PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN (Oleh: M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN (Oleh: M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum)"

Transkripsi

1 PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN (Oleh: M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum) I. PENDAHULUAN Seiring dengan pesatnya pembangunan di bidang ekonomi, termasuk lembaga keuangan (bank), maka tidak jarang pula telah terjadi penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang rakus akan kepuasan duniawi. Penyimpangan-penyimpangan itu menunjukkan terjadinya pergeseran nilai, yaitu dari struktur masyarakat tradisional (agraris) ke struktur masyarakat industri (modern). Pemerintah kita memang tengah membawa struktur masyarakatnya ke arah masyarakat industri dimaksud yang ditandai dengan adanya keterbukaan sikap, rasional, dan sifat pekerjaan yang kompetitif. Akibat perbedaan pola kehidupan dan karakteristik struktur tersebut, telah menimbulkan berbagai variasi kehidupan bagi setiap individu. Di satu pihak ada individu atau kelompok individu yang dapat menyesuaikan dengan perubahan pola kehidupan yang terjadi, di lain pihak ada pula individu atau kelompok individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang tengah dihadapinya itu. Dalam perspektif yang demikian ini, maka para pelaku kejahatan (crime offenders) tidak lagi semata-mata didominasi oleh golongan kelas bawah (lower class) sebagaimana yang telah kita kenal selama ini (blue-collar crime), tetapi juga yang tidak kalah berbahayanya dan bahkan lebih jahat daripada blue collar crime, adalah apa yang disebut dengan white-collar crime (crime in the upper) sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Sutherland melalui pidato bersejarahnya di hadapan American Sociology Society tahun 1939, yaitu suatu istilah yang menunjuk pada "crimes committed by people of respectability and high standing in the community (Michael R. Gottfredson and Travis Hirschi, 1990: 38). Indonesia yang tengah membangun ekonominya melalui berbagai sektor, termasuk sektor perbankan, telah meletakkan garis kebijakan moneter sebagaimana yang tercantum dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998, di mana "kebijakan moneter itu diarahkan untuk mendukung pemerataan pem-

2 bangunan dan hasil-hasilnya yang makin luas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang mantap. Kebijakan moneter yang meliputi kebijakan pengendalian uang beredar, termasuk kebijakan perkreditan dan kebijakan nilai tukar uang, dilaksanakan secara terpadu untuk memantapkan kestabilan nilai uang,... Oleh karena itu, lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank harus makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat dari dana tersebut untuk pembiayaan kegiatan yang produktif. Lembaga keuangan yang andal dan dipercaya masyarakat dengan jaringan pelayanan dan jasa perantara ditumbuhkembangkan dan diperluas penyebarannya agar dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air serta segenap lapisan masyarakat sehingga mampu mendorong, merangsang, dan menumbuhkan motivasi masyarakat berperanserta dalam pembangunan serta sekaligus meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta keandalannya..." Indonesia yang menganut devisa bebas berupaya untuk menarik uang sebanyak-banyaknya, baik dari modal asing maupun dari masyarakat. Dalam perolehan uang tersebut tidak akan menanyakan dari mana uang itu ber-asal, yang penting uang masuk sebanyak-banyaknya, kecuali atas petunjuk dan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, bahwa uang tersebut hasil kejahatan. Dalam upaya untuk menyemarakan sirkulasi moneter di tanah air, pemerintah antara lain telah menerapkan kebijakan deregulasi perbankan, yaitu Kebijakan Pakto 28 Oktober 1988, dan Pakmei tanggal 23 Mei 1993 tentang Deregulasi Perbankan yang bertujuan untuk menggairahkan kembali kelesuan yang dialami oleh industri perbankan serta untuk memudahkan pendirian bank dan pembukaan bank, sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Itulah sebabnya sejak ditetapkannya deregulasi tersebut, dunia perbankan semakin bergairah terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat (Marulak Pardede, 1995: 38, 75). Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, khususnya Pakto , jelas sangat mempengaruhi sistem politik ekonomi kita yang pada gilirannya akan meningkatkan devisa bagi negara. Namun, dibalik kemudahan-kemudahan yang telah diberikan itu akan diikuti pula oleh meningkatnya tindak kejahatan

3 di bidang perbankan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini merupakan kendala yang serius di bidang perbankan pada khususnya dan terhadap pembangunan ekonomi pada umumnya. Timbulnya berbagai kejahatan ekonomi di bidang perbankan akhir-akhir ini, merupakan buah atau hasil dari suatu kebijakan yang tidak diremcanakan secara cermat. Dalam situasi seperti itu, nasabah (korban) yang menyimpan dananya di bank akan semakin rawan keamanannya, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan yang khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap kepentingan nasabah bank, sehingga apabila dana yang disimpannya di suatu bank ternyata hilang atau nasabah tidak bisa mencairkan dananya karena bank yang bersangkutan bermasalah, maka dengan demikian kedudukan nasabah tersebut adalah lemah. Sementara itu, perangkat hukum seperti Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182) dan perundang-undangan lainnya seperti KUHP masih belum diberdayakan sebagaimana mestinya. Akibatnya, perlindungan dan jaminan hukum terhadap korban kejahatan di bidang perbankan, juga masih lemah. II. RUANG LINGKUP DAN PERKEMBANGAN PENGERTIAN KORBAN KEJAHATAN Suatu tindak kejahatan, termasuk kejahatan di bidang perbankan selalu melibatkan dua pihak, yaitu pelaku dan korban. Dalam kriminologi konvensional, para ilmuan dalam mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan lebih banyak berorientasi pada pelaku dan tidak/kurang memperhatikan korban yang secara faktual juga ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu tindak kejahatan (Arif Gosita, 1993: 98), walaupun tidak semua tindak kejahatan selalu melibatkan peranan korban. Dalam beberapa kasus kejahatan di bidang perbankan, seperti kasus bank dalam bank (kasus BPR Bima Hayu Jember), Kasus Bank Summa, peranan korban besar sekali bagi berlangsungnya kejahatan tersebut, karena korban tergiur dengan kemudahan-kemudahan dan bunga yang tinggi. Akan tetapi tanpa disadari, ternyata justru merugikan korban sendiri, meskipun ada juga

4 korban tidak terlibat di dalamnya, yaitu apabila kejahatan itu dilakukan oleh pelaku dengan bekerjasama dengan orang dalam. Perjalanan sejarah bertalian dengan permasalahan korban memang membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Menurut Reksodiputro (1988: 97), ada dua arus yang perlu diketahui sehubungan dengan perhatian para ilmuwan terhadap victimology, yaitu : 1. adanya pikiran bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya korban, karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi kepada korban; 2. adanya aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivis, dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (ctitical criminology), pandangan kriminologi kritis ini banyak mempengaruhui pemikiran dalam victimology. Dalam pada itu, Muladi (Makalah Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, 1995: 5) membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan nonkonvensional (white-collar). Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat dengan mudah diidentifikasikan, sedangkan pada kejahatan white-collar korbannya seringkali bersifat abstrak, baik perorangan, masyarakat, perusahaan maupun pemerintah. Sementara itu, perangkat hukum seperti Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya masih banyak kelemahannya dalam mengatasi kejahatan di bidang ini, demikian juga dengan aparat penegak hukumnya. Akibatnya, perlindungan dan jaminan hukum terhadap korban, juga masih lemah. Oleh karena itu, sudah saatnya meninjau kebijakan legislatif yang telah ada dan menyempurnakan peraturannya, serta ketentuan pidana dalam rangka perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan.

5 IV. PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA Di abad XX ini, perkembangan dunia perbankan semakin menunjukkan peranan yang penting dalam menunjang pembangunan perekonomian suatu negara. Di Indonesia, sesuai dengan amanat yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur, pelaksanaan pembangunan perekonomian harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan terhadap unsurunsur Trilogi Pembangunan: pemerataan pembangunan; pertumbuhan ekonomi; dan stabilitas nasional. Peranan perbankan dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masingmasing unsur Trilogi Pembangunan tersebut sangatlah strategis, karena fungsi utama bank adalah sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Melihat peranan yang strategis itu, maka apabila dikaitkan dengan persaingan global yang semakin ketat, diharapkan lembaga perbankan benar-benar dapat menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menyimpan dana kepadanya, serta mampu menyalurkannya ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Namun demikian, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat (para deposan) kepada lembaga perbankan, seringkali tidak sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya dapat menimbulkan keresahan dan selanjutnya akan melemahnya kepercayan masyarakat terhadap bank. Munculnya berbagai kebijakan yang dikemas dalam Paket Deregulasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, memang dalam program jangka pendek sangat menggembirakan, karena maraknya bank-bank baru layaknya jamur dimusim hujan. Akan tetapi, pertumbuhan bank yang banyak itu tidak dibarengi dengan persyaratan-persyaratan pengelolaan bank yang profesional, serta pengawasan dari Bank Indonesia yang masih belum memadai, sehingga semula tujuan mendirikan bank adalah untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, telah menyimpang dari tujuan semula, karena danaya banyak disalurkan ke perusahaan satu grup.

6 Akibatnya menjadikan bank tersebut hancur dan perekonomian nasional ambruk. Pengaturan lembaga perbankan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, lebih banyak diarahkan pada persyaratan-persyaratan administratif tentang ijin usaha mendirikan bank, dan kurang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peran lembaga perbankan tersebut. Dengan demikian, belum terlihat yang semestinya harus diper-hatikan, yaitu segi hukum nasabah dan bank. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, bahwa Undang-undang tentang Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, pada saat ini belum memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat mengetahui secara jelas dan benar mengenai keadaan kesehatan suatu bank. Paling jauh, masyarakat hanya mempunyai neraca bank yang diumumkan setiap enam bulan sekali. Namun, neraca yang diumumkan hanya terbatas pada keuangannya, sedangkan kesehatan suatu bank tidak hanya dinilai berdasarkan keuangannya saja, sebab ada faktor lain yang harus dinilai, yaitu misalnya aspek manajemen bank. Kurangnya informasi yang dapat diperoleh dari suatu bank, memungkinkan masyarakat rentan menjadi korban. Karena mereka seperti berjalan di hutan belantara, yang tidak mengetahui tingkat kesehatan yang sebenarnya dari suatu bank. Keadaan seperti ini sangat memberikan peluang kepada pihak pemilik bank untuk menyalahgunakan dana masyarakat yang disimpan di banknya. Pasal 29 ayat (4) memang ada mengatur mengenai informasi (transfaransi) kepada nasabah, tetapi menurut Penjelasan Pasal 29 ayat (4), antara lain menyatakan, bahwa informasi tersebut diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepen- tingan dan atas perintah nasabahnya. Munculnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak banyak melakukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, khususnya perlindungan terhadap masyarakat penyimpan dana yang menjadi korban. Apabila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997

7 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, ternyata menempatkan nasabah deposan tidak berada dalam urutan pertama yang akan dibayar oleh Tim Likuidasi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23 dari Peraturan Pemerintah tersebut, di mana gaji pegawai, biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang, pajak dan biaya kantor, harus didahulukan sebelum para nasabah deposan memperoleh pembayaran. 2. Fungsi Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Mengingat kerugian yang ditimbulkan cukup besar, maka upaya perlindungan terhadap nasabah bank sudah waktunya dilakukan, karena sampai saat ini nasabah yang belum terlindungi kepentingannya. Padahal akses nabah besar sekali peranannya bagi kelangsungan beroperasinya lembaga bank. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka memfungsikan hukum pidana sudah saatnya dikedepankan, karena mengingat kelihaian pelaku yang terkadang sulit terdeteksi oleh aparat penegak hukum, bahkan sarana perdata atau tindakan administrasi belum mampu membendung para pelaku kejahatan kerah putih itu beraksi. Akibatnya, perlindungan terhadap korban dirasakan masih belum memadai. Untuk memfungsikan hukum pidana, pertama-tama perlu ditelusuri minimal tiga faktor, yaitu faktor peraturan perundangundangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum (Barda Nawawi Arief, 1992: 157). Ketiga faktor ini saling terkait dalam menentukan tegak atau tidaknya hukum pidana, di samping faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana. Pada faktor yang pertama (peraturan perundang-undangan), menurut Barda Nawawi Arief (1992: ) yang perlu dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan masalah kejahatan ekonomi (kejahatan di bidang perbankan, pen.). Lebih lanjut dikatakan: Peninjauan masalah ini sangat penting, karena kebijakan legislatif ini pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses penegakan hukum pidana. Selanjutnya, pada faktor kedua adalah yang me- nyangkut aparat penegak hukum. Hal ini penting karena mengingat sifat atau ciri dari kejahatan di bidang perbankan yang merupakan kejahatan white-collar dan kejahatan

8 terorganisir, di mana pelakunya termasuk salah satu yang sulit dijangkau oleh hukum. Kemudian, faktor mengenai kesadaran hukum. Faktor ini berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum yang dapat dilihat dari perilaku (psikomotorik) seseorang. Sehubungan dengan hal ini, Sudarto (1983: 90-91) mengatakan, bahwa pengaruh umum dari pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Namun demikian, intensitas pengaruh ini tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela. Misalnya, dalam pelanggaran lalu-lintas. Dalam hal ini, ancaman pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana yang berat, tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Pendapat Sudarto ini, relevan untuk melihat penegakan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang perbankan, sebab meskipun Undang-undang Perbankan telah menetapkan sanksi pidana maupun denda yang sangat berat, yaitu pidana penjara berkisar antara 1 sampai dengan 15 tahun dan denda antara 1 miliar sampai dengan 200 miliar, namun pelanggaran terhadap ketentuan tersebut terus saja berlangsung. Untuk itu, sebagaimana yang diingatkan oleh Barda Nawawi Arief (1992: 166), bahwa : Kejahatan di bidang perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang erat hubungannya dengan sistem atau struktur sosial ekonomi masyarakat yang tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tatanan ekonomi dunia internasional. Secara nasional, penegakan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang perbankan harus memperhatikan kebijakan sosial dan tahap-tahap pembangunan nasional. Ini berarti, bahwa penegakan hukum pidana harus memperhatikan sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional yang hendak dicapai. Adanya pengaruh globalisasi ekonomi dan keterkaitan dengan tata ekonomi internasional sudah barang tentu menuntut usaha-usaha pembaharuan untuk mengoptimalkan penegakan hukum pidana.

9 Dalam pada itu Kongres PBB ke-7 tahun 1985 sebagaimana dikutif oleh Barda nawawi Arief (1992: 167) dikemukakan, bahwa mengingat keterjalinan antara pencegahan kejahatan dengan pembangunan dan tata ekonomi internasional, perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi harus dibarengi dengan pembaharuan-pembaharuan yang tepat di bidang sistem peradilan pidana untuk menjamin sifat responsif dari sistem hukum pidana terhadap nilai-nilai dasar dan tujuan-tujuan masyarakat serta aspirasi masyarakat internasional. Rambu-rambu tersebut dipasang, agar pemerintah sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan bangsa sendiri. Contohnya, adalah peluncuran kebijakan Paket Deregulasi Oktober 1988, yang oleh banyak kalangan sudah diramalkan hanya akan menjadi bom waktu. Sebab dengan kebijakan tersebut, siapa pun asal punya dana Rp 10 miliar boleh mendirikan bank, sehingga sejak saat itu bank tumbuh bak jamur di musim hujan. Sekarang apa yang terjadi, justru menjamurnya kejahatan di bidang perbankan dengan mengorbankan berbagai kepentingan, termasuk dana masyarakat yang dipercayakan untuk disimpan di bank. Upaya memfungsikan hukum pidana dalam rangka perlindungan terhadap nasabah korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, maka dalam teori ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu : 1. Pendekatan yang bersifat tradisonal (fundamen tal approach). Menurut pendekatan ini, fungsi hukum pidana diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral, karenanya unsur kesalahan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan berkait erat pula dengan teori-teori pemidanaan yang bersifat retributif. 2. Pendekatan utilitarian (utilitarian approach). Pada pendekatan ini, hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang dapat melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Karena itu,

10 kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. 3. Pendekatan dengan menggunakan administrative penal law. Pendekatan ini didasarkan pada proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga muncul perkembangan baru dalam fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin komplek. Digunakannya sanksi pidana, adalah untuk mendukung norma hukum administratif. Dalam konteks ini muncul bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability yang meninggalkan asas mens rea sebagai refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991: ). Dalam upaya melindungi korban kejahatan di bidang perbankan ini, maka pendekatan yang ketiga relevan untuk dipertimbangkan, karena mengingat bank sebagai korporasi yang potensi melanggar hak-hak korban sudah seharusnya diberikan pembebanan kewajiban untuk melindungi kepentingan korban. F. PENUTUP Upaya perlindungan hukum pidana terhadap korban (nasabah penyimpan dana) kejahatan ekonomi di bidang perbankan, masih belum memadai dalam hukum positif kita, sehingga penegakannya menjadi lemah. Karena itu, pengkajian kembali terhadap peraturan perundangan yang ada masih perlu terus dilakukan. Demikian juga dengan pengkajian terhadap azas-azas dan teori-teori hukum (pidana) yang selalu berkembang. DAFTAR PUSTAKA Gottfredson, Michael R, and Travis Hirschi, 1990, Crime, Stanford University Press, California. A General Theory of

11 Gosita, Arif, 1993, "Peranan Korban Dalam Interaksi Sosial Mempengaruhi Terjadinya Kejahatan", Dalam Arif Gosita, (ED), Masalah Korban Kejahatan: kumpulan karangan, Akademika Pressindo, Jakarta , 1993, "Kedudukan Korban Di dalam Tindak Pidana", Dalam Arif Gosita (ED), Masalah Korban Kejahatan: kumpulan karangan, Akademika Pressindo, Jakarta Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum. Nawawi Arief, Barda, 1992, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap Kejahatan Ekonomi, Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Pardede, Marulak, 1995, Hukum Pidana Bank, Sinar Harapan, Jakarta. Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Bahan Hukum Primer GBHN 1993 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1992 No. 31 dan Tambahan Lembaran Negara RI. No Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1998 No Bahan Hukum Sekunder Muladi, 1988, Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidanaan, Makalah Seminar: Viktimologi yang Diselenggarakan Oleh FH. UNAIR - Surabaya.

12 ------, 1993, Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana, Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP. Reksodiputro, Mardjono, 1988, Struktur Perekonomian Dewasa ini dan Permasalahan Korban, Makalah Seminar: Viktimologi yang Diselenggarakan Oleh FH. UNAIR - Surabaya. Data Polres Jember Tahun Jawa Pos, 7 Desember Jawa Pos, 29 Desember 1995.

FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN. Oleh: M. Arief Amrullah, SH.,M.Hum

FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN. Oleh: M. Arief Amrullah, SH.,M.Hum FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN Oleh: M. Arief Amrullah, SH.,M.Hum A. Pendahuluan Mengacu pada kebijakan pemerintah yang telah dituangkan di dalam Garis-garis

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh :

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : Dr. Hassanain Haykal, SH.,M.Hum ABSTRAK Bank sebagai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN Oleh: Rachmawati Apriliana Puspitasari Nyoman Satyayudha Dananjaya Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Economic crimes

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang. RESENSI BUKU Judul : Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan Penulis : M. Arief Amrullah, SH Penerbit : Bayu Media Publishing Oleh : Satrio Pramono, S.H. Penasehat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN. Oleh : Doortje D. Turangan

POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN. Oleh : Doortje D. Turangan POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DI BIDANG PERBANKAN A. PENDAHULUAN Oleh : Doortje D. Turangan Perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya itu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1 Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 2 A. PENDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor:

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2 Abstrak UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 19 Tahun 2004 Tentang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD. Oleh: M. Arief Amrullah 1

PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD. Oleh: M. Arief Amrullah 1 PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD Oleh: M. Arief Amrullah 1 A. PENDAHULUAN Kita tidak dapat membayangkan bagaimana jika dalam suatu negara tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA. (Skripsi) Oleh BEKI ANTIKA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA. (Skripsi) Oleh BEKI ANTIKA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA (Skripsi) Oleh BEKI ANTIKA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 ABSTRAK UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering terjadi di dalam tindak pidana keimigrasian. Izin tinggal yang diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kejahatan kerah putih (white collar crime) merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pejabat pejabat eksekutif. Indonesia baru memandang kejahatan white collar

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan Masyarakat dan sebagaian Masyarakat merasa dirugikan oleh pihak yang berbuat kejahatan tersebut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya mengenai kompensasi, namun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN 1. Pertanggungjawaban Yuridis Terhadap Direksi dan Komisaris dari Suatu Bank Swasta yang Melakukan Kegiatan Kredit Fiktif Ditinjau dari Peraturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJAHATAN CYBER. (Beberapa Catatan untuk RUU tentang Teknologi Informasi)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJAHATAN CYBER. (Beberapa Catatan untuk RUU tentang Teknologi Informasi) KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJAHATAN CYBER (Beberapa Catatan untuk RUU tentang Teknologi Informasi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. PENDAHULUAN Perpaduan teknologi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan perekonomian seluruh rakyat Indonesia pada khususnya. Perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1999 TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan dunia perbankan semakin pesat dan modern baik dari segi ragam produk, kualitas pelayanan, maupun teknologi yang dimiliki. Perbankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dapat juga diartikan sebagai perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dapat juga diartikan sebagai perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dalam menilai perkembangan ataupun kenaikan tingkat kesejahteraan suatu bangsa atau negara. Dengan kata lain pertumbuhan

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE Oleh : Desak Made Prilia Darmayanti Ketut Suardita Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana ABSTRACT: This journal, entitled

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu tentu saja tidak dapat dihindari karena seiring dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

Sistem Informasi Perbankan, Pertemuan Ke-1 PENGENALAN BANK. DEFINISI BANK BANK Bahasa ITALIA Banco yang artinya Bangku

Sistem Informasi Perbankan, Pertemuan Ke-1 PENGENALAN BANK. DEFINISI BANK BANK Bahasa ITALIA Banco yang artinya Bangku PENGENALAN BANK DEFINISI BANK BANK Bahasa ITALIA Banco yang artinya Bangku Menurut UU no. 10 th 1998 Bank : Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI JUAL-BELI ONLINE Oleh : Desak Made Prilia Darmayanti Ketut Suardita Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana ABSTRACT: This journal, entitled

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi anak berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN

WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN WHITE COLLOR CRIME SEBAGAI KEJAHATAN INDIVIDUAL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN KEGIATAN PEREKONOMIAN Oleh : H.MUHAMMAD BADRI.SH.MH. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEDOMAN TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN NEGERI WONOSOBO BAB I

TINJAUAN YURIDIS PEDOMAN TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN NEGERI WONOSOBO BAB I TINJAUAN YURIDIS PEDOMAN TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN NEGERI WONOSOBO BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus-kasus korupsi di negeri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang kehidupan, salah satunya adalah di bidang perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara hukum yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para konsumen, sebagaimana diberitakan dalam media massa, seperti penjualan makanan gorengan

Lebih terperinci

BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI

BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI BENTUK GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI oleh I Gusti Ayu Christiari A.A. Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

Kegiatan- kegiatan tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut:

Kegiatan- kegiatan tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut: BAB I PENGENALAN BANK A. Pengertian Bank Bank berasal dari bahasa Italia Banco yang berarti Bangku Menurut UU No. 10 Tahun 1998, definisi Bank adalah: Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT To determine fault someone

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

LEVEL KOMPETENSI I Pemahaman Konsep Korporasi

LEVEL KOMPETENSI I Pemahaman Konsep Korporasi SAP MATAKULIAH KEJAHATAN KORPORASI A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : KEJAHATAN KORPORASI KODE MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 SKS PRASYARAT : - SEMESTER SAJIAN

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

1 SUMBER :

1 SUMBER : 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1990 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1990/1991 1 NOMOR: 1 TAHUN 1990 (1/1990) TANGGAL: 14 MARET 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam khasanah lembaga bank, sebagai pelaku bisnis dan sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam khasanah lembaga bank, sebagai pelaku bisnis dan sekaligus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam khasanah lembaga bank, sebagai pelaku bisnis dan sekaligus sebagai agent of development bagi pengembangan pertumbuhan ekonomi daerah, keberadaannya berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan adalah salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan dalam sistem keuangan di Indonesia. Pengertian bank menurut Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Indonesia yang pada saat ini sedang memasuki era globalisasi. Oleh karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa Indonesia khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh

BAB I PENDAHULUAN. adanya administrasi perpajakan, untuk administrasi pajak pusat, diemban oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengeluaran rutin pemerintah dibiayai oleh sumber utama penerimaan pemerintah yaitu pajak. Proses pengenaan dan pemungutan pajak ini memerlukan adanya administrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1983-1997 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan Periode 2 1983-1997 2. Arah Kebijakan 1983-1997 4 3. Langkah-Langkah Strategis

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Risva Fauzi Batubara 1, Barda Nawawi Arief 2, Eko Soponyono 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di pisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi yang secara terus menerus dari waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penegak hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penegak hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegak hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pemberi layanan perbankan bagi masyarakat. Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang ada di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pemberi layanan perbankan bagi masyarakat. Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang ada di Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini persaingan didalam aktivitas bisnis merupakan suatu fenomena yang sangat komplek karena mencakup berbagai macam bidang yang ada, baik itu dalam

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Bagus Surya Darma Marwanto Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT : Criminal fines are one

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar modal merupakan pasar tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus fund). Pendapatan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MATERIIL DI BIDANG PASAR MODAL. BAMBANG ALI KUSUMO, SH., MHum. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MATERIIL DI BIDANG PASAR MODAL. BAMBANG ALI KUSUMO, SH., MHum. Dosen Fakultas Hukum UNISRI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MATERIIL DI BIDANG PASAR MODAL BAMBANG ALI KUSUMO, SH., MHum. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract: The items regarded as crimes in stock market covers permition, deception, market

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Korupsi sudah berkembang di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini jelas sangat merugikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah perubahan fungsi yang dijalankan dalam masyarakat, yakni terjadinya spesialisasi melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP Oleh Bram Suputra I Gusti Nyoman Agung Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci