BAB II TIJAUAN PUSTAKA. Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TIJAUAN PUSTAKA. Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu"

Transkripsi

1 BAB II TIJAUAN PUSTAKA.1 Sistem Refrigerasi.1.1 Pendahuluan Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih rendah dari temperatur lingkungannya. Kinerja mesin refrigerasi kompresi uap ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas pendinginan kapasitas pemanasan,daya kompresi, koefisien kinerja dan faktor kinerja.sesuai dengan konsep kekekalan energi, panas tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat dipindahkan.sehingga refrigerasi selalu berhubungan dengan proses-proses aliran panas dan perpindahan panas. Pada dasarnya sistem refrigerasi dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Sistem refrigerasi mekanik Sistem refrigerasi ini menggunakan mesin-mesin penggerak atau dan alat mekanik lain dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem refrigerasi mekanik di antaranya adalah: a. Siklus Kompresi Uap (SKU) b. Refrigerasi siklus udara c. Kriogenik/refrigerasi temperatur ultra rendah d. Siklus sterling

2 . Sistem refrigerasi non mekanik Berbeda dengan sistem refrigerasi mekanik, sistem ini tidak memerlukan mesin-mesin penggerak seperti kompresor dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem refrigerasi non mekanik di antaranya: a. Refrigerasi termoelektrik b. Refrigerasi siklus absorbsi c. Refrigerasi steam jet d. Refrigerasi magnetic dan Heat pipe Dewasa ini, penerapan siklus-siklus refrigerasi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari.industri refrigerasi dan tata udara telah berkembang sangat pesat dan sangat variatif, demi memenuhi kebutuhan pasar yang sangat bervariasi..1. Siklus Kompresi Uap Dari sekian banyak jenis-jenis sistem refigerasi, namun yang paling umum digunakan adalah refrigerasi dengan sistem kompresi uap.komponen utama dari sebuah siklus kompresi uap adalah kompresor, evaporator, kondensor dan katup epansi. 3 Kondensor Katup epansi Kompresor 4 1 Evaporator Gambar.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 010)

3 Pada siklus kompresi uap, di evaporator refrigeran akan menghisap panas dari lingkungan sehingga panas tersebut akan menguapkan refrigeran. Kemudian uap refrigeran akan dikompres oleh kompresor hingga mencapai tekanan kondensor, dalam kondensor uap refrigeran dikondensasikan dengan cara membuang panas dari uap refrigeran ke lingkungannya. Kemudian refrigeran akan kembali di teruskan ke dalam evaporator. Dalam diagram P-h siklus kompresi uap ideal dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Gambar. Diagram P h siklus kompresi uap ideal (Himsar Ambarita, 010) Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap seperti pada gambar. diatas adalah sebagai berikut: a. Proses kompresi (1-) Proses ini dilakukan oleh kompresor dan berlangsung secara isentropik adiabatik. Kondisi awal refrigeranpada saat masuk ke dalam kompresor adalah

4 uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigeranakan menjadi uap bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropik, maka temperatur ke luar kompresor pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan massa refrigeran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: q w = h 1 h (1) dimana : q w = besarnya kerja kompresor (kj/kg) h 1 = entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kj/kg) h = entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kj/kg) b. Proses kondensasi (-3) Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan tinggi dan bertemperatur tinggi yang berasal dari kompresor akan membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. Besar panas per satuan massa refrigeran yang dilepaskan di kondensor dinyatakan sebagai: q c = h h 3 () dimana : q c = besarnya panas dilepas di kondensor (kj/kg) h 1 = entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kj/kg) h = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kj/kg) c. Proses epansi (3-4)

5 Proses epansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur, atau dapat dituliskan dengan: h 3 = h 4 (3) Proses penurunan tekanan terjadi pada katup epansi yang berbentuk pipa kapiler atau orifice yang berfungsi untuk mengatur laju aliran refrigeran dan menurunkan tekanan. d. Proses evaporasi (4-1) Proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap, seperti pada titik 4 dari gambar. diatas. Besarnya kalor yang diserap oleh evaporator adalah: Q e = h 1 h 4 (4) dimana : q e = besarnya panas yang diserap di evaporator (kj/kg) h 1 = entalpi refrigeran saat keluar evaporator (kj/kg) h = entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kj/kg) Selanjutnya, refrigeran kembali masuk ke dalam kompresor dan bersirkulasi lagi. Begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan

6 tercapai.untuk menentukan harga entalpi pada masing-masing titik dapat dilihat dari tabel sifat-sifat refrigeran. Setelah melakukan perhitungan untuk beberapa jenis refrigerant yang sering dipakai di Indonesia, didapat nilai COP (Coefficient of Performance) sebagai fungsi temperatur kondensasi ditampilkan pada Tabel.1 Tabel.1 Nilai COP dari beberapa jenis refrigerant T( o C) Refrgt R1 5,58 4,75 4,1 3,65 3,,84,48 R600 5,08 4,34 3,69 3,18,77,44,14 R134a 4,9 5,05 3,9 3,34,90,54,18 R 5,47 4,75 4,98 3,97 3,6,78,44. Refrigerant Refrigerant adalah fluida kerja utama pada suatu siklus refrigerasi yang bertugas menyerap panas pada temperatur dan tekanan rendah dan membuang panas pada temperatur dan tekanan tinggi. Umumnya refrigerant mengalami perubahan fasa dalam satu siklus. Media pendingin (cooling media) adalah media yang digunakan untuk mengantarkan efek refrigerasi ke tempat yang membutuhkan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem pendingin udara pada unit yang besar, seperti bangunan komersial, menempatkan siklus pendingin

7 terpusat pada suatu tempat. Dan ruangan yang menggunakan efek refrigerasi relatif jauh dari unit ini, untuk keperluan ini adalah lebih baik menggunakan medium lain daripada harus mensirkulasikan refrigerant ke tiap ruangan. Medium yang lain inilah yang disebut medium pendingin atau sering juga diistilahkan refrigerant sekunder. Medium yang umum digunakan adalah air, glycol, dan larutan garam. Cairan absorbent (liquid absorbent) adalah cairan yang digunakan untuk menyerap uap refrigerant. Istilah ini hanya dijumpai pada siklus absorpsi. Contoh yang umum dijumpai adalah lithium bromida dan ammonia...1 Tatanama Refrigerant Umumnya refrigerant mempunyai nama kimia yang cukup panjang dan kompleks, misalnya CClFCClF. DuPont mengusulkan sistem penamaan dengan menyingkat dengan huruf depan R atau kadang ditulis Freon dan diikuti beberapa angka. Sistem ini diusulkan untuk umum sejak tahun 1956 dan masih digunakan sampai saat ini. 1. Angka pertama dari kanan adalah jumlah atom Fluorin dalam ikatan. Angka kedua dari kanan adalah jumlah atom Hidrogen ditambah 1 3. Angka ketiga dari kanan adalah jumlah atom Karbon dikurangi 1 (Jika nol tidak dipakai) 4. Angka keempat dari kanan adalah jumlah ikatan unsaturated karbonkarbon senyawa (Jika nol tidak digunakan) tambahan:

8 a. Jika atom Bromin ada pada tempat Klorin, rumus yang sama dapat digunakan dengan menambahkan huruf B setelah nama induknya. Huruf B diikuti dengan angka yang mengatakan jumlah atom Bromin yang ada. b. Huruf kecil yang mengikuti nama suatu refrigerant (Misalnyahuruf a pada R 134a) adalah menyatakan kecenderungan isomer simetri yang terbentuk. Urutannya dimulai dari a, b, dan c. Huruf c menyatakan ketidak simetrian. Contoh: 1. CHClF (Atom F =, Atom H1 =, Atom C 1 = 0) Ditulis R-.. CCl3F (Atom F = 1, Atom H1 = 1, Atom C-1 = 0) Ditulis R CF3CHF (Atom F=4, Atom H1=3, Atom C-1=1) Ditulis R-134a, karena kehadiran polimer yang cenderung simetri... Keamanan Refrigerant Refrigerant dirancang untuk ditempatkan didalam siklus tertutup atau tidak bercampur dengan udara luar. Tetapi, jika ada kebocoran karena sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka refrigerant akan keluar dari system dan bisa saja terhirup manusia. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka refrigerant harus dikategorikan aman atau tidak aman. Ada dua faktor yang digunakan untuk mengklassifikasikan refrigerant berdasarkan keamanan, yaitu bersifat racun (toicity) dan bersifat mudah terbakar (flammability). Berdasarkan toicity, refrigerants dapat dibagi dua kelas, yaitu kelas A bersifat tidak beracun pada

9 konsentrasi yang ditetapkan dan kelas B jika bersifat racun. Batas yang digunakan untuk mendefinisikan sifat racun atau tidak adalah sebagai berikut. Refrigerant dikategorikan tipe A jika pekerja tidak mengalami gejala keracunan meskipun bekerja lebih dari 8 jam/hari (40 jam/minggu) di lingkungan yang mengandung konsentrasi refrigerant sama atau kurang dari 400 ppm (part per million by mass). Sementara kategori B adalah sebaliknya. Berdasarkan flammability, refrigerant dibagi atas 3 kelas, kelas 1, kelas, dan kelas 3. Yang disebut kelas 1 jika tidak terbakar jika diuji pada tekanan 1 atm (101 kpa) temperature 18,30C. Kelas jika menunjukkan keterbakaran yang rendah saat konsentrasinya lebih dari 0,1 kg/m3 pada 1 atm 1.10C atau kalor pembakarannya kurang dari 19 MJ/kg. Kelas 3 sangat mudah terbakar. Refrigerant ini akan terbakar jika konsentrasinya kurang dari 0,1 kg kg/m3 atau kalor pembakarannya lebih dari 19 MJ/kg. Berdasarkan defenisi ini, sesuai standard , refrigerants diklassifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu: 1. A1: Sifat racun rendah dan tidak terbakar. A: Sifat racun rendah dan sifat terbakar rendah 3. A3: Sifat racun rendah dan mudah terbakar 4. B1: Sifat racun lebih tinggi dan tidak terbakar 5. B: Sifat racun lebih tinggi dan sifat terbakar rendah 6. B3: Sifat racun lebih tinggi dan mudah terbakar

10 .3 Siklus Kompresi Uap dengan Water Heater Water heater di letakan di antara setelah bagian kompresor dan sebelum kondensor karena proses pemanasan air pada water heater tersebut menggunakan panas buangan dari kondensor dimana pada umumnya suhu Freon yang keluar dari kompresor AC dibuang pada kondensor. Dengan adanya water heater, aliran panas itu dibelokkan dulu kedalam tangki air dingin sebelum masuk ke kondensor sehingga terjadi kontak perpindahan panas dari pipa AC dan air di dalam tangki. Pipa AC yang keluar dari kompresor langsung di alirkan dahulu ke dalam heat echanger berupa pipa spiral dalam tangki dan air yang semula dingin pun memanas, begitupula sebaliknya suhu Freon yang panas menurun, setelah melewati pipa spiral dalam tangki barulah kemudian pipa AC kembali diarahkan ke kondensor. Untuk memperoleh air panas AC harus menyala dulu, bila ingin mendapat air panas pagi hari, AC dinyalakan malam sebelumnya minimal 3 jam. Adapun manfaat dari siklus kompresi uap dengan water heater adalah: Hemat Biaya Daya Tahan lebih lama Aman Air panas yang diperoleh stabil.

11 Gambar.3.Mesin Pendingin siklus kompresi uap hybrid (Himsar Ambarita, 010) Gambar.4.Instalasi Siklus kompresi uap dan water heater (Himsar Ambarita, 010)

12 Gambar.5. Diagrm P-h siklus kompresi uap hibrid (Himsar Ambarita, 010) Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap hybrid seperti pada gambar.5 diatas adalah sebagai berikut: 1-1 = proses berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga refrigerant berubah fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigerant saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap. 1 -= proses berlangsung di antara evaporator dan compressor, dimana tekanan konstan (isobar). -3= proses berlangsung dilakukan oleh compressor dan berlangsung secara isentropik adibatik. Kondisi awal refrigerant pada saat masuk ke dalam compressor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigerant akan menjadi uap bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropic, maka temperature ke luar kompresor pun meningkat.

13 3-4= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat. Dimana uap refrigerant dari kompressor akan di kompres hingga mencapai tekanan kondensor. 4-.5= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat. dimana panas refrigerant yang telah di kompres oleh compressor dibelokkan ke dalam koil pemanas di dalam tangki sebelum masuk ke dalam kondensor. 5-6= proses berlangsung di antara water heater dan kondensor dengan tekanan konstan (isobar). Dimana panas refrigerant sudah menurun, karena sudah diserap oleh air di dalam tangki water heater. 6-.7=Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan tinggi dalam kondisi superheat yang berasal dari water heater akan membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. 7-8= proses berlangsung di antara kondensor ke katup epansi, dimana tekanan dan temperature sudah menurun. 8-9= proses epansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini tidak terjadi perubahan entalpi tetapi tejadi drop tekanan dan penurunan temperatur.

14 9-1= proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperature konstan) di dalam evaporator. Dimana panas dari lingkungan akan di serap oleh cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga refrigerant berubah fasa menjadi uap bertekan rendah. Kondisi refrigerant saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap..4. Perpindahan Panas Konveksi Alamiah / Natural Konveksi Alamiah (natural convection),atau konveksi bebas (free convection), terjadi karena fluida yang, karena proses pemanasan, berubah densitasnya (kerapatannya), dan bergerak naik. Syarat terjadinya perpindahan panas konveksi adalah terdapat aliran fluida, jika tidak ada fluida maka bukan konveksi namanya. Perpindahan panas dan aliran fluida adalah dua hal yang berbeda. Pada bagian ini perpindahan panas yang menginisiasi aliran fluida. Karena perbedaan temperatur, massa jenis fluida akan berbeda, dimana fluida yang suhunya lebih tinggi menjadi lebih ringan. Sebagai akibatnya, fluida akan mengalir dengan sendirinya atau tanpa adanya gaya luar. Aliran fluida yang timbul juga akan mengakibatkan perpindahan panas dan sebaliknya perpindahan panas akan mengakibatkan aliran fluida. Keduanya, perpindahan panas dan aliran fluida, saling mempengaruhi, inilah yang disebut konveksi natural. Aplikasi dari fenomena ini di bidang engineering sangat luas. Aliran udara di atmosfer dan aliran arus air di biosfer dapat dijelaskan dengan konveksi natural, demikian juga proses pengkondisian udara (Air conditioning), kondensor, pengeringan, solar collector, dll. Akhir-akhir ini topik konveksi natural mendapat tempat yang khusus dan makin populer bagi para peneliti yang fokus pada sustainable energi. Perpindahan panas konveksi paksa adalah perpindahan panas dimana dimana

15 fluidanya dipaksa mengalir, misalnya dengan menggunakan pompa atau blower. Dengan kata lain, aliran fluida tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diakibatkan oleh oleh gaya luar. Pada bagian ini akan dibahas fenomena konveksi yang lain, dimana aliran fluida terjadi secara alami, sebagai akibat perpindahan panas yang terjadi. Konveksi inilah yang disebut konveksi natural atau kadang disebut konveksi bebas dalam bahasa Inggris disebut natural convection atau free convection. Contoh sederhana dari fenomena ini banyak dijumpai di sekitar kita. Misalnya naiknya asap rokok secara natural. Temperatur pembakaran yang terjadi pada tembakau rokok adalah lebih kurang C, temperatur ini akan memanaskan udara disekitar ujung rokok yang terbakar. Udara panas ini akan lebih ringan dari udara sekililingnya karena udara dengan temperatur lebih tinggi akan mempunyai kerapatan lebih rendah. Akibatnya udara akan terapung dan naik ke atas dan meninggalkan ruang kosong. Udara yang lebih dingin disekitarnya akan mengalir, untuk mengganti udara pada daerah yang ditinggalkan oleh udara yang naik. Maka terjadilah aliran udara secara natural..4.1 Gaya apung (Buoyancy force) Misalnya sebuah plat yang panas diletakkan pada posisi vertikal di udara terbuka yang awalnya diam. Setelah beberapa saat akan terlihat aliran udara di sekitar plat vertikal tersebut. Aliran udara di sekitar plat tersebut akan berada di dalam lapisan batas, yang biasa disebut boundary layer. Di luar lapisan batas ini fluida akan dianggap diam karena bergerak dengan kecepatan relatif kecil, seperti ditunjukkan pada Gambar.6 Perbedaan temperatur fluida di dalam dan di luar

16 lapisan batas akan menyebabkan perbedaan rapat massa fluida. Oleh karena itu gaya gravitasi pada tiap-tiap partikel fluida akan berbeda. Asumsi yang umum digunakan untuk dapat menurunkan persamaan pembentuk aliran pada udara di sekitar plat vertikal ini adalah: aliran D, incompressibel, sifat fisik konstan. Untuk memunculkan efek dari perbedaan kerapatan sebagai gaya pendorong aliran fluida, maka pada persamaan momentum arah vertikal, gaya gravitasi harus diperhitungkan. Gambar.6 Konveksi natural pada plat vertikal yang panas (Himsar Ambarita, 010) Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, maka persamaan pembentuk aliran menjadi: Kontinuitas: (5) Momentum arah-:

17 = y u u p y u v u u µ ρ ρ (6) Momentum arah-y g y v v y p y v v v u ρ µ ρ ρ = (7) Energi = y T T c k y T v T u p ρ (8) Persamaan-persamaan ini, masih dapat disederhanakan lagi dengan menggunakan asumsi-asumsi tambahan. Asumsi tambahan yang digunakan antara lain: distribusi tekanan searah sumbu- dapat dianggap konstan, sehingga = 0 p. Selanjutnya turunan tekanan searah sumbu-y dapat dianggap sama dengan turunan tekanan hidrostatis fluida diam diluar lapisan batas. Atau dalam bentuk persamaan menjadi: dy dp y p h = (9) Dengan menggunakan defenisi tekanan hidrostatis gy p r h ρ =,dimana r ρ adalah massa jenis fluida yang diam diluar lapisan batas. Sebagai catatan fluida yang ada di luar lapisan batas, biasa disebut fluida referensi. Hasil differensiasi persamaan (9) adalah: g dy dp r h ρ = (10)

18 Jika persamaan (10) dan (9) disubstitusi ke persamaan (7), maka akan di dapat: ρv ρv v v u v = µ ( ρ r ρ )g y y (11) Perbedaan massa jenis pada persamaan (11) biasa dikenal sebagai perbedaan massa jenis semu, pseudo-density difference. Pendekatan Boussinesq dapat digunakan untuk mengubah perubahan rapat massa ini menjadi perbedaan temperatur. Dengan menganggap udara bertindak sebagai gas ideal, maka massa jenis udara dapat dinyatakan dengan persamaan: [ ( T T )] ρ = ρ β (1) r 1 r Dimana β =1 Tr adalah koefisien ekspansi volume gas. Tr adalah temperatur fluida pada suhu referensi, yaitu suhu diluar lapisan batas. Jika persamaan ini disubstitusi ke persamaan (11), dan massa jenis dapat dianggap konstan, maka persamaan menjadi: v v µ v v u v = g y y β ρ ( T ) T r (13) Persamaan (13) ini untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pengganti persamaan (7). Sebagai catatan ada dua perbedaan utama antara persamaan (13) dan persamaan (7). Pertama, rapat massa dapat dianggap konstan (tidak perlu dihitung lagi). Kedua, gaya yang bekerja pada partikel udara, sekarang sudah bukan lagi fungsi rapat massa tetapi telah berubah menjadi fungsi temperatur. Dengan kata lain, seandainya distribusi temperatur diketahui, maka distribusi kecepatan akan dapat dihitung. Model inilah, persamaan (13), yang telah diikuti selama puluhan tahun untuk menyelesaikan permasalah konveksi natural. Dan

19 model ini juga yang akan digunakan buku ini untuk menjelaskan timbulnya gaya apung yang menyebabkan fluida bergerak sendiri. Pada persamaan (13) khususnya bagian paling kanan dari persamaan itu. Jika temperatur plat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka temperatur fluida di sekitar plat vertikal akan lebih besar dari temperatur fluida referensi, atau. Maka suku yang paling kanan akan berharga positif, artinya gaya yang timbul mengarah ke atas. Inilah yang menjelaskan kenapa partikel fluida akan naik dan sesuai dengan yang ditampilkan di Gambar.5. Sekarang jika yang terjadi sebaliknya, temperatur plat lebih dingin dari fluida di sekitarnya. Maka temperatur fluida di dekat plat vertikal akan lebih kecil dari temperatur fluida referensi, atau. Maka suku paling kanan dari persamaan (13) akan negatif atau gaya yang timbul mengarah ke bawah. Jika ini yang terjadi, maka aliran fluidanya akan seperti Gambar.6 harus mengarah ke bawah. Pada prinsipnya kedua masalah ini adalah sama, yang membedakannya hanya arah gaya apungnya. Gambar.7 Konveksi natural pada plat vertikal yang dingin (Himsar Ambarita, 010)

20 Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, parameter yang selalu dihitung hanya ada satu yaitu bilangan Nu yang menyatakan koefisien perpindahan panas. Karena fluida mengalir sendiri maka koefisien gesekan atau faktor gesekan tidak perlu dihitung. Bedakan pada konveksi paksa permasalahan selalu ada dua, yaitu Nu dan CR f R atau f. Pada konveksi natural ini hanya satu yaitu Nu..4. Bilangan tanpa dimensi Pada kasus-kasus konveksi paksa persamaan empirik yang digunakan untuk mencari bilangan Nusselt dinyatakan dengan bilangan tanpa dimensi yaitu bilangan Reynolds. Sementara pada konveksi natural akan digunakan bilangan tanpa dimensi yang lain. Untuk mengetahui bilangan tanpa dimensi yang akan digunakan, maka persamaan pembentuk aliran harus diubah ke dalam bentuk tanpa dimensi. Parameter-parameter tanpa dimensi yang digunakan adalah: X =, L y Y =, L u U =, V v V = V T Tr dan θ = (14) T T s r Pada persamaan (14) huruf besar menyatakan bilangan tanpa dimensi. L adalah panjang plat vertikal dan V adalah kecepatan rata-rata fluida. Jika persaman (14) didifferensialkan, akan didapat: X =, Y = y, U = u, V = v, dan θ = T (15) L L V V ( T T ) s r Substitusi persamaan (15) ke dalam persamaan (13) dan dilakukan sedikit manipulasi akan didapat persamaan:

21 = 3 ) ( X V Y V VL L V L Tr Ts g Y V V X V U ρ µ θ ρ µ µ β ρ (16) Bagian yang di dalam kurung kurawal adalah bilangan-bilangan tanpa dimensi. Dengan mengelompokkan semua bilangan tanpa dimensi menjadi satu group, maka persamaan (16) dapat ditulis menjadi: = Re 1 Re X V Y V Gr Y V V X V U L θ (17) Dimana L Gr adalah Bilangan Grashof yang dirumuskan dengan: 3 ) ( µ β ρ L T T g Gr r s L = (18) Dan bilangan Reynolds, sama dengan defenisi pada konveksi paksa, yaitu: µ ρ L V = Re (19) Sebagai catatan, bilangan tanpa dimensi yang lebih sering digunakan untuk menuliskan rumus empirik pada kasus-kasus konveksi natural adalah bilangan Rayleigh biasa disebut sebagai Rayleigh number yang didefenisikan sebagai: να β 3 ) ( L T T g Ra r s L = (0) Dimana ρ µ ν = adalah viskositas kinematik, dan p k ρc α = adalah difusivitas termal. Hubungan antara bilangan Rayleigh dan bilangan Grashof didapat dengan membandingkan persamaan (18) dan persamaan (0).

22 Ra L = Gr L Pr (1) Dengan cara yang sama, persamaan energi pada persamaan (8), dapat diubah dengan menggunakan parameter-parameter tanpa dimensi pada persamaan (14) dan turunannya pada persamaan (15). Persamaan energi pada persamaan (8), dalam bentuk tanpa dimensi menjadi: θ θ U V = X Y 1 Re Pr θ X θ Y ().4.3. Penyelesaian Analitik Konveksi Natural Seperti yang telah dijelaskan, tujuannya sekarang adalah mencari koefisien perpindahan panas konveksi. Persamaan ini dapat dihitung dengan menyelesaikan dulu persamaan pembentuk aliran untuk mendapatkan distribusi temperatur. Dengan distribusi temperatur yang diketahui akan dapat dicari koefisien konveksi natural. Dengan kata lain, untuk mendapatkan persamaan koefisien perpindahan panas pada lapisan batas, maka persamaan differensial pembentuk aliran harus diselesaikan, yaitu persamaan (8) dan persamaan (13). Menyelesaikan persamaan ini secara teori ada dua metode yang bisa dilakukan yaitu cara analitik dan cara numerik. Pada bagian ini akan dibahas cara analitik. Meskipun konveksi alamiah bisa terjadi pada berbagai bentuk permukaan, tetapi yang akan dibahas secara analitik adalah hanya pada plat vertikal. Telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ada dua kemungkian kasus konveksi natural pada plat vertikal. Pertama temperatur permukaan plat lebih tinggi daripada fluida disekitarnya dan kedua temperatur permukaan plat lebih rendah dari fluida di sekitarnya. Kedua

23 kasus ini adalah sama dan hanya arahnya yang berbeda. Oleh karena itu penyelesaian analilitik hanya akan fokus pada satu kasus yang pertama seperti yang ditampilkan pada Gambar.8 Kasus yang dianalisis di sini adalah sebuah plat vertikal yang panjangnya L dan temperatur permukaannya T s berada pada fluida diam yang mempunyai temperatur T. Tetapi untuk memmudahkan pembahasan temperatur fluida ini akan disebut temperatur referensi, T r. Yang harus dicari pada kasus ini adalah profil kecepatan, profil temperatur, tebal lapisan batas, dan koefisien konveksi pada permukaan plat vertikal. Pada lapisan batas, setelah mengalami penyederhanaan persamaan yang akan diselesaikan akan dituliskan kembali. u v = 0 y (3) v v µ v u v = βg y ρ ( T ) T r (4) T u T v y = k ρc p T (5) Persamaan (4) dan persaman (5) masing-masing diperoleh dari persamaan (13) dan persamaan (8). Penyederhanaan ini didapat dengan menggunakan fakta bahwa di dalam lapisan batas v y = T y 0. Kondisi batas untuk ketiga persamaan ini adalah: = 0, u = v = 0, dan T = Ts (6) v = δ, v = 0, = 0 T T =, = 0, dan Tr (7)

24 Dan sebagai kondisi batas tambahan dari persaman (6) jika dimasukkan ke persamaan (4), akan diperoleh: v y= 0 ρ gβ ( Ts Tr ) = µ (8) Setelah mereview beberapa tet book heat transfer, ada dua jenis penyelesaian yang umum digunakan untuk menyelesaikan persamaan yang ditampilkan di atas beserta dengan kondisi batasnya. Pertama menggunakan metode similaritas seperti yang digunakan oleh Ostrach (1953) dan kedua menggunakan metode integral yang diajukan secara terpisah oleh Squire dan Goldstein, selanjutnya akan disatukan dan disebut persamaan Squire-Goldstein. Pembahasan masing-masing dipublikasikan oleh Eckert dan Drake (1987) dan Goldstein (1930). Penyelesaian dengan menggunakan metode similaritas dapat dilihat pada buku Incropera (006). Pada buku ini, penyelesaian analitik untuk konveksi natural di sekitar plat vertikal yang akan digunakan adalah formulasi Eckert- Goldstein. Tetapi, langka-langkah penyelesaiannya tidak akan ditampilkan seluruhnya, bagi yang ingin lebih mendalami cara penyelesaiannya pembaca bisa membacanya pada buku yang ditulis oleh Lienhart (003). Hasil pengintegralan dari persamaan energi, persamaan (5), adalah profil temperatur yang merupakan fungsi jarak horizontal dari permukaan () diusulkan berbentuk parabola dengan persaman: T T T T s r = a b c δ δ r (9)

25 Dengan syarat batas untuk temperatur dari persamaan (6) dan persamaan (7), koefisien a, b, dan c dapat dihitung. Jika diselesaikan akan didapat nilai masing-masing a=1, b=-, dan c=1. Substitusi nilai-nilai ini ke persamaan (9) akan menghasilkan persamaan profil temperatur di dalam lapisan batas. T = T ( Ts Tr ) 1 δ r (30) Persamaan ini membuktikan bahwa temperatur suatu titik di lapisan batas tergantung pada posisi titik itu dari permukaan dan tebal lapisan batasnya δ. Meskipun belum diturunkan rumus untuk tebal lapisan batas ini tetapi, berdasarkan visualisasi pada Gambar.7 tebal lapisan batas ini merupakan fungsi y. Berikutnya adalah untuk profil kecepatan. Untuk membuat profil kecepatan tanpa dimensi, di sini diusulkan suatu kecepatan karakteristik yang merupakan fungsi jarak vertikal V c( y). Pada posisi y yang sama, kecepatan ini adalah konstan sepanjang. Persamaan kecepatan karakterstik ini akan dirumuskan kemudian. Hasil pengintegralan persamaan (5) disusulkan profil kecepatan tanpa dimensi berupa persamaan jarak pangkat tiga, atau dituliskan: v V c( y) y y y = c d δ δ δ 3 (31) Koefisien c dan d didapat dengan menggunakan syarat batas pada persamaan (6) dan persamaan (7), dan hasilnya c = - dan d=1. Dengan menggunakan angka ini profil kecepatan di dalam lapisan batas adalah:

26 1 ( y) v = V δ δ c (3) Sekarang dengan menggunakan profil kecepatan dan profil temperatur yang sudah dihitung ini kecepatan karakteristik dapat dihitung dan dan tebal lapisan batas dapat dihitung. Caranya substitusi persamaan (30) dan persamaan (3) ke dalam persamaan (5) dan integralkan. Caranya memang sangat panjang dan berliku, bagi yang serius silahkan merujuk pada Lienhart (003). Pada bagian ini hanya hasilnya yang akan ditampilkan. Persamaan mencarai kecepatan karakteristiknya adalah: Pr ρβg T T V ( y) δ c s r = (33) 3( 0 1 Pr) µ Dan tebal lapisan batas 0,5 0,95 Pr 0,5 = 3,936y Gry δ (34) Pr Koefisien perpindahan panas konveksi akan dirumuskan dengan defenisi yang telah dijelaskan diatas dan persamannya adalah: h k ( T ) T T =0 = s r (35) Dengan menggunakan persaman distribusi temperatur pada persamaan (30) akan diperoleh persaman koefisien konveksi lokal: k h y = (36) δ Dan akhirnya bilangan Nusselt lokal sebagai fungsi jarak y dari sisi masuk adalah:

27 Nu 0,5 0,5 Pr y = 0,508Ra y (37) 0,95 Pr Bilangan Nusselt rata-rata didapat dengan mengintegralkan persamaan (37) sepanjang L dan hasilnya: Nu 0,5 = 0,678 L 0,5 Pr Ra (38) 0,95 Pr Persamaan-persamaan ini digunakan dengan sifat fisik dievaluasi pada temperatur 1 film T = ( T T ), kecuali β harus dievaluasi pada temperatur referensi T r. f s r.4.4 Persamaan Empirik Konveksi Natural permukaan Luar Persamaan mencari bilangan Nu yang diturunkan secara analitik dan menghasilkan persamaan (38) didapat dengan asumsi bahwa aliran adalah laminar. Validasi yang dilakukan dengan cara eksperimen membuktikan adanya penyimpangan dari persaman tersebut dengan hasil eksperimen. Hal ini, salah satunya diakibatkan adanya efek turbulensi. Penentuan kondisi aliran pada kasus konveksi natural adalah menggunakan bilangan Ra yang telah didefenisikan pada persamaan (0). Pada penyelesaian analitik yang telah telah ditampilkan di atas, karena diturunkan dengan asumsi untuk aliran laminar maka hanya pada bilangan Ra yang rendah sebaiknya persamaan itu dipakai. Sementara untuk bilangan Ra yang lebih besar persamaan tersebut tidak disarankan. Meskipun demikian, bentuk dasar persamaan tersebut memberikan informasi bahwa bilangan Nu dari suatu masalah konveksi natural dapat dirumuskan sebagai berikut:

28 m Nu = CRa L (39) Dimana C dan m adalah konstanta yang tergantung pada permukaan, jenis fluida dan besar bilangan Rayleigh. Permasalahannya sekarang adalah mencari konstanta C dan m yang sesuai untuk suatu kasus konveksi natural. Kedua konstanta ini dihitung dengan menggunakan data-data eksperimen. Dengan menggunakan data-data eksperimen yang baik maka seorang peneliti dapat mengajukan konstanta yang sesuai, cara inilah yang dikenal dengan cara membangun persamaan empirik. Beberapa peneliti telah mengajukan persamaan untuk beberapa kasus yang akan ditampilkan pada bagian berikut. Persamaan akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan kondisi permukaan apakah untuk temperatur konstan atau untuk flu konstan..4.5 Bidang vertikal Arah aliran fluida akibat konveksi natural pada bidang vertikal mempunyai dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif persamaan mencari nilai bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang berbeda. Kedua kemungkinan ini sudah ditampilkan pada Gambar.6 dan Gambar.7 a. Untuk bidang vertikal dengan T s konstan

29 Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang bidang L dan dinyatakan dengan Ra L. Untuk kasus ini ada beberala alternatif yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat dijumpai pada McAdams (1954), Warner dan Arpaci (1968), dan Bayley (1955), yaitu: 4 9 Nu = 0,59Ra untuk ,5 L Ra (40) L Nu 9 13 = 0,1Ra untuk 10 Ra 10 (41) 1 3 L < L Kedua persamaan benar-benar sangat mirip dengan persamaan (39). Keunggulan dari persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana sehingga mudah untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti. Untuk meningkatkan ketelitiannya persamaan yang direkomendasikan Churchill dan Chu (1975) dapat digunakan. Nu 0,387Ra [1 (0,49 Pr) 1 6 L = 0, ] (4) Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaR L R. Dan jika 9 ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah 10 Churchill dan Chu (1975) menyarankan persamaan berikut: Ra, L Nu 0,67Ra [1 (0,49 Pr) 1 4 L = 0, ] (43) Meskipun kedua persamaan ini mempunyai bentuk yang sangat berbeda dengan hasil analitik pada persamaan (38), tetapi pada kasus tertentu dapat memberikan hasil yang sama. Telah disebutkan bahwa penyelesaiaan analitik didapatkan dengan asumsi bahwa aliran yang terjadi adalah laminar dimana

30 bilangan RaR L R kecil. Jika bilangan ini kecil, bagian kanan dari persamaan (4) dan persamaan (43) akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu untuk kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,85P P 0,68. Demikian juga hasil analitik pada persamaan (38) akan mendekati 0,678. Kesimpulannya memberikan angka yang sama. Tetapi sebaliknya jika bilangan RaR L R besar masing-masing persamaan ini akan menyimpang dan disarankan menggunakan yang sesuai rekomendasi. b. Bidang vertikal dengan flu q konstan Plat vertikal yang dipanasi dengan flu panas q [W/mP P] sangat cocok memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur tidak diketahui, maka temperatur yang digunakan pada persamaan adalah temperatur rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan: ( T T ) s q r = (44) h Dengan menggunakan persaman ini bilangan RaR L R dapat dihitung. Kemudian, bilangan Nu dapat dihitung dengan menggunakan persaman yang diajukan oleh Churchill dan Chu (1975). Nu 0,387Ra [1 (0,437 Pr) 1 6 L = 0, ] (45) Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan (44) untuk menghitung beda temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h. Sementara ini masih

31 harus dihitung pada persamaan (45). Oleh karena itu masalah ini harus diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda temperatur ini akan digunakan menghitung RaR L R, dan akhirnya Nu dapat dihitung. Nilai h hasil tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai Nu yang baru didapat. Jika tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima, maka perhitungan bisa dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus diulang lagi sampai hasilnya sama atau perbedaannya dapat diterima..4.6 Bidang miring Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan 90P o P. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut kemiringannya kurang dari 90P o P. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi natural, maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan kemiringannya harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas dimiringkan dengan sudut kemiringan Gambar.8. 0 θ < 90 terhadap vertikal ditampilkan pada

32 Gambar.8 Konveksi natural pada bidang miring (Himsar Ambarita, 010) Pada gambar dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut kemiringan terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi yang sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap sebagai plat vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi. Maka untuk bidang miring semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan dan konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi harus diganti menjadi saat menghitung bilangan Ra. (46) Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat vertikal, persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan. Kita tinggal memilih persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas..4.7 Bidang Horizontal Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi natural pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang horizontal tidak terjadi konveksi natural. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah

33 bagaimana mendefenisikan panjang perpindahan panas. Hal ini perlu dijelaskan karena percepatan gravitasi adalah tegak lurus terhadap bidang horizontal. Pada kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan menghitung bilangan RaR L R adalah panjang karakteristik yang didefenisikan dengan persamaan: A L = (47) K Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingya. Dengan menggunakan panjang karakteristik ini bilngan RaR L R dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (0). Pola konveksi natural pada permukaan horizontal dapat dibagi dua. Masing-masing dijelaskan pada bagian berikut. a. Permukaan atas yang panas atau permukan bawah yang dingin. Pola ini ditunjukkan pada Gambar.9 Pada bagian kiri gambar tersebut bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan karena lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kiri digambarkan sebaliknya bidang horizontal yang dingin berada pada fluida yang lebih panas. Fluida yang bersentuhan dengan bidang akan lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi lebih berat dan akan mengalir turun.

34 Gambar.9 Konveksi natural pada bidang horizontal (type a) (Himsar Ambarita, 010) Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya arah alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu dapat digunakan persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran (1974): Untuk : (48) Untuk (49) b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas Pola ditunjukkan pada Gambar.10 Pada bagian kiri gambar ditunjukkan bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida dibawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan arah yang berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.

35 Gambar.10 Konveksi natural pada bidang horizontal (type b) (Himsar Ambarita, 010) Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan yang dituliskan pada buku Incropera (006). (50) Persamaan ini berlaku untuk..4.8 Konveksi natural pada permukaan silinder Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpai di bidang engineering adalah silider. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi horizontal seperti heat echanger jenis shell and tube. Pada bagian akan ditampilkan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural dari bidang silinder. a. Silinder vertical

36 T r D L T s Gambar.11 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 010) Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan T s ditampilkan pada Gambar.11 Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada fluida fluida yang mempuyai temperatur T r. Jika temperature permukaan silinder lebih panas daripada fluida. Maka fluida di sekitar silinder akan mengalir naik. Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih lebih dingin daripada fluida, maka fluida di sekitar silinder akan turun. Kedua kasus ini akan memberikan bialngan Nu yang sama. Jika diameter silinder cukup besar maka, dapat dianggap sama dengan bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk bidang vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang dikategorikan besar adalah: 35L D (51) 0,5 Gr L Persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan asal semua syarat memenuhi.tetapi jika persamaan (40) tidak dipenuhi lagi, silinder vertikal akan

37 dikategorikan tipis dan persamaan menghitung bilangan Nu nya akan khusu. Le Fevre dan Ede (1956) merekomendasikan persamaan berikut: 0,5 4 7Ra L Pr 4(7 315 Pr) L Nu = 3 5(0 1Pr) (5) 35(64 63Pr) D Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali β saat menghitung RaR L R menggunakan temperatur fluida. b. Silinder Horizontal Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai termperatur lebih panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada Gamabr.1. T s D L T r Gambar.1 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 010) 1 Untuk kasus ini, jika bilangan Ra 10, persamaan berikut dapat digunakan, Churchill dan Chu (1975): D Nu 0,387Ra [1 (0,559 Pr) 1 6 D = 0, ] (53)

38 .4.9 Konveksi natural pada Bola Bentuk permukaan terakhir yang akan ditampilkan adalah konveksi natural pada permukaan bola. Jika permukaan bola lebih panas daripada fluida di sekitarnya, maka fluida yang berada di dekat permukaan bola akan naik. Pada permukaan akan terjadi perpindahan panas konveksi natural seperti yang ditunjukkan pada Gambar.13 Gambar.13 Konveksi natural pada bola (Himsar Ambarita, 010) Jika permukaan yang mengalami konveksi natural berbentuk bola dengan diamter D maka persamaan berikut, Churchill (1983), dapat digunakan: Nu 0,589Ra [1 (0,469 / Pr) 0,5 D = 9 / ] (54) 11 Syarat menggunakan persamaan ini adalah Ra 10 dan Pr 0, 7. D

39 Sebagai catatan, semua persamaan yang ditampilkan pada bagian ini menggunakan sifat-sifat fisik fluida yang dievaluasi pada temperatur film, T = T T ), kecuali untuk gas nilai koefisien ekspansi dihitung pada temperatur f ( s r fluidu referensi β = 1 T. r Pada water heater pemanasannya berlangsung secara konveksi natural dari koil ke air.pada water heater bentuk koilnya terdiri dari beberapa gabungan elbow, vertikal, dan horizontal.sementara untuk persamaan-persamaan dari bentuk koil elbow, vertikal, dan horizontal tidak ada tersedia secara teori.oleh karena itu, maka diperlukan penyelesaian dengan simulasi menggunakan perangkat lunak Computational Fluid Dinamycs (CFD)..5. Computational Fluid Dinamycs (CFD) Dalam aplikasinya, aliran fluida baik cair maupun gas adalah suatu zat yang sangat kentara dengan kehidupan sehari hari. Misalnya pengondisian udara bagi bangunan dan mobil, pembakaran di motor bakar dan sistem propulsi, interaksi berbagai objek dengan udara atau air, aliran kompleks pada penukar panas dan reactor kimia, dan lain sebagainya, yang mana cukup menarik untuk diteliti, diselidiki dan dianalisis. Untuk kebutuhan penelitian tersebut bahkan sampai dengan tingkat desain, perlu dibutuhkan suatu alat yang mampu menganalisis atau memprediksi dengan cepat dan akurat. Maka berkembanglah suatu ilmu yang dinamakan Computational Fluid Dynamics (CFD) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Komputasi Aliran Fluida Dinamik.

40 .5.1. Penggunaan CFD Dalam aplikasinya CFD dapat dipergunakan bagi : - Insinyur, khususnya dalam hal teknik refrigerasi dan Water heater untuk mendesain tempat atau ruangan sesuai kebutuhan seperti refrigerator, Air- Conditioner, Cold Storage, dll - Arsitek untuk mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman. - Desainer kendaraan untuk meningkatkan karakter aerodinamiknya. - Analisis kimia untuk memaksimalkan hasil dari reaksi kimia dalam peralatan. - Bidang petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery. - Bidang kedokteran untuk mengobati penyakit arterial (computational hemodynamics) - Metereologis untuk meramalkan cuaca dan memperingatkan akan terjadinya bencana alam. - Analis failure untuk mencari sumber sumber kegagalan misalnya pada suatu sistem pembakaran atau aliran uap panas. - Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimasi seberapa besar kerusakan yang diakibatkannya. Penggunaan CFD umumnya berhubungan dengan keempat hal berikut : 1. Studi konsep dari desain baru. Pengembangan produk secara detail 3. Analisis kegagalan atau troubleshooting dan Desain ulang (re design)

41 .5.. Proses Simulasi CFD Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan ketika melakukan simulasi pada solver CFD, yaitu sebagai berikut : 1) Preprocessing Hal ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat membuat model dalam paket CAD (Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai, kemudian menerapkan kondisi batas dan sifat sifat fluidanya. ) Solving Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang diterapkan pada saat preprocessing. 3) Postprocessing Hal ini adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan pada langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi data hasil simulasi CFD yang biasa berupa gambar, kurva, dan animasi. Beberapa prosedur yang digunakan pada semua pendekatan program CFD, yaitu sebagai berikut : 1) Pembuatan geometri dari model/problem ) Bidang atau volume yang diisi fluida dibagi menjadi sel sel kecil (meshing) 3) Pendefinisian model fisiknya, misalnya : persamaan persamaan gerak entalpi konversi species (zat zat yang kita definisikan, biasanya berupa komponen dari suatu reaktan)

42 4) Pendefinisian kondisi kondisi batas, termasuk didalamnya sifat sifat dan perilaku dari batas batas model/problem. Untuk kasus transient, kondisi awal juga didefinisikan. 5) Persamaan persamaan matematika yang membangun CFD diselesaikan secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak (steady state) atau transient. 6) Analisis dan visualisasi dari solusi CFD Metode Diskritisasi CFD Secara matematis CFD mengganti persamaan persamaan diferensial parsial dari kontinuitas, momentum dan energy dengan persamaan persamaan aljabar linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum (memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel terhingga). Perhitungan/komputasi aljabar untuk memecahkan persamaan persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi), diantaranya adalah : - Metode beda hingga (finite difference method) - Metode elemen hingga (finite elements method) - Metode volume hingga (finite volume method) - Metode elemen batas (boundary element method) - Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method) Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menentukan kestabilan dari program numerik/cfd yang dibuat atau program software yang ada. Oleh

43 karenanya diperlukan kehati hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya cara mengatasi bagian yang kosong atau diskontinyu Langkah Penyelesain Masalah dan Perencanaan Analisis CFD Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan meyelesaikan suatu kasus dengan menggunakan solver CFD, yaitu : 1) Menentukan tujuan pemodelan ) Pembuatan model geometri dan gridnya 3) Pengaturan solver dan model fisik 4) Komputasi dan monitoring hasil 5) Pengujian dan penyimpanan hasil 6) Peninjauan ulang model fisik, jika dirasa perlu

44 Secara umum diagram alir penyelesaian masalah dalam software CFD dapat dilihat pada gambar.14 berikut. Fluids Engineering Preliminary Decision what to model? Build the model Input to CFD SOLVER Decided governing Chose Discreatization Methods Impose boundary conditions Chose the coupling algorithm Run Analyze and present the results Gambar.14 Alur Penyelesaian Masalah (Problem Solving)

45 .6. Pendekatan Numerik pada CFD Pemodelan dengan metode komputasi pada dasarnya menggunakan persamaan dasar dinamika fluida, momentum, dan energi. Persamaan-persamaan ini merupakan pernyataan matematis untuk tiga prinsip dasar fisika : 1. Hukum Kekekalan Massa (The Conservation of Mass) Konsep utama hukum ini adalah laju kenaikan massa dalam volume kontrol adalah sama dengan laju net aliran massa fluida ke dalam elemen batas. Secara sederhana dapat ditulis. M t. = m m in out. (.55) Secara umum hukum kekekalan massa (The Conservation of Mass) 3 dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut. ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ u v w ρ = 0 t y z y z (.56) Gambar.15 Hukum Kekekalan Massa pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi (Himsar Ambarita, 010)

46 . Hukum Kekekalan Momentum (The Conservation of Momentum) Hukum kekekalan momentum ini merupakan interpretasi dari hukum ke- Newton (arah sumbu-) yaitu : F = ma (.57) Gambar.16 Hukum Kekekalan Momentum Arah Sumbu- pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi (Himsar Ambarita, 010) Secara umum hukum kekekalan momentum (The Conservation of Momentum) arah sumbu- 3 dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut. Du ρ σ τ τ = ρf (.58) Dt y z y z ρ Dengan cara dan bentuk yang sama persamaan kekekalan momentum 3 dimensi arah sumbu-y dan arah sumbu-z dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut.

47 Du ρ σ = Dt τ y τ z y z ρ ρf Dv ρ τ σ τ ρ Dt y z y yy zy = ρf y (.59) dan Dw ρ τ τ σ = ρf z (.60) Dt y y z z yz zz ρ 3. Hukum kekekalan Energi (The Conservation of Energy) Hukum ini merupakan aplikasi dari hukum ketiga fisika (termodinamika) yaitu laju perubahan energi dalam suatu elemen adalah sama dengan jumlah net fluks panas yang masuk ke dalam elemen dan kerja yang dikenakan pada elemen tersebut. Pernyataan ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan :... E = Q W (.61) Gambar.17 Kerja yang Dikenakan pada Sebuah Elemen Arah Sumbu- (Himsar Ambarita, 010)

48 Gambar.18 Fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen (Himsar Ambarita, 010) Secara umum kerja yang dikenakan arah sumbu-, sumbu-y dan sumbu-z dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut. ( ) ( ) ( ) ( ) V f u z u y u u u W z y δ ρ σ τ σ ρ =. (.6a) ( ) ( ) ( ) ( ) V f u z v y v v y v W y zy z y y δ ρ τ σ τ ρ =. (.6b) ( ) ( ) ( ) ( ) V f u z w y v w z w W z zy yz z z δ ρ σ τ τ ρ =. (.6c)

49 Sedangkan persamaan fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen dapat ditulis dengan persamaan. V z T k z y T k y T k q Q δ ρ =.. (.63) Dengan mensubstitusi persamaan (.6) dan (.63) ke dalam persamaan (.61) di atas akan diperoleh sebuah persamaan (.64) untuk hukum kekekalan energi di mana i, j, k = 1,, 3 yang menunjukkan arah sumbu-, -y, dan z. ( ) ( ) φ ρ ρ ρ ρ =. q u T k ct t ct i i i i i (.64) Di mana Φ adalah fungsi dissipasi dengan bentuk sebagai berikut. = ' y w z v w z u v y u z w y v u z w y v u µ µ φ (.65).6.1.Metode Diskritisasi pada Pada dasarnya, hanya menghitung pada titik-titik simpul mesh geometri, sehingga pada bagian di antara titik simpul tersebut harus dilakukan interpolasi untuk mendapatkan nilai kontinyu pada sluruh domain. Terdapat beberapa skema interpolasi yang sering digunakan yaitu : - First-order upwind scheme

50 Skema interpolasi yang paing ringan dan cepat mencapai konvergen, tetapi ketelitiannya hanya orde satu. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang φ f dalah sama dengan nilai pusat sell φ dalam sell upstream. Skema ini memungkinkan digunakan pada penyelesaian berbasis tekanan dan rapatan (density). - Second-order upwind scheme Menggunakan persamaan yang lebih teliti sampai orde, sangat baik digunaan pada mesh tri/tet dimana arah aliran tidak sejajar dengan mesh. Karena metode interpolasi yang digunakan lebih rumit, maka lebih lambat mencapai konvergen. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang φ f dikomputasi mengikuti bentuk : φ f, SOU = φ φ. γ (.66) Dimana, φ dan φ adalah nilai pusat sell dan gradient dalam sell upstream, dan γ adalah vektor perpindahan dari pusat luasan sell upstream ke bidang pusat luasan. - Quadratic Upwind Interpolation (QUICK) scheme Diaplikasikan untuk mesh quad/he dan hybrid, tetapi jangan digunakan untuk elemen mesh tri, dengan alian fluida yang berputar/swirl. Ketelitiannya mencapai orde 3 pada ukuran mesh yang seragam. Untuk bidang e pada gambar, jika aliran dari kiri ke kanan, seperti itu nilai dapat ditulis seperti itu nilai dapt ditulis sebagai berikut; = s d sd su sc sc φ P E ( ) P s s s s s s s s w 4 θ φ φ 1 0 φ φ (.67) c d c d u c u c

51 Gambar.19 volume kontrol satu dimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Sistem Refrigerasi.1.1 Pendahuluan Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih rendah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan 134 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan Prinsip dasar proses pengeringan adalah terjadinya pengurangan kadar air atau penguapan kadar air oleh

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem refrigerasi kompresi uap Sistem refrigerasi yang umum dan mudah dijumpai pada aplikasi sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, komersial dan industri adalah sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paling banyak digunakan adalah sistem kompresi uap. Secara garis besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. paling banyak digunakan adalah sistem kompresi uap. Secara garis besar BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Mesin Pendingin Mesin pendingin adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang paling

Lebih terperinci

Maka persamaan energi,

Maka persamaan energi, II. DASAR TEORI 2. 1. Hukum termodinamika dan sistem terbuka Termodinamika teknik dikaitkan dengan hal-hal tentang perpindahan energi dalam zat kerja pada suatu sistem. Sistem merupakan susunan seperangkat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE... JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv... vi DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR GRAFIK...xiii DAFTAR TABEL... xv NOMENCLATURE... xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1)

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1) BAB II DASAR TEORI 2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA Hukum pertama termodinamika adalah hukum kekekalan energi. Hukum ini menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara Sistem pengkondisian udara adalah suatu proses mendinginkan atau memanaskan udara sehingga dapat mencapai temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD Herto Mariseide Marbun 1, Mulfi Hazwi 2 1,2 Departemen Teknik Mesin, Universitas Sumatera Utara,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC NPM : NPM :

LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC NPM : NPM : LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC Nama Praktikan : Utari Handayani NPM : 140310110032 Nama Partner : Gita Maya Luciana NPM : 140310110045 Hari/Tgl Percobaan

Lebih terperinci

Pengujian Dan Simulasi Water Heater Dengan Memanfaatkan Panas Buang Kondensor Siklus Kompresi Uap Hibrid Dengan Kapasitas 120 Liter SKRIPSI

Pengujian Dan Simulasi Water Heater Dengan Memanfaatkan Panas Buang Kondensor Siklus Kompresi Uap Hibrid Dengan Kapasitas 120 Liter SKRIPSI Pengujian Dan Simulasi Water Heater Dengan Memanfaatkan Panas Buang Kondensor Siklus Kompresi Uap Hibrid Dengan Kapasitas 120 Liter SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Refrigeran merupakan media pendingin yang bersirkulasi di dalam sistem refrigerasi kompresi uap. ASHRAE 2005 mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja

Lebih terperinci

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola

Perpindahan Panas Konveksi. Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola Perpindahan Panas Konveksi Perpindahan panas konveksi bebas pada plat tegak, datar, dimiringkan,silinder dan bola Pengantar KONDUKSI PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI RADIASI Perpindahan Panas Konveksi Konveksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 Mesin Refrigerasi Secara umum bidang refrigerasi mencakup kisaran temperatur sampai 123 K Sedangkan proses-proses dan aplikasi teknik yang beroperasi pada kisaran temperatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pompa adalah mesin yang mengkonversikan energi mekanik menjadi energi tekanan. Menurut beberapa literatur terdapat beberapa jenis pompa, namun yang akan dibahas dalam perancangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pompa adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan suatu cairan dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara menaikkan tekanan cairan tersebut. Kenaikan tekanan cairan tersebut

Lebih terperinci

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin BAB II Prinsip Kerja Mesin Pendingin A. Sistem Pendinginan Absorbsi Sejarah mesin pendingin absorbsi dimulai pada abad ke-19 mendahului jenis kompresi uap dan telah mengalami masa kejayaannya sendiri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA.1 Teori Pengujian Sistem pengkondisian udara (Air Condition) pada mobil atau kendaraan secara umum adalah untuk mengatur kondisi suhu pada ruangan didalam mobil. Kondisi suhu yang

Lebih terperinci

SIMULASI RUANG INKUBATOR BAYI YANG MENGGUNAKAN PHASE CHANGE MATERIAL SEBAGAI PEMANAS RUANG INKUBATOR

SIMULASI RUANG INKUBATOR BAYI YANG MENGGUNAKAN PHASE CHANGE MATERIAL SEBAGAI PEMANAS RUANG INKUBATOR SIMULASI RUANG INKUBATOR BAYI YANG MENGGUNAKAN PHASE CHANGE MATERIAL SEBAGAI PEMANAS RUANG INKUBATOR Ferdinan A. Lubis 1, Himsar Ambarita 2. Email: loebizferdinan@yahoo.co.id 1,2 Departemen Teknik Mesin,

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Arif Kurniawan Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang E-mail : arifqyu@gmail.com Abstrak. Pada bagian mesin pendingin

Lebih terperinci

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR Arif Kurniawan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang; Jl.Raya Karanglo KM. 2 Malang 1 Jurusan Teknik Mesin, FTI-Teknik Mesin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI.1 Latar Belakang Pengkondisian udaraa pada kendaraan mengatur mengenai kelembaban, pemanasan dan pendinginan udara dalam ruangan. Pengkondisian ini bertujuan bukan saja sebagai penyejuk

Lebih terperinci

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya BAB II DASAR TEORI 2.1 Hot and Cool Water Dispenser Hot and cool water dispenser merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondisikan temperatur air minum baik dingin maupun panas. Sumber airnya berasal

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Sebuah modul termoelektrik yang dialiri arus DC. ( https://ferotec.com. (2016). www. ferotec.com/technology/thermoelectric)

Gambar 2.1 Sebuah modul termoelektrik yang dialiri arus DC. ( https://ferotec.com. (2016). www. ferotec.com/technology/thermoelectric) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Modul termoelektrik adalah sebuah pendingin termoelektrik atau sebagai sebuah pompa panas tanpa menggunakan komponen bergerak (Ge dkk, 2015, Kaushik dkk, 2016). Sistem pendingin

Lebih terperinci

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Oleh : Robbin Sanjaya 2106.030.060 Pembimbing : Ir. Denny M.E. Soedjono,M.T PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Air Conditioner Air Conditioner (AC) digunakan untuk mengatur temperatur, sirkulasi, kelembaban, dan kebersihan udara didalam ruangan. Selain itu, air conditioner juga

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split BAB II DASAR TEORI 2.1 AC Split Split Air Conditioner adalah seperangkat alat yang mampu mengkondisikan suhu ruangan sesuai dengan yang kita inginkan, terutama untuk mengkondisikan suhu ruangan agar lebih

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN SISTEM BAB III PERANCANGAN SISTEM 3.1 Batasan Rancangan Untuk rancang bangun ulang sistem refrigerasi cascade ini sebagai acuan digunakan data perancangan pada eksperiment sebelumnya. Hal ini dikarenakan agar

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR. Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu

BAB II STUDI LITERATUR. Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu BAB II STUDI LITERATUR 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 Pendahuluan Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA PENDINGIN AIR PADA KONDENSOR TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN

PENGARUH MEDIA PENDINGIN AIR PADA KONDENSOR TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN PENGARUH MEDIA PENDINGIN AIR PADA KONDENSOR TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN Kemas. Ridhuan 1), I Gede Angga J. 2) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Metro Jl. Ki Hjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penggunaan energi surya dalam berbagai bidang telah lama dikembangkan di dunia. Berbagai teknologi terkait pemanfaatan energi surya mulai diterapkan pada berbagai

Lebih terperinci

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR Untuk mengenalkan aspek-aspek refrigerasi, pandanglah sebuah siklus refrigerasi uap Carnot. Siklus ini adalah kebalikan dari siklus daya uap Carnot. Gambar 1.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tugas Akhir Rancang Bangun Sistem Refrigerasi Kompresi Uap untuk Prototype AHU 4. Teknik Refrigerasi dan Tata Udara

BAB II DASAR TEORI. Tugas Akhir Rancang Bangun Sistem Refrigerasi Kompresi Uap untuk Prototype AHU 4. Teknik Refrigerasi dan Tata Udara BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Kompresi Uap Sistem Refrigerasi Kompresi Uap merupakan system yang digunakan untuk mengambil sejumlah panas dari suatu barang atau benda lainnya dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada Siklus Kompresi Uap Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak digunakan dalam daur refrigerasi, pada daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), pengembunan( 2 ke 3), ekspansi (3

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS REFRIGERANT DAN BEBAN PENDINGINAN TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN

PENGARUH JENIS REFRIGERANT DAN BEBAN PENDINGINAN TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN PENGARUH JENIS REFRIGERANT DAN BEBAN PENDINGINAN TERHADAP KEMAMPUAN KERJA MESIN PENDINGIN Edi Purwanto, Kemas Ridhuan Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyan Metro Jl. KH. Dewantara

Lebih terperinci

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin BELLA TANIA Program Pendidikan Fisika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya May 9, 2013 Abstrak Mesin

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pendinginan Tidak Langsung ( Indirect Cooling System 2.2 Secondary Refrigerant

BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pendinginan Tidak Langsung ( Indirect Cooling System 2.2 Secondary Refrigerant BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pendinginan Tidak Langsung (Indirect Cooling System) Sistem pendinginan tidak langsung (indirect Cooling system) adalah salah satu jenis proses pendinginan dimana digunakannya

Lebih terperinci

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin Galuh Renggani Wilis, ST.,MT ABSTRAKSI Pengkondisian udara disebut juga system refrigerasi yang mengatur temperature & kelembaban udara. Dalam beroperasi

Lebih terperinci

2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA

2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA BAB II DASAR TEORI 2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA Hukum pertama termodinamika adalah hukum kekekalan energi. Hukum ini menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dilenyapkan. Energi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda BAB II DASAR TEORI 2.1 Benih Kedelai Penyimpanan benih dimaksudkan untuk mendapatkan benih berkualitas. Kualitas benih yang dapat mempengaruhi kualitas bibit yang dihubungkan dengan aspek penyimpanan adalah

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy, Pengaruh Kecepatan Udara Pendingin Kondensor Terhadap Kooefisien Prestasi PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ALAT PENGKONDISIAN UDARA Alat pengkondisian udara merupakan sebuah mesin yang secara termodinamika dapat memindahkan energi dari area bertemperatur rendah (media yang akan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 Suroso, I Wayan Sukania, dan Ian Mariano Jl. Let. Jend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440 Telp. (021) 5672548

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-659

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-659 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-659 Rancang Bangun dan Studi Eksperimen Alat Penukar Panas untuk Memanfaatkan Energi Refrigerant Keluar Kompresor AC sebagai Pemanas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk menyerap kalor dari lingkungan atau untuk melepaskan kalor ke lingkungan. Sifat-sifat fisik

Lebih terperinci

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng MULTIREFRIGERASI SISTEM Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng SIKLUS REFRIGERASI Sistem refrigerasi dengan siklus kompresi uap Proses 1 2 : Kompresi isentropik Proses 2 2 : Desuperheating Proses 2 3 : Kondensasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Pengeringan Metode pengawetan pada makanan dengan cara pengeringan merupakan metode yang paling tua dari semua metode pengawetan yang ada. Contoh makanan yang mengalami

Lebih terperinci

Perencanaan Mesin Pendingin Absorbsi (Lithium Bromide) memanfaatkan Waste Energy di PT. PJB Paiton dengan tinjauan secara thermodinamika

Perencanaan Mesin Pendingin Absorbsi (Lithium Bromide) memanfaatkan Waste Energy di PT. PJB Paiton dengan tinjauan secara thermodinamika Perencanaan Mesin Pendingin Absorbsi (Lithium Bromide) memanfaatkan Waste Energy di PT. PJB Paiton dengan tinjauan secara thermodinamika Muhamad dangga A 2108 100 522 Dosen Pembimbing : Ary Bachtiar Krishna

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Simulator Pengertian simulator adalah program yg berfungsi untuk menyimulasikan suatu peralatan, tetapi kerjanya agak lambat dari pada keadaan yg sebenarnya. Atau alat untuk melakukan

Lebih terperinci

PERMASALAHAN. Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air

PERMASALAHAN. Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Cara kerja evaporator mesin pendingin absorpsi difusi amonia-air Pengaruh inputan daya heater beban pada kapasitas pendinginan, koefisien konveksi, dan laju alir massa refrigeran.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Penyimpanan Energi Termal Es merupakan dasar dari sistem penyimpanan energi termal di mana telah menarik banyak perhatian selama beberapa dekade terakhir. Alasan terutama dari penggunaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Refrigerasi dapat berupa lemari es pada rumah tangga, mesin

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Heat pump Heat pump adalah pengkondisi udara paket atau unit paket dengan katup pengubah arah (reversing valve) atau pengatur ubahan lainnya. Heat pump memiliki

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Efisiensi Mesin Pendingin Siklus Kompresi Uap

Pengaruh Penggunaan Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Efisiensi Mesin Pendingin Siklus Kompresi Uap Pengaruh Penggunaan Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Efisiensi Mesin Pendingin Siklus Kompresi Uap Azridjal Aziz 1,a* dan Boby Hary Hartanto 2,b 1,2 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Sugiyono 1, Ir Sumpena, MM 2 1. Mahasiswa Elektro, 2. Dosen

Lebih terperinci

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving PERPINDAHAN PANAS Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving force/resistensi Proses bisa steady

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN FUNDAMENTAL JUDUL PENELITIAN KAJIAN KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI ALAMIAH PADA SALURAN PERSEGI EMPAT BERBELOKAN TAJAM OLEH Prof. DR. Ir. Ahmad Syuhada, M.

Lebih terperinci

Studi Numerik Pengaruh Gap Ratio terhadap Karakteristik Aliran dan Perpindahan Panas pada Susunan Setengah Tube Heat Exchanger dalam Enclosure

Studi Numerik Pengaruh Gap Ratio terhadap Karakteristik Aliran dan Perpindahan Panas pada Susunan Setengah Tube Heat Exchanger dalam Enclosure Studi Numerik Pengaruh Gap Ratio terhadap Karakteristik Aliran dan Perpindahan Panas pada Susunan Setengah Tube Heat Exchanger dalam Enclosure R. Djailani, Prabowo Laboratorium Perpindahan Panas dan Massa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Air Conditioning (AC) atau alat pengkondisian udara merupakan modifikasi pengembangan dari teknologi mesin pendingin. Alat ini dipakai bertujuan untuk mengkondisikan

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD Tony Suryo Utomo*, Sri Nugroho, Eflita

Lebih terperinci

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian HRSG HRSG (Heat Recovery Steam Generator) adalah ketel uap atau boiler yang memanfaatkan energi panas sisa gas buang satu unit turbin gas untuk memanaskan air dan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Desalinasi Desalinasi merupakan suatu proses menghilangkan kadar garam berlebih dalam air untuk mendapatkan air yang dapat dikonsumsi binatang, tanaman dan manusia.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Perencanaan pengkondisian udara dalam suatu gedung diperlukan suatu perhitungan beban kalor dan kebutuhan ventilasi udara, perhitungan kalor ini tidak lepas dari prinsip perpindahan

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN 1 Amrullah, 2 Zuryati Djafar, 3 Wahyu H. Piarah 1 Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin, Politeknik Bosowa, Makassar 90245,Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse

II. TINJAUAN PUSTAKA Nutrient Film Technique (NFT) 2.2. Greenhouse II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nutrient Film Technique (NFT) Nutrient film technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di Glasshouse

Lebih terperinci

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.2, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print) A-13 Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga Vimala Rachmawati dan Kamiran Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dan Peralatan Pengering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dan Peralatan Pengering BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dan Peralatan Pengering Prinsip dasar proses pengeringan adalah terjadinya pengurangan kadar air atau penguapan kadar air oleh udara

Lebih terperinci

Cara Kerja AC dan Bagian-Bagiannya

Cara Kerja AC dan Bagian-Bagiannya Cara Kerja AC dan Bagian-Bagiannya Di era serba maju sekarang ini, kita pasti sudah sangat akrab dengan air conditioner. Kehidupan modern, apalagi di perkotaan hampir tidak bisa lepas dari pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Pengujian sistem refrigerasi..., Dedeng Rahmat, FT UI, Universitas 2008 Indonesia

BAB II DASAR TEORI. Pengujian sistem refrigerasi..., Dedeng Rahmat, FT UI, Universitas 2008 Indonesia BAB II DASAR TEORI 2.1 REFRIGERASI DAN SISTEM REFRIGERASI Refrigerasi merupakan proses penyerapan kalor dari ruangan bertemperatur tinggi, dan memindahkan kalor tersebut ke suatu medium tertentu yang memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Mikro Rumah Tanaman Daerah Tropika Basah Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perancangan bangunan. Sebuah bangunan seharusnya dapat mengurangi pengaruh iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Sistem refrigerasi kompresi uap paling umum digunakan di antara

Lebih terperinci

Komparasi Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Temperatur dan Tekanan Mesin Pendingin

Komparasi Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Temperatur dan Tekanan Mesin Pendingin Komparasi Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Temperatur dan Tekanan Mesin Pendingin Azridjal Aziz Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Riau Kampus Binawidya Km 12,5

Lebih terperinci

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 KAJIAN APLIKASI EFEK PENDINGIN TANAH (GROUNDCOOLING) UNTUK MENGOPTIMASI SIKLUS KOMPRESI UAP PADA PENGKONDISIAN UDARA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Freezer Freezer merupakan salah satu mesin pendingin yang digunakan untuk penyimpanan suatu produk yang bertujuan untuk mendapatkan produk dengan kualitas yang

Lebih terperinci

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA

SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLING FILM EVAPORATOR DENGAN ADANYA ALIRAN UDARA Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2011 SIMULASI PROSES EVAPORASI BLACK LIQUOR DALAM FALLIN FILM EVAPORATOR DENAN ADANYA ALIRAN UDARA Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Mirza Quanta Ahady Husainiy 2408100023 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-647

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-647 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (206) ISSN: 2337-3539 (230-927 Print) B-647 Rancang Bangun dan Studi Eksperimen Alat Penukar Panas untuk Memanfaatkan Energi Refrigerant Keluar Kompresor AC sebagai Pemanas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Air Conditioner Split Air Conditioner (AC) split merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondikan udara didalam ruangan sesuai dengan yang diinginkan oleh penghuni.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Prinsip Kerja Mesin Refrigerasi Kompresi Uap

BAB II DASAR TEORI Prinsip Kerja Mesin Refrigerasi Kompresi Uap 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Pengkondisian Udara Pengkondisian udara adalah proses untuk mengkondisikan temperature dan kelembapan udara agar memenuhi persyaratan tertentu. Selain itu kebersihan udara,

Lebih terperinci

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP FENOMENA PERPINDAHAN LUQMAN BUCHORI, ST, MT luqman_buchori@yahoo.com JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP Peristiwa Perpindahan : Perpindahan Momentum Neraca momentum Perpindahan Energy (Panas) Neraca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyejuk udara atau pengkondisi udara atau penyaman udara atau erkon atau AC (air conditioner) adalah sistem atau mesin yang dirancang untuk menstabilkan suhu udara

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Sistem GWHP [13]

Gambar 2.1 Sistem GWHP [13] BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengkondisian Udara dengan Groundcooling Pengkondisian udara dengan memanfaatkan efek dingin tanah atau lebih dikenal dengan istilah groundcooling ini sudah banyak diterapkan

Lebih terperinci

PENGARUH BEBAN PENDINGIN TERHADAP TEMPERATUR SISTEM PENDINGIN SIKLUS KOMPRESI UAP DENGAN PENAMBAHAN KONDENSOR DUMMY

PENGARUH BEBAN PENDINGIN TERHADAP TEMPERATUR SISTEM PENDINGIN SIKLUS KOMPRESI UAP DENGAN PENAMBAHAN KONDENSOR DUMMY PENGARUH BEBAN PENDINGIN TERHADAP TEMPERATUR SISTEM PENDINGIN SIKLUS KOMPRESI UAP DENGAN PENAMBAHAN KONDENSOR DUMMY TIPE TROMBONE COIL SEBAGAI WATER HEATER Arya Bhima Satria 1, Azridjal Aziz 2 Laboratorium

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI. P = Pc = P 3 = P 2 = Pg P 5 P 4. x 5. x 1 =x 2 x 3 x 2 1

LANDASAN TEORI. P = Pc = P 3 = P 2 = Pg P 5 P 4. x 5. x 1 =x 2 x 3 x 2 1 III. LANDASAN TEORI 3.1 Diagram suhu dan konsentrasi Hubungan antara suhu dan konsentrasi pada sistem pendinginan absorpsi dengan fluida kerja ammonia air ditunjukkan oleh Gambar 6 : t P = Pc = P 3 = P

Lebih terperinci

Termodinamika II FST USD Jogja. TERMODINAMIKA II Semester Genap TA 2007/2008

Termodinamika II FST USD Jogja. TERMODINAMIKA II Semester Genap TA 2007/2008 TERMODINAMIKA II Semester Genap TA 007/008 Siklus Kompresi Uap Ideal (A Simple Vapor-Compression Refrigeration Cycle) Mempunyai komponen dan proses.. Compressor: mengkompresi uap menjadi uap bertekanan

Lebih terperinci

oleh : Ahmad Nurdian Syah NRP Dosen Pembimbing : Vivien Suphandani Djanali, S.T., ME., Ph.D

oleh : Ahmad Nurdian Syah NRP Dosen Pembimbing : Vivien Suphandani Djanali, S.T., ME., Ph.D STUDI NUMERIK PENGARUH VARIASI REYNOLDS NUMBER DAN RICHARDSON NUMBER PADA KARAKTERISTIK ALIRAN FLUIDA MELEWATI SILINDER TUNGGAL YANG DIPANASKAN (HEATED CYLINDER) oleh : Ahmad Nurdian Syah NRP. 2112105028

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel BAB II DASAR TEORI 2.1 Cooling Tunnel Cooling Tunnel atau terowongan pendingin merupakan sistem refrigerasi yang banyak digunakan di industri, baik industri pengolahan makanan, minuman dan farmasi. Cooling

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-192 Studi Numerik Pengaruh Baffle Inclination pada Alat Penukar Kalor Tipe Shell and Tube terhadap Aliran Fluida dan Perpindahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Suatu mesin refrigerasi akan mempunyai tiga sistem terpisah, yaitu:

BAB II LANDASAN TEORI. Suatu mesin refrigerasi akan mempunyai tiga sistem terpisah, yaitu: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Refrigerasi adalah proses pengambilan kalor atau panas dari suatu benda atau ruang tertutup untuk menurunkan temperaturnya. Kalor adalah salah satu bentuk dari energi,

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2012

BAB II DASAR TEORI 2012 BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Brine Sistem Brine adalah salah satu sistem refrigerasi kompresi uap sederhana dengan proses pendinginan tidak langsung. Dalam proses ini koil tidak langsung mengambil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Termodinamika 2.1.1 Siklus Termodinamika Siklus termodinamika adalah serangkaian proses termodinamika mentransfer panas dan kerja dalam berbagai keadaan tekanan, temperatur,

Lebih terperinci