BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN"

Transkripsi

1 BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN A. Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dalam sub bab ini penulis hendak menyampaikan kenyataan yang terjadi bahwa konsep keuangan negara dalam berbagai peraturan perundangundangan saling bertentangan antara satu dengan yang lain (antinomi). Dengan memahami Konsep Tindak Pemerintah (dalam hukum publik dan privat) akan dengan mudah mangetahui bahwa seyogyanya undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara haruslah sejalan dengan prinsip yang terkandung di dalam Tindak Pemerintah tersebut, sehingga adanya antinomi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak akan terjadi. Oleh sebabnya konsep tindak pemerintahan 88

2 seharusnya menjadi dasar dari pengaturan terhadap keuangan negara terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan. Berikut dibawah ini akan dijabarkan berbagai konsep tentang keuangan negara dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Salah satu perubahan penting dari amandemen ketiga UUD NRI 1945 yaitu pada Bab VIII Pasal 23 tentang Keuangan Negara yaitu : 1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. 3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Pasal 23C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Pada Pasal 23 UUD NRI 1945 inilah yang menjadi dasar hadirnya tiga paket Undang-Undang di bidang keuangan negara. Pasal tersebut 89

3 dengan jelas menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara... Namun terhadap Pasal 23 ini, terdapat berbagai interpretasi dari berbagai ahli hukum, bahkan pembentuk undang-undang sendiri yang berbedabeda. Arifin Soeria Atmadja, menyatakan bahwa rumusan definisi dan penjelasan keuangan negara yang bergulir sejak 1945 berdasarkan Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 (naskah asli) sampai dengan perubahan ketiga UUD 1945, khususnya Pasal 23, Pasal 23C, Bab VIIIA Pasal 23E, tetap tidak jelas dan masih menyisahkan masalah yang cukup serius, baik dari segi hukum maupun dari segi akuntansi. Afirin mengatakan bahwa ketidakjelasan dari Pasal 23 tersebut membawa berbagai macam interpretasi dari berbagai pihak terhadap konsep keuangan negara. 97 Arifin sendiri dalam disertasinya, menggambarkan dualism pengertian keuangan negara, yakni pengertian keuangan negara dalam arti yang luas dan pengertian dalam arti yang sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas yang dimaksud ialah keuangan yang berasal dari APBN, APBD, dan keuangan yang berasal dari Unit Usaha Negara atau Perusahaan-perusahaan milik negara. Sedangkan pengertian 97 Arifin Soeria Atmadja, Op. Cit., h

4 keuangan negara dalam arti yang sempit adalah keuangan yang berasal dari APBN saja. 98 Interpretasi terhadap Pasal 23 UUD NRI 1945 membuat beragamnya konsep keuangan negara. Menggunakan metode interpretasi adalah salah satu cara dari para ahli untuk melihat konsep keuangan negara, selain konsep keuangan negara itu sendiri yang dapat dilihat dari segi pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Arifin Soeria Atmadja menyatakan bahwa konsep keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap Pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara. Penafsiran pertama, keuangan negara diartikan secara sempit yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber dari APBN. Penafsiran kedua, keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara. penafsiran ketiga, dilakukan melalui pendekatan sistematik dan sosiologis, maksudnya apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan didasarkan pada sistem pengurusan dan 98 Tim Pengkajian Hukum dan Pembinaan Hukum Nasional, Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, 2011, h

5 pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. 99 Berdasarkan pasal 23 tersebut maka hadirlah paket undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara. Namun hadirnya paket udangundang keuangan negara tersebut justru menimbulkan masalah baru. Berbagai ketentuan norma di dalam undang-undang tersebut saling bertentangan dengan undang-undang lainnya, seperti undang-undang tentang BUMN dan undang-undang tentang keuangan negara. 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kemudian pada Pasal 2 menyatakan : Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 99 Muhamad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah (Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, h

6 c) Penerimaan Negara; d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah; g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 huruf (g) ini secara tegas menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan tetaplah berstatus kekayaan negara. Dengan pasal ini, maka Badan Pemeriksa Keuangan memiliki wewenang untuk mengaudit keuangan Badan Usaha Milik Negara (Persero). Pasal tersebut menunjukan bahwa penyusun undang-undang tidak membedakan secara yuridis prinsipil dan konsekuen antara hukum publik dan hukum privat. Selain itu ketentuan di dalam undang-undang ini menunjukan bahwa dalam menyusun normanorma di dalam peraturan perundang-undangan ini, penyusunan undangundang ini juga tidak berdasarkan pada konsep tindak pemerintahan. Padahal justru dengan mengacu pada konsep inilah yang akan menjadi pedoman bagi pembentuk undang-undang. 93

7 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada penjelasan undang-undang tersebut dikatakan bahwa: Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Hal ini meunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bukanlah satu-satunya yang memuat konsep keuangan negara. Konsep keuangan negara juga terdapat di dalam undang-undang lainnya. 94

8 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Di dalam undang-undang ini pada Pasal 1 angka (6) menyatakan bahwa : Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Hal yang menarik berkaitan dengan pasal tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) khususnya pendapat Mahkamah pada paragraf (3.17) dan (3.19) menyatakan bahwa : Paragraf (3.17) ;...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT); 95

9 Dan paragraf (3.19) yang menyatakan bahwa : Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam paragraph [3.15] sampai dengan paragraf [3.18] di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah 73 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT; Putusan Mahkamah Konstitusi ini ingin menyatakan secara tegas bahwa Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan negara. Oleh karena keuangan BUMN bukan lagi keuangan negara, maka piutang BUMN bukan lagi menjadi piutang negara, piutang negara hanya sebatas piutang pemerintah pusat. 96

10 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Undang-undang ini dalam ketentuannya juga menyinggung tentang keuangan negara. Dalam Pasal 46 ayat (1) dikatakan bahwa: Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan keuangan negara adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau dilaksanakan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tentang otoritas jasa keuangan memaknai keuangan negara hanya sebatas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbagai antinomi yang terjadi diantara peraturan perundang-undangan membuat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan dan pengelolaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan negara terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Dalam menjalankan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara pada direksi selalu dihantui dengan ketakutan terjadinya kerugian pada BUMN dalam 97

11 menjankan usahanya. Padahal sebagai entitas hukum bisnis, dalam menjalankan usahanya kentungan dan kerugian bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan. Sehingga ketika BUMN merugi adalah sesuatu yang wajar dalam menjalankan usaha. Sebagai sebuah sistem, ketika dalam peraturan perundang-undangan terjadi antinomi, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik atau asas preverensi. Dalam sistem tidak dikehendaki adanya saling pertentangan antara pelbagai peraturan perundang-undangan. Pertentangan hanya akan meruntuhkan otoritas dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri yaitu timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini menunjukan bahwa di dalam suatu sistem terhadap suatu permasalahan telah tersedia solusi untuk setiap persoalan yang muncul. Menjadi fokus penulis adalah pertentangan antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kemudian pada Pasal 2 menyatakan : Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c) Penerimaan Negara; 98

12 d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah; g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Melihat norma yang termuat dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, menunjukan bahwa UU tentang Keuangan Negara memposisikan kekayaan negara yang berada di dalam BUMN sebagai keuangan negara. Padahal jika melihat dalam UU tentang BUMN sendiri dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menjadi permasalahan ketika dua peraturan perundang-undangan menyatakan hal yang bertentangan satu dengan lain. Untuk menyelesaikan ini penulis menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, yang bermakna bahwa aturan hukum yang khusus mengatur sesuatu (BUMN) 99

13 akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (Keuangan Negara). Aturan yang bersifat khusus mengatur sesuatu dalam hal ini tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN itu sendiri dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Sedangkan aturan yang bersifat umum yaitu UU tentang Keuangan Negara, dimana hanya dalam pasal 2 huruf (g) yang menyatakan kekayaan yang sudah dipisahkan di dalam BUMN masih berstatus uang negara, padahal jika dilihat aturan khusus yang mengatur BUMN itu sendiri menyatakan bahwa pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Oleh karena itu sebagaimana yang sudah tersurat di dalam UU BUMN itu sendiri, maka antinomi ini dapat diatasi dengan menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, dimana UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengesampingkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat hal menarik lainnya terhadap berbagai antinomi yang terjadi, terkhusunya dengan undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan 100

14 negara. Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut membuat Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 Huruf G dan Huruf I tersebut diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap Pasal-pasal yang diujikan tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Salah satu pendapat Mahkamah ialah pada paragraf (3.16) yang menyatakan :... Rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif denga tujuan untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh dari melalui pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak. Pengertian ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya celah dalam regulasi yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian negara. Mahkamah juga telah mempertimbangkan bahwa BHMN PT atau BUMN/BUMD merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara, meskipun harus dipahami dengan mempergunakan paradigm yang berbeda-beda. Perluasan pengertian dan cakupan keuangan negara berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 mengenai keuangan negara. Pasal 23 UUD 1945 tidak berarti wujud pengelolaan keuangan negara hanya terbatas pada APBN. Pemahaman mengenai keuangan negara tidak terlepas dari pasal-pasal UUD 1945 yang lain, khususnya dalam hal ini Pasal 23C UUD Selain itu, perluasan pengertian keuangan negara diderivasi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut 101

15 di dalam UUD 1945, yaitu pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang terdapat di dalamnya, mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Besarnya peran dan fungsi BHMN PT atau BUMN/BUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, harus diiringi pula dengan penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan paradigma yang berlaku. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD Pertimbangan dan Putusan Mahkamah ini akan sangat berbeda jauh terhadap Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-IX/2011. Dalam kasus ini Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dengan salah satu pertimbangan yang menarik yaitu pada paragraf (3.17)...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan 102

16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT); Terlihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 77/PUU-IX/2011 saling bertentangan. Pada putusan yang pertama Mahkamah menyatakan dengan tegas bahwa...bumn/bumd merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara sedangkan dilain sisi, Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, tergambarkan dengan jelas berbagai antinomi yang terjadi terhadap keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan polemik yang terjadi ini. 103

17 B. Implikasi Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Tataran Praktis Konsep keuangan negara yang tidak bangun berdasarkan pemahaman tentang asas/prinsip yang melandasi tindak pemerintahan mengakibatkan adanya pertentangan yang terjadi (antinomi) antara norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara. Pemahaman tentang keuangan negara yang tidak dibangun berdasarkan konsep Tindak Pemerintahan tersebut bukan hanya berimplikasi pada tataran normatif dengan adanya antinomi antar norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara, namun juga berdampak pada tataran praktis. Implikasi yang terjadi dalam tataran praktis antara lain : 1) Tidak Ada Kepastian Hukum Tidak adanya kepastian hukum disini, akibat Pasal 2 huruf (g) dan huruf (i) dari UU Keuangan Negara. Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara menyatakan bahwa: keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1, meliputi:... g) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. 104

18 Norma di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengartikan bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai penyertaan di dalam BUMN masih berstatus sebagai keuangan negara. Dengan demikian implikasi yuridis dari status uang negara tersebut yaitu keberlakuan asas-asas maupun peraturan perundang-undangan di dalam hukum publik seperti UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap uang tersebut. Sedangkan di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam pasal 11 ditegaskan bahwa terhadap persero (BUMN) berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip bagi perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasar Modal bagi BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public). Hal inilah yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dimana disatu sisi uang yang berada di dalam BUMN masih diposisikan sebagai uang negara yang mengakibatkan pengaturan tentang uang tersebut tunduk dalam UU tentang Keuangan Negara, UU tentang BPK dan UU tentang Tipikor, sedangkan disisi yang lain uang yang telah berada di dalam BUMN tersebut terhadapnya tunduk dan mengikuti norma-norma yang berada di dalam UU tentang Perseroan Terbatas dan UU tentang BUMN. 105

19 2) BUMN Menjadi Objek Pemeriksaan Auditor Negara Hal ini menjadi sangat tidak logis ketika BUMN menjadi objek Pemeriksaan Auditor Negara 100 dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal uang negara yang telah dijadikan penyertaan modal dalam BUMN telah berstransformasi menjadi uang privat dimana seluruh aktivitasnya tunduk dalam hukum privat. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari Tindak Pemerintahan dalam Hukum Publik dan Tindak Pemerintahan Dalam Hukum Privat. Hal ini juga selaras dengan pasal 11 UU tersebut menyatakan : Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh karenanya tidaklah tepat ketika BUMN menjadi objek pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, melainkan seharusnya oleh auditor eksternal (akuntan publik) yang ditetapkan oleh RUPS sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 100 Seperti halnya kasus yang dialami oleh E.C.W Neloe dan rekan-rekannya selaku mantan Direksi PT Bank Mandiri yang dipenjara karena dinyatakan mengambil tindakan yang merugikan keuangan negara. 106

20 3) Ketakutan Direksi BUMN Dalam Mengambil Keputusan Bisnis Kasus E.C.W Neloe adalah salah satu kasus fenomenal yang membuktikan bahwa keputusan bisnis (Business Judgment) yang dipandang bermasalah dari segi penegak hukum dapat dibawah kedalam ranah pengadilan. Ketakutan direksi BUMN ini tidak terlepas dari tidak adanya kepastian hukum dalam aktivitas BUMN, dimana masih terdapat perbedaan pemaknaan konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut akhirnya membuat para Direksi BUMN (Persero) tersebut menjadi takut mengambil keputusan bisnis karena selalu diperhadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara yang bermuara pada tindak pidana korupsi. 4) Fatwa Hukum MA No. WKMA.Yud/20/VIII/2006 Fatwa ini dikeluarkan karena Menteri Keuangan Sri Mulyani memohon fatwa soal kekayaan negara di BUMN yang berkaitan dengan adanya antinomi antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan antara lain : 1) Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi : Badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha negara yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 107

21 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan bahwa Modal BUMN dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. 2) Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan Undang- Undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berdasarkan dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistim APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. 3) Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan, Piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Bahwa oleh karena itu, piutang BUMN bukanlah piutang negara. 4) Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang negara meliputi pula piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya bank-bank negara, PT, PT negara, perusahaanperusahaan negara, yayasan, perbekalan, dan persediaan yayasan urusan bahan makanan, dan sebagainya, serta Pasal 12 ayat (1) undang-undang yang sama mewajibkan instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara sebagai dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan 108

22 piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasinya sebagaimana mestinya kepada panitia urusan piutang negara. Namun ketentuan tentang Piutang BUMN dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialist) dan lebih baru dari Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun ) Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 meliputi: g) Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. Yang dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Timbulnya Fatwa Mahkamah Agung tersebut di atas menunjukan secara tegas telah terjadi antinomi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara. Walaupun Fatwa Mahkamah Agung hanya sebuah pendapat hukum (Legal Opinion) Mahkamah Agung yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, keberlakuannya tentunya dapat atau tidak dapat digunakan oleh Hakim di dalam memberikan pertimbangan dalam putusannya. Hal ini secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan ekses atau dampak tersendiri terhadap perkembangan 109

23 hukum terutama yang berkaitan dengan kedudukan hukum keuangan negara dalam Badan Usaha Milik Negara baik dari sisi negatif atau sisi positifnya. 101 C. Konsep Pengaturan Tentang Keuangan Negara Yang Ideal Berdasarkan Tindak Pemerintah Berkaitan dengan judul dari pembahasan ini menunjukan bahwasanya konsep pengaturan tentang keuangan negara pada saat ini yang termuat di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara belumlah ideal. Konsep dari keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan merupakan salah satu contoh dari berbagai hal yang dipandang bermasalah di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tersebut. Akibatnya, konsep keuangan negara menjadi tidak rasional karena peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan negara tidak sejalan dengan konsep tindak pemerintahan. Penulis bergerak pada pendirian bahwa pengaturan tentang keuangan negara yang ideal haruslah dibangun berdasarkan konsep tindak pemerintahan. Konsep Tindak Pemerintah dalam hukum publik dan tindak 101 Alfin Sulaiman, Op. Cit., h

24 Pemerintahan dalam hukum privat, haruslah menjadi dasar dari konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan memahami dan membedakan konsep Tindak Pemerintahan dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan keperdataan, maka pembentuk peraturan perundang-undangan dapat mengetahui bahwa terhadap pembedaan tindak pemerintahan tersebut membawa implikasi tersendiri terhadap status uang tersebut yaitu status uang negara dan uang privat (BUMN). Dengan status uang yang berbeda tersebut menentukan rezim hukum mana yang berlaku. Jika status hukum uang tersebut ialah uang negara maka rezim hukum publik yang berlaku dan sebaliknya jika status hukum uang tersebut ialah uang privat maka rezim hukum perdata yang berlaku. Oleh karenanya, pengaturan tentang keuangan negara yang ideal harusnya mencerminkan pembedaan terhadap status hukum uang sebagai implikasi dari Konsep Tindak Pemerintahan tersebut. Intervensi hukum publik dalam ranah hukum privat, dimana status hukum uang privat tercakup dalam uang negara hanya akan menambah masalah baru, karena hukum privat memiliki pengaturannya sendiri beserta dengan asas-asas yang berlaku di dalamnya. Sehingga status hukum uang privat di dalam BUMN sepenuhnya tunduk dalam pengaturan hukum perdata. Dengan mengacu pada Tindak Pemerintahan, maka status hukum uang dalam BUMN (Persero) adalah uang BUMN itu sendiri yang terpisah dari 111

25 uang negara. Status hukum uang tersebut merupakan salah satu contoh dari Tindak Pemerintah Dalam Hukum Privat (jure gestionis) dimana aturan dalam lapangan keperdataan yang berlaku. Oleh karenanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah berlaku bagi BUMN tersebut. Selain itu juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan pengecualian terhadap Undang- Undang ini berkaitan dengan Pasal 71 ayat (2) yang menyatakan : Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut jika dicermati tidaklah sesuai dengan konsep tindak pemerintah dalam lapangan keperdataan. Karena status hukum uang yang berada di dalam BUMN tidaklah berstatus uang negara. Sedangkan teruntuk tindak pemerintahan dalam ranah hukum publik dimana status hukum uang tersebut adalah uang negara maka paket Undang- Undang Bidang Keuangan Negara yang berlaku yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara serta UU terkait lainnya. Namun terkadang ada hal-hal yang perlu di pahami bahwa tindak pemerintahan dalam hukum keperdataan yang dilakukan oleh pemerintah 112

26 tidaklah sama dengan tindak keperdataan yang dilakukan oleh warga pada umumnya, bahkan terkadang tindak pemerintah tersebut baik publik maupun privat saling berjalan bersama-sama. Menurut Indroharto, dalam kenyataan bahwa posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hubungan perdata, disebabkan karena Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya sebagai penjaga dan pemelihara kepentingan umum, dengan kewajiban memperhatikan ketentuan hukum publik pada umumnya dan kekuatan mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar warga. 102 Dalam lapangan keperdataan meskipun kedudukan pemerintah sama dengan swasta tetapi ada keleluasaan yang diberikan kepada pemerintah yang melakukan hubungan keperdataan. Misalnya jika perorangan pada umumnya untuk mengakhiri perjanjian harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak, namun pemerintah demi kepentingan umum dapat mengakhiri secara sepihak. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara privatnya negara dengan privatnya orang perorangan pada biasanya, dimana masih ada unsur kekuasaan publik disana selain prinsip umum dalam lapangan keperdataan 102 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Ad min istrasi Negara (LPP-HAN), Bogor- Jakarta, 1995, h

27 bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (pacta sunt servanda). Hal demikian terlihat bahwa sulit untuk menampik nuansa hukum publik dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Sebagai contoh ialah kontrak kerja pemerintah dengan pihak swasta dalam hal pengadaan barang dan jasa. Dalam kontrak kerja tersebut terdapat berbagai rezim hukum (publik dan privat) yang berlaku dan mengatur berbagai tindakan pemerintah dan pihak swasta. Rezim hukum publik karena proses pengadaan barang dan jasa bersumber dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya 103 namun hubungan yang dibangun bersifat keperdataan karena didasarkan pada kontrak antara para pihak. Disini terlihat bahwa nuansa publik dan privat dalam kontrak kerja pemerintah ini. Oleh karena itu menjadi penting dalam menentukan garis batas (scheidingslijn) tindak pemerintahan apakah bersifat publik atau privat. Penulis berpendapat ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan, terdapat hal-hal terntentu yang bersifat privat karena memang sifatnya privat dan terdapat hal-hal tertentu yang bersifat publik. Namun terkhususnya untuk rezim publik batasan terhadap hal tersebut ialah sepanjang menyangkut penggunaan uang 103 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah mengalami perubahan sebanyak empat kali yaitu Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 jo Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 jo Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 jo PERPRES No 4 Tahun

28 negara dalam transaksi. Hal ini penting untuk mencegah masuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan kontrak tersebut, jika pada akhirnya terdapat hal-hal yang dianggap merugikan keuangan negara. oleh karenanya penyelesaian terhadap hal tersebut biarlah diselesaikan dengan ketentuan hukum privat dan berdasarkan kesepakatan para pihak yang telah dituangkan dalam kontrak tersebut. 115

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * Saat ini, peraturan perundangundangan yang berlaku dalam pengurusan piutang negara dan piutang

Lebih terperinci

BAB III STATUS DAN IMPLIKASI YURIDIS UANG PUBLIK DAN UANG PRIVAT BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN. A. Status Hukum Uang Negara Berdasarkan Tindak

BAB III STATUS DAN IMPLIKASI YURIDIS UANG PUBLIK DAN UANG PRIVAT BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN. A. Status Hukum Uang Negara Berdasarkan Tindak BAB III STATUS DAN IMPLIKASI YURIDIS UANG PUBLIK DAN UANG PRIVAT BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN A. Status Hukum Uang Negara Berdasarkan Tindak Pemerintahan Dalam sub-bab ini penulis hendak berargumen

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia 120 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari seluruh penjelasan dan uraian yang diberikan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha

Lebih terperinci

Problematika Pemahaman Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Hukum Tata Negara

Problematika Pemahaman Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Hukum Tata Negara Problematika Pemahaman Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Hukum Tata Negara Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Diskusi Ahli diselenggarakan BHACA, TII, dan

Lebih terperinci

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS UU &DIKTI Keuangan DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS Keuangan Di dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 perumusan tentang keuangan adalah: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara I. PEMOHON Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE., Ph.D. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini challenge globalisasi meruntuhkan filosofi bangsa Indonesia terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini telah diramalkan oleh P. Berger bahwa badai globalisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan I. PEMOHON 1. Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara, sebagai Pemohon I dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI M. Afif Hasbullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Metode pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan negara sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

Lebih terperinci

PENYERTAAN MODAL NEGARA

PENYERTAAN MODAL NEGARA PENYERTAAN MODAL NEGARA A. PENGERTIAN PENYERTAAN MODAL Definisi secara umum penyertaan modal yaitu suatu usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan, dengan melakukan setoran modal

Lebih terperinci

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA.

LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA. LIBERALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA http://www.forbumn.com Sejumlah kalangan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review i atas kewenangan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap

Lebih terperinci

BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA.

BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA. BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA http://www.actual.co Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap akan mengaudit atau memeriksa laporan keuangan dari 138 (seratus tiga puluh delapan) Badan Usaha

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi I. PEMOHON Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah

Lebih terperinci

Pengelolaan BUMD berbentuk PT dikaitkan dengan tindak Pidana Korupsi

Pengelolaan BUMD berbentuk PT dikaitkan dengan tindak Pidana Korupsi OLEH : Refly Harun, S.H., M.H., LL.M Yogyakarta, 10 April 2017 Pengelolaan BUMD berbentuk PT dikaitkan dengan tindak Pidana Korupsi 0 UU yang mengatur BUMD Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan I. PEMOHON 1. Pemohon I, Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini diwakili oleh

Lebih terperinci

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara nasional.sindonews.com Perdebatan tentang Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan aset BUMN 1 menjadi bagian dari kekayaan negara masih terus bergulir.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK I. PEMOHON Ir. Eddie Widiono Sowondho,M.Sc., selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Maqdir Ismail,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KE-2 Registrasi Nomor: 74/PUU-X/2012 Tentang Pemberhentian Sementara Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Di Bawah Undang-Undang Yang Sedang Dilakukan Mahkamah Agung I.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 111/PUU-XIV/2016 Pengenaan Pidana Bagi PNS Yang Sengaja Memalsu Buku-Buku atau Daftar-Daftar Untuk Pemeriksaan Administrasi I. PEMOHON dr. Sterren Silas Samberi. II.

Lebih terperinci

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 KAJIAN PENDALAMAN Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUUXIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati I. PEMOHON a. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Pemohon I) b. Lembaga Pengawasan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 15/PUU-XIV/2016 Ketidakjelasan Definisi Hak Tagih Terhadap Utang Negara Menghambat PT. Taspen Melakukan Pembayaran Pensiun Kepada ASN/PNS I. PEMOHON Drs. Burhan Manurung,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK 1 Audit Proses sistematik dan objektif dari penyediaan dan evaluasi bukti-bukti yang berkenaan dengan asersi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi utuk memastikan derajat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali I. PEMOHON 1. Su ud Rusli, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. H. Boyamin, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperluas investasi pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. DR. Busyro Muqoddas 2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 3. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Diajukan sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, SH., LL. M. Disusun Oleh:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam hal ini

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerapan dana yang dilakukan bank-bank yang ada di seluruh Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. penyerapan dana yang dilakukan bank-bank yang ada di seluruh Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis, Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga yang mengawasi sektor keuangan tidak mampu menahan laju krisis, sehingga terjadi kehancuran

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. A. Hukum Keuangan Negara

BAB 1. Pendahuluan. A. Hukum Keuangan Negara BAB 1 A. Hukum Keuangan Negara Pendahuluan Kelangkaan literatur tentang hukum keuangan negara, berakibat pada pemahaman secara tidak mendalam mengenai hukum keuangan negara sebagai salah satu substansi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penyelesaian piutang perbankan BUMN pra Putusan Mahkamah

BAB V PENUTUP. jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penyelesaian piutang perbankan BUMN pra Putusan Mahkamah BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, serta analisis dan pembahasan yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta I. PEMOHON Antonius Iwan Dwi Laksono. Kuasa Hukum Muhammad Sholeh, SH., dkk advokat pada Kantor Hukum Sholeh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tujuan negara Indonesia 1 sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) diwujudkan oleh sebuah

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14,17/PUU-V/2007 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKALAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang: Mengingat: a. bahwa untuk mendorong

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara pada mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN I. PARA PEMOHON Mohamad Yusuf Hasibuan dan Reiza Aribowo, selanjutnya disebut Pemohon II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi I. PEMOHON 1. Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUUXIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim I. PEMOHON 1. Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H.; 2. Dr. H. Suhadi, S.H., M.H.; 3. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP.,

Lebih terperinci

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 1 TAHUN 2008 dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 49 TAHUN 2011 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 1 TAHUN 2008 dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 49 TAHUN 2011 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 1 TAHUN 2008 dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 49 TAHUN 2011 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA

KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA KEDUDUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA www.merdeka.com I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara welfare state, dimana negara memiliki tanggung jawab

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun I. PEMOHON Harris Simanjuntak II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-X/2012 Tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Oleh Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-X/2012 Tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Oleh Negara RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-X/2012 Tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Oleh Negara I. PEMOHON 1. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), diwakili oleh

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA

ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA ANALISIS YURIDIS SITA UMUM ASET BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA Rizal Widiya Priangga Email: rizalwidiya@gmail.com Mahasiswa FH Universitas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan I. PEMOHON Nina Handayani selanjutnya disebut sebagai Pemohon; Kuasa Hukum: Dr. Youngky Fernando, S.H.,M.H,

Lebih terperinci

Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan,

Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan, Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan, Widyaiswara Muda Pusdiklat KNPK PENDAHULUAN Berdasarkan ketentuan Ung-Ung Tugas berdasarkan Pasal 4 Nomor 49 Prp. Tahun 1960, Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2006 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2006 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2006 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menggali sumber potensi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK I. PEMOHON Yan Herimen, sebagai Pemohon I; Jhoni Boetja, sebagai Pemohon II; Edy

Lebih terperinci

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tahun 2013 Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tahun 2013 Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 ABSTRAK : a. Bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 010/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 13 Juni 2006 I. PEMOHON AH.Wakil Kamal, SH. KUASA HUKUM Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Menyatakan konsideran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad Sholeh,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P I. PEMOHON 1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diwakili oleh Alvon Kurnia Palma,

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Keuangan Negara Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006 I. PEMOHON Yandril, S.Sos. dkk KUASA PEMOHON M. Luthfie Hakim. dkk II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 32

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi I. PEMOHON 1. Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur,

Lebih terperinci

RARANCANGAN) (Disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA

RARANCANGAN) (Disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA RARANCANGAN) (Disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN. NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN. NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sering disebut good governance. Pemerintahan yang baik ini. merupakan suatu bentuk keberhasilan dalam menjalankan tugas untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang sering disebut good governance. Pemerintahan yang baik ini. merupakan suatu bentuk keberhasilan dalam menjalankan tugas untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara pasti membutuhkan pemerintahan yang baik atau yang sering disebut good governance. Pemerintahan yang baik ini merupakan suatu bentuk keberhasilan dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P I. PEMOHON 1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diwakili oleh Alvon Kurnia

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN KONSULTASI YANG MENGIKAT BAGI PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 19 Juni 2016; disetujui: 8 Agustus 2016 Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam

Lebih terperinci

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedikit mulai terusik dengan adanya pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGAWASAN INTERN BUMD SEBAGAI WUJUD PENYELAMATAN ASET

OPTIMALISASI PENGAWASAN INTERN BUMD SEBAGAI WUJUD PENYELAMATAN ASET RPSEP-60 OPTIMALISASI PENGAWASAN INTERN BUMD SEBAGAI WUJUD PENYELAMATAN ASET Megafury Apriandhini Universitas Terbuka megafury@ut.ac.id Abstrak Indonesia masih dianggap sebagai negara berkembang dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 145/PUU-VII/2009 Tentang UU Bank Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 145/PUU-VII/2009 Tentang UU Bank Indonesia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 145/PUU-VII/2009 Tentang UU Bank Indonesia I. PEMOHON Adhie M. Massardi; Agus Joko Pramono; Agus Wahid; Ismail Rumadan, S.H., M.H. Manohara Odelia; Daisy Fajarina;

Lebih terperinci

Kompetensi Umum Mata Kuliah Kompetensi Khusus Mata Kuliah

Kompetensi Umum Mata Kuliah Kompetensi Khusus Mata Kuliah xi S Tinjauan Mata Kuliah etiap negara pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu melindungi warganya, memenuhi kebutuhan rakyatnya, dan memberikan kesejahteraan bagi warganya. Tujuan negara pada

Lebih terperinci

Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015

Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015 Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu perwujudan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia I. PEMOHON 1. Agus Humaedi Abdillah (Pemohon I); 2. Muhammad Hafidz

Lebih terperinci