SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT DEDE SULAEMAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT DEDE SULAEMAN"

Transkripsi

1 SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT DEDE SULAEMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Dede Sulaeman NIM A

4 ii RINGKASAN DEDE SULAEMAN. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT. Dibimbing oleh YAYAT HIDAYAT, LATIEF MAHIR RACHMAN, dan SURIA DARMA TARIGAN. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS dapat menimbulkan efek negatif terhadap kondisi hidrologis DAS. Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Efek yang ditimbulkan diantaranya meningkatnya debit aliran serta hasil sedimen yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi hampir setiap tahun di DAS Ciujung membuat DAS ini menjadi sorotan berbagai pihak dan telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung. Model merupakan alat yang dapat membantu memahami kejadian hidrologis yang terjadi sebagai dampak pengelolaan lahan yang dilakukan. Salah satu model yang dapat digunakan dan telah banyak digunakan di Indonesia adalah Soil and Water Assessment Tool (SWAT). SWAT merupakan sebuah model untuk skala DAS atau Sub DAS yang dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service (USDA- ARS). Model SWAT dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta terjadinya perubahan iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan DAS Ciujung dan pengaruhnya terhadap debit aliran, (2) mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung, dan (3) menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung mengguakan model SWAT. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, analisis perubahan penggunaan lahan, analisis kondisi hidrologis DAS, dan menjalankan model SWAT. Analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap debit aliran dilakukan dalam periode waktu 5 tahun ( ). Analisis curah hujan wilayah, debit aliran, debit puncak aliran, volume aliran, aliran permukaan, dan analisis kondisi DAS dilakukan pada dua periode yaitu dan Terdapat beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan model SWAT, diantaranya adalah: (1) mendeliniasi batas DAS, (2) pembentukan Hidrology Respon Unit (HRU) dengan cara menumpang susunkan (overlay) peta tanah, peta penggunaan lahan serta peta kelas kemiringan lereng, (3) pendefinisian HRU, (4) Input data iklim, (5) membangun input data, (6) menjalankan model SWAT, (7) kalibrasi dan validasi model, dan (8) menganalisis respon hidrologi terhadap skenario yang diterapkan untuk menentukan pengelolaan lahan optimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan wilayah rata-rata tahunan pada periode sebesar 2,366 mm dan pada periode 2006-

5 2011 sebesar 2,159 mm. Berdasarkan klasifikasi Oldemen curah hujan wilayah DAS Ciujung termasuk tipe C1 dengan bulan basah 5-6 bulan berturut-turut dan bulan kering hanya 1 bulan. Hasil analisis kondisi DAS menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas DAS dengan meningkatnya koefisien aliran permukaan dengan nilai 0.47 (periode ) dan 0.55 (periode ). Berkurangnya lahan hutan di DAS Ciujung selama periode , baik hutan tanaman, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder serta meningkatnya luasan lahan semak, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, dan sawah turut berpengaruh terhadap meningkatnya debit aliran sungai. Penggunaan lahan hutan tanaman keras, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer berkurang selama periode tersebut masing-masing sebesar 2,948.3; 202.9; dan 13.4 hektar atau 13.9; 2.3; dan 0.7 %. Penggunaan lahan pertanian lahan kering campur semak, sawah, semak belukar, pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanah terbuka masingmasing bertambah sebesar 1,970.4; 697.5; 225.3; 163.5; 99.2 dan 8.7 hektar atau 3.2; 1.5; 2.6; 0.7; 0.8; dan 1.3 %. Penggunaan lahan pemukiman dan tubuh air tidak terlihat adanya perubahan. Model SWAT dapat digunakan untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Hasil kalibrasi model SWAT yang menunjukkan nilai R 2 dan NSE masing-masing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik) serta hasil validasi model masingmasing 0.75 dan 0.67 (baik). Hal sebaliknya dihasilkan dalam memprediksi hasil sedimen DAS Ciujung dengan nilai R 2 dan NSE yang dihasilkan sebesar 0.76 dan (tidak memuaskan). Penerapan seluruh teknik KTA berupa reboisasi, agroforestri, strip cropping, contouring, bendungan, dan lubang resapan biopori merupakan pengelolaan lahan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kondisi DAS Ciujung. Hal ini berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan nisbah debit maksimum dan minimum terkecil (65) dengan kriteria sedang, menurunkan aliran permukaan dan hasil sedimen terbaik (46 dan 95 %) serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar terbaik (32 dan 80 %). Kata kunci: debit aliran, hasil sedimen, model swat, penggunaan lahan

6 iv SUMMARY DEDE SULAEMAN. Simulation of Soil and Water Conservation Technique with Vegetative and Civil Engineering Method Using SWAT Model. Supervised by YAYAT HIDAYAT, LATIEF MAHIR RAHMAN, and SURIA DARMA TARIGAN Integrated watershed management that involves stakeholders from upstream to downstream area is very important regarding to the maintenance of watershed condition. Inappropriate land use management including land use change without soil and water conservation approach affected watershed hydrological condition. Increasing flow discharge and sediment yield are some effects that caused by this kind of land use management and these are the most common causes of flooding. Ciujung Watershed is the biggest and considered as one of major watershed in Banten Province due to the floods that take place almost every year in the area. Hydrological modelling has become an integral part of the decision making process for watershed management. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) is one of hydrological model that commonly used and it has proven to be an effective tool for assessing water resource problems for a wide range of scales and environmental conditions across the globe. SWAT model was developed by Dr. Jeff Arnold from the Agricultural Research Service of United States Department of Agriculture (USDA-ARS) to simulate water quantity and quality of surface water and groundwater. SWAT is a river basin scale model developed to quantify the impact of land management practices on water, sediment and agricultural chemical yields in large complex watersheds with varying soils, land use and management conditions over long periods of time. The study aims to: (1) assess landuse change and its influence on flow discharge; (2) review the SWAT Model performance on predicting flow discharge and sediment yield; and (3) determine the best management practice to reduce flow discharge and sediment yield in Ciujung Watershed. Landuse changes were analyzed in 5 years period ( ). Watershed conditions such as rainfall, flow discharge, peak discharge, volume rate of flow discharge, and runoff were analyzed in two periods: and There are some steps in running SWAT model, including: (1) delineate watershed; (2) create HRU s; (3) HRU definition; (4) climate data input; (5) write SWAT input files; (6) run SWAT model; (7) calibration and validation; and (8) hydrological parameters simulation to determine the best management practice. The study showed that average annual precipitation in the period of and were 2,366 and 2,142 mm respectively. Watershed conditions analysis indicates that Ciujung watershed quality decreased with increasing in surface runoff coefficient with values of 0.47 ( ) and 0.55 ( ). The study showed that there are several decreasing landuses during

7 period such as natural forest, secondary dry forest, and primary dry forest by 13.9; 2.9; and 0.7% respectively. Several increasing land uses during the period including mixed dry land farming, dry land farming, bush, plantations, and paddy field by 3.2; 0.7; 2.6; 0.8 and 1.5 % respectively. The deforested land (including natural forest, secondary dry forest, and primary dry forest) and increasing bush, dry land farming, plantations, and paddy field are the factors that cause increasing in flow discharge in Ciujung Watershed. SWAT model can be implemented to simulate flow discharge in Ciujung watershed. The study showed that the model has a good performance in predicting flow discharge with R 2 and NSE values in calibration process by 0.78 and 0.67 respectively. Validation process produced R 2 and NSE values by 0.75 and 0.67 respectively (good). However, the model is not good enough in predicting sediment yield with R 2 by 0.76 and NSE by (not satisfied). Combination between all scenarios is the best management practice that can be implemented in Ciujung watershed regarding to maintain watershed condition. The scenario produced the best river regime coefficient by 65 (moderate), reduce surface runoff and sediment yield by 46 and 95% respectively, and increase lateral and return flow by 32 and 80% respectively. Keywords: flow discharge, land use, sediment yield, swat model

8 vi Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS MENGGUNAKAN MODEL SWAT DEDE SULAEMAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc ii

11 Judul Tesis : Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT Nama : Dede Sulaeman NIM : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Yayat Hidayat, MSi Ketua Dr Ir Latief Mahir Rachman, MSc Anggota Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Atang Sutandi, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

12

13 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah respon hidrologi, dengan judul Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan SIpil Teknis Menggunakan Model SWAT. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yayat Hidayat MSi, Bapak Dr Ir Latief Mahir Rahman MSc MBA, dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc selaku penguji luar komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Edi dari Balai Besar Wilayah Sungai C3 (Cidanau- Ciujung-Cidurian), Ibu Dian beserta staf Stasiun Klimatologi Klas I Serang, Ibu Desy dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Cidanau-Ciujung- Cidurian, dan Ibu Neng Waty dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung-Cisadane yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) selama menempuh pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2016 Dede Sulaeman

14 ii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISTILAH vi vi vi vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Kerangka Pemikiran 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Ruang Lingkup Penelitian 4 2 METODE 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Bahan 5 Alat 5 Metode 5 Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan 9 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Kondisi Umum Daerah Penelitian 14 Parameterisasi Model SWAT 20 Output Model SWAT 23 Respon Hidrologi terhadap Skenario yang Diterapkan 40 Rekomendasi Pengelolaan Lahan 44 4 SIMPULAN DAN SARAN 47 Simpulan 47 Saran 47 DAFTAR PUSTAKA 48 LAMPIRAN 53

15 DAFTAR TABEL 1. Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum 7 2. Tingkat performa model NSE 9 3. Skenario pengelolaan lahan dan teknik KTA yang diterapkan Curah hujan wilayah, debit aliran sungai dan volume aliran pada periode dan Persamaan regresi linier debit dan debit puncak Koefisien aliran permukaan periode dan Nisbah debit maksimum dan minimum periode Perubahan penggunaan lahan tahun Klasifikasi jenis tanah DAS Ciujung Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun Kemiringan lereng DAS Ciujung Pengaruh treshold yang digunakan terhadap output model sebelum proses kalibrasi Pembagian sub DAS hasil deliniasi secara otomatis oleh model SWAT Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan SWAT CUP Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi debit aliran Data observasi debit aliran dan sedimen Karakteristik Hidrologi DAS Ciujung Tahun Aliran permukaan (surface runoff) setiap penggunaan lahan Hasil analisis uji F Hasil analisis uji-t Fluktuasi debit aliran Sungai Ciujung pada berbagai skenario penerapan teknik KTA Karakteristik hidrologi DAS Ciujung pada berbagai skenario yang diterapkan pada tahun Penurunan hasil sedimen setelah diterapkan skenario pengelolaan lahan 44 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran 3 2. Peta lokasi penelitian 4 3. Diagram alir kegiatan penelitian Curah hujan, debit aliran dan debit puncak Sungai Ciujung Debit aliran sungai bulanan periode dan Peta satuan tanah DAS Ciujung Peta penggunaan lahan DAS Ciujung tahun Peta kemiringan lereng DAS Ciujung Hasil deliniasi DAS berdasarkan treshold yang digunakan Sebaran stasiun hujan yang terbaca dengan treshold 2000 ha (a) dan 7000 ha (b) Debit aliran pada berbagai treshold Peta Sub DAS hasil deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha 27

16 iv 13. Hidrograf aliran hasil simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf aliran observasi (Januari-Desember 2011) Scatter plot debit aliran simulasi model sebelum proses kalibrasi Hidrograf aliran hasil kalibrasi model (Januari-Desember 2011) Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses kalibrasi Hidrograf aliran hasil validasi model (Januari-Desember 2012) Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses validasi Neraca air DAS Ciujung tahun hasil simulasi model SWAT Persamaan rating curve sedimen Scatter plot debit sedimen simulasi model dan observasi Hidrograf debit sedimen observasi dan simulasi Januari-Desember Aliran Permukaan Tahun Fluktuasi debit aliran maksimum DAS Ciujung tahun Fluktuasi debit aliran minimum DAS Ciujung tahun Aliran permukaan pada skenario Aliran permukaan pada skenario Aliran permukaan pada skenario Aliran permukaan pada skenario Aliran permukaan pada skenario Penurunan hasil sedimen (%) setelah dilakukan skenario pengelolaan lahan 46 DAFTAR LAMPIRAN 1. Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun Sub DAS Hasil Deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Nilai CN2 pada slope 5% Nilai CN3 pada slope 5% (sebagai input untuk menghitung CN2 berdasarkan slope) Nilai CN2 pada slope 0-8% Nilai CN2 pada slope 8-15% Nilai CN2 pada slope 15-25% Nilai CN2 pada slope 25-40% Nilai CN2 pada slope >40% Nilai GW_REVAP Nilai OV_N Nilai CH_N(2) Nilai CH_K(2) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 1) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 2) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 3) Nilai parameter input data tanah (Lapisan 4) Data observasi dan data simulasi model tahun

17 19. Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Karakterisik hidrologi hasil output model tahun Hasil sedimen hasil output model pada tahun Luas penggunaan lahan pada setiap sub DAS Luas jenis tanah pada setiap sub DAS Luas jenis tanah pada setiap sub DAS berdasarkan kelas hidrologi tanah Luas kemiringan lereng pada setiap sub DAS Nilai CN untuk contouring dan strip cropping Nilai P untuk cntouring dan strip cropping 71

18 vi DAFTAR ISTILAH ALPHA_BF Faktor alpha baseflow. Indeks yang menggambarkan respon air bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran. ALPHA_BNK Faktor alpha baseflow untuk "bank storage". Indeks yang mengkarakterisasikan kurva resesi bank storage AWLR Automatic Water Level Recorder. Alat pencatat tinggi muka air otomatis BAPLAN Badan Planologi Kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan BBWS Balai Besar Wilayah Sungai. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan BPSDA Balai Pengelolaan Sumberdaya Air BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika CH_K(2) Parameter konduktifitas hidrolik efektif pada saluran utama, terkait aliran sungai yang dikategorikan berdasarkan hubungannya dengan sistem air bawah tanah CH_N(2) Koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama CN2 Curve Number. Parameter yang digunakan untuk memprediksi aliran permukaan (direct runoff) yang dihasilkan dari hujan lebih CONT_P Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk contouring CONT_CN Nilai faktor bilangan kurva (curve number) untuk contouring DAS Daerah Aliran Sungai. Suatu wilayah yang dibatasi oleh punggung- punggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui saluran air, dan kemudian berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau waduk. DEM Digital Elevation Model. Data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat EPCO Faktor kompensasi uptake tanaman, menggambarkan jumlah penggunaan air oleh tanaman yang merupakan fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk transpirasi dan air yang tersedia di dalam tanah ESCO Faktor kompensasi evaporasi tanah. Menggambarkan kebutuhan air dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah akibat efek kapilaritas, pengkerakan, dan peretakan tanah ETA Eavpotranspirasi Aktual. Evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi ketersediaan air yang terbatas dan lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah

19 ETP Evapotranspirasi Potensial. Evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi ketersediaan air yang berlebihan EVAP Jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi FLOW_IN Jumlah aliran yang masuk ke sungai FLOW_OUT Jumlah aliran yang keluar ke sungai GW_Q Aliran bawah tanah GWQMN Batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran menuju sungai GW_DELAY Waktu delay air bawah tanah. Waktu yang dibutuhkan air dari bagian bawah zona perakaran untuk mencapai akuifer dangkal GW_REVAP Koefisien "revap" air bawah tanah terkait pergerakan air dari akuifer dangkal menuju zona tidak jenuh di atasnya sebagai hasil dari penurunan kadar air tanah dan diambil oleh tanaman yang memiliki zona perakaran dalam yang mampu mengambil air secara langsung dari zona tersebut HRU Hydrology Respond Unit. Kelompok lahan di dalam sub basin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan yang unik LATQ Kontribusi aliran lateral untuk aliran sungai LRB Lubang Resapan Biopori. Lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman sekitar 100 cm atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah MUSLE Modified Universal Soil Loss Equatio. Versi modifikasi dari USLE (Universal Soil Loss Equation ) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978). USLE memprediksi erosi sebagai sebuah fungsi dari energi kinetik hujan, sedangkan pada MUSLE energi kinetik hujan ini digantikan oleh faktor aliran permukaan NSE Nash Sutcliffe Efficiency. Sebaran normal yang menentukan jarak perbedaan antara pengukuran dan simulasi (noise) yang dibandingkan dengan perbedaan data pengukuran OV_N Nilai koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan PERC Perkolasi. Proses mengalirnya air ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan tanah ke lapisan di bawahnya, sehingga mencapai permukaan air tanah pada lapisan jenuh air PRECIP Precipitation (Curah hujan). Jumlah air yang jatuh di permukaan selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) RCHRG_DP Fraksi perkolasi akuifer dalam, mencerminkan fraksi perkolasi dari zona perakaran yang mengisi akuifer dalam RES_VOL Volume bendungan RES_EVOL Emergency spillway. Struktur yang digunakan untuk mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke daerah hilir dan digunakan keadaan darurat

20 viii RES_PVOL Principal spillway. Struktur yang digunakan untuk mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke daerah hilir dan digunakan saat aliran normal REVAPMN Batas kedalaman air pada aquifer dangkal untuk "revap" atau perkolasi ke aquifer dalam RLPS Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RTk-RHL Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah SHALLST Shallow Aquifer. Parameter yang terkait dengan kedalaman permukaan air pada akuifer dangkal SOL_AWC Kadar air tersedia. Banyaknya air yang tersedia bagi tanaman, yaitu selisih antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi dengan kadar air pada titik layu permanen SOL_BD Bulk Density (Bobot isi tanah). Kerapatan tanah per satuan volume yang menggambarkan kepadatan tanah SOL_C Bahan organik tanah. Kumpulan beragam senyawasenyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi SOL_K STRIP_C STRIP_CN STRIP_P STRIP_N SURLAG SURQ SWAT SYLD TLOSS USDA-ARS WYLD Soil permeability (permeabilitas tanah). Kemampuan tanah dalam meloloskan air Nilai faktor tanaman (C USLE) untuk strip cropping Bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk strip cropping Nilai koefisien kekasaran Manning untuk strip cropping Koefisien lag aliran permukaan. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak aliran permukaan setelah terjadinya hujan lebih Surface runoff (Aliran permukaan). Air yang mengalir di atas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah Soil Water Assessment Tools Sediment yield (hasil sedimen). Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai dan masuk ke dalam suatu badan air Transmission Loss (Kehilangan transmisi). Air yang hilang dari sungai utama atau anak sungai melalui kehilangan transmisi United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service Water Yield (Hasil Air). Total aliran suatu daerah aliran sungai yang bersumber dari aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah.

21 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Konsekuensi dan gejala yang diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS bukan hanya terjadi di hulu, tapi juga berkontribusi terhadap efek negatif yang terjadi di hilir. Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Efek yang ditimbulkan diantaranya adalah meningkatnya debit aliran serta jumlah sedimen yang terangkut. Efek negatif tersebut dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi hampir setiap tahun di DAS Ciujung menyebabkan DAS ini menjadi sorotan berbagai pihak dan telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di Wilayah Kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung. Menurut Sukardi et al. (2013) dalam kajiannya yang berjudul The Study on Ciujung-Cidurian Integrated Water Resources, DAS Ciujung hanya memiliki tutupan lahan hutan sebesar 11%. Deforestasi yang terjadi di bagian hulu dan sepanjang aliran sungai, erosi hebat yang terjadi selama musim penghujan, pendangkalan sungai terkait dengan sedimentasi, serta daerah pemukiman yang padat di bantaran sungai merupakan penyebab terjadinya banjir di DAS Ciujung. Koefisien regim sungai Ciujung (nisbah debit maksimum dan minimum) sebesar 189 (sangat tinggi). Hal ini menunjukkan debit aliran sungai pada musim penghujan sangat tinggi yang dapat memicu terjadinya banjir dan debit aliran sungai pada musim kemarau rendah yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3) yang melakukan pemeriksaan pada awal tahun 2013 terungkap bahwa sendimentasi di Bendung Pamarayan sebesar 10 persen dari kapasitas bendung. Indikator-indikator tersebut mengindikasikan bahwa DAS Ciujung berada pada kondisi kritis sehingga tidak heran jika banjir semakin sering terjadi (Sukardi et al. 2013). Fenomena perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap hidrologi DAS Ciujung perlu dipahami guna menentukan tindakan yang perlu dilakukan di masa yang akan datang. Model merupakan alat yang dapat membantu memahami fenomena tersebut. Melalui model hidrologi dapat dipelajari kejadian hidrologi yang akan terjadi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Soil and Water Assessment Tool (SWAT). SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan sebuah model untuk skala DAS atau Sub DAS yang dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of Agriculture- Agricultural Research Service (USDA-ARS). Model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh dari manajemen lahan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia hasil pertanian yang terkandung dalam aliran sungai. Menurut Neitsch et al. (2005) model ini dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta terjadinya perubahan iklim global.

22 2 Perumusan Masalah DAS Ciujung merupakan DAS terbesar yang terdapat di Provinsi Banten yang melewati lima Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan sebagian kecil Kabupaten Bogor. Banjir di DAS Ciujung, khususnya Sub DAS Ciujung hilir kerap kali terjadi, bahkan sudah mulai menjadi fenomena yang rutin terjadi setiap tahunnya. Banjir yang terjadi di bagian tengah dan hilir serta erosi yang terjadi di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), merupakan salah satu indikasi bahwa fungsi hidrologis DAS dalam keadaan terganggu sehingga DAS tersebut tidak dapat mendukung sistem tata air yang optimal (Asdak 2010). Banjir di Sub DAS Ciujung hilir selain merendam pemukiman warga juga merendam jalan tol Jakarta-Merak di sekitar KM 57 dan 58. Permasalahan banjir di DAS Ciujung telah tercatat sejak tahun Menurut Sukardi et al. (2013) banjir di daerah ini telah terjadi sebanyak tujuh kali sejak tahun Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir di DAS Ciujung. Bendung Pamarayan yang berada di sekitar batas administrasi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang tepatnya di Kecamatan Kragilan dibangun untuk difungsikan sebagai peringatan dini terhadap banjir dan mengatur tata air di DAS Ciujung. Pendangkalan bendung tersebut akibat sedimentasi telah menjadi masalah tersendiri. Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3) akan membangun bendungan di DAS Ciujung yaitu Bendungan Karian, namun sampai saat ini belum terealisasi. Perlu adanya berbagai upaya nyata untuk mengembalikan fungsi DAS Ciujung sebagaimana mestinya. Keutuhan dan kemantapan fungsi DAS Ciujung sangat berpengaruh terhadap beberapa Kabupaten/Kota yang dilewati khususnya berkaitan dengan sering terjadinya banjir di wilayah ini. DAS Ciujung juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang akan diarahkan untuk mensuplai air bagi Bendungan Karian. Tidak mengherankan jika BBWS C3 dan BPDAS Citarum-Ciliwung menjadikan DAS Ciujung sebagai prioritas utama dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Kerangka Pemikiran Perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dapat menimbulkan peningkatan debit aliran dan hasil sedimen (Dunjo et al. 2004; Maalim et al. 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan penanggulangannya. Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini telah banyak alat (tools) yang dapat digunakan dalam memecahkan permasalahan ini. Model SWAT merupakan salah satu model yang telah banyak digunakan dalam kajian pengelolaan DAS di seluruh dunia. Model SWAT merupakan salah satu model hidrologi yang telah diakui efektif dalam simulasi hidrologi dan pengelolaan DAS serta telah banyak digunakan saat ini. Model ini dapat melakukan proses secara cepat dalam mengkaji hubungan input, proses dan output dari suatu sistem hidrologi, sehingga dapat mengetahui karakteristik dan respon hidrologi suatu DAS yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Untuk memenuhi tujuan ini, model ini berbasis pada

23 fisik. Model SWAT membutuhkan informasi spesifik mengenai iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek manajemen lahan yang terjadi di daerah aliran sungai untuk menggabungkan persamaan regresi dalam rangka menggambarkan hubungan antara variabel input dan output yang terjadi. Dengan menggunakan model ini, diharapkan dapat diketahui konservasi tanah dan air yang dapat menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung secara efektif. 3 Perubahan penggunaan lahan Debit aliran dan sedimen meningkat Penanggulangan berbasis spasial Pengelolaan Lahan Efektif DATA INPUT Iklim Tanah Tutupan lahan Topografi Model SWAT - Kalibrasi - Validasi Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Gambar 1 Kerangka pemikiran Tujuan Penelitian 1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan DAS Ciujung serta pengaruhnya terhadap debit aliran. 2. Mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung 3. Menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung menggunakan model SWAT Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemangku kepentingan, khususnya pengambil keputusan dalam merencanakan pengelolaan DAS Ciujung. 2. Memberikan masukan dalam menentukan Pengelolaaan Lahan Terbaik (best management practices) sehingga dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan kondisi DAS Ciujung. 3. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan penelitian ini.

24 4 Ruang Lingkup Penelitian Secara kewilayahan, penelitian ini dibatasi di DAS Ciujung. Secara teknis, permasalahan yang diangkat dalam lingkup penelitian ini melingkupi aspek biofisik (penggunaan lahan, kelerengan dan tanah) dari DAS Ciujung dan tidak dilakukan kajian pada aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan. Respon hidrologi yang diteliti dibatasi pada debit aliran sungai dan hasil sedimen. 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Desember 2014 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang terletak di 5 o LS 6 o 4 20 LS dan 106 o BT 106 o BT dengan luas ± ,6 hektar. Wilayah DAS Ciujung dibatasi oleh laut Jawa di bagian utara; DAS Rawa, Cidano dan Teluk Lada di bagian barat; DAS Cidurian di bagian timur; serta DAS Cibaliung- Cibareno di bagian selatan (Gambar 2). Gambar 2 Peta lokasi penelitian DAS Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut dan Gunung Karang ke laut Jawa dengan melewati lima Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kota Serang. Terdapat empat Sub DAS utama yaitu Sub DAS Ciujung hulu, Sub DAS Ciberang, Sub DAS Ciujung Tengah, dan Sub DAS Ciujung Hilir.

25 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) Data curah hujan dan debit aliran sungai harian dari tahun 2001 sampai 2012 yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3), BMKG Kelas I Serang, dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Ciujung-Cidanau. Kegunaan data-data ini adalah untuk analisis kondisi DAS dan sebagai data observasi yang diperlukan untuk dibandingkan dengan data hasil simulasi model SWAT. 2) Data debit sedimen harian pada bulan Februari-Desember 2013 diperoleh dari BBWS C3. Kegunaan data ini adalah untuk membuat rating curve debit sedimen harian observasi yang akan dibandingkan dengan debit sedimen hasil simulasi model SWAT. 3) Data iklim harian berupa suhu udara maksimum dan minimum, kecepatan angin, kelembaban udara dan radiasi matahari. Data ini diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Serang dan BPSDA Ciujung-Cidanau. Data-data ini digunakan untuk input data iklim pada model SWAT. 4) Peta penggunaan lahan skala 1:250,000 yang diperoleh dari Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kegunaan peta ini adalah untuk análisis perubahan penggunaan lahan dan input peta landuse pada model SWAT. 5) Peta satuan tanah skala 1:250,000 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Peta ini digunakan untuk input peta tanah pada model SWAT. 6) Peta Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi 30 meter yang didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kegunaan peta ini adalah untuk input peta DEM pada proses deliniasi DAS. 5 Alat Peralatan yang digunakan adalah: (1) seperangkat komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1 dan ArcSWAT 2012 sebagai interface, pcpstat, SWAT Plot, SWAT BFlow, serta SWAT CUP; (2) global Positioning System (GPS); (3) ring sampler ; (4) double ring infiltrometer dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk pengambilan sample fisik tanah dan analisis di laboratorium. Pengumpulan Data Sekunder Metode Penelusuran studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi dan literatur yang berhubungan dengan tema penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan di beberapa tempat, diantaranya adalah BPSDA Ciujung-Cidanau, BBWS C3, BMKG Kelas I Serang, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan Puslitanak.

26 6 Pengambilan dan Analisis Contoh Tanah Pengambilan contoh dan analisis tanah dilakukan untuk input data tanah pada model SWAT. Parameter yang diamati diantaranya adalah laju infiltrasi tanah (cm/jam), kedalaman solum (mm), kedalaman efektif tanah (mm), bobot isi (g/cm 3 ), kadar air tersedia (mm H 2 O/mm tanah), C-organik (%), permeabilitas tanah (mm/jam), albedo tanah, tekstur tanah berupa kandungan pasir, debu, dan klei (%), serta kandungan batuan (%) pada layer pertama. Analisis Curah Hujan Wilayah Curah hujan rata-rata wilayah ditentukan dengan menggunakan metode poligon Thiessen. Data yang digunakan berasal dari 20 stasiun hujan yang tersebar di DAS Ciujung pada periode tahun dan dengan: P = P = curah hujan rata-rata wilayah A n = luas masing-masing poligon P n = curah hujan masing-masing stasiun Analisis Debit Aliran Sungai Debit rata-rata bulanan ditentukan pada periode tahun dan pada outlet pamarayan. Selain itu ditentukan debit maksimum dan debit minimum bulanan, debit puncak, volume aliran, dan aliran permukaan yang berasal dari outlet pamarayan. Aliran permukaan (runoff) rata-rata bulanan ditentukan dengan cara: RO = x 1000 Analisis Kondisi DAS Koefisien aliran permukaan (C) dan nisbah debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) digunakan untuk melihat kondisi hidrologis DAS pada periode tahun dan Koefisien aliran permukaan (C) menggunakan rumus: C = Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum ditentukan berdasarkan klasifikasi Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kehitanan Republik Indonesia No : P. 61 /Menhut-II/2014 (Tabel 1).

27 7 Tabel 1 Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum Nilai Qid 20 Katagori Sagat Rendah (SR) 20 < Qid 50 Rendah (R) 50 < Qid 80 Sedang (S) 80 < Qid 110 Tinggi (T) Analisis Perubahan Penggunaan Lahan > 110 Sangat Tinggi (ST) Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Sungai dan Hutan Lindung (2014) Analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan peta penggunaan lahan dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2006 dan 2011 dengan skala 1:250,000. Pengolahan dilakukan dengan melakukan insert pivot table pada microsoft excel untuk mengolah data atribut peta yang sebelumnya telah dilakukan export data atribut ke dalam bentuk.dbf. Trend perubahan penggunaan lahan didapatkan dengan cara membandingkan luas masing-masing penggunaan lahan. Menjalankan Model SWAT Persiapan Data. SWAT merupakan model yang komprehensif sehingga membutuhkan banyak ragam data untuk menjalankannya. Data masukan yang perlu disiapkan diantaranya adalah peta DEM, peta penggunaan lahan, peta dan data tanah, peta kontur, curah hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Selain itu, dilakukan pembuatan basis data iklim untuk membuat data generator iklim (weather generator data) yang membutuhkan 14 parameter input yang harus dihitung terlebih dahulu berdasarkan data iklim. Deliniasi DAS. Peta DEM digunakan sebagai input untuk deliniasi DAS. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan diantaranya adalah pemasukan data DEM grid (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition), penentuan outlet (outlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watershed outlet selection and definition) dan penghitungan parameter Sub DAS (calculate sub DAS parameter). Analisis HRU. Pada tahap pembentukan HRU dilakukan input data penggunaan lahan, tanah, dan kemiringan lereng untuk dilakukan overlay. HRU digunakan dalam kebanyakan run SWAT karena adanya penyederhanaan dalam run model dengan menggabungkan semua area yang memiliki jenis tanah dan penggunaan lahan yang sama ke dalam unit respon tunggal (single response unit). Selanjutnya dilakukan pendefinisian HRU (HRU definition) untuk menentukan kriteria spesifik yang akan diaplikasikan dalam HRU. Dalam pendefinisian HRU digunakan metode threshold by percentage. Metode ini digunakan untuk menetukan seberapa besar batas (threshold) untuk jenis tanah, tutupan lahan dan lereng di dalam Sub DAS yang diabaikan oleh model dalam pembentukan HRU.

28 8 Input Data Iklim. Data generator iklim yang sudah dibuat digunakan untuk input data dalam weather data definition. Setelah itu dilakukan pemasukan input data curah hujan, temperatur, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Membangun Input Data. Setelah data iklim selesai dimasukkan maka dilanjutkan dengan memasukkan informasi data input ke dalam basis data. Data input tersebut secara otomatis terbentuk berdasarkan deliniasi DAS dan karakterisasi dari penggunaan lahan, tanah, dan lereng. Pembuatan input data dilakukan dengan memilih opsi Write All. Default input ini dapat diedit dengan menggunakan menu Edit SWAT Input. Run SWAT. Run model dapat dilakukan setelah mengisi tanggal mulai dan tanggal akhir simulasi tertentu serta memilih distribusi curah hujan yang digunakan. Model SWAT menghasilkan output file yang terpisah untuk Sub DAS, HRU dan sungai utama. Informasi dalam file Sub DAS (output.sub) dan HRU (output.hru) terdiri dari jumlah curah hujan (PRECIP), evapotranspirasi potensial (ETP), evapotranspirasi aktual (ETA), kandungan air tanah (SW), perkolasi (PERC), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran bawah tanah (GW_Q) dan hasil air (WYLD). Informasi pada masing-masing sungai atau saluran utama (output.rch) dalam Sub DAS adalah jumlah aliran yang masuk ke sungai (FLOW_IN) dan keluar (FLOW_OUT), jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi (EVAP) dan transmisi (TLOSS), serta hasil sedimen (SYLD). Kalibrasi. Kalibrasi bertujuan untuk menyesuaikan parameter model agar sesuai dengan kondisi eksisting, sehingga mengurangi ketidakpastian prediksi. Kalibrasi model dilakukan dengan cara memilih nilai-nilai untuk input parameter model secara hati-hati (dalam masing-masing rentang ketidakpastian) dengan membandingkan data prediksi model (output) untuk satu set kondisi yang diasumsikan dengan data observsi untuk kondisi yang sama (Arnold et al. 2012). Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi adalah koefisien determinasi (R 2 ) dan Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE). Koefisien determinasi didefinisikan sebagai nilai kuadrat dari koefisien korelasi berdasarkan Bravais-Pearson. Nilai R 2 dapat dikalkulasikan menggunakan rumus: dimana O adalah data observasi, adalah data observasi rata-rata, dan P adalah data simulasi. Kisaran nilai R 2 diantara 0 dan 1 yang menggambarkan seberapa banyak sebaran data observasi yang dapat dijelaskan oleh data simulasi. Pada dasarnya nilai R dianggap dapat diterima (Moriasi et al. 2007), sehingga model yang dibuat dapat dipergunakan untuk mensimulasikan skenario yang diinginkan. Adapun persamaan dari model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) adalah sebagai berikut: NSE = 1- ke-i, dimana merupakan data observasi ke-i, merupakan data simulasi merupakan data observasi rata-rata, dan n merupakan jumlah observasi.

29 Rentang nilai NSE terletak antara sampai 1, dengan NSE = 1 merupakan nilai optimal. Nilai antara 0.0 sampai 1.0 secara umum dilihat sebagai level performa model yang dapat diterima, sedangkan NSE 0.0 mengindikasikan bahwa rata-rata nilai data observasi merupakan alat prediksi yang lebih baik daripada nilai data simulasi. (Moriasi et al. 2007). Tabel 2 Tingkat performa model NSE Tingkat Performa NSE Sangat baik 0.75 NSE 1.00 Baik 0.65 NSE 0.75 Memuaskan 0.50 NSE 0.65 Tidak memuaskan NSE 0.50 Sumber: (Moriasi et al dalam Chaube et al. 2011) Validasi. Validasi model adalah proses untuk menguji konsistensi model. Validasi dilakukan dengan menjalankan model menggunakan parameter yang telah ditentukan selama proses kalibrasi serta membandingkan data prediksi dan data observasi yang tidak digunakan dalam proses kalibrasi. Metode statistik yang digunakan dalam melakukan validasi adalah model koefisien determinasi (R 2 ) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) dengan kriteria yang sama seperti yang digunakan dalam proses kalibrasi. Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah debit aliran (FLOW_OUT) dan hasil sedimen (SYLD). Kalibrasi dan validasi dilakukan pada Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang terdapat di outlet Jembatan II Rangkas. Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan Skenario 1: Penerapan Fungsi Kawasan Hutan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan. Peraturan yang menyangkut hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan dalam skenario ini adalah reboisasi atau menghutankan kawasan yang ditetapkan sebagai fungsi kawasan hutan. Penerapan fungsi kawasan hutan tersebut menyebabkan perubahan beberapa parameter model diantaranya adalah CN2 (curve number), SOL_K (permeabilitas tanah), SOL_C (bahan organik tanah), dan SOL_BD (bobot isi tanah). Nilai-nilai parameter yang diterapkan tersebut mengacu pada hasil penelitian Prasetya et al. (2012). Skenario 2: Rehabilitasi Lahan Kritis Pengelolaan lahan yang diterapkan pada skenario 2 diantaranya melakukan reboisasi pada lahan kritis di seluruh penggunaan lahan kecuali pemukiman. Agroforestry diterapkan pada lahan agak kritis dengan penggunaan lahan eksisting berupa pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, dan semak belukar. Agroforestry (Wanatani) merupakan sistem usaha tani yang mengintegrasikan secara spasial dan/atau temporal tanaman pohon-pohonan di dalam sistem produksi tanaman rendah pada sebidang tanah yang sama (Arsyad 9

30 ). Parameter model yang berubah seiring diterapkannya skenario rehabilitasi lahan kritis diantaranya adalah CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC (kadar air tersedia). Nilai parameter yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Prasetya et al. (2012) dan Silva et al. (2011). Skenario 3: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif Konservasi tanah dan air (KTA) secara vegetatif merupakan suatu upaya mengendalikan aliran melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi aliran permukaan akan berkurang. Penerapan teknik KTA metode vegetatif yang diterapkan diantaranya strip cropping pada areal pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak dengan kemiringan 0-25%, sedangkan pada kemiringan 25-40% diterapkan agroforestry. Penanaman strip (strip cropping) adalah sistem konservasi tanah dan air secara vegetatif dengan menanam beberapa jenis tanaman dalam strip yang berselang-seling pada sebidang tanah dan kurun waktu yang sama. Seluruh penggunaan lahan dengan kemiringan >40% dilakukan reboisasi. Parameter model yang berubah dengan diterapkannya strip cropping diantaranya STRIP_CN (bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping) berdasarkan USDA NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al. (2011), STRIP_P (faktor P USLE untuk strip cropping) berdasarkan Wischmeier and Smith (1978) dalam Arabi (2007), STRIP_C (faktor C USLE) berdasarkan Kuok et al. (2013), dan STRIP_N (nilai koefisien kekasaran Manning) berdasarkan Engman (1983) dalam Arnold et al. (2012). Seluruh penggunaan lahan dengan kemiringan >40% dilakukan reboisasi. Nilai-nilai parameter tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 27 dan 28. Skenario 4: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Sipil Teknis Kegiatan konservasi tanah dan air metode sipil teknis jika dilihat dari aspek jenis dan tujuannya dikelompokkan menjadi 2 yaitu konservasi tanah dan air berbasis alur dan konservasi tanah dan air berbasis lahan. Konservasi tanah dan air metode sipil teknis berbasis alur merupakan kegiatan untuk menahan atau menampung air di badan air atau dengan membentuk badan air baru di alur atau aliran sungai. Selain menahan atau menampung air, kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan debit puncak dari suatu aliran. Teknologi KTA sipil teknis berbasis alur yang diterapkan adalah Bendungan Karian yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten dan terletak di sub DAS 15. Parameter bendungan yang perlu dilengkapi diantaranya adalah RES_VOL (volume bendungan), dimana bendungan karian memiliki kemampuan menampung sebesar juta m 3 air. Parameter model yang berubah karena diterapkannya simulasi Bendungan Karian diantaranya adalah RES_VOL (volume bendungan), RES_EVOL (emergency spillway) dan RES_PVOL (principal spillway). Nilai tersebut ditetapkan berdasarkan data sekuder yang didapatkan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Ciujung-Cidanau. Kegiatan sipil teknis berbasis lahan yang digunakan diantaranya penanaman sesuai kontur (contouring) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering,

31 pertanian lahan kering campur semak `dan perkebunan pada kemiringan lereng 0-8 dan 8-15%, serta penerapan Lubang Resapan Biopori (LRB) pada lahan pemukiman. Penerapan skenario pengelolaan lahan berupa contouring tersebut menyebabkan perubahan beberapa parameter model diantaranya adalah CONT_P dan CONT_CN (nilai P USLE dan bilangan kurva untuk contouring) masingmasing berdasarkan Wischmeier and Smith (1978) dalam Arabi et al. (2007) dan USDA NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al. (2011). Parameter terkait LRB yang disimulasikan diantaranya SOL_BD dan SOL_K berdasarkan hasil penelitian Maharany et al. (2011) yang menghasilkan nilai 11 % lebih rendah dan 29% lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diterapkan LRB. Skenario pengelolaan lahan hanya diterapkan pada sub DAS-sub DAS yang memiliki aliran permukaan sebesar dan >1000 mm. Beberapa parameter yang diperhitungkan dalam menentukan pengelolaan lahan yang harus dilakukan untuk mempertahankan kondisi DAS Ciujung diantaranya adalah debit aliran sungai, aliran permukaan, aliran lateral, aliran dasar, hasil air, dan hasil sedimen. 11

32 12 Tabel 3 Skenario pengelolaan lahan dan teknik KTA yang diterapkan Skenario Pengelolaan Lahan Penerapan Teknik KTA Simulasi Parameter Hidrologi 1 Penerapan Fungsi Kawasan Hutan Lokasi Simulasi (Sub DAS) Luas ha % Reboisasi CN2, SOL_K, SOL_C, dan SOL_BD 4, 7, 9, 10, 11, 20 17, Rehabilitasi Lahan Kritis Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Sipil Teknis 5 Skenario 1,2,3,4 Reboisasi CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC 4, 5, 7, 10, 11, 12, 15, 17, 18, 20, 21 Agroforestri CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC 1, 2, 4-7, 9-21 Reboisasi CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC 1, 2, 4-7, 9-21 Agroforestri CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC 1, 2, 4-7, 9-21 Stripcropping STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, dan STRIP_N 1, 2, 4-7, 9-21 Bendungan Karian RES_VOL, RES_EVOL, dan RES_PVOL 15 Contouring CONT_P dan CONT_CN 1, 2, 4-7, 9-21 Lubang resapan biopori SOL_BD dan SOL_K 1, 2, 4-7, 9-15, Reboisasi CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan 4, 5, 7, 10, 11, 12, 15, 17, SOL_AWC 18, 20, 21 Agroforestri CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC 1, 2, 4-7, 9-21 Stripcropping STRIP_CN, STRIP_P, STRIP_C, dan STRIP_N 1,2,4-7,9-21 Bendungan Karian RES_VOL, RES_EVOL, dan RES_PVOL 15 Contouring CONT_P dan CONT_CN 1, 2, 4-7, 9-21 Lubang resapan biopori SOL_BD dan SOL_K 1, 2, 4-7, 9-15, , , , ,390 47

33 13 Pengumpulan Data Peta dan Data Tanah Peta Land Use Peta DEM Data Iklim Data CH, Sedimen dan Debit Observasi Survey Lapangan Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis Tanah di Laboratorium Membentuk: Jaringan Sungai, Outlet, dan Sub DAS Mendefinisikan: Tanah, Lereng, dan Penggunaan Lahan Analisis Curah Hujan dan Debit Aliran Analisis HRU Mengisi Input Tabel Run SWAT Kalibrasi Tidak Validasi? Ya Simulasi teknik KTA Pengelolaan lahan optimum Gambar 3 Diagram alir kegiatan penelitian

34 14 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan Kondisi Umum Daerah Penelitian Curah hujan rata-rata tahunan pada periode lebih tinggi daripada periode , masing-masing sebesar 2,366 dan 2,159 mm (Tabel 4). Ratarata curah hujan bulanan periode tahun yang paling tinggi berada pada bulan Februari (340 mm), sedangkan periode pada bulan Januari (297 mm). Rata-rata curah hujan bulanan yang paling rendah pada kedua periode tersebut berada pada bulan Agustus yaitu sebesar 56 mm untuk periode dan 87 mm untuk periode Berdasarkan klasifikasi Oldemen curah hujan wilayah DAS Ciujung termasuk tipe C1 dengan bulan basah 5-6 bulan berturut-turut dan bulan kering hanya 1 bulan. Tabel 4 Curah hujan wilayah, debit aliran sungai dan volume aliran pada periode dan Bulan Curah Hujan (mm) Debit (m 3 /s) Volume Aliran (juta m 3 ) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total 2,366 2, ,142 2,490 Debit Aliran Sungai Debit rata-rata bulanan tertinggi pada periode dan terjadi pada bulan Februari masing-masing sebesar dan m 3 /s. Debit rata-rata bulanan terendah pada kedua periode tersebut terdapat pada bulan Agustus masing-masing sebesar 39.4 m 3 /s ( ) dan 40 m 3 /s ( ). Volume aliran sungai rata-rata bulanan tertinggi pada periode dan terjadi pada bulan Februari (261 dan 352 juta m 3 ). Volume aliran sungai rata-rata bulanan terendah pada kedua periode yang diamati terjadi pada bulan Agustus masing-masing sebesar 102 juta m 3 ( ) dan 105 juta m 3 ( ). Terjadi peningkatan volume aliran rata-rata tahunan, dimana pada periode dan masing-masing sebesar 2,142 dan 2,490 juta m 3.

35 Debit puncak tertinggi pada periode terjadi pada tanggal 4 Januari 2003 yaitu sebesar 615 m 3 /s. Debit puncak aliran sungai tertinggi pada periode terjadi pada tanggal 25 Februari 2008 sebesar dan 1110 m 3 /s (Gambar 4). 15 Gambar 4 Curah hujan, debit aliran dan debit puncak Sungai Ciujung Berdasarkan hasil analisis regresi linier (Tabel 5) curah hujan wilayah berpengaruh sangat nyata terhadap debit aliran maupun debit puncak aliran Sungai Ciujung. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) antara curah hujan dan debit aliran sungai pada periode dan masing-masing sebesar 0.72 dan Hubungan curah hujan dan debit puncak aliran pada periode dan memiliki nilai R 2 masing-masing sebesar 0.55 dan Peluang terjadinya kesalahan pada kedua korelasi tersebut sebesar <0.01. Hasil analisis regresi linier tersebut menunjukkan curah hujan memiliki korelasi positif dengan debit aliran maupun debit puncak aliran sungai, dimana semakin tinggi curah hujan wilayah maka debit aliran dan debit puncak aliran sungai akan semakin meningkat. Tabel 5 Persamaan regresi linier debit dan debit puncak Periode Peubah Tetap Peubah Bebas R 2 Persamaan Regresi Linier Debit (m 3 /s) CH Wilayah (mm) 0.72 y = x Debit Puncak (m 3 /s) CH Wilayah (mm) 0.55 y = x Debit (m 3 /s) CH Wilayah (mm) 0.64 y = x Debit Puncak (m 3 /s) CH Wilayah (mm) 0.44 y = x

36 16 Kondisi DAS Koefisien aliran permukaan (C) merupakan sebuah konsep kunci dalam bidang hidrologi dan sebuah variabel diagnostik yang penting dalam respon hidrologi suatu DAS terhadap suatu kejadian hujan tertentu (Norbiato et al. 2009). Koefisien aliran permukaan bulanan tertinggi pada periode dan terjadi pada bulan Novemer dan April masing-masing sebesar 0.72 dan Koefisien aliran permukaan bulanan terendah pada periode dan terjadi pada bulan September dan Oktober masing-masing sebesar 0.35 dan 0.46 (Tabel 6). Tabel 6 Koefisien aliran permukaan periode dan Bulan Periode Periode CH (mm) RO (mm) C CH (mm) RO (mm) C Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata Secara umum terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan tahunan dari 0.47 pada periode menjadi 0.55 pada periode Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan kualitas DAS Ciujung. Selain nilai koefisien aliran permukaan, nisbah debit maksimum dan minimum atau koefisien regim sungai (KRS) juga dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan suatu DAS (Pantow et al. 2013). Nilai KRS pada periode tahun secara umum berada pada kondisi tinggi dan memiliki kisaran nilai Sementara itu nilai KRS pada periode secara umum berada pada kondisi sangat tinggi dengan kisaran nilai Menurut Sukardi et al. (2013) koefisien regim sungai DAS Ciujung sebesar 189. Debit (m 3 /s) Tabel 7 Nisbah debit maksimum dan minimum periode Tahun Qmax Qmin KRS Kelas T T T S ST ST ST ST ST ST ST Keterangan : S: Sedang; T: Tinggi; ST: Sangat Tinggi Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan adalah bentuk perwujudan usaha manusia dalam menggunakan sumberdaya alam atau lahan, yang di dalamnya terdapat komponen usaha, sedangkan tutupan lahan adalah bentuk perwujudan fisik dari penggunaan

37 yang direncanakan ataupun tidak. Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Arsyad (2010) penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Dikenal berbagai macam penggunaan lahan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, tempat rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Selama periode lima tahun ( ) terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciujung. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan yaitu pertanian lahan kering campur semak, sawah, semak belukar, pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanah terbuka masing-masing sebesar 1,970.4, 697.5, 225.3; 163.5, 99.2 dan 8.7 hektar atau 3.2, 1.5, 2.6, 0.7, 0.8, dan 1.3 %. Penggunaan lahan pemukiman dan tubuh air tidak terlihat adanya perubahan. Tabel 8 Perubahan penggunaan lahan tahun Penggunaan Lahan Perubahan (ha) (ha) (ha) (%) Hutan Lahan Kering Primer 1, , Hutan Lahan Kering Sekunder 8, , Hutan Tanaman Keras 21, , , Pemukiman 5, , Perkebunan 13, , Pertanian Lahan Kering 23, , Pertanian Lahan Kering Campur Semak 60, , , Sawah 45, , Semak Belukar 8, , Tanah Terbuka Tubuh Air Total 190, , Penggunaan lahan yang mengalami pengurangan diantaranya adalah hutan tanaman keras, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer masing-masing sebesar 2,948.3, 202.9, dan 13.4 hektar atau 13.9, 2.3, dan 0.7 %. Sebagian besar hutan tanaman keras berubah menjadi pertanian lahan kering campur ( hektar) dan selebihnya menjadi sawah, semak belukar, serta tanah terbuka masing masing sebesar 746.4; 234.6; dan 8.7 hektar. Hutan lahan kering sekunder berubah menjadi area pertanian lahan kering campur semak (186.1 hektar) dan pertanian lahan kering (16.79 hektar). Hutan lahan kering primer berubah menjadi pertanian lahan kering campur semak sebesar hektar (Tabel Lampiran 1). Penggunaan lahan dan tutupan lahan dianggap sebagai faktor yang paling penting yang mempengaruhi intensitas dan frekuensi dari aliran permukaan (Ruiz 2010, Kosmas et al dan Mitchell 1990 dalam Nunes 2011). Perubahan penggunaan lahan memiliki beberapa dampak, seperti hilangnya vegetasi alami, 17

38 18 menurunnya biodiversitas, berkurangnya ketersediaan air, dan degradasi tanah. Seringkali konsekuensi dan gejala yang diakibatkan oleh kesalahan dalam mengelola lahan bukan hanya aliran permukaan dan erosi tanah di hulu, tapi juga berkontribusi terhadap efek negatif yang terjadi di hilir seperti banjir, polusi, dan pengendapan badan air dan reservoir. Jadi, degradasi lahan yang dihasilkan dari perubahan-perubahan dalam penggunaan lahan dan atau kondisi klimatik itu tidak hanya melibatkan petani di hulu, tapi juga pengguna sumberdaya air di hilir (Pender et al dan Vries et al dalam Valentin et al. 2008). Konversi lahan hutan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan debit aliran sungai. Lahan hutan di DAS Ciujung mengalami pengurangan selama periode , baik itu hutan tanaman keras, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder (Tabel 8). Sebagian besar lahan hutan tersebut dialih gunakan menjadi lahan pertanian. Bruijnzeel (2004) dalam Ayanu (2009) menyatakan bahwa penggundulan lahan hutan di bagian hulu suatu DAS meningkatkan aliran permukaan dan mencapai maksimum ketika hutan telah gundul secara keseluruhan. Aliran permukaan akan menurun di bawah tutupan tanaman hutan yang terjaga dengan baik dan sebaliknya akan meningkat seiring dengan konversi lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Couto dan Vega (2007). Hasil penelitian Phan et al. (2010) dalam Khoi dan Suetsugi (2014) yang melakukan penelitian di daerah tangkapan air Cau (the Cau River Catchment) di utara Vietnam menunjukkan bahwa konversi lahan hutan sebesar 11.07% menjadi lahan pertanian menyebabkan peningkatan streamflow sebesar 3.9% dan hasil sedimen sebesar 8.94%. Ranzi et al. (2012) dalam Khoi dan Suetsugi (2014) yang melakukan penelitian di DAS Lo (Vietnam) menunjukkan bahwa konversi lahan hutan sebesar 35% menyebabkan peningkatan erosi tanah sebesar 28%. Wang et al. (2014) yang melakukan penelitian di DAS Dong dan Puli (Tiongkok) menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan terutama di DAS Dong sebesar km 2 (0.84%), sedangkan lahan terbangun meningkat terutama di DAS Puli sebesar 4.74 km 2 (164.66%) selama sepuluh tahun ( ). Perubahan penggunaan lahan tersebut secara dramatis mempengaruhi proses hidrologi. Quickflow (aliran permukaan ditambah aliran di bawah permukaan) meningkat, baik di DAS Puli maupun di DAS Dong. Peningkatan tersebut masing-masing sebesar dan 15.1 % di DAS Puli serta 7.86 dan 5.37% di DAS Dong pada tahun 2005 dan Meningkatnya luas lahan semak, perkebunan, dan sawah turut berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah debit aliran sungai. Aliran permukaan pada lahan semak dan perkebunan kakao yang sudah tua lebih besar 2.3 dan 2.2 kali lipat jika dibandingkan dengan aliran permukaan pada lahan hutan (Hidayat et al. 2012). Hasil penelitian Miller et al. (2014) menunjukkan bahwa peningkatan luas area pemukiman dari 11% menjadi 44% menyebabkan peningkatan debit puncak lebih dari 400%. Semakin meningkatnya debit puncak ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya aliran permukaan seiring dengan semakin meningkatnya areal pemukiman. Hal senada diungkapkan oleh Burns et al. (2005). Pada penggunaan lahan padi terbentuk tapak bajak pada kedalaman yang cukup dangkal dari permukaan. Tapak bajak mencegah masuknya air ke dalam tanah yang lebih dalam sehingga air tertahan pada lapisan tanah bagian atas saja. Lapisan tapak bajak memiliki konduktivitas hidraulik yang rendah dan aktivitas

39 pelumpuran juga merusak makropori tanah. Konsekuensinya laju infiltrasi menjadi rendah dan meningkatkan aliran permukaan (Sharma et al. 2013) Debit (m 3 /s) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 5 Debit aliran sungai bulanan periode dan Meningkatnya debit aliran sungai tak terlepas dari terjadinya degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya. Gol (2009) menyatakan bahwa konversi hutan alam menjadi lahan pertanian intensif berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Hal ini terkait erat dengan menurunnya kadar karbon organik tanah. Hasil penelitian Bahrami et al. (2010) menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian berpengaruh nyata terhadap bobot isi dan porositas tanah. Bobot isi meningkat pada kisaran g/cm 3. Meningkatnya bobot isi tanah ini diakibatkan oleh pemadatan tanah oleh mesin pertanian dan aktivitas manusia terkait pembersihan lahan (land clearing) serta aktivitas pertanian lainnya yang dapat menurunkan kadar karbon organik tanah. Porositas tanah pada perkebunan teh dengan kedalaman 0-20 cm lebih rendah % jika dibandingkan dengan hutan alami. Penurunan yang sangat signifikan terjadi pada makropori tanah. Penurunan volume makropori tanah memiliki efek negatif langsung terhadap kapasitas infiltrasi dan kemampuan memegang air tanah. Hasil penelitian Monde (2008) menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata meningkatkan bobot isi dan menurunkan porositas, permeabilitas, indeks stabilitas agregat, dan C-organik tanah. Degradasi sifat-sifat fisik tanah tersebut dapat menghambat pergerakan air ke dalam tanah yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan.

40 20 Tanah Parameterisasi Model SWAT Satuan tanah di DAS Ciujung diklasifikasikan berdasarkan peta 1:250,000 yang dikeluarkan oleh Puslitanak. Terdapat 13 satuan tanah yang terdistribusi di DAS Ciujung (treshold sebesar 5%). Setiap satuan tanah tersebut terdiri dari dua sampai tiga macam tanah (Gambar 6). Gambar 6 Peta satuan tanah DAS Ciujung Satuan tanah Tropudults dan Tropudalfs mendominasi dengan luas 30, hektar (21.62%). Satuan tanah Troporthents, Tropudults, dan Dystropepts memiliki luasan terkecil dengan hektar (0.32%). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada jenis tanah dominan pada setiap satuan tanah. Masing-masing satuan tanah tersebut dilengkapi dengan data atribut hasil survei lapang dan analisis laboratorium (Tabel Lampiran 14-17). Tabel 9 Klasifikasi jenis tanah DAS Ciujung Satuan Tanah Kode SWAT Luas Hektar % Asosiasi Troporthents; Tropudults; Dystropepts TTTD Asosiasi Dystrandepts; Humitropepts; Hydrandepts TDHH 11, Asosiasi Dystrandepts; Tropudults; Eutropepts TDTE 3, Asosiasi Dystropepts; Dystrandepts; Tropudults TDDT 25, Asosiasi Dystropepts; Eutropepts; Tropudalfs; TDET 4, Asosiasi Dystropepts; Humitropepts; Tropohumults TDHT 9, Asosiasi Dystropepts; Tropudults; Troporthents TDTT 22, Asosiasi Eutropepts; Tropudults; Tropudalfs TETT 1, Asosiasi Tropaquepts; Tropofluvents; Eutropepts TTTE 6, Asosiasi Tropudalfs; Eutropepts; Tropaquepts TTET 20, Asosiasi Tropudalfs; Tropudults TTAT 5, Asosiasi Tropudults; Tropudalfs TTUT 30, Asosiasi Tropodults, Dystropepts, Troporthents TTDT Total 142,

41 Penggunaan Lahan Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2011 (skala 1:250,000) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementrian Kehutanan, terdapat 11 jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciujung yang digunakan sebagai input saat analisis HRU (Gambar 7). 21 Gambar 7 Peta penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Batas treshold yang digunakan untuk penggunaan lahan adalah 5%. Setelah proses pendefinisian HRU didapatkan sembilan jenis penggunaan lahan yang digunakan untuk proses selanjutnya. Penggunan lahan tersebut diantaranya adalah pertanian lahan kering campur semak, pemukiman, hutan tanaman keras, semak belukar, sawah, pertanian lahan kering, hutan lahan kering sekunder, perkebunan, dan hutan lahan kering primer. Pertanian lahan kering campur semak memiliki luasan terbesar dengan 42.55% dari total luas DAS atau 60, hektar. Pemukiman memiliki luasan terkecil sebesar 0.90% (1, hektar). Penggunaan lahan dan luasannya secara lengkap tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011 Penggunaan Lahan Kode SWAT Luas Hektar % Hutan Lahan Kering Primer HLKP 1, Hutan Lahan Kering Sekunder HLKS 8, Hutan Tanaman Keras HTTN 18, Pemukiman PMKN 1, Perkebunan PKBN 8, Pertanian Lahan Kering PTLK 8, Pertanian Lahan Kering Campur Semak PLKC 60, Sawah PADI 27, Semak Belukar SMBK 7, Total 142,

42 22 Kemiringan Lereng Kelas kemiringan lereng DAS Ciujung dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu: 0-8, 8-15, 15-25, 25-40, dan >40 %. Klasifikasi tersebut dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.4/V-Set/2013 tentang petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Tabel 11 Kemiringan lereng DAS Ciujung Kemiringan Lereng (%) Kelas Luas Hektar % 0-8 Datar 34, Landai 40, Agak Curam 34, Curam 20, > 40 Sangat Curam 11, Total 142, Kelas kemiringan lereng yang mendominasi di DAS Ciujung adalah kelas landai (8-15 %) dengan luas 40, hektar atau % dari total luas DAS. Kelas sangat curam (>40 %) memiliki sebaran yang paling sedikit, yaitu 11, hektar (7.95 %). Kelas datar, agak curam, dan curam masing-masing sebesar 34,719.13, 34,610.46, dan 20, hektar atau 24.44, 24.36, dan %. Gambar 8 Peta kemiringan lereng DAS Ciujung

43 23 Deliniasi DAS Output Model SWAT Keakuratan suatu model tergantung pada sejauh mana parameter input model dapat menggambarkan karakteristik yang relevan terhadap suatu DAS. SWAT merupakan model semi-distributed yang membagi DAS menjadi sub-unit yang lebih kecil menggunakan Digital Elevation Model (DEM). Level pertama dari sub-unit tersebut adalah sub DAS. Untuk pembentukan sub DAS, SWAT memberikan pilihan ambang batas (threshold limit of flow accumulation). Besar kecilnya threshold yang digunakan akan menentukan pembentukan jaringan sungai utama dan anak sungai. Kemudian jaringan sungai yang terbentuk tersebut akan menentukan jumlah Sub DAS yang terbentuk dalam DAS. Jumlah sub DAS yang terbentuk dapat berpengaruh terhadap hasil output model SWAT (Fitzhugh dan Mackay 2000). Gambar 9 Hasil deliniasi DAS berdasarkan treshold yang digunakan Ambang batas awal yang diberikan model pada proses stream definition adalah sebesar ha. Terdapat delapan treshold yang digunakan yaitu 500, 1000, 2000, 3000, 4000, 5000, 6000, dan 7000 ha. Hasil penelitian menunjukkan treshold yang digunakan berpengaruh terhadap hasil output model. Hal ini dapat dilihat dari nilai R 2 dan NSE yang dihasilkan sebelum proses kalibrasi. Aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), dan aliran dasar (GWQ) rata-rata tahun 2011 yang dihasilkan dengan jumlah sub DAS 155 (treshold 500 ha) lebih tinggi sebesar 9, 6, dan 23% daripada yang dihasilkan dengan jumlah sub DAS 11 (treshold 7000 ha). Hal ini menyebabkan debit aliran rata-rata pada

44 24 threshold 500 ha lebih tinggi 11% jika dibandingkan dengan threshold 7000 ha (Tabel 12). Hasil penelitian ini sejalan dengan Fitzhugh dan Mackay (2000) yang melakukan penelitian di DAS Pheasant Branch (Wisconsin) yang menggunakan 8 jumlah sub DAS berbeda (3, 5, 11, 23, 47, 73, 97, dan 181 sub DAS). Hasilnya menunjukkan bahwa debit aliran yang dihasilkan dengan 181 sub DAS 12% lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3 sub DAS. Walaupun demikian, debit aliran yang dihasilkan tidak menunjukkan pola yang tetap ketika jumlah sub DAS ditambah ataupun dikurangi. Hal yang sama dihasilkan oleh Rouhani et al. (2006) yang melakukan penelitian di daerah tangkapan air Grote Nete, Belgia. Jumlah sub DAS yang digunakan yaitu 1, 4, 8, 20, dan 40 sub DAS. Hasilnya menunjukkan bahwa debit aliran rata-rata tahunan menurun seiring dengan diturunkannya jumlah sub DAS dari 40 sampai 4, namun kembali meningkat ketika jumlah sub DAS kembali diturunkan menjadi 1. Tabel 12 Pengaruh treshold yang digunakan terhadap output model sebelum proses kalibrasi Treshold Jumlah Stasiun CH SURQ LATQ GWQ Q (ha) Sub DAS Hujan (mm) (mm) (mm) (mm) (m 3 /s) R 2 NSE Pola debit aliran yang tidak tetap tersebut dikarenakan selain berpengaruh terhadap jumlah sub DAS dan jaringan sungai yang terbentuk, treshold yang digunakan juga berpengaruh terhadap jumlah stasiun hujan yang terbaca oleh model. Semakin kecil treshold yang digunakan (semakin banyak jumlah sub DAS yang terbentuk) menyebabkan jumlah stasiun hujan yang terbaca semakin banyak. (a) Gambar 10 Sebaran stasiun hujan yang terbaca dengan treshold 2000 ha (a) dan 7000 ha (b) (b)

45 Menurut Galván et al. (2014) dalam menentukan curah hujan setiap sub DAS, model SWAT menggunakan hanya 1 stasiun hujan yang paling dekat dengan centroid untuk setiap sub DAS. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan ketika jumlah sub DAS dikurangi akan menyebabkan berkurangnya jumlah stasiun hujan yang terbaca, begitu juga sebaliknya. Hasil peneltian ini tidak sejalan dengan pernyataan tersebut. Stasiun yang terbaca tidak hanya satu dalam satu sub DAS (Gambar 7a) dan terdapat stasiun hujan terbaca yang jaraknya jauh dari centroid (Gambar 7b). Hal ini menunjukkan model SWAT (ArcSWAT ) belum stabil dalam membaca stasiun hujan. Jumlah stasiun hujan yang terbaca oleh model dengan treshold 7000, 6000, 5000, 4000, 3000, 2000, 1000, dan 500 ha masing-masing sebanyak 5, 5, 6, 6, 8, 11, 12 dan 12 stasiun. Curah hujan wilayah tertinggi dihasilkan treshold 2000 ha dengan mm dan terendah dihasilkan treshold 6000 dan 7000 ha yaitu sebesar mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa debit aliran yang dihasilkan dengan treshold sebesar 4000 ha memiliki nilai R 2 dan NSE masing-masing sebesar dan Nilai R 2 dan NSE yang dihasilkan dengan treshold lebih besar dari 4000 ha cenderung semakin kecil. Ambang batas 5000 dan 6000 ha menghasilkan nilai R 2 masing-masing sebesar dan 0.403, serta nilai NSE masing-masing sebesar dan Ambang batas 7000 ha menghasilkan nilai R 2 dan NSE masing-masing sebesar dan Pada treshold lebih kecil dari 4000 ha, semakin kecil treshold yang digunakan mengasilkan nilai R 2 dan NSE yang semakin besar, kecuali pada treshold 500 ha dimana NSE menurun jika dibandingkan dengan treshold 1000 ha. Nilai R 2 untuk treshold 3000, 2000, 1000, dan 500 ha masing-masing sebesar 0.526, 0.547, dan 0.558, serta nilai NSE masing-masing sebesar 0.144, 0.177, 0.234, dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kecil threshold yang digunakan maka kinerja model akan lebih baik selama masih dalam rentang threshold yang diberikan oleh model. Rentang threshold yang diberikan model adalah 1, ,116 ha. Sehingga dapat diketahui bahwa batas terkecil dari rentang tersebut merupakan batas optimum threshold pada proses deliniasi DAS Debit (m 3 /s) Debit Observasi 500 ha 1000 ha 2000 ha 3000 ha 4000 ha 5000 ha 6000 ha 7000 ha Gambar 11 Debit aliran pada berbagai treshold

46 26 Besaran treshold yang digunakan untuk proses selanjutnya adalah 2000 ha. Selain karena memiliki nilai R 2 dan NSE yang tidak berbeda secara signifikan dengan treshold 1000 dan 500 ha, treshold tersebut juga menghasilkan jumlah sub DAS yang lebih kecil. Hal ini akan memudahkan dalam proses kalibrasi model. Deliniasi DAS dengan menggunakan treshold 2000 ha menghasilkan 35 sub DAS dan 896 HRU. Luas masing-masing sub DAS hasil deliniasi DAS dengan treshold 2000 ha selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2. Luas sub DAS terkecil terdapat pada sub DAS 1 yaitu 30.1 ha (0.02% dari total DAS). Luas sub DAS terbesar terdapat pada sub DAS 33 dengan 13,495.8 ha atau 9.5% dari total DAS. Luasan terkecil dan terbesar tersebut menggambarkan bahwa terdapat ketimpangan dalam hal luas masing-masing sub DAS, sehingga perlu dilakukan pengurangan sub DAS. Setelah dilakukan pengurangan sub DAS dengan cara menghapus beberapa outlet, dihasilkan 26 sub DAS dengan luas antara 1, sampai dengan 14, hektar (Tabel 13). Hal ini dapat meningkatkan nilai R 2 dan NSE masing-masing menjadi dan Sebanyak 781 HRU terbentuk sebagai hasil overlay peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta kemiringan lereng dengan treshold masing-masing sebesar 5%. Tabel 13 Pembagian sub DAS hasil deliniasi secara otomatis oleh model SWAT Sub DAS Luas Hektar % 1 3, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Total 142,

47 27 Gambar 12 Peta Sub DAS hasil deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Analisis Sensitivitas Telah banyak studi yang menjelaskan mengenai parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi pada model SWAT. Walaupun demikian, parameter yang digunakan sangat bervariasi tergantung dari pendekatan yang digunakan dan lokasi penelitian (Feyereisen et al. 2007). Douglas-Mankin et al. (2010) dan Tuppad et al. (2011) dalam Arnold et al. (2012) menjelaskan bahwa parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi terkait dengan aliran permukaan diantaranya adalah CN2, SOL_AWC, ESCO, EPCO, SURLAG, dan OV_N. Parameter yang berhubungan dengan baseflow juga digunakan, diantaranya ALPHA_BF, GW_REVAP, GW_DELAY, GW_QMN, REVAPMN, dan RCHARG_DP. Parameter serupa digunakan oleh Feyereisen et al. (2007) dengan tambahan SOL_BD, SOL_K, SHALLST, dan CH_K(2). Rahmah (2012) menggunakan CH_N2 dan ALPHA_BNK selain menggunakan parameterparameter tersebut. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap output model SWAT. Parameter statistik yang digunakan dalam analisis sensitivitas adalah t-stat dan p-value. Nilai t-stat menunjukkan tingkat sensitivitas. Semakin besar nilai absolutnya maka semakin sensitif. Parameter p-value dapat mengukur signifikansi dari sensitivitas. Semakin mendekati nol nilainya, maka semakin signifikan tingkat sensitivitasnya (Abbaspour 2011). Terdapat 18 parameter terkait aliran permukaan yang digunakan dalam analisis sensitivitas menggunakan SWAT CUP berdasarkan Van Liew dan Veith (2009). Hasil analisis sensitivitas (Tabel 14) menunjukkan parameter CN2 merupakan parameter yang paling sensitif dan REVAPMN paling tidak sensitif jika dibandingkan dengan parameter lainnya.

48 28 Tabel 14 Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan SWAT CUP Parameter t-stat P-Value Sensitivity Rank r_cn2,mgt v_shallst,gw v_surlag,bsn r_sol_bd,sol v_gwqmn,gw v_esco,bsn r_sol_k,sol v_rchrg_dp,gw v_alpha_bnk,rte v_gw_revap,gw v_epco,bsn r_ch_n2,rte r_ch_k2,rte v_alpha_bf,gw r_ov_n,hru r_sol_awc,sol v_gw_delay,gw v_revapmn,gw Tidak semua parameter tersebut digunakan dalam proses kalibrasi. Parameter-parameter tersebut diantaranya SOL_AWC (kadar air tanah tersedia), SOL_BD (bobot isi tanah), dan SOL_K (permeabilitas tanah). Parameterparameter yang digunakan dalam proses kalibrasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi debit aliran No Parameter Keterangan Nilai Min Nilai Max Nilai yang digunakan 1 CN2 Bilangan kurva aliran permukaan pada kondisi kelembaban tanah ** 2 SHALLST Kedalaman permukaan air pada aquifer dangkal SURLAG Koefisien lag aliran permukaan GWQMN Batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran ESCO Faktor kompensasi evaporasi tanah RCHRG_DP Fraksi perkolasi akuifer dalam ALPHA_BNK Faktor alpha baseflow untuk "bank storage" GW_REVAP Koefisien "revap" air bawah tanah ** 9 EPCO Faktor kompensasi uptake tanaman CH_N(2) Koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama * 11 CH_K(2) Konduktifitas hidrolik efektif pada saluran utama * 12 ALPHA_BF Faktor alpha baseflow OV_N Nilai koefisien Manning ** 14 GW_DELAY Waktu delay air bawah tanah REVAPMN Ket: Batas kedalaman air pada aquifer dangkal untuk "revap" atau perkolasi ke aquifer dalam * nilai berbeda berdasarkan sub DAS ** nilai berbeda berdasarkan penggunaan lahan

49 Kalibrasi Debit Aliran Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m 3 /detik) dan ditunjukkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan/atau adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim global. Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai. Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan turun kembali setelah hujan selesai. Model SWAT merupakan model komprehensif yang mensimulasikan interaksi antar parameter. Sebagai contoh, nilai CN secara langsung mempengaruhi aliran permukaan. Ketika aliran permukaan berubah, maka komponen hidrologi lainnya juga akan berubah. Erosi dan transport unsur hara juga secara langsung dipengaruhi oleh aliran permukaan. Hal ini merupakan alasan utama mengapa kalibrasi dilakukan dengan menyeimbangkan parameter yang berhubungan dengan aliran permukaan terlebih dahulu, setelah itu bergerak ke sedimen dan terakhir adalah kalibrasi unsur hara dan pestisida (Santhi et al. 2001). Kalibrasi dapat dilakukan secara manual, otomatis maupun gabungan keduanya. Kalibrasi secara manual akan membuat pengguna lebih mengerti mengenai model, proses-proses penting yang terjadi pada suatu DAS, dan parameter-parameter sensitif. Pada proses kalibrasi gabungan, Van Liew et al. (2005) menganjurkan autokalibrasi dilakukan terlebih dahulu sebelum kalibrasi manual. Jeong et al. (2010) melakukan kalibrasi manual terlebih dahulu, setelah itu dilakukan autokalibrasi menggunakan SWAT-CUP. Kalibrasi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang pertama. Curah Hujan (mm) Debit Observasi (m3/s) Debit Simulasi (m3/s) 29 Debit (m3/s) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Tahun Curah Hujan (mm) Gambar 13 Hidrograf aliran hasil simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf aliran observasi (Januari-Desember 2011)

50 30 Data observasi yang digunakan untuk kalibrasi adalah data pada bulan Januari-Desember 2011 dari outlet Jembatan II Rangkas. Gan et al. (1997) dalam Arnold et al. (2012) menyarankan untuk melibatkan data dari periode basah dan periode kering pada proses kalibrasi maupun validasi. Debit Observasi (m 3 /s) y = x R² = Debit Simulasi (m 3 /s) Gambar 14 Scatter plot debit aliran simulasi model sebelum proses kalibrasi Kalibrasi pada penelitian ini dilakukan menurut urutan sensitivitas yang paling rendah (REVAPMN) menuju urutan paling tinggi (CN2). Nilai bilangan kurva (CN2) menggambarkan besarnya aliran permukaan yang dihasilkan dari total curah hujan. Nilai ini merupakan fungsi dari sifat-sifat daerah aliran sungai, seperti jenis tanah, penggunaan dan teknologi pengelolaan lahan, kondisi permukaan lahan, dan kelembaban tanah. Nilai CN2 untuk masing-masing penggunaan lahan mengacu kepada Arnold et al. (2012). Nilai-nilai tersebut sesuai untuk lahan dengan kemiringan 0-5%. Kemiringan lereng merupakan faktor penting dalam menentukan pergerakan air pada lahan. Proses kalibrasi dilakukan dengan merubah nilai CN2 berdasarkan kemiringan lereng. Studi mengenai pengaruh kemiringan lereng terhadap aliran permukaan, diantaranya Chaudhary et al. (2013), Huang et al. (2006), dan Patil et al. (2012). Nilai CN2 yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3-9. SHALLST merupakan parameter yang terkait dengan kedalaman permukaan air pada akuifer dangkal. Parameter ini penting dan berhubungan dengan parameter GWQMN. Aliran bawah tanah dapat terjadi jika nilai GWQMN lebih kecil atau sama dengan SHALLST. Nilai SHALLST yang digunakan adalah 4000 mm. Parameter GWQMN merupakan batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran menuju sungai. Aliran air bawah tanah dapat terjadi hanya jika kedalaman air pada aquifer dangkal sama dengan atau lebih besar daripada GWQMN. Nilai GWQMN yang digunakan adalah 3500 mm. Koefisien lag aliran permukaan (SURLAG) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak aliran permukaan setelah terjadinya hujan lebih. Nilai SURLAG pada sub DAS yang luas dengan waktu konsentrasi lebih dari 1 hari artinya hanya sebagian dari aliran permukaan akan mencapai saluran

51 utama pada hari dihasilkannya aliran permukaan tersebut. Nilai yang digunakan adalah 0.5 hari. Air dapat bergerak dari akuifer dangkal menuju zona tidak jenuh di atasnya sebagai hasil dari penurunan kadar air tanah. Air juga dapat dikurangi dari zona akuifer oleh tanaman yang memiliki zona perakaran dalam yang mampu mengambil air secara langsung dari zona tersebut. Proses ini signifikan pada DAS yang memiliki zona jenuh yang tidak terlalu jauh dari permukaan dimana tumbuhan berperakaran dalam tumbuh. Nilai GW_REVAP mendekati 0 artinya pergerakan air dari akuifer dangkal ke zona perakaran akan terbatas. Sebaliknya, jika nilainya mendekati 1 maka banyaknya air yang bergerak dari akuifer dangkal ke zona perakaran akan mendekati nilai evapotranspirasi potensial. Nilai GW_REVAP bervariasi tergantung dari penggunaan lahan dengan rentang nilai (Tabel Lampiran 10). Parameter REVAPMN yaitu batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali terjadinya aliran. Pergerakan air dari akuifer dangkal menuju zona perakaran dapat terjadi jika volume air pada akuifer dangkal sama atau lebih besar dari REVAPMN. Nilai REVAPMN yang digunakan adalah 500 mm. Parameter lainnya adalah RCHRG_DP atau fraksi perkolasi aquifer dalam. Parameter ini mencerminkan fraksi perkolasi dari zona perakaran yang mengisi akuifer dalam. Nilainya berkisar antara dan nilai yang digunakan adalah Faktor alpha baseflow (ALPHA_BF) merupakan indeks yang menggambarkan respon air bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran. Nilainya bervariasi antara untuk lahan yang memiliki respon rendah terhadap aliran dan untuk lahan yang memilki respon tinggi. Nilai yang digunakan adalah 0.52 yang menunjukkan DAS Ciujung memiliki respon sedang. Waktu delay air bawah tanah atau GW_DELAY merupakan waktu yang dibutuhkan air dari bagian bawah zona perakaran untuk mencapai akuifer dangkal. Jeda waktu ketika air berada pada profil tanah dan masuk ke akuifer dangkal tergantung pada kedalaman muka air tanah dan sifat-sifat hidraulik dari formasi geologi zona vadose dan zona air bawah tanah. Nilai ini tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Sengrey et al. (1984) dalam Arnold et al. (2012) nilai GW_DELAY yang sama dapat digunakan pada DAS yang berdampingan dan memiliki kondisi geomorfik yang sama. Nilai GW_DELAY yang digunakan adalah 120 hari. Parameter ALPHA_BNK merupakan faktor alpha baseflow untuk bank storage. Bank storage berkontribusi terhadap aliran pada saluran utama atau saluran pada sub DAS. Nilai ALPHA_BNK disimulasikan dengan kurva resesi yang sama seperti yang digunakan untuk aliran bawah tanah. Faktor alpha baseflow, atau konstanta resesi, mengkarakterisasikan kurva resesi bank storage. Nilai konstanta ini lebih kecil dari 1. Nilainya akan besar (mendekati satu) untuk resesi yang datar dan nilainya akan kecil (mendekati nol) untuk resesi yang curam. Nilai ALPHA_BNK yag digunakan adalah EPCO merupakan faktor kompensasi uptake tanaman. Jumlah penggunaan air oleh tanaman merupakan fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk transpirasi dan air yang tersedia di dalam tanah. Faktor kompensasi uptake tanaman berkisar antara Jika nilai EPCO mendekati 1.0, lebih banyak kebutuhan uptake tanaman untuk dipenuhi oleh lapisan tanah yang lebih bawah. 31

52 32 Jika EPCO mendekati 0.0, maka berlaku sebaliknya. Nilai EPCO yang digunakan adalah Faktor kompensasi evaporasi (ESCO) menggambarkan kebutuhan air dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah akibat efek kapilaritas, pengkerakan, dan peretakan tanah. Nilai ESCO berkisar antara Semakin kecil nilainya maka model ini mampu mengekstrak lebih banyak permintaan menguapkan dari lapisan yang lebih dalam. Nilai ESCO yang digunakan adalah Koefisien kekasaran Manning (OV_N) mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Arnold et al. (2012). Nilai OV_N bervariasi menurut penggunaan lahannya. Kisaran nilai yang digunakan untuk masing-masing penggunaan lahan adalah (Tabel Lampiran 11). Nilai CH_N(2) atau koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama tergantung pada karakteristik saluran. Nilai CH_N(2) yang digunakan ditentukan berdasarkan sub DAS (Tabel Lampiran 12). CH_K(2) merupakan parameter konduktifitas hidraulik efektif pada saluran utama. Aliran sungai dapat dikategorikan berdasarkan hubungannya dengan sistem air bawah tanah. Kategori pertama, aliran sungai yang terletak pada suatu area yang mendapatkan aliran air bawah tanah sehingga terjadi peningkatan debit aliran sungai pada bagian hilir. Kategori kedua, aliran sungai terdapat pada area yang memungkinkan berkurangnya aliran terkait sistem air bawah tanah sehingga dapat menurunkan debit aliran pada bagian hilir. Tipe ketiga, terjadi kehilangan aliran akibat saluran tersebut berada di atas area aliran bawah tanah. Kategori terakhir adalah saluran yang secara simultan menerima dan kehilangan air bawah tanah. Nilai CH_K(2) yang digunakan berbeda berdasarkan sub DAS dengan rentang nilai mm/jam (Tabel Lampiran 13). Gambar 15 Hidrograf aliran hasil kalibrasi model (Januari-Desember 2011) Hasil kalibrasi model SWAT menunjukkan nilai R 2 dan NSE masingmasing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik). Nilai R dan NSE 0.5 merupakan nilai yang dapat diterima (Santhi et al. 2001). Hasil ini menunjukkan bahwa model SWAT cukup baik untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Walaupun demikian, secara umum model masih menunjukkan hasil yang lebih kecil jika dibandingkan dengan data observasi, terutama saat memasuki musim kemarau

53 (Juni-September). Hal ini dimungkinkan karena stasiun hujan yang tersedia tidak tersebar secara merata sehingga pola hujan yang dihasilkan pada musim kemarau berbeda. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Rahayuningtyas et al. (2014) yang melakukan penelitian di DAS Lesti, Jawa Timur. Hasil penelitian Zhang et al. (2015) menunjukkan nilai R 2 dan NSE untuk musim basah keduanya sebesar 0.85, sedangkan untuk musim kering masing-masing sebesar 0.63 dan Debit Observasi (m 3 /s) y = x R² = Debit Simulasi (m 3 /s) Gambar 16 Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses kalibrasi Validasi Debit Aliran Validasi model merupakan proses yang dilakukan untuk menilai keakuratan model dalam melakukan simulasi. Validasi dilakukan dengan menjalankan model menggunakan parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi dan membandingkannya dengan data observasi. Data observasi yang digunakan untuk validasi adalah data pada bulan Januari-Desember 2012 dari outlet Jembatan II Rangkas. Debit Simulasi (m3/s) Debit Observasi (m3/s) Curah Hujan (mm) Debit (m3/s) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Tahu Curah Hujan (mm) Gambar 17 Hidrograf aliran hasil validasi model (Januari-Desember 2012)

54 34 Nilai R 2 dan NSE yang dihasilkan pada proses validasi masing-masing sebesar 0.75 dan 0.67 (baik). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa model SWAT cukup baik untuk mensimulasikan debit aliran sungai pada skala DAS di Indonesia. Debit Observasi (m 3 /s) y = x R² = Debit Simulasi (m 3 /s) Gambar 18 Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses validasi Model SWAT pertama kali dibangun pada awal 1990-an dan saat ini sudah cukup banyak digunakan di Indonesia. Ridwansyah et al. (2014) menguji penerapan model SWAT untuk memodelkan daerah tangkapan air yang kondisi topografinya bergunung dengan fokus daerah tangkapan air Cisadane yang merupakan satu dari 108 DAS prioritas di Indonesia berdasarkan SK.328/Menhut- II/2009. Hasilnya menunjukkan bahwa model SWAT dapat menjadi alat monitoring potensial khususnya untuk DAS-DAS di daerah tangkapan air Cisadane atau daerah beriklim tropis. Irsyad (2011) menyatakan bahwa model SWAT cukup memuaskan untuk analisis debit aliran DAS Cidanau, Banten. Penilitian lain yang menerapkan model SWAT di Indonesia diantaranya adalah Rahmah et al. (2012), Junaidi dan Tarigan (2011), Ridwansyah et al. (2011), Mulyana (2012), serta Junaidi dan Tarigan (2012). Neraca Air Air yang jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk hujan, salju, dan embun akan mengalami berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan akan jatuh kembali ke permukaan bumi. Peristiwa yang terus berulang dan merupakan siklus tertutup ini dinamakan siklus hidrologi (Arsyad 2010). Siklus hidrologi bergantung pada iklim, seperti curah hujan harian, temperatur maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara yang mengontrol neraca air. Proses hidrologi disimulasikan berdasarkan persamaan neraca air, dimana curah hujan yang jatuh dipetakan menjadi beberapa bagian, diantaranya: debit aliran, evapotranspirasi, dan simpanan tanah. Debit aliran termasuk di dalamnya aliran permukaan, aliran lateral, dan aliran dasar. Neraca air DAS Ciujung hasil simulasi model tahun dapat dilihat pada Gambar 19.

55 35 Gambar 19 Neraca air DAS Ciujung tahun hasil simulasi model SWAT Hasil simulasi model menunjukkan bahwa 53% dari total curah hujan (2,150.9 mm) menjadi aliran sungai (streamflow) yaitu sebesar 1, mm. Aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran lateral, air dasar, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai (Arsyad 2010). Sebanyak 59% aliran sungai berasal dari aliran permukaan ( mm). Selebihnya (41%) berasal dari baseflow yang terdiri dari mm aliran lateral (lateral flow) dan mm aliran dasar (return flow). Evapotranspirasi (ET) merupakan salah satu komponen yang penting untuk diketahui dalam siklus hidrologi karena seringkali merepresentasikan kehilangan terbesar dari curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi (Sanford dan Selnick 2013). Hasil analisis model menunjukkan bahwa 44% dari total curah hujan teruapkan kembali melalui proses ini, yaitu sebesar mm dengan ET potensial sebesar 1,701.8 mm. Selain teruapkan kembali ke atmosfer, curah hujan yang jatuh juga akan menyerap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Air yang masuk ke dalam tanah akan mengisi aquifer dangkal melalui proses perkolasi. Perkolasi yang terjadi sebesar mm atau 11% dari total curah hujan. Air yang mengisi aquifer dalam sebesar mm (1.5 % dari total curah hujan).

56 36 Debit Sedimen Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu DAS dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum disebut sedimen. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di lahan di bagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Debit sedimen observasi didapatkan dengan cara membuat rating curve sedimen menggunakan data bulan Februari-Desember Terdapat 3 sample pada setiap kali pengukuran yang dilakukan oleh BBWS C3. Tabel 16 Data observasi debit aliran dan sedimen Tanggal Debit aliran rata-rata (m 3 /s) Debit sedmen rata-rata (ton/hari) 2/21/ /25/ /30/ /27/ /24/ /23/ /2/ /23/ /29/ /29/ /29/ Data debit sedimen tersebut dibandingkan dengan data debit aliran sungai untuk mendapatkan persamaan yang digunakan untuk membuat rating curve debit sedimen observasi Hasil sedimen (ton/hari) y = x R² = Debit aliran sungai (m 3 /s) Gambar 20 Persamaan rating curve sedimen Persamaan yang didapat adalah y = x dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0.85 (Gambar 20). Nilai tersebut menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara debit sedimen (y) dan debit aliran sungai (x).

57 Debit sedimen harian didapatkan dengan cara mengganti nilai x dengan nilai debit aliran sungai harian Hasil Sedimen Simulasi (ton/hari) x y = x R² = Hasil Sedimen Observasi (ton/hari) x 1000 Gambar 21 Scatter plot debit sedimen simulasi model dan observasi Hubungan antara debit sedimen observasi dan simulasi menunjukkan nilai R 2 dan NSE masing-masing sebesar 0.76 (Gambar 21) dan Nilai tersebut menunjukkan bahwa hasil sedimen simulasi memiliki nilai yang cukup jauh dengan hasil sedimen observasi DAS Ciujung. Hasil penelitian ini sejalan dengan Yustika et al. (2012) yang melakukan penelitian di sub DAS Ciliwung Hulu. Belum optimalnya model SWAT dalam memprediksi hasil sedimen di DAS Ciujung dikarenakan kurangnya data debit sedimen observasi. Data debit sedimen observasi yang digunakan untuk membuat rating curve masih kurang representatif, sehingga persamaan yang dihasilkan untuk memprediksi debit sedimen rata-rata harian belum dapat menggambarkan debit sedimen observasi yang sesungguhnya. Model SWAT tidak dapat menggambarkan proses secara akurat karena kurangnya data pemantauan yang diperlukan untuk mengkarakterisasi parameter input (Gassman et al. 2007). Curah Hujan Debit Sedimen Observasi (x1000) Debit Sedimen Simulasi (x10000) Debit Sedimen (ton/hari) Curah Hujan (mm) Gambar 22 Hidrograf debit sedimen observasi dan simulasi Januari-Desember 2011

58 38 Karakteristik Hidrologi Hasil Simulasi Model Aliran permukaan (surface runoff) yang dihasilkan berdasarkan reach pada tahun 2011 yaitu mm (31 % dari curah hujan). Aliran lateral, aliran dasar dan water yield yang dihasilkan masing-masing sebesar , , dan mm. Tabel 17 Karakteristik Hidrologi DAS Ciujung Tahun 2011 Karakteristik Hidrologi Nilai Curah hujan (mm) Aliran permukaan (mm) Aliran lateral (mm) Aliran bawah tanah (mm) Water Yield (mm) Hasil output model berdasarkan sub DAS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 sub DAS 14, 19, 20, dan 21 memiliki aliran permukaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sub DAS yang lainnya. Tebal aliran yang dihasilkan lebih besar dari 1000 mm. Gambar 23 Aliran Permukaan Tahun 2011 Penggunaan lahan dominan pada sub DAS 14, 19, dan 21 adalah pertanian lahan kering campur semak masing-masing sebesar 78, 57, dan 44 % dari total luas sub DAS (Tabel Lampiran 23). Berbeda halnya dengan sub DAS 20 yang didominasi oleh penggunaan lahan hutan tanaman keras (43%), namun memiliki

59 luasan pertanian lahan kering campur semak dan sawah yang cukup besar (22 dan 26%). Jenis tanah yang mendominasi pada keempat sub DAS tersebut memiliki kelas hidrologi tanah C dengan persentase 100, 100, 75, dan 75 % (Tabel Lampiran 25). Kemiringan lereng yang mendominasi keempat sub DAS tersebut adalah 8-15 dan % (Tabel Lampiran 26). Sub DAS 3, 8, 22, 23, 24, 25, dan 26 menghasilkan tebal aliran permukaan yang paling kecil dengan tebal aliran lebih kecil dari 500 mm. Sub DAS lainnya menghasilkan tebal aliran permukaan antara mm. Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Aliran Permukaan Aliran permukaan (surface runoff) yang dihasilkan oleh setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil output model berdasarkan HRU menunjukkan bahwa pemukiman memiliki aliran permukaan tertinggi dengan koefisien aliran permukaan sebesar Hal ini berarti 45 % dari total curah hujan akan menjadi aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan tertinggi diikuti oleh sawah, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan perkebunan masing-masing sebesar 0.41, 0.39, 0.38, dan Penggunaan lahan hutan lahan kering primer memiliki koefisien aliran terkecil yaitu Koefisien aliran permukaan terendah selanjutnya dihasilkan hutan tanaman keras (0.07), hutan lahan kering sekunder (0.17), dan semak belukar (0.22). Tabel 18 Aliran permukaan (surface runoff) setiap penggunaan lahan Penggunaan Lahan Curah Hujan (mm) Aliran Permukaan (mm) Aliran Permukaan (% CH) 39 Koefisien Aliran Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Keras Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Semak Sawah Semak Belukar Hasil penelitian ini sejalan dengan Firdaus (2014) yang melakukan penelitian di bagian hulu DAS Cisadane. Penggunaan lahan hutan, padang rumput dan semak belukar memiliki koefisien aliran yang paling kecil dengan nilai masing-masing sebesar 0.05, 0.1, dan Koefisien aliran untuk pertanian campuran, ladang dan sawah masing-masing sebesar 0.2, 0.3, dan Koefisien aliran pemukiman yang dihasilkan merupakan nilai paling tinggi sebesar Hasil analisis uji F manunjukkan bahwa seluruh penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciujung secara bersama-sama berpengaruh terhadap aliran permukaan dengan nilai signifikansi <0.05 (Tabel 19). Model Jumlah Kuadrat Tabel 19. Hasil analisis uji F Derajat Bebas Mean Square F Sig. Regression Residual Total

60 40 Pengaruh masing-masing penggunaan lahan terhadap aliran permukaan dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa pertanian lahan kering campur semak, hutan tanaman keras, semak belukar, pertanian lahan kering, dan perkebunan berpengaruh nyata terhadap aliran permukaan pada taraf kepercayaan 5% (sig.<0.05). Pertanian lahan kering campur semak, pertanian lahan kering, dan perkebunan berpengaruh positif terhadap aliran permukaan. Hal ini mengandung arti jika persentase penggunaan lahan tersebut meningkat maka akan meningkatkan aliran permukaan. Hutan tanaman keras dan semak belukar berpengaruh negatif terhadap aliran permukaan. Jika persentase penggunaan lahan tersebut meningkat maka aliran permukaan akan menurun. Penggunaan lahan pemukiman, sawah, hutan lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap aliran permukaan pada taraf kepercayaan 5%. Tabel 20. Hasil analisis uji-t Penggunaan Lahan Koefisien Regresi Standar Eror t Sig. Hutan Tanaman Keras Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar Perkebunan Pertanian Lahan Kering Campur Semak Pertanian Lahan Kering Sawah Pemukiman Fluktuasi Debit Aliran Respon Hidrologi terhadap Skenario yang Diterapkan Membaiknya fungsi hidrologi tanah setelah dilakukan tindakan penanggulangan diperlihatkan dengan menurunnya debit maksimum dan meningkatnya debit minimum (Arsyad 2010). Fluktuasi debit aliran maksimum bulanan dapat dilihat pada Gambar 24. Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario Debit aliran (m3/s) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 24 Fluktuasi debit aliran maksimum DAS Ciujung tahun 2011

61 Debit maksimum bulanan tertinggi terjadi pada bulan April. Sebelum diterapkan teknologi konservasi tanah dan air debit maksimum bulanan pada bulan tersebut adalah sebesar m 3 /s. Setelah diterapkan skenario, debit maksimum menurun pada semua skenario yang diterapkan. Debit maksimum bulan April pada skenario 1 dan 2 sebesar dan 480 m 3 /s, sedangkan pada skenario 3, 4, dan 5 masing-masing sebesar 510.3, 457 dan m 3 /s. Menurunnya debit maksimum setelah dilakukan tindakan penanggulangan dapat mengindikasikan kondisi DAS tersebut membaik dan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya banjir Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 30 Debit (m3/s) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 25 Fluktuasi debit aliran minimum DAS Ciujung tahun 2011 Semua skenario yang diterapkan dapat meningkatkan debit minimum bulanan terutama saat memasuki musim kemarau. Debit minimum bulanan terkecil terjadi pada bulan Oktober sebesar 2.6 m 3 /s sebelum diterapkan teknologi konservasi tanah dan air. Debit minimum bulan Oktober pada skenario 4 dan 5 yaitu sebesar 5 dan 6.7 m 3 /s. Debit minimum bulan Oktober pada skenario 1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 3.3, 4.4, dan 3.3 m 3 /s. Salah satu indikator kondisi suatu DAS adalah nisbah debit maksimum dan debit minimum. Semakin besar nilainya menandakan kondisi DAS semakin buruk, sebaliknya semakin kecil nilainya maka kondisi DAS semakin baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua skenario yang diterapkan memiliki nilai nisbah debit maksimum dan debit minimum lebih kecil dibandingkan dengan sebelum dilakukan skenario. Kondisi paling baik dihasilkan skenario 5 dengan nilai Qmax/Qmin sebesar 65 dengan kategori sedang berdasarkan kriteria yang diterapkan oleh Dirjen RLPS. Skenario 1, 2, dan 3, masing-masing menghasilkna nisbah sebesar 148 (ST), 109 (T), dan 155 (ST), serta skenario 4 sebesar 91 dengan kategori tinggi. Tabel 21 Fluktuasi debit aliran Sungai Ciujung pada berbagai skenario penerapan teknik KTA Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Qmax Qmin Qmax/Qmin Kategori ST ST T ST T S Keterangan : ST: sangat tinggi; T: tinggi; S: sedang

62 42 Aliran Permukaan, Aliran Lateral, Aliran Dasar, dan Hasil Air Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario-skenario yang diterapkan secara umum dapat menurunkan aliran permukaan (surface runoff) dan hasil air (water yield), serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar (Tabel 22). Tabel 22 Karakteristik hidrologi DAS Ciujung pada berbagai skenario yang diterapkan pada tahun 2011 Skenario CH SURQ SURQ LATQ LATQ GWQ GWQ WYLD WYLD mm mm mm % mm mm % mm mm % mm mm % Tanpa Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Keterangan: : perbandingan nilai hasil skenario yang diterapkan dengan tanpa skenario Penerapan skenario fungsi kawasan hutan (skenario 1) dengan teknik KTA berupa reboisasi mampu menurunkan aliran permukaan (surface runoff) sebesar 15%. Mubarok (2014) menerapkan simulasi fungsi kawasan hutan di DAS Way Betung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi penurunan aliran permukaan sebesar 64%. Hal ini dikarenakan fungsi kawasan hutan di DAS tersebut mencapai 63% dari total DAS. Penanaman tanaman hutan secara luas dapat mengurangi dan mengendalikan surface runoff yang akan terjadi dan dapat memperkecil kemungkinan banjir (Pudjiharta 2008). Menurunnya aliran permukaan tidak terlepas dari meningkatnya kapasitas dan laju infiltrasi tanah pada kawasan hutan, Hasil penelitian Taylor et al. (2009) menunjukkan bahwa laju infiltrasi kawasan hutan kali lebih besar jika dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya jumlah air yang meresap ke dalam tanah sehingga dapat meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar. Peningkatan aliran lateral dan aliran dasar pada penelitian ini masing-masing sebesar 19 dan 3%. Terjadi penurunan hasil air sebesar 5% dengan diterapkannya skenario fungsi kawasan hutan. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan air. Dengan bertambah banyaknya kawasan hutan, maka air yang diserap tanaman akan semakin banyak. Evaporasi dari air yang diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman juga bertambah, sehingga air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih sedikit. Hasil air (water yield) dari lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan perkebunan karet dan kakao lebih tinggi sekitar mm per tahun dibandingkan ketika lahan ini ditutupi oleh hutan alam (Purwanto dan Ruitjer 2004). Khoi dan Suetsugi (2014) melakukan penelitian dengan menggunakan model SWAT di daerah tangkapan air Be (the Be River Catchment) Vietnam. Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan lahan hutan sebesar 16.3% meningkatkan streamflow ( %), sediment load ( %), dan aliran permukaan ( %), serta menurunkan cadangan air bawah tanah ( %). Penerapan skenario rehabilitasi lahan kritis dengan teknik KTA berupa reboisasi dan agroforestry (skenario 2) dapat menurunkan aliran permukaan dan hasil air masing-masing sebesar 30 dan 6 %. Vegetasi dan lapisan serasah dapat

63 menghambat aliran permukaan dengan melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butiran air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah dapat menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi tanah (Noordwijk et al. 2004). Pengolahan lahan semak belukar menjadi agoforestry dapat mempertahankan bahkan memperbaiki fungsi hidrologi dari DAS yang ditunjukan dengan berkurangnya aliran permukaan sampai 50% (Tanika et al. 2013). Aliran lateral dan aliran dasar mengalami peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan dengan tanpa skenario yaitu sebesar 23 dan 32 % (Tabel 22). Reboisasi dan penghijauan yang berhasil bukan hanya menurunkan aliran permukaan tetapi sekaligus meningkatkan air simpanan dalam tanah (Kusmana et al. 2004). Diterapkannya skenario 3 (teknik konservasi tanah dan air metode vegetatif berupa reboisasi, agroforestry, dan strip cropping) dapat menurunkan aliran permukaan dan hasil air masing-masing sebesar 10 dan 5 %. Penerapan skenario ini juga dapat meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar masing-masing sebesar 12 dan 3 %. Penerapan strip cropping dapat menurunkan aliran permukaan sampai 13 % (Flanangan et al. 2010). Hasil penelitian Yustika et al. (2012) menunjukkan bahwa kombinasi penerapan teknologi konservasi tanah penanaman strip di lahan kebun campuran dan agroforestry di lahan perkebunan teh dapat menghambat aliran permukaan sebesar %. Penerapan skenario teknik konservasi tanah dan air metode sipil teknis berupa bendungan, contouring, dan lubang resapan biopori mampu menurunkan aliran permukaan hingga 32 %. Peningkatan aliran lateral cukup besar jika dibandingkan dengan tanpa skenario yaitu sebesar 32 %. Aliran dasar juga meningkat sebesar 1.3% jika dibandingkan dengan tanpa skenario. Penerapan teknik KTA sipil teknis berbasis alur dan lahan tersebut mampu menampung dan menahan aliran permukaan yang terjadi. Aliran permukaan yang dihasilkan sub DAS 15 dimana Bendungan Karian berada menurun sebesar 44 % setelah diterapkan skenario 4 (Tabel Lampiran 21). Penerapan skenario 5 yang menggabungkan skenario 1, 2, 3, dan 4 dengan menerapkan seluruh teknik KTA merupakan skenario yang paling baik. Penerapan skenario 5 dapat menurunkan aliran permukaan sebesar % serta meningkatkan aliran lateral dan aliran dasar (masing-masing sebesar 32 dan 80 %). Hasil Sedimen Kunci keberhasilan dalam menurunkan hasil sedimen suatu DAS adalah dengan menurunkan aliran permukaan. Hal ini dikarenakan untuk daerah tropis seperti di Indonesia, air merupakan media alami utama pembawa partikel-partikel tanah dan memindahkannya dari suatu tempat ke tempat lain. Semakin besar aliran permukaan yang dapat dikurangi maka semakin besar pula hasil sedimen yang dapat diturunkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario 5 merupakan skenario yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan yaitu sebesar 46 % jika dibandingkan dengan tanpa skenario. Hal ini diikuti dengan menurunnya hasil sedimen sebesar 95 %. Penerapan skenario 4 menghasilkan penurunan hasil sedimen terbesar kedua dengan 83 %. Penurunan hasil sedimen sebesar 76, 32 dan 43

64 44 29 % dihasilkan dengan penerapan skenario 2, 1, dan 3. Hasil penelitian Firdaus (2014) menunjukkan bahwa penerapan skenario gabungan antara contouring, teras, dan strip cropping dapat menurunkan hasil sedimen sebesar 88.93%. Tabel 23 Penurunan hasil sedimen setelah diterapkan skenario pengelolaan lahan Skenario Hasil sedimen (ton/hari) Penurunan hasil sedimen ton/hari % Tanpa skenario 47, Skenario 1 32,686 15, Skenario 2 11,422 36, Skenario 3 33,915 14, Skenario 4 8,154 39, Skenario 5 2,510 45, Rekomendasi Pengelolaan Lahan Berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan debit maksimum dan meningkatkan debit minimum, skenario 5 merupakan pengelolaan lahan terbaik yang dapat diterapkan di DAS Ciujung. Hal ini dapat digambarkan dengan nisbah debit maksimum dan debit minimum yang dihasilkan merupakan nisbah paling kecil jika dibandingkan dengan skenario lainnya (Tabel 21). Kecilnya nisbah debit maksimum dan debit minimum menggambarkan keberlangsungan aliran sungai dapat dijaga sepanjang tahun. Artinya tidak terjadi kekeringan pada musim kemarau dan debit maksimum yang dihasilkan dapat dikendalikan sehingga kemungkinan terjadinya banjir dapat dikurangi. Skenario 5 juga memiliki kemampuan yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan (46 % dari aliran permukaan tanpa skenario). Hasil ini lebih baik dari skenario 4 (32 %), skenario 2 (30 %) serta skenario 1 dan 3 yang hanya dapat menurunkan aliran permukaan sebesar 15 dan 10 %. Penurunan aliran permukaan pada setiap sub DAS juga dapat menggambarkan pengelolaan lahan optimum yang dapat diterapkan di DAS Ciujung (Gambar 26-30). Gambar 26. Aliran permukaan pada skenario 1 Gambar 27. Aliran permukaan pada skenario 2

65 45 Gambar 28. Aliran permukaan pada skenario 3 Gambar 29. Aliran permukaan pada skenario 4 Gambar 30. Aliran permukaan pada skenario 5 Pada skenario 1 dan 3 masih terdapat dua sub DAS yang mengasilkan aliran permukaan > 1000 mm. Sub DAS yang mengasilkan aliran permukaan antara mm juga masih banyak dihasilkan pada skenario 1 dan 3, masingmasing sebanyak 12 sub DAS. Pada skenario 2, 4, dan 5 tidak dihasilkan aliran permukaan > 1000 mm dan memiliki sub DAS dengan aliran permukaan < 500 mm lebih banyak daripada skenario 1 dan 3. Bahkan pada skenario 5 hanya terdapat 3 sub DAS yang menghasilkan aliran permukaan antara mm, sedangkan pada skenario 2 dan 4 masih terdapat 7 dan 9 sub DAS dari total 26 sub DAS. Aliran permukaan yang dihasilkan pada setiap sub DAS dapat dilihat pada Tabel Lampiran 21. Meningkatnya aliran lateral dan aliran dasar merupakan kriteria penting yang dapat diperhitungkan dalam menentukan pengelolaan lahan terbaik yang akan diterapkan. Hal ini dikarenakan aliran inilah yang akan menyuplai aliran sungai pada saat musim kemarau tiba. Jika aliran lateral dan aliran dasar dapat ditingkatkan, maka aliran sungai pada musim kemarau dapat terjamin keberlangsungannya. Dalam hal ini skenario 5 memiliki kemampuan yang lebih

66 46 baik daripada skenario lainnya. Aliran lateral dan aliran dasar meningkat sebesar 32 dan 80 % setelah diterapkan skenario 5 (Tabel 22). Kemampuan menurunkan aliran permukaan (surface runoff) sangat penting kaitannya dengan menurunnya debit puncak dari segi waktu tempuh dan kuantitasnya sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Kemampuan skenario 5 dalam menurunkan aliran permukaan paling baik diikuti dengan kemampuannya dalam menurunkan hasil sedimen. Skenario 5 merupakan skenario terbaik dengan penurunan hasil sedimen mencapai 95% (Tabel 23 dan Gambar 31). Sedimentasi pada badan air merupakan masalah serius yang dimiliki DAS Ciujung. Semakin banyak sedimen yang memenuhi badan air maka kapasitas menampung air dapat berkurang karena terjadi pendangkalan. Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya banjir. 100 Penurunan Hasil Sedimen (%) Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Gambar 31 Penurunan hasil sedimen (%) setelah dilakukan skenario pengelolaan lahan Yustika et al. (2012) melakukan penelitian menggunakan model SWAT untuk simulasi manajemen lahan di sub DAS Ciliwung Hulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi teras bangku pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan dapat menghambat aliran permukaan hingga 79.21%. Penerapan teknik konservasi penanaman menurut kontur terbukti efektif dalam menghambat aliran permukaan hingga 70.36%. Penerapan teknik konservasi teras bangku dan agroforestri (perkebunan teh) dapat menghambat aliran permukaan hingga 59.55%. Berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan aliran permukaan, hasil sedimen, dan hasil air (water yield) serta meningkatkan aliran dasar dan aliran lateral, skenario 5 dengan menerapkan seluruh teknik konservasi tanah dan air merupakan pengelolaan lahan optimum yang dapat diterapkan di DAS Ciujung. Walaupun demikian, pengelolaan lahan optimum tersebut hanya dapat memperbaiki kondisi DAS Ciujung sampai pada kondisi sedang, sehingga diperlukan penerapan teknik KTA lainnya untuk memperbaiki kondisi DAS Ciujung sampai kondisi baik.

67 47 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berkurangnya lahan hutan di DAS Ciujung selama periode , baik hutan tanaman, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder serta meningkatnya luasan lahan semak, perkebunan, dan sawah berpengaruh terhadap meningkatnya debit aliran sungai dan penurunan kualitas DAS Ciujung. Model SWAT dapat digunakan untuk mensimulasikan debit aliran DAS Ciujung. Hasil kalibrasi model SWAT menunjukkan nilai R 2 dan NSE masingmasing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik) serta hasil validasi model masing-masing 0.75 dan 0.67 (baik). Penerapan teknik konservasi tanah dan air berupa reboisasi, agroforestri, strip cropping, contouring, bendungan karian, dan lubang resapan biopori merupakan pengelolaan lahan optimum yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi DAS Ciujung. Saran Perlu digunakan peta input yang lebih detail sebagai upaya untuk mendapatkan hasil output model yang lebih baik. Pengambilan sample tanah sebagai input parameter tanah pada model SWAT juga perlu diperbanyak lagi mengingat luasnya DAS Ciujung. Sebagai upaya untuk mendapatkan simulasi model yang lebih baik dalam memprediksi hasil sedimen sebaiknya digunakan data hasil sedimen observasi yang lebih banyak. Dalam menjalankan model SWAT perlu memperhatikan ambang batas atau treshold yang digunakan saat proses deliniasi DAS karena dapat berpengaruh terhadap hasil output model. Sebaiknya digunakan treshold yang paling kecil dari selang yang diberikan oleh model.

68 48 DAFTAR PUSTAKA [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 61 /Menhut-II/2014 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta. Abbaspour, KC, Abbaspour KC SWAT-CUP4: SWAT calibration and uncertainty programs user manual. Eawag: Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology. Arabi M, Frankenberger JR, Engel BA, Arnold JG Representation of agricultural conservation practices with SWAT. J Hydrol. Process. (2007) Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR, Haney EB, Neitsch SL Soil and Water Assessment Tool: Input/Output File Documentation Version College of Agricultire and Life Science Texas A&M University. Texas. Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour KC, White MJ, Srinivasan R, Santhi C, Harmel RD, van Griensven A, Liew MWV, Kannan N, Jha MK SWAT: model use, calibration, and validation. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 55(4): Arsyad S Konservasi Tanah & Air. IPB Press. Bogor. Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bahrami A, Emadodin I, Atashi MR, Bork HR Land-use change and soil degradation: A case study, North of Iran. Agriculture and Biology Journal of North America. 1(4): Chaube UC, Suryavanshi S, Nurzaman L, Pandey A Synthesis of flow series of tributaries in upper Betwa basin. Intl J Environ sci. 1(7). Chaudhary A, Mishra SK, Pandey A Experimental verification of the effect of slope of runoff and curve numbers. Journal of Indian Water Resources Society. 33(1). Dunjo G, Pardini G, Gispert M The role of land use land cover on runoff generation and sediment yield at a microplot scale in a small Mediterranean catchment. J of Arid Environ. 57: Emilda A Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respon Hidrologi DAS Cisadane Hulu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

69 49 Feyereisen GW, Strickland TC, Bosch DD, Sullivan DG Evaluation of SWAT manual calibration and input parameter sensitivity in the little river watershed. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(3): Firdaus G Analisis Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan Model SWAT [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fitzhugh TW, Mackay DS Impacts of input parameter spatial aggregation on an agricultural nonpoint source pollution model. Journal of Hydrology. 236 (2000): Galván L, Olías M, Izquierdo T, Cerón JC, de Villarán RF Rainfall estimation in SWAT: An alternative method to simulate orographic precipitation. Journal of Hydrology. 509 (2014): Gassman PW, Reyes MR, Green CH, Arnold JG The soil and water assessment tool: historical development, applications, and future research directions. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(4): Huang M, Gallichand J, Wang Z, Goulet M A modification to the Soil Conservation Service curve number method for steep slopes in the Loess Plateau of China. Hydrol Process. 20: Irsyad F Analisis Debit Sugai Cidanau Dengan Aplikasi SWAT [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Junaidi E, Tarigan SD Pengaruh Hutan Dalam Pengaturan Tata Air dan Proses Sedimentasi Daerah Aliran Sungai (DAS) : Studi Kasus di DAS Cisadane. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 8(2): Penggunaan model hidrologi SWAT (soil and water assessment tool) dalam pengelolan DAS Cisadane. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(3): Jeong J, Kannan N, Arnold JG, Glick R, Gosselink L, Srininvasan R Development and integration of subhourly rainfall-runoff modeling capability within a watershed model. Water Resour Mgmt. 24(15): Khoi DN, Suetsugi T The responses of hydrological processes and sediment yield to land use and climate change in the be river catchment vietnam. J Hydrol Process. 28:

70 50 Kusmana C, Istomo, Wilarso S, Dahlan EN, Onrizal Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Pemulihan Kualitas Lingkungan. Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Jun 4; Jakarta, Indonesia. Maalim FK, Melesse AM, Belmont P, Gran KB Modeling the impact of land use changes on runoff and sediment yield in the Le Sueur watershed, Minnesota using GeoWEPP. Catena. 107: Maharany R, Rauf A, Sabrina T Perbaikan sifat tanah kebun kakao pada berbagai kemiringan lahan dengan menggunakan teknik biopori dan mulsa vertikal. J Ilmu Pertanian KULTIVAR. 5 (2) Moriasi DN, Arnold JG, Liew MWV, Bingner RL, Harmel RD, dan Veith TL Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in watershed simulations. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(3): Mubarok Z Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulyana N Analisis Luas Tutupan Hutan Terhadap Ketersediaan Green Water dan Blue Water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu dengan Aplikasi Model SWAT [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR Soil and Water Assessment Tool: Theoritical Documentation Version College of Agricultire and Life Science Texas A&M University. Texas. Nunes AN, de Almeida AC, Coelho COA Impacts of land use and cover type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal. J Applied Geography. 31: Patil JP, Sarangi A, Singh AK, Ahmad T Evaluation of modified CN methods for watershed runoff estimation using a GIS-based interface. Biosystems Engineering. 100 (2008) : Prasetya B, Prijono S, Widjiawati Y Vegetasi pohon hutan memperbaiki kualitas tanah andisol-ngabab. Indonesian Green Technology Journal.1 (1) Pudjiharta A Pengaruh pengelolaan hutan pada hidrologi. Info Hutan. 5 (2) :

71 Purwanto E, Ruitjer J Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai, Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Di dalam : Agus F, Van Noordwijk M dan Rahayu S, editor. Prosiding Lokakarya; 2004 Peb 25-28; Padang, Indonesia. Rahayuningtyas C, Wu RS, Anwar R, Chiang LC Improving AVSWAT Stream Flow Simulation by Incorporating Groundwater Recharge Prediction in the Upstream Lesti Watershed, East Java, Indonesia. Terr Atmos Ocean. 25 (6): Ridwansyah I, Pawitan H, Sinukaban N, Hidayat Y Watershed modeling with ArcSWAT and SUFI2 In Cisadane catchment area: calibration and validation to prediction of river flow. International Journal of Science and Engineering. 6(2). Rouhani H, Feyen J, Willems P Impact of watershed delineations on the SWAT runoff prediction: a case study in the Grote Nete catchment, Flanders, Belgium. Proceedings of the 2006 IASME/WSEAS Int, Conf, on Water Resources, Hydraulics & Hydrology; 2006 May 11-13; Chalkida, Greece. pp36-41 Sanford WE, Selnick DL Estimation of evapotranspiration across the conterminous United States using a regression with climate and landcover data. Journal of the American Water Resources Association. 9 (1): Santhi C, Arnorld JG, Williams JR, Dugas WA, Srinivasan R, and Hauck LM Validation of the SWAT model on a large river basin with point and non-point sources. J American Water Resour Assoc. 37(5): Silva GL, Lima HV, Campanha MM, Gilkes RJ, Oliveira TS Soil physical quality of Luvisols under agroforestry, natural vegetation and conventional crop management systems in the Brazilian semi-arid region. Geoderma (2011) : Sukardi S, Warsito B, Kisworo H, Sukiyoto River Management in Indonesia. Directorate General of Water Resources, yayasan Air Adhi Eka, and Japan International Cooperation Agency. Jakarta. Tanika L, Wijaya CI, Dwiyanti E, Khasanah N Peranan lahan berbasis agroforestri terhadap neraca air di DAS BailoSulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 Agroforestri untuk Pangan dan Lingkungan yang Lebih Baik ; 2013 Mei 21; Malang, Indonesia. 51

72 52 Taylor M, Mulholland M, Thornburrow D Infiltration Characteristics of Soils Under Forestry and Agriculture in the Upper Waikato Catchmen, Environment Waikato Technical Report. Waikato Regional Council New Zealand. Valentin C, Agus F, Alamban F, Boosaner A, Bricquet JP, Chaplot V, de Guzman T, de Rouw A, Janeau JL, Orange D, Phachomphonh K, Phai DD, Podwojewski P, Ribolz O, Silvera N, Subagyono K, Baux JPT, Tran DT, Vadari T Runoff and sediment losses from 27 upland catchments in Southeast Asia: impact of rapid land use changes and conservation practices. J Agriculture, Ecosystems and Environment. 128: Wang G, Yang H, Wang L, Xu Z, Xue B Using the SWAT model to assess impact of land use changes on runoff generation in headwaters. J. Hydrol Process. 28: Wang X, Kannan N, Santhi C, Potter SR, Williams JR, Arnold JG Integrating APEX output for cultivated cropland with SWAT simulation for regional modeling. J American Society of Agricultural and Biological Engineers. 54(4): Yustika RD, Tarigan SD, Hidayat Y, dan Sudadi U Simulasi manajemen lahan di das Ciliwung Hulu menggunakan model SWAT. J Informatika Pertanian. 21(2) : Van Liew MW, Arnold JG, and Bosch DD Problems and potential of autocalibrating a hydrologic model. ASAE. 48 (3) : Van Liew MW, Veith TL Guidelines for Using the Sensitivity Analysis and Auto-calibration Tools for Multi-gage or Multi-step Calibration in SWAT. University of Nebraska. Lincoln Zhang D, Chen X, Yao H, Lin B Improved calibration scheme of SWAT by separating wet and dryseasons. J. Ecological Modelling. 301 (2015):

73 LAMPIRAN 53

74 54 Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Lampiran 1. Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun Hutan Tanaman Pemukiman Perkebunan Tahun 2003 (ha) Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Sawah Semak Belukar Tanah Terbuka Tubuh Air Tahun 2011 (ha) 1, , , , Hutan Tanaman 18, , , Pemukiman 5, , Perkebunan 12, , Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur , , , , , Sawah , , Semak Belukar Tanah Terbuka , Tubuh Air 503, Total 1, , , , , , , , , ,03 190,635.63

75 55 Lampiran 2. Sub DAS Hasil Deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha Sub DAS Luas Ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Total 142,

76 56 Lampiran 3. Nilai CN2 pada slope 5% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row - poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 4. Nilai CN3 pada slope 5% (sebagai input untuk menghitung CN2 berdasarkan slope) ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row - good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row - poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 5. Nilai CN2 pada slope 0-8% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row - good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row - poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 6. Nilai CN2 pada slope 8-15% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row poor HLKP Woods-grass combination good

77 57 Lampiran 7. Nilai CN2 pada slope 15-25% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 8. Nilai CN2 pada slope 25-40% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row - good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Rice PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row - poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 9. Nilai CN2 pada slope >40% ID SWAT_ID Land Use Nilai CN A B C D 1 HLKS Woods-grass combination fair PLKC Row crops - straight row - good HTTN Woods-good PMKN residential-65% SMBK brush-poor PADI Sawah PKBN Woods-grass combination poor PTLK Row crops - straight row - poor HLKP Woods-grass combination good Lampiran 10. Nilai GW_REVAP ID SWAT_ID GW_REVAP 1 HLKS PLKC HTTN PMKN SMBK PADI PKBN PTLK HLKP 0.07

78 58 Lampiran 11. Nilai OV_N ID SWAT_ID Land Use Nilai OV_N 1 HLKS Bermudagrass PLKC Conventional tillage, no residue HTTN Bermudagrass PMKN no till, no residue SMBK dense grass PADI fallow, no residue PKBN No till, 2,9 t/ha residue PTLK Conventional tillage, no residue HLKP Bermudagrass 0.35 Lampiran 12. Nilai CH_N(2) Nilai CH_N(2) Sub DAS 0.1 3, 22, 23, 24, 25, , 2, 4, 5, 6, 7, 8, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 Lampiran 13. Nilai CH_K(2) Nilai CH_K(1) Sub DAS , 2, 4, 5, 6, 7, 8, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, , 22, 23, 24, 25, 26

79 59 Jenis Tanah Jumlah Lapisan Kelas Hidrologi Tanah Kedalaman Tanah (mm) Lampiran 14. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 1) Kedalaman Lapisan (mm) Bobot Isi (g/cm3) Kadar Air Tersedia Permeabilitas (mm/jam) Lapisan 1 TTTD 3 A TTDT 4 D TDHH 4 B TDTE 2 C TDDT 3 C TDET 3 A TDHT 2 A TDTT 3 C TETT 2 C TTTE 3 B TTET 2 C TTAT 3 B TTUT 4 C C-org (%) Klei (%) Debu (%) Pasir (%) Batuan (%) Albedo Erodibilitas

80 60 Lampiran 15. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 2) Lapisan 2 Jenis Tanah Kedalaman Bobot Isi Kadar Air Permeabilitas C-org Klei Debu Pasir Batuan Albedo Erodibilitas Lapisan (mm) (g/cm3) Tersedia (mm/jam) (%) (%) (%) (%) (%) TTTD TTDT TDHH TDTE TDDT TDET TDHT TDTT TETT TTTE TTET TTAT TTUT

81 61 Lampiran 16. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 3) Lapisan 3 Jenis Tanah Kedalaman Bobot Isi Kadar Air Permeabilitas Lapisan (mm) (g/cm3) Tersedia (mm/jam) C-org (%) Klei (%) Debu (%) Pasir (%) Batuan (%) Albedo Erodibilitas TTTD TTDT TDHH TDTE TDDT TDET TDHT TDTT TETT TTTE TTET TTAT TTUT

82 62 Lampiran 17. Nilai parameter input data tanah (Lapisan 4) Lapisan 4 Jenis Tanah Kedalaman Bobot Isi Permeabilitas C-org Klei Debu Pasir Batuan Lapisan (mm) (g/cm 3 Kadar Air Tersedia ) (mm/jam) (%) (%) (%) (%) (%) Albedo Erodibilitas TTTD TTDT TDHH TDTE TDDT TDET TDHT TDTT TETT TTTE TTET TTAT TTUT

83 Lampiran 18. Data observasi dan data simulasi model tahun 2011 Tanggal Data Observasi Dara Simulasi Tanggal Data Observasi Dara Simulasi 1/1/ /2/ /2/ /3/ /3/ /4/ /4/ /5/ /5/ /6/ /6/ /7/ /7/ /8/ /8/ /9/ /9/ /10/ /10/ /11/ /11/ /12/ /12/ /13/ /13/ /14/ /14/ /15/ /15/ /16/ /16/ /17/ /17/ /18/ /18/ /19/ /19/ /20/ /20/ /21/ /21/ /22/ /22/ /23/ /23/ /24/ /24/ /25/ /25/ /26/ /26/ /27/ /27/ /28/ /28/ /29/ /29/ /30/ /30/ /31/ /31/ /1/ /1/ /2/ /2/ /3/ /3/ /4/ /4/ /5/ /5/ /6/ /6/ /7/ /7/ /8/ /8/ /9/ /9/ /10/ /10/ /11/ /11/ /12/ /12/ /13/ /13/ /14/ /14/ /15/ /15/ /16/ /16/ /17/ /17/ /18/ /18/ /19/ /19/ /20/ /20/ /21/ /21/ /22/ /22/ /23/ /23/ /24/ /24/ /25/ /25/ /26/ /26/ /27/ /27/ /28/ /28/ /29/ /1/ /30/

84 64 Lampiran 19. Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Tanggal Data Observasi Dara Simulasi Tanggal Data Observasi Dara Simulasi 5/1/ /30/ /2/ /1/ /3/ /2/ /4/ /3/ /5/ /4/ /6/ /5/ /7/ /6/ /8/ /7/ /9/ /8/ /10/ /9/ /11/ /10/ /12/ /11/ /13/ /12/ /14/ /13/ /15/ /14/ /16/ /15/ /17/ /16/ /18/ /17/ /19/ /18/ /20/ /19/ /21/ /20/ /22/ /21/ /23/ /22/ /24/ /23/ /25/ /24/ /26/ /25/ /27/ /26/ /28/ /27/ /29/ /28/ /30/ /29/ /31/ /30/ /1/ /31/ /2/ /1/ /3/ /2/ /4/ /3/ /5/ /4/ /6/ /5/ /7/ /6/ /8/ /7/ /9/ /8/ /10/ /9/ /11/ /10/ /12/ /11/ /13/ /12/ /14/ /13/ /15/ /14/ /16/ /15/ /17/ /16/ /18/ /17/ /19/ /18/ /20/ /19/ /21/ /20/ /22/ /21/ /23/ /22/ /24/ /23/ /25/ /24/ /26/ /25/ /27/ /26/ /28/ /27/ /29/ /28/

85 65 Lampiran 20. Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan) Tanggal Data Observasi Dara Simulasi Tanggal Data Observasi Dara Simulasi 8/29/ /15/ /30/ /16/ /31/ /17/ /1/ /18/ /2/ /19/ /3/ /20/ /4/ /21/ /5/ /22/ /6/ /23/ /7/ /24/ /8/ /25/ /9/ /26/ /10/ /27/ /11/ /28/ /12/ /29/ /13/ /30/ /14/ Lampiran 21. Karakterisik hidrologi hasil output model tahun 2011 Sub DAS Aliran Permukaan (mm) Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario

86 66 Lampiran 22. Hasil sedimen hasil output model pada tahun 2011 Sub Sediment Yield (t/ha) DAS Tanpa Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario

87 67 Lampiran 23. Luas penggunaan lahan pada setiap sub DAS PLKC PMKN HTTN SMBK PADI PTLK HLKS PKBN HLKP Sub % Sub % Sub % Sub % Sub % Sub % Sub % Sub % Sub % Sub DAS Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha Ha DAS DAS DAS DAS DAS DAS DAS DAS DAS 1 2, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

88 68 Lampiran 24. Luas jenis tanah pada setiap sub DAS Sub DAS TTTD TDHH TDTE TDDT TDET TDHT TDTT TETT TTTE TTET TTAT TTUT TTDT Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

89 Lampiran 25. Luas jenis tanah pada setiap sub DAS berdasarkan kelas hidrologi tanah Sub DAS A B C D Ha % Ha % Ha % Ha % , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

90 70 Lampiran 26. Luas kemiringan lereng pada setiap sub DAS Sub DAS 0-8 % 8-15 % % % > 40 % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % 1 2, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,783 22

91 71 Lampiran 27 Nilai CN untuk contouring dan strip cropping Lampiran 28. Nilai P untuk cntouring dan strip cropping

92 72 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1990 dari pasangan Bapak H, Daim dan Ibu Hj, Sadiyah, Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara, Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Kedung Krisik Kota Cirebon pada tahun 2001, Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di SMPN 9 Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2004, Penulis melanjutkan sekolah ke SMAN 9 Kota Cirebon dan lulus pada tahun 2007, Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Pada tahun 2012 penulis berhasil menyelesaikan studi program sarjana dan melanjutkan studi magister di IPB pada program studi Ilmu Tanah dengan biaya dari Beasiswa Unggulan DIKTI.

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT Jurnal Teknik Pertanian Lampung Vol.7, No. 1: 1-8 ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT ANALYSIS OF SURFACE RUNOFF COEFFICIENT ON VARIOUS

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT ALIRAN DAS CIUJUNG

INFRASTRUKTUR KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT ALIRAN DAS CIUJUNG INFRASTRUKTUR KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT ALIRAN DAS CIUJUNG Analysis of Land Use Change Impact on River Discharge in Ciujung Watershed Dede Sulaeman Program Studi Ilmu Tanah

Lebih terperinci

ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA

ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA ANALISIS UNIT RESPON HIDROLOGI DAN KADAR AIR TANAH PADA HUTAN TANAMAN DI SUB DAS CIPEUREU HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SANDY LESMANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. DAS sebagai suatu sistem hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. DAS sebagai suatu sistem hidrologi 6 TINJAUAN PUSTAKA DAS Sebagai suatu Sistem Berdasakan pendekatan hidrologis, DAS merupakan wilayah yang dibatasi punggung bukit (pemisahan topografi) yang mempunyai bentuk dan sifat alam yang khas dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan aspek fisik, sosial dan ekosistem yang di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang komplek, seperti degradasi

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI Puji Harsanto 1, Jaza ul Ikhsan 2, Barep Alamsyah 3 1,2,3 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan,

Lebih terperinci

Analisis Kondisi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Kedurus untuk Mengurangi Banjir Menggunakan Model Hidrologi SWAT

Analisis Kondisi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Kedurus untuk Mengurangi Banjir Menggunakan Model Hidrologi SWAT JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN : 2337-3539 (2301-9271 Print) C-107 Analisis Kondisi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Kedurus untuk Mengurangi Banjir Menggunakan Model Hidrologi SWAT Santika

Lebih terperinci

KAJIAN RESPONS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS WAY BETUNG - LAMPUNG

KAJIAN RESPONS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS WAY BETUNG - LAMPUNG Available online at www.jurnal.balithutmakassar.org Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea eissn: 2407-7860 Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik pissn: Hidrologi 2302-299X...

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN Analisis debit Sungai Cidanau dilakukan untuk mendapatkan ketersediaan air pada DAS Cidanau. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi pada jumlah air yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Januari 2012 di Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) Cikadu Kecamatan Arjasari Kabupaten

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat)

SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat) SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat) Edy Junaidi dan Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana banjir sudah menjadi bencana rutin yang terjadi setiap

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Data 5.1.1 Analisis Curah Hujan Hasil pengolahan data curah hujan di lokasi penelitian Sub-DAS Cibengang sangat berfluktuasi dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pengolahan data sekunder menggunakan hasil study screening dan laporan monitoring evaluasi BPDAS Brantas tahun 2009 2010. Analisis data dilakukan sejak bulan

Lebih terperinci

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN 6.1. Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT Analisis sensitivitas dan ketidakpastian (uncertainty) dalam proses kalibrasi model SWAT adalah tahapan yang paling penting. Dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan berdasarkan data sekunder DAS Brantas tahun 2009-2010 dan observasi lapang pada bulan Februari Maret 2012 di Stasiun Pengamat

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tank Model Penerapan Tank Model dilakukan berdasarkan data harian berupa data curah hujan, evapotranspirasi dan debit aliran sungai. Data-data tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAS BILA SULAWESI SELATAN

ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAS BILA SULAWESI SELATAN ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAS BILA SULAWESI SELATAN (The Analysis of Surface Runoff Using SWAT Model in Bila Watershed, South Sulawesi) IQRIMA STADDAL TENAGA PENGAJAR PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

ANALISIS CURAH HUJAN DAN DEBIT MODEL SWAT DENGAN METODE MOVING AVERAGE DI DAS CILIWUNG HULU

ANALISIS CURAH HUJAN DAN DEBIT MODEL SWAT DENGAN METODE MOVING AVERAGE DI DAS CILIWUNG HULU Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 2 (Agustus 2017): 98-106 ANALISIS CURAH HUJAN DAN DEBIT MODEL SWAT DENGAN METODE MOVING AVERAGE DI DAS CILIWUNG HULU Analysis of Rainfall and

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Daur Hidrologi. B. Daerah Aliran Sungai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Daur Hidrologi. B. Daerah Aliran Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daur Hidrologi Persediaan air segar dunia hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses proses yang tercakup dalam peralihan uap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Cibengang yang secara geografis terletak di ketinggian 1130 mdpl dengan koordinat 06º57 56,6 lintang selatan dan 107º53 23,2 bujur

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan yang dominan disebabkan oleh berubahnya kondisi tutupan lahan hutan akibat pemanfaatan lahan oleh aktivitas manusia yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah permukaan bumi sebagai tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang mempunyai

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN WATERSHED MODELLING SYSTEM SUB DAS SADDANG. Sitti Nur Faridah, Totok Prawitosari, Muhammad Khabir

PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN WATERSHED MODELLING SYSTEM SUB DAS SADDANG. Sitti Nur Faridah, Totok Prawitosari, Muhammad Khabir PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN WATERSHED MODELLING SYSTEM SUB DAS SADDANG Sitti Nur Faridah, Totok Prawitosari, Muhammad Khabir Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Curah hujan tidak bekerja sendiri dalam membentuk limpasan (runoff). Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS) sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

Gambar 1. Siklus hidrologi (Ward et al, 1995)

Gambar 1. Siklus hidrologi (Ward et al, 1995) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidrologi Cabang ilmu yang mempelajari tentang air disebut sebagai Hidrologi. Hidrologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata hydro (air) dan loge (ilmu) (Ward et al, 1995).

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Untuk mencapai tujuan penelitian ini, metoda analisis yang digunakan dibagi dalam lima bagian yaitu (a) analisis kondisi DAS Bekasi Hulu; (b) analisis hidrologi DAS Bekasi Hulu; (c)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Curah Hujan Data curah hujan yang terekam pada alat di SPAS Cikadu diolah menjadi data kejadian hujan harian sebagai jumlah akumulasi curah hujan harian dengan

Lebih terperinci

STUDI HIDROLOGI BERDASARKAN CLIMATE CHANGES MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK JATILUHUR

STUDI HIDROLOGI BERDASARKAN CLIMATE CHANGES MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK JATILUHUR STUDI HIDROLOGI BERDASARKAN CLIMATE CHANGES MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAERAH TANGKAPAN AIR WADUK JATILUHUR Budi Darmawan Supatmanto 1) Sri Malahayati Yusuf 2) 1 UPT Hujan Buatan - BPPT, Jalan MH Thamrin

Lebih terperinci

(Simulated Effects Of Land Use Against Flood Discharge In Keduang Watershed)

(Simulated Effects Of Land Use Against Flood Discharge In Keduang Watershed) perpustakaan.uns.ac.id SIMULASI PENGARUH TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT BANJIR DI DAS KEDUANG (Simulated Effects Of Land Use Against Flood Discharge In Keduang Watershed) SKRIPSI Disusun Sebagai Salah

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sub DAS Cisadane Hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu merupakan bagian dari DAS Cisadane yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hilir, tengah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik Sub DAS Cisadane Hulu Daerah Legokmuncang Secara geografis Sub DAS Cisadane Hulu terletak pada 106 o 44 24 106 o 56 24 BT dan 006 o 35 60 006 o 46 48 LS. Sub

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT

ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT Fadli Irsyad 1 dan Eri Gas Ekaputra 1 1 Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Univ. Andalas, Padang 25163 *

Lebih terperinci

TESIS KAJIAN RESPON PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS GARANG. Disusun oleh. Imam Saifudin

TESIS KAJIAN RESPON PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS GARANG. Disusun oleh. Imam Saifudin ii TESIS KAJIAN RESPON PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAS GARANG Disusun oleh Imam Saifudin 30000214410002 Mengetahui, Komisi Pembimbing, Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

KAJIAN BERBAGAI ALTERNATIF PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS CISADANE MENGGUNAKAN MODEL SWAT EDY JUNAIDI

KAJIAN BERBAGAI ALTERNATIF PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS CISADANE MENGGUNAKAN MODEL SWAT EDY JUNAIDI KAJIAN BERBAGAI ALTERNATIF PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS CISADANE MENGGUNAKAN MODEL SWAT EDY JUNAIDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENILAIAN INDIKATOR KINERJA DAS KONAWEHA AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN BERDASARKAN KRITERIA HIDROLOGIS

STUDI PENILAIAN INDIKATOR KINERJA DAS KONAWEHA AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN BERDASARKAN KRITERIA HIDROLOGIS 54 Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 1, Mei 2014, hlm 54 60 STUDI PENILAIAN INDIKATOR KINERJA DAS KONAWEHA AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN BERDASARKAN KRITERIA HIDROLOGIS Riwin Andono 1 Lily Montarcih

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH SITU TERHADAP RESPON HIDROLOGI DI DAS PESANGGRAHAN MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

KAJIAN PENGARUH SITU TERHADAP RESPON HIDROLOGI DI DAS PESANGGRAHAN MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS J. Tanah Lingk., 12 (2) Oktober 2010: 11-17 ISSN 1410-7333 KAJIAN PENGARUH SITU TERHADAP RESPON HIDROLOGI DI DAS PESANGGRAHAN MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS Study of Reservoir Effect on Hydrological Response

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*) PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS Oleh: Suryana*) Abstrak Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara integratif dari komponen biofisik dan sosial budaya

Lebih terperinci

ANALISIS RESPON HIDROLOGI TERHADAP PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DI SUB DAS LENGKONG MENGGUNAKAN MODEL SWAT

ANALISIS RESPON HIDROLOGI TERHADAP PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DI SUB DAS LENGKONG MENGGUNAKAN MODEL SWAT J. Tanah Lingk., 16 (1) April 2014: 16-23 ISSN 1410-7333 ANALISIS RESPON HIDROLOGI TERHADAP PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DI SUB DAS LENGKONG MENGGUNAKAN MODEL SWAT Hydrological Response Analysis for

Lebih terperinci

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu) III.BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hulu yang secara geografi terletak pada 6 o 38 01 LS 6 o 41 51 LS dan 106 o 50 11 BT 106 o 58 10 BT. Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 8 3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lahan kebun pala milik pengurus Forum Pala Aceh di Kecamatan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Indonesia.

Lebih terperinci

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian mengenai sebaran bahaya erosi serta respon aliran ini adalah :

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian mengenai sebaran bahaya erosi serta respon aliran ini adalah : BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu batasan proses dalam siklus hidrologi. Sebagai salah satu batasan dalam suatu siklus, DAS memiliki input (hujan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi DAS Cipasauran IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Aliran Sungai Cipasauran secara geografis terletak pada 06 13 51-06 17 33 LS dan 105 49 50-105 56 40 BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. DAS Cipasauran

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan No Makalah : 1.17 EROSI LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA UMUR WADUK WAY JEPARA Dyah I. Kusumastuti 1), Nengah Sudiane 2), Yudha Mediawan 3) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model) Oleh : AI MARLINA F14102084 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (Hendrayanto 2009). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

(Oleh : Heru Ruhendi, S.Hut/ Fungsional PEH Pertama)

(Oleh : Heru Ruhendi, S.Hut/ Fungsional PEH Pertama) TEKNIK MONEV DAS PADA CATCHMENT AREA (CA) SPAS DI BPDAS CITARUM-CILIWUNG (Oleh : Heru Ruhendi, S.Hut/ Fungsional PEH Pertama) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) SKRIPSI Oleh HARRY PRANATA BARUS DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011 di Stasiun Pengamat Arus Sungai Sub DAS Sibarasok Gadang, DAS Antokan, yang terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS SKRIPSI Oleh : ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT PADA DAS AIR DINGIN MENGGUNAKAN MODEL SWAT ABSTRAK

ANALISIS DEBIT PADA DAS AIR DINGIN MENGGUNAKAN MODEL SWAT ABSTRAK ANALISIS DEBIT PADA DAS AIR DINGIN MENGGUNAKAN MODEL SWAT Nika Rahma Yanti 1, Rusnam 2, Eri Gas Ekaputra 2 1 Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau Manis-Padang 25163 2 Dosen Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci