AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MUSTAFA SABRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MUSTAFA SABRI"

Transkripsi

1 AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MUSTAFA SABRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 17 Februari 2011 Mustafa Sabri NRP. B

3 ii

4 ABSTRACT Mustafa Sabri. The Activity of Ethanol-extract of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) as an Antiosteoporosis on Female Rats (Rattus norvegicus). Under the supervision of Nurhidayat as chairman, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, and Bambang Pontjo Priosoeryanto as members of the Supervisory Committee. Osteoporosis relates to characteristic and microscopic structural changes of bones. An experiment was conducted to study the effect of sipatah-patah extract (ESP) on the prevention and treatment of osteoporosis. In this study, forty female rats were divided into two groups: nonovariectomized group (NOV group) (20 rats) used to study the ability of ESP in preventing osteoporosis and ovariectomized group (OV group) (20 rats) used to study the effect of ESP in treating osteoporosis. Nonovariectomized (NOV) and OV rats were adapted for 10 days before treatment. Nonovariectomized group was divided into five groups: control group (NOV-0) and groups given ESP at the age of 30 days (NOV-1), 60 days (NOV-2), 90 days (NOV-3), and 120 days (NOV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. Ovariectomized group was also divided into five groups: sham group (OV-0) consisted of rats that only sliced skin without ovariectomy and ESP administration, control group was ovarietomized group without ESP administration (OV-1), and ovariectomized groups given ESP at the age of 90 days (OV-2), 120 days (OV-3), and 150 days (OV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. All treatments were within 180 days period. Weighing was done every 15 days (twice a month), and blood samples were drawn every 30 days via coccygeal vein approximately 2 ml for analizing calcium and phosphate concentrations. At the end of treatment, rats were euthanized and, subsequently, radiography examination was done to observe bone mass. Then, necropsy was done to observe the histology of bone, liver, kidney, and parathyroid gland. Right tibio-fibula bones, kidney, liver, and parathyroid were sampled and fixated using Buffered Neutral Formalin 10%. Furthermore, left radio-ulna bones and lumbar vertebrae II-V bones were taken to analyze the calcium and phosphorous bone concentrations. The kidney, liver, and parathyroid gland tissues were stained using hematoxylin-eosin (HE) (Humason 1967) to observe the toxicity effect of ESP. The bones were stained with HE to count the osteoblast and the osteoclast, and also stained with Masson Trichrome staining (Kiernan 1990) to observe the trabecular changes. The result showed that ESP administration for 150 days in nonovariectomized rats (NOV-1) optimized calcium and phosphate concentrations, solid trabeculae, and had an effect on increasing the active osteoblast without toxic effects on the liver and kidney. Meanwhile, ESP administration on ovariectomized rats for 120 days (OV-2) was able to maintain calcium and phosphate homeostasis, improved the density and solidity of microscopic image of trabecular bone, and histological examination showed that ESP inhibited the formation of the osteoclast. Both observations showed no toxicity effect on liver and kidney. Keywords: Cissus quadrangula Salisb, osteoporosis, ovariectomy, bone trabeculae, osteoblast, osteoclast iii

5 iv

6 RINGKASAN MUSTAFA SABRI. Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus). Di bawah bimbingan Nurhidayat sebagai ketua, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, dan Bambang Pontjo Priosoeryanto masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Osteoporosis pada wanita lanjut usia sulit disembuhkan secara sempurna. Berbagai risiko dapat timbul akibat terapi hormonal sintetis, sehingga usaha pengobatan osteoporosis dialihkan kepada pemberian kalsium dan fosfor dalam makanan disertai dengan peningkatan aktivitas fisik serta penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat di Aceh untuk mengobati fraktur tulang dan sakit sendi adalah sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang khasiat sipatah-patah pada tikus masa pertumbuhan (prepubertas) untuk mencegah kejadian osteoporosis pada masa tua dan mengobati tikus osteoporosis yang diinduksi melalui ovariektomi. Dalam pelaksanaan penelitian ini batang tanaman sipatah-patah diekstraksi dengan etanol sehingga diperoleh ekstrak etanol batang sipatah-patah (ESP). Penelitian ini menggunakan 40 ekor tikus betina galur Spraque Dawley umur 20 hari yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 20 ekor. Tikustikus penelitian ini diadaptasikan di dalam kandang selama 10 hari. Kelompok pertama nonovariektomi (NOV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mencegah osteoporosis, sedangkan 20 ekor lainnya diovariektomi pada umur 50 hari (OV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mengobati osteoporosis. Tikus kelompok NOV dibagi menjadi lima grup masing-masing empat ekor tikus, yang terdiri atas grup kontrol (NOV-0) tanpa ESP, sedang empat grup lainnya masing-masing diberi ESP mulai umur 30 hari (NOV-1), 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Tikus kelompok OV juga dibagi menjadi lima grup yaitu dua grup kontrol OV-0 (sham) dan kontrol OV-1 (osteoporosis), keduanya tidak diberi ESP. Tiga grup lainnya adalah tikus ovariektomi yang diberi ESP masing-masing mulai umur 90 hari (OV-2), 120 hari (OV-3), dan 150 hari (OV-4). Masa penyembuhan luka operasi tikus ovariektomi dilakukan selama sepuluh hari. Dosis ESP adalah 750 mg/kgbb/24 jam/per oral. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 15 hari, dan pengambilan darah setiap 30 hari. Semua tikus NOV dieutanasi pada umur 180 hari sedangkan tikus OV pada umur 210 hari. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografi untuk menganalisis kondisi tulang. Sementara itu tulang radius-ulna kiri serta tulang vertebra lumbalis II-V diambil untuk analisis kadar kalsium dan fosfor. Dilakukan pula pengukuran panjang tulang femur. Sayatan tulang tibia-fibula diwarnai dengan Hematosilineosin (HE) dan Masson trichrome (MT) untuk menganalisis densitas osteoblas dan osteoklas, serta kepadatan trabekula tulang. Dari hasil analisis fitokimia sipatah-patah dengan metoda Gas Chromatografi-Mass Spectrophotometry (GC-MS) didapatkan unsur kalsium 4,33 %, fosfor 0,37 %, dan tujuh senyawa fitoestrogen sebesar 65,31 area % dari seluruh senyawa fitokimia yang ada. Hasil penelitian kelompok NOV menunjukkan bahwa tikus perlakuan yang diberi ESP berbagai rentang waktu pemberian mempunyai bobot badan yang lebih berat dibandingkan tikus kontrol (P<0,05). Tikus NOV-1 memiliki bobot badan % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol, diikuti tikus NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 masing-masing sebesar 16,40 %, 17,01 %, dan 9,76 %. Hal ini mengindikasikan bahwa ESP berpengaruh nyata pada pertambahan bobot badan dibanding tikus kontrol. v

7 Selain itu, perbedaan panjang tulang femur tikus NOV-1 sebesar 10,76 %, yang diikuti NOV-2 3,17 %, NOV-3 2,47 %, dan NOV-4 1,84 % lebih panjang dibanding kontrol (P<0,05). Hal ini menandakan bahwa ukuran kerangka tubuh semakin besar dan disertai peningkatan bobot badan. Dari hasil pemeriksaan kadar kalsium darah tikus NOV-1 menunjukkan peningkatan dibandingkan pada tikus NOV-0 yang justru menurun. Peningkatan kadar kalsium tikus NOV-1 pada akhir perlakuan meningkat sebesar 4,49% yang dikuti NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 masing-masing 4,92%, 4,89% dan 0,26% dibanding tikus kontrol (P <0,05). Peningkatan kadar kalsium darah tertinggi selama masa pemberian ESP ditunjukkan tikus NOV-2 dan NOV-3, pada tikus tersebut masing dalam periode peningkatan. Pada tikus NOV-1 kadar kalsium sudah mencapai level optimum sehingga pemberian ESP secara terus menerus tidak meningkat, melainkan dideposit ke dalam tulang atau kelebihan kalsium diekskresikan melalui ginjal, oleh mekanisme homeostasis. Pada tikus NOV-4 diduga karena rentang waktu pemberian ESP terlalu singkat untuk dapat meningkatkan kadar kalsium darah. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium darah, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfor darah, karena kemungkinan kadar fosfor dalam darah sudah berada dalam level optimum. Pada gambaran mikroskopis sayatan memanjang tulang tibia masih ditemukan adanya sasaran epifisis disertai adanya sel-sel kondrosit yang sedang berproliferasi dan proses osifikasi pada trabekula. Hal ini menunjukkan bahwa tikus ini masih dalam masa pertumbuhan dan belum mencapai dewasa tubuh. Pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus dengan pewarnaan MT, tikus NOV-1 memiliki gambaran sasaran epifisis, substansia kompakta, dan trabekula dengan warna biru lebih pekat dibandingkan pada tikus NOV-0. Hal ini menandakan bahwa proses osifikasi sedang berlangsung. Di samping itu, pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus juga ditemukan osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus NOV-0, maupun tikus perlakuan lainnya. Sementara itu aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan ditemukan pada substansia spongiosa bagian sentral, dibandingkan dengan bagian tepi, sebagai akibat tenaga tarik oleh tendo dan ligamentum yang bertaut di bagian tepi metafisis tulang tersebut. Pembuluh darah juga banyak ditemukan di daerah metafisis yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang untuk sarana transportasi hasil metabolisme tulang. Walaupun analisis terhadap kadar kalsium dan fosfor tulang tikus perlakuan memberikan hasil yang sama dengan tikus kontrol (P>0,05), kerangka tubuh tikus-tikus perlakuan lebih besar dibandingkan tikus kontrol, sehingga kadar kalsium total tulang perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan pada tikus kontrol. Kondisi ini dapat dilihat dari gambaran radiografi tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 150, 120, dan 90 hari menunjukkan densitas yang lebih radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus NOV-0. Dengan demikian, pemberian ESP di awal dan lama waktu pemberian ESP diduga berperan dalam peningkatan pertumbuhan bobot badan, ukuran tulang femur, kalsium dan fosfor, osteoblas aktif yang meningkat dan menekan keberadaan osteoklas sehingga terjadi perbaikan kualitas tulang yang ditunjukkan dengan kepadatan trabekula tulang yang meningkat. Dalam penelitian kelompok OV, tikus umur 50 hari diovariektomi untuk membuat tikus dalam kondisi kekurangan hormon estrogen, sehingga tikus tersebut memiliki kondisi hormonal mirip dengan wanita pascamenopause. Hasil penelitian kelompok ini menunjukkan bahwa tikus ovariektomi (OV-1, OV-2, OV-3 dan OV-4) memiliki bobot badan yang lebih berat dibandingkan pada tikus OV-0 (P<0,05). Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3 dan OV-4) terjadi vi

8 peningkatan bobot badan sejalan dengan lamanya waktu pemberian ESP dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1) (P<0,05). Bobot badan OV-2 meningkat sebesar 26,13 g (16,99 %) yang diikuti oleh OV-3 dan OV-4 masing-masing sebesar 20,43 g (13,28 %) dan 17,85 g (11,6 %) dibandingkan pada tikus OV-1. Sementara itu tikus ovariektomi yang diberi ESP secara umum mengalami pertambahan panjang tulang femur. Panjang tulang femur tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 di akhir penelitian masing-masing lebih panjang 4,11 %, 3,70 %, dan 2,12 % dibandingkan pada tikus OV-1 (P<0,05). Dengan demikian nutrisi yang terkandung dalam ESP yaitu kalsium, fosfor, dan fitoestrogen secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tulang dan secara tidak langsung dapat meningkatkan bobot badan akibat peningkatan pertumbuhan tulang. Kadar kalsium darah pada tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 meningkat selama masa pemberian ESP, walaupun pada akhir perlakuan kadar kalsium tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 tidak setinggi kadar kalsium tikus sham (P>0,05) tetapi lebih tinggi dari OV-1 (P<0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian ESP dapat meningkatkan kadar kalsium darah pada tikus ovariektomi walaupun tidak setinggi pada tikus sham. Kondisi yang sama juga ditemukan pada kadar fosfor darah yang diberi ESP meningkat sejalan dengan lama pemberian ESP dibandingkan dengan tikus OV-1, walaupun belum dapat menyamai kadar fosfor pada tikus sham. Keadaan yang sama juga ditemukan pada kadar kalsium tulang. Pada tikus OV-2 peningkatan kadar kalsium tulang adalah sebesar 2,68 % dibandingkan pada tikus OV-1 yang diikuti OV-3 dan OV-4 masingmasing sebesar 2,32 % dan 1.97 % (P<0,05), walaupun kadar kalsium tulang tikus ovariektomi yang diberi ESP tidak setinggi pada tikus sham. Pola yang mirip ditemukan juga pada kadar fosfor. Peningkatan kadar fosfor tulang OV-2 sebesar 0,25 %, yang dikuti OV-3 dan OV-4 masing-masing 0,14 % dan 0,24 % dibandingkan pada tikus OV-1. Pada gambaran radiografi, tulang tibia tikus OV-2 terlihat lebih radiopaque dibandingkan tikus OV-1, gambaran tingkat kepadatan tulang ini dikuti oleh tikus OV-3 dan OV-4. Walau demikian gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan densitas yang lebih radiolucent dibandingkan pada tikus sham. Sementara itu, pada tikus OV-2 densitas osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus OV-1 dan tikus perlakuan lainnya. Dengan demikian, ESP memengaruhi homeostasis kalsium dan fosfor darah. Hal ini terlihat pada peningkatan kadar kalsium tikus OV-2 yang meningkat pada level optimal walaupun produksi estrogen diduga sangat menurun. Waktu pemberian ESP yang lebih lama mampu mensubstitusi defisiensi kadar kalsium, fosfor, dan estrogen akibat ovariektomi. Tikus OV-2 menunjukkan densitas trabekula yang lebih rapat dibandingkan pada tikus OV-1 maupun pada tikus OV-3 dan OV-4. Pemberian ESP yang lebih lama pada tikus OV-2 dapat mengurangi kehilangan massa tulang yang ditunjukkan dengan mikrostruktur trabekula yang lebih rapat, dan juga mengurangi aktivitas osteoklas serta merangsang osteoblas dalam pembentukan massa tulang dibandingkan dengan tikus OV-1. Efek ini diduga erat hubungannya dengan interaksi fitoestrogen dalam ESP dengan reseptor estrogen alpha atau beta (ER-α, ER-β) pada osteoblas seperti halnya aktivitas estrogen endogen pada osteoblas. Dengan demikian pemberian ESP asal Aceh dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina nonovariektomi prepubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi dengan cara mempertahankan kadar kalsium darah, peningkatan densitas osteoblas aktif, dan penurunan densitas osteoklas sehingga terjadi peningkatan kepadatan trabekula tulang. Keywords: Cissus quadrangula Salisb, osteoporosis, ovariektomi, trabekula tulang, osteoblas, osteoklas vii

9 Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB viii

10 AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MUSTAFA SABRI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ix

11 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Nastiti Kusumorini (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor) 2. Dr. drh. Chairun Nisa, MSi, PAVet (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Drh. Yulvian Sani, Ph.D. (Kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) Kementerian Pertanian Republik Indonesia di Bogor) 2. Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor) x

12 Judul Penelitian : Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus) Nama : Mustafa Sabri NIM : B Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet Ketua Prof. Dr. drh. Koeswinarning Sigit, MS Anggota Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Anggota Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet Anggota Mengetahui: Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 17 Februari 2011 Tanggal Lulus: xi

13 xii

14 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al Qu ran yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulilah atas rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus). Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr.drh. Koeswinarning Sigit, MS, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, dan Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, APVet masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala atas izinnya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor, pada Program Studi Sains Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Laboratorium Riset Anatomi AFF FKH-IPB, Laboratorium Patologi KRP-FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi penulis mengucapkan terima kasih atas pemberian dana dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Program Sandwich, dan Program Hibah Doktor. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemerintah Aceh Darussalam atas Beasiswa NAD selama tiga tahun mengikuti pendidikan S3 di IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. drh. Heru Setijanto, PAVet (K), Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet (K), Dr. drh. Chairun Nisa, MSi, PAVet, Dr. drh. Savitri Novelina, MSi, PAVet, drh. Supratikno, MSi, PAVet, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan mahasiswa seangkatan yang setia dan penuh pengorbanan Dr. drh. I Nyoman Suarsana, MSi (FKH-UNUD), Dr. Ir. Najamuddin, MSi, (Universitas Tadulako), Dr. Muharram Saipulloh, SSi, MSc, drh. Sutiastuti, MSi. (BALIVET), Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina Jakarta), Dr. drh. Ni Ketut Natih Karuni, MSi. (BPMSOH), drh. Sri Wahyuni, MSi, Harry, SSi, drh. Mawar Subangkit, drh. Faisal, drh. Siti Asyiah, yang dengan setia menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Penghargaan yang setulusnya disampaikan juga kepada orang tua Ayahanda H.Yacub Hasan, SH. (Alm) ibunda Hj. Sawiyah Puteh dan ibu mertua xiii

15 Hj. Katidjah Main atas kasih sayang dan doa restunya, dan juga kepada kakak Maryani, SPd, Dra Nuraini, Ir. Drs. Hasan Basri, SpI. MSi, MT, Sofiati, SPd, Nurlaili, SH, SP, Rahmad Fadli, SE, MSi, dan adik Fauzi Helmi, ST, MT, Bambang Yusri, ST, MT, Yeni Yusraini, SP, MP, atas doanya serta kepada istri yang tercinta Safrida Afriana, ST, MSc, ananda Alya Kurnila Ramazani, atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan dorongannya yang telah mengantar penulis hingga dapat menyelesaikan studi S-3 saya. Terima kasih kepada Ibu Nurtamani, Mas Bayu, Pak Holid, Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Ngdang, Mas Koko yang sangat banyak membantu selama penelitian berlangsung, juga Pak Hasanuddin, Pak Sayuti, Pak Ali, dan kawankawan di FORKUB dan IKAMAPA Universitas Syiah Kuala di Bogor serta kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerja samanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan semoga Allah SWT memberi rahmat bagi kita semua. Amin Bogor, 17 Februari 2011 Penulis xiv

16 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sigli pada tanggal 10 April 1969 sebagai putera ketujuh (dari sepuluh bersaudara) dari pasangan H.Yacub Hasan, SH (Alm) dan Hj. Sawiyah Puteh. Penulis diterima pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala melalui SIPENMARU pada tahun 1988, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1994 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan memperoleh gelar Magister Pertanian pada tahun Kesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang program Doktor pada program Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 yang dibiayai oleh BPPS, Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap di Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Selama mengikuti program S-3, penulis telah menghasilkan beberapa artikel. Artikel yang sudah diterbitkan dengan judul: Analysis of Phytochemical and Mineral Content of Sipatah-patah Plant (Cissus quandrangula Salisb) from Aceh as Osteoporosis Premedication pada Jurnal Rona Lingkungan Volume 1, No 2, September Artikel lain yang akan diterbitkan berjudul: Kualitas Tulang Tikus Betina Normal yang diberi Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) pada Masa Pertumbuhan pada Jurnal Veteriner (In press). Adapun artikel dengan judul: The Effect of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Extract Administration on Quality of Bone Growth in Normal Growing Female Rats telah diterbitkan pada The First Congress of South East Asia Veterinary School Association (SEAVSA) di Bogor, Indonesia, Juli, 2010 dan The Effect of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) on Increasing Bone Cell and Osteoblastogenesis on Rats During Growth Period yang diterbitkan pada kumpulan abstrak di Pertemuan Ilmiah Nasional Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Jakarta November Karya-karya ilmiah tersebut merupakan tugas yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan pada program S-3, di Sekolah Pascasarjana IPB. xv

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xvi DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... xix DAFTAR LAMPIRAN... xxi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Struktur Tulang Komposisi Tulang Metabolisme Tulang Modeling dan Remodeling Tulang Osteoporosis Kalsium Fosfor Vitamin D Hormon Paratiroid Estrogen Fitoestrogen Ovariektomi Aplikasi Pengobatan Osteoporosis Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Materi Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Hewan Coba Bahan Penelitan Alat Penelitian Metode Pembuatan Ekstrak Batang Sipatah-patah (ESP) Analisis Kandungan Kalsium dan Fosfor Bahan Aktif dan Analisis Senyawa Fitokimia Batang Sipatah-patah Pembagian Kelompok Tikus Kelompok Tikus Nonovariektomi (NOV) Kelompok Tikus Ovariektomi (OV) Parameter Analisis Hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analis Proksimat Batang Kering Sipatah-patah dan Penapisan Fitokimia Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) xvi

18 Identifikasi Kandungan ESP Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Nonovariektomi Pertumbuhan Bobot Badan Tikus Pengukuran Panjang Tulang Femur Kadar Kalsium dan Fosfor Darah Gambaran Radiografi Tulang Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Ovariektomi Bobot Badan Tikus Panjang Tulang Femur Kadar Kalsium dan Fosfor Darah Gambaran Radiografi Tulang Densitas Osteoblas dan Osteoklas Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Pembahasan Hasil Analisis Batang Sipatah-patah Hasil Kelompok Tikus Nonovariektomi Hasil Kelompok Tikus Ovariektomi V. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvii

19 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komponen fitokimia ESP Tabel 2. Komposisi kimia ekstrak etanol batang sipatah-patah berdasarkan GC-MS Tabel 3. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus di awal dan di akhir pemberian ESP Tabel 4. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus selama masa pemberian ESP Tabel 5. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus yang diberi ESP pada umur 30,60,90 dan 120 hari Tabel 6. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus ovariektomi di awal dan di akhir pemberian ESP Tabel 7. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus ovariektomi selama masa pemberian ESP Tabel 8. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari xviii

20 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur tulang panjang... 9 Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas Gambar 5. Diagram interaksi dari osteoblas dan osteoklas dalam proses remodeling pada permukaan tulang Gambar 6. Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis Gambar 8. Peranan kelenjar paratiroid dan kelenjar tiroid dalam homeostasis kadar kalsium darah Gambar 9. Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen Gambar 10. Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) dari Aceh dan Cissus quadrangularis Linn. dari India Gambar 11. Skema alur penelitian Gambar 12. Alur penelitian tikus nonovariektomi Gambar 13. Alur penelitian tikus ovariektomi Gambar 14. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 30 hingga 180 hari pada grup NOV-0,NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV Gambar 15. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus setelah masa perlakuan selama 180 hari Gambar 16. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari Gambar 17. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari Gambar 18. Gambaran radiografi tulang tibia tikus dengan perlakuan pemberian ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari Gambar 19. Gambaran umum tulang tibia Gambar 20. Gambaran trabekula pada potongan memanjang tulang tibia tikus Gambar 21. Gambaran sketsa densitas trabekula pada tulang tibia setelah pembuangan sumsum tulang Gambar 22. Osteoblas pada tulang tibia tikus Gambar 23. Gambaran osteoklas yang sedang merusak trabekula Gambar 24. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus umur 180 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari Gambar 25. Densitas osteoklas tulang tibia tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari Gambar 26. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari Gambar 27. Gambaran mikroskopis hati Gambar 28. Gambaran mikroskopis ginjal xix

21 Gambar 29. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus ovariektomi yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 60 hingga 210 hari pada OV-0, OV-1, OV-2, OV-3, dan OV Gambar 30. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus ovariektomi setelah masa perlakuan selama 180 hari Gambar 31. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari Gambar 32. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari Gambar 33. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi dengan perlakuan pemberian ESP pada umur 90,120, dan 150 hari Gambar 34. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus ovariektomi umur 210 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari Gambar 35. Densitas osteoklas tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari Gambar 36. Gambaran trabekula pada potongan memanjang dan sketsa densitas trabekula tulang tibia setelah pembuangan bone marrow dari tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120, 90, dan 60 hari Gambar 37. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari Gambar 38. Gambaran mikroskopis hati tikus Gambar 39. Gambaran mikroskopis ginjal tikus xx

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Surat identifikasi sipatah-patah Lampiran 2. Komposisi makanan tikus Lampiran 3. Penapisan fitokimia tanaman sipatah-patah Lampiran 4. Metode analisis proksimat Lampiran 5. Metode ekstraksi Lampiran 6. Metode kromatografi gas Lampiran 7. Prosedur analisis kadar kalsium dan fosfor Lampiran 8. Metode pewarnaan Lampiran 9. Rerata berat badan kelompok pencegahan yang ditimbang 15 hari sekali dari awal pemeliharaan Lampiran 10. Panjang tulang femur Lampiran 11. Rerata kadar kalsium darah kelompok pencegahan yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan Lampiran 12. Rerata kadar fosfor darah pada grup percobaan sebelum dan sesudah pemberian ekstrak etanol sipatah-patah Lampiran 13. Kadar kalsium dan fosfor tulang pada masa pencegahan yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih Lampiran 14. Rerata bobot badan kelompok pengobatan yang ditimbang 2 minggu sekali dari awal pemeliharaan Lampiran 15. Panjang tulang femur tikus perlakuan ovariektomi Lampiran 16. Rerata kadar kalsium darah grup ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan Lampiran 17. Rerata kadar fosfor tikus ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan Lampiran 18. Rerata kadar kalsium dan fosfor tulang pada grup ovariektomi yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih Lampiran 19. Analisis RAL in Time Lampiran 20. Hasil analisis kadar kalsium Lampiran 21. Hasil analisis fitokimia Lampiran 22. Hasil analisis GC-MS xxi

23 xxii

24 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif dan menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang tubuh, melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, memberi bentuk tubuh serta juga sebagai tempat hemopoiesis darah (Favus 1993; Leeson et al. 1996). Tulang menjadi keras dan kuat karena dibentuk oleh kristal kalsium yang padat serta serabut kolagen yang lentur (Stevenson dan Marsh 1992), sehingga tulang juga berfungsi sebagai deposit mineral, khususnya kalsium, fosfat, dan magnesium dengan kepadatan tertentu melalui pengaturan sistem homeostasis tubuh (Burger et al. 1995). Tulang skeletal dewasa secara umum memiliki dua bagian, yaitu bagian kompakta yang mencapai proporsi sekitar 80 % dan bagian spongiosa sekitar 20 % (Stevenson dan Marsh 1992). Bagian kompakta bersifat lebih padat dan terletak di bagian tepi tulang sehingga dinamakan juga bagian korteks, yaitu bagian yang padat dan tebal sesuai dengan fungsinya sebagai penyangga tubuh. Bagian spongiosa disebut juga bagian trabekula karena bentuknya yang berongga atau lamelar yang tersusun dalam garis-garis trayektori dengan arah sesuai dengan tuntutan gerakan yang ditimbulkan oleh tarikan otot-otot dan ligamentum yang bertaut padanya. Pada tulang panjang, bagian korpus sebagian besar terdiri atas bagian tulang kompakta yang mengelilingi sumsum tulang dan pada kedua ujungnya (metafisis) mengandung bagian spongiosa yang dikelilingi oleh tulang kompakta. Seluruh permukaan tulang, kecuali pada permukaan persendian, dibungkus oleh lapisan jaringan ikat khusus yang disebut periosteum, sedang bagian dalam dilapisi oleh selapis endosteum yang membatasi rongga-rongga di bagian spongiosa, yaitu suatu lapisan jaringan ikat yang fungsinya sama dengan periosteum, yaitu menjadi tempat sel-sel osteoblas (Carola et al. 1990). Jaringan tulang dibentuk oleh sel-sel tulang, yaitu osteosit, osteoblas, dan osteoklas. Osteosit adalah sel osteoblas yang terpendam di dalam matriks tulang (Leeson et al. 1996). Osteoblas berfungsi sebagai pembentuk osteoid (matriks tulang) dan serabut kolagen tulang. Osteoklas berfungsi sebagai

25 penghancur tulang. Dalam keadaan normal, osteoblas dan osteoklas bekerja sama dalam pembentukan struktur tulang yang mencakup proses modeling dan remodeling (Smith 1993). Faktor yang memengaruhi kepadatan tulang adalah cara hidup (pola makan, aktivitas fisik, merokok, asupan kalsium), obesitas, paritas (jumlah anak), Iaktasi, usia yang masih terlalu muda pada saat pertama kali hamil, penyakit kelenjar tiroid, dan penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal (Winarno 1998). Secara normal, puncak kepadatan tulang pada manusia dicapai pada usia tiga puluhan. Setelah itu akan terjadi proses penurunan kepadatan tulang yang biasanya disertai dengan atau tanpa kerusakan arsitektur tulang, sehingga kekuatan tulang akan menurun yang mengarah kepada kerapuhan tulang (porous) atau dikenal sebagai osteoporosis. Secara umum keadaan ini dijumpai pada manusia lanjut usia, terutama pada wanita (Ott 1990). Satu dari tiga wanita yang berumur lebih dari 55 tahun akan terkena osteoporosis, sedangkan pada pria, satu dari 12 pria di atas umur 55 tahun akan terkena osteoporosis. Pada wanita kejadian ini menyebabkan kehilangan massa tulang yang lebih besar dibandingkan pria, sehingga risiko terjadinya osteoporosis dan patah tulang akan lebih tinggi pada wanita (Dawson-Hughes 1996; Magetsari 1999). Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian hari (Karlson et al. 1995). Kepadatan tulang yang tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga mengurangi kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause. Dengan demikian, individu dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause (Compston et al. 1993). Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia tahun (Nguyen et al. 1995). Pada saat tulang yang mengalami osteoporosis mencapai puncaknya, maka tulang tersebut akan menjadi rapuh dan mudah patah. Hal ini merupakan konsekuensi dari berkurangnya jumlah kalsium dalam massa tulang yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis (Rachman et al. 1996; Ott 2002). Kondisi demikian akan sangat berbahaya karena apabila berlanjut dalam jangka waktu yang cukup lama, tulang sebagai kerangka tubuh tidak dapat lagi menyangga bobot tubuh sehingga apabila terjadi 2

26 patah tulang maka akan sulit untuk sembuh seperti sediakala. Studi epidemiologi menunjukkan banyaknya cedera pada penderita osteoporosis adalah pada ossa vertebrae, ossa coxae, dan collum femoris. Tulang-tulang ini lebih banyak mengandung trabekula dibandingkan tulang kompakta (Favus 1993). Bukti substansial mengindikasikan bahwa osteoporosis merupakan masalah kesehatan global dengan ciri kerusakan mikroarsitektur massa tulang, dan terjadi pada 150 juta orang di seluruh dunia per tahun. Proses osteoporosis terjadi karena berkurangnya kadar estrogen pascamenopause pada wanita. Estrogen merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan dalam mengaktifkan osteoblas di jaringan endosteum di sekitar jaringan mieloid sumsum merah pada individu dewasa. Faktor lain yang memengaruhi aktivitas osteoblas adalah nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Smith 1993). Osteoblas ini berfungsi untuk sintesis unsur organik matriks tulang (osteoid), yaitu kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein (Carola et al. 1990; Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996). Memasuki usia 40 tahun, secara fisiologis produksi estrogen mulai berkurang hingga konsentrasinya hanya mencapai 10 % saat wanita memasuki masa pascamenopause (Smith 1993) yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal (Guyton 1996). Secara medis beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis dapat dipakai untuk mengobati osteoporosis, namun dalam praktiknya hal ini sangat berat karena harus diberikan seumur hidup (Gass dan Neff 1995). Selain itu pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan per vagina, tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998). Oleh karena itu, kini fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis diarahkan melalui pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh, antara lain memberikan penambahan dosis asupan mineral, khususnya imbangan kalsium fosfat di dalam makanan, pemberian vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan penggunaan bahan alami dari tanaman yang mengandung fitoestrogen. Bahan alami tanaman ini telah lama digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati penyakit (Tiangburanatham 1996; Dalimartha 2003). Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement therapy). 3

27 Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk mengobati berbagai macam penyakit. Akhir-akhir ini hal tersebut semakin gencar didengungkan dengan slogan back to nature. Di Afrika, India, Sri Lanka, Malaysia, dan Jawa, Cissus qudrangularis Linn. banyak dipakai untuk mengatasi sakit sendi, sipilis, penyakit kelamin, dan osteoporosis (Shirwaikar et al. 2003). Studi literatur menunjukkan bahwa batang Cissus qudrangularis Linn. mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, β- karoten, dan vitamin C (Attawish et al. 2002), γ-amirin, δ-amiron (Mehta et al. 2001). Semua senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model (Navarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002). Studi fitokimia pada Cissus qudrangularis Linn. menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti kuersetin dan vitamin C serta resveratrol, piceatannol, palidol, asam askorbat, ketosteroid, dan karoten (Tiangburanatham 1996; Swamy et al. 2006). Di India dan Sri Langka, Cissus qudrangularis Linn. dikenal dapat mengobati patah tulang karena kemampuannya mempertautkan tulang (Sivarajan dan Balachandran 1994). Nadkarni (1954) menjelaskan bahwa akar Cissus qudrangularis Linn. sangat berguna untuk pengobatan retak tulang baik diminum maupun digunakan sebagai plester eksternal. Di Aceh tanaman sipatah-patah telah lama dikenal sangat mujarab dipakai sebagai obat patah tulang dengan cara memakai tumbukan batangnya yang dibalutkan pada daerah yang patah. Sipatah-patah mempunyai bentuk struktur yang hampir sama dengan Cissus quadrangularis Linn. Tanaman ini tumbuh di Kecamatan Lam Nga, Kabupatan Aceh Besar, dan tanaman sipatahpatah ini telah diidentifikasi sebagai Cissus quadrangula Salisb oleh Herbarium Bogorinsis. Mengingat besarnya potensi tanaman sipatah-patah dan khasiat yang dikandungnya sebagai obat patah tulang, besar kemungkinan tanaman sipatah-patah yang ada di Aceh juga berpotensi sebagai antiosteoporosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai peranan sipatah-patah sebagai antiosteoporosis. Tanaman sipatah-patah ini belum pernah diteliti dan juga belum diketahui kandungan fitokimia yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu sipatah-patah perlu diteliti kandungan fitokimianya. 4

28 Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995). Untuk itu maka perlu diteliti pengaruh sipatah-patah pada hewan percobaan yang diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan dan menopause. Hewan percobaan yang akan dipakai adalah tikus sesuai dengan penelitian Shirwaikar et al. (2003). Dengan demikian maka diperlukan dua kelompok penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan sipatah-patah dalam mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan dan mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui ovariektomi Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan melalui tiga hal yaitu: 1). Mengetahui kandungan mineral kalsium dan fosfat serta komposisi fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh. 2). Menguji kemampuan ekstrak etanol batang sipatah-patah dalam mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan. 3). Mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui ovariektomi Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kandungan mineral dan bahan fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh dalam rangka memperkaya data biologi sumber daya alam hayati tanaman asli Indonesia dan memperteguh keyakinan kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tanaman asli Indonesia, khususnya sipatah-patah dalam mencegah dan mengobati osteoporosis pada tikus melalui proses kajian ilmiah Hipotesis Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah: 1. Komponen utama sipatah-patah mengandung kalsium, fosfat, dan fitoestrogen. 2. Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat : a. Mencegah kejadian osteoporosis pada tikus betina prepubertas b. Mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi. 5

29 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur Tulang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif, menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang tubuh, memberi bentuk tubuh, dan melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, serta menjadi tempat terjadinya proses hemopoiesis darah (Favus 1993; Leeson et al. 1996). Tulang-tulang membentuk kerangka (skeleton). Kerangka manusia dibentuk oleh 206 buah tulang (Akers dan Denbow 2008) sedangkan kerangka kuda mempunyai 208 buah tulang (Getty 1975). Tulang berfungsi sebagai alat gerak pasif karena gerakan tulang dilakukan oleh kontraksi otot yang bertaut ke tulang melalui tendo-tendo (Leeson et al. 1996). Tulang kerangka secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi ossa longa (tulang panjang), ossa plana (tulang pipih), ossa brevia (tulang pendek), dan ossa irregularia (tulang tidak beraturan). Tulang panjang (ossa tibia-fibula, ossa radius-ulna) bentuknya silindris dan panjang dengan kedua ujungnya membesar. Tulang panjang berfungsi untuk menahan beban tubuh dan di daerah metafisis bagian dorsal terdapat sumsum merah. Berbeda dengan tulang panjang, tulang pipih seperti os ilium dan ossa cranii bertugas untuk melindungi bagian tubuh yang lunak. Tulang pendek (ossa carpi, ossa tarsi, dan ossa sesamoidea) mempunyai panjang, lebar, dan tinggi yang hampir sama dan berfungsi untuk menahan benturan atau mengurangi pergeseran dan perubahan arah dari tendo. Ossa vertebrae termasuk tulang tidak beraturan, yang terbagi dalam segmen-segmen yang terletak pada sumbu tubuh sehingga sangat fleksibel dipakai untuk pergerakan tulang belakang dan menjadi tempat beradanya sumsum merah (Carola et al. 1990). Tulang tersusun atas tulang kompakta pada bagian luar dan tulang trabekula pada bagian dalam (Smith 1993). Dengan susunan seperti ini massa tulang menjadi lebih ringan tanpa mengurangi tingkat kekuatannya sehingga fungsinya menjadi optimal (Fleisch 1993). Bagian luar dari tulang berbentuk lapisan padat yang disebut tulang kompakta (substansia compacta), sedangkan bagian dalamnya merupakan lempeng-lempeng tipis tersusun seperti bunga karang (kasau-kasau tulang yang halus dan berjalan ke berbagai arah) yang disebut tulang trabekula 7

30 (substansia spongiosa) (Stevenson dan Marsh 1992; Carola et al. 1990). Proporsi substansia kompakta dan spongiosa masing-masing sekitar 80 % dan 20 % (Goldberg 2004), namun ditemukan banyak variasi sesuai dengan jenis tulang dan dipengaruhi oleh daya tekan dan tarik yang dialami tulang tersebut (Stevenson dan Marsh 1992; Leeson et al. 1996). Dengan struktur seperti ini, tulang mempunyai kekuatan yang optimum dengan bobot yang minimal sehingga dapat menahan bobot badan maupun beban kerja (Parfitt 1984; Carola et al. 1990). Tulang kompakta terdiri atas jaringan kolagen dan hidroksiapatit yang membentuk 3 lapisan, yaitu lapisan periosteum, intrakompakta, dan endosteum (Rachman 1999). Periosteum adalah selubung fibrosa yang membungkus tulang, kecuali pada permukaan sendi (Leeson et al. 1996). Periosteum pada hewan dewasa terdiri atas dua lapisan, tanpa batasan yang jelas. Lapisan luar terdiri atas jaringan ikat padat fibrosa yang mengandung anyaman pembuluh darah. Lapisan dalam terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar, mempunyai sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey (Carola et al. 1990), mengandung banyak sel jaringan ikat berbentuk gelondong yang disebut lapisan kambium, lapisan ini mengandung sel-sel osteoprogenitor dan disebut periosteum. Sel-sel osteoprogenitor adalah sel-sel yang berfungsi untuk membentuk jaringan tulang. Pada tulang yang sedang tumbuh, lapisan kambium aktif membentuk tulang sehingga dinding tulang menjadi tebal. Dalam keadaan normal, periosteum lebih tipis, kurang vaskularisasi dan berada dalam keadaan istirahat, tetapi masih berpotensi osteogenik. Jika tulang mengalami fraktura (retak), maka lapisan kambium dari periosteum akan aktif kembali dalam usahanya mengadakan regenerasi tulang (Leeson et al. 1996). Bagian intrakompakta merupakan bagian utama dari tulang kompakta yang dibentuk oleh sistem Haver, membentuk bangun berupa tabung dengan panjang 2 mm dan diameter 22 µm yang terdiri atas lapisan konsentrik dengan osteosit yang berada di antaranya. Pada bagian tengah tulang kompakta terdapat saluran Volkmann berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf yang berperan mengangkut nutrisi dan sebagai alat sensoris (Carola et al. 1990). Dari periosteum dan endosteum akan masuk saluran Volkman atau saluran nutrien secara tegak lurus ke dalam tulang dan berhubungan dengan saluran Haver. Dengan demikian, di dalam tulang terdapat suatu sistem yang kompleks 8

31 Gambar 1. Struktur tulang panjang (dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973). dan saling berhubungan antara pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf untuk tulang (Carola et al. 1990; Leeson et al. 1996). Setiap saluran Haver memiliki sejumlah lamel konsentris (5 sampai 20 lamel). Lamel matriks tulang, sel-sel dan saluran pusatnya membentuk sistem Haver. Kanalikuli pada sistem Haver akan berhubungan langsung dengan saluran Haver sehingga semua lakuna akan berhubungan langsung dengan saluran Haver. Kanalikuli pada tepi sistem Haver biasanya tidak berhubungan dengan kanalikuli yang berasal dari sistem sebelahnya, melainkan membentuk lengkungan dan kembali ke lakunanya sendiri. Sistem Haver terutama tersusun menurut sumbu panjang tulang, sehingga pada potongan melintang terlihat sebagai lubang bulat yang dikelilingi oleh lamel-lamel yang melingkar (Gambar 2), sedangkan pada potongan memanjang sistem Haver terlihat sebagai celah memanjang yang dibatasi kolom-kolom lamel (Leeson et al. 1996). Bagian trabekula mengandung lempeng-lempeng yang saling berhubungan dengan pola tertentu yang membentuk garis trayektori spesifik menurut fungsi mekanis tulang tersebut. Tulang trabekula terdiri atas lamellamel, di dalamnya terdapat lakuna yang mengandung osteosit dan sistem kanalikuli yang saling berhubungan. Pada masa prenatal, pada tulang spongiosa belum terlihat jelas adanya lamel-lamel karena serat-serat kolagen tulang terdapat dalam anyaman tidak beraturan. Hal ini terlihat khas untuk tulang yang berkembang dengan cepat dan disebut sebagai tulang teranyam (woven bone) (Leeson et al. 1996). 9

32 Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996) Endosteum adalah lapisan halus yang membatasi rongga sumsum dan meluas sebagai pelapis sistem saluran tulang kompakta. Endosteum terdiri atas jaringan retikular padat yang memiliki kemampuan osteogenik dan hemopoetik (Carola et al. 1990). Endosteum merupakan permukaan dalam dari tulang yang terdiri atas sel osteoprogenitor dan hanya sebagian kecil jaringan ikat yang melapisi permukaan trabekula dan permukaan medulla tulang kortikal serta kanal Harvesian. Endosteum menyediakan sel osteoprogenitor atau sel osteoblas secara kontinyu untuk perbaikan dan pertumbuhan tulang yang berfungsi untuk remodeling tulang (Einhorn 1996; Leeson et al. 1996) Komposisi Tulang Tulang terbentuk dari unsur mineral kira-kira 65 %, matriks organik ekstraseluler 30 %, sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air (sekitar 5 %). Sebagian besar (95 %) dari mineral tulang merupakan kristal hidroksiapatit dan 5 % sisanya terdiri atas bahan organik (Favus 1993; Guyton 1996; Ott 2002). Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya kristal kalsium fosfat atau kristal kalsium hidroksiapatit [3Ca 3 (P0 4 ) 2 Ca(OH) 2 ]. Kalsium hidroksiapatit berbentuk piringan kristal tajam seperti jarum di dalam dan di antara serat kolagen dengan panjang nm dan tebal 2-5 nm (Puzas 1993; Leeson et al. 1996). Selain komponen tersebut, kalsium hidroksiapatit juga mengandung komponen lain seperti karbonat, sitrat, magnesium, natrium, fluor, dan strontium yang terdapat pada kisi dari kristal atau terserap ke dalam sampai ke permukaan kristal (Rachman 1999). 10

33 Bahan organik dari mineral tulang terdiri atas 98 % jaringan kolagen dan 2 % sisanya terdiri atas beberapa protein nonkolagen. Kolagen adalah protein dengan daya larut yang sangat rendah, terdiri atas 3 rantai polipeptida (triple helix) yang pada setiap rantai terdapat seribu (1000) asam amino (Shenk et al. 1993). Protein nonkolagen tulang terdiri atas osteonektin, osteokalsin, osteopentin, dan sialoprotein (Favus 1993). Osteonektin adalah protein besar dengan bobot molekul 320 KDa yang disintesis oleh osteoblas. Protein ini berfungsi untuk mengikat kolagen hidroksiapatit. Osteokalsin adalah protein kecil dengan bobot molekul 5.8 KDa dan berjumlah sekitar % dari total protein nonkolagen, protein ini berhubungan erat dengan fase mineralisasi tulang (Rachman 1999). Beberapa protein tulang yang lain seperti trombopontin, asam glikoprotein, dan fibronektin merupakan protein yang mengandung asam argininglisin aspartat yang bersifat asam dan berafinitas besar terhadap kalsium. Protein-protein ini mempunyai kemampuan untuk diikat oleh reseptor integrin. Growth factor dan sitokin seperti transforming growth factor beta (TGFβ), insulin growth factor (IGF), interleukin (IL), bone morphogenic protein (BMP) terdapat dalam jumlah kecil di matriks tulang (Shenk et al. 1993). Protein-protein tadi mengikat mineral tulang dan matriks dan dilepaskan saat terjadi proses resorbsi tulang oleh osteoklas (Favus 1993) Metabolisme Tulang Metabolisme tulang diatur oleh osteoblas, osteosit, dan osteoklas terhadap respons dari berbagai rangsangan di sekelilingnya termasuk rangsangan kimia dan mekanik (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Rangsangan spesifik diatur oleh reseptor sel yang ditemukan pada membran sel atau di dalam sel. Reseptor yang berada di membran sel menerima rangsangan dari luar dan mengirimkan informasi tersebut ke inti menyeberangi sitoplasma sel melalui mekanisme transduksi. Sementara itu reseptor dalam sel (di sitoplasma atau di inti) mengikat rangsangan (biasanya hormon steroid) yang melewati membran sel dan masuk ke dalam sel untuk memindahkan efektor ke nukleus yang di dalamnya terdapat reseptor steroid kompleks yang terikat pada asam deoksiribonukleat (DNA) spesifik dari rangkaian gen (Rachman 1999). 11

34 Pada tulang dapat dibedakan tiga jenis sel tulang, yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas (Rachman 1999) (Gambar 3). Osteoblas merupakan sel yang berhubungan dengan pembentukan tulang dan ditemukan pada permukaan tulang, yaitu periosteum dan endosteum. Osteoblas dibentuk dari sel stroma dari mesoderm (totipotent mesenchymal stem cell) (Smith 1993; Ott 2002). Pembentukan osteoblas dimulai dari prekusor sel stroma menjadi preosteoblas yang kemudian berkembang menjadi osteoblas yang dapat diaktifkan sehingga akhirnya dapat membentuk osteosit (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Osteoblas merupakan sel berinti tunggal yang terdapat di permukaan luar (periosteum) dan di dalam tulang (endosteum). Sitoplasmanya bersifat basofil karena mengandung nukleoprotein. Apabila sel ini berada dalam keadaan aktif berbentuk kuboid, sedangkan dalam keadaan tidak aktif, osteoblas berbentuk pipih (Einhorn 1996). Dalam proses perbaikan kondisi tulang setelah adanya perombakan tulang oleh osteoklas, biasanya ditemukan adanya osteoblas aktif di tempat itu untuk mensintesis matriks tulang baru yang diawali dengan proses mineralisasi dan kolagenasi matriks tulang (Price 1995; Lian dan Stein 1996). Osteoblas berfungsi menghasilkan kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein untuk pembuatan dan pertumbuhan tulang baru pada daerah permukaan tulang dan juga untuk pembentukan tulang pada kartilago (Telford dan Bridgman 1995). Proses perkembangan dan pembentukan tulang oleh osteoblas dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lokal maupun sistemik. Faktor lokal yang berpengaruh dalam meningkatkan pembentukan tulang adalah BMP (bone morphogenic protein), TGF-β, IGF (insulin-like growth factor-1), estrogen, triiodotironin (T 3 ), tetraiodotironin (T 4 ), kalsitriol [1,25-(OH) 2 D 3 ], dan prostaglandin E2 (PGE2). Faktor sistemik yang meningkatkan pembentukan tulang adalah fluorida, PTH (hormon paratiroid) nutrisi, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Gambar 4). Faktor sistemik lainnya yang bekerja dengan menghambat formasi tulang adalah hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Smith 1993; Ott 2002). Saat menjalankan fungsinya, osteoblas juga memproduksi enzim alkalin fosfatase. Enzim ini mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan alkalin fosfatase yang dihasilkan oleh jaringan lainnya. Fungsi alkalin fosfatase ini bekerja dengan cara membebaskan protein nonkolagen osteokalsin dalam proses pembentukan tulang. Aktivitas osteoblas dapat dipantau secara biokimia 12

35 Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996). dengan menilai kadar enzim alkalin fosfatase tulang dan kadar osteokalsin dalam serum (Price 1995). Dalam perkembangan penelitian selanjutnya telah ditemukan reseptor estrogen dan reseptor kalsitriol di osteoblas (Gallaher 1986; Reid 1996). Tipe sel tulang yang kedua adalah osteosit, yaitu osteoblas yang sudah menetap dalam lakuna pada saat pembentukan lapisan permukaan tulang berlangsung. Osteosit merupakan sel peralihan dari sel-sel osteoblas yang berhenti membentuk matriks tulang dan terperangkap di dalam tulang. Sel ini memiliki peran dalam memelihara matriks tulang sehingga tersimpan di dalam tulang (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Sel tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya melalui penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli dan berperan dalam membantu koordinasi respons tulang terhadap stres atau deformasi (Stevenson dan Marsh 1992). Tidak semua osteoblas berkembang menjadi osteosit (hanya %), hal ini disebabkan oleh kegagalan difusi nutrisi. Pembuluh darah masuk melalui kanal kecil yang dikenal sebagai kanalikuli. Kanalikuli adalah satu-satunya saluran untuk nutrisi dan pertukaran gas yang akan digunakan oleh osteosit. Bentuk kanalikuli beraturan seperti tubulus penghubung (Lian dan Stein 1996). Osteosit juga diduga memiliki kemampuan merespons mekanisme rangsangan gaya mekanik dan neuroelektrik yang berhubungan dengan aktivitas individu. Gaya fisioelektrik ini diduga merangsang pengeluaran IGF-1 untuk mengaktifkan osteoblas dan juga merangsang proses pembentukan osteoblas yang baru (Erickson et al. 1992; Hosking 1994). 13

36 Sel ketiga pada tulang adalah osteoklas yang bertanggung jawab terhadap resorbsi kalsium tulang dan kartilago (Ott 2002). Osteoklas memiliki progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid, yaitu monosit atau makrofag pada sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas ini bersifat mirip dengan sel fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus (10-20 nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang trabekular (Marcus et al. 1996). Di dalam menjalankan tugasnya, osteoklas mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam laktat, serta asam sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini memecah atau melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan melarutkan garamgaram tulang. Osteoklas mempunyai ruffled border yaitu daerah spesifik dari membran sel berbentuk jari-jari atau gelambir-gelambir, yang biasanya berhadapan dengan permukaan tulang. Sekresi enzim-enzim, asam laktat, dan asam sitrat dilepaskan keluar sel melalui ruffled border. Di area ruffled border ini terjadi proses resorbsi tulang sehingga mengakibatkan terbentuknya Endokrin Estrogen Jarak jauh PTH 1,25(OH) 2 D 3 Kortisol Jarak pendek Sitokin Nutrisional Mekanik Pre-osteoblas Osteoblas Osteoblas pasif Osteosit Sel pengendali osteoklas Sintesis kolagen protein non-kolagen proteoglikan Mineralisasi Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas (dimodifikasi dari Smith 1993) 14

37 cekungan sebagai akibat hilangnya matriks di daerah itu, dan cekungan yang terbentuk ini dinamakan lakuna Howship (Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996). Interaksi antara osteoklas dan osteoblas (Gambar 5) secara normal selalu terjadi pada proses remodeling tulang. Osteoblas diduga mengambil bone morphogenetic protein (BMP) sebelum osteoklas merusak tulang. Resorbsi tulang akan membebaskan protein tulang yang berpengaruh timbal balik yaitu dapat menstimulasi aktivitas osteoblas. Proses remodeling ini masih belum diketahui dengan pasti (Smith 1993). Sel-sel osteoklas menangkap partikelpartikel matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton 1996; Smith 1993). Proses ini selalu dalam keadaan seimbang dalam mengatur formasi dan resorbsi tulang sehingga dikenal dengan istilah berpasangan atau coupling (Suda et al. 1992; Smith 1993). Dalam proses peningkatan aktivitas osteoklas, osteoblas menghasilkan beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor beta (TNF β), IL-1, dan IL- 6, sehingga dapat dikatakan terdapat poros osteoblasosteoklas dalam pengendalian densitas tulang. Sebaliknya, aktivitas osteoklas dihambat oleh estrogen, kalsitonin, TGF β, interferon gamma (IFN- ), dan prostaglandin (PGE2) (Suda et al. 1992). Gambar 5. Diagram interaksi osteoblas dan osteoklas dalam proses remodeling pada permukaan tulang (Smith 2003). 15

38 Bone morphogenetic protein merupakan pemicu osteoblastogenesis dengan merangsang osteoblastic specific factor-2 (OSF-2) atau core binding factor A1 (Cbf A1) yang berfungsi mengaktifkan gen spesifik osteoblas, seperti osteokalsin, osteopontin, sialoprotein, dan kolagen tipe I. Selain hormon sistemik dan sinyal mekanis, perkembangan dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas diatur juga oleh growth factor (GF) dan sitokin (Manolagas 2000) Modeling dan Remodeling Tulang Carola et al menyatakan bahwa tulang merupakan suatu organ yang mengalami metabolisme aktif berupa proses penyerapan dan pembentukan tulang. Proses ini berlangsung secara simultan dan menyangkut semua perubahan yaitu modeling dan remodeling. Modeling adalah perubahan struktur atau bentuk pada jaringan tulang akibat formasi dan resorbsi matriks tulang dalam proses pertumbuhan (contoh: perubahan bentuk tulang kepala dari bayi sampai tua). Pada manusia, memasuki usia 20 sampai 30 tahun (Gambar 6) terjadi peningkatan pembentukan massa tulang dengan tercapainya massa tulang puncak (Goldberg 2004). Proses modeling terjadi pada bagian growth plate (lempengan tulang rawan yang aktif berproliferasi atau disebut juga sasaran epifise) atau pada lokasi perubahan tulang rawan menjadi tulang termineralisasi (Eriksen et al. 1994). Selama proses pertumbuhan terjadi pemisahan badan tulang (corpus) dengan area ujung tulang (epifisis) oleh sasaran epifise. Gambar 6. Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia (dimodifikasi dari Goldberg 2004) 16

39 Pertumbuhan memanjang terjadi karena sasaran epifise tersebut terisi oleh tulang baru pada ujung badan tulang. Lebar sasaran epifise sebanding dengan kecepatan pertumbuhan tubuh dan dipengaruhi oleh sejumlah hormon terutama hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh hipofisa dan insulin growth factor-1 (IGF-1) (Ganong 1995). Sementara itu Goldberg (2004) menyatakan bahwa modeling dimulai sejak di dalam kandungan sampai mencapai puncak massa tulang yang dipengaruh oleh faktor-faktor fisiologis dan mekanis. Pembentukan tulang terjadi melalui mekanisme pengerasan tulang endokondrial. Hal itu termasuk perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas (yang menurunkan kalsifikasi tulang rawan) dan prekursor osteoblas. Proses kalsifikasi tulang rawan menghasilkan the primary spongiosum, sedangkan tulang yang terbentuk di antara jaringan disebut the secondary spongiosum yang nantinya dikenal sebagai tulang woven (Leeson et al. 1996). Remodeling adalah proses yang berlangsung terus-menerus secara aktif dengan membangun dan memperbaiki pembentukan tulang yang dilakukan oleh osteoklas (resorbsi tulang) dan osteoblas (formasi tulang). Proses remodeling pada kondisi normal adalah massa tulang yang diresorbsi seimbang dengan jumlah massa tulang yang diformasi, terutama pada individu berusia sekitar tahun (Goldberg 2004). Remodeling juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan biokimia tulang, memelihara dan memperbaiki kerusakan tulang (Rachman 1999). Keseimbangan ini mulai terganggu melewati usia 40 tahun. Pada usia tersebut proses remodeling tulang mulai tidak seimbang yaitu, kecepatan formasi tulang tidak sama dengan resorbsi tulang dan lebih cenderung ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause. Pada saat ini terjadi proses uncoupling, yaitu awal proses penuaan (Goldberg 2004). Menurut Leeson et al. (1996) dan Rodan (1996) tahapan proses remodeling tulang normal meliputi enam tahap, yaitu quiescence (istirahat), aktivasi, resorbsi, proses balik (reversal), formasi, dan berakhir pada tahap istirahat. Remodeling tulang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti hormon paratiroid (PTH), kalsitonin, sitokin, kalsitriol dan faktor-faktor lokal nutrisi, faktor pertumbuhan, TGFβ, fibroblast growth factor (FGF), IL, prostaglandin, dan aktivitas individu. Beberapa tahun setelah puncak massa tulang terjadi, proses 17

40 remodeling tulang masih berjalan normal dengan jumlah massa tulang yang masih stabil. Memasuki usia 40 tahun atau tepatnya memasuki usia menopause, proses remodeling mulai berjalan tidak seimbang (Rachman 1999). Secara fisiologis, pada wanita pascamenopause karena kadar estrogen yang mulai menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel osteoklas dan osteoblas (Mizuno et al. 1995). Kekurangan estrogen akan menyebabkan menurunnya kadar kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang (Potu et al. 2009). Secara mikroskopis, proses remodeling tulang dimulai dengan sekresi kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan oleh osteoblas. Kolagen mengalami polimerisasi membentuk serabut kolagen atau semacam tulang rawan yang belum mengalami proses mineralisasi yang disebut osteoid. Osteoblas yang terperangkap di dalam osteoid akan menjadi osteosit dan berperan dalam regulasi mineral tulang (Favus 1993). Penumpukan mineral terjadi beberapa hari setelah terbentuknya osteoid dengan susunan berselang seling dengan serabut kolagen menjadi kristal hidroksiapatit. Pada remodeling proses pembentukan mineral diikuti juga oleh proses penyerapan mineral dan berlangsung dalam keseimbangan yang dinamis di dalam tulang (Leeson et al. 1996) Osteoporosis Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang (Sabri 2000; Anderson et al. 2008), sehingga kepadatan tulang berkurang atau tulang menjadi keropos. Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang (Palmer 1993; Shin et al. 2007). Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan, hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum alkohol, serta warna kulit (Lane, 2001; Rizer 2006). Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa tulang berubah seiring dengan bertambahnya usia dan jaringan tulang yang 18

41 hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk. Pada usia remaja, pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya (Karlson et al. 1995). Setelah usia antara tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 % per tahun. Wanita pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai 2% per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang (Endris dan Rude 1994). Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula. Kedua proses tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling (Eriksen et al. 1994). Selanjutnya Croucher et al. (1994) menegaskan bahwa struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang. Pada penelitian lain, Kalu et al. (1993) menyatakan bahwa penentuan dasar proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional. Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet (Sabri 2000). Tingginya konsumsi fosfat mengakibatkan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengganggu homeostasis kalsium terutama pada manula (Anderson 1996). Calvo dan Park (1996) juga menyebutkan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh faktor defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor. Manifestasi klinis osteoporosis adalah rasa nyeri, yang baru timbul setelah ada komplikasi seperti fraktur dan deformitas. Akibat lanjut permasalahan osteoporosis pada wanita pascamenopause terdiri atas 75 % patah tulang lumbal (fraktur vertebrae) dan 25 % patah tulang paha (Gambar 7). Fraktur tulang lumbal, sering terjadi tanpa gejala, bila terdapat nyeri maka nyeri 19

42 - Asupan makanan - Genetis Puncak massa tulang tidak optimal Densitas tulang rendah Penuaan Kehilangan massa tulang meningkat Tulang rapuh Menopause Penyakit dan faktor sporadis Mudah kena trauma Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis (dimodifikasi dari Wark 1993) yang dialami bersifat akut, terlokalisasi pada tulang belakang, rasa nyeri akan berkurang setelah 2-6 minggu. Keadaan kifosis oleh karena fraktur akan muncul secara bertahap sehingga makin lama makin tampak nyata. Fraktur tulang paha biasanya oleh karena adanya trauma atau jatuh. Fraktur ini ditandai dengan adanya rasa nyeri terlokalisasi pada daerah fraktur dan hilangnya fungsi tulang sebagai penyangga tubuh. Keadaan tersebut merupakan gejala khas osteoporosis (Rachman et al. 1996). Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995; Goldberg 2004). Menurut Jubb et al. (1993), diagnosis osteoporosis stadium awal banyak mengalami kesulitan, apalagi jika hanya menggunakan metode diagnostik yang sederhana. Oleh karena itu, osteoporosis biasanya baru dapat terdiagnosa apabila penyakit sudah melanjut. Gambaran radiologi tulang penderita osteoporosis terlihat radiolucent, kepadatan tulangnya menurun, tetapi gambaran ini umumnya hanya akan terlihat pada kasus osteoporosis yang sudah melanjut. 20

43 Kalsium. Kalsium sangat berperan dalam berbagai proses biologik seperti koagulasi darah, aktivitas enzim, kontraksi otot, eksitabilitas saraf, pembebasan hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang (Nieves 2005). Aktivitas tersebut di atas dapat berlangsung normal apabila kadar kalsium dalam darah berada dalam kisaran normal (Winarno 1998). Untuk mempertahankan dalam keadaan normal kalsium dipengaruhi oleh PTH, vitamin D, dan kalsitonin (Zhang et.al. 2006). Penyerapan kalsium sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum bagian proksimal karena keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian usus yang lainnya. Penyerapan kalsium di usus halus berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu dengan transpor aktif dan transpor pasif. Mekanisme transpor aktif diatur oleh 1,25 - Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH) 2 D], suatu bentuk vitamin D paling aktif yang diproduksi dalam ginjal (Baylink 2000; Parfitt 2005). Transpor aktif diatur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh yang meningkat, misalnya pada periode pertumbuhan, kehamilan, laktasi, atau pada saat diet rendah kalsium. Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2D] menyebabkan terbentuknya protein pengikat kalsium di sel-sel epitel usus. Protein tersebut berfungsi untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel, selanjutnya kalsium bergerak melewati membran basolateral dengan cara difusi terfasilitasi (Guyton 1996). Protein pengikat kalsium tetap di dalam sel plasma beberapa minggu sesudah [1,25-(OH)2D] dikeluarkan dari tubuh sehingga memperpanjang waktu absorbsi kalsium. Absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan biasanya berkisar antara % dari total asupan kalsium. Tubuh manusia menyerap sekitar 20 % hingga 40 % kalsium dari makanan yang dikonsumsi, namun pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Penyerapan kalsium meningkat apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah. Sebaliknya penyerapan kalsium menurun apabila kadar kalsium darah tinggi (Murray et al. 2003). Kadar kalsium plasma normal berkisar antara 9,2-10,4 mg/dl (2,4 meq/l), dari jumlah tersebut sekitar 6 % berikatan dengan sitrat, fosfat dan anion lain, sedangkan sisanya 94 % terbagi dua, yaitu bentuk yang terikat protein plasma dan bentuk terionisasi atau tidak terikat. Bentuk terikat protein plasma terutama dengan albumin (47 %) dan bentuk yang terionisasi atau yang tak terikat (47 %), dapat berdifusi melalui membran sel semipermeabel (Murray et al. 2003). 21

44 Kalsium dalam bentuk ion diperlukan untuk mengatur sejumlah proses fisiologik dan biokimia penting termasuk eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses-proses yang sifatnya sekresi, integritas membran serta pengangkutan membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon serta neurotransmiter, dan kerja intrasel sejumlah hormon (Bringhurst 1995; Ganong 1995). Aktivitas biologik seperti tersebut di atas dapat berjalan normal apabila kadar kalsium berada dalam kisaran normal. Kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme homeostasis (Guyton 1996). Adanya perubahan 1-5 % dari kalsium darah menyebabkan mekanisme homeostasis mulai berperan untuk mengembalikan kadar kalsium pada kadar yang normal (Cunningham, 1992). Kalsium plasma berada dalam keseimbangan dengan kadar kalsium tulang yang siap melakukan pertukaran. Jumlah kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh PTH, kalsitriol, dan kalsitonin yaitu dengan cara memengaruhi transpor kalsium melalui membran yang memisahkan cairan ekstrasel dengan cairan periosteum (Ganong 1995). Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka tubuh. Kalsium harus tersedia dengan cukup pada makanan untuk mempertahankan kadar normalnya dalam serum. Nutrisi rendah kalsium menyebabkan individu akan memasuki kehidupan dewasa dengan massa tulang yang kurang padat. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis (Ott 2002). Mulai usia sekitar 50-an pada pria dan saat menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan terjadi kehilangan massa tulang pada seluruh bagian dari kerangka. Kehilangan kalsium ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita (Eastwood 2003). Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia tahun (Nguyen et al. 1995). Kekurangan asupan kalsium atau gangguan penyerapan kalsium dari usus memberikan pengaruh berbeda pada berbagai tingkat usia. Apabila kondisi ini terjadi pada masa anak-anak maka akan menimbulkan penyakit rhakhitis atau osteomalasia pada orang dewasa (Parfitt 2005; Anderson et al. 2008). Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, % dari jumlah kalsium yang difiltrasi akan diserap kembali (Cunningham, 1992). Penyerapan kembali dari kalsium 65 % terjadi di tubulus proksimal, sedangkan sisanya sebagian 22

45 besar diserap kembali melalui tubulus distal dan sebagian kecil melalui bagian asendens jerat Henle. Penyerapan kembali di tubulus distal merupakan proses transpor aktif yang diatur oleh hormon paratiroid (Ganong 1995; Parfitt 2005). Sebagian besar kalsium diekskresikan lewat tinja dan hanya sebagian kecil lewat urin. Ekskresi kalsium lewat urin maupun tinja menurun apabila terjadi hipokalsemia (Parfitt 2005) Fosfor Sebagai suatu bahan anorganik, kadar fosfor yang terkandung dalam tubuh manusia menempati jumlah kedua terbanyak setelah kalsium, dan kira-kira % fosfor ini terikat dalam kerangka (Ganong 1995). Fosfor plasma total sekitar 12 mg/dl, dua per tiga dari jumlah tersebut berupa senyawa organik dan sisanya merupakan fosfor anorganik. - Fosfor anorganik dalam plasma terdapat dalam dua bentuk yaitu HPO 4 serta H 2 PO Konsentrasi HPO 4 adalah sekitar 1,05 mmol/l, sedangkan konsentrasi H 2 PO - 4 sekitar 0,26 mmol/l. Apabila jumlah total fosfor dalam cairan ekstraselular meningkat, kedua bentuk ion fosfor tersebut juga akan meningkat. Secara kimiawi sangat sulit untuk menentukan jumlah yang - - tepat dari HPO 4 dan H 2 PO 4, hal ini karena jumlah total fosfor biasanya dinyatakan dengan miligram fosfor per desiliter (100 ml) darah. Jumlah rata-rata fosfor anorganik dalam plasma pada orang dewasa sekitar 4 mg/dl, yang bervariasi antara batas normal sebesar 3 sampai 4 mg/dl dan 4 sampai 5 mg/dl pada anak-anak (Guyton 1996). Fosfor berfungsi antara lain sebagai unsur pembentuk tulang, energi metabolik, memelihara integritas membran, metabolisme asam nukleat, dan sebagai bufer (Linder 1985). Di dalam tubuh fosfor secara normal mempertahankan suatu keseimbangan dengan kadar kalsium yang serasi. Kadar fosfor dalam darah cenderung berbanding terbalik dengan kadar kalsium dalam darah. Naiknya salah satu dari ke dua unsur tersebut akan diikuti oleh turunnya unsur yang satunya (Cunningham 1992) Peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan konsentrasi fosfor serum, sementara kalsium yang terionisasi dalam serum akan mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang potensial dalam menyerap tulang. Jumlah normal fosfor yang masuk ke dalam tulang sekitar 3-4 mg/kg/hari, jumlah yang sama 23

46 meningggalkan tulang melalui proses penyerapan kembali. Fosfor dalam plasma disaring pada glomerulus melalui proses transpor aktif, % dari jumlah fosfor yang disaring, sebagian besar diserap kembali melalui tubulus proksimal dan sebagian kecil diserap kembali malalui tubulus distal, sedangkan sisanya sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal (Cunningham 1992). Proses transpor aktif ini sangat dihambat oleh hormon paratiroid. Hambatan proses penyerapan kembali fosfor dalam tubulus proksimal dan distal akan mendorong terjadinya fosfaturia (Guyton 1996; Murray et al. 2003) Vitamin D Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan merupakan turunan dari senyawa sterol serta mempunyai beberapa bentuk senyawa dengan fungsi yang sama. Sebagian besar vitamin D terdapat dalam bentuk vitamin D 2 (ergokalsiferol) dan vitamin D 3 (kolekalsiferol). Kedua vitamin tersebut mempunyai aktivitas biologik dan aktivitas nutrisional yang sama. Vitamin ini secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh untuk kelangsungan proses metabolisme sel normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang terkait dengan pembentukan jaringan tulang (Keith 1994). Fungsi utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral dari makanan (Muhilal dan Sulaeman 2004). Vitamin D2 dibentuk melalui irradiasi sinar ultraviolet dari suatu sterol atau ergosterol yang disintesis di dalam tanaman (Palmer 1993). Vitamin D 3 dibentuk di dalam kelenjar sebaseus kulit 7-dehidrokolesterol yang diubah oleh sinar ultraviolet menjadi previtamin D 3 (Murray et al. 2003). Vitamin D 3 yang disintesis dalam kulit diangkut oleh α-1-globulin atau α-2-globulin (Palmer 1993) yang terkandung di dalam serum untuk selanjutnya dibawa ke hati (Guyton 1996), demikian halnya dengan vitamin D 2 atau vitamin D 3 suplemen yang berasal dari makanan, setelah diserap di dalam usus (jejenum dan ileum) selanjutnya dibawa ke hati (Palmer 1993). Vitamin tersebut dapat berfungsi setelah diaktifkan melalui beberapa tahapan. Pengaktifan tahap pertama melalui hidroksilasi kolekalsiferol pada posisi C-25 dilakukan oleh enzim 25-hidroksilase, 24

47 sehingga terbentuk 25-hidroksikolekalsiferol (25-HCC). Proses ini terjadi di dalam sitoplasma sel hati (Guyton 1996). Perubahan vitamin D 3 menjadi 25- HCC diperlukan ion magnesium, NADPH, oksigen molekuler, protein sitoplasmik, dan sitokrom P450 untuk mengaktivasi enzim 25- hidroksilase (Ganong 1995; Guyton 1996). Aktivitas enzim 25-hidroksilase untuk mengubah kolekalsiferol menjadi 25-HCC juga diatur oleh suatu mekanisme umpan balik, oleh karena itu jumlah 25-HCC yang dihasilkan relatif tetap meskipun diberikan vitamin D 3 dosis tinggi (Bank 1993; Guyton 1996). Kolekalsiferol yang tidak mengalami hidroksilasi disimpan di dalam hati sebagai cadangan (Bank 1993) dengan demikian toksisitas akibat tingginya vitamin D 3 dapat dicegah (Ganong 1995). Setelah terjadi proses hidroksilasi, senyawa 25-HCC berikatan dengan protein pembawa yang terdapat di dalam plasma secara cepat meninggalkan hati menuju ginjal (Bank 1993; Freskanich et al. 2003). Pengaktifan tahap ke dua, proses metabolik mengalami hidroksilasi di dalam mitokondria sel tubulus proksimal ginjal menjadi metabolik aktif yaitu 1,25-dehidrokolekalsiferol (1,25-DHCC) yang bertanggung jawab terhadap fungsi biologis utama vitamin D untuk mempertahankan serum kalsium dalam kondisi fisiologis normal melalui perannya pada usus, ginjal, dan tulang (Dawson-Hughes et al. 1997; Murray et al. 2003). Reaksi pembentukan senyawa 1,25-DHCC di dalam ginjal dirangsang oleh rendahnya kadar kalsitriol dalam plasma, kalsium, fosfor dan hormon paratiroid. Penurunan konsentrasi kalsium darah akan merangsang kelenjar hipofise untuk meningkatkan sintesis dan sekresi PTH (Guyton 1996). Metabolisme kalsium tulang tidak lepas dari peran vitamin D 3 (kalsitriol) pada saluran pencernaan dan sintesis vitamin D 3 endogen. Apabila terjadi kekurangan vitamin D, absorbsi kalsium dan fosfor berkurang sehingga menyebabkan hipokalsemia (Passeri et.al. 2008). Kondisi ini menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH dalam jumlah tinggi, yakni dengan menstimulasi secara tidak langsung aktivitas osteoklas untuk meningkatkan proses resorbsi tulang sehingga kalsium dan fosfor masuk ke dalam darah. Hormon paratiroid juga merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kalsium pada tubuli dan meningkatkan ekskresi fosfat, serta mengubah 25-hidroksikolekalsiferol (25-OHD) menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol 25

48 [1,25-(OH) 2 D 3 ] yang merupakan metabolit aktif vitamin D, yaitu vitamin D 3. Selanjutnya vitamin D 3 ini menstimuli usus halus untuk menyerap lebih banyak kalsium dan fosfor (Favus 1993). Vitamin D berpengaruh pada kemampuan osteoblas dalam memelihara kesehatan tulang. Pengaruh ini ditentukan oleh kemampuan vitamin D mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler yang cukup, agar dapat dideposisi ke dalam matriks tulang. Matriks tulang merupakan hasil sintesis osteoblas (Hollick 1996) dan vitamin D memengaruhi osteoblas melalui lintasan genomik maupun nongenomik. Lintasan genomik memengaruhi osteoblas melalui stimulasi biosintesis matriks yaitu meningkatkan produksi osteopontin (OPN) dan osteoklasin (OCN) (Khoury et al. 1995). Vitamin D memengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor pada organ target, yaitu usus halus, tulang, dan ginjal. Metabolit aktif vitamin D 3 (kalsitriol) mempermudah penyerapan kalsium secara aktif di dalam usus halus dengan merangsang sintesis kalsium yang terikat dengan protein (Ilich-Ernst dan Kerstetter 2000). Vitamin D 3 mempermudah masuknya kalsium ke dalam sel melalui protein pengikat kalsium kalmodulin (Guyton 1996) Hormon Paratiroid Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon utama yang bertanggung jawab memelihara konsentrasi kalsium setiap saat. Pengaruh biologis yang sangat penting dari PTH meliputi: 1). meningkatkan kalsium plasma yang bersamaan dengan penurunan fosfat plasma, 2). meningkatkan ekskresi fosfat urin (fosfaturia), 3). meningkatkan resorbsi kalsium urin, 4). meningkatkan kecepatan remodeling tulang, 5). meningkatkan osteolisis osteosit, 6). membantu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D 3 dengan memengaruhi sistem 1-hidrolase, dan 7). meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat dari usus halus oleh pengaruh langsung pada pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol (Banks 1993). Sebagai respons terhadap keadaan hipokalsemia, PTH disekresikan oleh kelenjar paratiroid. Hormon ini mengikat reseptor khusus pada tulang dan sel tubulus ginjal. Pada ginjal, PTH merangsang produksi vitamin D yang disebut dengan 1,25-(OH) 2D 3. Metabolit ini bekerja pada usus halus untuk merangsang penyerapan kalsium makanan dan bersama dengan PTH mendukung mobilisasi 26

49 kalsium dari tulang. Pada saat yang sama 1,25-(OH) 2 D 3 dan PTH menyebabkan ginjal meresorbsi lebih banyak ion kalsium, sehingga pada plasma dan kalsium ekstraseluler akan meningkat ke level normal (normokalsemia), dan akan menghambat sekresi PTH melalui puncak umpan balik yang negatif (Murray et al. 2003) (Gambar 8). Pelepasan hormon paratiroid menyebabkan meningkatnya kalsium plasma. Pengaruhnya pada kerangka menyebabkan pelepasan 1,66 mol kalsium untuk setiap mol fosfor (Calvo et al. 1988; Banks 1993). Meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat meningkatkan absorbsi garam-garam kalsium dari tulang sehingga menimbulkan hiperkalsemia, sebaliknya hipofungsi kelenjar tiroid (menghasilkan kalsitonin) dapat menimbulkan hipokalsemia (Guyton 1996). Pengaruh kalsitonin pada sel osteoklas dan osteosit bersifat antagonis terhadap aksi hormon paratiroid. Pengaruh kalsitonin pada ginjal mengimbangi aksi hormon paratiroid. Kalsitonin juga menunjukkan suatu pengaruh penghambatan penyerapan kalsium dan fosfor pada usus kecil. Pengaruh kalsitonin dalam sistem homeostasis di antaranya adalah: 1). mereduksi kalsium dan fosfor, 2). menghambat rangsangan hormon [Ca] darah rendah [Ca] darah tinggi Sensor kel paratiroid terhadap [Ca] darah Keadaan normal Sensor kel tiroid terhadap [Ca] darah Sekresi hormon paratiroid [Ca] darah naik ke normal [Ca] darah turun ke normal Sekresi kalsitoni Hormon mengaktifkan stimulasi osteoklas Reabsorpsi tulang melepaskan Ca ke darah Deposit Ca pada tulang Mengaktifkan stimulasi osteoblas Gambar 8. Peranan kelenjar paratioid dan kelenjar tiroid dalam homeostasis kadar kalsium darah. 27

50 paratiroid terhadap osteoklas dan osteolisis osteosit, 3). secara tidak langsung menghambat penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus, dan 4). melakukan perangsangan jangka pendek pada aktivitas osteoblas. Pengaruh kalsitonin pada lambung diduga terjadi secara tidak langsung, yaitu menghambat sintesis 1,25-dihidroksikolekasiferol. Peranan langsung kalsitonin pada ginjal belum diketahui dengan jelas. Pengaturan ganda kalsium oleh hormon paratiroid dan kalsitonin lebih jelas dibandingkan dengan kemungkinan yang dilakukan oleh satu hormon secara tunggal (Banks 1993) Estrogen Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid, yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel ovarium, korpus luteum, plasenta dan sedikit dihasilkan oleh korteks adrenal (Ganong 1995). Oleh karena itu wanita tetap memiliki estrogen dalam kadar rendah walaupun telah terjadi menopause karena masih ada estrogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Carola et al. 1990). Tiga jenis estrogen dapat ditemukan pada tubuh wanita, yakni estradiol, estron, dan estriol (Rachman 1999). Kekurangan hormon estrogen akan menyebabkan meningkatnya kadar PTH, sehingga akan meningkatkan resorbsi tulang, sehingga terjadi penurunan massa tulang (Lindsay 1991; Gruber et al. 2002). Tulang merupakan target hormon estrogen, yang memiliki reseptor α dan β (Pollard 1999). Secara seluler, mekanisme kerja hormon estrogen pada tulang dimulai dari interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang timbul merupakan hasil interaksi keduanya (Albert et al. 1998). Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di tulang yang potensial karena keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan produksi kalsitonin serta menurunkan sekresi hormon paratiroid. Estrogen juga dapat meningkatkan kadar 1,25 dihidroksikalsiferol sehingga akan meningkatkan penyerapan kalsium di dalam usus. Penurunan produksi estrogen juga menggagalkan osteoblas mendeposit jaringan matriks (osteoid) (Stevenson dan Marsh 1992). Estrogen bertanggung jawab pada fase pertumbuhan dan menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang masa pubertas (Greenspan dan Strewler 1993). Defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. 28

51 Akibat defisiensi estrogen ini akan terjadi peningkatan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNFα lebih lanjut. Estrogen juga merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan transforming growth factor- β (TGF-β) oleh sel osteoblas dan sel stroma, sehingga estrogen berfungsi menghambat penyerapan tulang dengan cara mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas (Oursler 2003). Pada wanita pascamenopause, kadar estrogen mulai menurun. Akibat dari penurunan hormon estrogen ini, maka proses resorbsi tulang terganggu (Mizuno et al. 1995; Fitzpatrick 2003; Rachman 2004). Estrogen memengaruhi kehilangan tulang baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada tulang dan secara tidak langsung dengan memengaruhi hormon pengatur kalsium (PTH dan Vitamin D) dan sitokin interleukin (IL-1, IL-6 dan TNFα) (Potu et al, 2009). Kadar estradiol pada masa premenopause sebesar pmol/l, sedangkan pada masa menopause menurun secara drastis hingga pmoi/l. Kadar estron masa premenopause juga menurun, namun tidak sebanyak penurunan estradiol. Pada masa pascamenopause tidak dijumpai sama sekali adanya folikel ovarium sehingga terjadi penurunan kadar estradiol ke tingkat yang sangat rendah dan disertai dengan penurunan kadar progesteron. Rasio kadar estron dan estradiol pada wanita pascamenopause sangat besar yaitu 930:70 pg/ml Fitoestrogen Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon sudah banyak dikembangkan saat ini. Salah satunya adalah fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen di tulang (Adlercreutz et al. 2002; Dewell et al. 2002). Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement therapy/hrt). Pada tanaman dikenal beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui antara lain isoflavon, flavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan asiklik (Rachman et al.1996; Adlercreutz et al. 2002). 29

52 Estrogen Fitoestrogen Gambar 9. Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen (Guyton 1996) Umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa saja, tetapi selalu dalam bentuk berbagai senyawa estrogenik secara bersamaan. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Dewell et al. 2002). Hasil penelitian Turner (2007) menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen pada sel-sel duktus kelenjar susu dan jika seluruh reseptor diblokir oleh fitoestrogen (genestain) estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor tersebut. Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mendapatkan asupan fitoestrogen maka akan terjadi pengaruh pengikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen, sehingga dapat mengurangi simptom menopause (Rachman 1996). Oleh karena itu, sumber makanan yang kaya fitoestrogen merupakan salah satu cara praktis dan aman untuk mengatasi kekurangan estrogen pada wanita postmenopause (Arjmandi 2001). 30

53 2.3. Ovariektomi Ovariektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau teknik laparatomi untuk pengambilan ovarium bilateral. Secara luas pada bidang biomedis, tikus ovariektomi merupakan model juvenile osteopenia (Yamazaki dan Yamaguchi 1989; Cesnjaj et al. 1991), dan dapat menjadi model wanita pascamenopause (Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008). Arjmandi et al. (1996) membuktikan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas. Ovariektomi menyebabkan kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang kortikal. Selain itu, tindakan ovariektomi dapat segera menimbulkan gejala menopause tanpa menimbulkan gejala lain. Pada tikus yang dilakukan ovariektomi, ditemukan peningkatan aktivitas resorbsi tulang, hal ini sesuai dengan peranan estrogen terhadap tulang. Hilangnya fungsi ovarium dalam memproduksi hormon seks steroid, seperti estradiol akan menimbulkan kondisi hipoestrogenis yang merupakan faktor utama kehilangan massa tulang (Miller et al. 1986). Histerektomi dengan ovariektomi bilateral banyak dihubungkan dengan tingginya risiko osteoporosis (Lee dan Kanis 1994). Kalu et al. (1993) dan Dempster et al. (1995) menyatakan bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim serum alkalin fosfatase Aplikasi Pengobatan Osteoporosis Secara medis ada beberapa obat yang dipakai untuk mengobati osteoporosis, yaitu meminum susu berkalsium tinggi, memakai jenis obat yang mengandung kalsium/fosfat dosis tinggi, dan pemberian beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis tetapi hal ini harus diberikan seumur hidup (Gass dan Neff 1995). Selain itu, pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan per vagina, tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998). Kejadian osteoporosis merupakan proses yang sangat kompleks, maka tidak semua kasus osteoporosis dapat disembuhkan secara sempurna. Adanya kemungkinan terjadinya risiko terapi preparat hormonal sintetis jangka panjang, menyebabkan fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis masa kini 31

54 diarahkan kepada pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh seperti perubahan asupan mineral, khususnya imbangan kalsium fosfat makanan, vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan penggunaan tumbuhan bahan alam yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati penyakit (Tiangburanatham 1996). Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit. Pencegahan osteoporosis yang baik adalah dengan menjaga keseimbangan kalsium dalam tulang. Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari hilangnya kalsium yang berlebihan melalui ginjal dan gangguan penyerapan kalsium oleh usus (Preisinger et al. 1995) Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ditemukan di Aceh. Tanaman ini umumnya ditemukan di kawasan hutan dan dapat tumbuh dengan cepat jika dipindahkan ke tempat lain. Herbarium Bogoriensis menyatakan bahwa spesies ini adalah Cissus quadrangula Salisb. Taksonomi tanaman tersebut adalah sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta Class : Magnoliophyita Ordo : Sapindales Family : Vitaceae Genus : Cissus Spesies : Cissus quadrangula Salisb Penampang melintang batangnya berbentuk segi empat sehingga tanaman ini dinamakan quadrangula. Pada setiap sudutnya terdapat tonjolan yang tipis ke samping, dan di antara masing-masing tonjolan terletak terpisah. Bentuk batang berbuku-buku dan setiap satu meter batang terdapat 4-5 buku, batang berwarna hijau kemerahan. Buku pada batang terus bertambah, baik ke atas maupun ke samping. Di antara buku-buku yang telah ada muncul 1-2 daun penumpu, dan di bagian bawah daun penumpu ini muncul calon batang baru. Pada bagian ujung batang muncul 1-2 daun penumpu, dan di antara daun penumpu ini muncul batang baru ke atas. Menurut Versteegh-Kloppenburgh (2006) batangnya bertekuk dan daunnya jarang. Daun sipatah-patah berbentuk runcing, panjang daun sekitar 4-5 cm dan terdapat pada pertemuan diantara buku-buku serta cepat rontok. 32

55 Tanaman sipatah-patah di Aceh sering dipergunakan untuk pengobatan beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang. Pengobatan rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tumbuhan tersebut, yang ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara itu untuk mengobati patah tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu menempelkan pada tempat yang patah. Penulis melakukan wawancara dengan bapak Rustam, salah seorang ahli pengobatan tradisional yang ada di Desa Lamgugob Kecamatan Syiah Kuala kotamadya Banda Aceh, beliau menyatakan bahwa tanaman ini juga sangat manjur untuk mengobati wanita lanjut usia yang menderita sakit sendi dan patah tulang. Tanaman sipatah-patah sejauh ini belum pernah diteliti baik dalam bentuk penggunaannya maupun analisis kandungan kimiawinya. Cissus quadrangularis Linn, merupakan salah satu tanaman yang ditemukan di Afrika Barat, India, Sri Lanka, Malaya, dan Jawa (Jainu et al. 2006). Tanaman ini tumbuh baik pada tempat terbuka dan terkena cahaya matahari langsung. Spesies ini ditemukan di daerah panas dan dataran rendah sampai 600 m di atas permukaan laut (Shirwaikar et al. 2003). Swamy et al. (2006) menyatakan bahwa ada tanaman Cissus quadrangularis Linn. yang dipakai dalam pengobatan tradisional di India. Tanaman ini berbeda dengan sipatahpatah yang ada di Aceh yaitu mempunyai daun berbentuk bulat. Perbedaan morfologi antara sipatah-patah Aceh dengan Cissus quadrangularis Linn. dari India (Gambar 10). Penelitian fitomedisin yang dilakukan oleh Nadkarni (1954) dan Warrier et al. (1994) menunjukkan bahwa bagian batang dari tanaman Cissus quadrangularis Linn. secara luas digunakan untuk pengobatan fraktur tulang, tumor, wasir, sariawan, dan tukak lambung. Tanaman ini juga mempunyai sifat antiosteoporotik (Shirwaikar 2003), analgesik, hipotensi, antibakterial, antifungal (Austin dan Jagdeesan 2004), obat anti kanker (Taylor 2002) dan peradangan (Dalimartha 2003). Di Afrika dan Asia ekstrak daun, batang, dan akar tanaman ini digunakan dalam penanganan berbagai penyakit (Murthy et al. 2003; Oben et al. 2008). Ekstrak batang dan akar dari tanaman ini diketahui juga memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba. Getah batang tanaman Cissus quadrangularis Linn. digunakan untuk pengobatan patah tulang, penyakit telinga dan mata, sariawan, asma, menstruasi tidak teratur, wasir, tumor, dan luka (Kritikar dan Basu 2000). Tanaman bagian 33

56 Cissus quadrangula Salisb Cissus quadrangularis Linn. Gambar 10. Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) dari Aceh dan Cissus quadrangularis Linn. (Shirwaikar et al. 2003) dari India, terlihat jelas adanya perbedaan warna batang dan bentuk daun. akar, batang, dan daun digunakan khusus untuk patah tulang (Kumbhojkkar et al. 1991). Menurut Nadkarni (1954) akar Cissus quadrangularis Linn. sangat berguna untuk pengobatan fraktur tulang baik diminum maupun digunakan sebagai plester eksternal. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman ini mempunyai sifat analgesik, antioksidan, dan penyembuhan fraktur pada tulang (Deka et al. 1994). Cissus quadrangularis Linn. bersifat asam, mengandung senyawa euforbin, taraksasterol, α-laktucerol, eufol, glikosida, sapogenin, dan asam elagat. Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti kuersetin dan vitamin C, resveratrol, piceatannol, palidol, ketosteroid, dan karoten (Swamy et al. 2006), senyawa fitoestrogen yaitu isoflavon, lignin, 34

57 coumestan, triterpen, glicosides, dan asiklik (Jainu dan Devi 2006). Di samping itu tanaman Cissus quadrangularis Linn. mengandung vitamin C, β-karoten, fitosterol, dan kalsium (Tiangburanatham 1996; Patarapanich et al. 2004). Attawish et al. (2002) menyatakan bahwa batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, β- karoten dan vitamin C. Mehta et al. (2001) menyatakan adanya senyawa γ- amirin, δ-amiron. Senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model (Nevarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002). Dari hasil-hasil pernyataan para peneliti tersebut di atas, menunjukkan bahwa kandungan fitokimia tanaman ini sangat beragam. Sanyal et al. (2005) menemukan kristal kalsit pada Cissus quadrangularis Linn. Kristal kalsit ekstrak tanaman ini kaya akan sumber ion kalsium, dan apabila direaksikan dengan CO 2 memicu terbentuknya kristal kalsit dengan morfologi yang tidak beraturan. Hal ini mengindikasikan adanya molekul bioorganik. Ekstrak segar batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung kalsium 4 % dan fosfor. Batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpenoid dan polifenol yang diketahui menekan pembentukan sitokin (Jainu dan Devi et al. 2006). Sedang Leiro et al dan Thuong et al menyatakan bahwa triterpenoid dan polifenol menurunkan pembentukan TNFα dan IL1-β. 35

58 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Anatomi, Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi; Bagian Patologi dan Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB; Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB; Laboratorium Fitokimia, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong; Laboratorium Biofarmaka IPB Taman Kencana, Bogor, serta Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, dari bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Juni Materi Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Tanaman sipatah-patah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Desa Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengambilan sampel tanaman ini dilakukan pada bulan Maret Tanaman diidentifikasi oleh Herbarium Bogoriensis, LIPI Cibinong (Surat nomor: 177/IPH.1.02/IF.8/2007 tanggal 26 April 2007) dengan nama Cissus quadrangula Salisb (Lampiran 1). Dalam penelitian ini diperlukan 4,5 kg batang kering tanaman sipatah-patah Hewan Coba Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) umur 20 hari berasal dari galur Sprague Dawley yang diperoleh dari Animal Lab. IPB Baranangsiang, Bogor. Sebelum dilakukan penelitian, semua kelompok tikus diadaptasikan di dalam kandang selama 10 hari. Selama masa adaptasi, dilakukan pemeriksaan klinis, pemberian antibiotika dan obat cacing (Kalbazen 0,2 ml/oral) untuk menghilangkan infeksi cacing yang kemungkinan dapat menganggu jalannya penelitian. Tikus dipelihara di kandang berukuran 36 x 28 x 12 cm yang diberi alas sekam padi agar lingkungan kandang tidak lembab, ruangan diberi ventilasi dan penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam dan setiap kandang diisi dua ekor tikus. Pakan tikus adalah pakan burung super berkicau P-588 produksi Indonesia Formula Feed (komposisi dapat dilihat pada Lampiran 2.) dan air minum diberikan secara ad libitum. 37

59 Ovariektomi dilakukan melalui sayatan kulit daerah flank bagian kiri dan kanan. Tikus terlebih dahulu dibius mengunakan campuran Xylazine (Xylazine- 20, Troy Laboratories PTY Ltd, Australia) dosis 0,3 mg (0,03 ml) dan Ketamine (Ketamil, Troy Laboratories PTY Ltd, Australia) dosis 1,5 mg (0,03 ml) per ekor secara intraperitoneal (ip). Setelah tikus terbius, kulit daerah flank disayat dengan panjang sayatan lebih kurang 1-1,5 cm. Selanjutnya jaringan subkutan dikuakkan, lalu dinding abdomen disayat, kemudian bantalan lemak ditarik sehingga ovarium beserta saluran tuba Fallopii (tuba uterina) dan kornua uteri ikut terbawa keluar rongga abdomen. Selanjutnya ovarium beserta bursa diambil untuk menghindari adanya ovarium yang tersisa. Cornua uteri dan tuba Fallopii dikembalikan ke dalam rongga abdomen. Ovarium kanan diambil dengan cara serupa. Setelah itu kulit dijahit dan diberi antibiotik (Nebacetin, Pharos, Indonesia), untuk pemulihan dilakukan selama sepuluh hari dan selanjutnya tikus tersebut telah siap untuk perlakuan ekstrak sipatah-patah (ESP) Bahan Penelitian Untuk keperluan pembuatan preparat histologi digunakan 1). paraformaldehid 0,2 % dalam phosphate buffered saline (PBS) 0,1 M ph 7,4, 2). normal buffer formalin 10 %, 3). alkohol bertingkat, 4). silol dan 5). paraffin histoplast dengan titik leleh C. Bahan untuk pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) adalah pewarna Hematoksilin Delafield, dan pewarna Eosin dalam alkohol. Untuk pewarnaan Masson trichrome (MT) modifikasi Goldner digunakan bahan pewarna ponceau 2R, orange G dan lightgreen Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan untuk fiksasi jaringan terdiri atas gelas objek, cover glass, entelan, jarum kupu-kupu, scalpel, gunting, tang arteri, needle holder, pinset, spuit suntik, sonde (feeding tube), benang cat gut, tampon, gouce dan wadah penyimpanan jaringan. Untuk proses parafinasi dan pemotongan jaringan digunakan gelas piala, inkubator, sliding microtome. Selanjutnya untuk pengamatan hasil penelitian digunakan mikroskop cahaya, dan untuk pemotretan digunakan alat mikrofotografi. 38

60 3.3. Metode Pembuatan Ekstrak Batang Sipatah-patah (ESP) Pembuatan ESP dilakukan di Laboratorium Biofarmaka IPB Taman Kencana, Bogor. Bagian batang tanaman sipatah-patah dipotong-potong dengan panjang sekitar 1 cm, lalu diangin-anginkan sehingga menjadi kering. Bagian tanaman yang sudah kering dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 C selama 48 jam. Setelah kering kemudian dihaluskan dengan penggilingan sehingga menjadi serbuk. Selanjutnya proses pembuatan ekstrak dari serbuk dilakukan di Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH IPB. Proses pembuatan ESP secara rinci ada di Lampiran Analisis Kandungan Kalsium dan Fosfat, Bahan Aktif dan Analisis Senyawa Fitokimia Batang Sipatah-patah Analisis kandungan mineral kalsium dan fosfor sipatah-patah dilakukan dengan uji proksimat berdasarkan metode AOAC (1980) (Lampiran 4). Analisis bahan aktif sipatah-patah menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrophotometry (GC-MS) FAMES1 M) dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta (Lampiran 5) Pembagian Kelompok Tikus Penelitian ini dilakukan dengan membagi tikus percobaan menjadi dua kelompok yaitu: 1). Kelompok tikus nonovariektomi (NOV) untuk meneliti kemampuan ESP terhadap pencegahan osteoporosis pada masa prepubertas, 2). Kelompok tikus ovariektomi (OV) untuk meneliti aktivitas ESP terhadap pengobatan osteoporosis pada tikus betina yang diovariektomi. Masing-masing kelompok diberi ekstrak sipatah-patah dengan dosis 750 mg/kg bb/hari/per oral sesuai penelitian Shirwaikar et al. (2003) Kelompok Tikus Nonovariektomi (NOV) Penelitian pada kelompok tikus nonovariektomi ini bertujuan untuk meneliti kemampuan ESP untuk memperbaiki kondisi tulang sehingga dapat mencegah terjadinya osteoporosis di kemudian hari. Sebelum percobaan dimulai, semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 39

61 10 hari untuk tiap-tiap kelompok perlakuan. Setelah masa adaptasi, hewan coba dibagi secara acak dalam lima grup perlakuan dan masing-masing diberi ekstrak sipatah-patah setiap hari selama penelitian. Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 20 hari dengan bobot badan g sebagai hewan coba. Tikus diberi pakan standar dan air minum ad libitum. Hewan coba ditempatkan di dalam kandang individu dan diadaptasikan terhadap pakan dan lingkungan selama 10 hari. Tikus-tikus pada grup kontrol diberi larutan karboksimetil selulosa (CMC) 1 % sebagai plasebo (NOV-0), sedangkan tikus grup perlakuan diberi ESP mulai umur 30 hari (NOV-1), 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Pada tikus-tikus grup perlakuan ESP diberikan per oral dengan feeding tube sebanyak satu mililiter ESP satu hari sekali yaitu pagi hari (jam wib) dengan dosis 750 mg/kgbb/hari selama masa penelitian. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 15 hari sekali. Pengambilan darah kurang lebih 2 ml dilakukan setiap 30 hari sekali melalui vena coccygeae. Darah dikoleksi pada tabung reaksi dan selanjutnya dianalisis kadar kalsium dan fosfor. Analisis kadar kalsium dan fosfor dilakukan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, dengan mengunakan Atomic Absorbance Spectrophotometry (AAS) (Hitachi 5000) untuk kalsium, sedangkan untuk analisis kadar fosfor menggunakan metode spectrophotometry dengan alat Spectronic Camspecs LW-200 (Lampiran 7). Pada akhir masa perlakuan (pada umur tikus 180 hari), semua tikus dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher. Kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan kerangka tulang dan organ untuk diamati secara histologis. Pengamatan selanjutnya adalah pemeriksaan radiografi terhadap kondisi tulang yang dilakukan setelah organ visceral dikeluarkan. Semua organ termasuk tulang diambil dan difiksasi dengan larutan formalin 10 %. untuk proses pembuatan sediaan histologi. Selanjutnya ossa radius-ulna kiri serta ossa vertebrae lumbalis II-V diambil untuk dianalisis kadar kalsium dan fosfat. Ossa tibia-fibula kanan, ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid diambil untuk pembuatan sediaan histologis. Sampel tulang tibia-fibula difiksasi dalam larutan pengawet paraformaldehid 4 % dan dilakukan dekalsifikasi dalam larutan asam nitrat 5 %, selanjutnya tulang diproses dengan metode histokimia standar (Humason 1967) dan ditanam dalam blok parafin. Sayatan jaringan ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid serta ossa tibia-fibula diwarnai dengan pewarnaan HE (Humason 1967) dan pewarnaan MT (Kiernan 1990) (Lampiran 8). 40

62 3.3.5 Kelompok Tikus Ovariektomi (OV) Penelitian pada kelompok tikus ovariektomi bertujuan untuk meneliti pengaruh ESP dalam pengobatan osteoporosis pada tikus yang diovariektomi. Ovariektomi adalah tindakan pembedahan pengambilan ovarium bilateral untuk menginduksi osteoporosis. Sebelum percobaan dimulai semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Percobaan mengunakan 20 ekor tikus betina. Tikus-tikus tersebut dibagi ke dalam lima grup perlakuan masing-masing terdiri atas empat ekor tiap grup yaitu: tikus sham yang hanya dilakukan sayatan kulit lalu ditutup kembali (OV-0), tikus perlakuan ovariektomi tanpa diberikan ESP (OV-1), dan tikus perlakuan ovariektomi dengan pemberian ESP mulai umur 90 selama 120 hari (OV-2), umur 120 selama 90 hari (OV-3), dan umur 150 hari selama 60 hari (OV-4). Tahapan perlakuan dilakukan selama 180 hari (Gambar 11). Pemberian ESP diberikan per oral dengan feeding tube sebanyak satu mililiter ESP satu hari sekali yaitu pagi hari (jam wib). Selama perlakuan, 15 hari sekali tikus ditimbang dan diambil darahnya kurang lebih 2 ml setiap 30 hari sekali melalui vena coccygeae. Darah dikoleksi pada tabung reaksi dan didiamkan selama satu hari, selanjutnya dianalisis kalsium dan fosfor. Pada akhir masa perlakuan (umur tikus 210 hari), semua tikus dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher. Kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan kerangka tulang dan melihat perubahan patologi anatomi pada organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid yang mungkin terjadi. Pengamatan selanjutnya adalah pemeriksaan radiografi terhadap kondisi tulang yang dilakukan setelah organ visceral dikeluarkan. Semua organ termasuk tulang diambil dan difiksasi dengan larutan formalin 10 %, untuk proses pembuatan sediaan histologi. Selanjutnya ossa radius-ulna kiri dan serta ossa vertebrae lumbales II-V diambil untuk dianalisis kadar kalsium dan fosfor. Ossa tibia-fibula kanan, ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid diambil untuk pembuatan sediaan histologis. Sampel ossa tibia-fibula difiksasi dalam larutan pengawet paraformaldehid 4 % dan dilakukan dekalsifikasi dalam larutan asam nitrat 5 %, selanjutnya tulang diproses dengan metode histokimia standar (Humason 1967) dan ditanam dalam blok parafin. Sayatan jaringan ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid serta ossa tibia-fibula diwarnai dengan pewarnaan HE (Humason 1967), selanjutnya ossa tibia-fibula juga diwarnai dengan pewarnaan MT (Kiernan 1990) (Lampiran 8). 41

63 3.4. Parameter Parameter yang diamati adalah bobot badan, panjang tulang femur, radiografi tulang, kadar kalsium dan fosfor darah, kadar kalsium dan fosfor tulang, gambaran mikroskopis tulang (ossa tibia-fibula) serta organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan bobot badan, panjang tulang femur, kadar kalsium dan fosfor darah, serta kadar kalsium dan fosfor tulang, dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Duncan Test. Gambaran radiografi dan mikroskopis jaringan tulang serta organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid dianalisis secara deskriptif. 42

64 Sipatah-patah Kandungan mineral Ca /P) Ekstraksi Kandungan fitokimia Identifikasi senyawa fitokimia Pengujian Hewan coba tikus betina Nonovariektomi Ovariektomi Pengamatan a. Bobot badan b. Radiografi tulang c. Kadar Ca dan P darah d. Kadar Ca dan P tulang e. Gambaran histologi tulang, hati, ginjal, dan paratiroid Analisis data Gambar 11. Skema Alur Penelitian 43

65 Umur NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 Adaptasi Perlakuan Gambar 12. Alur Penelitian Tikus Nonovariektomi Keterangan: = Masa adaptasi = Masa sebelum perlakuan dimulai = Masa pemberian ESP = Pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat darah NOV NOV = Grup nonovariektomi Nekropsi 44

66 Gambar 13. Alur Penelitian Tikus Ovariektomi Ovariektomi Umur (hari) NOV -0 (sham) OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 Adaptasi Pemulihan Perlakuan Nekropsi Gambar 13. Alur Penelitian Tikus Ovariektomi Keterangan: OV = Masa adaptasi = Masa pemulihan dari ovariektomi = Masa sebelum perlakuan dimulai = Masa pemberian ESP = Pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat darah = Grup ovariektomi, diovariektomi pada umur 50 hari 45

67 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

68 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Proksimat Batang Kering Sipatah-patah dan Penapisan Fitokimia Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Dari hasil analisis proksimat batang kering tanaman sipatah-patah ditemukan kadar kalsium sebesar 4,33 % dan fosfor sebesar 0,37 % (Lampiran 20). Untuk penentuan adanya substansi alkaloid dari ESP digunakan pereaksi Mayer dan Dragendrof. Kedua pereaksi tersebut menunjukkan hasil yang positif adanya alkaloid. Melalui uji fitokimia ESP lainnya, juga ditemukan pula senyawa flavonoid, tanin (polifenolat) dan triterpenoid, sementara itu reaksi terhadap saponin negatif (Tabel 1 dan Lampiran 21). Tabel 1. Komponen fitokimia ESP No. Komponen fitokimia Hasil 1. Alkaloid a. Pereaksi Mayer b. Pereaksi Dragendrof Flavonoid + 3. Tanin /polifenolat + 4. Triterpenoid + 5. Saponin - Keterangan: + = Mengandung, - = Tidak mengandung Identifikasi Kandungan ESP Penentuan kadar komponen fitokimia dari ESP diperoleh dari analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Berdasarkan analisis GC-MS terhadap ESP, diperoleh 33 senyawa fitokimia (Tabel 2 dan Lampiran 22). Dari ke-33 senyawa fitokimia tersebut diperoleh lima kelompok utama, yaitu steroid, triterpenoid, asam karboksilat, hidrokarbon, dan kelompok lain (ester dan keton). 46

69 Tabel 2. Komposisi kimia ekstrak etanol batang sipatah-patah berdasarkan GC-MS. No. Senyawa Fitokimia Golongan Area (%) Subtotal % 1 A-norcholestan-3-one,5-ethenyl Steroids 22,67 2 Stigmast-5-en-3-ol (3.beta) Steroids 15,52 3 Stigmast-4- en-3-one (CAS) Steroids 8,53 4 Lup-20(29)-en-3-ol (3.beta) Steroids 7,94 5 Ergost-22-en-3-ol (3 beta.5alpha) Steroids 5,74 6 Ergost-5-en-3-ol (3.beta) Steroids 4,69 7 Ergost-25-ene-3,5,6,12-tetrol Steroids 2,59 8 Stigmasta-5,23-dien-3.beta.-ol Steroids 2,55 9 Methyl (25RS)-3β-hydroxyl-5 Steroids 2,36 cholesten 10 Gamma-Tocopherol Steroids 1,02 11 Cholestan-3-one,2-(1-methil) Steroids 0,81 12 Trans -stigmasta-5,22-dien-3 beta Steroids 0,58 13 Ergost-22-en-3-ol (3.beta) Steroids 0,41 14 Vitamin E Steroids 0, ,2-benzenedicarboxylic acid Asam karboksilat 5,87 (asam phtalat) 16 9-octadecenoic acid (z), methyl Asam karboksilat 1,91 (asam oleat)(c18:1) 17 Octadecanoic acid (asam Asam karboksilat 1,10 stearat)(c18:0) 18 1-phenenthrenecarboxylic Asam karboksilat 0,48 19 Hexadecanoic acid(asam palmitat) Asam karboksilat 0, Hexadecen-1-ol,3,7,11,15- Triterpenoid 4,54 tetramethyl atau phytol 21 2,6,10,14,18,22-tetracosahexaene Triterpenoid 1,59 22 Aristolone Triterpenoid 1,02 23 Oxacycloheptadeca-2-one (CAS) Triterpenoid 0,64 24 Muskolactone dan oxacyclotetradecane Triterpenoid 0,7 25 Phenanthrene,1-methyl-7-(1- Hidrokarbon 0,81 methyl) aromatic 26 Cyclohexane Hidrokarbon siklik 0,45 27 Heptadecane Hidrokarbon 0,41 28 Neophytadiene Hidrokarbon alifatik 0, ,6-bis(methylthio)-4-(2-furyl) 0,54 30 Hexadecanoic acid methyl ester Ester 1,49 (asam palmitat)(c16:0) 31 1,4a.beta.-dimethyl-7-isopropyl 1, pentadecanone Keton 0, (2',2'-dimethyl-6'- methyliden) 0,28 74,52 9,81 8,49 1,82 3,98 Total 98,62 47

70 Dari keseluruhan senyawa fitokimia ESP, kelompok steroid merupakan kelompok yang paling dominan, yang terdiri atas 14 senyawa fitokimia dan tujuh di antaranya adalah senyawa fitoestrogen, dengan kumpulan persen puncak area paling besar yaitu (74,52 %). Komposisi terbanyak senyawa steroid ini adalah A-norcholestan-3-one, 5-ethenyl (22,67 %), Stigmast-5-en-3-ol (3 beta) (15,52 %), Stigmast-4- en-3-one (CAS) (8,53 %), dan Lup-20(29)-en-3- ol (3.beta) (7,94 %), Senyawa fitokimia yang menempati urutan kedua terbanyak (9,81 %) adalah kelompok Asam karboksilat (9,81 %) dengan komponen yang paling dominan adalah 1,2-benzenedicarboxylic acid (5,87 %), 9-octadecenoic acid (z), Methyl (asam oleat) (1,91 %), dan Octadecanoic acid (asam stearat) (1.1 %). Kelompok triterpenoid juga banyak ditemukan pada ekstrak sipatahpatah (8,49 %), terdiri atas 2-hexadecen-1-ol,3,7,11,15-tetramethyl atau Phytol (4,54 %), 2,6,10,14,18,22-tetracosahexaene (1,59 %), Aristolone (1,02 %), dan beberapa komponen fitokimia lain yang kadarnya di bawah 1 %. Selain ketiga kelompok utama komponen fitokimia di atas, masih ditemukan pula kelompok hidrokarbon (1,82 %) dan kelompok ester dan keton (3,98 %) Pengaruh Pemberian ESP pada Kelompok Tikus Nonovariektomi Pertumbuhan Bobot Badan Tikus. Pemberian ESP pada tikus betina dengan berbagai tingkatan umur menunjukkan adanya pengaruh pada pertumbuhan bobot badan antarperlakuan (Gambar 14). Secara umum, pemberian ESP menyebabkan pertumbuhan bobot badan lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol. Berdasarkan hasil analisis statistik ditemukan bahwa bobot badan tikus kontrol lebih rendah dari tikus yang diberi ESP selama 150 hari maupun dengan tikus yang diberi ESP 120 hari, 90 hari, dan 60 hari (P<0,05). Pertumbuhan bobot badan tikus yang diberi ESP selama 150 hari adalah paling tinggi dibanding dengan grup yang lain. Tikus yang diberi ESP 120 hari juga lebih berat dibandingkan dengan tikus yang diberi ESP 90 hari, 60 hari maupun tikus kontrol. Dengan demikian maka pertumbuhan bobot badan semakin besar sejalan dengan lama durasi pemberian ESP. Perbedaan tingkat pertumbuhan bobot badan antara tikus kontrol dan tikus perlakuan tampak setelah umur 105 hari. Pada umur 105 hari ini, tikus (NOV-1) mempunyai bobot badan 119,25 g, lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (106,78 g). Demikian juga dengan tikus (NOV-2, NOV-3, dan NOV-4) 48

71 Bobot badan (gr) Umur tikus (hari) 173,20 20,75 a 159,78 20,26 ab 158,95 17,06 ab 149,88 7,44 ab 136,55 7,68 b NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 Gambar 14. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 30 hingga 180 hari pada grup NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05). pada umur 105 hari memiliki bobot badan masing-masing 116,40 g, 108,68 g, dan 109,95 g yang semuanya lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (P <0,05). Pada akhir perlakuan (umur 180 hari), tikus NOV-1 memiliki bobot badan sebesar 173,20 g atau 26,84 % lebih berat dibandingkan tikus kontrol. Tikus (NOV-2 dan NOV-3) masing-masing 16,40 % dan 17,01 % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol, sedangkan tikus NOV-4 mempunyai bobot badan sebesar 149,88 g atau 9.76 % lebih berat dari kontrol. Pertambahan bobot (bobot akhir dikurang bobot awal dari pemberian ESP) grup perlakuan ESP selama 150 hari adalah sebesar 78,47 g dibandingkan dengan tikus kontrol yang hanya 42,7 g, diikuti tikus yang diberi ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari masing-masing sebesar 65,2 g, 65,83 g, dan 56,5 g Pengukuran Panjang Tulang Femur Dari hasil pengukuran panjang tulang femur di akhir perlakuan pada tikus NOV-1 sebesar 31,88 mm, yang diikuti NOV-2 29,64 mm, NOV mm, dan NOV-4 29,26 lebih panjang dibandingkan dengan kontrol yang hanya mm 49

72 (Gambar 15). Tikus yang diberi ESP selama 150 hari (NOV-1) memiliki pertambahan ukuran tulang femur paling panjang yaitu sebesar 3,09 mm (meningkat 10,76 %) diikuti tikus NOV-2, NOV-3 dan OV-4 masing-masing 0,91 mm (3,17 %), 0,71 mm (2,47 %) dan 0,53 mm (1,84 %) dibandingkan dengan panjang tulang femur pada tikus NOV-0 (P<0,05) a b a a Panjang Tulang (mm) NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 Grup Gambar 15. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus setelah masa perlakuan selama 180 hari. Ukuran tulang femur pada NOV-1 lebih panjang dibandingkan pada kontrol (NOV-0) dan perlakuan lainnya yaitu NOV-2, NOV-3, dan NOV Kadar Kalsium dan Fosfor Darah. Pada tikus NOV-0, kadar kalsium darah cenderung konstan berkisar antara 11,0-11,72 mg/dl. Kadar kalsium tikus yang diberi ESP selama 150 hari pada awal pemberian ESP sebesar 11,58 mg/dl dan kemudian meningkat pada akhir perlakuan menjadi sebesar 12,10 mg/dl (meningkat 4,49 %). Tikus yang diberi ESP selama 150 hari inilah yang memiliki konsentrasi kalsium tertinggi dibandingkan tikus perlakuan lainnya. Kadar kalsium darah pada tikus yang diberi ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ESP 150 hari. Tikus-tikus yang diberi ESP selama 120 hari memiliki kadar kalsium yang meningkat sebesar 4,92 % dan diikuti oleh tikus 50

73 Kadar kalsium darah (mg/dl) 12, , ,5 10 9, ,10 0,45 a 11,72 0,53 b 11,70 0,53 b 11,36 0,37 b 11,18 0,68 b Gambar 16. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari.. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama: 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05). (mg/dl) 7,85 Kadar fosfor darah 7,8 7,75 7,7 7,65 7,6 7,55 7, Umur tikus (hari) 7,80 0,11 a 7,74 0,20 a 7,74 0,23 a 7,73 0,30 a 7,71 0,40 a NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 Gambar 17. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05). 51

74 perlakuan ESP 90 hari sebesar 4,89 %, dan 60 hari sebesar 0,26 % (Tabel 3). Dengan demikian, hasil analisis terhadap parameter kadar kalsium darah secara umum menunjukkan peningkatan pada seluruh tikus-tikus perlakuan dibandingkan tikus kontrol (P <0,05) (Gambar 16). Kadar fosfor darah pada tikus yang diberi ESP 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari menunjukkan peningkatan selama masa pemberian ESP walaupun pada akhir perlakuan, kadar fosfor tikus perlakuan ESP 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari tidak setinggi kadar fosfor tikus kontrol (Gambar 17). Kadar fosfor darah dari tikus yang diberi ESP selama 150 hari pada hari ke-180 mengalami peningkatan sebesar 1,84%, tikus yang diberi ESP selama 120 hari sebesar 2,24%, tikus yang diberi ESP 90 hari dan 60 hari masing-masing sebesar 2,65% dan 1,98 (Tabel 3). Hasil analisis statistik terhadap kadar fosfor dalam darah tidak berbeda nyata pada semua tikus-tikus perlakuan. Tabel 3. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus di awal dan di akhir pemberian ESP. Perlakuan Lama pemberian ESP awal NOV-0 Kontrol 11,78± 0,33 NOV hari 11,58± 0,40 NOV hari 11,17± 1,26 NOV-3 90 hari 10,83± 0,66 NOV-4 60 hari 11,15± 0,50 Kalsium mg/dl Kenaikan akhir (%) awal Fosfor mg/dl Kenaikan akhir (%) 11,70± 0,53-0,67 7,62±0,17 7,80±0,11 2,36 12,10± 0,45 4,49 7,60±0,18 7,74±0,20 1,84 11,72± 0,53 4,92 7,57±0,24 7,74±0,23 2,24 11,36 ± 0,37 4,89 7,53±0,47 7,73±0,30 2,65 11,18 ± 0,68 0,26 7,56±0,47 7,71±0,40 1,98 NOV-0 dan NOV-1= umur 30 hari; umur 60 hari (NOV-2), umur 90 hari (NOV-3), dan umur 120 hari (NOV-4). Dari analisis terhadap kadar kalsium dan fosfor tulang tikus perlakuan ditemukan adanya hasil yang relatif sama dengan tikus kontrol (P<0,05). Kadar kalsium grup pemberian ESP selama 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari berturut-turut, yaitu sebesar 31,85 % 31,46 %, 30,30 %, dan 30,71 % serta kadar kalsium tikus kontrol sebesar % (Tabel 4). Untuk kadar fosfor tulang tikustikus perlakuan juga memberikan hasil yang tidak berbeda dibandingkan tikus kontrol (P<0,05). Kadar fosfor grup pemberian ESP selama 150 hari, 120 hari, 52

75 90 hari, dan 60 hari berturut-turut sebesar 18,48 %, 18,23 %, 18,21 %, dan 17,85 %, dan tikus kontrol sebesar 18,89 % (Tabel 4). Ternyata perbedaan lama pemberian ESP dalam perlakuan tidak merpengaruhi pada kadar fosfor dalam tulang. Tabel 4. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus selama masa pemberian ESP. Perlakuan Kadar Kalsium (%) Fosfor (%) NOV-0 a 32,41±1,37 18,89±1,12 NOV-1 ab 31,85±0,83 18,48±0,22 NOV-2 abc 31,46±0,20 18,23±0,82 NOV-3 bc 30,30±0,54 17,85±0,56 NOV-4 c 30,71±0,37 18,21±0,41 NOV-0 = Tikus kontrol, NOV-1= perlakuan 30 hari, NOV-2= perlakuan 60 hari, NOV-3 = perlakuan 90 hari, NOV-4 = perlakuan 120 hari. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05) Gambaran Radiografi Tulang Pemeriksaan radiografi terhadap tulang tibia tikus kontrol (NOV-0) dan perlakuan (NOV-1, NOV-2, NOV-3 dan NOV-4) dilakukan untuk menentukan kepadatan massa tulang. Tulang yang padat akan memberikan hasil gambar yang lebih radiopaque sedangkan tulang yang kurang kompak akan memperlihatkan hasil yang lebih radiolucent. Secara umum, gambaran radiografi tulang tibia tikus perlakuan menunjukkan kekompakan yang lebih baik dibandingkan dengan tulang tibia pada tikus kontrol. Tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 150 hari tampak lebih kompak dengan gambaran yang paling radiopaque dibandingkan dengan tulang tibia tikus perlakuan lainnya maupun tikus kontrol (Gambar 18). 53

76 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 Gambar 18. Gambaran radiografi tulang tibia tikus dengan perlakuan pemberian ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset. Tanda panah memperlihatkan radiolucent (NOV-0 ), dan radiopaque (NOV-1 ), dengan derajat radiopaque yang menurun pada NOV-2,NOV-3 dan NOV-4 jika dibandingkan dengan NOV-1. Bar: 5 mm NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4) Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia. Secara mikroskopis, kondisi pertulangan dapat ditentukan antara lain oleh densitas trabekula serta osteoblas dan osteoklas yang terdapat di daerah diafisis maupun metafisis. Secara umum, trabekula terbentuk dari sasaran epifisis yang mengalami osifikasi ke arah distal. Dengan mewarnai preparat tulang dengan pewarnaan Masson Trichrome, maka trabekula memberikan warna biru menandakan masih mengandung tulang rawan sedangkan warna merah menandakan tulang yang sudah padat dan umumnya hasil pengamatan pertumbuhan trabekula sejajar dengan sumbu tulang meskipun ada daya tarik menarik dengan otot (Gambar 19). 54

77 a e d b c f g Gambar 19. Gambaran umum tulang tibia. a. Epifisis proksimalis, b. Sasaran efifisis, c. Metafisis d. Trabekula, e. Osifikasi trabekula, f. Sumsum tulang (bone marrow), g. Subtansia kompakta. Pewarnaan MT. Bar: 50 µm. Tikus dengan pemberian ESP selama 150 hari memiliki trabekula dengan intensitas warna biru lebih pekat dibandingkan dengan tikus kontrol, maupun tikus-tikus perlakuan lainnya (pemberian ESP selama 120 hari,90 hari, dan 60 hari). Trabekula pada tulang tibia tikus dengan pemberian ESP selama 150 hari ini juga tampak lebih padat dan tebal, baik di daerah diafisis maupun metafisis. Intensitas warna trabekula menunjukkan kepadatan massa jaringan ikat trabekula. Trabekula pada tikus pemberian ESP 150 hari dan 120 hari memberikan intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat dibandingkan dengan intensitas warna trabekula pada tikus kontrol dan tikus perlakuan lainnya. Walaupun demikian pada tikus yang diberi ESP selama 120 hari, trabekulanya tampak lebih tipis dibandingkan dengan tikus yang diberi ESP selama 150 hari, hal yang sama ditemukan pada tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 90 hari. Tikus NOV-4 yang mendapatkan ESP selama hanya 60 hari intensitas trabekula dari tulang tibianya lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan tikus perlakuan lainnya (Gambar 20) dan sketsa gambaran trabekula yang terlihat adanya perbedaan dengan tikus kontrol (Gambar 21). Dengan pewarnaan Masson trichrome ini juga dapat diamati buluh darah terutama ditemukan pada daerah metafisis. Buluh darah banyak ditemukan pada sumsum tulang tikus kontrol maupun tikus-tikus perlakuan tetapi pada struktur tulang tikus pemberian ESP 60 hari, buluh darahnya tampak lebih banyak dibandingkan dengan tikus kontrol maupun tikus-tikus perlakuan lainnnya karena adanya peningkatan aktivitas metabolisme tulang. 55

78 Gambar 20. Gambaran trabekula pada potongan memanjang tulang tibia tikus kontrol (NOV-0) dan tikus perlakuan yang diberi ESP mulai umur 30 hari dan NOV-1, 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Terjadi peningkatan trabekula (panah hitam) pada grup ESP dibandingkan dengan kontrol (NOV-0). Sumsum tulang (panah merah). Pewarnaan MT. Bar: 50 µm. 56

79 Gambar 21. Gambaran sketsa densitas trabekula pada tulang tibia setelah pembuangan sumsum tulang dari seluruh grup tikus pada umur 180 hari. Peningkatan trabekula (panah hitam) lebih jelas pada NOV-1 dan (NOV-2) dibandingkan kontrol (NOV-0). Ket: NOV-0 (tikus kontrol), NOV-1 tikus perlakuan yang diberi ESP mulai umur 30 hari, NOV-2 mulai 60 hari, NOV-3 mulai 90 hari, dan NOV-4 mulai 120 hari. Pewarnaan MT. Bar: 50 µm. 57

80 Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas. Kondisi pertumbuhan tulang dapat ditentukan melalui densitas trabekula dan kuantitas osteoblas dan osteoklas yang terdapat di daerah epifisis maupun metafisis. Pada tulang tibia dalam penelitian ini masih ditemukan sasaran epifisis. Di daerah epifisis, densitas osteoblas dan osteoklas terlihat tidak mengalami perubahan, sedangkan pada sasaran epifisis telah ditemukan adanya proses pembentukan dan proses osifikasi trabekula. Pada daerah metafisis ditemukan sumsum merah yang berisi jaringan darah yang berbentuk sel-sel darah dari hasil proses diferensiasi sel-sel hemositoblas dan jaringan darah ini dinamakan sumsum merah. Osteoblas ditemukan di daerah endosteum: osteoblas yang pasif berbentuk pipih dengan inti pipih juga sedangkan yang aktif berbentuk kuboid (Gambar 22). Sementara itu dalam penelitian ini osteoklas ditemukan di permukaan trabekula yang akan bersiap-siap untuk meresorbsi tulang dan osteoklas yang sebagian badannya berada dalam lakuna Howship yang sedang meresorbsi tulang (Gambar 23). Dalam pengamatan ini, osteoklas aktif ditemukan di daerah trabekula bagian sentral tetapi tidak ditemukan pada daerah substansia kompakta dan trabekula bagian tepi. Secara mikroskopis, sumsum tulang di bagian epifisis dan metafisis tulang tibia tikus pemberian ESP 150 hari, tampak lebih padat dibandingkan tikus kontrol dengan ditemukanya osteoblas aktif yang berbentuk kuboid maupun osteoblas pasif dengan bentuk pipih. Densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus NOV-1, masing-masing adalah 38,92 ± 8,09, dan 57,21 ± 17,51 lebih padat dibandingkan dengan densitas osteoblas pada tikus kontrol masing-masing: 34,58 ± 8,05, dan 50,67 ± 17,37, tetapi densitas osteoklas pada tikus NOV-1 lebih rendah (Tabel 5). Osteoblas aktif pada pemberian ESP selama 120 hari sebesar ± 6.62 sedangkan yang pasif adalah ± Pada grup ini, pemberian ESP selama 120 hari memperlihatkan penurunan jumlah osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif, tetapi densitas osteoklas meningkat. Namun demikian, densitas osteoblas tikus NOV-2 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol. Selanjutnya, densitas osteoblas aktif pada tikus NOV-3 menurun menjadi 20,25 ± 8,99 (P<0,05) dan yang pasif sebesar 39,04 ± 13,32 dan densitas osteoblas aktif pada tikus NOV-4 juga menurun menjadi 18,08 ± 3,68 dan osteoblas pasif sebesar 34,96 ± 6,38 (Gambar 24). Di lain pihak, densitas osteoklas meningkat sejalan dengan rentang yang pendek pemberian ESP dan trabekula makin menipis. 58

81 Gambar 22. Osteoblas pada tulang tibia tikus. Inset : A dan B merupakan gambaran detil dari A dan B. A gambaran osteoblas pasif (panah), B gambaran osteoblas aktif (panah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm. Gambar 23. Gambaran osteoklas yang sedang merusak trabekula (panah hitam). A. osteoklas di permukaan trabekula serta osteoklas (panah putih) yang sudah selesai merusak tulang dan bersiap untuk lisis. B. osteoklas di dalam lakuna Howship sedang merusak sebagian trabekula. Pewarnaan HE. Bar: 50 µm 59

82 ost ost os ost 60

83 ost Gambar 24. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus umur 180 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset: memperlihatkan osteoblas aktif dan pasif NOV-0 : tikus kontrol, NOV-1 : pemberian ESP selama 150 hari dengan jumlah osteoblas yang meningkat, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 : jumlah osteoblas mulai menurun. Osteoblas aktif (panah hitam), osteoblas pasif (segitiga), ost: osteosit (panah putih). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (NOV-0, NOV-1,NOV-3 dan NOV-4) dan 20 µm (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 ). Berdasarkan densitas osteoklas, tikus yang diberi ESP 150 hari memiliki densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan tikus kontrol, maupun tikus yang diberi ESP 120 hari, 90 hari, dan 60 hari (P<0,05) Tabel 5. Dengan pewarnaan HE, tulang tikus kontrol terlihat adanya pengikisan trabekula karena aktivitas sel osteoklas, namun masih ada beberapa osteoblas yang bertindak meregenerasi tulang. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari dimulai pemberian ESP pada umur 60 hari menunjukkan densitas osteoklas 4,29 ± 4,44, tetapi osteoklasnya masih lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Pada tikus pemberian ESP selama 90 hari, walaupun terlihat adanya peningkatan osteoklas tetapi masih terlihat sumsum tulang yang padat dan trabekula sudah mulai terlihat jarang Tikus pada pemberian ESP 60 hari terlihat sumsum dan trabekula sudah mulai terlihat jarang. Pada pewarnaan HE (Gambar 25) menunjukkan beberapa osteoklas yang sudah membuat lakuna Howship pada tulang. Tulang menjadi tergerus dan regenerasi dari osteoblas tidak cukup untuk mengkompensasi aktivitas sel osteoklas. 61

84 62

85 Gambar 25. Densitas osteoklas tulang tibia tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset: memperlihatkan sel osteoklas. NOV-0 : tikus kontrol, NOV-1 : pemberian ESP selama 150 hari dengan jumlah osteoklas yang berkurang, NOV-2 sel osteoklas yang mulai meningkat, NOV-3, sel osteoklas yang semakin meningkat, dan NOV-4 sel osteoklas yang meningkat. osteoklas (tanda panah), Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV- 3, NOV-4).dan 20 µm (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3, NOV-4 ). Tabel 5. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Osteoblas Grup Osteoklas Aktif Pasif NOV-0 34,58±8,05 b 50,67±17,37 6,99±3,35 NOV-1 38,92±8,09 a 57,21±17,51 2,50±2,96 NOV-2 NOV-3 NOV-4 34,88±6,62 b 47,63±8,69 4,29±4,44 20,25±8,99 c 39,04±13,32 5,58±2,60 18,08±3,68 c 34,96±6,38 6,75±3,55 a b a a b bc a b b bc Buluh darah 13,79±3,40 11,96±3,34 12,63±3,59 11,88±4,37 14,42±1,77 ab b ab b a NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4) Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid pada tikus kontrol menunjukkan gambaran paratiroid yang normal dan terlihat sel-sel prinsipal warna sitoplasmanya gelap juga terlihat pada tikus pemberian ESP 150 hari (Gambar 26). Keadaan yang sama ditemukan pada tikus pemberian ESP 120 hari, 90 hari dan tikus grup pemberian 60 hari yaitu inti sel prinsipal yang membesar dan sitoplasma asidofilik. Sementara itu jumlah sel oksifil pada kelenjar paratiroid tikus-tikus NOV- 1, NOV-2, NOV-3, NOV-4 dan kontrol relatif sama. Inti selnya yang berwarna terang dengan sitoplasma yang berwarna gelap. Mikrovaskularisasi didalam kelenjar paratiroid dilakukan oleh sinusoid yang tampak membesar terdapat pada tikus-tikus NOV-2, NOV-3, dan NOV-4. 63

86 psp oks oks kpr psp kpr oks oks psp psp kpr kpr oks psp kpr Gambar 26. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). NOV-0, NOV-1 menunjukkan sel-sel prinsipal yang kompak dan dan terlihat terang, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 menunjukkan sel-sel prinsipal meningkat jumlahnya dan terlihat gelap. Sel-sel prinsipal (psp), sel-sel oksifil (oks), kapiler (kpr). Pewarnaan Hematoksilin Eosin. Bar: 50µm. 64

87 Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Gambaran mikroskopis jaringan hati tidak menunjukkan terjadinya perubahan antara tikus kontrol (NOV-0) dangan dengan tikus perlakuan lainnya (NOV-1, NOV-2, NOV-3, NOV-4). Sel-sel hepatositnya tidak mengalami perubahan, tidak ada sel-sel yang degenerasi dan nekrosa ditandai inti sel hepatosit yang masih berwarna biru cerah, dan sitoplasma berwana merah cerah serta tidak ada akumulasi benda-benda asing di dalam sitoplasma. Sinusoid normal, tidak mengalami dilatasi ataupun kerusakan lainya (Gambar 27). Hasil pemeriksaan mikroskopis ginjal tikus menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3 dan NOV-4) (Gambar 28). Dari pemeriksaan mikroskopis baik tikus kontrol maupun tikus perlakuan terlihat glomerulusnya yang tidak mengalami kerusakan ataupun kelainan ditandai tidak adanya akumulasi eritrosit pada tubulus ginjal. Sel-sel endotel pada kapsula Bowman tidak mengalami kelainan. Lumen dari tubulus kosong, tidak ada akumulasi benda-benda asing. Kelainan yang terjadi adalah adanya hyperemi ditandai adanya akumulasi sel-sel eritrosit pada glomerulus, dan pada pembuluh darah kapiler di antara tubulus. vc vc sht sns sht sns vc sht sns Gambar 27. Gambaran mikroskopi hati. Tikus kontrol (NOV-0), Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV- 1) mulai umur 30, dan (NOV-4) yang diberi ESP 60 hari dimulai umur 120 hari. Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup dibandingkan tikus kontrol. Vena sentralis (vc), sinusoid (sns), sel-sel hepatosit (sht). Pewarnaan HE. Bar: 50µm. 65

88 tbg gmr tbg gmr gmr tbg Gambar 28. Gambaran mikroskopis ginjal. Tikus kontrol (NOV-0), Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1) mulai umur 30, dan (NOV-4) yang diberi ESP 60 hari dimulai umur 120 hari. Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup baik kontrol maupun tikus perlakuan. Gromerulus (gmr), tubulus ginjal (tbg). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm. 66

89 4.3. Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Ovariektomi Bobot Badan Tikus Pemberian ESP pada tikus betina yang diovariektomi dengan berbagai lama pemberian menunjukkan tingkat pertumbuhan bobot badan yang berbeda (Gambar 29). Secara umum, pemberian ESP menyebabkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan dengan tikus sham maupun tikus kontrol. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) menunjukkan bobot badan paling tinggi dibandingkan dengan grup perlakuan yang lain yaitu sebesar 179,93 g atau lebih berat 26,13 g (meningkat 16,99 %). Hal yang sama juga ditemukan pada tikus OV-3 dan OV-4 yang memiliki bobot tubuh lebih berat dibandingkan dengan tikus OV-1. Tikus OV-3 memiliki bobot akhir sebesar 174,23 g atau lebih berat sebesar 20,43 g (meningkat 13,28 %) dibandingkan tikus OV-1 dan tikus OV-4 mempunyai bobot badan sebesar 171,65 g atau lebih berat 11,61 % dari tikus OV-1, dengan pertambahan bobot badan sebesar 17,85 g. Bobot badan (g) ,93 7,43 a 174,23 4,70 a 171,65 4,83 a 160,28 7,64 b 153,80 5,34 b OV0 OV1 OV2 OV3 OV Umur tikus (hari) Gambar 29. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus ovariektomi yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 60 hingga 210 hari pada grup OV-0, OV-1, OV-2, OV-3, dan OV-4. OV-0 = Tikus tidak diovariektomi dan tidak diberi ESP (sham); Tikus perlakuan yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus perlakuan yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05). 67

90 Panjang Tulang Femur Tikus ovariektomi yang diberi ESP secara umum mengalami pertambahan panjang tulang femur (Gambar 30). Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki ukuran tulang femur paling panjang yaitu sebesar 30,38 mm atau 1,2 mm (4,11 %) lebih panjang dari tikus kontrol (OV-1) sebesar mm, kemudian diikuti tikus OV-3 dan OV-4 masing-masing 1.08 mm (3,70 %) dan 0,62 mm (2,12 %) dibandingkan dengan panjang tulang femur pada tikus OV-1 (P<0,05) ab a b b b Panjang Tulang (mm) Gambar 30. OV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 Grup perlakuan Diagram ukuran panjang tulang femur tikus ovariektomi setelah masa perlakuan selama 180 hari. Pada OV-2 menunjukkan panjang tulang femur lebih panjang dibandingkan kontrol (OV-1), dan perlakuan lainya OV-3, dan OV-4. Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05) Kadar Kalsium dan Fosfor Darah. Pada tikus OV-0, kadar kalsium darah cenderung konstan dengan kadar kalsium pada akhir penelitian sebesar 11,89 ± 0,36 mg/dl. Pada OV-1, kadar kalsium darah cenderung turun selama perlakuan. Tetapi, pada tikus OV-2, kadar kalsium di awal pemberian ESP sebesar 10,13 mg/dl dan di akhir penelitian menjadi 10,48 mg/dl (meningkat sebesar 3,45 %), tikus-tikus ini merupakan grup yang mempunyai konsentrasi kadar kalsium tertinggi pada akhir penelitian. Tikus OV-3 yang diberi ESP selama 90 hari, kadar kalsium darah tikus ini meningkat sebesar 0,58 % dan diikuti oleh tikus perlakuan OV-4 sebesar 1,10 %. Secara umum pemberian ESP pada tikus-tikus yang diovariektomi meningkatkan kadar kalsium darah secara signifikan di akhir penelitian (P<0,05) (Gambar 31 dan Tabel 6). 68

91 Kadar kalsium (mg/dl) 12,50 12,00 11,50 11,00 10,50 10,00 9,50 9, Umur (hari) a b b b c Gambar 31. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05). Hal yang mirip juga ditemukan pada kadar fosfor darah tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 yang juga meningkat selama masa pemberian ESP walaupun pada akhir perlakuan, kadar fosfor tikus perlakuan OV-2, OV-3, dan OV-4 tidak setinggi kadar fosfor darah tikus sham (Gambar 32). Sebaliknya kadar fosfor darah pada tikus OV-1 cenderung menurun. Tikus ovariektomi yang diberi ESP OV0 OV1 OV2 OV3 OV4 Kadar fosfat (mg/dl) 7,80 7,70 7,60 7,50 7,40 7,30 7,20 7,10 7, Umur (hari) 7,70 0,30 a 7,62 0,15 a 7,57 0,27 a 7,57 0,14 a 7,13 0,39 b OV0 OV1 OV2 OV3 OV4 Gambar 32. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1) dan yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05). 69

92 Tabel 6. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus ovariektomi di awal dan di akhir pemberian ESP. Perlakuan Lama pemberian ESP awal Kalsium mg/dl akhir kenaikan (%) awal Fosfor mg/dl akhir kenaikan (%) OV-0 (sham) 11,62±0,47 11,89±0,36 4,04 7,46±0,34 7,58±0,30 3,21 OV-1 (kontrol) 10,08±0,54 9,33±0,52-7,44 7,43±0,22 7,13±0,52 4,03 OV hari 10,13±0,17 10,48±0,32 3,45 7,46±0,16 7,62±0,13 2,14 OV-3 90 hari 10,23±0,49 10,29±0,43 0,58 7,46±0,13 7,57±0,12 1,47 OV-4 60 hari 9,94±1,36 10,05±0,85 1,10 7,51±0,29 7,57±0,27 0,79 OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). selama 120 hari mengalami peningkatan kadar fosfor sebesar 2,14 %, sedangkan tikus yang diberi ESP selama 90 hari dan 60 hari masing-masing juga meningkat sebesar 1,47 % dan 0,79 % (Tabel 6). Pemberian ESP pada tikus ovariektomi (OV-2, OV-3, dan OV-4) memiliki kadar fosfor di akhir penelitian lebih tinggi dibandingkan pada tikus OV-1 (P<0,05) dan sama dengan kadar fosfor pada tikus sham (P>0,05). Tikus betina kontrol yang diovariektomi tanpa diberi ESP (OV-1) menunjukkan kadar kalsium tulang yang lebih rendah (27,3 %) dibandingkan kadar kalsium tulang tikus sham (P<0,05). Tetapi tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3 dan OV-4) masing-masing mempunyai kadar kalsium sebesar 2,68 %, 2,32 %, dan 1,97 %, lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (P<0,05), tetapi lebih rendah dibandingkan dengan tikus sham (P<0,05). Pola yang mirip ditemukan juga pada kadar fosfor tulang. Kadar fosfor tulang tertinggi ditemukan juga pada tikus sham sebesar 18,48 %, tetapi pada tikus ovariektomi (OV-1), kadar fosfor tulang menurunkan menjadi 16,98 %. Pemberian ESP pada tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 dapat meningkatkan kadar fosfor tulang masing-masing sebesar 0,25 %, 0,14 %, dan 0,24 % dibandingkan dengan kadar fosfor pada tulang OV-1 (P>0,05) walau demikian kadar fosfor tikus perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan tikus sham (P<0,05) (Tabel 7). 70

93 Tabel 7. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus ovariektomi selama masa pemberian ESP. Grup Kadar Kalsium (%) Fosfor (%) a OV-0 (sham) 32,66 ± 0,96 18,48 ± 0,90 c OV-1(tanpa ESP) 27,37 ± 0,99 16,98 ± 0,23 OV-2 OV-3 OV-4 b 30,05 ± 0,64 17,23 ± 0,62 b 29,69 ± 0,32 17,12 ± 0,23 b 29,34 ± 0,75 17,22 ± 0,22 OV-0= grup sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05). a b b b b Gambaran Radiografi Tulang Radiografi terhadap tulang tibia tikus sham (OV-0), kontrol (OV-1) maupun tikus perlakuan (OV-2, OV-3, dan OV-4) dilakukan untuk menganalisis densitas massa tulang. Pada tikus yang diberi ESP, secara umum menunjukkan intensitas radiografi yang lebih padat (radiopaque) dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1), tetapi tidak berbeda dengan tikus OV-0. Tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 120 hari menunjukkan massa tulang yang lebih radiopaque dibandingkan dengan tulang tibia tikus perlakuan lainnya termasuk tikus kontrol (Gambar 33) Densitas Osteoblas dan Osteoklas Pada daerah metafisis ditemukan jaringan sumsum merah yang terdiri atas berbagai bentuk sel-sel darah dari hasil proses diferensiasi sel-sel hemositoblas. Pada daerah metafisis ini, banyak juga ditemukan osteoblas aktif maupun osteoblas pasif. Secara mikroskopis di bagian epifisis dan metafisis tulang tibia tikus yang diberi ESP 120 hari, sel-sel tulang, sumsum tulang, dan osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif tampak lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol. Adanya osteoblas aktif menandakan tulang dalam kondisi bekerja sedangkan adanya osteoblas pasif menunjukkan tulang dalam kondisi istirahat dalam pembentukan tulang. Densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus OV-2, masing-masing: 57,19 ± 18,67, dan 67,31 ± 18,45, lebih padat dibandingkan dengan densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus kontrol masing-masing: 28,17 ± 14,79, dan 38,00 ± 14,52 (P<0,05) (Tabel 8). 71

94 OV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 OV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 Gambar 33. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi dengan perlakuan pemberian ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: Tanda panah memperlihatkan radiolusen (OV-1 ), dan radiopaque (OV-2 ), dengan derajat radiopaque yang menurun pada OV-3 - OV- 4 bila dibandingkan dengan OV-2. Bar: 5 mm OV-0 = sham, tidak diberi ESP dan diovariektomi OV-1, yang diberi ESP mulai umur 90 hari OV-2, 120 hari OV-3,dan 150 hari (OV-4). Tabel 8. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas dan buluh darah pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. Osteoblas grup Osteoklas Buluh darah Aktif Pasif c b OV-0 30,75±19,16 41,79±17,37 c b 3,21±2,19 8,04±3,59 OV- 1 28,17±14,79 38,00±14,52 OV- 2 OV- 3 OV- 4 c a 57,19±18,67 67,31±18,45 b 38,46±8,36 45,75±10,45 c 28,39±15,55 36,39±16,97 b a b b 16,00±3,32 6,68±3,35 7,67±2,59 9,06±3,67 b b b a 8,50±2,60 11,17±5,57 10,75±3,37 8,71±4,61 OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). ab a a ab 72

95 Banyaknya osteoblas aktif pada tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 90 hari adalah sebesar 38,46 ± 8,36 sedangkan yang pasif adalah 36 45,75 ± 10,45. Pada tikus OV-3, yang diberi ESP selama 90 hari memperlihatkan penurunan jumlah osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif, tetapi densitas osteoblas tikus OV-3 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol (P<0,05). Selanjutnya, densitas osteoblas aktif pada tikus OV-4 terlihat juga adanya penurunan menjadi 28,39 ± 15,55 dan osteoblas pasif sebesar 36,39 ± 16,97 tetapi masih menyamai tikus kontrol (P>0,05) (Gambar 34). Sementara itu, densitas osteoklas meningkat sejalan dengan rentang waktu pemberian ESP yang lebih pendek (Tabel 8 dan Gambar 35). Tikus ovariektomi yang diberi ESP 120 hari menunjukkan densitas osteoklas paling rendah (6,68 ± 3,35) dibandingkan tikus kontrol (16,00 ± 3,32), maupun tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4) (P<0,05). Tikus ovariektomi yang diberi ESP mulai umur 90 hari (OV-3) dan umur 60 hari (OV-4) menunjukkan densitas osteoklas sebesar (7,67 ± 2,59), namun demikian densitas osteoklas OV-3 dan OV-4 ini masih lebih rendah dibandingkan dengan tikus kontrol (P<0,05). Pada tikus pemberian ESP selama 60 hari di samping terlihat sumsum tulang yang jarang juga trabekula yang menipis dan menunjukkan peningkatan densitas osteoklas (Tabel 8). Densitas pembuluh darah arteriol dalam sumsum tulang akan mengikuti aktivitas tulang. Dari semua tikus perlakuan, tikus yang diberi ESP, secara relatif menunjukkan kondisi pembuluh darah arteriol yang banyak sejalan dengan lamanya pemberian ESP. Tikus yang diberi ESP 120 hari (OV-2) memiliki arteriol paling banyak bila dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1) maupun tikus perlakuan (OV-3 dan OV-4) (Tabel 8) Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia. Secara mikroskopis, kondisi pertulangan antara lain ditentukan oleh densitas trabekula, osteoblas, dan osteoklas yang terdapat di bagian diafisis maupun metafisis tulang. Trabekula merupakan jaringan ikat berupa anyamananyaman yang terbentuk dari sasaran epifisis yang mengalami osifikasi ke arah distal. Trabekula umumnya memanjang sejajar dengan sumbu tulang dan memberikan warna biru menandakan masih mengandung tulang rawan sedangkan warna merah menandakan tulang yang sudah padat dengan pewarnaan MT (Gambar 36). 73

96 Gambar 34. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus ovariektomi umur 210 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: OV-2 pemberian ESP selama 120 hari dengan jumlah osteoblas yang meningkat. Osteoblas aktif (panah hitam) osteoblas pasif (segitiga), ost: osteosit (panah merah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (OV-0, OV-1, OV-2,), 20 µm (OV-0, OV-1, OV-2,). 74

97 ost ost ost Gambar 35. Densitas osteoklas tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: mempelihatkan sel osteoklas. OV-0 : sham, OV-1 : Tikus perlakuan yang diovariektomi tidak diberi ESP menunjukkan peningkatan sel osteoklas: OV-2, pemberian ESP selama 120 hari, osteoklas (panah hitam), osteosit (panah merah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (OV-0, OV-1, OV-2), dan 20 µm (OV-0, OV-1, OV-2 ). 75

98 76

99 Gambar 36. Gambaran trabekula pada potongan memanjang dan sketsa densitas trabekula tulang tibia setelah pembuangan bone marrow dari tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120, 90, dan 60 hari. Terjadi peningkatan trabekula (panah hitam) selama pemberian pada grup (OV-2- OV-4) dibandingkan dengan kontrol (OV-1). OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Pewarnaan MT. Bar: 50 µm Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki trabekula dengan intensitas warna biru lebih pekat dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1), maupun tikus-tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4). Trabekula pada tulang tibia tikus OV-2 juga tampak lebih padat dan tebal baik di daerah diafisis maupun metafisis. Demikian juga dengan trabekula pada tikus OV-3 yang memberikan intensitas warna biru yang lebih pekat dibandingkan dengan intensitas warna trabekula pada tikus kontrol dan tikus perlakuan lainnya. Walaupun demikian, 77

100 pada tikus OV-3 trabekulanya tampak lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan tikus OV-2. Hal yang sama juga ditemukan pada tulang tibia tikus OV-4. Dengan pewarnaan MT ini, juga dapat diamati buluh darah terutama ditemukan pada daerah metafisis. Buluh darah banyak ditemukan pada sumsum tulang tikus kontrol maupun tikus-tikus perlakuan tetapi pada OV-2 dan OV-4, buluh darahnya tampak lebih banyak dibandingkan dengan tikus kontrol Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Aktivitas sel-sel prinsipal dalam menghasilkan hormon paratiroid (PTH) dapat ditentukan dari ukuran dan jumlah sel prinsipal dalam kelenjar paratiroid. Gambaran mikroskopis tikus yang diberi ESP 120 hari (OV-2) menunjukkan gambaran paratiroid yang normal dan tidak menunjukkan perubahan yang menonjol dibandingkan dengan kontrol maupun tikus perlakuan lainnya. oks psp psp kpr kpr oks kpr oks psp Gambar 37. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), menunjukkan sel-sel prinsipal yang kompak dan terlihat terang. Selsel prinsipal padat tidak terjadi peningkatan jumlah, sel-sel oksifil tidak terjadi kerusakan, kapiler banyak terjadi penimbunan darah. Pewarnaan HE. Bar: 50µm. 78

101 Sel-sel kelenjar paratiroid tikus OV-2 menunjukkan susunan yang rapi, tidak menunjukkan kelainan. Dari semua kelompok perlakuan menunjukkan gambaran mikroskopis paratiroid yang hampir serupa dengan tikus kontrol. Perubahan yang demikian menunjukkan paratiroid dalam keadaan baik (Gambar 37) Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Berdasarkan hasil pengamatan, gambaran mikroskopis jaringan hati tikustikus perlakuan (OV-2, OV-3, dan OV-4) mirip dengan pada tikus kontrol dan tidak menunjukkan perubahan anatomi. Pada tikus OV-2 yang diberi ESP selama 120 hari, sel-sel hepatosit tidak mengalami perubahan, dengan terlihat inti sel hepatosit yang masih berwarna biru cerah, dan sitoplasma berwana merah cerah serta tidak ada akumulasi benda-benda asing di dalam sitoplasma. Sinusoid normal, tidak mengalami perubahan maupun kerusakan lainya (Gambar 38). sns sht vc vc sns sht sht vc sns Gambar 38. Gambaran mikroskopis hati. Tikus sham (OV-0), Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2). Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup dibandingkan tikus kontrol. Panah hitam sinusoid tidak melebar, panah merah sel hepatosit yang normal, panah hijau vena sentralis tidak dipenuhi darah. Pewarnaan HE. Bar: 50µm. 79

102 Hasil yang sama juga ditemukan pada gambaran mikroskopi ginjal tikus tidak menunjukkan adanya perubahan maupun perbedaan pada tikus sham, kontrol maupun tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3, dan OV-4). (Gambar 39). Pada tikus OV-2 glomerulusnya yang tidak mengalami perubahan, ditandai sel-sel penyusunnya yang kompak. Sel-sel endotel pada kapsula Bowman terlihat normal. Tubulus proksimalis dan tubulus distalis normal, ditandai dengan epitel yang kompak dan sitoplasma cukup baik serta lumen dari tubulus kosong, tidak ada akumulasi benda-benda asing. tbg kb tbg kb gmr gmr gm tbg Gambar 39. Gambaran mikroskopi ginjal. Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi dan diberi ESP selama 120 hari (OV-2). Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup baik kontrol maupun tikus perlakuan. Panah hitam glomerulus padat, panah merah tubulus ginjal lumen kosong, panah hijau kapsula Bowman tipis dan tidak melebar. Pewarnaan HE. Bar: 50µm. 80

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif dan menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang tubuh,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. Jaringan Tulang 1. Jaringan Tulang Rawan 2. Jaringan Tulang Keras / Sejati 1. Jaringan Tulang Rawan Fungsi jaringan

Lebih terperinci

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRACT AMILIA

Lebih terperinci

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Tulang Rawan Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Suatu tulang rawan memiliki khondrosit yang tersimpan di dalam ruangan (lacunae) dalam matriks ekstraselular. Tulang rawan mengandung banyak air (menyebabkannya

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL EFEK PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP PROFIL IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) PADA JARINGAN GINJAL TIKUS DIABETES MELLITUS NOVITA SARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 20 PENDAHULUAN Latar Belakang Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang diolah melalui proses fermentasi kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai dan produk olahannya mengandung senyawa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Makroskopis Tulang Kelinci Implan terlihat jelas sebagai massa berbentuk padat berwarna putih pada bagian korteks hingga bagian medula tulang. Hasil pemeriksaan makroskopis

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS TINJAUAN TEORI 1. Definisi Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus.

Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus. Kajian Aktivitas Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn.) Dalam Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus Albinus.) WENI KURNIATI DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKERAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus) PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT LETHAL DOSE 50 (LD50) EKSTRAK ETANOL BUAH BELIMBING WULUH ( Averrhoa bilimbi L.) PADA MENCIT (Mus musculus albinus) Raden Enen Rosi Manggung FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan menopause sebagai berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat,

Lebih terperinci

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI

STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS ANTI LITHIASIS EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill) PADA TIKUS PUTIH JANTAN ANGGARA ALDOBRATA HERNAS SAPUTRA

UJI AKTIVITAS ANTI LITHIASIS EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill) PADA TIKUS PUTIH JANTAN ANGGARA ALDOBRATA HERNAS SAPUTRA UJI AKTIVITAS ANTI LITHIASIS EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill) PADA TIKUS PUTIH JANTAN ANGGARA ALDOBRATA HERNAS SAPUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI SOMATOTROPIN UNTUK MEMPERBAIKI TAMPILAN FISIOLOGIS TIKUS BETINA USIA ENAM BULAN DAN SATU TAHUN NI WAYAN SUDATRI

SUPLEMENTASI SOMATOTROPIN UNTUK MEMPERBAIKI TAMPILAN FISIOLOGIS TIKUS BETINA USIA ENAM BULAN DAN SATU TAHUN NI WAYAN SUDATRI SUPLEMENTASI SOMATOTROPIN UNTUK MEMPERBAIKI TAMPILAN FISIOLOGIS TIKUS BETINA USIA ENAM BULAN DAN SATU TAHUN NI WAYAN SUDATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density.

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density. ABSTRACT SURYONO. The Effects of High Calcium Milk Consumption on Blood Calcium Concentration and Bone Density of Adolescents Boys. Under supervision of ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO, BUDI SETIAWAN, and

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.) TERHADAP AKTIVITAS DIURETIK TIKUS PUTIH JANTAN SPRAGUE-DAWLEY ANDI CITRA ADHA

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.) TERHADAP AKTIVITAS DIURETIK TIKUS PUTIH JANTAN SPRAGUE-DAWLEY ANDI CITRA ADHA i PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.) TERHADAP AKTIVITAS DIURETIK TIKUS PUTIH JANTAN SPRAGUE-DAWLEY ANDI CITRA ADHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Density of Lumbal Vertebrae Bone Ovariectomized Rat (Rattus Norvegicus) Given the Extract Sipatah patah ( Cissus quadrangularis Salisb )

Density of Lumbal Vertebrae Bone Ovariectomized Rat (Rattus Norvegicus) Given the Extract Sipatah patah ( Cissus quadrangularis Salisb ) Feb 2017 11 (1): 39-44 I-SSN : 0853-1943; E-ISSN : 2503-1600 DOI:https://doi.org/10.21157/j.med.vet..v1 1i1.4065 Density of Lumbal Vertebrae Bone Ovariectomized Rat (Rattus Norvegicus) Given the Extract

Lebih terperinci

ADMINISTRATION S EFFECTS OF ETHANOL EXTRACT OF Cissus quadrangularis Salisb ON GROWTH OF LUMBAL BONE IN OVARIECTOMIZED RATS

ADMINISTRATION S EFFECTS OF ETHANOL EXTRACT OF Cissus quadrangularis Salisb ON GROWTH OF LUMBAL BONE IN OVARIECTOMIZED RATS Jurnal Natural Vol. 13, No. 2, 2013 ADMINISTRATION S EFFECTS OF ETHANOL EXTRACT OF Cissus quadrangularis Salisb ON GROWTH OF LUMBAL BONE IN OVARIECTOMIZED RATS Mustafa Sabri Laboratorium Anatomi, Fakultas

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK EVALINA. Kajian Morfologi Saluran Pencernaan Burung

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN D 3 DOSIS TINGGI TERHADAP KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN MENCIT GALUR SWISS WEBSTER

ABSTRAK PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN D 3 DOSIS TINGGI TERHADAP KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN MENCIT GALUR SWISS WEBSTER ABSTRAK PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN D 3 DOSIS TINGGI TERHADAP KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN MENCIT GALUR SWISS WEBSTER Timothy Imanuel, 2014, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT i PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill) TERHADAP GAMBARAN UREUM DAN KREATININ PADA TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI ETILEN GLIKOL AKHMAD FUADI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

LINDA ANDRIYANI

LINDA ANDRIYANI LINDA ANDRIYANI 10703078 EFEK EKSTRAK ETANOL BUAH MAHKOTA DEWA (PHALERIA MACROCARPA [SCHEFF.] BOERL.) TERHADAP INTERLEUKIN-1β PADA TIKUS ARTRITIS YANG DIINDUKSI KOLAGEN PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Struktur Tulang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif, menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang

Lebih terperinci

Kata Kunci : Kelakai (Stenochlaena palustris), berat badan, panjang badan, kalsifikasi tulang femur, janin tikus wistar

Kata Kunci : Kelakai (Stenochlaena palustris), berat badan, panjang badan, kalsifikasi tulang femur, janin tikus wistar ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KELAKAI (Stenochlaena palustris) TERHADAP BERAT BADAN, PANJANG BADAN, DAN PANJANG KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN TIKUS WISTAR Yosep A Tarong, 2016, Pembimbing I : Heddy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya patah tulang. Selama ini osteoporosis indentik dengan orang tua tapi

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya patah tulang. Selama ini osteoporosis indentik dengan orang tua tapi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Osteoporosis merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada tulang, penyakit ini ditandai dengan penurunan kepadatan tulang dan peningkatan risiko terjadinya patah

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoariae (Berg.) Roscoe) TERHADAP GAMBARAN KLINIS PRE DAN POST OPERASI PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR HERYUDIANTO VIBOWO FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA

KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LILIAN DEVANITA. Kajian Patologi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS GEL PUTIH TELUR PADA LUKA INSISI TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) MELALUI PENGAMATAN PANJANG AREA LUKA DAN KEPADATAN DEPOSIT KOLAGEN

EFEKTIVITAS GEL PUTIH TELUR PADA LUKA INSISI TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) MELALUI PENGAMATAN PANJANG AREA LUKA DAN KEPADATAN DEPOSIT KOLAGEN EFEKTIVITAS GEL PUTIH TELUR PADA LUKA INSISI TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) MELALUI PENGAMATAN PANJANG AREA LUKA DAN KEPADATAN DEPOSIT KOLAGEN MEI TRIANASARI 2443012164 PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

PERUBAHAN AKTIVITAS DAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR

PERUBAHAN AKTIVITAS DAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR EFEK EKSTRAK KENTAL ETANOL HERBA Mimosa pudica L. TERHADAP PERUBAHAN AKTIVITAS DAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN SEBAGAI PELENGKAP UJI TOKSISITAS SUBKRONIS ALFONSIA NIRMALA JEHADAN 2443012160 PROGRAM

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

OSTEOPOROSIS DEFINISI

OSTEOPOROSIS DEFINISI OSTEOPOROSIS DEFINISI Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK i PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP JUMLAH TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA AYAM PETELUR (Gallus gallus) STRAIN ISA BROWN DIMAS NUGRAHA ADIPRATAMA FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH

PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK BUAH MERAH (Pandanus Conoideus Lam.) TERHADAP KADAR BILIRUBIN TIKUS JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus L.) YANG DIINDUKSI CCL 4 Andre Setiawan Iwan, 2009. Pembimbing I : Hana

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh Anggitmas Dwindana Gunawan Jaya NIM

SKRIPSI. Oleh Anggitmas Dwindana Gunawan Jaya NIM MANFAAT SUSU KEDELAI MADU LOKAL TERHADAP KETEBALAN TULANG KORTIKAL (COMPACTA) DAN TRABEKULAR (TRABECULAR) MANDIBULA TIKUS WISTAR JANTAN (Penelitian Eksperimental Laboratoris) SKRIPSI Oleh Anggitmas Dwindana

Lebih terperinci

INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan

INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan 1. Jaringan Tumbuhan a. Jaringan Meristem (Embrional) Kumpulan sel muda yang terus membelah menghasilkan jaringan

Lebih terperinci

AFRILLIA NURYANTI GARMANA

AFRILLIA NURYANTI GARMANA AFRILLIA NURYANTI GARMANA 10703020 UJI EFEK TERATOGENIK KOMBINASI EKSTRAK UMBI LAPIS BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM L.) DAN EKSTRAK RIMPANG KUNYIT (CURCUMA DOMESTICA VAL.) TERHADAP MENCIT SWISS-WEBSTER PROGRAM

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK ETANOL BATANG BROTOWALI (Tinospora caulis) TERHADAP GLUKOSA DARAH MENCIT GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI ALOKSAN

ABSTRAK. EFEK EKSTRAK ETANOL BATANG BROTOWALI (Tinospora caulis) TERHADAP GLUKOSA DARAH MENCIT GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI ALOKSAN ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL BATANG BROTOWALI (Tinospora caulis) TERHADAP GLUKOSA DARAH MENCIT GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI ALOKSAN Utarini Eka Putri, 2009. Pembimbing : Diana Krisanti Jasaputra,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA

LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA UJI AFRODISIAKA MINYAK ATSIRI KUNCUP BUNGA CENGKEH (Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry.) TERHADAP LIBIDO TIKUS JANTAN. Oleh : Arifah Sri Wahyuni., M.Sc., Apt FAKULTAS

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

BAB II KEROPOS TULANG (OSTEOPOROSIS)

BAB II KEROPOS TULANG (OSTEOPOROSIS) BAB II KEROPOS TULANG (OSTEOPOROSIS) Bab kedua ini memberikan penjelasan umum tentang tulang dan keropos tulang, meliputi definisi keropos tulang, struktur tulang, metabolisme tulang, fungsi tulang, dan

Lebih terperinci

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI ABSTRAK EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI (Glycine max L.merr) DETAM-1 DAN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia) TERHADAP UREUM DAN KREATININ TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PAKAN TINGGI LEMAK

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS SUB KRONIS DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata.l) TERHADAP HATI DAN GINJAL PADA MENCIT PUTIH

UJI TOKSISITAS SUB KRONIS DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata.l) TERHADAP HATI DAN GINJAL PADA MENCIT PUTIH UJI TOKSISITAS SUB KRONIS DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata.l) TERHADAP HATI DAN GINJAL PADA MENCIT PUTIH SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh: MUTIA HARISSA No. BP 0811013150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ABSTRACT. Andy Yulianto, 2016, Main supervisor : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Escort supervisor : Rosnaeni, dra., Apt.

ABSTRACT. Andy Yulianto, 2016, Main supervisor : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Escort supervisor : Rosnaeni, dra., Apt. ABSTRACT INFLUENCE of ETHANOL of MANGOSTEEN RIND (Garcinia mangostana Linn.) AGAINST THE LENGTH AND WEIGHT at BIRTH AND CALCIFICATION LENGTH of FETAL RAT Wistar FEMUR BONE Andy Yulianto, 2016, Main supervisor

Lebih terperinci

PENGARUH PANHisTEREKTOMI TERHADAP HOMEOSTASIS KALSIUM DAN FOSFOR TIKUS Sprague Dawley YANG DIBERI PAKAN BUNGKIL KEDELAI. Hartiningsih 1 ABSTRACT

PENGARUH PANHisTEREKTOMI TERHADAP HOMEOSTASIS KALSIUM DAN FOSFOR TIKUS Sprague Dawley YANG DIBERI PAKAN BUNGKIL KEDELAI. Hartiningsih 1 ABSTRACT PENGARUH PANHisTEREKTOMI TERHADAP HOMEOSTASIS KALSIUM DAN FOSFOR TIKUS Sprague Dawley YANG DIBERI PAKAN BUNGKIL KEDELAI THE EFFECT OF PANHISTERECTOMY ON CALCIUM AND PHOSPHOR HOMEOSTASIS OF Sprague Dawley

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH PEMBERIAN INFUSA Musa paradisiaca.linn (Musaceae) TERHADAP TUKAK LAMBUNG PADA TIKUS GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ASETOSAL

ABSTRAK. PENGARUH PEMBERIAN INFUSA Musa paradisiaca.linn (Musaceae) TERHADAP TUKAK LAMBUNG PADA TIKUS GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ASETOSAL ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN INFUSA Musa paradisiaca.linn (Musaceae) TERHADAP TUKAK LAMBUNG PADA TIKUS GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ASETOSAL Adi Suryadinata Krisetya, 2007, Pembimbing I : Endang Evacuasiany,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH PENAMBAHAN YEAST

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 dianalisis menggunakan uji statistik analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan dengan taraf kepercayaan 5%. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proliferasi Sel Tingkat Proliferasi Sel Berdasarkan

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati- 1006672150 Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia I. PENDAHULUAN Metastase tulang merupakan penyebaran sel

Lebih terperinci

UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR

UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR UJI EFEK DIURETIK EKSTRAK DAUN SAWI PUTIH (BRASSICA CHINENSIS L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SUCI TRIWIJAYANTI 2443005086 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2010 ABSTRAK UJI EFEK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah manusia itu akan melalui suatu proses yang sama, yaitu semuanya selalu dalam perubahan. Pada awal hidup

Lebih terperinci

NOVIANA SYLVIA CHRISTY FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA

NOVIANA SYLVIA CHRISTY FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH EKSTRAK DAUN JAMBU METE (ANACARDIUM OCCIDENTALE L.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN METODE UJI TOLERANSI GLUKOSA NOVIANA SYLVIA CHRISTY 2443005014 FAKULTAS

Lebih terperinci

PERNYATAAN. Jember, 4 Juni 2010 Yang menyatakan, Siti Agus Mulyanti NIM

PERNYATAAN. Jember, 4 Juni 2010 Yang menyatakan, Siti Agus Mulyanti NIM PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : nama : Siti Agus Mulyanti NIM : 062210101069 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul Uji Aktivitas Antimalaria Fraksi Eter Daun

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK ETIOLOGI Kadar hormon tiroid dan paratiroid yang berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dalam jumlah yang lebih banyak. Obat-obat golongan steroid pun dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dari

Lebih terperinci

PROFIL KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG SATE DAGING SAPI SKRIPSI ROHMAH RETNO WULANDARI

PROFIL KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG SATE DAGING SAPI SKRIPSI ROHMAH RETNO WULANDARI PROFIL KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG SATE DAGING SAPI SKRIPSI ROHMAH RETNO WULANDARI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI

Lebih terperinci

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK METODE EKSPLO ORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK EKO WAHYU WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK DAUN SUKUN [ARTOCARPUS ALTILLIS (PARK.) FOSBERG] TERHADAP GINJAL TIKUS PUTIH GALUR WISTAR

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK DAUN SUKUN [ARTOCARPUS ALTILLIS (PARK.) FOSBERG] TERHADAP GINJAL TIKUS PUTIH GALUR WISTAR UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK DAUN SUKUN [ARTOCARPUS ALTILLIS (PARK.) FOSBERG] TERHADAP GINJAL TIKUS PUTIH GALUR WISTAR AGRY JULIDA BATUBARA 2443005098 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2010

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HERBA PLETEKAN (Ruellia tuberosa L.) TERHADAP JUMLAH SEL OSTEOKLAS TULANG ALVEOLAR TIKUS DIABETES AKIBAT INDUKSI ALOKSAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HERBA PLETEKAN (Ruellia tuberosa L.) TERHADAP JUMLAH SEL OSTEOKLAS TULANG ALVEOLAR TIKUS DIABETES AKIBAT INDUKSI ALOKSAN PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HERBA PLETEKAN (Ruellia tuberosa L.) TERHADAP JUMLAH SEL OSTEOKLAS TULANG ALVEOLAR TIKUS DIABETES AKIBAT INDUKSI ALOKSAN SKRIPSI Oleh: Edietya Ratrie Putri NIM 071610101095 BAGIAN

Lebih terperinci

Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung

Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung Adam BH Darmawan, Slamet Santosa Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Abstrak Osteoporosis

Lebih terperinci

ERVINA TANABARA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

ERVINA TANABARA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH PEMBERIAN FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK ETANOL DAUN SELEDRI (APIUM GRAVEOLENS LINN.) TERHADAP KADAR ASAM URAT SERUM DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR HIPERURISEMIA ERVINA TANABARA 2443008107

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN MENIRAN (Phyllanthus niruri Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) HIPERLIPIDEMIA

PENGARUH EKSTRAK DAUN MENIRAN (Phyllanthus niruri Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) HIPERLIPIDEMIA PENGARUH EKSTRAK DAUN MENIRAN (Phyllanthus niruri Linn.) TERHADAP PENURUNAN KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) HIPERLIPIDEMIA SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Minyak buah merah, beta karoten, isotretinoin, celah palatum

ABSTRAK. Kata kunci: Minyak buah merah, beta karoten, isotretinoin, celah palatum ABSTRAK Buah merah (Pandanus conoideus Lam.) dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit termasuk penyakit degeneratif dan kanker karena kaya akan beta karoten. Buah merah memiliki aktivitas antiproliferasi

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN TEPUNG TULANG IKAN TUNA MADIDIHANG

EFEK PEMBERIAN TEPUNG TULANG IKAN TUNA MADIDIHANG EFEK PEMBERIAN TEPUNG TULANG IKAN TUNA MADIDIHANG (Thunnus albacares) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL OVARIEKTOMI BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS TULANG FEMUR DAN EKSPRESI TNF-α The Effect of Yellow

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, sering menjadi ketakutan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI DAERAH CIAMPEA BOGOR YULIA ERIKA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT PADA

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN Dyota Sulia Mutiari, 2014 Pembimbing I : Dr. Sugiarto Puradisastra dr., M. Kes.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI KETAPANG (TERMINALIA CATAPPA L.) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS PUTIH MATHILDA KAMILA 2443005113 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2010 ABSTRAK PENGARUH

Lebih terperinci

Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Hj. Sri Utami, Dra., M.Kes., PA(K)

Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Hj. Sri Utami, Dra., M.Kes., PA(K) ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) TERHADAP BERAT BADAN, PANJANG BADAN, DAN PANJANG KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN TIKUS WISTAR Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

EDWARD WYENANTEA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

EDWARD WYENANTEA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH PEMBERIAN CAMPURAN EKSTRAK BIJI KELABET (TRIGONELLA FOENUM-GRAECUM LINN.) DAN EKSTRAK DAUN TAPAK DARA (CATHARANTHUS ROSEUS LINN.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH EDWARD WYENANTEA

Lebih terperinci

Calcium Softgel Cegah Osteoporosis

Calcium Softgel Cegah Osteoporosis Calcium Softgel Cegah Osteoporosis Calcium softgel mampu mencegah terjadinya Osteoporosis. Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan.

Lebih terperinci

Pengetahuan tentang overweight dan obesitas, baik yang menyangkut penyebab, maupun akibatnya perlu diketahui orang banyak khususnya bagi remaja, guna

Pengetahuan tentang overweight dan obesitas, baik yang menyangkut penyebab, maupun akibatnya perlu diketahui orang banyak khususnya bagi remaja, guna BAB 1 PENDAHULUAN Kesehatan sangat penting bagi manusia dan harus dijaga. Apabila kesehatannya tidak diperhatikan, maka menimbulkan masalah yang merugikan. Salah satu masalah kesehatan yang sering dialami

Lebih terperinci

UJI HEPATOTOKSISITAS SENYAWA O-(4-NITROBENZOIL)PARASETAMOL PADA TIKUS (RATTUS NORVEGICUS)

UJI HEPATOTOKSISITAS SENYAWA O-(4-NITROBENZOIL)PARASETAMOL PADA TIKUS (RATTUS NORVEGICUS) UJI HEPATOTOKSISITAS SENYAWA O-(4-NITROBENZOIL)PARASETAMOL PADA TIKUS (RATTUS NORVEGICUS) DONNA KHARISMA NOVITA 2443007030 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2011 ABSTRAK UJI

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT SRI ULINA BR TUMANGGOR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

LATIHAN, NUTRISI DAN TULANG SEHAT

LATIHAN, NUTRISI DAN TULANG SEHAT LATIHAN, NUTRISI DAN TULANG SEHAT Tulang yang kuat benar-benar tidak terpisahkan dalam keberhasilan Anda sebagai seorang atlet. Struktur kerangka Anda memberikan kekuatan dan kekakuan yang memungkinkan

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

Jaringan Hewan. Compiled by Hari Prasetyo

Jaringan Hewan. Compiled by Hari Prasetyo Jaringan Hewan Compiled by Hari Prasetyo Tingkatan Organisasi Kehidupan SEL JARINGAN ORGAN SISTEM ORGAN ORGANISME Definisi Jaringan Kumpulan sel sejenis yang memiliki struktur dan fungsi yang sama untuk

Lebih terperinci