PENELITIAN OPERASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENELITIAN OPERASIONAL"

Transkripsi

1 PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA LAPORAN PENELITIAN OPERASIONAL Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan (LKB) Kerjasama: Kementerian Kesehatan RI dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2015 PKMK FK UGM Gedung IKM Baru Sayap Utara Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta Telp/Fax (hunting) (+62274)

2 LAPORAN PENELITIAN OPERASIONAL Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS Kerjasama Kementerian Kesehatan RI dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2015 i

3 ii

4 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... iii DAFTAR GRAFIK... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii DAFTAR ISTILAH... xv RINGKASAN EKSEKUTIF... xvii BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian... 4 BAB II. KAJIAN PUSTAKA... 6 Continuum of Care (CoC)... 6 BAB III. METODE PENELITIAN Jenis dan Disain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Tahapan Penelitian Asesmen awal Perumusan permasalahan prioritas dan alternatif solusi Pengembangan disain intervensi Pelaksanaan intervensi Evaluasi Pelaksanaan Intervensi BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kota Yogyakarta Pelaksanaan LKB Di Kota Yogyakarta Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Solusi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB di Kota Yogyakarta Pengembangan Disain Intervensi Kota Yogyakarta Pelaksanaan Intervensi di Kota Yogyakarta Hasil Penelitian Kota Semarang Pelaksanaan LKB Kota Semarang Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Solusi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB di Kota Semarang Pengembangan disain intervensi Kota Semarang Pelaksanaan intervensi di Kota Semarang iii

5 4.3. Hasil Evaluasi Evaluasi Pelaksanaan Intervensi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB Tujuan Disain Evaluasi Pengumpulan Data Hasil Evaluasi Kesimpulan Evaluasi Pembahasan V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Status HIV dan Jenis Layanan yang diperlukan... 3 Gambar 2: Prioritas Kerangka Aksi Treatment Gambar 3: Jejaring Layanan Komprehensif Berkesinambungan... 7 Gambar 4: Tahapan Penelitian v

7 vi Kementerian Kesehatan RI PKMK FK UGM

8 DAFTAR GRAFIK Grafik 1: Cakupan layanan VCT Puskesmas Umbul Harjo I Grafik 2: Cakupan layanan PITC Puskesmas Umbul Harjo I Grafik 3: Cakupan layanan IMS Puskesmas Umbul Harjo I Grafik 4: Cakupan layanan VCT Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli Grafik 5: Cakupan layanan PITC Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli Grafik 6: Cakupan layanan IMS Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli Grafik 7: Cakupan layanan VCT Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli Grafik 8: Cakupan layanan PITC Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli Grafik 9: Cakupan layanan IMS Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli Grafik 10: Cakupan layanan VCT Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli Grafik 11: Cakupan layanan PITC Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli Grafik 12: Cakupan layanan IMS Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli Grafik 13: Cakupan layanan VCT Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli Grafik 14: Cakupan layanan PITC Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli Grafik 15: Cakupan Layanan IMS Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli Grafik 16: Cakupan layanan VCT 4 RS di Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli Grafik 17: Cakupan layanan PITC 4 rumah sakit di Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli Grafik 18: Target dan capaian tes HIV di 4 rumah sakit Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli Grafik 19: Cakupan VCT Periode Mei Juli 2014 di Fasyankes Primer Kota Yogyakarta Grafik 20: Cakupan PITC periode Mei Juli 2014, pada fasyankes Primer di Kota Yogyakarta Grafik 21: Cakupan IMS periode Mei Juli d Fasyankes Primer Kota Yogyakarta Grafik 22: Hasil pre dan post test untuk tenaga medis vii

9 Grafik 23: Hasil pre dan post test untuk tenaga non medis di Kota Yogyakarta Grafik 24: Cakupan layanan VCT Puskesmas Halmahera Periode Juni-Agustus Grafik 25: Cakupan layanan PITC Puskesmas Halmahera Periode Juni Agustus Grafik 26: Cakupan layanan IMS Puskesmas Halmahera Periode Juni Agustus Grafik 27: Cakupan layanan VCT Puskesmas Poncol Periode Juni Agustus Grafik 28: Cakupan layanan IMS Puskesmas Poncol Periode Juni Agustus Grafik 29: Cakupan layanan PITC Puskesmas Lebdosari Periode Juni Agustus Grafik 30: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Lebdosari Periode Juni Agustus Grafik 31: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Bandarharjo Periode Juni Agustus Grafik 32: Cakupan layanan IMS Puskesmas Bandarharjo Periode Juni Agustus Grafik 33: Cakupan layanan VCT di lima RS Rujukan CST Kota Semarang Periode Juni Agustus Grafik 34: Cakupan layanan PITC di lima RS Rujukan CST Kota Semarang Periode Juni Agustus Grafik 35: Target dan Cakupan layanan VCT di Fasyankes LKB di Kota Semarang Grafik 36: Hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB kategori tenaga medis di Kota Semarang Grafik 37: Hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB kategori tenaga non medis di Kota Semarang Grafik 38: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 39: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 40: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 41: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Semarang Grafik 42: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 43: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Semarang Grafik 44: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta viii

10 Grafik 45: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang Grafik 46: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta Grafik 47: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang Grafik 48: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta Grafik 49: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Semarang ix

11 x Kementerian Kesehatan RI PKMK FK UGM

12 DAFTAR TABEL Tabel 1: Jenis dan jumlah informan Kota Semarang Tabel 2: Daftar materi dan narasumber peningkatan kapasitas SDM LKB Tabel 3: Penilaian Kualitas Layanan xi

13 xii Kementerian Kesehatan RI PKMK FK UGM

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Draft Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan, Sharing Sumber Daya dan Data Layananan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) Human Immunodeficiency Syndrome (HIV / AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Lampiran 2. Kesepakatan Bersama antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan Rumah Sakit tentang Mekanisme Sistem Rujukan, Akses dan Sharing Data Pasien Terkait HIV/AIDS dan IMS di Kota Yogyakarta xiii

15 xiv Kementerian Kesehatan RI PKMK FK UGM

16 DAFTAR ISTILAH AIDS APBD APBN ARV ART CST COC LKB Fasyankes HIV IDU IMS IO Kabid Kasie KIE KDS KPA LSL MNHC NAPZA ODHA PDP Acquired Immuno Disease Syndrome Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan Belanja Negara Anti Retro Viral Anti Retro Viral Teraphy Care Support and Treatment Continuum of Care Layanan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan Fasilitas Layanan kesehatan Human Immunodeficiency Virus Injecting Drug User Infeksi Menular Seksual Infeksi Oportunistik Kepala Bidang kepala Seksi Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kelompok Dukungan Sebaya Komisi Penanggulangan AIDS Lelaki Seks lelaki Mother New Born Health Child Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Orang dengan HIV dan AIDS Perawatan Dukungan Pengobatan xv

17 VCT PITC PUSKESMAS PMTS PMTCT PTRM PA PP PP PIKM PPIA P2PL P2MK PKMK FK UGM RR RSUD SDM SUFA SIHA UU WHO Voluntary Counselling and Testing Provider Initiative Test and Conseling Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Pencegahan Melalui melalui Transmisi Seksual Prevention of Mother to Child Transmission Program Terapi Rumatan Metadon Pengelola Administrasi Pengelola Program Peraturan Pemerintah Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dan Lingkungan Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada Report and Recording Rumah Sakit Umum Daerah Sumber Daya Manusia Strategic Use for ART Sistem Informasi HIV dan AIDS Undang Undang World Health Organization xvi

18 RINGKASAN EKSEKUTIF Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai sebuah strategi yang berpusat pada pemanfaat layanan (kelompok yang terdampak oleh HIV dan AIDS) telah dilaksanakan dalam beberapa waktu. Strategi LKB dilakukan dengan mengembangkan jejaring dan koordinasi yang sinergis antar berbagai simpul-simpul layanan HIV dan AIDS di sebuah wilayah. Sejauh ini belum pernah dilakukan sebuah kajian untuk melihat berbagai kemajuan, hambatan, tantangan dan potensi pelaksanaan LKB di tingkat lapangan. Penelitian operasional ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai hambatan dalam prosedur layanan pengobatan di dalam kerangka LKB, mengembangkan alternatif pemecahannya dan menilai kelayakan atas alternatif pemecahan masalah untuk memperkuat penerapan strategi LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Permasalahan utama dalam pelaksanaan LKB di kedua kota adalah (1) ketidakjelasan disain integrasi strategi LKB ke dalam pelayanan yang tersedia, (2) ketidaksiapan fasyankes yang ditunjuk sebagai simpul-simpul jaringan LKB (puskesmas dan rumah sakit rujukan) khususnya tenaga kesehatannya dan (3) lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan di tingkat kota seperti LSM, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), dinas kesehatan, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ketiga permasalahan dasar ini pada akhirnya dinilai menjadi penyebab belum optimalnya layanan HIV dan AIDS di masing-masing kota. Hal ini tampak pada rendahnya cakupan untuk layanan VCT, PITC, pengobatan dan perawatan IMS dan layanan terapi ARV. Berbagai faktor yang menghambat efektivitas pelaksanaan strategi LKB pada dasarnya terkait dengan konsep pelibatan (engagement) dan kepemilikan (ownership) dari pemangku kepentingan lokal terhadap inisiatif yang dilakukan oleh pusat (Kementerian Kesehatan) tersebut. Dua permasalahan dasar tersebut menjadi fokus untuk mengembangkan dua alternatif intervensi untuk memperkuat pelaksanaan LKB di dua kota tersebut. Dua intervensi untuk menyikapi permasalahan keterlibatan dan kepemilikan terhadap penerapan strategi LKB di kedua kota adalah dengan (1) mengaktifkan mekanisme koordinasi yang kurang berjalan selama ini sebagai media untuk mengungkit pelibatan dan kepemilikan yang lebih besar terhadap penerapan LKB ini. (2) melakukan pelatihan tentang prosedur pengobatan dan perawatan bagi staf layanan di fasyankes, LSM/KDS atau kader kesehatan sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan keterlibatan dan tanggung jawab dari staf layanan. Dua intervensi alternatif untuk penguatan pelaksanaan strategi LKB di kedua kota secara umum telah mampu memperkuat implementasi strategi LKB dalam meningkatkan cakupan, aksesibilitas dan kualitas layanan seperti telah ditunjukkan dalam hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan alternatif tersebut dimana: 1. Telah terjadi peningkatan cakupan layanan VCT, PITC dan IMS di fasyankes dengan variasi perubahan cakupan di masing-masing fasyankes. 2. Reformulasi pada kebijakan penting dalam pelaksanaan layanan HIV dan IMS (mekanisme rujukan dan jam layanan) dan komitmen serta kepemilikan yang lebih besar dari fasyankes dan pemangku kepentingan LKB lainnya (KDS, LSM, Kader) untuk mendukung dan mengintensifkan layanan VCT, PITC dan IMS di masing-masing fasyankes. xvii

19 3. Telah terjadi peningkatan kapasitas petugas fasyankes dan pemangku kepentingan lain (KDS, LSM dan Kader) karena pelatihan yang telah mereka peroleh dinilai telah memberikan penyegaran kembali dan penguatan atas pengetahuan yang mereka miliki dan telah menjadi rujukan di dalam memberikan pelayanan bahkan telah mendorong untuk menyediakan layanan yang selama ini belum diberikan (VCT di puskesmas) 4. Pasien yang telah memanfaatkan layanan kesehatan di fasyankes yang ada dalam jaringan LKB di kedua kota menilai bahwa layanan yang disediakan oleh fasyankes yang telah mereka kunjungi dalam 3 bulan terakhir memiliki kualitas yang relatif baik. Berdasarkan hasil penelitian operasional di dua kota tersebut, beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk memperkuat penerapan LKB di daerah-daerah lain adalah sebagai berikut: 1. Kementerian kesehatan perlu memberikan penekanan yang lebih besar pada aspek pelibatan simpul-simpul layanan dari jaringan pelayanan yang berkesinambungan dan komprehensif. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong kepada daerah (dinas kesehatan dan KPAD) untuk mengembangkan sistem koordinasi yang lebih kuat yang tidak hanya berfokus pada intervensi tertentu saja tetapi harus mencakup semua layanan yang ada di dalam continuum of care agar bisa menunjukkan keterkaitan, posisi dan peran masing-masing pihak dalam penanggulangan AIDS di daerah itu. 2. Kementerian Kesehatan harus bersedia melepaskan wewenang administratif dalam penanggulangan AIDS (perencanaan, pembiayaan, pengelolaan SDM/logistif dan informasi strategis) untuk diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai sebagai program daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan pada daerah untuk menentukan profil epidemik dan menentukan respon yang diperlukan dengan mengacu pada rencana program AIDS nasional yang telah ditentukan oleh KPAN termasuk Kemenkes. 3. Secara teknis berberapa hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi strategi LKB adalah sebagai berikut: a. Pada tingkat layanan, pelaksanaan koordinasi tidak hanya dalam bentuk pertemuan tapi lebih pada adanya komunikasi aktif antar layanan agar terjadi sharing sumber daya, sumber data dan ketrampilan di tingkat pelayanan. Komunikasi aktif ini membuka ruang agar layanan dapat menyampaikan kendala dihadapi, kebutuhan yang diperlukan serta memungkinkan layanan melakukan inovasi-inovasi program. b. Dinas Kesehatan sebagai focal point LKB perlu mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan LKB dalam pertemuan koordinasi antar bidang dalam dinas kesehatan untuk sinkronisasi program. c. Dinas kesehatan dan KPAD perlu secara terbuka melakukan sosialisasi hasil kesepakatan koordinasi yang dituangkan dalam kesepakatan dinas kesehatan dan rumah sakit dalam upaya penangulangan HIV dan AIDS sebuah wilayah. d. Dinas kesehatan, KPAD dan rumah sakit perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terhadap implementasi strategi LKB di wilayahnya untuk melihat perkembangan atau hambatan dalam melaksanakan kerja saja diantara para pemangku kepentingan. xviii

20 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdebatan tentang pendekatan vertikal dan pendekatan horizontal dalam kebijakan kesehatan, termasuk permasalahan AIDS, hingga saat ini masih berlanjut (Atun et.al, 2008), Pendekatan vertikal mengandaikan kebijakan sektoral agar mampu untuk merespon kondisi kegawatdaruratan dari sebuah permasalahan kesehatan dengan penyediaan sumber daya yang mencukupi untuk melakukan intervensi yang diperlukan. Sementara itu pendekatan horizontal mengandaikan adanya integrasi dari lintas sektor atau lintas program agar mampu merespon sebuah permasalahan secara komprehensif. Dua pendekatan ini masingmasing memiliki kekuatan dan kelemahannya dilihat dari konteks dan perjalanan permasalahan penyakit tertentu. Pada saat awal munculnya permasalahan kesehatan, pendekatan vertikal sangat tepat karena mampu merespon secara cepat masalah tersebut, tetapi dalam perjalanan waktunya, intervensi terhadap permasalahan kesehatan tersebut perlu diintegrasikan dengan intervensi dari program atau sektor lain karena pendekatan vertikal tidak mampu merespon permasalahan ini dalam jangka panjang. Meskipun demikian, permasalahan integrasi program dan layanan bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena melibatkan lebih banyak pemain (dan kepentingan), infrastruktur, kebijakan dan sumber daya. Situasi seperti di atas juga dialami dalam pengembangan kebijakan dan program AIDS di Indonesia. Pada awalnya, pendekatan vertikal sangat dominan dilakukan oleh pemerintah maupun mitra pembangunan internasional yang mendukung pendanaan penanggulangan AIDS di Indonesia. Namun disadari bahwa pendekatan ini perlu diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang berlaku dan disesuaikan dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi seperti diatur dalam UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan PP 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu sejumlah kebijakan telah dikembangkan untuk mendukung upaya desentralisasi di bidang kesehatan, termasuk penanggulangan AIDS. Permasalahan HIV dan AIDS sejak pertama kali ditemukan (1987) di Provinsi Bali sampai dengan akhir tahun 2012, telah tersebar di 345 (69,4%) dari 497 1

21 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Sebaran permasalahan HIV dan AIDS meski dengan tingkat epidemi yang bervariasi seperti ini menjadikan upaya penanggulangan AIDS perlu dilakukan secara meluas agar dapat menekan laju epidemi di Indonesia. Pada sisi yang lain, perkembangan epidemi dan teknologi pencegahan dan perawatan HIV juga menuntut tersedianya berbagai layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan serta mitigasi dampak agar penanggulangan AIDS menjadi semakin efektif. Situasi ini berimplikasi pada upaya integrasi dari berbagai program dan sektor agar mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan. Tantangan utama untuk menyediakan layanan yang terintegrasi dan berkesinambungan seperti ini adalah masih terbatasnya kapasitas dan sumber daya yang tersedia di berbagai daerah di Indonesia. Hasil kajian eksternal WHO (2012) tentang respon sektor kesehatan menggaris bawahi pentingnya untuk segera mengembangkan layanan komprehensif yang menjamin kesinambungan antara upaya pencegahan dan perawatan dengan kerja sama yang lebih erat dengan masyarakat terkait. Demikian pula perlu dilakukan penguatan sistem kesehatan agar mampu menyediakan layanan pencegahan dan perawatan yang berkesinambungan di tingkat kabupaten/kota. Situasi ini mendorong Kementerian Kesehatan untuk lebih memperkuat kebijakan yang telah diinisiasi pada tahun 2004 tentang Pelayanan HIV AIDS dan IMS Komprehensif dan Berkesinambungan agar mampu mengintegrasikan pendekatan vertikal dan horizontal sehingga bisa menjamin tersedianya layanan yang terpadu dan berkesinambungan melalui penyusunan pedoman pelaksanaan LKB pada tahun Tujuan dari pelaksanaan LKB adalah: 1. Meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya promosi, pencegahan, dan pengobatan HIV & IMS serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring layanan hingga ke tingkat puskesmas,termasuk layanan untuk populasi kunci. 2. Meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggung jawab dalam mengendalikan epidemi HIV & IMS di Indonesia dengan memperkuat koordinasi antar pelaksanaan layanan HIV & IMS melalui peningkatan partisipasi komunitas dan masyarakat madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan kualitas layanan. 2

22 3. Memperbaiki dampak pengobatan antiretroviral dengan mengadaptasi prinsip treatment 2.0 dalam model layanan terintegrasi dengan desentralisasi di tingkat kabupaten/kota. LKB ini mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian/pengenalan faktor risiko, konseling dan tes HIV, Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk NAPZA, layanan IMS, pencegahan penularan melalui darah donor dan produk darah lainnya, kegiatan monev dan surveilan epidemiologi di puskesmas rujukan dan non rujukan termasuk fasilitas kesehatan lainnya, dan rumah sakit rujukan di kabupaten/kota, dengan keterlibatan aktif dari sektor masyarakat. Gambaran status HIV dan jenis layanan yang diperlukan bisa dilihat pada diagram di bawah ini. Gambar 1: Status HIV dan Jenis Layanan yang diperlukan Sumber: Kemkes (2012), Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, Oleh karena LKB merupakan kegiatan yang terpadu maka terdapat serangkaian kegiatan pelayanan dan penyedia layanan yang berbeda-beda. Koordinasi dan sinergi dari berbagai komponen layanan dan penyedia layanan di dalam LKB merupakan titik kritis terhadap keberhasilan pelaksanaan LKB. Untuk itu, dikembangkan 6 pilar utama pelaksanaan LKB yang diharapkan bisa menjadi kerangka kerja bagi penyediaan layanan di tingkat lapangan secara efektif. Keenam pilar ini adalah: 1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini 3

23 2. Pelayanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat 3. Sistem rujukan dan jejaring kerja 4. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan 5. Akses layanan terjamin 6. Keterlibatan ODHA dan keluarga Berdasarkan tujuan dan kerangka kerja seperti yang digambarkan di dalam Buku Pedoman Penerapan LKB, kementerian kesehatan hingga tahun 2013 telah memperluas implementasi LKB di 225 puskesmas / klinik dan 53 rumah sakit yang tersebar di 46 kabupaten/kota di 20 provinsi. Penerapan dan perluasan LKB ini pada dasarnya merupakan bentuk pergeseran paradigma tata kelola penanggulangan AIDS dari respon darurat menjadi strategi programatik jangka panjang yang diharapkan bisa membangun kebijakan dan program HIV dan AIDS di dalam sistem kesehatan secara berkelanjutan (Atun et al, 2011). Meskipun LKB telah dilaksanakan dalam beberapa waktu, sejauh ini belum pernah dilakukan sebuah kajian untuk melihat berbagai kemajuan, hambatan, tantangan dan potensi pelaksanaan LKB di tingkat lapangan. Untuk itu, Kementerian Kesehatan bermaksud untuk melakukan sebuah kajian yang memungkinkan diperolehnya pembelajaran atas pelaksanaan LKB selama ini dan mampu mengidentifikasi berbagai masalah dan sekaligus alternatif pemecahan masalahnya melalui sebuah penelitian operasional. Secara spesifik, penelitian operasional ini dititikberatkan untuk melihat berbagai hambatan dalam prosedur layanan pengobatan di dalam kerangka LKB. Diharapkan hasil kajian ini bisa membantu Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan efektifitas pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan dan sekaligus dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan LKB di tingkat kabupaten dan kota Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi permasalahan atau hambatan strategis pelaksanaan prosedur pengobatan dalam LKB. 2. Mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah yang potensial dan menentukan solusi yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut. 4

24 3. Menilai efektivitas alternatif solusi yang dipilih untuk menyikapi permasalahan atau hambatan dalam layanan pengobatan melalui uji coba di tingkat layanan. 4. Memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dalam rangka mengintegrasikan upaya modifikasi ini ke dalam strategi pelaksanaan LKB di masa depan. 5

25 BAB II. KAJIAN PUSTAKA Continuum of Care (CoC) Konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan HIV dan IMS merupakan pengembangan dari kerangka aksi strategis WHO yang dikenal dengan Treatmen 2.0. Kerangka aksi ini dikembangkan dengan tujuan untuk mendorong inovasi dan perbaikan efisiensi serta dampak pengobatan dan perawatan HIV pada negara-negara yang memiliki sumber daya terbatas. The concept of radical simplification, standarization, community mobilization and cost reduction build on the original principles of the WHO Public Health Approach to ART and as well as the best practices that have emerged from the best practices of programmes Implementation (The Treatment 2.0 Framework of Action: Catalysing the next phase of Treatment, Care and Support, UNAIDS/WHO, 2011). Prinsip-prinsip kerangka aksi ini meliputi simplifikasi, inovasi, efisiensi, efektifitas biaya, aksesibilitas, keterjangkauan pembiayaan, kemerataan, desentralisasi, integrasi dan pelibatan komunitas yang diadopsi sebagai prinsip layanan komprehensif berkesinambungan HIV dan IMS. Pengembangan konsep ini diproyeksikan dapat mendorong layanan pengobatan dan perawatan HIV dan IMS secara paripurna, memberikan layanan yang terintegrasi dengan mengkoordinasikan prosedur pengobatan ARV di antara stakeholder kunci dengan pelibatan komunitas yang lebih luas. Gambar 2: Prioritas Kerangka Aksi Treatment 2.0 6

26 Secara konseptual Continuum of care is a concept involving an integrated system of care that guides and tracks patient over time through a comprehensive array of health services spanning all levels of intensity of care (Evashwick C. 1989) 1. Konsep Layanan Komprehensif Berkesinambungan ini mengembangkan integrasi dan desentralisasi layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan pada level daerah dengan melibatkan fasyankes primer dan sekunder dengan pelibatan aktif organisasi masyarakat sipil, komunitas dukungan sebaya, keluarga dan tokoh masyarakat sebagai jejaring kerja. Seperti tergambar dalam grafik berikut ini: Gambar 3: Jejaring Layanan Komprehensif Berkesinambungan Sumber: Kemkes (2012), Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan, Kegiatan promosi dan pencegahan bagi masyarakat umum atau populasi kunci dimulai pada tingkat komunitas dengan melibatkan pengorganisasi masyarakat baik petugas lapangan dari organisasi masyarakat sipil atau warga setempat yang biasanya disebut sebagai kader. Fungsi dari pengorganisasi masyarakat selain memberikan informasi dan menyediakan material pencegahan juga diharapkan melakukan rujukan ke fasilitas layanan kesehatan primer untuk komunitas baik secara individual maupun kelompok yang membutuhkan pelayanan kesehatan terkait dengan IMS atau HIV. 1 Evashwick C. Creating the continuum of care.health Matrix Spring;7(1):

27 Bagi yang terpapar dengan IMS, yang bersangkutan akan diberikan pengobatan dan perawatan yang sesuai dengan pedoman tatalaksana perawatan dan pengobatan IMS. Sementara bagi yang melakukan tes HIV secara sukarela (VCT) atau inisiatif dari penyedia layanan (PITC) dan dinyatakan HIV positif, maka yang bersangkutan akan dilakukan konseling dan disediakan pendamping untuk perawatan dan pengobatan lebih jauh. Fasyankes primer akan membuat surat rujukan ke fasyankes sekunder yang ditunjuk sebagai rujukan ARV. Inisiasi ARV akan dilakukan di tempat tersebut dan pasien akan dirujuk kembali ke fasyankes primer untuk pendampingan melalui kader, kelompok dukungan sebaya dan keluarganya untuk dukungan sosial dan psikososial. Perawatan kesehatan dasar termasuk pengobatan infeksi penyerta (IO) juga akan diberikan oleh fasyankes primer. Secara rutin ODHA yang sudah memulai terapi ARV akan mengakses obat di fasyankes rujukan ARV setiap bulan. Sementara itu, perawatan berbasis masyarakat (PBM) atau berbasis rumah tangga (PBR) dalam bentuk dukungan psikososial dan sosial ini dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan dari pasien dalam pengobatan dan perawatan HIV sehingga bisa mengurangi tingkat drop out dan meningkatkan kualitas hidup dari ODHA. Semua kegiatan LKB ini dikoordinasi oleh Komisi Penanggulangan AIDS Daerah dan secara teknis menjadi tanggung jawab dinas kesehatan setempat. Pengembangan strategi LKB dalam penanggulangan AIDS di Indonesia ini memberikan implikasi bahwa semua orang yang membutuhkan layanan sesuai dengan status HIV yang dimilikinya bisa disediakan di tingkat komunitas dan hal ini pada dasarnya merupakan cara untuk mewujudkan akses bagi semua orang (universal access) dalam pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan serta pengurangan dampak yang lebih buruk akibat AIDS. Pada sisi lain, strategi ini menuntut tingkat integrasi secara fungsional dari berbagai pihak yang menyediakan layanan pada setiap tahap layanan yang berkesinambungan. Koordinasi dalam perencanaan, penyediaan sumber daya, pelaksanaan layanan dalam bentuk rujukan antar penyedia layanan, dan monitoring dan evaluasi menjadi prasyarat bagi terjadinya integrasi layanan yang fungsional. Kegagalan dalam melakukan koordinasi secara intensif akan menyebabkan strategi ini tidak akan memiliki dampak bagi epidemi HIV dan kualitas hidup bagi orang dengan HIV & AIDS. 8

28 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Disain Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka kerja penelitian operasional yang mengacu pada sejumlah kerangka yang dikembangkan oleh Global Fund (2010), Population Council (2000) dan Fisher et al (2002). Berbagai literatur telah mendefinisikan tentang penelitian operasional dengan perspektif yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin yang berbeda-beda pula. Berbagai definisi tersebut pada dasarnya menggambarkan penelitian operasional sebagai penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi secara sistematis permasalahan dalam penyediaan layanan dan mencari berbagai penyelesaian yang potensial sehingga membantu para pengambil keputusan untuk menyempurnakan atau meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari program atau intervensi yang sedang dilakukan (Royston, 2011; Fisher et. al, 2002). Secara umum, penelitian operasional mencakup tahapan dasar yang terdiri dari : (1) identifikasi masalah, (2) pemilihan strategi, (3) uji coba strategi, (4) diseminasi informasi dan (5) pemanfaatan strategi. Sementara itu dari jenisnya, Population Council (2002) membedakannya menjadi tiga jenis yaitu (1) kajian diagnostik yang bertujuan untuk mendeteksi permasalahan dalam implementasi penyediaan layanan kesehatan, (2) kajian evaluatif yang diarahkan untuk menilai pelaksanaan dari sebuah program, dan (3) kajian intervensi yang bertujuan untuk menguji sebuah upaya penyempurnaan layanan yang secara spesifik diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan tertentu Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dua kota, yaitu. Masingmasing kota ditentukan 5 (lima) puskesmas LKB dan 1 (satu) rumah sakit rujukan sebagai lokasi penelitian. Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada fasyankes LKB yang telah diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan, yang informasinya diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Penelitian operasional ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2014 sampai dengan Januari Terjadi perubahan waktu dari perencanaan sebelumnya, oleh karena berbagai limitasi dalam proses pengorganisasian di masing-masing kota. 9

29 3.3. Tahapan Penelitian Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian operasional ini, digambarkan sebagai berikut: Gambar 4: Tahapan Penelitian Asesmen awal Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang permasalahan atau hambatan yang dihadapi oleh penyedia layanan dalam memberikan layanan pengobatan dalam LKB serta dari sisi penerima layanan. Permasalahan dari sisi penyedia layanan (supply side) dan pemanfaat layanan (demand side) akan digali untuk memperoleh pemahaman permasalahan utama dalam layanan pengobatan. Dalam kajian awal ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data-data ini dipergunakan sebagai data dasar (baseline) yang akan dibandingkan dengan data akhir (endline). Pengumpulan data dilakukan secara paralel untuk Kota Semarang dan Kota Yogyakarta. Informan dalam asesmen awal berasal dari Kepala Bagian dan Seksi P2 Dinas Kesehatan Kota yang terlibat dalam program LKB, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota, kepala puskesmas dan Tim AIDS dari fasyankes primer dan fasyankes sekunder, staf dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Informan yang berasal dari fasyankes adalah para tenaga medis (dokter dan paramedik, baik bidan maupun 10

30 perawat) maupun non medis (konselor, petugas laboratorium dan petugas pencatatan dan pelaporan). Total Informan di masing-masing kota adalah 14 tenaga medis dan non medis. Indepth interview di Kota Yogyakarta dimulai pada minggu ke-2 sampai minggu ke-3 bulan Juni Untuk Kota Semarang, dilakukan pada minggu ke-4 bulan Juni Untuk FGD di kota Yogyakarta dilakukan pada 10 Juli 2014 yang dihadiri 29 peserta yakni Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Kasie P2 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Kabid P2 Kota Yogyakarta, Program Manager Penanggulangan AIDS Dinas Kota Yogyakarta, Sekretaris KPA Kota Yogyakarta, 5 kepala puskesmas LKB Kota Yogyakarta dan 3 LSM (Victory Plus, PKBI, Vesta), 2 KDS (Dimas dan Metacom) dan IPPI DIY. Sedangkan FGD di Kota Semarang dilakukan pada 22 Juli 2014 yang dihadiri 30 peserta, meliputi Kabid P2 Dinas Kesehatan Kota Semarang, Staff Dinas kesehatan Kota Semarang, Kepala puskesmas/tim AIDS di lima puskesmas LKB Kota Semarang, tim AIDS RS rujukan Kota Semarang (RSUD, RS Panti Wiloso Citarum), kader kesehatan, 3 LSM (LSM Griya ASA, LSM Graha Mitra, dan LSM Kalandara) dan KDS (Dewi Plus, Lentera Kasih) Perumusan permasalahan prioritas dan alternatif solusi Tahapan ini dilakukan melalui FGD untuk mensepakati prioritas solusi dan bentuk intervensi yang perlu dilakukan berdasarkan situasi setempat dan mempertimbangkan keterbatasan waktu dan sumber daya. Keterlibatan yang siginifikan dari penyedia dan pemanfaat layanan dalam kajian ini sangat penting karena pada akhirnya mereka yang akan banyak berperan atas pelaksanaan intervensi alternatif tersebut setelah diintegrasikan ke dalam sistem dan prosedur LKB. FGD kedua di Kota Yogyakarta dilakukan pada tanggal 16 Juli 2014, bertempat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan tujuan untuk penentuan prioritas permasalahan dan alternatif solusinya. Pertemuan ini dihadiri oleh 24 peserta, yang terdiri dari Kepala Dinas Kota Yogyakarta, Sekretaris KPA Kota Yogyakarta, Kepala Puskesmas dari 5 puskesmas LKB di Kota Yogyakarta, direktur LSM (LSM Victory Plus dan LSM Vesta), KDS di Yogya (Metacom, Dimas dan IPPI), serta tim LKB Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Penetapan prioritas masalah ini dilakukan dengan cara diskusi kelompok dengan pertimbangan bahwa masalah- 11

31 masalah tersebut realistis untuk dilakukan selama periode penelitian operasional ini dilaksanakan. Perumusan masalah di Kota Semarang dilakukan melalui FGD yang diselenggarakan pada tanggal 22 Juli 2014, dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang, yang terdiri dari perwakilan kelima Puskesmas LKB, Dinas Kesehatan Kota Semarang, RSUD Kota Semarang, RS Pantiwoloso Citarum, RS Elizabeth, perwakilan Kelompok Dukungan Sebaya, perwakilan LSM, dan KPA Kota Semarang. Persoalan cakupan dan jadwal pelaporan serta pencatatan laporan yang dilakukan oleh fasyankes, menjadi fokus diskusi pada pertemuan tersebut. Tidak berbeda dengan kategorisasi permasalahan di Kota Yogya, ada 3 aspek juga yang menjadi klasifikasi atas semua permasalahan yang muncul pada diskusi ini Pengembangan disain intervensi Disain intervensi dikembangkan bersama dengan para informan yang sebelumnya juga telah berproses bersama dalam perumusan prioritas masalah. Diskusi mencakup berbagai alternatif intervensi yang mungkin merupakan solusi utama atas permasalahanpermasalahan yang ada. Di Kota Yogyakarta, pertemuan untuk mengembangkan disain intervensi ini dilakukan pada tanggal 16 Juli 2014 bertempat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan dihadiri sebanyak 24 peserta. Peserta ini terdiri dari Ketua Bidang (Kabid) dan Kepala Seksi (Kasie) P2 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Sekretaris KPA Kota Yogyakarta, kepala puskesmas di 5 puskesmas, perwakilan dari LSM, rumah sakit dan KDS. Sementara di Kota Semarang, diskusi kelompok terarah untuk pengembangan intervesi diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus 2014 yang dihadiri oleh 23 peserta dari para pemangku kepentingan kunci. Dengan mempertimbangkan batasan waktu penelitian yang ada, dalam diskusi kelompok terararh tersebut telah disepakati dua jenis intervensi yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan dan dapat memecahkan masalah prioritas yang dihadapi dalam pelaksanaan LKB di kedua kota. Pengembangan disain intervensi dilakukan berbasis prioritas masalah dan alternatif solusi yang telah disepakati dalam diskusi kelompok terarah. Untuk melihat pengaruh yang terjadi dengan diberikannya intervensi, maka diperlukan data awal sebagai baseline, yaitu berupa data layanan LKB selama 3 bulan sebelum intervensi (Mei Juli 2014), dan data setiap bulan 12

32 setelah intervensi selama 3 bulan berturut-turut. Secara sistematis, kerangka pikir atas intervensi yang dilakukan, baik untuk Kota Yogyakarta dan Kota Semarang adalah sebagai berikut : Secara konseptual intervensi yang dkembangkan tidak berbeda karena pada dasarnya persoalan pelaksanaan strategi LKB yang dihadapi di kedua kota adalah belum optimalnya pertemuan koordinasi antar pemangku kepentingan dan kurang terlibatnya staf pelaksana dalam proses pengembangan intervensi di masingmasing unit Pelaksanaan intervensi Waktu pelaksanaan dari dua intervensi terpilih di masing-masing kota dilaksanakan tidak bersamaan karena adanya proses persiapan dan konsolidasi di masing-masing kota yang berbeda. Kedua intervensi yang dipilih di kedua kota adalah (1) penguatan koordinasi di antara para pemangku kepentingan di dalam LKB seperti yang digambarkan dalam kerangka LKB dan (2) peningkatan kapasitas teknis para staf lembaga yang terlibat dalam LKB. Di Kota Yogyakarta, intervensi dilaksanakan mulai Agustus Oktober 2014, sementara di Kota Semarang dilaksanakan mulai September Desember Dalam pelaksanaan intervensi 13

33 ini juga dilakukan pemantauan/monitoring dalam bentuk kunjungan ke unit layanan untuk memastikan kegiatan-kegiatan yang muncul sebagai follow up dari intervensi tersebut dapat dilaksanakan. Demikian pula monitoring dilakukan dengan cara melakukan komunikasi dengan telephon untuk mengefisienkan proses monitoring Evaluasi Pelaksanaan Intervensi Evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana intervensi ini bisa mempengaruhi kinerja dari penyediaan layanan untuk pengobatan HIV dan AIDS dengan menggunakan kerangka kerja LKB. Evaluasi difokuskan untuk mengukur tingkat keluaran (output) sebelum dan selama intervensi yang berupa cakupan VCT, PITC, pemeriksaan dan pengobatan IMS dan perawatan HIV dan mengukur tingkat hasil (outcome) yang berupa kepuasan pasien/klien terhadap pelayanan yang telah diberikan selama intervensi. Disain evaluasi yang digunakan dalam penelitian operasional ini secara rinci bisa dilihat pada bagian evaluasi di Bab IV. Evaluasi di kedua kota dilaksanakan pada bulan Januari Februari

34 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Kota Yogyakarta Pelaksanaan LKB Di Kota Yogyakarta Layanan LKB HIV-IMS di Kota Yogyakarta mulai berjalan sejak 2013 melalui penunjukkan dari Dinas Kesehatan Provinsi kepada Puskesmas Umbul Harjo I, Puskemas Gedong Tengen, Puskesmas Mantrijeron, Puskesmas Mergangsan I, dan Puskesmas Tegal Rejo sebagai puskesmas LKB. Ketersediaan layanan LKB di Kota Yogyakarta dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta No. 21 Tahun 2014 tentang Penunjukan Puskesmas LKB. Kelima puskesmas tersebut ditunjuk berdasarkan kriteria : memberikan layanan kesehatan pada wilayah yang rentan terhadap penularan HIV dan AIDS, dekat dengan hot spot. Di setiap puskesmas yang ditunjuk sebagai puskesmas LKB, masing-masing memiliki tenaga yang sudah dilatih LKB, meliputi dokter, perawat, bidan, analis dan petugas pencatatan-pelaporan atau reporting-recording (RR). Jumlah tenaga LKB bervariasi sesuai dengan kondisinya. Sedangkan fasyankes sekunder yang dipilih sebagai subyek penelitian ini adalah 1 rumah sakit rujukan yakni RS PKU Muhammadiyah. Selanjutnya atas usulan Dinkes Kota dilibatkan juga 3 rumah sakit lainnya, yakni RS Panti Rapih, RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta. Peran LSM dan KDS dalam LKB untuk pendampingan psikososial dan kepatuhan pengobatan dan aspek sosial ekonomi serta ketersediaan asupan gizi yang baik bagi ODHA. Di Kota Yogyakarta, LSM yang aktif terlibat dalam pelaksanaan LKB yakni Victory Plus, Vesta, CD Bethesda, dan PKBI. Dalam melaksanakan pendampingan ini, LSM didukung oleh tenaga lapangan yang berasal dari komunitas yang disebut Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Di seluruh DIY terdapat 10 KDS, namun untuk penelitian ini hanya memilih 2 KDS di Kota Yogyakarta yang aktif melakukan pendampingan, yakni KDS Dimas yang fokus melakukan pendampingan kelompok LSL, dan KDS Metacom yang memberikan dampingan untuk kelompok ODHA dari berbagai latar belakang, mahasiswa, penasun, dan LSL. Data-data yang dipergunakan sebagai data baseline dalam kajian awal ini mencakup data cakupan layanan pada fasyankes primer dan sekunder. Dalam hal ini, baseline data cakupan 15

35 layanan menggambarkan capaian kinerja selama 3 bulan (Mei Juli 2014) sebelum intervensi dilaksanakan. Untuk melihat kinerja LKB di Kota Yogyakarta, diambil data mengenai cakupan layanan Voluntary Conseling and Testing (VCT) dan Provider Inisiated Testing and Conseling (PITC) untuk HIV, serta cakupan layanan IMS untuk masing-masing fasyankes primer dan sekunder yang terlibat dalam penelitian. Secara rinci adalah sebagai berikut : Puskesmas Umbul Harjo I Puskesmas Umbul Harjo I sudah melakukan tes HIV sejak 2010, sebelum ada program LKB. Selain itu, Puskesmas Umbul Harjo I juga menjadi tempat untuk perawatan dan terapi Methadon bagi pecandu sejak Secara resmi Puskesmas Umbul Harjo I ditunjuk sebagai puskesmas LKB sejak tahun 2012 dengan SK Puskesmas. Ketersediaan tenaga untuk program LKB di puskesmas ini terdiri dari seorang dokter, 3 perawat, 1 bidan, 1 tenaga laborat dan 1 tenaga reporting-recording (RR) untuk administrasi. Layanan HIV dan AIDS di Puskesmas Umbul Harjo I, dikategorikan menjadi dua, yaitu tes secara sukarela (VCT) dan yang diinisiasi oleh pemberi layanan (PITC). (1) Layanan VCT Jumlah kunjungan layanan VCT tiap bulannya di Puskesmas Umbul Harjo I selama periode Mei-Juli 2014, cenderung tidak konsisten. Jumlah kunjungan pada Bulan Mei 2014 cukup tinggi tetapi menurun tajam pada Bulan Juni 2014 dan mengalami kenaikan kunjungan pada Bulan Juli Jumlah total kunjungan VCT dari Bulan Mei hingga Juli 2014 mencapai 99 orang dan diketahui bahwa jumlah yang HIV positif sebanyak 20 orang. Dari 99 orang tersebut, sebanyak 75 orang merupakan pasien rujukan dari LSM. Angka ini merupakan angka yang cukup tinggi untuk ukuran fasyankes primer. Penjaringan yang cukup maksimal ini merupakan salah satu tanda bahwa ada aktifitas pendukung yang baik. Peran LSM dalam LKB di Kota Yogyakarta ternyata cukup baik. Dari 20 orang yang HIV positif tersebut, yang telah dirujuk untuk melakukan CST sebanyak 19 orang, 1 orang tidak diketahui artinya loss of follow up. 16

36 (2) Layanan PITC Grafik 1: Cakupan layanan VCT Puskesmas Umbul Harjo I (Sumber : diolah dari data Puskesmas Umbul Harjo I) Selama periode 3 bulan (Mei-Juli 2014), jumlah orang yang bersedia untuk tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan di Puskesmas Umbul Harjo I menunjukkan kecenderungan peningkatan. Pada bulan pertama sebanyak 37 orang dan pada bulan ketiga sebanyak 85 orang. Dari jumlah tersebut, ditemukan 1 orang yang HIV positif. Peningkatan PITC yang tertinggi terjadi pada bulan Juli 2014 mencapai 21 orang. Jumlah ibu hamil yang ditawarkan tes HIV mengalami peningkatan dari 38 orang pada bulan pertama dan kedua, kemudian meningkat menjadi 64 orang pada bulan ketiga. PITC pada ibu hamil berjalan cukup efektif dan mungkin oleh karena ada peraturan yang mewajibkan setiap ibu hamil dilakukan tes HIV. 17

37 Grafik 2: Cakupan layanan PITC Puskesmas Umbul Harjo I (Sumber : diolah dari data Puskesmas Umbul Harjo I) (3) Layanan IMS Cakupan layanan IMS di Puskesmas Umbul Harjo 1 dari Bulan Mei Juli 2014 cenderung fluktuatif. Jumlah total kunjungan layanan IMS selama tiga bulan mencapai 161 orang. Data pasien IMS yang ditemukan berjumlah 119 orang sedangkan total kasus IMS yang diobati sebanyak 191. Angka ini menunjukkan bahwa setiap pasien IMS terdeteksi 1 (satu) atau lebih jenis penyakit. Dari pasien yang menderita IMS tersebut, ternyata tidak semua dirujuk untuk melakukan tes HIV. Dari total jumlah pasien yang ditemukan IMS, sejumlah 77 orang pasien yang dirujuk melakukan VCT. Selama periode 3 bulan (Mei-Juli 2014), jumlah pasien IMS yang dirujuk untuk tes HIV mencapai 64 %. 18 Grafik 3: Cakupan layanan IMS Puskesmas Umbul Harjo I (Sumber : diolah dari data Puskesmas Umbul Harjo I)

38 Puskesmas Gedong Tengen Puskesmas Gedong Tengen sudah aktif memberikan layanan IMS sejak tahun 2007 dan juga memiliki layanan untuk PTRM. Program LKB secara resmi dikembangkan di Puskesmas Gedong Tengen pada tahun 2012 bersamaan dengan 5 puskesmas yang lain. Layanan untuk ODHA di Puskesmas Gedong Tengen cukup baik karena adanya komitmen dan perhatian yang besar dari Kepala Puskesmas Gedong Tengen, yang sekaligus sebagai dokter di puskesmas tersebut. Adanya jejaring dan kemitraan yang kuat antara Puskesmas Gedong Tengen dengan LSM, baik PKBI dan Victory Plus sebagai tenaga pendamping psikososialnya, menjadi faktor yang lain, baiknya layanan untuk ODHA di Puskesmas Gedong Tengen. Peran LSM dirasakan cukup membantu dalam proses pengobatan ODHA, khususnya untuk pendampingan pengobatan, informasi, dan menjaga kepatuhan. Puskesmas Gedong Tengen telah memiliki klinik khusus untuk IMS dan HIV. Ruang ini difungsikan juga sebagai ruang bagi para pendamping dari LSM yang mendampingi ODHA di Puskesmas Gedong Tengen. (1) Layanan VCT Cakupan layanan VCT di Puskesmas Gedong Tengen selama tiga bulan (Mei Juli 2014) mencapai 129 orang pada bulan Mei 2014 dan mengalami penurunan drastis pada bulan Juni 2014, yaitu menjadi 55 orang. Pada bulan Juli 2014 mengalami kenaikan kembali, menjadi sebesar 107 orang. Jumlah total pasien yang melakukan VCT mencapai 291 orang. Jumlah pasien yang berkunjung tersebut, kesemuanya melakukan VCT dengan hasil sebanyak 20 orang HIV positif (6%) selama periode tiga bulan. Mereka yang positif ini semua dirujuk ke fasyankes sekunder untuk melakukan CST. Semua pasien yang HIV positif tersebut, berasal dari rujukan LSM. 19

39 (2) Layanan PITC Grafik 4: Cakupan layanan VCT Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan layanan di Puskesmas Gedong Tengen) Cakupan layanan PITC selama 3 bulan sebelum intervensi dilakukan mencapai 86 orang. Dari jumlah tersebut, semua ditawari untuk tes HIV dan hasilnya tidak ada yang HIV positif. Sementara jumlah ibu hamil yang ditawarkan tes berjumlah 45 orang dan semua bersedia dilakukan tes. Data ini memberikan gambaran bahwa dari 86 orang yang ditawarkan untuk tes HIV, sebanyak 73 orang (84,9%) merupakan ibu hamil. Grafik 5: Cakupan layanan PITC Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Gedong Tengen) 20

40 (3) Layanan IMS Cakupan layanan IMS di Puskesmas Gedong Tengen selama tiga bulan (Mei Juli 2014) menunjukkan kecenderungan yang cukup stabil dengan jumlah totalnya mencapai 104 orang atau rata-rata per hari jumlah kunjungan selama tiga bulan sebanyak 1-2 orang. Dari jumlah kunjungan tersebut, semua telah dirujuk untuk melakukan VCT. Sementara yang mendapatkan pengobatan sejumlah 56 orang atau sekitar 50% dari jumlah total tersebut. Data ini tidak terlalu mengejutkan, karena di wilayah kerja Puskesmas Gedong Tengen terdapat hot spot dengan intensitas pengunjung cukup tinggi terutama dari kawasan prostitusi liar di sekitar stasiun kereta api. Namun, ternyata layanan IMS di puskesmas ini dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat pada data cakupan, dari 94 orang yang menderita IMS hanya 49 (52%) kasus yang diobati. Data ini menimbulkan pertanyaan, apakah disebabkan karena kesalahan dalam pengisian data atau ketidaktahuan petugas tentang definisi operasional dari item yang ditanyakan. Grafik 6: Cakupan layanan IMS Puskesmas Gedong Tengen Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Gedong Tengen) Puskesmas Tegal Rejo Puskesmas Tegal Rejo telah melakukan layanan LKB sejak bulan Oktober Ketersediaan tenaga untuk melakukan layanan LKB terdiri atas 1 orang dokter yang telah dilatih untuk menangani IMS dan HIV, 1 bidan, 1 perawat dan 1 tenaga konselor yang dirangkap oleh tenaga dokternya. Wilayah kerja Puskesmas Tegal Rejo dekat dengan daerah hot spot di kawasan Jombor, yang merupakan tempat mangkal para pekerja seks dan waria. Selain itu, 21

41 di sekitar kawasan tersebut berkembang tempat-tempat pijat dan salon plus di sepanjang jalan Jambon menuju ke Kantor Kabupaten Sleman. (1) Layanan VCT Cakupan layanan VCT di Puskesmas Tegal Rejo selama bulan Mei sampai dengan Juli 2014 berfluktuasi turun dan naik, dengan total kunjungan 97 orang dan jumlah pasien baru yang dirujuk oleh LSM sebanyak 67 orang. Semua yang berkunjung tersebut, telah menjalani VCT dan jumlah yang mengidap HIV positif sebanyak 7 orang (7%). Namun tidak satupun pasien yang HIV positif tersebut dirujuk CST, karena pasien tersebut pindah fasyankes lain, atau langsung melakukan CST di fasyankes (Klinik Edelweis RSUP DR Sardjito) dengan memanfaatkan kemudahan Jamkesos yang berlaku di kota Yogyakarta. (2) Layanan PITC Grafik 7: Cakupan layanan VCT Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Tegal Rejo) Cakupan PITC Puskesmas Tegal Rejo selama tiga bulan menunjukan fluktuasi, dengan jumlah total sebanyak 138 orang. Jumlah tersebut, semuanya menjalankan tes HIV dan tidak ada yang hasilnya positif. Sedangkan jumlah ibu hamil yang ditawarkan tes HIV, semakin meningkat dengan jumlah total sebanyak 114 orang dan semua telah melakukan tes HIV. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (83%) PITC merupakan ibu hamil dan hanya 17% berasal dari kasus lain. 22

42 (3) Layanan IMS Grafik 8: Cakupan layanan PITC Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Tegal Rejo) Cakupan layanan IMS di Puskesmas Tegal Rejo menunjukkan kecenderungan peningkatan dengan jumlah kunjungan di atas 30 pasien per bulan, dengan total jumlah pasien yang berkunjung mencapai 113 orang. Dari jumlah tersebut 65 orang (40%) diketahui menderita IMS dengan total kasus yang diobati 65 kasus (100%). Namun, belum semua orang yang menderita IMS dirujuk untuk tes HIV, terutama pada Bulan Juli. Kerjasama dengan LSM cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan jumlah pasien yang dirujuk oleh LSM berjumlah 66 orang (58%). Grafik 9: Cakupan layanan IMS Puskesmas Tegal Rejo Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Tegal Rejo) 23

43 Puskesmas Mergangsan Puskesmas Mergangsan berada di daerah Kampung Mergangsan yang berkembang sebagai pusat perdagangan dan jasa. Puskesmas Mergangsan merupakan puskesmas yang baru memberikan layanan HIV & IMS, meskipun secara infrastruktur puskesmas ini sudah cukup bagus karena memiliki fasilitas ruang rawat inap. Jumlah tenaga medis yang sudah dilatih untuk memberikan layanan HIV & IMS sebanyak 2 dokter, 1 tenaga RR, dan 2 bidan. (1) Layanan VCT Jumlah cakupan layanan VCT selama periode 3 bulan (Mei-Juli 2014) mencapai 48 orang. Dari jumlah tersebut, yang merupakan pasien baru rujukan dari LSM sebanyak 47 orang. Seluruh pasien tersebut, telah melakukan VCT dan tidak terdapat yang HIV positif. (2) Layanan PITC Grafik 10: Cakupan layanan VCT Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Mergangsan) Pasien yang ditawarkan tes HIV pada periode Bulan Mei Juli 2014 di Puskesmas Mergangsan berjumlah 161 orang. Dalam kurun waktu 3 bulan terdapat peningkatan jumlah cakupan layanan PITC. Semua pasien tersebut bersedia melakukan tes HIV dan tidak ada yang positif. Dari jumlah tersebut hampir 100% yang ditawari tes HIV adalah ibu hamil. 24

44 (3) Layanan IMS Grafik 11: Cakupan layanan PITC Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Mergangsan) Cakupan layanan IMS di Puskesmas Mergangsan dalam periode tiga bulan fluktuatif naik turun dengan total jumlah kunjungan mencapai 71 pasien. Dari jumlah tersebut, semua ditemukan kasus IMS dan semua telah mendapatkan layanan pengobatan. Jumlah pasien yang mendapatkan rujukan ke klinik VCT baru sebanyak 7 orang (9%). Hal ini menunjukkan belum optimalnya layanan PITC pada penderita IMS di Puskesmas Mergangsan. Grafik 12: Cakupan layanan IMS Puskesmas Mergangsan Periode Mei-Juli 2014 (Sumber :diolah dari data Puskesmas Mergangsan) 25

45 Puskesmas Mantrijeron (1) Layanan VCT Cakupan layanan VCT di Puskesmas Mantrijeron pada Bulan Mei - Juli 2014 cukup fluktuatif dari 53 orang pada Bulan Mei, 3 orang pada Bulan Juni dan 19 orang pada Bulan Juli. Semua pasien tersebut bersedia untuk dites HIV dan tidak ada yang hasilnya HIV positif. (2) Layanan PITC Grafik 13: Cakupan layanan VCT Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli 2014 (Sumber: diolah dari data cakupan Puskesmas Mantrijeron) Cakupan layanan PITC di Puskesmas Mantrijeron menunjukkan kecenderungan terus meningkat, tidak ada yang periksa pada Bulan Mei 2014, pada Bulan Juni 2014 sebanyak 29 orang dan pada Bulan Juli 2014 sebanyak 36 orang. Dengan demikian, jumlah total dalam 3 bulan mencapai 65 pasien. Dari seluruh pasien yang di tes, hanya ada 1 (satu) orang yang menunjukkan hasil positif dan telah dirujuk CST. Dari grafik di bawah ini, masih diperlukan klarifikasi atas data cakupan pada Bulan Mei 2014, karena terdapat 11 ibu hamil yang ditawarkan untuk tes HIV pada Bulan Mei Hal ini perlu ditelaah lebih dalam, terkait dengan proses pengisian laporan maupun pemahaman defines operasional setiap itme pertanyaan. 26

46 (3) Layanan IMS Grafik 14: Cakupan layanan PITC Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Mantrijeron) Cakupan layanan IMS pada Bulan Mei Juli 2014 berturut-turut adalah 7, 5, 18; dengan jumlah total 30 pasien. Dari jumlah tersebut yang diobati sebanyak 26 pasien. Dari jumlah tersebut 12 orang merupakan pasien rujukan dari LSM dan yang dirujuk untuk tes HIV hanya 8 pasien (27%). Grafik 15: Cakupan Layanan IMS Puskesmas Mantrijeron Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data Puskesmas Mantrijeron) 27

47 Cakupan layanan LKB di fasyankes sekunder Kota Yogyakarta dilihat dari 4 rumah sakit yang menjadi subyek penelitian, yakni RS PKU Muhammadiyah, RS Panti Rapih, RSUD Kota Yogyakarta dan RS Bethesda. Cakupan data layanan pada rumah sakit sama halnya dengan layanan yang ada di fasyankes primer, yaitu meliputi cakupan untuk layanan HIV (VCT dan PITC) dan layanan IMS Layanan LKB di Fasyankes Sekunder (1) Layanan VCT Cakupan/capaian layanan VCT dari ke 4 rumah sakit di Kota Yogyakarta dapat dikatakan tidak begitu menggembirakan, karena dari bulan ke bulan pada periode Mei sampai dengan Juli 2014 capaiannya terus menurun. Hasil capaian masing-masing rumah sakit di Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini. (2) Layanan PITC Grafik 16: Cakupan layanan VCT 4 RS di Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data data rumah sakit CST dan Dinkes Kota Yogyakarta) Jika dilihat dari data cakupan layanan PITC dari masing-masing rumah sakit di Kota Yogyakarta menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Hal ini kemungkinan karena adanya peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI agar semua fasyankes melaksanakan PITC dan rumah sakit merupakan fasyankes yang lebih banyak melayani penderita yang datang dengan tujuan untuk berobat, baik masalah penyakit umum/kronis, penyakit menular seksual, maupun layanan ibu hamil. Adapun cakupan 28

48 layanan PITC ke 4 rumah sakit yang berada di wilayah Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 19 berikut ini : Grafik 17: Cakupan layanan PITC 4 rumah sakit di Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data rumah sakit CST dan Dinkes Kota Yogyakarta) Dari gambar tersebut di atas, tampak bahwa cakupan PITC PKU Muhammadiyah yang menjadi rumah sakit LKB justru menunjukkan capaian yang kurang menggembirakan. Di sisi yang lain, RS Panti Rapih yang tidak ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan LKB justru menunjukkan capaian yang luar biasa. Sebenarnya Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2014 telah mentargetkan cakupan tes HIV setiap bulannya untuk masing masing fasyankes sekunder yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. Target untuk RSUD Kota Yogyakarta adalah 25 tes HIV, RS Panti Rapih sebanyak 75 tes HIV, RS PKU Muhammadiyah sebanyak 34 tes HIV dan RS Bethesda sebanyak 34 tes HIV. Untuk melihat apakah tes HIV dari masing-masing rumah sakit rujukan HIV di Kota Yogyakarta telah mencapai target atau belum, dapat dilihat pada gambar 19. Capaian tes HIV yang dimaksud meliputi VCT maupun PITC. 29

49 Grafik 18: Target dan capaian tes HIV di 4 rumah sakit Kota Yogyakarta Periode Mei-Juli 2014 (Sumber : diolah dari data rumah sakit CST dan Dinkes Kota Yogyakarta) Selama 3 bulan (Mei-Juli 2014), RSUD Kota Yogyakarta tidak pernah mencapai target tetapi setiap bulannya menunjukan kenaikan, hal ini disebabkan karena RSUD Kota Yogyakarta belum lama melaksanakan layanan HIV. Rumah Sakit Panti Rapih pada bulan Mei 2014 tidak dapat mencapai target, tetapi pada Bulan Juni dan Juli 2015 telah melampaui target bahkan mencapai 200%. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah pada Bulan Mei 2014 dapat melampaui target tetapi pada Bulan Juni dan Juli 2014 mengalami penurunan sangat tajam dan jauh dari target yang ada. Rumah Sakit Bethesda selama 3 bulan berturut-turut belum pernah mencapai target. (3) Layanan IMS Informasi yang didapatkan pada saat indepth interview maupun focus group discussion (FGD) menunjukkan bahwa layanan IMS di fasyankes sekunder bukan merupakan program yang menyatu dengan layanan HIV, tetapi merupakan pelayanan rutin sebagaimana halnya penyakit lain. Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan pendataan untuk kasus IMS belum berjalan sesuai format yang ditetapkan. Seluruh fasyankes sekunder di Kota Yogyakarta belum menggunakan format SIHA tetapi dengan format IOMS. 30

50 Tantangan pada Aspek Layanan (1) Fasyankes Primer Gambaran cakupan layanan di tingkat fasyankes primer di Kota Yogyakarta menunjukkan hasil yang variatif dan cenderung menurun dari 5 fasyankes yang ditunjuk sebagai puskesmas LKB. Capaian VCT yang menunjukkan angka tinggi dipengaruhi oleh tingkat keaktifan dari puskemas. Mobile VCT menjadi faktor penentu dari besaran jumlah VCT seperti yang tergambar dalam uraian di atas. Hampir di semua fasyankes mengakui bahwa mobile vct menyumbang hasil cakupan VCT yang tinggi. Hasil cakupan juga menunjukkan bahwa tingkat akses pasien ke fasyankes primer mengalami perluasan cakupan wilayah yang ditunjukkan dengan perkembangan yang semakin meningkat cakupan dari puskemas yang disetting LKB baru. Perluasan akses layanan ini berdampak pada cakupan puskesmas yang sudah lama dikenal sebagai puskesmas yang memiliki layanan VCT seperti Puskesmas Gedong Tengen dan Puskesmas Umbul Harjo 1. Tantangan layanan VCT adalah memastikan pemerintah daerah memberikan alokasi anggaran untuk mobile VCT. Tantangan lain adalah terkait preferensi pasien dalam mengakses layanan LKB sesuai dengan kebijakan rayonisasi dan tidak langsung akses RSUP DR Sardjito (FGD, 10 Juli 2014). Grafik 19: Cakupan VCT Periode Mei Juli 2014 di Fasyankes Primer Kota Yogyakarta Cakupan PITC dapat dilihat bahwa secara umum pemeriksaan yang pasien dari kelompok bukan resiko tinggi seperti ibu hamil mengalami peningkatan hampir di semua fasyankes 31

51 primer. Peningkatan cakupan PITC pada awal sebelum intervensi paling menonjol di Puskesmas Umbul Harjo I yang mencapai 85 pasien pada bulan Juli Peningkatan cakupan PITC ini menjadi pertanda baik bahwa semakin banyak orang yang dites HIV dan perluasan pada pasien resiko rendah. Tantangannya adalah soal konsistensi dari para petugas kesehatan untuk semakin sensitif dalam melakukan diagnosis terhadap pasien non resiko untuk dianjurkan melakukan test HIV. Faktor keberhasilan dari PITC dipengaruhi oleh ketrampilan dan kapasitas tenaga kesehatan. Grafik 20: Cakupan PITC periode Mei Juli 2014, pada fasyankes Primer di Kota Yogyakarta Sementara untuk cakupan layanan IMS mengalami fluktuatif. Satu fasyankes primer, Puskesmas Gedong Tengen mengalami penurunan cukup drastis. Sementara yang mengalami kenaikan adalah Puskesmas Umbulharjo I. Hasil cakupan rendah untuk IMS ini menjadi warning sekaligus tantangan untuk penganggulangan AIDS. Skrining IMS menjadi faktor penting untuk penanganan HIV secara lebih dini. 32

52 Grafik 21: Cakupan IMS periode Mei Juli d Fasyankes Primer Kota Yogyakarta (2) Fasyankes Sekunder Tantangan layanan VCT untuk fasyankes sekunder adalah konsistensi dalam melakukan pendataan pasien yang melakukan pemeriksaan, tidak semua rumah sakit rujukan memiliki data terkait VCT. RS Muhamaddiyah sebagai rumah sakit yang disetting LKB pada awalnya memang dapat cakupannya cukup tinggi, tetapi kemudian seperti rumah sakit rujukan lainnya seperti RS Panti Rapih dan RS Bethesda mengalami stagnasi. Sementara cakupan layanan PITC, menunjukkan peningkatan khususnya RS Panti Rapih yang mengalami peningkatan cukup drastis. Pengaruh dari Kebijakan Kemenkes yang menganjurkan semua ibu hamil melakukan test HIV membuat cakupan untuk PITC ini semakin besar. Tantangannya untuk rumah sakit adalah konsistensi penggunaan format SIHA dalam melakukan report and recording. Ketiadaan data dan angka dipengaruhi oleh perbedaan format pelaporan rumah sakit yang selama ini menggunakan IOMs. Hampir semua fasyankes sekunder tidak menjadikan layanan IMS sebagai sebuah program tersendiri. Klinik IMS hanya dipersiapkan untuk layanan di fasyankes primer. Sementara untuk fasyankes sekunder tidak secara khusus memberikan layanan IMS. 33

53 Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Solusi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB di Kota Yogyakarta Identifikasi Masalah Prioritas a) Aspek disain Dari aspek disain, disepakati bahwa yang menjadi permasalahan prioritasnya adalah : 1. Jejaring yang belum optimal. 2. Peran kader LKB harus lebih diperjelas dan ditingkatkan, perlu dilakukan refreshing dan koordinasi. 3. Peran puskesmas non LKB perlu diperjelas lagi, misalnya rujukan antar puskesmas selain PPIA / layanan umum. 4. Upgrade informasi layanan LKB ke LSM / KDS agar rujukan dapat merata ke semua layanan LKB. 5. Terkait dengan ARV, SOP masih menunggu dari Dinkes DIY. Latar belakang perlunya SOP adalah : Peningkatan jumlah ODHA di wilayah Kota Yogyakarta. Alur layanan CST di rumah sakit cukup panjang, sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar. Optimalisasi pendampingan ODHA. Integrasi dengan layanan Harm Reduction. b) Aspek layanan Dari aspek layanan, disepakati bahwa yang menjadi prioritas masalahnya adalah terbatasnya jam operasional layanan HIV & AIDS di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah serta obat IO tidak dilayani jika bukan merupakan pasien rujukan puskesmas. Demikian juga layanan PMTCT memerlukan rujukan atau aknowledgement dari dokter spesialis kandungan. Terkait dengan PMTCT, diperlukan update knowledge dokter kandungan. c) Aspek koordinasi Prioritas permasalahan dari aspek koordinasi adalah: 34

54 Belum optimalnya layanan LKB HIV-IMS karena belum terlaksananya sistem koordinasi yang baik. Belum berjalannya sistem rujukan karena kurangnya pengetahuan penyedia layanan, belum jelasnya alur rujukan, belum tersosialisaikannya layanan LKB sampai ke tingkat bawah, belum semua fasyankes melibatkan dukungan pihak luar dalam layanan LKB Alternatif solusi untuk Kota Yogyakarta Dari prioritas permasalahan seperti tersebut di atas, beberapa alternatif solusi yang disepakati adalah : a) Pertemuan koordinasi sebanyak 3 kali dan sebagai focal pointnya adalah Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. b) Pengembangan kapasitas tenaga medis berupa pelatihan, yang melibatkan tidak hanya kelima puskesmas dan RS PKU Muhammadiyah yang merupakan bentukan LKB pertama, akan tetapi melibatkan rumah sakit CST lain yang selama ini sering berjejaring dengan puskesmas dalam hal rujukan pasien HIV. c) Pengembangan puskesmas rujukan inisiasi ARV yang selama ini telah dibentuk perlu diberdayakan. Masalah ini akan diselesaikan oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan Dinas Kesehatan DIY. Hasil kesepakatan dari FGD pertama ini dikonkritkan lagi pada FGD kedua yang diselenggarakan pada tanggal 16 Juli 2014, untuk merancang dan menyepakati bersama proses intervensi sebagai solusi yang telah disepakati tersebut Pengembangan Disain Intervensi Kota Yogyakarta Pertemuan untuk mengembangkan disain intervensi ini dilakukan pada tanggal 16 Juli 2014 bertempat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan dihadiri sebanyak 24 peserta. Peserta ini terdiri dari Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Seksi (Kasie) P2 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Sekretaris KPA Kota Yogyakarta, kepala puskesmas di 5 puskesmas LKB, perwakilan dari LSM, rumah sakit dan KDS. Beberapa poin diskusi dalam pertemuan ini adalah: 35

55 1. Rapat koordinasi perlu diaktifkan kembali dan disepakati dilaksanakan secara rutin setiap bulan. Selama pelaksanaan riset operasional ini, salah satu bentuk intervensi akan dilaksanakan mulai bulan Agustus KPA Kota Yogyakarta menyanggupi untuk memberikan dukungan dan memfasilitasi 1 kali pelaksanaan rapat koordinasi selama periode riset ini. Tujuan dari pertemuan koordinasi ini sebagai media untuk melakukan monitoring dan evaluasi capaian dalam layanan dan mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan dalam pelaksanaan layanan, secara khusus menyoroti pelaksanaan LKB di Kota Yogyakarta. Merujuk pada tujuan tersebut, maka diharapkan peserta yang terlibat dalam setiap rapat koordinasi adalah para pengambil kebijakan setingkat direktur atau kepala puskesmas, dan tim LKB. 2. Adanya kebutuhan untuk peningkatan kapasitas SDM, secara khusus didiskusikan kriteria dan kepesertaan, jenis materi, narasumber serta waktu pelaksanaan, hingga tempat pelatihan dan pendanaannya. Disepakati bahwa : a. Materi yang perlu disampaikan terkait dengan pengenalan HIV, konsep LKB, Infeksi Oportunistik, manifestasi HIV dalam kulit (mukosa), efek samping IO, ARV, dan gizi untuk ODHA. b. Narasumber yang sesuai untuk memberikan materi sebagaimana tersebut di atas adalah para dokter puskesmas, khususnya yang sudah dilatih dan berkompeten dengan materi-materi tersebut. Disepakati bahwa untuk narasumber materi HIV disampaikan oleh dr. Tri Kusumo Bawono dari Puskesmas Gedong Tengen, materi LKB diberikan oleh dr. Dadan Adriyanto (Puskesmas Umbul Harjo I), materi manifestasi HIV pada kulit diberikan oleh dr. Satiti Retno Pudjiati Sp.KK (K), dan dr. Nurwestu, MKes, SpKK (Fakultas Kedokteran UGM), dan perkembangan Epidemi HIV diberikan oleh KPA Kota, mekanisme rujukan oleh Ibu Citraningsih (Kabid P2 dinkes Kota), dan Gizi ODHA oleh Bagian Gizi RSUP DR. Sardjito. c. Waktu pelaksanaan disepakati selama 2 hari (14-15 Agustus 2014) dengan sistem kelas paralel yang terbagi dalam dua kelompok. Satu kelas untuk tenaga medis 36 dan satu kelas lagi untuk tenaga non medis. Tempat pelatihan disediakan oleh

56 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta di balai pertemuan Puskesmas Danurejan I, Kecamatan Pakualaman. d. Pendanaan ditanggung bersama, antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan PKMK FK UGM. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menggunakan dana dari pos anggaran peningkatan kapasitas (pelatihan) untuk biaya transport peserta. e. Pelatihan peningkatan kapasitas ini diperuntukkan bagi tenaga medis di setiap puskesmas (dokter, bidan dan perawat) dan tenaga non medis (RR, laboran) dari 5 puskesmas LKB, kader kesehatan di 5 kelurahan, Kelompok Dukungan Sebaya dan perwakilan dari 3 LSM serta Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Selain itu dilibatkan pula peserta tambahan yang mewakili rumah sakit rujukan CST lainnya yaitu, RS Panti Rapih, RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta. 3. Data yang dipergunakan sebagai baseline berupa data cakupan layanan 3 bulan sebelum dilaksanakannya intervensi dari masing-masing puskesmas dan rumah sakit yang terlibat dalam penelitian Pelaksanaan Intervensi di Kota Yogyakarta Rapat koordinasi Sesuai dengan kesepakatan bersama, pertemuan koordinasi selama periode pelaksanaan penelitian, dilakukan sebanyak 3 kali dengan agenda yang berbeda-beda. Pertemuan koordinasi ini melibatkan para pemangku kepentingan LKB, yang meliputi tim HIV dan AIDS dari 1 rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta dan 5 puskesmas, LSM, Dinkes Kota Yogyakarta, KPA Kota Yogyakarta dan KDS. Rapat koordinasi yang pertama, dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 2014 bertempat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Rapat koordinasi ini diorganisir oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, mulai dari pembuatan dan distribusi undangan serta pendanaannya. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mengambil alokasi dari anggaran diseminasi informasi. Peserta yang hadir dalam rapat koordinasi pertama adalah kepala puskesmas, tim LKB puskesmas dan wakil dari KDS dan LSM. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 35 orang. Agenda pertemuan adalah mengembangkan disain mekanisme rujukan, SOP sharing data dan MOU layanan di rumah sakit. Mekanisme rujukan 37

57 ini didiskusikan bersama terkait sistem rayonisasi dalam layanan. Gagasan rayonisasi merupakan satu bentuk terobosan untuk pemerataan layanan, meskipun pada prakteknya pilihan terhadap jenis layanan ditentukan oleh pasien dengan berbagi pertimbangan. Pada era JKN, mekanisme rayonisasi untuk ke depannya diharapkan tetap memastikan layanan rujukan yang ditunjuk dapat diakses dengan mempergunakan JKN. Namun pada pelaksanaannya, selama ini mekanisme rujukan yang berjenjang tidak berlaku dengan mempergunakan Jamkesos. Pembagian rayonisasi di Kota Yogyakarta adalah: Rumah Sakit Panti Rapih : Puskesmas Tegal Rejo, Puskesmas Jetis, Puskesmas Gondo Kusuman I dan Gondo Kusuman II. Rumah Sakit Bethesda : Puskesmas Mergangsan, Puskesmas Gedong Tengen, Puskesmas Pakualaman, Puskesmas Danurejan I dan II. PKU : Puskesmas Umbulharjo, Puskesmas Ngampilan, Puskesmas Kraton, dan Puskesmas Gondomanan. RSUD Kota Yogyakarta : Puskesmas Mantrijeron, Puskesmas Umbul Harjo I, Puskesmas Umbul Harjo II, Puskesmas Kotagede I dan II. Agenda kedua dalam pertemuan koordinasi pertama ini adalah perlunya surat perjanjian kerjasama yang salah satu isinya mengatur mengenai jam operasional layanan. Untuk semua rumah sakit rujukan, diharapkan dalam satu minggu memberikan layanan dari hari Senin Sabtu dengan waktu layanan dari jam WIB. Sayangnya dalam pertemuan koordinasi ini tidak dihadiri oleh direktur rumah sakit, namun perwakilan dari masing-masing rumah sakit tersebut bersedia untuk menyampaikan hasil kesepakatan tersebut. Dalam pengembangan dan penyusunan surat perjanjian kerjasama ini, tim peneliti hanya sebagai inisiator awal dan selanjutnya menjadi tanggung jawab Dinkes Kota Yogyakarta untuk memastikan terealisasisnya perjanjian kerjasama tersebut. Rapat koordinasi yang kedua disepakati untuk dilakukan pada bulan September Akan tetapi terdapat beberapa kendala dalam pengaturannya, karena kesibukan dari pihak dinas kesehatan dan puskesmas di Kota Yogyakarta. Baru pada tanggal 23 Oktober 2014 pertemuan koordinasi yang kedua dapat dilaksanakan di Gedung Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pembiayaan pertemuan koordinasi ini ditanggung oleh KPA Kota Yogyakarta dan 38

58 PKMK FK UGM. Agenda pertemuan koordinasi kedua adalah memastikan hasil kesepakatan dalam bentuk perjanjian kerjasama untuk kemudian menjadi acuan bagi optimalisasi pelaksanaan LKB di Kota Yogyakarta. Selain itu, melihat perkembangan cakupan dari masingmasing fasyankes primer dan sekunder setelah proses intervensi berjalan khususnya untuk memonitor dan mencermati data baseline dari masing-masing layanan setiap bulannya. Ada temuan mengenai lemahnya pelaporan dan pencatatan data cakupan, meskipun sudah ada SIHA. Seringkali masih terjadi salah persepsi dalam mengisi formulir SIHA, sehingga cakupan layanan banyak yang tidak tercatat. Kondisi ini membuktikan bahwa diperlukan peningkatan kapasitas tenaga Report and Recording(RR) untuk memastikan mereka memahami informasi-informasi yang penting untuk dimasukkan dalam format SIHA dan peningkatan kapasitas dalam hal pengelolaan data. Pada pertemuan koordinasi ketiga, salah satu agenda prioritas yang didiskusikan adalah setiap puskesmas, dinas kesehatan dan rumah sakit rujukan diminta untuk menyajikan hasil cakupan layanan pada bulan Oktober 2014 dan diperbandingkan dengan data baseline, untuk melihat capaian cakupan. Pertemuan koordinasi ketiga ini dilakukan pada tanggal 19 November 2014 dan dihadiri oleh 21 Peserta. Agenda lain yang dibahas dalam pertemuan koordinasi ini adalah update perkembangan penyusunan dan penandatanganan perjanjian kerjasama dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Para peserta mensepakati bahwa perjanjian kerjasama yang disusun perlu ditingkatkan menjadi bentuk kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan rumah sakit terkait dengan mekanisme rujukan, sharing data dan informasi serta jam layanan. Dalam proses finalisasi surat perjanjian tersebut, meskipun secara substansi sudah disepakat, namun perlua adanya penyesuaian dari aspek kebahasaan. Melalui biro hukum yang ada di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan rumah sakit, surat perjanjian kerjasama tersebut direvisi sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mempercepat proses finalisasi, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melakukan jemput bola dengan mendatangi rumah sakit yang belum memberikan tanggapannya atas surat perjanjian kerjasama tersebut. Dalam proses ini, perwakilan rumah sakit yang menghadiri pertemuan koordinasi sebelumnya telah memberikan informasi awal perihal kesepakatan ini. Dengan demikian pihak Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dapat secara langsung 39

59 berdiskusi dengan direktur rumah sakit terkait dengan isi surat perjanjian kerjasama tersebut dan juga implikasinya pada layanan di rumah sakit. Pada sesi presentasi mengenai perkembangan cakupan layanan VCT, PITC dan IMS masingmasing puskesmas, rumah sakit rujukan dan Dinas Kesehatan Kota, periode sebelum dan sesudah intervensi (Mei Oktober 2014), menunjukkan pola kemiripan sebagai berikut: Kecenderungan cakupan terlihat fluktuatif sebelum dan sesudah intervensi. Menurunnya cakupan ini terjadi karena pada saat itu rumah sakit dalam keadaan pasif. Adanya layanan LKB di satu sisi menyebabkan layanan menjadi menyebar, tidak terkonsentrasi ke layanan yang sudah lama memberikan layanan HIV dan AIDS, seperti Puskesmas Gedong Tengen dan Puskesmas Umbul Harjo I. Kecenderungan kenaikan cakupan layanan di beberapa puskesmas, salah satunya dipengaruhi oleh keaktifan dan kerjasama dari LSM dan mobile klinik. Kasus loss of follow up cukup tinggi seperti yang disampaikan oleh Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Disebutkan bahwa dari 112 kunjungan pasien yang memeriksakan diri, 100 diantaranya memenuhi syarat untuk ART, 53 orang loss of follow up (sekitar 50 %), sementara yang taat (adherence) sebanyak orang per bulan. Dalam diskusi mengenai perkembangan cakupan layanan, ada beberapa isu yang juga muncul dan menjadi perbincangan, yaitu : Terdapat perbedaan angka antara yang dicatat secara manual dengan format SIHA. Seperti yang dialami oleh Puskesmas Tegal Rejo dan sebagian puskesmas yang lain. Ketersediaan logistik untuk reagen tes HIV dan obat secara umum mencukupi kecuali di RS Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rapih masih kekurangan untuk obat ARV dan reagen tes HIV 2 dan reagen tes HIV 3. Sementara di RSUD Kota Yogyakarta justru mengalami kelebihan obat dan ditawarkan kepada yang mengalami kekurangan. Di Puskesmas Mantrijeron untuk pemberian kondom ke anak usia remaja tidak diberikan dengan alasan khawatir disalahgunakan. Meskipun dalam pencegahan penyakit menular seksual hingga ke penularan HIV, pemberian kondom justru penting untuk dilakukan. 40

60 Pertemuan koordinasi ini juga membahas mengenai kegiatan evaluasi pasca pelaksanaan intervensi. Evaluasi ini dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi sejak sebelum dan sesudah intervensi. Perubahan yang dilihat meliputi tingkat perubahan cakupan layanan, perubahan kualitas layanan dan tingkat kepuasan pasien. Agenda terakhir dari pertemuan koordinasi ini adalah penyelesaian dan rencana sosialisasi perjanjian kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakatta dan rumah sakit rujukan. Poin-poin kesepakatan dalam diskusi ini adalah : 1. Dinas Kesehatan Kota bertanggung jawab dalam penyelesaian Surat Perjanjian Kerjasama ini hingga ke penandatanganannya dan rencana sosialisasinya. 2. Rumah sakit bertanggungjawab menyelesaikan proses penandatanganan surat Perjanjian Kerjasama ini dan mensosisalisasikan ke unit layanan yang ada di rumah sakit. 3. KPA Kota Yogyakarta bertanggung jawab untuk mensosialisasikan Perjanjian Kerjasama ini ke Anggota KPA Kota Yogyakarta. 4. LSM dan KDS bertanggung jawab untuk mensosialisasikan Perjanjian Kerjasama ini pada dampingan dan jaringan mereka. 5. Puskesmas bertanggungjawab mensosialisaskan kepada kader puskesmas dan masyarakat di wilayahnya. Setelah melalui beberapa proses komunikasi dan diskusi antar berbagai pihak, akhirnya Surat Perjanjian Kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan 4 rumah sakit rujukan (RS PKU Muhammadiyah, RS Panti Rapih, RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta) pada bulan Desember 2014 berhasil ditandatangani sebagai bentuk dari komitmen bersama dalam peningkatan layanan LKB. Perjanjian kerjasama ini berlaku untuk 5 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan Peningkatan kapasitas SDM pada penyedia layanan Kegiatan peningkatan kapasitas tenaga medis dan non medis pelaksana LKB di Kota Yogyakarta dilakukan selama 2 hari (14-15 Agustus 2014). Pelatihan diikuti oleh tenaga medis maupun non medis dari 4 rumah sakit dan 5 puskesmas serta 3 LSM dan KDS. Tenaga medis yang mengikuti pelatihan terdiri dari dokter, perawat dan bidan, sementara untuk 41

61 tenaga non medis terdiri dari petugas RR, laborat/analis, tenaga penjangkau dari LSM, pendamping ODHA dan kader kesehatan. Jumlah peserta yang mengikuti pelatihan ini sebanyak 43 orang (24 orang merupakan tenaga medis dan 19 orang merupakan tenaga non medis). Materi pelatihan meliputi konsep LKB, materi HIV, materi IO, obat ARV dan efek samping ART, manifestasi HIV pada kulit, rujukan, epidemi HIV serta gizi bagi ODHA. Narasumber pelatihan ini merupakan tenaga ahli LKB yang berasal dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit, KPA Kota Yogyakarta dan PKMK FK UGM. Selama 2 hari pelaksanaan pelatihan ini, para peserta cukup antusias dan konsisten mengikutinya, meskipun pada hari kedua ada peserta yang berganti. Hal ini nampak dari tingkat partisipasi dalam dialog dan tanya jawab selama pelatihan. Untuk mengukur efektifitas pelatihan ini, tim peneliti melakukan pre dan post test kepada para peserta serta evaluasi tertulis terkait dengan kegunaan materi dan metode pelatihan yang digunakan. Hasil pre dan post test menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan secara personal setelah mengikuti pelatihan. Grafik di bawah ini menunjukkan peningkatan pengetahuan tersebut : ,5 7,5 6,5 5,5 6 7,5 7 7,1 8,2 7 5,8 5,6 5,6 6 4,6 8,2 Pre test Post Test Grafik 22: Hasil pre dan post test untuk tenaga medis Nilai rata-rata dari pre test adalah 5,4, sementara nilai rata-rata post test adalah 7,1. Terjadi peningkatan nilai sebesar 31%. Ada 2 orang peserta yang tidak mengikuti post test dan ada 3 42

62 orang yang mengikuti post test, namun tidak mengikuti pre test. Tingkat pendidikan pasien yang bervariasi membutuhkan tingkat pengetahuan dan perilaku pemberi layanan yang responsif dan memiliki empati kepada korban. Dalam kenyataannya masih terjadi kasus diskriminasi kepada pasien ODHA yang dilakukan oleh tenaga pemberi layanan. Hal ini disebabkan karena faktor keterbatasan pengetahuan para tenaga kesehatan yang ada. Grafik 23: Hasil pre dan post test untuk tenaga non medis di Kota Yogyakarta Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan sebesar 23% dari nilai rerata pre test, awalnya sebesar 6,9 menjadi 8,5. Dari 19 orang peserta pelatihan, ada 6 orang yang tidak mengikuti post test. Dari hasil evaluasi tertulis, materi baru yang menarik perhatian para peserta adalah gizi untuk ODHA. Peserta yang mengikuti pelatihan selama 2 hari, berhak mendapatkan sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan PKMK FK UGM dan materi pelatihan peningkatan kapasitas tim LKB Hasil Penelitian Kota Semarang Pelaksanaan LKB di Kota Semarang Baseline data yang diperoleh merupakan data sekunder dan data primer. Data primer didapatkan melalui indepth interview dengan kepala puskesmas atau staf puskesmas dan staf rumah sakit yang pernah mengikuti pelatihan LKB sebelumnya dari Dinas Kesehatan Provinsi Semarang. Pada saat penggalian data primer, tidak semua kepala puskesmas dapat 43

63 ditemui karena berbagai kesibukan mereka. Hal ini kemudian membuat beberapa penyesuaian dari rencana disain pengambilan data dengan situasi yang ditemui saat dilakukannya penelitian. Penyesuaian yang dimaksud antara lain, seharusnya kepala puskesmas yang menjadi informan, namum oleh karena satu dan lain hal, maka sebagai penggantinya ditunjuk staf puskesmas yang pernah mengikuti pelatihan LKB. Lebih lanjut, daftar informan untuk Kota Semarang adalah sebagai berikut : Tabel 1: Jenis dan jumlah informan Kota Semarang Instansi Jumlah Jabatan informan Dinas Kesehatan Kota Semarang 1 orang Kepala seksi P2 KPA Kota Semarang 1 orang Pengelola program RSUD 2 orang Ketua tim HIV, konselor, RR, apoteker, laboran, perawat Puskesmas 5 orang Kepala Puskesmas (3), RR (1), promkes (1) Lembaga Masyarakat Kelompok Sebaya Swadaya Dukungan 3 orang Direktur (2), Program Manager (1) 3 orang KDS Tugu, KDS Citarum, KDS Dewi Plus Data sekunder yang dipergunakan berupa data cakupan layanan di masing-masing fasyankes yang bersumber dari laporan SIHA dari setiap fasyankes primer serta fasyankes sekunder yang terpilih sebagai subyek penelitian. Sebagai data awal ( baseline), data cakupan yang diolah adalah data Bulan Juni Agustus 2014, yang meliputi data cakupan VCT, PITC dan IMS. Data tersebut selanjutnya divalidasi pada saat Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada tanggal 22 Juli Proses ini cukup menarik karena terjadi diskusi yang cukup bermakna antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan puskesmas yang memberikan data tersebut. Terdapat beberapa perbedaan data antara laporan yang disampaikan ke dinas kesehatan, dengan data yang disampaikan pada saat penggalian informasi melalui pengumpulan data melalui indepth interview maupun pengumpulan data sekunder. Dalam diskusi ini kemudian diketahui bahwa isu record and reporting masih memerlukan pembenahan yang cukup berarti. 44

64 Lain halnya dengan hasil dari indepth interview, diketahui bahwa Layanan Komprehensif Berkesinambungan HIV-IMS (LKB) di Kota Semarang mulai dikembangkan pada bulan Oktober Persiapan LKB diawali dengan penguatan SDM bagi fasyankes primer dan sekunder sebagai rujukan LKB. Penunjukan ini berdasarkan prasyarat yang ada di dalam pedoman pelaksanaan LKB, yaitu harus sesuai dengan hasil analisa situasi yang meliputi sebaran populasi kunci dan lokasi layanan terkait HIV. Untuk Kota Semarang, fasyankes yang dilatih dan dikembangkan pertama kalinya dengan dukungan pendanaan dari Kementerian Kesehatan sebagai fasyankes LKB adalah Puskesmas Bandarharjo, Puskesmas Halmahera, Puskesmas Poncol, Puskesmas Ngaliyan dan Puskesmas Lebdosari serta Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Semarang. Kesemua fasyankes tersebut berada di lokasi dengan populasi berisiko tinggi dan kasus HIV yang relatif tinggi. Penerapan kelima fasyankes tersebut sebagai fasyankes LKB, baru dimulai pada tahun Pada saat awal ditetapkan sebagai fasyankes LKB, jenis layanan yang diberikan cukup bervariasi, disesuaikan dengan karakteristik populasi kunci yang berada di wilayah setempat. Sumber daya manusia (SDM) dari masing-masing fasyankes yang mendapatkan pelatihan LKB meliputi dokter, perawat, konselor, petugas rekam medik (RR) serta analis. Pelatihan LKB dilakukan secara berjenjang, diawali dengan penguatan di tingkat provinsi dan selanjutnya di tingkat kabupaten/kota. Cakupan data layanan LKB terutama cakupan layanan HIV yang meliputi VCT dan PITC, serta IMS diperoleh melalui pengumpulan data sekunder yang berasal dari laporan bulanan dari fasyankes dan KPA Kota Semarang kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang. Data yang bersumber dari Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan bahwa periode Mei-Juli 2104 jumlah cakupan VCT sebanyak 1026 yang berasal dari 14 fasyankes. Cakupan terbesar berasal dari rumah sakit rujukan CST, yaitu RSUD Kota Semarang, RS Tugurejo, RS Panti Wiloso Citarum, RS Elizabeth, serta Puskesmas Halmahera. Sementara itu dari 6 fasyankes LKB, hanya RSUD Kota Semarang, Puskesmas Halmahera dan Puskesmas Poncol yang tidak memiliki cakupan VCT. Fasyankes yang memiliki data VCT sebagian besar merupakan hasil dari mobile klinik. Hal ini menunjukkan bahwa layanan VCT yang statis atau di puskesmas/rumah sakit kurang berjalan dengan baik. Selain faktor tersebut, tidak adanya tenaga konselor di Puskesmas Ngaliyan dan Lebdosari, menjadi penyebab tidak adanya cakupan VCT di kedua puskesmas tersebut. 45

65 Dalam melakukan kegiatan VCT, Puskesmas Lebdosari bekerjasama dengan Rumah Sakit Panti Wiloso, begitu juga dengan Puskesmas Ngaliyan bekerja sama dengan Rumah Sakit Tugurejo dan Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane. Dengan demikian cakupan layanan VCT tidak terlaporkan di dua puskesmas tersebut, karena data hasil VCT dilaporkan oleh Lapas Kedung Pane dan RS Tugurejo sebagai rumah sakit dimana pasien mendapatkan layanan CST. Puskesmas Bandarharjo telah memiliki layanan VCT, hanya saja pada periode Juni Agustus 2014 tidak ada pasien yang mengakses layanan VCT. Layanan IMS telah dilakukan di lima puskesmas LKB tersebut. Sementara data cakupan layanan IMS dari RSUD Kota Semarang tidak terlaporkan sebagai cakupan program. Hal ini dikarenakan kasus dan data IMS ini ditangani tersendiri di bagian bagian penyakit kulit, dan belum menyampaikan laporan dalam format SIHA karena belum ada klinik tersendiri untuk IMS. Secara detail, data cakupan layanan per fasyankes periode Juni Agustus 2014, tiga bulan sebelum dilaksanakannya intervensi adalah sebagai berikut : Puskesmas Halmahera (1) Layanan VCT Cakupan layanan VCT pada Bulan Juni sebanyak 24 pasien, dimana lebih dari 75% jumlah pasien tersebut berasal dari rujukan LSM yang melakukan penjangkauan dan pendampingan pada populasi WPS, waria dan LSL yang mangkal di kawasan Tanggul Indah. Wilayah ini merupakan hot spot di area pelayanan Puskesmas Halmahera. Jumlah cakupan pada dua bulan berikutnya mengalami penurunan sebesar lebih dari 70% dari capaian Bulan Juni, serta mengalami lonjakan kenaikan pada Bulan Agustus Jumlah cakupan VCT ini ratarata separuhnya berasal dari rujukan LSM. Tidak dipisahkan antara data cakupan yang diperoleh melalui layanan statis dengan yang diperoleh melaui mobile klinik. Sampai dengan Bulan Agustus terdapat 10 orang yang dinyatakan HIV positif dan telah dilakukan rujukan CST dan pendampingan. 46

66 Grafik 24: Cakupan layanan VCT Puskesmas Halmahera Periode Juni-Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan Puskesmas Halmahera) Dari grafik tersebut di atas, tampak bahwa semua pasien yang berkunjung untuk mengakses layanan VCT mendapatkan pre-test dan post-test konseling. Diketahui bahwa kasus HIV ditemukan pada Bulan Juni dan Agustus, sementara tidak ditemukan pasien yang terinfeksi HIV pada bulan Juli Cakupan pada Bulan Juni 2014 menyamai dengan target yang ditetapkan, yaitu sebesar 24 orang yang melakukan VCT. Cakupan ini mengalami penurunan pada Bulan Juli, yaitu sebanyak 7 orang serta mengalami kenaikan yang sangat signifikan pada Bulan Agustus menjadi 26 orang. Tidak ada perbedaan angka antara jumlah orang yang berkunjung dengan jumlah orang yang dites HIV, hal ini menunjukkan bahwa pasien yang datang merupakan orang yang memiliki faktor risiko dan perlu untuk dilakukan tes HIV. Data yang lain menunjukkan bahwa rujukan dari LSM memberikan kontribusi yang cukup besar dalam cakupan layanan VCT. (2) Layanan PITC Jumlah cakupan layanan tes HIV atas inisiasi penyedia layanan kesehatan (PITC) di setiap bulan, jumlahnya bervariatif. Inisiasi tes HIV pada ibu hamil telah dilakukan, meskipun tidak semua ibu hamil bersedia dilakukan tes HIV. 47

67 Grafik 25: Cakupan layanan PITC Puskesmas Halmahera Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan layanan Puskesmas Halmahera) Grafik di atas menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan tes HIV dari penyedia layanan diberikan hanya kepada ibu hamil, belum kepada pasien lainnya. Pada Bulan Juni 2014, dari 32 pasien yang diinisiasi tes HIV, 15 diantaranya merupakan ibu hamil, yang kesemuanya bersedia untuk dites HIV. Sementara pada Bulan Juli, dari 36 pasien yang ditawarkan tes HIV, 33% diantaranya bersedia untuk dites HIV dan mereka merupakan pasien ibu hamil. Pada Bulan Agustus mengalami penurunan cakupan yang tidak signifikan. Kurang dari 25% pasien yang ditawarkan tes kemudian mengikuti tes HIV. (3) Layanan IMS Terdapat perbedaan data cakupan IMS yang bersumber dari puskesmas dengan data yang bersumber dari Dinas Kesehatan Kota Semarang. Dari FGD, diketahui bahwa terdapat kelemahan pencatatan dan pelaporan di sebagian besar puskesmas. Hal ini menyebabkan seringkali terjadi perbedaan jumlah cakupan, sebagaimana yang terjadi di Puskesmas Halmahera. Sepanjang Bulan Juni Agustus 2014, hanya ada 5 kunjungan layanan IMS dan 3 diantaranya didagnosis IMS melalui pemeriksaan laboratorium dan telah mendapatkan pengobatan. Namun sayangnya, pasien tersebut tidak dirujuk untuk melakukan tes HIV. Ada pemahaman bahwa rujukan VCT hanya diberikan kepada pasien dengan faktor risiko tinggi. Tidak semua kasus IMS yang ditemui selanjutnya dilakukan rujukan VCT. 48

68 Jml. Kunj. Lay. IMS Jml. Pasien IMS yg ditemukan Jml. Kasus IMS yg dioba Grafik 26: Cakupan layanan IMS Puskesmas Halmahera Periode Juni Agustus 2014 Juni Juli (Sumber: diolah dari cakupan layanan IMS Puskesmas Halmahera) Puskesmas Poncol (1) Layanan VCT Layanan LKB yang dikembangkan di Puskesmas Poncol relatif jauh lebih lengkap dibandingkan dengan 4 puskesmas LKB lainnya. Jenis layanan yang ada adalah VCT, PITC, IMS serta PTRM. Layanan yang cukup bervariatif ini dikembangkan berdasarkan analisa situasi populasi kunci yang berada di wilayah setempat. Populasi kunci yang berada dalam area pelayanan adalah waria, WPS, LSL dan IDU. Grafik 27: Cakupan layanan VCT Puskesmas Poncol Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan layanan Puskesmas Poncol) 49

69 Pada Bulan Juni 2014 terdapat capaian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Bulan Juli dan Agustus. Dari jumlah yang berkunjung pada Bulan Juni tersebut, 90% diantaranya bersedia melakukan tes HIV dan 1 orang terdeteksi HIV positif dan telah dilakukan rujukan ke layanan CST. Meskipun terdapat banyak populasi kunci dalam area layanan Puskesmas Poncol, namun tidak terdapat pasien rujukan dari LSM. (2) Layanan PITC Tidak ada data cakupan layanan PITC di Puskesmas Poncol. Hal ini dikarenakan adanya kesalahpahaman dalam hal pencatatan dan pelaporan. Pada pertemuan koordinasi yang pertama, dalam pemaparan diketahui bahwa selama ini PITC dimaknai sebagai cakupan VCT, dengan demikian data PITC tercakup dalam data VCT. (3) Layanan IMS Sama halnya dengan data layanan PITC, pada periode Juni dan Juli 2014, tidak tercatat ada cakupan layanan IMS. Hal ini karena memang tidak ada pasien IMS yang berkunjung di Puskemas Poncol, ataupun rujukan pemeriksaan IMS. Selanjutnya pada Bulan Agustus terdapat 6 orang yang berkunjung pada layanan IMS dan kesemuanya terinfeksi IMS, 4 diantaranya dirujuk untuk melakukan test HIV Jml. Kunj. Lay. IMS Jml. Pasien IMS yg Jml. Kasus IMS yg ditemukan diobati Grafik 28: Cakupan layanan IMS Puskesmas Poncol Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan layanan Puskesmas Poncol) Juni Juli Agustus Jml. Pasien IMS yg dites HIV (dirujuk) 50

70 Puskesmas Lebdosari (1) Layanan VCT Data cakupan yang tersedia di Puskesmas Lebdosari hanya meliputi data cakupan IMS dan data cakupan PITC. Tidak ada data cakupan layanan VCT. Belum adanya konselor yang terlatih di Puskesmas Lebdosari, menyebabkan puskesmas ini belum berani untuk berinisiatif melakukan VCT secara mandiri, dalam artian tahapan VCT dari pre konseling, testing dan post konseling dilakukan dalam satu tempat layanan. Selama ini, layanan VCT dilakukan dengan cara merujuk pasien pada layanan lain yang setingkat, semisal di Klinik Griya Asa, maupun pada fasyankes sekunder. Layanan mobile klinik sebenarnya dilakukan secara terintegrasi antara layanan VCT dan IMS, namun berhubung belum dapat melakukan VCT, maka layanan mobile klinik ini dilakukan secara bersamaan dengan Rumah Sakit Panti Wiloso Citarum. (2) Layanan PITC Data cakupan layanan PITC diperoleh dari rujukan KIA pada ibu hamil. Dari sejumlah PITC bagi ibu hamil, tidak ditemukan kasus HIV positif. Hanya ada 6 rujukan tes HIV bagi ibu hamil, yang meliputi 3 rujukan pada Bulan Juli 2014 serta 3 rujukan pada Bulan Agustus PITC ini dilakukan dengan cara merujuk di RS Panti Wiloso Citarum. (3) Layanan IMS Grafik 29: Cakupan layanan PITC Puskesmas Lebdosari Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah data cakupan layanan Puskesmas Lebdosari) 51

71 Cakupan layanan IMS yang tinggi di Puskesmas Lebdosari diperoleh dari layanan mobile klinik di kawasan populasi pekerja seks Sunan Kuning. Terdapat 697 orang pekerja seks di Sunan Kuning, dimana 80% diantaranya merupakan usia produktif. Lebih dari 50% diantaranya ditemukan kasus IMS dan semua telah diberi pengobatan, tetapi hanya 50% pasien yang dirujuk ke klinik VCT. Pada Bulan Juli data cakupan layanan IMS mengalami penurunan menjadi 76 pasien, 24 diantaranya diketahui terkena IMS. Sementara 2 dari pasien yang diperiksa IMS dilakukan rujukan tes HIV. Setelah mengalami penurunan jumlah cakupan pada Bulan Juli, di Bulan Agustus mengalami peningkatan cakupan yang sangat signifikan. Kenaikan ini mencapai lebih dari 300%. Pada Bulan Juli, aktivitas pemeriksaan IMS, yang selalu dilakukan melalui mobile klinik berkurang intensitas pemeriksaan maupun jumlah orang yang melakukan pemeriksaan, karena bertepatan dengan bulan puasa. Dari sejumlah 334 pasien yang diperiksa lebih dari 64% diantaranya terinfeksi IMS dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut, telah dirujuk untuk tes HIV Jml. Kunj. Lay. IMS Jml. Pasien IMS yg Jml. Kasus IMS yg ditemukan diobati Grafik 30: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Lebdosari Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan layanan Puskesmas Lebdosari) Juni Juli Agustus Jml. Pasien IMS yg dites HIV (dirujuk) Puskesmas Bandarharjo (1) Layanan VCT 52

72 Meskipun layanan VCT sudah dapat diakses di Puskesmas Bandarharjo, namun tidak terdapat angka cakupan layanan VCT. Hasil klarifikasi dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang menjelaskan bahwa memang tidak ada pasien yang mengakses layanan tersebut. (2) Layanan PITC Data cakupan layanan PITC diperoleh dari rujukan tes HIV pada ibu hamil, sebanyak 2 orang pada Bulan Juni Selanjutya pada Bulan Juli 2014, cakupan layanan PITC sebanyak 63 orang, yang berasal dari layanan mobile klinik bekerjama dengan LSM Kalandara yang menyasar populasi high risk man (HRM) di pelabuhan. Dari keseluruhan klien yang dites HIV tidak ditemukan adanya klien yang terinfeksi HIV Jml. Kunj. Lal. IMS Jml. Pasien IMS yg Jml. Kasus IMS yg ditemukan diobati Grafik 31: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Bandarharjo Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari data cakupan Layanan Puskesmas Bandarharjo) Juni Juli Agustus Jml. Pasien IMS yg dites HIV (dirujuk) (3) Layanan IMS Cakupan layanan IMS di Puskesmas Bandarharjo masih sangat kecil, dengan rerata per bulan hanya sekitar 4 pasien, dan tidak satupun pasien IMS yang dirujuk untuk dilakukan tes HIV. Tidak ada pula keterlibatan LSM. 53

73 Jml. Kunj. Lay. IMS Jml. Pasien IMS yg ditemukan Jml. Kasus IMS yg diobati Grafik 32: Cakupan layanan IMS Puskesmas Bandarharjo Juni Juli Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah data cakupan Layanan IMS Puskesmas Bandarharjo) Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa layanan IMS di Puskesmas Bandarharjo belum memuaskan. Hal ini tampak dari masih sangat sedikitnya pasien yang mengakses layanan IMS dan tidak satupun pasien IMS yang dirujuk ke layanan VCT. Satu hal yang perlu penelaahan lebih lanjut, yaitu mengenai data yang menunjukkan jumlah kunjungan dengan jumlah orang yang diberi kondom, terlihat jumlahnya tidak sesuai. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan Puskesmas Ngaliyan (1) Layanan VCT Kondisi di Puskesmas Ngaliyan tidak jauh berbeda dengan Puskesmas Lebdosari dalam layanan VCT. Meskipun telah dirancang sebagai Puskesmas LKB, namun di Puskesmas Ngaliyan belum dapat melakukan layanan VCT secara mandiri. VCT selama ini dilakukan bekerjasama dengan Lapas Kedung Pane yang sudah memiliki konselor. Alasan ketiadaan SDM konselor ini yang menjadikan Puskesmas Ngaliyan belum dapat melakukan layanan VCT. (2) Layanan PITC Sama halnya dengan cakupan layanan PITC, tidak terdapat angka cakupan PITC dari Bulan Juni Agustus 2014, hal ini disebabkan belum dapat dilakukannya tes HIV di Puskesmas Ngaliyan. Puskesmas Ngaliyan belum memberikan layanan tes VCT karena belum memiliki tenaga konselor. Meskipun tenaga dokter, perawat dan RR sudah mengikuti pelatihan LKB. 54

74 Alasan lainnya adalah bahwa HIV dan AIDS merupakan hal yang sensitif. Tim LKB (dokter dan perawat) Puskesmas Ngaliyan justru aktif melakukan pendampingan di Lapas Kedung Pane seminggu 2 kali untuk para napi yang secara rutin melakukan penapisan IMS dan HIV di Poliklinik Lapas. (3) Layanan IMS Cakupan layanan IMS di Puskesmas Ngaliyan sebanyak 96 orang, tetapi tidak ditemukan kasus IMS. Sementara pada Bulan Juli sama sekali tidak terdapat cakupan layanan IMS dan baru pada Bulan Agustus terdapat 76 pasien yang diperiksa IMS, dan tidak ditemukan kasus IMS. Sementara pada Bulan Juli sama sekali tidak terdapat cakupan layanan IMS dan baru pada Bulan Agustus terdapat 76 pasien yang berkunjung pada layanan IMS, dan tidak ditemukan pula kasus IMS Layanan LKB pada Fasyankes Sekunder Pada fasyankes sekunder, terdapat 7 rumah sakit CST di Kota Semarang yaitu Rumah Sakit Tugurejo, RSUD Kota Semarang, Panti Wiloso Citarum, Elizabeth, BKPM, Bhayangkara, dan Sultan Agung. Dari 7 rumah sakit tersebut, 5 diantaranya berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan riset operasional ini. Jenis data yang terlaporkan dari rumah sakit CST meliputi cakupan layanan VCT dan PITC, sebagai berikut : Grafik 33: Cakupan layanan VCT di lima RS Rujukan CST Kota Semarang Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari laporan cakupan layanan di rumah sakit) 55

75 Rumah Sakit Tugurejo dan Rumah Sakit Panti Wiloso Citarum memiliki cakupan VCT relatif lebih besar dibandingkan dengan 3 rumah sakit lainnya. Kontribusi layanan mobile klinik dari Puskesmas Lebdosari cukup mempengaruhi capaian VCT di Rumah Sakit Panti Wiloso Citarum. Sama halnya dengan cakupan layanan di Rumah Sakit Tugurejo yang bekerjasama dengan Puskesmas Ngaliyan. Namun jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang, seluruh fasyankes sekunder belum pernah mencapai target. Grafik 34: Cakupan layanan PITC di lima RS Rujukan CST Kota Semarang Periode Juni Agustus 2014 (Sumber : diolah dari laporan cakupan layanan di rumah sakit) Diagram di atas menunjukkan bahwa layanan PITC banyak dilakukan di BKPM sebagai rumah sakit paru. Pasien paru didorong untuk melakukan PITC. Angka ini jauh lebih besar daripada cakupan VCT. Sementara di RSUD Kota Semarang dan Tugurejo tidak tercatat angka PITC, karena adanya pemaknaan yang sama antara PITC dan VCT dari sisi pelaporan Tantangan pada aspek layanan Dari uraian di atas mengenai capaian layanan di fasyankes primer LKB, diketahui bahwa meskipun awal dimulainya LKB secara bersamaan, namun tidak semua fasyankes memiliki jenis layanan yang sama. Demikian pula halnya dengan kesiapan untuk melaksanakan LKB. Dinas Kesehatan Kota Semarang, mentargetkan cakupan VCT sebanyak 1141 per bulan dari 56

76 14 fasyankes, tetapi besaran target ini tidak diketahui oleh fasyankes 2. Hal ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya sistem koordinasi dan komunikasi baik di internal maupun eksternal fasyankes. Dari grafik di bawah ini, memperbandingkan antara target dan capaian layanan VCT, hasilnya cukup bervariatif, dimana terdapat capaian yang melampaui target dan ada pula yang sebaliknya. Grafik 35: Target dan Cakupan layanan VCT di Fasyankes LKB di Kota Semarang Perlu penelaahan lebih lanjut mengenai dasar penentuan target masing-masing layanan mengingat masih terdapat kesenjangan target yang cukup signifikan antar fasyankes LKB. Dari data yang tersaji bahwa target VCT justru diberikan kepada puskesmas yang belum memiliki layanan VCT secara mandiri, dalam hal ini Puskesmas Lebdosari dan Ngaliyan Rujukan PITC bagi ibu hamil dan pasien IMS yang belum terlaporkan di beberapa puskesmas. Di Kota Semarang, Dinas Kesehatan Kota memberikan prioritas PITC kepada klien dengan perilaku berisiko tinggi terinfeksi HIV, dikarenakan keterbatasan sumber dana APBD untuk pengadaan reagen. Dari aspek layanan diketahui bahwa mayoritas puskemas LKB dirancang untuk dapat melakukan layanan IMS. Hal ini seperti terlihat dari cakupan layanan IMS yang terdapat di semua puskesmas LKB. Hanya saja data cakupan IMS dari RSUD Kota Semarang tidak terlaporkan sebagai cakupan program. Dinas Kesehatan Kota Semarang mencatat dari 6 puskesmas LKB lebih dari 50% merupakan pasien IMS yang dirujuk untuk dilakukan tes HIV. 2 FGD I, 22 Juli

77 Identifikasi Permasalahan dan Alternatif Solusi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB di Kota Semarang Identifikasi Masalah Prioritas (1) Aspek disain Dari hasil diskusi, disepakati bahwa yang menjadi prioritas permasalahan di Kota Semarang dari aspek disain adalah 1. Belum semua dokter dan paramedis memahami LKB; 2. Rumah sakit rujukan LKB belum melibatkan dan bekerjasama dengan komponen LKB lainnya. (2) Aspek layanan Berbagai permasalahan terkait layanan LKB di Kota Semarang adalah 1. Kapasitas tenaga medis dalam hal klinis HIV dan infeksi opportunistik (IO) masih kurang; 2. Pemahaman tentang LKB juga masih kurang; 3. Belum ada pengembangan puskesmas rujukan untuk inisiasi ARV. (3) Aspek koordinasi Prioritas masalah dari aspek koordinasi di Kota Semarang adalah 1. Belum ada koordinasi rutin antara LSM, kader, puskesmas dan rumah sakit. 2. Belum ada tools untuk melakukan monev. Selanjutnya dilakukan penajaman permaslahan dari tiap aspek. Melalui FGD untuk menentukan prioritas masalah, dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama dari ketiga aspek tersebut adalah : 1. Koordinasi komponen LKB yang belum berjalan optimal; 2. Layanan belum optimal karena pemahaman LKB dan kapasitas SDM LKB yang masih kurang; 58

78 3. Belum terdapat puskesmas rujukan inisiasi ARV Alternatif solusi untuk Kota Semarang Penentuan alternatif solusi dilakukan melalui FGD dan disepakati bahwa yang menjadi usulan intervensi dari permasalahan tersebut di atas adalah: 1. Pertemuan koordinasi sebanyak 3 kali dengan focal pointnya adalah Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2. Pengembangan kapasitas tenaga medis berupa pelatihan. Peserta pelatihan untuk peningkatan kapasitas tenaga medis dan non medis di Kota Semarang diperluas untuk tenaga-tenaga medis dari beberapa rumah sakit lain, disamping puskesmas atau rumah sakit rujukan LKB. 3. Pengembangan puskesmas rujukan inisiasi ARV diusulkan berupa kesepakatan yang dibangun dalam bentuk dokumen. Pengembangan puskesmas rujukan inisiasi ARV akan didiskusikan dan dikoordinasikan lebih lanjut antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan Dinas Kesehatan Provinsi. Termasuk dalam hal penentuan puskesmas yang sudah siap untuk menjadi inisiasi rujukan ARV. Rencananya puskesmas terpilih dapat menjadi satelit dari salah satu rumah sakit CST, sehingga dalam pelaporan tergabung dengan rumah sakit tersebut. Pengembangan lebih lanjut terkait dengan intervensi selanjutnya disepakati akan dilakukan pada pertemuan FGD II, yang direncanakan pada tanggal 15 September Pengembangan disain intervensi Kota Semarang Melalui FGD yang diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus 2014, dilakukan penyusunan disain intervensi untuk Kota Semarang. Pertemuan ini dihadiri oleh 23 peserta, yang terdiri dari Kabid P2 dan Kasie P2 Dinas Kesehatan Kota Semarang, Staf P2 Dinas Kesehatan Kota Semarang, KPA Kota Semarang, LSM ( LSM Kalandara, LSM Griya Asa dan LSM Graha Mitra), KDS (KDS Tugu, KDS Citarum), kepala puskesmas (Puskesmas Halmahera, Puskesmas Poncol, Puskesmas Lebdosari, Puskesmas Bandarharjo dan Puskesmas Ngaliyan) sakit CST ( RS Elizabeth, RS Tugurejo, RS Panti Wiloso, BKPM, RSUD Kota Semarang). Dari tiga prioritas masalah yang ada di Kota Semarang terkait dengan pelaksanaan LKB, yaitu (1) Koordinasi 59

79 komponen LKB yang belum berjalan optimal, (2) layanan belum optimal karena pemahaman LKB dan kapasitas SDM LKB yang masih kurang dan (3) belum terdapat puskesmas rujukan inisiasi ARV, selanjutnya disikapi dengan pemberian intervensi yang diharapkan dapat meningkatkan layanan dan cakupan di fasyankes. Tidak jauh berbeda dengan disain intervensi yang diperuntukkan bagi Kota Yogyakarta, untuk Kota Semarang disain intervensinya sebagai berikut : 1. Rapat koordinasi rutin per bulan 60 Selama periode pelaksanaan intervensi ini, setidaknya dilakukan 3 kali rapat koordinasi dengan dukungan dana dari PKMK FK UGM dan KPA Kota Semarang. Dinas Kesehatan Kota Semarang, belum mampu untuk mengalokasikan sharing biaya pelaksanaan koordinasi, mengingat Dinas Kesehatan sudah tidak memiliki alokasi anggaran hingga akhir tahun Peserta pertemuan koordinasi ini dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, KPA Kota Semarang, LSM, rumah sakit dan puskesmas. Pertemuan koordinasi pertama, dilaksanakan pada tanggal 11 September 2014 bertempat di Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk membahas mengenai penentuan mekanisme rujukan, mekanisme pinjam-meminjam sumber daya, dan identifikasi hambatan. 2. Peningkatan kapasitas SDM LKB Sama halnya dengan kondisi di Kota Yogya, ternyata di Kota Semarang juga masih diperlukan peningkatan kapasitas bagi SDM pelaksana LKB. Materi yang perlu untuk disampaikan sebagai berikut: a) Obat ARV dan IO b) Efek samping ARV c) Skrining cepat penentuan HIV d) Penguatan peran kader, yang meliputi teknik komunikasi, trik-trik untuk kader di lapangan, misalnya caranya memobilisasi masyarakat/odha ke layanan e) Gizi ODHA. Kegiatan peningkatan kapasitas ini diikuti oleh dokter, perawat atau konselor dan analis dari Puskesmas Lebdosari, Halmahera, Ngaliyan, Poncol dan Bandarharjo dan Rumah Sakit Tugu, RS Panti Wiloso, RS Elizabeth dan RSUD Kota Semarang. Selain itu juga

80 perwakilan dari LSM Kalandara, Griya Asa dan Graha Mitra. Kelompok dukungan sebaya terlibat pula sebagai peserta, meliputi KSD Dewi, KDS Tugu dan KDS Citarum. Narasumber dalam kegiatan peningkatan kapasitas ini, semuanya berasal dari Semarang, yaitu : Tabel 2: Daftar materi dan narasumber peningkatan kapasitas SDM LKB Materi ARV dan IO Konsep LKB Penguatan Peran Masyarakat sipil Jejaring HIV Gizi ODHA Sosialisasi Hasil Rakor Narasumber 1. Dr. Niam (RSUD Kota Semarang) 2. Dr. Muklis Sukro (RS Karyadi) Mastiko (Puskesmas Halmahera)/RS Karyadi Yoyok & Dian (LSM Graha Mitra) Sutini, SKM (KPA Kota Sematang) Mita (LCC/ Poltekes Semarang) Dinkes Semarang Pelaksanaan intervensi di Kota Semarang Intervensi untuk memperkuat pelaksanaan LKB di kota Semarang yang disepakati adalah rapat koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan LKB dan pengembangan kapasitas bagi petugas layanan baik di fasyankes maupun di LSM/KDS. Gambaran tentang pelaksanaan intervensi adalah sebagai berikut: 1. Rapat Koordinasi Pemangku Kepentingan Pertemuan koordinasi pertama dilaksanakan pada tanggal 11 September 2014, dengan supporting pendanaan KPA Kota Semarang, bertempat di ruang pertemuan Simpang Lima Residence. Peserta koordinasi meliputi, semua peserta FGD yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, KPA Kota Semarang, RSUD Kota Semarang, Puskesmas Halmahera, Puskesmas Poncol, Puskesmas Lebdosari, Puskesmas Bandarharjo dan Puskesmas Ngaliyan, ditambah dengan 5 rumah sakit rujukan yaitu, RS Panti Wiloso, RS Tugurejo, RS Elizabeth dan BKPM. Meskipun tidak keseluruhan perwakilan instansi dihadiri oleh penentu kebijakan, namun setidaknya dalam forum tersebut dihadiri oleh 61

81 perwakilan instansi-instansi yang dirasa perlu untuk terlibat dalam pertemuan koordinasi ini. Pengantar dari sekretaris KPA Kota Semarang cukup menarik dengan memaparkan situasi di fasyankes Kota Semarang, bahwa ketersediaan SDM yang tidak sama, rujukan yang belum berjalan optimal, perlu disikapi dengan mengoptimalkan pelayanan kesehatan. Sharing SDM merupakan salah satu upaya untuk mencukupi keterbatasan SDM di fasyankes. Salah satu isu yang muncul terkait dengan keterbatasan SDM adalah ketiadaan konselor. Pemerataan layanan perlu disikapi dengan mengatur tentang mekanisme rujukan, sehingga tidak terjadi penumpukan pasien pada salah satu rumah sakit tertentu. Dinas Kesehatan Kota Semarang memberikan paparannya mengenai draft perjanjian kerjasama, yang diwakili oleh staf bidang P2 Dinas Kesehatan Kota. Draft perjanjian kerjasama ini mengatur tentang alur mekanisme rujukan antar fasyankes, baik rujukan vertikal maupun horizontal. Disoroti bahwa kelemahan dari mekanisme rujukan adalah rujukan balik, dan hal ini dipertegas kembali dalam draft perjanjian kerjasama ini. Perjanjian kerjasama ini merupakan perjanjian antara Dinas Kesehatan Kota dengan rumah sakit rujukan di Kota Semarang. Dengan demikian, penandatanganan akan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Kota secara langsung. Isi dari draft surat perjanjian kerjasama tersebut, mendapatkan tanggapan dari para peserta. Peserta menyoroti perihal perlunya definisi operasional dari kalimat dan istilah yang dipergunakan dalam draft perjanjian tersebut. Sharing data dan sumber daya dirasakan akan mengalami kesulitan terkait dengan masalah prosedural. Dikhawatirkan nantinya akan mengusik privacy dari pasien. Droping obat IMS dari provinsi jumlahnya cukup minim, sehingga yang kemudian disalurkan lagi ke fasyankes dalam jumlah yang minimal. Ketersediaan semua jenis obat IMS belum sepenuhnya dapat ditutup dengan dana APBD. Sama halnya dengan proses finalisasi surat perjanjian kerja di Kota Yogyakarta, langkah terakhir adalah memasukan draft ke Bagian Biro Hukum masing-masing pihak untuk disesuaikan dalam bahasa hukum yang baku. 62

82 Pelaksanaan pertemuan koordinasi kedua masih mendapatkan supporting pendanaan dari KPA Kota Semarang yang dialokasikan dari dana pertemuan koordinasi. Pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober 2014 di ruang pertemuan Simpang Lima Residence dihadiri oleh 20 orang peserta dari 25 peserta yang diundang. Peserta yang datang pada pertemuan koordinasi kedua ini, masih sama dengan peserta pertemuan kordinasi pertama. Agenda pembahasan dalam pertemuan koordinasi ini adalah cakupan layanan HIV dan IMS di Kota Semarang. Data yang dipaparkan dalam pertemuan koordinasi ini bersumber dari laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang, namun data tersebut diperoleh melalui KPA Kota Semarang. Alasan mengapa data tidak diambil langsung ke Dinas Kesehatan Kota, oleh karena terkendala kesesuaian jadwal antara tim peneliti dengan pihak Dinas Kesehatan Kota Semarang. Sebenarnya dengan pemaparan data cakupan layanan ini sekaligus dapat untuk melakukan validasi dan klarifikasi bila memang ada data yang sekiranya masih meragukan. Dari hasil diskusi setelah dilakukan pemaparan cakupan VCT, PITC, serta IMS, diakui oleh beberapa peserta bahwa ada kekeliruan dalam pencatatan data cakupan layanan VCT dengan PITC. Demikian pula dengan angka cakupan IMS tidak terlaporkan sebagai program di rumah sakit. Hal ini disebabkan tidak adanya klinik IMS tersendiri di rumah sakit. Demikian pula denga data mengenai distribusi kondom juga menunjukkan bahwa tidak semua pasien IMS diberikan kondom sebagai salah satu tindakan preventif. Dari poinpoin diskusi yang muncul tersebut, maka pada pertemuan koordinasi selanjutnya, masing-masing layanan diharapkan memberikan paparan cakupan layanan berdasarkan data yang mereka miliki. Terkait dengan isi surat perjanjian kerjasama, setelah dikonsultasikan dengan Bagian Biro Hukum di Dinas Kesehatan Kota, perlu ditambahkan dasar hukum atau landasan program penanggulangan HIV. Proses konsultasi dengan Bagian Biro Hukum ini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Biro hukum perlu memastikan beberapa istilah dan susunan pasal dalam surat perjanjian kerjasama tersebut. Pertemuan koordinasi ketiga diselenggarakan di aula Puskesmas Halmahera pada tanggal 10 Desember 2014, dengan pendanaan bersumber dari cost sharing antara KPA Kota Semarang dengan PKMK FK UGM. Jumlah peserta pada pertemuan ini 63

83 sebanyak 18 orang, dari 25 peserta yang diundang. Sebagian besar peserta yang datang cukup strategis, dalam artian pemangku kepentingan pada unit layanan. Pertemuan koordinasi ketiga ini terlaksana jauh dari waktu yang telah diagendakan di awal penyusunan kegiatan. Lemahnya koordinasi, intensitas komunikasi dan faktor jarak menjadikan komunikasi untuk mengkonsolidasikan kegiatan menjadi sangat terhambat. Penyesuaian kegiatan yang cukup padat di Dinas Kesehatan Kota Semarang dan keterbatasan SDM dinas kesehatan yang dapat berproses dalam pertemuan serta penyesuaian dengan agenda kegiatan di tingkat unit puskesmas membutuhkan proses yang relatif lama untuk menegosiasikan pelaksanaan pertemuan koordinasi ketiga yang baru dapat terselenggra pada Bulan Desember 2014, dari yang direncanakan pada Bulan Oktober Dari situasi ini dapat diketahui bahwa persoalan jarak dan intensitas komunikasi menjadikan relasi yang terbangun masih belum terlalu kuat. Pada pertemuan koordinasi ketiga, dipaparkan capaian cakupan VCT, PITC dan IMS dari 5 puskesmas dan 5 rumah sakit terhitung sejak Bulan Mei hingga Bulan November Secara garis besar, paparan menunjukkan hasil yang cukup bervariatif. Perubahan yang cukup nyata tampak dari mulai dilakukannya VCT di Puskesmas Ngaliyan dan Lebdosari. Sementara Puskesmas Poncol, untuk memperbesar akses layanan terutama pada populasi kunci, dibuka layanan HIV dan IMS pada malam hari, yang dimulai pada Bulan September Isu seputar rujukan dan jejaring LSM dengan fasyankes menjadi satu catatan bahwa kenaikan cakupan di fasyankes tidak terlepas dari rujukan dari LSM dan KDS. Di RSUD Kota Semarang, ARV berjalan kurang efektif karena ketiadaan manager kasus. Angka rujukan ke klinik VCT sudah mulai berkembang tidak hanya dari spesialis penyakit dalam saja, akan tetapi dari klinik paru-paru serta klinik kulit. Mengenai perkembangan finalisasi surat perjanjian kerjasama, proses konsultasi dan revisi dari pihak Bagian Biro Hukum Dinas Kesehatan Kota Semarang, masih belum selesai. Untuk itu disepakati sebagai langkah awal sembari menunggu surat perjanjian kerjasama tersebut secara resmi ditandatangani, maka perlu dilakukan sosialisasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai isi surat perjanjian kerjasama tersebut. 64

84 2. Peningkatan kapasitas SDM pada penyedia layanan Lain halnya dengan yang dilakukan di Kota Yogyakarta, kegiatan peningkatan kapasitas untuk Kota Semarang hanya dilakukan dalam 1 hari saja. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 19 September 2014 dengan peserta yang berasal dari kategori medis dan non medis. Peserta medis terdiri dari dokter, dan perawat dari Rumah Sakit Tugurejo, RS Elizabeth, RS BKPM, RS Panti Wiloso dan RSUD Kota Semarang. Sementara kategori non medis terdiri dari, LSM (Kalandara, Griya Asa dan Graha Mitra), KDS (Tugu, Citarum, Dewi Plus), kader masyarakat, konselor dan laboran. Jumlah total peserta yang hadir sebanyak 40 orang, yang terdiri dari 21 tenaga medis dan 19 tenaga non medis. Materi pelatihan untuk peserta kategori medis meliputi: (1) pengenalan LKB, (2) informasi HIV dan AIDS, (3) Anti Retroviral, (4) Infeksi Oportunistik, (4) IMS, (5) gizi pada ODHA, (6) konseling HIV/AIDS dan IMS. Sedangkan materi pada peserta kategori non medis meliputi; (1) pengenalan LKB, (2) informasi HIV dan AIDS, (3) gizi pada ODHA, (4) penguatan peran kader dan masyarakat, (5) peran KPA dalam LKB, (6) sistem pelatihan LKB. Narasumber dalam pelatihan ini berasal dari puskesmas dan rumah sakit yang ada di Kota Semarang. Hasil pre dan post test menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan peserta pelatihan. Dari kelas medis terdapat kenaikan sebesar 40%, sementara dari kelas non medis kenaikannya sebesar 33%. Terdapat kesenjangan yang cukup besar nilai rerata antara kelas medis dan non medis. Pada kelas medis nilai rerata pre test sebesar 7, sementara pada kelas non medis nilai reratanya 3.9. Sama halnya dengan rerata pada nilai post test, rerata pada kelas medis 9.8, sementara kelas non medis 5.2. Visualisasi dari peningkatan nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini : 65

85 Grafik 36: Hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB kategori tenaga medis di Kota Semarang (Sumber : diolah dari hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB) Grafik 37: Hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB kategori tenaga non medis di Kota Semarang (Sumber : diolah dari hasil pre dan post test peningkatan kapasitas SDM LKB) 4.3. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Intervensi untuk Memperkuat Pelaksanaan LKB Tujuan Evaluasi bertujuan untuk menilai efektivitas intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini dalam memperkuat pelaksanaan (pengobatan) dalam LKB. 66

86 Disain Evaluasi Untuk mengetahui seberapa jauh efektivitas intervensi yang dikenalkan melalui penelitian operasional ini untuk memperkuat pelaksanaan LKB di Kota Semarang dan Kota Yogyakarta maka disain evaluasi yang digunakan adalah evaluasi pre-post intervention dimana aspekaspek tertentu dari layanan pengobatan sebelum dan sesudah intervensi akan diperbandingkan. Meski tidak bisa sepenuhnya mengisolasikan atau mendeteksi faktorfaktor di luar intervensi yang mungkin berpengaruh terhadap hasil akhir dari intervensi ini, evaluasi ini mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi sebagian dikontribusikan oleh intervensi ini. Evaluasi yang telah dilakukan berfokus pada isu-isu strategi sebagai-berikut: a. Perubahan cakupan Fokus evaluasi dari sisi kinerja layanan adalah untuk menilai sejauh mana intervensi yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap cakupan layanan dengan cara membandingkan antara situasi 3 bulan sebelum intervensi dilakukan (Mei Juli 2014) dengan cakupan selama intervensi dilaksanakan (Agustus Oktober 2014) untuk Kota Yogyakarta. Kota Semarang dilaksanakan pada bulan September November b. Tata kelola layanan Intervensi yang dilakukan pada dasarnya merupakan upaya memperkuat tata kelola layanan yang strategis melalui koordinasi antar pihak dan peningkatan kapasitas teknis dari penyedia layanan sehingga fokus dari evaluasi ini adalah melihat seberapa jauh intervensi ini telah mampu mewujudkan layanan yang komprehensif dan berkelanjutan. Hal-hal yang dilihat dalam aspek tata kelola adalah: a. Koordinasi Manfaat dari pertemuan koordinasi para pemangku kepentingan LKB yang telah dilakukan; Persepsi tentang perubahan jam layanan terhadap layanan yang diberikan; Persepsi tentang pemanfaatan data sharing; 67

87 Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati b. Kapasitas penyedia layanan Pemahaman tentang materi Persepsi tentang metode pelatihan Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil pelatihan c. Kepuasan Pasien Evaluasi ini juga mencoba untuk melihat dampak intervensi terhadap kepuasan pasien setelah dilakukannya intervensi. Aspek kepuasan pasien yang dilihat adalah prosedur layanan, kemudahan mengakses layanan, sikap penyedia layanan, kenyamanan dan kerahasian pasien ketika memanfaatkan layanan saat ini Pengumpulan Data Perubahan cakupan, dilihat dari data sekunder yang bersumber dari puskesmas dan rumah sakit. Data yang berasal dari puskesmas mengenai cakupan VCT, PITC dan IMS. Sedangkan data sekunder dari rumah sakit melingkupi data VCT, PITC dan CST. a. Tata kelola layanan dilihat dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan penanggung jawab unit layanan dan peserta yang mengikuti pelatihan. Yang menjadi informan dari Kota Yogyakarta adalah Penanggung jawab unit layanan : Kepala Puskesmas Gedong Tengen, 2 direktur rumah sakit (RS PKU Muhammadiyah dan RSUD Kota Yogyakarta). Peserta pelatihan : laboran RS PKU Muhammadiyah, konselor dan bidan Puskesmas Gedong Tengen, perawat RSUD Kota Yogyakarta. Sedangkan yang menjadi informan dari Kota Semarang adalah Penanggung jawab unit layanan : dokter penanggung jawab layanan HIV Puskesmas Poncol, dokter penanggung jawab layanan HIV RS Daerah Tugu Rejo, penanggung jawab Klinik TB BKPM. 68

88 Peserta pelatihan : dokter umum Puskesmas Poncol, paramedis Puskesmas Poncol, LSM Kalandara, dan paramedis Puskesmas Ngaliyan. b. Kepuasan pasien diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh informan untuk mengetahui kepuasan pelayanan. Untuk Kota Yogyakarta, lokasi pengambilan data ini dilakukan di CD Bethesda pada tanggal 5 Januari 2015 ( WIB) dengan informan sebanyak 7 orang pasien HIV positif, dan 1 orang pasien HIV positiv yang ditemui di rumahnya. Sedangkan untuk Kota Semarang, pengambilan data dilakukan di warung kopi Hans Kopi pada tanggal 15 Januari 2015 ( WIB) dengan informan yang terdiri dari 6 orang pasien HIV positif Hasil Evaluasi Sesuai dengan disain intervensi yang telah disebutkan di atas, aspek-aspek yang dilihat dari evaluasi ini adalah Perubahan cakupan 1) Cakupan layanan VCT pada fasyankes Primer Grafik 38: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta 69

89 Grafik 39: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta Jika dilihat dari cakupan layanan VCT di puskesmas periode selama intervensi (Agustus- Oktober 2014) dibandingkan sebelum intervensi tidak menunjukkan perbaikan. Hanya Puskesmas Tegal Rejo yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, karena disumbang oleh layanan mobile VCT. Kondisi serupa juga terjadi di Kota Semarang, dimana terjadi lonjakan pada bulan pertama periode selama intervensi (September) karena disumbang oleh layanan mobile VCT. Hal ini terjadi kemungkinan karena membaiknya kerjasama dengan LSM dan KDS. 2) Cakupan layanan PITC pada fasyankes primer Grafik 40: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Yogyakarta 70

90 PKM Halmahera PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September-November) Grafik 41: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Semarang Dari grafik di atas, kecenderungan layanan PITC di hampir semua puskesmas di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang selama intervensi, menunjukkan kenaikan pada bulan ke dua, tetapi kemudian menurun pada bulan ke 3, hanya Puskesmas Tegal Rejo dan Puskesmas Lebdosari yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi. Ada kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan ikut menyumbang kenaikan cakupan PITC karena pemahaman tentang PITC semakin baik. Angka kenaikan cakupan layanan PITC tersebut, disumbang oleh jumlah ibu hamil dan pasien IMS. 3) Cakupan layanan IMS pada fasyankes primer PKM Gedong Tengen PKM Tegal Rejo PKM Umbul Harjo PKM Mergangsan PKM Mantrijeron I Kota Yogyakarta Sebelum Intervensi (Mei - Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober) Total Grafik 42: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Yogyakarta 71

91 PKM Halmahera PKM Poncol PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September-November) Grafik 43: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Semarang Gambaran layanan IMS di seluruh puskesmas Kota Yogyakarta tampak tidak stabil, masih pasang surut pada periode selama intervensi, tetapi 4 Puskesmas di Kota Semarang menunjukan sedikit peningkatan. Hal ini kemungkinan karena layanan IMS sangat tergantung pada kunjungan aktif pasien maupun dukungan dari LSM dan KDS. Layanan IMS juga sangat tergantung pada kemampuan petugas laboratorium, dimana pada intervensi kali ini belum semua tenaga analis di puskesmas diikutkan, dan materi khusus untuk pemeriksaan laboratorium IMS belum diberikan. 4) Cakupan layanan PITC pada fasyankes sekunder Grafik 44: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta 72

92 Grafik 45: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang Pada cakupan layanan PITC, ada 3 rumah sakit di Kota Yogyakarta yang secara umum menunjukkan konsistensinya dalam layanan PITC, bahkan RSUD Kota Yogyakarta sudah menunjukkan peningkatan. Untuk Kota Semarang, 3 rumah sakit yaitu RSUD Kota Semarang, RS Tugurejo dan RS Panti Wiloso Citarum sama sekali tidak menunjukkan aktivitas layanan PITC meskipun sudah dilakukan intervensi. Dalam hal layanan PITC, memang sangat dibutuhkan komitmen dari pihak penentu kebijakan untuk mau melaksanakan PITC sebagai bagian dari layanan rutin di semua layanan spesialistik. Sebagai gambaran bahwa RS Panti Rapih dan RS Elisabeth menunjukkan cakupan yang cenderung tinggi karena ada kebijakan dari direktur rumah sakit, bahwa seluruh layanan harus menjalankan PITC, bukan sekedar untuk mengejar target, tetapi sebagai kewaspadaan untuk keamanan pasien maupun keamanan penyedia layanan. 5) Cakupan layanan VCT pada fasyankes sekunder RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah Total Sebelum Intervensi (Mei-Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober) 73

93 Grafik 46: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta RS Elisabeth RSUD Kota Semarang RS Tugurejo RS Panti Wiloso Citarum RS BKPM Total Sebelum Intervensi (Juni-Agustus) Selama Intervensi (September - November) Grafik 47: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan Kota Yogyakarta hanya diperoleh dari RS Panti Rapih dan RS PKU Muhammadiyah, karena 2 rumah sakit yang lain, yaitu RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta tidak memiliki data layanan VCT. Di RS Bethesda memiliki kecenderungan fokus pada layanan CST, sedangkan RSUD Kota Yogyakarta belum cukup lama melaksanakan layanan HIV, sehingga belum tampak kerjasama dengan pihak LSM maupun KDS. Tetapi untuk Kota Semarang, seluruh rumah sakit rujukan CST telah memiliki laporan layanan VCT. Dari gambar tampak bahwa layanan VCT di RS Kota Yogyakarta dan Kota Semarang mengalami penurunan baik sebelum maupun selama periode intervensi, terutama RS PKU Muhammadiyah yang sebenarnya merupakan rumah sakit rujukan LKB Kota Yogyakarta. Sedangkan Kota Semarang, RSUD Kota Semarang sebagai rumah sakit rujukan LKB Kota Semarang justru cenderung meningkat selama periode intervensi, meskipun masih sangat sedikit. Kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan mampu meningkatkan kerjasama antara RSUD Kota Semarang dengan pihak LSM sebagai partner dalam layanan LKB HIV-IMS. 74

94 6) Cakupan layanan CST pada fasyankes sekunder RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah RSUD Kota Yogyakarta Total Sebelum Intervensi (Mei - Juli) Selama Intervensi (Agustus-Oktober Grafik 48: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta RS Elisabeth RSUD Kota RS Tugurejo Sebelum Intervensi Semarang (Juni - Agustus) RS Panti Wiloso RS BKPM Total Selama Citarum Intervensi (September - November) Grafik 49: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Semarang Dilihat dari cakupan CST di seluruh rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta maupun Kota Semarang, menunjukkan kecenderungan peningkatan sejak 3 bulan sebelum intervensi sampai 3 bulan selama intervensi. Peningkatan ini mungkin karena adanya intervensi atau karena setiap bulan selalu ada pasien HIV yang masuk dalam kondisi harus diobati, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit rujukan. 75

95 Koordinasi (1) Manfaat pertemuan koordinasi pemangku kepentingan LKB Pertemuan koordinasi merupakan hal penting, karena menjadi media untuk transfer informasi dan memperkuat komitmen antar tim LKB. Manfaat pertemuan koordinasi ini, menurut salah satu pemangku kepentingan di Kota Yogyakarta, untuk membangkitkan kepemilikan dan komitmen bahwa LKB ini penting bagi para pelaku di unit-unit layanan. Koordinasi ini membangkitkan rasa bahwa LKB ini penting. Ini harus diulang terus untuk membangkitkan komitmen, permasalahannya selama ini bersifat internal. Yang dikirim berangkat orangnya ganti-ganti. Kesalahan kita juga pemilihan orang yang ditugaskan tidak tepat. Orang yang ditugaskan hanya mendengar tetapi tidak mendengarkan. Ada juga orang tahu tentang LKB tetapi tidak mau berkomentar. Tidak semua kepala Puskesmas kalau ada undangan (koordinasi) bisa hadir (TK, PKM GT, YK). Koordinasi yang dilakukan selama intervensi ini juga bermanfaat sebagai sosialisasi LKB sehingga informasi dapat terdiseminasi di kalangan yang lebih luas. Melalui forum koordinasi, sharing pengalaman serta capaian yang dimiliki oleh masing-masing layanan, memberikan motivasi untuk melakukan perbaikan layanan di masa mendatang. Lebih jauh manfaat dari pertemuan koordinasi adalah memungkinkan untuk melacak dan mengetahui kemajuan pasien yang dirujuk atau berpindah layanan....bkpm selama ini melakukan kolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kota, berkolaborasi dengan KPA, itu sudah kita lakukan, kemudian berkolaborasi dengan rumah sakit rujukan, misalnya dalam hal ini rumah sakit Kariadi, dan juga kolaborasi dengan temen-temen yang ada di layanan yang lain...karena apa? Kepentingan kita adalah melaksanakan laporan kasus... (U, RS BKPM). Hasil nyata yang tampak dari pertemuan koordinasi di kedua kota ini adalah munculnya kesepakatan mekanisme rujukan antar fasyankes yang dikuatkan dengan surat kesepakatan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota dan rumah sakit rujukan. Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyanakes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Perjanjian kerja sama ini dapat mendorong pelaksanaan rujukan balik yang belum berjalan secara optimal. Perjanjian kerjasama ini menjadi dokumen yang mengikat dalam waktu 5 76

96 tahun untuk Kota Semarang dan Kota Yogyakarta dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. (2) Persepsi tentang perubahan jam operasional layanan Menindaklanjuti salah satu kesepakatan yang diperoleh pada saat pertemuan koordinasi mengenai penambahan jam operasional layanan untuk HIV, maka RS PKU Muhammadiyah kemudian melakukan perubahan mendasar dalam jam layanan dari sebelumnya 2 kali seminggu menjadi 6 kali dalam 1 minggu. Perubahan ini berdampak pada akses layanan yang lebih luas bagi ODHA yang mengakses layanan di RS PKU Muhammadiyah. Untuk Kota Semarang, hampir semua fasyankes sekunder sudah memberikan pelayanan HIV dan IMS setiap hari kerja seperti pada jenis penyakit-penyakit umum lainnya, maka hal ini tidak menjadi bagian dari surat perjanjian kerjasama antara fasyankes sekunder dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang. (3) Persepsi tentang pemanfaatan sharing data Terkait dengan sharing data, karena hal ini menyangkut aspek kerahasiaan (konfidensialitas) yang harus tetap terjaga, maka asalkan sharing data tersebut dilakukan untuk mengembangkan kebijakan atau menunjang layanan pasien ODHA, maka sharing data boleh dilakukan. Sharing data yang selama ini sudah berjalan adalah pelaporan data cakupan layanan dari puskesmas atau rumah sakit kepada Dinas Kesehatan, baik di Kota Yogyakarta maupun Kota Semarang. Persepsi tentang pemanfaatan sharing data ini memang menjadi diskusi yang cukup menarik, khususnya dalam menjaga hak konfidensialitas pasien. Karena ada beberapa persepsi tentang apa yang dimaksud data/informasi, apakah informasi data pasien atau data terkait dengan cakupan layanan ODHA, data trends dan prevalensi HIV dan AIDS. Namun demikian yang terjadi selama ini adalah sharing data cakupan layanan dalam bentuk laporan. Mekanisme ini sudah diatur terkait dengan penjadwalan dan teknis pengiriman laporan. (4) Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyankes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Sebenarnya mekanisme rujukan ini sudah berjalan tetapi belum optimal seperti 77

97 proses rujukan balik yang tidak pernah dilakukan. Proses rujukan selama ini lebih bersifat searah dan berjenjang dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder atau tersier. Mekanisme rujukan sudah berjalan sebelum proses intervensi seperti yang terjadi di Kota Semarang. RS Tugu mendapatkan rujukan untuk melakukan CST ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) dari RS Elizabeth. Pengalaman di fasyankes primer di Yogyakarta ada yang memahami bahwa rujukan itu ada juga yang bersifat internal antar unit. Rujukan internal terjadi seperti ketika kami dari tenaga medis bukan dokter menemukan kasus HIV dan AIDS. Maka untuk proses pengobatan harus dirujuk ke Dokter. Karena perawat atau bidan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan CST seperti diatur dalam prosedur dan etik profesi (Y, PKM GT, YK). Lebih lanjut pengertian rujukan ini juga dapat terjadi antara fasyankes primer secara horisontal ketika menemukan kasus HIV dan AIDS tetapi tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan layanan VCT. Mekanisme rujukan ini dipandang dapat mempermudah akses dimana pasien memang mau dilayani seperti ditegaskan oleh Kapus Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta Kapasitas penyedia layanan (1) Pemahaman tentang materi Pemahaman materi pelatihan peningkatan kapasitas para pelaku LKB di kedua kota mengalami peningkatan seperti tampak dalam hasil pre dan post test di kedua kota yang dilakukan secara langsung pada saat pelatihan. Manfaat pengetahuan ini dirasakan oleh para tenaga medis dan non medis di kedua kota dalam pelayanan keseharian kepada pasien, karena materi yang diberikan berkaitan erat dengan tugas-tugas keseharian yang mereka lakukan. Dari peserta yang diwawancarai di Kota Yogyakarta dapat mengingat materi yang diberikan dan merasakan pentingnya peningkatan pengetahuan untuk kepercayaan diri dalam menghadapi pasien dengan pendidikan yang cukup tinggi seperti pernyatan berikut: Pelatihan yang dilakukan memberikan pengetahuan terkait dengan mekanisme jejaring LKB dan penyakit yang bermanfaat untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dalam memberikan layanan khususnya ketika menghadapi pasien yang berpendidikan tinggi. (P, PKM GT, YK). 78

98 Secara lebih khusus manfaat pengetahuan HIV/AIDS secara komprehensif ini terkait langsung dalam meningkatkan kepekaan dan mengurangi diskriminasi pada para tenaga kesehatan seperti yang diungkapkan oleh seorang tenaga kesehatan berikut: Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi kami. Pengetahuan HIV dan AIDS ternyata belum semua tenaga medis memiliki, seperti yang kami temui baru saja. Ada pasien kami yang ditolak oleh Rumah Sakit untuk memberikan layanan setelah mengetahui setatusnya dan kemudian mengembalikan ke kami. Perlakuan ini sangat diskriminatif. Sebagian dari tenaga kesehatan sendiri masih berperilaku yang diskriminatif kepada ODHA. (Y, PKM GT, YK). Materi tentang PITC dan Infeksi Oportunistik, semakin meningkatkan pengetahuan bagi peserta untuk lebih jeli dalam mengidentifikasi pasien dengan keluhan tertentu sehingga memiliki dasar yang kuat untuk merujuk pasien melakukan tes HIV. Materi yang dijelaskan oleh Pak Muchlis tentang PITC, yaitu dorongan test HIV dari petugas itu ya?.. sangat berpengaruh sekali... ada tambahan pengetahuan dan membantu untuk mendorong pasien melakukan test HIV.. ( S, PKM P, SMG). Peserta yang lain juga menjelaskan bahwa pelatihan yang dilakukan memberikan pemahaman tentang LKB :...sebetulnya kalau yang saya tangkap juga LKB sendiri kan sebetulnya itu bisa mendukung program HIV khususnya di kota Semarang. Karena dengan adanya LKB kita yang pelaksana program HIV itu juga terbantu yang sebelumnya nggak ada layanan tapi karena sudah terbentuk LKB jadi tersistem layanannya... (P, LSM, SMG) (2) Persepsi tentang metode pelatihan Permasalah yang paling disoroti terkait metode pelatihan adalah soal waktu yang sangat singkat seperti pelatihan di Kota Yogyakarta, hanya dilakukan selama 2 hari, sementara di Kota Semarang hanya 1 hari saja. Peserta melihat waktu untuk pelatihan terlalu singkat dengan bobot materi yang diberikan, metode lebih banyak menggunakan model ceramah dan diskusi. Tidak banyak menggunakan simulasi. Waktu yang singkat ini memang tidak terlepas dari kesepakatan antara tim peneliti dengan ketersediaan waktu para pemangku kepentingan, baik di Kota Semarang maupun di Kota Yogyakarta. Meski waktu yang disepakati singkat, berbeda dengan pelatihan LKB dari Dinas Kesehatan Provinsi yang lebih 79

99 panjang, akan tetapi cukup efektif memberikan penyegaran pengetahuan bagi pada nakes maupun non nakes yang menjadi peserta. Sebagian besar peserta adalah mereka yang sudah mengetahui LKB, meskipun ada juga yang baru pertama mendapatkan pelatihan. Singkatnya waktu pelatihan menjadikan beberapa peserta merasa bosan dan kurang memahami materi yang disampaikan, apalagi jika hanya paparan saja. (3) Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil pelatihan Pengalaman perubahan yang dirasakan setelah mengikuti pelatihan berupa pemanfaatan pengetahuan bagi pelayanan, seperti ketrampilan melakukan pemeriksaan VCT secara mandiri di Puskesmas Poncol dan Lebdosari di Kota Semarang. Awalnya kedua puskesmas ini belum dapat melakukan pemberian layanan VCT. Perubahan tersebut terjadi pada awal Bulan Oktober dan November 2014 setelah proses pelatihan pada bulan September Selama ini jika ada pasien yang memerlukan VCT, maka kemudian dirujuk ke fasyankes lain atau memangil SDM dari jejaring kerja. sekitar Bulan Oktober atau Nopember an,kami di Puskesmas Ngaliyan sudah dapat melakukan pemeriksaan VCT, dengan menggunakan reagen yang diperoleh dari dinas kesehatan. Sebelumnya kami melakukan VCT dengan bekerjasama dengan Lapas Kedung Pane dan Rumah Sakit Tugurejo. (S, PKM NG, SMG) Penjaringan terhadap pasien HIV menjadi lebih terbantu karena adanya penjelasan terkait dengan infeksi oportunistik. Pengetahuan penyakit yang mengiringi setelah orang terkena HIV menjadi materi yang penting bagi peserta sehingga kemampuan melakukan penjaringan dan penjangkauan lebih baik. Meskipun demikan, terdapat peserta yang memandang bahwa ada kesenjangan antara teori dengan implementasinya. Secara teori materi yang disampaikan sangat berguna, namun dalam implementasi belum tentu sesuai dengan teori yang disampaikan, disesuaikan dengan situasi di layanan maupun pasien. Semisal pasien dengan anamnesis berperilaku beresiko, belum tentu mau untuk dirujuk melakukan VCT. (S, PKM NG, SMG). Sementara untuk Kota Yogyakarta, bentuk perubahan pemanfaatan hasil pelatihan adalah pengetahuan dasar HIV/AIDS sebagai konselor untuk mendorong dan menyakinkan klien untuk mau melakukan tes VCT dengan lebih percaya diri. 80

100 Yang berubah dalam cara memberikan layanan adalah lebih berhati-hati terhadap penanganan sampel dan pasien IMS yang potensial terkena HIV dideteksi lebih awal (L, PKM MG, YK) Perubahan pada kualitas layanan Kesan yang ditangkap oleh pemanfaat layanan khususnya di Kota Semarang, tidak menunjukkan adanya perubahan yang cukup berarti. Layanan yang selama ini diakses oleh pasien dirasakan sangat membantu dan ramah. Dari sejumlah pasien yang ditemui sebagian menyatakan mayoritas mengatakan bahwa mereka mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan serta kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan. Hal ini didukung dengan kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan HIV. Akses terhadap obat jauh lebih dipermudah dengan adanya kegiatan kelompok dukungan yang difasilitasi oleh rumah sakit setiap bulannya. Tidak cukup banyak waktu yang diluangkan oleh pasien untuk mengakses layanan obat. Terkait dengan isu diskriminasi, informan menyatakan belum pernah ada perbedaan perlakuan dari fasyankes maupun dari tenaga kesehatan dalam pemberian layanan. Terkait dengan pembiayaan, obat HIV dapat diperoleh secara gratis, namun demikian untuk pengobatan tertentu yang berhubungan dengan HIV, masih berbayar tapi harganya masih terjangkau oleh pasien. Secara umum kesan terhadap kualitas layanan cukup berbeda meskipun tidak cukup signifikan. Di Kota Yogyakarta persoalan perlakuan yang berbeda dalam mengakses layanan dirasakan oleh pasien yang ditemui. Persoalan dengan banyaknya waktu yang harus dilakukan untuk mengakses layanan terutama dalam mendapatkan obat di farmasi. Penilaian atas masing-masing variabel oleh pasien yang ditemui di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang tampak pada tabel berikut : Tabel 3: Penilaian Kualitas Layanan No Variabel Kota 1 Menurut pandangan Anda, seberapa jauh kemudahan prosedur memperoleh pelayanan HIV dan IMS di sini? Semarang Yogyakarta

101 2 Seberapa jauh anda menilai apakah persyaratan untuk memperoleh pelayanan HIV dan IMS di layanan ini sesuai dengan informasi yang anda peroleh? 3 Seberapa jauh anda memperoleh kejelasan tentang pelayanan yang anda butuhkan dari fasilitas kesehatan ini? 4 Menurut pandangan Anda, seberapa cepat petugas dalam memberikan pelayanan kepada anda? 5 Menurut pandangan anda, seberapa membantu petugas dalam memberikan pelayanan kepada anda? 6 Menurut penilaian anda, bagaimana kemampuan petugas di fasilitas kesehatan ini dalam memberikan pelayanan HIV atau IMS kepada pasien anda? 7 Seberapa sesuai waktu yang disediakan untuk pelayanan HIV atau IMS di fasilitas kesehatan ini? 8 Menurut anda, apakah prosedur untuk memperoleh pelayanan untuk HIV atau IMS ini sama dengan prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lain? 9 Bagaimana pendapat Anda, bagaimana perlakuan petugas fasilitas kesehatan ini terhadap anda? 10 Menurut Anda, apakah untuk memperoleh layanan HIV atau IMS anda perlu membayar? 11 Menurut Anda, bagaimana penilaian anda tentang kenyamanan anda untuk memanfaatkan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan ini? 12 Bagaimana penilaian Anda tentang kerahasian anda sebagai pasien di fasilitas kesehatan ini? Rata-rata

102 Keterangan : 1 : Kurang Baik 2 : Cukup Baik 3 : Baik 4: Sangat Baik Penilaian pasien terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh fasyankes yang menjadi jaringan LKB mencakup 4 aspek yaitu (1) aksesibilitas yang dinilai melalui pertanyaan 1 dan 2; (2) kapasitas petugas yang dilihat melalui pertanyaan nomer 3,4, 5, 6, dan 9; (3) kepastian layanan yang diukur melalui pertanyaan nomer 7, 8 dan 10; (4) keamanan pasien yang dilihat melalui pertanyaan nomer 11 dan 12. Dari keempat dimensi kualitas layanan yang dinilai oleh pasien, dimensi kapasitas tenaga kesehatan di unit-unit layanan jaringan LKB memperoleh penilaian yang paling tinggi (antara baik hingga sangat baik) di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Di kedua kota, dimensi kepastian layanan memperoleh nilai yang paling rendah (cukup baik hingga baik) dibandingkan dengan dimensi-dimensi yang lain. Sementara untuk dimensi lain, pasien menilai pada tingkat kualitas baik. Meskipun demikian, secara rata-rata, pasien di Kota Semarang menilai kualitas layanan pada tingkat baik (3,2) sedangkan pasien di kota Yogyakarta menilai kualitas layanan pada tingkat cukup baik (2.9) Kesimpulan Evaluasi Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh efektivitas intervensi yang telah disepakati oleh fasyankes dalam jaringan LKB di Kota Semarang dan Kota Yogyakarta mampu berkontribusi terhadap pencapaian tujuan penelitian yaitu peningkatan hasil (outcome) layanan dalam masa intervensi. Hasil ini dilihat dari perbedaan antara cakupan layanan VCT, PITC dan IMS sebelum dan selama intervensi dilakukan. Hasil intervensi juga dilihat dari manfaat yang diperoleh dari koordinasi yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam jaringan LKB di kota. Seberapa jauh petugas kesehatan mampu meningkatkan pengetahuan tentang layanan yang disediakan dan seberapa juah mereka menerapkan pengetahuan tersebut dalam kegiatan pelayanan sehari-hari juga merupakan hasil layanan yang diukur dalam penelitian ini. Terakhir, dari sisi pasien, hasil intervensi juga dilihat melalui kepuasan pasien dalam mengakses layanan di fasyankes dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan empat indikator efektivitas intervensi seperti digambarkan di atas, hasil evaluasi intervensi di kedua kota menunjukkan bahwa: 83

103 1. Secara umum, fasyankes baik primer dan sekunder dalam jaringan LKB di kedua kota menunjukkan adanya peningkatan cakupan layanan VCT, PITC dan IMS dengan variasi perubahan cakupan di masing-masing fasyankes. 2. Koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan atau KPAD telah memberikan perubahan pada kebijakan hal ini penting dalam pelaksanaan layanan HIV dan IMS (mekanisme rujukan dan jam layanan) dan komitmen serta kepemilikan yang lebih besar dari fasyankes dan pemangku kepentingan LKB lainnya (KDS, LSM, kader) untuk mendukung dan mengintensifkan layanan VCT, PITC dan IMS di masing-masing fasyankes. Demikian pula, koordinasi antar penyedia layanan dan pemangku kepentingan dipersepsikan telah menjadi ruang untuk saling berbagi informasi untuk memastikan pelayanan yang berkelanjutan bagi pasien ODHA. 3. Peningkatan kapasitas petugas fasyankes dan pemangku kepentingan lain (KDS, LSM dan kader) dinilai telah memberikan penyegaran kembali dan penguatan atas pengetahuan yang mereka miliki dan telah menjadi rujukan di dalam memberikan pelayanan bahkan telah mendorong untuk menyediakan layanan yang selama ini belum diberikan (VCT di puskesmas) 4. Pasien yang telah memanfaatkan layanan kesehatan di fasyankes yang ada dalam jaringan LKB di kedua kota menilai bahwa layanan yang disediakan oleh fasyankes yang telah mereka kunjungi dalam 3 bulan terakhir memiliki kualitas yang relatif baik (antara cukup baik hingga baik). Penilaian ini didasarkan pada persepsi bahwa dalam memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan mereka relatif tidak menghadapi hambatan, dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas yang baik dan adanya perlindungan keamanan sebagai pasien (kenyamanan dan kerahasiaan). Sementara itu, dimensi yang masih tampak belum optimal, menurut penilaian pasien, adalah adanya kepastian layanan khususnya terkait dengan pembiayaan Pembahasan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dengan strategi LKB merupakan upaya untuk mewujudkan akses universal bagi masyarakat agar bisa mengakses layanan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan. Demikian pula, strategi ini diharapkan bisa menjamin deteksi dini terhadap penularan HIV agar bisa dilakukan pengobatan sedini 84

104 mungkin dan menghindarkan dari dampak penyakit yang lebih berat. Strategi ini menekankan pada upaya integrasi secara fungsional berbagai layanan HIV dan AIDS serta IMS yang disediakan baik oleh masyarakat maupun layanan kesehatan primer dan sekunder sehingga memungkinkan tersedianya layanan kesehatan paripurna yang komprehensif dan terpadu. LKB sudah dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia hingga saat ini sebagai strategi untuk memperkuat strategi yang telah berjalan. Meski demikian, belum ada pembelajaran sistematis yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan penerapan strategi ini di tingkat lapangan. Penelitian operasional yang dilaksanakan di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang diharapkan bisa mengungkapkan berbagai faktor yang menjadi kendala dan pendukung implementasi dari strategi ini sehingga hasilnya bisa digunakan untuk memperkuat pelaksanaan strategi LKB di masa depan. Hasil baseline assessment yang dilakukan pada tahap awal penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam pelaksanaan LKB di kedua kota adalah ketidakjelasan disain integrasi strategi LKB ke dalam pelayanan yang tersedia, ketidaksiapan faskes yang ditunjuk sebagai simpul-simpul jaringan LKB (puskesmas dan rumah sakit rujukan) khususnya tenaga kesehatannya dan lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan di tingkat kota seperti LSM, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), Dinas Kesehatan, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ketiga permasalahan dasar ini pada akhirnya dinilai menjadi penyebab belum optimalnya layanan HIV dan AIDS di masing-masing kota. Hal ini tampak pada rendahnya cakupan untuk layanan VCT, PITC, pengobatan dan perawatan IMS dan layanan terapi ART. Berbagai faktor yang menghambat efektivitas pelaksanaan strategi LKB tersebut yang kemudian menjadi fokus intervensi dalam penelitian ini. Asumsi dasar yang digunakan dalam pengembangan intervensi adalah bahwa efektivitas penyediaan layanan ini sangat tergantung kerja sama dalam bentuk rujukan atau pendataan klien antar penyedia layanan yang berbeda baik KDS, LSM, puskesmas maupun rumah sakit rujukan. Demikian pula, kerja sama ini hanya akan dimungkinkan jika otoritas kesehatan di wilayah itu yaitu Dinas Kesehatan dan koordinator penanggulangan di wilayah setempat Komisi Penanggulangan 85

105 AIDS Daerah ada kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan kerja sama lintas lembaga penyedia layanan. Kemauan dan kemampuan dari dinas kesehatan dan KPAD sebagai penggerak upaya kesehatan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh kewenangan yang dimilikinya dalam pelaksanaan strategi ini mengingat inisiatif dari penerapan strategi LKB ini berasal dari Kementerian Kesehatan. Seberapa besar sumber daya (pendanaan, sumber daya manusia, metode) yang dialokasikan dan seberapa jauh pemahaman dinas kesehatan dan KPAD terhadap strategi LKB ini menjadi penting untuk melihat kewenangan mereka untuk mengintegrasikan berbagai layanan yang ada di wilayahnya untuk mendukung pelaksanaan strategi LKB. Adanya kewenangan yang jelas tentang implementasi di tingkat lapangan berimplikasi pada tingkat kepemilikan pelaksana daerah (Dinkes atau KPAD) atas program atau strategi yang dikembangkan. Dengan demikian, asumsi yang dikembangkan dalam intervensi ini adalah pada upaya untuk meningkatkan keterlibatan (engagement) berbagai simpul jaringan LKB di suatu daerah melalui kegiatan yang digagas melalui otoritas kesehatan daerah untuk meningkatkan kepemilikan (ownership) berbagai simpul jaringan layanan HIV dan AIDS di daerah terhadap pelaksanaan strategi LKB (Coutinho et al., 2012; Mugavero, Davila, Nevin, & Giordano, 2010; Mugavero, Norton, & Saag, 2011). Sebenarnya pelibatan (engagement) semua pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan LKB pada dasarnya menjadi inti strategi penerapan LKB. Secara teknis pedoman pelaksanaan telah pula mengidentifikasi peran para pemangku kepentingan yang terlibat dalam LKB di kabupaten/kota, yakni KPA kota/kabupaten, dinkes kota/kab, penanggung jawab program di dinkes (TB, Kespro, KIA, P2M), kepala rumah sakit, puskesmas, klinik layanan HIV, LSM populasi kunci, LSM HIV, KDS ODHA, tokoh masyarakat, dinas terkait lainnya. Menyikapi masih lemahnya isu pelibatan pemangku kepentingan di dua wilayah ini maka intervensi dalam penelitian ini telah diarahkan untuk mengaktifkan mekanisme koordinasi kurang berjalan selama ini sebagai media untuk mengungkit pelibatan yang lebih besar terhadap penerapan LKB ini. Sedangkan untuk menyikapi keterlibatan yang belum optimal dari staf layanan di fasyankes, LSM/KDS atau kader kesehatan dilakukan melalui pelatihan bagi mereka dengan materi yang berfokus pada penguatan informasi dan teknis pelayanan AIDS 86

106 dan IMS. Selain itu materi tentang strategi LKB juga diberikan dengan menitikberatkan posisi dan mereka dalam stategi tersebut. Dalam pertemuan koordinasi yang dikembangkan dalam intervensi ini, para peserta dimungkinkan untuk melihat kembali konsep LKB dan menentukan peran dan posisinya dalam tahapan pelayanan HIV dengan mempertimbangkan keberadaan pemangku kepentingan yang lain. Tercipta komunikasi yang substansial tentang LKB diantara peserta bahwa LKB merupakan sebuah strategi dari pada sebuah program/projek baru yang membutuhkan sumber daya dan usaha tambahan untuk melaksanakan. Bagi para pemangku kepentingan, pertemuan koordinasi telah secara jelas mendefinisikan peran mereka masingmasing di dalam jejaring kerja/dalam layanan yang berkelanjutan bagi orang yang terdampak dengan HIV dan AIDS. Peran dan posisi yang jelas inilah yang telah memunculkan kesadaran dan kemauan yang lebih besar untuk melaksanakan strategi ini di masing-masing wilayah. Kesadaran dan kemauan ini direfleksikan dengan kesediaan dari Dinas Kesehatan dan KPAD untuk memfasilitasi pertemuan koordinasi dengan pendanaan yang mereka miliki. Demikian pula pada pelibatan fasilitas kesehatan sekunder, kemauan dan keinginan dari Dinas dan KPAD ini juga tampak dalam upayanya untuk mengundang lebih banyak rumah sakit baik swasta dan daerah untuk menjadi simpul-simpul yang memperkuat jejaring LKB di daerah tersebut. Kemauaan dan kesadaran ini pula yang telah mendorong adanya perjanjian kerjasama antar dinas kesehatan dan rumah sakit terkait rujukan, sharing informasi/data dan sumber daya sehingga akan berpengaruh secara langsung pada layanan yang diberikan kepada mereka yang terdampak HIV dan AIDS yaitu meningkatnya cakupan layananan VCT, PITC dan IMS pada sejumlah layanan selama masa penguatan intervensi di kedua kota. Pelibatan langsung staf-staf di fasyankes primer maupun sekunder di dalam pelatihan yang topiknya dikembangkan bersama oleh para pemangku kepentingan juga telah mendorong para staf untuk memahami posisi mereka di dalam memberikan pelayanan HIV dan AIDS melalui strategi LKB. Hal ini misalnya bisa dilihat pada upaya beberapa puskesmas untuk membuka layanan VCT dimana yang selama ini belum dilakukan walaupun telah memiliki konselor dan kerja sama yang lebih kuat khususnya dalam hal rujukan dari atau ke 87

107 pendamping ODHA (KDS) ataupun petugas lapangan dari LSM yang bergerak di bidang pencegahan. Sementara itu keterlibatan staf LSM, KDS dan kader kesehatan dalam LKB dalam pelatihan telah memperkuat upaya promosi dan advokasi ke berbagai pihak baik kepada populasi kunci maupun pemangku kepentingan. Hasil pelatihan yang dirasakan oleh para staf adalah meningkatnya pemahaman mereka tentang LKB, kemauan untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada pasien, kemauan untuk bekerja sama dalam rujukan antar fasyankes maupun dengan LSM/KDS sehingga cakupan layanan HIV dan AIDS meningkat. Perubahan layanan di tingkat fasyankes ini pun juga dirasakan oleh para pasien dimana secara umum mereka menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh fasyankes dinilai pada tingkat baik melalui survei kepuasan pasien. Pelibatan yang lebih besar baik pada tingkat unit maupun staf layanan terbukti telah meningkatkan kepemilikan program oleh daerah. Sebelum intervensi (penelitian) ini dilakukan, persepsi bahwa LKB adalah program baru dari Kementerian Kesehatan sangat kuat karena disain dan setting implementasi LKB di suatu daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Peran daerah hanya sekedar sebagai pelaksana yang tidak mengetahui bagaimana LKB ini dikonsepsikan sebagai strategi penguatan layanan AIDS dan IMS. Ketidakpahaman tentang konsep LKB di tingkat daerah telah menyebabkan peran yang pasif dari daerah terhadap program-program pusat. Selama sebuah kegiatan yang didisain dalam LKB maka kegiatan itu dilaksanakan dan ada laporannya. Sebaliknya jika sebuah kegiatan yang penting dilakukan (misalnya koordinasi, pengembangan kapasitas, pengembangan kesepakatan antar fasyankes dan rujukan) tidak ada dananya maka kegiatan penting tersebut tidak dilakukan dan otomatis tidak akan tersedia datanya. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang lazim dalam sebuah program yang bersifat vertikal (dirancang dan dikembangkan di tingkat pusat (Atun,A.R., Bennett, S., and Duran, A. 2008, Kennedy and IJ Selmueden, 2008, Atun, A.R., and Kazatchkine, M ). Oleh karena kepemilikan yang sangat terbatas tersebut maka strategi LKB yang pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat layanan-layanan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri agar menjadi lebih terintegrasi tidak bisa diimplementasikan secara efektif. Hasil baseline assessment yang dilakukan dalam penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan daerah hanya sebatas prosedural dalam pelaksanaan program nasional karena daerah 88

108 ditunjuk untuk melaksanakan program berdasarkan pedoman LKB yang telah ditentukan. Kota/kabupaten yang ditunjuk sebagai pelaksana LKB belum tentu memahami bagaimana strategi LKB harus dilakukan secara empirik karena pedoman yang dikembangkan tidak melibatkan mereka secara aktif dalam penyusunannya. Pedoman yang menjadi acuan implementasi LKB pada dasarnya berangkat dari asumsi-asumsi (integrasi, komprehensif, berkelanjutan) yang bersifat menyederhanakan kompleksitas kenyataan bentuk dan fungsi layanan di tingkat lapangan. Demikian pula, model LKB sendiri belum diujicoba sebelumnya. Meski unit-unit yang ada dalam jejaring LKB di kedua kota telah diberi pelatihan, tetapi tampaknya pelatihan ini tidak secara substantif memberikan pemahaman bahwa LKB adalah sebuah strategi. Apa yang dipahami oleh peserta adalah sebuah program baru yang dikembangkan oleh program nasional sehingga secara mekanis mereka menganggap bahwa LKB akan memberikan tambahan finansial karena akan memberikan tambahan kerja di dalam pelayanan yang diberikan kepada klien atau pasien yang sama. Kenyataan bahwa implementasi ini tidak memberikan insentif seperti yang diharapkan mengakibatkan strategi ini tidak bisa dilakukan secara optimal di masing-masing unit. Hal ini misalnya tampak dengan cakupan layanan mereka yang relatif rendah. Cakupan yang kurang optimal ini pun sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai kontribusi dari penerapan strategi LKB karena unit-unit yang terpilih sebagai unit LKB adalah unit-unit yang didanai oleh Global Fund selama ini sehingga ada atau tidaknya LKB mereka harus memiliki cakupan layanan tertentu seperti yang telah ditentukan oleh dinas kesehatan sebagai sub recipient dari GF. Harapannya, penerapan strategi LKB ini bisa memperkuat cakupan di masing-masing unit layanan. Strategi LKB ini bisa memberikan kontribusi yang besar untuk meningkatkan secara kuantitatif maupun kualitatif penanggulangan AIDS di daerah jika daerah bisa menjadikan penanggulangan AIDS sebagai bagian dari upaya kesehatan yang wajib dilakukan di tingkat daerah seperti yang diamanatkan dalam PP No 38 tahun Kenyataan bahwa pemerintah kota masih sebagai pelaksana semata tanpa ada kewenangan yang diberikan untuk mengelola sumber daya yang diperlukan secara mencukupi membuat kepemilikan pemerintah daerah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah menjadi sangat 89

109 lemah. Akibatnya pemerintah daerah kemudian bersifat pasif menunggu arahan dari pusat. Kalaupun ada inisisasi daerah, hanya sebatas memberikan rekomendasi fasilitas layanan yang dikembangkan sebagai simpul LKB, Intervensi dalam penelitian ini telah memberikan pelajaran bahwa keterlibatan semua pihak di dalam penanggulangan HIV dan AIDS baik di daerah maupun di pusat merupakan prasyarat utama agar implementasi strategi dan program penanggulangan HIV dan AIDS bisa berhasil dengan optimal. Pelibatan ini tidak semata hanya pelibatan yang bersifat dipermukaan semata seperti hadir dalam pertemuan-pertemuan atau menjadi pusat-pusat layanan semata tetapi juga harus memperhatikan kapasitas dari pihak-pihak yang ingin dilibatkan untuk bisa berkontribusi secara bermakna. Pertemuan koordinasi dan pelatihan yang bersifat partisipatif dan responsif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini telah menegaskan pentingnya keterlibatan yang bermakna dari berbagai pihak bisa meningkatkan cakupan, akses dan kualitas layanan khususnya terkait dengan VCT, PITC dan IMS. Demikian pula, penelitian ini juga telah menunjukkan bagaimana kepemilikan daerah atas sebuah inisiatif kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat menjadi penentu keberhasilan dari inisiatif karena pada dasarnya daerah lah yang menjadi penanggung jawab utama atas pembangunan di sektor kesehatan. 90

110 V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana pelaksanaan implementasi strategi LKB di Kota Yogyakarta dan Semarang,.(2) apa alternatif pemecahan masalah yang potensial dan menentukan solusi yang bisa dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut, (3) seberapa jauh efektivitas alternatif solusi yang dipilih untuk menyikapi permasalahan atau hambatan dalam layanan pengobatan melalui uji coba di tingkat layanan. Melalui serangkaian kegiatan penelitian yang telah dilakukan selama delapan bulan maka kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Permasalahan utama dalam implementasi strategi LKB di Kota Semarang dan Yogyakarta adalah permasalahan pelibatan (engagement) pemangku kepentingan yang belum optimal dan kepemilikian (ownership) program yang masih terbatas. Permasalahan ini muncul karena prosedur pengobatan LKB dalam implementasinya membutuhkan komitmen dan keterlibatan yang jelas dari simpul-simpul jaringan LKB agar strategi ini bisa berjalan dengan optimal. Pada sisi yang lain implementasi strategi ini menuntut rasa kepemilikan yang tinggi terhadap program karena tanggung jawab untuk pembangunan kesehatan (termasuk penanggulangan AIDS) berada di tingkat daerah. Akibat dua permasalahan dasar ini maka implementasi strategi LKB belum bisa menunjukkan hasil seperti yang diharapkan khususnya untuk meningkatkan cakupan, aksesibiltas dan kualitas layanan di kedua kota tersebut. 2. Berdasarkan konsultasi dengan pemangku kepentingan, disepakati bahwa alternatif yang dikembangkan untuk menyikapi kedua permasalahan dasar tersebut adalah (1) memperkuat sistem koordinasi di tingkat kota yang melibatkan berbagai simpul utama dalam jaringan LKB baik fasyankes primer dan sekunder, LSM, KDS, kader, dinas kesehatan dan KPAD. (2) pelatihan staf di unit layanan baik puskesmas, LSM, KDS dan kader untuk memperkuat kapasitas dalam memberikan informasi dan layanan kepada kelompok yang terdampak oleh HIV dan AIDS. Kedua alternatif penguatan intervensi ini dipilih dengan mempertimbangkan bahwa strategi LKB pada dasarnya merupakan 91

111 upaya untuk memperkuat simpul-simpul dari jejaring layanan yang berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga masalah yang muncul perlu disikapi dengan memperkuat kerja sama diantara mereka yang difasilitasi melalui sistem koordinasi yang kuat. Sementara pada tingat individual staf yang ada di unit-unit tersebut perlu juga diperkuat kapasitasnya agar mampu menyesuaikan dengan berbagai kesepakatan yang muncul dalam koordinasi yang dilakukan pada tingkat unit. Kedua alternatif penguatan intervensi ini jika dilakukan dengan konsisten maka bisa menunjukkan seberapa jauh kepemilikan (kepedulian,kemauan,aksi) dari pemerintah daerah terhadap implementasi strategi ini. 3. Dua alternatif penguatan pelaksanaan strategi LKB di kedua kota secara secara umum telah mampu memperkuat implementasi strategi LKB dalam meningkatkan cakupan, aksesibilitas dan kualitas layanan seperti yang telah ditunjukkan dalam hasil evaluasi pelaksanaan kegiatan alternatif tersebut dimana: a. Telah terjadi peningkatan cakupan layanan VCT, PITC dan IMS di fasyankes dengan variasi perubahan cakupan di masing-masing fasyankes. b. Telah terjadi perubahan pada kebijakan dan hal penting dalam pelaksanaan layanan HIV dan IMS (mekanisme rujukan dan jam layanan) dan komitmen serta kepemilikan yang lebih besar dari fasyankes dan pemangku kepentingan LKB lainnya (KDS, LSM, kader) untuk mendukung dan mengintensifkan layanan VCT, PITC dan IMS di masing-masing fasyankes. c. Telah terjadi peningkatan kapasitas petugas fasyankes dan pemangku kepentingan lain (KDS, LSM dan kader) karena pelatihan yang telah mereka peroleh dinilai telah memberikan penyegaran kembali dan penguatan atas pengetahuan yang mereka miliki dan telah menjadi rujukan di dalam memberikan pelayanan bahkan telah mendorong untuk menyediakan layanan yang selama ini belum diberikan (VCT di puskesmas) d. Pasien yang telah memanfaatkan layanan kesehatan di fasyankes yang ada dalam jaringan LKB di kedua kota menilai bahwa layanan yang disediakan oleh fasyankes yang telah mereka kunjungi dalam 3 bulan terakhir memiliki kualitas yang relatif baik 92

112 Rekomendasi 1. Kementerian Kesehatan perlu mendorong dan mengembangkan komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan LKB sebagai strategi untuk memperkuat prosedur promosi, pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV dan AIDS dengan memberikan penekanan yang lebih besar pada aspek pelibatan simpul-simpul layanan dari jaringan pelayanan yang berkesinambungan dan komprehensif. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong kepada daerah (dinas kesehatan dan KPAD) untuk mengembangkan sistem koordinasi yang lebih kuat yang tidak hanya berfokus pada intervensi tertentu saja tetapi harus mencakup semua layanan yang ada di dalam continuum of care agar bisa menunjukkan keterkaitan, posisi dan peran masing-masing pihak dalam penanggulangan AIDS di daerah itu. 2. Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS perlu secara khusus memperhatikan peran daerah dalam desentralisasi kesehatan dimana tanggung jawab pembangunan kesehatan ada di tingkat daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus bersedia melepaskan wewenang administratif dalam penanggulangan AIDS (perencanaan, pembiayaan, pengelolaan SDM/logistif dan informasi strategis) untuk diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai program daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan pada daerah untuk menentukan profil epidemik dan menentukan respon yang diperlukan dengan mengacu pada rencana program AIDS nasional yang telah ditentukan oleh KPAN termasuk Kemenkes. 3. Secara teknis berberapa hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi strategi LKB adalah sebagai berikut: a. Pada tingkat layanan, pelaksanaan koordinasi tidak hanya dalam bentuk pertemuan tapi lebih pada adanya komunikasi aktif antar layanan agar terjadi sharing sumber daya, sumber data dan keterampilan di tingkat pelayanan. Komunikasi aktif ini membuka ruang agar layanan dapat menyampaikan kendala yang dihadapi, kebutuhan yang diperlukan serta memungkinkan layanan melakukan inovasi-inovasi program. 93

113 b. Dinas kesehatan sebagai focal point LKB perlu mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan LKB dalam pertemuan koordinasi antar bidang dalam dinas kesehatan untuk sinkronisasi program. c. Dinas kesehatan dan KPAD perlu secara terbuka melakukan sosialisasi hasil kesepakatan koordinasi yang dituangkan dalam kesepakatan dinas kesehatan dan rumah sakit dalam upaya penangulangan HIV dan AIDS sebuah wilayah. d. Dinas kesehatan, KPAD dan rumah sakit perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terhadap implementasi strategi LKB di wilayahnya untuk melihat perkembangan atau hambatan dalam melaksanakan kerja sama diantara para pemangku kepentingan. 94

114 DAFTAR PUSTAKA Atun, RA, Bennett,S., Duran, A. (2008), When do vertical (stand-alone) programmes have a place in health systems?, WHO, Geneve. Atun, R., and Bataringaya, J., (2011) Building a Durable Response to HIV/AIDS: Implications for Health Systems. J Acquir Immune Defic Syndr! Volume 57, Supplement 2, August 1, 2011 Atun R1, Kazatchkine M Promoting country ownership and stewardship of health programs: The global fund experience. J Acquir Immune Defic Syndr Nov;52 Suppl1:S67-8.doi: /QAI.0b013e3181bbcd58.in Fisher, A.A. John E. Laing, John E. Stoeckel, John W. Townsend (2002). Designing HIV/AIDS intervention studies: an operations research handbook, Population Council Kennedy, A,. and IJsselmuiden, C Country ownership and vertical programmes in health, health information and health research. Bulletin of the World Health Organization Past issues Volume 86, Number 8, August 2008, in di akses Global Fund (2010), Framework for Operations and Implementation Research in Health and Disease Control Programs, Geneve. Kemkes (2012), Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan Population Council, (2000) Strengthening Reproductive Health Services in Africa through Operations Research. Africa Operations Research and Technical Assistance Project II. Funded by the U.S. Agency for International Development (A.I.D), Office of Population Contract No. CCC-3030-C Royston, G (2011), Meeting global health challenges through operational research and management science, Bull World Health Organ, 89: , doi: /blt Mugavero MJ1, Davila JA, Nevin CR, Giordano TP, From access to engagement: measuring retention in outpatient HIV clinical care. AIDS Patient Care STDS Oct;24(10): doi: /apc UNAIDS/WHO, 2011, The Treatment 2.0 Framework of Action: Catalysing the next phase of Treatment, Care and Support. Mugavero, Norton, & Saag, Monitoring HIV Care in the United States:: Indicators and Data Systems. Washington DC : National Academic Press. 95

115 96

116 LAMPIRAN

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

131

132

133

134 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

135 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

136 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

137 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

138 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

139 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

140 PASAL 8 PENYELESAIAN PERSELISIHAN ( 1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mu syawa rah;, ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL 9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Peng ad i la n Negeri Serna rang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan hukum yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak d ita ndata ng an i ; PIHAK PERTAMA MARS (/J dr. WIDOYONO, MPH. J

141 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

142 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

143 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

144 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

145 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

146 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

147 PASALS PENYELESAIAN PERSELISIHAN (1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mus yaw a rah i ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL 9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Peng ad i la n N ege ri Semarang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesat~an tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan hukum yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak d ita n data n g an i ; , PIHAK PERTAMA MARS. rj1 dr. WIDOYONO, MPH.J / RIKA PUNIAWATI

148 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

149 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

150 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

151 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

152 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

153 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

154 PASAL8 PENYELESAIAN PERSELISIHAN (1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mu syawa rah ;, ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Peng ad ilan Negeri Serna rang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan hukum yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak d itand ata ng an i ; ~ PIHAK PERTAMA 2~0YWO. q dr. MPH. J.

155 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

156 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

157 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

158 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

159 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

160 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

161 () dr.~. MPH. J PASAL 8 PENYELESAIAN PERSELISIHAN (1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mus ya wa rah; ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL 9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Peng ad i I an Neg e ri Semarang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan huk um yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak di tan data n g an i; PIHAK PERTAMA R(RIKA PUNIAWATI

162 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

163 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

164 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

165 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

166 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

167 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

168 PASAL 8 PENYELESAIAN PERSELISIHAN (1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mus yaw a rah; ~ ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Peng ad ilan Neg eri Serna rang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan hukum yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak d ita n data n g an i ; PIHAK PERTAMA (JI dr. WIDOYONO,

169 PERJANJIAN KERJASAMA NOMOR : '?L/O I /111al. A TENTANG MEKANISME SISTEM RUJUKAN, SHARING SUMBER DAYA DAN DATA LAYANAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN (LKB) HUMAN IMMUNODEFICIENCY SYNDROM /ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (HIV/AIDS) DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI KOTA SEMARANG Pada hari ini Senin tanggal Satu bulan Desember Tahun Dua Ribu Empat Belas, yang tertanda tangan dibawah ini masing-masing : I. Dokter Widoyono, Magister Of Public Health Jabatan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam jabatan struktural eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berkedudukan di Semarang, Jalan Pandanaran nomor 79 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya sebagaimana tersebut di atas dan selanjutnya disebut F>ll-iAi< F>E:Rl"AIVIA II. Dokter Bambang Wibowo, Spesialis Obstetri Ginekologi (Konsultan), Magister Administrasi Rumah Sakit Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1343/MENKES/SKNll/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang Pengangkatan, Pemindahan, Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural di Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berkedudukan di Jalan Dokter Sutomo Nomor 16 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Umum Dokter Ka riad i Semarang; Dokter Endang Agustinar Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/307 /2009 tentang Pengangkatan/Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, berkedudukan di Jalan Raya Tugurejo Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS U D Tug u re j o, Semarang; Dokter Susi Herawati Magister Kesehatan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berdasarkan keputusan Walikota Semarang Nomor 821.2/5/2012 tanggal 21 September 2012 tentang Pemberhentian, Pengangkatan/ Penunjukkan dalam Jabatan Struktural Eselon II di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, berk.edudukan di Jalan Fatmawati Nomor 1 Semarang;

170 Dokter Susetyo, Spesialis Anak Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarangberdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sebagai Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Periode tahun Nomor Ps/PU.RS.PWCNl/2012 tanggal 30 Juni 2012, berkedudukan di Jalan Citarum Nomor 98 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama RS Panti Wilasa C ita rum Semarang; Dokter E. Nindyawan W.A, Spesialis Bedah, FINACS Direktur Utama Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang berdasarkan Surat Keputusan Direktur Nomor 020/Dirut.RSE/YRSE-Pers/Xll/13 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth terhitung mulai tanggal 1 Januari Desember 2016; Dokter Masyud i A. M. Mag ister Kesehatan Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Yayasan Sadan Wakaf Sultan Agung Nomor 018/SK/YBWSA/11/2014 tentang Pengangkatan Kembali Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung masa bakti Tahun berkedudukan di Jalan Raya Kaligawe Kilometer 4 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Rumah Sakit Islam Sultan Ag u n g Semarang; D okte r A.A. Sg. Sri R i ka Pun i awa ti : Ke pa la Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 821.2/262/ 2014, tanggal 10 Maret 2014 tentang Pengangkatan Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang, berkedudukan di Jalan KH Ahmad Dahlan Namer 39 Semarang, dalam hal ini bertindak dalam jabatan tersebut di atas untuk dan atas nama Salai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah Semarang; - Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. KEDUA SELAH PIHAK bersepakat untuk mer:igadakan Perjanjian Kerjasama Mekanisme Sistem Rujukan Pasien dan sharing sumberdaya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS (lnfeksi Menular Seksual) di Kata Semarang yang mendasarkan kepada : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Jndonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sadan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/MENKES/PER/111/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit

171 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; (lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22); 8. Peraturan Gubernur Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 9. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. PASAL 1 PENGERTIAN UMUM 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. 2. Pelayanan vertikal adalah pelayanan rujukan berjenjang yang dimulai dari kader/lsm (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) primer, dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder, dari fasyankes sekunder ke fasyankes tersier atau sebaliknya. 3. Pelayanan horizontal adalah layananan antar fasyankes primer atau antar fasyankes sekunder. 4. Pelayanan rujukan adalah rujukan rawat jalan dan rawat inap untuk pasien HIV/AIDS dan atau IMS yang dilakukan berdasarkan indikasi medis disertai dengan surat rujukan. 5. Pelayanan rujukan balik adalah merujuk balik pasien dari Fasyankes Tersier ke Fasyankes Sekunder, Fasyankes Sekunder ke Fasyankes Primer, dari Fasyankes Primer ke kader/lsm 6. Sharing sumber daya adalah saling memberikan dan atau meminta sumber daya logistik 7. Sumber daya logistik adalah alat dan atau bahan yang diperlukan baik untuk diagnosis maupun pengobatan "HIV dan IMS, yang meliputi : a) Anti Retroviral (ARV) adalah peng obatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. b) Reagen test HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) c) Reagen diagnostik IMS ( lnfeksi Menular Seksual) 8. Mekanisme sistem Rujukan Pengetahuan dan Ketrampilan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan dan/atau ketrampilan SOM pengelola program layanan HIV/AIDS dan IMS dengan cara magang, menyelenggarakan pelatihan atau alih ilmu/tehnologi dari fasyankes yang memiliki ilmu/ketrampilan/sarana yang lebih baik ke fasyankes lain yang masih belum mencukupi/kurang. 9. Sharing dan akses data adalah saling memberikan dan atau meminta data terkait layanan, cakupan, dan logistic untuk informasi medis pasien terkait HIV/AIDS dan atau IMS. 10. Data layanan komprehensif berkesinambungan adalah : a) Jumlah VCT ( Voluntary counseling Testing) b) Jumlah PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) c) Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) d) Jumlah kasus IMS ( lnfeksi Menular Seksual) e) Jumlah pasien yang mengakses ARV(Anti Retroviral) f) Jumlah Kasus 10 (lnfeksi Opportunistik) g) Jumlah Kasus loss to follow up/ retensi h) Jumlah pasien yang dirujuk dari layanan primer

172 i) Jumlah dampingan LSM yang dirujuk.ke fasyankes sekunder. j) Jumlah pasien yang dirujuk balik. k) Jumlah penerimaan dan pemakaian ARV, Obat 10, Reagen test HIV. 11. Fasilitas layanan tingkat pertama (primer) adalah peraktik perorangan dokter/dokter gigi dan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tingkat pertama, yakitu; dokter keluarga, klinik, puskesmas, dan jejaring Puskesmas meliputi Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, Pos Kesehatan Desa Poskesdes), dan Pondok bersalin Desa (Polindes) 12. Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masy arakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. 13. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan atau bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). 14. Dokter keluarga adalah dokter praktek um um yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi ketrampilan dan keilmuan yang mapan 15. Fasyankes sekunder adalah Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Sub Spesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, dan Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. 16. Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) strata kedua di bic;iang kesehatan paru. 17. Fasyankes tersier adalah Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayananmedik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis. PASAL2 MAKSUD DAN TUJUAN (1) Maksud perjanjian ini adalah melaksanakan dan/atau menyelenggarakan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Semarang dan Rumah Sakit serta BKPM dalam rangka memberikan layanan rujukan, sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS yang ad.a di Kota Semarang;

173 (2) Tujuan Kesepakatan ini adalah untu~ meningkatkan kinerja yakni; akses, cakupan, kemerataan dan keberlanjutan Layananan Komprehensif HIV IMS Berkesinambungan di Rumah Sakit, BKPM dan Puskesmas di Kota Semarang PASAL 3 RUANG LINGKUP KERJASAMA Ruang lingkup kerja sama meliputi: 1. Mekanisme Sistem Rujukan Pasien 2. Mekanisme Sistem Rujukan Pengetahuan 3. Sharing sumber daya dan data terkait HIV/AIDS dan IMS PASAL4 HAK DAN KEWAJIBAN Dalam menjalankan perjanjian ini kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: 1. HAK PIHAK PERTAMA a. Melakukan verifikasi atas mekanisme layanan pasien HIV/AIDS dan/atau IMS pada PIHAK KEDUA b. Memperoleh laporan layanan dan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS dari PIHAK KEDUA c. Memberikan sertifikasi dan atau piagam penghargaan pada PIHAK KEDUA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien ODHA 2. HAK PIHAK KEDUA a. Mengikuti penyelenggaraan peningkatan kapasitas SOM yang dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA b. Memperoleh sertifikasi dan atau piagam penghargaan dari PIHAK PERTAMA sebagai rumah sakit yang ramah layanan pasien HIV/AIDS dan IMS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA a. Memfasilitasi.PIHAK KEDUA untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS dan atau IMS sesuai dengan prosedur yang berlaku b. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi sistem rujukan pasien HIV/AIDS dan IMS yang diberikan oleh PIHAK KEDUA 4. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA a. Merencanakan dan Melaksanakan sistem rujukan, sharing dan akses sumber daya terkait layanan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS yang berasal dari Puskesmas b. Memberikan layanan pada pasien yang dirujuk oleh kader/lsm dan fasyankes Primer. c. Melakukan rujukan balik untuk pasien HIV/AIDS dan/atau IMS ke kader/lsm atau fasyankes yang merujuk. d. Mencatat, melaporkan dan mendokumentasikan cakupan layanan yang diberikan pada pasien HIV/AIDS dan/atau IMS serta cakupan rujukan maupun rujukan balik.

174 PASAL 5 MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan Evaluasi dilakukan oleh: a. Dinas Kesehatan Kota Semarang; b. Komisi penanggulangan AIDS Kota Semarang; c. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di dalam penanggulangan AIDS di Kota Semarang PASAL6 JANGKA WAKTU BERLAKU (1) Perjanjian Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu selama (4) tahun terhitung sejak tanggal 1 Desember 2014 sampai dengan 30 November 2018, setiap dua tahun akan dilakukan evaluasi; (2) Perjanjian ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang ditetapkan; (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan Perundang-undangan, maka tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban kedua belah pihak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; PASAL7 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut "Force Majeure") adalah suatu keadaan yang terjadinya diluar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan PIHAK yang mengalami tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Nota Perjanjian Kerjasama ini. Force majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokan umum, kebakaran, kebijakan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Nota Kesepakatan ini. 2. Dalam hal terjadinya Force majeure, maka PIHAK yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak clapat dituntut oleh PIHAK lainnya. PIHAK yang terkena Force majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada PIHAK yang lain secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force majeure, yang dikuatkan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang menerangkan adanya peristiwa Force majeure tersebut. PIHAK yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaikbaiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini segera setelah peristiwa Force majeure berakhir. 3. Apabila peristiwa Force majeure tersebut berlangsung terus sehingga melebihi atau diduga oleh PIHAK yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian Kerjasama ini

175 PASAL 8 PENYELESAIAN PERSELISIHAN (1) Apabila terdapat perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjanjian ini, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara mus yaw a rah i ( 2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pad a Ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui proses pengadilan PASAL 9 KETENTUAN PENUTUP (1) Kedua belah pihak menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian ini dengan segala akibat hukumnya dan telah memilih domisili (tempat tinggal) yang tetap serta tidak berubah di Kantor Panitera Pengad ila n N ege ri Semarang (2) Hal-hal yan belum diatur dalam perjanjian ini yang bersifat penyempurnaan akan diatur kemudian oleh kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam Addendum yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini dan mempunyai kekuatan hukum yang sama (3) Perjanjian Kerjasama ini berlaku dan mengikat kedua belah pihak sejak d ita nd a tang an i ; PIHAK PERTAMA ~ \JI dr. WIDOYONO, MPH. J

PENELITIAN OPERASIONAL

PENELITIAN OPERASIONAL PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA LAPORAN PENELITIAN OPERASIONAL Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan (LKB) Kerjasama:

Lebih terperinci

Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang

Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang Hasil Riset Operasional Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang Kerjasama PKMK FK UGM dengan Kemenkes RI Forum Jaringan Kebijakan

Lebih terperinci

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL POLICY BRIEF 03 PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB)

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PUSKESMAS LAYANAN SATU ATAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Disampaikan di hadapan: Workshop P2 HIV&AIDS di Kabupaten Bantul 30 Mei 2011

Lebih terperinci

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kondisi sehat individu tidak bisa hanya dilihat dari kondisi fisik saja melainkan juga kondisi mental dan kondisi sosial. Dalam kasus anak-anak yang mengidap HIV/AIDS memperhatikan

Lebih terperinci

ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. dr Endang Sri Rahayu

ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. dr Endang Sri Rahayu ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL dr Endang Sri Rahayu g. DIY berada pada level epidemi terkonsentrasi, dan berpotensi menjadi level

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS JUM AT, 8 APRIL 2016 DI JAVA TEA HOUSE, YOGYAKARTA KEBIJAKAN TERKAIT MONEV PROGRAM PENANGGULANGAN HIV&AIDS SECARA NASIONAL, MONEV PLAN PROGRAM PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO TAHUN 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 Pendahuluan... 3 Kegiatan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

Lebih terperinci

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Catatan Kebijakan # 3 Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Stigma terhadap penggunaan narkoba di masyarakat selama ini telah membatasi para pengguna narkoba untuk memanfaatkan layananlayanan

Lebih terperinci

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH Upaya Penyelamatan Perempuan & Anak dari Kematian Sia-Sia Karena HIV & AIDS Bahan masukan RPJMD Propinsi Jawa Tengah TAHUN 2013-2018

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) , PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

Pendampingan Pembiayaan Program HIV- AIDS (Akses Layanan) dari APBD II di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kaltim. Tri Astuti Sugiyatmi Khairul Arbiati

Pendampingan Pembiayaan Program HIV- AIDS (Akses Layanan) dari APBD II di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kaltim. Tri Astuti Sugiyatmi Khairul Arbiati Pendampingan Pembiayaan Program HIV- AIDS (Akses Layanan) dari APBD II di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kaltim Tri Astuti Sugiyatmi Khairul Arbiati Kondisi HIV di Kota Tarakan Kasus pertama di Tarakan

Lebih terperinci

SUFA (Strategic Use of ARV) di Kabupaten Jember ; Capaian dan Kendala

SUFA (Strategic Use of ARV) di Kabupaten Jember ; Capaian dan Kendala 2014 SUFA (Strategic Use of ARV) di Kabupaten Jember ; Capaian dan Kendala Irma Prasetyowati 1, Hariyati 2, Mirza Khoirotul Fauziah 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember dan KPA Kab Jember

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Department of Foreign

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV (human immunodeficiancy virus) yang berkembang paling cepat menurut data UNAIDS (United Nations

Lebih terperinci

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Priscillia Anastasia Koordinator PMTS 1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN A.Latar Belakang Berdasarkan laporan UNAIDS 2006 menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang hidup 39,4 juta orang, dewasa 37,2 juta penderita,anak-anak dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? POLICY BRIEF 02 PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? Akselerasi Strategic Use of An retroviral (SUFA) selama ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

Peluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM. dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL

Peluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM. dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL Peluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL SISTEMATIKA Situasi HIV di Indonesia Kebijakan Upaya Pengendalian HIV & IMS Sistim Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbidilitas. WHO telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO I. Panduan untuk Peneliti Persiapan: 1. Pastikan anda sudah mengkonfirmasi jadwal dan tempat diskusi dengan informan. 2. Pastikan anda sudah mempelajari CSO/CBO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan

Lebih terperinci

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN www.aidsindonesia.or.id APRIL 2014 K ebijakan penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 harus memperhatikan Post 2015 Development Agenda yang merupakan kelanjutan dari MDGs yang berakhir pada 2015 Dr. Hadiat

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO SALINAN BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, 2014-2015 Sang Gede Purnama, Partha Muliawan, Dewa Wirawan A. Abstrak

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS-ACQUIRED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

g. Apakah saat ini ada mekanisme untuk memantau perkembangan kasus HIV dan AIDS di wilayah ini? Kalau iya, dalam bentuk apa pemantauan ini dilakukan?

g. Apakah saat ini ada mekanisme untuk memantau perkembangan kasus HIV dan AIDS di wilayah ini? Kalau iya, dalam bentuk apa pemantauan ini dilakukan? Panduan Kunjungan Lapangan Desk Review Riset Kebijakan dan Penyusunan Program HIV/AIDS Dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia PKMK FK UGM AusAID I. Panduan Wawancara Pertanyaan Umum: 1) Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara epidemiologi kejadian Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara epidemiologi kejadian Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Secara epidemiologi kejadian Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquaired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) telah meningkatkan angka kesakitan penduduk dan penyebab

Lebih terperinci

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait pengembangan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara : KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA Disampaikan Pada Acara : FORUM NASIONAL VI JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Padang, 24-27 Agustus

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN PELATIHAN PENATALAKSANAAN HIV AIDS DAN IMS BAGI PERAWAT/BIDAN FASYANKES DI BBPK CILOTO, 27 JULI SD 03 AGUSTUS 2016

KERANGKA ACUAN PELATIHAN PENATALAKSANAAN HIV AIDS DAN IMS BAGI PERAWAT/BIDAN FASYANKES DI BBPK CILOTO, 27 JULI SD 03 AGUSTUS 2016 KERANGKA ACUAN PELATIHAN PENATALAKSANAAN HIV AIDS DAN IMS BAGI PERAWAT/BIDAN FASYANKES DI BBPK CILOTO, 27 JULI SD 03 AGUSTUS 2016 I. PENDAHULUAN Perkembangan epidemi HIV AIDS di dunia telah menyebabkan

Lebih terperinci

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Budi Utomo HIV Cooperation Program for Indonesia Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang 4-7 September 2013 Topik bahasan Memahami kebijakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1] BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

Memperkuat Peran Daerah

Memperkuat Peran Daerah Memperkuat Peran Daerah dalam Penanggulangan HIV/AIDS Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional September 2016 Pokok bahasan Input utama: Kebijakan dan dukungan nasional Penguatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF POLICY BRIEF 06 AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA PESAN POKOK Kontribusi peneli an terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Hotel Inna Garuda Yogyakarta Kamis, 6 Oktober 2011 Pertemuan Nasional AIDS IV tanggal 3-6 Oktober

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev www.aidsindonesia.or.id MARET 2014 L ayanan komprehensif Berkesinambungan (LKB) merupakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMUNODEFICIENCY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kasus HIV/AIDS di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Banyak ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1] PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah gejala penyakit yang

Lebih terperinci

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BNN dan Puslitkes UI pada 10 kota besar di Indonesia

Lebih terperinci

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,

Lebih terperinci

Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang. Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012

Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang. Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012 Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012 Pokok bahasan Situasi epidemi: Tren kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan dan kebijakan

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

PESAN POKOK MEMPERKUAT PENYEDIA LAYANAN HIV DAN AIDS LINI TERDEPAN (FRONTLINE SERVICE) MELALUI PERENCANAAN TERPADU

PESAN POKOK MEMPERKUAT PENYEDIA LAYANAN HIV DAN AIDS LINI TERDEPAN (FRONTLINE SERVICE) MELALUI PERENCANAAN TERPADU POLICY BRIEF 04 PESAN POKOK MEMPERKUAT PENYEDIA LAYANAN HIV DAN AIDS LINI TERDEPAN (FRONTLINE SERVICE) MELALUI PERENCANAAN TERPADU Tujuan utama dari penanggulangan HIV dan AIDS adalah pemanfaatan secara

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) Edy Bachrun (Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun) ABSTRAK Kepatuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 SERI B.25 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KOLABORASI TB-HIV (TUBERKULOSIS-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) KABUPATEN

Lebih terperinci

PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN HIV & AIDS DI KABUPATEN GROBOGAN. OLEH : PENGENDALIAN PENYAKIT (PROGRAM HIV &AIDS) DINAS KESEHATAN Kab.

PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN HIV & AIDS DI KABUPATEN GROBOGAN. OLEH : PENGENDALIAN PENYAKIT (PROGRAM HIV &AIDS) DINAS KESEHATAN Kab. PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN HIV & AIDS DI KABUPATEN GROBOGAN OLEH : PENGENDALIAN PENYAKIT (PROGRAM HIV &AIDS) DINAS KESEHATAN Kab. Grobogan 2016 DASAR HUKUM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan

Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan M.Suharni Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Angkatan III Yogyakarta 24 25 Februari 2016 PKMK

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS 1 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS)

KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) Bappeda Kabupaten Temanggung bekerjasama dengan Pusat Kajian Kebijakan dan Studi Pembangunan (PK2SP) FISIP UNDIP Tahun 2013 RINGKASAN I. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS dan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program www.aidsindonesia.or.id AGUSTUS 2012 A gustus 2012 kali ini terasa special. Pertama karena pada tanggal 17 diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 67. Kedua, yaitu bersamaan dengan

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus. ibu kepada janin yang dikandungnya. HIV bersifat carrier dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus. ibu kepada janin yang dikandungnya. HIV bersifat carrier dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sebuah retrovirus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus ini ditularkan melalui kontak darah,

Lebih terperinci