IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian lapangan (Field Research). Penentuan responden didasari pertimbangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian lapangan (Field Research). Penentuan responden didasari pertimbangan"

Transkripsi

1 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik diuraikan oleh penulis dalam rangka memberikan gambaran jelas mengenai karakteristik responden yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian lapangan (Field Research). Penentuan responden didasari pertimbangan bahwa responden berkompeten, sehingga keterangan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara legal. Adapun responden yang diwawancarai dalam penelitian sebagai berikut: 1. Nama : Sri Widiastuti, S.H., K.N. Umur Pendidikan Pekerjaan : 49 Tahun : S1 : Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2. Nama : Andi Marpaung Umur Pendidikan Pekerjaan : 38 Tahun : S1 : Polisi di bagian Reserse Kriminal

2 51 3. Nama : Heni Siswanto, SH., M.H Umur Pendidikan Pekerjaan : 46 Tahun : S2 : Dosen Fakultas Hukum UNILA bagian Pidana 4. Nama : Adriana. S, SH. Umur Pendidikan Pekerjaan : 29 Tahun : S1 : Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung B. Dasar pertimbangan hakim dan Dasar penilaian hakim untuk tidak menahan seorang terdakwa yang di putus bersalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap beberapa responden pada penulisan skripsi ini yang dilakukan terhadap seorang hakim yaitu Sri Widyastuti menjelaskan beberapa pendapat dalam lapangan hukum pidana berkaitan dengan penulisan ini, terutama pada putusan persidangan pada suatu kasus yang hasil persidangan tersebut tidak di sertai hukuman pemidanaan banyak menyangkut tentang kenakalan anak di bawah umur. Pengkajian terhadap putusan pemidanan tanpa memuat perintah penahanan. Yakni, hakim meyakini bahwa terdakwa tidak akan melarikan diri karena mempunyai pekerjaan tetap yang tidak bisa ditinggalkan, terdakwa tidak akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana, serta bagi terdakwa anak tentu akan dipertimbangkan oleh hakim melihat usia yang belum selayaknya dipidana (dibawah umur). Kenakalan anak yang menyangkut tentang anak nakal dalam kebijakan penal baik dari kalangan legislative, eksekutif maupun yudikatif lebih memfokuskan kepada sarana penal yaitu (ius constitutum dan ius operatum)

3 52 belaka dan mengabaikan kebijakan non penal. Sehubungan dengan kebijakan penal dalam (ius constitutum dan ius operatum) untuk penanggulangan anak nakal di Indonesia, ternyata masih menimbulkan permasalah dalam perlindungan terhadap anak. Telah terhadap hukum positif yang terkait dengan anak nakal adalah meliputi pengaturan yang tersebar dalam undang-undang pidana yang mengatur masalah anak, yaitu Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, Pasal 50 s/d 68 KUHAP selaian Pasal 64 KUHAP. UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Keppres No.36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak, dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 16,17, 59, 64 Anak baik secara fisik maupun mental membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum sebelum maupun sesudah mereka dilahirkan. Perlindungan terhadap anak ini telah menjadi kesepakatan internasional sebagaimana diamanatkan dalam deklarasi Jenewa tentang hak anak-anak tahun 1924, yang selanjutnya telah mendapat pengakuan dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak Asasi Manusia serta ketentuan hukum yang dibuat oleh badan-badan khusus dan organisasi-organisasi Internasional yang memberi perhatian bagi kesejahteraan anak-anak.jauh hari Majelis Umum PBB memaklumkan Deklarasi Hak Anak-Anak dengan maksud agar anak-anak dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-hak dan kebebasan baik kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat.

4 53 Majelis Umum PPB menghimbau agar pemerintah negara-negara untuk mengakui mengakui dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak anak melaui undang-undang maupun peraturan lainnya yang sesuai dengan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak anak. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibuat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang terlibat tindak pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada dirasa tidak banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupun mental. Berdasarkan hasil penelitian yang di dapat dari responden Adriana seorang Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, menurutnya setelah diundangkannya UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diharapkan aparat penegak hukum mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan diperadilan, dapat memperlakukan anak secara khusus dengan dibekali pengetahuan khusus untuk menangani tindak pidana yang dilakukan anak. Jika ditelaah secara konprehensif ketentuan hukum substantive dan hukum ajektif yang diformulasikan dalam UU No.3 Tahun 1997, dapatlah dikatakan belum ada pengaturan secara utuh pengaturan hukum pidana anak. Sistem hukum dari undang-undang ini masih belum terlepas secara menyeluruh dari KUHP dan KUHAP sebagai lex specialis, karena asas-asas dan ajaran-ajaran dari ketentuan hukum pidana yang terkandung dalam KUHP dan KUHAP tetap diberlakukan dalam ketentuan UU No.3 Tahun Ketentuan hukum substantive UU No.3/1997 masih terikat pada KUHP walaupun telah ada ketentuan tersendiri mengenai straf soot dan straf maat serta straf modus sistem pemidanaan yang berbeda dari KUHP, karena Pasal 45, Pasal 46,dan Pasal 47

5 54 KUHP secara expresis verbis dinyatakan tidak berlaku lagi oleh ketentuan Pasal 67 UU No.3 Tahun Karena UU No. 3 Tahun 1997 hanya menyatakan, bahwa Pasal 45 s/d 47 KUHP saja yang dinyatakan tidak berlaku. Ini berarti, secara juridis pasal-pasal lain di dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang pidana (Psl. 10 s/d 43), termasuk di dalam-nya tentang strafmodus (seperti pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat ), ketentuan tentang percobaan (Psl. 53 dan 54), tentang penyertaan (Psl dst.), tentang concursus, alasan penghapus pidana, alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana dsb. Bahkan aturan khusus di dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak, termasuk di dalamnya ketentuan tentang pengulangan (recidive).sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku, karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur di dalam UU No. 3/1997 dan juga tidak ada ketentuan di dalam Ketentuan Peralihan (Bab VII) maupun dalam Ketentuan Penutup (Bab VIII) UU No. 3/1997 yang menyatakan secara umum, bahwa semua ketentuan yang bertentangan dengan UU ini dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan umum pidana bersyarat dalam Pasal 14 KUHP, malahan oleh Pasal 29 UU No.3/1997 dengan restriktif limitative memperkaku hanya untuk pidana penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 tahun (dengan tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran). Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan KUHP tentang pidana bersyarat dapat dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, tetapi juga untuk pidana kurungan, denda yang sangat berat, dan bahkan juga untuk pidana tambahan (apabila hakim tidak menentukan lain). Masa percobaannya, menurut KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Padahal dilihat dari

6 55 ide/filosofi pidana bersyarat sebagai salah satu bentuk alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau sebagai salah satu bentuk non-custodial measures, dan juga sebagai salah satu bentuk strafmodus, maka seharusnya juga dapat diberikan untuk pidana kurungan dan jenis-jenis pidana lainnya. Dengan kata lain, peluang untuk memberikan pidana bersyarat kepada anak itu seharusnya lebih diperbesar sesuai dengan ide dibuatnya ketentuan pidana khusus untuk anak serta amanat pada konsiderans UU No.3/1997 itu sendiri. Dirasakan janggal, kalau terhadap orang dewasa saja peluang yang lebih besar itu tersedia (seperti yang diatur dalam KUHP), sedangkan peluang untuk anak dipersempit. Disisi lain beberapa formulasi ketentuan hukum ajektif dari UU No.3/1997 telah menentukan sendiri mengenai batas-batas yang menjadi kompetensi khusus dalam mengadili anak, yaitu: 1. Pembatasan umur orang yang dapat diperiksa tahap penyidikan hingga disidangkan dalam acara persidangan anak, yaitu berumur kurang dari 8 tahun hingga 18 tahun, sebagaimana diatur Pasal 1 butir 1 dan Pasal 4 ayat (1) UU No.3/ Kekhususan dari ruang lingkup pembatasan yang masuk kompetensi dalam perkara anak nakal ditentukan Pasal 1 ayat Kekhususan aparat penegak hukum yang menangani perkara anak nakal, mulai ditingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan, sebagaimana ditentukan Pasal 1 ayat 5, 6, dan Adanya pembimbingan kemasyarakatan yang terdiri dari Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Pekerja Sosial Sukarela yang mempunyai

7 56 peran penting untuk pertimbangan putusan hakim dalam peradilan anak. Ketentuan tentang hal itu ditemukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat Suasana pemeriksaan dalam persidangan dibedakan dengan pemeriksaan orang dewasa, yaitu dikondisikan suasana kekeluargaan dan bersahaja, diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat Jika dalam tindak pidana deelneming yang melibatkan anak, pemeriksaan terhadap anak dilakukan secara splitsing dari pelaku orang dewasa. Diatur dalam ketentuan Pasal Pemeriksaan sidang dilakukan secara tertutup, ditentukan Pasal 8 ayat Pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim tunggal, ditentukan Pasal 11,14 dan Masa penahanan lebih singkat dari orang dewasa, diatur Pasal 44 s/d Tidak mengenal hukuman pidana mati, dan untuk hukuman badan hanya mengenal pidana penjara sementara waktu maksimal 10 tahun, diatur dalam Pasal 22 s/d 32. Kewenangan sidang anak dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang memeriksa dan menyelesaikan perkara anak nakal berdasarkan hasil penelitian kepada responden Heni Siswanto, ketentuan dari pasal yang terdapat di KUHP Pasal 45 tidak berlaku secara ototmatis disebabkan berlakunya Pasal 67 undangundang No.3 Tahun 1997 Tentang perlindungan anak. yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak (Pasal 21). Bagi anak nakal dapat dijatuhkan sanksi pidana dan atau tindakan. Sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.

8 57 Pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana pengawasan. Pidana tambahan terdiri atas pidana perampasan barangbarang tertentu dan/atau pembayaran ganti kerugian, sebagaimana diatur Pasal 23, 28, 29, 30, dan 32. Tindakan terdiri atas pengembalian anak pada orang tua, penyerahan anak pada Negara atau penyerahan anak kepada Departemen Sosial dan Organisasi Kemasyarakatan, selain itu ditambahkan pula teguran dan syarat tambahan lain (Pasal 24). Petugas Kemasyarakatan dalam ketentuan Pasal 33 ditentukan terdiri dari: 1. Pembimbing Kemasyarakatan 2. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial 3. Pekerja Sosial dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS) bertugas melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan (Pasal 1 angka 11). Petugas Kemasyarakatan bertugas: 1. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak, dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan. 2. Membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan, (Pasal 34 ayat 1). Petugas Sosial bertugas membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

9 58 kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Didalam pelaksanaannya Petugas Kemasyarakatan berkoordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 34 ayat 3). Pekerja Sosial Sukarela (seperti LSM) yang memiliki pengetahuan, dan kemampuan serta berminat membantu anak nakal ditugaskan membantu dan berkoordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan dan Petugas Sosial dari Departemen Sosial (Pasal 39 ayat 1). Dengan ketentuan tersebut, maka peran Pembimbing Kemasyarakatan dari BAPAS dalam perkara sidang anak mengalami perobahan peran yang cukup signifikan, sebab dengan ketentuan UU No.3 tahun 1997 ini kedudukan BAPAS tidak lagi sepenuhnya berada di lini belakang dalam mata rantai proses pemidanaan anak. BAPAS sudah sejak semula dari awal tindakan pro justitia, yaitu mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan sudah dituntut perannya untuk memberikan laporan kemasyarakatan anak pelaku delinkuen. Perkembangan peran BAPAS ini sudah barang tentu akan menuntut pembenahan personalia (staffing) dan kualitas SDM petugas BAPAS yang lebih professional terhadap penanganan perkara anak agar tercapai yang dikehendaki dari tujuan dibuatnya undang-undang ini dalam melindungi anak.dari ketentuan substantive UU No.3 tahun 1997 yang mengatur tentang peradilan anak nakal tidak ada mengatur tentang diversi, yaitu membuat pengaturan dari bentuk penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional sebagaimana dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard

10 59 Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice. Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana anak. Bila diperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Resolusi PBB 40/33, dan kecenderungan pengaturan proses pemidanaan anak dibeberapa Negara (Amerika Serikat, Inggris, Negara Belanda, Australia, Selandia Baru dan Jepang) semuanya mengatur diversi dalam penanganan anak pelaku delinkuen. Dari sisi perlindungan kepentingan terbaik anak, maka keberadaan diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track-record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi. Menurut catatan Lembaga Advokasi Hak Anak Bandung tahun 2002, ternyata, 95% AKH dikenakan penahanan dan di tingkat penyidikan banyak yang mengalami kekerasan, serta 100% vonis hakim berupa hukuman penjara. Selain itu, data perkara anak yang ditangani Polwiltabes Bandung tahun 2000 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2001, yaitu dari 38 perkara menjadi 55 perkara. Berdasarkan hasil penelitian kepada responden Andi Marpaung Reserse di Polresta Bandar Lampung menurutnya Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait, sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan Anak, maupun UU Perlindungan Anak. Akan tetapi kenyataan menunjukkan antara law in book

11 60 (teori) dengan law in action (praktik) kerap terjadi kesenjangan di negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan oleh si lemah begitu keras, kaku, dan salah kaprah. Diterapkannya proses peradilan formal secara mutlak setiap kasus anak nakal dengan dijatuhi pidana penjara pembinaannya harus dilakukan di lembaga pemasyarakatan khusus anak, jaminan terhindarnya dari stigmatisasi dan mempengaruhi criminal track-record anak dengan kondisi pelayanan Lembaga Pemasyarakatan Anak saat ini masih menjadi pertanyaan besar. Sebagai suatu gambaran dari penelitian Paulus Hadisuprapto pada LP Khusus anak ternyata ditemukan tidak semua anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan dan bina di LP Anak, berarti anak-anak lainnya berada dalam LP bukan khusus untuk anak termasuk pembinaannya. Dalam penelitiannya Paulus juga telah mewawancarai terhadap anak-anak tersebut, sebagian besar menyatakan bahwa pengalaman mereka mengindikasikan bahwa perlakuan para aparat penegak hukum terhadap mereka selama dalam proses pemidanaan (sejak dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan) cenderung kurang dihargai pribadinya sebagai anak. Pengamatan beliau dari berbagai instansi subsistem peradilan pidana anak menunjukkan bahwa persyaratan profesionalitas aparat penegak hukum di bidang anak tidak terpenuhi, persyaratan sebagai penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan formalitas saja. Artinya bahwa penunjukan penyidik anak, penunutut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan atas Surat Penunjukkan dari atasan mereka masing-masing dan tidak dilihat akan

12 61 komitmen dan pemahamannya terhadap permasalahan anak-anak seperti disyaratkan oleh UU Pengadilan Anak. Kesimpulan dari penelitian beliau, bahwa implementasi UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Keadaan ini sudah barang tentu akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak pelaku di masa datang. Dari kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi atas diri anak pelaku delinkuen disamping akan membekas bagi jiwa anak, juga sangat potensial seabagai faktor kriminogen- melalui proses yang disebut self-fulfiling prophecy anak cenderung mengindentifikasikan dirinya sesuai dengan cap yang disandangnya dan akan mengulangi lagi perbuatan kenakalannya dimasa mendatang (secondary deviance). Bertolak dari hasil penelitian Paulus Reksodiputro dan tragedy kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat tersebut, mencerminkan tentang implementasi UU No.3 tahun Pada intinya ketentuan ius constitutum mengenai Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans dan penjelasan Undangundang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional sistem peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negative terhadap terjadinya stigmatisasi anak. Sebaliknya pada tataran ius

13 62 operatum ketentuan UU No.3 tahun 1997, penegakan hukumnya belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian kriminologi, stigmatisasi yang dialami anak menjadi factor pemicu kriminogen dalam mengulangi kenakalan berikutnya. A. Beberapa Corak Peradilan Anak Gordon Bazomore dalam tulisannya Three Paradigms of Juvenile Justice memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu: 1. Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) 2. Model retributive (retributive model) 3. Model restorative (restorative model Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebabsebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya. Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Erofa dikenal sebagai

14 63 model kesejahteraan anak, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan social lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku delinkuen. Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model ini dilihat masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka penyelamatan public. Keputusan bersifat ambivalen dan tak taat asas (inconsistent) serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan public.seiring dengan kritik terhadap model pembinaan pelaku perorangan terhadap anak tersebut, kemudian muncul tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis pemberian ganjaran. Pengaplikasian filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk merasionalisasikan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekwensi yang muncul kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana yang pasti, undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku.

15 64 B. Model Restorative Justice Suatu Alternatif Konsep Peradilan Anak Indonesia Model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restorative ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak. Ciri pembeda model restorative dengan kedua model lainnya terletak pada sisi pandang terhadap perilaku delinkuensi anak. Menurut model restorative, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restorative terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat. Peradilan restorative tidak bersifat punitive, tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model peradilan restoratif juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses. Konsep restorative justice telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative

16 65 justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang. Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana keluar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Selain dalam hukum adat, musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana juga dikenal dalam hukum Islam, bahkan dalam perkara berat dan dilakukan orang dewasa sekalipun, seperti pembunuhan, yaitu apabila keluarga korban memaafkan pelaku kejahatan dan biasanya pelaku membayar diat (uang pengganti) kepada keluarga korban, hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al Baqarah ayat 178. Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi

17 66 beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak dan; pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan bila kejadiannya di sekolah dapat dilakukan kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah pemulihan adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui musyawarah pemulihan. Jadi, musyawarah tidak boleh didasarkan atas paksaan. Apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui musyawarah pemulihan, maka proses peradilan baru berjalan.dalam konsep restorative ini proses peradilan sebagai ultimum remedium, apabila pintu diskresi tidak ditemukan. Proses peradilan yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul-betul ditangani aparat penegak hukum yang mempunyai minat, pehatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan restorative justice, serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dari Konvensi Hak-hak Anak yang telah diadopsi ke dalam UU Perlindungan Anak. Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dihukum penjara, anak harus ditempatkan di lapas anak. Baik di rutan maupun di lapas, anak tetap harus bersekolah dan mendapatkan hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules (Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi

18 67 Peradilan bagi Anak) agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah, karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan negara. Peradilalan anak dalam ketentuan undang-undang No.3 Tahun 1997 lahirnya undang-undang No.3 Tahun 1997 adalah merupakan suatu tujuan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui proses hukum formal, dengan harapan anak sebagai asset bangsa walaupun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai anak nakal diharapkan tidak menimnbulkan pengaruh negative pada jiwa anak.namun secara normative kekurangan dari undangundang ini pengaturan untuk perlindungan terhadap anak dirasakan lebih dipersempit jika dibandingkan pada ketentuan sebelum hukum yang berlaku sebelumnya. Implementasi ketentuan undang-undang No.3 Tahun 1997 ini setelah berusia 10 tahun banyak menimbulkan permasalahan sebagai sarana hukum perlindungan tehadap anak, disebabkan tidak diadakannya pintu klep pengaman dalam proses penegakan hukum terhadap anak nakal. Diversi sebagai bentuk diskresi yang dikenal dalam proses hukum, merupakan salah satu prinsip pengecualian yang perlu dipikirkan sebagai konsep proses peradilan anak pada tataran ius constituendum. Model restorative justice adalah salah satu model peradilan anak, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trauma psikis dan lebel/cap bekas penjahat. Dalam ketentuan undang-undang No.37 Tahun 1997 tidak memberikan ruang bagi aparat hukum untuk melakukan diskresi legal, dalam menerapkan proses peradilan anak.

19 68 C. Konsekwensi Yuridis Terhadap Putusan Pemidanaan Tanpa Memuat Perintah Penahanan Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung asumsi yang di dapat dari salah seorang responden, putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan adalah faktor hukum yang berlaku secara formal. Akan tetapi hukum tersebut memiliki batasan, keberlakuannya secara syah pada sebuah tindakan yang berbentuk pelanggaran ataupun yang dimaksud tindak pidana. Disebabkan pelaku pelanggaran tersebut dibawah umur dan ataupun untuk proses pembuktian hukum pada perkembangan suatu perkara tertentu. Kajian secara objektif atas Pasal 197 KUHAP yang menentukan dimuatnya perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan apabila tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum (ayat 2). Atau, putusan tersebut dapat diartikan tidak pernah ada dan tidak memunyai daya eksekusi. Dan, putusan-putusan seperti ini akhir-akhir ini banyak terdapat pada kasus-kasus korupsi yang tidak memerintahkan terpidana untuk ditahan. Bahkan, sebagian dari putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan hal-hal sebagaimana ditentukan oleh Pasal 197 ayat (1) k KUHAP yang tentunya mengakibatkan putusan batal demi hukum. Penegakan hukum pidana yang rasional dilaksanakan melalui beberapa tahap, dimulai dari tahap formulasi oleh pembuat undang-undang, kemudian tahap aplikasi yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan dan akhirnya pada tahap eksekusi oleh aparat/instansi pelaksana pidana ( Shafruddin, 1998 : 28 ).

BAB III PERLAKUAN PENYIDIK MENAHAN ANAK BERSAMA-SAMA DENGAN TAHANAN DEWASA TELAH SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III PERLAKUAN PENYIDIK MENAHAN ANAK BERSAMA-SAMA DENGAN TAHANAN DEWASA TELAH SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK BAB III PERLAKUAN PENYIDIK MENAHAN ANAK BERSAMA-SAMA DENGAN TAHANAN DEWASA TELAH SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK 3.1 Perlakuan penyidik menahan anak bersama-sama dengan tahanan Maraknya kasus

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI Anak perlu perlindungan khusus karena Kebelum dewasaan anak baik secara jasmani

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Banyak anak-anak berkonflik dengan hukum dan diputuskan masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 pengadilan negeri

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini memuat kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan saran-saran. 6.1. Kesimpulan 1.a. Pelaksanaan kewajiban untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum

Lebih terperinci

Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP. Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia

Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP. Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia FALSAFAH PENANGANAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYANGKUT TIGA HAL : 1. Sifat yang terkandung dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Perilaku manusia sebagai subjek hukum juga semakin kompleks dan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

KEADILAN RESTORATIF DAN PEMENUHAN HAK ASASI BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

KEADILAN RESTORATIF DAN PEMENUHAN HAK ASASI BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM KEADILAN RESTORATIF DAN PEMENUHAN HAK ASASI BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Lushiana Primasari* * ABSTRAK Hak anak merupakan hak yang melekat dalam diri seorang anak yang merupakan bagian dari hak

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup manusia dan merupakan kunci pokok keberlangsungan hidup bangsa dan negara. 1 Anak-anak

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang- BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar Ringkasan Undang-undang

Lebih terperinci

Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum JURNAL NANGGROE ISSN 2302-6219 Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2015) Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh ARTIKEL LEPAS Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum Husni

Lebih terperinci

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan. mengalami proses tumbuh kembangnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan. mengalami proses tumbuh kembangnya. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Efektivitas Penerapan Diversi Terhadap Penanganan...

Efektivitas Penerapan Diversi Terhadap Penanganan... DiH Jurnal Ilmu Hukum Volume 13 Nomor 26 Agustus 2017 EFEKTIVITAS PENERAPAN DIVERSI TERHADAP PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM PERADILAN PIDANA ANAK SESUAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Copyright@2017 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Barangsiapa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai

lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai A. Pengertian Anak Anak merupakan makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa, anak juga membutuhkan orang lain untuk bisa membantu mengembangkan kemampuannya, karena pada dasarnya anak lahir dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memperihatinkan. Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Wagiati Soetodjo,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012 PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012, SH.,MH 1 Abstrak : Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa

I. PENDAHULUAN. yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB III PENJATUHAN SANKSI HUKUM TERHADAP ANAK. A. Asas-Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

BAB III PENJATUHAN SANKSI HUKUM TERHADAP ANAK. A. Asas-Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak BAB III PENJATUHAN SANKSI HUKUM TERHADAP ANAK A. Asas-Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Anak yang diduga ataupun sebagai pelaku tindak pidana, penanganannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi atas hak

I. PENDAHULUAN. demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi atas hak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3 UUD 1945) disebutkan bahwa: Negara Indonesia berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak I. PEMOHON Komisi Perlindungan Anak Indonesia; Yayasan Pusat Kajian Dan Perlindungan

Lebih terperinci

KONTRADIKSI DIVERSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

KONTRADIKSI DIVERSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK KONTRADIKSI DIVERSI TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Oleh: Ramdan Kurniawan ABSTRAK Ramdan Kurniawan. Kontradiksi Diversi

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, karena anak mempunyai peran yang sangat penting untuk memimpin dan memajukan bangsa. Peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar)

Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) 1 Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kota Pematangsiantar) Novelina M.S. Hutapea* *Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Seorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu penyebabnya

I. PENDAHULUAN. bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu penyebabnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan terhadap penganiayaan merupakan salah satu kejahatan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya dapat dilihat dari pelakunya yang bukan lagi

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri Anak. Untuk melakukan

II.TINJAUAN PUSTAKA. sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri Anak. Untuk melakukan 15 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Diversi dan Restorative Justice 1. Pengertian Diversi Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan criminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM Mengapa Instrumen Internasional? Anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus; Keluarga, sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan makmur kondisi ekonomi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci