan pulau kecil, dengan garis pantai

Lebih terperinci

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN SKRIPSI OLEH: DIAN EKAWATI

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN SKRIPSI OLEH: DIAN EKAWATI RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN SKRIPSI Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu ribu pulau mempunyai

Lebih terperinci

JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982

JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982 JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982 Disusun oleh : Daniel Malonda NPM : 1005-10397 Program

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/76; TLN NO. 3319 Tentang: PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR EVALUASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DI INDONESIA

LAPORAN AKHIR EVALUASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DI INDONESIA LAPORAN AKHIR EVALUASI KEBIJAKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DI INDONESIA Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia

Lebih terperinci

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298.

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298. 115 maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298. Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 tidak hanya memberi keuntungan-keuntungan ekonomi

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG TENTANG ZONA TAMBAHAN SEBAGAI LANGKAH PERLINDUNGAN WILAYAH LAUT INDONESIA

PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG TENTANG ZONA TAMBAHAN SEBAGAI LANGKAH PERLINDUNGAN WILAYAH LAUT INDONESIA PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG TENTANG ZONA TAMBAHAN SEBAGAI LANGKAH PERLINDUNGAN WILAYAH LAUT INDONESIA Oleh : Gerald Alditya Bunga 1 Abstract 1982 UNCLOS stipulates that Indonesia as the archipelago state

Lebih terperinci

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT Dalam penentuan batas laut, setiap negara pantai diberikan wewenang oleh PBB untuk menentukan batas lautnya masing-masing dengan menjalankan pedoman yang terkandung

Lebih terperinci

PERANAN TNI-AL DALAM PENGAMANAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

PERANAN TNI-AL DALAM PENGAMANAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA PERANAN TNI-AL DALAM PENGAMANAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI FAKHRIDHO SBP SUSILO 0505000929 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK JULI 2009 UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 ABSTRACT Oleh Ida Ayu Febrina Anggasari I Made Pasek Diantha Made Maharta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konferensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Converention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS) menghasilkan berbagai

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan delimitasi batas maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Tujuan delimitasi Prinsip delimitasi Konvensi PBB

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi hukum yang tertuang di dalam Konvensi Montevidio Tahun 1933 tentang Unsur- Unsur Berdirinya Sebuah

Lebih terperinci

~. -~ :~~ \ ) ) '../ft

~. -~ :~~ \ ) ) '../ft ~. -~ :~~ \ ) ) '../ft "?;-~ IJ '. ~~ REPUBLIK INDONESIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BAT AS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA Dl BAGIAN TIMUR SELAT SINGAPURA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses desentralisasi dalam

Lebih terperinci

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

HUKUM LAUT INTERNASIONAL HUKUM LAUT INTERNASIONAL UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) Thomas Nugroho, S.Pi, M.Si PENGERTIAN NEGARA Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 26 December 1933

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI UNITED NATION CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 (UNCLOS 1982) TERHADAP PENETAPAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI)

IMPLEMENTASI UNITED NATION CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 (UNCLOS 1982) TERHADAP PENETAPAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) IMPLEMENTASI UNITED NATION CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 (UNCLOS 1982) TERHADAP PENETAPAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Materi Kuliah. Modul 12. Oleh :

Materi Kuliah. Modul 12. Oleh : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah GEOPOLITIK INDONESIA (Wilayah Sebagai Ruang Hidup) Modul 12 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 86 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

BABVII KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH

BABVII KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH BABVII KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH A. Pengertian Kedaulatan Teritorial: = kekuasaan negara untuk menjalankan jurisdiksinya atas orang-orang dan harta benda yang berada dalam wilayahnya Pengertian Kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum jahatan Laut SH HI 1206 3 VI (enam) Ayu Efritadewi, S.H., M.H. Perikanan Deskripsi Mata Kuliah Standar Mata kuliah

Lebih terperinci