EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ), METANA (CH 4 ) DAN DINITROGEN OKSIDA (N 2 O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT TRI TIANA AHMADI PUTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ), METANA (CH 4 ) DAN DINITROGEN OKSIDA (N 2 O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT TRI TIANA AHMADI PUTRI"

Transkripsi

1 EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ), METANA (CH 4 ) DAN DINITROGEN OKSIDA (N 2 O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT TRI TIANA AHMADI PUTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ), Metana (CH 4 ) dan Dinitrogen Oksida (N 2 O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Pebruari 2016 Tri Tiana Ahmadi Putri NIM P

3

4 RINGKASAN TRI TIANA AHMADI PUTRI. Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ), Metana (CH 4 ) dan Dinitrogen Oksida (N 2 O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan GUSTI ZAKARIA ANSHARI. Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit merupakan dampak dari meningkatnya kebutuhan perluasan areal kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK. Emisi GRK yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O. Emisi GRK terdiri atas respirasi autorof dan heterotrof. Respirasi autotrof diasumsikan tidak berpengaruh pada pemanasan global, dan sebaliknya respirasi heterotrof berdampak pada pemanasan global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik fisik dan kimia tanah pada lahan gambut dangkal bagian rizosfer dan non rizosfer, mengevaluasi besaran emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan membandingkan metode pengkuran emisi CO 2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan EGM-4. Lokasi penelitian terletak di Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Umur tanaman kelapa sawit 6 sampai 7 tahun. Emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O yang diukur dari dua belas sungkup tertutup dengan menggunakan alat Gas Kromatografi dan analisis gas inframerah (EGM-4). Pengukuran sampel dilakukan satu bulan sekali. Pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia dilaksanakan bulan Juni dan September Pengukuran gas metode Gas Kromatografi dilakukan pada bulan Juni sampai September 2014, sedangkan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai Mei Hasil penelitian menunjukkan karakteristik fisik dan kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata (p > 0.05) antara rizosfer dengan non rizosfer. Emisi CO 2 dengan metode Gas Kromatografi di rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m -2 jam -1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g m -2 jam -1, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CH 4 dan N 2 O di rizosfer masing-masing sebesar g m -2 jam -1 dan g m -2 jam -1, sedangkan di non rizosfer masing-masing sebesar g m -2 jam -1 dan g m -2 jam -1, berdasarkan uji t antara rizosfer dengan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CO 2 metode EGM-4 lebih tinggi di rizosfer dengan besaran 0.93 g m -2 jam -1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) terhadap non rizosfer sebesar 0.44 g m -2 jam -1. Hal ini karena emisi CO 2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan juga berasal dari mikrooganisme dan perakaran tanaman. Akar tanaman selain menyumbangkan CO 2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Hasil pengukuran emisi CO 2 menggunakan metode Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan metode EGM-4, baik di rizosfer maupun non rizosfer. Rendahnya nilai emisi CO 2 metode Gas Kromatografi karena terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan suhu

5 dan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan kebocoran atau difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO 2 di dalam sungkup. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H 2 O) di dalam sungkup akibat dari peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO 2 di dalam sungkup. Penggunaan metode EGM-4 yang dilakukan secara langsung dilapangan lebih disarankan dalam analisis sampel gas, karena dapat mengurangi terjadinya kebocoran gas. Kata kunci : emisi gas rumah kaca, gambut, kelapa sawit, non rizosfer, rizosfer

6 SUMMARY TRI TIANA AHMADI PUTRI. Carbon Dioxide (CO 2 ), Methane (CH 4 ) and Nitrous Oxide (N 2 O) Emissions from Oil Palm Plantation on Peatlands. Supervised by LAILAN SYAUFINA and GUSTI ZAKARIA ANSHARI. The use of peat land for oil palm plantation is the impact of the increasing need of oil palm plantation area extension. Oil palm plantation in peat land would likely emit greenhouse gasses (GHGs). The most dominant GHGs emitted from peat land are CO 2, CH 4 and N 2 O. GHG emissions consists of autotrophic and heterotrophic respirations. An autotrophic emission is not considered as negative, and in contrast, a heterotrophic respiration has detrimental impact on global warming. The aim of this study is to: identify the physical and chemical characteristics of soil in the rhizosphere and non-rhizosphere of shallow peat; investigate rates of emissions from rhizosphere (root respiration and decomposition) and non-rhizosphere (decomposition), generated by oil palm (Elaeis guineensis) plantation on shallow peat, and; compare the Gas Chromatography and EGM-4 method in measuring CO 2 emission. The research site was located in Rasau Jaya Umum, Kubu Raya District, West Kalimantan Province, Indonesia. The ages of palms are 6 to 7 years. A total of twelve closed chambers were placed in both rhizospheres and nonrhizospheres. CO 2, CH 4 and N 2 O emissions were measured once a month, with Gas Chromatography and an infrared gas analyzer (EGM-4). Soil sampling for the analysis of physical and chemical properties held in June and September Gas measurement using Gas Chromatography method were carried out from June to September 2014, while EGM-4 method conducted from January to May The results show that there was not any significant difference (p > 0.05) of physical and chemical characteristics between the rhizosphere and nonrhizosphere of peat at oil palm plantation. The rates of CO 2 emission, measured using the Gas Chromatography method, from the rhizosphere (0.12 g m -2 hr -1 ) were lower than the emission from the non-rhizosphere (0.16 g m -2 hr -1 ), but were not significantly different (p > 0.05). CH 4 and N 2 O emission from the rhizosphere each as much as g m -2 hr -1 and g m -2 hr -1, while from the nonrhizosphere as much as g m -2 hr -1 and g m -2 hr -1 ; and the t-test between rhizosphere and non-rhizosphere emission showed no significant difference (p > 0.05). EGM-4 method resulted in higher measure of CO 2 emission from rhizosphere (0.93 g m -2 hr -1 ) than from non-rhizosphere (0.44 g m -2 hr -1 ), which showed significant difference (p < 0.01). CO 2 emission from rhizosphere were resulted not only from root respiration, but also from microorganism and plant roots. Plant roots, aside from contributing CO 2 from its respiration activity, it also release exudates in the form of ions, enzymes, carbohydrates, and amino acid, which could increase respiratory in the rhizosphere. Gas Chromatography method resulted in significantly different measurement of CO 2 emission from EGM-4 method (p < 0.01), both in rhizosphere and non-rhizosphere. The low measurement of CO 2 emission of Gas Chromatography method was due to the increase of temperature and pressure. The increase of air temperature and pressure in the chamber would lead to gas leakage or diffusion in the soil. Gas diffusion in

7 the soil would decrease the CO 2 emission in the chamber. Besides the gas diffusion process, the weakness of Gas Chromatography method is the formation of water vapor (H 2 O) in the chamber as a result of temperature increase. Water vapor would reduce the CO 2 emission in the chamber. EGM-4 method, carried out directly in the field, is recommended for the analysis of gas samples, since it would reduce gas leakage. Key words: GHG emission, non-rhizosphere, oil palm, peat, rhizosphere

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ), METANA (CH 4 ) DAN DINITROGEN OKSIDA (N 2 O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT TRI TIANA AHMADI PUTRI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ), Metana (CH 4 ) dan Dinitrogen Oksida (N 2 O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Prof Dr Ir Gusti Zakaria Anshari, MES selaku pembimbing yang telah banyak membantu, mengarahkan dan membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih kepada seluruh Staf Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan SPs IPB yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Partnerships for Enchanced Engagement in Research (PEER) Amerika Serikat, Grant No. NSF yang telah membantu membiayai penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada pemilik lahan dan para pekerja di perkebunan kelapa sawit di Desa Rasau Jaya Umum. Terima kasih kepada orang tua, adik kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2012, terima kasih atas kebersamaannya selama ini, semoga silahturahmi diantara kita tetap terjaga. Terima kasih untuk semua pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Pebruari 2016 Tri Tiana Ahmadi Putri

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xv 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Kerangka Pemikiran 2 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Definisi Gambut 5 Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan Dinitrogen Oksida 5 Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca 6 Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK 8 Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim 8 3 METODE 12 Lokasi dan Waktu Penelitian 12 Penetapan Titik Pengamatan 12 Penetapan Sampel 14 Perhitungan Emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O 15 Pengukuran Parameter Pendukung 16 Analisis Data 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Kondisi Lokasi Penelitian 18 Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut 21 Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer 25 Perbandingan Emisi CO 2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4 27 Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI 36 Simpulan 36 Saran 36 Rekomendasi 36 DAFTAR PUSTAKA 37 LAMPIRAN 44

14 xiv DAFTAR TABEL 1 Konsentrasi gas rumah kaca utama a 6 2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati 14 3 Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) 21 4 Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) 24 5 Hasil perhitungan emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi 26 6 Hasil perhitungan emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM Perbandingan Emisi CO 2 metode Gas Kromatografi dengan metode EGM Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi 29 9 Kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer pada bulan Januari sampai Mei DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 3 2 Peta lokasi penelitian 12 3 Denah titik pengamatan Rizosfer dan Non Rizosfer 13 4 Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun (BMKG Supadio Pontianak 2016) 19 5 Profil suhu tanah 19 6 Profil suhu permukaan tanah 20 7 Profil suhu udara 20 8 Profil kedalaman muka air tanah 21 9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman tanah Regresi bobot isi terhadap kadar abu Hubungan positif antara emisi CO 2 dengan muka air tanah Nilai rata-rata emisi CO 2 menurut pengelompokan kedalaman muka air tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan tanah Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO Regresi suhu udara tanah gambut terhadap emisi CO 2 35

15 xv DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta titik pengamatan 45 2 Hasil pengukuran ketebalan gambut 45 3 Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah 46 4 Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi 46 5 Uji t emisi CH 4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer 46 6 Uji t emisi N 2 O pada bagian rizosfer dan non rizosfer 47 7 Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM Uji t emisi CO 2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan Enviromental EGM Analisis ragam emisi CO 2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Analisis ragam emisi CO 2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut BNJ (Tukey) emisi CO 2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Analisis sifat fisik gambut Analisis sifat kimia gambut Analisis sifat kimia gambut Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei Dokumentasi penelitian 55

16

17 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Dinerstein et al. 2006). Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Global Peatlands Initiative 2002; Hooijer et al. 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten 2008; Joosten 2009). Total luas lahan gambut yang ada di Indonesia seluas 14.9 juta ha yang tersebar di Sumatera seluas ha, Kalimantan seluas ha dan Papua seluas ha (Ritung et al. 2011). Perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius dan menjadi isu hangat saat ini. Tanah gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO 2 atmosfer. CO 2 yang diikat oleh biomassa tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Apabila lahan gambut dibuka untuk perkebunan, maka praktek-praktek manajemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi GRK (Rinnan et al. 2003). Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang memiliki daya dukung yang tinggi, baik dari faktor tanah maupun iklim untuk usaha budidaya kelapa sawit. Akibatnya, usaha perkebunan kelapa sawit saat ini mengarah pada lahanlahan yang memiliki faktor pembatas untuk budidaya kelapa sawit. Salah satu lahan yang dimanfaatkan untuk usaha perkebunan kelapa sawit adalah di lahan gambut yang memiliki faktor pembatas tanah secara fisik maupun kimia tidak mendukung untuk budidaya kelapa sawit, di mana saat ini perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menjadi isu hangat perhatian dunia karena dianggap dapat menyumbangkan emisi CO 2 yang besar. Pada tahun 2013 total luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai luas Ha (DPDJP 2013) yang mana total luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pada tahun 2010 menurut hasil penelitian Gunarso et al. (2013) seluas juta ha yang tersebar di Sumatra seluas 1.4 juta ha, di Kalimantan seluas ha dan di Papua seluas ha. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun 2013 mencapai ha (Rehman et al. 2015). Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan adanya saluran drainase untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar yang bertujuan agar tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al. 2006). Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi

18 2 perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper 2003). Kegiatan pemupukan diperlukan untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO 2, sehingga aplikasi pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et al. 2002; Zhang et al. 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO 2 dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO 2. Proses yang terlibat dalam dinamika emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O dari lahan gambut dikendalikan oleh beberapa faktor, seperti muka air tanah, suhu dan konsentrasi mineral nitrogen (Melling et al. 2007a). IPCC (2013a) menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O. Data emisi CO 2 di lahan gambut Indonesia saat ini cukup banyak seperti hasil penelitan (Agus et al. 2010, 2013; Hooijer et al. 2006, 2010; Jauhiainen et al. 2012), tetapi masih sedikit sekali tersedianya data emisi CH 4 dan N 2 O di lahan gambut Indonesia padahal gas-gas tersebut sangat besar potensinya terhadap pemanasan global dibandingkan dengan emisi CO 2 (IPCC 2013b). Dengan semakin pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan menjawab isu dunia, maka perlu kajian yang mendalam terhadap emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, baik dari segi karakteristik lahan, alat atau metode pengukuran emisi, dan daerah pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Penelitian ini akan menyediakan data dasar emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di lahan gambut Indonesia yang dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta dapat membantu menyediakan data dalam merumuskan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN- GRK) untuk memenuhi komitmen pemerintah RI dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun Hal ini juga mendukung dalam rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) Provinsi Kalimantan Barat yang berbasis lahan (BAPPENAS 2014), serta mewujudkan pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kerangka Pemikiran Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik dengan kadar karbon sekitar 50-60% dari berat keringnya (Anshari et al. 2010), sehingga lahan gambut mempunyai potensi besar dalam melepaskan emisi karbon, emisi CO 2 terbentuk di kondisi aerob sedangkan emisi CH 4 terbentuk di kondisi anaerob. Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang paling penting adalah mengatur tinggi muka air tanah dan pemberian pupuk untuk perbaikan kesuburan lahan agar pertumbuhan kelapa sawit optimal. Pengelolaan perkebunan

19 kelapa sawit lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK (CO 2, CH 4 dan N 2 O). Pemberian pupuk N di lahan gambut untuk pertumbuhan kelapa sawit optimal merupakan hal yang harus dilakukan, akan tetapi akan memicu emisi N 2 O. Sama halnya dengan penurunan muka air tanah merupakan hal yang wajib dilakukan akan tetapi menyebabkan kondisi gambut teroksidasi sehingga meningkatkan emisi CO 2 dan menurunkan emisi CH 4. Tetapi permasalahnnya gambut merupakan tanah yang mengandung kadar air tinggi sekitar % atau 3-15 kali daripada berat keringnya (Anshari et al. 2010) sehingga ada kemungkinan CH 4 terlepas ke udara akibat kondisi reduksi tanah gambut. Oleh karena itu dalam pengukuran emisi GRK (CO 2, CH 4 dan N 2 O) sangat penting juga mengetahui karakteristik sifat fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia (ph tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa) lahan gambut. Selain karakteristik lahan, daerah pengamatan emisi GRK dalam hal ini rizosfer dan non rizosfer harus dipisahkan karena dianggap non rizosfer berkontribusi terhadap peningkatan emisi GRK terutama CO 2, sedangkan rizosfer tidak berkontribusi terhadap peningkatan GRK. Secara teknis besar kecilnya emisi GRK tergantung pada metode yang digunakan dalam mengukur emisi GRK, oleh karena itu penting dalam pemilihan metode yang digunakan. Kerangka pemikiran kajian emisi GRK di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. 3 Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

20 4 Perumusan Masalah Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan pembuatan drainase dan pemupukan sehingga mengubah karakteristik fisik dan kimia gambut. Penelitian emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O sebagian besar berdasarkan pada pengukuran total respirasi tanah tapi tidak dapat membedakan antara respirasi autotrof (akar tanaman) dengan respirasi heterotrof (organisme tanah) (Melling et al. 2007a). Oleh karena itu penelitian ini akan membandingkan data emisi GRK (CO 2, CH 4 dan N 2 O) di rizosfer dan non rizosfer yang mana di rizosfer merupakan total emisi dari respirasi akar dan dekomposisi (aktivitas mikroorganisme), sedangkan di non rizosfer merupakan emisi dari dekomposisi tanah gambut. Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (ph tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer? 2. Berapa besar emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit? 3. Apakah ada perbedaan emisi CO 2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4)? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (ph tanah, potensial redoks, C- organik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer. 2. Mengevaluasi besaran emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. 3. Membandingkan metode pengukuran emisi CO 2 menggunakan Gas Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4). Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan data dasar yang bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan mengenai emisi GRK di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta harapannya dapat membantu pemerintah Indonesia dalam menyediakan data untuk merumuskan rencana aksi nasional penurunan emisi GRK di tingkat Provinsi Kalimantan Barat yang berbasis lahan.

21 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Gambut Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut (Sabiham 2006). Dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols. Berdasarkan Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), Histosols adalah tanah yang memiliki lapisan organik berserat setebal 60 cm, dan bobot isi lebih kecil dari 0.1 g cm -3, pada lapisan organik pelapukan awal (fibrik). Pada lapisan organik yang telah mengalami pelapukan tingkat pertengahan sampai lanjut (hemik-saprik), mempunyai ciri ketebalan lapisan organik minimum 40 cm, bobot isi lebih dari 0.1 g cm -3. Dengan kandungan C- organik lebih atau sama dengan 20% (berdasarkan berat) jika tidak pernah mengalami jenuh air lama (<1 bulan), sedangkan jika mengalami jenuh air lama (>1 bulan) maka bahan tanah tersebut harus mengandung C-organik (tidak termasuk akar hidup) berdasarkan berat: a. 18% jika kadar liat lebih atau sama dengan 60%. b. 12% jika kadar liat 0%. c. (0.1 x persen liat + 12) jika kadar liat kurang dari 60%. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan Dinitrogen Oksida Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Jenis GRK yang keberadaanya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah CO 2, CH 4, N 2 O, HFCs, PFCs, SF 6 dan tambahan gas-gas yaitu NF 3, SF 5, CF 3, C 4 F 9 OC 2 H 5, CHF 2 OCF 2 OC 2 F 4 OCHF 2, CHF 2 OCF 2 OCHF 2 dan senyawa senyawa halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal, yaitu CF 3 I, CH 2 Br 2, CHCl 3, CH 3 Cl, CH 2 Cl 2. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO 2, CH 4, dan N 2 O (IPCC 2006a). Gas CO 2, CH 4 dan N 2 O di atmosfer memiliki sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO 2, CH 4 dan N 2 O disajikan pada Tabel 1.

22 6 Tabel 1 Konsentrasi gas rumah kaca utama a Tahun CO 2 CH 4 N 2 O 1750 (pra industri) 278 ppm 722 ppb 270 ppb ppm 1774 ppb 319 ppb ppm 1803 ppb 324 ppb Potensi pemanasan global (CO 2 eq) a Sumber: IPCC (2013b) Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1750-an ketika revolusi industri baru dimulai, emisi CO 2 di atmosfer baru 278 ( ) ppm, pada tahun 2011 telah mencapai ( ) ppm. Emisi CH 4 secara global telah meningkat dari 722 ppb pada tahun 1750 menjadi 1803 ppb pada tahun Emisi N 2 O meningkat dari 270 ppb pada tahun 1750 menjadi ppb pada tahun 2011, terjadi peningkatan emisi N 2 O sebesar 5 ppb sejak tahun Metana di atmosfer bumi mempunyai potensi pemanasan global 34 kali lebih besar daripada CO 2 dalam periode 100 tahun. Sedangkan N 2 O termasuk gas yang berbahaya karena memiliki 298 kali pengaruh yang lebih kuat per satuan berat daripada CO 2 dalam rentang waktu 100 tahun. Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon terbesar pada gambut tropis yaitu 57.4 Gt atau setara 65% dari total karbon gambut tropis (Page et al. 2011). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran lahan gambut dan (2) oksidasi lahan gambut akibat turunnya muka air tanah gambut yang disebabkan pembuatan saluran drainase (Hooijer et al. 2006), selain karena faktor pembuatan saluran oksidasi gambut tergantung juga pada faktor lama musim kemarau-hujan, kuantitas dan kualitas bahan organik gambut, temperatur dan kelembaban tanah (Hirano et al. 2007). Hasil penelitian Agus et al. (2010) yang mengukur emisi CO 2 di lahan gambut untuk penggunaan kelapa sawit menyatakan bahwa emisi CO 2 di non rizosfer (dekomposisi) adalah sekitar 62% dari emisi CO 2 yang berada di rizosfer (sekitar perakaran). Respirasi akar tidak berkontribusi dalam emisi CO 2 yang seimbang dengan serapan CO 2 selama proses fotosintesis. Data non rizosfer lebih dapat digunakan untuk menggambarkan dekomposisi gambut dalam penelitian gas rumah kaca (Agus et al. 2010). Metana merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Metana terbentuk dari senyawa karbon organik atau gas karbon pada kondisi anaerob oleh bakteri metanogen (lapisan gambut anaerob). Pada lapisan atas (aerob) bakteri metanotropik mengoksidasi bagian dari CH 4, menyebar ke atas sebagai CO 2 (Schrier-Uijl et al. 2013). Tanah gambut merupakan salah satu sumber potensial emisi CH 4 karena mengandung jumlah karbon tanah yang sangat besar (Murdiyarso et al. 2004).

23 Diyakini bahwa emisi CH 4 dari lahan gambut tropis hanya memberikan kontribusi kecil untuk emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan emisi CO 2, tetapi karena metana mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO 2 (IPCC 2013b), dengan demikian maka CH 4 dapat memainkan peranan dalam keseimbangan karbon. Emisi CH 4 tergantung dari lapisan air tanah, seperti hasil penelitian Roulet et al. (1995) menyatakan bahawa emisi CH 4 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah, hal ini diperkuat lagi dari hasil penelitian Couwenberg et al. (2009), emisi CH 4 terjadi apabila permukaan air tanah lebih dangkal dari 20 cm, dan sebaliknya hampir tidak ada emisi apabila permukaan air tanah lebih dalam dari 20 cm. Melling et al. (2005) melaporkan emisi CH 4 pada ekosistem hutan gambut berkisar dari sampai 8.40 μg C m -2 jam -1, pada ekosistem kelapa sawit berkisar dari sampai 4.17 μg C m -2 jam -1, dan pada ekosistem sagu berkisar dari sampai μg C m -2 jam -1. Dengan pendekatan analisis regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH 4 pada masing-masing ekosistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan sumber CH 4 dengan emisi mg C m -2 jam -1 untuk hutan dan 180 mg C m -2 jam -1 untuk sagu, sedangkan ekosistem kelapa sawit merupakan penyimpan CH 4 sebesar mg C m -2 jam -1. Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH 4 dengan batas kritis 90.55%. Emisi CH 4 tertinggi sebesar 9.23 μg C m -2 jam -1 terjadi pada kelembaban udara 90.55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH 4 akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi CH 4, sehingga CH 4 semakin besar. Emisi dinitrogen oksida (N 2 O) merupakan produk sampingan dari nitrifikasi dan denitrifikasi di lahan pertanian maupun ekosistem alami. Dinitrogen oksida (N 2 O) diproduksi secara alami dalam tanah melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat pada kondisi aerobik, dan denitrifikasi yaitu pengurangan mikroba nitrat menjadi gas nitrogen pada kondisi anaerobik. Salah satu faktor pengendali utama dalam reaksi ini adalah ketersediaan nitrogen dalam tanah. Emisi N 2 O disebabkan oleh penambahan unsur N pada tanah berupa pupuk anorganik maupun organik yang semuanya mengandung bentuk nitrogen (IPCC 2006b). Penggunaan pupuk nitrogen, merupakan faktor yang menentukan sebagian besar emisi N 2 O, yang tergantung pada penggunaan lahan seperti hasil penelitian Takakai et al. (2006) menyatakan bahwa lahan pertanian yang diberi pupuk sebanyak kg N ha -1 tahun -1, menghasilkan emisi N 2 O sekitar kg N ha -1 tahun -1, nilai emisi N 2 O yang sangat besar signifikannya terhadap lahan hutan alami kg N ha -1 tahun -1, hutan baru kg N ha -1 tahun -1 dan hutan terbakar kg N ha -1 tahun -1. Emisi N 2 O dapat dikurangi dengan mengurangi penggunaan pupuk nitrogen dengan menerapkan pemupukan yang efisien. 7

24 8 Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk menurunkan muka air tanah agar pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit baik. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi sumber CO 2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi sumber CH 4 yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO 2 (Hendriks et al. 2007). Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO 2 dari tanah meningkat 1.5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO 2 dari gambut sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas maksimum dari emisi CO 2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK sekitar 1 t CO 2 ha -1 tahun -1. Manajemen di perkebunan kelapa sawit lahan gambut menghasilkan emisi CO 2 sekitar ton ha -1 tahun -1 (Couwenberg dan Hooijer 2013). Emisi CO 2 dari setiap 10 cm kedalaman drainase menghasilkan 9 ton ha -1 tahun -1 (Couwenberg et al. 2010). Kedalaman muka air tanah perkebunan kelapa sawit sekitar cm (Mutert et al. 1999). Berbeda halnya dengan emisi CH 4 karena dengan menurunnya kedalaman muka air tanah untuk perkebunan kelapa sawit berarti terjadi penurunan emisi CH 4 karena hasil penelitian Furukawa et al. (2005) menyatakan bahwa dengan menurunnya kedalaman muka air tanah cm menyebabkan emisi CH 4 mengalami penurunan sebesar 25%. Menurut Mutert et al. (1999) di perkebunan kelapa sawit, aplikasi pupuk nitrogen di lahan gambut sebesar 0.6 kg N pohon -1 tahun -1 akan mempengaruhi besaran emisi N 2 O, seperti hasil penelitian Melling et al. (2007) adalah sebesar 1.2 kg N 2 O ha -1 tahun -1. Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim Salah satu fungsi negara hukum adalah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Attamimi (1993) wawasan negara yang berdasarkan atas hukum menempatkan perundang-undangan dalam kedudukan yang sentral. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dkuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, di mana Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

25 Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan UUPPLH. UUPPLH juga merupakan payung pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang sektoral bidang lingkungan yang diantaranya kehutanan, perkebunan, ekosistem gambut dan lain-lain, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, pertama UU tersebut tersebut harus taat pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH. Salah satu undang-undang sektoral bidang lingkungan mengenai lahan gambut adalah Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ini mengatur mengenai perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta sanksi administratif. Perencanaan meliputi inventarisasi Ekosistem Gambut, penetapan Ekosistem Gambut, serta penyusunan dan penetapan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pemanfaatan Gambut ditentukan berdasarkan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pengendalian kerusakan Ekosistem Gambut dilakukan dengan penetapan kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dan penerapan instrumen izin lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan Ekosistem Gambut yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan, upaya pemantauan lingkungan. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disertai dengan pemeliharaan Gambut, penerapan sanksi administratif, dan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Peraturan Pemerintah ini dan izin lingkungan. Perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat karena adanya Stockholm Declaration ini, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama (Hardjasoemantri 1999). Berbagai forum internasional terus digelar untuk membahas tindakan nyata mengatasi perubahan iklim yang antara lain diselenggarakan di Copenhagen, Denmark, tanggal 7-12 Desember Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih) (IPCC 2001). Momentum keterlibatan aktif Indonesia didunia internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development (Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim) yang menandakan telah dimulainya komitmen bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas oleh lembaga pemerintah, namun juga berbagai sektor-sektor 9

26 10 swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties/COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu sistem iklim bumi. Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang, Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0.02 C dan 0.28 C pada tahun Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan lingkungan dan perubahan iklim. 1. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC 2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota 4. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau Lahan 5. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut 6. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim 7. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 8. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional 9. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan ReDD+ 10. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (ReDD+) 11. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 12. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan 13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 53 Tahun 2003 tentang Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan Iklim

27 14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih 15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 03 Tahun 2006 tentang Program Menuju Indonesia Hijau 16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim 17. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14 Tahun 2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestrasi Dalam Rangka Mekanisme Pembangunan Bersih 18. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan 19. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung 20. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (ReDD) 21. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan 22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun Kementerian Pekerjaan Umum 11

28 12 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di perkebunan kelapa sawit milik perseorangan di Desa Rasau Jaya Umum, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, pada koordinat LS BT. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Peta lokasi penelitian Penelitian dilakukan dari bulan dari bulan Juni 2014 sampai bulan Mei Pengambilan sampel gas dengan metode Gas Kromatografi dilakukan dari bulan Juni sampai bulan September Pengukuran emisi CO 2 dengan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei Penetapan Titik Pengamatan Penentuan titik pengamatan di lokasi penelitian dilakukan dengan penentuan transek terlebih dahulu. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon keempat, dan titik ketiga pada pohon keenam yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Jarak Titik pengamatan pertama dengan saluran drainase sekunder yaitu sekitar 500 m, jarak titik pengamatan pertama dengan saluran

29 drainase tersier sekitar 100 m dan jarak titik pengamatan pertama dengan saluran cacing sekitar 12 m (Lampiran 1). Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rizosfer (respirasi akar kelapa sawit dan dekomposisi gambut) dan non rizosfer (dekomposisi gambut). Transek yang dibuat pada penelitian ini terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer) dan b) transek ke-2; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rizosfer dan non rizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Hasil penelitian Fauzi et al. (2006) mengatakan bahwa respirasi akar terjadi pada akar tersier dan kuarter yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus akar yang jarak penyebaran akar tersebut tergantung pada umur kelapa sawit. Sungkup untuk mengukur emisi rizosfer ditempatkan di atas piringan perakaran, dengan jarak 100 cm dari batang tanaman. Metode yang serupa telah dilakukan oleh Agus et al. (2010) yang memasang sungkup berada 1 meter dari batang tanaman untuk tanaman sawit yang berusia 5 tahun. Lebih lanjut dijelaskan oleh Marwanto et al. (2013), bahwa emisi CO 2 terbesar adalah pada jarak 1 meter dari batang kelapa sawit, di mana pada jarak tersebut kerapatan akar tersier dan kuarter sangat tinggi, oleh karena itu jarak 1 meter merupakan jarak yang ideal untuk pengamatan emisi CO 2 rizosfer. Sungkup untuk mengukur emisi non rizosfer ditempatkan di atas gambut yang telah dibersihkan dari akar-akar hidup tanaman. Sebelum sungkup dipasang, dilakukan pemotongan akar dan kemudian dipasang lapisan pembatas berupa terpal sedalam satu meter, dan lebar 0.5 meter. Tujuan pemasangan terpal supaya tidak terjadi penetrasi akar. Pemasangan terpal dilakukan 1 minggu sebelum pengukuran CO 2. Jarak sungkup untuk pengukuran emisi non rizosfer sejauh 4.5 meter dari batang tanaman Hasil penelitian Marwanto et al. (2013) menunjukkan bahwa pada jarak 4.5 meter kerapatan akar tanaman kelapa sawit sangat jarang, dan tidak berpengaruh nyata karena kecilnya emisi autotrof pada radius 4.5 meter dari batang tanaman kelapa sawit. Penetapan titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar Gambar 3 Denah titik pengamatan (Rizosfer) (Non Rizosfer)

30 14 Sifat Fisik dan Kimia Gambut Penetapan Sampel Pada setiap titik pengamatan di rizosfer dan non rizosfer, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut pada kedalaman 5-15, dan cm untuk pengamatan sifat fisik gambut. Pengambilan sampel tanah untuk analisa sifat kimia gambut secara komposit pada kedalaman 0-30 cm dari setiap titik pengamatan. Analisis sifat fisik kimia gambut dilakukan pada Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Beberapa sifat fisik dan kimia gambut yang dianalisis dan metode analisis yang digunakan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati No Variabel Pengamatan Metode 1. Kadar air Gravimetri 2. Bobot Isi Gravimetri 3. Bahan organik Loss On Ignition (550 0 C, 5 jam) Heiri et al. (2001) 4. Kadar Abu Loss On Ignition (550 0 C, 5 jam) Heiri et al. (2001) 5. ph tanah (ph H 2 O dan CaCl 2 ) ph meter 6. Potensial redoks (Eh) ph ORP 7. C-organik CN Analyzer (LECO) 8. N total CN Analyzer (LECO) 9. N tersedia Destilasi (NO 3 -, NH 4 + ) 10. P tersedia Bray-I 11. Kapasitas tukar kation (KTK) Ekstraksi NH 4 OAc ph Kejenuhan Basa (KB) Ekstraksi NH 4 OAc ph 7 Emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O Pengukuran sampel emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O menggunakan teknik sungkup tertutup (closed chamber) yang di adopsi dari IAEA (1993). Analisis sampel gas menggunakan dua metode yang berbeda yaitu dengan analisis Gas Kromatografi dan analisis gas infra merah EGM-4 (Environmental Gas Monitor). Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat Gas Kromatografi Shimadzu GC-14A. Gas kromatografi Shimadzu GC-14A series yang digunakan untuk pengukuran emisi CO 2 dengan menggunakan Thermal Conductivity Detector (TCD), selain itu juga dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) untuk analisa CH 4 dan

31 Electron Capture Detector (ECD) untuk analisis gas N 2 O. Sampel gas dengan metode Gas Kromatografi diambil pada sungkup berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm dengan sebuah tutup sungkup yang telah dilengkapi dengan septum untuk tempat jarum syringe. Pengambilan sampel gas dilakukan 1 minggu setelah pemasangan sungkup (aklimatisasi sungkup). Sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 40 ml dan dimasukan ke dalam botol kaca yang telah divakum, dengan interval waktu pengambilan sampel gas 0, 10, 20, 30 dan 40 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan secara bergantian pada pukul WIB. Sampel gas yang diambil dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O dikerjakan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) yang berlokasi di Jakenan-Pati Jawa Tengah. Khusus emisi CO 2 selain dianalisis di laboratorium menggunakan Gas Kromatografi, juga di analisis secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat EGM-4 (Environmental Gas Monitor) yang bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran Gas Kromatografi dengan EGM-4. EGM-4 adalah infrared gas analyzer (IRGA) yang banyak tersedia. Alat ini terdiri atas sungkup atau soil respiration chamber (SRC-1) yang tingginya 15 cm dan diameter 10 cm terbuat dari material PVC dan stainless steel, termometer atau soil temperature probe (STP-1), dan IRGA. EGM-4 mudah dioperasikan karena ringan (berat 1.9 kg), dan menggunakan baterai kering dengan kapasitas 12V 2.0 Ah yang tahan sampai 4-5 jam dengan pemakaian terus menerus. Sungkup dilengkapi dengan kipas dengan kapasitas 12V DC untuk menghilangkan gas-gas yang terakumulasi dalam sungkup (PP System 2009). Hal pertama yang dilakukan adalah pemanasan dan penyetelan IRGA serta mengosongkan gas-gas yang tersisa dalam sungkup (auto zero). Permukaan tanah di mana sungkup diletakkan dikipas untuk mengurangi konsentrasi gas CO 2. Kemudian, sungkup diletakan di atas permukaan tanah gambut sedalam 1-2 cm sampai tidak ada rongga udara yang akan menyebabkan gas keluar dari sungkup. Untuk mendapatkan nilai fluks yang linear, besaran emisi CO 2 pada awal pengukuran diusahkan kurang dari 500 ppm. Apabila konsentrasi awal lebih dari 500 ppm, pengukuran diulang kembali, dan artinya pengipasan permukaan tanah belum baik karena konsentrasi gas masih tinggi, dan perlu dilakukan pengipasan lebih merata. Selama pengukuran, konsentrasi CO 2 akan meningkat, dan apabila terjadi penurunan konsentrasi CO 2, berarti terjadi kebocoran. Akibatnya, pengukuran harus diulangi. Pengukuran dilakukan selama 124 detik per titik pengamatan, dan setiap 4 detik data konsentrasi direkam dan disimpan dalam EGM-4. Data-data tersebut kemudian diunduh, dan dihitung fluksnya. Perhitungan Emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O Perhitungan emisi CO 2, CH 4, dan N 2 O menurut Sano et al. (2010), dengan rumus: 15

32 16 Keterangan : F V A 22.4 = = = = dc/dt = T = Fluks CO2, CH4, atau N2O (µmol m-2 s-1) Volume sungkup/chamber (m3) Luas dasar sungkup/chamber (m2) Volume molar gas pada kondisi stp (standard temperature and Pressure) yaitu 22.4 liter mol-1 atau m3 mol-1 pada 0ᵒC (273 k) dan tekanan 1 atm Perubahan emisi CO2, CH4-C atau N2O antar waktu (ppm s-1) Rata-rata suhu dalam sungkup (ᵒ C) Hasil perhitungan fluks dikonversi dalam satuan jam dan kemudian dikalikan dengan berat molekul untuk masing-masing senyawa gas (IAEA 1993). Data emisi yang telah didapat dalam satuan gram per meter persegi per jam dikonversi untuk memperkirakan emisi tahunan (365 hari). Emisi CO2 rizosfer merupakan hasil dari respirasi akar dan dekomposisi, sedangkan pada daearah non rizosfer merupakan hasil dari proses dekomposisi. Emisi CO2 rizosfer dikurangkan dengan emisi CO2 non rizosfer menghasilkan emisi CO2 yang berasal dari respirasi akar (autotrof), asumsi ini beranggapan bahwa emisi dari proses dekomposisi di rizosfer sama dengan pada non rizosfer. Pengukuran Parameter Pendukung Parameter lain yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah kematangan gambut, ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, curah hujan dan suhu. Identifikasi kematangan gambut di lapangan berdasarkan metode Von Post yaitu berupa data kualitatif (Andriese 1988). Pengukuran ketebalan gambut menggunakan eijkelkamp peat sampler. Kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara memasang peizometer terbuat dari PVC dengan panjang 2 meter. Peizometer dimasukkan ke dalam tanah yang telah dibor terlebih dahulu sampai kedalaman 1.7 meter dan sisanya 30 cm di atas permukaan tanah. Peizometer dipasang sebanyak 5 titik pada 1 transek saja, dengan posisi tegak lurus terhadap saluran drainase sekunder. Suhu yang diukur meliputi suhu udara, suhu tanah dan suhu di dalam sungkup menggunakan termometer digital. Suhu udara yang diukur adalah suhu udara pada ketinggian 1.5 meter di atas sungkup dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Suhu tanah diketahui dengan cara memasukkan termometer ke dalam tanah pada kedalaman 5-10 cm, sedangkan suhu di dalam sungkup dilakukan di dalam sungkup sebelum pemasangan tutup sungkup dan setelah pengambilan gas dilakukan. Pembacaan suhu dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan interval waktu 1 menit. Seluruh pengukuran suhu tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran emisi CO2, CH4, dan N2O. Pengukuran ketebalan gambut dan penetapan kematangan gambut dilakukan satu kali, sedangkan pengukuran kedalaman muka air tanah dan suhu dilakukan selama pengambilan sampel gas.

33 17 Analisis Data Perbandingan emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di rizosfer dan non rizosfer menggunakan analisis perbandingan rata-rata dengan uji t. Hubungan antara emisi CO 2 dengan kedalaman muka air tanah dan suhu diuji dengan korelasi Pearson dan regresi linier sederhana. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan besaran emisi CO 2 tiap kelompok kedalaman muka air tanah menggunakan analisis varian, jika taraf signifikannya < 0.05 maka dilanjutkan dengan uji BNJ (Tukey). Semua data yang diuji t, analisis varian, korelasi Pearson dan regresi linier sebelumnya dilakukan uji normalitas menggunakan metode deskriptif boxplot, uji Kolomogorof-Smirnov, dan Shapiro-Wilk agar memenuhi syarat statistik inferensia. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 16.0 (Hartono 2008).

34 18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 2008-an sehingga umur kelapa sawit di lokasi penelitian sekitar 6 sampai 7 tahun. Pada perkebunan kelapa sawit terdapat saluran drainase yang mengelilingi blok. Saluran drainase sekunder mempunyai lebar 12 meter, lebar saluran tersier 4 meter dan saluran cacing 50 cm. Jarak antar saluran tersier 200 meter dan jarak antar saluran cacing 50 meter. Lokasi penelitian memiliki pola curah hujan ekuatorial (Aldrian dan Susanto 2003). Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat ekuator. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan ekuatorial. Lokasi penelitian memiliki dua periode curah hujan yang rendah. Periode curah hujan yang rendah pertama terjadi pada bulan Pebruari dan dapat berlangsung hingga Maret. Periode kedua berlangsung lebih lama, biasanya dimulai dari bulan Juni sampai September. Curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Agustus. Menurut data curah hujan dari tahun , curah hujan bulanan berkisar mm (Gambar 4). Curah hujan tahunan antara sampai mm. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai bulan Mei 2015, untuk suhu tanah di lokasi penelitian berkisar antara 25 sampai 29 C, suhu permukaan tanah C dan suhu udara berkisar antara C (Gambar 5, 6 dan 7). Suhu tanah yang nilai kisaran yang lebih rendah daripada suhu permukaan tanah dan suhu udara. Suhu tanah yang lebih rendah disebabkan oleh keadaan tanah yang lembih lembab dan pengukuran yang dilakukan pada pagi hingga siang hari. Menurut Lakitan (1992), suhu tanah akan dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari oleh permukaan bumi. Pada siang hari suhu permukaan tanah akan lebih tinggi dibandingkan suhu pada lapisan tanah yang lebih dalam. Hal ini juga disebabkan karena permukaan tanah yang akan menyerap radiasi matahari secara langsung pada siang hari tersebut, baru kemudian panas dirambatkan ke lapisan tanah yang lebih dalam secara konduksi. Suhu tanah sangat dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor dengan sumber panas, yaitu sinar matahari dan langit, serta konduksi interior tanah. Faktor eksternal yang menyebabkan perubahan suhu tanah diantaranya adalah radiasi solar (jumlah panas yang mencapai permukaan bumi), radiasi dari atmosfer, kondensasi, evaporasi, curah hujan, tanaman penutup tanah, mulsa, dan kondisi awan. Sedangkan faktor internal meliputi kapasitas panas tanah, konduktivitas dan difusivitas termal, aktivitas biologis, struktur tanah, tekstur dan kelembaban tanah serta garam-garam terlarut (Hanafiah 2004). Suhu udara dipermukaan bumi memiliki nilai yang relatif, tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti lamanya penyinaran matahari. Hal itu dapat berdampak langsung akan adanya perubahan suhu di udara. Suhu udara bervariasi menurut tempat dan dari waktu ke waktu di permukaan bumi. Menurut tempat suhu udara bervariasi secara vertikal dan horizontal dan menurut waktu dari jam ke jam dalam sehari, dan menurut bulanan dalam setahun (Wisnubroto 1982).

35 19 Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun (BMKG Supadio Pontianak 2016) Gambar 5 Profil suhu tanah

36 20 Gambar 6 Profil suhu permukaan tanah Gambar 7 Profil suhu udara Hasil wawancara dengan petani, pemupukan di perkebunan kelapa sawit dilakukan setiap 2 kali dalam setahun. Pupuk yang digunakana adalah Urea, SP36 dan KCl. Pengapuran dilakukan pada saat awal penanaman dengan menggunakan dolomit dan juga pemberian pupuk kandang. Bahan organik di lokasi penelitian memiliki tebal antara 50 sampai 90 cm (Lampiran 2). Menurut Wahyunto et al. (2004) ketebalan bahan organik cm dikategorikan sebagai gambut

37 dangkal. Kematangan gambut di lokasi penelitian beragam secara vertikal yaitu saprik dan hemik, tetapi secara horizontal gambut bagian permukaan memiliki kematangan saprik. Kedalaman muka air yang diamati dari bulan Juni 2014 hingga Mei 2015 berkisar cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman muka air tanah yang paling dalam terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8 dan Lampiran 3). 21 Gambar 8 Profil kedalaman muka air tanah Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut Secara statistik deskriptif bobot isi di rizosfer relatif sama dengan non rizosfer, sedangkan kadar air dan bahan organik di rizosfer relatif besar dibandingkan non rizosfer, tetapi kadar abu di rizosfer lebih kecil. Pada Tabel 3 menunjukkan secara statistik deskriptif berbeda, tetapi secara statistik inferensia sifat fisik tanah gambut di rizosfer dan non rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05). Tabel 3 Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Perlakuan Kadar Air Bobot Isi Bahan Organik Kadar Abu (%) (g cm -3 ) (%) (%) Ratarata SD Ratarata SD Ratarata SD Ratarata SD R a a a a NR a a a a a Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5% Pola kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar abu dari kedalaman cm dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Semakin dalam lapisan pengamatan menunjukkan kadar air relatif meningkat, karena mendekati lapisan anaerob, di

38 22 mana kisaran kedalaman muka air pada saat pengamatan sifat fisik dan kimia sekitar cm. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan (Syaufina et al. 2004) yang menyatakan bahwa semakin dalam lapisan tanah, kadar air semakin tinggi. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor semakin meningkatnya kadar abu atau mineral dengan semakin dalamnya tanah gambut di lokasi penelitian yang mendekati lapisan mineral (substratum) sehingga bahan organik pun menjadi berkurang, dengan ketebalan gambut berkisar cm. Bobot isi memiliki hubungan positif yang sangat nyata terhadap kadar abu dengan koefisien determinan (R 2 ) sebesar (Gambar 11). (a) (b) Gambar 9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah

39 23 (a) (b) Gambar 10 Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman tanah

40 24 Gambar 11 Regresi bobot isi terhadap kadar abu Secara deskriptif sebagian besar sifat kimia di rizosfer memiliki konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan non rizosfer (Tabel 4), tetapi secara statistik inferensia tidak berbeda nyata (p > 0.05). Tabel 4 Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR) Variabel Rizosfer Non Rizosfer Rata-rata a SD Rata-rata a SD ph H 2 O 3.99 a a 0.22 ph CaCl a a 0.14 Eh (mv) a a C (%) 30.52a a 4.73 N (%) 1.07a a 0.06 C/N (%) 28.14a a 3.65 NO - 3 (ppm) a a NH + 4 (ppm) 78.39a a P Bray I (ppm) 31.56a a KTK (me 100 g -1 ) 95.84a a KB (%) 14.40a a 2.65 a Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5% Pada lahan basah, nilai Eh dapat berkisar dari +750 mv sampai -200 mv (Niedermeier dan Robinson 2007). Nilai Eh di lokasi penelitian berkisar antara sampai mv. Nilai Eh > +300 mv menunjukan lahan dalam kondisi oksidatif (Reddy dan DeLaune 2008). Nilai KB hasil penelitian ini > 10%, berbeda dengan kebanyakan nilai KB pada lahan gambut pada umumnya kurang dari 10% (Tan 1991). Nilai C/N di lokasi penelitian lebih rendah dibandingkan

41 hasil penelitian Anshari et al. (2010) pada lapisan aerobik (acrotelm) dari tutupan lahan hutan, sawit, HTI dan pertanian di Kalimantan Barat yaitu sebesar 30. Tanah gambut di lokasi penelitian telah mengalami mineralisasi yang intensif, dan ditandai dengan penurunan fraksi bahan organik atau peningkatan kadar abu, dengan bahan organik > 55% atau kadar abu sebesar > 45% (Tabel 3). Menurut Andriesse (1988), fraksi bahan organik pada gambut tropis lebih dari 65%, namun fraksi bahan organik pada gambut lokasi penelitian lebih rendah dari 65%. Hal ini tidak menyebabkan perubahan ordo Histosols menjadi tanah mineral bergambut karena kadar elemen C lebih tinggi dari 18% (Tabel 4) karena menurut Soil Survey Staff (1999, 2010, 2014), kadar elemen C minimum pada Ordo Histosols sebesar 12% apabila banyak mengandung liat atau telah terjadi mineralisasi yang intensif. Hardjowigeno (2010) juga menyampaikan bahwa tanah gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik > 20% (untuk tanah pasir) atau > 30% (untuk tanah liat) dengan tebal > 40 cm. Berdasarkan hasil ini menunjukan bahwa semua sifat fisik dan kimia yang diamati pada rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap sifat fisik dan kimia pada non rizosfer, jadi sifat fisik dan kimia tanah tidak menyebababkan perbedaan besaran emisi CO 2 antara rizosfer dan non rizosfer. Metode Gas Kromatografi Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer Emisi CO 2 pada rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, di mana rizosfer rata-rata sebesar 0.12 g m -2 jam -1 sedangkan pada non rizosfer sebesar 0.16 g m -2 jam -1, tetapi tidak berbeda nyata (Tabel 5 dan Lampiran 4). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang memperoleh emisi CO 2 pada rizosfer lebih besar dibandingkan non rizosfer (Agus et al. 2010; Dariah et al. 2014). Emisi dari rizosfer merupakan akumulasi dari proses respirasi akar dan dekomposisi sedangkan non rizosfer hanya dari dekomposisi. Emisi CH 4 bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, dengan rata-rata pada rizosfer sebesar g m -2 jam -1, sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar g m -2 jam -1. Berdasarkan analisis uji t menunjukkan bahwa emisi CH 4 pada bagian rizosfer tidak berbeda nyata (p > 0.05) terhadap non rizosfer (Tabel 5 dan Lampiran 5). Emisi CH 4 jauh lebih kecil dibandingkan emisi CO 2 meskipun dikalikan nilai potensi pemansan global CH 4 sebesar 34 kali CO 2, hal ini disebabkan karena emisi CH 4 dapat terjadi secara optimal dalam kondisi anaerob sedangkan tanah gambut lokasi penelitian memiliki redoks > 400 mv yang berarti tanah gambut dalam kondisi aerob. Emisi N 2 O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar g m -2 jam -1, sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar g m -2 jam -1. Hasil ini menunjukkan bahwa emisi N 2 O pada bagian rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05) (Tabel 5 dan Lampiran 6). Emisi N 2 O sangat kecil dibandingkan emisi CO 2 dan CH 4 meskipun dikalikan nilai potensi pemanasan global N 2 O, karena emisi N 2 O umumnya terjadi pada lahan gambut yang telah dipupuk nitrogen secara intensif. 25

42 26 Tabel 5 Hasil perhitungan emisi CO 2, CH 4 dan N 2 O di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi Waktu Pengukuran CO 2 CH 4 N 2 O (g m -2 jam -1 ) (g m -2 jam -1 ) (g m -2 jam -1 ) Rizosfer 3 Jun 2014 (n = 6) Jul 2014 (n = 6) Agu 2014 (n = 6) Sep 2014 (n = 6) Maks Min Rata-rata a a a SD Non Rizosfer 3 Jun 2014 (n = 6) Jul 2014 (n = 6) Agu 2014 (n = 6) Sep 2014 (n = 6) Maks Min Rata-rata a a a SD a Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5% Emisi CH 4 selama setahun di rizosfer sebesar ton m -2 tahun -1, sedangkan pada non rizosfer rata-rata sebesar ton m -2 tahun -1, hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) di hutan gambut Kalimantan Tengah dengan emisi CH 4 sebesar ton m -2 tahun -1. Emisi N 2 O pada bagian rizosfer rata-rata sebesar ton ha -1 tahun -1, sedangkan di non rizosfer rata-rata sebesar ton ha -1 tahun -1. Hasil ini lebih kecil dari hasil penelitian Jauhiainen et al. (2012) mengenai besarnya emisi N 2 O di lahan gambut Kalimantan Tengah sangat bervariasi di berbagai tipe penggunaan lahan. Di hutan berdrainase mg m -2 jam -1 ( ton m -2 tahun - 1 ) > pertanian lahan gambut mg m -2 jam -1 ( ton m -2 tahun -1 )> lahan gambut terbakar berdrainase mg m -2 jam -1 ( ton m -2 tahun -1 )> hutan tak berdrainase mg m -2 jam -1 ( ton m -2 tahun -1 ) (Jauhiainen et al. 2012). Metode EGM-4 Emisi CO 2 di sekitar rizosfer rata-rata sebesar 0.93 g m -2 jam -1 dan emisi CO 2 di sekitar non rizosfer rata-rata sebesar 0.44 g m -2 jam -1, jadi emisi CO 2 yang berasal respirasi akar rata-rata sebesar 0.48±0.29 g m -2 jam -1, sedangkan dari proses dekomposisi gambut sebesar 0.44±0.15 g m -2 jam -1 (Tabel 6 dan Lampiran 7).

43 27 Tabel 6 Hasil perhitungan emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 CO 2 (g m -2 jam -1 ) Waktu Pengukuran Rizosfer a Non Respirasi Rizosfer a Akar Dekomposisi 27 Jan 2015 (n = 6) Peb 2015 (n = 6) Mar 2015 (n = 6) Apr 2015 (n = 6) Mei 2015 (n = 6) Maks Min Rata-rata 0.93a 0.44b SD a Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5% Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi CO 2 pada rizosfer lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan non rizosfer berdasarkan uji t. Hal ini karena emisi CO 2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan juga berasal dari mikrooganisme (Paterson 2003). Menurut Hanson (2000) total respirasi tanah sebagian besar dipengaruhi oleh perakaran tanaman, bervariasi dari 10% hingga 90%. Akar tanaman selain menyumbangkan CO 2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino (Kuzyakov et al. 2000; Subke et al. 2004; Hamer dan Marschner 2005; Bais et al. 2006) yang dapat meningkatkan aktivitas respirasi di rizosfer. Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikroorganisme di rizosfer menyebabkan respirasi mikroorganisme meningkat dan produksi CO 2 di rizosfer lebih besar daripada di non rizosfer. Emisi CO 2 di non rizosfer (heterotrof) sebesar 47% dibandingkan di rizosfer (autotrof dan heterotrof), hasil ini lebih kecil dibandingkan hasil penelitian sebelumnya seperti Agus et al. (2010) yang memperoleh hasil 62% dan hasil penelitian Dariah et al. (2014) sebesar 86%. Emisi dari respirasi akar (autotrof) berkontribusi sekitar 35-45% dari total emisi CO 2 pada lahan gambut boreal (Nykänen et al. 1995; Silvola et al. 1996). Penelitian Jauhiainen et al. (2012) menujukkan bahwa lahan gambut yang ditanami akasia memiliki rata-rata respirasi autotrof 21% dari total emisi CO 2. Kontribusi respirasi autotrof pada penelitian ini 53% dari total emisi CO 2 mempunyai emisi yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut, yang berkisar 46% (Melling et al. 2007b), 36% (Murdiyarso et al. 2010) dan 29% (Hergoualc'h dan Verchot 2011). Perbandingan Emisi CO 2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4 Emisi CO 2 di sekitar rizosfer dengan pengukuran secara Gas Kromatografi rata-rata sebesar 0.12 g m -2 jam -1 sedangkan dengan metode EGM-4 rata-rata sebesar 0.93 g m -2 jam -1 (Tabel 7), hasil ini menunjukkan bahwa emisi CO 2

44 28 menggunakan EGM-4 lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan dengan pengukuran secara Gas Kromatografi (Lampiran 8). Tabel 7 Perbandingan Emisi CO 2 metode Gas Kromatografi dengan metode EGM-4 Waktu Pengukuran Rizosfer a Non Rizosfer a (g m -2 jam -1 ) (g m -2 jam -1 ) Gas Kromatografi 3 Jun 2014 (n = 6) Jul 2014 (n = 6) Agu 2014 (n = 6) Sep 2014 (n = 6) Rata-rata a a EGM-4 27 Jan 2015 (n = 6) Peb 2015 (n = 6) Mar 2015 (n = 6) Apr 2015 (n = 6) Mei 2015 (n = 6) Rata-rata b b a Angka-angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5% Emisi CO 2 di sekitar non rizosfer berdasarkan metode Gas Kromatografi menunjukkan hasil rata-rata sebesar 0.16 g m -2 jam -1. sedangkan metode EGM-4 memiliki hasil rata-rata sebesar 0.44 g m -2 jam -1 (Tabel 7) yang lebih besar dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan metode Gas Kromatografi (Lampiran 9). Pengkuran metode Gas Kromatografi dilakukan lebih lama daripada metode EGM-4, yaitu selama 40 menit sehingga terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan difusi gas di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO 2 di dalam sungkup (Freijer dan Bouten 1991; Healy et al. 1996). Menurut Walezak et al. (2002), pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, bobot isi, porositas, dan distribusi pori tanah dan jumlah air tanah. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H 2 O) di dalam sungkup akibat dari peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi CO 2 di dalam sungkup. Secara teori pengukuran gas dengan metode sungkup tertutup, konsentrasi gas akan meningkat secara linear dengan waktu pengukuruan. Permasalahan pada metode ini adalah konsentrasi gas dalam sungkup tidak selalu meningkat secara linear dengan waktu. Hal ini terjadi pada metode pengukuran dengan menggunakan Gas Kromatografi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Hutchinson dan Mosier (1981) dan Hutchinson dan Livingston (1993). Proses yang mempengaruhi akumulasi gas dalam sungkup antara lain tingkat emisi, sifat tanah, dan ukuran sungkup (Healey et al. 1996). Ada dua faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan non-linear konsentrasi gas di dalam sungkup

45 dengan waktu. Pertama, adanya kebocoran gas yang keluar melalui bagian tepi sungkup. Besarnya efek ini dapat terjadi karena difusi gas di dalam tanah, ukuran sungkup (diameter, tinggi), porositas dan kedalaman sungkup yang dimasukkan di dalam tanah. Kedua, adanya perubahan suhu tanah dan tingkat produksi gas dalam tanah yang tidak konstan (Li et al. 2000). Kejadian ini karena pengukuran emisi yang lebih lama pada metode Gas Kromatografi yaitu selama 40 menit, sedangkan metode EGM-4 pengukuran dilakukan selama 2 menit. Lebih lanjut dijelaskan oleh Davidson et al. (2002), pengukuran gas yang lebih cepat akan meminimalkan efek non-linear konsentrasi gas di dalam sungkup. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, emisi CO 2 di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai kisaran emisi CO ton ha -1 - tahun -1 (Melling et al. 2005; Rieley et al. 2008; Reijnders dan Huijbregts 2008; Fargione et al. 2008; Germer dan Sauerborn 2008; Murdiyarso et a. 2010; Hooijer et al. 2012; Hergoualc'h dan Verchot 2011; Husnain et al. 2014; IPCC 2014; MoEF 2015) (Tabel 8). Tabel 8 Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari berbagai studi Referensi Melling et al. (2005) Rieley et al. (2008) Reijnders dan Huijbregts (2008) Fargione et al. (2008) Germer dan Sauerborn (2008) Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO 2 ha 1 th 1 ) Kelapa Sawit di Lahan Gambut 60.5±46 Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut komersil yang sudah berdiri sejak Pengolahan kelapa sawit pada lahan gambut tropis pada 25 tahun pertama 46±9.2 Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut 55±15 Lahan kelapa sawit pada lahan gambut yang telah didrainase selama 50 tahun 52±25 Konversi hutan menjadi tanaman kelapa sawit pada 25 tahun pertama Metode 29 Pengukuran fluks CO 2 dari tanah menuju atmosfer sebagai emisi dari repirasi tanah menggunakan closedchamber method Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut dan pembakaran Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari respirasi heterotrof Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari dekomposisi gambut, fiksasi biomassa, dan pembakaran

46 30 Referensi Murdiyarso et al. (2010) Hergoualc'h dan Verchot (2011) Hooijer et al. (2012) Husnain et al. (2014) Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO 2 ha 1 th 1 ) Kelapa Sawit di Lahan Gambut 59.4±10.2 Konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit, pada 25 tahun pertama setelah perubahan penggunaan lahan 62.7±13.2 Konversi hutan rawa gambut menjadi tanaman kelapa sawit 100±9 Pengolahan kelapa sawit dengan pengukuran yang dilakukan pada kelapa sawit dewasa 66±25 34±16 45±25 Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Riau dan Jambi IPCC (2014) 11 Dekomposisi gambut tropis yang didrainase MoEF (2015) 40 Dekomposisi gambut tropis yang didrainase Hasil Penelitian ini (2016) 11±2 14±6 Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Barat Metode Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari pembakaran, perubahan karbon stok biomassa, karbon tanah gambut, respirasi heterotrof dan respirasi autotrof Perhitungan dari beberapa studi literatur berdasarkan karbon yang masuk dan keluar dari karbon tanah gambut, dan perubahan stok biomassa, respirasi heterotrof dan respirasi autotrof Karbon yang hilang dihitung dari ketebalan gambut yang hilang dari proses oksidasi dan ketinggian muka air Pengukuran fluks CO 2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas inframerah (IRGA, LI-COR 820) Faktor emisi yang spesifik untuk keadaan negara tertentu. Faktor emisi dan data aktivitas yang dibangun berdasarkan penelitian di berbagai lokasi di Indonesia mempunyai tingkat ketelitian Tier 2 untuk Indonesia Berdasarkan data IPCC (2013) yang menyediakan angka acuan untuk beberapa kelas tutupan lahan yang dominan saja. Dalam REDD+ Indonesia menggunakan 23 kelas penutupan lahan. Untuk mengisi faktor emisi penutupan lahan lainnya maka digunakan beberapa asumsi Pengukuran fluks CO 2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas kromatografi

47 31 Referensi Hasil Penelitian ini (2016) Faktor Emisi Karbon Dioksida (t CO 2 ha 1 th 1 ) 39±14 81±21 Keterangan : Nilai (rata-rata±sd) Kelapa Sawit di Lahan Gambut Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Kalimantan Barat Metode Pengukuran fluks CO 2 menggunakan closed chamber dengan analisis gas inframerah (EGM-4) Berdasarkan metode Gas Kromatografi diperkirakan emisi CO 2 selama setahun di sekitar rizosfer sebesar 11±2 ton ha -1 tahun -1 dan di non rizosfer sebesar 14±6 ton ha -1 tahun -1, prakiraan emisi CO 2 dengan metode ini berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data rata-rata emisi CO 2 dengan metode EGM- 4 di rizosfer sebesar 81±21 ton ha -1 tahun -1, sedangkan di sekitar non rizosfer sebesar 39±14 ton ha -1 tahun -1. Hasil ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Agus et al. (2010), di mana pada rizosfer berkisar ton ha -1 tahun -1 sedangkan pada non rizosfer berkisar ton ha -1 tahun -1. Hasil penelitian Dariah et al. (2014) pada lahan gambut yang ditanam kelapa sawit usia 6 tahun menghasilkan emisi CO 2 sebesar 44.7±11.2 ton ha -1 tahun -1 di rizosfer lebih kecil dibandingkan hasil penelitian ini, sedangkan di non rizosfer sebesar 38.2±9.5 ton ha -1 tahun -1 relatif sama dengan penelitian ini. Penelitian Hooijer et al. (2006) di sekitar non rizosfer memperoleh emisi CO 2 sebesar 54 ton ha -1 tahun -1. Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO 2 Kedalaman Muka Air Tanah Data kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 dari bulan Januari sampai Mei 2015 dapat dilihat pada Tabel 9. Data kedalaman muka air tanah ini dihubungkan dengan emisi CO 2 metode EGM-4 yang diukur pada rizosfer dan non rizosfer. Tabel 9 Kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015 Kedalaman Air Tanah CO 2 (g m -2 jam -1 ) CO 2 (g m -2 jam -1 ) Bulan (cm) Rizosfer Non Rizosfer Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Januari Pebruari Maret April Mei Hubungan kedalaman air tanah gambut terhadap emisi CO 2 metode EGM- 4 memiliki hubungan positif yang nyata pada rizosfer, non rizosfer dan respirasi tanah total (Gambar 12). Pada rizosfer dengan r sebesar (R 2 = 0.37), pada non rizosfer sebesar (R 2 = 0.31). Hasil hubungan ini setelah meng-outlier data emisi CO 2 bulan Pebruari Titik 3 pada non rizosfer, di mana CO 2 tersebut

48 32 tidak normal atau ekstrim dibandingkan data CO 2 lainnya. Semakin dalam kedalaman air tanah maka nilai emisi CO 2 semakin besar tetapi dengan R 2 yang rendah. Hubungan yang nyata antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 telah dilaporkan oleh Hooijer et al. (2009 dan 2012), sama seperti hasil ini yang diamati pada sekitar rizosfer dan non rizosfer. Sejalan pula dengan temuan Hirano et al. (2014) bahwa terdapat hubungan yang nyata antara muka air tanah dengan emisi CO 2 tanah. Setiap penurunan kedalaman muka air tanah 0.1 meter akan meningkatkan emisi CO 2 sebesar 89 gc m -2 tahun -1 pada lahan gambut tropika di Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Menurunnya muka air tanah tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya emisi CO 2 seperti yang terlihat di rizosfer (Gambar 13), karena pada suatu waktu akan terjadi kondisi yang stagnan sehingga tidak lagi terjadi emisi CO 2 atau bahkan terjadi penurunan emisi CO 2 dengan menurunnya muka air tanah (semakin jauh dari permukaan gambut). Hal ini dapat disebabkan permukaan gambut mengering dan sulit menjadi basah atau bersifat kering tak balik (irreversible drying). Kondisi ini dikarenakan berkurangnya gugus fungsional karboksilat (COOH) dan/atau OH fenolat (Masganti et al. 2001; Sabiham 2000; Stevenson 1994). Selain itu, sifat kering tak balik pada gambut terjadi karena penyelimutan koloid-koloid gambut oleh senyawa hidrokarbon aromatik. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya daya tarik antara partikelpartikel koloid gambut dengan molekul-molekul air (Valat et al. 1991). Proses kehilangan air yang besar menyebabkan terjadinya perubahan struktur molekul koloid-koloid gambut, sehingga koloid-koloid saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih stabil. Perubahan ini bersifat tidak dapat balik dan menyebabkan gambut menjadi hidrofobik. Gugus-gugus fungsional COOH, C=O, C-OH, dan fenol-oh merupakan bahan aktif koloid organik yang berperan dalam menentukan sifat inheren gambut. Pengaturan muka air tanah sedangkal mungkin sesuai dengan kedalaman akar kelapa sawit menjadi salah satu cara untuk menurunkan emisi CO 2 tanpa menurunkan hasil tanaman. Gambar 12 Hubungan positif antara emisi CO 2 dengan muka air tanah

49 Data kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 dikelompokkan berdasarkan empat tingkat kedalaman muka air tanah, yaitu: 1. Kelompok -40 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -35 sampai -39 cm dan emisi CO 2 pada kedalaman tersebut. 2. Kelompok -35 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -30 sampai -34 cm dan emisi CO 2 pada kedalaman tersebut. 3. Kelompok -30 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -25 sampai -29 cm dan emisi CO 2 pada kedalaman tersebut. 4. Kelompok -25 cm: Merupakan data kedalaman air tanah -19 sampai -24 cm dan emisi CO 2 pada kedalaman tersebut. Emisi CO 2 sekitar rizosfer dan non rizosfer pada beberapa kedalaman muka air tanah gambut dapat dilihat pada Gambar Gambar 13 Nilai rata-rata emisi CO 2 menurut pengelompokan kedalaman muka air tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan tanah Pada Gambar 13 tampak bahwa emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer menunjukkan bahwa emisi CO 2 terendah pada kedalaman muka air tanah -25 cm di mana pada rizosfer memiliki emisi CO 2 yang berbeda nyata (p < 0.05) terhadap kelompok kedalaman muka air tanah gambut (Lampiran 10) tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05) pada sekitar non rizosfer (Lampiran 11). Emisi CO 2 di sekitar rizosfer berdasarkan uji lanjut BNJ terhadap kelompok kedalaman muka air tanah gambut -40 cm memiliki perbedaan yang nyata terhadap emisi CO 2 di kelompok kedalaman muka air tanah -35 dan -25 cm (Lampiran 12). Suhu Tanah, Suhu Permukaan Tanah dan Suhu Udara Hubungan suhu tanah, suhu permukaan tanah dan suhu udara dengan emisi CO 2 tidak memiliki hubungan yang nyata pada rizosfer maupun non rizosfer.

50 34 Hubungan suhu tanah dengan emisi CO 2 dengan nilai R 2 = 0.01 dan di non rizosfer nilai R 2 = 0.02 (Gambar 14). Hubungan suhu permukaan tanah terhadap emisi CO 2 rizosfer dengan R 2 = 0.11 dan pada non rizosfer dengan R 2 = 0.03 (Gambar 15). Hubungan suhu udara dengan emisi CO 2 pada rizosfer R 2 = 0.18 dan non rizosfer R 2 = 0.17 (Gambar 16). Gambar 14 Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO 2 Gambar 15 Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO 2

51 Gambar 16 Regresi suhu udara tanah gambut terhadap emisi CO 2 35

52 36 5 SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Sesuai dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Karakteristik fisik dan kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata antara rizosfer dengan non rizosfer, sehingga karakteristik lahan tidak mempengaruhi emisi CO 2 rizosfer dan non rizosfer. 2. Emisi CO 2, CH 4 dan metode Gas Kromatografi di sekitar rizosfer tidak berbeda nyata dibandingkan dengan di sekitar non rizosfer (p > 0.05). Emisi CO 2 di rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m -2 jam -1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g m -2 jam -1. Emisi CH 4 di rizosfer lebih kecil dibandingkan non rizosfer, dengan emisi di rizosfer sebesar g m -2 jam -1, sedangkan di non rizosfer sebesar g m -2 jam -1. Emisi N 2 O di rizosfer sebesar g m -2 jam -1, sedangkan di non rizosfer sebesar g m -2 jam Emisi CO 2 dengan metode EGM-4 lebih besar rizosfer dengan emisi sebesar 0.93 g m -2 jam -1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) dibandingkan non rizosfer sebesar 0.44 g m -2 jam Hasil pengukuran emisi CO 2 menggunakan metode Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan hasil metode EGM-4, baik di rizosfer maupun non rizosfer. Saran 1. Frekuensi pengukuran emisi gas rumah kaca dapat dilakukan 2 kali dalam setiap bulannya. 2. Selain dari pengkuran sifat fisik dan kimia, juga dilakukan pengukuran sifat biologi di lahan gambut. 3. Untuk mengurangi adanya kebocoran dalam pengukuran sampel gas, sebaiknya menggunakan analisis gas inframerah yang dilakukan secara langsung dilapangan dengan metode EGM-4. Rekomendasi Sebagai bahan masukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lahan Gambut yang berkelanjutan.

53 37 DAFTAR PUSTAKA Agus F, Handayani E, Noordwijk MV, Idris K, Sabiham S Root respiration interferes with peat CO 2 emission measurement. 19 th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. Brisbane, Australia. Agus F, Gunarso P, Sahardjo BH, Harris N, Noordwijk MV, Killeen TJ Historical CO 2 Emissions From Land Use And Land Use Change From The Oil Palm Industry In Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Reports From The Technical Panels of The 2nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Aldrian E, Susanto RD Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Climatol. 23: Alex K, Joosten H Global peatland assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Andriesse JP Nature and Management of tropical peat soils, FAO Soils Bulletin No. 59, Soil Resources, Management and Conservation Service. FAO Land and Water Development Division, Rome. Anshari G, Afifudin M, Nuriman M, Gusmayanti E, Arianie L, Susana R, Nusantara RW, Rahajoe JS, Rafiastanto A Drainage and land use impacts on changes in selected peat properties and peat degradation in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences. 7: Anshari G, Afifudin M, Gusmayanti E Assessing Degradation of Tropical Peat Domes and Disssolved Organic Carbon (DOC) Export from the Belait, Mempawah and Lower Kapuas Kecil Rivers in Borneo. Pontianak (ID): PEER Science Project. Attamimi AH Hukum tentang Peraturan Perundangan-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Jakarta (ID): Fakultas Hukum UI. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Potret Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Jakarta (ID): BAPPENAS. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Supadio Pontianak Data Curah Hujan Bulanan Priode Tahun Pontianak (ID): BMKG. Chimner RA, Cooper DJ Influence of water table position on CO 2 emissions in a Colorado subalpine fen: An in situ microcosm study. Soil Biology and Biogeochemistry. 35: Couwenberg J, Dommain R, Joosten H Greenhouse gas fluxes from tropical peat swamps in Southeast Asia. Global Change Biology. doi: /j x. Couwenberg J, Dommain R, Joosten H Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in south-east Asia. Global Change Biology. 16: Couwenberg J, Hooijer A Towards robust subsidence-based soil emission factors for peat soils in Southeast Asia, with special reference to oil palm plantations. Mires & Peat. 12: 1 13.

54 38 Dariah A, Marwanto S, Agus F Root and peat-based CO 2 emissions from oil palm plantations. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. 19: Davidson EA, Savage K, Verchot LV, Navarro R Minimizing artifacts and biases in chamber-based measurements of soil respiration. Agricultural and Forest Meteorology. 113: Dinerstein E, Loucks C, Heydlauff A, Wikramanayake E, Bryja G, Forrest J, Ginsberg J, Klenzendorf S, Leimgruber P, O Brien T et.al Setting Priorities for the conservation recovery Wild Tiger: , Washington DC, WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF. [DPDJP] Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Jakarta (ID): DPDJP. Fargione J, Hill JK, Tilman D, Polasky S, Hawthorne P Land Clearing and the Biofuel Carbon Debt. Science in China Series C-Life Sciences Fauzi Y, Widyastuti YE, Satyawibawa I, Hartono R Kelapa Sawit: Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Freijer JI, Bouten W A comparison of field methods for measuring soil carbon dioxide evolution: Experiments and simulation. Plant and Soil. 135: Furukawa Y, Inubushi K, Ali M Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 71: Germer J, Sauerborn J Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance. Environmental Development & Sustainability.10: Global Peatland Initiative World Peatland Map. Gunarso P, Hartoyo ME, Agus F, Killeen TJ Oil Palm And Land Use Change In Indonesia, Malaysia And Papua New Guinea. Reports From The Technical Panels Of The 2 nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Hadjowigeno Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hamer U, Marschner B Priming effects in soils after combined and repeated substrate additions. Geoderma. 128: Hanafiah KA Dasar-Dasar Ilmu tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Hanson PJ, Edwards NT, Garten CT, Andrews JA Separating root and soil microbial contributions to soil respiration: A review of methods and observations. Biogeochemistry. 48: Hardjasoemantri K Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Hartono SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Healy RW, Striegl RG, Russell TF, Hutchinson GL, Livingston GP Numerical evaluation of static-chamber measurements of soil-atmosphere gas exchange: Identification of physical processes. Soil Science Society of America Journal. 60:

55 Heiri O, Andre FL, Gerry L Loss on ignition as a method for estimating organic and carbonate content in sediments: reproducibility and comparability of results. Journal of Paleolimnology. 25. Netherlands. Hendriks DMD, Schrier AP, Kroon PS The effects of vegetation and soil on methane emissions in a natural fen meadow in the Netherlands. In Proceedings of the first International Symposium on Carbon in Peatlands April 2007, Wageningen, The Netherlands. 141 pp. Hergoualc h K, Verchot LV Stocks and fluxes of carbon associated with land use change in Southeast Asian tropical peatlands: A review. Global Biogeochem. Cy. 25: GB2001. doi: /2009gb Hirano T, Segah H, Harada T, Limin S, June T, Hirata R, Osaki M Carbon dioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology. 13: Hirano T, Kusin K, Suwido S, Osaki M Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology. 20: doi: /gcb Hooijer A, Silvius M, Wosten, H. Page S PEAT-CO 2, Assessment of CO 2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Wageningen: Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wösten H, Jauhiainen J Current and future CO 2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences. 6: Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wosten H, Jauhiainen J Current and Future CO 2 emissions from drained peat soils in Southeast Asia. Biogeosciences. 7: Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XX, Idris A, Anshari G Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands: reducing uncertainty and implications for CO 2 emission reduction options. Biogeosciences. 9: Hutchinson GL, Mosier AR Improved soil cover method for field measurement of nitrous oxide fluxes. Soil Sci. Soc. Am. J. 45: Hutchinson GL, Livingston GP Use of chamber systems to measure trace gas fluxes. p In L.A. Harper et al. (eds). Agricultural ecosystem effects on trace gases and global climate change. ASA Spec. Pbl. No. 55. ASA-CSSA-SSSA, Madison, WI. Husnain H, Wigena IGP, Dariah A, Marwanto S, Setyanto P, Agus F CO 2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. 19: [IAEA] International Atomic Energy Agency Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agriculture. Vienna (AT): IAEA. Ikkonen E, Kurets V The effect of drainage on CO 2 production in peat soils of boreal zone. 17th WCSS, August 2002, Thailand. Symposium no 45 paper no 143. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change Climate Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability. Report of Working Group II to the Intergovernmental Panel on Climate Change Third Assessment Report. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006a. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 1, Prepared by the National 39

56 40 Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T and Tanabe K. (eds). Japan (JP): IGES. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006b. N 2 O Emissions from Managed Soils, and CO 2 Emissions from Lime and Urea Application. Volume 4, Chapter 11. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013a. Adoption and Acceptance of The 2013 Supplement To The 2006 Guidelines: Wetlands. Thirty-Seventh Session of The IPCC Batumi. Georgia (GE): IPCC. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013b. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker TF, D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 1535 pp. [IPCC] International Panel on Climate Change Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Wetlands. In Hiraishi T, Krug T, Tanabe K, Srivastava N, Baasansuren J, Fukuda M and Troxler TG, eds. Switzerland (CH): IPCC. Jauhiainen J, Takahashi H, Heikkinen JEP, Martikainen PJ, Vasander H Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology. 11: Jauhiainen J, Silvennoinen H, Hamalainen R, Kusin K, Limin S, Raison RJ, Vasander H Nitrous oxide fluxes from tropical peat with different disturbance history and management. Biogeosciences. 9: Joosten H Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world. The Global Peatland CO 2 Picture. Wetlands International. Klemedtsson AK, Klemedtsson L, Berglund K, Martikainen P, Silvola J, Oenema O Greenhouse gas emissions from farmed organic soils: a review. Soil Use and Management. 13: Kuzyakov Y, Friedel JK, Stahr K Review of mechanisms and quantification of priming effects. Soil Biology and Biochemistry. 32: Lai CT, Katul G, Butnor J, Siqueira M, Ellsworth D, Maier C, Johnsen K, Mckeand S, Oren R Modelling the limits on the response of net carbon exchange to fertilization in a south-eastern pine forest. Plant Cell Environ. 25: Lakitan B Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Li X, Feng Y, Archambault D, Bertram H, Flesch T Evaluation of Methods for Determining NH 3 and N 2 O Emissions from Soil Applied Manure. ISBN Report prepared by Alberta Research Council for Air Research Users Group, Alberta Environment, Edmonton, Alberta. Marwanto S, Sabiham S, Sudadi U, Agus F Pengaruh kerapatan akar, pupuk, dan kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dari tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Tanah dan Iklim. 37 (1). Masganti, Notohadikusumo T, Maas A, Radjagukguk B Hydrophobicity and its impact on chemical properties of peat. Dalam Rieley JO, Page SE (Eds.). Jakarta Symposium Proceeding on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable Management p.

57 Melling L, Hatano R, Goh KJ Methane fluxes from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Soil Biol. Biochem. 37: Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2007a. Nitrous oxide emissions from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. In: Soil Science and Plant Nutrition. 53: Melling L, Goh GJ, Beauvais C, Hatano R. 2007b. Carbon flow and budget in a young mature oil palm agroecosystem on deep tropical peat, in: Carbonclimate-human interaction on tropical peatland. Proceedings of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, August 2007, edited by: Rieley JO, Banks CJ,.Radjagukguk B, EU CARBOPEAT and RESTORPEAT Partnership Gadjah Mada University, Indonesia and University of Leicester. United Kingdom [MoEF] National Forest Reference Emission Level for Deforestation and Forest Degradation In the Context of Decision 1/CP.16 para 70 UNFCCC (Encourages developing country Parties to contribute to mitigation actions in the forest sector). Indonesia (ID): DG-PPI. Murdiyarso D, Suryadiputra IN, Wayunto Tropical peatlands management and climate change: A case study in Sumatra, Indonesia. Presented in The International Peat Congress. Tampere, Finland. Murdiyarso D, Hergoualc h K, Verchot LV Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. PNAS. 107: Mutert E, Fairhurst TH, Uexküll HRV Agronomic management of oil palms on deep peat. Better Crops International. 13: Niedermeier A, Robinson JS, Hydrological controls on soil redox dynamics in a peat-based. restored wetland. Geoderma. 137 : Nykänen H, Alm J, Lang K, Silvola J, Martikainen PJ Emissions of CH 4, N 2 O and CO 2 from virgin fen and afen drained for grassland in Finland. J. Biogeogr. 22: Page SE, Rieley JO, Banks CJ Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. J. Global Change Biology Bioenergy. 17: Paterson E Importance of rhizodeposition in the coupling of plant and microbial productivity. European Journal of Soil Science. 54: PP Systems SRC-1/CPY-2/CPY-4: Closed System Chambers For Use With All EGM-4 s (1/2/3/4) and CIRAS-1 Operator s Manual Version Amesbury (US) : PP Systems. Reddy KR, DeLaune RD The Biogeochemisty of Wetlands; Science and Applications. CRC Press. New York. USA. 779p. Rehman SAR, Sudadi U, Anwar S, Sabiham S Land use changes and above-ground biomass estimation in peatlands of Riau and West Kalimantan, Indonesia. J.ISSAAS. 21 (1): Reijnders L, Huijbregts MAJ Palm oil and the emission of carbon-based greenhouse gases. Journal of Cleaner Production. 16: Rieley JO, Wust RAJ, Jauhiainen J, Page SE, Wosten H, Hooijer A, Siegert F, Limin SH, Vasander H, Stahlhut M Tropical peatlands: carbon stores, carbon gas Emissions and contribution to climate change Processes. pp. 41

58 InM. Strack (Ed.) Peatlands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, Jyväskylä, Finland. Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ Carbon dioxide and methane fluxes in boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of ozone or ultraviolet-b exposure. Occologia. 137: Ritung S, Wahyunto, Nugroho K, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto C Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1: Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Roulet NT, Moore TR The effect of forestry drainage practices on the emission of methane from nothern peatland. Can. J. For.Res. 25: Sabiham S Kadar air kritis gambut Kalimantan Tengah dalam kaitannya dengan kejadian kering tidak-balik. J. Tanah Trop. 11: Sabiham S Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 124 p. Sano T, Hirano T, Liang R, Fujinuma Y Carbon dioxide exchange of a larch forest after a typhoon disturbance. Citation Forest Ecology and Management. 260 (12). Schrier-Uijl AP, Silvius M, Parish F, Lim KH, Rosediana S, Anshari G Environmental And Social Impacts Of Oil Palm Cultivation On Tropical Peat A Scientific Review. Reports From The Technical Panels Of The 2 nd Greenhouse Gas Working Group Of The Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO). Silva CC, Guido ML, Cebbalos JM, Marsch R, Dendooven L Production of carbon dioxide and nitrous oxide in alkaline saline soil of Texcoco at different water content amanded with urea: A laboratory study. Soil Biol & Biochem. 40: Silvola J, Alm J, Ahlholm U, Nykänen H, Martikainen PJ CO 2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature and moisture conditions. J. Ecol. 84: Soil Survey Staff Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Kunci Taksonomi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soil Survey Staff Key to soil taxonomy. 11 th United States Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Soil Survey Staff Keys to Soil Taxonomy. Twelfth Edition. Washington (US): USDA, NRCS. Stevenson FJ Humus Chemistry: Genesis, Composition and Reaction. Sec. Edition. John Willey & Sons Inc. New York. 496 hal. Subke JA, Hahn V, Battipaglia G, Linder S, Buchmann N, Cotrufo MF Feedback interactions between needle litter decomposition and rhizosphere activity. Oecologia. 139: Syaufina L, Nuruddin AA, Basharudin J, See LF, Yusof MRM The effects of climatic variations on peat swamp forest and peat combustibility. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 10 (1): 1-14.

59 Takakai F, Morishita T, Hashidoko Y, Darung U, Kuramochi K, Dohong S, Limin Sh, Hatano R Effects of agricultural landuse change and forest fire on N 2 O emission from tropical peatlands, Central Kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition. 52(5): Tan KH Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Valat B, Jouany C, Riviere LM Characterization of the wetting properties of air-dried peats and composts. Soil Sci. 152 (2): Wahyunto, Ritung S, Subagjo H Peta Sebaran Lahan Gambut. Luasdan Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Walezak BW, Bieganowski A, Rovdan E Water-air properties in peat, sand and their mixtures. Int. Agrophysic. 16: Wisnubroto SSSL, Aminah, Nitisapto M Asas-asas Meteorologi Pertanian. Yogyakarta (ID): Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. UGM. Zhang L, Song C, Zheng X, Wang D, Wang Y Effects of nitrogen on the ecosystem respiration, CH 4 and N 2 O emissions to the atmosphere from the freshwater marshes in Northeast China. Environ Geol. 52:

60 44 LAMPIRAN

61 45 Lampiran 1 Peta titik pengamatan Lampiran 2 Hasil pengukuran ketebalan gambut Titik Kedalaman gambut (cm)

62 46 Lampiran 3 Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah Jarak dari saluran drainase sekunder Bulan 500 m 527 m 554 m 581 m 608 m (cm) 03 Jun' Jul' Agu' Sep' Nop' Des' Jan' Peb' Mar' Apr' Mei' Lampiran 4 Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi Emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas Kromatografi Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig Lampiran 5 Uji t emisi CH 4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer Emisi CH 4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig

63 47 Lampiran 6 Uji t emisi N 2 O pada bagian rizosfer dan non rizosfer Emisi N 2 O pada bagian rizosfer dan non rizosfer Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig Lampiran 7 Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 Emisi CO 2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4 Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig Lampiran 8 Uji t emisi CO 2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4 Emisi CO 2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4 Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig Lampiran 9 Uji t emisi CO 2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan Enviromental EGM-4 Emisi CO 2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4 Equal variances assumed Equal variances not assumed Uji Levene Uji t F Sig. t df Sig

64 48 Lampiran 10 Analisis ragam emisi CO 2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Jumlah Kuadrat df Rata-Rata Kuadrat F Sig. Kelompok Galat Total Lampiran 11 Analisis ragam emisi CO 2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Jumlah Kuadrat df Rata-Rata Kuadrat F Sig. Kelompok Galat Total Lampiran 12 BNJ (Tukey) emisi CO 2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa kedalaman muka air tanah gambut Perbandingan (vs) Sig. Perbandingan (vs) Sig * * * *Nyata pada taraf *

65 49 Lampiran 13 Analisis sifat fisik gambut Kode Kadar Air (%) Bobot Isi (g cm -3 ) Rizosfer Bahan Organik (%) Kadar Abu (%) Kadar Air (%) Non Rizosfer Bobot Isi (g cm -3 ) Bahan Organik (%) Kadar Abu (%) 1.1 (5-15) (15-25) (25-35) (5-15) (15-25) (25-35) (5-15) (15-25) (25-35) (5-15) (15-25) (25-35) (5-15) (15-25) (25-35) (5-15) (15-25) (25-35) Rata-rata Maks Min SD

66 50 Lampiran 14 Analisis sifat kimia gambut Kode ph Potensial ph CaCl H 2 O 2 Redoks C organik N total (mv) (%) (%) R R R R R R Rata-rata Maks Min SD NR NR NR NR NR NR Rata-rata Maks Min SD

67 51 Lampiran 15 Analisis sifat kimia gambut Kode CN Rasio - NO 3 + NH 4 P Bray I KTK KB (%) (ppm) (ppm) (ppm) (me 100g - ) (%) R R R R R R Rata-rata Maks Min SD NR NR NR NR NR NR Rata-rata Maks Min SD

68 52 Lampiran 16 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September 2014 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Juni Suhu Tanah (ᵒ C) Bulan Juli Agustus September Lampiran 17 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei 2015 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Januari Suhu Tanah (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret April Mei

69 53 Lampiran 18 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September 2014 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Juni Suhu Permukaan Tanah (ᵒ C) Bulan Juli Agustus September Lampiran 19 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei 2015 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Januari Suhu Permukaan Tanah (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret April Mei

70 54 Lampiran 20 Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September 2014 Titik R1.1 R1.2 R1.3 R2.1 R2.2 R2.3 Rata-rata NR1.1 NR1.2 NR1.3 NR2.1 NR2.2 NR2.3 Rata-rata Juni Suhu Udara (ᵒ C) Bulan Juli Agustus September Lampiran 21 Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei 2015 Titik Rata-rata Rata-rata Januari Suhu Udara (ᵒ C) Bulan Pebruari Maret April Mei

71 55 Lampiran 22 Dokumentasi penelitian Tanaman kelapa sawit 6 tahun Persiapan pemasangan sungkup/chamber Pengukuran kedalaman gambut Pengambilan sampel sifat fisik gambut Botol sampel gas Pengukuran gas metode Gas Kromatografi

72 56 Pengukuran metode EGM-4 non rizosfer Pengukuran metode EGM-4 rizosfer Pengukuran suhu Pengukuran kedalaman air tanah Saluran cacing musim hujan Saluran cacing musim kemarau

73 57 Saluran tersier musim hujan Saluran tersier musim kemarau Saluran sekunder musim hujan Saluran sekunder musim kemarau Pengkuran sifat fisik gambut Pengkuran sifat kimia gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

FENOMENA GAS RUMAH KACA

FENOMENA GAS RUMAH KACA FENOMENA GAS RUMAH KACA Oleh : Martono *) Abstrak Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO 2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO 2 ini disebabkan

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fluks CO dari Tanah Gambar dan menunjukkan fluks CO pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel menampilkan ratarata fluks CO tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Perubahan Iklim Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Lingkungan adalah semua yang berada di

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya Oleh : Prof. Dr., Ir. Moch. Sodiq Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM (RAD Penurunan Emisi GRK) Oleh : Ir. H. Hadenli Ugihan, M.Si Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Pemanasan Global Pengaturan Perubahan Iklim COP 13 (2007) Bali menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Pengertian 2 Global warming atau pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global permukaan bumi telah 0,74 ± 0,18 C (1,33 ±

Lebih terperinci

BAB VII PERKIRAAN EMISI. Pemerintah Kabupaten Donggala A. GAS RUMAH KACA B. KEGIATAN MANUSIA DAN JENIS GRK. Badan Lingkungan Hidup Daerah

BAB VII PERKIRAAN EMISI. Pemerintah Kabupaten Donggala A. GAS RUMAH KACA B. KEGIATAN MANUSIA DAN JENIS GRK. Badan Lingkungan Hidup Daerah BAB VII PERKIRAAN EMISI A. GAS RUMAH KACA Gas rumah Kaca (GRK) merupakan gas di atmosfer yang berfungsi menyerap radiasi infra merah dan ikut menentukan suhu atmosfer. Adanya berbagai aktivitas manusia,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari 1 I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari luas tersebut merupakan gambut subtropika dan sisanya merupakan gambut tropika (Page et al., 2008;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK C'ONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia setelah Malaysia dengan luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi sudah dimulai sejak Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke 18 di Inggris yang pada akhirnya menyebar keseluruh dunia hingga saat sekarang ini.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di Indonesia dengan komoditas utama yaitu minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Minyak sawit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kehilangan karbon di sektor pertanian disebabkan oleh cara praktik budidaya yang tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan kondisi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT

CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT Fahmuddin Agus Balai Penelitian Tanah, Jln. Ir H Juanda No. 98, Bogor PENDAHULUAN Dalam perdebatan mengenai perubahan iklim, peran lahan gambut

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan Juni 2011. Lokasi penelitian terletak di Desa Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 43 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Estate Arus Sungai Deras Perkebunan Kelapa Sawit PT. Mitra Aneka Rezeki (MAR) yang secara administratif berada di Kecamatan Teluk

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit pada jangka

TINJAUAN PUSTAKA. udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit pada jangka II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cuaca dan Iklim Menurut Sarjani (2009), cuaca dan iklim merupakan akibat dari prosesproses yang terjadi di atmosfer yang menyelubungi bumi. Cuaca adalah keadaan udara pada saat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Lampiran 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi kebun kelapa sawit pada bulan Agustus dan November 2008 yang kemudian dilanjutkan pada bulan Februari,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini dan perubahan tersebut terjadi akibat dari ulah manusia yang terus mengambil keuntungan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim Balai Penelitian Kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global menjadi isu lingkungan yang paling banyak dibicarakan saat ini, baik pada tataran ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT MENGGUNAKAN AMELIORAN TANAH MINERAL DAN TANAMAN PENUTUP LAHAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH

OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT MENGGUNAKAN AMELIORAN TANAH MINERAL DAN TANAMAN PENUTUP LAHAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH i OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT MENGGUNAKAN AMELIORAN TANAH MINERAL DAN TANAMAN PENUTUP LAHAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH S U R A T M A N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci