IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia"

Transkripsi

1 IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia

2

3 IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia Isa Nagib Edrus Ali Suman

4 IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia Isa Nagib Edrus Ali Suman Copyright 2013 Isa Nagib Edrus, Ali Sulman Penyunting Desain Cover Lay Out Korektor : Yuki HE Frandy : Sani Etyarsah : Marangkup Tua Hutauruk : Dwi M Nastiti PT Penerbit IPB Press Kampus IPB Taman Kencana Cetakan Pertama: Februari 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak buku tanpa izin tertulis dari Penerbit ISBN :

5 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas berkat rahmat dan hidayah-nyalah buku dengan judul Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835): Status Stok dan Pengelolaannya di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini mencoba untuk menyintesis permasalahan pengelolaan perikanan napoleon dalam kaitannya dengan menata kembali kinerja perikanan jenis rawan punah. Ulasan tentang karakteristik ikan napoleon mengawali alur diskusi untuk mengenal ikan ini lebih jauh. Selanjutnya teknik pemantauan populasi dengan metode Underwater Visual Census (UVC) ikan napoleon adalah penting untuk diekspos dalam rangka mendukung peningkatan aktivitas survei dan monitoring di Indonesia. Studi kasus pemantauan ikan napoleon di perairan Maratua bukan saja dipresentasikan sebagai upaya sosialisasi dalam hal keragaan monitoring menggunakan teknik UVC tersebut, tetapi juga sebagai upaya untuk mengkaji status stok ikan napoleon di wilayah penangkapan yang intensif. Dengan semangat yang sama, studi kasus di perairan Kabupaten Karas Fak Fak disajikan sebagai upaya untuk melihat perkembangan populasi ikan napoleon pascapenutupan penangkapannya selama lima tahun. Menurut perspektif buku ini secara keseluruhan, terlihat pengelolaan perikanan napoleon di Indonesia belum dapat menjamin kelestarian sumber dayanya. Apabila kondisi ini berjalan terus-menerus dalam jangka panjang dikhawatirkan akan terjadinya penurunan stok sumber daya napoleon yang selanjutnya akan mengancam kelestarian sumber daya tersebut dan lebih memiskinkan nelayan. Dalam kaitan tersebut, maka seluruh stakeholder perikanan napoleon harus bersinergi dalam merumuskan dan menjalankan konsep-konsep penguatan kemampuan pengelolaan. Dengan demikian, sumber daya ikan akan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk mendukung industrialisasi perikanan tangkap nasional yang berbasis ekonomi biru. Buku ini merupakan refleksi penulis dari perjalanan panjang penelitian sumber daya ikan napoleon yang dilakukan di berbagai wilayah perairan nusantara. Untuk menjadikannya menjadi buku yang utuh bagi kepentingan pengelolaan, penulis melakukan pengayaan dengan informasi yang berkaitan

6 Ikan Napoleon dari peneliti terdahulu. Atas usaha dan kerja keras yang tidak mengenal lelah dari penulis untuk menyiapkan buku ini, disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Sebagai suatu karya ilmiah, saya mengharapkan buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan napoleon secara berkelanjutan di Indonesia. Semoga Allah Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-nya bagi kita semua serta semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Jakarta, Desember 2013 Kepala Balai Prof Dr Ali Suman vi

7 Daftar Isi KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii BAB 1. PENDAHULUAN... 1 BAB 2 NOMENKLATUR DAN BIO-EKOLOGI NAPOLEON... 7 Klasifikasi... 7 Morfologi... 8 Napoleon dan Habitatnya Rekrutmen Napoleon Distribusi Tingkah Laku Napoleon Kebiasaan Makan Reproduksi Parameter Populasi Kepadatan Stok Napoleon BAB 3. MENGENAL UNDERWATER VISUAL CENSUS (UVC) SEBAGAI ALAT BANTU MONITORING POPULASI NAPOLEON Pengenalan Jenis Secara Langsung Identifikasi Lokasi Penelitian Identifikasi Ukuran Ikan Secara Visual Prosedural Aplikasi UVC Pendekatan Teknis Cara Pemanfaatan GPS Cara Memperlakukan Data... 39

8 Ikan Napoleon BAB 4. KRITERIA PENILAIAN KEPADATAN POPULASI IKAN NAPOLEON Sifat Bawaan dan Kehidupan Alami Ikan Napoleon Pilihan atas Kriteria Kepadatan Kriteria Kepadatan BAB 5 KEPADATAN STOK DAN HABITAT IKAN NAPOLEON Studi Kasus di Perairan Karang Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Kepadatan Stok dan Status Habitat Sebaran dan Intensitas Eksploitasinya BAB 6. PERKEMBANGAN POPULASI IKAN NAPOLEON Studi Kasus Pascapenutupan Penangkapan di Perairan Kabupaten Karas, Fak Fak Status Kepadatan Status Perkembangan Populasi Ukuran Ikan sebagai Indikator Terpeliharanya Ikan Kerapu BAB 7. STATUS STOK NAPOLEON DALAM WILAYAH PERLINDUNGAN LAUT Studi Kasus di Taman Nasional Bunaken Kepadatan Stok Ikan Napoleon Perkembangan Populasi BAB 8. RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAN PERIKANAN NAPOLEON Studi Kasus di Anambas Provinsi Kepulauan Riau Sejarah Perikanan Napoleon di Anambas viii

9 Daftar Isi Pendekatan Kelembagaan Pemberdayaan Kelembagaan dalam Pengentasan Masalah Model Integrasi Pengelolaan Sumber Daya Pola Nelayan dalam Pengelolaan Napoleon Integrasi Masyarakat dalam ICZM Membangun Prinsip Kehati-hatian dalam PBSM Hubungan PSBM dengan RENSTRA Pembangunan Daerah Manfaat Kelembagaan yang Solid BAB 9. KEBIJAKAN MORATORIUM Pembangunan Berkelanjutan Ikan Napoleon Jenis Rawan Punah Kesenjangan antara Sistem Produksi dan Prinsip Kehati-hatian Ketidakpastian Penerapan Hukum yang Menjadi Dilema Landasan Hukum Implikasi Politis Atas Undang-Undang Manajemen Perikanan Opsi Kebijakan Rekomendasi BAB 10 PENUTUP DAFTAR PUSTAKA ix

10

11 Daftar Tabel Tabel 1 Kuota perdagangan ikan napoleon menurut tahun... 5 Tabel 2 Parameter populasi ikan napoleon Tabel 3 Sediaan, stadium, dan frekuensi kemunculan ikan napoleon pada area sensus (Edrus 2010) Tabel 4 Contoh tabulasi hasil pencatatan data pada papan sabak Tabel 5 Lembar data hasil sensus populasi ikan napoleon Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Hasil sensus visual populasi ikan napoleon di perairan pantai Pulau Maratua tahun Kondisi area sensus visual populasi ikan napoleon di perairan Pantai Maratua tahun Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon Tabel 9 Area sensus dan beberapa temuan komoditas penting lain Tabel 10 Hasil sensus visual bawah air untuk populasi napoleon di wilayah Taman Nasional Bunaken pada Oktober Tabel 11 Matriks rencana strategis pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat Tabel 12 Opsi kebijakan pengelolaan ikan napoleon Tabel 13 Negara yang menetapkan pelarangan menjual atau ekspor napoleon atau bahan-bahan jadi dari napoleon Tabel 14 Jumlah rumah tangga perikanan yang khusus menangkap ikan napoleon Tabel 15 Volume ekspor dan nilai ekspor ikan napoleon asal Indonesia ke pasar Hongkong

12

13 Daftar Gambar Gambar 1 Perbedaan morfologi antara ikan napoleon fase juvenil dan dewasa: a) juvenil memiliki belang-belang, (b c) remaja yang memiliki gurat di bawah mata dan sisik serta ekor yang spesifik, (d) dewasa mempunyai jenong (tonjolan dahi). Sumber: Sadovy et al. (2003)... 8 Gambar 2 Perbedaan rupa ikan napoleon betina (atas) dan jantan (bawah): berbeda dalam hal ujung sirip punggung bagian belakang, warna sisik, dan bentuk bibir. Sumber: Rome & Newmen (2010) Gambar 3 Peta penyebaran ikan napoleon di perairan tropis. Sumber: Suharti (2009), LIPI Gambar 4 Cheilinus trilobatus dan C. chlorourus, spesies yang mirip ikan napoleon (Cheilinus undulatus), sama-sama berasal dari marga Cheilinus, tetapi memiliki perbedaan s sekitar pangkal ekor, ujung ekor, dan gurat sekitar mata. Sumber: Sadovy et al. (2003) Gambar 5 Pteragogus guttatus-foto kiri, spesies ikan mirip juvenil ikan napoleon (Cheilinus undulatus)-foto kanan, sama-sama berasal dari suku yang sama tetapi berbeda marga. Bentuk ekor, garis ekor, lurik sisik, dan lurik sekitar mata yang membedakan di antara kedua jenis tersebut Gambar 6 Bolbometopon muricatum, spesies ikan yang mirip ikan napoleon stadium tua (Cheilinus undulatus), keduanya berasal dari suku yang berbeda. Corak dan bentuk lekukan pada muka dan bentuk ekor yang membedakan ikan ini dengan napoleon. Sumber: Kuiter & Tonozuka (2001) Gambar 7 GPS-Floating Kit (GPS-FK) terdiri atas GPS, housing, pelampung, dan tongkat keseimbangan Gambar 8 Kegiatan sensus dengan teknik Underwater Visual Census menggunakan SCUBA Gambar 9 Kegiatan sensus menggunakan teknik Underwater Visual Census dengan cara berenang bebas atau snorkling... 37

14 Ikan Napoleon Gambar 10 Visi yang terlihat ketika suatu objek tertentu (karang) menutupi suatu bidang datar. Tutupkan objek tersebut dapat ditaksir sesuai yang terlihat dalam frame lingkaran dengan kategori persentasenya masing-masing. Cara seperti ini digunakan dalam menaksir tutupan karang di tempat alamiahnya. Sumber: English et al. (1994) Gambar 11 Wilayah sensus visual ikan napoleon di Pulau Maratua tahun Gambar 12 Lokasi dan lintasan sensus ikan napoleon di Perairan Karas, Fak Fak, Papua Barat Gambar 13 Frekuensi panjang total ikan napoleon Gambar 14 Distribusi frekuensi panjang ikan napoleon di wilayah Taman Nasional Bunaken (2012) Gambar 15 Distribusi frekuensi panjang ikan napoleon di wilayah perairan Raja Ampat Sumber: Loka PSPL Sorong (2013) Gambar 16 Penurunan produksi ikan kerapu hidup akibat perikanan potas di Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sumber: Purnomo (2009) Gambar 17 Keuntungan lain dari ikan napoleon sebagai objek wisata bahari. (Source): Gambar 18 Pohon masalah perikanan napoleon Gambar 19 Pohon kebijakan untuk memperbaiki kinerja perikanan napoleon xiv

15 BAB 1 PENDAHULUAN Keanekaragaman adalah aset untuk pembangunan dan kemakmuran bangsa, tetapi di lain pihak aset ini tidak mudah untuk dikelola dan bahkan belum dimengerti dengan baik. Keanekaragaman dianggap sebagai suatu sumber daya yang dapat dieksploitasi dengan mudah dan sedikit sekali perhatian pada kelestariannya (Bappenas 2003). Seperti halnya keanekaragaman sumber daya ikan karang yang tinggi dari sisi jenis, tetapi tidak diikuti oleh kelimpahan dari sisi individual (Arief & Edrus 2010). Oleh karena itu, ketika suatu jenis memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar global dengan permintaan yang tinggi, maka pengelolaannya harus dibatasi oleh nilai kelimpahannya di alam, seperti yang terjadi pada ikan napoleon (Cheilinus undulatus). Ancaman utama pada perdagangan ikan hidup jenis napoleon adalah lebih tangkap dan pengaruh cara penangkapan yang merusak ikan target lain, ikan nontarget, dan lingkungan terumbu karang (Donaldson & Sadovy 2001; Gillettt 2010). Sejak tahun 1990-an, ikan napoleon menjadi komoditas unggulan dalam ekspor perikanan asal Indonesia karena wilayah perairan karang Indonesia menjadi habitat potensialnya (Sadovy et al. 2003). Pada awalnya hal ini dianggap sebagai suatu anugerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Namun, dampak negatif dari perikanan napoleon kemudian menjadi isu penting dalam kelestarian terumbu karang karena cara penangkapannya yang tidak ramah lingkungan dan menimbulkan eksternalitas bagi usaha lain. Untuk menanggulangi kasus-kasus kerusakan karang yang semakin sporadis, pemerintah melarang penangkapan ikan napoleon atas dasar kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Larangan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1985 dan Nomor 375/Kpts/IK.250/5/95, pada waktu itu Dirjen Perikanan masih di bawah Departemen Pertanian. Menteri Perdagangan pada tahun yang sama juga mengeluarkan keputusan Nomor 95/EP/V/95 tanggal 21 Mei

16 Ikan Napoleon 1995 yang berisi tentang larangan ekspor ikan napoleon, kecuali atas izin Menteri Pertanian. Kebijakan pemerintah baru berpihak pada kepentingan pengaturan pengelolaan yang ramah lingkungan setelah kasusnya menjadi perhatian dunia, terutama setelah diperkenalkan isu kuota penangkapan. Kebijakan terakhir terkait dengan Deklarasi Dirjen Perikanan No. HK.330/ S3.6631/96 mengenai perubahan keputusan Dirjen Perikanan No. HK.330/ Dj.8259/95 tentang ukuran, lokasi, dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Namun regulasi ini dipandang belum efektif karena isu perikanan napoleon berkembang ke arah tanpa kontrol karena adanya kasus perdagangan illegal, unregulated, and unmonitored (Syofyanto 2006). Dalam perjalanan waktu, regulasi-regulasi tersebut kemudian dianggap usang walaupun belum dicabut secara resmi karena situasi semakin berkembang. Setelah terbentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan, status populasi ikan napoleon menjadi perhatian dunia, terutama setelah jenis yang berasal dari Indonesia itu membanjiri pasar global, yaitu sebagai pertanda maraknya IUU fishing. Akhirnya di tahun 2004 semua ketentuan atau regulasi ikan ini masuk dalam tinjauan CITES dan Appendix 2 (IUCN 2004). Hal itu berkenaan dengan tata aturan perdagangan di tingkat global, di mana aturan dinisbahkan pada kepentingan aturan panen yang tidak merugikan demi kesinambungan produksi (non-detrimental finding-ndf). Untuk kepentingan itu ditetapkanlah kuota perdagangan ikan napoleon di bawah tanggung jawab LIPI sebagai scientific authority dan Kementerian Kehutanan sebagai management authority. Sementara aturan ke dalam untuk membenahi pengelolaan ini secara umum mengacu pada UU 31/2004 dan UUD 45/2009 tentang perikanan dan pengawasan, larangan, dan sanksi. Kita masih diberi kesempatan mengusahakan ikan napoleon ini karena ketentuan CITES tersebut masih membuka kuota perdagangan dan belum ditetapkan statusnya menjadi Appendix I. Kuota perdagangan ikan napoleon, seperti terlihat pada Tabel 1 menunjukkan angka yang semakin menurun dan angka realisasi kuota yang semakin kecil, tetapi hal ini belum dapat menjadi patokan resmi atas pemanfaatan ikan napoleon. Dua hal yang menjadi perhatian tentang mengapa kuota semakin kecil dan realisasi ekspor juga menurun. Pertama, populasi ikan napoleon di alam memang sudah menurun drastis menuju collapse seperti beberapa hasil penelitian (Donaldson & Sadovy 2001) dan diakui bahwa penangkapan dan 2

17 Pendahuluan perdagangan telah menurun 50% dalam kurun waktu tahun terakhir (Sadovy 2006). Kedua, maraknya IUU masih menjadi batu sandungan dalam pengelolaan perikanan napoleon, sehingga terkesan kuota tidak bermanfaat lagi ketika perdagangan gelap tidak tercatat. Regulasi yang diharapkan taktis dalam menghadapi perdagangan gelap dan pencurian ikan tidak juga dapat berlaku serta merta untuk menuntaskan persoalan tersebut. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 hanya mengatur tentang tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan. Diakui bahwa regulasi ini menjadi pintu masuk bagi perlindungan ikan yang terancam punah, seperti ikan napoleon. Namun sayangnya substansi peraturan ini yang mengatur perlindungan terbatas dalam dimensi waktu lebih mengacu pada waktu siklus reproduksi yang pendek dan bukan waktu yang sebenarnya, sehingga tidak dapat digunakan dalam perlindungan terbatas berdimensi waktu pembatasan penangkapan tahunan (moratorium). Oleh karena itu, jika peraturan ini mengalami sedikit perubahan dalam substansi yang dimaksud di atas, maka dapat menjadi pedoman dalam penentuan kebijakan lebih lanjut. Dalam keterbatasan tersebut, kemudian menyusul terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan ikan napoleon (Cheilinus undulatus). Namun Keputusan Menteri tersebut lebih dialamatkan pada perlindungan terbatas yang mengatur ukuran yang tidak boleh dipanen. Dengan demikian kuota dan izin penangkapan masih terbuka untuk ukuran antara 1 99 gram dan 1 2 kg. Keputusan baru ini sesungguhnya hanya mengubah interval ukuran yang sebelumnya diatur oleh Deklarasi Dirjen Perikanan No. HK.330/S3.6631/96 tentang ukuran, lokasi, dan tata cara penangkapan ikan napoleon, sedangkan deklarasi tersebut dipandang belum efektif ketika pengawasan perikanan napoleon di tingkat lapang menjadi mandul menghadapi IUU fishing (Edrus 2011). Lebih jauh terlihat meskipun undang-undang, regulasi, dan keputusan menteri telah siap menghadapi perikanan napoleon, tetapi kerangka kerja kebijakan untuk pengelolaan panen, perdagangan domestik, dan ekspor ikan napoleon belum dilaksanakan secara efektif. Karena tidak ada dokumen komprehensif yang mendeskripsikan seluruh regulasi pemerintah yang mengatur industri, stakeholders terlihat bingung dan gamang menghadapi ketetapan yang sudah 3

18 Ikan Napoleon ada. Kebingungan seperti ini juga terlihat di kalangan nelayan, pengumpul, eksportir, dan bahkan pada tingkat subseksi dalam lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan serta tingkat pemerintah daerah. Saat ini dirasakan sekali kurangnya protokol yang terstruktur dan komprehensif dalam mengatur cara-cara yang dengannya terjadi penguatan otoritas untuk memantau, menegakkan, dan mengeluarkan izin sehubungan dengan ikan napoleon. Juga, terlihat adanya kelemahan dalam kerja sama antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Direktorat Perlindungan Hutan, Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan lembaga pemantau dan penegak hukum yang relevan, seperti Bea Cukai dan Lembaga Karantina KKP (IUCN 2006). Dalam kondisi yang demikian, timbul suatu area yang diistilahkan sebagai wilayah abu-abu (Tampubolon 2011) yang dapat didefinisikan dalam segala pengertian, yakni mulai dari tidak terurus sampai salah urus, mulai dari belum terkendali sampai salah kendali, sehingga kasus-kasus IUU fishing dapat berkembang subur di wilayah abu-abu seperti itu. Terlebih lagi regulasi terbaru pengganti regulasi terdahulu masih menunjukkan kontroversi dalam penegakan hukum dan substansinya. Menghadapi kasus-kasus seperti ini, isu moratorium dari berbagai stakeholder untuk ikan napoleon kemudian muncul, meskipun disadari bahwa moratorium belum menjadi jaminan secara pasti dapat mengatasi kasus-kasus IUU fishing. Namun moratorium hanya akan mencapai target jika dipertimbangkan secara matang dan didukung oleh beragam informasi dan kerangka kerja untuk mengantisipasi kasus-kasus yang disinyalir akan timbul, baik sebelum dan sesudah penetapan moratorium tersebut. Kendala dalam pengelolaan yang menonjol adalah dimulai dari kesenjangan regulasi sampai pada kesenjangan data dan informasi dalam waktu yang panjang. Jadi, permasalahan perikanan napoleon adalah juga menyangkut kegagalan pengelolaan di masa lalu. Buku ini mencoba untuk menyintesis permasalahan pengelolaan perikanan napoleon dalam kaitannya dengan menata kembali kinerja perikanan jenis rawan punah. Ulasan tentang karakteristik ikan napoleon mengawali alur diskusi untuk mengenal ikan ini lebih jauh. Selanjutnya, teknik pemantauan populasi dengan metode Underwater Visual Census (UVC) ikan napoleon adalah penting untuk diekspos dalam rangka mendukung peningkatan 4

19 Pendahuluan aktivitas survei dan monitoring di Indonesia. Studi kasus pematauan ikan napoleon di perairan Maratua bukan saja dipresentasikan sebagai upaya sosialisasi dalam hal keragaan monitoring menggunakan teknik UVC tersebut, tetapi juga sebagai upaya untuk mengkaji status populasi ikan napoleon di wilayah penangkapan intensitas tinggi. Dengan jalan yang sama, studi kasus di perairan Kabupaten Karas Fak Fak disajikan sebagai upaya untuk melihat perkembangan populasi ikan napoleon pascapenutupan penangkapannya selama lima tahun. Dua kasus ini dengan jelas memperlihatkan bahwa tekanan penangkapan ikan napoleon menurunkan ukuran populasi napoleon di alam, sebaliknya dengan menutup sementara perikanan napoleon telah memberikan peluang meningkatkan ukuran populasi napoleon. Akhirnya, aspek kebijakan dalam hal eksploitasi menjadi menarik dalam upaya untuk memperbaiki pengelolaannya. Oleh karena itu, restrukturisasi kelembagaan perikanan napoleon yang berbasis partisipasi masyarakat menarik untuk diekspos. Buku ini ditutup oleh sintesis kebijakan tentang pilihan-pilihan pola pembatasan penangkapan napoleon yang diharapkan lebih realistis dalam penerapannya di tingkat lapang. Tabel 1 Kuota perdagangan ikan napoleon menurut tahun No Tahun Kuota Realisasi Sisa Sumber: Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan 5

20

21 BAB 2 NOMENKLATUR DAN BIO-EKOLOGI NAPOLEON Klasifikasi Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) adalah jenis ikan teleost dari kelas LABRIDAE yang mempunyai bentuk unik tersendiri dan bertubuh besar di antara jenis-jenis yang termasuk dalam kelas tersebut. Dalam sistematika nomenkalur yang resmi (Russell 2004), ikan napoleon (Cheilinus undulatus) diklasifikasikan sebagai berikut. Filum Kelas Ordo Famili Genus : Chordata : Osteichthyes : Perciformes : Labridae : Cheilinus Species : Cheilinus undulatus Rüppell 1835 Ikan napoleon terkenal di banyak negara karena sebarannya yang cukup luas dan karena itu memiliki banyak nama, baik nama lokal, nama umum, dan nama dagang. Jenis ikan ini pertama kali dideskripsikan oleh Rüppell pada tahun 1835 dengan nama latin Cheilinus undulatus. Nama umum ikan ini giant wrasse diberikan untuk kepentingan perdangangan di pasar dunia. Asal usul nama napoleon tersebut lebih dicirikan pada bentuk kepalanya yang besar dan menonjol ke depan. Bentuk kepala seperti itu telah menginspirasi nelayan-nelayan di New Caledonia, di mana mereka menghubungkannya dengan bentuk kepala seorang Panglima Besar dari Perancis, Napoleon, yang juga memiliki dahi kepala yang cukup besar dan menonjol ke depan (Sadovy et al. 2003). Namun, sebagian negara lebih senang menyebut ikan ini dengan dasar deskripsi bentuk kepalanya menjadi humphead wrasse. Selain itu, ada

22 Ikan Napoleon pula yang mendasari penyebutan namannya menurut ukuran tubuh yang besarnya dapat mencapai 200 kg dan panjang kira-kira 1,5 meter, sehingga ikan ini juga sering disebut dengan nama giant wrasse atau maori wrasse. Nama daerah atau lokal ikan ini jauh lebih banyak. Masyarakat Filipina menamai ikan ini dengan nama mameng, sedangkan di China menamainya dengan nama so mei. Masyarakat di Kepulauan Natuna dan sekitarnya menamainya dengan ikan mengkait atau ketipas. Di perairan Kepulauan Seribu Jakarta dan Sulawesi, ikan ini dinamai ikan maming. Di wilayah Bangka dan Belitung, ikan ini diberi nama siomay; di Kepulauan Derawan dikenal dengan nama lokal bele-bele; di Kepulauan Karimun Jawa dinamai ikan lemak; di Nunukan dan Tawau dinamai ikan licin (Edrus et al. 2012). Gambar 1 Perbedaan morfologi antara ikan napoleon fase juvenil dan dewasa: a) juvenil memiliki belang-belang, (b c) remaja yang memiliki gurat di bawah mata dan sisik serta ekor yang spesifik, (d) dewasa mempunyai jenong (tonjolan dahi). Sumber: Sadovy et al. (2003) Morfologi Menurut Suharti (2009), ikan napoleon merupakan salah satu jenis ikan karang yang memiliki banyak keunikan, tidak hanya mengalami perubahan jenis kelamin saat usia dewasa, tetapi juga memiliki ciri-ciri morfologi yang berbeda antara fase juvenil dan saat dewasa. Warna pun juga mengalami 8

23 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon perubahan seiring dengan bertambahnya umur ikan napoleon (Gambar 1). Selain perbedaan ciri-ciri antara fase-fase kehidupan ikan napoleon tersebut, di daerah terumbu karang yang merupakan habitat ikan napoleon juga hidup berbagai jenis ikan lainnya yang mempunyai kemiripan dengan ciriciri ikan napoleon. Pengetahuan tentang ciri-ciri tiap fase kehidupan ikan napoleon dan kemiripannya dengan jenis-jenis ikan karang lainnya adalah mutlak diperlukan bagi seorang peneliti sebelum melakukan survei potensi ikan napoleon. Ikan napoleon dewasa mudah dikenali karena memiliki ciri-ciri spesifik, seperti bibir yang tebal, tonjolan dahi di atas mata yang berubah menjadi besar saat bertambahnya umur, dan gurat di atas serta di bawah mata. Ikan ini juga memiliki sepasang gigi depan yang tajam dan sedikit menonjol keluar dari bibir seperti kebanyakan ikan kakatua. Ikan napoleon yang masih gelondongan berwarna terang dengan garis-garis berwarna gelap yang melintang sampai di bawah matanya. Anakan yang sudah beranjak besar memiliki warna hijau terang. Napoleon dewasa memiliki warna kehijauan yang degradasinya dari hijau terang ke hijau gelap. Ketika napoleon masuk usia tua, berwarna antara hijau ke biru pastel dan tumbuhnya jauh lebih besar. Perubahan bentuk tubuh dan warna sepanjang perjalanan hidupnya menyebabkan sulit untuk mendeteksi kapan perubahan jenis kelamin dari spesies ini terjadi, tetapi betina dapat dikenali sepintas lebih hijau seperti ditunjukkan Gambar 2 berikut. 9

24 Ikan Napoleon Gambar 2 Perbedaan rupa ikan napoleon betina (atas) dan jantan (bawah): berbeda dalam hal ujung sirip punggung bagian belakang, warna sisik, dan bentuk bibir. Sumber: Rome & Newmen (2010) Napoleon dan Habitatnya Ikan napoleon memiliki dua habitat yang berbeda sesuai dengan fase usia ikan ini. Fase muda atau anakan lebih umum ditemukan di area dekat pantai (inshore) atau goba, sedangkan fase tua umumnya menyukai area di luar terumbu karang yang menghadap laut lepas (offshore), di lereng terumbu. Perbedaan tersebut lebih pada masalah dangkal atau dalamnya perairan tempat tinggal atau habitat ikan tersebut. Sepanjang hidup ikan napoleon mulai dari penetasan, juvenil, hingga dewasa selalu berasosiasi dengan terumbu karang atau di habitat-habitat yang berdekatan dengan terumbu karang, seperti padang lamun (seagrass beds) dan mangrove (Russell 2004). Ikan napoleon yang masih stadium gelondongan (juwana) hidup pada kedalaman ± 2 3 meter. Benih-benih atau gelondongan ikan tersebut hidup di paparan terumbu yang dipenuhi oleh karang keras dan karang lunak (soft coral) serta biota laut lainnya, seperti ganggang (macroalgae) dan lamun. Anakan napoleon memiliki afinitas yang kuat sekali dengan karang keras, ditemukan pada 4 jenis hardcoral dari 3 jenis Acropora dan 1 jenis Porites 10

25 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon cylindricus), ganggang sargasum atau turbinaria (kelompok macroalgae), dan lamun (Enhalus acroides) yang berfungsi sebagai relung ekologi (niches) bagi anakan tersebut (Myers 1999; Russell 2004). Sebagaimana juga anakan ikan lain, anakan napoleon membutuhkan tempat berlindung yang rimbun atau pada relungnya yang spesifik di bagian pangkal karang Acropora. Oleh karena itu, anakan napoleon sering luput dari penglihatan pengamat. Ikan napoleon sesungguhnya bukan golongan kriptik seperti kerapu yang hidup tersembunyi. Beranjak dewasa, napoleon muda dapat dijumpai di permukaan karang bercabang. Napoleon dewasa umumnya hidup pada tempat-tempat yang dalam dan lebih mudah terlihat oleh penyelam di tepi lereng terumbu (reef slopes) atau di dinding karang yang terjal (reefs walls). Napoleon dewasa dapat hidup sampai kedalaman 100 meter dan menempati gua-gua di dinding karang ketika merasa terancam. Ikan napoleon cenderung terlihat individual (soliter) di area terumbu karang. Meskipun terlihat berkelompok atau berpasangan, jumlah kelompok jarang lebih dari 10 ekor. Kelompok ikan napoleon juga berasosiasi atau mengikuti mobilitas gerombolan ikan karang lain di sekitar tubir terumbu karang, seperti ikan ekor kuning, kakap, kerapu, lencam, kakatua, dan bibir tebal sebagai manisfesi dari sifat pertahanan diri. Kebanyakan ikan karang berkorelasi dengan tingginya tutupan karang batu, tetapi ikan napoleon tidak menunjukkan kecenderungan seperti itu. Ikan napoleon dapat beradaptasi pada area karang dengan tutupan karang batu yang rendah sampai tinggi, bahkan masih dijumpai pada area karang rusak. Rentang habitat di mana ikan napoleon dijumpai mencakup campuran dari beragam bentuk kehidupan bentik terumbu, seperti pasir, rubbles karang, sponge, coralium, sampai karang keras submassive dan bercabang, dengan kolom air yang jernih. Rekrutmen Napoleon Menurut Gillettt (2010), dalam pengertian ekologis, rekrutmen adalah kolonisasi anakan yang tadinya bersifat plankton lalu menempati ruang tempat tumbuhnya. Rekrutmen dalam pengertian perikanan adalah pertumbuhan populasi di mana kelompok ikan-ikan berukuran kecil masuk ke dalam kategori ukuran ikan yang dapat ditangkap oleh alat tangkap. Menurut Choat 11

26 Ikan Napoleon et al.(2006), rekrutmen napoleon juga digambarkan sebagai petunjuk kapan ikan mengalami perbedaan kelamin karena perubahan kelamin adalah penting dalam mendukung perkembangan populasi. Lebih lanjut Gillettt (2010) menyatakan bahwa informasi yang rinci tentang rekrutmen ikan napoleon belum tersedia. Dalam perkiraan laju perikanan yang berkelanjutan, sebagaimana digambarkan oleh Sadovy et al. (2007) dalam model perkembangan terbaru, hubungan antara sediaan dan rekrutmen masih menunjukkan ketidaktentuan. Oleh karena itu, Gillettt (2010) menyebutkan bahwa rekrutmen ikan napoleon lebih bersifat sporadis, khususnya untuk pola umum dari jenis ikan berumur panjang yang mana populasinya cenderung didominasi oleh kelas umur muda. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan berat pada pola rekrutmen selama masa produktif yang tidak menentu, dapat menimbulkan pengaruh besar jangka panjang. Jika kita mengacu pada rekrutmen dalam pengertian perikanan, pola perikanan napoleon memiliki perbedaan yang besar dalam hal ukuran rekrutmen. Contoh, di Indonesia ukuran rekrutmen untuk kepentingan pembesaran dalam keramba terjadi pada kelas ukuran yang sangat kecil sekali, yaitu bibit alam dengan panjang cagak 62 mm. Kasus seperti ini umum terjadi di Anambas. Selain itu, dalam perdagangan ikan hidup, banyak nelayan menangkap napoleon ukuran 20 cm untuk dibesarkan dalam keramba apung agar mencapai ukuran siap jual karena dalam regulasi di Indonesia saat ini, ikan napoleon yang tidak boleh diekspor adalah ikan yang berukuran di bawah 1 kg dan lebih dari 3 kg. Dengan pola rekrutmen sporadis seperti itu, Purnomo (2009) mengkhawatirkan terganggunya pola alamiah perkembangbiakan ikan napoleon sebagaimana rekrutmen dalam pengertian ekologi. Hal ini dianggap menyebabkan pemutusan pola reproduksi karena telah terjadi penangkapan pada kelas ukuran yang seharusnya produktif untuk perkembangan populasi secara alami. Distribusi Ikan napoleon tergolong kelompok ikan demersal dan dapat ditemukan pada lokasi terumbu karang di perairan tropis dunia (Gambar 3), terutama wilayah Indo-Pasifik, dari Bagian Barat Samudra Hindia dan Laut Merah sampai ke 12

27 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon Selatan Jepang, New Caledonia dan tengah Samudera Pasifik (Sadovy et al. 2003). Di Australia, ikan ini ada di perairan pantai yang berkarang dari bagian utara sampai ke bagian selatan Australia dan Great Barrier Reef (Pogonoski et al. 2003). Ikan ini dilaporkan ada di perairan teritorial dari 48 negara di dunia (Sadovy et al. 2003). Dari beberapa hasil survei lapangan diketahui bahwa ikan Napoleon dijumpai di sebagian besar perairan karang Indonesia yang luasnya diperkirakan km 2 (Cesar 1996). Beberapa lembaga pemerintah yang memiliki program inventarisasi dan monitoring, seperti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Bakosurtanal Cibinong, Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, Balai Penelitian Pemulihan Stok dan Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Jatiluhur, serta Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut-KP3K di Satker daerah masing-masing yang telah menemukan ikan napoleon di perairan Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Gambar 3 Peta penyebaran ikan napoleon di perairan tropis. Sumber: Suharti (2009), LIPI Di kawasan bagian barat Indonesia, ikan napoleon ditemukan di Kepulauan Natuna, Anambas, Pulau Pongok Perairan Bangka, Perairan sekitar Pulau 13

28 Ikan Napoleon Belitung, Pulau Nias, Kepulauan Mentawai, Kepulauan Seribu, dan Kepulauan Kangean. Di kawasan tengah dan timur Indonesia, ikan napoleon juga ditemukan di Kepulauan Bunaken, Kepulauan Selayar, Kepulauan Sembilan wilayah Sinjai dan Teluk Bone, Perairan Banggai, Perairan Banggai Kepulauan, Kepulauan Wakatobi dan Kepulauan Lucipara, serta Maluku dan Perairan sekitar Wetar Maluku Barat Daya. Semua bagian wilayah ini memiliki sentra produksi masing-masing dengan satu pengumpul utama. Oleh karena luasnya distribusi ikan napoleon dan banyaknya titik-titik wilayah tangkap membuat pengawasannya menjadi lebih sulit dengan beragam kendala. Tingkah Laku Napoleon Semula ikan napoleon dianggap pemalu oleh karena sifatnya yang selalu menghindar ketika berpapasan dengan penyelam. Pandangan mata napoleon terutama yang masih stadium muda, nampak menunjukkan kehati-hatian yang berlebih ketika bertemu penyelam dan secara perlahan berenang menuju tempat dalam dan kemudian menghilang di kedalaman lereng terumbu karang. Hal ini merupakan sifat bawaan dari setiap biota laut yang menghindar dari predator. Namun kemudian terbukti ikan napoleon yang berukuran besar sering muncul mendadak di depan penyelam. Ternyata napoleon dapat beradaptasi pada lingkungan dive sites tertentu, seperti Great Barrier Reefs dan berani mendekati penyelam yang menyediakan umpan telur. Hal ini menunjukkan bahwa napoleon juga dapat diarahkan perilakunya dalam batas-batas menguntungkan dan rasa aman, sehingga memiliki potensi untuk kepentingan atraksi bawah laut. Mobilitas ikan napoleon umumnya terbatas. Ikan napoleon yang dijumpai di suatu tempat dapat dijumpai kembali pada tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Ikan napoleon berukuran besar sering berenang sampai 1 km jauhnya, sedangkan napoleon berukuran kecil yang menjadi anggota dari kelompoknya umumnya memiliki daerah teritorial sendiri dan jarang pergi jauh dari wilayahnya. Bahkan anakan napoleon jarang pergi jauh dari relung ekologisnya (Sadovy et al. 2003). Dalam kondisi tanpa tekanan penangkapan, ikan napoleon dapat dijumpai dalam kelompok kecil dalam rentang sempit parit-parit di lereng terumbu. 14

29 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon Akan tetapi pada lokasi terumbu dengan intensitas penangkapan tinggi, meskipun terumbu tersebut adalah potensial sebagai habitat napoleon, ikan ini jarang dijumpai lebih dari 1 ekor dan bahkan dalam jarak puluhan kilometer ikan ini tidak dapat ditemukan. Dalam kondisi seperti ini, ikan napoleon diasumsikan masuk pada kedalaman laut yang tidak mungkin terjangkau penyelam. Ikan napoleon bersifat diurnal. Ikan ini mencari makan pada siang hari dan biasanya naik ke area rataan terumbu mengikuti air pasang pada pagi atau sore hari. Pada malam hari ikan ini masuk di gua atau celah-celah batu hanya untuk beristirahat tanpa aktivitas makan (Thaman 1998; Lieske dan Myers 2001). Pada musim pemijahan, ikan napoleon yang sudah siap matang gonad hidup dalam komunitasnya yang terbatas. Domeier & Colin (1997) melaporkan bahwa ikan ini memiliki sifat agregasi saat proses pemijahan, seperti yang biasa dikerjakan oleh kerapu yang memiliki sifat breeding aggregation. Kebiasaan Makan Ikan napoleon menduduki posisi piramida bagian atas dalam rantai makanan. Napoleon tergolong predator dan termasuk pemakan segala (opportunis), yaitu menyukai ikan, kekerangan, anakan kepiting (krustasea), bulu babi atau bintang laut, belut laut (moa), dan ikan-ikan kecil yang hidup di atas dan meliang di dasar laut (Myers 1999; Sadovy et al. 2010). Ikan napoleon juga dilaporkan oleh Randall et al. (1978) mampu menetralisir racun dari jenis ikan laut yang menjadi makanannya, seperti ikan buntal kota (Ograciidoe) dan sea hare (Aplysia). Makanan kegemaran napoleon menurut hasil analisis lambung, antara lain invertebrata (krustasea 29%, moluska 20%, dan ekinodermata 3%) serta ikan belenid dan gobid 12% (Choat et al. 2006). Ikan napoleon seperti juga jenis ikan kakatua dan kerapu adalah rezim komunitas yang dianggap mampu dalam menjaga dan mengubah keseimbangan dalam terumbu karang. Hal ini disebabkan oleh sifat kebiasaan makannya, terutama ikan napoleon yang merupakan salah satu predator yang menyukai bintang laut mahkota (Acanthaster planci) pemakan polip karang (Randall et al. 1978; Myers 1999). Dengan demikian, napoleon dapat mengendalikan populasi biota laut tersebut sehingga berperan sebagai penyelamat karang batu. 15

30 Ikan Napoleon Reproduksi Ikan napoleon tergolong ikan berumur panjang dengan pola reproduksi yang tertunda dan umur betina matang gonad berkisar antara umur 5 7 tahun, ukuran pertama kali matang gonad 35 cm (Tabel 2). Ikan napoleon betina memiliki tingkat harapan hidup relatif lebih tinggi daripada jantan. Ikan napoleon betina dilaporkan dapat hidup sampai 32 tahun, sedangkan napoleon jantan sedikit berumur lebih pendek. Dalam masa perkembangbiakan napoleon yang diduga lebih dari 10 tahun, laju pertumbuhan populasinya ternyata rendah (Myers 1999; Choat et al. 2006; Gillettt 2010). Seperti layaknya ikan karang lainnya, ikan napoleon juga terlahir dengan jenis kelamin jantan atau betina, tetapi ikan ini tergolong hewan yang unik dari sisi siklus hidupnya. Ikan napoleon termasuk hewan hermaprodite protogynus. Artinya, mereka dapat berubah jenis kelamin dari betina ke jantan. Tahap ini terjadi pada saat ikan napoleon usia dewasa, di mana ukuran tubuh saat itu (Tabel 2) berkisar antara cm (Sadovy et al. 2007). Tabel 2 Parameter populasi ikan napoleon PARAMETER NILAI Hubungan Panjang Berat a b Kurva Pertumbuhan Von Bertalanffy Panjang Asimptot l 0, ,9589 Jantan 91,5 cm Betina168,4 cm Koefisien Pertumbuhan K Jantan 0,131 per tahun Betina 0,0675 per tahun Ukuran Pertama Matang Gonad Hubungan Panjang dan Berat Gonad a b 35 cm 12,816 0,

31 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon Tabel 2 Parameter populasi ikan napoleon (Lanjutan) PARAMETER NILAI Laju kematian Mortalitas Alami dalam Keramba Total Mortalitas (Z) di Alam Mortalitas Penangkapan di Alam Panjang saat Perubahan Kelamin Sumber: Sadovy et al. (2007) 0,134 ± 0,064 per tahun 0,106 per tahun 0,04 0,27 per tahun cm Pada tahap permulaan, ikan ini ada yang terlahir dengan jenis kelamin jantan yang selanjutnya akan tetap menjadi jantan, tetapi sebagian dari populasinya tidak akan pernah menjadi jantan yang berkuasa. Perubahan jenis kelamin menjadi pejantan diperkirakan terjadi pada usia 9 tahun atau pada ukuran 70 cm (Choat et al. 2006). Lebih jauh Choat et al. (2006) menyebutkan bahwa napoleon betina dewasa dapat berubah menjadi jantan, di mana satu dari betina-betina yang besar akan berubah menjadi jantan besar dan menjadi pemimpin kelompok (supermales). Pemimpin kelompok memiliki tubuh yang besar melebihi ukuran pejantan-pejantan lainnya dengan warma dan corak sisik yang lebih menarik sebagai tanda bagi betina-betina yang selalu mengikutinya. Menurut Gillettt (2010), perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan ini diperkirakan untuk mempertahankan jumlah jantan yang ideal dalam populasinya, yaitu sebagai pembawa peran untuk membuahi betina-betina dalam populasi untuk menjamin kelangsungan hidup menurut pola reproduksi yang unik. Pola reproduksi yang bertumpu pada pergantian jenis kelamin yang prosesnya hingga saat ini masih belum dapat terjawab oleh ilmu pengetahuan adalah kunci sukses dari perkembangbiakan napoleon. Tahap setelah proses perubahan jenis kelamin selesai dilalui, ikan napoleon jantan kemudian memasuki tahap akhir (terminal phase). Jantan besar (supermales) bersama betina- betinanya dalam jumlah yang terbatas memasuki tahap breeding (memproduksi keturunan). Dalam tahap breeding, seekor ikan jantan yang besar bersama beberapa betinanya mendiami wilayah teritorial tertentu yang selalu dijaga dan dilindungi oleh jantan tersebut. Dalam 17

32 Ikan Napoleon wilayah teritorial tersebut ikan napoleon memiliki area pemijahannya sendiri. Pemijahan umumnya mengambil tempat di laut terbuka dekat terumbu karang dan dalam bentuk larva terbawa sampai area terumbu karang waktu pasang surut (Russell 2001; Colin 2010). Belum banyak penelitian berhasil mengungkapkan proses bertelurnya ikan napoleon di alam. Sadovy et al. (2003) menyebutkan bahwa napoleon sebagai jenis ikan yang melakukan agregasi saat memijah dan terjadi pada tempat yang sama. Hasil penelitian di New Caledonia menyatakan bahwa ikan napoleon bertelur di laut terbuka dengan ukuran telurnya berdiameter 0,65 mm. Tempat mengambang dan menyatunya telur dan sperma dikenal dengan nama epipelagic zone yang biasanya terletak di laut terbuka dan berada di bawah permukaan laut dengan kedalaman sekitar 5 7 m. Menurut Colin (2010), lokasi dan luas tempat agregasi tersebut selalu konsisten dalam setiap kali musim memijah. Menurut Russell (2001), tempat agregasi pemijahan tersebut sangat spesifik dan napoleon menggunakan area yang sedikit lebih sempit dari yang digunakan kerau karang. Telur-telur yang menetas kemudian menjadi larva dan larva dalam sifatnya yang pelagis akan terbawa arus pasang surut sampai akhirnya mencapai ukuran tertentu. Setelah ikan mencapai ukuran cukup besar, ikan-ikan napoleon muda akan pergi ke wilayah terumbu karang yang dangkal dan bergabung dengan hewan-hewan karang lainnya mencari perlindungan di area padang lamun yang banyak makro alga (Russell 2001). Meskipun peneliti sudah mengetahui pola dan sifat-sifat agregasi pemijahan ikan napoleon, sejauh ini pengamat napoleon sedikit mengalami kesulitan untuk menentukan kapan dan di mana ikan napoleon biasa memijah. Beberapa penelitian mengenai pola pemijahan ikan-ikan karang menyatakan bahwa jenis-jenis ikan karang tertentu, seperti beberapa jenis dari ikan kerapu melakukan migrasi dari habitatnya ke tempat pemijahan sepanjang puluhan sampai ratusan meter. Pada beberapa kasus, ikan-ikan karang berkumpul ke suatu tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya, yaitu hanya untuk melakukan pemijahan (Sadovy 1996). Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa pemijahan juga sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek, antara lain musim, bulan terang atau gelap (lunar phase), suhu air (Domeier & Colin 1997). Kondisi perairan di tiap lokasi berbeda satu sama lainnya dan ini sangat dipengaruhi oleh musim 18

33 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon (seasonal monsoon) yang memiliki sifat tersendiri di masing-masing wilayah. Kadang-kadang di satu tempat pada musim barat di wilayah tertentu akan terjadi ombak dan arus yang kuat serta suhu air laut yang sedikit ekstrem, sedangkan di wilayah lain malah terjadi situasi yang terbalik di mana laut tenang. Kondisi laut di satu wilayah juga sangat ditentukan oleh gaya tarik bulan (bulan terang atau gelap). Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang cermat untuk menentukan kapan dan di mana ikan napoleon akan memijah. Kondisi pola arus yang terjadi di suatu wilayah juga sangat menentukan waktu dan lokasi memijah dari ikan napoleon. Ikan napoleon cenderung memijah di lokasi yang berarus kuat untuk membawa telur dan larva yang melayang ke dalam kolom air atau bergerak ke tengah laut. Hal itu bertujuan untuk memberi kesempatan pada telur dan larva tersebut berkembang ke fase berikutnya (Russell 2001). Aspek lain yang memengaruhi waktu dan lokasi pemijahan dari napoleon adalah kondisi geomorfologi dan topografi perairan. Kondisi geomorfologi dan topografi masing-masing perairan berbeda satu sama lainnya. Kondisi keduanya yang dibutuhkan oleh ikan napoleon untuk memijah adalah kondisi geomorfologi dan topografi yang ideal yang memungkinkan bagi sang pejantan memiliki teritorial tertentu sekaligus juga memberikan kesempatan kepada betina pengikutnya untuk mengeluarkan telurnya dan masuk pada area perlindungan dari gangguan pejantan lain (Russell 2001). Jalan mudah untuk mengetahui wilayah pemijahan ikan dapat juga dengan cara memerhatikan berkumpulnya satu rombongan (group) dari satu atau beberapa jenis ikan tertentu di lokasi tertentu dengan jumlah tiga kali lebih banyak dari pada waktu-waktu biasa (Domeier & Colin 1997). Harus diakui bahwa hingga saat ini belum diketahui berapa kilometer jauhnya perjalanan ikan napoleon dari tempat tinggalnya (home range) ke lokasi pemijahan (Sadovy et al. 2003). Cara lainnya adalah menemukan wilayah di mana banyak ditemukan anakan napoleon yang menjadi petunjuk kuat tentang daerah pemijahan terdekat. 19

34 Ikan Napoleon Parameter Populasi Pertumbuhan napoleon tergolong lambat dengan sifat rekrutmen yang rendah, baik dalam pengertian rekrutmen ekologi maupun perikanan. Konstata pertumbuhan napoleon menurut pola hubungan panjang berat (Tabel 2) Von Bertalanffy memiliki nilai a sebesar 0, dan nilai b sebesar 2,9589. Hal ini menujukkan pertumbuhan yang relatif simetris (tidak gemuk dan tidak kurus). Koefisien pertumbuhan napoleon jantan sebesar 0,131 per tahun dan betina betina 0,0675 per tahun, di mana jantan lebih cepat tumbuh. Mortalitas alami ikan napoleon dalam keramba sebesar 0,134 ± 0,064 per tahun dan mortalitas akibat penangkapan di alam bebas sebesar 0,04 0,27 per tahun, sedangkan total mortalitasnya adalah 0,106 per tahun (Sadovy et al. 2007). Kepadatan Stok Napoleon Secara alami, kepadatan ikan napoleon tergolong rendah di semua jenis perairan, baik pada perairan yang berstatus tingkat eksploitasi rendah, sedang, atau tinggi maupun pada perairan yang masih alami, bahkan pada daerah konservasi dan area yang memang menjadi habitat kesukaannya (Gillettt 2010). Kepadatan maksimum ikan napoleon dewasa yang tercatat selama ini tidak lebih dari 10 individu per hektare (Sadovy et al. 2007). Ketika musim reproduksi, juvenil ikan ini mungkin akan lebih besar dari kelompoknya, seperti yang ditemukan di Palau, Timor Timur, antara ekor (Anonimous 1992). Telah banyak penelitian tentang populasi dan kepadatan ikan napoleon yang telah dilakukan di berbagai perairan-perairan tropis di dunia. Namun, metode sampling yang digunakan masih menjadi perdebatan dalam hal keabsahannya sebagai indikator status sebenarnya dari kepadatan populasi ikan napoleon di alam. Data yang dianggap valid dan mendapat kesepakatan internasional adalah data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian yang menggunakan metode Underwater Visual Cencus (UVC). Teknik ini telah dirinci dan distandardisasi oleh Pat Colin dan Yvone Sadovy dari The Coral Reef Research Foundation (Colin 2006). Penelitian-penelitian yang menggunakan metode UVC adalah seperti yang dilakukan di New Caledonia dan Kepulauan Tuamotu di French Polinesia, 20

35 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon hasilnya menyatakan bahwa kepadatan ikan napoleon di karang penghalang (barrier reefs) sebanyak 4,5 individu per hektare, di pertengahan laguna 1,4 individu per hektare, dan di karang tepi dan karang laguna masing-masing 0,3 individu per hektare (Gillett 2010). Lebih lanjut Gillett (2010) menyebutkan bahwa konsolidasi dalam penggunaan metode UVC untuk memperkirakan kepadatan ikan napoleon telah dikerjakan oleh sedikitnya 12 peneliti yang berbeda di 24 lokasi yang terpisah sepanjang rentang geografis. Hasilnya menunjukkan bahwa median kepadatan ikan ini pada satu lokasi tanpa tekanan penangkapan adalah 20 individu per hektare, sedangkan kepadatan ikan ini pada banyak area dengan tekanan penangkapan tingkat sedang berkisar antara 0 sampai 5 individu per hektare. Secara umum, hasilnya menunjukkan bahwa kelimpahan yang rendah untuk ikan ini terjadi pada area-area di mana tingkat tekanan penangkapan yang tinggi, meskipun kepadatan ikan ini dalam habitat aslinya bervariasi. Dengan demikian kepadatan populasi ikan napoleon sangat dipengaruhi oleh laju eksploitasi di samping sifat populasinya yang sudah seperti itu. Hasil yang hampir serupa didapat di perairan Australia (Pogonosky et al. 2003), seperti yang juga dilaporkan oleh IUCN (2006) bahwa kepadatan ikan napoleon dewasa di perairan karang Queensland diperkirakan berkisar antara 2,5 3,5 ekor/8.000 m 2. Beberapa hasil penelitian di perairan Indonesia dengan metode UVC yang diakui keabsahannya, seperti yang dilakukan IUCN dan LIPI tahun 2005 dan 2006, berkisar antara 0,4 sampai 0,86 individu per hektare dengan total lokasi sampling 125 km. Lokasi survei ini meliputi Bunaken, Raja Ampat, NTT, Bali, dan Kangean (IUCN 2006). Sementara, penelitian lainnya yang juga menggunakan UVC tetapi tidak terstandardisasi adalah penelitian-penelitian yang dilakukan Bakosurtanal di 116 titik transek sabuk yang meliputi wilayah Bangka Belitung (Pulau Belitung), Sulawesi Utara (Bunaken), Sulawesi Tengah (Banggai), Sulawesi Tenggara (Pulau-Pulau Tobea, Buton, dan Wakatobi), Nusa Tenggara Barat (Teluk Saleh), dan Maluku Barat Daya (Kepulauan Letti). Hasilnya menyebutkan bahwa sediaannya bervariasi antara 0,5 sampai 2,6 individu per hektare (Tabel 3), dengan tingkat kelimpahan jarang seperti terlihat dari rendahnya frekuensi kemunculannya (0,04 0,2) di setiap wilayah sensus (Edrus 2011). Data kepadatan ini menujukkan bahwa unsur konservasi wilayah dalam pengelolaan napoleon adalah penting untuk memberikan kesempatan pulihnya populasi ikan tersebut di masa depan. 21

36 Ikan Napoleon Hasil monitoring terbaru pada November 2011 di Kabupaten Karas, Fak Fak, menemukan ikan napoleon antara 0,23 sampai 2,34 individu per hektare dengan komulatif kepadatan 1,4 individu per hektare. Lokasi tersebut merupakan daerah penangkapan yang telah ditutup selama 5 tahun (Sadovy et al. 2011). Hasil monitoring pada bulan Oktober 2012 mendapatkan ikan napoleon kurang dari 2 ekor/ha, yaitu untuk 16 km lintasan sensus visual di pesisir Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, dan Pulau Manterawu yang semuanya masuk Taman Laut Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Wilayah tersebut termasuk area konservasi yang memberikan kesempatan populasi ikan napoleon berkembang, seperti terlihat adanya banyak juvenil napoleon berukuran 15 sampai 25 cm (Sadovy et al. 2012). Monitoring populasi napoleon di Kabupaten Raja Ampat, Kecamatan Meos Mansuar pada bulan Maret 2012 dan Kecamatan Misool Tenggara Selatan pada bulan Maret 2013 masing-masing telah menemukan ikan napoleon dengan kepadatan 3,35 ekor per hektare untuk total lintasan sensus UVC 15,73 km dan 2,8 ekor per hektare untuk total lintasan sensus UVC 26,1 km (Loka PSPL Sorong, 2013a & 2012b). Nilai kepadatan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan hasil monitoring di area yang sama pada tahun 2005, yaitu rata-rata 0,86 ekor per hektare (IUCN 2006). 22

37 Nomenklatur dan Bio-Ekologi Napoleon Tabel 3 Sediaan, stadium, dan frekuensi kemunculan ikan napoleon pada area sensus (Edrus 2010) Sumber: diolah dari Saputro & Edrus (2008); Edrus (2010); Edrus et al. (2010); Edrus & Setyawan (2011); Setyawan & Edrus (2011); Edrus & Suhendra (2007) 23

38

39 BAB 3 MENGENAL UNDERWATER VISUAL CENSUS (UVC) SEBAGAI ALAT BANTU MONITORING POPULASI NAPOLEON Ikan napoleon sudah lama dieksploitasi, sedangkan data dan informasi yang tersedia terkait data potensi populasi ikan tersebut tidak didokumentasikan dengan baik. Pemantauan populasi ikan napoleon kalah cepat dibandingkan dengan laju eksploitasinya. Hal ini disebabkan luasnya wilayah perairan laut yang harus disurvei populasinya dan terbatasnya jumlah tenaga peneliti yang tersedia. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan langkah-langkah konkret, sehingga data dan informasi tentang potensi napoleon dapat tersedia sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan pemanfaatan berkelanjutan ikan napoleon di Indonesia. Teknik pemantauan untuk jenis tunggal biota laut yang memiliki sebaran geografis yang luas, tetapi langka secara spasial, diperlukan dalam hal menjaga akurasi, efektivitas, efisiensi, dan tentu saja biaya murah. Prosedur standar Underwater Visual Census (UVC) bagi jenis biota langka telah dikembangkan untuk memantau ukuran populasi ikan napoleon. Rekomendasi pemanfaatan UVC tersebut berkenaan dengan isu-isu seperti mudahnya identifikasi jenis tunggal serta persyaratan alat yang sesuai dan pelatihan yang sederhana (Colin 2006). Selain itu, panjang lintasan sensus harus dipenuhi dan ini penting untuk menyediakan estimasi kepadatan biota yang bersifat representatif bagi wilayah yang dikaji. Sebaliknya, hal ini tidak dapat terpenuhi oleh penggunaan teknik UVC konvensional dalam bentuk transek sabuk yang pendek (Sadovy 2007). Teknik UVC ini bukan saja dipandang cocok untuk mengukur kepadatan

40 Ikan Napoleon stok ikan napoleon, tetapi juga jenis biota atau ikan lain yang dilindungi, seperti penyu. Meskipun UVC secara teknis terkesan sederhana, tetapi mempersiapkan seorang pencacah yang handal tidak dapat dipandang sederhana. Hal ini menyangkut kesiapan fisik, keterampilan, dan pengetahuan tentang sifat ikan napoleon yang menjadi target sensus. Di bawah ini dideskripsikan pengantar teknis identifikasi visual sebelum masuk pada prosedur pelaksanaan kegiatan UVC yang sebenarnya, dengan harapan bahwa UVC tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan secara nasional sebagai suatu alat sederhana yang diakui semua pengguna di Indonesia. Pengenalan Jenis Secara Langsung Survei populasi ikan napoleon di alam dengan teknik UVC sebagai metode yang terpilih adalah lebih bertumpu pada kemampuan pencacah atau observer pada pengenalan subjek (ikan) secara langsung pada habitatnya. Ikan napoleon sudah dideskripsikan bersama-sama dengan jenis lainnya dalam marga yang sama, yaitu Cheilinus. Pengenalan kelompok marga tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan ciri masing-masing jenis dari genus tersebut (Gambar 4 dan 5). Ikan napoleon yang diberi nama (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) memiliki ciri-ciri yang berbeda dari jenis Cheilinus lainnya pada tingkat pandangan seorang pencacah yang sudah ahli, terutama menyangkut bentuk tubuh, sirip, corak sisik, dan warna visualnya, sehingga dapat dibedakan dengan jenis Cheilinus lain dan ikan karang lain. Oleh karena itu, identifikasi jenis menurut teknik yang lazim, seperti pemeriksaan tanda-tanda morfologi spesifik ikan menurut kunci identifikasi, dapat dikesampingkan. Sebaliknya, mempersiapkan kemampuan visualisasi pencacah untuk lebih mengenal ikan napoleon di habitat aslinya adalah lebih penting untuk mempersiapkan pencacah yang berkualitas. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa kesulitan pada tingkat lapang saat sensus visual dalam mengenali jenis ikan napoleon adalah ketidakmampuan observer dalam membedakan jenis-jenis ikan karang secara visual. Seperti diketahui bahwa di antara satu kelompok marga (Cheilinus), ikan napoleon serupa satu sama lain dalam stadium tertentu dan bahkan dapat serupa dengan jenis ikan dari suku yang lain, seperti kelompok ikan kakatua (Scaridae). Untuk 26

41 Mengenal Underwater Visual Census mengenali dan membedakan ikan napoleon dengan jenis ikan lain diperlukan pengalaman, setidaknya pernah satu atau dua kali bertemu langsung ikan ini pada perairan yang merupakan habitatnya. Pengalaman sepintas ketika menyelam juga sering kali mengecoh observer, terutama menyangka ikan kakatua berpunuk sebagai napoleon karena bentuk kepala jenong yang mirip dengan napoleon, seperti ikan kakatua Bolbometopon muricatum (Gambar 6). Mempersiapkan diri observer sebelum terjun pada sensus visual yang sebenarnya di laut mutlak dilakukan. Langkah-langkah yang perlu diambil sebelum melakukan sensus di lapangan dapat menggunakan cara-cara di bawah ini. Gunakan foto-foto ikan napoleon untuk belajar mengenalinya lebih baik. Gambar ikan dalam buku ini akan membantu mengenali dan membedakan variasinya dalam stadium yang berbeda (Gambar 1) atau kelamin yang berbeda (Gambar 2) dan bahkan untuk membedakannya dengan jenis lain (Gambar 4, 5, dan 6). Foto yang dilaminating dapat digunakan dalam praktik sensus ikan ini, yaitu sebelum sensus yang sebenarnya dilakukan. Gunakan video film tentang kehidupan alami napoleon di habitat aslinya. Hal ini perlu untuk melihat morfologi, warna, gerakan, dan kebiasaannya di alam. Bagaimanapun juga, mengenal napoleon melalui foto belum cukup bagi observer untuk menjadi familiar terhadap napoleon. Dengan demikian, diperlukan melihat secara langsung ketika napoleon berenang di perairan karang. Sarana belajar yang paling mudah adalah film dokumenter. Gunakan bantuan nelayan penangkap napoleon. Nelayan biasanya memiliki hasil tangkapan berupa napoleon hidup dalam keramba apung. Observer dapat berenang di sekitar keramba tersebut dengan menggunakan masker untuk melihat jenis napoleon secara langsung, dengan harapan bahwa observer dapat mengenalinya lebih lanjut ketika sensus visual sebenarnya dilakukan. Jika sarana keramba tersebut tidak ditemukan, bisa saja menggunakan jasa nelayan untuk melakukan snorkling bersama dalam rangka belajar identifikasi. Kegiatan seperti ini dapat dilakukan jauh sebelum kegiatan sensus sebenarnya dilakukan. 27

42 Ikan Napoleon Identifikasi Lokasi Penelitian Pada dasarnya ikan napoleon dapat dijumpai di hampir semua area terumbu karang perairan Indonesia, tetapi distribusinya tidak merata. Oleh karena itu, seorang observer tidak serta merta dapat melihat ikan napoleon di sembarang tempat di mana lokasi-lokasi penyelaman ditentukan. Sering kali, sensus visual pada transek garis 100 meter yang diletakkan pada titik-titik terpilih (study sites) tidak dijumpai satu ekor pun ikan ini karena sifatnya terbatas. Sering kali pula, seorang observer menjumpai ikan ini hanya setelah berenang (snorkling) puluhan kilometer di sekeliling pulau yang menjadi tempat penelitian. Untuk menghindari kesia-siaan tenaga, waktu, dan dana, maka lokasi penyelaman untuk sensus visual ikan napoleon perlu ditentukan baikbaik dengan memerhatikan acuan-acuan tertentu. Lokasi yang dimaksud adalah suatu wilayah perairan terumbu karang di suatu pulau, di mana ikan napoleon telah diasumsikan keberadaannya dan akan dihitung potensi sediaan ikan napoleon per satuan luas. Untuk maksud itu, lokasi yang telah ditentukan sebagai kandidat tempat penelitian sudah seharusnya memiliki data luasan area terumbu karang. Data ini dapat diperoleh dengan pendekatan teknik indraja (remote sensing) yang memberikan citra, yang dari itu dapat dibentuk poligon area terumbu karang beserta prediksi luasannya. Data total luasan area tersebut diperlukan ketika dilakukan konversi data, terutama konversi dari unit rente (kepadatan per meter atau per km persegi) menjadi sediaan individual dalam skala global dari luas area terumbu karang di suatu pulau yang ingin ditaksir potensinya. Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan lokasi tentatif, di mana asumsi keberadaan ikan napoleon di suatu perairan menjadi suatu keharusan, antara lain: Gunakan teori sebagai dasar asumsi. Informasi tentang habitat, seperti yang disajikan di muka, dapat menjadi bahan dalam menetapkan lokasilokasi kandidat yang akan dinilai potensi sumber daya napoleonnya. Gunakan referensi atau jurnal penelitian. Hasil penelitian yang berkenaan dengan survei potensi ikan napoleon umumnya memuat peta lokasi yang di dalamnya ikan napoleon dijumpai. Data dari referensi seperti ini dapat dikumpulkan dan ditabulasi menjadi lokasi-lokasi tentatif survei napoleon. 28

43 Mengenal Underwater Visual Census Gunakan informasi pengumpul atau pengusaha napoleon. Pengumpul atau pengusaha perikanan napoleon sering kali memiliki catatan alamat keberadaan nelayan-nelayan binaannya atau mitra kerja. Alamat-alamat tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam memilih lokasi survei napoleon. Kontak dengan pengumpul atau pengusaha dapat dilakukan melalui web/internet. Gunakan informasi penyelam dan operator motor boat. Penyelam profesional atau teknisi kapal memiliki pengalaman apa-apa saja yang sudah pernah mereka jumpai di wilayah penyelaman. Banyak dari mereka telah mengenal dengan baik bentuk dan rupa dari ikan napoleon. Informasi dari mereka akan sangat bermanfaat dalam menentukan lokasilokasi survei napoleon. Mereka dapat dihubungi melalui web/internet. Gunakan informasi nelayan. Ketika mencapai suatu lokasi kandidat untuk survei napoleon, tim perlu menjumpai nelayan setempat untuk mengetahui tempat-tempat ikan napoleon biasa dijumpai. Tunjukkan peta lokasi kepada nelayan tersebut untuk ditandai titik-titik mana saja yang akan dijadikan sebagai lokasi penyelaman atau lokasi snorkling. Identifikasi Ukuran Ikan Secara Visual Ukuran ikan napoleon adalah data penting untuk mengklasifikasikan stadium ikan, apakah termasuk juvenil, dewasa, atau tua. Ukuran tubuh ikan sama pentingnya dengan ukuran populasi individu. Hanya dengan ukuran tubuh ikan, informasi tentang distribusi populasi, kelompok umur, dan parameter populasi lainnya dapat diketahui. Kiat untuk menentukan ukuran secara visual di dalam air disajikan dalam Kotak 1. Kiat tersebut memberikan arahan bagaimana seorang calon pencacah yang dibantu pembimbing harus berlatih, sehingga mahir secara visual menaksir panjang tubuh ikan. 29

44 Ikan Napoleon Gambar 4 Cheilinus trilobatus dan C. chlorourus, spesies yang mirip ikan napoleon (Cheilinus undulatus), sama-sama berasal dari marga Cheilinus, tetapi memiliki perbedaan sekitar pangkal ekor, ujung ekor, dan gurat sekitar mata. Sumber: Sadovy et al. (2003) Gambar 5 Pteragogus guttatus-foto kiri, spesies ikan mirip juvenil ikan napoleon (Cheilinus undulatus)-foto kanan, sama-sama berasal dari suku yang sama tetapi berbeda marga. Bentuk ekor, garis ekor, lurik sisik, dan lurik sekitar mata yang membedakan di antara kedua jenis tersebut 30

45 Mengenal Underwater Visual Census Bolbometopon muricatum Suku Scaridae Lokasi Menjangan, Bali. Kedalaman: 10 m; Panjang: 1 m Bolbometopon muricatum Suku Scaridae Lokasi Menjangan, Bali. Kedalaman: 15 m; Panjang: 75 cm Gambar 6 Bolbometopon muricatum, spesies ikan yang mirip ikan napoleon stadium tua (Cheilinus undulatus), keduanya berasal dari suku yang berbeda. Corak dan bentuk lekukan pada muka dan bentuk ekor yang membedakan ikan ini dengan napoleon. Sumber: Kuiter & Tonozuka (2001) 31

46 Ikan Napoleon Kotak 1 TEKNIK MENAKSIR UKURAN IKAN SECARA VISUAL Memperkirakan ukuran ikan yang kita lihat di dalam air sering mengalami bias yang cukup besar karena media masker yang kita gunakan ketika berenang memberikan efek seperti kaca pembesar. Oleh karena itu dibutuhkan latihan untuk membangun keterampilan atau kebiasaan dalam menentukan panjang sesuatu benda di dalam air. Kelebihan taksiran ukuran pada ikan akibat masker tersebut dapat mencapai 30%. Jadi ketika di dalam air, apa yang dilihat sepanjang 50 cm, ukuran sebenarnya hanya 35 cm. Oleh karena itu, pencacah perlu melakukan latihan menaksir panjang ikan dengan metode Sticks, yaitu mencoba untuk menaksir panjang tongkat yang beragam ukuran di bawah air. Percobaan ini dilakukan di kolam renang menggunakan masker dan snorkel. Tongkat beragam ukuran dengan tanda ukuran tertentu (berlebel) diikat/digantung secara acak pada bentangan tali, kemudian pencacah mencoba menaksir dan mencatat panjang tongkat dari urutan pertama sampai terakhir. Hasil pencatatan ukuran dianalisis lebih lanjut untuk melihat persentase akurasi atau kesalahan yang dilakukan pencacah. Ukuran hasil taksiran sesuai urutan dibandingkan dengan ukuran sebenarnya (lebel). Sedapat mungkin gunakan prinsip statistik untuk membandingkan keduanya, misalnya gunakan Uji Beda Nyata ANOVA. Jika keduanya tidak berbeda nyata menurut uji statistik, berarti pencacah sudah mahir. Untuk itu, percobaan berulang-ulang perlu dilakukan sampai pencacah menjadi familiar dan berkurang kesalahan taksirannya atas ukuran di bawah air. Lakukan perubahan letak tongkat berlebel tersebut dalam setiap kali percobaan. 32

47 Mengenal Underwater Visual Census Contoh Hasil penaksiran ukuran pada Metode Stick LABEL UKURAN SEBENARNYA VARIABEL UKURAN TAKSIRAN PENILAIAN INSTRUKTUR ATAS TAKSIRAN 4 20? Benar / Salah 6 30? 2 10? 5 25? 3 15? 1 5? dst x? Prosedural Aplikasi UVC Persiapan survei merupakan salah satu tahapan yang penting dan menentukan tingkat keberhasilan dalam penggunaan metode UVC. Apabila survei dipersiapkan dengan baik, pelaksanaan di lapangan akan lebih mudah untuk dilakukan. Beberapa hal mendasar yang harus dilakukan dalam tahap persiapan di antaranya sebagai berikut. Protokoler. Lengkapi perjalanan survei dengan surat pengantar sebagai pemberitahuan atau permohonan izin masuk di suatu lokasi. Hal ini dapat membantu tim survei dalam melengkapi kebutuhan tertentu atau jasa-jasa yang diperlukan selama di lokasi survei dan sangat membantu ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Peralatan Survei. Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan survei populasi ikan napoleon di antaranya: 1. Peralatan selam dasar dan/atau peralatan SCUBA 2. Kompresor ( air refill) 3. Peralatan tulis tahan air (papan sabak dari mika dan pensil) 4. GPS untuk penentuan posisi geografis; GPS-Floating Kit (Gambar 7) 5. Jam tangan kedap air ( waterproof) 6. Underwater video dan/atau under water camera 7. Rubber boat atau sejenisnya 33

48 Ikan Napoleon Gambar 7 GPS-Floating Kit (GPS-FK) terdiri atas GPS, housing, pelampung, dan tongkat keseimbangan Waktu dan Lokasi Survei. Waktu dan lokasi yang baik untuk pelaksanaan survei sudah harus diperhitungkan jauh hari. Waktu dipilih dengan asumsi kondisi laut tenang, biasanya saat musim pancaroba. Pancaroba berkisar pada bulan Maret sampai Juni atau dari September sampai November. Lokasi dipilih berdasarkan pertimbangan dan asumsi keberadaan ikan napoleon serta kepentingan lokasi tersebut atas kajian potensi napoleon (lokasi termasuk dalam program pengumpulan data base). Lokasi tersebut hendaknya adalah refresentatif dari wilayah eksploitasi tinggi, sedang, dan rendah. Kesiapan Personel Pencacah. Survei populasi ikan napoleon membutuhkan tenaga pencacah atau peneliti yang mempunyai kemampuan khusus. Beberapa hal yang harus dikuasai oleh seorang pencacah atau peneliti ikan napoleon sebagai berikut Mempunyai kesehatan dan daya tahan yang memungkinkan melakukan survei bawah air dan berenang jarak jauh. Mempunyai kemampuan menyelam dengan kualifikasi minimal A2 atau sederajat. 34

49 Mengenal Underwater Visual Census Mempunyai kemampuan mengenal ikan napoleon, baik pada fase juvenil, fase dewasa, maupun fase tua. Mempunyai kemampuan melakukan pencatatan dan pendataan di bawah air. Mempunyai kemampuan dalam kerja berpasangan. Pendekatan Teknis Metode sensus visual menggunakan transek sabuk 150 m x 50 m dianggap kurang sesuai untuk menentukan kepadatan ikan napoleon karena distribusi dan ukuran populasi ikan ini menjadi pertimbangan. Collin (2006) memodifikasi teknik tersebut dengan cara penyapuan wilayah yang lebih luas dan menggunakan GPS-Floating Kit, di mana dengan alat ini penentuan luas area transek dapat dihitung berdasarkan titik-titik koordinat yang terekam oleh GPS dan begitu pula posisi ikan napoleon yang dijumpai selama sensus dapat ditentukan sesuai dengan waku (jam) ikan itu ditemukan. Sensus dengan metode tersebut dapat menggunaan alat SCUBA (Gambar 8) atau tidak dengan alat SCUBA (Gambar 9). Sensus secara praktis, sesuai dengan kondisi perairan, biasanya hanya menggunakan sirip renang dan masker, di mana renang dengan cara ini disebut snorkling. Penggunaan SCUBA dalam UVC hanya dengan beberapa pertimbangan, di antaranya sensus pada perairan dengan jarak pandang vertikal yang rendah (perairan agak keruh) atau sensus pada perairan dalam. Sebaliknya sensus dengan cara snorkling digunakan dengan pertimbangan bahwa area sensus merupakan reef flat atau reef slope yang memiliki perairan jernih dengan jarak pandang yang jauh. Cara snorkling memiliki keuntungan karena dapat digunakan untuk wilayah sapuan sensus yang sangat panjang, lebih ekonomis dari sisi biaya, dan lebih sederhana dalam pelaksanaannya. 35

50 Ikan Napoleon Gambar 8 Kegiatan sensus dengan teknik Underwater Visual Census menggunakan SCUBA 36

51 Mengenal Underwater Visual Census Gambar 9 Kegiatan sensus menggunakan teknik Underwater Visual Census dengan cara berenang bebas atau snorkling 37

52 Ikan Napoleon Cara Pemanfaatan GPS Keutamaan dalam metode UVC adalah pemanfaatan Global Position System (GPS) sebagai receiver untuk menentukan posisi logging. GPS terkemas dalam housing (Gambar 7) yang dapat terapung di permukaan air dan dapat ditarik oleh perenang atau penyelam. Sebelum digunakan, GPS di-setting posisinya setiap 30 detik agar diperoleh rekaman yang akurat dari lintasan yang dilalui oleh pengamat, di mana rekaman ini akan menjadi catatan penting dari posisi (koordinat) untuk setiap aktivitas sensus, setelah data record GPS tersebut di-download. Dengan demikian, GPS akan merekam dan memberikan data record posisi setiap 30 detik. Kecuali itu, waktu yang tertera dalam GPS sudah harus disamakan dengan waktu pada jam tangan yang dipakai oleh observer/ pelaku sensus, di mana setting waktu tersebut sampai ketelitian hitungan detik. Dengan catatan waktu inilah (jam, menit, detik) posisi awal sensus, posisi akhir sensus, titik-titik tertentu dari jalur lintasan sensus, dan posisi-posisi di mana ikan napoleon ditemukan akan dapat ditentukan koordinatnya setelah data yang terekam pada GPS di-download pada komputer dan waktu-waktu tersebut (jam, menit, detik) akan mudah disesuaikan dengan data records GPS per 30 detik tersebut (lihat contoh pada Lampiran). Data yang terekam pada GPS dapat di-download dengan software Garmin Map source World Map (atau dengan software yang sejenis) dan untuk selanjutnya dikerjakan dengan Microsoft Excel. Data yang diperoleh dari download tersebut akan memperlihatkan lintasan (tracking) yang bersambung (record setiap 30 detik) sesuai dengan jalur-jalur selama observer berenang (distance feet). Data ini menjadi catatan permanen dari area yang diamati dan catatan (records) tersebut akan dapat digunakan sebagai patokan jika area tersebut akan disurvei ulang. Kebutuhan-kebutuhan untuk menentukan luas area sensus akan tercukupi setelah titik-titik koordinat dari lintasan yang terekam GPS tersebut diketahui. Oleh karena metode sensus tersebut menggunakan peralatan pendukung, yaitu GPS, maka observer atau teknisi sensus harus mahir dalam menggunakan GPS dan software Garmin atau software sejenis. Prosedur penggunaan GPS dan Software Garmin dapat dipelajari dari buku petunjuk alat itu. Perlu diingat bahwa GPS sering menggunakan satuan feet untuk ukuran jarak atau panjang lintasan (contoh: distance feet). Dengan demikian, distance feet harus dikonversi menjadi meter (distance metre). 38

53 Mengenal Underwater Visual Census Dengan menggunakan GPS dan data records-nya dikerjakan menggunakan Microsoft Excel, maka usaha untuk menghitung luas area sensus dan jumlah ikan menjadi lebih mudah, yaitu dengan jalan perhitungan kumulatif, di mana baris terakhir dari sel Microsoft Excel merupakan nilai-nilai perhitungan yang diinginkan. Misalnya jumlah total area sensus, jumlah total ikan, dan kepadatan ikan per luas area sensus atau per total area sensus. Cara Memperlakukan Data Data penting yang diambil ketika sensus visual adalah jumlah individu dan ukuran ikan napoleon dengan kategori individu juvenil, dewasa, dan tua. Gunakan unit cm sebagai asumsi ukuran untuk masing-masing stadium tersebut. Data penting yang lain adalah waktu, yaitu jam berapa ketika napoleon terlihat. Data pendukung lain dan masuk sebagai keterangan tambahan dan akan digunakan ketika melakukan kajian lain adalah kondisi habitat, seperti tutupan karang (Kotak 2) dan kedalaman perairan di mana napoleon ditemukan. Data pendukung dapat diambil sesuai tujuan survei dan tipe kajian yang ditetapkan, tetapi data pendukung dapat pula tidak diambil jika dipandang tidak perlu. Namun dianjurkan bahwa data pendudukung tetap dikumpulkan karena sangat diperlukan dalam kajian ilmiah yang mendalam. Data dan informasi tersebut dicatat pada sabak dengan cara tabulasi dan kode tertentu (Tabel 4). 39

54 Ikan Napoleon Gambar 10 Visi yang terlihat ketika suatu objek tertentu (karang) menutupi suatu bidang datar. Tutupan objek tersebut dapat ditaksir sesuai yang terlihat dalam frame lingkaran dengan kategori persentasenya masingmasing. Cara seperti ini digunakan dalam menaksir tutupan karang di tempat alamiahnya. Sumber: English et al. (1994) 40

55 Mengenal Underwater Visual Census Kotak 2 TEKNIK MENAKSIR TUTUPAN KARANG BATU Seperti disebutkan di awal bahwa habitat ikan napoleon adalah terumbu karang. Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa tidak selamanya ikan napoleon dijumpai pada kondisi tutupan karang yang tinggi, karena sering kali dijumpai pada wilayah yang rusak. Informasi habitat ini termasuk sebagai keterangan tambahan yang bermanfaat untuk memprediksi apakah benar lokasi terumbu karang di mana ikan napoleon dijumpai selalu mengalami kerusakan. Adapun acuan baku untuk keperluan analisis kondisi habitat ikan napoleon mengacu pada kondisi tutupan terumbu karang. Kondisi terumbu karang tersebut ditentukan berdasarkan asumsi persen tutupan komponen dari karang batu (hard corals) di suatu area, di mana ikan napoleon dijumpai. Pencacah dapat menaksir secara cepat berapa persen karang keras yang menutupi kawasan napoleon tersebut. Caranya, pencacah dapat membuat frame kuadrat secara maya, yang kira-kira 100 m 2, di mana di dalam frame maya tersebut ditaksir persentase komponen karang kerasnya (Gambar 10). Kriteria persentase tutupan karang tersebut dibedakan dalam 5 tingkatan, yaitu penutupan sangat rendah, penutupan rendah, penutupan sedang, penutupan tinggi, dan penutupan sangat tinggi. Kriteria persen tutupan karang secara lengkap dijelaskan pada tabel 4. 41

56 Ikan Napoleon Kriteria kondisi terumbu karang Kategori Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sumber: USAID (2003). Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Mantatow. 42

57 Tabel 4 Contoh tabulasi hasil pencatatan data pada papan sabak Lokasi : Pulau Burung Tgl.... Metode: SVC - Pencacah :...nama Titik Awal UVC : Jam Titik Akhir UVC : Jam Jam Variabel Data (Jumlah individu) Stadium/ Ukuran-cm Keterangan Habitat Juv, 20 Tutupan karang batu 20 % (lihat Kotak 2), reef flat, kedalaman, sebutkan komponen bentik lainnya jika perlu Dew, 40 Tutupan karang batu 10%, reef slope, kedalaman, ada spon dan karang lunak Dst...

58 Ikan Napoleon Pengumpulan data menggunakan GPS-Floating Kit (GPS-FK) untuk memberikan catatan (record) sapuan wilayah (tracking) menurut titik-titik koordinat dari rekaman GPS. Untuk itu perlu adanya penyamaan waktu (jam), yaitu waktu (jam, menit, detik) yang tertera di GPS dengan waktu pada jam tangan yang dikenakan pencacah. Dalam hal ini kedua pencacah wajib mengenakan jam tangan masing-masing. Catatan waktu itulah nantinya yang memberikan titik-titik koordinat sebenarnya dari lintasan renang dan tempattempat di mana ikan napoleon secara geografis dijumpai. Dengan kata lain, koordinat dari satu titik (spot) yang terekam GPS, suatu titik di mana subjek terlihat, dapat ditentukan dari jam dan menit waktu subjek itu ditemukan. GPS-FK dihubungkan dengan pencacah melalui tali yang diikatkan di pinggang atau di mana saja pada bagian tubuh pencacah yang sekiranya tidak mengganggu gerakan saat berenang. Pada UVC membutuhkan tali penghubung yang lebih panjang dibanding pada SVC, di mana disesuaikan dengan rencana kedalaman penyelaman SCUBA, sehingga GPS-FK tetap dalam posisi mengapung di permukaan air, sedangkan penyelam berada di bawahnya (Gambar 8). Sementara pada UVC dengan snorkling dibutuhkan tali penghubung sepanjang 3 meter saja, sehingga posisi GPS-FK mengapung dan berada di belakang perenang (Gambar 9). Sensus visual selalu dilakukan oleh pencacah yang berpasangan (buddy system). Keduanya berenang lurus mengikuti garis pantai dan satu sama lain harus menjaga jarak yang telah ditetapkan (misalnya 5 meter). Jarak pandang kedua pencacah ditetapkan kemudian karena harus disesuaikan dengan kecerahan kolom air saat itu. Jika ternyata jarak pandang pencacah di kiri 10 meter dan di kanan 10 meter, berarti lebar area sensus menjadi 25 meter. Ikan napoleon yang ditemukan pada rentang lebar tersebut dan sepanjang lintasan sensus dicatat jumlahnya pada sabak, berikut pencatatan waktu ditemukannya (Tabel 4). Sementara, titik awal dan titik akhir sensus visual selalu ditentukan dan dicatat dalam satuan jam, menit, detik, sehingga nantinya dapat ditentukan panjang lintasan. Dengan demikian dari data panjang lintasan dan lebar area sensus dapat ditentukan luas area sensus. Pada cara UVC, jarak pandang sangat ditentukan oleh visibilitas horizontal dari penyelam dalam laut. Dengan jalan yang sama, luas wilayah UVC dapat ditentukan dan pencatatan data sama seperti pada cara SVC. Waktu yang dibutuhkan dalam satu kali sapuan sensus (1 lintasan/tracking) 3 4 jam, di mana waktu tersebut tergantung 44

59 Mengenal Underwater Visual Census pada kekuatan dan daya tahan pencacah dalam renang jarak jauh. Dalam 1 hari kerja dapat dilakukan 2 kali tracking: pagi hari dan siang yang diselingi istirahat. Jumlah buddy system (pasangan) yang dibutuhkan disesuaikan dengan luas area yang disensus. Semakin luas wilayah kajian, semakin banyak pasangan yang dibutuhkan. Jadi dibutuhkan banyak SDM pada survei skala luas. Adapun pembagian tugas sesuai luas wilayah akan lebih meringankan pencacah karena kegiatan sensus tidak menggunakan alat bantu penggerak (motor), tetapi hanya mengandalkan kekuatan berenang. Sementara pemakaian motor penggerak tidak dianjurkan karena gelembung-gelembung akibat gerakan baling-baling sangat mengganggu pandangan mata. Langkah setelah melakukan pengumpulan data adalah menyusunnya ke dalam bentuk tabulasi, seperti contoh Tabel 5. Dengan adanya posisi geografis (titik koordinat) dari keberadaan ikan-ikan napoleon yang tersensus, maka penyajian data dapat didasarkan pada model Geographical Information System (GIS), di mana selanjutnya dapat disajikan ke dalam bentuk peta tematik sebaran ikan napoleon dalam skala 1: atau 1 : Dalam analisis data selanjutnya, dari beberapa lembar data di atas akan diperoleh parameter-parameter yang dibutuhkan untuk menghitung kepadatan dan sediaan ikan napoleon dalam suatu zona wilayah perairan yang ditetapkan untuk dikaji. Ukuran populasi juvenil, dewasa, dan tua memberikan implikasi masing-masing terhadap tipe komunitas yang dengannya menentukan model pengelolaan. Menghitung ukuran populasi bukan saja dapat dipisahkan sesuai dengan stadium ikan napoleon, tetapi juga dapat menyatukan seluruhnya tanpa membeda-bedakan stadiumnya. Ukuran populasi ikan napoleon menggunakan formula yang dikemukakan oleh Odum (1994) sebagai berikut. 45

60 Ikan Napoleon Keterangan: D i X i n i D i = X i / n i...(1) : Kepadatan ikan napoleon (ind/ha) dalam kawasan ke-i yang dikaji : Jumlah total individu ikan napoleon yang ditemukan pada semua petak lintasan sensus di kawasan ke-i yang dikaji : Luas total area lintasan sensus dalam kawasan ke-i yang diamati (ha) Perhitungan manual di atas dapat juga dilakukan menggunakan Microsoft Excel, di mana data record GPS dapat membantu menghitung panjang lintasan (distance feet atau distance metre). Apabila lebar area sensus diketahui, maka luas area sensus (sepanjang tracking) dapat dihitung dengan Microsoft Excel. Jika luas area sensus sudah diketahui, kepadatan napoleon juga akan mudah diketahui. Perlu diingat bahwa semua perhitungan tersebut menggunakan Microsoft Excel yang dilakukan dengan jalan kumulatif. 46

61 Mengenal Underwater Visual Census Tabel 5 Lembar data hasil sensus populasi ikan napoleon 1 Nama Pulau :... 7 Kondisi cuaca : cerah/mendung 2 Desa/Kec/ Kab :... 8 Waktu mengawali sensus ke i : Jam...Menit...detik... 3 Sensus ke i * ) : ke 1, 2, atau 3 9 Waktu mengakhiri sensus ke i : Jam...Menit...detik... 4 Tanggal Sensus ke i : Lebar Area Sensus ke i :...m 5 Cara Berenang : SCUBA/Snorkling 11 Panjang Lintasan Sensus ke i :...m 6 Nama Pencacah : Luas Area Sensus** ) ke-i :...m 2 13 Luas Total Perairan Karang : :...km 2 47

62 Ikan Napoleon Tabel 5 Lembar data hasil sensus populasi ikan napoleon (Lanjutan) No Titik Koordinat Jumlah Individu Ukuran Stadium Keterangan Penemuan Ikan Ikan Napoleon (cm) (Juvenil, Dewasa, Tua) (Habitat) 1 Diperoleh dari hasil download GPS sesuai dengan jam ditemukannya napoleon Persen cover karang Kedalaman perairan 2 3 dst 48

63 Mengenal Underwater Visual Census Keterangan: Sensus ke-i, dalam beberapa hari kerja mungkin dilakukan beberapa kali sensus, jadi bisa sensus termin ke-1 atau termin ke-2. Lebar area sensus ( item 10) adalah jarak pandang yang disepakati dari jarak pandang terjauh observer pertama dan kedua untuk pandangan terjauh ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kejernihan perairan, di mana ketetapan tersebut harus konsisten sejak awal sensus dimulai. Jadi variabel lebar sensus bisa 20 m, 25 m, 30 m, dan seterusnya. Panjang lintasan sensus ( item 11) adalah panjang yang dikalkulasi dari titik koordinat awal sensus dan titik koordinart akhir sensus, di mana titik-titik tersebut adalah konversi dari waktu yang dicatat saat mengawali (item 8) dan mengakhir sensus (item 9) menjadi koodinat sesuai data yang terekam GPS. Luas area adalah hasil perkalian item 10 dan 11. Luas Total Perairan Karang ( item 13) adalah luas seluruh perairan karang di pulau tempat sensus dilakukan. Ini merupakan data sekunder atau data primer yang dikalkulasi sesuai panjang pantai pulau tersebut dan asumsi lebar area terumbu karangnya. Oleh karena itu diperlukan peta kerja yang jelas skalanya. Namun data yang lebih akurat dapat dikerjakan dengan bantuan remote sensing. Lembar ke... i dari ke... n Selanjutnya sediaan sumber daya ikan napoleon dapat ditentukan jika luas total petak lintasan sensus (n i ) bersifat representatif terhadap luasan terumbu karang (N) dalam kawasan ke- i yang dikaji tersebut, di mana asumsi dari rasio luas antara N dan n i yang ideal adalah 1 : 0,75. Artinya luas total dari petak yang mendapat perlakuan sensus adalah maksimum 75% dari luas terumbu karang di kawasan yang dikaji. Namun jika kawasan terumbu karang yang akan dikaji sangat luas sekali, maka rasio tersebut dapat diturunkan dan berkisar antara 1 : 0,30 sampai 1 : 0,5 di mana disesuaikan dengan luas kawasan dan kemampuan jelajah serta dipandang masih cukup refresentatif. 49

64 Ikan Napoleon Sediaan sumber daya ikan napoleon (S- individu ) dalam kawasan ke-i yang dikaji dan diketahui luas total area perairan terumbu karangnya (N - ha ), dapat diketahui dengan rumus berikut. S =D i. N... (2) 50

65 BAB 4 KRITERIA PENILAIAN KEPADATAN POPULASI IKAN NAPOLEON Pengkajian status ikan karang tropis seperti ikan napoleon menjadi tantangan tersendiri. Sejauh ini belum ada indeks kelimpahan untuk ikan napoleon, baik dalam skala global maupun nasional, dan lebih jauh terdapat ketergantungan yang tinggi pada literatur yang tidak jelas dan observasi yang asal jadi (Gillett 2010). Penerapan regulasi pengelolaan ikan napoleon memerlukan informasi lain seperti kriteria kepadatan populasi. Tulisan ini adalah sintesis atas kriteria tersebut yang bermanfaat untuk menilai tingkat status populasi ikan ini di alam, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaannya. Fakta menunjukkan bahwa secara substansial materi-materi regulasi yang mengatur pengelolaan perikanan napoleon masih bergantung pada data dan kriteriakriteria tertentu, seperti ketentuan-ketentuan tentang batasan kelas kepadatan populasi yang diperlukan untuk pengelolaan sistem buka tutup pemanfaatan atau sebagai indikator pulih tidaknya populasi ikan napoleon di alam. Sifat Bawaan dan Kehidupan Alami Ikan Napoleon Tidak seperti ikan karang lainnya, di alam ikan napoleon memiliki ukuran populasi yang rendah dan dipandang sebagai sifat bawaannya. Beberapa hal biologis, struktur populasi, dan perilaku yang diprediksi memengaruhi ukuran populasi ikan napoleon, seperti telah dideskripsikan di awal, menjadi dasar pertimbangan utama dalam menentukan kriteria penilaian kepadatan ikan napoleon di alam, khususnya untuk wilayah perairan Indonesia.

66 Ikan Napoleon Fakta di lapangan menunjukkan bahwa secara alami kepadatan ikan napoleon, seperti dijelaskan di muka cukup rendah di semua jenis perairan wilayah Indonesia. Kelimpahan populasi yang rendah tersebut bukan saja ditemukan pada perairan yang berstatus tingkat eksploitasi rendah, sedang, atau tinggi, tetapi juga pada perairan yang masih alami dan bahkan pada daerah konservasi dan area yang memang menjadi habitat kesukaannya (Gillett 2010). Pernyataan Sadovy et al. (2007) secara tegas menyimpulkan bahwa kepadatan maksimum ikan napoleon dewasa yang tercatat selama ini bukan saja bergantung pada kondisi intensitas eksploitasinya, tetapi juga pada sifat alamiahnya untuk bergenerasi. Dengan demikian, penilaian kepadatan per hektare populasi ikan napoleon untuk suatu wilayah perairan perlu kehatihatian. Penilaian pengamat atas ukuran populasi dapat saja dianggap tidak masuk kategori yang sebenarnya (over-estimated) manakala yang dikaji adalah wilayah yang mengalami tekanan berat, bahkan wilayah dengan intensitas eksploitasi ringan, mengingat sifat reproduksi ikan napoleon tersebut sangat lambat untuk pulih. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada kajian peningkatan populasi napoleon di Kabupaten Fak Fak. Pilihan atas Kriteria Kepadatan Sebelumnya telah dideskripsikan bahwa kepadatan ikan napoleon bukan saja ditentukan oleh sifat biologis yang menjadi sifat bawaannya, tetapi juga oleh pengaruh eksploitasinya, sehingga status kepadatannya per unit luas area mencerminkan apakah wilayah perairannya, di mana napoleon hidup, dapat diasumsikan sebagai perairan yang tereksploitasi dengan tingkat rendah, sedang, atau tinggi. Menggeneralisasikan tingkat kepadatan ikan napoleon di suatu lokasi perairan dengan kriteria rendah, sedang, dan tinggi tanpa melihat kondisi populasinya (yang diasumsikan terancam atau hidup normal) terlampau riskan karena kriteria tersebut dapat disalahgunakan dalam pengelolaan, terutama saat menetapkan waktu pemanfaatan. Sebaliknya, jika hanya sekadar menetapkan wilayah menurut tingkat eksploitasinya tanpa memberikan status kepadatannya di tiap wilayah itu, juga akan menimbulkan tindakan pemanfaatan yang tidak berhati-hati. 52

67 Kriteria Penilaian Kepadatan Populasi Ikan Napoleon Dengan demikian, kriteria kepadatan ikan napoleon di suatu perairan yang dikaji perlu ditetapkan ranking-nya menurut masing-masing perairan dengan status pemanfaatan yang menjadi sifatnya (pemanfaatan rendah, sedang, atau tinggi). Klasifikasi seperti ini perlu mereplikasikan adanya peringatan di dalamnya agar tidak menjadi bias dalam menilai kondisi populasi yang sesungguhnya. Sesungguhnya wilayah perairan dengan tingkat eksploitasi napoleon yang tinggi dapat dipandang sebagai area yang sangat kritis sampai rentan karena populasi ikan napoleon tidak diberikan kesempatan untuk berkembang biak. Wilayah perairan dengan kategori eksploitasi napoleon tingkat sedang dapat dipandang sebagai wilayah perairan di mana populasi ikan napoleon masih diberikan kesempatan untuk berkembang. Kemudian, wilayah perairan dengan kategori eksploitasi napoleon yang rendah sampai zero eksploitasi dapat diasumsikan sebagai wilayah perairan, di mana populasi ikan napoleon masih mungkin meneruskan generasinya menunju kondisi normalnya (habitual). Kriteria Kepadatan Adapun tingkat kepadatan populasi menurut review dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah, seperti dideskripsikan di muka dapat dipertimbangkan untuk menentukan batasan-batasan kategori status perairan dan kepadatan ikan napoleon di perairan Indonesia. Menurut Sadovy et al. (2007), kepadatan napoleon dewasa tidak lebih dari 10 individu per hektare. Menurut Gillett (2010), median dari hasil pendataan dengan metode UVC pada wilayah yang tidak tereksploitasi adalah 20 individu per hektare, tetapi kepadatan ini terkesan sangat ideal untuk wilayah perairan di Indonesia karena Napoleon di perairan Indonesia mengalami eksploitasi tinggi dalam jangka panjang. Lebih jauh Gillett (2010) menyebutkan bahwa wilayah dengan eksploitasi tingkat sedang antara 0 5 individu per hektare. Nilai ini masih dapat diasumsikan terjadi di sebagian perairan Indonesia dengan adanya hasil-hasil penelitian tersebut, sedangkan data yang dapat menjadi acuan dan representatif untuk wilayah yang mengalami tekanan eksplotasi berat justru dari hasil penelitian di Indonesia (IUCN 2006) oleh LIPI dan IUCN, seperti telah dijelaskan di awal. 53

68 Ikan Napoleon Dengan mempertimbangkan hasil tersebut di atas, kategori tingkat kepadatan dapat dibedakan ke dalam lima tingkatan: A. Status dalam kategori sangat kritis (0,5 1 ekor/ha) a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon < 0,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon antara 0,51 0,75 ekor/ ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon antara 0,76 1 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 1,1 1,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon antara 1,51 2 ekor/ ha) B. Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik (2,1 4 ekor/ha) a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon antara 2,1 2,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 2,6 2,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 2,76 3 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 3,1 3,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 3,6 4 ekor/ha) C. Status dalam kategori membaik (4,1 6 ekor/ha) a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon antara 4,1 4,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 4,6 4,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 4, 76 5 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 5,1 5,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 5,6 6 ekor/ha) 54

69 Kriteria Penilaian Kepadatan Populasi Ikan Napoleon D. Status dalam kategori mendekati normal (6,1 8 ekor/ha) a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon 6,1 6,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 6,6 6,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 6,76 7 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 7,1 7,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 7,6 8 ekor/ha) E. Status dalam kategori normal (8 10 ekor/ha) a. Kepadatan sangat rendah (jumlah ikan napoleon 8,1 8,5 ekor/ha) b. Kepadatan rendah (jumlah ikan napoleon berkisar antara 8,6 8,75 ekor/ha) c. Kepadatan sedang (jumlah ikan napoleon berkisar antara 8,76 9 ekor/ha) d. Kepadatan tinggi (jumlah ikan napoleon berkisar antara 9,1 9,5 ekor/ha) e. Kepadatan sangat tinggi (jumlah ikan napoleon 9,6 10 ekor/ha) Kriteria kepadatan tersebut perlu mendapatkan catatan sesuai dengan hasil beberapa penelitian terakhir bahwa kategori kepadatan untuk seluruh perairan karang di Indonesia saat ini masuk pada kondisi A atau sangat kritis. Dengan demikian penemuan kepadatan hingga 2 ekor per hektare belum menggembirakan dan belum dapat digunakan untuk merekomendasikan penangkapan. Kondisi B diharapkan akan terjadi di wilayah Indonesia apabila adanya usaha dari semua kalangan pemangku kepentingan untuk membatasi usaha penangkapan. Pemerintah (management and scientific authorities) perlu segera menetapkan kuota terendah atau bahkan kuota nol beberapa tahun di beberapa wilayah tangkapan yang secara potensial mendapat tekanan penangkapan sedang sampai tinggi. Seperti juga usaha konservasi wilayah ikan napoleon perlu dikembangkan di beberapa kawasan. Contoh usaha konservasi laut yang dianggap berhasil untuk perkembangan populasi ikan 55

70 Ikan Napoleon napoleon adalah Kawasan Taman Laut Nasional Bunaken. Contoh usaha pembatasan penangkapan secara partisipatif adalah Karas Fak-Fak, di mana populasi dibiarkan tumbuh tanpa usaha penangkapan hingga sekarang. Sementara, kategori C, D, dan E diasumsikan belum ditemukan di wilayah Indonesia sampai adanya pembatasan penangkapan napoleon yang akan memberikan kesempatan pulihnya populasi napoleon di semua wilayah. Dari uraian-uraian yang ada dapat disintesis bahwa kriteria kepadatan tersebut dapat lebih disederhanakan menjadi 5 kriteria penting sebagai berikut Status dalam kategori sangat kritis dengan kepadatan sangat rendah (0 2 ekor/ha). Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik dengan kepadatan rendah (2,1 4 ekor/ha). Status dalam kategori membaik dengan kepadatan sedang (4,1 6 ekor/ ha). Status dalam kategori mendekati normal dengan kepadatan tinggi (6,1 8 ekor/ha) Status dalam kategori normal dengan kepadatan sangat tinggi (8,1 10 ekor/ha). Saran-saran yang dapat dikemukan untuk pemangku kepentingan dan penyusun kebijakan dalam merespons pembagian ukuran kepadatan tersebut adalah sebagai berikut Kriteria kepadatan tersebut sebaiknya digunakan sebagai nilai baku untuk mendiskusikan hasil monitoring populasi ikan napoleon di alam, sampai ditemukannya lagi nilai baku hasil sintesis lain di kemudian hari. Kriteria kepadatan tersebut sebaiknya digunakan sebagai indikator pembatasan atau perizinan pada substansi-substansi regulasi perikanan napoleon yang akan ditetapkan pemerintah. 3. Monitoring populasi ikan napoleon secara berkala menjadi bagian terpenting, selain itu juga dibutuhkan pengelolaan yang mendesak sebelum ikan ini benar-benar punah. 4. Kuota nol dan/atau konservasi wilayah napoleon perlu menjadi bahan pemikiran untuk segera menyelamatkan dan memberikan kesempatan pada peningkatan populasi ikan napoleon di alam.

71 BAB 5 KEPADATAN STOK DAN HABITAT IKAN NAPOLEON Studi Kasus di Perairan Karang Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Salah satu masalah dalam pengelolaan ikan napoleon adalah aktivitas monitoring dalam perikanan napoleon di daerah sangat rendah. Sesungguhnya monitoring perikanan napoleon sangat dibutuhkan, baik pada aktivitas penangkapan secara lokal maupun aktivitas ekspor. Monitoring juga diperlukan dalam penetapan batas kuota yang aman untuk penangkapan jenis ikan yang rentan punah ini. Tanpa pengelolaan dan monitoring yang tepat, tidak mungkin untuk mengetahui apakah laju penangkapan saat ini dapat tetap dilanjutkan (IUCN 2012). Menghadapi kasus-kasus seperti ini, monitoring populasi yang berkelanjutan untuk menetapkan status sumber daya ikan tersebut menjadi upaya strategis dalam menjawab kebutuhan perdagangan atau sebaliknya menetapkan kebijakan konservasi di area penangkapan. Jadi, perlu diketahui informasi ukuran populasi yang sebenarnya dari suatu area agar dapat dibuka untuk eksploitasi atau sebaliknya untuk dikonservasi. Penelitian populasi napoleon sebelumnya dengan metode UVC (Underwater Visual Census) yang sama telah dilakukan pada tahun 2006 di perairan Pulau Maratua, yaitu di bagian sebelah timur dan tenggara pulau (Sadovy et al. 2007). Hasil penelitian pengindraan jauh yang dipadukan dengan metode UVC menyatakan bahwa habitat potensial untuk ikan napoleon di Perairan Maratua adalah 173 km 2 (Oddone et al. 2010). Tulisan ini adalah hasil monitoring tahun 2013 dengan tujuan membahas ukuran populasi ikan napoleon dan kondisi habitatnya yang hasilnya dapat digunakan untuk tujuan pengelolaan. Kegiatan monitoring populasi ikan napoleon dilakukan di Perairan Maratua sebelah barat, Kabupaten Berau,

72 Ikan Napoleon Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 11), tepatnya pada bulan April Penelitian populasi ikan napoleon ini dilakukan terhadap populasi ikan dewasa, sehingga lokasi pengamatan ditujukan di habitat ikan dewasa, yakni di sekitar area tubir (reef crest buffer zones) yang merupakan lokasi paling mudah dijumpai ikan napoleon berukuran besar. Kepadatan Stok dan Status Habitat Jumlah individu ikan napoleon yang dijumpai di pesisir barat daya Pulau Maratua sebanyak 6 ekor. Panjang masing-masing ikan berkisar antara 25 sampai 49 cm (Tabel 6). Kedalaman perairan tempat ikan napoleon dijumpai berkisar antara 6 sampai 12 meter dengan dasar perairan terumbu karang yang umumnya berstatus rusak (Tabel 7). Lintasan 1 adalah jalur sensus terpanjang di mana dua individu ikan napoleon dewasa ditemukan. Panjang lintasan 1 adalah 3,283 km. Interval waktu penemuan ikan napoleon yang pertama adalah 14 menit 55 detik dari waktu awal mulai sensus jam 09:07:38 (Tabel 6) dan penemuan ikan napoleon yang kedua adalah 58 menit 49 detik dari titik awal sensus. Habitat pada lintasan 1 berupa tubir (reef crest) dengan relif terumbu berbentuk lereng (reef slop) dan terjal (reef wall), di mana status tutupan karang mati berselaput alga sebesar 80%, karang lunak 10%, dan pasir 10%. Jejak penggunaan potassium sianida terlihat dari bentuk permukaan karang mati yang bersifat massal serta ditutupi alga. Jejak penggunaan peledak terlihat dari bentuk serpihan karang mati (rubbel) yang cukup luas. Bentuk baru kehidupan bentik karang yang kemudian tumbuh pasca terjadinya perusakan seperti itu adalah karang lunak (10%). Bentuk pergantian koloni juga diperlihatkan oleh tumbuhnya turf algae secara massal. Kondisi seperti ini ternyata masih dapat diadaptasi oleh ikan napoleon, di mana ditunjang oleh bentuk relief terumbu, arus sedang, perairan jernih dengan jarak pandang horizontal sampai 20 meter, serta diasumsikan juga masih tersedia anakan krustasea sebagai makanan napoleon. 58

73 Kepadatan Stok dan Habitat Ikan Napoleon Gambar 11 Wilayah sensus visual ikan napoleon di Pulau Maratua tahun

74 Ikan Napoleon Tabel 6 Hasil sensus visual populasi ikan napoleon di perairan pantai Pulau Maratua tahun 2013 LINTASAN TITIK LINTANG BUJUR JAM AWAL & AKHIR SENSUS TOTAL PANJANG LINTASAN (m) RERATA LEBAR SAMPUAN (m) KUMULATIF AREA SENSUS (m 2 ) JUMLAH (ekor) UKURAN IKAN (cm) Awal N E :07: , Akhir N E :29:50 Awal N E :59: , Akhir N E :37:35 Awal N E :14: , Akhir N E :17:38 Awal N E :00: , Akhir N E :50:14 60

75 Kepadatan Stok dan Habitat Ikan Napoleon Tabel 7 Kondisi area sensus visual populasi ikan napoleon di perairan Pantai Maratua tahun 2013 LINTASAN POSISI TERUMBU STATUS TERUMBU KARANG JARAK PANDANG Tracking Reef Position Coral Reef State Visibility Lintasan 1 Area Tubir, Reef Slop, Reef Wall 80% karang mati (Dead corals & rubble), 10% karang lunak, 10% pasir 20 meter Lintasan 2 Area Tubir, Reef Slop 60% karang mati (Dead corals & rubble), 5% karang hidup, 20% karang lunak, 10% pasir, dan 5% batuan meter Lintasan 3 Area Tubir, Reef slop dan Reef Wall 50% karang mati, 10% karang hidup, 20% soft coral, 10% pasir, 10% lain-lain meter Lintasan 4 Area Tubir, Reef Flat dan Reef Slop 40% karang keras hidup, 30% karang mati, 20% karang lunak, dan 10% lain-lain (other fauna) 20 meter 61

76 Ikan Napoleon Lintasan 2 adalah jalur sensus terpendek 0,351 km, di mana ditemukan 2 individu napoleon dewasa. Interval penemuan napoleon yang pertama adalah 7 menit 22 detik yang terhitung sejak waktu diawalinya sensus (07:59:20). Interval waktu penemuan yang kedua pada hari yang sama dan lintasan yang sama adalah 31 menit 23 detik dari awal waktu sensus. Interval waktu penemuan tersebut adalah waktu keberhasilan penemuan yang relatif cepat dibanding waktu penemuan pada lintasan 1. Kondisi habitat pada lintasan 2 berupa lereng terumbu (reef slop) dengan kemiringan antara 30 sampai 40 derajat. Kolom air pada lintasan 2 cukup jernih dengan jarak pandang horizontal 15 meter. Jejak kerusakan karang akibat perikanan yang tidak ramah lingkungan masih terlihat, di mana tutupan karang mati berselaput alga masih tinggi (60%). Tutupan berupa pertumbuhan karang baru sebesar 5% dan pergantian rezim karang batu oleh karang lunak sebesar 20%. Sisanya berupa tutupan pasir 10% dan batuan 5%. Seperti juga pada lintasan 1, kondisi lintasan 2 seperti tersebut masih diadaptasi oleh ikan napoleon. Ikan napoleon dari perairan dalam naik ke sekitar area lereng terumbu untuk mencari makan, khusus pada waktu air pasang. Lintasan 3 seperti tersaji pada Tabel 6 adalah jalur sensus yang relatif panjang yaitu 1,1 km. Pada lintasan 3 ditemukan 2 anakan napoleon dengan perkiraan panjang tubuh 25 cm. Interval penemuan ikan napoleon yang pertama adalah 5 menit dan 18 detik yang terhitung dari titik awal sensus jam 15:14:26. Interval penemuan yang kedua adalah 12 menit dan 18 detik. Interval waktu penemuan tersebut adalah waktu keberhasilan penemuan yang tercepat dibanding waktu penemuan pada lintasan 1 dan lintasan 2. Area terumbu pada lintasan 3 adalah berupa lereng 10 derajat sampai terjal dengan sudut kemiringan sekitar 45 derajat hingga kedalaman 15 meter. Kondisi tutupan karang mati masih tinggi (50%), yaitu sebagai tanda adanya kerusakan karang yang telah berlangsung lama akibat penggunaan potasium sianida. Tutupan karang keras hidup hanya 10%. Tutupan karang lunak (soft coral) sebesar 20%, pasir 10%, serta tutupan sponge, oktokoralia, dan lain-lain sebesar 10%. Jarak pandang horizontal mencapai 20 meter dan jarak pandang vertikal 15 meter. 62

77 Kepadatan Stok dan Habitat Ikan Napoleon Salah satu anakan ikan napoleon dijumpai di lereng dan lainnya dijumpai di kedalaman 12 meter. Kondisi seperti ini masih dapat diadaptasi oleh ikan napoleon. Area ini diasumsikan sebagai wilayah asuhan bagi anakan ikan napoleon dengan rentang kedalaman mulai dari 6 meter sampai 12 meter. Hasil pada lintasan 4 (Tabel 6) merupakan jalur sensus dengan panjang 1,7 km. Dari 4 lintasan sensus, hanya pada lintasan 4 yang tidak ditemukan ikan napoleon, meskipun lintasan 4 relatif lebih baik dalam hal kondisi bentuk kehidupan bentik terumbu. Tipe relif dasar perairan berupa rataan terumbu (reef plat) dan lereng terumbu yang dangkal dengan kemiringan 30. Lokasi sensus pada lereng terumbu dengan kedalamaman antara 10 sampai 15 meter. Lereng terumbu tersebut memiliki tutupan karang hidup (hard corals bentuk submasivve dan massive) sebesar 40%, sedangkan tutupan karang mati 30%. Tutupan karang lunak 20%. Tutupan sponge, bambu laut (Oktokoralia), dan fauna lainnya 10%. Secara umum, rata-rata durasi waktu penemuan ikan dihitung dari titik awal mulai sensus untuk masing-masing lintasan adalah 21 menit dan 30 detik per ekor per lintasan. Durasi terpanjang penemuannya adalah 59 menit dan terpendek 5 menit (Tabel 6). Rata-rata kepadatan ikan napoleon untuk total area sensus 6,6 hektare adalah 0,9 individu per hektare. Sebaran dan Intensitas Eksploitasinya Menurut jarak lintasan maupun durasi waktu penemuannya, kelimpahan spasial populasi napoleon di Perairan Maratua tergolong jarang. Artinya, ikan ini tidak menyebar merata dan tidak semua tempat bisa ditemukan. Ikan napoleon dewasa hidup soliter di terumbu karang, tempat di mana ikan ini memijah. Mobilitasnya rendah karena jarang pergi jauh dari tempatnya pemijahannya (Domeier & Colin 1997). Napoleon cenderung memilih mikrohabitat yang sesuai, di mana rentang habitat tersebut sifatnya terbatas dan sempit, sehingga kelimpahan napoleon selalu rendah di alam (Sabater 2010). Jika diperhatikan kondisi habitatnya (Tabel 7), ikan napoleon masih dapat dijumpai pada wilayah yang mengalami kerusakan terumbu karang, tetapi memiliki area tubir dengan kecerahan kolom air yang tinggi dan berarus. Hasil penelitian Oddone et al. (2010) menyebutkan bahwa 95% ikan 63

78 Ikan Napoleon napoleon hidup di area tepi karang dan zona penyangga, yaitu kurang lebih dengan lebar 100 m. Area ini merupakan tubir yang berbentuk dinding (reef wall) atau lereng (reef slope) yang merupakan bentuk relief yang paling disukai oleh ikan napoleon. Menurut Sluka (2005), ikan napoleon sering dijumpai pada area cekungan di sekitar tubir yang memiliki tutupan bentik terumbu campuran dan sedikit berpasir serta berair jernih. Berdasarkan kriteria kepadatan populasi ikan napoleon, kepadatan ikan napoleon 0,9 individu/hektare untuk wilayah Perairan Maratua tergolong sangat rendah (Edrus 2013), di mana status perairan Maratua masih dalam kondisi kritis untuk dieksploitasi. Informasi Wikipedia menyebutkan bahwa di Maratua telah terjadi lebih tangkap sejak tahun 1990-an, khususnya untuk jenis-jenis ikan hidup yang memiliki harga tinggi di pasar dunia, seperti kerapu, lobster, dan napoleon. Wiryawan et al. (2005) menyebutkan bahwa sejak tahun 1999 CPUE kerapu dan udang turun lebih dari 40%. Selain faktor lebih tangkap, penurunan sumber daya ikan ini sebagai akibat kerusakan terumbu karang yang meluas. Menurut Syofyanto (2006), perikanan ikan hidup tersebut dalam periode yang panjang menggunakan potasium sianida tanpa bisa dikendalikan, sehingga membuat semua komponen karang mati. Allen (2004) menyebutkan bahwa ukuran populasi napoleon adalah indikator terbaik untuk menunjukkan adanya tekanan penangkapan dan terlihat kelimpahan napoleon sudah masuk kategori jarang untuk wilayah Derawan. Sadovy et al. (2007) menyatakan bahwa jika ketiga jenis ikan karang (kerapu, lobster, dan napoleon) menjadi target tangkapan utama di suatu wilayah dalam jangka panjang dengan permintaan pasar yang tinggi, yang diiringi oleh rusaknya habitat serta hilangnya banyak ikan-ikan target berukuran besar, dan napoleon sudah jarang terlihat, maka dapat diduga bahwa wilayah tersebut adalah tergolong area tangkap dengan intensitas penangkapan yang tinggi. Lokasi ini menurut laporan petugas pengawas perikanan setempat memang memiliki sejarah panjang pemanfaatan ikan napoleon, di mana pada tahuntahun terakhir sudah menurun tingkat eksploitasinya (Otolua 2013). Penurunan tingkat eksploitasi tersebut ternyata memberi kesempatan pada ikan napoleon melakukan rekrutmen. Seperti ditemukan pada penelitian ini bahwa ikan napoleon dengan ukuran panjang tubuh 25 cm masih ada, dengan 64

79 Kepadatan Stok dan Habitat Ikan Napoleon demikian Perairan Maratua diduga menjadi area asuhan ikan napoleon pasca berkurangnya intensitas pemanfaatan ikan tersebut. Kondisi seperti di Perairan Maratua tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan lokasi-lokasi lain di perairan terumbu karang Indonesia. Seperti beberapa hasil penelitian di perairan Indonesia dengan metode UVC yang dilakukan IUCN dan LIPI pada 2005 dan 2006, Bakosurtanal di 116 titik transek sabuk (Edrus 2011), hasil monitoring pada Kabupaten Karas, Fak Fak tahun 2011 (Edrus et al. 2013), dan hasil monitoring 2012 di pesisir Bunaken dan sekitarnya (Sadovy et al dan 2012; Edrus 2013). Seperti juga di lokasi lain, kepadatan napoleon di Perairan Maratua tergolong rendah, tetapi masih ditemukan individu (0,9 ind./ha) sebagai akibat dari berkurangnya pemanfaatan ikan ini dan adanya kesempatan rekrutmen. Untuk alasan ini, pendugaan stok ikan ini dapat dikaitkan dengan memperhitungkan luas area potensial untuk napoleon di perairan Maratua, yaitu 173 km 2 atau setara dengan hektare (Oddone et al. 2010). Estimasi sediaan napoleon dengan jalan ektrapolasi secara kasar atas hasil penelitian ini adalah sebesar individu per 173 km 2. Hasil monitoring ukuran populasi napoleon di perairan Maratua menunjukkan bahwa perairan karang Pulau Maratua sebagai wilayah tangkap napoleon dengan intensitas tinggi memiliki kelimpahan spasial ikan napoleon yang tergolong rendah dan kepadatan populasi napoleon masuk pada status sangat kritis dalam kondisi habitat yang juga rusak. Beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk penentu kebijakan di daerah maupun pusat sebagai berikut Area perairan Pulau Maratua dan sekitar perlu segera ditutup sementara untuk penangkapan napoleon atau menetapkan wilayah tersebut dalam status zero quota. Area perairan Pulau Maratua dan sekitarnya perlu memiliki zonasi konservasi untuk perlindungan ikan napoleon. 3. Monitoring populasi napoleon untuk wilayah Kabupaten Berau perlu dilakukan berkesinambungan. 4. Membangun pendekatan yang transparan dan sistematik pada masyarakat sekitar untuk pengelolaan berbasis masyarakat. 65

80

81 BAB 6 PERKEMBANGAN POPULASI IKAN NAPOLEON Studi Kasus Pascapenutupan Penangkapan di Perairan Kabupaten Karas, Fak Fak Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan ikan napoleon (Cheilinus undulatus) lebih dialamatkan pada perlindungan terbatas yang mengatur ukuran yang tidak boleh dipanen. Substansi regulasi sebenarnya tidak begitu jauh dari regulasi yang digantikannya, yaitu Deklarasi Dirjen Perikanan No. HK.330/ S3.6631/96 tentang ukuran, lokasi, dan tata cara penangkapan ikan napoleon, sedangkan deklarasi tersebut dipandang tidak dapat menghadapi perikanan ilegal (Edrus 2011). Dengan demikian, hal ini akan tetap menjadi celah terjadinya penyimpangan di tingkat lapang ketika pengawasannya sendiri lemah. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah regulasi ini mampu memberikan perlindungan pada musim memijah ikan napoleon dan apakah yang mungkin terjadi ketika regulasi dinisbahkan pada penutupan penangkapan sementara waktu (temporal closing-seasonal closing). Sesungguhnya perikanan napoleon di Indonesia kurang dikelola dengan baik, bahkan di atas kertas sekalipun (IUCN 2012). Kelemahan ini ditandai oleh kurangnya informasi tentang dinamika populasi napoleon di alam. Semua bentuk kebijakan pengelolaan dan bahkan keputusan tanpa didasari oleh sifat populasi ikan ini. Informasi mengenai bagaimana populasi ikan napoleon berkembang setelah tangkapan berlebih belum jelas sama sekali, kecuali pengukuran ulang kepadatannya di alam.

82 Ikan Napoleon Perikanan napoleon di Kabupaten Karas, Fak Fak mungkin dapat menjadi contoh yang baik bagi daerah lain dalam hal pengelolaan. Usaha perikanan napoleon di Karas sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Akan tetapi semenjak keluar konvensi CITES untuk ikan napoleon dengan status appendix 2 karena rawan punah (CITES 2004), maka setahun kemudian yaitu pada tahun 2005 pengusaha dan nelayan Karas membuat inisiatif dan kesepakatan bersama untuk menutup area penangkapan napoleon. Sejalan dengan itu pada tahun yang sama, kelompok Grouper & Wrasses Specialist dari IUCN telah melakukan pengambilan baseline data populasi napoleon di Karas, di mana 20 ekor napoleon ditemukan dalam 30 km lintasan sensus (Sadovy 2010). Perkembangan selama 5 tahun pascapenutupan penangkapan tersebut perlu diketahui dampaknya, yaitu apakah telah terjadi perkembangan ukuran populasi napoleon di alam seperti yang diharapkan. Perkembangan populasi diasumsikan ke arah yang positif, yakni pasti terjadi sebagai akibat dari penutupan tersebut. Namun perlu diketahui bahwa apakah ukuran populasi pascapenutupan tersebut sudah masuk pada kriteria membaik atau masih dalam kondisi kritis. Informasi ini sangat bermanfaat untuk memastikan cukup tidaknya interval waktu atau periode tahun penutupan tersebut. Tulisan ini merupakan hasil identifikasi status populasi napoleon dari indikator kepadatan yang telah berkembang pascapenutupan penangkapan, sehingga diharapkan dapat menjadi dasar keputusan menutup sementara penangkapan. Kegiatan monitoring populasi ikan napoleon dilakukan di perairan Kabupaten Karas, Fak Fak, Papua Barat pada bulan November Lokasi penelitian meliputi perairan Pulau Tarak, Faur, Andalisa, dan Andamisa. Lintasan sensus visual ditetapkan menurut lintasan penelitian sebelumnya tahun 2005 (Gambar 12). 68

83 Perkembangan Populasi Napoleon Status Kepadatan Hasil sensus visual di wilayah tubir (reef crest) pada 13 lintasan adalah 64 individu ikan napoleon. Panjang total lintasan sensus 31,9 km dengan luas area sapuan 44,6 hektare. Rata-rata kepadatan ikan napoleon seluas wilayah sensus tersebut adalah 1,4 individu per hektare. Wilayah perairan karang yang memiliki jumlah penemuaan napoleon terbanyak adalah Pulau Andalisa dan Andamisa yaitu 47 individu karena perairan karangnya relatif lebih panjang dan lebih baik kondisi kesehatannya dari pada Karas dan Faur. Di perairan karang Pulau Karas hanya terdapat ikan napoleon 14 individu, sedangkan di perairan karang Pulau Faur yang relatif lebih banyak tutupan pasirnya hanya dijumpai 3 individu napoleon. Tabel 8 menunjukkan hasil sensus menurut lintasan, di mana data record GPS setiap lintasan tercatat setiap 30 detik, tetapi penyajian dalam tabel tersebut sengaja diringkas. 69

84 Ikan Napoleon Gambar 12 Lokasi dan lintasan sensus ikan napoleon di Perairan Karas, Fak Fak, Papua Barat 70

85 Perkembangan Populasi Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 1 Awal , ,68 0 0, , ,65 2 0, , ,95 3 0, , ,79 4 0, , ,08 5 0, , ,04 6 0, , ,15 7 0, Akhir , ,25 8 0, Awal , ,10 9 0, , , , Akhir , , ,

86 Ikan Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon (Lanjutan) Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 3 Awal , , , , , , , , , Akhir , , , Awal , , , Akhir , , , Awal , , , , , , Akhir , , , Awal , , , , , , , , , , , , , , , Akhir , , ,

87 Perkembangan Populasi Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon (Lanjutan) Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 7 Awal , , , , , , , , , , , , Akhir , , , Awal , , , Akhir , , , Awal , , , , , , , , , Akhir , , ,

88 Ikan Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon (Lanjutan) Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 10 Awal , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Akhir , , ,

89 Perkembangan Populasi Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon (Lanjutan) Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 11 Awal , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Akhir , , ,

90 Ikan Napoleon Tabel 8 Hasil sensus dan tabulasi data GPS yang menunjukkan jarak dan luar area sensus serta kepadatan ikan napoleon (Lanjutan) Lintasan Jarak Waktu Jarak Tempuh Kumulatif*) Lebar Transek Luas Area Kumulatif Jumlah Kumulatif (m 2 ) Kepadatan Kumulatif (Ind/m 2 ) 12 Awal , , , , , , , , , , , , , , , Akhir , , , Awal , , , , , , , , , , , , Akhir , , ,

91 Perkembangan Populasi Napoleon Tabel 9 menunjukkan lokasi dan kondisi dari masing-masing area sensus dan komoditas lain yang turut tersensus. Komoditas lain yang juga sering berkaitan dengan perikanan napoleon adalah kelompok ikan kerapu (Serranidae) yang dijumpai sebanyak 98 individu. Hasil pengamatan habitat sepanjang lintasan (Tabel 9) menunjukkan bahwa ikan napoleon dapat dijumpai pada semua kualitas terumbu yang ditandai oleh tutupan karang, kecuali tutupan yang didominasi oleh hamparan pasir. Napoleon umumnya dijumpai pada area terumbu dengan beragam jenis tutupan antara karang hidup, karang mati, dan sedikit pasir, terutama di tubir. Estimasi ukuran panjang tubuh ikan napoleon yang dijumpai pada area sensus bervariasi cukup besar, yaitu antara 12 sampai 90 cm (Gambar 13). Napoleon dengan ukuran tubuh antara 26 sampai 50 cm dijumpai paling banyak dan didominasi oleh ukuran cm. Napoleon dengan rentang ukuran cm tersebut lebih sering naik mencari makan ke wilayah tubir (reef crest) dan juga kadang-kadang dijumpai sampai ke area rataan terumbu (reef flat) bersama dengan anakan dan juwana napoleon yang berukuran di bawah 25 cm. Ikan napoleon dewasa dan dewasa tua dengan rentang ukuran di atas 60 cm sampai 1 meter lebih sering dijumpai di wilayah dinding karang (reef wall). Gambar 13 memperlihatkan distribusi ukuran panjang total ikan napoleon yang juga memprediksikan bahwa pada area tubir lebih banyak dijumpai ikan napoleon. 77

92 Tabel 9 Area sensus dan beberapa temuan komoditas penting lain LINTASAN LOKASI HABITAT KOMODITAS LAIN 1 Pulau Tarak Bagian Timur Reef Slope dan Reef Wall Terumbu karang dengan beragam kualitas tutupan Rubble di bagian slope Plectropomus Leopardus 1 P. areolatus 1 2 Pulau Tarak Bagian Barat Reef Slope Terumbu karang kondisi baik sampai rusak (rubbles) P. leopardus 7 P. areolatus 10 3 Pulau Tarak Bagian Utara Reef Slope dan Reef Wall Terumbu karang kondisi baik sampai rusak, banyak rubble di slope P. leopards 1 P. areolatus 2 Variola louti 2 4 Pulau Faur Sisi Timur-Selatan Reef Flat dan Reef Slope Terumbu karang kondisi baik sampai rusak Ada rubble di beberapa area Ada tutupan pasir di 11 titik Variola albimarginata 1 5 Pulau Faur Sisi Utara dan Barat Reef Slope Terumbu karang kondisi kaik sampai rusak. Ada rubble di beberapa area P. areolatus 6 P. laevis 1 P. Maculatus 1 6 Pulau Andalisa Selatan Sisi Barat, Reef Slope Terumbu karang dengan kualitas baik P. areolatus 2 P. laevis 1

93 Tabel 9 Area sensus dan beberapa temuan komoditas penting lain (Lanjutan) LINTASAN LOKASI HABITAT KOMODITAS LAIN Pulau Andalisa Selatan Terumbu karang kondisi P. areolatus 2 7 Sisi Timur baik dan sedikit rusak P. oligacanthus 1 Reef Slope dan Reef Wall Ada jejak blast fishing Variola albimarginata 1 Pulau Andalisa Timur Terumbu karang kondisi P. leopardus 3 8 Sisi Selatan baik dan sedikit rusak P. areolatus 4 Reef Slope Ada jejak blast fishing Variola albimarginata 3 Pulau Andalisa Timur Terumbu karang kondisi P. Maculatus 1 9 Sisi Utara baik P. areolatus 1 Reef Slope dan Reef Wall Pulau Andamisa Utara Terumbu karang kondisi P. Maculatus 8 10 Sisi Barat baik, pada beberapa titik P. laevis 2 Reef Slope dan Reef Wall dijumpai tutupan rubbles P. areolatus 7 Epinephelus fuscoguttatus 1

94 Tabel 9 Area sensus dan beberapa temuan komoditas penting lain (Lanjutan) LINTASAN LOKASI HABITAT KOMODITAS LAIN Pulau Andamisa Utara Terumbu karang kondisi P. areolatus 1 11 Sisi Timur baik dan sedikit rusak Reef Slope dan Reef Wall Ada jejak blast fishing 12 Pulau Andalisa Timur Daya Terumbu karang kondisi P. leopardus 24 Sisi Utara, Reef Slope baik sampai rusak (rubbles) 13 Pulau Andalisa Timur Daya, Sisi Selatan Reef Slope Terumbu karang kondisi baik sampai rusak Tutupan rubbles di 6 titik P. leopardus 2 P. laevis 1

95 Perkembangan Populasi Napoleon Gambar 13 Frekuensi panjang total ikan napoleon Status Perkembangan Populasi Dalam 5 tahun pascapenutupan penangkapan napoleon, telah terjadi perkembangan ukuran populasi dari 0,47 individu per hektare menjadi 1,4 individu per hektare. Hal ini berarti ada kenaikan sebesar 298% jika dibandingkan dengan hasil monitoring tahun 2005 (Sadovy 2010). Meskipun ada kenaikan dalam ukuran populasi, tetapi status kelimpahannya masih dalam kategori kritis (Edrus 2013) dan belum menunjukkan kondisi populasi yang diharapkan telah membaik. Kenaikan ukuran populasi tersebut, selain berkaitan dengan penutupan penangkapan, diasumsikan juga berkaitan dengan daya dukung lingkungan atau kesesuian habitat, di mana dijumpai tutupan bentuk bentik terumbu yang beragam di wilayah tubir dan lereng terumbu (Oddone 2010). Kondisi seperti ini lebih umum dijumpai di perairan karang Pulau Tarak, Pulau Andalisa, dan Andamisa. Oleh karena itu penemuan napoleon lebih banyak. Lokasi perairan Andalisa dan Andamisa memiliki habitat yang potensial untuk pertumbuhan populasi napoleon. Sebaliknya pada perairan Pulau Faur, kondisi rataan terumbu kurang mendukung karena dalam skala luas hanya ditutupi oleh hamparan pasir putih. Terumbu dengan dominasi tutupan pasir tidak disukai oleh napoleon. 81

96 Ikan Napoleon Kecenderungan pemilihan pada habitat yang sesuai dan rentang habitat yang sifatnya terbatas dapat menjelaskan bahwa kenapa sesungguhnya kelimpahan napoleon selalu rendah di alam (Sabater 2010). Anakan ikan napoleon lebih banyak mendiami area rataan terumbu dangkal yang menunjukkan transisi kesukaan pada kedalamam perairan sesuai umur dan ukuran tubuh (Sadovy et al. 2003). Ikan napoleon dewasa umumnya menyukai lereng terumbu yang menghadap ke arah laut (Sluka 2000), terutama sering ditemukan pada lajurlajur parit atau cekungan yang terbentuk pada wilayah tubir (Sluka 2005). Gelondongan (juvenil) ikan napoleon juga banyak dijumpai di area padang lamun dan menjelang tingkat anakan, napoleon pindah ke area rataan terumbu (Dorenbosch et al. 2006). Mikrohabitat spesifik yang disukai anakan ikan napoleon adalah branching coral yang diselimuti makroalga (Tupper 2007). Anakan ikan napoleon umumnya memiliki ketertarikan (afinitas) yang kuat sekali pada tipe habitat yang spesifik dan distribusi habitat seperti itu. Hal itu faktor pembatas untuk kelimpahan populasi Napoleon. Sempitnya rentang area habitat dan spesifikasi mikrohabitat yang disukai napoleon tersebut berpengaruh besar pada kemampuan dan keberhasilan dalam mendeteksi kelimpahan jenis dan ukuran populasi ikan napoleon (Sabater 2010). Oleh karena itu diperlukan lintasan sensus yang luar biasa panjangnya. Namun, langkah prosedural dalam metode UVC telah disesuaikan dengan preferensi ikan napoleon pada habitat tersebut. Lintasan sensus dalam monitoring ini dapat dianggap sudah sesuai dengan pernyataan Oddone et al. (2010) yang menyatakan bahwa rentang habitat yang lebih disukai napoleon adalah sekitar 100 meter di area bufer karang (reef crest) yang menghadap laut. Oleh karena itu, semua ukuran ikan napoleon dapat dijumpai. Ukuran Ikan sebagai Indikator Ukuran ikan adalah variabel penting dalam ekologi perikanan karena dapat digunakan sebagai basis untuk memperkirakan sifat sejarah hidup ikan, termasuk jangka waktu hidup, laju pemanfaatan, pertumbuhan, dan laju kematian (Froese & Pauly 2000). Ikan-ikan berukuran besar sangat rentan terhadap penangkapan (Dulvy et al. 2003). Kejadian ini khususnya relevan sekali jika dikaitkan dengan ikan karang karena ikan karang berukuran besar selalu menjadi target perikanan komersil yang termasuk perdagangan ikan karang hidup (Sadovy & Vincent 2003). Ikan karang adalah serupa dengan 82

97 Perkembangan Populasi Napoleon kelompok ikan lain, dalam pola distribusi frekuensi kelompok populasi ikan karang didominasi oleh individu-individu ukuran kecil (Munday & Jones 1998; Froese & Pauly 2000). Jadi, ikan karang sangat jarang mencapai ukuran lebih dari modusnya dalam populasi. Untuk mencapai frekuensi ukuran populasi yang berdistribusi normal, pola perikanan yang baik menghendaki perhatian yang luar biasa adanya perbaikan pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya perikanan (Choat et al. 2006). Dalam hal penutupan penangkapan, diharapkan dapat mengembalikan populasi napoleon ke pola distribusi normalnya. Berdasarkan pada ukuran panjang ikan (Gambar 13), populasi napoleon memiliki 3 kelompok umur yaitu anakan, dewasa, dan dewasa tua. Kelompok anakan diwakili oleh interval ukuran panjang antara 12 sampai 26 cm dan kelompok ukuran cm terlihat lebih dominan sampai 4%. Hal ini menunjukkan adanya rekrutmen dari anakan napoleon. Sementara itu, kelompok ikan napoleon dewasa yang berkisar pada ukuran cm menunjukkan populasi yang berdistribusi normal, di mana ukuran cm adalah ukuran yang diizinkan untuk ditangkap menurut Kepmen 37 tahun Sebaliknya, populasi napoleon dewasa tua yang berukuran antara cm (3%) dan kelompok tua dengan ukuran cm (1%) tidak terdistribusi normal. Populasi yang memiliki ukuran besar dalam jumlah rendah biasanya menunjukkan adanya tekanan penangkapan di masa lalu, sedangkan populasi napoleon di perairan Kabupaten Karas saat ini yang didominasi ikan dewasa yang berdistribusi normal adalah petunjuk bahwa tekanan penangkapan telah mulai berkurang. Sebaliknya adanya rekrutmen menunjukkan adanya pertumbuhan populasi (Sadovy 2007). Terpeliharanya Ikan Kerapu Ketersediaan kelompok ikan kerapu sunu berukuran besar (Tabel 9) yang juga tersensus selama kegiatan (2,2 individu per hektare) merupakan petunjuk bahwa intensitas eksploitasi dari perikanan napoleon masuk kategori rendah (Sadovy 2007) dan penutupan penangkapan berdampak positif, seperti juga berdampak positif pada perikanan kerapu di wilayah perairan Karang Kabupaten Karas. Manurut Purnomo (2009), produksi kerapu antara tahun 2009 sampai 2011 sangat terpengaruh oleh intensitas penangkapan napoleon 83

98 Ikan Napoleon yang tidak ramah lingkungan. Produksi turun di tahun 2010 dan tidak tercatat pada tahun 2011 seperti terjadi di Wakatobi, sedangkan produksi kerapu di Karas cukup tinggi selama adanya penutupan penangkapan napoleon. Ukuran populasi napoleon di perairan Karas telah meningkat selama periode 5 tahun. Hal itu sebagai dampak positif dari penutupan penangkapan dan kesesuain habitat, tetapi status kelimpahannya masih belum membaik sebagaimana yang diharapkan karena diasumsikan interval waktu penutupan penangkapan tersebut belum cukup untuk populasi napoleon masuk pada ambang batas sebagai populasi normal di alam. Rekomendasi yang dapat diberikan untuk penentu kebijakan di daerah maupun pusat adalah sebagai berikut Perairan Karas, terutama Pulau Faur, Tarak, Andalisa, dan Andamisa perlu ditetapkan sebagai area penelitian yang reprensentatif untuk mengukur perkembangan populasi ikan napoleon selanjutnya. Penutupan penangkapan di wilayah ini perlu diperpanjang dalam 5 tahun ke depan untuk keperluan identifikasi batas waktu moratorium yang efektif bagi tumbuhnya populasi napoleon ke situasi normal. Monitoring 3. populasi napoleon di wilayah tersebut perlu dilanjutkan, terutama pada bulan November Peran KP3K dan KKJI-KKP dalam memfasilitasi monitoring sangat diperlukan. 84

99 BAB 7 STATUS STOK NAPOLEON DALAM WILAYAH PERLINDUNGAN LAUT Studi Kasus di Taman Nasional Bunaken Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober Wilayah taman laut tersebut meliputi Pulau Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Siladen, Naim, dan sebagian dari pesisir mulai dari Molas, Wori, dan Arakan Wowontulap. Luas wilayah perlindungan mencakup 89,065 hektare (Anonimous 2006). Wilayah ini tergolong salah satu perairan yang memiliki keanekaragaman biota laut tertinggi di dunia (WWF 2013). Pada tahun 1996, masyarakat yang tinggal dalam taman nasional dan berperan sebagai nelayan penuh tercatat 28%. Juga ada ribuan lagi yang berperan sebagai nelayan paruh waktu dan di antara mereka diperkirakan mengeksploitasi ton ikan karang dan ikan pelagis setiap tahun. Sebanyak 57% dari total tangkapan adalah ikan karang seperti kerapu, napoleon, kakap, baronang, dan bibir tebal. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di Bunaken telah berada pada taraf maksimum untuk wilayah dengan status taman laut. Peningkatan pemanfaatan lebih lanjut akan menyebabkan degradasi yang luas pada ekosistem terumbu karang, diperparah lagi dengan adanya penangkapn ilegal dengan metode merusak (Dive the World 2013). Dalam pola perikanan di Bunaken yang demikian, status stok ikan napoleon menjadi hal yang penting untuk diketahui, apakah taman nasional dapat menjamin perkembangan populasi napoleon dalam jangka panjang. Di lain pihak, ancaman pencurian ikan akan terus ada, seperti laporan WWF pada Januari 2006, bahwa Polisi Air Sulawesi Utara telah menemukan 207 ekor ikan napoleon yang panjangnya antara 5 sampai 30 cm di keramba apung. Ikan

100 Ikan Napoleon napoleon ditempatkan bersama-sama dengan kerapu hidup. Ikan napoleon nampaknya sengaja disembunyikan karena keramba apung tersebut berada di wilayah Taman Nasional Bunaken. Dengan berbagai alasan tersebut, penelitian stok ikan napoleon di wilayah Taman Nasional Bunaken harus dilakukan. Survei populasi ikan napoleon dengan metode sensus visual bawah air pada tahun 2005 pernah dilakukan kelompok Grouper and Napoleon Specialists di tiga wilayah perairan Indonesia yang masing-masing mewakili area dengan intensitas penangkapan ringan, sedang, dan berat. Survei tersebut untuk mengidentifikasi pengaruh penangkapan terhadap populasi napoleon di masing-masing wilayah, seperti intensitas penangkapan ringan di Taman Nasional Bunaken, intensitas penangkapan sedang di Raja Ampat, dan intensitas penangkapan tinggi di Pulau Kangean Madura (IUCN 2006). Tulisan ini menelusuri kembali wilayah Taman Nasional Bunaken untuk memastikan status stok ikan napoleon saat ini, terutama untuk wilayah perairan Pulau Bunaken, Manado Tua, Siladen, dan Mantehage. Kepadatan Stok Ikan Napoleon Sensus visual bawah air di Taman Nasional Bunaken dilaksanakan kembali pada bulan Oktober 2012 (Sadovy et al. 2012). Jarak total lintasan sensus adalah 16,5 km yang meliputi empat lokasi terpilih. Sensus visual pada Pulau Bunaken dilakukan di empat sisi mata angin dengan jarak lintasan 5,5 km. Pada Pulau Mantehage, sensus mengambil tempat dari mulai sisi barat ke selatan sampai ke sisi timur dengan jarak lintasan 7,8 km. Sensus di Pulau Mando Tua hanya mengambil lokasi di sisi timur dengan jarak lintasan 1,7 km dan pada Pulau Siladen sensus dilakukan di sisi barat laut sampai sisi barat dengan jarak lintasan 1,5 km. Kepadatan yang dihitung dari masing-masing lokasi penelitian bervariasi mulai dari 0,0 individu per hektare untuk area Pulau Siladen sampai tertinggi 2,56 individu per hektare untuk area Pulau Bunaken. Rincian kepadatan tiap lokasi disajikan pada Tabel 10. Kepadatan rata-rata ikan napoleon pada empat lokasi sensus adalah 1,71 individu per hektare. Pulau Bunaken adalah pusat dari Taman Nasional Bunaken, di mana pada pulau ini terdapat kepadatan napoleon yang tertinggi. 86

101 Status Stok Napoleon dalam Wilayah Perlindungan Laut Tabel 10 Hasil sensus visual bawah air untuk populasi napoleon di wilayah Taman Nasional Bunaken pada Oktober 2012 Lokasi Luas Area Jumlah Kepadatan Kondisi Sensus Ikan Spasial Terumbu (ha) (ind) (ind/ha) karang Pulau Bunaken 8,2 21 2,56 Sedang baik Pulau Mantehage 7,8 9 1,15 Sedang Pulau Manado Tua 1,7 3 1,76 Buruk sedang Pulau Siladen 1,56 0 0,00 Buruk Jumlah 19,26 33 Kepadatan Rata-rata 1,71 Sumber: Sadovy et al. (2012), diolah. Perkembangan Populasi Tingkat kepadatan dari hasil penelitian 2012 ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan temuan dari survei kelompok Grouper and Napoleon Specialists tahun 2005 pada lokasi yang sama. Survei di Bunaken tahun 2005 dengan jarak lintasan 59,5 km dan luas total area sensus m 2, telah menemukan 55 individu ikan napoleon dengan rata-rata kepadatan 0,4 individu per hektare. Bisa juga dikatakan, rata-rata kepadatan populasi napoleon dari area jelajah sensus sejauh 125 km di tiga wilayah penelitian Bunaken, Raja Ampat, dan Kangean adalah 0,4 individu per hektare dengan kisaran antara 0,4 sampai 0,86. Temuan dari penelitian ini jelas menunjukkan adanya perbedaan antara wilayah dengan intensitas penangkapan ringan atau tanpa penangkapan dengan intensitas sedang sampai berat, baik dalam ukuran kepadatan maupun ukuran tubuh. Kelimpahan dan ukuran ikan terendah ditemukan pada wilayah perikanan napoleon di Kangean dengan intensitas penangkapan tinggi. Sementara perbedaan yang sedikit signifikan antara wilayah Raja Ampat dan Bunaken disebabkan adanya Taman Nasional Bunaken, walaupun eksploitasi ikan napoleon di sekitar perairan Bunaken memiliki catatan tersendiri karena adanya kasus pencurian ikan (IUCN 2006). Sebaliknya stok napoleon di wilayah Raja Ampat tahun 2013 dapat meningkat karena adanya penurunan upaya penangkapan (Loka PSPL Sorong 2013a dan 2013b). 87

102 Ikan Napoleon Selama kurun waktu 7 tahun terjadi peningkatan kepadatan napoleon di perairan Bunaken sebesar 427,5%, sedangkan kenaikan kepadatan napoleon di Raja Ampat antara %. Hal yang sama juga telah diuraikan di pada bab sebelumnya, bahwa penutupan wilayah di Kabupaten Karas Fak Fak dari penangkapan napoleon selama 5 tahun telah dapat meningkatkan stok 298%. Peningkatan stok napoleon pada ketiga wilayah ini jelas menunjukkan keberhasilan dalam proses rekrutmen populasi dalam pengertian perikanan dan/atau ekologis. Informasi yang dapat dipercaya dari pemandu selam Pulau Bunaken menyebutkan bahwa telah terlihat adanya agregasi untuk pemijahan dari sekelompok kecil ikan napoleon pada satu area karang di Pulau Bunaken. Jadi rekrutmen dalam pengertian ekologis sudah dapat dipastikan terjadi di wilayah Bunaken, kemudian larvanya dalam 3 minggu menuju laut terbuka dan sebagian menyebar jauh ke pulau lain (IUCN 2006). Distribusi Populasi Napoleon Populasi ikan napoleon yang ditemukan di wilayah Taman Nasional Bunaken ternyata mendekati distribusi normal menurut interval ukuran panjang 15 cm sampai 55 cm (Gambar 14). Modus ukuran terbanyak dari 35 cm sampai 40 cm. Karena ditemukan banyak napoleon dewasa berukuran besar yang lebih dari 55 cm, diasumsikan populasi tersebut juga terbagi dalam dua kelompok umur. Hal ini menunjukkan bahwa napoleon dewasa tua masih tersedia cukup banyak. Pada wilayah dengan dijumpainya banyak napoleon dewasa bertubuh besar menandakan rendahnya tingkat pemanfaatan (Sadovy et al. 2007). Sebaliknya pada wilayah yang mengalami penangkapan cukup tinggi dan kemudian mengalami degradasi stok seperti di Raja Ampat, modus ukuran terbanyak biasanya pada interval antara 15 dan 25 cm (Gambar 15). 88

103 Status Stok Napoleon dalam Wilayah Perlindungan Laut Gambar 14 Distribusi frekuensi panjang ikan napoleon di wilayah Taman Nasional Bunaken (2012) Sejumlah napoleon dewasa berukuran besar yang dijumpai di sekitar Pulau Bunaken serupa dengan kelompok napoleon yang dijumpai di wilayah Palau. Palau adalah suatu wilayah dengan intensitas penangkapan ringan dan perlindungan di sini berfungsi baik karena memang memberikan keuntungan pada aktivitas wisata penyelaman. Pengamat lingkungan percaya bahwa setiap wilayah perlindungan akan sangat membantu dalam melestarikan ukuran populasi ikan napoleon (Sadovy et al. 2007). 89

104 Ikan Napoleon Gambar 15 Distribusi frekuensi panjang ikan napoleon di wilayah perairan Raja Ampat. Sumber: Loka PSPL Sorong (2013) 90

105 Status Stok Napoleon dalam Wilayah Perlindungan Laut Dengan demikian terbukti bahwa wilayah perlindungan penting bagi keberlangsungan stok napoleon. Dari berbagai area survei, ikan dewasa ukuran besar hanya hadir di dalam area-area yang terlindungi atau area-area yang di dalamnya kegiatan perikanan memang tidak berlangsung karena adanya kendala alam. Sebaliknya sangat sedikit sekali ikan napoleon ditemukan atau bahkan tidak ada sama sekali pada wilayah tanpa pola perlindungan yang baik. Dalam area taman laut, populasi dengan ukuran beragam ditemukan dekat Pulau Bunaken (Gambar 14). Semakin dekat dengan area pengawasan Pulau Bunaken, semakin banyak ikan napoleon ditemukan. Sebaliknya di Raja Ampat pada tahun 2005, ikan napoleon ditemukan dengan jumlah sedang, tetapi tidak ada ikan napoleon betina dewasa yang ditemukan. Perbandingan kepadatan dalam wilayah survei tersebut dengan wilayah yang relatif tidak tereksploitasi, seperti Palau menunjukkan bahwa jumlah napoleon tahun 2005 lebih rendah dalam semua area survei, kecuali Pulau Bunaken (IUCN 2006; Sadovy et al. 2007). Namun sampai dengan tahun 2013, populasi napoleon pada lokasi-lokasi tersebut mulai membaik. Dari uraian ini terlihat populasi ikan napoleon pada wilayah Taman Nasional Bunaken mampu berkembang baik ketika wilayah perlindungan tersebut dikelola dan berfungsi penuh. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan ikan napoleon dapat dilakukan melalui regulasi yang mengatur wilayah perlindungan laut. Rekomendasi yang layak untuk otoritas kawasan Taman Nasional Bunaken adalah sebagai berikut Perikanan ilegal hendaknya tidak terdapat di wilayah Taman Nasional dan penangkapan ikan napoleon sudah seharusnya dikurangi. Pengawasan pencurian atas komoditas-komoditas penting yang rawan punah perlu lebih ditingkatkan. 91

106

107 BAB 8 RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN NAPOLEON Studi Kasus di Anambas Provinsi Kepulauan Riau Kapasitas lembaga pemerintah untuk melindungi dan mengelola sumber daya secara berkelanjutan adalah terbatas. Pendekatan sentralisasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hanya dapat dipertimbangkan sebagai suatu solusi pada wilayah yang spesifik atau selama periode waktu yang terbatas (Drijver dan Sajise 1993). Pemerintah perlu untuk mengembalikan semua permasalahan kepada kearifan lokal. Masyarakat menjadi mitra pemerintah yang strategis dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, apa pun bentuk kemitraannya, baik berbasis masyarakat (Bagadion 1993) atau bentuk kolaboratif seperti ko-manajemen (Masyhuri 2004). Pola partisipasi dalam pengelolaan sumber daya memiliki keterbatasan yang berasal dari dalam dan luar sistem. Kegagalan partisipasi masyarakat selama ini lebih disebabkan oleh ketiadaan rencana induk yang jelas untuk masyarakat berintegrasi. Pengaruh dari luar sering dikaitkan dengan deregulasi zonasi, political patron pada pemanfaatan wilayah atau terjadinya perubahan jumlah penduduk serta meningkatnya permintaan pasar dengan harga yang tinggi atas suatu komoditas (Masyhuri 2004; Mallawa 2006). Namun penguatan pada struktur kelembagaan dan kepemimpinan serta pengembangan komunitas dan pembatasan zona otoritas diharapkan dapat mengurangi kelemahan tersebut. Diakui bahwa zona partisipasi pengelolaan sumber daya bersifat spesifik lokal atau hanya terfokus pada aktivitas perikanan pesisir saja atau bekerja

108 Ikan Napoleon atas wilayah konservasi yang sempit (Mallawa 2006). Namun ketika terjadi ekstensifikasi spasial pada zona tersebut yang kemudian dikolaborasikan dengan pola ko-manajemen pada tingkat beragam pihak (Charbonneau 2005), niscaya sumber daya pesisir dalam skala luas dapat terlindungi dan dilestarikan pemanfaatannya. Sintesis beragam informasi atas status pengelolaan sumber daya terkait, seperti pendekatan sintesis kebijakan publik (Simatupang 2003) diharapkan akan dapat memformulasikan bentuk-bentuk kelembagaan partisipatif yang diinginkan. Bahasan ini adalah sintesis yang bertujuan untuk memberikan arahan bagi terbentuknya dan atau penguatan kelembagaan adat yang telah ada dalam rangka perbaikan pengelolaan sumber daya ikan napoleon. Sejarah Perikanan Napoleon di Anambas Pengelolaan ikan napoleon atau ketipas dalam rentang sejarah di Anambas maupun Natuna disajikan secara ringkas pada Kotak 3. Kotak 3 SEJARAH PERIKANAN NAPOLEON DI ANAMBAS DAN NATUNA 1980-an 1990-an Ikan napoleon masih sangat mudah didapat dan bukan tergolong lauk yang digemari masyarakat setempat. Pengumpul ikan napoleon dari Hongkong mulai masuk dengan harga yang tinggi. Produksi meningkat tajam. Sejak itu terbentuk kurang lebih 100 unit rumah tangga perikanan keramba apung napoleon. Masyarakat nelayan mulai merasa perlu mengembangkan usaha pembesaran ikan napoleon dalam keramba apung. Pemanfaatan bibit alam meningkat. Angka kematian anakan sangat tinggi dalam proses pascapanen. Kelulusan hidup anakan (juvenil) ikan napoleon yang tertangkap di alam hanya berkisar pada angka 12% sampai 20%. Dalam proses pembesaran napoleon, sumber daya ikan lain yang digunakan sebagai pakan tidak terhitung dengan baik biomassanya. Kelayakan ekonomi usaha pembesaran itu tidak juga dihitung dari sisi penggunaan pakan yang diperoleh dari ikan tangkapan di sekitar. Kita hanya dapat berasumsi bahwa usaha pembesaran tersebut menguntungkan karena masih tetap berlangsung hingga saat ini atau usaha budi daya tersebut masih bergantung pada penangkapan napoleon dewasa di alam karena status populasi di alam terbukti sangat kritis. 94

109 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan Kotak 3 (Lanjutan) 2010-an Masyarakat mulai merasakan adanya penurunan sediaan (stock) ikan napoleon di alam, populasi ikan ini berkurang di berbagai lokasi area tangkap. Sensus visual tahun 2012 di Anambas pada beberapa lokasi terpilih hanya menemukan 1 ekor napoleon dewasa (Edrus et al. 2012). Namun anakan napoleon masih dijumpai terpusat pada area tertentu dan terus berkembang populasinya. Pemanfaatan anakan tersebut masih tetap tinggi sampai kemudian terjadi pembatasan penangkapan anakan atas inisiatif masyarakat sendiri dalam setahun terakhir. Pendekatan Kelembagaan Pengelolaan perikanan harus mengalami perubahan mendasar dari pengolaan aspek suplai semata-mata berganti menjadi aspek perubahan perilaku penentu kebijakan dalam usaha perikanan (Fauzi 2005). Unsur pembatasan usaha (input, termasuk kebijakan) perlu diprioritaskan. Dari sisi input yang intensitasnya berkaitan erat dengan kebijakan pelaku-pelaku usaha perikanan dapat menjadi penentu besaran produksi (suplay). Kebijakan inilah yang perlu disentuh dan diorganisir. Sediaan ikan akan berkembang baik secara alamiah jika reproduksinya tidak terganggu. Namun sifat hak kepemilikan umum dari sumber daya ikan mendorong terjadinya pengelolaan yang sporadis, lebih tangkap, dan konflik dalam rezim pengelolan akses terbuka. Di sisi lain, pembatasan input maupun output usaha perikanan dalam sistem akses terkendali telah diatur dalam Undang-Undang Perikanan (pasal 7 UU No. 31/2004 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 45, 2009). Sayangnya pada tingkat nelayan, pola pengelolaan sistem terbuka dan akses terkendali menjadi tipis perbedaannya karena pemahaman dan kepedulian masyarakat nelayan pada Undang-Undang Perikanan masih minim. Pembatasan input biasanya justru terjadi dengan sendirinya karena kekurangan modal, tetapi sistem produksi menjadi sporadis di luar norma, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebaliknya, ketika masuk investasi yang besar justru terjadi kelebihan kapasitas usaha perikanan dan mendorong lebih tangkap. Untuk itu, Fauzi (2005) memberikan sinyalemen bahwa keduanya, baik kerusakan lingkungan maupun lebih kapasitas adalah faktor penyebab terjadinya krisis dalam perikanan. 95

110 Ikan Napoleon Kontrol atas upaya penangkapan berkaitan dengan sifat kebijakan pengguna sumber daya, baik secara perorangan maupun secara bersama. Secara individual, masyarakat nelayan tidak memiliki kekuatan politis, tetapi memiliki kebebasan dalam rezim open access, sehingga usaha penangkapan sering tidak memperhitungkan dampak negatifnya bagi usaha yang lain (eksternalitas). Sebaliknya, sebagai komunitas mereka dapat secara kolektif turut serta menentukan kebijakan yang sinergis satu sama lain dalam usaha perikanan yang berkelanjutan. Menstrukturisasi ulang pola kinerja individual menjadi pola kinerja kelompok memiliki keuntungan dalam hal akses diversifikasi usaha, pemerataan hasil dan pendapatan, serta kekuatan politis. Dengan demikian mereka perlu digiring untuk membangun modal sosial yang terstruktur dalam wadah yang terstruktur pula. Penanganan masalah perikanan memerlukan pendekatan kelembagaan karena merupakan pintu masuk untuk membangun program perikanan yang mereka butuhkan. Kelembagaan perikanan yang di dalamnya terdapat inisiatif masyarakat untuk konservasi dan pengaturan pemanfaatan perlu dikembangkan menjadi lebih baik. Konsensus antar-stakeholder dan/atau antarmasyarakat perlu ditetapkan bersama untuk kebaikan bersama. Pemberdayaan Kelembagaan dalam Pengentasan Masalah Tujuan pengelolaan sektor perairan harus mampu memenuhi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. Selanjutnya UU No. 31 Tahun 2004 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 45 Tahun 2009 memberikan landasan yang kuat untuk mewujudkan perikanan yang bertanggung jawab dan kelestarian sumber daya ikan. Hanya melalui penguatan kelembagaan, regulasi dapat dikawal, disosialisasikan, dan ditranslasikan ke bentuk yang paling sederhana untuk diterapkan dalam kehidupan nelayan sehari-hari. Konsep pengelolaan yang dianggap baik untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat-PSBM (Alix 1989; Muñoz 1993) dengan tetap memelihara koodinasi dan kolaborasi dengan lembaga pemerintah terkait melalui jalur ko-manajemen sehingga terbentuk pembagian wewenang yang seimbang (Solihin dan Satria 2007). 96

111 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan Kelembagaan desa dan adat sangatlah strategis karena memiliki kekuatan efektif untuk menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam hal modal, teknologi, kepemilikan lahan, posisi tawar, informasi, dan komunikasi. Tata nilai sosial budaya merupakan komponen kelembagaan yang perannya sangat besar untuk menggerakkan kemajuan pembangunan pedesaan baik secara individual maupun secara kolektif (Pranaji 2003 dan 2003a). Kekuatan masyarakat madani (civil society) dengan beragam modal sosialnya harus menjadi bagian penting untuk mengawasi hubungan antara anasir politik dan ekonomi. Kekuatan politik dan pebisnis dapat saja berbuat kejahatan lingkungan hingga membuat masyarakat semakin termarginalkan dan terpuruk pada kemiskinan. Kelompok nelayan memerlukan penanganan yang lebih intensif karena umumnya masih dalam tatanan kapasitas kelembagaan yang jauh dari harapan. Kemampuan organisasi sebagai kelas belajar, wahana kerja sama, dan wahana pengembangan usaha membutuhkan prioritas pembinaan agar menjadi aset pemerintah daerah di masa mendatang. Walaupun pemberdayaan kelompok nelayan belum menjadi sesuatu yang langsung dapat menghasilkan pendapatan asli daerah pada saat ini (Wulan 2005). Pemberdayaan kelompok nelayan hendaknya dipandang sebagai program untuk memperkuat organisasi perekonomian desa dan kebijakan lokal dalam hal percepatan pembangunan dan pengawasan. Model Integrasi Pengelolaan Sumber Daya Integrated Coastal Zone Management (ICZM) dipandang sebagai yang terbaik dan telah diaplikasikan pada beberapa negara maju dan negara berkembang (Adisasmita 2006). Model pengelolaan ini lebih menekankan sesuatu yang teritegrasi dalam menghadapi masalah dan menciptakan solusinya, tetapi pada tingkat lapang ternyata memiliki kelemahan mendasar, khususnya untuk pengalaman di Indonesia, yaitu lemahnya koordinasi dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya. Dengan kelemahan seperti ini, model kelembagaan pengelolaan perlu distruktur ulang. 97

112 Ikan Napoleon Pola Nelayan dalam Pengelolaan Napoleon Saat ini, pemanfaatan ikan napoleon cenderung untuk keuntungan yang berpihak pada kesejahteraan manusia dan bukan pada keberlangsungan hidup ikan itu sendiri. Pengelolaan seperti ini lebih terarah pada pendekatan yang lebih terorganisir dengan masalah peningkatan produksi daripada masalah penurunan populasi dan konservasi. Tujuan dari perikanan komersil adalah untuk memperoleh produksi yang sebesar-besarnya tanpa memperhitungkan input dari faktor lain, seperti environmental cost. Keseimbangan yang serasi antara pemanfaatan dan proteksi merupakan tujuan yang hakiki dari pengelolaan yang dari padanya diharapkan dapat memperkecil beban lingkungan tersebut, sehingga pada akhirnya akan dicapai kesinambungan pemanfaatan. Integrasi Masyarakat dalam ICZM Colchester (1994) menyebutkan bahwa banyak usaha konservasi dilaksanakan dengan tujuan yang luas tetapi tidak mempertimbangkan proses partisipasi masyarakat. Karena itu, pengaruh yang menyebabkan penurunan populasi ikan napoleon sebagai akibat lebih tangkap akan berlanjut sebagai faktor negatif dari saha-usaha konservasi. Usaha konservasi gagal bukan saja karena kerja dari faktor-faktor authogenic (dari dalam sistem), tetapi juga karena kerja dari faktor-faktor allogenic (dari luar sistem) yang membawa gangguan dalam proses konservasi. Masyarakat sebagai pengguna sumber daya alam dan sebagai partisipan garis depan dalam proses konservasi dapat beraksi sebagai faktor allogenic melalui jalan yang positif dan negatif karena mereka memainkan peranan penting sebagai penekan (perusak) atau pendukung usaha-usaha konservasi. Keseluruhan pihak yang berkepentingan pada pelestarian sumber daya yang potensial harus dianggap sebagai patner yang sangat penting dan harus diidentifikasi secara tepat, dipelajari, dan dimotivasi untuk bekerja sama dan berpartisipasi dengan usaha-usaha konservasi yang dilakukan pemerintah (Gregorio 1991). Kajian tentang proses integrasi masyarakat pada pengelolaan sumber daya harus dilakukan untuk lebih mengerti kapasitas, tanggung jawab dan penerimaan masyarakat dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Menurut Muños (1993), pelajaran yang terpenting dari integrasi 98

113 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan masyarakat ini adalah penduduk, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, sikapnya, pengetahuannya, masalahnya, dan jalan keluarnya. Dalam aplikasi ICZM di banyak negara, pendekatan yang diketahui sebagai Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat (PSBM) telah diintegrasikan untuk mengatasi masalah kelemahan koordinasi dalam pengelolaan dan pola-pola buruk nelayan dalam pengelolaan sumber daya. Terbentuknya PSBM akan mengubah kelemahan tersebut menjadi bebarapa faktor kunci untuk sukses dalam pengelolaan sumber daya, seperti pengalaman di Filipina (Pawikan Conservation Project 2001). Membangun Prinsip Kehati-hatian dalam PBSM Satu dari topik-topik utama yang sering diusulkan dalam model pengelolaan adalah bagaimana sumber daya perikanan dapat memberikan keuntungan yang optimal tanpa harus mengorbankan sumber dayanya sendiri. Pengembangan sistem PSBM secara spesifik lokal diharapkan mampu memberikan keuntungan yang seluas-luasnya atas sumber daya terkait, sedangkan proses pemanenan tidak bersifat merugikan sediaan yang ada serta habitatnya, hingga mampu terus berkembang biak. Topik lain yang lebih spesifik adalah bagaimana membuat efektif peraturan dan lembaga adat yang berasal dari praktik-praktik produksi yang telah berakar kuat di masyarakat untuk mendukung PSBM, seperti contohnya adat Sasi di Maluku, adat Laot di Aceh, adat Awig-awig di Bali, atau adat Kelong di Riau (Solihin 2010). Topik lain yang lebih penting adalah bagaimana praktik-praktik produksi ala adat tersebut tidak justru menjadi kontra produktif dengan tujuannya yang mulia dalam menyelamatkan sumber daya alam. Pada satu sisi, sistem sasi dapat dihargai oleh karena adanya inisiatif yang positif dalam pengelolaan sumber daya. Pada sisi yang lain, sistem buka tutup panen seperti ini dapat bertentangan dengan prinsip ekologis karena pada saat buka panen terjadi ekstraksi sumber daya yang berlebihan tanpa batas, sehingga sediaan biota sebagai plasma menjadi habis (collapse). 99

114 Ikan Napoleon Untuk alasan tersebut dipandang perlu adanya kelengkapan paket yang diusulkan dalam membangun PSBM, seperti akan dijelaskan lebih lanjut dalam perspektif dan prinsip dasar PSBM (Kotak 4). Target yang menguntungkan dari pembangunan masyarakat adalah keberlanjutan dan kemandirian dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (IIRR 1998). Kotak 4 Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat DEFINISI Sebagai suatu strategi untuk memperoleh suatu pembangunan yang terpusat pada sumber daya manusia, inti dari penentuan kebijakan yang berkenaan dengan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan dalam suatu wilayah adalah terletak pada anggota masyarakat di wilayah itu (Bagadion 1993; Fellizar 1993). PRINSIP DASAR 1. Pemberdayaan. Hal ini menekankan pengembangan kemampuan masyarakat untuk memegang kendali pengelolaan sumber daya guna meningkatkan taraf hidup mereka. Kuatnya akses dan kendali masyarakat atas sumber daya yang ada di sekitarnya akan memberikan peluang dan jaminan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. 2. Pemerataan akses dan peluang. Pemberdayaan pada gilirannya akan memberikan pemerataan dalam arti kesetaraan akses dan peluang dalam mengembangkan, melindungi, dan mengelola sumber daya pesisir yang mereka miliki. 3. Ramah lingkungan dan lestari. Pada dasarnya kebijakan dan teknologi yang dianjurkan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan serta kapasitas sumber daya dan ekosistemnya. 4. Pengakuan terhadap pengetahuan dan kearifan tradisional. Perlu adanya pengakuan dan bahkan pelembagaan terhadap nilai-nilai pengetahuan dan kearifan tradisional agar menjadi praktik-praktik yang melekat dan mendarah daging dalam setiap kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat. 100

115 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan 6. Paket insentif. Partisipasi meletakkan seruan moral atas anggota masyarakat untuk pengetasan kemiskinan. Paket insentif ekonomi dan sosial budaya mempunyai dampak yang lebih besar dan berkelanjutan. Paket insentif sosial budaya mungkin direalisasikan dengan membangun penghubung antara etika konservasi dan persepsi budaya lokal yang ada melalui kegiatan-kegiatan yang terarah pada kelestarian lingkungan. Paket insentif ekonomi harus memiliki satu wadah yang berarti dalam paket, baik tunai (keuntungan) maupun lahan. 7. Kesetaraan gender. Perlu adanya promosi yang tidak membedakan peran wanita dan pria dalam pengelolaan berbasis masyarakat karena keduanya adalah unik dan spesifik dalam perannya masing-masing (KKP COREMAP 2001; Drijver & Sajise 1993). STRATEGI DASAR 1. Strategi harus mendukung kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang diidentifikasi dari kendala dan kesempatan yang ada dalam lingkungan masyarakat Strategi harus pas dengan kapasitas masyarakat. Input-input teknis, finasial, dan pendidikan pada masyarakat harus tepat dan cocok dengan kebutuhan, strategi, dan kapasitas potensial. 4. Anggota masyarakat yang dilibatkan harus memiliki strategi sendiri, termasuk input-input teknis, finansial, dan pendidikan untuk strategi tersebut (Bagadion 1993). 101

116 Ikan Napoleon PENDEKATAN 1. Pembentukan organisasi dan pendidikan masyarakat. 2. Pembatasan usaha penangkapan ikan. 3. Perlindungan habitat laut dan rehabilitasi. 4. Rehabilitasi dan pengelolaan habitat pantai. 5. Rencana zonasi kawasan pantai. 6. Promosi mata pencaharian alternatif yang layak secara ekonomi dan menarik (Munoz 1993). Diharapkan bahwa pada setiap lini, sudut, dan ruang yang memiliki sumber daya potensial dibangun suatu lembaga PSBM dengan peta dan zona yang jelas, visi yang jelas, tujuan yang jelas, serta beragam strategi pengelolaan yang jelas, di mana semuanya tertuang dalam dokumen partisipasi masyarakat yang dilengkapi dengan struktur organisasi, basis informasi dan data swadaya, rencana usaha, dan rekomendasi kepala pemerintahan setempat (Tabel 11). Dengan demikian, zona PSBM betul-betul menjadi sektor agribisnis terpadu berbasis komoditas dan ekosistem tertentu yang sehat, mapan, dan kuat secara politis serta mampu menjalankan fungsi pengawasan lingkungan secara mandiri. Dalam hal ini masyarakat dijadikan subjek atau tuan rumah di wilayah sendiri dengan mengemban tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Dengan jalan ini PSBM dapat mengintegrasikan semua prinsip ICZM secara lebih konkret dengan birokrasi yang lebih sederhana. 102

117 Tabel 11 Matriks rencana strategis pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat Ruang lingkup visi sekurang-kurangnya berisi topik tentang kebersamaan, keharmonisan, pemerataan, berkeadilan, dan berkelestarian dalam pengelolaan sumber daya yang potensial. Misi PSBM Ruang lingkup misi sekurang-kurangnya ikut serta dalam mengarahkan masyarakat pada perikanan yang tumbuh pesat berkeadilan dan berkelanjutan. NO. RENCANA STRATEGIS PSBM IMPLEMENTASI INDIKATOR KINERJA MANDAT/TUPOKSI I. Upaya pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan Pengumpulan (estimasi) data awal populasi ikan napoleon (anakan atau dewasa). Penetapan (konsensus) waktu tutup dan waktu buka penangkapan secara perodik (langkah temporal untuk memberikan kesempatan proses reproduksi). Penetapan (konsensus) zona inti/zona cadangan plasma nutfah, zona wilayah tangkap, zona budi daya, zona lain jika ada (langkah spasial untuk konservasi sumber daya). Kuota penangkapan (konsensus) per orang per bulan penangkapan dan sekaligus pendataan. Tersedianya data awal ( benchmark data). Durasi masa jeda penangkapan yang jelas dan telah disepakati. Tersedianya peta zonasi wilayah peruntukan yang disepakati. Terjaminnya hak ulayat. Timbulnya dampak positif pada kelestarian (sediaan) sumber daya, populasi, dan ekosistem. Kalkulasi kuota tiap nelayan per bulan dan data laju tangkap per trip. Monitoring partisipatif, dibantu institusi terkait/lsm. Forum Adat. Forum Adat. Forum Adat. Forum Adat. Forum Adat, monitoring partisipatif dibantu fasilitator.

118 Lanjutan Tabel 11 Matriks rencana strategis pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat NO. RENCANA STRATEGIS PSBM IMPLEMENTASI INDIKATOR KINERJA MANDAT/TUPOKSI II. Upaya budi daya Tersedianya induk dan sarana pemijahan serta tersedianya telur sebagai calon bibit alam. Berkurangnya angka kematian anakan ikan yang dipanen. Terjaminnya kawasan anakan ikan dari gangguan apa saja. Tersedia (kontinuitas) komoditas siap jual. Data biomassa pakan alami terpakai (kg/waktu) dan biaya. Data kelayakan ekonomi. Adanya nilai tambah pendapatan. Tersedianya pakan alternatif. III. Upaya pengembangan usaha Tersedianya modal sosial dalam kebersamaan dan kesatuan. Tersedianya diversifikasi usaha dan nilai tambah pendapatan. Peningkatan pendapatan daerah dan pemerataan hasil. Kelompok nelayan dibantu fasilitator. RTP penangkap/pengumpul benih ikan. Faorum adat dan kelompok pengawas. RTP napoleon (penangkap, pengumpul, penangkar). Monitoring partisipatif, dibantu institusi terkait/ LSM/fasilitator. RTP napoleon. Rumah tangga perikanan dan pembudidaya. LSM, dibantu dinas terkait. Forum adat/kelompok nelayan. RTP terintegrasi dengan minapolitan. Industri rumah tangga terintegrasi dengan industri pariwisata dan dinas terkait.

119 Lanjutan Tabel 11 Matriks rencana strategis pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat NO. RENCANA STRATEGIS PSBM IMPLEMENTASI INDIKATOR KINERJA MANDAT/TUPOKSI IV. Upaya penegakan hukum atau sanksi adat V. Upaya pengembangan difusi inovatif dan pelatihan Terjaminnya penegakan adat istiadat atau norma. Terbentuknya praturan adat. Terbentuknya kelompok pengawas. Perbaikan sikap masyarakat atau lingkungan. Tersedianya wadah menghimpun dan menyebarkan informasi (pondok informasi). Tersedianya informasi dan ide-ide terbaru. Tersedianya sarana desiminasi informasi. Tersedianya opini masyarakat. Terselenggaranya pelatihan formal/informal dengan beragam topik sesuai kebutuhan, seperti..., (tanyakan apa yang mereka perlukan*). Forum adat. Forum adat. Kelompok pengawas. Forum adat. Forum adat terintegrasi dengan institusi terkait/ fasilitator lokal. Kelompok nelayan. Forum adat, kelompok nelayan, terintegrasi dengan institusi terkait/fasilitator. LSM terintegrasi dengan institusi terkait. Kelomppk nelayan, terintegrasi dengan institusi terkait.

120 Lanjutan Tabel 11 Matriks rencana strategis pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat NO. RENCANA STRATEGIS PSBM IMPLEMENTASI INDIKATOR KINERJA MANDAT/TUPOKSI VI Upaya pengembangan kerja sama kemitraan Kestabilan harga. Tersedianya modal kerja. Terjaminnya usaha kemitraan melalui pola-pola yang disepakati. Forum adat dan mitra kerja. Rumah Tangga Perikanan (RTP). Rumah Tangga Perikanan (RTP). VII Upaya konservasi habitat Terbentuknya area perlindungan pesisir dan laut. Berkurangnya kejadian pengrusakan lingkungan. VIII Upaya monev Terjadinya perbaikan di semua program yang sedang berjalan. Terjadi perbaikan sikap dan perhatian masayakat atas program PSBM yang berjalan. Diketahui dengan cepat petunjuk adanya kegagalan dan keberhasilan. Forum adat. Forum adat. Partisipatif monitoring terintegrasi dengan fasilitator lapangan. Partisipatif monitoring terintegrasi dengan fasilitator lapangan. Internal (partisipatif) evaluator dan/atau eksternal evaluator.

121 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan Hubungan PSBM dengan RENSTRA Pembangunan Daerah PSBM diharapkan dapat dijadikan bentuk konkret yang sederhana dalam mengimplementasikan semua program perikanan dan kelautan yang tertuang dalam renstra pembangunan daerah. Restrukturisasi kelembagan perikanan dan kelautan nampaknya sudah merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengangkat ketertinggalan masyarakat dalam bidang ekonomi. Kelembagaan yang solid ditujukan untuk meningkatkan aksesibilitas. Melalui PSBM bukan saja akan didapat aksesibilitas, tetapi juga akan terbentuk pemerataan hasil pembangunan. Jika kemarin masyarakat tertinggal karena hak-hak institusi mereka terberangus, maka sudah selayaknya dilakukan pemberdayaan dalam bidang sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Langkah-langkah konkret birokrasi pemerintahan dan masyarakat dalam rangka menyikapi kebutuhan pengelolaan dan penyelamatan sumber daya ikan naploeon disajikan dalam opsi kebijakan (Tabel 12). 107

122 Ikan Napoleon Tabel 12 Opsi kebijakan pengelolaan ikan napoleon OPSI KEBIJAKAN UNTUK PEMERINTAH 1. Memfasilitasi, memperdayakan, dan melegalisasikan kelembagaan adat yang sudah ada agar mandiri dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan prinsip kesetaraan dan tanpa tendesi politik apa pun. 2. Mengarahkan kelembagaan adat untuk merestrukturisasi sistem menjadi lembaga PSBM yang mandiri dan memiliki jati dirinya sendiri tanpa dibedakan dari satu ke yang lain, sehingga benar-benar terjadi pemerataan hasil pembangunan antar semua kelompok yang terlibat. 3. Mensinkronkan semua program perikanan untuk pengembangan masyarakat pesisir yang tergabung dalam PSBM. 4. Mengarahkan pola investasi yang sehat agar tidak terjadi overkapasitas dan overekonomis dalam perikanan. OPSI KEBIJAKAN UNTUK MASYARAKAT 1. Menyatukan/menyamakan persepsi tentang perlunya pengembangan perikanan napoleon yang berkelanjutan. 2. Membuat konsensus bersama dalam forum desa atau adat untuk membangun pola PSBM dalam rangka pemanfaatan dan konservasi ikan napoleon dan/atau sumber daya ikan lainnya. 3. Mengembangkan pola kepemimpinan dalam PSBM yang menjadi sandaran moral dan perilaku, seperti keterlibatan opinian leader, pemuka agama, pemuka masyarakat yang disegani, forum rembuk kelompok nelayan sampai kepada forum desa yang dipimpin oleh kepala desa sebagai pengayom. 4. Membentuk kelompok-kelompok nelayan sesuai spesialisasi minabisnis dalam kawasan yang terintegrasi (seperti penangkap, pegumpul, pembesar, penjual, pencari umpan, penyedia saprodi, perbengkelan) dan membentuk kelompok pengayom, pelindung, dan pembina. 108

123 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan Tabel 12 Opsi kebijakan pengelolaan ikan napoleon (Lanjutan) OPSI KEBIJAKAN UNTUK PEMERINTAH OPSI KEBIJAKAN UNTUK MASYARAKAT 5. Mengarahkan pola kepemimpinan yang sehat untuk stakeholder perikanan napoleon agar tidak terjadi political patron yang merusak sistem partisipasi 5. Membangun visi, misi, dan rencana strategis PSBM (Lampiran 1) yang kemudian dituangkan ke dalam program jangka pendek dan jangka panjang PSBM berikut bisnis plan dari masing-masing usaha. Item 5 ini dapat dibentuk di bawah forum rembuk desa atau workshop dengan bimbingan tenaga ahli tanpa mengesampingkan pendapat dan hajat hidup masyarakat. 6. Menempatkan atau mengirim secara periodik tenaga-tenaga profesional dan spesialis sebagai implementor dan pembimbing di kawasan terbentuknya PSBM dengan TUPOKSI khusus, seperti membimbing masyarakat dalam membuat program dan rencana strategis PSBM. 6. Mendokumentasikan semua komponen di atas ke dalam bentuk hard copy setelah melalui forum rembuk dan/atau workshop yang difasilitasi pemerintah. Dokumen ini kemudian akan dilegalisasi oleh pemerintah dan untuk ditindaklanjuti. 7. Membangun zonasi wilayah yang dengannya dapat dijadikan dasar ketika masyarakat menetapkan zonasi untuk kepentingan PSBM. 8. Menetapkan komoditas unggulan perikanan atau biota laut non-ikan lain yang akan diatur oleh masyarakat dalam PSBM. 109

124 Ikan Napoleon Tabel 12 Opsi kebijakan pengelolaan ikan napoleon (Lanjutan) OPSI KEBIJAKAN UNTUK PEMERINTAH 9. Melegalisasi dokumen PSBM yang diusulkan masyarakat agar menjadi dasar moral dalam implementasi program pengelolaan sumber daya perikanan (khususnya napoleon) dan sekaligus sebagai dasar revitalisasi bagi program-program strategis yang dikembangkan dalam PSBM. Dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat perlu memfasilitasi workshop tiga hari untuk duduk bersama nelayan dan lembaga adat dalam membicarakan rencana strategi PSBM. 10. Pemerintah daerah perlu memberikan penghargaan atas keberhasilan aktor-aktor penggerak PSBM dalam rangka mendorong keberhasilan usaha-usaha konservasi sumber daya perairan. OPSI KEBIJAKAN UNTUK MASYARAKAT 110

125 Restrukturisasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Perikanan Manfaat Kelembagaan yang Solid Revitalisasi perikanan tidak akan berarti apa-apa, jika kelembagaan masyarakat lemah dan nelayan termarginalkan, walaupun sumber daya dan lingkungan mendukung. Dalam revitalisasi perikanan dibutuhkan bukan saja SDM yang handal untuk mengelola sumber daya dan lingkungan, tetapi juga dibutuhkan kelembagaan yang kuat dan solid. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi terbentuknya PSBM dan dokumen kelengkapannya di seluruh sentra produksi dan pengembangan perikanan sepanjang pesisir wilayah kabupaten. Melalui dokumen ini pemerintah daerah dapat menilai dan memberikan bantuan, hibah, atau pinjaman lunak. Melalui jalan ini pemerintah daerah memberikan pendidikan informal pada masyarakat untuk bertindak prosedural, kreatif, profesional, disiplin, penuh perhitungan, dan tanggung jawab, sehingga sikap project oriented yang selama ini dituding sebagai penyebab kegagalan proyek pembangunan dapat diminimalkan, bahkan dihilangkan sama sekali. Oleh karena itu, keberhasilan PSBM ini bergantung pada pekerja sosial atau fasilitator lapangan yang profesional. Pemberdayaan kelembagaan berbasis masyarakat adalah strategi untuk pengelolaan jenis ikan rawan punah yang dipandang dari aspek berikut Masyarakat nelayan dapat menjadi mitra pemerintah dalam kontrol wilayah petuanan mereka sendiri, sehingga wilayah perikanan terbuka menjadi lebih terkendali. Masyarakat bertanggung jawab penuh atas perikanan napoleon yang berkelanjutan. Masyarakat nelayan memiliki visi, misi, dan strategi pengelolaan sumber daya yang spesifik untuk kebutuhan mereka sendiri, yang dengannya mereka dapat mengakses program revitalisasi perikanan. Keperdulian masyarakat atas regulasi dapat meningkat karena melalui kelembagaan setiap regulasi dapat diterjemahkan secara lebih sederhana, sehingga diterima masyarakat. Akses pemerintah untuk penataan komunitas masyarakat pesisir dan informasi menjadi terbuka dan lebih mudah karena mereka menjadi kelompok binaan yang andal. 111

126

127 BAB 9 KEBIJAKAN MORATORIUM Dalam beberapa kali pertemuan dalam forum yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk usaha perlindungan ikan rawan punah, seperti napoleon, wacana moratorium pernah begitu kuat gaungnya. Hal ini didorong oleh suatu keadaan di mana ilegal fishing sudah tidak terkontrol dengan baik karena keterbatasan pengawasan di lapangan. Sementara itu, keterbatasan ini pula yang membuat para penentu kebijakan perlu kehati-hatian dalam menetapkan moratorium. Apa pun yang menjadi ketentuan dalam pembatasan penangkapan adalah tidak efektif tanpa pengawalan dan tanpa perhatian masyarakat. Oleh karena itu, apa pun bentuk ketentuan pembatasannya, regulasinya perlu dipertimbangankan dari berbagai aspek. Secara harfiah, moratorium tersebut didefinisikan sebagai perlindungan berbatas waktu (temporal banning). Namun sejauh yang ditetapkan oleh PERMEN Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.03/MEN/2010, substansi waktu yang dikaitkan dengan moratorium penangkapan berbatas waktu tahunan tidak terakomodasi oleh regulasi tersebut, kecuali waktu pendek yang berhubungan dengan masa reproduksi. Secara eksplisit, PERMEN tersebut hanya menetapkan kategori perlindungan penuh atau perlindungan terbatas. Pelaksanaan perlindungan penuh untuk ikan napoleon akan mendatangkan respons yang jauh lebih merugikan nelayan karena dapat ditanggapi dengan terbitnya Appendix I untuk komoditas tersebut. Sebaliknya perlindungan terbatas yang menjadi pilihan saat ini, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan ikan napoleon (Cheilinus undulatus), justru memberikan tafsiran yang hanya dinisbahkan pada batasan ukuran yang boleh dan yang tidak boleh ditangkap, sehingga diprediksi akan tetap memberikan peluang pada pemanfaatannya, sehingga jika peluang tersebut tidak diawasi dengan baik akan menjurus pada ilegal

128 Ikan Napoleon fishing. Seandainya pengertian pembatasan terbatas tersebut ditafsirkan ke dalam arti pembatasan waktu yang lebih luas, hal ini tentu saja sejalan dengan pengertian moratorium. Apa yang mendorong terbitnya KEPMEN Nomor 37 tahun 2013 nampaknya lebih kepada pertimbangan yang berhubungan dengan petisi dari kelompok masyarakat Anambas yang mengklaim telah berhasil dalam usaha budi daya napoleon, tetapi budi daya tersebut membutuhkan bibit alam yang luar biasa banyaknya. Dengan demikian, budi daya tersebut bukan dalam pengertian umum, seperti adanya kemampuan usaha breeding (hatcheries) untuk menghasilkan gelondongan, tetapi masih bersifat usaha pembesaran anakan (rearing). Oleh karena itu, solusi pembenahan kelembagaan perikanan di Anambas menjadi topik khusus seperti telah dibahas sebelumnya. Kemudian apa sebenarnya yang ditawarkan oleh penerapan moratorium, sebagai suatu usaha alternatif adalah jalan tengah yang diasumsikan mampu mengembalikan populasi napoleon di alam. Hal ini sudah terbukti dari hasil penelitian di Kabupaten Karas Fak Fak, seperti telah dibahas pada Bab 6. Sesunguhnya tujuan utama dari moratorium adalah menempatkan napoleon sebagai objek haram dalam waktu yang terbatas dan disepakati. Dengan jalan ini siapa saja, yang tidak berkepentingan dalam urusan penelitian, apabila memegang, menguasai, menyembunyikan, serta tertangkap tangan dapat dianggap melanggar ketentuan selama durasi pembatasan tersebut berlaku. Hal ini akan memberikan keleluasaan dan kemudahan dalam pengawasan sejauh tidak terjadi KKN dari oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari terbitnya moratorium. Bahasan ini memformulasikan beragam informasi untuk menstruktur kembali pola kebijakan publik dalam pengelolaan perikanan napoleon yang realistis di tingkat lapang, terutama dalam topik moratorium. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkan inisiatif moratorium penangkapan ikan napoleon. 114

129 Pembangunan Berkelanjutan Kebijakan Moratorium Penentu kebijakan akan berhadapan pada dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan ekonomi versus ekologi. Jalan tengah yang dapat menjadi patokan adalah amanat UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Bab I Pasal 21 menyebutkan bahwa pendayagunaan segala sumber daya alam dan buatan harus memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman, dan produktivitas lingkungan hidup. Oleh karena itu jika konsep pembangunan berkelanjutan dipahami dengan baik, maka moratorium ikan napoleon dapat diadaptasi tanpa keluar dari ide dasar dalam pembangunan yang berkelanjutan. Seperti diamanatkan dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan bahwa pembangunan ekonomi tidak diharapkan berakhir pada hilangnya keanekaragaman jenis atau genetis. Kesimpulannya adalah adanya program perlindungan jenis dan genetik menjadi strategi alternatif untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Ikan Napoleon Jenis Rawan Punah Ikan napoleon digolongkan jenis rawan punah karena berbagai sifat bawaannya. Ikan napoleon memiliki laju rekrutmen rendah karena pertumbuhannya lambat dan reproduksinya rendah (Sadovy et al. 2003). Pada tempat budi daya di Gondol Bali, untuk pertama kalinya dilaporkan keberhasilan hatchery yang menghasilkan 120 anakan napoleon pada tahun 2003 (Slamet & Hutapea 2005). Kecepatan tumbuh anakan tersebut 3 inci dalam waktu 5 bulan (Sim 2004). Ikan napoleon dewasa hidup soliter di terumbu karang, tempat di mana ikan ini memijah. Mobilitasnya rendah karena jarang pergi jauh dari tempat pemijahannya (Domeier & Colin 1997). Oleh karena itu, ikan ini rentan penangkapan berlebih. Penyelam-penyelam peneliti jarang menemukan ikan ini dalam kelompok besar, di mana kawanan ikan juwana di luar musim reproduksi terlihat antara 3 5 ekor dan relatif lebih tinggi ketika musim reproduksi (Anonimous 1992). Sediaan ikan napoleon saat ini di alam tergolong sangat jarang seperti telah dijelaskan dari beragam hasil penelitian. Kondisi biologis, perilaku, dan sediaan ikan napoleon seperti ini jelas tidak menguntungkan bagi populasi ikan napoleon di alam untuk berkembang, terlebih-lebih ketika ikan ini diburu dengan cara penangkapan yang merusak. 115

130 Ikan Napoleon Tahun 2004 merupakan tahun titik balik dalam pembenahan pengelolaan ikan rawan punah seperti napoleon, di mana CITES merasa perlu menetapkan regulasi berkenaan dengan perdagangan ikan ini pada pasar dunia. Melalui aturan main dalam perdangan bebas, dunia internasional merasa perlu mengontrol segala sesuatu yang berkenaan dengan erosi genetik dan ancaman pada kepunahan satwa sampai kepada cara pengelolaan sumber daya. Suatu hal yang memang tidak bisa kita hindarkan dan patut direspons dengan tindakan-tindakan internal ke dalam untuk mengelola ikan napoleon. CITES (2004) menyebutkan bahwa semua informasi yang berasal dari data perikanan, hasil sensus bawah laut, laporan nelayan, laporan operator penyelam, dan semua laporan itu secara kolektif menunjukkan pertumbuhan populasi ikan napoleon akhir-akhir ini menurun pada semua lokasi penelitian. Pada tahun 2000-an, kelompok spesialis peneliti ikan kerapu dan ikan napoleon di bawah kontrak sekretariat CITES telah melakukan survei dan pengkajian stok bersama LIPI. Hasilnya, ikan napoleon dinyatakan berstatus rawan punah (Donaldson & Sadovy 2001; IUCN 2006; Sadovy et al. 2003). Atas dasar itu pada tahun 2005 kuota perdagangan ikan napoleon ditetapkan. Selanjutnya annual kuota dapat bersifat adaptif bergantung pada informasi yang tersedia. Kenyataan-kenyataan yang timbul kemudian adalah meskipun kuota telah ditetapkan dan kuota tersebut ternyata menurun sesuai dengan hasil monitoring (Tabel 1). Hal ini membuktikan bahwa ikan napoleon benarbenar bersifat rawan punah dan diperparah oleh kasus-kasus IUU fishing. Perlindungan ikan napoleon dalam status yang demikian membawa kepada suatu konsekuensi, yaitu perlu adanya pembatasan pemanfaatannya untuk memberi kesempatan perkembangan populasinya. Jenis-jenis satwa rawan punah perlu mendapat perhatian khusus karena stoknya di alam dianggap tidak mampu lagi menciptakan rente ekonomi manakala populasi ikan ini tertekan dan punah. 116

131 Kebijakan Moratorium Kesenjangan antara Sistem Produksi dan Prinsip Kehati-hatian Pemanfaatan sumber daya yang terancam kepunahan harus dilakukan dengan cara-cara bijak dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Semua ketentuan yang mengatur hal-hal tersebut sudah menjadi peraturan pemerintah, tetapi cenderung dipandang sebagai suatu regulasi pengelolaan perikanan yang normatif belaka. Penerapan teknologi penangkapan dan cara penangkapan yang ramah lingkungan dalam beberapa hal sulit diimplementasikan di lapangan karena animo masyarakat perikanan masih cenderung pada cara-cara penangkapan merusak, di mana mereka lebih familiar dan merasa diuntungkan dengan cara-cara merusak tersebut. Penangkapan ikan dengan peledak dan racun sianida sudah menjadi hal biasa dan kebiasaan tersebut sudah semakin meluas terjadi dalam penangkapan di wilayah perairan karang tanpa dapat dipantau dan dilarang (Pet-Saode et al. 1996; Hopley & Suharsono 2000). Ancaman kerusakan karang di Asia Tenggara diperkirakan sebesar 64% berasal dari penangkapan berlebih dan 56% dari kegiatan penangkapan yang merusak (Burke et al. 2002). Kebutuhan ekonomi jangka pendek, keserakahan, lemahnya regulasi, dan belum optimalnya pelaksanaan pengawasan merupakan kondisi faktual yang sekarang umum dijumpai di lapangan. Semua ini menjadi sesuatu yang kontradiktif terhadap eksistensi UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang perubahannya No. 45 tahun 2009 serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Sampai saat ini regulasi tersebut belum dapat berjalan secara efektif dan upaya penegakan hukumnya pun masih belum berjalan dengan baik, serta seolaholah terjadi pembiaran. Pembiaran yang terjadi dalam jangka panjang akan membawa kepada kepunahan ikan napoleon. Kegiatan penyadaran masyarakat, pengawasan, dan penegakan hukum merupakan salah satu kunci utama dalam pelaksanaan Non-Detrimental Finding (NDF) yang diamanatkan UNEP untuk penangkapan ikan napoleon di Indonesia. Intisari dari apa yang dikehendaki oleh NDF adalah kehatihatian dalam pengelolaan sumber daya rentan punah. Semua pihak pengguna sumber daya diminta untuk menciptakan cara penangkapan yang tidak 117

132 Ikan Napoleon merugikan. Ketidakberuntungannya adalah pada tingkat pengguna sumber daya sulit diberikan pengertian tentang konsep NDF tersebut. Rata-rata nelayan kita berpendidikan rendah dan miskin. Pada tingkat pengawas, sampai dengan saat ini kegiatan pengawasan dan pengendalian baru dilakukan di jalur-jalur peredaran resmi, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang ada di lapangan masih belum optimal dari segi tindakan penegakan hukum dan pemberian sanksi. Dalam beberapa tahun ke depan, kemampuan pengawasan yang dimiliki petugas lapangan dan ketersediaan sarana prasarana diprediksi akan kalah tanding dengan pelaku-pelaku IUU fishing yang semakin canggih, terorganisir, dan dengan cara-cara yang semakin merusak (Tampubolon 2011). Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, seperti kelemahan SDM dan sistem pengawasan, maka pemberhentian sementara kegiatan penangkapan merupakan solusi yang tepat untuk menekan ancaman kepunahan ikan napoleon di Indonesia, sampai menunggu pulihnya kesadaran masyarakat tentang perbaikan sistem produksi dan pulihnya populasi ikan napoleon di alam. Gillett (2010) secara skeptis menyatakan bahwa beberapa kesulitan dalam menghadapi usaha untuk rekonsiliasi terhadap konsep pengelolaan napoleon yang diinginkan, seperti persyaratan CITES yang mengacu pada kehatianhatian dalam panen dan kerentanan jenis ikan ini adalah sebagai berikut Jika napoleon adalah hanya sebagian kecil produksi dari sebuah negara, maka sulit untuk membayangkan bahwa sebuah negara akan memfokuskan rezim pengelolaan perikanannya sesuai maksud CITES tersebut. Banyak tindakan pengelolaan yang telah disarankan untuk pengelolaan napoleon bergantung sangat besar pada penegakan hukum, di mana kadang-kadang hal ini sering kali luput dalam perikanan skala kecil di banyak negara, yang bergantung pada penegakan hukum yang justru tidak berjalan. Bahkan dengan perhatian penuh sekalipun, situasi penegakan hukum tidak mungkin untuk memperbaiki pengelolaan seperti yang diinginkan CITES. Bahkan dengan sistem penegakan hukum yang telah diperbaiki secara luas, pengelolaan napoleon akan menjadi tantangan yang luar biasa atau singkatnya tidak mungkin. Khususnya sulit untuk mengendalikan nelayan yang memiliki pendapatan rendah dalam hal penangkapan suatu ikan yang memiliki nilai jual sangat tinggi, sedangkan ikan tersebut menjadi 118

133 Kebijakan Moratorium target yang sangat diharapkan memperbaiki kesejahteraan mereka sebagai akibat permintaan perusahaan komersil perikanan dari negara China. Penyelaman malam oleh nelayan panah dan penggunaan potas merupakan cara yang paling umum digunakan untuk memperoleh ikan napoleon. Hal ini juga menjadi ancaman utama pada ikan napoleon, tetapi eliminasi terhadap cara-cara itu luar biasa sulit, bahkan dalam rezim pengelolaan yang efektif. Dalam banyak negara, sistem statistik perikanan yang berkenaan dengan ikan napoleon hampir tidak berfungsi baik. Sangat sulit untuk menisbahkan tugas nasional dari suatu negara di bawah CITES ketika berhadapan dengan pengelolaan suatu sumber daya yang justru tidak langsung di bawah kontrol nasional negara tersebut. Di banyak negara, pemerintahan daerah memiliki kontrol atas sumber daya pantai lebih dari pemerintahan pusat. Bertolak dari sikap skeptis tersebut dalam memandang pengelolaan perikanan napoleon di Indonesia, yang diwarnai oleh banyaknya kasus IUU Fishing, usaha utuk memperbaiki sistem produksi tidak dapat berhenti sampai di situ. Sebaliknya perbaikan sistem perlu berangkat dari apa yang dianggap telah melemahkan sistem tersebut. Ketidakpastian Penerapan Hukum yang Menjadi Dilema Substansi undang-undang pengelolaan sumber daya sering mengatur beberapa bidang persoalan secara seksama, jelas, dan komprehensif untuk melengkapi kebutuhan (Sumardiman 2002). Akan tetapi, pada penerapannya di tingkat lapang, baik penegak hukum maupun pengawas masih terbentur pada kegamangan dalam penggunaan substansi-substansi pasal-pasal hukum yang sudah jelas, khususnya dalam pembagian kewenangan dan teknis pembuktian perkara serta antisipasi hal-hal yang bersifat laten. Contohnya, substansi regulasi pengelolaan ikan napoleon yang pernah ditetapkan, belum secara tegas menetapkan larangan atas penangkapan dan hanya mengatur tentang ukuran, lokasi, dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Masalah aktual yang timbul kemudian adalah bahwa ukuran yang 119

134 Ikan Napoleon diperbolehkan oleh aturan justru stadium ikan-ikan napoleon yang oleh peneliti dinyatakan sudah mulai mengandung telur karena betina terkecil memijah di alam pada ukuran panjang total 35 cm (Gillett 2010). Sementara ikan napoleon yang selama ini terjual di pasaran justru lebih banyak dalam stadium juwana yang berukuran antara cm (IUCN 2006; Sadovy 2006) dan yang lebih tragis lagi adalah aturan tersebut masih memberikan akses pada pengumpul ikan napoleon yang justru menggunakan nelayan-nelayan pengguna potasium yang merusak. Semua ini tidak memberikan kepastian atas lestarinya sumber daya ikan napoleon di alam. Kesulitan sering muncul bukan karena kurangnya pasal-pasal dalam substansi hukum yang digunakan terhadap perusak lingkungan, tetapi justru karena sulitnya menunjukkan bukti materiil. Dinamika perairan, seperti adanya gerakan massa air, yakni arus dan gelombang dapat melenyapkan bukti-bukti materiil dalam hitungan menit sampai jam. Jika pemeriksaan terlambat, gradien dampak dapat berkurang atau mungkin menghilang karena arus kuat. Oleh karena itu, semua kasus pelanggaran perusakan lingkungan sebagai akibat cara-cara penangkapan ikan hidup dengan sianida atau potas sering tidak dapat ditindaklanjuti dalam proses hukum, kecuali pelaku tertangkap basah. Pembuktian kasus seperti ini sering terbentur bukan saja pada saling lempar kewenangan, tetapi juga pada banyaknya faktor dan ko-faktor yang bekerja atas kerusakan ekosistem karang, sehingga sulit dinisbahkan pada kejadian yang ditetapkan sebagai pengrusakan. Pembuktian juga bersandar pada dua pilihan yang belum tentu dapat diterima baik oleh pihak-pihak yang terlibat, yaitu apakah hanya semata-semata berdasarkan pada teori (scientific) atau hasil kerja pemeriksaan di tingkat lapangan atas kerusakan hingga menghasilkan bukti materiil. Kedua, jauh lebih sulit dilakukan daripada yang pertama, terlebih-lebih jika kejadian perusakan sudah berselang lama dan akurasi datanya juga masih terbuka untuk didiskusikan, hingga memberikan peluang lolosnya pelaku pengrusakan. Pada umumnya, penangkapan ikan napoleon dilakukan malam hari dan pada saat yang sama tidak ada petugas pengawas dan juga tidak ada petugas analis laboratorium di lokasi penangkapan tersebut. Ketika kemudian kapal pedagang ditemukan membawa hasil tangkapan tersebut, mereka hanya terjerat kasus pelanggaran penyalahgunaan dokumen, sedangkan pelaku penangkapan yang merusak tidak terdeteksi. Ketika berhadapan dengan kejadian seperti ini, pengawas lapangan tidak pula dapat menggiring pelaku 120

135 Kebijakan Moratorium pencurian ikan ke meja hijau untuk memberikan efek jera sesuai dengan substansi UU 45 tahun 2009 atau PP 20 tahun 2007 karena beragam alasan (Tampobolon 2011). Selain menyita hasil tangkapan yang tidak sesuai ukuran, memberikan teguran keras, dan melepaskan ikan napoleon kembali ke habitatnya, kerusakan lingkungan akibat cyanid fishing yang terjadi tidak ada berita acaranya dan tidak ada pula gugatan kerugian dari pihak pengguna lain. Mungkin hal ini yang dimaksud oleh Sadovy (2006) bahwa pemerintah masih terlampau lemah dalam pengawasan dan penegakan hukum. Kasus seperti ini secara pasti jarang dipandang sebagai kasus kejahatan karena sulitnya dalam pembuktian walaupun kelengkapan pasal-pasal undangundangnya tersedia. Paling tidak kasus ini hanya dipandang sebagai kasus eksternalitas biasa dalam rezim open access yang tidak pula diteruskan pada sanksi denda (economic sentence). Sekali lagi, untuk mempermudah dan menyederhanakan proses dalam usaha menyelamatkan ikan napoleon perlu adanya langkah-langkah perlindungan yang lebih konkret, seperti penetapan moratorium. Landasan Hukum Perlindungan atas ikan napoleon dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun Pasal 7 ayat 1 (u) menyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi. Pada Pasal 7 ayat (6) disebutkan bahwa Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan kawasan konservasi perairan untuk tujuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Konservasi Jenis Ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Pasal 21) dan konservasi jenis ikan dilakukan melalui penggolongan jenis ikan, penetapan status perlindungan jenis ikan dan pemeliharaan, pengembangbiakan, dan penelitian serta pengembangan. Selanjutnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER-03/ MEN/2010 memberikan dasar-dasar tentang Tata Cara Penetapan Status 121

136 Ikan Napoleon Perlindungan Jenis Ikan. Paling mutakhir adalah terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan ikan napoleon (Cheilinus undulatus), terutama mengatur ukuran yang tidak boleh ditangkap. Implikasi Politis Atas Undang-Undang Orientasi politik adalah untuk kepentingan rakyat maka kemakmuran rakyat adalah segala-galanya (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3) dengan tetap memperhatikan keseimbangan, kelestarian lingkungan, dan sanksi hukum (UU No. 45 tahun 2009). Menurut Prasetiyono (2010), penerapan undang-undang dan regulasi perikanan bukan berarti mempolitisasi perikanan untuk tendensi kepentingan tertentu atau sektor, tetapi untuk memperjuangkan pembangunan perikanan bagi kepentingan rakyat dan kelestarian sumber daya perairan. Dua frasa ini, yaitu kepentingan rakyat dan kelestarian sumber daya merupakan kunci politis untuk masuk pada usaha pembatasan pemanfaatan ikan napoleon. Segala sesuatu yang berkenaan dengan pembatasan pemanfaatan sumber daya alam dapat menjadi pertengkaran dan digunakan sebagai alat politis yang justru membatasi fungsi-fungsi eksekutif dalam pengelolaan perikanan, di mana eksekutif dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap undangundang, meskipun pelestarian sumber daya alam juga diatur oleh undangundang yang legal karena untuk kepentingan bersama. Demikian juga pembatasan pemanfaatan ikan napoleon bukan berarti memperkosa hak-hak ulayat, tetapi lebih kepada aturan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan ikan napoleon dalam cara-cara yang baik dan bijaksana. Manajemen Perikanan Kapasitas lebih dalam perikanan Seperti yang disinyalir oleh oleh Fauzi (2005), sumber utama krisis perikanan napoleon adalah buruknya pengelolaan perikanan napoleon yang ditunjukkan oleh dua hal yang menonjol, seperti lebih kapasitas (overcapacity) dan destruksi habitat (penggunaan potas). 122

137 Kebijakan Moratorium Sumber daya ikan napoleon bersifat dapat diperbarui (renewable), tetapi bukan tidak mungkin akan menuju kepada kepunahan (collapse) karena ketika laju ekstraksi ikan tersebut telah melebihi kemampuan regenerasinya, pasti akan terjadi perubahan dalam populasi. Destruksi habitat dan konsekuensinya dalam perikanan Meski situasi lebih tangkap di Indonesia relatif belum separah pada skala global di banyak wilayah subtropis, tetapi destruksi habitat justru sering menjadi masalah utama di wilayah negara berkembang yang disebabkan oleh kemiskinan dan lemahnya pengawasan. Destruksi ekosistem tercatat relatif tinggi pada negara-negara Asia, khususnya Filipina dan Indonesia (Burke et al. 2002). Untuk alasan ini sering kali negara-negara maju, baik sebagai donor maupun sebagai importir merasa harus campur tangan karena sumber daya ikan telah diklaim menjadi kepentingan dan keprihatinan global. Privasi sumber daya perikanan melalui kuota akhirnya menjadi agenda global. Sebagai konsekuensinya adalah beragam kebijakan perikanan sering terbentur pada regulasi yang ditetapkan dalam perdagangan global. Isu environmental labelling yang tercantum dalam Doha Agenda pada pertemuan WTO ke-4 di Doha, Qatar justru menjadi dilema bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sekarang kita menghadapi kasus yang sama bahwa ikan napoleon telah diberikan kuota yang tiap tahun akan dikaji terus untuk direvisi. Jika ingin masuk pada perdagangan global, mau tidak mau atau suka tidak suka, kita wajib berperan aktif untuk menunjukkan bahwa kita ramah dan perhatian penuh pada masalah degradasi ekosistem. Pemanfaatan ikan napoleon yang tidak ramah lingkungan Pengelolaan perikanan napoleon saat ini sudah masuk pada kategori overeksploitasi dan merusak ekosistem karang (Sadovy et al. 2003; Sadovy 2006; IUCN 2006). Laporan WWF menyebutkan bahwa lebih dari penangkap ikan hidup telah menggunakan kg potas dan dalam bentuk larutan disemprotkan ke 33 juta onggok karang setiap tahun. Jika praktik peracunan tersebut terus berlangsung, diperkirakan tahun 2020 semua terumbu karang akan rusak (Michael 2011). 123

138 Ikan Napoleon Pengelolaan ikan napoleon yang berstatus rawan punah sudah harus dalam bentuk konsensus pembatasan penangkapan, yang bukan saja dalam bentuk pelarangan penangkapan sementara waktu, tetapi juga dalam bentuk pelarangan ekspor, agar memberikan kesempatan pada pertumbuhan populasinya di alam. Di beberapa negara bahkan sudah menetapkan pelarangan ekspor (Tabel 13) setelah mana produksinya juga meningkat di negara-negara tersebut. Namun di Indonesia pendekatan konsensus, seperti misalnya kapan untuk menetapkan kuota nol atau moratorium secara temporal, mungkin menjadi lebih baik untuk melindungi populasi napoleon. Tabel 13 Negara yang menetapkan pelarangan menjual atau ekspor napoleon atau bahan-bahan jadi dari napoleon Negara Maldives Australia Fiji Palau Seychelles Filipina Ekspor sejak 1995 Jenis Larangan dan Tahun Larangan Ekspor bahan makanan sejak 2003 Larangan panen komersil, menjual, atau ekspor sejak 2004 Ekspor sejak 1998; tetapi kini semua penangkapan terlarang Ekspor semua ikan hidup pada 2005 Khusus Palawan larangan ekspor sejak 1994, tetapi semua wilayah ada larangan ekspor sejak 2004 Sumber: Gillettt (2010) Karakteristik di sektor perikanan napoleon adalah unik, selain bersifat ordinary-rare resource (sejatinya adalah sumber daya yang terbatas), juga bersifat common property resource (sumber daya sebagai hak kepemilikan umum). Interaksi kedua faktor ini sering menimbulkan eksternalitas yang mendorong terjadinya lebih tangkap dan kemudian justru menimbulkan penurunan stok sumber daya dalam waktu yang pendek dan kemudian sulit untuk tumbuh kembali secara cepat (Burke et al. 2002). Untuk alasan ini, penanganan masalah perikanan memerlukan pendekatan tersendiri. Seperti telah disinggung di awal, pilihan yang terbaik bagi manajemen perikanan napoleon di Indonesia adalah melakukan perubahan fundamental 124

139 Kebijakan Moratorium dari sekadar mengelola sisi suplai ke mengelola manusia sebagai pengguna (Fauzi 2005) karena yang dikelola ini adalah sumber daya rentan punah dan penggunanya adalah penentu kebijakan yang buruk dan bahkan sekaligus perusak lingkungan (Salm et al. 2000). Dengan demikian, pembatasan total (zero quota atau moratorium) adalah langkah yang dianggap tepat dibanding penetapan kuota penangkapan sekecil apa pun. Selama ini, kuota justru akan memberikan celah yang lebih besar pada ilegal fishing, sedangkan pelarangan diharapkan akan lebih menyederhanakan dan memudahkan pengawasan. Dampak negatif pemanfaatan napoleon Keuntungan ekonomi perikanan adakalanya tidak sepadan dengan ongkos yang ditanggung masyarakat dan lingkungan (environmental cost) yang memang tidak pernah diperhitungkan dalam analisis finansial tentang keuntungan bersih (Cesar 1996; Pet-Soede et al. 1996). Terumbu karang di Indonesia menyediakan keuntungan ekonomi tahunan sebesar US$1,6 juta (Burke et al. 2002), tetapi tidak sedikit pula kerugian yang ditanggung oleh ekosistem. Usaha individual perikanan yang menggunakan racun (sianid fishing) memperoleh keuntungan bersih US$ per km 2 dalam periode 20 tahun, tetapi total kerugian yang ditimbulkannya bagi usaha masyarakat dalam perikanan tangkap yang berkelanjutan dan usaha pariwisata mencapai sampai US$ per km 2 dalam periode yang sama, di mana nilai tersebut belum terhitung kerugian dari sisi kehilangan biodiversitas dan proteksi lingkungan (Cesar 1997; dalam Burke et al. 2002). Contoh gangguan (eksternalitas) yang lebih spesifik adalah perikanan napoleon di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Kendari. Perikanan napoleon disinyalir menggunakan potas (sianida) dan menimbulkan ekses pada perikanan kerapu hidup (Purnomo 2009). Produksi kerapu antara 2009 sampai 2011 menurun sebagai akibat pengaruh perikanan potas (Gambar 16). Semua orang mengerti bahwa Wakatobi adalah salah satu area yang dilindungi (Taman Laut Nasional), tetapi kasus-kasus perikanan potas tidak dapat ditanggulangi. 125

140 Ikan Napoleon Gambar 16 Penurunan produksi ikan kerapu hidup akibat perikanan potas di Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Sumber: Purnomo (2009) Dampak ekonomi perikanan napoleon Secara ekonomi, pelarangan penangkapan ikan napoleon tidak akan berpengaruh besar terhadap pendapatan masyarakat nelayan artisanal. Ikan napoleon bukan menjadi target utama penangkapan bagi kebanyakan Rumah Tangga Perikanan (RTP). Rumah Tangga Perikanan napoleon relatif kecil (Tabel 14) jika dibandingkan dengan RTP perikanan secara umum. Sementara jumlah eksportir ikan hidup napoleon kurang lebih 15 perusahaan (Dirhamsyah 2011). Moratorium terhadap penangkapan ikan napoleon hanya akan berpengaruh pada perikanan padat modal dan eksportir (Tabel 15) karena justru mereka yang mendapat keuntungan terbesar. Pelarangan penangkapan ikan napoleon juga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kontribusi terhadap Penghasilan Nasional Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan karena nilai PNBP hanya sekitar Rp ,-/tahun sesuai dengan besaran kuota. Pelarangan ekspor ikan napoleon juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor ikan karang Indonesia karena proporsi ikan napoleon kurang dari 10% dari total ekspor ikan karang (Ruchimat 2011). 126

141 Kebijakan Moratorium Tabel 14 Jumlah rumah tangga perikanan yang khusus menangkap ikan napoleon WILAYAH JUMLAH Natuna 100 Banggai 100 Derawan Mentawai 50 Pulau Sembilan 50 Wakatobi Komodo Karimun Jawa 0 Bangka Belitung 0 Sumber: Dirhamsyah (2011) Tabel 15 Volume ekspor dan nilai ekspor ikan napoleon asal Indonesia ke pasar Hongkong Parameter Tahun Volume ekspor (kg) Kisaran harga borongan di pasar Hongkong US $/kg Harga rata-rata US $/kg 57,5 57, Rata-rata nilai ekspor -US $ Sumber: diolah dari Sadovy (2006) Gillett (2010) memberikan rambu-rambu bahwa jika memperhatikan prinsip ongkos (cost) dan keuntungan (benefit), negara dapat mempertimbangkan bahwa sesungguhnya perdagangan napoleon tidak akan menghasilkan 127

142 Ikan Napoleon rasio cost/benefit yang menggembirakan. Analisis keuntungan bersih yang diperoleh dari ekspor sesungguhnya belum memasukkan variabel ongkos dari kerusakan lingkungan atau kerugian dari hilangnya potensi atau pendapatan pariwisata dan potensi perikanan yang berkelanjutan. Apa yang dipersyaratkan CITES sesungguhnya dapat memberikan peluang perdagangan napoleon tanpa kerja ekstra atau biaya ekstra yang signifikan. Keragaan Sistem Perikanan Napoleon Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa masalah utama krisis perikanan adalah tidak terkendalinya upaya (input) dari stakeholders dalam mengelola sumber daya ikan. Sejauh ini masalah-masalah perikanan sering bersifat latent atau tidak tampak di permukaan sebagai suatu permasalahan krusial yang harus dipecahkan lebih dahulu. Sering kali program-program pembangunan perikanan berada di jalan buntu, bahkan kontroversial dalam pelaksanaannya. Untuk membedah akar permasalahan dan kebijakan yang selama ini dirasa kurang tepat, Smith dan Link (Fauzi 2005) menyarankan untuk melakukan otopsi terhadap perikanan agar kebijakan yang berbasis pada kegagalan masa lalu dapat ditetapkan. Permasalahan perikanan secara sederhana adalah turunan dari dua faktor generik, yaitu penanganan sumber daya (termasuk pendugaan serta penilaian stok) dan penanganan input untuk mengekstraksi sumber daya (termasuk kapital, nelayan, dan kebijakan dan sebagainya). Stok sangat bersifat dinamis dan mengharuskan kita mempelajari stok di masa lalu dan gangguangangguan yang menyebabkan perubahan stok di masa lalu. Gangguan pada stok di luar kendali manusia, sedangkan gangguan pada input berada sepenuhnya di tangan pengelola. Dengan demikian, masalah sumber daya bukanlah semata-mata masalah lingkungan melainkan masalah manusia yang timbul berulang-ulang di tempat yang berbeda dalam konteks politik, sosial, dan sistem ekonomi yang berbeda pula. Selayaknya perumusan kebijakan yang tepat harus lebih dahulu diarahkan pada sisi tersebut (Salm et al. 2000; Fauzi 2005). Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa kegagalan masa lalu adalah kurang tanggapnya stakeholder terhadap sifat stok ikan napoleon yang sudah jelas, di mana dalam situasi tanpa tekanan (tanpa eksploitasi), populasi ikan napoleon di alam memang sudah memiliki sifat rendah kelimpahan dan kepadatannya. 128

143 Kebijakan Moratorium Hasil penilaian stok tidak pernah mendapat penghargaan yang layak. Pengguna terlampau berorientasi pada tingginya permintaan pasar dengan harga yang tinggi, sehingga dorongan peningkatan investasi tidak dapat dibendung. Di sisi lain, ekploitasi yang tinggi dalam interval waktu yang rapat dan berjangka panjang tidak memberikan kesempatan proses regenerasi populasi ikan napoleon. Akhirnya, status normalnya yang jarang dan sedikit tadi menjadi terpuruk ke status rawan punah. Akibatnya, CITES menetapkan status Appendix II untuk ikan napoleon, sedangkan kajian mendalam untuk mengembangkan protokol penangkapan dan perdagangan yang komprehensif serta terkontrol tidak dilakukan. Hal ini berujung pada maraknya kasus-kasus IUU perikanan napoleon. Kasus-kasus IUU tersebut jika tetap tidak terkendali akan kembali menjadi batu sandungan bagi industri perikanan napoleon di Indonesia, di mana pada akhirnya akan berujung pada peningkatan status yang diterapkan CITES dari Appendix II menjadi Appendix I. Opsi Kebijakan Membangun perhatian masyarakat Dalam asumsi pengelolaan yang efektif sebenarnya lebih bertumpu pada penanganan pengguna (untuk mengubah sikap) daripada hanya sekadar penanganan yang bertumpu pada kegiatan restologi, restocking, rehabilitasi, introduksi teknologi, dan legislasi/regulasi. Regulasi dapat diciptakan silih berganti dan begitu juga teknologi serta management tools, tetapi adaptasi dan penerimaan kontrol atas semua itu bergantung pada kemauan dan penerimaan masyarakat. Perhatian masyarakat (public awareness) adalah kunci dari inisiatif keterlibatan masyarakat dalam perlindungan jenis ikan rawan punah. Masalah terberat di tingkat lapang dengan intensitas yang meluas di Indonesia adalah membangun situasi yang kondusif di antara hubungan usaha-usaha preventif dari pemerintah dan penerimaan masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu membangun rasa saling percaya dan preseden yang baik jika ingin membentuk integritas masyarakat pada masalah lingkungan. Dalam hal ini masyarakat percaya bahwa mereka masih punya kesempatan mendapat profit dari keterlibatannya. Pemerintah memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum, terutama peran aparat keamanan di tingkat lapang merupakan aktor yang harus disegani, 129

144 Ikan Napoleon menjadi preseden yang baik, dan bukan menjadi aktor perusak kesepakatan (korup) yang terbentuk hingga menjadi kontraproduktif bagi pengelolaan sumber daya yang dianggap akan punah. Tidak diharapkan masyarakat menjadi pesimis dan apatis hanya karena tidak berjalannya penegakan hukum. Kesungguhan penegakan hukum oleh pemerintah diharapkan akan lebih mendorong integritas masyarakat untuk secara aktif sebagai mitra mencegah kerusakan lingkungan dan ilegal fishing. Mengembangkan protokol umum Pada tingkat pemerintah, masalah yang mendesak adalah masalah tersedianya ketetapan holistis untuk mengatur perikanan napoleon. Kebijakan di tingkat dunia semakin cepat berubah seiring dengan semakin cepatnya kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup. Melalui moratorium semuanya diharapkan akan menjadi jelas dan meyakinkan, khususnya bagi pejabat pembuat kebijakan, pemberi izin, pengawas lapangan, penegak hukum, pengusaha perikanan, dan nelayan untuk masing-masing sesuai fungsinya mengerti dan kemudian bersepakat menjaga ikan napoleon dari kepunahan. Semua produk legislasi perlindungan jenis ikan rawan punah (dalam hal ini moratorium) perlu tindakan-tindakan pengawalan. Pemahaman dan penerimaan masyarakat merupakan kunci keberhasilan atas perlindungan sumber daya (Salm et al. 2000). Masyarakat perlu diberi kesempatan untuk memahami alasan mengapa moratorium ditetapkan, sehingga mereka mampu membentuk regulasi yang bersifat tradisional dengan dasar-dasar ekologis menurut pengertian mereka sendiri. Mengantisipasi kegagalan moratorium IUU Fishing dapat dipastikan akan terus timbul sebagai konsekuensi negatif dari penetapan moratorium. Masa depan moratorium dalam menghadapi hal tersebut akan sangat bergantung pada integritas masyarakat dan kemauan politis aparat pengawas serta penegakan hukum. Tumpuan pada integritas masyarakat akan lebih menonjol jika memerhatikan keterbatasan pemerintah di tingkat lapang. Oleh karena itu, tipe moratorium harus lebih masuk akal menurut perhitungan untung rugi masyarakat dan bukan sekadar alasan ekologis semata-mata. Lebih jauh moratorium tidak boleh dijadikan sebagai alat kesepakatan politis yang menyimpang (KKN) karena akan menjadi 130

145 Kebijakan Moratorium beban dalam penegakan integritas masyarakat. Sinergitas antara masyarakat dan pemerintah harus terbentuk dalam operasional penegakan moratorium. Pemerintah perlu tetap memelihara kinerja dan citra yang baik (good governance) untuk membangun perhatian masyarakat. Moratorium terbatas Prinsip pembangunan yang berkelanjutan membawa pada pengelolaan sumber daya yang lebih bijaksana dari sisi pemanfaatan sumber daya berkelanjutan sebagai akibat dari usaha-usaha menjaga kelestariannya. Pembatasan mutlak pada pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbarui akan menjadi paradoks bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk kasus pemanfaatan ikan napoleon perlu ditetapkan jalan tengah melalui perlindungan yang tidak menimbulkan kontrovesi. Tipe perlindungan jenis selain penetapan kuota dan belum dicoba adalah moratorium. Moratorium pada dasarnya adalah larangan yang bersifat temporal. Penetapan moratorium disinyalir akan menghadapi banyak kritik bahkan perlawanan massa. Kemudian timbul inisiatif wacana moratorium terbatas yang sebenarnya telah berkembang sebelumnya di tengah masyarakat Maluku, yaitu praktik perlindungan jenis secara tradisional yang disebut adat sasi. Perlindungan jenis ala moratorium terbatas mungkin lebih mudah diadopsi masyarakat. Moratorium terbatas dapat diaplikasikan dalam dua pola, yaitu perlindungan secara spasial dan temporal. Perlindungan spasial, dalam hal ini adalah buka tutup wilayah tangkap ikan napoleon pada waktu tertentu dan ada wilayah tertutup yang ditetapkan, sedangkan wilayah lain terbuka untuk eksploitasi. Perlindungan temporal adalah larangan penangkapan di semua wilayah dalam waktu yang ditentukan. Perlindungan temporal seperti ini lebih mirip adat sasi di Maluku yang nampak sederhana tetapi efektif. Namun pengalaman sebelumnya telah memberikan pelajaran bahwa peluang sekecil apa pun dalam rezim open access akan menimbulkan pelanggaran terhadap ketentuan legislasi karena dorongan ekonomi lebih dominan. Dengan demikian, pola perlindungan jenis secara spasial menjadi tidak ideal ketika diperuntukan untuk jenis ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan napoleon dan bahkan tetap akan menimbulkan kesulitan dalam pengawasannya. Pola perlindungan jenis secara temporal dianggap akan mempermudah sistem pengawasan dalam rentang waktu yang ditentukan, sehingga perlu dicoba 131

146 Ikan Napoleon dan disosialisasikan untuk menyelamatkan ikan napoleon dari kepunahan. Moratorium terbatas hendaknya menjadi konsensus nasional yang kemudian dapat diadopsi oleh masyarakat menjadi aturan-aturan adat yang lebih bisa diterima mereka. Penangkapan ikan napoleon seperti dijelaskan di muka telah menjadi masalah dalam tahun sebelumnya, di mana produksi menurun hingga 50%, sedangkan status kepadatan ikan napoleon di alam saat ini rata-rata kurang dari 2 ekor/ha. Moratorium temporal terbatas dapat mengacu pada waktu 10 sampai 15 tahun, untuk kemudian dievaluasi setelahnya dengan indikator kepadatan yang meningkat melebihi 4 ekor/ha untuk penghapusan moratorium. Alternatif yang lebih menguntungkan Opsi moratorium adalah paling strategis untuk kepentingan menyelamatkan jenis ikan rawan punah, habitatnya dan lingkungan hidup organisme laut, serta mempermudah pengawasan. Moratorium penangkapan ikan napoleon akan menempatkan ikan itu sendiri sebagai objek material pembuktian pelanggaran hukum karena telah menjadi benda terlarang untuk ditangkap. Dengan adanya moratorium, maka pekerjaan-pekerjaan pengawasan dan pembuktian yang dianggap rumit menjadi lebih disederhanakan. Keuntungan lain dari moratorium adalah bahwa moratorium dapat menimbulkan isu lain yang akan menempatkan ikan napoleon menjadi objek menarik sebagai hewan langka dan pada akhirnya akan menarik wisata bahari. Laporan Gillettt (2010), ikan napoleon yang biasa disebut Wally oleh penyelam lokal Australia ternyata dapat diajak bermain dan mudah didekati (friendly) oleh penyelam-penyelam di Norman Reef of Australian s Geret Barrier Reefs (Gambar 17). Untuk alasan itu, pengembangan ekonomi wilayah, di mana ikan napoleon ditemukan, pasti akan terjadi apabila wilayah tersebut dipromosikan sebagai area tujuan wisata penyelam-penyelam domestik maupun dunia untuk bermain dengan ikan napoleon, seperti kasus yang sama untuk ikan mola di wilayah Nusa Penida Bali. Banyak pendapatan alternatif akan diperoleh melalui pengembangan Napoleon Dive Cruise. 132

147 Kebijakan Moratorium Gambar 17 Keuntungan lain dari ikan napoleon sebagai objek wisata bahari. (Source): Moratorium bukan saja dapat memberikan kesempatan perkembangan populasi ikan napoleon di alam, tetapi juga merangsang usaha-usaha budi dayanya (hatchery) yang mulai dirintis dan berhasil dilakukan oleh Balai Besar Budidaya Ikan di Gondol, Bali (Sim 2004). Rekomendasi Berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan bagi penentu kebijakan tingkat daerah maupun tingkat pusat Perikanan napoleon mengalami krisis yang ditunjukkan oleh dua sifat yang menonjol, seperti intensitas penangkapan yang tidak memberikan kesempatan pada perkembangan stoknya di alam dan cara penangkapan yang merusak habitat dan lingkungan hidup ikan, hingga berdampak buruk pada usaha perikanan karang berkelanjutan dan pariwista. Kebijakan pengelolaan ikan napoleon tidak kondusif dari sisi substansi legislasi dan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum ditunjukkan oleh maraknya IUU fishing. Respons dunia dalam hal status ikan napoleon sebagai rawan punah (Appendix II) bersifat positif hingga timbul inisiatif NDF, tetapi respons perdagangannya negatif karena mendorong eksploitasi tidak terbatas yang tidak selaras dengan ide NDF. 133

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO

- 2 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013 MENTERl KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SHARIF C. SUTARDJO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

STUDI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN METODE SENSUS VISUAL DI KEPULAUAN SELAYAR, SULAWESI SELATAN

STUDI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN METODE SENSUS VISUAL DI KEPULAUAN SELAYAR, SULAWESI SELATAN Studi Populasi Ikan Napoleon..di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan (Rudi, A & Y. Nugraha) STUDI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DENGAN METODE SENSUS VISUAL DI KEPULAUAN SELAYAR, SULAWESI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

Disusun untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester pada Mata Kuliah Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir Dosen Pengampu : Dr. Ir.

Disusun untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester pada Mata Kuliah Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir Dosen Pengampu : Dr. Ir. STUDI KASUS IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus): SI BURUK RUPA BERNILAI EKONOMI TINGGI YANG TERANCAM PUNAH Disusun untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester pada Mata Kuliah Ekosistem dan Sumberdaya Alam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/KEPMEN-KP/2018 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus Bertepatan dengan perayaan hari paus internasional yang jatuh pada Selasa (30/8/2016), masyarakat dunia ditantang untuk bisa menjaga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN PENUH IKAN PARI MANTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

PEDOMAN SURVEI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835)

PEDOMAN SURVEI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) PEDOMAN SURVEI POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Rüppell 1835) Penanggung Jawab : Dr. Ir. Toni Ruchimat, M. Sc Editor : Isa Nagib Edrus dan Syamsul Bahri Lubis Penulis : Isa Nagib Edrus, BPPL,

Lebih terperinci

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging)

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) PENDAHULUAN Pada bulan Februari 2014, KEPMEN- KP No. 4/2014 tentang penetapan status perlindungan ikan pari manta ditandatangai oleh Menteri,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

Bio-Ekologi Ikan Napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan Terumbu Karang. Abstrak. Karakteristik morfologi

Bio-Ekologi Ikan Napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan Terumbu Karang. Abstrak. Karakteristik morfologi Bio-Ekologi Ikan Napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan Terumbu Karang Makalah disajikan pada workshop Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan di Propinsi JawaTimur, dilaksanakan di Hotel Utami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama yang semakin tinggi mempengaruhi model pengelolaan perikanan yang sudah harus mempertimbangkan prediksi

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh. 1 MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh Wayan Kantun Melimpahnya dan berkurangnya ikan Lemuru di Selat Bali diprediksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI Oleh : Tedi Koswara, SP., MM. I. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Bupati Nomor 71

Lebih terperinci

I. Pengantar. A. Latar Belakang

I. Pengantar. A. Latar Belakang I. Pengantar A. Latar Belakang Secara geografis, Raja Ampat berada pada koordinat 2 o 25 Lintang Utara hingga 4 o 25 Lintang Selatan dan 130 132 55 Bujur Timur (Wikipedia, 2011). Secara geoekonomis dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG

4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 4 UJI COBA PENGGUNAAN INDEKS DALAM MENILAI PERUBAHAN TEMPORAL RESILIENSI TERUMBU KARANG 61 4.1 Pendahuluan Indeks resiliensi yang diformulasikan di dalam bab 2 merupakan penilaian tingkat resiliensi terumbu

Lebih terperinci

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org LAMUN Project Seagrass Apa itu lamun? Lamun bukan rumput laut (ganggang laut), tetapi merupakan tumbuhan berbunga yang hidup di perairan dangkal yang terlindung di sepanjang pantai. Lamun memiliki daun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea)

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea) Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia Kima Lubang (Tridacna crosea) Kima ini juga dinamakan kima pembor atau kima lubang karena hidup menancap dalam substrat batu karang. Ukuran cangkang paling kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

STATUS POPULASI IKAN NAPOLEON DI WILAYAH TAMAN NASIONAL BUNAKEN DAN KABUPATEN KARAS FAK-FAK

STATUS POPULASI IKAN NAPOLEON DI WILAYAH TAMAN NASIONAL BUNAKEN DAN KABUPATEN KARAS FAK-FAK STATUS POPULASI IKAN NAPOLEON DI WILAYAH TAMAN NASIONAL BUNAKEN DAN KABUPATEN KARAS FAK-FAK POPULATION STATUS OF HUMPHEAD WRASSE (Cheilinus undulatus) IN THE BUNAKEN NATIONAL PARK AND KARAS DISTRICT OF

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perairan Indonesia merupakan perairan yang sangat unik karena memiliki keanekaragaman Cetacea (paus, lumba-lumba dan dugong) yang tinggi. Lebih dari sepertiga jenis paus

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci