BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang,"

Transkripsi

1 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Pengertian Waralaba Franchise berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya bebas dari ikatan, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan diambil dari kata fran (bebas) atau francher (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa. 22 Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan dan jasa, franchise masuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia, istilah franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian istilah franchise diistilahkan sebagai waralaba yang diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata "wara" (lebih atau istimewa) dan "laba" (untung) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa. 23 Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Henry Campbell Black, dalam Black's Law Dictionary sebagaimana yang 22 Adrian Sutendi, Op.Cit, hal Ibid. hal. 7 29

2 dikutip oleh Juajir Sumardi, memberikan beberapa pengertian mengenai franchise, sebagai berikut : Franchise is a special privilege to do certain things conferred by government on individual v corporation, and which does not belong citizens generally of common right; e.g, right granted to offer cable television service. 2. Franchise is a privilige or sold, such as to use a name or to sell product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon. 3. Franchise is a lincense from owner of a trade mark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark. Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai : 1. Waralaba adalah hak khusus yang istimewa untuk melakukan sesuatu yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan, yang bukan merupakan hak warga negara pada umumnya; misalnya hak untuk menawarkan layanan televisi kabel. 2. Waralaba adalah hak istimewa atau menjual, seperti untuk menggunakan nama atau menjual barang atau jasa. Hak tersebut diberikan oleh pabrikan atau pemasok barang kepada pengecer untuk menggunakan barang dan nama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama. 3. Waralaba adalah pemberian lisensi dari pemilik merck dagang atau nama dagang yang mengizinkan pihak lain untuk menjual barang atau jasa dibawah nama dan merek tersebut. Dari beberapa pengertian di atas, Black melihat waralaba sebagai : Suatu preferen atau suatu keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari setiap warga negara. Di samping itu, waralaba juga merupakan keistimewaan dengan pemberian hak untuk menjual barang atau jasa dengan menggunakan nama pabrikan atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan namanya sesuai lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu produk atau pelayanaan berdasarkan merek atau nama dagang tersebut. 25 Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada 24 Juajir Sumardi, Op.cit. hal Ibid. hal. 14.

3 Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu. 26 Salim HS memberikan definisi waralaba yaitu: Suatu kontrak yang dibuat antara franchisor dan franchisee, dengan ketentuan pihak franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan merek barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada franchisor. 27 Menurut Gunawan Widjaja, Waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. 28 Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, Perjanjian lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya. Menurut Adrian Sutendi, 26 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, hal Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika hal ( Selanjutnya disebut Salim HS II) 28 Gunawan Widjaja, Waralaba. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persadn, hal 12.

4 Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain. 29 Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon, hotel, dealer mobil, dan sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Salon Rudy Hadisuwarno. B. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innominat Waralaba (Frasnchise) didasarkan pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian waralaba dimana perjanjian ini melibatkan dua pihak atau lebih yaitu pihak Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak dan pihak Penerima Waralaba sebagai penerima hak waralaba. Perjanjian Waralaba adalah pemberian hak oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdangangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam operasional. pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang/jasa milik Penerima Waralaba sama dengan kekhasan usaha atau bisnis 29 Adrian Sutendi. Op.Cit. hal. 93.

5 dagang/jasa milik Pemberi Waralaba. 30 Perjanjian waralaba merupakan landasan legal yang berlaku sebagai undang-undang dalam mengoperasionalkan hubungan yang telah disepakati oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, serta merupakan landasan untuk menjaga kepentingan Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba. 31 Dengan demikian, sangat penting mengatur isi perjanjian yang mengatur kepentingan kedua belah pihak agar tercipta keseimbangan hak dan kewajiban. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab lalu. Dari isi pasal tersebut, disebutkan adanya perjanjian yang mempunyai nama khusus (nominaat) dan perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusuc (innominaat). Perjanjian nominaat adalah suatu perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, tukar menukar. Sedangkan, Perjanjian innominaat ialah perjanjian yang tidak terdapat di dalam KUH Perdata namun berkembang di tengah masyarakat, seperti leasing, kontrak karya, joint venture, beli sewa, waralaba dan lain-lain. Perjanjian innominaat ini berlaku terhadap peraturan yang bersifat khusus, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan apabila dalam undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu kepada KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum. Waralaba sebagai suatu perjanjian innominaat diatur dalam PP No. 42 Tahun 30 Rooseno Hardjowidigdo. Op.Cit, hal Peni Rinda Listyawati. Op.Cit, hal. 188.

6 2007 tentang Waralaba. Walaupun perjanjian waralaba tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, tetapi harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata. Perjanjian waralaba dapat diterima di dalam hukum karena di dalam KUH Perdata terdapat suatu asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut juga harus memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Singkatnya, hukum perjanjian yang memakai sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan. C. Bentuk-bentuk Waralaba Menurut Juajir Sumardi, bentuk-bentuk waralaba terbagi dua, yaitu : Franchise sebagai Format Bisnis Waralaba sebagai format bisnis maksudnya adalah seorang Penerima Waralaba memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran yang dari Pemberi Waralaba. Martin Marldelsohn memberi pengertian mengenai franchise format bisnis yaitu : 32 Juajir Sumardi, Op.Cit, hal 22

7 Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franhisor, dan untuk menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankanya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu : a. Franchise pekerjaan Dalam bentuk ini Penerima Waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, bisnis penjualan jasa penyetelan mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan. b. Franchise Usaha Waralaba usaha merupakan bidang waralaba yang berkembang pesat, bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa. Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus. c. Franchise Investasi Ciri utama yang membedakan jenis waralaba ini dari waralaba pekerjaan dan waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan. Waralaba investasi adalah perusahaan yang sudah mapan, dan investasi awal yang dibutuhkan cukup besar. Misalnya, usaha hotel, maka dipilih cara kegiatan waralaba yang memungkinkan mereka memperoleh bimbingan dan dukungan.

8 2. Franchise Distibusi Produk Dalam bentuk ini seorang Penerima Waralaba memperoleh lisensi ekslusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini, Pemberi Waralaba dapat juga memberikan waralaba wilayah, dimana Penerima Waralaba wilayah atau sub-pemilik waralaba membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu Pemberi Waralaba baru, dan melakukan pengendalian mutu, dukungan operasi, serta program penagihan royalti. Franchise wilayah memberi kesempatan kepada pemegang franchise induk untuk mengembangkan rantai lebih cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersama oleh pemegang franchise induk dan sub-pemegangnya. Pemegang indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalti dan penjualan produk. Hampir setiap pengaturan sub-franchise adalah untuk dalam komitmen yang dibuat oleh setiap pihak. Namun, ciri bersama dari persetujuan yang dibuat adalah petnbagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya franchise, royalti, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleli pemegang franchise (franchisee) tunggal kepada subpemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan kepada pemegang franchise induk (franchisee induk). 33 D. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, menurut Achmad Ichsan : Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang 33 Douglas J. Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franhise, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo hal.7.

9 atau persoon 34 Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, manusia di anggap atau diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recht persoon lijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum ketika dilahirkan, dan berakhir ketika meninggal dunia. Namun hal ini tidak mutlak, sebab ada perkecualian seperti yang diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Anak-anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Sebagai pendukung hak dan kewajiban, seseorang memiliki kewenangan untuk bertindak, dan tentu kewenangan bertindak tersebut harus menurut hukum, dengan kata lain manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum. Namun demikian kewenangan itu dibatasi oleh beberapa faktor dan keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apabila dia itu dewasa dan sehat jiwanya serta tidak berada dalam pengampuan (curandus). Sedangkan pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki subyek 34 Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, Cet. 1996, hal 68.

10 hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A. 35 Dalam hal perjanjian waralaba, maka subyek hukumnya adalah pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pengertian dari Pemberi waralaba dan penerima waralaba diatur dalam Pasal PP No. 42 Tahun 2007 Pasal 3 dan 4, yang berbunyi : Pasal 3 : Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba. Pasal 4 : Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. Sedangkan penerima waralaba menurut Kepmendag No. 12/M- DAG/Per/3/2006 Pasal 4 dan 5 dibagi menjadi dua yakni : Pasal 4 : Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan Nasional. Pasal 5 : Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Utama. Obyek perjanjian waralaba atau klausula-klausula perjanjian waralaba sendiri menurut PP No. 42 tahun 2007 Pasal 5 yakni : Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : a. nama dan alamat para pihak; b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan usaha; d. hak dan kewajiban para pihak; e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; 35 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung, P.T Refika Aditama, 2001, hal.33.

11 f. wilayah usaha; g. jangka waktu perjanjian; h. tata cara pembayaran imbalan; i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j. penyelesaian sengketa; dan k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. E. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) PP Nomor 42 Tahun 2007 tidak mengatur lebih detail mengenai bagaimana proses pendaftaran waralaba, sehingga dalam Pasal 13 PP Nomor 42 Tahun 2007 memberikan penjelasan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri. Sampai saat ini peraturan menteri terbaru sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 42 Tahun 2007 belum dibuat sehingga merujuk pada Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007, maka saat ini peraturan pelaksanan yang berlaku dari PP ini adalah Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006. Adapun Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007 sebagai dasar hukum pemberlakuan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tersebut berbunyi : Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Proses selanjutnya dalam pendaftaran waralaba lebih lanjut mengenai pendaftaran waralaba berdasarkan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 adalah paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk

12 memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran yang sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No. 12/M- DAG/Per/3/2006 yakni : 1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan: a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan; b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis; c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Copy Perjanjian Waralaba; e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba; f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba. 2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya. Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 yakni : 1) Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba. 2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri. 3) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur DKI/Bupati/Walikota bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. 4) Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. 5) Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri. Lebih jelasnya mengenai Kewenangan Penerbitan STPUW berdasarkan

13 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 diatas, akan digambarkan sebagai berikut : 1. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri : Menteri Perdagangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri 2. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan permohonan di DKI Jakarta: Menteri Perdagangan Gubernur DKI Kadin Perdagangan 3. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan di luar DKI Jakarta : Menteri Perdagangan Bupati / Walikota Kadin Perdagangan Setelah Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW maka paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW dengan menggunakan formulir STPUW Model B (lihat di lampiran). Apabila Daftar Isian Permintaan STPUW dinilai belum lengkap dan benar, paling lambat 5 (lima) hari kerja, pejabat penerbit STPUW membuat surat penolakan disertai alasan-alasan. Bagi pemohon yang ditolak dapat mengajukan permohonan STPUW kembali. Jangka waktu Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba berlaku sampai jangka waktu lima

14 tahun, seperti diatur dalam Pasal 12 ayat (5), (6), dan (7) PP Nomor 42 Tahun 2007 yakni : 5) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. 6) Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. 7) Proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tidak dikenakan biaya. Jadi berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perorangan maupun badan usaha bisa mewaralabakan bisnisnya asalkan bisnis tersebut mempunyai ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, dan sebagainya berdasarkan pasal 3 PP No. 42 Tahun Untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) seorang penerima waralaba harus melalui prosedur yakni : penyajian prosopektus penawaran waralaba dari pemberi waralaba yang telah didaftarkan pada instansi terkait, pembuatan perjanjian waralaba dan paling lambat lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berlakunya Perjanjian Waralaba Penerima Waralaba harus mendaftarkan permohonan untuk memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba. Jika tidak ada ada kendala berarti maka dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Daftar Isian Permohonan STPUW secara lengkap dan benar, Pejabat Penerbit STPUW menerbitkan STPUW.

15 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM FRANCHISE ATAS WANPRESTASI FRANCHISOR (RUDI HADI SUWARNO) A. Prosedur Perjanjian Waralaba antara Franchise dan Franchisor Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba. Pada dasarnya suatu waralaba adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak Penerima Waralaba, yang terwujud dalam bentuk : Hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu; 2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba. 36 Gunawawan Widjaja, Op.Cit., Hal

16 Dengan ini berarti sebagai suatu perjanjian, waralaba juga tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 37 Dalam PP Nomor 42 pengaturan perjanjian khususnya mengenai waralaba hanya sebatas tentang cara pembuatan perjanjian, pendaftaran perjanjian, dan sanksi administratif dari instansi yang berwenang saja. Untuk pengaturan tentang bagaimana jika terjadi wanprestasi diantara para pihak yang membuat perjanjian, dalam PP tersebut tidak mengaturnya. Sebagai suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata tetap mengikat sebagai syarat dasar dari sahnya perjanjian untuk waralaba yakni adanya 38 : 1) Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri ( Toestaming ) 2) Kecakapan untuk mengadakan perikatan ( Bekwaamheid ) 3) Mengenai suatu obyek tertentu ( Een Bepaal Onderwerp ) 4) Mengenai kausa yang diperbolehkan ( Geoorloofde Oorzaak ) Secara khusus mengenai syarat lainnya mengenai sahnya perjanjian waralaba diatur dalam Pasal 4 PP No. 42 Tahun 2007, yakni: 1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. 2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Atas dasar pasal tersebut, maka syarat suatu perjanjian waralaba jika tidak ditulis dalam bahasa Indonesia maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan 37 Ibid. 38 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 32.

17 dalam bahasa Indonesia. Dalam hal timbulnya perjanjian antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba baru terjadi jika telah ada kesepakatan berdasarkan prospektus yang ditawarkan untuk kemudian dilakukan pembuatan perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan Munir Fuady bahwa sebuah kesepakatan bisa terjadi pada saat pihak pemberi tawaran tersebut mengirimkan akseptasinya (penawarannya) dan pihak penerima segera melakukan offer (tawaran) sampai pada saat kedua belah pihak saling menyetujui akan penawaran tersebut yang kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis. 39 Setelah tahapan negosiasi dan pembuatan suatu dokumen perjanjian, maka tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan sekaligus pengawasan dari perjanjian. Pelaksanaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Tata cara pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian harus secara cermat dipikirkan pada saat akan dibuatnya sebuah perjanjian, agar pada saat pelaksanaannya tidak mengalami suatu permasalahan yang mengganggu. Pelaksanaan perjanjian selain membutuhkaan adanya itikad baik juga perlu dikelola secara tepat agar tidak menimbulkan masalah. Dalam pelaksanaan perjanjian mungkin saja akan menghadapi hal-hal yang menghambat bahkan menyebabkan tidak terpenuhinya perjanjian tersebut. 40 Demikian pula dalam perjanjian waralaba, sangat dimungkinkan dalam pelaksanaannya juga akan terjadi kegagalan atau hal-hal yang dapat menghambat 39 Munir Fuady 2, Op.Cit, hal Muhammad Djumana, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 94.

18 serta mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian. Seperti halnya contoh kasus yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya mengenai pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Rudi Hadisuwarno terhadap My Salon dimana pihak Rudy menaikkan fee franchise sampai dua kali lipat secara sepihak dimana hal tersebut tidak disebutkan sebelumnya dalam perjanjian. Hal seperti contoh tersebut bisa saja terjadi karena pihak pemberi waralaba yang dalam hal ini secara ekonomi memang berada pada posisi yang lebih kuat jika dibandingkan dengan pihak penerima waralaba, karenanya tidak menutup kemungkinan dengan situasi dan kondisi yang seperti tersebut akan berdampak dan berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba dimana pihak pemberi waralaba akan mendominasi pihak penerima waralaba untuk memaksakan kehendaknya. B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan ini tercipta karena adanya tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga adanya satu pihak yang diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak lain itu dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 41 Pada perjanjian yang bersifat perdata, melekat prinsip pemaksaan yang apabila debitur tidak memenuhi prestasi maka kreditur berhak memaksakan pemenuhan prestasi tersebut. Kreditur diberi hak gugat atau hak aksi untuk 41 H. R Daeng Naja, Op.Cit, hal. 178.

19 memperoleh hak materil atas prestasi dengan menggunakan upaya hukum menurut hukum acara. Dan pada waktu yang bersamaan pula, masing-masing pihak dibebani kewajiban untuk memenuhi prestasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan prestasi kepada masing-masing pihak secara sempurna. 42 Hak dan Kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima Waralaba, adalah sebagai berikut: 43 Kewajiban Pemberi Waralaba Pemberi Waralaba berkewajiban untuk: 1. Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek Waralaba, dalam rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan tersebut; 2. Memberikan bantuan pada Penerima Waralaba pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba. Hak Pemberi Waralaba Pemberi Waralaba memiliki hak untuk: 1. Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba; 2. Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha Penerima Waralaba; 42 Ibid, hal Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 82.

20 3. Melakasankan inspeksi pada daerah kerja Penerima Waralaba guna memastikan bahwa waralaba yang diberikan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya; 4. Sampai batas tertentu mewajibkan Penerima Waralaba dalam hal-hal tertentu, untuk membeli barang modal dan/atau barang-barang tertentu lainnya dari Pemberi Waralaba; 5. Mewajibkan Penerima Waralaba untuk menjaga kerahasiaan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba; 6. Mewajibkan agar Penerima Waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjuatan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba; 7. Menerima pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang dianggap hak olehnya; 8. Meminta dilakukannya pendaftaran atas waralaba yang diberikan kepada Penerima Waralaba; 9. Atas pengakhiran waralaba, meminta kepada Penerima Waralaba untuk mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh Penerima Waralaba selama masa pelaksanaan waralaba;

21 10. Atas pengakhiran waralaba, melarang Penerima Waralaba untuk memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh Penerima Waralaba selama masa pelaksanan waralaba; 11. Atas pengakhiran waralaba, melarang Penerima Waralaba untuk tetap melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan HaKI, penemuan, atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba; 12. Pemberian waralaba, kecuali yang bersifat eksklusif tidak menghapuskan hak Pemberi Waralaba untuk tetap memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan Hak atas kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba. Kewajiban Penerima Waralaba Kewajiban Penerima Waralaba adalah: 1. Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh Pemberi Waralaba kepadanya guna melaksanakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba; 2. Memberikan keleluasaan bagi Pemberi Waralaba untuk melakukan pengawasan maupun inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba, guna

22 memastikan bahwa Penerima Waralaba telah melaksanakan waralaba yang diberikan dengan baik; 3. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan khusus dari Pemberi Waralaba; 4. Sampai batas tertentu membeli barang modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka pelaksanaan waralaba dari Pemberi Waralaba; 5. Menjaga kerahasiaan atas HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba, baik selama maupun setelah berakhirnya masa pemberian waralaba; 6. Melaporkan segala HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba yang ditemukan dalam praktek; 7. Tidak memanfaatkan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba selain dengan tujuan untuk melaksanakan waralaba yang diberikan; 8. Melakukan pendaftaran Waralaba; 9. Tidak melakukan kegiatan sejenis, serupa ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba.

23 10. Melakukan pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati secara bersama; 11. Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfatkan lebih lanjut data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh Penerima Waralaba selama masa pelaksanaan waralaba; 12. Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh Penerima Waralaba selama masa pelakanaan waralaba; 13. Atas pegakhiran waralaba, tidak lagi melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba. Hak Penerima Waralaba Penerima Waralaba berhak untuk: 1. Memperolch segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba, yang diperlukan olehnya dalam melaksanaan waralaba yang diberikan tersebut;

24 2. Memberikan bantuan dari Pemberi Waralaba atas segala macam pemanfaatan dan atau penggunaan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba. Dalam perjanjian waralaba antara dengan Rudy Hadisuwarno dengan Rudy Hadi Suwarno Salon Medan dimuat berdasarkan Pasal 4 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yaitu: 1. Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. 2. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (I) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam suatu penjanjian waralaba, terdapat hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Hak dan kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba ini merupakan suatu hubungan yang timbal balik. Artinya, hak bagi Pemberi Waralaba merupakan kewajiban bagi Penerima Waralaba dan begitu pula sebaliknya, apa yang menjadi hak Penerima Waralaba merupakan kewajiban bagi Pemberi Waralaba. 44 Hak dan Kewajiban itu antara lain : Kewajiban Pemilik Waralaba Rudy Hadi Suwarno: 1. Menyediakan nama perusahaan/merek; 2. Menyediakan logo, desain dan fasilitas yang dapat segera dikenal konsumen; 44 Wawancara dengan Bapak Richard Telambanua bagian Administrasi Manager, 11 Februari 2010.

25 3. Memberikan pelatihan manajemen yang profesional untuk setiap staf unit independen; 4. Memberikan bantuan secara berkelanjutan sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kontrak kerjasama; 5. Membangun komunitas usaha bersama agar saling mendukung; 6. Menyediakan kebutuhan produk/jasa dan kebutuhan operational. Kewajiban pemegang hak waralaba (Penerima Waralaba): 1. Mengontrak paket usaha dengan jalan melakukan investasi keuangan dalam membantu pengoperasian usaha; 2. Membayar franchisee fee dalam persentase dan penghasilan kotor kepada Rudy Hadi Suwarno (Pemberi Waralaba); 3. Memelihara hubungan usaha yang berkelanjutan dengan Rudy Hadi Suwarno 4. Memelihara kinerja mutu tertentu; 5. Memelihara/menjaga paket peralatan yang dibeli dari Pemberi Waralaba Rudy Hadi Suwarno Kewajiban Pemberi Waralaba diatur pula di dalam PP No. 42 Tahun 2007 yang dalam Pasal 7 berisi mengenai ketentuan bahwa Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba pada saat melakukan penawaran. Di dalam Pasal 4 Permendag No. 31 Tahun 2008, diberikan tenggang waktu paling singkat selama 2 (dua) minggu sebelum penandatangan perjanjian waralaba. Prospektus Penawaran Waralaba ini berupa keterangan tertulis yang paling

26 sedikit memuat: Data identitas Pemberi Waralaba; 2. Legalitas usaha waralaba; 3. Sejarah kegiatan usaha, yaitu uraian yang mencakup mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha dan pengembangan usaha; 4. Struktur Organisasi Pemberi Waralaba, yaitu dimulai dari Komisaris, Pemegang Saham dan Direksi sampai ke tingkat Operasional termasuk dengan Pewaralaba/Penerima Waralabanya; 5. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca keuangan Perusahaan Pemberi Waralaba 2 (dua) berturut-turut dihitung sejak permohonan Prospektus Penawaran Waralaba; 6. Jumlah tempat usaha, yaitu outlet/gerai usaha waralaba sesuai dengan Kabupaten/Kota domisili untuk Pemberi Waralaba Dalam Negeri dan sesuai dengan negara domisili ouilet/gerai untuk Pemberi Waralaba Luar Negeri; 7. Daftar Penerima Waralaba, yaitu daftar nama dan alamat perusahaan dan/atau perseorangan sebagai Penerima Waralaba dan perusahaan yang membuat prospektus penawaran baik yang berdomisili di Indonesia maupun di Luar Negeri; 8. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, yaitu hak yang dimiliki baik oleh Pemberi waralaba maupun Penerima Waralaba. 45 Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan RI. Nomor 31/M-DAG/PER/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, 21 Agustus 2008

27 a. Pemberi Waralaba berhak menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba, dan selanjutnya Pemberi Waralaba berkewajiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba. b. Penerima Waralaba berhak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba, dan selanjutnya Penerima Waralaba berkewajiban menjaga Kode Etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas yang diberikan Pemberi Waralaba. Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional, manajemen pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mendidik dan melatih Penerima Waralaba tentang tata cara bagaimana mengelola bisnis waralaba. Pelatihan ini seragam dengan Penerima Waralaba lainnya tersebut sehingga dapat mempertahankan citra yang berkualitas dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Menurut Pasal 11 PP No. 42 Tahun 2007 menyatakan adanya kewajiban dari pihak Penenima Waralaba untuk melakukan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba ini memuat paling sedikit: 1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat yang jelas perusahaan atau penanggungjawab perusahaan yang mengadakan perjanjian; 2. Jenis HaKI, seperti merek dan logo perusahaan, desain outlet, sistem pemasaran atau racikan bumbu yang diwaralabakan;

28 3. Kegiatan Usaha, misalnya kegiatan usaha restoran, apotek, atau bengkel; 4. Hak dan Kewajiban Para Pihak, berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dimiliki para pihak misalnya Pemberi Waralaba berhak menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba berhak menggunakan HaKI atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba; 5. Bantuan, Fasilitas, Bimbingan Operasional, Pelatihan dan Pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer; 6. Wilayah Usaha, berkaitan dengan batas usaha yang diberikan kepada Penerima Waralaba, 7. Jangka Waktu Perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dari berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian berlaku waku 10 (sepuluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani; 8. Tata Cara Pembayaran Imbalan, yaitu tata cara/ketentuan, waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab Penerima Waralaba; 9. Kepemilikan, Perubahan Kepemilikan dan Hak AhIi Waris, yaitu nama dan alamat jelas pemilik usaha apabila perseorangan, serta nama dan alamat Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi apabila berupa badan usaha; 10. Penyelesaian Sengketa, yaitu penetapan lokasi penyelesain sengketa, seperti Pengadilan Negeri atau Arbitrase dengan memperhatikan hukum Indonesia, dan

29 11. Tata Cara Perpanjangan, Pengakhiran dan Pemutusan Perjanjian, seperti perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang disepakati bersama ataupun pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang telah ditetapkan di dalam kontrak telah berakhir. Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak waralaba mengkehendaki berbagai persyaratan, ketentuan ataupun aturan yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian. Dalam kenyataannya, terlihat bahwa Penerima Waralaba terikat dengan kontrak yang telah dibuat oleh Pemberi Waralaba sehingga, tampak bahwa posisi Pemberi Waralaba adalah posisi yang lebih dominan dibanding dengan posisi Penerima Waralaba yang hanya mengikuti aturan dari pihak Pemberi Waralaba. C. Berakhirnya Perjanjian Waralaba Antara Franchise dan Franchisor Masa berlakunya perjanjian waralaba adalah menurut jangka waktu yang diperjanjikan di dalam perjanjian waralaba. Pembelian suatu hak waralaba tidak berarti bahwa Penerima Waralaba dapat mempergunakan hak atas merek dagang tersebut secara terus menerus. Selain ada batasan waktu yang diberikan di dalam perjanjian waralaba tersebut yang berkisar antara 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun, terdapat pula kemungkinan adanya perpanjangan perjanjian. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang disepakati bersama.

30 Perpanjangan perjanjian waralaba dirasa lebih aman bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba karena menyangkut modal yang telah di investasikan oleh pihak Penerima Waralaba serta kemungkinan keuntungan yang lebih besar bagi Pemberi Waralaba atas hubungan bisnis waralaba ini. 46 Untuk memperpanjang perjanjian waralaba pada Salon Rudy Hadi Suwarno Medan. Rudy Hadi Suwarno memberikan perpanjangan perjanjian waralaba berlaku untuk setiap unit salon dan dapat diperpanjang untuk 10 tahun berikutnya untuk salon-salon yang baru, tapi tidak ada lagi perpanjangan untuk salon yang telah diperpanjang untuk masa 10 (sepuluh) tahun. Dan, perjanjian waralaba ini langsung ditandatangani oleh (Pemberi Waralaba). Dalam hal perpanjangan perjanjian waralaba, Penerima Warataba perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: Ketaatan pada kontrak. Pemberi Waralaba enggan memperbaharui perjanjian apabila Penerima Waralaba pernah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya ataupun yang melakukan wanprestasi pada saat pembaharuan; 2. Perpanjangan jangka waktu sewa tempat usaha untuk disesuaikan dengan jangka waktu pembaharuan; 3. Kewajiban memperbaiki tempat usaha sesuai dengan standar yang beraku; 4. Pembayaran uang perpanjangan yang berupa jumlah uang yang dihitung agar cukup untuk menutup biaya administrasi dan jasa hukum yang timbul akibat adanya perpanjangan; 46 Juajir Sumardi, Op.Cit. hal Rooseno Harjowidigdo, Op.Cit. hal.l9.

31 5. Pelepasan klaim sebelumnya. Hal yang bersifat kontroversial bagi perpanjangan adalah adanya persyaratan bahwa Penerima Waralaba melepaskan tuntutan atas klaim lain sebagai koridisi untuk perpanjangan. Selain adanya jangka waktu yang telah ditentukan. Adakalanya, suatu perjanjian waralaba dapat dilakukan pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba berhak mengakhiri perjanjian dengan suatu alasan, yaitu telah adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba melaksanakan haknya untuk mcngakhiri perjanjian melalui pemberitahuan kepada Penerima Waralaba dalam keadaan dan dengan cara: 48 a. Kecuali untuk kegagalan Penerima Waralaba untuk membayar uang yang berhutang kepada Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba dapat mengakhiri perjanjian setelah ada pemberitahuan sebelumnya kepada Penerima Waralaba yang memuat keterangan mengenai pelanggaran yang dilakukan. Jika ditetapkan, hak Pemberi Waralaba untuk mengakhiri itu akan berakhir, dengan ketentuan apabila sifat dari pelanggaran itu Penerima Waralaba tidak dapat memperbaikinya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu. Penerima Waralaba diberi tambahan waktu yang dianggap perlu atau cukup untuk memperbaiki pelanggaran itu, dengan ketentuan bahwa Penerima Waralaba setelah menerima pemberitahuan dari Pemberi Waralaba akan segera mengambil langkah memperbaiki pelanggaran dan melakukan usaha sebaikbaiknya untuk melakukan hal itu; 48 Ibid, hal. 25.

32 b. Terhadap setiap pelanggaran oleh Penerima Waralaba atas kewajibannya untuk membayar sejumlah uang kepada Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba dapat mengakhiri perjanjian sesudah ada pemberitahuan tertulis mengenai pelanggaran itu. Jika Penerima Waralaba memperbaiki pelanggaran itu di dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, hak Pemberi Waralaba untuk mengakhiri perjanjian tidak berlaku lagi; c. Penerima Waralaba gagal untuk membuka dan mengoperasikan tempat usaha selama jangka waktu tertentu berturut-turut, kecuali dalam hal yang diatur dalam Buku Petunjuk Operasional; d. Penerima Waralaba gagal membuka dan mengoperasikan tempat usaha selama jangka waktu tertentu, yang sesudah jangka waktu itu dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan fakta dan keadaan yang ada, Penerirna Waralaba tidak berniat untuk melanjutkan waralabanya, kecuali jika kegagalan itu disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa bumi atau sebab lain yang berada di luar kemampuan Penerima Waralaba; e. Jika Penerima Waralaba gagal untuk melaksanakan perjanjian nengenai kerahasiaan dan non-kompetisi; f. Jika Penerima Waralaba mengalami pailit atau irisovelsi (menurut hukum yang berlaku), mengakui ketidakmampuannya untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat kewajiban harus dipenuhi; g. Jika tempat usaha Penerima Waralaba atau bangunan tempat usaha disita atau diambil alih oleh pemerintah, kreditur atau pemegang gadai, dengan ketentuan bahwa putusan akhir terhadap Penerima Waralaba tetap tidak dipenuhi dalam

33 jangka waktu yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari, kecuali jika diajukan banding atau kasasi; h. Jika Penerima Waralaba melakukan tindakan gadai yang mengikat bangunan tempat usaha dilakukan atau peralatan di dalamnya; i. Jika yakin Penerima Waralaba melakukan penipuan, atau tindakan yang berkaitan dengan pengoperasian tempat usaha; j. Jika Penerima Waralaba menjual, mengalihkan, mentransfer, atau menjaminkan seluruh atau sebagaian bisnis waralaba tanpa persetujuan tertulis Pemberi Waralaba; k. Jika audit atau pemeriksaan yang dilakukan Pemberi Waralaba memperlihatkan bahwa Penerima Waralaha secara sadar mengurangi pendapatan kotornya atau menunda atau tidak melaporkan hal itu; l. Jika Penerima Waralaba melanggar kewajiban yang sebelumnya telah diperingatkan oleh Pemberi Waralaba melalui surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, misalnya 12 (dua belas) bulan. Pengulangan tindakan itu menjadi alasan untuk mengakhiri perjanjian tanpa pemberitahuan atau kesempatan untuk memperbaiki; m. Jika Penerima Waralaba melakukan misrepresentasi yang berkaitan dengan perolehan tempat usaha, atau jika Penerima Waralaba terlibat dalam tindakan yang menimbulkan citra tidak baik atas operasi dan reputasi waralaba; n. Jika Penerima Waralaba, setelah menerima pemberitahuan dari Pemberi Waralaba atau badan pernerintah yang berwenang mengenai pelanggaran atas peraturan hukum, misalnya masalah lingkungan hidup, dan dalam jangka

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Waralaba Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. Namun dalam praktiknya, istilah franchise justru di populerkan di Amerika Serikat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. bisnis internasional. Bentuk kerjasama bisnis ini ditandai dengan semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, pertumbuhan ekonomi terasa semakin meningkat dan kompleks, termasuk pula didalamnya mengenai bentuk kerjasama bisnis internasional.

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA 15 DAFTAR LAMPIRAN 1. Lampiran I : Hal-hal Yang Harus Dimuat Dalam Prospektus Penawaran Waralaba 2. Lampiran II : Hal-hal Yang Harus Dimuat Dalam Perjanjian Waralaba 3. Lampiran III : A-1 Surat Permohonan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN USAHA WARALABA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN USAHA WARALABA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12/M-DAG/PER/3/2006 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TANDA PENDAFTARAN USAHA WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya zaman, kehidupan manusia juga berkembang. memenuhi kebutuhannya. Produsen berusaha menjual produknya sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya zaman, kehidupan manusia juga berkembang. memenuhi kebutuhannya. Produsen berusaha menjual produknya sebanyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring berkembangnya zaman, kehidupan manusia juga berkembang. Kebutuhan manusia juga mengalami perubahan menjadi semakin beragam seiring berkembangnya zaman dan teknologi.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DHARMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK YURIDIS PERJANJIAN WARALABA. Oleh: Selamat Widodo

KARAKTERISTIK YURIDIS PERJANJIAN WARALABA. Oleh: Selamat Widodo KARAKTERISTIK YURIDIS PERJANJIAN WARALABA Oleh: Selamat Widodo Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto E-mail: swidodo.sh@gmail.com Abstrak Waralaba didasarkan pada suatu perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai bentuk kerjasama bisnis. Kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam tergantung pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian waralaba..., Elfiera Juwita Yahya, FH UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Franchise berasal dari bahasa Perancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude). 1 Black s Law Dictionary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi, BAB I PENDAHULUAN Perkembangan dunia bisnis di Indonesia telah memasuki era globalisasi, sehingga dunia usaha dituntut untuk berkembang semakin pesat. Hal ini dimulai dengan perdagangan bebas Asean (AFTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan tertib usaha dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih meningkatkan tertib usaha dengan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA. (Studi Pada Perjanjian Waralaba Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo) S K R I P S I

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA. (Studi Pada Perjanjian Waralaba Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo) S K R I P S I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA (Studi Pada Perjanjian Waralaba Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo) S K R I P S I S K R I P S I Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE AGREEMENT) DI BIDANG PENDIDIKAN (STUDI DI LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR

PELAKSANAAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE AGREEMENT) DI BIDANG PENDIDIKAN (STUDI DI LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR PELAKSANAAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE AGREEMENT) DI BIDANG PENDIDIKAN (STUDI DI LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR PRIMAGAMA QUANTUM KIDS CABANG RADEN SALEH PADANG) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 6/Juli/2015 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP PEMUTUSAN PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) DALAM PERSPEKTIF HUKUM BISNIS 1 Oleh : Cindi Pratiwi Kondo 2 ABSTRAK Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi banyak variabel diantaranya jual beli, barter sampai kepada leasing,

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi banyak variabel diantaranya jual beli, barter sampai kepada leasing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang perekonomian merupakan pembangunan yang paling utama di Indonesia. Hal ini dikarenakan keberhasilan di bidang ekonomi akan mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Pengertian Waralaba (Franchise) Istilah franchise dipakai sebagai padanan istilah bahasa Indonesia waralaba. Waralaba terdiri atas kata wara dan laba. Wara artinya

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan adanya hubungan hukum diantara mereka. Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 33/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PERUSAHAAN PERANTARA PERDAGANGAN PROPERTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang baik makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini tergantung dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/8/2012 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN, Menimbang: a. bahwa untuk mengoptimalkan

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG DENGAN

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG.

: PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 13/M-DAG/PER/3/2006 T E N T A N G KETENTUAN DAN TATA CARA PENERBITAN SURAT IZIN USAHA PENJUALAN LANGSUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas

Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas Latar Belakang Globalisasi sebagai hal yang mau tidak mau akan mempengaruhi kegiatan perekonomian di Indonesia merupakan salah satu aspek pula yang harus

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 33/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PERUSAHAAN PERANTARA PERDAGANGAN PROPERTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Republik Indonesia dewasa ini sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan nasional dan dasawarsa terakhir telah menjadikan pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BISNIS WARALABA. STMIK-STIE Mikroskil. Maggee Senata

BISNIS WARALABA. STMIK-STIE Mikroskil. Maggee Senata BISNIS WARALABA STMIK-STIE Mikroskil Maggee Senata Pengembangan Bisnis Internasional Menurut Keegan : 1. 2. 3. 4. 5. Export Licensed Franchise Joint Venture Direct Ownership Mengenal Waralaba Waralaba

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA oleh Ida Ayu Trisnadewi Made Mahartayasa Bagian Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Saat ini berbisnis dengan konsep

Lebih terperinci

BAB 2 PERJANJIAN WARALABA DI TINJAU DARI HUKUM WARALABA (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. X)

BAB 2 PERJANJIAN WARALABA DI TINJAU DARI HUKUM WARALABA (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. X) BAB 2 PERJANJIAN WARALABA DI TINJAU DARI HUKUM WARALABA (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. X) 2.1. TINJAUAN UMUM WARALABA 2.1.1. Sejarah Waralaba Perkembangan waralaba secara pesat dimulai pada akhir abad

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA. 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba

BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA. 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba 48 BAB 4 ANALISIS PERJANJIAN WARALABA 4.1 Penerapan Syarat Sahnya Perjanjian dalam Perjanjian Waralaba Perjanjian waralaba yang dilakukan oleh PT.X dan PT.Cahaya Hatindo merupakan perjanjian tidak bernama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Franchise Franchise berasal dari bahasa Prancis yang artinya kejujuran atau kebebasan. Pengertian di Indonesia, yang dimaksud dengan Franchise adalah perikatan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian, mengingat perjanjian sering digunakan oleh individu dalam aspek kehidupan. Salah satu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Keywords: Wanprestasi, Wara Laba, Lapis Legit Nyidam Sari

Keywords: Wanprestasi, Wara Laba, Lapis Legit Nyidam Sari AKIBAT HUKUM TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN WARALABA LAPIS LEGIT SPESIAL NYIDAM SARI Oleh : SURYATI NURLELY SAN WIWIN MUCHTAR WIYONO Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto Jl.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Surat Izin Usaha Perdagangan; LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba

BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba BAB III PENERAPAN KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA 3.1 Alasan Penerapan Buyback dalam Perjanjian Waralaba 3.1.1 Alasan Penerapan Buyback dari Pemberi Waralaba Perjanjian Waralaba merupakan perjanjian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN DENGAN SISTEM PENJUALAN LANGSUNG DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BISNIS FRANCHISE

PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BISNIS FRANCHISE PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BISNIS FRANCHISE Oleh : Putu Prasmita Sari I Gusti Ngurah Parwata Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The title of this scientific

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk menjadikan negaranya menjadi negara maju dengan berbagai kegiatan demi tercapainya pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN WARALABA. dimana masing-masing pihak berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN WARALABA. dimana masing-masing pihak berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN WARALABA 2.1. Pengertian Perjanjian Secara umum dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB HUKUM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA YANG BERLAKU DI ALFAMART. Naskah Publikasi Skripsi

TANGGUNGJAWAB HUKUM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA YANG BERLAKU DI ALFAMART. Naskah Publikasi Skripsi TANGGUNGJAWAB HUKUM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA YANG BERLAKU DI ALFAMART Naskah Publikasi Skripsi Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Syarat Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Ilmu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkat ekonomi yang tinggi adalah salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan niat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba Bab I: PENDAHULUAN Perkembangan usaha waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain seperti

Lebih terperinci

PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 16/M-DAG/PER/3/2006

PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 16/M-DAG/PER/3/2006 PENATAAN DAN PEMBINAAN PERGUDANGAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 16/M-DAG/PER/3/2006 Pokok Bahasan Gudang Tanda Daftar Gudang Penyimpanan Barang SKPB Sanksi Pengecualian Gudang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan tata Cara Penerbitan. Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan tata Cara Penerbitan. Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waralaba atau Franchising adalah salah satu strategi pemasaran dari banyak kemungkinan cara memasarkan usaha. Waralaba adalah sebuah bentuk jaringan bisnis,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA TINJAUAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY RAHASIA DAGANG DALAM PERJANJIAN WARALABA Bella Katrinasari bellakatrinasari@yahoo.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Hernawan Hadi hernawanhadi@gmail.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh : SEPTIAN DWI SAPUTRA C

SKRIPSI. Disusun Oleh : SEPTIAN DWI SAPUTRA C TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG (STUDI DI WARUNG MAKAN BEBEK GORENG H. SLAMET DI KARTOSURO SUKOHARJO) SKRIPSI Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat

BAB I PENDAHULUAN. kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat sekali berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu tidaklah mudah. Salah satu alternatif yang di ambil guna mencukupi

BAB I PENDAHULUAN. itu tidaklah mudah. Salah satu alternatif yang di ambil guna mencukupi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern seperti saat ini manusia selalu ingin tercukupi semua kebutuhannya, namun pada kenyataannya untuk mencukupi kebutuhan hidup itu tidaklah mudah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih mudah bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan di bidang lainnya

BAB I PENDAHULUAN. lebih mudah bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan di bidang lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan di bidang ekonomi akan mendukung pembangunan di bidang lainnya. Hal ini dikarenakan ekonomi merupakan suatu bidang yang penting di seluruh dunia. Dengan

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA

SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA Oleh Zhanniza Elrian Angelita I Made Tjatrayasa Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 3 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KARAKTERISTIK KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. Waralaba berasal dari kata Wara yang berarti lebih dan Laba yang berarti

BAB II KARAKTERISTIK KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA. Waralaba berasal dari kata Wara yang berarti lebih dan Laba yang berarti BAB II KARAKTERISTIK KLAUSULA BUYBACK DALAM PERJANJIAN WARALABA 2.1 Perjanjian Waralaba Waralaba berasal dari kata Wara yang berarti lebih dan Laba yang berarti untung. Secara harafiah waralaba dapat diartikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk

Lebih terperinci