BAB I IDENTITAS SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK. identitas menjadi alat komoditi bagi kandidat yang maju dalam pemilihan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I IDENTITAS SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK. identitas menjadi alat komoditi bagi kandidat yang maju dalam pemilihan"

Transkripsi

1 BAB I IDENTITAS SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK A. Latar Belakang Identitas bukan hanya persoalan belonging semata, tetapi saat ini identitas bertransformasi sebagai alat politik dalam menarik simpati publik. Semakin lama, identitas menjadi alat komoditi bagi kandidat yang maju dalam pemilihan khususnya dalam area lokal yaitu pemilihan kepala daerah atau pilkada. Pemilihan kepala daerah yang sifatnya lokal membuat banyaknya kandidat yang mengusung tema etnis dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Hal ini menyebabkan kandidat yang berasal dari kelompok tertentu menggunakan sentimen etnis untuk mendapat dukungan dari pemilih (LSI, 2008: 2). Terutama kandidat yang berasal dari kelompok asli daerah tersebut. Mereka kerap melakukan pengentalan identitas selama pilkada berlangsung. Maraknya politisasi identitas bermula dari munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Sebagian isi Undang-Undang tersebut (Pasal 56 s/d 119) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seacara langsung oleh rakyat (Surbakti, via lanskap-artikel.com). Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujudkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki pemimpin lokal yang disepakati oleh rakyat melalui pilkada langsung (Irtanto, 2006: 1). Sistem demokrasi mampu mengakomodasi kesejahteraan bersama termasuk pemakaian etnisitas kedalam sistem politik di daerah. Dalam prakteknya, aktor 1

2 dan struktur politik yang berperan dalam sistem demokrasi tersebut tidak dapat terlepas dari faktor etnisitas dan identitas (LSI, 2008: 27). Undang-undang tersebut juga membuka peluang bagi para Putra Asli Daerah (PAD) untuk memimpin daerahnya sendiri karena sebelumnya segala urusan daerah disetir oleh pemerintah pusat, termasuk pemilihan kepala daerah. Bahkan setelah adanya Undang-undang tersebut membuat isu PAD merebak. Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati, serta walikota PAD masuk kedalam tata tertib DPRD (Chalid, 2005: 8). Disini dapat terlihat bahwa isu putra daerah adalah isu yang strategis dipakai di pilkada. Putra daerah dipandang sebagai orang yang sangat mengerti daerahnya sendiri dibandingkan dengan kandidat pendatang. Putra daerah juga senantiasa dianggap lebih mendengarkan kepentingankepentingan orang asli. Sehingga mereka dapat dipilih menjadi kepala daerah karena sentimen kedaerahan dan primordialisme yang kuat dalam daerah tersebut. Euforia kedaerahan pasca otonomi daerah kian berkembang hingga munculnya penguatan identitas dalam kelompok terutama kelompok asli daerah. Wacana etnis menjadi wacana pokok dalam setiap pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah yang cenderung lebih bersifat lokal dan keberadaan etnis tertentu masih sangat berpengaruh di daerah-daerah tertentu. Dibandingkan dengan pemilihan nasional, pemilihan kepala daerah dianggap strategis untuk memunculkan unsur etnis didalamnya karena pilkada bersifat lokal dan kedaerahan. Tentunya para kandidat mewakili kelompok daerah asal atau kelompok mayoritas untuk mendapatkan pemilih. Sementara pada 2

3 pemilihan nasional, para kandidat cenderung lebih universal, dalam artian tidak menunjukkan sisi primordialnya agar tidak memihak satu golongan saja, tetapi dapat diterima ke semua kelompok dan golongan. Begitupun dengan isu-isu yang diterbitkan. Jelas pada pemilihan kepala daerah yang diangkat merupakan isu lokal. Dibandingkan dengan pemilihan nasional, isu yang diangkat tidak spesifik pada suatu wilayah tetapi isunya nasional serta lebih mengangkat upaya dalam mengatasi problema-problema yang masih belum terselesaikan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini yang menjadi alasan mengapa penguatan identitas hanya terjadi pada pemilihan kepala daerah dibandingkan dengan pemilihan nasional. Melihat fenomena yang terjadi demikian, muncul penguatan dan pengentalan identitas, yang nantinya berujung pada politisasi identitas. Politisasi identitas ini terjadi sebab identitas dijadikan sebatas alat untuk memperoleh kekuasaan bagi elit-elit politik. Politik identitas pada awalnya berangkat dari persamaan baik nasib, teritorial, dsb, telah dijadikan instrumen untuk mendapatkan simpati publik. Dari sini dapat dilihat bahwa politik identitas mengalami transformasi pemaknaan identitas karena proses identitas dibuat untuk kepentingan orang-orang yang membuatnya, bukan untuk kepentingan identitas sendiri. Segala elemen-elemen etnisitas dapat menjadi kekuatan untuk memperoleh legitimasi dan menghegemoni masyarakat. Elemen etnis bukan lagi sesuatu yang tidak penting dan tertinggal tetapi justru menjadi kekuatan yang ampuh dalam pemilihan khususnya pemilihan kepala daerah. 3

4 Sikap masyarakat Indonesia yang masih primordial serta cenderung kedaerahan dan rasisme tentu akan memberikan pengaruh dalam pilkada. Hal ini telah terbukti ampuh di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai macam penguatan identitas dilakukan hanya untuk mendapatkan simpati kepada salah satu kelompok. Hal ini dapat dilihat di pilkada Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, serta Bangka Belitung. Tidak mengherankan jika pemakaian identitas ini dilakukan di daerah-daerah tersebut karena tingkat kedaerahannya masih tinggi serta adanya satu etnis yang dominan. Tetapi pada nyatanya, pemakaian identitas ini juga dilakukan di Jakarta yang notabene struktur masyarakatnya heterogen, tidak terdominasi satu etnis saja, serta gaya hidup yang metropolitan. Hal ini menarik untuk disimak lebih dalam mengapa pemakaian identitas dilakukan di Jakarta yang modern dan tidak lagi mementingkan kedaerahan didalamnya. Sekilas itulah problematisasi yang ingin diuraikan dalam penelitian ini. Didalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012 muncul penggunaan identitas Betawi. Mengapa Betawi? Karena etnis Betawi yang disebut-sebut sebagai etnis asli DKI Jakarta justru menjadi etnis minoritas di kampungnya sendiri karena banyaknya imigran yang datang dari luar Jakarta maupun luar Pulau Jawa. Hal ini yang membuat Betawi mengidentifikasikan dirinya berbeda dengan suku Jawa, Batak, Ambon, dll, sehingga timbul sikap ingin menjadi tuan rumah di kandangnya sendiri. Etnis Betawi yang mulai terpinggirkan menjadi isu yang menarik dalam tingkat lokal. 4

5 Identitas Betawi bukan hanya perasaan satu nasib atau teritorial semata tetapi juga sebagai sarana untuk menunjukkan dirinya adalah bagian dari mereka yang merupakan etnis Betawi. Hal inilah yang patut untuk diamati. Kandidat asli pada nyatanya mengeksplor identitas mereka dalam kampanye. Hal ini dapat dilihat dari strategi kampanye, cara berpakaian, berbahasa, atau pun isu yang dilemparkan yang diusung setiap kandidat. Sebenarnya, isu mengenai politisasi identitas Betawi bukan hanya terjadi pada periode ini. Isu etnisitas tampak pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 silam. Saat itu pasangan Fauzi-Prijanto menggunakan tokoh Si Doel Anak Sekolahan sebagai ajang kampanye di televisi. Selain itu, pasangan ini juga memakai pakaian kebesaran Betawi di setiap kampanye mereka. Hal ini melihatkan bahwa adanya politisasi identitas dalam strategi kampanye yang diterapkan. Kandidat yang lain yaitu Adang-Dani mengekspolitasi identitas kebetawian dengan menggunakan profil Bajaj Bajuri sebagai kampanye mereka. Pilkada yang terjadi di DKI Jakarta periode lalu terjadi kembali pada tahun 2012 ini. Pasangan-pasangan yang maju tampak mengenakan simbol-simbol Betawi di setiap kampanyenya. Pada pilkada kali ini, terdapat enam pasangan kandidat yang mencalonkan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahap pertama, antara lain: Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, Alex Noerdin-Nono Sampono, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Faisal Basri-Beim Benyamin, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Perlu diamati dari keenam pasangan ini hanya satu pasangan asli Betawi yaitu Fauzi 5

6 Bowo-Nachrowi Ramli. Pasangan asli Betawi ini memanfaatkan identitas Betawi yang dimiliki olehnya untuk menjaring massa Betawi. Sebaliknya, kandidat non Betawi melemparkan pertarungan isu didalamnya dimana kota Jakarta adalah kota metropolitan yang heterogen sehingga pemakaian unsur-unsur etnis tidak berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah. Jakarta tidak terdominasi oleh satu kelompok saja tetapi berbagai etnis tinggal dan hidup disana. Saat pilkada berlangsung, dijumpai berbagai sindiran mengenai kandidat dari luar Jakarta. Sebaliknya, perang wacana identitas ini juga dilakukan oleh kandidat luar Jakarta bahwa Jakarta bukan hanya milik Betawi saja. Hal tersebut membuat adanya pertentangan pemilihan kepala daerah antara putra daerah dan bukan putra daerah. Pemakaian unsur-unsur etnis begitu gencar dilakukan oleh semua calon, baik yang beretnis Betawi maupun tidak, tetapi penelitian ini memfokuskan pada pemakaian identitas yang dilakukan oleh kandidat yang memiliki latar belakang asli Betawi, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Difokuskan pada kandidat yang berlatar belakang Betawi karena ingin melihat bagaimana mereka memakai identitas Betawi didalam strategi kampanye mereka, dan melihat ada apa dibalik pemakaian identitas tersebut. Apakah terdapat unsur ke-aku-an yang mereka tampilkan kepada lawan-lawan mereka yang notabene merupakan pendatang? Semuanya terangkai didalam penelitian ini. Dinamika wacana identitas seperti ini menarik untuk disimak dalam Pilgub DKI Jakarta periode ini. Kandidat beretnis Betawi yaitu Foke-Nara 6

7 nyatanya terlihat memakai atribut identitas Betawi, dimulai dari bahasa, pakaian, hingga isu Betawi. Hal ini menunjukkan bahwa mulai munculnya riak-riak politisasi identitas dalam arena pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012 oleh pasangan Betawi. Melihat periode sebelumnya, terpilihnya Fauzi Bowo (asli Betawi) sebagai gubernur Jakarta tahun Walaupun pemenangnya bukanlah hal utama yang dibahas dalam penelitian ini tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan primordialisme terlihat masih kental, bahkan didaerah yang heterogen seperti Jakarta sekalipun. Dari kasus yang terjadi diatas, identitas yang pada awalnya hanya rasa kesamaan dengan suatu kelompok dan sebagai pembeda dengan kelompok lain bergeser menjadi alat politik bagi kandidat dalam pilkada. Pengentalan dan politisasi identitas menjadi sesuatu yang lumrah. Seberapa besar pesan politik yang dapat disampaikan dan diterima oleh masyarakat akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kesesuaian pilihan bahasa, media penyampaian dan komunikasi dengan kondisi real masyarakat yang menjadi target (Widigdo, 2009: 80). Dari sini terdapat fenomena unik yang menarik untuk diekspor lebih lanjut dalam penelitian. 7

8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, skripsi ini memuat rumusan masalah: Bagaimana politisasi identitas Betawi yang dilakukan kandidat beretnik Betawi dalam kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012? C. Tujuan Penelitian Menunjukkan dengan cara apa Foke-Nara memakai identitas di kampanye mereka. Menunjukkan sejauh mana kandidat asli Betawi menggunakan isu-isu etnis kebetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun Menjelaskan mengapa terjadi politisasi identitas kebetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun Mengetahui untuk apa identitas Betawi dipakai oleh Foke-Nara di pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun D. Kerangka Teori Dalam kerangka teoritis ini, terdapat beberapa teori utama yang dipakai sebagai pisau analisis, yaitu teori mengenai identitas, politisasi identitas, serta 8

9 politisasi identitas di pemilihan kepala daerah. Secara rinci, teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut: D.1. Identitas Identitas adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yaitu idem, yang artinya adalah sama. Secara filosofis, identitas merupakan konsep yang mempunyai dua pengertian didalamnya yaitu singleness over time dan sameness amid difference (via desantarafoundation.org). Berarti terdapat dua konsep mengenai identitas, yaitu persamaan dan perbedaan. Hal inilah yang biasa disebut dengan konstruksi keakuan (selfness) dan yang lain (the other). Individu mengidentifikasikan diri mereka dan orang lain. Setiap individu berpacu untuk menguatkan identitas yang melekat pada diri mereka. Dari setiap proses identifikasi, maka individu membentuk siapa dirinya. Ketika individu membentuk siapa dirinya (selfness), maka secara otomatis ia akan mencari negasinya atau the other. Jadi, proses identifikasi selfness dan the other tersebut dipengaruhi oleh cara individu atau kelompok memandang dirinya dalam lingkungan dan komunitas (Widayanti, 2009: 18). Berkaitan dengan pembentukan identitas, terdapat tiga perspektif darimana kita melihatnya yaitu primordialisme, konstruktivisme, dan instrumentalisme. Perspektif primordialisme adalah perpektif yang menerangkan bahwa identitas terbentuk secara alamiah dan turun-temurun (given) sehingga tidak dapat dibantah. Perspektif primordialisme melihat etnis dalam kategori sosio-biologis. 9

10 Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari secara objektif sebagai hal yang given (Putri, 2004 via vegitya.unsri.ac.id) Selanjutnya adalah perspektif konstruktivisme. Dalam perspektif ini identitas dibentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat (Aini dalam Kinasih, 2005: 17). Jadi, identitas terbentuk karena adanya proses sosial yang kompleks. Perspektif yang terakhir adalah instrumentalisme. Dalam pandangan ini identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan. Identitas dipahami sebagai sesuatu yang tidak statis karena selalu ada perubahan dalam relasi antar identitas serta berkembangnya produk wacana politik dari elit yang berkuasa. Instrumentalisme lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa (Aini dalam Kinasih, 2005: 17). Identitas bukanlah suatu yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah, serta memiliki titik-titik perbedaan yang terus berkembang (Trianton, 2013: 10). Sifat identitas situasional, ia dapat bergeser dan berubah sesuai dengan konteks sosial yang ada (Tirtosudarmo, 2007: 143). Dengan kata lain, identitas tidak statis tetapi dinamis. Identitas semakin lama semakin bergerak, tidak sama persis ketika awal pembentukannya. Identitas yang terus menerus berubah dapat kita lihat dalam kelas, gender, agama, etnis, dll. 10

11 Apabila berbicara mengenai identitas bukan hanya berbicara mengenai individu (tunggal) tetapi juga mengenai kelompok dan kolektivitas (jamak). Tidak dipungkiri individu membutuhkan individu lain, membangun relasi, serta berinteraksi satu sama lain. Interaksi-interaksi yang terbangun antar individu inilah yang secara otomatis membentuk kelompok sosial. Saat berinteraksi, antar individu tersebut akan menyadari bahwa terdapat perbedaan dan persamaan terkait dengan kepentingan dan unsur pembentuk konsep diri mereka (Afif, 2012: 18). Proses interaksi di kelompok sosial inilah yang disebut dengan identitas sosial. Dasar pembentukan identitas sosial ini antara lain ras, etnis, seksualitas (nominal), kelas, dan gender (Widayanti, 2009: 20). D.2. Politisasi Identitas Berkaca dari sifat identitas yang dinamis, politik identitas selalu dikonstruksi dan dan dipertahankan secara refleksif dengan berdasarkan perubahan kebutuhan dan kepentingan (Widayanti, 2009: 21). Sehingga disaat identitas bergeser ke arah kepentingan yang berubah, bisa dikatakan bahwa identitas menjadi sesuatu yang bersifat politis. Disaat adanya politisasi identitas, identitas itu bergerak kepentingan, identitas yang pada mulanya adalah base on identity dan base on interest telah dijadikan instrumen untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Jadi dasar terjadinya politik identitas karena adanya suatu kelompok yang memiliki berbagai kepentingan dan menimbulkan perubahan 11

12 kepentingan yang berbeda dalam suatu kelompok tersebut, sehingga kepentingan mengalami pergeseran. Definisi mengenai politisasi identitas bermacam-macam. Politik identitas diartikan juga sebagai politik perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Agnes Heller dalam Haboddin (2012) yang mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Begitupun dengan pandangan Donald L Morowitz (1998). Dia mendefinisikan politik identitas merupakan memberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Agnes Heller dan Donald L Morowitz mempunyai kesamaan pandangan dalam memaknai politik identitas sebagai politik perbedaan. Politisasi identitas kerap dikaitkan dengan adanya perebutan sumber daya yang bersifat struktural, seperti potensi ekonomi maupun kekuatan politik. Pandangan ini melihat lebih jauh mengenai politik identitas yang terjadi pada level yang lebih praktis, dimana identitas digunakan sebagai alat manipulasi. Seperti yang tertera berikut ini: Her work showed that ethnicity is an instrument to archieve various interest. Moreover, it seems too simplistic to argue that material or economic interest are the sole driving force behind the rise of ethnicity. Ethnic is an instrument, yet the target of that instrument can carry (Aragon dalam Firdaus, 2008). 12

13 Hal ini juga sependapat dengan gagasan milik Kemala Chandakirana (1989) dalam tulisannya yang berjudul Geertz dan Masalah Kesukuan. Dia mendefinisikan bahwa politik identitas digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi orang asli yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi orang pendatang yang harus melepaskan kekuasaan (Haboddin, 2012). Jadi, pada intinya, politik identitas hanya dijadikan sebagai alat memanipulasi dan alat untuk menggalang politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Dalam jurnal yang berjudul Politik Identitas dan Kebanggan (via desantarafoundation.org) menyebutkan bahwa politisasi identitas dapat didefinisikan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan (via publikasi.umy.ac.id). Politisasi identitas juga kerap disebut sebagai pembentukan bahasa baru identitas dan tindakan untuk mengubah praktik sosial, biasanya melalui pembentukan koalisi dimana paling tidak beberapa nilai dimiliki bersama (Barker, 2004: 416). Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik (Kemala, 1989). Simbol-simbol budaya ini dapat berupa bahasa maupun pakaian yang mencirikan budaya dan etnis tertentu. Identitas dapat dijadikan untuk kepentingan elit dan sarana kekuasaan yang memungkinkan terjadi penguatan politik identitas di satu pihak dan juga 13

14 melemahkan pihak lain. Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu mempengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal (Palungan & Setyanto, 2009: 380). Menguatnya isu identitas ini dilakukan oleh elite antara lain dengan upaya membenturkan keberadaan satu kelompok yang merasa tidak diuntungkan oleh keberadaan kelompok lain sehingga mampu membangkitkan sentimen di suatu kelompok. Hal ini juga disebutkan di jurnal milik Muhtar Haboddin (2012) yang berjudul Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal menyebutkan bahwa politik identitas ditransformasi ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak. Atau menurut Gerry Van Klinken (2007) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan institusi politik lokal. Politik etnisitas digunakan untuk mempersoalkan antara kami dan mereka, aku dan kamu sampai pada bentuk yang ekstrem, seperti islam dan kristen atau jawa dan luar jawa. Persepsi ini dibangun oleh elit politik lokal untuk melawan rival politiknya yang merupakan kaum pendatang. Dalam penyataan diatas dapat disimpulkan bahwa politisasi identitas dimunculkan saat pemilihan pimpinan yang berbau lokal. Politisasi identitas dikonstruksikan dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara berkala melalui bentuk-bentuk interaksi simbolik untuk mendapatkan dukungan massa. Proses penguatan dan pengentalan identitas dilakukan berkala secara intens oleh kandidat kepala daerah. Terdapat tiga sumber kekuatan etnis yang dianggap dominan dalam pemilihan kepala daerah yaitu agama, suku, dan adat 14

15 (Pulungan & Sentyanto, 2009: 380). Ketiga kekuatan etnis ini yang seringkali muncul dalam pemilihan kepala daerah yang dalam prakteknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk seperti teks, konteks, maupun wacana. Ketiga kekuatan ini juga acapkali dieksploitasi oleh para kandidat untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan bagi dirinya. Unsur primordialisme yang dahulunya dianggap sebagai hal yang ditinggalkan saat ini justru menjadi kekuatan yang efektif untuk memperoleh legitimasi dan simpati dalam bahasa politik dan bentuk simbol yang diproduksi terus-menerus. Oleh karena itu, politisasi identitas kerap dikaitkan dengan citra dan wacana yang ditampilkan kepada publik. Wacana merupakan wujud dari praktekpraktek kekuasaan. Wacana menyangkut legitimasi bagi penguasa-penguasa elit dalam arena politik dan kerap dijadikan sebagai alat stategis politik. Hal senada juga dikemukakan oleh Michel Foucalt dalam jurnal milik Ibnu Hamad. Dalam jurnal tersebut menjelaskan bagaimana kekuasaan dapat mengontrol wacana, begitu pun sebaliknya, wacana dapat menghegemoni publik. Wacana disini dapat diartikan sebagai gagasan, konsep, maupun efek. Dari wacana ini kita dapat melihat bahwa realitas dipahami sebagai konstruk yang dibentuk melalui wacana. Konstruksi wacana inilah nantinya akan berdampak pada terbentuknya wacana dominan. Guy Cook (Eriyanto, 2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi 15

16 komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Dari pembahasan diatas dapat diartikan bahwa wacana tidak hanya berwujud teks dalam media cetak tetapi juga dalam bentuk lain seperti komunikasi, bahasa, dll. Ketika identitas dijadikan sebagai sebuah alat untuk memproduksi kekuasaan maka wacana adalah kendaraan untuk menuju hal tersebut. Oleh karena itu, wacana kerap kali bersinergi dengan praktek politisasi identitas. Faktor utama mengapa kandidat menggunakan isu identitas dalam menarik simpati karena adanya faktor sosiologis dari perilaku pemilih yang cenderung memilih kandidat berdasarkan dari etnis yang sama. Dari penyataan diatas dapat dikatakan bahwa politisasi identitas dilakukan karena adanya pencarian massa yang dilakukan oleh elite-elite politik. Mereka kerap melakukan pemetaan pemilih berdasarkan perilaku politik pemilih. Hal ini dijelaskan dalam teori milik Daniel N. Posner (2007). Teori ini menjelaskan ada dua kecendrungan elit politik menggunakan isu-isu identitas. Pertama, kandidat-kandidat biasanya menggunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang arena pemilihan. Target yang menjadi sasaran adalah etnis yang bersangkutan maupun yang berdekatan dengan etnis tersebut. Kedua, kandidat memainkan kartu etnis (playing ethnic card) untuk mengamankan batas keunggulan yang dimilkinya dalam sebuah arena kompetisi baik ketika pemilihan berlangsung maupun setelah pemilihan. 16

17 E. Definisi Konseptual E.1. Identitas Etnis Sesuatu yang melekat pada etnis tertentu yang menjadi ciri khas dan karakteritik bersama. Karakteristik identitas etnis ditandai dengan adanya ikatan kolektif, adanya ingatan masa lalu mengenai yang direproduksi bersama, penanda-penanda etnis (sistem kekerabatan, pakaian, bahasa, ciri-ciri fisik), maupun rasa solidaritas didalamnya. Ciri khas inilah yang nantinya akan menyatukan anggota kelompok yang berada didalamya, sekaligus membedakan dengan etnis lainnya. E.2. Politisasi Identitas Proses penguatan identitas pada individu yang tujuannya untuk memperoleh kekuasaan. Proses penguatan identitas ini disokongi oleh elite-elite politik dimana seseorang mencirikan sebagai salah satu identitas tertentu. Ketika citra personal dapat menjadi citra bagi suatu identitas tertentu maka dapat disebut sebagai politisasi identitas. Politisasi identitas juga kerap berkaitan dengan wacana (isu, bahasa, citra, maupun ekspresi komunikasi lainnya) digunakan sebagai salah satu instrumen bagi elit politik, yang biasanya dilakukan di arena pemilihan. 17

18 F. Definisi Operasional Beberapa tolok ukur cagub dan cawagub terlibat dalam praktek politisasi identitas adalah sejauh mana mereka menggunakan identitas Betawi dalam proses kampanye mereka. Penggunaan identitas Betawi tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: 1. Gaya busana; 2. Bahasa atau istilah verbal yang digunakan; 3. Penggunaan isu ke media; 4. Iklan, baik dalam media cetak maupun elektronik; 5. Mobilisasi organisasi etnis. G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini membahas mengenai politisasi identitas kebetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun Penelitian ini memakai jenis metode penelitian kualitatif dengan berbasis desain penelitian studi kasus. Penelitian kualititatif dianggap sebagai metode penelitian yang cocok dengan penelitian yang hendak dibahas karena dapat mendeskripsikan suatu peristiwa secara merinci dan mendalam, bersifat sistematis dan naratif. Metode ini menghasilkan data-data yang bersifat deskripstif, baik tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati oleh peneliti. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian yang ingin 18

19 menjelaskan dan menggambarkan sejauh mana sentimen etnisitas dijadikan instrumen dalam pemilihan kepala daerah dan bagaimana hal itu terjadi. Penelitian ini menggunakan pertanyaan riset why and how karena secara khusus ingin mengungkap mengapa dan bagaimana politisasi identitas terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dengan memakai studi kasus, penelitian ini lebih kaya data dan menjelaskan serta mengeksplorasikan kasus. Selain itu, studi kasus juga memiliki batasan-batasan dalam mengkerangkai penelitian. Batasan tersebut dapat batasan waktu dan tempat. Batasan waktu dalam penelitian ini adalah tahun Selain itu batasan tempat adalah di DKI Jakarta. Karena adanya batasanbatasan tersebut maka studi kasus tidak dapat digeneralisasikan sehingga hasilnya hanya dapat berlaku di kasus itu sendiri. Sedangkan lokasi yang diteliti adalah pemilihan gubernur di DKI Jakarta, sehingga tidak berlaku bagi kasus yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia kecuali kasus yang mempunyai ciri khas maupun karakteristik yang sama. Hal ini pula yang menjadi kelemahan studi kasus dimana satu kasus tidak dapat dapat digeneralisasi dengan kasus lain. Dengan kata lain, hanya berlaku bagi kasus itu sendiri. Penelitian ini menggunakan studi kasus tunggal, yaitu Politisasi Identitas dalam Pilkada. Studi kasus tunggal menyajikan uji kritis suatu teori yang difokuskan pada kasus yang dipilih. Studi kasus tunggal berfokus pada sejumlah kecil kejadian yang diselidiki secara mendalam dalam satu rentang waktu, atau dalam jangka waktu yang lebih panjang (Daymon & Holloway, 2002: 166). Peneliti menggunakan studi kasus tunggal karena dapat melakukan eksplorasi mendalam dan spesifik mengenai suatu kasus sehingga penelitian hanya berfokus 19

20 pada satu kajian. Studi kasus tunggal hanya menggunakan satu kasus untuk memahami fenomena dibalik sebuah kasus. Tidak seperti halnya multiple case study yang menganalisis dua atau lebih unit kasus untuk menarik satu kesimpulan didalamnya yang lebih luas. Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data, yaitu observasi, wawancara mendalam, serta kajian pustaka berupa dokumen, dan arsip yang berkaitan dengan kajian yang dibahas. Dengan begitu, metode ini dapat menggali lebih mendalam mengenai informan-informan yang diteliti seperti tim sukses kandidat beretnik Betawi yaitu tim sukses Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke- Nara). Penentuan informan dalam pencarian data menggunakan snowball sampling. Artinya, pada teknik ini peneliti sebelumnya telah menentukan seorang informan kunci sebagai sumber data awal. Informan kunci penelitian ini adalah tim sukses Foke-Nara. Peneliti mendatangi kantor KPUD Jakarta untuk meminta daftar tim sukses Foke-Nara. Kemudian, tim sukses yang menjadi informan pertama peneliti akan menunjuk tim sukses lainnya, begitu seterusnya. Secara singkat, alasan peneliti memilih metode penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian lebih fokus karena adanya batasan-batasan dalam metode studi kasus. Kedua, penelitian lebih kaya data karena studi kasus memfokuskan penelitian dengan rumusan masalah why dan how. Ketiga, penelitian menggunakan studi kasus tunggal untuk melakukan penggalian mendalam tetapi tetap berfokus pada satu kasus saja. Keempat, dalam pencarian data studi kasus 20

21 bersifat fleksibel, dalam arti tidak hanya terpaku pada satu aktivitas saja. Kelima, proposisi menggiring untuk mencari data-data yang relevan dan data-data yang dicari tetap fokus walupun data yang dicari banyak. G.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini memakai tiga cara untuk mengumpulkan data yaitu wawancara atau interview, observasi, serta studi kepustakaan atau kajian literatur. Format wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam yaitu menggunakan interview guide yang telah dibuat dan memodifikasi pertanyaan ketika wawancara berlangsung. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur sesuai dengan arah pembicaraan informan. Selain itu, teknik selanjutnya adalah observasi. Observasi yang dilakukan adalah observasi tidak langsung. Peneliti tidak terjun langsung ke lapangan, tetapi peneliti melihat video dan gambar kampanye untuk mengamati kasus yang tengah diteliti. Langkah selanjutnya adalah studi kepustakaan atau kajian literatur. Studi kepustakaan ini berkaitan dengan menelaah teoritis dari sejumlah literatur seperti buku, jurnal, koran, majalah, dokumen-dokumen, serta literatur lainnya yang berwujudkan penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan beberapa sumber terkait yaitu tim sukses dari kandidat beretnis Betawi pada Pilkada DKI Jakarta, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Tim sukses menjadi narasumber utama karena merupakan seorang yang paling kompeten dan 21

22 mengetahui seluk beluk dari cagub dan cawagub yang tengah bertarung dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun Wawancara dilakukan dengan mengarah pada interview guide tetapi dikembangkan sesuai dengan data yang dibutuhkan. Wawancara yang dilakukan bersifat formal dan informal sesuai dengan kemauan informan dan arah pembicaraan. Selain itu, observasi yang dilakukan adalah observasi tidak langsung dengan mengamati bagaimana proses kampanye Foke-Nara dengan video yang di unggah di media sosial. Dengan demikian, peneliti mendapatkan gambaran mengenai apa saja yang dipakai cagub dan cawagub selama kampanye misalnya simbol dan atribut yang dipakai serta visi dan misi dari cagub dan cawagub tersebut. Selain wawancara dan observasi, selanjutnya adalah studi kepustakaan untuk melengkapi data-data primer hasil wawancara dan observasi. Studi kepustakaan ini dapat ditelaah dari berbagai sumber media cetak seperti buku, internet, majalah, skripsi, serta literatur-literatur lainnya yang bersifat ilmiah dan berkaitan dengan penelitian ini. G.3. Teknik Analisis Data Dalam teknik analisis data terdapat beberapa langkah yang dilakukan bagi penelitian. Awalnya adalah mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik wawancara narasumber maupun observasi langsung. Kemudian, hasil data primer yang telah didapat dikombinasikan dengan data sekunder untuk melengkapi satu sama lain atau mencocokkan dengan data yang telah didapat dari 22

23 lapangan. Untuk mempermudahkan dalam mengklasifikasikan data, data-data primer maupun sekunder, data yang telah terkumpul dibuat transkrip lebih dahulu. Hal ini juga membantu peneliti untuk memilah-milah bagian mana yang akan ditulis dari setiap bab penulisan. Tahapan selanjutnya adalah reduksi data. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Zed, 2004: 19). Reduksi data dapat meringkas data-data yang telah dikumpulkan menjadi data yang dibutuhkan kedalam penelitian. Hal ini juga untuk mensinkronisasikan data di setiap bab penelitian. Penting untuk diingatkan kembali bahwa pada analisis data, pembungkusan teori menjadi hal yang terpenting karena dapat menelaah penelitian dengan perubahan yang diperlukan. Setelah mengumpulkan data serta mereduksi data, selanjutnya adalah membuat kesimpulan. Pembuatan kesimpulan diambil berdasarkan pokok-pokok dari bab yang telah disusun dalam teks penelitian. Kesimpulan juga memuat jawaban dari rumusan masalah yang dibuat. Selain itu, kesimpulan menampilkan pencapaian tujuan-tujuan dari penelitian. H. Sistematika Penulisanan Laporan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab yang memiliki keteraturan didalamnya. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi tentang 23

24 latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, serta metode penelitian. Selanjutnya pada bab dua membahas mengenai jejak-jejak politisasi identitas Betawi, baik yang dilakukan elite pemerintah maupun elite Betawi itu sendiri. Bab dua merupakan kajian historis karena melihat politisasi identitas Betawi yang terjadi dari masa ke masa (sebelum pilkada tahun 2012 yang menjadi konten dari penelitian ini). Bab dua ini berjudul Menelusuri Politisasi Identitas Betawi yang terbagi menjadi dua sub bab yaitu Orde Baru dan Reformasi. Dibagi menjadi dua sub bab karena peneliti ingin menjelaskan bagaimana pola yang terjadi hingga munculnya politisasi identitas Betawi di pilkada yang terjadi saat ini. Bab ketiga berjudul Identitas Betawi Bermain di Pilkada Pada bab ini dibahas mengenai bagaimana politisasi identitas Betawi dilakukan oleh kandidat yang beretnik Betawi, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Dimulai dari proses perkawinan mereka, serta proses selama kampanye berlangsung, seperti penggunaan simbol Betawi dalam kampanye, dan isu-isu kebetawian yang dilempar oleh kandidat ke publik. Kemudian pada bab empat dibahas mengenai mobilisasi organisasi Betawi yang dimanfaatkan oleh pasangan. Solidaritas sesama Betawi menjadi keuntungan sendiri bagi kandidat, dimana terdapat tim sukses khusus yang dibentuk oleh pasangan untuk menjaring masyarakat Betawi. Dengan apa dan bagaimana jaringan-jaringan Betawi ini terbungkus rapi di bab empat. 24

25 Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan rekomendasi penulis. Pada bab ini mengulas ulang secara singkat mengenai garis besar penelitian ini serta menjabarkan teori yang diulas dengan hasil penelitian sejalan atau bahkan bertolak belakang dengan kasus yang diteliti di Jakarta. Refleksi penelitian juga terlampir dalam bab terakhir ini. 25

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas,

BAB V KESIMPULAN. Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas, BAB V KESIMPULAN Politisasi identitas Betawi dilakukan oleh Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli melalui tiga cara, yakni: Pertama, Pemakaian simbol dan atribut identitas, yaitu dengan penggunaan pakaian yang

Lebih terperinci

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA

2015 IDEOLOGI PEMBERITAAN KONTROVERSI PELANTIKAN AHOK SEBAGAI GUBERNUR DKI JAKARTA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu (Fairclough dalam Darma, 2009, hlm

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Dalam melakukan analisis dan bahasan terhadap suatu persoalan penelitian, ada berbagai alternatif metode penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan penelitian. Oleh sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, termasuk dalam proses pemilihan kepala daerah. Pada Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, termasuk dalam proses pemilihan kepala daerah. Pada Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia dimulai sejak runtuhnya masa orde baru. Pada saat itulah demokrasi mulai dijunjung di Indonesia, termasuk dalam proses

Lebih terperinci

EXIT POLL PILGUB DKI JAKARTA 11 Juli 2012

EXIT POLL PILGUB DKI JAKARTA 11 Juli 2012 EXIT POLL PILGUB DKI JAKARTA 11 Juli 2012 METODE DAN DATA Exit poll dilakukan pada tanggal 11 Juli 2012. 410 TPS dipilih secara random dan proporsional dari seluruh kota di DKI Jakarta. Di tiap TPS terpilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara untuk membangun image kepublik agar mendapatkan perhatian

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara untuk membangun image kepublik agar mendapatkan perhatian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perhelatan akbar pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden di Indonesia setiap calon pasangan yang maju menggunakan berbagai cara untuk membangun image

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi merupakan sebuah kegiatan yang pokok dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi merupakan sebuah kegiatan yang pokok dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komunikasi merupakan sebuah kegiatan yang pokok dalam kehidupan manusia. Dengan komunikasi, manusia memiliki kesempatan untuk saling berhubungan, saling bertukar pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Selain itu pemilu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa pekan lalu, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta dianggap demikian penting. Hal ini terlihat jelas ketika semua

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana persepsi elit partai

III. METODE PENELITIAN. Peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana persepsi elit partai III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana persepsi elit partai politik di Provinsi Lampung terhadap wacana pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi

Lebih terperinci

HASIL JAJAK PENDAPAT PUBLIK SEPUTAR PEMILUKADA DKI JAKARTA 2012

HASIL JAJAK PENDAPAT PUBLIK SEPUTAR PEMILUKADA DKI JAKARTA 2012 HASIL JAJAK PENDAPAT PUBLIK SEPUTAR PEMILUKADA DKI JAKARTA 2012 Perkembangan Terkini Popularitas & Elektabilitas Kandidat, Kualitas Mesin Partai Politik, Perolehan Suara Partai DKI Jakarta Februari 2012

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sany Rohendi Apriadi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sany Rohendi Apriadi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pascaruntuhnya runtuhnya kekuasaan orde baru terjaminnya kebebasan pers telah menjadi ruang tersendiri bagi rakyat untuk menggelorakan aspirasi dan kegelisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan media massa dalam menyuguhkan informasi yang akurat dan faktual semakin dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Kebutuhan tersebut diiringi dengan semakin

Lebih terperinci

Publik Ingin Gubernur Jakarta Yang Bisa Atasi Banjir, Sampah dan Macet. Kerjasama dengan Cikom LSI

Publik Ingin Gubernur Jakarta Yang Bisa Atasi Banjir, Sampah dan Macet. Kerjasama dengan Cikom LSI Publik Ingin Gubernur Jakarta Yang Bisa Atasi Banjir, Sampah dan Macet Kerjasama dengan Cikom LSI Pilkada DKI Jakarta, April 2012 1 Publik Ingin Gubernur Jakarta Yang Mampu Atasi Banjir, Sampah dan Macet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi telah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

Kata kunci: Strategi Pemasaran Politik, Profit Kontestan, Profit pemilih

Kata kunci: Strategi Pemasaran Politik, Profit Kontestan, Profit pemilih PROFIL KONTESTAN PILKADA DKI 2012 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan melakukan analisis profit kontestan Pilkoda DKI dalam tiga tahap. Untiik itii pertama-tama dijelaskan strategi pemasaran politik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada politisi dibandingkan dengan masa Orde Baru. Politisi unjuk gigi dengan kedudukan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki berbagai keanekaragaman budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta

I. PENDAHULUAN. memiliki berbagai keanekaragaman budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terkenal dengan bangsa yang majemuk yang memiliki berbagai keanekaragaman budaya, bahasa, adat istiadat, agama serta suku bangsa atau

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Liberalisasi politik yang hadir bersamaan dengan liberalisasi ekonomi dalam satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan karakteristik tertentu dalam pemilihan umum

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AKUN TWITTER OLEH POLITISI (Analisis Genre Penggunaan Akun Twitter Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 Selama Masa Kampanye Putaran I)

PENGGUNAAN AKUN TWITTER OLEH POLITISI (Analisis Genre Penggunaan Akun Twitter Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 Selama Masa Kampanye Putaran I) PENGGUNAAN AKUN TWITTER OLEH POLITISI (Analisis Genre Penggunaan Akun Twitter Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 Selama Masa Kampanye Putaran I) Aditya/ YohanesWidodo Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas

Lebih terperinci

-1- KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA. NOMOR: 20/Kpts/KPU-Prov-010/2012

-1- KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA. NOMOR: 20/Kpts/KPU-Prov-010/2012 -1- KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR: 20/Kpts/KPU-Prov-010/2012 TENTANG PENETAPAN PASANGAN CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR YANG MEMENUHI SYARAT DALAM PEMILIHAN UMUM GUBERNUR

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Tanggal 15 Februari 2017 merupakan pesta demokrasi bagi sebagian masyarakat di Indonesia yang melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Metro TV dalam pengantar buku Mata Najwa: Mantra Layar Kaca, Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Metro TV dalam pengantar buku Mata Najwa: Mantra Layar Kaca, Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peneliti melihat, mengamati, bahkan mengikuti program Mata Najwa di Metro TV dengan pembawa acaranya, Najwa Shihab, bolehlah dikatakan sebagai talkshow dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kita pasti masih ingat dengan fenomena kemenangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki (Ahok) dalam pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang berjalan selama 2 kali

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR: 21/Kpts/KPU-Prov-010/2012 TENTANG PENETAPAN NOMOR URUT PASANGAN CALON GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR DALAM PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah setelah runtuhnya Orde Baru, di era reformasi saat ini, media dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah setelah runtuhnya Orde Baru, di era reformasi saat ini, media dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebebasan media dalam memberitakan berita yang bertentangan dengan pemerintah setelah runtuhnya Orde Baru, di era reformasi saat ini, media dengan bebas memberitakan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF ETNIK SITUASIONAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD PADA WILAYAH MULTI ETNIK

PERSPEKTIF ETNIK SITUASIONAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD PADA WILAYAH MULTI ETNIK PERSPEKTIF ETNIK SITUASIONAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD PADA WILAYAH MULTI ETNIK Oleh : Muhammad Marzuki 2 ABSTRAK Sentimen etnik seringkali dinilai sebagai salah satu kekuatan sekaligus problematika

Lebih terperinci

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL oleh : Timbul Hari Kencana NPM. 10144300021 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis : BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan Pemilu 2014 akan menjadi cermin bagi kualitas yang merujuk pada prinsip demokrasi yang selama ini dianut oleh Negara kita Indonesia. Sistem Pelaksanaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan 32 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan dengan menggunakan

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian kualitatif bertujuan untuk menggambarkan realitas yang kompleks dan memperoleh pemahaman makna dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. 1 Paradigma dalam penelitian ini adalah konstruktivisme. Menurut Guba dan Lincoln realitas

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai rumusan masalah yang ada, maka jenis penelitian yang penulis

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai rumusan masalah yang ada, maka jenis penelitian yang penulis BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Sesuai rumusan masalah yang ada, maka jenis penelitian yang penulis gunakan termasuk penelitian deskriptif dengan menggunakan latar alamiah atau pada konteks

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Prosedur pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semestinya bukan sebagai media periklanan, isinya didominasi dari iklan motor,

BAB I PENDAHULUAN. semestinya bukan sebagai media periklanan, isinya didominasi dari iklan motor, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini memaparkan kegiatan kolektif anti sampah visual di Yogyakarta. Sampah visual yang dimaksud adalah media promosi atau iklan yang berada di luar ruangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa adalah pemilik peran penting dalam menyampaikan berbagai informasi pada masyarakat. Media komunikasi massa yaitu cetak (koran, majalah, tabloid), elektronik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar BAB V Penutup A. Kesimpulan Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas dan Republika dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, produksi wacana mengenai PKI dalam berita

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 61 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelilitian ini adalah strategi komunikasi politik yang digunakan oleh tim sukses faisal-biem dalam pemilihan gubernur dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali.

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Analisis Modal Petahana (Busyro Karim) Busyro Karim adalah kandidat petahana yang mencalonkan kembali pada Pemilu Bupati Sumenep 2015 dengan strategi yang dianalisis dengan

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat saling bertukar informasi dengan antar sesama, baik di dalam keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dapat saling bertukar informasi dengan antar sesama, baik di dalam keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah kebutuhan manusia dengan berkomunikasi manusia dapat saling bertukar informasi dengan antar sesama, baik di dalam keluarga maupun bermasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang dilaksanakan secara langsung, yang merupakan salah satu bentuk Demokrasi. Bagi sebuah bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah saat ini merupakan ruang otonom 1 dimana terdapat tarik-menarik antara berbagai kepentingan yang ada. Undang-Undang Otonomi Daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

AGENDA MEDIA SURAT KABAR IBU KOTA DALAM PEMBERITAAN MENGENAI PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DKI JAKARTA

AGENDA MEDIA SURAT KABAR IBU KOTA DALAM PEMBERITAAN MENGENAI PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DKI JAKARTA AGENDA MEDIA SURAT KABAR IBU KOTA DALAM PEMBERITAAN MENGENAI PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DKI JAKARTA Said Romadlan Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UHAMKA Jalan Limau Kebayoran Baru, Jakarta

Lebih terperinci

sekolah secara keseluruhan selama satu tahun.

sekolah secara keseluruhan selama satu tahun. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi penelitian Lokasi penelitian adalah SMA Kolese De Britto. SMA Kolese De Britto adalah sekolah yang menurut laporan harian kedaulatan rakyat 20 januari 2014 mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1 Latar belakang Banyak kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia dan dijadikan trend bagi masyarakat Indonesia. Kebudayaan yang masuk pun datang dari barat dan timur dunia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas pada saat ini. Beraneka ragam partai politik yang bersaing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Dimaksud

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Dimaksud 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif. Dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan suatu proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pasal 18 Undang - Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pasal 18 Undang - Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, Negara Kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasal 18 Undang - Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas

Lebih terperinci

Publik Jakarta Rindukan Figur Ali Sadikin. Survei Pilkada DKI, Mei 2012

Publik Jakarta Rindukan Figur Ali Sadikin. Survei Pilkada DKI, Mei 2012 Publik Jakarta Rindukan Figur Ali Sadikin Survei Pilkada DKI, Mei 2012 Pengantar Publik Jakarta Rindukan Figur Ali Sadikin Mayoritas pemilih Jakarta, 75.6%, mengidealkan gubernur Jakarta untuk periode

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Kepercayaan agama tidak hanya

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi BAB VI KESIMPULAN Kajian media dan gaya hidup tampak bahwa pengaruh media sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi masyarakat tidak lain merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menerapkan konsep, strategi dan teknik-teknik public relations salah satunya

BAB 1 PENDAHULUAN. menerapkan konsep, strategi dan teknik-teknik public relations salah satunya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bagi masyarakat di Indonesia maupun di seluruh dunia, politik merupakan permasalahan yang selalu menjadi perbincangan hangat. Hal ini tentu saja membuat para pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat telah melalui perjalanan sejarah panjang dalam kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Esai merupakan suatu ekspresi diri berupa gagasan atau pemikiran seseorang tentang suatu hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang berupa teks. Esai atau tulisan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan global yang begitu cepat terjadi di masa sekarang disebabkan oleh bertambah tingginya tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan, arus informasi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dengan sendirinya perkembangan usaha penerbitan pers mulai

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dengan sendirinya perkembangan usaha penerbitan pers mulai 9 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Memasuki era reformasi kebebasan pers seolah-olah seperti terlepas dari belenggu yang sebelumnya mengekang arti kebebasan itu sendiri. Dengan sendirinya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemilihan kepala daerah selalu menjadi peristiwa menarik terutama bagi masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemilihan kepala daerah selalu menjadi peristiwa menarik terutama bagi masyarakat di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemilihan kepala daerah selalu menjadi peristiwa menarik terutama bagi masyarakat di wilayah atau daerah pemilihan dilaksanakan. Peraturan pelaksanaan pemilihan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Berkaitan dengan hal ini Lexy. J Meleong menjelaskan bahwa penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Morse (dalam Daymon dan Holloway, 2008:368) penelitian kualitatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Debat adalah perbincangan antara beberapa orang yang. membahas suatu masalah dan masing-masing mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Debat adalah perbincangan antara beberapa orang yang. membahas suatu masalah dan masing-masing mengemukakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Debat adalah perbincangan antara beberapa orang yang membahas suatu masalah dan masing-masing mengemukakan pendapatnya atau alasan (KBBI, 2005: 240). Menurut Widyamartaya

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian berikut Menurut Semiawan (2010:1), pengertian metodologi adalah sebagai kata metode dan metodologi sering dicampur adukkan dan disamakan. Padahal keduanya

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR: 28/Kpts/KPU-Prov-010/2012 TENTANG PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat melakukan penelitian guna memperoleh data yang berasal dari responden. Lokasi penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai kebebasan kemauan, yang perilakunya hanya dapat dipahami

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. mengenai Strategi Kampanye Politik dalam Pemilihan Kepala Kampung di

III. METODOLOGI PENELITIAN. mengenai Strategi Kampanye Politik dalam Pemilihan Kepala Kampung di 31 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci berkaitan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan bukan angka-angka, akan tetapi berupa kata-kata atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok-kelompok suku ini berawal dari bagian Provinsi Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok-kelompok suku ini berawal dari bagian Provinsi Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat kelompok Suku Batak terdiri dari enam kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun, Angkola dan Karo. Adapun kelompok-kelompok suku

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif atas dasar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif atas dasar BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif atas dasar paradigma naturalistik. Sugiyono (2007) menegaskan bahwa: Metode penelitian kualitatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi deskriptif yaitu memaparkan

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi deskriptif yaitu memaparkan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi deskriptif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dunia politik adalah suatu pasar, dalam pasar itu terjadi pertukaran informasi dan pengetahuan. Dan seperti halnya pertukaran dalam dunia bisnis yang perlu

Lebih terperinci