EMISI CO 2 DARI HUTAN TANAMAN INDUSTRI AKASIA PADA LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU ATFRITEDY LIMIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EMISI CO 2 DARI HUTAN TANAMAN INDUSTRI AKASIA PADA LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU ATFRITEDY LIMIN"

Transkripsi

1 EMISI CO 2 DARI HUTAN TANAMAN INDUSTRI AKASIA PADA LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU ATFRITEDY LIMIN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Emisi CO 2 dari Hutan Tanaman Industri Akasia pada Lahan Gambut Provinsi Riau adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan pada perguruan tinggi manapun atau lembaga akademik lain untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Bahan rujukan berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Atfritedy Limin NIM G

3 ABSTRACT ATFRITEDY LIMIN. CO 2 Emissions from Acacia Industrial Plantation Forest Peatlands in Riau Province. Under direction of Dr. Ir. Tania June, M.Sc. This study aims to determine the amount of CO 2 emissions from soil (Root Cut and Control Plot) and relations with subsidence, rainfall, soil temperature, soil moisture and wáter table on peatlands Forest Plantation Industry in Langgam, Riau. CO 2 emissions from soil was measured using closed chamber method. CO 2 sample capture done before closed the chamber (0 minute) and after 6 minutes closed. Measurements result of CO 2 emission cumulative from soil in September 2008 to July 2009 was mgcm -2 h -1 for the Root Cut plot and mgcm -2 h -1 for the Control plot. Based on the results of regression and correlation analysis, factors such as rainfall, subsidence, soil temperature, soil moisture and water table have an influence on the production of CO 2. Correlation and regression value between CO 2 cumulative and subsidence cumulative with the type of multy positions was (R 2 =0.86 ; p=0.00) for the Root Cut plot and (R 2 =0.84 ; p=0.00) for the Control plot, with a negative correlation value of each (-0.92 ; -0.91). Multy positions measurement between CO2 emissions from soil was corerelated with rainfall at (R 2 =0.50 ; p=0.015) for the Root Cut plot and (R 2 =0.59 ; p=0.004) for the Control plot, with a negative corelation value of each (-0.71 ; ). The relationship of CO 2 emissions rate from the soil with soil temperature by multy positions type was (R 2 =0.51 ; p=0.010) for the Root Cut plot and (R 2 =0.35 ; p=0.026) for the Control plot, with a negative corelation value of each (0.73 ; 0.66). The relationship of CO 2 emissions rate from the soil with soil moisture by multy positions type was (R 2 =0.45 ; p=0.023) for the Root Cut plot and (R 2 =0.39 ; p=0.039) for the Control plot, with a negative corelation value of each (-0.67 ; -0.63). The relationship of CO 2 emissions rate from the soil with wáter table by multy positions type was (R 2 =0.36 ; p=0.050) for the Root Cut plot and (R 2 =0.43 ; p=0.028) for the Control plot, with a negative correlation value of each (-0.60 ; -0.66). Keywords : CO 2, Root Cut, Control, multy positions

4 RINGKASAN ATFRITEDY LIMIN. Emisi CO 2 dari Hutan Tanaman Industri Akasia pada Lahan Gambut Provinsi Riau. Dibimbing oleh Dr. Ir. Tania June, M.Sc. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran emisi CO 2 dari tanah (plot Root Cut dan plot Control) dan hubungannya dengan laju penurunan permukaan tanah (subsidence), curah hujan, suhu tanah, kelembaban tanah dan kedalaman air tanah (wáter table) pada lahan gambut Hutan Tanaman Industri Akasia Langgam, Riau. Pengukuran emisi CO 2 dari tanah dilakukan dengan menggunakan metode closed chamber method. Pengambilan gas CO 2 dilakukan sebelum ruang pengambilan gas (chamber) ditutup (0 menit) dan setelah ditutup 6 menit. Hasil pengukuran diperoleh kumulatif CO 2 dari tanah pada September 2008 hingga Juli 2009 sebesar mgcm -2 h -1 untuk plot Root Cut dan mgcm -2 h -1 untuk plot Control. Berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi, faktor-faktor yang diukur seperti curah hujan, subsidence, suhu tanah, kelembaban tanah dan water table mempunyai pengaruh terhadap produksi CO 2. Nilai korelasi dan regresi kumulatif CO 2 tanah dengan kumulatif subsidence pengukuran tipe multy positions dihasilkan (R 2 =0.86 ; p=0.00) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.84 ; p=0.00) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.92 ; -0.91). Pengukuran multy positions antara emisi CO 2 dari tanah dengan curah hujan berkorelasi pada (R 2 =0.50 ; p=0.015) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.59 ; p=0.004) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.71 ; -0.79). Hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan suhu tanah pengukuran tipe multy positions dihasilkan (R 2 =0.51 ; p=0.010) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.35 ; p=0.026) untuk plot Control, dengan nilai korelasi positif masing-masing (0.73 ; 0.66). Hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan kelembaban tanah pengukuran tipe multy positions dihasilkan (R 2 =0.45 ; p=0.023) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.39 ; p=0.039) untuk plot Control, dengan nilai korelasi positif masing-masing (-0.67 ; -0.63). Hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan water table pengukuran tipe multy positions dihasilkan (R 2 =0.36 ; p=0.050) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.43 ; p=0.028) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.60 ; -0.66). Kata kunci : CO 2, Root Cut, Control, multy positions

5 EMISI CO 2 DARI HUTAN TANAMAN INDUSTRI AKASIA PADA LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU ATFRITEDY LIMIN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 Judul Nama NRP : Emisi CO 2 dari Hutan Tanaman Industri Akasia pada Lahan Gambut Provinsi Riau : Atfritedy Limin : G Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Tania June, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia- Nya sehingga penulisan tugas akhir (Skripsi) yang berjudul Emisi CO 2 dari Hutan Tanaman Industri Akasia pada Lahan Gambut Provinsi Riau dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi. Peningkatan emisi CO 2 dari lahan gambut merupakan salah satu faktor bagi penulis untuk melakukan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan melalui skripsi ini. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan akan emisi CO 2 dari lahan gambut, khususnya di Langgam, Riau. Dalam penulisan dan penyusunan laporan hasil penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Ibu Dr.Ir. Tania June, M.Sc selaku dosen pembimbing penelitian yang telah berkenan memberi pengarahan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat besar perannya sampai selesainya penulisan skripsi ini. 2. Papah, Mamah, Rio, Zevy dan Ully yang tiada hentinya memberikan dorongan semangat, motivasi, kesabaran, kasih sayangnya yang tiada pernah berakhir serta yang selalu mendoakan keberhasilan penulis. 3. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi atas segala bantuan dalam proses perizinan selama masa studi dan selesainya skripsi ini. 4. Prof. Hatano Ryusuke, Yo Toma, Yamada Hiroyuki dan tim peneliti dari Universitas Hokkaido. Terima kasih atas bimbingan dan bantuannya 5. Dr. John Bathgates dari RAPP beserta staf. Terima kasih atas izin tempat penelitian dan bantuannya selama penelitian berlangsung 6. Teman-teman GFM 41 : Ade A, Ade I, Fithriya, Farah, Wenny, Ekos, Alm. Canggih, Ire, Ining, Sisi, Ferdy Fredy, Melly, Cornel, Yunus, Tia, Yasmin, Dayat, Ujang, Zein, Dhita, Bladus, Rini, Rudin, Diva, Titi, Siska, Randy, Danu, Alam, Oki, Fahdil dan semua GFM 40,42 tanpa terkecuali atas semangat, keceriaan dan kebersamaan persahabatannya. Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2010 Atfritedy Limin NIM G

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 25 Agustus 1986 dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai pada Sekolah Dasar Negeri Don Bosco ( ), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Katolik Santo Paulus ( ) dan Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Palangka Raya ( ). Penulis masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mengambil program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi di IPB, penulis pernah ikut aktif dalam kepanitiaan kegiatan olah raga tenis meja IPB, BIRUNYA LANGITKU Departemen Geofisika dan Meteorologi dan panitia METRIK PESTA SAINS IPB Tingkat Nasional yang diselenggarakan BEM Fakultas MIPA. Penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapang dengan judul Pemanfaatan dan Fungsi Tower Meteorologi di Hutan Gambut Kalampangan zona eks. PLG blok C Kalimantan Tengah dimana pada saat itu dibimbing oleh lembaga penelitian Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland (CIMTROP) di Kalimantan Tengah. Setelah itu peneliti ikut aktif di lembaga CIMTROP sebagai asisten peneliti dibagian klimatologi dan gas CO 2. Selain itu penulis ikut bergabung di dalam tim dari Hokkaido University Project untuk penelitian emisi gas rumah kaca pada lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Riau mulai dari September 2008 hingga sekarang di mana penulis mengambil data setiap bulannya di Kalimantan Tengah dan Riau.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Siklus Karbon dan Aliran Karbon pada Gambut Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emisi CO 2 dari Permukaan Tanah Curah Hujan Suhu Tanah Kelembaban Tanah Tinggi Muka Air Tanah (Water Table) CO 2 Analyzer... 4 III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pengambilan Data Pembuatan Plot Pengukuran CO 2 dari Tanah Pengukuran Curah Hujan Pengukuran Suhu Tanah Pengukuran Kelembaban Tanah Pengukuran Tinggi Muka Air Tanah (Water Table) Pengukuran Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)... 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fluks CO 2 dari Tanah Laju Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence) Suhu Tanah Kelembaban Tanah Kedalaman Air Tanah (Water Table) dan Curah Hujan Kebutuhan Iklim Akasia Curah Hujan dan Kumulatif Subsidence Emisi Kumulatif Fluks CO 2 Kumulatif Subsidence Emisi CO 2 dan Curah Hujan Emisi CO 2 dan Suhu Tanah Emisi CO 2 dan Kelembaban Tanah Emisi CO 2 dan Kedalaman Air Tanah Perbandingan Emisi CO V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi

10 DAFTAR TABEL Nomor Judul Halaman 1. Rata-rata dan standar deviasi mgcm -2 h -1 pada plot Root Cut dan plot Control Rata-rata dan standar deviasi penurunan permukaan tanah tiap plot Rata-rata dan standar deviasi suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control Rata-rata dan standar deviasi kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control Analisis Regresi emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dan plot Control Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap curah hujan pada plot Root Cut dan plot Control Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dan plot Control vii

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman 1. Proses respirasi CO 2 dari tanah Ilustrasi CO 2 dari drainase gambut Lokasi penelitian di Langgam Sketsa plot Control dan plot Root Cut Ruang sample gas yang digunakan pada closed chamber method Rain gauge Pengukuran suhu tanah Pengukuran kelembaban tanah Pengukuran water table Pengukuran subsidence Profil fluks CO 2 plot Root Cut pada September 2008 hingga Juli Profil fluks CO 2 plot Control pada September 2008 hingga Juli Penururan permukaan tanah tiap plot pada September 2008 hingga Juli Profil suhu tanah kedalaman 10 cm plot Root Cut pada September 2008 hingga Juli Profil suhu tanah kedalaman 10 cm plot Control pada September 2008 hingga Juli Profil kelembaban tanah (%) Root Cut pada September 2008 hingga Juli Profil kelembaban tanah (%) Control pada September 2008 hingga Juli Pola curah hujan dan profil tinggi muka air tanah pada September 2008 hingga Juli Hubungan curah hujan terhadap kumulatif subsidence dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Control dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position Hubungan emisi CO 2 tanah dengan curah hujan pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah dengan curah hujan pada plot Control September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap curah hujan pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position Hubungan emisi CO 2 tanah dengan suhu tanah pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah dengan suhu tanah pada plot Control dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position Hubungan emisi CO 2 tanah dengan kelembaban tanah pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah dengan kelembaban tanah pada plot Control dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Control dari September 2008 hingga Juli Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position viii

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Judul Halaman 1. Fluks CO 2 tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli Fluks CO 2 tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli Kumulatif fluks CO 2 pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli Kumulatif fluks CO 2 pada Control dari September 2008 hingga Juli Kumulatif subsidence dari September 2008 hingga Juli Suhu tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli Suhu tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli Kelembaban tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli Kelembaban tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli Penurunan muka air tanah dari September 2008 hingga Juli Curah hujan dari September 2008 hingga Juli Peralatan yang digunakan selama pengukuran dan analisis Dokumentasi selama pengamatan Peta lokasi penelitian citra satelit ix

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karbondioksida (CO 2 ) merupakan gas rumah kaca yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian dunia karena pengaruhnya terhadap pemanasan bumi. Pengurangan emisi karbon merupakan salah satu program yang sedang ramai dibicarakan oleh banyak negara. Banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi tarjadinya peningkatan emisi karbon. Di bidang pertanian dan kehutanan, salah satu upayanya yaitu menjaga dan melestarikan lahan gambut. Gambut merupakan salah satu ekosistem terpenting di dunia. Gambut juga merupakan tempat penimbunan karbon selama ratusan tahun. Terjadinya peningkatan karbon yang lepas ke atmosfir dikarenakan adanya perubahan lahan. Perubahan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh deforestasi dan degradasi (Melling et al, 2008). Di Indonesia, Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang mempunyai masalah deforestasi tertinggi selama beberapa tahun terakhir. Riau secara signifikan berperan penting dalam menyumbangkan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan Riau kebanyakan disumbangkan melalui kebakaran hutan dan lahan gambut. Perubahan penutupan lahan di Provinsi Riau terjadi sangat drastis, tahun 1982 hutan yang menutupi provinsi Riau berkisar 78% dari keseluruhan, pada 2007 menjadi hanya berkisar 27%, di mana sebagian besar dimanfaatkan oleh industri pengolah kayu. Tahun 1982 hingga 2007, 28.7% (1,113,090 Ha) dari hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan 24.4% (948,588 Ha) dikonversi menjadi perkebunan akasia (WWF, 2008). Akasia dapat tumbuh pada lahan gambut di Provinsi Riau meskipun bukan habitat aslinya. Perluasan perkebunan akasia di lahan gambut diperkirakan dapat meningkatkan emisi CO 2. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran emisi CO 2 dari tanah pada lahan gambut yang dimanfaatkan sebagai perkebunan akasia atau Hutan Tanaman Industri (HTI) akasia 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengukur dan menentukan emisi CO 2 dari tanah pada plot Root Cut dan plot Control di lahan gambut Hutan Tanaman Industri (HTI) Akasia Langgam, Riau 2. Membuat korelasi antara parameterparameter yang diukur dengan besarnya emisi CO 2 dari tanah gambut. Parameter tersebut antara lain penurunan permukaan tanah (subsidence), curah hujan, suhu tanah, kelembaban tanah dan kedalaman air tanah (water table) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Gambut Lahan gambut adalah hasil dekomposisi sisa atau bagian tanaman baik tumbuhan air (paku, lumut dan ganggang) atau rumput maupun tanaman keras (tumbuhan tingkat tinggi) (Sitorus, 2003). Lahan gambut terbentuk dimana tanamantanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari berbagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai kedalaman lebih dari 15 meter (PFFSEA, 2003). Lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat penting. Lahan gambut hanya menutupi 3% dari luas bumi namun mengandung sekitar 75% dari semua CO 2 di atmosfir (Wetlands, 2007). Lahan gambut mempunyai sifat seperti spon yang berarti mampu menyimpan air tawar dalam jumlah besar, sehingga mencegah banjir pada musim hujan dan menyediakan air pada musim kemarau. Hal ini menjadi penting ketika perubahan iklim menghilangkan glasier, curah hujan berubah dan kekeringan yang tak terduga. Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya. Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan gambut miskin unsur hara. Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasankawasan gambut yang dimanfaatkan untuk perkebunan dan perindustrian. Di kawasan 1

14 dimana lahan gambut ingin dimanfaatkan dibangun kanal-kanal yang bertujuan untuk mengeringkan gambut tersebut sehingga lahan dapat disiapkan untuk usaha-usaha pertanian. Cara ini sangat bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi atau pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon sehingga gambut tidak dapat mengatur keluar masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakaan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.` Drainase dan kebakaran digabungkan dengan perubahan iklim mengkonversi lebih banyak gambut menjadi sumber karbon dibandingkan sebagai penyimpan (Holden, 2005) 2.2 Siklus Karbon dan Aliran Karbon pada Gambut Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfir bumi. Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfir, biosfer terrestrial (karbon tanah), lautan (karbon anorganik terlarut) dan sedimen (bahan bakar fosil). Bagian terbesar karbon yang berada di atmosfir bumi adalah karbondioksida (CO 2 ). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfir (hanya sekitar 0.04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun CO 2 memiliki peran penting dalam menyokong kehidupan (Wikipedia, 2008). CO 2 diambil dari atmosfir melalui fotosintesis. Tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengubah CO 2 menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfir. CO 2 dilepaskan kembali ke atmosfir melalui respirasi tumbuhan dan hewan, dan dalam kondisi oxic (melibatkan oksigen) oleh mikroorganisme dalam dekomposisi aerobik bahan organik. Dekomposisi anaerobik pada gambut membutuhkan mikroorganisme untuk menghancurkan atau melapukan serasahserasah yang berasal dari tanaman menjadi metana (CH 4 ). Sebagian CH 4 terlepas ke atmosfir, tetapi ada yang dimanfaatkan oleh bakteri methanogenesis dimana bakteri tersebut mengkonsumsi CH 4 sebagai sumber kehidupan dan kemudian baru dilepaskan setelah dioksidasi menjadi CO 2 (Jauhiainen et al., 2005). Gambar 1. Proses respirasi CO 2 dari tanah 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emisi CO 2 dari Permukaan Tanah Faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan produksi CO 2 dan CH4 pada gambut yaitu kadar air tanah, suhu tanah, ph dan populasi bakteri methanogenesis (Jauhiainen et al., 2005). Selain itu, dikethaui bahwa kedalaman air tanah, curah hujan dan kelembaban tanah ternyata mempengaruhi emisi CO 2 yang dihasilkan di lahan gambut Curah Hujan Curah hujan yaitu jumlah air yang turun pada daerah dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Raingauge.Curah hujan diukur dalam harian, bulanan dan tahunan. Curah hujan yang jatuh di wilayah Indonesia umumnya dipengaruhi oleh bentuk medan atau topografi, arah lereng medan, arah angin yang sejajar dengan garis pantai dan jarak perjalanan angin di atas medan datar. Hujan merupakan peristiwa sampainya air dalam bentuk cair maupun padat yang dicurahkan dari atmosfer ke permukaan bumi Suhu Tanah Suhu tanah merupakan sifat tanah yang sangat penting. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi secara langsung oleh suhu tanah. Suhu tanah berperan dalam mempengaruhi kelembaban tanah, aerasi, struktur, aktivitas mikrobial dan enzimatik, dekomposisi serasah atau sisa tanaman dan ketersediaan hara-hara tanaman. Laju reaksi kimia meningkat dua kali lipat untuk setiap 2

15 kenaikan 10º kenaikan temperatur (Hanafiah KA, 2004). Temperatur tanah ditentukan oleh interaksi sejumlah faktor, dengan dua sumber panas, yaitu radiasi sinar matahari dan langit (dominan), serta konduksi dari interior tanah (sangat sedikit). Faktor-faktor eksternal (lingkungan) yang berperan menyebabkan terjadinya perubahan temperatur tanah yaitu radiasi solar, radiasi dari langit, konduksi panas dari atmosfir, kondensasi, evaporasi, curah hujan, insulasi, serta vegetasi melalui pengaruhnya terhadap transpirasi, refleksi radiasi dan energi yang digunakan untuk fotosintesis. Faktor-faktor internal (tanah) yang menyebabkan terjadinya perubahan temperatur tanah yaitu kapasias thermal, konduktivitas dan difusivitas thermal, aktivitas biologis yang menghasilkan panas, radiasi dari tanah ke atmosfir, struktur, tekstur dan kelembaban tanah, serta garam-garam terlarut (Hanafiah KA, 2004) Kelembaban Tanah Kelembaban mempengaruhi dominasi jenis mikrobia yang aktif dalam proses dekomposisi bahan organik. Bahan umum dominasi bakteri berbanding terbalik dengan fungi. Pada kelembaban tinggi perkembangan dan aktivitas bakteri maksimum, menurun pada kondisi kering (tekanan -3 bar) dan sangat tertekan pada kadar air titik layu permanen (tekanan -15 bar) (Hanafiah KA, 2004). Keadaan Awal (1): Tinggi muka air mendekati permukaan Akumulasi gambut dari tanaman selama ratusan tahun Gambut memiliki kemampuan menahan air sangat baik. Akan tetapi apabila kandungan airnya menurun secara berlebihan akan mengakibatkan kondisi kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kondisi demikian sudah sulit menyerap air kembali, bobotnya sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas-lepas seperti pasir, mudah terbakar dan sulit ditanam kembali (Wetlands, 2008) Kedalaman Air Tanah (Water Table) Air merupakan komponen penting dalam tanah yang dapat menguntungkan dan kadangkala merugikan. Secara garis besar peran air tanah yang menguntungkan yaitu sebagai pelarut dan pembawa ion-ion hara, sarana transportasi dan pendistribusi nutrisi, komponen pemicu pelapuk bahan induk, pelarut dan pemicu reaksi kimiawi, penopang aktivitas mikrobia, pembawa oksigen terlarut ke dalam tanah, serta stabilisator temperatur tanah. Peran air tanah yang merugikan antara lain sebagai pemicu rusaknya tanah seperti erosi, pemicu perubahan horizon, serta pemicu kemiskinan tanah (Hanafiah KA, 2004). Kedalaman air tanah pada lahan gambut berpengaruh dalam peningkatan emisi CO 2. Hal ini dikarenakan apabila gambut menjadi kering maka kemungkinan terjadinya peningkatan emisi CO 2 semakin besar. Untuk lebih mudahnya akan dijelaskan pada Gambar 2 : Penurunan air tanah (2) : Permukaan air menurun Permukaan gambut mengalami pengeringan dan emisi CO 2 dimulai Kelanjutan (3): Dekomposisi gambut kering : emisi CO 2 Resiko kebakaran sangat tinggi pada gambut kering : emisi CO 2 Gambut mengalami penyusutan Keadaan Akhir (4): Banyak karbon gambut di atas batas drainase terlepas ke atmosfir Gambar 2. Ilustrasi emisi CO 2 dari drainase gambut (sumber : Hooijer, 2006) 3

16 2.4 CO 2 Analyzer CO 2 analyzer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur besarnya nilai CO 2. CO 2 analyzer terdiri dari dua bagian yaiu tester dan analyzer. Analyzer merupakan bagian yang dihubungkan langsung dengan plastik sampel (teddler bag) di mana di dalam analyzer terdapat mesin analisis beserta saringan. Tester merupakan alat yang dihubungkan dengan analyzer sehingga tester dapat menunjukkan nilai CO 2 yang diperoleh. Satuan yang digunakan yaitu mv. permukaan tanah, suhu tanah serta kelembaban tanah. BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 hingga Juli Pengambilan data bertempat di Hutan Tanaman Industri (HTI) akasia RAPP Langgam, Riau. Kemudian penelitian dilanjutkan di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu CO 2 analyzer, chamber, digital thermometer, theta probe, plastik sampel penangkap gas CO 2 (teddler bag), pipa untuk pengukuran kedalaman air tanah, meteran, alat tulis beserta seperangkat komputer untuk pengolahan data. Bahan-bahan yang digunakan adalah lahan gambut beserta gas CO Metode Penelitian Pengambilan Data Pengambilan data dilaksanankan setiap bulan selama dua hari. Terdapat enam plot, dimana tiap plot mempunyai dua macam jenis plot yaitu plot Root Cut dan Plot Control. Plot pertama berjarak 100 meter dari pinggir kanal, dilanjutkan plot dua hingga enam dimana setiap plot berjarak kurang lebih 100 meter. Pengukuran yang dilakukan yaitu pengukuran emisi CO 2 dari tanah, kedalaman air tanah, penurunan Gambar 3. Lokasi penelitian di Langgam Pembuatan Plot Tiap plot mempunyai dua tipe tempat pengambilan CO 2, yaitu plot Root Cut dan plot Control. Pengukuran CO 2 dengan respirasi akar diukur pada plot Control sedangkan pengukuran CO 2 tanpa respirasi akar diukur pada plot Root Cut, dengan tujuan untuk mengukur fluks CO 2 dari dekomposisi gambut sehingga dapat diprediksi emisi akar. Plot Control merupakan tempat pengambilan sampel CO 2 dengan panjang 1 meter dan lebar 1 meter. Di pasang tiga tempat dudukan ruang gas sampel yang terbuat dari stainless steel, dudukan chamber ini dipasang permanen sehingga tempat pengambilan CO 2 tidak berubah-ubah. Pembuatan Plot Root Cut hampir sama dengan pembuatan plot Control, yang membedakan antara plot Root Cut dan plot Control yaitu akar di sekeliing Plot Root Cut dipotong kemudian dipasang water permeable sheet di dalam tanah untuk melindungi Plot Root Cut tersebut. 4

17 Control Root Cut Gambar 4. Sketsa Plot Control dan Plot Root Cut Pengukuran CO 2 dari Tanah Pengukuran CO 2 dilakukan dengan menggunakan closed chamber method. Ruang sampel gas atau chamber terbuat dari bahan stainless steel, dimana mempunyai diameter 20 cm dan tinggi 25 cm. Pengambilan sampel gas pertama dlakukan sebelum ruang gas ditutup (0 menit). Pengambilan sampel gas kedua dilakukan 6 menit setelah ruang gas ditutup. Sampel gas dimasukkan ke dalam plastik sampel (teddler bag). Kemudian sampel gas yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan CO 2 analyzer. FluksCO = mgcm h V C 273 = ρ α A t 273+ t Keterangan : ρ : kerapatan gas CO 2 (1.9770*10 6 mg CO 2 /m 3 ) V : H (tinggi ruang contoh gas (m)) A C : perubahan konsentrasi gas (m 3 t m -3 h -1 ) t : suhu rata-rata 12 α : Pengukuran Curah Hujan Pengukuran curah hujan menggunakan alat yang disebut Raingauge. Raingauge dapat mengukur data curah hujan harian. Satuan yang digunakan yaitu mm. Gambar 5. Ruang sampel gas yang digunakan pada closed chamber method (sumber : Hatano R dan Toma Y, 2007) Setelah pencatatan data dari CO 2 analyzer, kemudian dilakukan perhitungan fluks CO 2. Perhitungan fluks CO 2 menggunakan program Microsoft excel yang telah disediakan, yaitu CO 2 fluks calculation. Berikut rumus gas CO 2 (mv) yang dikonversi menjadi fluks gas CO 2 (mgcm -2 h -1 ). Gambar 6. Rain Gauge 5

18 3.3.5 Pengukuran Suhu Tanah Pengukuran suhu tanah dilakukan selama pengukuran gas CO 2, suhu tanah yang diukur yaitu pada kedalaman 10 cm. pengukuran suhu tanah menggunakan thermocouple k-probe (automatic temperature soil). Pengukuran suhu tanah dilakukan sebanyak tiga kali ulangan mengelilingi chamber. pipa, ujung pipa yang dimasukan ditutup. Pipa dipasang permanen sehingga tempat pengukuran tidak berubah-ubah. Pengukuran dilakukan setiap bulan. Pengambilan data kedalaman air tanah dilakukan di setiap plot dengan cara memasukkan selang ke dalam pipa hingga ujung selang menyentuh permukaan air. Kemudian berikan tanda pada selang yang sejajar dengan permukaan pipa. Keluarkan selang dari pipa. Ukur menggunakan meteran dari ujung selang hingga tanda yang sudah diberikan. Hasil yang diperoleh kemudian dikurangkan dengan rata-rata nilai penurunan permukaan tanah. Gambar 7. Pengukuran suhu tanah Pengukuran Kelembaban Tanah Pada setiap plot dilakukan pengukuran kelembaban tanah. Pengukuran ini juga dilakukan selama pengukuran CO 2, kelembaban tanah yang diukur yaitu pada kedalaman 10 cm. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban tanah yaitu theta probe. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan mengelilingi chamber. Gambar 9. Pengukuran water table Pengukuran Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence) Penurunan permukaan tanah dilakukan pada semua plot. Pengukuran penurunan permukaan tanah diukur menggunakan meteran. Pengukuran dilakukan pada pipa water table. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan mengelilingi pipa. Gambar 8. Pengukuran kelembaban tanah Pengukuran Kedalaman air tanah (Water Table) Pengukuran kedalaman air tanah menggunakan selang dan meteran. Pada titik pengambilan data dimasukkan pipa berdiameter 3.5 cm dengan kedalaman 4 meter. Pada sisi pipa dibuat lubang kecil untuk jalur masuknya air, kecilnya lubang membuat tanah tidak dapat masuk ke dalam Gambar 10. Pengukuran subsidence 6

19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fluks CO 2 dari Tanah Gambar 11 dan 12 menunjukkan fluks CO 2 pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel 1 menampilkan ratarata fluks CO 2 tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control. Nilai rata-rata fluks CO 2 pada plot Root Cut berkisar antara hingga mgcm -2 h -1 sedangkan untuk plot Control berkisar antara hingga mgcm -2 h -1. Terdapat nilai rata-rata fluks CO 2 pada plot Root Cut lebih tinggi dibandingkan plot Control (plot 2, 3, dan 4). Ini disebabkan karena adanya perbedaan spasial saat pengambilan data atau kesalahan dalam pembuatan plot Root Cut. PLOT ROOT CUT FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 BULAN Gambar 11. Profil fluks CO 2 plot Root Cut pada September 2008 hingga Juli 2009 PLOT CONTROL FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 BULAN Gambar 12. Profil fluks CO 2 plot Control pada September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 1. Rata-rata dan standar deviasi fluks mgcm -2 h -1 pada plot Root Cut dan plot Control. PLOT RATA-RATA ± STANDAR DEVIASI FLUKS CO 2 (mgcm -2 h -1 ) PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±

20 4.2 Laju Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence) Laju penurunan permukaan tanah terjadi pada semua plot. Nilai penurunan permukaan tanah yang diperoleh berbeda setiap bulannya. Peningkatan nilai penurunan permukaan tanah mulai terjadi dari Oktober 2008 hingga Juli Kisaran rata-rata penurunan unan permukaan tanah antara 0.40 hingga 0.67 cm/bulan. Gambar 13. Penururan permukaan tanah tiap plot pada September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 2. Rata-rata dan standar deviasi penurunan permukaan tanah tiap plot. RATA-RATA PLOT (CM/BULAN) RATA-RATA ± STÁNDAR 0.53 ± 0.10 DEVIASI 4.3 Suhu Tanah Suhu tanah yang diukur pada pengamatan merupakan suhu tanah pada kedalaman 10 cm. Fluktuasi suhu tanah untuk plot Root Cut dan plot Control mempunyai pola yang sama. Suhu tanah meningkat secara perlahan mulai dari Februari 2009 hingga Juli Nilai ratarata suhu tanah terendah diperoleh pada bulan Januari sebesar C untuk plot Root Cut dan C untuk plot Control. Nilai rata-rata suhu tanah tertinggi diperoleh pada bulan Juli sebesar C untuk plot Root Cut dan C untuk plot Control. 8

21 PLOT ROOT CUT SUHU TANAH ( C) S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 BULAN Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 14. Profil suhu tanah kedalaman 10 cm plot Root Cut pada September 2008 hingga Juli 2009 PLOT CONTROL SUHU TANAH ( C) S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 BULAN Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 15. Profil suhu tanah kedalaman 10 cm plot Control pada September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 3. Rata-rata dan standar deviasi suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control. PLOT RATA-RATA ± STANDAR DEVIASI SUHU TANAH PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Kelembaban Tanah Gambar 16 dan 17 disajikan profil kelembaban tanah untuk plot Root Cut dan plot Control. Nilai rata-rata kelembaban tanah tertinggi terjadi pada bulan September 2008 sebesar 51.86% untuk plot Root Cut dan 52.28% untuk plot Control, sedangkan nilai rata-rata kelembaban tanah terendah terjadi pada bulan Juli 2009 dengan nilai sebesar 26.51% untuk plot Root Cut dan 34.10% untuk plot Control. 9

22 PLOT ROOT CUT KELEMBABAN TANAH (%) S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 BULAN Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 16. Profil kelembaban tanah (%) plot Root Cut pada September 2008 hingga Juli 2009 PLOT CONTROL KELEMBABAN TANAH (%) S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 BULAN Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 17. Profil kelembaban tanah (%) plot Control pada September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 4. Rata-rata dan standar deviasi kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control. PLOT RATA-RATA ± STANDAR DEVIASI KELEMBABAN TANAH PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Kedalaman Air Tanah (Water Table) dan Curah Hujan Pada Gambar 18 dapat dilihat curah hujan dan water table dari bulan September 2008 hingga Juli Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September 2008 sebesar 359 mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli 2009 sebesar 56.2 mm. Musim penghujan terjadi pada bulan September yang kemudian curah hujan untuk bulan 10

23 berikutnya semakin menurun. Bulan Mei, Juni dan Juli 2009 mempunyai curah hujan yang sangat rendah sehingga pada saat itu banyak terjadi kebakaran lahan dan hutan gambut. Tiap plot mempunyai fluktuasi pola water table yang hampir sama. Pada bulan September yang merupakan puncak tertinggi curah hujan terjadi, maka diperoleh nilai water table yang sangat rendah pada setiap plot. Bulan Juli water table yang diperoleh sangat tinggi dikarenakan pada saat itu curah hujan yang terjadi sangat rendah. Gambar 18. Pola curah hujan dan profil kedalaman air tanah pada September 2008 hingga Juli Kebutuhan Iklim Akasia Akasia (Acacia crassicarpa) merupakan vegetasi yang tumbuh di lokasi penelitian ini. Acacia crassicarpa umumnya tumbuh di daerah tropik dan subtropik. Akasia dapat tumbuh dengan ketinggian tempat berkisar antara m dpl dan dengan curah hujan tahunan berkisar antara 500 mm (di Australia) hingga 3500 mm (di Papua New Guinea dan Irian). Akasia dapat tumbuh pada rata-rata suhu udara minimum berkisar antara C dan suhu udara maksimum berkisar antara C. Acacia crassicarpa dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Panjang akar akasia dapat mencapai 60 cm, sehingga pengaturan water table pada Hutan Tanaman Industri akasia disarankan tidak kurang dari 60 cm dari permukaan tanah. Tetapi pada pengukuran ditemukan nilai water table melebihi 60 cm dari permukaan tanah pada bulan Juni dan Juli 2009 dimana pada saat itu merupakan musim kemarau dengan curah hujan yang sangat kecil. Hal ini dapat menggangu pertumbuhan dan perkembangan tanaman akasia. 4.7 Curah Hujan dan Kumulatif Subsidence Gambar 19 menunjukkan hubungan antara curah hujan dan kumulatif Subsidence.. Hasil regresi antara kedua faktor tersebut diperoleh nilai (R 2 =0.91 ; p=0.00). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berpengaruh terhadap terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence). Selain itu, adanya kanal-kanal kecil pada lahan juga diperkirakan sebagai penyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. 11

24 Curah Hujan (mm) y = x R² = Kumulatif Subsidence (cm) Gambar 19. Hubungan curah hujan terhadap kumulatif subsidence dari September 2008 hingga Juli Emisi Kumulatif Fluks CO 2 dan Kumulatif Subsidence Pada Gambar 20 dan 21 menyajikan regresi antara emisi kumulatif CO 2 tanah dengan kumulatif subsidence pada plot Root Cut dan plot Control. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5 dimana ternyata kumulatif subsidence mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap kumulatif fluks CO 2 pada tiap plot. Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi, hubungan kumulatif emisi CO 2 dari tanah dengan kumulatif subsidence pengukuran tipe multy positions (Gambar 22) dihasilkan (R 2 =0.86 ; p=0.00) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.84 ; p=0.00) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.92 ; -0.91). Kumulatif subsidence berbanding terbalik terhadap kumulatif CO2. 2 Korelasi negatif menunjukkan bahwa penurunan kumulatif subsidence akan mempengaruhi peningkatan produksi CO 2. Gambar 20. Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli

25 Gambar 21. Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 5. Analisis Regresi emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dan plot Control PLOT PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL 1 y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x y = x y = x ; R 2 = ; R 2 = ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = Gambar 22. Hubungan emisi kumulatif CO 2 tanah terhadap kumulatif subsidence pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position 4.9 Emisi CO 2 dan Curah Hujan Menurut Batjes dan Bridges (1992) dalam Susantie (2008), distribusi periode curah hujan dan suhu dalam setahun menentukan kondisi-kondisi kelembaban tanah dan suhu tanah yang pada akhirnya mempengaruhi fluks CO 2. Analisis regresi antara emisi CO 2 dan curah hujan dapat dilihat pada Tabel 6. Pengukuran multy 13

26 position (Gambar 25) antara emisi CO 2 dari tanah dengan curah hujan berkorelasi pada R 2 =0.50 ( p=0.015) untuk plot Root Cut dan R 2 =0.59 (p=0.004) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.71 ; -0.79). Analisis menunjukkan hubungan yang diperoleh yaitu hubungan negatif dimana seiring meningkatnya curah hujan maka laju emisi CO 2 akan semakin menurun.. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil yang diperoleh Takakai et. al (2007). FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) PLOT ROOT CUT CURAH HUJAN (mm) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 23. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan curah hujan pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli 2009 PLOT CONTROL FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot CURAH HUJAN (mm) Gambar 24. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan curah hujan pada plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 6. Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap curah hujan pada plot Root Cut dan plot Control PLOT PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL Y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 =

27 FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) y = x R 2 = y = x R 2 = CURAH HUJAN (mm) ROOT CUT CONTROL Linear (ROOT CUT) Linear (CONTROL) Gambar 25. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap curah hujan pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position 4.10 Emisi CO 2 dan Suhu Tanah Produksi CO 2 di dalam tanah hampir seluruhnya dipengaruhi oleh respirasi akar dan dekomposisi mikrobia dari bahan organik. Seperti semua reaksi kimia dan biokimia, proses tersebut juga bergantung kepada suhu tanah (Davidson dan Janssens, 2006). Hasil analisis regresi menunjukkan suhu tanah berkorelasi positif terhadap emisi CO 2 pada tiap plot baik plot Root Cut maupun plot Control (Tabel 7). Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi, hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan suhu tanah pengukuran tipe multy positions (Gambar 28) dihasilkan (R 2 =0.51 ; p=0.010) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.35 ; p=0.026) untuk plot Control, dengan nilai korelasi positif masing-masing (0.73 ; 0.66). Semakin tinggi suhu tanah maka emisi CO 2 yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Boone et.al (1998) dan Schindlbacher et al ( 2009). PLOT ROOT CUT FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) SUHU TANAH ( C) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 26. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan suhu tanah pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli

28 PLOT CONTROL FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) SUHU TANAH ( C) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 27. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan suhu tanah pada plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 7. Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control PLOT PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e 0.173x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = y = e x ; R 2 = FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) y = 3.94e x R 2 = SUHU TANAH ( C) y = e x R 2 = ROOT CUT CONTROL Expon. (ROOT CUT) Expon. (CONTROL) Gambar 28. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap suhu tanah pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position 4.11 Emisi CO 2 dan Kelembaban Tanah Meningkatnya kelembaban tanah menyebabkan proses terjadinya fluks karbondioksida terhambat karena kondisi yang lembab menyebabkan bakteri aerob yang merombak bahan organik menjadi tidak aktif karena oksigen yang diperlukan kurang (Runting, 2006 dalam Susantie, 2008). Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi, hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan kelembaban tanah pengukuran tipe multy positions (Gambar 31) dihasilkan (R 2 =0.45 ; p=0.023) untuk plot Root Cut dan 16

29 (R 2 =0.39 ; p=0.039) untuk plot Control, dengan nilai korelasi positif masing-masing (-0.67 ; -0.63). Korelasi negatif yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kelembaban tanah maka diikuti penurunan laju emisi CO 2 dari tanah. PLOT ROOT CUT FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) KELEMBABAN TANAH (%) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 29. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan kelembaban tanah pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli PLOT CONTROL FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) KELEMBABAN TANAH (%) Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Gambar 30. Hubungan emisi CO 2 tanah dengan kelembaban tanah pada plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 8. Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control PLOT PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL Y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 =

30 FLUKS CO2 (mgcm -2 h -1 ) y = x R 2 = y = x R 2 = KELEMBABAN TANAH (%) ROOT CUT CONTROL Linear (ROOT CUT) Linear (CONTROL) Gambar 31. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap kelembaban tanah pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position 4.12 Emisi CO 2 dan Kedalaman Air Tanah Menurut Moore dan Knowles (1989) dalam Orahami (2008), posisi air tanah yang berkaitan dengan zona anaerobik dan aerobik sangat mempengaruhi emisi CO 2 dari lahan gambut, sehingga fluks CO 2 dari permukaan tanah akan lebih tinggi pada saat kedalaman air tanah lebih dalam (jauh dari permukaan tanah). Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi, hubungan laju emisi CO 2 dari tanah dengan water table pengukuran tipe multy positions (Gambar 34) dihasilkan (R 2 =0.36 ; p=0.050) untuk plot Root Cut dan (R 2 =0.43 ; p=0.028) untuk plot Control, dengan nilai korelasi negatif masing-masing (-0.60 ; -0.66). Korelasi yang diperoleh merupakan korelasi negatif dimana seiring meningkatnya menurunnya water table maka diikuti peningkatan laju emisi CO 2 dari tanah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furukawa et al (2005). Hasil regresi yang diperoleh menunjukan bahwa setiap terjadinyanya kenaikan water table sebesar 1 cm maka akan terjadi peningkatan produksi CO 2 sebesar mgcm -2 h -1 untuk plot Root Cut dan mgcm -2 h -1 untuk plot Control. Gambar 32. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dari September 2008 hingga Juli

31 Gambar 33. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 Tabel 9. Analisis Regresi emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dan plot Control PLOT ROOT CUT CONTROL y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = y = x ; R 2 = Gambar 34. Hubungan emisi CO 2 tanah terhadap water table pada plot Root Cut dan plot Control dari September 2008 hingga Juli 2009 pengukuran multy position 4.12 Perbandingan Emisi CO 2 Pada penelitian ini diperoleh emisi CO 2 dengan nilai pada plot Root Cut berkisar antara hingga mgcm -2 h -1 dengan laju emisi CO 2 rata-rata sebesar mgcm -2 h -1 sedangkan untuk plot Control berkisar antara hingga mgcm -2 h -1 dengan laju emisi CO 2 rata-rata sebesar mgcm -2 h -1. Hasil 19

32 penelitian Irawan (2008) diperoleh CO 2 sebesar mgco 2 m -2 h -1 atau mgcm -2 h -1 dari permukaan tanah mineral Babahaleka. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini maka emisi pada tanah Babahaleka sangat kecil dibandingkan dengan kisaran laju emisi CO 2 rata-rata pada plot Root Cut dan Plot Control. Penelitian Melling et. al. (2004) diperoleh emisi CO 2 dengan nilai antara 46 hingga 335 mgcm -2 h -1 dengan laju emisi CO 2 rata-rata sebesar mgcm -2 h -1 pada lahan gambut yang difungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit, pada ekosistem sago diperoleh nilai emisi CO 2 antara 62.5 hingga mgcm -2 h -1 dengan nilai laju emisi CO 2 rata-rata sebesar mgcm - 2 h -1 dan pada ekosistem hutan diperoleh nilai emisi CO 2 antara 100 hingga mgcm - 2 h -1 dengan nilai laju emisi CO 2 rata-rata sebesar mgcm -2 h -1. Hasil penelitian kali ini mempunyai laju nilai rata-rata yang lebih besar dibandingkan pada ekosistem kelapa sawit dan sago (Melling, 2004), sedangkan nilai emisi CO 2 pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan pada nilai emisi CO 2 pada ekosistem hutan baik itu pada plot Root Cut maupun Control. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kumulatif CO 2 yang dikeluarkan dari tanah pada September 2008 hingga Juli 2009 sebesar mgcm -2 h -1 untuk plot Root Cut dan mgcm -2 h -1 untuk plot Control. Faktor-faktor yang diukur seperti suhu tanah, curah hujan, subsidence, water table, serta kelembaban tanah mempunyai pengaruh terhadap produksi CO 2. Suhu tanah berkorelasi positif terhadap produksi CO 2, sedangkan curah hujan, water table, subsidence dan kelembaban tanah berkorelasi negatif terhadap produksi CO Saran Untuk penelitian lebih lanjut disarankan agar jumlah plot pengambilan data diperbanyak serta intenistas pengambilan data selama sebulan ditingkatkan. Selain itu, sebaiknya perlu dilakukan pengamatan terhadap faktorfaktor lain yang mempengaruhi produksi CO 2 seperti bahan organik dan populasi mikroba dalam tanah. Pengukuran terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akasia juga perlu dilakukan. Pengukuran daya serap CO 2 yang diperlukan akasia selama masa pengamatan, sehingga dapat diketahui berapa jumlah nyata CO 2 yang keluar ke atmosfer dari lahan gambut. DAFTAR PUSTAKA Boone R. D., Nadelhoffer K. J., Canary J. D. dan Kaye J. P Roots Exert a Strong Influence on the Temperature Sensitivity of Soil Respiration. Davidson dan Jansen Temperature Sensitivity of Soils Carbon Decomposition and Feedbacks to Climate Change. Nature Publishing Group, vol 440, 9 Maret Furukawa Y., Inubushi K., Ali M., Itang A. M. dantsuruta H Effect of Changing Groundwater Levels caused by Land-use Changes on Greenhouse Gas Fluxes from Tropical Peatland Hanafiah Kemas A Dasar-Dasar Ilmu tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hatano R. dan Toma Y Effect of Crop Residu C:N Ratio on N2O Emissions from GrayLowland Soil in Mikasa Hokkaido Japan, Soils Science and Plant Nutrition (2007) 53, Holden, J Peatland Hydrology and Carbon Release:Why Small-scale Process Matters. University of Leeds, UK. Hooijer A., Silvius M., Wosten H. dan Page Assessment of CO2 Emission from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics. Irawan, A Hubungan Iklim Mikro dan Bahan Organik Tanah dengan Emisi CO2 dari Permukaan Tanah. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jauhiainen, J., Limin, S. dan Vasander, H Safeguard the Tropical Peat Carbon. CIMTROP 20

33 Melling L., Takakai F., Toma Y., Morishita., Darung U., Goh K. J. dan Hatano R Effect of Drainage and Landuse on Soil CO2 Flux in Deep Tropical Peat Swamps of Borneo. International Symposium and Workshop on Tropical Peatland Kuching. Meilling L., Hatano R. dan Goh K.J Soil CO 2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus (2005), 57B, Wetlands International Hilangnya Lahan Gambut Memacu Perubahan Iklim. Wikipedia Siklus Karbon. [ 8 April 2008]. WWF, Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO 2 Emission in Riau, Sumatra, Indonesia. Orahami M., Studi Emsisi Karbondioksida (CO 2 ) dan Faktorfaktor yang Mempengaruhinya pada Lahan Gambut Pedalaman Kalampangan. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Palangka Raya. Project FireFight South East Asia (PFFSEA), Membakar Lahan Gambut sama artinya dengan Membuat Polusi Asap. Burning Issues. Schindlbacher A., Boltenstern S. Z. dan Jandl R Carbon Losses due to Soil Warming: Do Autotrophic and Heterotrophic Soil Respiration Respond Equally?. Global Change Biology, 15, , Sitorus, B Alternatif Kebijakan bagi Pemecahan Masalah Tanah Gambut. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU. Sumatra Utara. Susantie Fluks Gas Karbondioksida pada Tipe Penggunaan Lahan sebagai Hutan, Lahan Bekas Hutan dan Lahan Bekas Semak. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Palangka Raya. Takakai F Contribution of Organic Matter Decomposition and Root Respiration to CO2 Emssions from Cultivated Tropical Peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Eight Conference of the East and Southeast Asian Federation of Soil Science (ESAFS 8), October 22-25, Tsukuba, Japan. 21

34 Bulan Tabel lampiran 2. Fluks CO 2 tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli 2009 FLUKS CO 2 PLOT CONTROL Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Bulan Tabel lampiran 1. Fluks CO 2 tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli 2009 FLUKS CO 2 PLOT RATA- ROOT CUT Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 RATA S O N D J F M A M J J RATA-RATA RATA- RATA S O N D J F M A M J J RATA-RATA Tabel lampiran 3. Kumulatif fluks CO 2 pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli 2009 KUMULATIF CO 2 PLOT RATA- ROOT CUT Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 RATA S O N D J F M A M J J Bulan 22

35 Tabel lampiran 4. Kumulatif fluks CO 2 pada Control dari September 2008 hingga Juli 2009 KUMULATIF CO 2 PLOT CONTROL Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Bulan RATA- RATA S O N D J F M A M J J Bulan Tabel lampiran 5. Kumulatif subsidence dari September 2008 hingga Juli 2009 KUMULATIF PLOT RATA- SUBSIDENCE Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 RATA S O N D J F M A M J J RATA-RATA Tabel lampiran 6. Suhu tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli 2009 SUHU TANAH PLOT RATA- ROOT CUT Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 RATA S O N D J F M A M J J Bulan 23

36 Tabel lampiran 7. Suhu tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli 2009 SUHU TANAH PLOT CONTROL Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Bulan RATA- RATA S O N D J F M A M J J Bulan Tabel lampiran 9. Kelembaban tanah pada Control dari September 2008 hingga Juli 2009 KELEMBABAN PLOT TANAH CONTROL Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Bulan Tabel lampiran 8. Kelembaban tanah pada Root Cut dari September 2008 hingga Juli 2009 KELEMBABAN PLOT TANAH ROOT CUT Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 RATA- RATA S O N D J F M A M J J RATA- RATA S O N D J F M A M J J

37 Tabel lampiran 10. Penurunan muka air tanah dari September 2008 hingga Juli 2009 WATER TABLE PLOT Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 S O N D J F M A M J J Bulan Tabel lampiran 11. Curah hujan dari September 2008 hingga Juli 2009 BULAN S-08 O-08 N-08 D-08 J-09 F-09 M-09 A-09 M-09 J-09 J-09 CURAH HUJAN

38 Gambar lampiran 12. Peralatan yang digunakan selama pengukuran dan analisis CO 2 analyzer Soda lime K-probe Theta Probe 26

39 Gambar lampiran 13. Dokumentasi selama pengamatan Persiapan pengambilan sample CO 2 Pengambilan sample CO 2 (0 menit) Persiapan pengambilan sample CO2 (6 menit) Pengukuran Suhu Tanah 27

40 Gambar lampiran 14. Peta lokasi penelitian citra satelit 28

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fluks CO dari Tanah Gambar dan menunjukkan fluks CO pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel menampilkan ratarata fluks CO tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan Juni 2011. Lokasi penelitian terletak di Desa Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Suhu berkorelasi positif dengan radiasi mata hari Suhu: tanah maupun udara disekitar

Lebih terperinci

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

For optimum plant growth

For optimum plant growth Dasar-dasar Ilmu Tanah Udara dan Temperatur Tanah SOIL COMPONENTS For optimum plant growth Air 25 % Water 25 % Mineral 45% organic 5% Representative, medium-textured surface soil (by volume) 1. Aerasi

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya SIKLUS OKSIGEN Pengertian, Tahap, dan Peranannya Apa yang terbesit dalam pikiran anda bila mendengar kata oksigen? Seperti yang kita tahu, oksigen bagian dari hidup kita yang sangat kita butuhkan keberadaannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI

DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH IFA SARI MARYANI DAMPAK PENAMBANGAN PASIR PADA LAHAN HUTAN ALAM TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI TANAH (Studi Kasus Di Pulau Sebaik Kabupaten Karimun Kepulauan Riau) IFA SARI MARYANI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 F. Iklim 2.9. Kondisi Iklim di Provinsi DKI Jakarta Dengan adanya perubahan iklim menyebabkan hujan ekstrem di Ibu Kota berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air, dimana tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari 1 I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari luas tersebut merupakan gambut subtropika dan sisanya merupakan gambut tropika (Page et al., 2008;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Secara alami CO 2 mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan makhluk hidup. Tumbuhan sebagai salah satu makhluk hidup di bumi memerlukan makanannya untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 1. Penanaman pohon bakau di pinggir pantai berguna untuk mencegah.. Abrasi Erosi Banjir Tanah longsor Jawaban a Sudah

Lebih terperinci

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Penebangan hutan yang liar mengurangi fungsi hutan sebagai penahan air. Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir dan erosi. Akibat

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI PRINSIP DAN KONSEP ENERGI DALAM SISTEM EKOLOGI 1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI ENERGI DALAM EKOSISTEM Hukum thermodinamika I energi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN XIV: EKOSISTEM DAN BIOLOGI KONSERVASI Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 EKOSISTEM Topik Bahasan: Aliran energi dan siklus materi Struktur trofik (trophic level) Rantai makanan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENAKAR HUJAN DI BERBAGAI KETINGGIAN POSISI PEMASANGAN DAN UKURAN DIAMETER MULUT PENAMPANG FITRI YASMIN

PERBANDINGAN PENAKAR HUJAN DI BERBAGAI KETINGGIAN POSISI PEMASANGAN DAN UKURAN DIAMETER MULUT PENAMPANG FITRI YASMIN PERBANDINGAN PENAKAR HUJAN DI BERBAGAI KETINGGIAN POSISI PEMASANGAN DAN UKURAN DIAMETER MULUT PENAMPANG FITRI YASMIN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT Pendahuluan Dewasa ini lahan gambut merupakan lahan alternatif yang digunakan sebagai media untuk melakukan aktivitas di bidang pertanian. Mengingat lahan pertanian

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisme Tanah dan Bahan Organik Tanah merupakan habitat kompleks untuk organisme. Di dalam tanah hidup berbagai jenis organisme yang dapat dibedakan menjadi jenis hewan (fauna)

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN ADI BUDI YULIANTO F14104065 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA

KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA Skripsi KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA ( Euphorbia phulcherrima) DENGAN SISTEM HIDROPONIK DI PT SAUNG MIRWAN BOGOR Oleh: LENI ANDRIANI F14103028 2007 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

Global Warming. Kelompok 10

Global Warming. Kelompok 10 Global Warming Kelompok 10 Apa itu Global Warming Global warming adalah fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (green house effect) yang disebabkan

Lebih terperinci

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Taryono Darusman 1, Asep Mulyana 2 dan Rachmat Budiono 3 Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA

4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA 4.DAUR BIOGEOKIMIA 4.1 PENGERTIAN DAUR BIOGEOKIMIA Dalam lingkungan, unsur-unsur kimia termasuk juga unsur protoplasma yang penting akan beredar di biosfer mengikuti jalur tertentu yaitu dari lingkungan

Lebih terperinci