II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perumahan Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, membedakan antara perumahan dan permukiman. Perumahan memiliki fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 4/1992). Menurut Kuswartojo (1997), permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Perumahan merupakan wadah fisik, sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya, yaitu manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya. Bagian dari permukiman yang disebut dengan wadah merupakan paduan antara tiga unsur, yaitu alam (udara, air, dan tanah), lindungan (shells), dan jaringan (networks), sedangkan yang disebut dengan isinya adalah manusia dan masyarakat. Menurut Kuswartojo (2005), karakteristik perumahan ada dua macam yaitu perumahan tidak tertata (informal) dan perumahan formal (tertata). Perumahan informal terbentuk secara berangsur-angsur, dan sebagai konsekuensinya permukiman tumbuh tanpa pola yang jelas, tidak ada pengkavlingan (pemetakan) dan jaringan jalan yang mengikuti penataan, rumah tidak teratur, bangunan beraneka ragam, mempunyai jaringan dan pola yang tidak teratur, perizinan pembangunan tidak jelas secara konseptual (sulit untuk diterapkan karena registrasi yang dapat memastikan suatu tanah menjadi hak seseorang sangat tidak lengkap dan perizinan pembangunan sangat lemah), memiliki perbedaan karakter sosial, memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dengan sendirinya tanpa pengendalian. Perumahan informal inilah yang berkembang menjadi wilayah permukiman yang disebut perdesaan, sedangkan perumahan formal dibangun atas dasar aturan yang jelas karena itulah terbentuk suatu pola yang teratur lengkap dengan sarana dan prasarana, dibangun secara serempak dengan waktu yang

2 7 sudah direncanakan, seperti pembangunan oleh Perumnas berupa rumah susun, atau pembangunan yang dikembangkan oleh instansi swasta. Menurut Daldjoeni (2003), definisi dari permukiman atau perumahan desa yaitu suatu tempat atau daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk kehidupan mereka. Terdapat tiga unsur, yaitu penduduk, tanah, dan bangunan yang masing-masing unsur lambat atau cepat mengalami perubahan sehingga desa sebagai pola permukiman bersifat dinamis. Secara geografis, definisi tadi dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia sebagai penghuni desa selalu melakukan adaptasi spasial dan ekologis sejalan dengan kegiatannya berpangupa jiwa agraris Perumahan Sehat Perumahan sehat disebut juga sebagai salah satu kriteria layak huni, dalam pengertian secara luas bukan hanya sebatas fisik saja, tetapi juga secara sosial, baik secara internal maupun eksternal. Perumahan sehat adalah perumahan yang harus memiliki tiga syarat, yaitu (a) syarat fisik tersedianya sarana air bersih, sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, (b) syarat biologis bebas dari serangga/binatang pengerat, dan (c) syarat sosial dengan berprilaku hidup sehat (Kuswartojo et al., 2005) Menurut Komisi WHO (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan, pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia ataupun limbah lainnya. Silas (2001) mengemukakan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (a) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (b) orientasi bangunan/gedung perlu

3 8 memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama diserahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan; (c) jalan mobil disediakan sesuai dengan kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan taman komunal; (d) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar. Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan, yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, dan permakaman. Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri atas beberapa unsur, yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan, dan jaringan/networks. - Alam, meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim. - Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan selain makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan, dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya, manusia membutuhkan berbagai hal untuk menunjang kehidupannya, seperti kebutuhan biologis (ruang, udara, suhu, dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral. - Masyarakat, merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang

4 9 mendiami suatu wilayah permukiman adalah (1) kepadatan dan komposisi penduduk, (2) kelompok sosial, (3) adat dan kebudayaan, (4) pengembangan ekonomi, (5) pendidikan, (6) kesehatan, dan (7) hukum dan administrasi. - Bangunan/rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu, dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang digunakan sesuai dengan fungsinya seperti sebagai pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lainnya), sebagai tempat rekreasi (fasilitas hiburan), dan sebagainya. - Jejaring/networks, merupakan sistem buatan atau alam berupa fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman, seperti jaringan air bersih di daerah pegunungan dapat dengan mudah diperoleh karena adanya sumber mata air. Sistem buatan yang diperlukan di dalam wilayah perumahan, antara lain, sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem jaringan transportasi, sistem komunikasi, drainase, dan tata letak fisik. Permukiman perdesaan di Indonesia umumnya merupakan perumahan yang mengelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan sosial bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong sehingga cenderung berkeinginan tinggal berdekatan dengan tetangga. Kelompok-kelompok tersebut dihubungkan oleh jalan kecil (jalan desa) atau jalan setapak. Permukiman perdesaan biasanya dicirikan oleh dominasi lanskap pertanian dan penyelenggaraannya diatur oleh adat istiadat dan pola-pola tradisional yang berlaku pada suatu daerah. Undangundang yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh pola-pola tradisional Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan Menurut Kuswartojo (2005), indikator rumah sehat adalah menyangkut prilaku hidup sehat penduduk, yaitu dengan tidak membuang sampah di sungai, tidak buang hajat di sungai, tidak membiarkan selokan kotor dan air tergenang, dan kondisi rumah terhadap faktor kesehatan dengan memperhatikan lingkungan fisik, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan terpenuhinya sarana kesehatan lingkungan.

5 10 Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan permukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat (Sanropie, 1992). Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut. 1. Lokasi, yaitu (a) tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya, (b) tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang, dan (c) tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. 2. Kualitas udara di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan. 3. Kebisingan dan getaran, yaitu (a) kebisingan dianjurkan 45 db.a, maksimum 55 db.a dan (b) tingkat getaran maksimum 10 mm/detik. 4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman, yaitu (a) kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg, (b) kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg, (c) kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg, dan (d) kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg. 5. Prasarana dan sarana lingkungan, yaitu (a) memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan, (b) memiliki sarana drainase yang baik, (c) memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata, (d) tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang

6 11 memenuhi persyaratan kesehatan, (e) pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, (f) pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan, (g) memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya, (h) pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya, dan (i) tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan. 6. Pepohonan untuk penghijauan lingkungan permukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan, dan kelestarian alam. Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 sebagai berikut. 1. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan. 2. Komponen dan penataan ruangan meliputi (a) lantai kedap air dan mudah dibersihkan, (b) dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan, (c) langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan, (d) bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir, (e) ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, dan (f) dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan alam dan/atau buatan baik langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. 4. Kualitas udara, yaitu (a) suhu udara nyaman antara 18-30ºC dan (b) kelembaban udara 40-70%. 5. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai. 6. Vektor penyakit, tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air, yaitu (a) tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari dan (b) kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

7 12 8. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan limbah, yaitu (a) limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah dan (b) limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. 10. Kepadatan hunian dengan luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Persyaratan tersebut di atas berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona permukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah. Setiap manusia di manapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, tempat berlindung dari segala macam ganguan baik dari kondisi alam maupun binatang buas. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1992, rumah adalah struktur fisik terdiri atas ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Departemen Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya (2002) menentukan syarat rumah menjadi sehat sebagai berikut. 1. Aspek kesehatan (ruangan dan peranginan, penyediaan air bersih, pembuangan air bersih, limbah, dan sampah yang menimbulkan pencemaran, bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, tidak tercemar bau, rembesan air kotor, dan udara kotor). 2. Aspek kekuatan bangunan (rumah memiliki konstruksi dan bahan bangunan yang menjamin keamanan, seperti konstruksi bangunan yang cukup kuat, baik untuk menahan berat sendiri maupun pengaruh lain, seperti angin, hujan, gempa, dan lainnya). 3. Aspek kenyamanan (udara lingkungan dan udara di dalam rumah).

8 13 4. Keterjangkauan (pemakaian bahan bangunan dapat menjamin keawetan dan kemudahan dalam pemeliharaan, tahan api dan air). 5. Rumah yang baik adalah minimal memiliki ruang tamu, ruang makan, ruang tidur, dapur, dan kamar mandi yang terpisah satu dengan yang lain. Dengan demikian keterkaitan kondisi rumah dengan permukiman sangatlah erat karena dari rumah yang merupakan unit terkecil dengan prilaku penghuninya, akan terbentuk lingkungan permukiman yang sehat berwawasan lingkungan. Pengertian dari wawasan lingkungan adalah pandangan, yang tercermin dalam prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi, antara manusia dan masyarakatnya dengan alam dan berbagai unsur buatannya. Dengan adanya hubungan yang serasi, pengembangan yang berkelanjutan dapat terus berlangsung (Kuswartojo, 1997). Silas (2001) mengemukakan rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang sebagai berikut. 1. Mendukung peningkatan produktifitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugas lebih baik. 2. Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dapat digunakan terhadap lingkungan adalah efektifitas konsumsi energi. 3. Meningkatkan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual. artinya penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan spiritual. 4. Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya. 5. Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam mengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) menggambarkan suatu wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut melalui

9 14 titik yang sama sepanjang suatu alur atau sungai. Menurut Suripin (2002), secara umum DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, dan dibatasi batas buatan, seperti jalan atau tanggul, tempat air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Asdak (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan ekosistem sebagai unsur utamanya yang terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam. Daerah aliran sungai terdiri atas unsur biofisik yang bersifat alami dan unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri atas vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik, tanah, iklim, dan air, sedangkan unsur non-biofisik adalah manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial-ekonomi, sikap politik, kelembagaan, serta tatanan masyarakat itu sendiri. Fungsi Daerah Aliran Sungai Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS, seperti vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Faktor-faktor tersebut jika mengalami perubahan, akan mempengaruhi ekosistem DAS. Menurut Asdak (2004), ekositem hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak saja memberikan dampak di daerah tempat kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya akan meningkatkan resiko banjir. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Menurut Asdak (2004), pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam

10 15 dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, diantaranya pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Hal yang termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah, dan air serta keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS. Dalam pengelolaan DAS, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administrasi, karena kekuatan alam seperti banjir (aliran air), tanah longsor, dan erosi yang tidak mengenal batas. DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non-biotik, dan manusia. Oleh karena itu, ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS dapat menyebabkan perubahan seperti perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, yang dapat memberikan dampak berupa fluktuasi debit air dan kandungan sedimen serta material yang terlarut di dalamnya. Menurut Ilyas (1985), pengolahan DAS merupakan pengolahan tanah dan air, yang pengolahan tersebut dikatakan baik apabila penggunaan tanah dan air dilakukan secara rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimum dan lestari dengan bahaya kerusakan sekecil-kecilnya. Pengaruh pengolahan ini akan tercermin pada ancaman banjir, keadaan aliran sungai pada musim kemarau dan kandungan sedimen sungai. Keseluruhan pengaruh tersebut akan mempengaruhi bagian kegiatan dan sektor kehidupan di hilir sungai Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Untuk keperluan tersebut, diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan baik sebagai tempat tinggal maupun bangunan lain seperti septik-tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Tanah merupakan sumber daya fisik wilayah utama yang sangat penting sehingga sifat tanah sangat menentukan potensi untuk berbagai jenis penggunaan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu adalah evaluasi kesesuaian lahan. Tujuan evaluasi kesesuaian lahan secara

11 16 umum adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2004). Teknik analisis kesesuaian lahan merupakan perpaduan dari tiga faktor yang ada dalam suatu area, yaitu lokasi, aktivitas pembangunan, dan biofisik/lingkungan. Teknik ini memungkinkan bagi seorang perencana dan pengambil keputusan untuk menganalisis interaksi yang terjadi dengan berbagai cara dan analisis tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan. (Miller et al., 1998). Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari Klasifikasi Kesesuaian Lahan Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2004), dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula. Pembagian kelas kesesuaian lahan sebagai berikut. (1). Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. (2). Kelas S2 (cukup sesuai), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor

12 17 pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. (3). Kelas S3 (sesuai marginal), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi sehingga perlu adanya bantuan atau intervensi pemerintah atau pihak swasta. (4). Kelas N (tidak sesuai), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi. Penentuan kelas suatu lahan untuk perumahan (tempat tinggal) didasarkan pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk peta dan laporan. Peta kesesuaian lahan dengan penjelasan penting dalam legenda merupakan penyajian yang paling efektif dari hasil evaluasi, sedangkan keterangan yang lebih detil disajikan dalam laporan Karakteristik Lahan Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir seperti kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, ketersediaan air, dan sebagainya (Hardjowigeno & Widiatmaka., 2001). Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air, mudah tidaknya tanah diolah,dan kepekaan erosi. Selanjutnya beberapa parameter yang menjadi kriteria kesesuaian lahan tempat tinggal dengan maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah sebagai berikut. (1). Kemiringan lereng Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Daerah dengan kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi kritis jika tidak dilakukan penanganan yang mengikuti kaidah konservasi sehingga akan mengancam kestabilan lahan perumahan. Pembangunan perumahan pada tanah dengan lereng

13 18 yang curam membutuhkan konstruksi bangunan yang lebih kuat dan akibatnya biaya akan lebih besar. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidrobiologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Selain itu, aliran air pada daerah datar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam sehingga kemungkinan timbulnya erosi kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan permukiman semakin kecil. Menurut Zee (1990), parameter yang menjadi pembatas, yaitu sangat sesuai <10%, cukup sesuai 10-15%, sesuai marginal 15-20%, dan tidak sesuai >20%, sedangkan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kemiringan lereng yang baik < 8%, sedang 8-15%, dan buruk >15%. Selanjutnya Masykur (2005) mengemukakan kemiringan lereng akan berpengaruh pada faktor penambahan biaya pembangunan. Untuk lahan dengan kemiringan lereng 0-4% tidak perlu penambahan biaya, kemiringan lereng 5-10% perlu penambahan biaya sebesar 20%, kemiringan lereng 11-15% perlu penambahan 30%, dan kemiringan lereng >15% akan memerlukan penambahan biaya sebesar >40%. Dalam mengevaluasi kemiringan lereng yang digunakan sebagai faktor pembatas merupakan kombinasi menurut para ahli di atas, yaitu sangat sesuai memiliki kemiringan lereng <10%, cukup sesuai dengan kemiringan lereng 10-15%, sesuai marginal memiliki kemiringan lereng 15-20%, dan tidak sesuai dengan kemiringan lereng >20%. (2). Bahaya Longsor Bahaya longsor merupakan parameter yang penting dalam menentukan kesesuaian lahan untuk perumahan karena bahaya longsor dapat mempenaruhi tingkat kenyamanan, dan keamanan penghuni. Oleh karena itu lokasi lahan perumahan seharusnya terbebas dari ancaman longsor. Wilayah DAS Ciliwung secara umum memiliki katagori bahaya longsor, sehingga parameter bahaya longsor digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan perumahan. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007) bahaya longsor diklasifikasikan menjadi empat kelas yaitu: daerah bebas bahaya longsor (normal), potensi, bahaya, dan sangat bahaya

14 19 (3). Penggunaan Lahan Fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang kendali. Penggunaan lahan, merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan wilayah penelitian. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan, pengendalian erosi saat musim penghujan, dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Oleh karena itu, penggunaan lahan digunakan sebagai skala proporsi dengan mengelompokkan penggunaan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan perumahan. Penggunaan lahan terdiri atas 4 kelas, yaitu kelas sangat sesuai atau S1 berupa lahan permukiman, kelas sesuai atau S2 berupa lahan semak belukar dan rumput, kelas sesuai marjinal atau S3 berupa penggunaan lahan sebagai ladang, sawah, dan perkebunan teh, dan kelas tidak sesuai atau N berupa penggunaan lahan sebagai air dan hutan 2.6. Prilaku Manusia Dahama dan Batnagar (1980) dalam Hidayati (1993), prilaku terbentuk melalui proses tertentu, yang pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukannya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kecerdasan, dorongan atau minat perhatiannya untuk mengolah pengaruhpengaruh dari luar, sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah obyek, orang, kelompok dari hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk prilaku. Batasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup dapat dipahami dari pengertian lingkungan hidup yang tertera pada Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1997, tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

15 20 Berkaitan dengan tingkah laku, Bakker (1984) menyatakan, bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungannya, tetapi juga sebaliknya, yaitu lingkungan ditentukan oleh tingkah laku. Kedua hal tesebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini merupakan hubungan dua arah atau sebagai ketergantungan ekologi. Analisis prilaku masyarakat dilakukan dengan mengidentifikasi prilaku masyarakat dalam merespon lingkungan atau penilaian keberlanjutan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungan agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya sehingga kualitas lingkungan terjaga dan lingkungan perumahan menjadi sehat. Parameter prilaku masyarakat yang digunakan ditinjau dari beberapa aspek, antara lain. 1. Kondisi Sosial Ekonomi Parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kondisi sosialekonomi pada perumahan adalah. a. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga merupakan anggota yang tinggal dalam pengelolaan sumber daya keluarga, yang terdiri atas bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya. Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang dikemukakan oleh BKKBN (2002) besar keluarga dibagi dalam tiga kelompok, yaitu keluarga kecil 4 orang (bapak, ibu, dan dua anak), keluarga sedang terdiri atas 5-6 orang, dan keluarga besar terdiri atas 7 orang. Jumlah anggota keluarga terkait dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan pada rumah sehingga berpengaruh pada tingkat kenyamanan penghuni. b. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan dapat menggambarkan kemampuan kognitif. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar baik untuk rumah tangga maupun untuk masyarakat sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga (KRT) semakin baik pengetahuannya mengenai perumahan atau tempat tinggalnya, khususnya kesehatan pribadi dan lingkungan sehingga berpengaruh langsung dalam menentukan kualitas rumah yang ditempati

16 21 (BPS, 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Susanto (1997), semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas tingkat pengetahuan seseorang untuk melakukan pengelolaan permukiman lebih baik. c. Umur responden Umur merupakan salah satu identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan kemampuan kerja (Purwanti, 2007). d. Jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan e. Kondisi kesehatan, meliputi luas bangunan, pencahayaan dan penghawaan, fasilitas air bersih dan air kotor, pembuangan limbah padat dan cair, serta pembuangan sampah. 2. Aspek Budaya dan Prilaku Parameter yang digunakan dalam menilai keberlanjutan dari aspek budaya dan prilaku adalah. a. Kearifan lokal (tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi bangunan). b. Prilaku masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografi (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. SIG terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi spasial berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan, dan menginterpretasi peta (Farina, 1998). Menurut Star dan Estes (1990), SIG merupakan suatu sistem informasi yang menggunakan data referensi berupa spasial (koordinat geografi) dan non spasial. SIG umumnya dipergunakan untuk bidang pekerjaan perencanaan kota dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lainnya. SIG merupakan penggantian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file yang ditampilkan di layar komputer. Proses penyusunan SIG meliputi pengumpulan data dalam berbagai bentuk, pemasukan data, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan terakhir berupa hasil produk. Aplikasi SIG selain untuk menyimpan data, mengorganisir dan menganalisis, mengkombinasi dan menampilkan informasi geografinya, juga

17 22 dapat membuat berbagai model (seperti rupa bumi, DAS, dan sistem pertanian), bahkan simulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Foote and Lynch (1996), tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu (1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi, (2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), dan Computer-Aided Design (CAD), dan (3) SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. Selanjutnya Cabuk (1995) menyatakan penggunaan SIG dalam studi perencanaan lanskap dua dimensi berdasarkan data dan analisis lingkungan alami, budaya, sosial-ekonomi, dan data demografi merupakan jalan terbaik. Dengan SIG dapat ditentukan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kondisi kehidupan masyarakatnya.

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3 TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3 Rizka Firdausi Pertiwi, S.T., M.T. Rumah Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan Kelompok rumah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga September 2007 di hulu DAS Ciliwung, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, hulu DAS Ciliwung terletak pada 106º55

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data Survei Dari survei menggunakan metode wawancara yang telah dilakukan di Desa Karanganyar Kecamatan Karanganyar RT 01,02,03 yang disebutkan dalam data dari

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.

Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

TINGKAT PENDAPATAN PENDUDUK TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2013

TINGKAT PENDAPATAN PENDUDUK TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2013 TINGKAT PENDAPATAN PENDUDUK TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2013 Disusun oleh: Khoirunnisa K5409034 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan. Parameter rumah yang dinilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 16 BAB II LANDASAN TEORI 1. Permukiman A. Tinjauan Pustaka Secara formal, definisi permukiman di Indonesia tertulis dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dalam dokumen tersebut,

Lebih terperinci

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar RUMAH SEHAT Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar Pengertian Rumah Rumah Adalah tempat untuk tinggal yang dibutuhkan oleh setiap manusia dimanapun dia berada. * Rumah adalah

Lebih terperinci

B. Bangunan 1. Umum Bangunan harus dibuat sesuai dengan peraturan perundangundangan

B. Bangunan 1. Umum Bangunan harus dibuat sesuai dengan peraturan perundangundangan Syarat kesehatan yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/MENKES/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat: A. Lokasi 1. Lokasi sesuai dengan Rencana Umum

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

Syarat Bangunan Gedung

Syarat Bangunan Gedung Syarat Bangunan Gedung http://www.imland.co.id I. PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia sedang giatnya melaksanakan kegiatan pembangunan, karena hal tersebut merupakan rangkaian gerak perubahan menuju kepada

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik daerahnya, kondisi fisik yang dimaksud yaitu topografi wilayah. Pengaruh kondisi fisik ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekritisan Daerah Resapan Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PENGETAHUAN DASAR GEOGRAFI I KTSP & K-13 A. PENGERTIAN GEOGRAFI a. Eratosthenes b. Ptolomeus

geografi Kelas X PENGETAHUAN DASAR GEOGRAFI I KTSP & K-13 A. PENGERTIAN GEOGRAFI a. Eratosthenes b. Ptolomeus KTSP & K-13 Kelas X geografi PENGETAHUAN DASAR GEOGRAFI I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian geografi dan lingkungan

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida Rumah Sehat edited by Ratna Farida Rumah Adalah tempat untuk tinggal yang dibutuhkan oleh setiap manusia dimanapun dia berada. * Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Guna menunjang program pemerintah dalam penyediaan infrastruktur perdesaan, Puslitbang Perumahan dan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pasal 1 (1.1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa BAB VII RENCANA 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa 7.1.1 Tahapan Pembangunan Rusunawa Agar perencanaan rumah susun berjalan dengan baik, maka harus disusun tahapan pembangunan yang baik pula, dimulai dari

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PEDAMPINGAN UNTUK MENGATASI MASALAH SANITASI PADA PEMUKIMAN KUMUH DI KAMPUNG SANGER, SARIO MANADO

IDENTIFIKASI DAN PEDAMPINGAN UNTUK MENGATASI MASALAH SANITASI PADA PEMUKIMAN KUMUH DI KAMPUNG SANGER, SARIO MANADO IDENTIFIKASI DAN PEDAMPINGAN UNTUK MENGATASI MASALAH SANITASI PADA PEMUKIMAN KUMUH DI KAMPUNG SANGER, SARIO MANADO Herawaty Riogilang Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi hera28115@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. Permukiman perlu ditata agar dapat berkelanjutan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 29 TAHUN 2003 T E N T A NG KEBERSIHAN, KEINDAHAN DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 29 TAHUN 2003 T E N T A NG KEBERSIHAN, KEINDAHAN DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 29 TAHUN 2003 T E N T A NG KEBERSIHAN, KEINDAHAN DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan

Lebih terperinci

UU NO 4/ 1992 TTG ; PERUMAHAN & PERMUKIMAN. : Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian & sarana pembinaan. keluarga.

UU NO 4/ 1992 TTG ; PERUMAHAN & PERMUKIMAN. : Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian & sarana pembinaan. keluarga. Pokok Bahasan Konsep Sanitasi Lingkungan Proses pengelolaan air minum; Proses pengelolaan air limbah; Proses pengelolaan persampahan perkotaan; Konsep dasar analisis system informasi geografis (GIS) untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan di berbagai sektor. Seperti yang diketahui selama ini, pembangunan memberikan banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia. Dalam sistem tata lingkungan, air merupakan unsur utama. Negara Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Novitasari,ST.,MT. TIU & TIK TIU Memberikan pengetahuan mengenai berbagai metode dalam penanganan drainase, dan mampu menerapkannya dalam perencanaan drainase kota:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA 1 OLEH : Kelompok V Muslim Rozaki (A 231 10 034) Melsian (A 231 10 090) Ni Luh Ari Yani (A 231 10 112) Rinanda Mutiaratih (A 231 11 006) Ismi Fisahri Ramadhani (A 231

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) Pokok Bahasan : Kesehatan Lingkungan Masyarakat Sub Pokok Bahasan : SPAL yang memenuhi standar kesehatan. Sasaran : Waktu : Tempat : I. A. Tujuan Instruksi Umum Setelah mengikuti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ACUAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERUMAHAN TAPAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ACUAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERUMAHAN TAPAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ACUAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERUMAHAN TAPAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Menurut Rachman (1984) perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan 252 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Perairan Sagara Anakan memiliki potensi yang besar untuk dikelola, karena berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut, lapangan kerja, transportasi,

Lebih terperinci

Page 1 of 14 Penjelasan >> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 Kuisioner Tahap I (Mencari Peristiwa Risiko Tinggi)

LAMPIRAN 1 Kuisioner Tahap I (Mencari Peristiwa Risiko Tinggi) LAMPIRAN 1 Kuisioner Tahap I (Mencari Peristiwa Risiko Tinggi) 101 KUESIONER PENELITIAN IDENTIFIKASI RISIKO DALAM ASPEK PRASARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA BIAYA DEVELOPER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat.

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat. 37 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang menjabarkan pembangunan sesuai dengan kondisi, potensi dan kemampuan suatu daerah tersebut.

Lebih terperinci

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE TL 4001 Rekayasa Lingkungan 2009 Program Studi Teknik Lingkungan ITB Pendahuluan o Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah

Lebih terperinci