BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kecerdasan adalah keunggulan atau kesempurnaan perkembangan akal budi,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kecerdasan adalah keunggulan atau kesempurnaan perkembangan akal budi,"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan budaya Kecerdasan adalah keunggulan atau kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian, kecermatan dan ketajaman pikiran. Dalam bahasa Inggris digunakan dua istilah yang maksudnya sama, yaitu intelligence dan quotient. Istilah yang pertama misalnya digunakan dalam gabungan emotional intelligence atau kecerdasan emosi. Yang kedua misalnya digunakan dalam gabungan adversity quotient atau kecerdasan tahan banting, keuletan, ketangguhan atau kecerdasan menghadapi tantangan (Sumardi, 2007). Kata kebudayaan, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultura berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan memelihara, mengolah dan mengerjakan berbagai hal-hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu, konsep kebudayaan menjadi sangat beragam dan meloncat-loncat. Budaya mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lainnya dari kelompok masyarakat tertentu yang diwariskan dari satu generasi (Santrock, 2009).Cultural intelligence berarti, menjadi terampil dan fleksibel tentang pemahaman budaya, belajar lebih banyak tentang hal itu dari interaksi yang sedang berlangsung dengan anda, dan secara bertahap membentuk kembali pemikiran anda menjadi lebih simpatik dengan budaya dan perilaku anda, menjadi lebih terampil dan tepat ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain (Thomas, 2003). Stenberg (1986, dalam Ang, 2008) mengusulkan empat dimensi yang saling melengkapi untuk konsep kecerdasan individu: (a) kecerdasan metakognisi adalah pengetahuan dan kontrol kognisi (proses digunakan individu untuk memperoleh dan

2 memahami pengetahuan), (b) kecerdasan kognisi adalah pengetahuan individu dan struktur pengetahuan, (c) kecerdasan motivasi mengakui bahwa sebagian besar kognisi termotivasi dan berfokus besar pada arah energi sebagai lokus kecerdasan, dan (d) kecerdasan perilaku berfokus pada kemampuan individu di tingkat tindakan (perilaku). Kerangka Sternberg penting karena mengusulkan bahwa kecerdasan setiap orang memiliki "lokus" yang berbeda, yaitu, metakognisi, kognisi, danmotivasi merupakan kemampuan mental yang berada di dalam kepala dari orang tersebut, sedangkan tindakan yang jelas adalah kemampuan perilaku. Keempat dimensi pandangan kecerdasan budayamerupakan cermin kontemporer kecerdasan sebagai kompleks, multifaktor, atribut individu yang terdiri dari metakognisi, kognisi, motivasi dan faktor perilaku (Sternberg & Detterman 1986, dalam Sternberg et al 2000, dalam Ang, 2008). Kecerdasan Metakognisi Kecerdasan metakognisi adalah kesadaran budaya individu dan kesadaran selama berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Faktor kecerdasan metakognisi adalah komponen penting untuk setidaknya tiga alasan. Pertama, mendorong pemikiran yang aktif tentang orang-orang dan situasi ketika latar belakang budaya berbeda. Kedua, hal itu memicu pemikiran kritis tentang kebiasaan, asumsi, dan pemikiran budaya terikat. Ketiga, memungkinkan individu untuk mengevaluasi dan merevisi peta mental mereka, sehingga meningkatkan akurasi pemahaman mereka (Ang, 2008). Kecerdasan metakognisi seseorang mengacu pada tingkat sadar dari kesadaran akan budaya selama lintas-budaya interaksi. Orang dengan kekuatan dalam kecerdasan metakognisi, secara sadar mempertanyakan asumsi-asumsi budaya mereka sendiri, merefleksikan selama interaksi, dan menyesuaikan pengetahuan budaya mereka ketika berinteraksi dengan orang-orang dari budaya lain. Kecerdasan metakognisi melibatkan strategi kognitif tingkat tinggi yang memungkinkan individu untuk mengembangkan heuristik

3 dan aturan baru untuk berinteraksi secara sosial dalam lingkungan budaya baru, dengan mempromosikan pengolahan informasi pada tingkat yang lebih dalam (Flavell 1979, dalam Nelson, 1996, dalam Ang, 2008). Kecerdasan metakognisi mencerminkan proses mental yang digunakan individu untuk memperoleh dan memahami pengetahuan budaya, termasuk pengetahuan dan kontrol atas proses pikiran individu yang berkaitan dengan budaya, Flavell (1979 dalam Ang, 2008). Kemampuan yang relevan meliputi perencanaan, pemantauan, dan merevisi model mental dari norma-norma budaya bagi negara-negara atau kelompok orang. Mereka dengan kecerdasan metakognisi tinggi, secara sadar mengetahui preferensi budaya dan normanorma masyarakat yang berbeda sebelum dan selama interaksi. Orang-orang ini juga mempertanyakan asumsi budaya dan menyesuaikan model mental mereka selama dan setelah pengalaman yang relevan (Brislin, Worthley & MacNab 2006, dalam Nelson 1996, dalam Triandis 2006, dalam Ang, 2008). Kecerdasan kognisi Kecerdasan kognisi adalah pengetahuan budaya individu norma, praktik, dan konvensi dalam pengaturan budaya yang berbeda. Mengingat berbagai budaya di dunia kontemporer, kecerdasan kognitif menunjukkan pengetahuan universal budaya serta pengetahuan tentang perbedaan budaya. Faktor kecerdasan kognitif adalah komponen penting karena pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan budaya adalah dasar dari pengambilan keputusan dan kinerja dalam situasi lintas budaya. Sementara kecerdasan metakognisi berfokus pada proses kognitif tingkat tinggi, kecerdasan kognisi mencerminkan pengetahuan tentang norma, praktik, dan konvensi dalam budaya yang berbeda yang telah diperoleh dari pendidikan dan pengalaman pribadi. Faktor kecerdasan kognisi mengacu pada tingkat pengetahuan budaya seseorang atau pengetahuan tentang lingkungan budaya. Pengetahuan budaya meliputi pengetahuan tentang diri sendiri sebagaimana yang sudah tertanam dalam konteks budaya dari

4 lingkungan. Mengingat adanya berbagai macam budaya di dunia kontemporer, kecerdasan kognisi menunjukkan pengetahuan budaya universal serta pengetahuan tentang perbedaan budaya. Antropologi budaya telah mendokumentasikan variasi yang besar dalam budaya. Menurut Triandis (1994, dalam Ang, 2008), menunjukkan bahwa pada tingkat yang lebih tinggi dari abstraksi, budaya terbagi dalam beberapa fitur umum, salah satunya adalah budaya universal berdasarkan kebutuhan mendasar (karena semua umat manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama). Universal budaya yang termasuk inovasi teknologi (misalnya alat), metode mendapatkan makanan (misalnya perburuan, pertanian), kegiatan ekonomi (misalnya perdagangan), pola interaksi sosial (misalnya melakukan satu pembicaraan dengan seseorang ibu mertua), praktek pengasuhan, keyakinan dan perilaku manusia yang berhubungan dengan alam semesta (misalnya, agama), preferensi estetika, pola komunikasi (bahasa, gerak tubuh), dan masih banyak lagi. Singkatnya, semua masyarakat memiliki sistem mendasar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar. Akibatnya, masyarakat memiliki sistem ekonomi untuk secara sistematis menghasilkan komoditas penting dan mendistribusikan produk dan jasa. Masyarakat juga mengkodifikasi perkawinan dan belajar membesarkan anak yang diciptakan oleh pernikahan, keluarga, dan sistem sosial lainnya. Sistem pendidikan memungkinkan pembelajaran dan transmisi budaya, sementara politik, hukum, dansistem kontrol sosial mengurangi anarki dan kehancuran (ketaatan kepada norma-norma sosial). Untuk memfasilitasi interaksi, masyarakatmengembangkan sistem bahasa dan sistem komunikasi (verbal dan nonverbal). Akhirnya, masyarakat memiliki sistem untuk menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan (sering mengandalkan keyakinan supranatural seperti agama dan ilmu sihir), dan dengan demikian memiliki sistem keyakinan supernatural yang membantu untuk menjelaskan fenomena yang tak bisa dijelaskan.

5 Faktor kecerdasan kognisi adalah komponen penting dari kecerdasan budaya, karena pengetahuan tentang budaya mempengaruhi perilaku dan pikiran orang. Memahami budaya masyarakat dan komponen budaya, memungkinkan individu untuk lebih menghargai sistem yang terbentuk sehingga menyebabkan pola tertentu dari interaksi sosial dalam budaya. Akibatnya, mereka dengan kecerdasan kognisi yang tinggi, lebih mampu berinteraksi dengan orang-orang dari budaya masyarakat yang berbeda. Kecerdasan motivasi Kecerdasan motivasi adalah kemampuan individu untuk mengarahkan perhatian dan energi terhadap perbedaan budaya. Menggunakan kerangka harapan-nilai motivasi, kita mengkonsep kecerdasan motivasi sebagai bentuk khusus dari self-efficacy dan motivasi intrinsik dalam lintas-budaya situasi. Self efficacy dan motivasi intrinsik memainkan peran penting dalam kecerdasan budaya sebagai kesuksesan antarbudaya. Interaksi membutuhkan rasa dasar kepercayaan dan minat dalam pengaturan baru. Kecerdasan motivasi mencerminkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan energi terhadap apa yang dipelajari dan fungsinya dalam situasi, yang ditandai oleh perbedaan budaya.kanfer dan Heggestad (1997, dalam Ang, 2008) menyatakan bahwa kapasitas motivasi itu seperti memberikan kontrol agentik dari pengaruh, kognitif dan perilaku yang memfasilitasi pencapaian tujuan. Menurut expectancy-value theory of motivation (Eccles & Wigfield 2002, dalam Earley, 2008) arah dan besarnya energi yang disalurkan menuju tugas tertentu melibatkan dua elemen: harapan akan keberhasilan menyelesaikan tugas dan nilai yang terkait dengan menyelesaikan tugas. Mereka dengan kecerdasan motivasi yang tinggi, mengarahkan perhatian dan energi terhadap situasi lintasbudaya yang didasarkan pada kepentingan intrinsik (Deci & Ryan 1985, dalam Ang, 2008) dan kepercayaan diri dalam efektivitas lintas-budaya (Bandura 2002, dalam Ang, 2008).

6 Kecerdasan motivasi adalah komponen penting dari kecerdasan budaya karena merupakan sumber penggerak. Kecerdasan motivasi memicu usaha dan energi yang diarahkan terhadap fungsi dalam pengaturan budaya baru. Kecerdasan perilaku Kecerdasan perilaku adalah kemampuan individu untuk menunjukkan tindakan verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Kecerdasan perilaku didasarkan pada memiliki dan menggunakan repertoar yang luas atau berbagai perilaku. Kecerdasan perilaku adalah komponen penting dari kecerdasan budaya karena merupakan perilaku dan karakteristik yang paling sering terlihat dari interaksi sosial. Selain itu, perilaku nonverbal sangat penting karena mereka berfungsi sebagai "bahasa diam" yang menyampaikan makna dengan cara yang halus dan rahasia (Hall 1959, dalam Ang, 2008). Hall (1959, dalam Ang, 2008) menekankan, kemampuan mental untuk memahami budaya dan motivasi harus dilengkapi dengan kemampuan untuk menunjukkan tindakan verbal dan nonverbal yang tepat, berdasarkan nilai-nilai budaya dari suatu pengaturan yang spesifik. Ketika individu memulai dan mempertahankan interaksi face-to-face, mereka tidak memiliki akses ke pikiran terpendam satu sama lain, perasaan, atau motivasi. Namun mereka bisa mengandalkan apa yang mereka lihat dan dengar dalam ekspresi vokal, wajah, dan ekspresi luar lainnya. Repertoar perilaku dalam budaya mempunyai variasi dalam tiga cara:(a) dalam kisaran tertentu tentang perilaku yang berlaku, (b) dalam tampilan aturan yang mengatur kapan dan dalam keadaan apa ekspresi nonverbal khusus diperlukan, dan (c) dalam interpretasi atau makna yang dikaitkan dengan perilaku nonverbal tertentu (Lustig & Koester 1999, dalam Ang, 2008). Akibatnya, individu dengan kecerdasan perilaku tinggi, fleksibel dan dapat menyesuaikan perilaku mereka dengan spesifikasi setiap interaksi budaya.

7 Ekspresi perilaku menonjol terutama padapertemuan lintas budaya, komponen kecerdasan perilakumungkin menjadi faktor yang paling penting yang digunakan sebagai pengamat untuk menilai kecerdasan budaya lainnya. 2.2 Prestasi Akademik Menurut Bloom (dalam Slavin, dalam sihadi, 2004) prestasi akademik atau prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan,daya analisis, sintesis dan evaluasi. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademik (winkel, dalam slameto, dalam sihadi, 2004), antara lain ada yang bersifat internal (terdiri dari inteligensi, motivasi belajar, minat, bakat, sifat, persepsi diri dan kondisi fisik) dan ada yang bersifat eksternal (terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat). Berarti ada kemungkinan siswa tidak menampilkan prestasi akademik yang sesuai dengan tujuan belajar. Poerwanto (1986, h.28, dalam Djazari, 2011) memberikan pengertian prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajarsebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Winkel (1996, dalam Djazari, 2011) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelahmelaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993, dalam Djazari, 2011) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Menurut S. Nasution (1996, h.17, dalam Djazari, 2011 )prestasi belajar adalah: Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa, dan berbuat. Prestasibelajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif danpsikomotorik, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampumemenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.

8 Pada variebel ini, penulis memakai Taksonomi Bloom (1979, dalam Tulasi, 2010). Kata taksonomi berasal dari bahasa Yunani yakni tassein, artinya menggolongkan, dan nomos, yang berarti aturan. Jadi, taksonomi secara leksikal berarti, aktivitas menggolongkan aturan-aturan. Sementara itu, arti derivatifnya adalah suatu proses menggolongkan tingkatan derajat berpikir yang meningkat dari yang terendah ke tingkat yang lebih tinggi, dan memuat kompleksitas seluruh potensi daya pikir manusia. Berawal dari penemuan sederhana 3H oleh Johansen, seorang berkewarganegaraan Itali. H pertama, disebutnya head (kognitif), H kedua adalah heart (afektif), dan H ketiga adalah hand (psikomotor). Ketiga elemen ini merupakan siklus yang saling terkait satu sama lain dalam fungsinya masing-masing. Otak (head), berfungsi untuk terus berpikir, berhubungan dengan kognisi. Pada sudut otak termuat milyaran sel kiri dan kanan, yang menjadi kubangan multi inteligensia manusia. Hati (heart), berfungsi untuk merasa dan melaksanakan tugas afeksi, mendorong perilaku manusia melalui rasa yang mendalam, dan bermuara pada sikap (attitude). Tangan (hand), berfungsi untuk melaksanakan tugas atas perintah otak yang dihayati oleh hati, sebagai unsur penengahnya (Tulasi, 2010). Ketiga ranah tersebut merupakan suatu siklus yang bersifat perenial. Akan tetapi, pada ranah kognitif, pembahasan dan eksplanasi semakin dipertajam dan diperluas untuk memperdalam eksplorasi kita, bukan hanya sebagai human being melainkan sebagai thoughtful being atau manusia yang berpikir. Hal ini dipertegas oleh filsuf modern Rene Descartes (dalam Tulasi, 2010) dengan kalimatnya yang melegenda: gogito ergo sum, yang berarti ketika aku berpikir maka aku ada. Berpikir berarti terdapat sebuah proses aktivitas otak untuk mengolah semua endapan pengetahuan yang tidak diam. Oleh karena itu, taksonomi karya Bloom mempertegas ucapan Rene Descartes. Para pemikir pragmatis selalu membayangkan bahwa berpikir berarti hanya berupaya untuk mendapatkan (to have), padahal inti dan esensi dari berpikir adalah menuju dan bermuara pada menjadi (to be).

9 Menurut Bloom (dalam Djazari, 2011), ada 3 aspek yang dapat menilai prestasi belajar seseorang, aspek tersebut adalah: 1. kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: - Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untukmenggunakannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah. - Pemahaman (comprehension), yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. - Penerapan (application), yaitu kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metoda-metoda, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan konkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan

10 misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan kecerdasan budaya dalam kehidupan sehari-hari. - Analisis (analysis), yaitu kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi daripada jenjang aplikasi. - Sintesis (syntesis), yaitu kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu hasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kecerdasan budaya. - Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation), yaitu merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, nilai atau ide, misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. 2. Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl (1961, dalam Djazari, 2011) tingkatan terbagi menjadi lima,yaitu: receiving, responding, valuing, organization, dan characterization by evalue or calue complex.

11 - Receiving atau attenting (menerima atau memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentifikasikan diri dengan nilai itu. - Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. - Valuing (menilai atau menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan itu adalah baik, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. - Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan

12 pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. - Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalalm suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini merupakan tingkat afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentuk karakteristik pola hidup tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. 3. Psikomotorik Bloom (1979, dalam Djazari, 2011) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972, dalam Djazari, 2011) menambahkan bahwa mata kuliah yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata kuliah yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksireaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu. Dalam mata pelajaran komputer, terdapat juga ranah psikomotorik, yaitu ketika siswa mengerjakan tugas praktek komputer yang menuntut mereka untuk tidak hanya menggunakan kemampuan kognitif mereka tetapi juga menggunakan kemampuan psikomotorik. Kecepatan dan kecakapan dalam mengerjakan praktik komputer ditentukan juga oleh kemampuan psikomotorik siswa. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956, dalam Djazari, 2011) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam

13 bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungankecenderungan berperilaku). Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan (1980, dalam Djazari, 2011) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Sementara itu Leighbody (1968, dalam Djazari, 2011) berpendapat bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan. 2.3 Kecerdasan Budaya dan Prestasi Penelitian tentang kecerdasan budaya dan prestasi sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Vedadi (2010). Penelitian ini tentu memiliki keterbatasan. Pertama, kecerdasan budaya adalah konstruksi baru. Dengan demikian,hanya ada sedikit penelitian tentang hal ini dan langkah-langkah nya. Keterbatasan ini ditujukan untuk menghasilkan sebagian besar literatur yang relevan. Kedua, sampel hanya memilih beberapa negara. Ini bisa dibantah bahwa hasilnya tidak digeneralisasikan ke negara lain. Meskipun demikian, hasil dari penelitian tersebut adalah sebanding dengan penelitian lain yang dilakukan dalam berbagai budaya yaitu ada hubungan kecerdasan budaya terhadap prestasi. Menghubungkan antara kecerdasan budaya dan prestasi dapat didiskusikan dengan jenis lain yang sama antar kecerdasan dan bahkan hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Hal ini harus dipertimbangkan bahwa kecerdasan budaya terlebih dahulu perlu

14 skala yang komprehensif untuk mampu mengukur semua sisi tersebut agar dapat lebih mendalam. Timbangan ini dapat berbeda untuk setiap negara atau segala hal budaya untuk fitur khusus mereka. Kecerdasan budaya dapat menjadi tolak ukur seseorang dalam beradaptasi, apabila seseorang dapat beradaptasi dengan baik maka ia dapat lebih mudah untuk menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan lingkungan yang menyenangkan, sehingga dapat berhubungan dengan prestasi mereka. Lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal dalam mendukung seseorang dalam berprestasi, dalam penelitian lain faktor-faktor eksternal yang mendukung prestasi seseorang yang sudah banyak diteliti adalah tentang IQ, motivasi berprestasi dan kecerdasan emosional tetapi masih sedikit penelitian yang menghubungkan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti ingin melihat adakah hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi di Indonesia tepatnya pada SMAN 6 Jakarta. 2.4 Kerangka berfikir Gambar 2.1 Kerangka berfikir Sumber: Peneliti

15 SMAN 6 merupakan salah satu SMAN favorit di bilangan Jakarta Selatan, banyak sekali siswa-siswa yang berdomisili diluar Jakarta yang bersekolah disana, hal ini menjadikan SMAN 6 salah satu sekolah dengan berbagai macam budaya, karena beragamnya siswa-siswi yang bersekolah disana. Nilai UN SMP mereka yang menjadi salah satu syarat untuk masuk SMA harusnya memiliki rata-rata 8 bahkan 9. Tingginya nilai UN SMP mereka dapat di indikasikan bahwa mereka adalah anak-anak pintar. Peneliti melihat banyak sekali faktor-faktor yang dapat mendukung prestasi, seperti IQ, motivasi berprestasi dan kecerdasan emosional. Banyak penelitian yang telah membahas tentang hubungan prestasi dengaan IQ, motivasi berprestasi dan juga kecerdasan emosional, tetapi bagaimana dengan kecerdasan budaya? Apakah kecerdasan budaya merupakan salah satu faktor pendukung prestasi seseorang? Masih sedikit sekali penelitian yang membahas tentang hubungan kecerdasan budaya dan prestasi, karena itu peneliti bermaksud melakukan penelitian ini untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara kecerdasan budaya dan prestasi. Peneliti melihat bahwa kecerdasan budaya dapat menjadi salah satu faktor pendukung prestasi seseorang. Kepintaran seseorang tidak hanya dilihat dari nilai yang tinggi saja, tapi juga bagaimana seseorang dapat mengendalikan emosi mereka, dapat menjalin komunikasi dengan orang lain dan juga dilihat dari bagaimana seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungannya secara baik. Relasi yang baik dengan orang lain juga dapat mennjadi pendukung seseorang dalam mendapatkan prestasi yang baik. Dalam konteks sekolah, anak-anak yang dapat menjalin relasi dan beradaptasi dengan temantemannya mempunyai potensi untuk mempunyai teman yang banyak, sehingga ia dapat mengetahui banyak hal dari teman-temannya tersebut dan membuat pengetahuan ia tidak hanya dari pengetahuan tentang sekolah dan pelajaran tetapi juga pengetahuan akan lingkungan luar menjadi lebih banyak, sedangkan anak-anak yang sulit untuk menjalin relasi dengan orang lain mungkin mereka bisa pintar dalam nilai-nilai ujian, tetapi pengetahuan mereka mungkin hanya sekedar pengetahuan yang ia dapatkan disekolah, pengetahuan

16 mereka tentang dunia luar tidak begitu banyak karena relasi pertemanan mereka sedikit sehingga tidak banyak pengetahuan diluar dari sekolah yang bisa ia dapatkan dari orang lain.

Berikut diperlihatkan jenis-jenis pengetahuan yang terangkum dalam aras kemahiran tersebut:

Berikut diperlihatkan jenis-jenis pengetahuan yang terangkum dalam aras kemahiran tersebut: TAKSONOMI BLOOM Bidang ini merupakan satu rangka tugas untuk menentukan peringkat atau taraf pelakuan akhir yang hendak dicapai. Bidang ini adalah bidang mengenaipengetahuan seperti mengenai fakta-fakta,

Lebih terperinci

EMOSI DAN SUASANA HATI

EMOSI DAN SUASANA HATI EMOSI DAN SUASANA HATI P E R I L A K U O R G A N I S A S I B A H A N 4 M.Kurniawan.DP AFEK, EMOSI DAN SUASANA HATI Afek adalah sebuah istilah yang mencakup beragam perasaan yang dialami seseorang. Emosi

Lebih terperinci

Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 Tahun 2011, Hlm

Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 Tahun 2011, Hlm Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 Tahun 2011, Hlm. 103-112 EVALUASI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM KELANJUTAN STUDI JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI DITINJAU DARI IPK D3 DAN ASAL PERGURUAN

Lebih terperinci

Perencanaan : Pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan

Perencanaan : Pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan Perencanaan : Pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan Perencanaan Pembelajaran: Proses pengambilan keputusan hasil berfikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan

Lebih terperinci

Tugas Evaluasi Pendidikan RANAH PENGETAHUAN MENURUT BLOOM

Tugas Evaluasi Pendidikan RANAH PENGETAHUAN MENURUT BLOOM Tugas Evaluasi Pendidikan RANAH PENGETAHUAN MENURUT BLOOM Dosen Pembina: PROF. DR.Ahmad Fauzan,M.Pd, M.Sc. Oleh: Kelompok I Asmi yuriana Dewi Desi Delarosa Isra Marlinawaty Sri Rahayu KONSENTRASI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN TES Untuk dapat memperoleh alat penilaian (tes) yang memenuhi persyaratan, setiap penyusun tes hendaknya dapat mengikuti

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN TES Untuk dapat memperoleh alat penilaian (tes) yang memenuhi persyaratan, setiap penyusun tes hendaknya dapat mengikuti LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN TES Untuk dapat memperoleh alat penilaian (tes) yang memenuhi persyaratan, setiap penyusun tes hendaknya dapat mengikuti langkah-langkah penyusunan tes. Sax (1980), mengidentifikasi

Lebih terperinci

Nama Sekolah : Mata pelajaran : Sosiologi Kelas / semester : X/2 Tahun Ajaran :

Nama Sekolah : Mata pelajaran : Sosiologi Kelas / semester : X/2 Tahun Ajaran : Nama Sekolah : Mata pelajaran : Sosiologi Kelas / semester : X/2 Tahun Ajaran : 2014-2015 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Ranah berfikir Indikator Pencapaian Kompetensi Tahapan Berfikir Materi Pokok

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Oemar Hamalik (2001: 27) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Oemar Hamalik (2001: 27) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu proses 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Belajar Oemar Hamalik (2001: 27) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Slameto

Lebih terperinci

Prinsip dalam Pembelajaran

Prinsip dalam Pembelajaran Prinsip dalam Pembelajaran Kompetensi Dasar Mahasiswa mampu membedakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Indikator: Mahasiswa mampu memahami prinsip kesiapan dalam pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada masa kini di seluruh dunia telah timbul pemikiran baru terhadap status pendidikan. Pendidikan diterima dan dihayati sebagai kekayaan yang sangat berharga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. SMA Negeri 6 Jakarta merupakan salah satu SMA favorit dibilangan Jakarta Selatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. SMA Negeri 6 Jakarta merupakan salah satu SMA favorit dibilangan Jakarta Selatan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang SMA Negeri 6 Jakarta merupakan salah satu SMA favorit dibilangan Jakarta Selatan. Banyak siswa-siswi dari berbagai sekolah menengah pertama yang mendaftarkan diri mereka

Lebih terperinci

Anterior Jurnal, Volume 13 Nomor 1, Desember 2013, Hal dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat

Anterior Jurnal, Volume 13 Nomor 1, Desember 2013, Hal dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat Anterior Jurnal, Volume 13 Nomor 1, Desember 2013, Hal 88 93 dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat PELAKSANAAN PENGUKURAN RANAH KOGNITIF, bahwa AFEKTIF, tidak DAN semua PSIKOMOTOR bentuk evaluasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang sering BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanyaan Siswa Banyak kegiatan atau aktivitas yang dilakukan siswa di sekolah. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang sering dilakukan di

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat dan

II. KERANGKA TEORETIS. menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat dan II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Intelegensi Intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat

Lebih terperinci

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL BELAJAR OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT PADA SISWA DI SDN 3 TAPA KECAMATAN TAPA KABUPATEN BONE BOLANGO

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL BELAJAR OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT PADA SISWA DI SDN 3 TAPA KECAMATAN TAPA KABUPATEN BONE BOLANGO DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL BELAJAR OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT PADA SISWA DI SDN 3 TAPA KECAMATAN TAPA KABUPATEN BONE BOLANGO Oleh DELI MA RUF NIM : 151 409 192 (Mahasiswa Program

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. oleh dirinya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Oleh karena. dengan tingkat pengetahuan seseorang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. oleh dirinya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Oleh karena. dengan tingkat pengetahuan seseorang. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Pengertian Pemahaman Secara umum, pemahaman merupakan proses pengetahuan seseorang dalam mencari makna atau memahami suatu hal yang belum diketahui oleh dirinya

Lebih terperinci

Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 1 Tahun 2011, Hlm PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Oleh Sukanti 1.

Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 1 Tahun 2011, Hlm PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Oleh Sukanti 1. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 1 Tahun 2011, Hlm. 74-82 PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI Oleh Sukanti 1 Abstrak Terdapat empat karakteristik afektif yang penting dalam

Lebih terperinci

PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Sukanti. Abstrak

PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI. Sukanti. Abstrak PENILAIAN AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN AKUNTANSI Sukanti Abstrak Terdapat empat karakteristik afektif yang penting dalam pembelajaran yaitu: (1) minat, 2) sikap, 3) konsep diri, dan 4) nilai. Penilaian afektif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Metakognisi Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil dari perenungan mereka terhadap kondisi

Lebih terperinci

Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( )

Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2013, Volume 8 Nomor 2, ( ) PELAKSANAAN PENGUKURAN RANAH KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTOR PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS III SD MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA Oleh : Iin Nurbudiyani * Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Fiqih dengan melalui penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe picture and

BAB V PEMBAHASAN. Fiqih dengan melalui penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe picture and BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas II di MIN Sumberjati Kademangan Blitar pada mata pelajaran Fiqih dengan melalui penerapan model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan membekali manusia akan ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan membekali manusia akan ilmu pengetahuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan membekali manusia akan ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang unik, tidak ada seorang individu yang sama persis dengan individu yang lain. Salah satunya adalah dalam hal kecepatan dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belajar Banyak ahli pendidikan yang mengungkapkan pengertian belajar menurut sudut pandang mereka masing-masing. Berikut ini kutipan pendapat beberapa ahli pendidikan tentang

Lebih terperinci

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR A. Model Pembelajaran Novick Model Pembelajaran Novick merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk pandangan konstruktivisme. Gagasan utama dari

Lebih terperinci

MANFA NFA TUJUAN PEMBELAJARAN

MANFA NFA TUJUAN PEMBELAJARAN Retno Wahyuningsih 1 PENGERTIAN Ranah hasil belajar siswa dikelompokkan sebuah taksonomi Taksonomi adalah usaha pengelompokan yang disusun dan diurut berdasarkan ciri-ciri tertentu. 1 MANFAAT Untuk menentukan

Lebih terperinci

Bagian 2. EVALUASI : Prinsip, Karakteristik Kualitas, Taksonomi Hasil Belajar, Ragam Bentuk dan Prosedur.

Bagian 2. EVALUASI : Prinsip, Karakteristik Kualitas, Taksonomi Hasil Belajar, Ragam Bentuk dan Prosedur. Bagian 2 EVALUASI : Prinsip, Karakteristik Kualitas, Taksonomi Hasil Belajar, Ragam Bentuk dan Prosedur. Prinsip-Prinsip Dasar Tes Hasil Belajar 1. Mengukur Hasil Belajar. 2. Mengukur sample yang representatif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Banyak orang belum mengetahui apa itu leaflet dan apa perbedaannya dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Banyak orang belum mengetahui apa itu leaflet dan apa perbedaannya dengan 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Leaflet Leaflet adalah bahan cetak tertulis berupa lembaran yang dilipat tapi tidak dimatikan/dijahit. Agar terlihat menarik biasanya leaflet didesain secara cermat dilengkapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa guna mencapai tujuan pendidikan nasional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada di sekitar individu. Menurut Sudjana dalam Rusman. (2011: 1) Belajar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada di sekitar individu. Menurut Sudjana dalam Rusman. (2011: 1) Belajar BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Menurut Sudjana dalam Rusman. (2011: 1) Belajar dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari akademik dan non akademik. Pendidikan. matematika merupakan salah satu pendidikan akademik.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari akademik dan non akademik. Pendidikan. matematika merupakan salah satu pendidikan akademik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus berkembang pesat akan membawa dampak kemajuan pada bidang kehidupan dan teknologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk mengembangkan dirinya agar dapat menghadapi segala permasalahan yang timbul pada diri manusia. Menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar Para ahli dalam bidang belajar pada umumnya sependapat bahwa perbuatan belajar itu adalah bersifat komplek, karena merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS. 2.1 Hakekat Kemampuan Siswa Mengubah Pecahan Biasa Menjadi Pecahan Desimal Pengertian Pecahan Biasa dan Pecahan Desimal

BAB II KAJIAN TEORETIS. 2.1 Hakekat Kemampuan Siswa Mengubah Pecahan Biasa Menjadi Pecahan Desimal Pengertian Pecahan Biasa dan Pecahan Desimal 5 BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakekat Kemampuan Siswa Mengubah Pecahan Biasa Menjadi Pecahan Desimal 2.1.1 Pengertian Pecahan Biasa dan Pecahan Desimal Kata pecahan berasal dari bahasa latin fractus (pecah).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. KAJIAN TEORI 1. Lingkungan Sekolah a. Pengertian Lingkungan Sekolah Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan selalu bersentuhan dengan lingkungan sekitar,

Lebih terperinci

BAB I PENGEMBANGAN AFEKTIF ANAK USIA DINI

BAB I PENGEMBANGAN AFEKTIF ANAK USIA DINI BAB I PENGEMBANGAN AFEKTIF ANAK USIA DINI A. Arti Kata Afektif Kata afektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (2001) adalah berbagai perilaku yang berkaitan dengan perasaan, sedangkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal umum yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. 1 Untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal umum yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. 1 Untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki tujuan yang dapat dirumuskan.pertama, tujuan umum pendidikan yang dikenal sebagai TIU (Tujuan Instruksional Umum) yang menentukan perlu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Praktikum biologi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Praktikum biologi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktikum biologi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan Praktik Belajar Mengajar dan memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran

Lebih terperinci

HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN LEARNING STARTS WITH A QUESTION

HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN LEARNING STARTS WITH A QUESTION SKRIPSI HASIL BELAJAR BIOLOGI MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN LEARNING STARTS WITH A QUESTION DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA KELAS VII SMP NEGERI 12 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010/2011 Oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. pembelajaran, dan hasil belajar yang dicapai siswa sangat dipengaruhi oleh

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. pembelajaran, dan hasil belajar yang dicapai siswa sangat dipengaruhi oleh 1 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakikat Hasil Belajar Keberhasilan sebuah proses belajar mengajar sangat ditentukan oleh hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

Lebih terperinci

PERKULIAHAN 3: EVALUASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA ALAT EVALUASI

PERKULIAHAN 3: EVALUASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA ALAT EVALUASI PERKULIAHAN 3: EVALUASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA ALAT EVALUASI 1. Taksonomi Bloom Bloom dan kawan-kawan membagi tujuan pendidikan ke dalam tiga daerah (domain), yaitu daerah kognitif (cognitive domain),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2.

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil bagi suatu kelompok

Lebih terperinci

2016 PERBAND INGAN HASIL BELAJAR SISWA ANTARA MOD EL PEMBELAJARAN BERBASIS PORTOFOLIO D ENGAN MOD EL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK D I SMKN 1 SUMED ANG

2016 PERBAND INGAN HASIL BELAJAR SISWA ANTARA MOD EL PEMBELAJARAN BERBASIS PORTOFOLIO D ENGAN MOD EL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK D I SMKN 1 SUMED ANG BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Model Pembelajaran 2.1.1 Definisi Model Pembelajaran Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar

Lebih terperinci

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam)

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam) PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam) Oleh: Muhamad Fatih Rusydi Syadzili I Pendidikan esensinya bukan sebagai sarana transfer

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Matematika 2.1.1.1 Pengertian Matematika Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS VIIC SMP N 1 PAJANGAN

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS VIIC SMP N 1 PAJANGAN UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS VIIC SMP N 1 PAJANGAN Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah jenjang pendidikan yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut arti leksikal Hasil adalah sesuatu yang diadakan. 10 Sedangkan belajar

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut arti leksikal Hasil adalah sesuatu yang diadakan. 10 Sedangkan belajar 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hasil Belajar Menurut arti leksikal Hasil adalah sesuatu yang diadakan. 10 Sedangkan belajar adalah mengumpulkan sejumlah pengetahuan. 11 Slameto merumuskan pengertian belajar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi satu sama lain, baik antara mahluk-mahluk itu sendiri maupun

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi satu sama lain, baik antara mahluk-mahluk itu sendiri maupun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Lingkungan hidup ialah tempat, wadah, atau ruang yang ditempati oleh mahluk hidup dan tak hidup yang saling berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Metode Eksperimen adalah pemberian kesempatan kepada anak didik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Metode Eksperimen adalah pemberian kesempatan kepada anak didik 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA Untuk mendukung penelitian ini serta mempermudah pembaca dalam memehami topik yang ada, penulis membubuhkan : A. Metode Eksperimen 1. Pengertian Metode Eksperimen Metode Eksperimen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah menentukan model atau metode mengajar tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosenberg (dalam Surjono, 2009: 3), mendefinisikan e-learning sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rosenberg (dalam Surjono, 2009: 3), mendefinisikan e-learning sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. E-learning Rosenberg (dalam Surjono, 2009: 3), mendefinisikan e-learning sebagai pemanfaatan teknologi internet untuk mendistribusikan materi pembelajaran, sehingga siswa dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mekanisme institusional yang fundamental untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan manusia adalah pendidikan. Manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pada kajian teori, pendapat-pendapat ahli yang mendukung penelitian akan dipaparkan dalam obyek yang sama, dengan pandangan dan pendapat yang berbedabeda. Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas bangsa, karena dengan pendidikan dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUN. Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan-tantangan

BAB I PENDAHULAUN. Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan-tantangan BAB I PENDAHULAUN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang mengharuskannya mampu melahirkan individu-individu yang dapat memenuhi tuntuan global.

Lebih terperinci

Taksonomi Bloom (Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor) serta Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Taksonomi Bloom (Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor) serta Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Indonesia Taksonomi Bloom (Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor) serta Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Indonesia Taksonomi Bloom 1. Ranah Kognitif Ranah ini meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori 1. Media Pembelajaran Mind Mapping a. Pengertian Media Pembelajaran Mind Mapping Sadiman (dalam Rianti, 2012, h.9) menjelaskan media pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKAN. yang mereka dapat dan kegiatan yang mereka lakukan. Menurut Hamalik (2001:

KAJIAN PUSTAKAN. yang mereka dapat dan kegiatan yang mereka lakukan. Menurut Hamalik (2001: II. KAJIAN PUSTAKAN 2.1 Pengertian Aktivitas Belajar Belajar merupakan suatu proses perubahan menjadi lebih baik. Pada proses belajar siswa melakukan perubahan ke arah kebaikan berdasarkan segala pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI MATERI KONSEP KONSEP GEOGRAFI

BAB II MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI MATERI KONSEP KONSEP GEOGRAFI BAB II MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI MATERI KONSEP KONSEP GEOGRAFI A. Model Pembelajaran Course Review Horay 1. Pengertian Model Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Media Kartu Kata Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk majemuk atau jamak medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Metode Diskusi 1. Pengertian Diskusi Dalam kegiatan pembejaran dengan metode diskusi merupakan cara mengajar dalam pembahasan dan penyajian materinya melalui suatu problema atau

Lebih terperinci

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN AFEKTIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI SISWA KELAS VII-A SMP NEGERI 16 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/2011 Skripsi OLEH:

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Kata "media" menurut Heinich, dkk (1982) berasal dari bahasa latin,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Kata media menurut Heinich, dkk (1982) berasal dari bahasa latin, BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS A. KAJIAN PUSTAKA 1. Media Pembelajaran Kata "media" menurut Heinich, dkk (1982) berasal dari bahasa latin, merupakan bentuk jamak dari kata "medium"

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 9 BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Menurut Syaiful Sagala (2009, hlm. 61) pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9. tentang Perlindungan Anak mmenyatakan bahwa setiap anak berhak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9. tentang Perlindungan Anak mmenyatakan bahwa setiap anak berhak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9 tentang Perlindungan Anak mmenyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Dalam Bab II ini akan diuraikan kajian teori yang merupakan variabel dalam penelitian yang dilakukan yaitu hasil belajar, pendekatan CTL, dan alat peraga. 2.1.1 Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem pembelajaran. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem pembelajaran. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasi merupakan tiga dimensi penting dalam sistem pembelajaran. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belajar apabila dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku dan tidak tahu

BAB I PENDAHULUAN. belajar apabila dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku dan tidak tahu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang menjadi satu kesatuan fungsional dan saling berinteraksi, bergantung, dan berguna

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kerangka Teoretis. 1. Pengertian Belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kerangka Teoretis. 1. Pengertian Belajar. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoretis 1. Pengertian Belajar Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman selalu berubah setiap waktu, keadaan tidak pernah menetap pada suatu titik, tetapi selalu berubah.kehidupan manusia yang juga selalu berubah dari tradisional menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda, antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda, antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam proses pembelajaran, minat mempunyai peran yang penting dalam kehidupan seseorang dan mempunyai dampak yang besar atas perilaku dan sikap. Minat yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam kehidupan manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan mengembangkan sumber

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Strategi Pembelajaran Menguji Hipotesis. bagian dari pembelajaran kooperatif.

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Strategi Pembelajaran Menguji Hipotesis. bagian dari pembelajaran kooperatif. BAB II KAJIAN TEORI A. Kerangka Teoretis 1. Strategi Pembelajaran Menguji Hipotesis a. Strategi Pembelajaran Menguji Hipotesis sebagai salah satu bagian dari pembelajaran kooperatif. Dalam proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Based Learning Model pembelajaran PBL merupakan model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar Matematika Menurut Slameto (dalam Bahri, 2008:13), Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. Harlen & Russel dalam Fitria (2007: 17) mengatakan bahwa kemampuan

II. KERANGKA TEORETIS. Harlen & Russel dalam Fitria (2007: 17) mengatakan bahwa kemampuan 6 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjaun Pustaka 1. Keterampilan Eksperimen Harlen & Russel dalam Fitria (2007: 17) mengatakan bahwa kemampuan merancanakan percobaan merupakan kegiatan mengidenfikasi berapa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Gagne (dalam Slameto, 2007:43) lima kategori hasil belajar yaitu

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Gagne (dalam Slameto, 2007:43) lima kategori hasil belajar yaitu BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Menurut Gagne (dalam Slameto, 2007:43) lima kategori hasil belajar yaitu (1) informasi verbal; (2) keterampilan

Lebih terperinci

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Mata pelajaran Matematika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajar Tujuan pendidikan direncanakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Taksonomi Bloom Taksonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Jadi Taksonomi

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan

II. KERANGKA TEORETIS. Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan 6 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Berpikir Kritis Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan tertentu dapat dikatakan berpikir dimana dapat dikatakan berpikir

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 RATNI PURWASIH, S.PD.,M.PD

Pertemuan ke-5 RATNI PURWASIH, S.PD.,M.PD Pertemuan ke-5 RATNI PURWASIH, S.PD.,M.PD ULASAN:TUGAS MAKALAH SEHARUSNYA: Nurbudiyan, I. (2013).Pelaksanaan Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, Dan Psikomotor Pada Mata Pelajaran IPS Kelas III SD Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan merupakan sarana wahana yang sangat baik di dalam pembinaan sumber

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam Dalam bahasa inggris Ilmu Pengetahuan Alam disebut natural science, natural yang artinya berhubungan dengan alam dan science artinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan secara sengaja, teratur dan terprogram dengan tujuan untuk mengubah dan mengembangkan perilaku maupun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004:22). Sedangkan menurut Horwart

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landaan Teori 2.1.1 Pengertian Belajar BAB II KAJIAN PUSTAKA Secara umum belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Hamalik (2005:27) menyimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) I. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis jenjang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara mengajar 2.1.1 Pengertian Cara mengajar Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara mengajar adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam proses pembelajaran selama ini. Prosedur-prosedur Penilaian konvensional

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam proses pembelajaran selama ini. Prosedur-prosedur Penilaian konvensional 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Penilaian Konvensional Penilaian konvensional adalah sistem penilaian yang biasa digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran selama ini. Prosedur-prosedur

Lebih terperinci

yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya memperhatikan

yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya memperhatikan MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU DI KELAS VIII-B DI SMP NEGERI 1 BOLAANG Tjitriyanti Potabuga 1, Meyko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didik

Lebih terperinci