PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi"

Transkripsi

1 PERJANJIAN TUKAR BANGUN (RUILSLAG) ASET NEGARA Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Administrasi (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: , Vol. XX No. 38, Pebruari 2014, h ) Abdul Rokhim 1 Abstract Build Swap Agreement (Ruilslag) has yet to be set explicitly in the legislation. Ruilslag in the civil law perspective is an agreement to exchange land and/or buildings owned and/or controlled by the state or the region between the government and the private sector. Ruilslag legal order when viewed from the angle of the State or Regional Budgetary Policy (APBN/APBD) is just as a shortcut in order to overcome the limitations of the budget that is temporary. Ruilslag legal institutions, in the administrative law perspective needs to be analyzed in more depth and comprehensive, as it could potentially damage the principles of budgetary discipline and misuse of the state or region assets, which in turn will only increase financial leakage state or local finance using law instrument called the Ruilslag. Keywords: Agreement; Build Swap (Ruilslag); State Assets 1. Pendahuluan Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga). Dalam negara hukum, pada prinsipnya menghendaki agar segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, termasuk tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan nasional. Pembangunan nasional Indonesia di bidang pemerintahan dan pelayanan publik membutuhkan ketersediaan dana anggaran yang sangat besar, khususnya anggaran untuk pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Namun, adanya kebijakan pengetatan dana anggaran di bidang pembangunan gedunggedung perkantoran pemerintah di satu pihak, dan mendesaknya kebutuhan dana bagi pembangunan gedung perkantoran pemerintah yang jumlahnya sangat banyak di lain pihak, sebagai akibat semakin meningkat dan meluasnya pertumbuhan pusat-pusat kegiatan bisnis di kota-kota yang menyebabkan perubahan tata ruang kota kiranya perlu dicarikan solusi dari kesulitan tersebut. Dalam keadaan kemikian, perjanjian tukar bangun (ruilslag) telah dipraktikkan oleh pemerintah sebagai jalan keluar dalam rangka menanggulangi kesulitan atau keterbatasan dana anggaran untuk pembangunan perkantoran, di samping dalam rangka mengantisipasi pertumbuhan pusat-pusat ekonomi dan bisnis yang menyebabkan kantor-kantor pemerintah tidak layak lagi digunakan sebagai sarana untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu masalah ruilslag ini muncul sebagai akibat keuangan 1 Dr. H. Abdul Rokhim, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang. 1

2 negara yang terbatas atau dana anggaran yang tidak mencukupi sehingga memaksa pemerintah untuk mencari penyelesaian dalam memenuhi kebutuhan dana anggaran pembangunan gedung perkantoran. Hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah mempunyai dana anggaran yang cukup untuk membiayai pembangunan gedung perkantoran pemerintah. Pranata hukum ruilslag bilamana dilihat dari sudut kebijaksanaan penganggaran dana baik dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan pranata hukum yang bersifat temporer atau tidak permanen, yakni sekedar sebagai jalan pintas dalam rangka menanggulangi keterbatasan dana anggaran yang sifatnya sementara (Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik/Kekayaan Negara). Di samping itu, dilihat dari aspek hukum administrasi masalah ruilslag perlu ditelaah secara lebih mendalam dan komprehensif, karena hal itu bisa (berpotensi) merusak sendi-sendi dan asas disiplin anggaran yang pada gilirannya hanya akan memperbesar kebocoran keuangan negara, mengingat pengawasan terhadap ruilslag sulit dilaksanakan. Oleh karena dari aspek hukum administrasi hingga kini belum ada ketentuan undang-undang yang mengatur secara tegas sebagai landasan hukum ruilslag, di samping itu tata cara pelaksanaan ruilslag selama ini belum mempunyai ketentuan yang baku dan menyeluruh untuk semua departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988 tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun (Rulislag) Tanah dan Bangunan di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, istilah ruilslag diterjemahkan dengan istilah tukar bangun, namun dalam khasanah istilah hukum hal ini masih merupakan sesuatu yang belum baku, mengingat dalam hubungan hukum ruilslag yang selama ini dilaksanakan di samping mengandung asas hukum publik (hukum administrasi) juga mengandung asas hukum perdata (hukum perjanjian). Oleh karena itu masalah ruilslag pada akhirnya meluas dan berlaku tidak hanya antara badan hukum publik dengan badan hukum privat, tetapi berlangsung pula antar subyek hukum perdata. Berdasarkan uraian tersebut di atas, persoalan ruilslag sebagai suatu perbuatan hukum atau tindak pemerintahan yang bersegi dua (tweezijdige handeling) dalam bentuk perjanjian yang obyeknya tanah dan/atau bangunan yang dikuasai negara/daerah perlu dianalisis secara mendalam baik dilihat dari aspek hukum keperdataan maupun dari aspek hukum administrasi, karena sebagaimana telah dikatakan di atas perjanjian ruilslag di samping mengandung karakter hukum privat (privaatrechtelijk) juga mengandung karakter hukum publik (publiekrechtelijk). 2. Pengertian Perjanjian Tukar Bangun (Ruilslag) Istilah ruilslag merupakan istilah dalam bahasa Belanda, namun sepanjang kamus hukum maupun kamus umum bahasa Balanda yang ada tidak dijumpai istilah tersebut secara menyatu, yang ada adalah kata ruil atau slag saja. Kata ruil berarti tukar, sedang kata slag menurut Arifin P. Soeriaatmadja yang mengutip pendapat van Dale berarti gewestelijk yang berarti persil. Pengertian slag menurut M.J. Koenen dan J. Endepols adalah: elk der afdelingen waarin bouwland met het oog op de vruchtwisseling is verdeeld. Sedang menurut Fockema Andreae, perkataan slag berarti: Inz. afgepaald 2

3 ordeel van een waterstaatswerk (dijk, kade, weg, watergang etc.), dat ten loste van een bepaalde onderhoudsplichtige staat. 39 Menurut Rooseno Harjowidigdo, secara yuridis formal istilah ruilslag yang baku menurut undang-undang sejak undang-undang zaman Hindia Belanda sampai undangundang nasional sendiri, sampai saat ini belum ada. Tetapi menilik asal usul kata ruilslag dari kata ruil yang berarti penukaran dan kata slag yang berarti jenis, rupa, tipe. 40 Dengan demikian, istilah ruilslag dapat diartikan sebagai jenis atau tipe penukaran. Dengan perkataan lain, ruilslag adalah perjanjian tukar-menukar yang memiliki tipe atau jenis khusus dari perjanjian tukar-menukar pada umumnya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kekhususan dari perjanjian ruilslag adalah adanya karakter hukum publik dalam perjanjian tersebut. Apabila dikaitkan dengan obyek yang dipertukarkan, ruilslag sebenarnya tidak hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan pekerjaan umum (waterstaat werk) sebagaimana dikatakan oleh Fockema Andreae, seperti bendungan, pelabuhan, jalan dan pengairan, karena dewasa ini ruilslag yang dilakukan oleh pemerintah lebih luas cakupan pengertiannya, sehingga obyek ruilslag tidak hanya sekedar yang berkenaan dengan perkerjaan umum, akan tetapi meliputi tanah yang dikuasai negara maupun bangunan yang dimiliki negara dalam arti yang seluas-luasnya. Terjemahan slag menurut Koenen dan Endepols lebih mendekati maksud ruilslag mengingat adanya unsur manfaat (vruchtwisseling), namun obyek yang dipertukarkan hanya dibatasi tanah pertanian (bouwland), padahal dalam praktik obyek ruilslag tidak hanya mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu, penafsiran van Dale tentang slag yang diartikan sebagai gewestelijk (persil) lebih bisa digunakan karena cakupannya lebih luas, meskipun pada kenyataannya obyek ruilslag tidak hanya mencakup persil melainkan juga bangunan yang ada di atasnya. Dalam ruilslag, persil (tanah) dan/atau gedung yang merupakan harta tetap merupakan obyek yang dipertukarkan dalam bentuk tukar dan membangunkan gedung perkantoran yang nilainya harus seimbang. Untuk memperoleh nilai yang seimbang antara harta tetap yang dipertukarkan, perlu ada instansi yang secara obyektif dapat menilai obyek tersebut. Lembaga penilai (appraisal company) yang independen dapat dimanfaatkan jasanya untuk menilai secara obyektif, selain melakukan ruilslag melalui mekanisme lelang atau tender. Berdasarkan hal tersebut di atas, tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan adalah tanah dan/atau bangunan yang senilai dan tidak ada penggantian dalam bentuk uang. Dalam perjanjian ini tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata bilamana obyek yang dipertukarkan adalah barang milik dan/atau dikuasai negara. Yang dimaksud barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan negara adalah semua kekayaan pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan ditimbang menurut ketentuan hukum perdata. 39 Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah Ruilslag, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, , h Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112 Tahun 1994, h

4 Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis dapat saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya berada dalam lingkungan hukum perdata? 3. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Perdata Dalam rangka mencapai tujuan negara, pemerintah sebagai organ negara memiliki kedudukan istimewa, dapat melakukan tindakan sebagai instrumen yang menghubungkannya dengan kehidupan bersama anggota masyarakat. E. Utrecht menggolongkan perbuatan administrasi menjadi dua golongan besar, yaitu perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan perbuatan atau tindakan nyata (feitelijke handelingen). Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak menimbulkan akibat hukum. Bagi hukum administrasi negara yang penting hanyalah tindakan hukum. Menurut Romeijn, tindakan hukum pemerintah adalah tiap-tiap tindakan dari suatu alat perlengkapan pemerintah (bestuursorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi. 2 Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dibedakan pada tindakan hukum publik (publiekrechtstelijke rechtshandelingen) dan tindakan hukum privat (privaatrechttelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum publik adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum publik (rechtshandelingen die verricht worden op de gronslag van het publiekrecht). Sedang tindakan hukum privat adalah tindakan yang didasarkan pada ketentuan hukum privat (rechtshandelingen die verricht op de grondslag van het privaatrecht). 3 Penggunaan hukum privat dalam penyelengaraan pemerintahan menimbulkan prokontra pendapat di antara para ahli. J.A. Loeff, H. Dooyewerd dan J.H. Scholten pada pokoknya berpendapat bahwa administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat. Tetapi Huart, Kranenburg dan G.J. Wiarda berpendapat bahwa dalam beberapa hal tertentu administrasi negara dapat juga memakai hukum privat, apabila tidak tersedia peraturan-peraturan hukum publik untuk menyelesaikan suatu persoalan khusus dalam lapangan administrasi negara. Menurut Kranenburg, alat-alat pemerintahan dapat menggunakan aturan-aturan hukum privat yang berlaku bagi semua subyek hukum, bilamana penyelengaaraan kepentingan-kepentingan khusus (kepentingan-kepentingan yang hanya terdapat dalam lapangan bestuur dan bestuurszorg) tidak menentukan kaidah-kaidah khusus yang hanya terdapat dalam lapangan hukum tata negara dan hukum administrasi negara dan yang memuat jaminan bagi yang diperintah. Apabila penyelengaraan kepentingan-kepentingan khusus tersebut memerlukan kaidah-kaidah khusus itu, administrasi negara tidak boleh menggunakan hukum privat. Dengan demikian tiap perjanjian menurut hukum privat yang telah diadakan administrasi negara itu bertentangan dengan asas ini dan dapat dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan kepentingan umum. 4 Pendirian Kranenburg tersebut mendapat perluasan dari Utrecht, mengingat perkembangan masyarakat demikian cepatnya dan peraturan hukum yang telah dibuat 2 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, h E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960, h. 64 (dalam Catatan Kaki). 4

5 sering tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, maka administrasi negara harus diberikan kebebasan memilih hukum yang paling sesuai untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah konkret dengan sebaik-baiknya. Pemikiran E. Utrecht ini sejalan dengan pergeseran cara memerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan penetapan-penetapan (keputusan-keputusan) kepada kerjasama dalam bentuk perjanjianperjanjian berdasarkan hukum privat. Apabila instansi pemerintah mengadakan perjanjian dengan subyek hukum privat (perseorangan atau badan hukum) maka menurut asas dalam hukum perdata, kedudukan negara sama tingkat kedudukannya dengan lawan kontrak. Kondisi ini memberi peluang bagi para pihak untuk merealisasikan dengan baik tujuan yang hendak dicapai, karena berdasarkan pada persetujuan bersama kedua belah pihak. 5 Namun menurut Indroharto, dalam kenyataan posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hukum perdata, disebabkan: (1) Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya sebagai penjaga dan pemelihara kepentingan umum, dengan kewajiban memperhatikan ketentuan hukum publik pada umumnya; (2) Kekuatan mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar warga; (3) Pengakuan Paul Scholten, bahwa batas antara bidang hukum sukar diadakan dan ada tanda-tanda bahwa hukum publik makin hari makin meluas dan menggerogoti segi hukum lain; (4) Dalam perjanjian hubungan vertikal masih kuat berlaku. Penetapan syarat-syarat secara sepihak oleh pemerintah melalui kontrak standar dan kontrak adhesi yaitu perjanjian yang telah disiapkan oleh pemerintah, hingga pihak lawan berkontrak hanya ada pilihan menerima atau menolak (take it or leave it). 6 Dalam suasana yang demikian terlihat sulit untuk menafikan nuansa hukum publik dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Oleh karena itu, pendapat Kranenburg, Utrecht dan lain-lain yang cenderung mengenyampingkan hubungan hukum privat dari hukum administrasi negara perlu diteliti dan dianalisis kembali. Tindakan pemerintah dalam bentuk perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat yang secara sepintas dapat dikatakan sebagai tindakan menurut hukum privat, tetapi sebenarnya sarat dengan kandungan tindakan hukum publik. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi mengenai perjanjian itu, menurut Irfan Fachruddin perlu dipertimbangkan untuk diuji menurut konstruksi hukum publik. 7 Terkait dengan perjanjian ruilslag, pada hakikatnya pranata hukum ruilslag dilihat dari aspek hukum perdata merupakan hubungan hukum perdata biasa, yakni perjanjian tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau dalam kekuasaan pemerintah, namun dilihat dari aspek hukum administrasi ia mempunyai ciri khas (sui generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan persyaratan terjadinya perjanjian, sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek yang diperjanjikan untuk dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan persetujuan atau izin dari pejabat publik agar dapat terlaksana perjanjian tersebut. 5 Irfan Fachruddin, Op. Cit., h Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-Jakarta, 1995, h Irfan Fachruddin, Op. Cit., h

6 Mengacu pada pengertian ruilslag sebagaimana tersebut di atas maka untuk sementara istilah ruilslag dapat saja diartikan sebagai pertukaran persil atau dalam praktik juga lazim disebut dengan istilah tukar guling, namun untuk kepastian hukumnya perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut, meskipun sejak 1988 Departemen Pekerjaan Umum secara resmi telah menterjemahkan istilah ruilslag sebagai tukar bangun. Menurut Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 193/KPTS/1988 tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Tukar Bangun Tanah dan Bangunan di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum: a. Tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan hukum (transaksi) tukar menukar tanah dengan atau tanpa bangunan gedung negara yang dilepas, dengan pengantian berupa tanah saja atau bangunan baru saja atau tanah beserta bangunan baru pengganti di tempat lain yang senilai dengan harga tanah dengan atau tanpa bangunan gedung negara tersebut yang akan diterima, dengan tidak merugikan negara dan tidak ada penggantian dalam bentuk uang ; b. Dalam transaksi tukar bangun tidak ada kelebihan nilai yang dibayarkan dalam bentuk uang dengan ketentuan apabila ada selisih harus disetorkan ke Kas Negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa tukar bangun (ruilslag) adalah suatu perbuatan hukum di bidang hukum perdata (perjanjian) dimana obyek yang dipertukarkan adalah tanah dan/atau bangunan milik dan/atau yang dikuasai negara. Dalam perjanjian ini tampak adanya pengaruh hukum publik terhadap hukum perdata, karena obyek yang dipertukarkan adalah barang milik dan/atau dikuasai negara. Yang dimaksud barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Barang milik/kekayaan negara adalah semua kekayaan pemerintah yang berwujud baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagianbagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, ditukar dan ditimbang menurut ketentuan hukum perdata. Persoalannya adalah apakah negara sebagai suatu badan hukum publik sui generis dapat saja tunduk pada hukum perdata bilamana hubungan hukum yang dilakukannya berada dalam lingkungan hukum perdata? Selanjutnya, bagaimana status hukum perjanjian ruilslag apabila dikaji dari aspek hukum administrasi? 4. Ruilslag dalam Perspektif Hukum Administrasi Kajian tentang masalah ruilslag dalam perspektif hukum administrasi terkait dengan persoalan wewenang pemerintah dalam membuat perjanjian tukar bangun (ruilslag), termasuk mengenai persoalan pengawasan terhadap tindakan pemerintah dalam melakukan perjanjian tukar bangun tersebut. Dari aspek hukum administrasi, tulisan ini hanya memfokuskan kajiannya pada aspek yang pertama, yakni wewenang pemerintah dalam membuat perjanjian tukar bangun (ruilslag). Dalam hukum positif kita, istilah kewenangan atau wewenang dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik 8 maupun hukum privat. 9 Secara umum istilah wewenang 8 Lihat, antara lain dalam Pasal 1 angka 6 jo. Pasal 53 ayat (2) huruf c. UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 9 Misalnya dalam UUPT, istilah wewenang digunakan dalam Pasal 1 angka 3 jo. Pasal-pasal 63 ayat (1) dan 66 ayat (1) tentang wewenang RUPS; Pasal-pasal 81, 83, dan 84 tentang wewenang direksi; serta Pasal-pasal 94 ayat (1), 100 ayat (1) dan (3) tentang wewenang komisaris. 6

7 dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid 10 atau authority, yang berarti: right to exercise powers; to emplement and enforce laws. 11 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang atau suatu pihak yang mempunyai wewenang formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. 12 Pada dasarnya, secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) 13 yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara menggunakannya. 14 Oleh karena itu, dapatlah dipahami apabila istilah wewenang dan kekuasaan, baik dalam kepustakaan maupun dalam undang-undang, seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang sama. Bahkan, Savage dan Bradgate mengunakan istilah power dan authority secara bersama-sama. 15 Menurut Bagir Manan, kekuasaan (macht) tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). 16 Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sedang kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Dalam kepustakaan lazimnya istilah wewenang atau kekuasaan digunakan dalam konteks hukum publik, sedangkan istilah hak lazim digunakan dalam konteks hukum privat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata kekuasaan berasal dari kata kuasa artinya kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu; Sedang wewenang adalah (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak atau melakukan sesuatu; (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. 17 Untuk menjalankan roda pemerintahan, kekuasaan dan wewenang merupakan hal yang penting. Kekuasaan pemerintahan adalah bagian dari sistem kekuasaan negara. Kranenburg dan Logemann mengembangkan teori modern yang pada dasarnya berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan. Legitimasi kekuasaan dalam 10 N.E. Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I, Binacipta, Bandung, 1983, h. 74, menerjemahkan bevoegdheid berarti wewenang atau kekuasaan. Menurut Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September-Desember 1997, h. 1:... ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah bevoegdheid. Perbedaan terletak dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan selalu dalam konsep hukum publik. 11 Henry Cambell Black, Black s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota, 1990, h Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an Nasional, Binacipta, Bandung, t.t., h Istilah kekuasaan atau power, menurut Black, Op. Cit., h. 1169, berarti: an ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act. 14 Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut dengan istilah legal power atau rechtsmacht. 15 Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993, h Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, h Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 533 dan

8 suatu negara harus diterima sebagai kenyataan. 18 Pemerintah adalah kekuatan yang diorganisir untuk merealisir kekuasaan mengurus kepentingan-kepentingan umum. Dalam ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi, istilah kekuasaan dan wewenang terkait erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Dalam pengertian bestuur, pemerintahan merupakan bagian dari badan perlengkapan dan fungsi pemerintahan yang bukan merupakan badan perlengkapan atau fungsi pembuat undang-undang (regelgeving) dan bukan badan perlengkapan atau fungsi peradilan (rechtspraak). 19 Kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari perkembangan asas legalitas yang telah dimulai sejak munculnya konsep negara hukum klasik atau negara hukum formal (formele rechtsstaat), yakni pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur), dalam arti bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang. Hal ini sejalan dengan pendapat H.D. van Wijk yang mengatakan bahwa pemerintahan menurut undang-undang adalah pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau undang-undang ( Wetmatigheid van bestuur: de uitvoerende macht bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de Grondwet of door een andere wet zijn toegekend ). 20 Berdasarkan konsep wetmatigheid van bestuur tersebut di atas, berarti tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat. 21 Menurut de Haan, kebijaksanaan penguasa dan keseluruhan tindakan pemerintah harus ada dasarnya dalam undang-undang. Dasar pemikirannya adalah kebutuhan adanya jaminan perlindungan hukum bagi warga negara dan pengawasan terhadap kebijaksanaan dan tindakan pemerintah. 22 Persoalannya adalah apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (rechtsstaat) dan negara kesejahteraan (welvaar staat; welfare state). Pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup kesejahteraan rakyat semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan. Tugas pemerintah yang demikian ini dikenal sebagai bestuurzorg atau service public atau penyelenggaraan kesejahteraan atau pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah. Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban, dan kepentingan secara lengkap dalam suatu undang-undang. 23 Pelaksanaan bestuurszorg oleh pemerintah tidak dapat lepas dari kebutuhan akan kebijaksanaan bebas, yaitu wewenang untuk mengambil tindakan atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan suatu masalah genting dan mendesak dan belum ada ketentuannya dalam peraturan yang dikeluarkan oleh 18 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, h Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, h H.D. van Wijk, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage, 1984, h Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h Cf. Indroharto, Ibid., h Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997, h

9 legislatif, yang dikenal dengan Freies Ermessen. 24 Seiring dengan semakin meluasnya bestuurszorg, maka pengertian asas legalitas dalam konsep hukum administrasi bergeser dari wetmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan undang-undang) menjadi rechtsmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan hukum). Selanjutnya, dilihat dari alokasi wewenang perizinan, ruilslag terhadap barangbarang yang dimiliki dan/atau dikuasai pemerintah, termasuk yang berasal dari bantuan pihak ketiga adalah meliputi: (a) seluruh barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah, yang ada pada departemen-departemen, lembagalembaga negara, instansi-instansi pemerintah pusat maupun yang ada di daerah, serta (b) seluruh barang yang dimiliki/dikuasai oleh perusahaan-perusahaan negara (Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Persero), dimana penilaian obyek ruilslag dikaitkan dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menentukan bahwa: (1) Barang bergerak milik negara hanya dapat dimusnahkan/dipindahtangankan, jika dinyatakan dihapuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena berlebih atau tidak dapat dipergunakan lagi, dan penghapusan tersebut dilakukan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan; (2) Barang tidak bergerak milik negara yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi secara optimal dan efisien untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi pokok departemen/lembaga dapat dihapuskan dengan keputusan Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan; (3) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan; (4) Barang tidak bergerak milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual, dipindahtangankan, dipertukarkan, atau dihibahkan setelah mendapat persetujuan Presiden berdasarkan usul Menteri Keuangan; (5) Barang bergerak dan tidak bergerak milik negara dapat dimanfaatkan dengan cara disewakan. Dipergunakan dengan cara dibangun, dioperasikan dan diserahterimakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan; (6) Penjualan barang bergerak ataupun barang tidak bergerak milik negara harus dilakukan melalui Kantor Lelang Negara, kecuali apabila Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan tertulis untuk melakukannya dengan cara lain; (7) Hasil penjualan barang bergerak dan barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) merupakan penerimaan negara dan harus disetor seluruhnya ke rekening Kas Negara; (8) Pinjam-meminjam barang/kekayaan negara hanya dapat dilaksanakan antar-instansi pemerintah, sepanjang tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas pokok instansi yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas yang selama ini dijadikan landasan hukum ruilslag, kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang menentukan bahwa Barang tidak bergerak 24 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h

10 milik negara berupa tanah hanya dapat dihapuskan untuk dijual, dipindahtangankan, dipertukarkan, atau dihibahkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut: (a) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak di atas Rp ,00 (sepuluh milyar rupiah), berdasarkan persetujuan Presiden atas usul Menteri Keuangan; (b) untuk tanah dengan Nilai Jual Obyek Pajak sampai dengan Rp ,00 (sepuluh milyar rupiah) berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan yang tata caranya diatur oleh Menteri Keuangan. Rumusan Pasal 13 ayat (4) tersebut di atas terlihat sangat singkat dan tidak mencerminkan landasan hukum yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai pemindahtanganan aset negara yang berupa tanah melalui perjanjian pertukaran sebagaimana dimaksud dengan ruilslag. Perubahan terhadap pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tersebut hanya menyangkut soal kewenangan pejabat publik untuk memberikan persetujuan terkait dengan Nilai Jual Obyek Pajak terhadap obyek akan diruilslag. Istilah persetujuan (toestemming) merupakan konsep hukum perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Istilah ini sebenarnya kurang tepat dipergunakan dalam konteks hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada pasal 13 di atas, sebaiknya digunakan istilah izin (vergunning) yang berarti dispensasi dari sebuah larangan, karena perbuatan hukum ruilslag yang dilaksanakan oleh pemerintah mengandung unsur atau karakter hukum yang spesifik, yakni adanya unsur hukum publik (publiekerechtelijk handeling), di samping unsur hukum perdata (privaatrechtelijke handeling). Terkait dengan pengalihan aset negara, Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mensyaratkan bahwa pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Selanjutnya, dalam Pasal 46 ayat (1) dinyatakan bahwa persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan, serta terhadap barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp ,00 (seratus milyar rupiah). Sedang menurut Pasal 47 ayat (1) persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan, serta terhadap barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp ,00 (lima milyar rupiah). Berdasarkan uraian tersebut di atas, landasan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan ruilslag belum memadai untuk dijadikan dasar hukum, karena ketentuan undang-undang tersebut sifatnya masih umum, tidak secara tegas mengatur soal ruilslag (tukar bangun), padahal hal itu menyangkut peralihan hak atas tanah yang dikuasai negara. Perumusan pasal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dimana negara tidak dapat memiliki tanah, namun dapat menguasainya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, negara (termasuk daerah) tidak berwenang melakukan tindakan ruilslag dalam bentuk memindahtangankan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam kekuasaannya tanpa ada dasar hukum yang memberikan wewenang untuk mengalihkannya berdasarkan ketentuan undang-undang yang khusus (lex specialis) untuk dapat menyimpangi ketentuan UUPA yang sifatnya umum (lex generalis). 10

11 5. Kesimpulan Meskipun perjanjian Tukar Bangun (Ruilslag) hingga kini belum diatur secara tegas dalam suatu undang-undang, namun dalam praktik pemerintah atau pemerintah daerah sering menggunakan instrumen hukum tersebut dengan dalih misalnya kebutuhan untuk membangun perkantoran atau sarana publik yang lain berhubung dengan keterbatasan alokasi dana dalam APBN atau APBD. Dalam perspektif hukum perdata, ruilslag merupakan hubungan hukum perdata biasa, yakni perjanjian tukar menukar yang obyeknya adalah tanah dan/atau bangunan milik atau dalam kekuasaan pemerintah. Namun, dilihat dari aspek hukum administrasi ruilslag mempunyai ciri khas (sui generis) yakni adanya unsur hukum publik terkait dengan persyaratan terjadinya perjanjian, sehingga untuk mencapai persetujuan mengenai obyek yang diperjanjikan untuk dipertukarkan perlu terlebih dahulu mengajukan persetujuan atau izin dari pejabat publik agar dapat terlaksana perjanjian tersebut. Agar perjanjian ruilslag tidak disalahgunakan oleh pemerintah, kekuasaan (wewenang) pemerintah dalam membentuk perjanjian ruilslag perlu dibatasi dengan aturan (undang-undang) serta diawasi atau dikendalikan. Untuk itu perlu ada mekanisme dan badan yang dapat memberikan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan dan perbedaan penafsiran dalam penggunaan kekuasaan pemerintah, termasuk di dalamnya apabila terjadi persekongkolan (konspirasi) dalam bentuk perjanjian tukar bangun (ruilslag) yang merugikan negara yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan swasta dengan cara-cara yang bisa dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). 11

12 DAFTAR PUSTAKA Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, cet. I, Binacipta, Bandung, 1983 Anton M. Moeliono, et al., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995 Arifin P. Soeriaatmadja, Penulisan Karya Ilmiah tentang Aspek Hukum Masalah Ruilslag, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, Henry Cambell Black, Black s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota, 1990 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung, 1985 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, , Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN), Bogor- Jakarta, 1995 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004 Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangun-an Nasional, Binacipta, Bandung, t.t. Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, 2nd ed., Butterworths, London, 1993 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Th. XII, September- Desember

13 Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Ruilslag, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 112 Tahun 1994 Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960 van Wijk, H.D., Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga S-Gravenhage,

14 14

15 15

KLAUSUL PENGAMAN VERSUS ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA. Abdul Rokhim 1. Abstrak

KLAUSUL PENGAMAN VERSUS ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA. Abdul Rokhim 1. Abstrak KLAUSUL PENGAMAN VERSUS ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Th. X No. 20, Pebruari 2004, h. 86-91)

Lebih terperinci

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang,

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)

KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h.

Lebih terperinci

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh : 41 FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Gusti Ayu Ratih Damayanti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Abstract In principle, there were two forms of

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

SALINAN NO : 14 / LD/2009

SALINAN NO : 14 / LD/2009 SALINAN NO : 14 / LD/2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 SERI : D.8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 31 Oktober 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 5 2008 SERI. E NO. 5 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/ DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/ DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/ DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Urgensi mengadakan suatu badan peradilan administrasi tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan ekstern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 sumber gambar: jurnalrakyat.net I. PENDAHULUAN Negara merupakan sebuah organisasi atau badan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa barang Daerah sebagai unsur penting dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA D. Dasar Hukum Hak Pengelolaan Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965. Dalam

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUASAAN ATAS TANAH Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-mail: urip_sts@yahoo.com Abstract Tenure of land that can be controlled by local government

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2017 2 BUPATI

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2013); L PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA m9 WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 34A TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN, PEMANFAATAN DAN PEMINDAHTANGANAN TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN MILIK DAERAH YANG BERASAL DARI KEKAYAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT UNTUK DPRD PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA. OLEH : Fitria, S.H., M.H.

PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA. OLEH : Fitria, S.H., M.H. Pertanggungjawaban, Pengelolaan, Keuangan Daerah PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA OLEH : Fitria, S.H., M.H. ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, bahwa seluruh barang milik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penguasaan Tanah Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PRABUMULIH, Menimbang : a. bahwa barang daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, a. bahwa Barang Milik Daerah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.909, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Barang Milik Negara. Pengelolaan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TANGGAL : 29 Juli 2010 NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG : PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH Sekretariat Daerah Kota Sukabumi Bagian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG Menimbang Mengingat : 1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, : bahwa

Lebih terperinci

BATAS-BATAS WEWENANG DIREKSI DALAM MENGURUS PERSEROAN

BATAS-BATAS WEWENANG DIREKSI DALAM MENGURUS PERSEROAN BATAS-BATAS WEWENANG DIREKSI DALAM MENGURUS PERSEROAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Hukum, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Th. VI No. 12, Agustus 2000, h. 67-78) Abdul Rokhim 1 Abstrak

Lebih terperinci

SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR: 5 TAHUN 2003 SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR: 5 TAHUN 2003 SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR: 5 TAHUN 2003 SERI: E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN BARANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang Mulia Hakim Majelis, atas permintaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam perkara sengketa wewenang antara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI PIDIE, Menimbang : a. bahwa barang milik daerah merupakan

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

RAPERDA PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG

RAPERDA PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian sewa-menyewa diatur di bab VII Buku III KUHPerdata yang berjudul Tentang Sewa-Menyewa yang meliputi Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Defenisi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 01 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 01 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 01 Tahun 2004 Seri E PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN BARANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI Menimbang : a. bahwa barang milik daerah sebagai salah satu unsur

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 3 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 3 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 3 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 ); PERATURAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 15, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

SALINAN TENTANG. Nomor. Dan Pelabuhan Bebas. Batam; Mengingat. Pemerintah

SALINAN TENTANG. Nomor. Dan Pelabuhan Bebas. Batam; Mengingat. Pemerintah MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PMK.06/2013 TENTANG TATA CARAA PENGELOLAAN ASET PADAA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGANN BEBAS DAN

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN ' REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4/PMK.06/2013 TENTANG

MENTERI KEUANGAN ' REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4/PMK.06/2013 TENTANG ' SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 4/PMK.06/2013 ' TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.11/MENLHK/SETJEN/KAP.3/4/2018 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK NEGARA LINGKUP KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa barang milik daerah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pelaksanaan Pengertian pelaksanaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal pembuatan atau usaha dan sebagainya (Poerwodarminto, 1986). Soemardjan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN Salinan BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Modul JP (135 menit)

Modul JP (135 menit) Modul 02 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH 3 JP (135 menit) PENGANTAR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelengaraan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP HAK PENGUASAAN ATAS TANAH 186 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-mail: urip_sts@yahoo.com Abstract Tenure of land that can be controlled by local

Lebih terperinci

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 9 TAHUN 2O15 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 9 TAHUN 2O15 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA SALINAN BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 9 TAHUN 2O15 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI DEMAK, : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 7

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 7 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KEDUDUKAN HAN DALAM ILMU HUKUM Charlyna S. Purba, S.H.,M.H Email: charlyna_shinta@yahoo.com Website:

Lebih terperinci

PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa barang daerah adalah sebagai salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. b. c. bahwa barang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.92, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Barang Milik Negara. Barang Milik Daerah. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533) PERATURAN

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN

BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN A. Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dalam sub bab ini penulis hendak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci