BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia. Kehidupan yang dberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. 1 Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karna sejauh ini prilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa ditambah lagi dengan kebutuhan hidup manusia tak ada habisnya dan tentu sangatlah beragam. Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Zaman kontemporer 1 Achadiat Charisdiono, 2009, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Jakarta,h. 12.

2 memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda diseluruh negara. Banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum yang memiliki sanksi tegas. Menurut Soebakti dalam bukunya Abdul Djamali menyatakan, bahwa hukum itu terdiri dari norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum yang disebut dengan norma sosial. 2 Norma sosial merupakan ketentuanketentuan umum yang berlaku sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu dalam kehidupan sosial. Yang penting dan perlu diperhatikan dalam hal ini adalah kegiatan individu dalam kaitannya dengan kehidupan sosial yang memiliki norma sosial. Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atan kedaruratan medis. Tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi bila dan pertimbangan media atau kedaruratan media dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil. Pada kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan 2 Abdul Djamil, 1984, Psikolog Dalam Hukum, Armico, Jakarta, h. 118

3 umumnya adalah Abortus Provocatus Criminalis dengan beberapa alasan seperti; Kehamilan di luar nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin punya anak lagi akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya. Berdasarkan sumber berita online yang ditulis oleh Chilmi Ardiantofani, terhitung sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah usia remaja. Sejak 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta orang. Fenomena melakukan aborsi dikarenakan akibat perkosaan dan hubungan suka sama suka. 3 Data tersebut menerangkan betapa buruknya sistem pola kehidupan yang sedang terjadi berkaitan dengan aborsi. Keberadaan norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat telah pudar seiring dengan tidak diberlakukannya hukuman yang tegas, adil dan berkemanfaatan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana aborsi. Bila diperhatikan dari segi istilahnya, aborsi adalah menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang artinya pengeluaran hasil konspesi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. 4 Dikatakan bahwa aborsi merupakan suatu terminasi kehidupan dari janin sebelum diberi kesempatan hidup dan berkembang dengan cara yang disengaja. 5 3 Chilmi Ardiantofani, 30 Persen Kasus Aborsi di Jatim Pelakunya Remaja, diakses tanggal 5 Desember Namora Lumongga Lubis, 2013, Psikologi Kespro Wanita & Perkembangan Reproduksinya Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologinya, Kencana, Jakarta, h Ibid.

4 Menurut Gordon E. Maxwell dalam bukunya Daniel Rumondor, bagi ahli kandungan istilah aborsi mempunyai definisi yang khusus, yaitu gangguan kehamilan sebelum fetus bisa hidup sendiri secara independen, dan fetus dianggap mampu berdiri sendiri setelah minggu usianya. 6 Menurut Buku Etika Profesi Kebidanan, aborsi adalah keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim, yaitu sebelum 20 minggu. Aborsi juga berarti penghentian kematian setelah tertanamnya ovum yang telah dibuahi dalam rahim sebelum usia janin mencapai 20 minggu. 7 Aborsi adalah menggugurkan kandungan, yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus. 8 Perbuatan abortus provocatus juga sering dilakukan oleh wanita yang menjadi korban perkosaan, alasan para korban perkosaan tersebut adalah mengandung anak hasil perkosaan menambah derita batinnya, karena anak itu akan mengingat peristiwa perkosaan yang dialaminya. Bagi kalangan yang tidak setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap 6 Daniel Rumondor, 1900, Jangan Membunuh! Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, Yayasan Andi, Yogyakarta, h Heni Puji Wahyuningsih et al., 2005, Etika Profesi Kebidanan, Fitramaya, Yogyakarta, h Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Grapindo Persada, Jakarta, h. 133.

5 orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan itu timbul bukan dari atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi. Membahas persoalan aborsi bukan merupakan rahasia umum dan bukanlah hal yang tabu lagi untuk diperbincangkan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan secara ilegal. Ketika memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu untuk melihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu tindak pidana. Seperti salah satu contoh kasus yang dikutip dari kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 343/Pid.Sus/2014/PNClp. Peristiwa aborsi terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang wanita masih berumur 19 tahun harus mendekam dipenjara karena telah dengan sengaja melakukan tindakan aborsi karena tidak sanggup menerima keadaan dirinya yang hamil di luar pernikahan yang sah dengan kekasihnya. Wanita tersebut melakukan aborsi dengan caranya sendiri seperti mengkonsumsi buah nanas kemudian meminum minuman bersoda yang dicampur dengan ragi. Pada akhirnya janin harus keluar dan dibuang olehnya ke saluran pembuangan air. Kasus tersebut telah berkekuatan hukum

6 tetap dengan amar putusan hakim Pengadilan Negeri Cilacap yaitu pidana penjara 1 tahun 8 bulan dengan denda Rp ,- (seratus juta rupiah) subsidair 1 bulan kurungan. Penguguran kandungan atau aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven). Hal ini karena aborsi dilakukan secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain atau perbuatan yang mengakibatkan matinya korban. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu : (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya (nyawa). 9 Kejahatan pengguguran terhadap kandungan sendiri termasuk dalam kelompok kejahatan terhadap nyawa atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi). Pengaturan mengenai aborsi di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu KUHP khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya Pasal 31 hingga pada Pasal 37. Berdasarkan ketentuan KUHP terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan. Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi 9 ibid., h. 55.

7 dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa yaitu pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan 349 KUHP. Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang mengandung janin itu sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP itu, sama halnya dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP, pembentuk undang-undang melarang orang melakukan: (a). suatu pengguguran kandungan atau afdrijving ataupun yang di dalam ilmu pengetahuan kedokteran juga disebut sebagai suatu abortus. (b). sesuatu perbuatan yang menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan. 10 Keberadaan Pasal 346 KUHP memiliki unsur-unsur pasal yaitu bahwa pelaku aborsi yang dimaksud adalah seorang perempuan yang dengan sengaja melakukan aborsi atau seorang perempuan yang menyuruh orang lain untuk melakukan hal itu. Pasal tersebut menerangkan mengenai pelakunya yaitu seseorang perempuan atau orang lain yang dalam hal ini apabila bidan dan/atau dokter yang diminta untuk melakukan hal tersebut maka sanksi pidana yang dikenakan padanya adalah diancam dengan pidana penjara paling lama 4(empat) 10 P.A.F lamintang dan Theo Lumintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.

8 tahun. Bila dikaitkan dengan profesi tersebut di atas, bahwa dokter dan/atau bidan bukanlah sebagai pelaku tunggal. Pengertian tindakan medis yang dilakukan oleh seseorang baik itu oleh perempuan yang adalah si ibu dan/atau tenaga medis tersebut merupakan suatu tindak pidana berdasarkan aturan dalam Pasal 346 KUHP. Pasal 347 KUHP memiliki unsur yang berbeda dengan pasal sebelumnya karena di dalam ketentuan Pasal 347 KUHP unsur si pelaku di sini lebih luas dengan mencantumkan syarat yaitu barangsiapa. Maksudnya adalah bahwa siapapun setiap orang baik itu seorang perempuan yang mengandung janin atau seorang laki-laki yang dalam hal ini suami atau kekasih dari si ibu yang sedang mengandung atau seorang tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter dengan unsur kesengajaan melakukan aborsi dengan tanpa persetujuan perempuan itu maka akan dikenakan sanksi yang sangat berat yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan bila mengakibatkan matinya wanita maka ancaman pidana penjara yang lebih tinggi paling lama 15 (lima belas) tahun. Pada Pasal 347 KUHP sanksi pidananya yang paling berat dibanding dengan ketentuan pada Pasal lain yang berkaitan dengan aborsi yaitu Pasal 229, 346, dan 348 KUHP. Unsur Pasal 348 KUHP menjabarkan tentang setiap orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun 6(enam) bulan. Pada Pasal 348 KUHP bila perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita maka ada

9 pemberatan pidananya dengan ancaman hukuman penjara paling lama 7(tujuh) tahun. Berbeda dengan KUHP yang tidak membenarkan perbuatan aborsi, Undang-Undang Kesehatan memberikan perlindungan terhadap perempuan pelaku abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan larang aborsi dikecualikan berdasarkan : a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b merupakan bentuk pengecualian hukum terhadap perempuan pelaku abortus provocatus yaitu dengan membenarkan adanya abortus provocatus terhadap perempuan korban perkosaan. Kedua penjabaran Undang-Undang yang mengatur mengenai aborsi yaitu pada Pasal KUHP dengan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan memiliki kesamaan klausul dan unsur pasal yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan tersebut berlaku bagi seorang perempuan yang sedang mengandung, bagi suaminya atau kekasihnya dan bagi para tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter. Namun bila diteruskan lagi, pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan terjadilah pengecualian terhadap tindakan aborsi. Pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan bawa larangan

10 aborsi pada ayat (1) dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini dan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Dicermati di dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tindakan aborsi dibanding dengan ketentuan Pasal KUHP yang secara tegas melarang aborsi dalam bentuk dan alasan apapun. Beranjak kepada ketentuan pidana atau sanksi pidana yang diancam kepada pelaku aborsi. Ketentuan Pasal KUHP, sanksi yang tergolong paling rendah terdapat pada Pasal 346 KUHP yaitu ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan ancaman paling tingginya terdapat pada ketentuan Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Bila kemudian dibandingan dengan sanksi pidana yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan yaitu pada Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (satu miliar rupiah). Berdasarkan perbandingan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam kaitannya dengan sanksi pidana yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan ini antara lex spesialist derogat legi generalist. Sebagai pelaksana dari beberapa pasal yang terdapat pada Undang-Undang Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kesehatan Reproduksi). PP Kesehatan Reproduksi ini muncul dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan dari beberapa pasal yaitu Pasal 74 ayat (3) tentang reproduksi dengan bantuan, Pasal 75 ayat (4) berkaitan dengan aborsi, Pasal 126

11 ayat (4) tentang kesehatan ibu, bayi dan anak, dan Pasal 127 ayat (2) tentang upaya kehamilan di luar cara alamiah Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan mengenai pembenaran abortus provocatus perempuan korban perkosaan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Kesehatan Reproduksi yang antara lain mengatakan bahwa: (1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. PP Kesehatan Reproduksi muncul dengan tujuan untuk mengatur Penyelenggaran Kesehatan Reproduksi yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. PP Kesehatan Reproduksi tidak memiliki aturan pidananya atau sanksi pidana di dalam ketentuan isi pasal-pasalnya. Hanya mengatur mengenai tanggungjawab pemerintah dan Pemerintah daerah berkaitan dengan Kesehatan Reproduksi masyarakat, mengenai pelayanan kesehatan ibu, indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, reproduksi dengan bantuan, pendanaan dan di bidang pembinaan serta pengawasan Kesehatan Reproduksi. Penjabaran mengenai pengaturan terhadap tindak pidana aborsi telah diatur dalam beberapa instrumen yang telah diundangkan menjadai suatu peraturan perundang-undangan. Namun setelah dicermati muncul suatu

12 pertanyaan yang mengakibatkan timbulnya suatu benturan antar norma hukum atau istilahnya adalah konflik norma. Konflik norma yang terjadi adalah konflik norma pada Pasal 346, 347, 348 KUHP yang secara tegas melarang tindakan aborsi dalam bentuk apapun dalam keadaan apapun, kemudian munculah Undang-Undang Kesehatan sebagai suatu lex spesialis dalam hukum pidana yang melarang aborsi namun dengan pengecualian dan dengan persyaratan tertentu yang terdapat pada Pasal Undang-Undang Kesehatan yaitu seperti adanya indikasi kedaruratan medis kemudian pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan dilakukannya aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi serta mengatur penyelenggaraan aborsi. Keadaan tersebut menimbulkan ketidakharmonisan dalam perundang-undangan yang berimplikasi pada implementasi hukum oleh praktisi hukum. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, menarik untuk dianalisis dan disajikan menjadi sebuah penelitian ilmiah berupa skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut

13 1. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut : 1. Membahas tentang Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yaitu di dalam ketentuan Pasal 346, 347, dan 348 KUHP kemudian pada Pasal 75-76, Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan dan pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi. 2. Membahas tentang Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yaitu yang terdapat pada konsep hukum pidana nasional dan RUU KUHP. 1.4 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain: Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap Pengaturan Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Perspektif KUHP. Dan

14 juga terdapat konflik norma antara Peraturan Pemerintah dengan Undang- Undang Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui Pengaturan Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia 2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana pada masa yang akan datang terhadap Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap aborsi dan pengaturannya yang bertentangan antara hukum yang khusus dengan hukum yang umum, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap peraturan perundangundangan terkait yang berlaku saat ini serta pembaruan hukum pidana nasional pada masa yang akan datang sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan aborsi di Indonesia Manfaat Praktis Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dalam proses

15 penanggulangan aborsi di Indonesia. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang terkait dengan larangan terhadap pelegalan aborsi yang perlu mendapat perhatian khusus dalam rangka penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik dalam suatu cita hukum (ius constituendum). 1.6 Landasan Teoritis Teori Tindak Pidana Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Tidak ada batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori/pendapat para sarjana. 11 Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 12 Unsur-unsur 11 Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, op.cit., h

16 tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang mengemukakan bahwa: Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan. 13 Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana. 14 Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana. 15 Teori dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h Ibid., h. 15.

17 Teori Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. 17 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). 18 Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief merumuskan criminal policy sebagai rational organization of the control of crime by society. 19 Sementara itu, G. Peter Hoefnagels dikutip dalam buku yang sama mengemukakan bahwa Criminal policy is the rational organization of the social 17 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 1, dikutip dari Marc Ancel, 1965, Social Defence, h. 209.

18 reaction to crime. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah: a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention; c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime. 20 Terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal. Menurut Sudarto, yaitu sebagai berikut: a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana; b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 21 Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G. Peter Hoefnagels dalam bukunya Trini Handayani upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); 20 Ibid., h Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h

19 c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media). 22 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti: a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. 23 Pelaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum 22 Trini Handayani, 2002, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan, Jakarta, h. 48, dikutip dari G, Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer-Denver, Holland, h Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 3-4.

20 pidana). Dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 24 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 25 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel yang dikutip dalam bukunya Barda Nawawi Arief II bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. 26 Menurut A. Mulder, dalam bukunya Barda Nawawi Arief II strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 24 Barda Nawawi Arief II, op.cit., h Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 23.

21 c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 27 Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). 28 Melalui tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 29 Menurut Stanley Benn, pemidanaan diartikan sebagai akibat yang diderita karena melakukan pelanggaran diterapkan secra sengaja, bukan merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatan seseorang (seperti mabuk akibat alkohol) dan, 27 Barda Nawawi Arief II, loc.cit. 28 Barda Nawawi Arief I, op.cit., h Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 79.

22 ketidaknyamanan tersebut harus esensial, bukan secara kebetulan menyertai perlakuan lainnya (seperti sakit yang ditimbulkan dari mata bor dokter gigi). 30 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 31 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah: a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan - Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalahmasalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). - Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). - Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya 30 Stanly Benn I., 1967, Punishment, The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Vol. 7&8, h Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 25.

23 memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum. 32 b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan ( reformasi ) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP Lama atau Wetboek van Strafrecht) Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. 34 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik (Geschijld Van Normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait pengaturan tindak pidana aborsi dalam perspektif beberapa jenis aturan hukum 32 Barda Nawawi Arief II, op.cit., h Ibid. 34 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.

24 yaitu yang terdapat pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, Pasal 75-76,dan 194 Undang-Undang Kesehatan dan Pasal 31 PP Tentang Kesehatan Reproduksi. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 35 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana pengguguran kandungan. Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang-undang (The Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 36 Pendekatan ini menggunakan ketentuan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Peraturan Pemerintah No. 61 Tentang Kesehatan Reproduksi. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami dan 35 Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.

25 menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan tindak pidana penguguran kandungan atau abortus berdasarkan PP Kesehatan Reproduksi agar tidak ada kekaburan norma dan penentuan norma yang akan digunakan dalam penerapaan hukum bagi para pelaku aborsi Sumber Bahan hukum Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1. Bahan Hukum Primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat. 37 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. - Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063). - PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559). 2. Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literature, 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34

26 makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang relevan dengan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus), pembaharuan hukum pidana Indonesia, baik literatur-literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana (doktrin), skripsi atau makalah hukum yang berkaitan dengan kesehatan, hukum pidana, aborsi maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang diperlukan. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). 40 Mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan yang beraitan dengan tndak pidana aborsi. Telaah kepustakaan yaitu dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum 38 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.

27 primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah ketika telah mengumpulkan semua bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ditambah dengan bahan hukum tersier sebagai tambahan, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan dengan menggunakan teknik argumentatif, yaitu dengan menguraikan serta menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan pengaturan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus) dan cita hukum ke depan terkait pengaturan hukum tentang aborsi di Indonesia. Kemudian melakukan penafsiran sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat. Karena suatu undangundang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik hukum pada dasarnya merupakan arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Setiap orang berhak atas kehidupan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh : Shah Rangga Wiraprastya Made Nurmawati Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Secara yuridis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan awal dari kebangkitan masyarakat atau bangsa

Lebih terperinci

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 ABSTRAK Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering terjadi di dalam tindak pidana keimigrasian. Izin tinggal yang diberikan kepada

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA DI KOTA KOLAKA SULAWESI TENGGARA Arwin Prima Hilumallo, AM. Endah Sri Astuti *, DR. R.B Sularto Hukum Pidana ABSTRAK Di

Lebih terperinci

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban A. Latar Belakang Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban manusia itu sendiri, maka kejahatanpun berkembang bahkan lebih maju dari peradaban manusia itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN Oleh : Bastianto Nugroho. SH., M.Hum 1, Vivin Indrianita, SST., M.Psi 2, Agung Putri Harsa Satya Nugraha, SST., M.P.H 3 Abstrak Aborsi atau lazim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya dalam bidang ekonomi saja namun dalam

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya dalam bidang ekonomi saja namun dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dewasa ini sudah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya dalam bidang ekonomi saja namun dalam bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan bebas sebagai pengaruh efek global telah mempengaruhi perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. Pergaulan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergaulan bebas (free sex) yang semakin marak di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pergaulan bebas (free sex) yang semakin marak di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aborsi saat ini dilakukan bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa sang ibu namun dapat dilakukan karna ibu tidak menghendaki kehamilan tersebut. Kehamilan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada hukum.namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita tentang peristiwa pidana, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para konsumen, sebagaimana diberitakan dalam media massa, seperti penjualan makanan gorengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang melangsungkan perkawinan pasti berharap bahwa perkawinan yang mereka lakukan hanyalah satu kali untuk selamanya dengan ridho Tuhan, langgeng

Lebih terperinci

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA Oleh : Hendra Rusliyadi Pembimbing : IGN Dharma Laksana Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu upaya yang sudah lumrah dilakukan oleh pembentuk Peraturan

I. PENDAHULUAN. Salah satu upaya yang sudah lumrah dilakukan oleh pembentuk Peraturan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Salah satu upaya yang sudah lumrah dilakukan oleh pembentuk Peraturan Perundang-undangan agar warga masyarakat mematuhi hukum adalah dengan mencantumkan sanksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan modernisasi pada saat ini berdampak negatif pada para remaja yang tidak mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal.

Lebih terperinci

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia semakin mencapai tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa di dalam Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Secara substansial,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG TERHADAP ANAKNYA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Memperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian dalam Kegiatan yang Mengumpulkan Massa dan Menimbulkan Korban Tinjauan adalah melihat dari jauh dari tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009.

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009. ABORSI OLEH KORBAN PEMERKOSAAN DITINJAU BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Oleh : Agus Jerry Suarjana Putra AA. Istri Ari Atu Dewi Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum dalam kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN Andrian Yoga Prastyanto 1 Heni Hendrawati 2 Abstrak Main hakim sendiri memang fenomena yang sering ditemui di tengah masyarakat sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci