BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum Sekolah Berkebutuhan Khusus Pengertian Sekolah Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum Sekolah Berkebutuhan Khusus Pengertian Sekolah Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus"

Transkripsi

1 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum Sekolah Berkebutuhan Khusus Pengertian Sekolah Sekolah atau School berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengahtengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar- besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus Anak Berkebutuhan Khusus diartikan sebagai anak yang memiliki kelainan fisik, mental, emosi, sosial atau gabungan dari kelainan tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan secara khusus. Dalam buku yang berjudul Lexikana Universal Encyclopedia dijelaskan bahwa Pengertian Anak Luar Biasa atau istilah ketunaan digunakan untuk menunjukkan adanya kelainanan fisik atau kelemahan mental yang sekarang lebih sering digunakan untuk menjelaskan adanya kelemahan, gangguan atau hambatan dalam segi mental, fisik atau emosi yang begitu berat sehingga mengakibatkan keterbatasan bagi mereka dalam melakukan aktivitas. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus 1. Tuna Netra Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi 9

2 10 penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Identifikasi anak yang mengalami gangguan penglihatan yaitu tidak mampu melihat, tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter, kerusakan nyata pada kedua bola mata, sering meraba-raba/tersandung dijalan, mengalami kesulitan mengambil benda kecil didekatnya, bagian bola mata yang hitam berwarna keruh, mata bergoyang terus. (Sutjihati Somantri, 2003). 2. Tuna Rungu Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal secara fisik. Anak tunarungu tidak berbeda dengan anak anak yang dapat mendengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunaruguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali. (Sutjihati Somantri, 2003) 3. Tuna Grahita American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. (Sutjihati Somantri, 2003) 4. Tuna Daksa Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. (Haekal, 2005) 5. Tuna Laras Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. (Haekal, 2005) 6. Tuna Ganda Anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan

3 11 yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki. (Sutjihati Somantri, 2003) Pengertian Sekolah Berkebutuhan Khusus Maka pengertian dari Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus adalah tempat yang berfungsi memfasilitasi atau mewadahi siswa yang memiliki kelainan fisik atau mental untuk mendukung aktifitas didalamnya dalam proses belajar mengajar seperti bermain, bersosialisasi, pembinaan, pengembangan bakat dan kreatifitas. Jenis Sekolah Berkebutuhan Khusus atau Sekolah Luar Biasa Menurut Depdiknas tahun 2008 dalam pelaksanaannya SLB terbagi atas beberapa jenis sesuai dengan kelainan peserta didik, yaitu: 1. SLB Bagian A, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang menyandang kelainan pada penglihatan (Tunanetra). 2. SLB Bagian B, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang menyandang kelainan pada pendengaran (Tunarungu). 3. SLB Bagian C, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita ringan dan SLB. Bagian C1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita sedang. 4. SLB Bagian D, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang mengalami cacat fisik (tunadaksa) tanpa adanya gangguan kecerdasan dan SLB D1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunadaksa yang disertai dengan gangguan kecerdasan. 5. SLB Bagian E, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik yang memiliki kelainan tingkah laku (tunalaras). 6. SLB Bagian G, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunaganda. teori dan

4 12 praktik. Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta nomor 32 tahun 2012 pasal 18 menyebutkan 1. Kelengkapan prasarana pada Sekolah Luar Biasa (SLB) sekurangkurangnya memiliki : a. ruang pembelajaran umum b. ruang pembelajaran khusus c. ruang penunjang Ruang pembelajaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. meliputi a. ruang kelas b. ruang perpustakaan Ruang pembelajaran khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi a) ruang orientasi dan mobilitas (OM) untuk tunanetra (A); b) ruang bina komunikasi. persepsi bunyi dan irama (BKPBI) untuk tunarungu (B), terdiri dari ruang bina wicara ruang bina persepsi bunyi dan irama ruang bina diri dan bina gerak untuk tunagrahita (C) ruang bina diri dan bina gerak untuk tunadaksa (D) ruang bina pribadi dan sosial untuk tunalaras (E) ruang keterampilan. Ruang penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi a) ruang pimpinan b) ruang guru c) ruang tata usaha d) tempat beribadah e) ruang UKS f) ruang konseling/assesment g) ruang organisasi kesiswaan h) toilet i) gudang

5 13 j) ruang sirkulasi k) tempat bermain/olahraga Sekolah Luar Biasa Tunanetra Sekolah Luar biasa untuk tunanetra atau yang biasa disebut dengan SLB-A ini menurut George H.W dalam bukunya Signage into Law mengajarkan bagaimana siswa untuk hidup mandiri melalui latihan pembelajaran praktis. belajar kemandirian finansial, cara menavigasi situasi dengan lingkungan yang berbeda, cara hidup dan merawat dirinya sendiri. Menurut ADA (American Disabilities Act) komponen penting untuk mendesain SLB-A dengan tujuan melebihi standar yang ada guna untuk mengembangkan ruang yang lebih nyaman dan mudah di akses meliputi Accessibility Fasilitas ini harus mengakomodasi semua individu khususnya untuk tunanetra. Audibility Kemampuan untuk mengontrol jenis kebisingan yang dapat mempengaruhi pengguna fasilitas dalam belajar. Menggunakan white noise dalam arti suara yang dapat dinikmati dengan digunakan secara efektif berguna untuk membantu siswa memblokir suara dari lingkungan perkotaan. Interaction Para guru dan siswa harus berinteraksi dengan lingkungan, hal ini dilakukan dengan membuat point of interest yang menciptakan situasi interaksi. Olfactory Membuat lansekap dan desain interior yang menciptakan penanda aromatik di ruang tertentu sehingga dapat membantu dalam pengembangan pemetaan kognitif dan untuk menciptakan pengalaman yang benar-benar unik. Safety Menciptakan lingkungan yang aman di mana guru dan siswa sama-sama bebas untuk bergerak di lingkungan yang bebas hambatan dan menciptakan solusi desain terbaik untuk mencegah kebingungan yang mengakibatkan cedera. Security Fasilitas harus menciptakan lingkungan yang aman, melindungi guru dan siswa dari pengaruh luar. Fasilitas ini harus memberikan rasa aman tanpa

6 14 menjadi sombong dengan efek dari makhluk dalam "penjara". Tangible Fasilitas ini harus memberikan tekstur pada permukaan dalam rangka untuk menavigasi dengan sentuhan. Banyak tekstur yang berbeda dapat membingungkan, tetapi penggunaan tekstur tertentu untuk pemberitahuan spesifik seperti " bahaya " atau penunjukan toilet, dan sebagainya. Sight Fasilitas ini harus menggunakan warna untuk mewakili ruang yang berbeda dan membuat jalur yang dapat membantu dalam penunjuk jalan. Penggunaan cahaya siang hari alami dapat membantu untuk mendefinisikan ruang tertentu memisahkan mereka dari ruang lain dengan menggunakan tingkat yang berbeda pencahayaan Arsitektur Perilaku Arsitektur Perilaku dapat diartikan sebagai suatu lingkungan binaan yang diciptakan oleh manusia sebagi tempat untuk melakukan aktivitasnya dengan mempertimbangkan segala aspek dari tanggapan atau reaksi dari manusia itu sendiri menurut pola pikir atau persepsi manusia selaku pemakai. (Setiawan. B & Haryadi, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku) Sehubungan dengan pengertian di atas maka Arsitektur Perilaku tersebut membahas tentang hubungan antara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pembahasan psikologis yang secara umum didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dengan lingkungan. Menurut Garden Murphy, psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya. Menurut Amos Rapoport, kajian arsitektur lingkungan berkaitan dengan karakter manusia yang berbeda-beda, lingkungan terbangun yang membentuk atau mempengaruhi perilaku manusia yang didalamnya dan interaksi manusia dengan lingkungannya. Penyesuaian antara perilaku dengan lingkungannya terbagi atas dua yaitu : Perubahan perilaku agar sesuai dengan lingkungan. Sifat manusia yang mampu belajar dari pengalaman, perubahan perilaku agar sesuai dengan lingkungan akan bisa dilakukan secara bertahap. Dengan kata lain,

7 15 manusia bisa dididik, dilatih dan belajar sendiri untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang masih asing. Perubahan lingkungan agar sesuai dengan perilaku manusia selalu berusaha untuk memanipulasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi dirinya (keadaan yang diinginkannya). Proses manipulasi lingkungan tersebut melibatkan tingkah laku mendesain (merancang) lingkungan. Dlam mendesain bangunan ada dua unsur yaitu kelayakan huni (habitability) dan alternatif desain. Perilaku Sebagai Suatu Pendekatan Pendekatan perilaku menekankan keterkaitan antara ruang dengan manusia yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah dari aspek norma, kultur, dan psikologis masyarakat. Dengan perbedaan tersebut maka akan tercapai konsep ruang dengan wujud ruang yang berbeda sesuai dengan pemakai/pengguna ruang tersebut. Psikologi Manusia Psikologi merupakan suatu bidang ilmu kejiwaan yang membahas tentang tingkah laku manusia sebagai individu pada lingkungan sosialnya. Psikologi manusia adalah ilmu yang mempermasalahkan mengenai tingkah laku dan proses yang terjadi tentang tingkah laku tersebut. Maka psikologi selalu berbicara tentang kepribadian manusia. Menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, manusia sebagai objek yang paling penting dalam suatu lingkungan binaan memiliki ciri- ciri sebagai berikut, cenderung untuk selalu mengerti dan bereaksi dengan lingkungannya, senang untuk mengetahui dan membagi pengetahuannya dengan orang lain dan selalu kebingungan pada saat tidak memiliki pedoman yang jelas. Kecenderungan ini merupakan akibat dari adanya proses psikologi yang terjadi pada setiap individu dalam interaksinya dengan lingkungannya. Pada lingkungan binaan tersebut manusia memiliki perilaku tertentu karena didasarkan pada kebutuhan hidup. Konsep dalam Kajian Arsitektur Lingkungan dan Perilaku Behavior Setting (seting ruang) mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan, aktivitas atau perilaku dari sekelompok

8 16 orang tersebut, secara konstan atau berkala, dan pada suatu tempat atau setting tertentu. Environmental Perception (persepsi tentang lingkungan) interpretasi tentang suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Perceived Environment (lingkungan yang terpersepsikan)merupakan produk atau bentuk dari persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok orang. Environment Cognition, Image, and Schemata (kognisi lingkungan, citra, dan skemat) Merupakan suatu proses memahami dan memberi arti terhadap lingkungan. Environmental Learning (pemahaman lingkungan) meliputi proses pemahaman yang menyeluruh tentang suatu lingkungan seseorang. Environmental Quality (kualitas lingkungan) merupakan kualitas lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Territory (teritori/wilayah) merupakan batas dimana organisme hidup menentukan tuntutannya menandai serta mempertahankannya. Personal Space and Crowding (ruang personal dan keramaian) merupakan batas yang tidak tampak di sekitar seseorang, dimana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk memasukinya. Apabila personal space tidak dapat dipertahankan akan timbul crowding. Environmental Pressure and Stress merupakan faktor-faktor fisik yang menimbulkan rasa tidak enak, kehilangan orientasi, tidak nyaman yang dapat menyebabkan stress. 2.2 Tinjauan Khusus Tuna Netra Pengertian Tunanetra. Secara umum ketunanetraan atau hambatan penglihatan (visual impairment) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu buta total (totally blind) dan kurang lihat (Low Vision) (Christopher, 2005: 412). Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila ketunanetraannya masih cenderung memfungsikan indera penglihatannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sehingga masih dapat membedakan

9 17 ruang yang ada di sekitarnya, namun membutuhkan usaha dibandingkan dengan orang biasa lainnya. Oleh sebab itu perbedaan warna yang mencolok sangat membantu mereka dalam beraktifitas di ruangannya (Adrian R Hill, 2004). Blindness (kebutaan) menunjuk pada seseorang yang tidak mampu melihat atau hanya memiliki persepsi cahaya (Huebner dalam Siska, 2005: 412). Seseorang dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang sangat berat atau bahkan tidak dapat melihat sama sekali. Kadang-kadang di lingkungan sekolah juga digunakan istilah functionally blind atau educationally blind untuk kategori kebutaan ini. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar sehingga membutuhkan signage atau penanda untuk mempermudah mengenal ruangan. Orang tunanetra mengalami tiga keterbatasan (Lowenfeld, 1948). Keterbatasan pertama, kontrol lingkungan dan diri dalam hubungannya dengan lingkungan, dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap penerimaan informasi dalam interaksi sosial. Keterbatasan kedua adalah mobilitas. Apabila keterbatasan ini tidak ditangani dengan memberikan pelatihan kepada orang tunanetra, maka orang tunanetra akan menghadapi kesulitan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Keterbatasan ketiga adalah dalam tingkat dan keanekaragaman konsep. Orang tunanetra yang ketunanetraannya diperoleh sejak lahir akan menghadapi kesulitan ketika memperoleh konsep-konsep yang baru, seperti perkembangan teknologi, pakaian, dan perubahan dalam lingkungan. Karakteristik Tunanetra a. Karakteristik Perilaku Perilaku anak tuna netra yang terdiri dati buta total (tidak bisa melihat sama sekali), buta sebagian atau low vision adalah sebagai berikut Berjalan dengan meraba-raba sekelilingnya. Anak yang mengalami buta total dibantu dengan tongkat untuk berjalan. Tongkat tersebut diarahkan ke kiri, kanan, atau ke depan untuk mengetahui apa yang berada di sekelilingnya. Berjalan dengan dituntun oleh orang lain. Daya ingat dan instingnya kuat.

10 18 Mampu merekam sesuatu dengan baik. Indera pendengaran lebih tajam dibandingkan dengan anak yang mampu melihat. Dapat mendeteksi sesuatu lewat suara atau indera lainnya. Bila pertama kali datang di tempat asing, ia akan mengeksplorasi apa yang terdapat di tempat tersebut atau di sekelilingnya, kemudian mencoba merekam dan menggambarkan denah ruang di dalam otaknya. Mobilitas dan ruang gerak terbatas. Saat menuju ke suatu tempat jalur yang ditempuh adalah jalur terpendek, mudah dan terhindar dari bahaya. (Sesilia Gloria, 2009) Sebenarnya ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun secara umum berpengaruh terhadap perilakunya. Sebagai contoh, siswa tunanetra bisa jadi tidak matang secara sosial, lebih terisolasi, dan mungkin kurang asertif dibandingkan dengan anak lain (Tuttle, dalam Rossa, 2005:417), dan hal ini terjadi sepanjang masa kanak-kanak sampai remaja. Anak tunanetra kadang-kadang dianggap kurang mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga orang lain cenderung menolongnya. Hal ini justru menjadikan mereka lebih pasif dan akan merasa kurang percaya diri saat bersosialisasi. b. Karakteristik Kognitif Lowenfeld (Christopher, 2005: 417) menggambarkan dampak kebutaan (totally blind) atau kurang lihat (low vision) terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak, dalam tiga area berikut ini: 1. Tingkat dan keragaman pengalaman. Bila seorang anak mengalami hambatan penglihatan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi, indera-indera tersebut tidak dapat sepenuhnya menggantikan penglihatan dalam memperoleh informasi secara cepat dan menyeluruh, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang, yang diperoleh melalui penglihatan. Tidak

11 19 seperti halnya penglihatan, mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses memahami dari bagian-bagian ke keseluruhan, dan orang tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda terlalu jauh (misalnya bintang, horizon), terlalu besar (misalnya gunung, awan), terlalu lembut dan kecil (misalnya serpihan salju, serangga kecil), atau membahayakan (misalnya api, kendaraan yang bergerak) untuk dipahami melalui perabaan. 2. Kemampuan untuk berpindah tempat (mobilitas). Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, namun kebutaan atau hambatan penglihatan yang parah akan menghambat gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut membatasi seseorang dalam memperoleh pengalaman dan mempengaruhi hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak lainnya, anak tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan menggunakan berbagai keterampilan dan teknik orientasi dan mobilitas. 3. Interaksi dengan lingkungan. Penglihatan sangat memungkinkan untuk memperoleh informasi pada jarak jauh, orang dengan penglihatan normal akan dapat dengan segera dan langsung mengendalikan lingkungan. Sebagai contoh, saat anda berada di suatu pesta yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan di mana anda berada, menemukan seseorang atau tempat yang akan anda hampiri, dan kemudian anda bisa dengan bebas bergerak ke arah tersebut. Orang tunanetra atau yang mengalami hambatan penglihatan parah tidak memiliki kemampuan kontrol seperti itu. c. Karakteristik Akademik Selain mempengaruhi perkembangan kognitif, ketunanetraan juga berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, saat membaca atau menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi sebagian besar anak dengan hambatan penglihatan, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak- anak tersebut menggunakan berbagai media dan alat alternatif untuk membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka

12 20 mungkin mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan keterampilan membaca dan menulis seperti teman-temannya yang dapat melihat. (Sacks & Silberman, dalam Cynthia, 2008). d. Karakteristik Sosial dan Emosional Perilaku sosial secara khusus dikembangkan melalui observasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya (Sacks & Silberman, dalam Cynthia, 2005: 417). Perbaikan terjadi melalui penggunaan perilaku sosial secara berulang-ulang, dan secara tidak langsung melalui feedback dari orang yang kompeten secara sosial. Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan peniruan, siswa tunanetra seringkali mengalami kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang sesuai. Karena ketunanetraan berdampak pada keterampilan sosial, maka siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran langsung dan sistematis, misalnya dalam bidang pengembangan persahabatan, pengambilan resiko dan pembuatan keputusan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, menunjukkan postur tubuh yang meyakinkan, menggunakan gestur dan ekspresi wajah yang sesuai, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat saat berkomunikasi, dan menunjukkan keasertifan yang tepat (Sacks & Silberman, dalam Cynthia, 2008) Novelty Pengamatan yang telah dilakukan berisi studi banding antar sekolah, beberapa sudah memenuhi kriteria yang mengacu pada teori ADA akan tetapi tidak satupun sekolah yang secara lengkap dapat memenuhi kriteria teori tersebut yang akan dijelaskan pada bab 4. Oleh karena itu sekolah yang akan di rancang akan memenuhi dari semua kriteria yang disebutkan oleh ADA atau American Disability Act guna memenuhi semua kebutuhan siswa tunanetra.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun

Lebih terperinci

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi Guru PAI Tunanetra di SLB se-indonesia Wisma Shakti Taridi

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang normal saja, tetapi juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup dimana semua terasa menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bermasalah

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, dihadapkan pada banyak tantangan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya juga pendidikan. Semakin hari persaingan sumber

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya ia mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya itu akan lahir dengan sehat dan sempurna. Biasanya para orangtua

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal

Lebih terperinci

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (Suatu Observasi Lapangan di SDLB Desa Labui, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh) Oleh: Qathrinnida, S.Pd Suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata sebagai indera penglihatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA UNTUK SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SDLB), SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMPLB),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu sejak lahir yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan yang cukup mencolok terjadi

Lebih terperinci

KISI-KISI PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI AWAL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN MATA PELAJARAN GURU KELAS SDLB KOMPETENSI PEDAGOGIK

KISI-KISI PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI AWAL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN MATA PELAJARAN GURU KELAS SDLB KOMPETENSI PEDAGOGIK KISI-KISI PENGEMBANGAN SOAL UJI KOMPETENSI AWAL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN MATA PELAJARAN GURU KELAS SDLB KOMPETENSI PEDAGOGIK Kompetensi Inti Guru (Standar Kompetensi) 1. Menguasai karakteristik peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan ada juga yang masalah pembelajarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh, atau kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS TEMA 3.1. Arsitektur Perilaku Setiap orang pasti merasakan ketakutan tertentu secara psikologis mengenai hal yang berkenaan dengan Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan kita takut akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga membutuhkan program individual dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh (http://id.wikipedia.org/wiki/ Anak_

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan, termasuk polio, dan lumpuh (http://id.wikipedia.org/wiki/ Anak_ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna daksa merupakan kelainan cacat fisik dalam gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia berharap dilahirkan dalam keadaan yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memenuhi dan melindungi hak asasi tersebut dengan memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Menjadi insan-insan yang terdidik merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan dan kemanusiaan adalah dua hal yang saling berkaitan, pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan. Artinya pendidikan diselenggarakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS HERRY WIDYASTONO Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Khusus PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 6/9/2010 Herry

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

II. Deskripsi Kondisi Anak

II. Deskripsi Kondisi Anak I. Kondisi Anak 1. Apakah Anak Ibu/ Bapak termasuk mengalami kelainan : a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunagrahita d. Tunadaksa e. Tunalaras f. Tunaganda g. Kesulitan belajar h. Autisme i. Gangguan perhatian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelahiran seorang anak di dunia ini adalah kebanggaan tersendiri bagi keluarga, manusia tidak dapat meminta anaknya berwajah cantik atau tampan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkomunikasi merupakan suatu hal yang mendasar bagi semua orang. Banyak orang yang menganggap bahwa berkomunikasi itu suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Namun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah. Islam sebagai agama yang dianut penulis mengajarkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga negara. Bahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah program. Program melibatkan sejumlah komponen yang bekerja sama dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diprogramkan. Sebagai

Lebih terperinci

KISI UJI KOMPETENSI 2014 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

KISI UJI KOMPETENSI 2014 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN LUAR BIASA KISI UJI KOMPETENSI 2014 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN LUAR BIASA Standar Utama Inti Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Guru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

KOMUNIKASI DAN WAWANCARA KLINIS

KOMUNIKASI DAN WAWANCARA KLINIS TUJUAN KOMUNIKASI DAN WAWANCARA KLINIS R. NETY RUSTIKAYANTI, M.KEP 2017 Mengidentifikasi faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi komunikasi Mendiskusikan perbedaan komunikasi verbal dan non verbal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Musik merupakan bahasa yang universal karena musik mampu dimengerti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Musik merupakan bahasa yang universal karena musik mampu dimengerti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Musik merupakan bahasa yang universal karena musik mampu dimengerti dan dipahami oleh setiap orang dari bangsa apa pun di dunia ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa musik

Lebih terperinci

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pendidikan adalah hak bagi setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia telah diciptakan Alloh SWT sebagai makhluk yang sempurna dalam segala hal dibanding dengan makhluk yang lain. Kesempurnaan manusia dari segi fisik memiliki

Lebih terperinci

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu kelas 3 SLB Negeri Binjai Oleh: Pendahuluan Anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Perbedaannya hanya mereka membutuhkan metode

Lebih terperinci

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA Irham Hosni PLB FIP UPI A. Modifikasi Pembelajaran TUNANETRA Dalam merancang pembelajaran atau Bimbingan Rehabilitasi Tunanetra maka kita harus menemukan

Lebih terperinci

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak semua dalam keadaan yang sama satu sama lain. Seperti yang telah kita ketahui bahwa selain ada anak yang memiliki perkembangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran pada dasarnya adalah suatu proses terjadinya interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran pada dasarnya adalah suatu proses terjadinya interaksi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembelajaran pada dasarnya adalah suatu proses terjadinya interaksi antara guru dengan siswa melalui kegiatan terpadu dari dua bentuk kegiatan yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Sejak bayi, manusia telah berkomunikasi dengan orang lain, yaitu ibu dan ayahnya. Menangis di

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah BAB I A. Latar Belakang Masalah Pendidikan harus mendapatkan dukungan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraannya bagi masyarakat dengan sebaik-baiknya. Fungsi pendidikan baik bersifat formal maupun non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi kasus di Kelas VIII SMPLB-B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini, peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang akan diteliti dan dikembangkan, tujuan penelitian dan pengembangan, spesifikasi produk yang diharapkan, pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan berdasarkan bab III ayat 5 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Setiap manusia pada hakikatnya pasti ingin dilahirkan secara sempurna dan normal secara fisik. Pada kenyataannya, tidak semua manusia mendapatkan keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kualitas manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis 14 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis merupakan harapan bagi semua orangtua yang sudah menantikan kehadiran anak dalam kehidupan perkawinan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd BEBERAPA ISTILAH ABK ANAK LUAR BIASA ANAK CACAT ANAK TUNA ANAK ABNORMAL ANAK LEMAH INGATAN ANAK IDIOT ANAK BERKELAINAN ANAK BERKEBUTUHAN

Lebih terperinci

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orientasi dan mobilitas merupakan kebutuhan yang mendasar bagi tunanetra. Dipahami dari pengertiannya, menurut Rahardja (2010) menyatakan bahwa: Orientasi adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna rungu wicara adalah kondisi realitas sosial yang tidak terelakan didalam masyarakat. Penyandang kecacatan ini tidak mampu berkomunikasi dengan baik selayaknya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memiliki fungsi yang sangat strategis dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan merupakan proses perubahan yang sistematik

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemahaman masyarakat umum mengenai anak berkebutuhan khusus masih sangat minim, kebanyakan mereka menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang

Lebih terperinci

BAB III ANALISA MASALAH

BAB III ANALISA MASALAH BAB III ANALISA MASALAH 3.1 MASALAH FISIK MENYANGKUT PROGRAM FASILITAS 3.1.1 Organisasi Ruang Dan Alur Sirkulasi Sekolah Kegiatan belajar mengajar disekolah merupakan aktifitas rutin harian bagi seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin maju suatu bangsa maka kesadaran akan pendidikan juga semakin tinggi. Hal ini terbukti bahwa banyak orangtua yang mulai menyekolahkan anaknya sedari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu sebagai salah satu sumber daya yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi mungkin agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena dibekali memiliki akal budi, kepribadian serta kecerdasan yang membedakannya dengan makhluk lainnya.

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Usia Sekolah

Karakteristik Anak Usia Sekolah 1 Usia Sekolah Usia Sekolah 2 Informasi Umum dengan Disabilitas 3 Usia Sekolah Anak dengan Disabilitas Anak Dengan Disabilitas adalah anak yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental yang dapat mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosialnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI dan Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005, dapat ditetapkan dengan Permendiknas

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN 2016 Oleh SRI DELVINA,S.Pd NIP. 198601162010012024 SLB NEGERI PELALAWAN KEC. PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN

Lebih terperinci

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu perkembangan anak supaya lebih progresif baik dalam perkembangan akademik maupun emosi sosialnya sehingga mereka dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan ini tidak semua orang dapat beruntung terlahir dengan kondisi fisik, psikologis, dan kognitif yang normal dan sehat. Mereka yang tidak beruntung ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siswa tunarungu adalah salah satu anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam pendengaran, sehingga untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi kemanusiaan paling elementer dapat berkembang secara optimal ( Haris,

BAB I PENDAHULUAN. dimensi kemanusiaan paling elementer dapat berkembang secara optimal ( Haris, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guru adalah sebuah profesi yang merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut suatu keahlian, tanggung jawab dan kesetiaan. Mengutip pendapat Haris (2009) profesionalisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan oleh siswa sehingga menjadi kebiasaan. Dalam pendidikan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda perkembangan fisik, mental, atau sosial dari perkembangan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap individu ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki alat indera yang lengkap, terutama mata.

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: HAKIKAT PENDIDIKAN KHUSUS 1.1 Definisi dan Jenis Kebutuhan Khusus... 1.3 Latihan... 1.15 Rangkuman... 1.16 Tes Formatif 1..... 1.17 Penyebab dan Dampak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki tubuh dan alat indera yang lengkap untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, setiap individu terkadang mengalami suatu hambatan. Hambatan yang terjadi pada suatu individu beragam jenisnya. Beberapa jenis

Lebih terperinci

PENDEKATAN PERILAKU TERHADAP LINGKUNGAN SEKOLAH LUAR BIASA DI JAKARTA

PENDEKATAN PERILAKU TERHADAP LINGKUNGAN SEKOLAH LUAR BIASA DI JAKARTA PENDEKATAN PERILAKU TERHADAP LINGKUNGAN SEKOLAH LUAR BIASA DI JAKARTA Sesti Mayasari, Nina Nurdiani, Ren Katili Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara Jl K H.Syahdan No.9 Jakarta Barat 11480 Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunagrahita merupakan anak dengan kebutuhan khusus yang memiliki intelegensi jelas-jelas berada dibawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Bahasa digunakan manusia sebagai sarana komunikasi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Bahasa digunakan manusia sebagai sarana komunikasi di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di masyarakat. Bahasa digunakan manusia sebagai sarana komunikasi di dalam segala bidang kehidupan. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mencetak sumber daya manusia yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak berkebutuhan khusus (ABK) perlu mendapatkan perhatian khusus baik itu dalam pemerolehan pendidikan maupun penanganan sepanjang fase hidupnya karena berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu modal seseorang untuk meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Pada dasarnya setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan yang dimiliki setiap individu itu berbeda-beda, baik dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi motorik, afektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Secara umum pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalab Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan dalam dirinya. Namun kenyataannya terdapat remaja yang dilahirkan dengan kekurangan

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN DAN ADAPTASI ANAK BERKEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS/LUAR BIASA

KEMANDIRIAN DAN ADAPTASI ANAK BERKEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS/LUAR BIASA KEMANDIRIAN DAN ADAPTASI ANAK BERKEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS/LUAR BIASA JUHANAINI Irham Hosni Dosen PLB FIP UPI Anna_252006@yahoo.co.id E-mail: irham_hosni@yahoo.co.id PENGGESERAN CARA PANDANG TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugrah yang Tuhan berikan untuk dijaga dan dirawat. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam masa tumbuh kembang. Memahami

Lebih terperinci