STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA"

Transkripsi

1 STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis di Kabupaten Belitung adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2007 Yeppi Sudarja C

3 ABSTRAK YEPPI SUDARJA. Strategi Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis di Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh MULYONO S BASKORO dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR. Secara geografis, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu Provinsi yang berkepentingan dalam pengelolaan perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Laut Cina Selatan dan paparan Sunda. Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun suatu konsep strategi pengembangan armada perikanan tangkap yang terstruktur di Kabupaten Belitung. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) metode deskripsi, untuk mendeskripsikan keragaan teknologi penangkapan ikan pelagis; (2) analisis kelayakan, untuk melihat kelayakan usaha penangkapan ikan pelagis; (3) analisis SWOT, untuk mengetahui strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa armada penangkapan ikan pelagis layak dikembangkan. Konsep strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis berdasarkan penelitian ini adalah: (1) motorisasi armada perikanan pelagis; (2) pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif; (3) pembenahan sistem permodalan; (4) pembenahan sistem perizinan armada penangkapan; (5) pembenahan sarana penangkapan; (6) perbaikan kegiatan monitoring, controlling dan surveilance; dan (7) peningkatan SDM para nelayan. Kata kunci: strategi pengembangan, armada penangkapan ikan pelagis, Kabupaten Belitung.

4 ABSTRACT YEPPI SUDARJA. Strategy of Development Fishing Vessel of Pelagic Fish at Belitung Regency. Supervised by MULYONO S BASKORO and BUDHI HASCARYO ISKANDAR. The Bangka Belitung Archipelago Province is located on strategic area especially for developing of capture fisheries business in fisheries management region of South China Sea and Sunda Shelf. One of important thing in order to utilize this marine resources is fishing fleet that contain of fishing vessels and fishing gears. The objective of the research is to arrange a structured strategic concept for developing of fishing fleet in Belitung Regency. Some analysis methode are used in this study, i.e.: (1) description methods; to describe pelagic technology performance in this area; (2) feasibility analysis; to determine the feasibility of fishing unit business; (3) SWOT analysis; to map the factors in order to obtain balance strategy among the factors. The result shows that pelagic fishing fleet in the study area is feasible to develop. The strategy concept for development based on this study i.e: (1) Motorization of pelagic fishing fleets; (2) Development of condusive capture fisheries business; (3) Improvement of capital system for capture fisheries bussiness; (4) Improvement of fishing fleet permit system; (5) Improvement of capture fisheries facilities; (6) Improvement of monitoring, controlling and surveilance activities; and (7) human resource development especially for fisherman in this area. Keyword: development strategy, pelagic fishing fleet, Belitung Regency

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Penelitian Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Strategi Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis di Kabupaten Belitung : Yeppi Sudarja : C : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. Anggota Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 17 April 2007 Tanggal Lulus :

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Strategi Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis di Kabupaten Belitung. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada : 1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan sekaligus arahan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc., sebagai penguji luar komisi atas saran dan masukannya dalam penyempurnaan tesis ini. 3. Dr. Ir. Yulistyo, M.Sc., atas dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian studi ini. 4. Dr. Ir. Dedi H. Sutisna, MS., selaku Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan atas dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian studi ini. 5. Ir. Marwan, MM., selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten, atas bantuannya selama penelitian. 6. Ir. Arief Rachman Lammata, MM., selaku Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tanjung Pandan atas bantuannya selama penelitian. 7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Nono Sampono, Kosasih, Edy Susanto, Dede Hermawan, Yessi TG, Himelda, Muhammad, Yogi Yanuar, Andi Rusandi, Nurmayanti, Ahmad Mansur) atas kerjasama dan dukungannya selama ini. 8. Ir. Balok Budiyanto, MM., Ir. Tyas Budiman MM, dan Kasubdit lingkup Dit Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan atas dukungan dan dorongannya.

9 9. Orang tua tercinta, Bapak Drh. Dudung Supandi dan Ibunda Mikah Atikah (Alm) atas kasih sayang serta semangat yang diberikan sehingga penulis dapat memperoleh gelar Magister Sains. 10. Isteri tercinta Restu Nahrulita beserta anak-anak tersayang Muhammad Irsyad Tawakal, Tazkia Safira Afifa dan Tarisa Suci Putri, yang telah banyak mendorong dan memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan program kuliah ini dan memperoleh gelar Magister Sains. 11. Shinta dan rekan-rekan sekretariat PS-TKL atas kerjasamanya dalam penyelesaian studi ini, dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian tesis ini. 12. Staf Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan khususnya rekanrekan Subdit Pendaftaran Kapal Perikanan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan agar lebih memberikan bobot terhadap kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, April 2007 Yeppi Sudarja

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Desember 1962 sebagai putra ke- 1 dari 7 bersaudara pasangan Bapak Drh. Dudung Supandi dan Ibu Mikah Atikah (Alm). Pada tahun 1974 penulis menyelesaikan pendidikan pada SDN Sukasari I Bogor. Pada Tahun 1977 penulis menyelesaikan pendidikan pada SMPN IV Bogor dan pada tahun 1981 penulis menyelesaikan studi pada SMAN I Bogor. Setelah tamat dari SMAN I Bogor pada tahun 1981, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dan pada tahun 1983 diterima di Fakultas Perikanan IPB Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan (MSP) dan penulis meraih gelar Sarjana Perikanan pada tahun Pada bulan Desember 2004 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanan Pembangunan Kelautan Perikanan, SPs-IPB. Pada tahun 1989 penulis penulis bekerja sebagai Staf Teknis pada Sekretariat Dijen Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1996 sebagai Staf Teknis pada Direktorat Bina Sumber Hayati Ditjen Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1999 penulis diangkat sebagai Kepala Sub.Bag Tata Usaha pada Balai Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang Ditjen Perikanan Departeman Pertanian. Pada tahun 2001 sebagai Kepala Seksi Standarisasi dan Informasi pada Balai Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2003 penulis menjabat sebagai Kepala Sub. Bag. Tata Usaha pada Direktorat Sarana Perikanan Tangkap Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2003 penulis menjabat sebagai Kepala Seksi Perumusan dan Pengujian Standar pada Subdit. Rancang Bangun dan Konstruksi Kapal Perikanan. Dit. Sarana Perikanan Tangkap, pada tahun 2005 sampai sekarang menjabat sebagai Kepada Seksi Pencatatan dan Dokumentasi pada Subdit Pendaftaran Kapal Perikanan Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan. Ditjen Perikanan Tangkap.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Sub-Sektor Perikanan Tangkap Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap Permasalahan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap Memilih Keputusan yang Terbaik Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan Pengumpulan data Metode Analisis Data Analisis deskriptif Analisis finansial Analisis SWOT KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Keadaan Alam Keadaan cuaca i

12 4.2.2 Keadaan iklim Tipologi Hidrologi Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi topografi Keadaan iklim Keadaan perairan Potensi Kelautan dan Perikanan Mangrove dan terumbu karang Perikanan tangkap Pengolahan dan pemasaran HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keragaan Perikanan Tangkap Armada penangkapan ikan Alat penangkap ikan Produksi perikanan Prasarana perikanan Pengolahan dan pemasaran Keragaan Armada Penangkapan Ikan Pelagis Jaring insang hanyut Rawai hanyut Tinjauan Aspek Finansial Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan produksi perikanan tangkap tahun Perkembangan jumlah kapal perikanan tahun Perkembangan jumlah nelayan tahun Produktivitas nelayan tahun Potensi dan JTB menurut kelompok SDI, berdasarkan Kepmen Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/ Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Model matriks analisis SWOT Luas wilayah daratan menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Jumlah produksi perikanan tangkap di Kabupaten Belitung periode Jumlah dan jenis alat tangkap menurut Kecamatan di Kabupaten Belitung Jumlah dan jenis armada penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Jumlah dan kapasitas pabrik es di Kabupaten Belitung Seleksi aspek teknis kapal penangkap ikan di Kabupaten Belitung dengan metode skoring Seleksi komoditas ikan di Perairan Kabupaten Belitung dengan metode skoring Matriks analisis faktor strategi internal (IFAS) pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung Matriks analisis faktor strategi eksternal (EFAS) pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung Matriks SWOT pengembangan usaha perikanan ikan pelagis di Kabupaten Belitung iii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran Peta lokasi penelitian Persentase luas wilayah daratan Povinsi Kepulauan Bangka Belitung Peta pengembangan pulau-pulau kecil di Kabupaten Belitung Salah satu armada penangkapan di Kabupaten Belitung Pabrik es yang terdapat di lokasi penelitian Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tanjungpandan Kapal jaring insang hanyut di Kabupaten Belitung Ilustrasi pemasangan jaring insang hanyut Kapal rawai hanyut di Kabupaten Belitung Ilustrasi alat tangkap rawai hanyut Diagram alir pengkajian arah pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung iv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan jaring insang hanyut < 5 GT Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan jaring insang hanyut 5-10 GT Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan rawai hanyut < 5 GT Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan rawai hanyut 5-10 GT Matrix analisis strenghts weakness opportunities, threats (SWOT) Dokumentasi foto penelitian Peta daerah penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung v

16 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan yang sangat terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang berkembang semakin cepat, sehingga desentralisasi pembangunan dinilai memiliki makna yang semakin penting. Inti dari desentralisasi ini pada dasarnya adalah pemberdayaan wilayah dan masyarakat, serta pengembangan prakarsa dan kreativitas lokal. Desentralisasi memungkinkan daerah-daerah tersebut mempunyai kewenangan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan kebijakan sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat serta kondisi daerahnya masing-masing. Salah satu wujud dari implementasi desentralisasi adalah ditindaklanjutinya gagasan otonomi daerah melalui penetapan UU nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal menarik yang patut dicermati adalah adanya salah satu pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario otonomi daerah. Disebutkan dalam Pasal 10, bahwa daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut maksimum sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua (Dati II) berwenang mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan daerah provinsi atau sekitar 4 mil laut dari garis pantai. Jenis kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Bahwa implementasi otonomi daerah jelas membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pertama, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penentuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan di daerahnya itu.

17 Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal, utamanya nelayan untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya. Armada perikanan nasional yang didominasi oleh armada skala kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan di beberapa daerah. Keterbatasan jangkauan operasi penangkapan jelas menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di wilayah pantai, yang pada akhirnya menimbulkan gejala terjadinya tangkap lebih di daerah pantai, seperti di pantai Utara Jawa. Kondisi ini semakin rumit dengan semakin maraknya pelaksanaan otonomi daerah yang cenderung disalah artikan. Akibatnya, semakin sering terdengar terjadinya konflik antar nelayan dari daerah yang berdekatan karena memperebutkan sumberdaya ikan yang memang terbatas. Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara yang tidak kecil, selain itu juga mengganggu terhadap kedaulatan negara. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dua per tiga wilayahnya merupakan perairan laut dan mempunyai panjang garis pantai sekitar km memiliki sumber daya ekonomi kelautan dan perikanan potensial yang sangat besar dan beragam, serta relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Secara geografis, provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang berkepentingan dalam pengelolaan perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Laut Cina Selatan dan paparan Sunda. Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi Bangka Belitung dengan wilayah kepulauan yang terdiri dari 98 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut sebagian besar merupakan pulau karang yang dilengkapi terumbu karang yang masih baik dan keragaman ikan yang indah. Pada beberapa lokasi pantainya dilengkapi dengan batu putih yang muncul dari permukaaan laut. Letak geografis tersebut di atas merupakan modal alami yang bermanfaat untuk pengembangan perikanan tangkap, budidaya ikan dan wisata bahari. 2

18 Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP DKP pada tahun 2001, untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi tangkap lebih seperti di perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Sedangkan tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 % (BRKP DKP, 2001). Wilayah pengelolaan perairan di wilayah Kepulauan Bangka Belitung menurut penelitian BRKP masih dapat dimanfaatkan secara optimal. Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tidak akan mempunyai arti dari sisi ekonomi apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis untuk mendayagunakannya sehingga mampu memberikan manfaat secara berkelanjutan. Salah satu sarana yang sangat penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah armada penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Selama ini pengembangan armada perikanan harus diakui belum ditangani secara memadai karena adanya berbagai masalah, terutama yang terkait dengan kewenangan dalam pembinaannya yang masih menyebar di berbagai institusi. Untuk itu perlu adanya kesamaan persepsi dan langkah-langkah dari seluruh pihak sehingga armada perikanan Indonesia dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung (2004), bahwa hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan adalah dari kelompok ikan pelagis. Ikan tenggiri merupakan ikan pelagis besar yang dominan tertangkap di Kabupaten Belitung. Keberadaan sumberdaya ikan pelagis sebagai komoditi perdagangan dari sektor perikanan merupakan salah satu dari sumberdaya yang menempati posisi besar, baik sebagai komoditi ekspor maupun sebagai komoditi yang dikonsumsi dalam negeri. Sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Belitung belum termanfaatkan secara optimal oleh armada perikanan yang ada. Sebagian armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung masih didominasi oleh armada perikanan skala kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT, dan ada sebagian kecil menggunakan kapal ukuran 3

19 5 10 GT. Guna meningkatkan pemanfaatan sumberdaya perkanan secara optimal, maka perlu dilakukan penataan struktur armada perikanan pelagis ke arah armada kapal di atas 10 GT sehingga jangkauan operasional akan lebih jauh. Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk mengembangkan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung diperlukan suatu kajian ilmiah. Kajian tesebut dilakukan melalui penelitian ini yang menelaah strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung. 1.2 Perumusan Masalah Implementasi pengembangan armada penangkapan ikan belum terstruktur di Kabupaten Belitung. Permasalahan tersebut dapat menjadi faktor penghambat pengembangan usaha di masa akan datang jika tidak dilakukan pengkajian secara matang. Permasalahan yang dimaksud mencakup sarana produksi, pembinaan pelayanan/layanan pendukung, proses produksi, prasarana/pelabuhan perikanan, pengolahan, dan pemasaran. Informasi tentang keragaan armada penangkapan ikan pelagis khususnya, potensi sumberdaya, teknologi penangkapan, sarana dan prasarana pendukung usaha, kegiatan distribusi dan pemasaran komoditas ikan pelagis maupun aspek pendukung pengembangan usaha seperti kebijakan pemerintah dan peran lembaga keuangan belum memadai. Oleh sebab itu suatu penelitian tentang strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap persoalan pengembangan armada secara komprehensif. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menyusun suatu konsep strategi pengembangan armada perikanan tangkap pelagis yang terstruktur di Kabupaten Belitung. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam upaya lebih mempertajam fokus pembahasan agar sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam studi ini dilakukan pembatasan ruang lingkup 4

20 penelitian. Penelitian ini difokuskan hanya dalam lingkup tentang pengembangan armada penangkapan ikan pelagis. Ruang lingkup penelitian ini, yaitu : 1) Keadaan perikanan di Kabupaten Belitung dimasa kini yang meliputi : sarana produksi, proses produksi, prasarana pelabuhan, pengolahan, pemasaran. 2) Permasalahan yang dihadapi oleh perikanan tangkap di lokasi penelitian. 3) Opini masyarakat dalam pengembangan perikanan tangkap. 4) Penyusunan konsep strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis. 1.5 Manfaat Penelitian` 1) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pemerintah dalam hal menetapkan kebijakan dan perencanaan pembangunan perikanan tangkap di tingkat Pusat dan di tingkat daerah. 2) Sebagai bahan pemikiran dan informasi bagi stakeholder perikanan setempat terutama nelayan untuk dapat mengaplikasikan armada perikanan pelagis yang kompetitif, produktif dan berkelanjutan. 1.6 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran didasarkan pada permasalahan yang ada dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Belitung yang mencakup aspek : sarana produksi, pembinaan/layanan pendukung, proses produksi, prasarana/pelabuhan perikanan, pengolahan, pemasaran. Permasalahan tersebut dengan didukung oleh kebijakan pemerintah menentukan status/kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Belitung saat ini. Analisis terhadap status perikanan dilakukan melalui analisis deskriptif, yaitu memberikan gambaran/deskripsi tentang perikanan tangkap khususnya untuk perikanan pelagis. Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan analisis finansial, jika dinilai layak maka dialnjutkan dengan analisis SWOT untuk menilai kelayakan berdasarkan aspek internal maupun external. Jika analisis SWOT menunjukkan layak untuk dikembangkan maka disusun strategi pengembangan armada pelagis. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. 5

21 PERMASALAHAN - SARANA PRODUKSI - PEMBINAAN/ LAYANAN PENDUKUNG - PROSES PRODUKSI - PRASARANA PELABUHAN PERIKANAN - PENGOLAHAN - PEMASARAN KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG ADA STATUS PERIKANAN POLA PENGEMBANGAN DI MASA KINI ANALISIS DESKRIPSI ANALISIS FINANSIAL Tidak layak Ya ANALISIS SWOT Tidak layak Ya STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 6

22 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Sub-Sektor Perikanan Tangkap Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai (Monintja, 2000). Selanjutnya dalam kaitan dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis. Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap dilakukan dalam suatu sistem usaha perikanan tangkap terpadu yang terdiri dari sub sistem produksi, pengolahan pasca panen, dan pemasaran yang di dukung oleh sub-sistem sarana produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finansial, sumberdaya manusia (SDM), ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan hukum dan kelembagaan. Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap akan terwujud dengan baik apabila komponen-komponennya berjalan secara terpadu. Pengadaan dan ketersediaan sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan kegiatan produksi atau sebaliknya. Demikian pula dalam kegiatan produksi selain memperhatikan kondisi ekosistem dan sumberdaya perairan, juga harus terkait dengan kegiatan distribusi dan pemasarannya. Belum tercapainya tingkat produktivitas dan efisiensi usaha perikanan serta sulitnya pemasaran hasil, pada dasarnya karena belum dikaitkannya kegiatan berproduksi secara baik dengan aspek tersedianya sarana dan pemasaran (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2004). Usaha Perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung,

23 mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan (Alhidayat, 2002). Kesteven (1973) mengklasifikasikan usaha perikanan tangkap ke dalam tiga kelompok, yaitu perikanan subsisten, artisanal dan industri. Perikanan tangkap jenis artisanal dan industri termasuk jenis perikanan yang bersifat komersial. Pengklasifikasiaan ini didasarkan pada teknologi yang digunakan serta kuantitas dan pemasaran hasil tangkapan. Industri perikanan sebagai bagian dari sistem bisnis perikanan belum besar peranannya di dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan. Industri pengolahan produk perikanan kebanyakan belum mampu memperoleh bahan baku yang dibutuhkan guna mengoperasikan unit usahanya pada tingkat kapasitas minimum secara kontinyu. Hal ini pada dasarnya karena belum terjalinnya keterkaitan antara industri pengolahan dengan pemasok bahan baku. Tantangan yang dihadapi di dalam pembangunan industri perikanan tangkap pada dasarnya adalah terwujudnya keberhasilan nelayan dengan industri pengolahan ikan secara mantap, sehingga mobilisasi pembangunan industri perikanan, seperti industri pengalengan ikan, dan industri pengolahan ikan lainnya, dapat memberikan peranan yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan petani nelayan (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2004). 2.2 Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perikanan Tangkap Sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki Indonesia, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan telah menetapkan beberapa misi pembangunan perikanan tangkap, yaitu : (1) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; (3) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (4) menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri serta ekspor; (5) menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap; (6) menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif; (7) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; (8) mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan; (9) meningkatkan penerimaan PNBP dan PAD; (10) meningkatkan tertib administrasi pembangunan; dan (11) menjadikan 8

24 sumberdaya ikan sebagai perekat nusa dan bangsa (Ditjen Perikanan Tangkap, 2001). Untuk mendukung misi tersebut, maka kebijakan dan strategi yang diterapkan adalah : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan; (2) peningkatan mutu dan nilai tambah hasil perikanan; (3) pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (4) peningkatan pelayanan dan pengendalian perizinan usaha; (5) penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap; (6) penyempurnaan Sistem Statistik Perikanan Tangkap; dan (7) peningkatan peran Indonesia dalam organisasi/lembaga internasional yang terkait dengan perikanan tangkap. Adapun tujuannya yang hendak dicapai adalah : (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya; dan (3) meningkatkan kontribusi sub sektor perikanan tangkap terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran pembangunan perikanan tangkap meliputi : (1) peningkatan produksi Perikanan Tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil perikanan tangkap; (3) pengembangan armada penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja / nelayan; dan (6) peningkatan PNBP. 2.3 Perkembangan Armada, Produksi dan Nilai Hasil Perikanan Secara umum, pelaksanaan program pembangunan perikanan tangkap selama tahun 2003 menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi perikanan tangkap, peningkatan konsumsi ikan, ekspor hasil perikanan, pendapatan nelayan, perluasan lapangan kerja, serta memberikan dukungan terhadap pembangunan di bidang industri dan menunjang pembangunan daerah. Beberapa indikator makro pencapaian pembangunan perikanan tangkap berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, diuraikan berikut ini. 9

25 1) Produksi Pada periode , perkembangan produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata 0,04%, yaitu dari ton pada tahun 1999 menjadi ton pada tahun 2003 (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan produksi perikanan tangkap tahun Wilayah Produksi (Ton) Kenaikan Perairan Rata-rata Laut ,47 Perairan Umum ,01 Jumlah ,04 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2005 Dari data di atas terlihat bahwa laju produksi penangkapan di laut lebih tinggi dibandingkan dengan produksi penangkapan di perairan umum. Dalam periode , produksi penangkapan di laut meningkat rata-rata per tahun sebesar 4,47% dari ton pada tahun 1999 menjadi ton pada tahun Pada periode yang sama, produksi penangkapan di perairan umum hanya mengalami penurunan sebesar 0,01% dari ton pada tahun 1999 menjadi ton pada tahun Jika dibandingkan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton, maka produksi tahun 2003 telah mencapai 91,64% dari JTB (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). 2) Jumlah Kapal Peningkatan produksi penangkapan di laut, tidak terlepas dari bertambahnya sarana penangkap ikan yang dioperasikan dan makin majunya teknologi yang diterapkan sehingga terjadi kenaikan produktivitas. Pada periode , jumlah perahu/kapal perikanan di laut menunjukkan peningkatan ratarata sebesar 4,53%, yaitu dari unit pada tahun 1999 menjadi unit pada tahun 2003; sedangkan pada periode mengalami peningkatan sebesar 13,51% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). Perkembangan jumlah kapal perikanan Indonesia periode tersaji pada Tabel 2 berikut : 10

26 Tabel 2. Perkembangan jumlah kapal perikanan tahun Produksi (Ton) Kenaikan Jenis Kapal Rata-rata (%) Perahu Tanpa Motor ,31 Perahu Motor Tempel ,85 Kapal Motor ,33 - KM < 5 GT KM 5 10 GT ,34 - KM GT ,59 - KM GT ,84 - KM GT ,82 - KM GT ,34 - KM GT ,16 - KM 200 GT ,84 Jumlah ,53 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2005 Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada kapal motor yang berukuran antara GT sebesar 45.82% yaitu dari unit kapal pada tahun 1999 menjadi unit kapal pada tahun 2003, disusul kemudian oleh kapal motor berukuran > 200 GT GT (31.84%) dan kapal motor ukuran GT (28,34%). Penurunan jumlah kapal terjadi pada kapal motor ukuran GT yang mengalami penurunan rata-rata sebesar 12,92% yaitu dari unit kapal pada tahun 1999 menjadi unit pada tahun 2003 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). 3) Jumlah Nelayan Pada periode , jumlah nelayan juga terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1999 nelayan Indonesia mencapai orang, maka pada 2003 menjadi orang (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). Dengan demikian, pada kurun waktu tersebut terjadi kenaikan jumlah nelayan rata-rata 8,15% per tahun. Selengkapnya tersaji pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Perkembangan jumlah nelayan tahun Wilayah Produksi (Ton) Kenaikan Perairan Rata-rata Laut ,85 Perairan Umum ,54 Jumlah ,15 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap,

27 Adanya peningkatan jumlah nelayan cukup menggembirakan karena menunjukkan bahwa sektor perikanan tangkap terus membuka lapangan kerja. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadi fakta yang patut mendapat perhatian bersama karena jika dibandingkan dengan produksi perikanan maka perbandingan jumlah nelayan dengan skala produksinya menjadi sangat kecil. Sebagai contoh, pada tahun 2003 produktivitas nelayan hanya 1,36 ton per orang. Artinya, jumlah tangkapan nelayan per hari hanya sekitar 3,73 kg saja. Gambaran selengkapnya tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Produktivitas nelayan tahun Uraian Produksi (ton) Jumlah Nelayan (orang) Produktivitas Ton/tahun/orang 1,39 1,33 1,30 1,36 1,36 Nelayan Kg/hari/orang 3,80 3,64 3,57 3,72 3,73 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2005 Fakta pada Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa diperlukan beberapa upaya agar jumlah nelayan mencapai titik yang optimal. Upaya-upaya tersebut antara lain: (1) Relokasi nelayan dari wilayah yang lebih tangkap ke wilayah yang underutilized; (2) Meningkatkan kemampuan nelayan artisanal menjadi nelayan modern melalui modernisasi alat tangkap dan peningkatan daya jelajah kapal; (3) Mengalihkan sebagian nelayan penangkap ke pembudidaya ikan; dan (4) Mengalihkan sebagian nelayan di bidang penangkapan ikan ke pekerjaan lain, terutama yang masih terkait dengan sub sektor perikanan, misalnya bidang pengolahan dan pemasaran. 2.4 Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan pada tahun 1998, yang kemudian dikukuhkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB), potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia adalah sebesar 6,258 juta ton pertahun, dengan rincian 4,400 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah, serta 1,858 juta ton pertahun dari 12

28 perairan ZEEI. Karena manajemen perikanan menganut azas kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut atau sebesar 5,006 juta ton pertahun, dengan rincian 3,519 juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta 1,487 juta ton pertahun dari perairan ZEEI. Pada Tabel 5, disajikan data Potensi dan JTB menurut kelompok SDI (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Tabel 5. Potensi dan JTB menurut kelompok SDI, berdasarkan Kepmen Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 Satuan : Ribu Ton/Tahun No Kelompok SDI Potensi JTB 1. Ikan Pelagis Besar 1.053,5 842,8 2. Ikan Pelagis Kecil 3.253, ,7 3. Ikan Demersal 1.786, ,1 4. Ikan Karang 76,0 60,7 5. Udang Penaeid 73,8 58,9 No Kelompok SDI Potensi JTB 6. Lobster 4,8 3,8 7. Cumi-Cumi 28,3 22,7 Jumlah 6.258, ,7 Sumber : Departemen Pertanian, 1999 Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa kelompok SDI yang potensinya paling besar adalah ikan pelagis kecil, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik berukuran kecil. Contoh jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan kembung, alu-alu, layang, selar, tetengkek, daun bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-parang, terubuk, ikan terbang, belanak, dan kacang-kacang. Kedua adalah ikan demersal, yaitu kelompok ikan yang hidup di dasar perairan dan terdiri atas spesies antara lain : sebelah, lidah, nomei, peperek, manyung, beloso, biji nangka, kurisi, swanggi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap merah, kakap putih, pari, sembilang, buntal landak, kuwe, gerot-gerot, bulu ayam, kerong-kerong, payus, etelis, dan remang. Ketiga adalah ikan pelagis besar, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik berukuran besar, yang terdiri atas spesies antara lain : tuna mata besar, madidihang, albakora, tuna strip biru selatan, cakalang, tongkol, setuhuk/marlin, 13

29 tenggiri, layaran, ikan pedang, cucut/hiu dan lemadang. Keempat adalah ikan karang, yaitu kelompok ikan yang hidup di sekitar perairan karang, yang terdiri atas spesies antara lain : ekor kuning, pisang-pisang, kerapu, baronang, kakak tua, napoleon, dan kerondong (morai). Kelima adalah udang penaid, yaitu kelompok udang yang terdiri atas spesies antara lain : penaeid, kepiting, rajungan, rebon dan udang kipas. Berikutnya atau yang potensinya paling kecil adalah kelompok cumi-cumi dan lobster (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). Pemanfaatan sumberdaya hayati laut khususnya bidang perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya tanpa merusak kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya operasi yang serendah mungkin (Grofit, 1980). Setiadi (2003) menyatakan bahwa secara vertikal nilai densitas ikan pelagis kecil (ikan/1000 m 3 ) pada setiap strata kedalaman kecenderungannya semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Dari hasil kajian di Pulau Belitung, ikan paling banyak terdeteksi pada strata kedalaman 5-13 meter. Secara horizontal, ikan pelagis kecil lebih banyak terdeteksi pada sebelah barat dan timur dari perairan utara Pulau Belitung dengan kecenderungan lebih dominan ditemukan di perairan sebelah timur. Daerah perkiraan produktivitas tinggi dan sedang ikan pelagis spesies layang dan tongkol di Laut Cina Selatan cenderung tersebar pada perairan bagian utara (di atas 0 O ) Laut Cina Selatan dan jauh dari perairan pantai, sedangkan daerah perkiraan produktivitas tinggi dan sedang spesies selar di Laut China selatan cenderung tersebar pada perairan pantai dan di bagian selatan (di bawah 0 O ) perairan Laut Cina Selatan (Almuas dan Jaya, 2003). Pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar sebesar 88,12 %, Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,84 %, Laut Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut 14

30 Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 %. Adapun Tingkat Pemanfaatan menurut Kelompok sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan No Kelompok SDI Potensi (Ton/Th) JTB (Ton/Th) Produksi (Ton) Tingkat Pemanfaatan (%) 1 Ikan Pelagis Besar ,97 2 Ikan Pelagis Kecil ,86 3 Ikan Demersal ,40 4 Ikan Karang ,02 5 Udang Penaeid ,75 6 Lobster ,25 7 Cumi-Cumi ,10 Jumlah ,37 Sumber : BRKP DKP (2001) Dari data tingkat pemanfaatan sebagaimana pada Tabel 6, bahwa peluang pengembangan masih dapat dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan : - Laut Cina Selatan dan Natuna untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal; - Laut Flores dan Selat Makasar untuk SDI pelagis besar dan pelagis kecil; - Laut Banda untuk SDI pelagis besar; - Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram untuk SDI pelagis besar, pelagis kecil dan demersal; - WPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik untuk SDI pelagis kecil dan demersal; - Laut arafura untuk SDI pelagis kecil; - Samudera Hindia untuk SDI pelagis kecil dan pelagis besar. Demikian pula dari sisi permintaaan atau demand side, potensi dan peluang pasar hasil laut dan ikan relatif baik. Pada tahun 1994, impor dunia hasil perikanan sekitar juta ton. Indonesia termasuk peringkat ke-8 dalam produksi ikan (peringkat ke-5 untuk udang, dan peringkat ke-2 untuk tuna); peringkat ke-9 untuk ekspor ikan (peringkat ke-4 untuk udang, dan peringkat ke-1 untuk tuna). Permintaan ikan tahun 2010, diperkirakan akan mencapai 105 juta ton. Potensi pasar dalam negeri juga relatif masih baik; total konsumsi ikan dalam 15

31 negeri tahun 2001 diperkirakan sekitar 4,6 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21,71 kg/kap/tahun. Sementara itu konsumsi ikan yang direkomendasikan dalam Lokakarya Nasional Widya Karya Pangan dan Gizi untuk mencukupi kebutuhan gizi sekitar 26,55 kg/kap/tahun. Jadi masih jauh dari yang direkomendasikan (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil salah satunya adalah dengan menggunakan alat tangkap bagan rambo yang merupakan perkembangan terakhir dari bagan apung di Indonesia. Jumlah tangkapan dan keragaman spesies dengan menggunakan bagan rambo pada bulan terang dan bulan gelap menunjukkan perbedaan yang signifikan (Baskoro, et.al., 2002). Untuk mengefektifkan penangkapan ikan pelagis besar nelayan sekarang cenderung untuk menggunakan rumpon sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan agar lebih mudah, efektif dan lebih efisien. Dalam pengoperasian pole and line dan tonda di sekitar rumpon perlu diperhatikan mengenai pola waktu makan ikan dan jenis umpan yang disenangi cakalang. Sedangkan dalam pengoperasian purse seine, drift gill net perlu memperhatikan faktor jalar ruaya dan tingkah laku schooling cakalang terhadap rumpon (Simbolon, 2004). 2.5 Permasalahan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik nenjadi sesuatu yang lebih baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Simbolon dan Mustaruddin (2006) menyatakan bahwa prioritas pengembangan perikanan cakalang di perairan Sorong diarahkan pada peroduk sesuai permintaan pasar, pengembangan usaha penangkapan berkelanjutan, dan peningkatan produktivitas usaha penangkapan. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa pengembangan produk dilakukan dengan urutan prioritas 16

32 sebagai berikut : melakukan diversifikasi produk; (2) pengembangan pemasaran yang berorietasi pada kebutuhan pasar; dan (3) meningkatkan kualitas hasil tangkapan. Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: (1) Masalah mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap, dan (2) Makro-struktural (kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif) yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomi-makro, politik, hukum, maupun kelembagaan (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001) Masalah Mikro-Teknis meliputi : 1) Tingkat Kemiskinan Nelayan yang Tinggi Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya. 2) Rendahnya Produktivitas Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan/ keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 3) Gejala Tangkap Lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang (hampir 17

33 mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. 4) Rendahnya Kemampuan Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. 5) Lemahnya Kemampuan Pemasaran Produk Perikanan Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. 6) Tidak Stabilnya Harga-harga Faktor Produksi Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan 60 % biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. 7) Pengembangan Teknologi, Data, dan Informasi Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan, 18

34 sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah Makro-Struktural yang meliputi : 1) Ekonomi Makro yang Belum Kondusif bagi Kemajuan Perikanan. Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi: (1) prasarana dan sarana, (2) finansial/keuangan, (3) sumberdaya manusia dan IPTEK, dan (4) hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi. 2) Sistem Hukum dan Kelembagaan Perikanan yang Masih Lemah Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dimungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal 19

35 hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di beberapa daerah sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun antar Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan. 2.6 Memilih Keputusan yang Terbaik Dalam pengambilan keputusan akhir sering kali seorang atau sekelompok pengambil keputusan harus mempertimbangkan kriteria majemuk, termasuk diantaranya pertimbangan-pertimbangan resiko dan ketidakpastian yang mungkin dihadapi dimasa yang akan datang. Ada beberapa teknik yang bisa dipakai dalam pengambilan keputusan yang memiliki tujuan majemuk, diantaranya adalah ada beberapa program goal programming, MCDM dll (Pujawan, 1995). Ada banyak pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan multi criteria decision making, yang menurut Saaty (1991) secara umum diklasifikasikan dalam tiga pendekatan dasar, yaitu : 1) Metode Utilitas/Bobot Metode ini mengekspresikan semua tujuan dalam ukuran yang sama (single measure). Dengan demikian pengambilan keputusan multi tujuan dapat ditransformasikan menjadi model dengan satu fungsi tujuan (objective function). Permasalahan yang ada dari model ini adalah keakuratan tranformasi tujuantujuan yang berbeda kedalam satu ukuran yang sama. 2) Metode Ranking/Prioritas Metode ini digunakan sebagai ganti untuk mencari nilai utilitas/bobot, yaitu dengan menggunakan ranking prioritas untuk menunjukkan derajat 20

36 kepentingan masing-masing tujuan. Dalam metode ini semua tujuan dipertimbangkan menurut rangking atau prioritasnya dan tidak perlu ditransformasikan ke dalam satu fungsi tujuan. Untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang unggul dilakukan dengan metode skoring. Disamping itu dilakukan standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai (Haluan dan Triwiji, 1988). Fungsi nilai dilakukan dengan rumus : V ( x) = X Xi Xo Xo = = V ( A) Vi( Xi) i= 1 Untuk i = 1,2,3,,n; V(x) = Fungsi nilai dari variabel x; X = Variabel x; Xo = Nilai terburuk kriteria x; V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A; Vi(Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i; Xi = Kriteria ke-i i n Penentuan urutan prioritas jenis teknologi penangkapan ikan yang dipilih ditetapkan secara urut dari unit penangkapan ikan yang mempunyai fungsi nilai tertinggi ke unit penangkapan dengan nilai terendah. 3) Metode Solusi Efisien Metode ini tidak mempertimbangkan preferensi pengambilan keputusan namun dengan menggeneralisasikan sekumpulan solusi efisiensi dari himpunan solusi yang memenuhi konstrain. Himpunan solusi efisien adalah himpunan solusi dimana perubahan dari satu solusi ke solusi yang lain secara simultan menyebabkan perbaikan pada satu atau lebih tujuan dan penurunan sekurangkurangnya pada satu tujuan dalam nilai pemuasnya. Solusi efisien juga disebut solusi optimal pareto/solusi non dominasi. Pengambilan keputusan akan memilih solusi yang sesuai dengan preferensi diantara himpunan solusi efisien ini. 21

37 2.7 Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2000), beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penangkapan ikan yang ramah lingkungan adalah: 1) Kriteria Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Menentukan alat penangkapan ikan pelagis yang dalam operasinya produktif dan hasil tangkapannya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam pengoperasian alat tersebut juga tidak merusak lingkungan dan kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga. Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal antara lain : - selektifitas alat penangkapan ikan - tidak merusak sumberdaya dan lingkungan - meminimumkan dish catch (ikan buangan) 2) Daerah Penangkapan Ikan Pembagian daerah penangkapan yang sesuai dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan, perlunya pengaturan operasi penangkapan ikan dilapangan, dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara kelompok nelayan, baik antar nelayan tradisional maupun dengan pemilik kapal besar. Dalam hal ini perlunya peraturan yang harus dipatuhi dan penindakan hukum yang tegas untuk menjaga kelestarian fishing ground. 3) Pemanfaatan Sumberdaya perikanan harus dikelola secara wajar, agar kontribusinya terhadap nutrisi, ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk dapat ditingkatkan. 4) Peraturan Perlu diperhatikan adanya peraturan peraturan yang mengatur jalannya operasi penangkapan ikan yang menuju ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Salah satu peraturan tersebut adalah mengatur jalur jalur penangkapan ikan. 22

38 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama 6 bulan sejak bulan Maret hingga Agustus 2006, dimulai dari pengajuan proporsal penelitian dan studi pustaka, survei dan pengambilan data lapangan dilakukan bulan Juni 2006 yang kemudian dilanjutkan dengan analisis data. lokasi penelitian berbasis di Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian. Lokasi Gambar 2. Peta lokasi penelitian Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung, Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui diskusi, wawancara dan pengisian kuisioner yang terstruktur

39 dengan metode check list. Data sekunder didapatkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada. Secara umum data yang dikumpulkan terdiri dari : 1) Data potensi dan produksi sumberdaya perikanan tangkap khususnya sumberdaya perikanan pelagis, sarana dan prasarana perikanan tangkap. 2) Data sosial dan budaya yang meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 3) Peraturan dan perundangan yang meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi baik secara langsung dan tidak langsung dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap Pengumpulan data Teknis pengumpulan data dilakukan melalui : 1) Teknik survei Teknik survei dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan pada responden (wawancara) dan merekam jawabannya untuk dianalisis. Teknik wawancara yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara secara mendalam (in-depth interview), yaitu percakapan dua arah atas inisiatif pewawancara dengan memakai panduan wawancara (interview guide) pada sekelompok responden yang telah ditentukan. Keunggulan in-depth interview ini ialah adanya jaminan kedalaman dan rincian (detail) informasi yang diperoleh. Responden yang menjadi sample wawancara adalah pejabat Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bitung, pejabat Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan, galangan kapal, nelayan. 2) Teknik pengamatan (observasi) Teknis observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dengan melihat kejadian secara terencana dan langsung pada tujuan (obyek yang diteliti) untuk menghimpun data asli pada kondisi yang sebenarnya. (3) Teknik dokumentasi Teknik dokumentasi yang dimaksudkan dalam studi ini ialah proses pengumpulan dan pengkajian informasi (data sekunder) yang bersumber dari database yang meliputi buku/literatur, informasi internet, dan referensi statistik. Dokumentasi data lapangan dituangkan dalam bentuk dokumentasi foto. 24

40 3.3 Metode Analisa Data Analisis deskripsi Analisis deskripsi yang dilakukan dalam konsep strategi pengembangan armada perikanan pelagis di Kabupaten Belitung adalah menganalisis kondisi aspek perikanan tangkap di lokasi penelitian yang mencakup sumberdaya perikanan, sarana dan prasarana perikanan tangkap, proses produksi, pengolahan dan pemasaran Analisis finansial Analisis finansial yang dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Belitung meliputi perhitungan biaya investasi, biaya operasional penangkapan, biaya total, pendapatan total dan keuntungan yang dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti, Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Net Present Value (NPV). 1) Benefit-Cost Ratio Untuk pengembangan armada penangkapan ikan di daerah Kabupaten Belitung diperlukan suatu ukuran yang menyeluruh sebagai dasar pemikiran/penolakan terhadap kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan. Salah satunya adalah Benefit Cost Ratio. Pada Benefit Cost Ratio penekanannya ditujukan kepada manfaat (benefit) bagi kepentingan umum. Adapun rumus yang digunakan adalah (Arifin dan Fauzi, 2001): Nilai Sekarang Benefit ( PV ) B BCR = = Nilai Sekarang ( PV ) C Biaya Biaya C pada rumus di atas dapat dianggap sebagai biaya pertama (Cf) sehingga rumusnya menjadi : BCR = ( PV ) B Cf 25

41 Dimana : BCR = Perbandingan manfaat terhadap biaya (benefit-cost ratio) (PV) B = Nilai Sekarang Benefit (PV) C = Nilai Sekarang Biaya Adapun kriteria BCR akan memberikan petunjuk sebagai berikut : BCR > 1 Usulan proyek/kegiatan diterima BCR < 1 Usulan proyek/kegiatan ditolak BCR = 1 Netral 2) Net Present Value (NPV) NPV merupakan salah satu teknik Capital Budgeting yang dipergunakan, metode ini mempertimbangkan nilai waktu uang (Arifin dan Fauzi, 2001). NPV dapat dihitung dengan formula berikut : NPV = Present Cash inflow Present Value Investasi Penilaian cash inflow dan cash outflow yang didasarkan atas nilai sekarang atau present valuenya dapat memberikan suatu perbandingan yang lebih tepat dan aktual dengan mempertimbangkan kondisi saat ini. Suatu usaha dikatakan layak untuk dilakukan jika present value benefit lebih besar dibandingkan present value cost atau NPV > 0. Sebaliknya jika NPV < 0, merupakan indikasi bahwa usaha tersebut tidak layak dilakukan karena benefit tidak mampu menutupi cost selama umur ekonomis proyek Analisis SWOT Peningkatan pendapatan nelayan dan pencapaian tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri hanya dapat dicapai dengan mengoptimalkan produksi penangkapan, upaya penangkapan dan secara ekonomi menguntungkan. Dalam pencapaian tujuan dimaksud, maka harus dibuat suatu rencana strategi dan kebijakan yang berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku terutama pada perikanan yang bertanggung jawab yang telah dijabarkan pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995). Hal ini dilakukan agar ikan yang ditangkap ukurannya selektif dan belum mencapai MSY (Maximum Sustainable Yield) dan MEY (Maximum Economic Yield). 26

42 Untuk mengetahui strategi dan kebijakan yang akan diambil, maka dilakukan analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor internal yaitu kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal, yaitu peluang (Opportunity) dan ancaman (Threats). Hasil identifikasi faktor-faktor tersebut dituangkan dalam matriks IFAS (Internal Strategic Factor Analysis) dan matriks EFAS (External Strategic Factor Analysis) yang diberi bobot sesuai tingkat kepentingan. Kisaran bobot yang digunakan antara 0,0 1,0. Semakin tinggi bobot yang diberikan mengindikasikan faktor tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang semakin tinggi. Selain hasil identifikasi diberi rating dengan skala mulai 4 (out standing) sampai dengan 1 (poor) untuk kekuatan dan peluang, sebaliknya untuk kelemahan dan ancaman rating yang diberikan merupakan invers dari nilai-nilai tersebut (Rangkuti, 2003). Salusu (1996) dalam analisis SWOT menggunakan istilah TOWS, yaitu ingin mendahulukan analisis ancaman dan peluang untuk melihat sejauh mana kapabilitas internal sesuai dan cocok dengan faktor-faktor eksternal. Dalam analisis TOWS ada empat strategi yang ditampilkan. Strategi SO dipakai untuk menarik keuntungan dari peluang yang tersedia dalam lingkungan eksternal. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Strategi ST digunakan untuk menghindari, paling tidak memperkecil dampak dari ancaman yang datang dari luar. Strategi WT adalah taktik yang diarahkan pada usaha memperkecil kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Hasil identifikasi factor-faktor internal dan ekstrenal selkajutnya dianalisis dengan matriks SWOT (Strenghts, Weakness, Opportunity, Threat) untuk menentukan strategi yang akan diterapkan. Berdasarkan arah strategi yang akan diperoleh melalui matriks SWOT, dirancang strategi pengembangan armada perikanan pelagis di Kabupaten Belitung. Analasis SWOT menurut Rangkuti (2003) disajikan pada Tabel 7. 27

43 Tabel 7. Model matriks analisis SWOT Faktor Eksternal Faktor Internal Kekuatan Strengths (S) Kelemahan Weakness (W) Peluang Opportunities (O) Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Menciptakan strategi Ancaman yang menggunakan Threats (T) kekuatan untuk mengatasi ancaman Sumber : Rangkuti (2003). Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman 28

44 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada sampai Bujur Timur dan sampai Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : di sebelah Barat dengan Selat Bangka, di sebelah Timur dengan Selat Karimata, di sebelah Utara dengan Laut Natuna, dan disebelah Selatan dengan Laut Jawa. Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total luas wilayah mencapai ,14 km 2. Luas daratan lebih kurang ,14 km 2 atau 20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih km 2 atau 79,9 persen dari total wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah daratan terbagi dalam 6 kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Bangka dengan luas wilayah 2.950,68 km 2 ; Kabupaten Bangka Barat dengan luas 2.820,61km 2 ; Kabupaten Bangka Tengah dengan luas 2.155,77 km 2 ; Kabupaten Bangka Selatan dengan luas wilayah 3.607,08 km 2 ; Kabupaten Belitung luas wilayah 2.293,69 km 2 ; Belitung Timur 2.506,91 km 2 dan Kota Pangkalpinang dengan luas wilayah 89,40 km 2. Gambar 3 dan Tabel 8 menunjukkan luas wilayah daratan menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Bangka Belitung. Bangka Barat 17% Bangka Tengah 13% Bangka Selatan 22% Bangka 18% Pangkalpinang 1% Belitung Timur 15% Belitung 14% Gambar 3. Persentase luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

45 Tabel 8. Luas wilayah daratan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kabupaten/Kota Luas Wilayah (km 2 ) Persentase 1. Bangka 2.950,68 17,97 2. Bangka Barat 2.820,61 17,17 3. Bangka Tengah 2.155,77 13,13 4. Bangka Selatan 3.607,08 21,96 5. Belitung 2.293,69 13,97 6. Belitung Timur 2.506,91 15,26 Jumlah ,14 100,00 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2005 Kepulauan Bangka Belitung merupakan gugusan dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang sekitarnya dikelilingi pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil yang mengitari Pulau Bangka antara lain Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa, Panjang, Tujuh dan pulau-pulau kecil lainnya. Sedangkan Pulau Belitung dikelilingi antara lain pulau Nasik, Lima, Lengkuas, Melindung, Selanduk, Seliu, Nadu, Mendanau, Batu Dinding, Sumedang dan pulau kecil lainnya. 4.2 Keadaan Alam Keadaan cuaca Kelembaban udara di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2004 berkisar antara 72% sampai dengan 89% dengan rata-rata perbulan mencapai 81,00%, curah hujan berkisar antara 2,4 mm sampai dengan 460,2 mm, tekanan udara selama tahun 2004 sekitar 1.010,1 MBS. Rata-rata suhu udara selama tahun 2004 di propinsi ini mencapai 27,3 0 C dengan rata-rata suhu udara maksimum 31,9 0 C dan rata-rata suhu udara minimum 24,1 0 C. Suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan suhu udara 33,1 0 C, sedangkan untuk suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret dengan suhu udara sebesar 23,3 0 C. 30

46 4.2.2 Keadaan iklim Kepulauan Bangka Belitung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi angin musim yang mengalami bulan basah selama tujuh bulan sepanjang tahun dan bulan kering selama tiga bulan terus menerus. Tahun 2004 bulan kering terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Oktober dengan rata-rata hari hujan 6 hari per bulan. Untuk bulan basah rata-rata hari hujan 19,8 hari per bulan, terjadi pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli dan bulan November sampai dengan bulan Desember Tipologi Keadaan alam Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar merupakan dataran rendah, lembah dan sebagian kecil pegunungan dan perbukitan. Ketinggian dataran rendah rata-rata sekitar 50 meter di atas permukaan laut dan ketinggian daerah pegunungan antara lain untuk gunung Maras mencapai 699 meter, gunung Tajam Kaki ketinggiannya kurang lebih 500 meter diatas permukaan laut. Sedangkan untuk daerah perbukitan seperti bukit Menumbing ketinggiannya mencapai kurang lebih 445 meter dan bukit Mangkol dengan ketinggian sekitar 395 meter diatas permukaan laut Hidrologi Daerah Kepulauan Bangka Belitung dihubungkan oleh perairan laut dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan daratan dan perairan Bangka Belitung merupakan satu kesatuan dari bagian dataran Sunda, sehingga perairannya merupakan bagian Dangkalan Sunda (Sunda s Shelf) dengan kedalaman laut tidak lebih dari 30 meter. Sebagai daerah perairan, Kepulauan Bangka Belitung mempunyai dua jenis perairan yaitu perairan terbuka dan perairan semi tertutup. Perairan terbuka yang terdapat di sekitar pulau Bangka terletak di sebelah utara, timur dan selatan pulau Bangka. Sedangkan perairan semi tertutup terdapat di selat Bangka dan teluk Kelabat di Bangka Utara. Sementara itu perairan di pulau Belitung umumnya bersifat perairan terbuka. Disamping sebagai daerah perairan laut, daerah Kepulauan Bangka Belitung juga mempunyai beberapa sungai seperti : sungai Baturusa, sungai 31

47 Buluh, sungai Kotawaringin, sungai Kampa, sungai Layang, sungai Manise dan sungai Kurau. 4.3 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Belitung sudah sejak lama dikenal sebagai pusat usaha pertambangan timah di Indonesia. Pertambangan timah oleh kolonial Belanda di Pulau Belitung dimulai sejak abad 19. Kekayaan tambang yang melimpah ini, telah memanjakan daerah ini hanya bertumpu pada sektor pertambangan. Seiring dengan berjalannya waktu, kandungan timah makin menurun dan diikuti dengan rendahnya harga timah, menyadarkan pemerintah daerah untuk mencari alternatif penggerak ekonomi daerah setempat. Salah satu sektor yang diandalkan adalah sektor kelautan dan perikanan, dimana sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat memegang peranan penting dalam roda perekonomian di Kabupaten Belitung mengingat daerah ini secara geografis merupakan wilayah kepulauan yang memiliki potensi yang besar dalam sektor kelautan dan perikanan. Dari segi geografis Pulau Belitung terletak di selatan khatulistiwa pada koordinat BT dan LS. Luas wilayah darat Kabupaten Belitung yang memanjang mulai dari Kecamatan Sijuk sampai Kecamatan Membalong ± km 2 ditambah wilayah laut sejauh 4 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas ± km 2. Kabupaten Belitung terdiri dari lima Kecamatan, yaitu : Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Membalong, Kecamatan Sijuk, Kecamatan Selat Nasik, dan Kecamatan Badau, dengan batasan wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan; (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa; (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar; (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dendang dan Kecamatan Kampit (Kabupaten Belitung Timur). Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 98 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut sebagian besar merupakan pulau karang yang dilengkapi terumbu karang yang masih baik dan keragaman ikan yang indah. Pada beberapa lokasi pantainya dilengkapi dengan batu putih yang 32

48 muncul dari permukaaan laut. Letak geografis tersebut di atas merupakan modal alami yang bermanfaat untuk pengembangan perikanan tangkap, budidaya ikan dan wisata bahari. Gambar 4. Peta pengembangan pulau-pulau kecil di Kabupaten Belitung Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bangka Belitung, Kondisi topografi Kondisi kontur tanah Kabupaten Belitung, secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu permukaan/kontur tanah datar dan permukaan tanah yang bergelombang sampai berbukit. Kontur tanah yang datar dijumpai di dataran rendah dekat pesisir pantai, sedangkan permukaan tanah yang bergelombang dan cenderung berbukit dapat dijumpai di wilayah pedalaman yang jauh dari pesisir pantai. Daerah tertinggi di Kabupaten Belitung hanya memiliki ketinggian 500 m dari permukaan laut dengan puncak ketinggian berada di daerah Gunung Tajam. 33

49 Keadaan tanah di Kabupaten Belitung didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alluvial serta batuan granit. Sumberdaya tersebut menyebar secara merata di seluruh wilayah kecamatan, kecuali batuan alluvial yang tidak terdapat di Kecamatan Selat Nasik Keadaan iklim Kabupaten Belitung beriklim tropis dan basah dengan variasi curah hujan bulanan berkisar antara 86,6 mm sampai 443,3 mm dan jumlah hari hujan 11 sampai 30 hari setiap bulannya. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Januari. Temperatur udara berkisar antara 21,8 0 C sampai 32,1 0 C dengan kelembaban udara bervariasi antara 82% sampai 91% dan tekanan udara antara 1008,4 mb sampai 1010,5 mb. Kabupaten Belitung dipengaruhi pula oleh iklim laut dan angin musim yang berubah-ubah sepanjang tahun. Hal tersebut mempengaruhi musim-musim penangkapan ikan yang dikenal dengan istilah musim barat, musim timur, musim utara dan musim selatan Keadaan perairan Perairan di Kabupaten Belitung terdiri dari laut, pantai, dan perairan umum (kolong, rawa, dan sungai). Perairan laut disekitar pulau Belitung umumnya tidak terlalu dalam antara meter, sedangkan yang sedikit lebih jauh mencapai meter. Dasar laut umumnya berpasir dan berlumpur disertai batu karang. 4.4 Potensi Kelautan dan Perikanan Mangrove dan terumbu karang Kabupaten Belitung memiliki luas hutan mangrove ha dan terumbu karang seluas ha. Kedua daerah ini merupakan wilayah konservasi dan merupakan tempat bertumbuh kembangnya populasi ikan, udang, kepiting dan kekerangan. Kawasan mangrove yang ada di Kabupaten Belitung yang berpotensi sebagai pertambakan terletak di Kecamatan Selat Nasik, Membalong dan Sijuk. 34

50 4.4.2 Perikanan tangkap Seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung memiliki kawasan perikanan yang merupakan daerah penghasil ikan laut. Maximum Sustainable Yield (MSY) perikanan Kabupaten Belitung kurang lebih ton per tahun. Berdasarkan catatan Dinas Perikananan dan Kelautan Kabupaten Belitung tingkat pemanfaatan baru mencapai + 50 % dari potensi yang ada, yaitu dengan nilai produksi sebesar ton pada tahun 2005, atau meningkat sebesar 2,00% dari produksi tahun 2004 sebesar ton. Dari keseluruhan produksi yang tercatat tersebut, kontribusi terbesar diberikan oleh Kecamatan Selat Nasik sebesar 29,41% diikuti berturut-turut Kecamatan Membalong 21,31%, Kecamatan Sijuk 20,44%, Kecamatan Tanjung Pandan 16,59% dan Kecamatan Badau 12,43% (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung, 2005). Jenis ikan yang ditangkap sangat beragam, akan tetapi lebih dari 60% merupakan jenis-jenis ikan pelagis, yaitu lemuru, selar, tongkol, tenggiri, dan teri. Sedangkan sisanya terdiri dari ikan karang seperti kerapu, kakap merah; ikan dasar seperti manyung, cucut, bawal; dan jenis non ikan seperti cumi-cumi, kepiting, udang dan teripang. Jumlah produksi perikanan tangkap menurut kecamatan di Kabupaten Belitung tersaji pada Tabel 9 berikut : Tabel 9. Jumlah produksi perikanan tangkap di Kabupaten Belitung periode No Kecamatan Jumlah Produksi (ton) Tanjung Pandan 6.839, ,10 2 Membalong 8.706, ,04 3 Sijuk 7.898, ,72 4 Badau 5.072, ,03 5 Selat Nasik , ,11 Jumlah , ,00 Sumber :Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung, Produksi hasil perikanan tangkap dari laut diusahakan oleh nelayan yang terdiri atas nelayan tetap dan nelayan tidak tetap (sambilan). Jumlah nelayan di Kabupaten Belitung pada tahun 2005 sebanyak orang. 35

51 Pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan perairan Belitung semakin berkembang dikarenakan tingginya permintaan pasar akan ikan konsumsi segar seperti ikan kerapu, ikan kakap, ikan ekor kuning, ikan pisang-pisang, ikan tenggiri dan sebagainya. Ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi tersebut ditangkap di perairan Belitung dengan berbagai jenis alat tangkap seperti pancing, jaring, perangkap dan jenis alat tangkap lainnya. Penyebaran jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Belitung dapat dilihat pada Tabel 10 berikut: Tabel 10. Jumah dan jenis alat tangkap menurut kecamatan di Kabupaten Belitung, No Kecamatan Jaring Perangkap Pancing Lainnya Jumlah (unit) (unit) (Unit) (Unit) (Unit) 1 Tanjungpandan Membalong Sijuk Badau Selat Nasik Jumlah Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung, Produksi hasil perikanan tangkap di laut dicapai dari usaha sejumlah armada yang ada di Kabupaten Belitung terdapat sejumlah unit armada penangkap ikan pada tahun Penyebaran unit-unit armada terlihat lebih memusat di Kecamatan Sijuk, dan sisanya menyebar diseluruh Kecamatan sebagaimana tersaji pada pada Tabel 11, sedangkan Gambar 5 menunjukkan salah satu armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung. Tabel 11. Jumlah dan jenis armada penangkapan ikan di Kabupaten Belitung No Kecamatan PTM KM < 5 KM 5 ~ KM > GT 10 GT 10 GT Jumlah (unit) (unit) (Unit) (Unit) (Unit) 1 Tanjungpandan Membalong Sijuk Badau Selat Nasik Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung,

52 Gambar 5. Salah satu armada penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Dalam rangka meningkatkan usaha perikanan tangkap, selain sarana dan prasarana untuk mendukung penangkapan, dibutuhkan juga sarana-sarana untuk mendukung mutu hasil tangkapan yaitu berupa pabrik es, cold storage dan cool room. Sarana-sarana ini untuk kebutuhan usaha perikanan di Kabupaten Belitung tersedia di Kecamatan Tanjungpandan dan Kecamatan Sijuk dengan kapasitas produksi yang relatif masih rendah. Salah satu penunjang untuk menjaga mutu ikan hasil tangkapan adalah tersedianya es. Gambar 6 berikut menunjukkan salah satu pabrik es mini yang terletak di sekitar Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tanjung Pandan. 37

53 Gambar 6. Pabrik es yang terdapat di lokasi penelitian Di wilayah Kabupaten Belitung telah berdiri sebanyak 7 pabrik es dengan kapasitas produksi sebanyak 103 ton per hari (Tabel 12). Jika rata-rata produksi seluruh pabrik es yang ada 75% dari kapasitas produksi, maka jumlah es yang tersedia setiap harinya adalah 77,25 ton. Tabel 12. Jumlah dan kapasitas pabrik es di Kabupaten Belitung No Nama Perusahaan Jumlah Kapasitas Unit (ton) 1 PT. Central Jaya Mandiri CV. Mawar Dinas Perikanan dan Kelautan PPN Tanjungpandan PT. Parit Mujur Sejahtera 2 32 Total Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung, Pengolahan dan pemasaran Kuantitas tangkapan ikan yang cenderung mengalami peningkatan menyebabkan perlunya pemasaran untuk menampung seluruh tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan. Permintaan pasar oleh komoditas perikanan tidak selalu 38

54 dalam bentuk segar. Oleh karena itu perlu diversifikasi produk untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Produk olahan ikan di Kabupaten Belitung sangat beragam, mulai yang diproses secara tardisional sampai modern. Pengolahan tradisional dicirikan dengan skala usaha yang relatif kecil serta dikelola secara perseorangan atau kelompok. Adapun pengolahan modern umumnya dikelola oleh perusahaan perikanan skala usaha yang relatif besar. Kegiatan pengolahan yang tergolong tradisional diantaranya pembuatan abon ikan, terasi, pengasinan ikan, pengeringan tripang, pembuatan kerupuk. Sedangkan kegiatan pengolahan yang tergolong modern antara lain pengupasan kepiting dan pembekuan ikan. Produk perikanan yang yang dihasilkan baik bentuk segar maupun plahan ditujukan untuk memenuhi pasar lokal maupun antar pulau. Meskipun demikian ada beberapa produk yang setelah transit di daerah lain langsung di ekspor ke Singapore atau Malaysia. Sedangkan daerah utama produk perikanan Kabupaten Belitung tujuan domestik adalah Jakarta, Bangka, Pangkalpinang. Berikut adalah produksi yang tercatat pada tahun 2005 dan dipasarkan adalah sebanyak 2.934,63 ton dengan rincian sebagai berikut : (1) pengiriman antar pulau ikan segar : 1.605,99 ton ikan olahan/asin : 640,00 ton ikan beku : 279,15 ton (2) ekspor : 409,49 ton 39

55 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan armada perikanan pelagis di Kabupaten Belitung masih dihadapkan pada beberapa permsalahan yang sifatnya krusial. Permasalahan tersebut dapat menjadi faktor penghambat pengembangan armada di masa yang akan datang jika tidak dilakukan pengkajian secara matang. Permasalahan yang dimaksud mencakup informasi tentang potensi sumberdaya, teknologi penangkapan, sarana dan prasarana pendukung, kegiatan distribusi dan pemasaran komoditas maupun aspek pendukung pengembangan armada seperti kebijakan pemerintah dan peran lembaga keuangan. 5.1 Keragaan Perikanan Tangkap Kondisi perairan laut Kabupaten Belitung sangat besar dan 20% wilayah perairannya merupakan perairan karang. Dengan kewenangan pengelolaan perikanan sejauh 4 mil maka luas wilayah laut kabupaten ini mencapai 2.925,56 km 2. Luasnya wilayah perairan kabupaten ini didukung dengan kondisi perairan yang sangat subur karena merupakan daerah terumbu karang serta lokasi pertemuan arus. Dengan kondisi perairan laut tesebut menyebabkan aktivitas penangkapan ikan menjadi kegiatan yang sangat berkembang di wilayah ini Armada penangkapan ikan Armada penangkapan ikan yang digunakan di Kabupaten Belitung umumnya sudah dilengkapi dengan mesin, baik motor tempel maupun in-board. Walaupun demikian, masih ada perahu tanpa motor yang digunakan sebagai sarana penangkap ikan walaupun kecenderungannya tiap tahun menurun. Armada penangkapan ikan yang terdaftar dan beroperasi di Kabupaten Belitung dalam tahun 2005 berjumlah unit kapal/perahu, yang terdiri dari perahu tanpa motor, kapal motor ukuran kurang dari 5 GT, dan kapal motor ukuran 5 10 GT. Armada kapal penangkap ikan didominasi oleh kapal motor ukuran kurang dari 5 GT, yaitu sebesar unit atau 76,55% dari total armada yang ada. Selanjutnya diikuti oleh armada perahu tanpa motor sebesar 566 unit

56 atau 22,28% dari total armada, sedangkan sisanya adalah kapal motor dengan ukuran 5-10 GT sebanyak 30 unit atau 1,17% dari total armada. Kapal perikanan ukuran di atas 30 GT jarang dijumpai di Kabupaten Belitung, walaupun ada kapal tersebut umumnya berasal dari daerah lain yang melakukan penangkapan di wilayah perairan sekitar Kabupaten Belitung (nelayan andon). Kapal-kapal yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis adalah kapal motor yang berukuran 5 10 GT dengan menggunakan alat tangkap jaring insang, dan pancing dengan daerah jangkauan disekitar perairan kewenangan Kabupaten. Strategi untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Belitung adalah dengan menstrukturisasi armada melalui motorisasi dalam arti menggantikan armada kapal ukuran kurang dari 5 GT menjadi kapal ukuran 5-10 GT atau lebih besar dari 10 GT untuk dapat menjangkau daerah penangkapan ikan yang lebih jauh. Tabel 13. Seleksi aspek teknis kapal penangkap ikan di Kabupaten Belitung dengan metode skoring Kapal CPUE (ton/trip) Fungsi Nilai Produktivitas per tahun (ton) Fungsi Nilai Jarak Jangkauan Penangkapan Fungsi Nilai Total Rataan fungsi Nilai Rawai Hanyut , Rawai Tetap , Pukat Cincin Jaring Insang Hanyut , Jaring Lingkar Pancing Tonda , Rank ing Berdasarkan Tabel 13 di atas, seleksi terhadap aspek teknis 6 (enam) kapal penangkap ikan yang umum digunakan untuk menangkap ikan pelagis di Kabupaten Belitung dengan metode skoring didapatkan bahwa berdasarkan tingkat CPUE ternyata kapal jaring insang lingkar dan jaring insang hanyut mempunyai nilai fungsi yang paling besar; dari segi produktivitas ternayata kapal rawai hanyut dan jaring insang hanyut mempunyai nilai fungsi yang paling tinggi, sedangkan dari dari segi jarak jangkauan penangkapan kapal rawai hanyut, jaring insang hanyut dan jaring insang hanyut mempunyai nilai fungsi yang tinggi. 41

57 Secara keseluruhan berdasarkan rataan nilai fungsi, maka dapat diranking sesuai urutan sebagai berikut : kapal jaring insang hanyut, kapal rawai hanyut, kapal pancing tonda, kapal jaring lingkar, kapal rawai tetap dan kapal purse seine. Kapal purse seine yang menempati rangking terakhir perlu dikembangkan dengan cara pengadaan kapal purse seine ukuran di atas 10 GT atau agar dapat beroperasi lebih jauh lagi dari wilayah jalur 1 bahkan sampai ke territorial. Untuk penangkapan ikan pelagis kecil purse seiner merupakan sarana penangkapan yang efektif, khusus untuk purse seiner pelagis besar dapat beroperasi di daerah penangkapan ikan yang telah dipasang rumpon. Rawai hanyut dan jaring insang hanyut mendominasi untuk penangkapan ikan pelagis, baik pelagis kecil maupun pelagis besar. Sebagian besar armada kapal rawai hanyut dan jaring insang hanyut berukuran 5 10 GT, bahkan ada yang kurang dari 5 GT. Untuk itu perlu dikembangkan ukuran kapal yang lebih dari 10 GT agar jangkauan penangkapan lebih jauh lagi Alat penangkap ikan Secara umum eksploitasi potensi sumberdaya perikanan oleh nelayan di Kabupaten Belitung umumnya menggunakan alat penangkap ikan yang terdiri dari kelompok jaring yang terdiri dari purse seine, pukat kantong, jaring insang, jaring angkat,, perangkap dan pancing. Sebaran penggunaan jenis alat tangkap relatif tidak merata di seluruh wilayah Kabupaten Belitung Kelompok jaring mendominasi keragaan alat penangkap ikan yang penyebarannya terbesar oleh nelayan di Kecamatan Sijuk, sedangkan alat penangkap dari kelompok perangkap banyak digunakan nelayan di Kecamatan Membalong. Alat penangkap ikan dari kelompok pancing banyak digunakan nelayan di Kecamatan Membalong, Sijuk, dan Tanjungpandan. Faktor topografi daerah penangkapan diduga menjadi penyebab perbedaan tersebut Produksi perikanan Berdasarkan data statistik perikanan Kabupaten Belitung, selama periode tahun 2004 sampai dengan 2005 terdapat peningkatan produksi hasil tangkapan ikan sebesar 2,00% dari produksi sebelum tahun 2004 sebesar ,14 ton. Dari total produksi yang dihasilkan, lebih kurang 60% merupakan jenis ikan 42

58 pelagis. Kontribusi produksi terbesar dihasilkan dari Kecamatan Selat Nasik dan selanjutnya diikuti oleh Kecamatan Membalong, Sijuk, Tanjung Pandan, dan Badau. Beberapa komoditas yang mempunyai nilai ekonomis dari komoditas ikan pelagis, demersal, dan ikan karang, dan cumi-cumi di perairan Kabupaten Belitung berdasarkan metode skoring disajikan pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Seleksi komoditas ikan di Perairan Kabupaten Belitung dengan metode skoring No 1 Nama Komoditi Ikan Nilai Produksi (Rp) Fungsi Nilai Harga (Rp/Kg) Fungsi Nilai Wilayah Pemasaran Fungsi Nilai Nilai Tambah Fungsi Nilai Total Rataan Fungsi Nilai Bawal Hitam 36,878,450-13, Rank ing 2 Kuwe 39,789, , Kurisi 43,282, , Selar 45,549, , Kerapu 45,761, , Kembung 52,386, , Tongkol 53,597, , Ikan Merah 62,597, , Cumicumi 96,577, , Tenggiri 128,910, , Keterangan : Untuk Wilayah Pemasaran : 1 = Lokal ; 2 = Nasional ; 3 = Internasional Untuk Nilai Tambah : 1 = Rendah ; 2 = Tinggi ; 3 = Sangat Tinggi Berdasarkan data pada Tabel 14 tersebut di atas, dari 10 komoditas terdapat lima jenis komoditas unggulan utama yaitu ikan tenggiri, cumi-cumi, kerapu, kembung, dan tongkol. Komoditi ikan tenggiri yang merupakan sumberdaya ikan pelagis cukup dominan di lokasi penelitian, mengingat ikan tenggiri bernilai ekonomis tinggi sehingga ikan ini sebagian besar pemasarannya dilakukan ke manca negara diantaranya ke Malaysia dan Singapore. 43

59 5.1.4 Prasarana perikanan Sebagai upaya menunjang pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal di Kabupaten Belitung telah tersedia fasilitas-fasilitas pendukung baik yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun pihak-pihak swasta yang telah berinvestasi di Kabupaten Belitung. 1) Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan yang terdapat di Kabupaten Belitung adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tanjung Pandan. PPN Tanjung Pandan terletak di muara sungai cecuruk di sebelah selatan kota Tanjung Pandan. Posisi pelabuhan ini sangat strategis karena dekat dengan fishing ground dan pusat pemasaran baik domestik (Jakarta, Palembang, dan Pekanbaru) maupun luar negeri (Malaysia dan Singapura) Dengan kondisi fasilitas yang relatif baik telah berdampak pada jumlah kunjungan kapal ke PPN Tanjung Pandan. Pada tahun 2004, frekuensi kunjungan kapal ke pelabuhan ini mencatat unit. Kapal-kapal tersebut terdiri dari kapal penangkap ikan dengan tonase rata-rata < 10 GT dan kapal pengangkut ikan dengan tonase berkisar antara 10 GT sampai 60 GT. Untuk melayani kebutuhan operasional kapal-kapal yang berbasis di pelabuhan ini, PPN Tanjung Pandan bekerjasama dengan pihak swasta/perusahaan dalam hal penyediaan perbekalan. Perusahaan tersebut umumnya berdomisili di dalam areal PPN Tanjung Pandan. Investasi swasta dalam bidang penampungan ikan, gudang ikan, cold storage, pabrik es, depot es, toko bahan dan alat penangkapan ikan, penyaluran BBM serta penyelenggaraan pelelangan. 2) Tempat Pelangan Ikan Tempat pelelangan ikan (TPI) tersebar di Kecamatan Tanjungpandan (2 buah), Kecamatan Membalong (3 buah), dan Kecamatan Selat Nasik (1 buah). Dari 6 (enam) TPI yang ada, 4 (empat) diantaranya berada dalam kondisi rusak sehingga aktivitas pelelangan tidak terjadi. TPI yang masih dalam kondisi baik salah satunya berlokasi PPN Tanjungpandan sebagaimana pada Gambar 7. 44

60 Gambar 7. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tanjungpandan 3) Galangan Kapal Untuk melayani kegiatan pembuatan, perbaikan, dan perwatan kapal tersedia fasilitas galangan kapal kayu. Galangan kapal yang ada di Kabupaten Belitung sebanyak 11 buah, umumnya kepemilikan galangan didominasi oleh perortangan, namun ada juga yang dimiliki oleh pemerintah Pengolahan dan pemasaran Kuantitas tangkapan ikan yang cenderung mengalami peningkatan menyebabkan perlunya saluran pemasaran untuk menampug seluruh tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan. Permintaan pasar terhadap komoditas perikanan tidak selalu dalam bentuk segar, oleh sebab itu perlu diversifikasi produk untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Produk olahan ikan di Kabupaten Belitung sangat beragam, mulai yang diproses secara tradisional sampai modern. Pengolahan tradisional dicirikan 45

61 dengan skala usaha yang relatif kecil serta dikelola secara perorangan atau kelompok. Adapun pengolahan modern umumnya dikelola oleh perusahaan perikanan dengan skala usaha yang relatif besar. Kegiatan pengolahan yang tergolong tradisional diantaranya pembuatan abon ikan, terasi, pengasinan ikan, pengeringan teripang, pembuatan kerupuk. Sedangkan kegiatan pengolahan yang tergolong modern antara lain pengupasan kepiting dan pembekuan ikan. Masalah utama yang sering dihadapi pelaku pasar dalam pemahaman pasar adalah terbatasnya data base yang diperlukan untuk alokasi hasil tangkapan dan produk olahan. Produk perikanan yang dihasilkan baik dalam bentuk segar maupun olahan ditujukan untuk memenuhi pasar lokal maupun antar pulau. Meskipun demikian, ada beberapa produk yang setelah transit di daerah lain langsung diekspor ke Singapura dan Malaysia. Daerah tujuan utama produk perikanan Belitung untuk pasar domestik adalah Jakarta, Bangka, Pangkalpinang. Terbukanya peluang pemasaran serta dibarengi potensi perikanan pelagis yang ebsar merupakan tantangan bagi pengembangan usaha perikanan pelagis di Kabupaten Belitung. Peluang tersebut harus dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dengan penataan pemanfaatan sumberdaya. Salah satu solusi untuk mencapai hal tersebut adalah pengelolaan yang baik yang diiringi dengan kebijakan yang tepat. Selain itu peran lembaga keuangan dalam memfasilitasi distribusi dan pemasaran produk sangat penting 5.2 Keragaan Armada Penangkapan Ikan Pelagis Hasil survei menunjukan bahwa armada yang ada di Kabupaten Belitung umumnya masih berskala kecil dan menggunakan teknologi penangkapan yang masih sederhana. Jenis teknologi penangkapan yang dominan untuk menangkap komoditi ikan pelagis unggulan (tenggiri, tongkol, kembung, selar, ekor kuning) di Kabupaten Belitung adalah jaring insang hanyut dan rawai hanyut. Spesifikasi jairng insang yang digunakan dengan mesh size 4 inci tertangkap 235 ekor ikan tongkol dalam keadaan tingkat kematangan gonad yang tinggi dan siap memijah. Penggunaan jaring insang dengan mesh size 4 inci kurang selektif dari sisi kelestarian sumberdaya ikan. 46

62 Pada uraian berikut dibahas keragaan dari masing-masing teknologi penangkapan ikan pelagis yang meliputi unit penangkapan serta metode operasi yang dipergunakan Jaring insang hanyut 1) Kapal Jaring insang merupakan alat tangkap yang bersifat dinamis. Oleh karena itu pengoperasian alat tangkap jaring mutlak dibutuhkan sarana operasi yang berfungsi sebagai wadah menempatkan alat tangkap serta hasil tangkapan. Wahana yang umum digunakan nelayan untuk mengoperasikan jaring adalah kapal kayu dengan dimensi panjang berkisar antara 12,5-15 m; lebar antara 1,6-2,1 m dan dalam antara 1,3-1,7 m. Berdasarkan dimensi tersebut diketahui GT kapal yang digunakan berukuran antara 4,4-9,9 GT. Jenis material kayu yang biasa dipakai sebagai bahan pembuat perahu meliputi seruk, terutum, leban, asao, resak, dan cempedak. Mesin yang digunakan untuk menggerakkan kapal yaitu mesin inboard berkekuatan PK yang berbahan bakar solar. Mesin dengan kekuatan PK didominasi oleh merk Jiandong dan Dongfeng sedangkan mesin kekuatan umumnya merupakan hasil modifikasi mesin mobil merk Isuzu Panther dan Mitsubishi PS 100 dan PS 120. Mekanisme pergerakan kapal dimulai dari perputaran mesin yang menggerakkan propeler melalui poros/as. Bentuk profil propeler yang umum digunakan adalah ellips dengan dua maupun tiga bilah. Propeler dua bilah dipasang pada mesin berkekuatan kecil sedangkan yang tiga bilah dipasang pada mesin berkekuatan besar. Material yang umum digunakan dalam pembuatan propeler adalah kuningan. Kapal jaring insang di Kabupaten Belitung seluruhnya sudah dilengkapi dengan palkah dan rumah kapal (Gambar 8). Palkah kapal berjumlah 1-3 buah dengan volume sebesar 1,52.-5,40 m 2 per palkah. Pada prakteknya palkah hanya dipergunakan sebagai tempat penyimpanan jangkar dan alat tangkap, sedangkan untuk menyimpan hasil tangkapan nelayan menggunakan cool box. Hal ini disebabkan jenis palkah yang digunakan tidak diinsulasi. Posisi palkah terletak pada bagian haluan kapal, tepat di depan rumah kapal. Fungsi utama rumah kapal 47

63 adalah untuk melindungi nelayan dari panas dan hujan selama trip penangkapan. Oleh karena posisinya yang relatif terlindung maka rumah kapal difungsikan sebagai ruang kemudi pada bagian depan dan dapur pada bagian belakang. Sebagai ruang kemudi, dalam rumah kapal biasanya diletakkan peralatan standar komunikasi dan navigasi seperti kompas, radio komunikasi dan fish finder. Bentuk rumah kapal berbeda-beda ada yang berbentuk kubus dan ada pula yang berbentuk persegi panjang. Variasi tersebut tergantung dari selera pemilik. Dari semua kapal yang diidentifikasi terlihat bahwa rumah kapal selalu diposisikan tepat ditengah-tengah kapal. Gambar 8. Kapal jaring insang hanyut di Kabupaten Belitung 2) Alat Tangkap Jaring insang yang digunakan untuk mengakap ikan pelagis terdiri dari serangkaian badan jaring yang terbuat dari bahan nylon multifilament serta dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Dalam sistem klasifikasi Indonesia, alat tangkap yang digunakan nelayan di Kepulauan Bangka Belitung tergolong dalam golongan jaring insang hanyut. Konstruksi umum alat tangkap terdiri atas 4 48

64 bagian, yaitu: (1) jaring (2) tali ris atas, (3) pelampung, dan (4) pemberat. Untuk setiap operasi penangkapan ikan jaring insang dirangkaikan sebanyak pis. Jaring insang hanyut pada bagian jaringnya dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu badan jaring dan kaki jaring. Dalam satu bagian jaring perbedaan antara badan jaring dan kaki jaring dengan mudah diidentifikasi dari jenis bahan yang digunakan. Badan jaring terbuat dari benang nylon multifilament berwarna hijau dengan ukuran mata jaring yang digunakan bervariasi antara 3,5-4 inci. Fungsi utama badan jaring adalah tempat tertangkapnya ikan baik secara gilled, snagged, wedged bahkan kadang-kadang tertangkap secara engtangled. Bagian kaki jaring pada prinsipnya merupakan pengganti dari pemberat. Hal tersebut tercermin dari material konstruksi berupa nylon yang telah dilapisi dengan timah. Dalam industri material jaring, bahan yang dimaksud dikenal dengan nama saran. Umumnya tidak ada perbedaan ukuran mata jaring antara bagian badan jaring dan kaki jaring. Satu pis jaring memiliki panjang antara m, sedangkan tinggi jaring bervariasi antara 16,5-22 m. Dimensi tinggi jaring sudah merupakan akumulasi bagian badan jaring dan kaki jaring. Adapun rincian tinggi badan jaring berkisar antara m sedangkan kaki jaring berukuran antara 1,5-2 m. Tali ris pada alat tangkap jaring insang hanyut berfungsi sebagai tempat melekatnya pelampung dan pemberat. Sehubungan dengan tidak adanya kontruksi tali ris bawah pada jaring maka pemasangan pemberat dilakukan dengan cara digantungkan pada bagian kaki jaring. Tali ris atas dibentuk dari 2 (dua) utas tali berbahan PE. Seutas tali memiliki diameter besar sedangkan tali yang lainnya berdiameter lebih kecil. Variasi ukuran tali yang digunakan pada setiap jaring insang sangat dipengaruhi selera dari pemilik alat tangkap. Dari hasil pengamatan, nelayan umumnya menggunakan diameter tali 7 mm 2 dan 5 mm 2. Agar kedua utas tali menyatu dengan baik maka setiap jarak cm diikat dengan tali PE diameter 1 mm 2. Tali ris berdiameter kecil diperuntukkan sebagai tempat melekatnya tali pelampung sedangkan tali ris berdiameter besar digunakan sebagai tempat melekatnya badan jaring. Sementara itu pelampung berfungsi menghasilkan gaya apung sebagai reaksi dari gaya berat yang dihasilkan oleh jaring serta pemberat. Konfigurasi kedua gaya ini memberikan jaminan ketegangan jaring saat dioperasikan. Ada dua 49

65 jenis pelampung yang dipakai dalam konstruksi jaring di Kepulauan Bangka Belitung yaitu pelampung tanda dan pelampung jaring. Pelampung tanda dibentuk dari bambu yang dikombinasikan dengan styroform pada bagian tengah dan pemberat yang terbuat dari semen pada bagian bawah. Styroform dan pemberat diposisikan pada tempat dimana pelampung dapat mengapung di perairan namun tetap stabil diterpa ombak. Agar mudah terlihat pada saat pengoperasian maka pada bagian atas pelampung tanda dipasang lampu senter atau lampu minyak. Dalam pengoperasian jaring, jumlah pelampung tanda yang digunakan hanya satu buah yang dipasang pada jaring pertama. Pelampung jaring yang dipasang untuk setiap pis jaring insang berjumlah 3-4 buah, tergantung selera pemilik alat tangkap. Jarak pemasangan pelampung berkisar antara 10-12,5 m. Pada bagian ujung jaring jumlah pelampung yang dipasang biasanya lebih banyak. Material pelampung yang umum digunakan terbuat dari plastik berwarna putih berbentuk lonjong dengan variasi demensi panjang dan diameter adalah 10 dan 30 cm serta 15 dan 45 cm. Pelampung diikatkan pada tali ris atas dengan menggunakan tali PE sepanjang 3-6 m dengan diameter tali 5-7 mm 2. Nelayan di Kabupaten Belitung tidak menggunakan pemberat dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan beranggapan bahwa gaya berat sudah cukup dihasilkan oleh kaki jaring. Jika pemberat dipasang pada alat tangkap, biasanya bobotnya hanya sekitar 250 gr. Sebagai pemberat umumnya digunakan batu. Untuk setiap pis jaring hanya dipasang sebanyak 2 buah pemberat yang diletakkan pada masing-masing ujung jaring. Pemberat dihubungkan ke jaring dengan seutas tali berbahan PE dan berdiameter 2 mm 2. Panjang tali pemberat tergantung dari keinginan nelayan, namun dari hasil pengukuran umumnya berkisar antara cm. Agar alat tangkap tidak hilang, maka dibutuhkan penghubung antara kapal dengan alat tangkap. Konstruksi tali selambar didesain untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai penghubung, tali selambar diikat pada tali ris atas pada satu sisi dan haluan kapal pada sisi lainnya. Bahan tali selambar yang umumnya terbuat dari PE dengan diameter 8-9 mm. Nelayan memiliki preferensi tersendiri terhadap panjang tali selambar yang digunakan namun umumnya berkisar antara m. 50

66 Gambar 9. Ilustrasi pemasangan jaring insang hanyut 3) Nelayan Nelayan merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan. Hal-hal yang menjadi penentu diantaranya skill, jumlah nelayan serta organisasi kerja yang diterapkan. Penangkapan ikan pelagis dengan jaring biasanya dilakukan oleh 4-5 orang nelayan. Namun pada kasus tertentu operasi penangkapan sudah dapat dilakukan meskipun hanya dengan 2 orang nelayan. Sistem kerja yang dibebankan pada masing-masing nelayan berbedabeda. Seorang nelayan bertugas sebagai nahkoda sekaligus fishing master yang menentukan dimulainya operasi penangkapan. Adapun nelayan lainnya bertugas dalam pengoperasian alat tangkap baik dalam kegiatan penurunan dan penarikan jaring, sortir hasil tangkapan serta penyusunan kembali jaring dalam palkah. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah 50 % untuk nelayan dan 50% untuk pemilik. Pembagian ini diberlakukan setelah seluruh biaya operasional dikeluarkan dari penerimaan penjualan ikan. Dalam pembagian hasil untuk nelayan, tidak ada perbedaan prosentase pendapatan berdasarkan peranan dalam penangkapan. Nahkoda dan nelayan akan mendapat porsi yang sama terhadap pendapatan bagi hasil. Pada kasus dimana pemilik berperan sebagai nahkoda maka akan diberikan bagi hasil yang berasal dari nelayan dan juga pemilik sehingga pendapatan yang diterima ganda. 51

67 4) Operasi Penangkapan Ikan Tahapan pengoperasian jaring insang hanyut terdiri atas beberapa tahapan yaitu persiapan, pencarian fishing ground, penurunan jaring (setting), perendaman (soaking), pengangkatan jaring (hauling) dan penanganan hasil tangkapan. (1) Tahap persiapan Persiapan operasi penangkapan dilakukan sebelum memulai trip penangkapan. Pada tahap ini dipersiapkan seluruh kebutuhan logistik operasi penangkapan serta pemeriksaan kondisi kapal, mesin dan penempatan alat tangkap yang dilakukan oleh nahkoda. Persiapan kebutuhan logistik yang meliputi solar, es, air tawar dan ransum umumnya dilakukan oleh pemilik kapal/nahkoda atau perusahaan yang bermitra dengan nelayan. Jangka waktu persiapan dapat memakan waktu hingga 2 hari karena kendala dalam pengadaan solar dan es. (2) Pencarian lokasi penangkapan Pencarian lokasi tangkapan dipimpin langsung oleh nahkoda yang sekaligus berperan sebagai fishing master. Dalam penentuan lokasi penangkapan, nahkoda mengacu pada kebiasaan pribadi dan pengalaman nelayan jaring insang hanyut lainnya. Lama trip penangkapan berlangsung antara 3-5 hari tergantung lokasi tangkapan yang dituju. (3) Penurunan jaring Bila lokasi penangkapan ikan telah ditemukan dan dianggap potensial maka penurunan jaring siap dilakukan. Penurunan jaring dilakukan pada sore hingga malam hari, yaitu antara pukul WIB. Untuk satu hari operasi umumnya jaring hanya diturunkan satu kali. Teknis penurunan jaring dimulai dengan menurunkan pelampung tanda yang diikuti dengan penurunan badan jaring hingga pelampung terakhir diturunkan. Aktivitas penurunan jaring biasanya dilakukan pada sebelah kanan kapal bagian haluan. Pada akhir tahap setting, tali selambar diikatkan pada bagian haluan kapal. Lama penurunan untuk satu rangkaian jaring sebanyak 40 pis berlangsung selama 30 menit. (4) Perendaman Lama perendaman jaring insang hanyut sangat tergantung pada kondisi bulan. Pada awal bulan lama perendaman hanya berkisar antara 3-4 jam, sedangkan pada akhir bulan perendaman dapat dilakukan hingga 9 jam. Satu hal yang 52

68 menjadi acuan nelayan dalam menentukan lama perendaman adalah jika bulan mulai timbul maka secepatnya harus dilakukan pengangkatan jaring. Sembari menunggu waktu pengangkatan jaring beragam aktivitas dilakukan oleh nelayan diantaranya istirahat, membersihkan dek kapal dan adapula yang memancing ikan. (5) Penarikan jaring Penarikan jaring umumnya dilakukan sebelum bulan mulai terang. Mekanisme penarikan jaring dimulai dengan pengangkatan pelampung jaring, penarikan badan jaring tiap pis dan diakhiri dengan pengangkatan pelapung tanda. Untuk satu rangkaian jaring sebanyak 40 pis dibutuhkan waktu hauling sekitar 2-3 jam. Waktu tersebut dapat dipersingkat menjadi 1,5-2 jam dengan jalan menarik jaring sambil menjalankan kapal ke arah depan. (6) Penanganan hasil tangkapan Penanganan hasil tangkapan diawali dengan pengambilan ikan yang terjerat pada mata jaring. Ikan-ikan yang telah terlepas diletakkan di geladak kapal sampai seluruh rangkaian jaring dinaikkan ke atas kapal. Sebelum dimasukkan ke dalam cool box, ikan terlebih dahulu disiram dengan air laut dan selanjutnya disortir menurut jenis dan ukuran. Cool box diisi dengan es curah sekitar 1 balok dan disusun sedemikian rupa hingga seluruh bagian tubuh ikan tertutup es. Variasi penanganan lain yang sering dipraktekkan oleh nelayan jaring insang hanyut adalah dengan mencampur es curah dengan air laut. Berdasarkan pengalaman nelayan, dengan metode penanganan tersebut maka setelah 5 hari operasi maka jumlah ikan yang dikategorikan rijek tidak mencapai 10% dari hasil tangkapan. Pada kondisi saat hasil tangkapan melimpah, kegiatan penanganan tidak dapat berlangsung secara optimal karena pembersihan serta pemberian es tidak dapat dilakukan secara total. Pemberian es hanya diperuntukkan bagai ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi Rawai hanyut 1) Kapal Untuk mengoperasikan rawai hanyut, nelayan umumnya menggunakan kapal yang terbuat dari kayu seruk. Dimensi kapal yang digunakan nelayan di 53

69 Kabupaten Belitung berkisar antara 10-13,5 m untuk panjang (LOA), 1,6-2,1 m untuk lebar (B) dan 1,1-1,7 m untuk dalam (D). Dari dimensi tersebut maka diketahui bahwa tonase kapal berkisar antara 3,49 sampai 9,9 GT. Gambar 8 menunjukkan kapal pancing rawai hanyut. Gambar 10. Kapal rawai hanyut di Kabupaten Belitung Mesin penggerak yang umum digunakan pada kapal rawai hanyut adalah mesin inboard berkekuatan PK yang berbahan bakar solar. Seperti halnya kapal jaring insang, merk mesin yang dominan digunakan adalah pada kapal pancing adalah Dongfeng dan Jiandong terutama untuk mesin dengan kekuatan PK. Adapun mesin dengan kekuatan PK umumnya merupakan hasil modifikasi mesin mobil merk Isuzu Panther dan Mitsubishi PS 100 dan PS 120. Demikian halnya dengan jenis propeler yang dipasang, umumnya digunakan propeller dengan bentuk propeller ellips dengan dua maupun tiga bilah yang terbuat dari bahan kuningan. Propeler dua bilah dipasang pada mesin berkekuatan kecil sedangkan yang tiga bilah dipasang pada mesin berkekuatan besar. Seluruh kapal pancing di Kabupaten Belitung telah dilengkapi dengan palkah dan rumah kapal. Rumah kapal terletak dibagian tengah kapal dan 54

70 berfungsi sebagai ruang kemudi sekaligus ruang navigasi dan komunikasi kapal. Bentuk rumah kapal pada kapal pancing ada yang persegi panjang dan ada pula yang kubus. Jumlah palkah pada kapal pancing berkisar antara 2-4 buah dengan volume tiap palkah antara 1,64-3,12 m 3. Palkah-palkah yang terdapat pada kapal pancing tidak berinsulasi sehingga hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan jangkar. Untuk menyimpan hasil tangkapan nelayan menggunakan cool box. Jumlah cool box yang dibawa oleh setiap kapal bervariasi antara 2-4 buah. Dari hasil pengamatan, letak palkah umumnya berada dibagian haluan kapal. Pada beberapa sampel pengamatan ditemukan pula palkah yang terletak tepat dibelakang rumah kapal. Variasi jumlah palkah serta posisinya pada kapal sangat tergantung pada selera pemilik. 2) Alat Tangkap Nelayan di Kabupaten Belitung menggunakan rawai hanyut untuk menangkap ikan pelagis. Seperangkat pancing garandong terdiri atas roller, tali, swivel (optional), kail dan pemberat. Roller berfungsi sebagai sarana penggulung tali agar tidak kusut saat setting maupun hauling. Tali pancing dirangkai hingga terbentuk satu struktur tali yang disebut tali utama (main line). Bahan yang digunakan tali tesebut adalah nylon monofilament berwarna putih. Nelayan umumnya menggunakan bahan dengan nomor untuk tali utama sedangkan untuk branch line ukuran yang lebih kecil, yaitu nomor 200. Fungsi kail adalah sebagai tempat melekatkan umpan sehingga ikan tertarik memakannya dan akhirnya tertangkap pada bagian ini. Nelayan biasanya memadukan antara nomor pancing 9 dan 7 atau 6 dan 8. Pada saat pemasangan kail pada tali diusahakan agar mata kail menghadap keatas. Pemberat berfungsi untuk merenggangkan tali agar pergerakan umpan menjadi tampak natural. Untuk itu maka bagian ini diletakkan setelah kail. Bahan yang umum digunakan sebagai pemberat adalah timah dengan berat berkisar antara gr. 55

71 Gambar 11. Ilustrasi alat tangkap rawai hanyut 3) Nelayan Operasi penangkapan ikan pelagis dengan pancing biasanya dilakukan oleh 3-4 orang nelayan (ABK). Setiap ABK memiliki peran yang sama yaitu sebagai pemancing. Pendapatan masing-masing nelayan didasarkan pada sistem bagi hasil. Sistem yang berlaku adalah 50% untuk nelayan dan 50% untuk pemilik. Pembagian ini diberlakukan setelah seluruh biaya operasional dikeluarkan dari penerimaan penjualan ikan. 4) Operasi Penangkapan Tahapan pengoperasian rawai hanyut terdiri atas beberapa tahapan yaitu persiapan, pencarian fishing ground, setting dan hauling serta penanganan hasil tangkapan. (1) Tahap persiapan Sebelum memulai operasi penangkapan, terlebih dahulu dilakukan persiapanpersiapan yang meliputi pemenuhan kebutuhan logistik serta pemeriksaan kondisi kapal dan mesin. Pemeriksaan kondisi kapal biasanya dilakukan oleh nahkoda. Adapun persiapan kebutuhan logistik melaut seperti solar, es, air tawar dan ransum dilakukan oleh pemilik kapal ataupun perusahaan yang menjadi mitra nelayan. Karena adanya kendala dalam pengadaan kebutuhan logistik terutama es dan solar maka tahap persiapan dapat memakan waktu hingga 2 hari. 56

72 (2) Pencarian lokasi penangkapan Acuan utama yang digunakan dalam penentuan lokasi penangkapan adalah kebiasan/pengalaman nelayan. Berdasarkan informasi dari nelayan rawai hanyut, indikator lokasi penangkapan ikan pelagis adalah daerah sekitar karang yang masih relatif dekat dengan pulau serta daerah-daerah yang banyak dipasang rumpon. Oleh karena jarak fishing ground yang dimaksud dari fishing base berbeda-beda maka waktu pencarian lokasi penangkapan juga bervariasi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa fishing ground ikan pelagis yang terjauh berada di sekitar Pulau Serutu, Kalimantan Barat. Untuk mencapai wilayah tersebut dibutuhkan waktu sekitar 14 jam dari PPN. Tanjungpandan. (3) Setting Operasi penangkapan dengan rawai hanyut dilakukan pada malam hari antara jam sampai dengan pagi. Setelah tiba di lokasi yang dituju kapal lego jangkar dan langsung dilakukan persiapan penangkapan yang meliputi persiapan umpan, persiapan alat bantu penangkapan. Nelayan umumnya menggunakan tembang (S. fimbrata) dan kembung (Rastrelliger sp) sebagai umpan. Setelah umpan dipasang, pancing segera diturunkan. Untuk menangkap ikan pelagis biasanya pancing dipasang hingga kedalaman m. Pada saat musim ikan, sekitar 5 menit setelah pancing diturunkan, umpan langsung dilahap oleh ikan pelagis. (4) Penanganan hasil tangkapan Pancing yang dimakan oleh ikan pelagis ditarik mendekati kapal. Setelah dekat ikan lalu digancu pada bagian insang. Sesaat setelah ikan berada di atas kapal, bagian kepalanya dipukul dengan menggunakan pentungan yang terbuat dari kayu. Tujuannya agar ikan cepat mati sehingga proses rigor mortis dapat berlangsung lebih cepat. Setelah mati, ikan dicuci dengan air laut lalu dimasukkan ke cool box yang telah diisi es. 57

73 5.3 Tinjauan Aspek Finansial Tinjauan aspek finansial dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kelayakan pengembangan usaha armada penangkapan dilihat dari sudut pandang investasi. Parameter penilaian kelayakan didasarkan pada 3 kriteria yaitu NPV, IRR dan Net B/C ratio. Nilai NPV menunjukkan rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan ( ) pada tingkat diskonto tertentu. Ketika nilai NPV > 0 maka disimpulkan bahwa kegiatan pengembangan layak dilaksanakan. Nilai IRR menggambarkan tingkat diskonto yang mampu dibayar oleh usaha sehingga keuntungan yang diperoleh sama dengan nol. Ketika nilai IRR> tingkat diskonto yang ditetapkan maka kegiatan pengembangan dinyatakan layak dilakukan. Adapun nilai net B/C ratio merujuk pada besaran keuntungan yang diperoleh dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 1. Perubahan kondisi perekonomian yang sangat dinamis belakangan ini menyebabkan terjadinya peningkatan harga bahan bakar (solar) sebesar 104%. Peningkatan harga solar tersebut diperkirakan menyebabkan kenaikan komponen biaya sebesar 20%. Dari hasil analisis, saat penerimaan tetap dengan DF (Discount Factor) 18% maka pengembangan usaha penangkapan baik dengan rawai hanyut maupun jaring insang hanyut tetap layak dilakukan. Berdasarkan hasil analisis, secara umum kegiatan penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut dan jaring insang hanyut baik ukuran kapal < 5 GT maupun 5-10 GT layak dikembangkan (Lampiran 1, 2, 3, dan Lampiran 4). Nilai NPV pada alat tangkap pancing ulur dengan ukuran kapal < 5 GT tercapai pada kondisi awal yaitu sebesar Rp ,-. Pada kondisi tersebut, usaha dapat mengembalikan bunga pinjaman pada tingkat diskoto hingga %. Rasio benefit-cost yang diperoleh yaitu Kondisi serupa juga terjadi pada alat tangkap rawai hanyut dengan ukuran kapal < 10 GT dimana nilai NPV tertinggi tercapai pada kondisi awal, yaitu sebesar Rp ,-. Kemampuan pengembalian bunga pinjaman pun hanya mencapai 159,55%. Besarnya nilai Net B/C ratio usaha yaitu sebesar Sementara itu nilai NPV tertinggi pada alat tangkap jaring insang hanyut dengan ukuran kapal < 5 GT yaitu sebesar Rp ,-. Pada kondisi 58

74 tersebut, usaha dapat mengembalikan bunga pinjaman pada tingkat diskoto hingga %. Rasio benefit-cost yang diperoleh pun relatif tinggi yaitu Kondisi serupa juga terjadi pada alat tangkap jaring insang hanyut dengan ukuran kapal < 10 GT dimana nilai NPV yaitu sebesar Rp ,-. Kemampuan pengembalian bunga pinjaman pun sangat tinggi mencapai %. Kemampuan pengembalian bunga yang sangat tinggi diindikasikan pula dengan besarnya nilai Net B/C ratio usaha yaitu sebesar Dari hasil perhitungan yang didapat maka keuntungan yang didapat tidak sebanyak disaat harga BBM belum meningkat sebesar 104%. Tidak hanya harga BBM yang naik tapi dengan meningkatnya harga BBM maka berpengaruh terhadap harga barang yang lain sehingga biaya operasional naik hingga 60%. Ditinjau dari struktur penerimaan nelayan dari bagi hasil, maka upah yang diterima nelayan baik rawai hanyut maupun jaring insang hanyut relatif tinggi. Pada alat tangkap rawai hanyut dengan ukuran kapal < 5 GT, nelayan menerima bagi hasil sebesar Rp ,- tiap tahun, sementara itu untuk kapal ukuran < 10 GT nelayan menerima bagi hasil sebesar Rp ,-. Jika diasumsikan jumlah nelayan dengan ukuran kapal < 5 GT adalah 4 orang, maka setiap nelayan akan menerima upah sekitar Rp ,- per tahun atau rata-rata Rp ,- per bulan. Sementara itu untuk nelayan rawai hanyut dengan ukuran kapal < 10 GT adalah 6 orang maka nelayan menerima upah sekitar Rp ,- per tahun atau rata-rata Rp ,- per bulan. Untuk alat tangkap jaring insang hanyut dengan ukuran kapal < 5 GT bagi hasil yang diterima nelayan lebih tinggi yaitu Rp ,- per tahun. Dengan asumsi jumlah nelayan sebanyak 4 orang maka setiap nelayan rata-rata memperoleh upah Rp ,- per tahun atau rata-rata Rp ,- per bulan. Sementara itu untuk jaring insang hanyut dengan ukuran kapal < 10 GT bagi hasil yang lebih tinggi yaitu : Rp ,- per tahun. Dengan asumsi jumlah nelayan 6 orang maka setiap nelayan rata-rata memperoleh upah Rp ,-. Meskipun pendapatan yang diterima nelayan relatif tinggi namun realitasnya kehidupan nelayan (ABK) yang ada di wilayah ini masih penuh dengan keterbatasan. Berdasarkan hasil wawancara, masih banyak nelayan (ABK) 59

75 khususnya yang muda memiliki gaya hidup hedonisme yaitu menghabiskan uang yang diterima untuk berfoya-foya. 5.4 Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Pelagis Penentuan arah pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung bersandar pada analisis SWOT yang bersumber dari hasil analisis holistik terhadap faktor internal dan faktor eksternal yang diperkirakan mempengaruhi pengembangan armada di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis SWOT ditentukan prioritas strategi pengembangan yang akan dijadikan acuan pembuatan strategi pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung. Berikut disajikan diagram alir pengkajian arah pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung (Gambar 10). Mulai Data : Kekuatan Kelemahan Ancaman Peluang Tentukan Matriks IFAS dan EFAS Sesua :i Bobot >=0; <=1 Rating >=1;<= 5 Tidak Ya Tentukan Matriks SWOT Ya Sesuai Tidak Ya Cetak Prioritas Strategi Pengembangan Selesai Gambar 12. Diagram alir pengkajian arah pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung 60

76 Faktor internal bermuara pada identifikasi kekuatan dan kelemahan yang selanjutnya dituangkan dalam matriks Internal Factor Analysis Strategic. Adapun faktor eskternal berisi hasil identifikasi peluang dan ancaman dan dituangkan dalam bentuk matriks External Factor Analysis Strategic yang diberi bobot sesuai dengan tingkat kepentingannya. Kisaran bobot yang digunakan berkisar antara 0,0-1,0. Semakin tinggi bobot yang diberikan mengindikasikan faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang semakin tinggi. Selain bobot hasil identifikasi diberi rating dengan skala mulai 5 (out standing) sampai dengan 1 (poor) untuk kekuatan dan peluang, sebaliknya untuk kelemahan dan ancaman rating yang diberikan merupakan invers dari nilai-nilai tersebut. Berdasarkan inputan data faktor internal yaitu kekuatan diantaranya : tersedianya sumberdaya ikan pelagis yang cukup, armada penangkapan cukup tersedia, sumber nelayan berlimpah, dukungan dari Departemen Kelautan dan Perikanan, tersedianya alternatif pembiayaan investasi; sedangkan kelemahannya : baiay operasional armada penangkapan tinggi, terbatasnya daya dukung infrastruktur yang tersedia, rendahnya pendidikan nelayan, sistem perizinan armada penangkapan, fasilitas permodalan tidak mendukung usaha perikanan. Faktor eksternal yang terinput yaitu peluang yang mencakup : jaringan pemasaran komoditas perikanan internasional, regional, dan lokal, sebagai kawasan perikanan barat Indonesia, peluang pengembangan teknologi yang lebih baik, ditetapkannya program investasi oleh pemerintah; sedangkan ancaman mencakup : penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, adanya praktek IUU fishing, adanya gangguan perompakan. Berdasarkan faktor internal dan eksternal tersebut di atas, maka strategi yang diambil adalah melalui : (1) pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif, (2) peningkatan armada perikanan ikan pelagis, (3) pembenahan sistem perizinan armada penangkapan, (4) pembenahan sarana penangkapan ikan, (5) pembenahan sistem permodalan, (6) motorisai armada perikanan ikan pelagis, (7) perbaikan kegiatan monitoring, controlling, dan surveilance. Matriks IFAS dan EFAS pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung disajikan pada Tabel 15 dan 16 berikut. 61

77 Tabel 15. Matriks analisis faktor strategi internal (IFAS) pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung Kode Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Skor Bobot X Skor Kekuatan (Strenght) S1 Sumberdaya ikan pelagis cukup tersedia S2 Armada penangkapan cukup tersedia S3 Sumberdaya nelayan berlimpah S4 S5 Departemen Kelautan dan Perikanan mendukung Tersedianya alternatif pembiayaan investasi Kelemahan (Weakness) W1 W2 Biaya operasional armada penangkapan tinggi Daya dukung beberapa infrastruktur penunjang usaha penangkapan terbatas W3 Rendahnya pendidikan nelayan W4 W5 Sistem perizinan armada penangkapan Kemungkinan Pengembangan Pemanfaatan sumberdaya secara rasional Mendukung peningkatan produksi ikan pelagis Mempermudah proses usaha perikanan ikan pelagis Mendukung usaha perikanan ikan pelagis Mempercepat proses pengembangan perikanan ikan pelagis Penyediaan bantuan biaya operasional Penyediaan infrastruktur penunjang penangkapan Peningkatan kualitas SDM para awak kapal dengan pelatihan dan pembinaan Perbaikan sistem perizinan Fasilitas permodalan tidak mendukung usaha perikanan Perbaikan permodalan Total 1.00 Tabel 16. Matriks analisis faktor strategi eksternal (EFAS) pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung Kode Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Skor Bobot X Skor Peluang (Opportunity) Jaringan pemasaran komoditas O1 perikanan Internasional, regional dan lokal Propinsi Bangka Belitung menjadi O2 etalase kawasan perikanan barat Indonesia Peluang penerapan teknologi yang O3 lebih baik Ditetapkannya program intensif O4 investasi oleh pemerintah Ancaman (Threats) T1 Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan Kemungkinan Pengembangan Inventarisasi dan identifikasi permintaan pasar Peningkatan usaha perikanan ikan pelagis di Propinsi Bangka Belitung Peningkatan produksi T2 Adanya praktik IUU Peningkatan skala usaha penangkapan ikan pelagis Upaya peningkatan kesadaran bersama perihal pengelolaan sumberdaya Perbaikan manajemen sumberdaya T3 Adanya gangguan perompakan Perbaikan sistem pengawasan Total

78 Dengan: Nilai 1 = tidak penting, Nilai 2 = sedikit penting, Nilai 3 = cukup penting, Nilai 4 = penting, dan Nilai 5 = sangat penting Berdasarkan faktor-faktor strategis pengembangan armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung dianalisis pula Matriks SWOT untuk menggambarkan relasi diantara faktor-faktor yang ada. Hubungan antara faktorfaktor tersebut menghasilkan 7 kemungkinan strategi pengembangan usaha yang dikelompokkan dalam 4 strategi utama, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT (Tabel 16). Tabel 17. Matriks SWOT pengembangan usaha perikanan ikan pelagis di Kabupaten Belitung No Unsur SWOT Strategi SO 1 SO1 Strategi ST 2 ST1 Strategi WO 3 WO1 4 WO2 5 WO3 6 WO4 Strategi WT 7 WT1 Keterkaitan Pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif S1,S4,S5,O1,O2,O4 Motorisasi armada perikanan ikan pelagis S1,S2,S3,S4,S5,T1,T2,T3 Peningkatan SDM para nelayan W3,O2,O3 Pembenahan sistem perizinan armada penangkapan W4,O1,O2 Pembenahan sarana penangkapan ikan W2,O1,O2 Pembenahan sistem permodalan W1,W5,O1,O2,O4 Perbaikan kegiatan monitoring, controlling dan surveilance W3, T1, T2, T3 Jumlah Bobot Ranking Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut pada Tabel 17 tersebut di atas dapat dipergunakan sebagai arahan dan kebijakan dari program pengembangan armada penangkapan ikan pelagis. Urutan kebijakan berdasarkan hasil SWOT sebagai berikut : 63

79 (1) Motorisasi armada perikanan ikan pelagis Armada penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung di dominasi armada berukuran kurang dari 5 GT. Jika dilihat dari analisis finansial maka armada penangkapan baik rawai hanyut maupun jaring insang hanyut masih layak dikembangkan tetapi dengan potensi yang berlimpah maka kemungkinan untuk pengembangan yaitu dengan menangkap di jalur 2 (6-12 mil). Untuk menjangkau sumberdaya ikan pelagis di jalur 2 maka dibutuhkan armada penangkapan dengan ukuran lebih besar dari 10 GT. Namun ini semua tidak serta merta bisa dilakukan dengan mudah, karena memerlukan modal yang besar dan belum tentu dapat dijangkau oleh nelayan. Oleh karena itu perlu kerjasama antara pemertintah setempat pemerintah pusat dan para stakeholder yang terlibat dalam usaha penangkapan ikan untuk mencari solusi yang tepat dalam rencana motorisasi armada perikanan. (2) Pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif Usaha penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Belitung cukup menjanjikan jika dikembangkan dengan maksimal. Terlihat dari hasil analisis kelayakan finansial didapat bahwa usaha penangkapan ikan pelagis layak dikembangkan. Banyak faktor yang menyebabkan agar usaha penangkapan berhasil diantaranya yaitu : sumberdaya yang cukup, infrastruktur yang lengkap, dukungan pemerintah daerah dan pusat, permodalan yang cukup, sumberdaya manusia yang terlatih dan sebagainya. Usaha penangkapan harus ditunjang dari berbagai pihak yaitu pihak internal maupun eksternal yang terlibat dalam usaha ini. (3) Pembenahan sistem permodalan Untuk mengatasi rendahnya aksesibiltas nelayan terhadap sumber permodalan maka dikembangkan konsep perbankan mikro. Fokus pembiayaan pada perbankan mikro adalah usaha kecil/sederhana. Skim kredit yang ditawarkan pun lebih fleksibel serta didukung oleh birokrasi yang sederhana. Dengan begitu maka seharusnya pihak pemerintah daerah setempat melakukan kerjasama dengan pihak lembaga keuangan untuk merealisasikannya. Namun pemerintah pusat juga memiliki program dalam rangka pemberdayaan 64

80 ekonomi masyarakat pesisir untuk membantu nelayan kecil guna mendapatkan modal agar usahanya berkembang. (4) Pembenahan sistem perizinan armada penangkapan Sistem perizinan sudah diatur dengan peraturan yang telah disusun dengan baik. Namun kenyataannya di lapangan seringnya terjadi pelanggaran mengenai sistem perizinan armada di lapangan. Kapal-kapal yang memiliki ukuran lebih besar dari 30 GT yang seharusnya memiliki izin dari pusat terkadang hanya memiliki izin dari pihak Provinsi sehingga jika terjadi pemeriksaan di laut akan terjadi pelanggaran yang mengakibatkan terhambatnya proses operasi penangkapan. Seharusnya ada kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setempat baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten untuk mematuhi setiap aturan yang berlaku sehingga tumpang tindih kewenangan. (5) Pembenahan sarana penangkapan ikan Pengembangan sarana penangkapan di Kabupaten Belitung juga diarahkan pada upaya peningkatan taraf hidup nelayan melalui peningkatan pendapatan para nelayan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengaplikasikan sistem multipurpose gear/vessel. Pada sistem ini, kegiatan penangkapan tidak hanya dilakukan dengan satu jenis alat tangkap saja namun dikombinasikan dengan alat tangkap lain. Infrastruktur pendukung pengembangan usaha perikanan yang tersedia di Kabupaten Belitung relatif lengkap. Hanya saja fasilitas pendukung infrastruktur belum memadai sehingga pemanfaatannya kurang optimal. Salah satunya adalah ketersediaan es, solar dan air bersih. Kendala ketersediaan es dan solar tergambar dari sulitnya nelayan memperoleh es dan solar saat hendak melaut. Kendala air bersih pun terlihat dari tingginya kandungan-kandungan bahan kimia yang terdapat pada sumber air bersih serta sulitnya memperoleh air bersih terutama pada musim kemarau. Oleh karena itu agar operasi penangkapan dapat berjalan secara optimal maka penyediaan fasilitas pendukung infrastruktur segera direlaisasikan. 65

81 (6) Perbaikan kegiatan monitoring, controlling dan surveilance Perairan Kabupaten Belitung dan Laut Cina Selatan merupakan daerah yang rawan kegiatan perompakan serta pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing. Salah satu cara untuk mengatasi kegiatan pengawasan adalah pembentukan sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS). Siswasmas adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan secara bertanggungjawab. Prosedur kerja siswasmas dimulai dari identifikasi tindak pidana perikanan oleh kapal-kapal penangkap ikan asing/indonesia karena pelanggaran wilayah perairan maupun penggunaan alat tangkap yang dilarang. Masyarakat/kelompok masyarakat yang menemukan pelanggaran tersebut dapat melaporkan ke pihak yang berwenang untuk selanjutnya dilakukan tindakan pengejaran dan penangkapan. Secara operasional nelayan dapat membentuk kelompok-kelompok penangkapan (cluster) yang terdiri atas beberapa kapal dan beroperasi di daerah yang relatif berdekatan. Setiap anggota kelompok dilengkapi dengan fasilitas komunikasi yang dapat langsung diakses oleh stasiun pengawas dan kelompok-kelompok penangkapan lainnya. Saat terjadi tindakan perompakan maka dengan cepat informasi dapat segera ditindaklanjuti oleh aparat berwenang. (7) Peningkatan Sumberdaya Manusia para nelayan Peningkatan sumberdaya manusia para nelayan yaitu dengan cara berbagai program antara lain melalui pendidikan dan latihan teknis, serta sosialisasi mengenai perundang-undangan dan peraturan daerah yang berlaku. Secara teknis kegiatan pembinaan dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Belitung melalui program-program rutin dinas-dinas terkait maupun pemerintah pusat. Karena para nelayan sebagai pelaku langsung usaha penangkapan ikan di lapangan perlu dikembangkan kemampuan dan keterampilannya, baik dari segi teknis penangkapan maupun peraturan yang berlaku. 66

82 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan (1) Teknologi penangkapan ikan pelagis di perairan Kepulauan Bangka Belitung didominasi oleh 2 jenis alat tangkap yaitu : jaring insang hanyut dan rawai hanyut. (2) Sumberdaya ikan pelagis terdiri dari ikan tenggiri, tongkol, ekor kuning, kembung dan selar. Armada penangkapan yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan diklasifikasikan 2 ukuran yaitu < 5 GT dan 5-10 GT. (3) Secara finansial alat tangkap jarring insang hanyut dan rawai hanyut dengan ukuran < 5 GT dan 5-10 GT layak untuk dikembangkan. (4) Strategi pengembangan untuk pengembangan armada perikanan pelagis di Kabupaten Belitung adalah : (1) Motorisasi armada perikanan ikan pelagis; (2) Pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif; (3) Pembenahan sistem permodalan; (4) Pembenahan sistem perizinan armada penangkapan; (5) Pembenahan sarana penangkapan ikan; (6) Perbaikan kegiatan monitoring, controlling dan surveilance; dan (7) Peningkatan SDM para nelayan. 6.2 Saran (1) Pemerintah Kabupaten Belitung diharapkan membuat rencana implementasi dan langkah-langkah operasional strategi pengembangan. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strategi pengembangan armada penangkapan di Kabupaten lain yang termasuk Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

83 DAFTAR PUSTAKA Alhidayat, Kajian Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kotabaru Kalimantan Selatan. Tesis. (tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal. Almuas, Indra Jaya., Studi Penentuan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis di Perairan Laut Cina Selatan Bagian Selatan Pada Musim Timur. Buletin PSP. Volume XV No. 3. Desember Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal Arifin J., dan A. Fauzi., Aplikasi Excel dalam Aspek Finansial Studi Kelayakan. PT Elek Media Komputindo. Gramedia. Jakarta. 85 hal. Bahari Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta, Desember Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Baskoro, MS., Sudirman, Ari Purbayanto., Analisis Hasil Tangkapan dan Keragaman Spesies Setiap Waktu Hauling pada Bagan Rambo di Perairan Selat Makasar. Buletin PSP. Volume XIII No. 1. April Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal Departemen Pertanian, Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/9 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perairan Republik Indonesia. Jakarta. 13 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Petunjuk Teknis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Jakarta. 18 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Tangkap. Jakarta. 12 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Pencapaian Pembangunan Perikanan Tangkap Tahun Jakarta. 22 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 104 hal. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tingkat Provinsi Tahun Kepulauan Bangka Belitung. 54 hal.

84 Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Belitung Tahun Kabupaten Bangka Belitung. 49 hal. FAO, Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome. 45 p. Grofit, E., The Fishing Technology Unit (FTU). FAO Fisheries Technical Papaers. FAO. Rome. 48 p. Haluan, J. dan Triwiji Nurani., Penerapan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Buletin Jurusan PSP. Volume II No.1. Fakultas Perikanan IPB Bogor. Bogor. Hal Kesteven, G.L Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No FAO. Rome. 43 P. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta. Hal 2-8. Monintja, D Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 156 hal. Pujawan Analisa Keputusan. Ganeca Exact Bandung. 78 hal. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Produksi Ikan dari Hasil Penangkapan di Laut. Jakarta. 40 hal. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal Saaty, T.L., Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Seri Manajemen No PT. Pustaka Binaman Presindo. Jakarta. 112 hal. Salusu, J Pengambilan Keputusan Stratejik. Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Penerbit PT. Grasindo. Jakarta. 536 hal. Setiadi, D Pendugaan Densitas dan Sebaran Ikan-Ikan Pelagis Kecil dengan Sistem Akustik Bim Terbagi di Perairan Utara Belitung pada Bulan April Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal

85 Simbolon, D., Suatu Studi Tentang Pengembangan Sumberdaya Ikan Cakalang dan Teknologi Penangkapan yang Ramah Lingkungan. Buletin PSP. Volume XIII No. 1. April Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal Simbolon, D., Mustaruddin Prioritas Pengembangan Sistem Perikanan Cakalang di Perairan Sorong. Buletin PSP. Volume XV No. 2 Agustus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal

86 LAMPIRAN

87 Lampiran 1. Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan jaring insang hanyut < 5 GT No Uraian TAHUN PROYEK A PENERIMAAN KAS 1 Penjualan ikan 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 2 Nilai sisa 3,685,000 TOTAL PENERIMAAN KAS 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 84,000,000 87,685,000 B PENGELUARAN KAS 1 Investasi Kapal 12,000, Mesin utama & mesin bantu 6,000,000 6,000,000 6,000,000 Jaring 35,000,000 35,000,000 Jangkar + tali 100, , , ,000 Peti fiber 1,000,000 1,000,000 Jerigen solar + air 375, , , ,000 Lampu Petromaks 200, , , ,000 2 Operasional Solar 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 10,000,000 Oli 460, , , , , , , , , ,000 Es 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 4,220,000 Air tawar 180, , , , , , , , , ,000 Konsumsi 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 3 Biaya perbaikan dan perawatan Perbaikan kasko kapal 280, , , , , , , , , ,000 Perawatan mesin 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 Perawatan alat tangkap 240, , , , , , , , , ,000 4 Bagi Hasil Usaha (Upah ABK) 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 32,070,000 TOTAL PENGELUARAN KAS 54,675,000 53,450,000 53,450,000 54,125,000 59,450,000 53,450,000 90,125,000 53,450,000 59,450,000 54,125,000 53,450,000 C SALDO BERSIH (54,675,000) 30,550,000 30,550,000 29,875,000 24,550,000 30,550,000 (6,125,000) 30,550,000 24,550,000 29,875,000 34,235,000 D DF (18%) E SALDO TERDISKONTO (54,675,000) 25,889,831 21,940,534 18,182,847 12,662,617 13,353,687 (2,268,893) 9,590,410 6,531,237 6,735,500 6,541,092 NPV 121,856,002 Net B/C Ratio IRR % 72

88 Lampiran 2. Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan jaring insang hanyut 5-10 GT No Uraian TAHUN PROYEK A PENERIMAAN KAS 1 Penjualan ikan 183,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750,000 2 Nilai sisa 4,685,000 TOTAL PENERIMAAN KAS 183,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,750, ,435,000 B PENGELUARAN KAS 1 Investasi Kapal 20,000, Mesin utama & mesin bantu 8,000,000 8,000,000 8,000,000 Jaring 48,000,000 48,000,000 Jangkar + tali 100, , , ,000 Peti fiber 1,000,000 1,000,000 Jerigen solar + air 375, , , ,000 Lampu Petromaks 200, , , ,000 Radi0 Komunikasi 1,000,000 1,000,000 Fish fainder 3,000,000 3,000,000 Kompas 220, , , ,000 2 Operasional Solar 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 12,500,000 Oli 560, , , , , , , , , ,000 Es 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 5,220,000 Air tawar 180, , , , , , , , , ,000 Konsumsi 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 6,000,000 3 Biaya perbaikan dan perawatan Perbaikan kasko kapal 280, , , , , , , , , ,000 Perawatan mesin 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 1,275,000 Perawatan alat tangkap 240, , , , , , , , , ,000 4 Bagi Hasil Usaha (Upah ABK) 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 79,645,000 TOTAL PENGELUARAN KAS 81,895, ,900, ,900, ,795, ,900, ,900, ,795, ,900, ,900, ,795, ,900,000 C SALDO BERSIH (81,895,000) 77,850,000 77,850,000 76,955,000 69,850,000 77,850,000 23,955,000 77,850,000 69,850,000 76,955,000 82,535,000 D DF (18%) E SALDO TERDISKONTO (81,895,000) 65,974,576 55,910,658 46,837,189 36,027,853 34,028,952 8,873,688 24,439,064 18,582,766 17,349,972 15,769,506 NPV 401,401,859 Net B/C Ratio IRR % 73

89 Lampiran 3. Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan rawai hanyut < 5 GT No Uraian TAHUN PROYEK A PENERIMAAN KAS 1 Penjualan ikan 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 2 Nilai sisa 2,637,500 TOTAL PENERIMAAN KAS 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 72,000,000 74,637,500 B PENGELUARAN KAS 1 Biaya Investasi Kapal 15,000,000 Mesin 5,300,000 5,300,000 Pancing 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 1,980,000 Jangkar + tali 100, , , ,000 Peti fiber 800, ,000 Jerigen solar + air 375, , , ,000 Gancu 100,000 40,000 40,000 40,000 Lampu Petromaks 200, , , ,000 Kompas 220, , , ,000 2 Biaya Operasional Solar 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 7,500,000 Oli 428, , , , , , , , , ,000 Es 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 4,120,000 Air tawar 240, , , , , , , , , ,000 Konsumsi 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 5,200,000 3 Biaya Perawatan Perbaikan kasko kapal 280, , , , , , , , , ,000 Perawatan mesin 400, , , , , , , , , ,000 Perawatan alat tangkap 120, , , , , , , , , ,000 3 Bagi Hasil Usaha (Upah ABK) 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 27,256,000 TOTAL PENGELUARAN KAS 24,075,000 47,524,000 47,624,000 48,434,000 47,624,000 47,624,000 54,534,000 47,624,000 47,624,000 48,434,000 47,624,000 C SALDO BERSIH (24,075,000) 24,476,000 24,376,000 23,566,000 24,376,000 24,376,000 17,466,000 24,376,000 24,376,000 23,566,000 27,013,500 D DF (18%) E SALDO TERDISKONTO NPV 136,778,324 Net B/C Ratio IRR % 74

90 Lampiran 4. Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan rawai hanyut 5-10 GT No Uraian TAHUN PROYEK A PENERIMAAN KAS 1 Penjualan ikan 123,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200,000 2 Nilai sisa 3,637,500 TOTAL PENERIMAAN KAS 123,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,200, ,837,500 B PENGELUARAN KAS 1 Biaya Investasi Kapal 20,000,000 Mesin 7,100,000 7,100,000 Pancing 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 2,280,000 Jangkar + tali 100, , , ,000 Peti fiber 800, ,000 Jerigen solar + air 375, , , ,000 Gancu 100,000 40,000 40,000 40,000 Lampu Petromaks 200, , , ,000 Kompas 220, , , ,000 Radio komunikasi 1,000,000 1,000,000 Fish finder 3,000,000 3,100,000 2 Biaya Operasional Solar 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 8,216,000 Oli 528, , , , , , , , , ,000 Es 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 5,120,000 Air tawar 240, , , , , , , , , ,000 Konsumsi 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 6,200,000 3 Biaya Perawatan Perbaikan kasko kapal 280, , , , , , , , , ,000 Perawatan mesin 500, , , , , , , , , ,000 Perawatan alat tangkap 120, , , , , , , , , ,000 3 Bagi Hasil Usaha (Upah ABK) 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 51,448,000 TOTAL PENGELUARAN KAS 35,175,000 74,932,000 74,932,000 75,742,000 74,932,000 74,932,000 87,742,000 74,932,000 74,932,000 75,742,000 74,932,000 C SALDO BERSIH (35,175,000) 48,268,000 48,268,000 47,458,000 48,268,000 48,268,000 35,458,000 48,268,000 48,268,000 47,458,000 51,905,500 D DF (18%) E SALDO TERDISKONTO NPV 283,999,802 Net B/C Ratio IRR % 75

91 Lampiran 5. Matrix analisis strengths weakness opportunities threats (SWOT) Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang : 1) Jaringan pemasaran komoditas perikanan internasional, regional dan lokal (O1) 2) Propinsi Bangka Belitung menjadi kawasan perikanan barat Indonesia (O2) 3) Peluang pengembangan teknologi yang lebih baik (O3) 4) Ditetapkannya program intensif investasi oleh pemerintah (O4) Ancaman : 1) Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (T1) 2) Adanya praktek IUU Fishing (T2) 3) Adanya gangguan perompakan (T3) Kekuatan : 1) Sumberdaya ikan pelagis cukup tersedia (S1) 2) Armada penangkapan cukup tersedia (S2) 3) Sumberdaya nelayan berlimpah (S3) 4) Departemen Kelautan dan Perikanan mendukung (S4) 5) Tersedianya alternatif pembiayaan investasi (S5). Strategi SO : 1) Pengembangan iklim usaha penangkapan yang kondusif Strategi ST : 1) Motorisasi armada perikanan ikan pelagis Kelemahan : 1) Biaya operasional armada penangkapan tinggi (W1) 2) Daya dukung beberapa infrastruktur penunjang usaha penangkapan terbatas (W2) 3) Rendahnya pendidikan nelayan (W3) 4) Sistem perizinan armada penangkapan (W4) 5) Fasilitas permodalan tidak mendukung usaha perikanan (W5) Strategi WO : 1) Peningkatan armada perikanan ikan pelagis 2) Pembenahan system perizinan armada penangkapan 3) Pembenahan sarana penangkapan ikan 4) Pembenahan sistem permodalan Strategi WT : 1) Perbaikan kegiatan monitoring, controlling, dan surveilance 76

92 Lampiran 6. Dokumentasi foto penelitian Diskusi dan Kolsultasi dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung Diskusi dan Kolsultasi dengan Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Suasana saat akan pelelangan ikan di TPI Tanjungpandan Proses pelelangan ikan di TPI Tanjungpandan 77

93 Kapal gill net di Kecamatan Membalong Kapal gill net di Kec. Membalong Armada bagan perahu apung Kapal pancing ulur di Kecamatan Selat Nasik 78

94

STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA

STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA STRATEGI PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BELITUNG YEPPI SUDARJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang berkembang semakin cepat,

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ' ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00 Tabel Table Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan dan di Provinsi (Ton), 2016 Quantity of Marine Fisheries Production by Type and in Province (Ton), 2016 Manyung Ikan Sebelah Ekor Kuning /Pisangpisang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 TENTANG ESTIMASI POTENSI SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 0 50 sampai 109 0 30 Bujur Timur dan 0 0 50 sampai 4 0 10 Lintang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten.

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten. Sesuai amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya kelautan dan perikanan menyebabkan munculnya suatu aktivitas atau usaha di bidang perikanan sesuai dengan kondisi lokasi dan fisiknya. Banyak penduduk

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

DAYA PERAIRAN. Fisheries Department UMM

DAYA PERAIRAN. Fisheries Department UMM EKSPLORASI SUMBER DAYA PERAIRAN RizaRahman Hakim, S.Pi Fisheries Department UMM Pendahuluan Kontribusi produksi perikanan nasional sampai saat ini masih didominasi usaha perikanan tangkap, khususnya perikanan

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ)

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) 1 Nurintang dan 2 Yudi ahdiansyah 1 Mahasiswa Manajemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan sektor industri yang berbasis sektor agribisnis sangat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan sektor industri yang berbasis sektor agribisnis sangat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan sektor industri yang berbasis sektor agribisnis sangat strategis dan memegang peranan penting percaturan industri nasional dan dapat diandalkan dalam

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah. II. URUSAN PILIHAN A. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Kelautan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 2. Pelaksanaan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG Oleh : FIRMAN SANTOSO C54104054 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/KEPMEN-K P/2017 TENTANG ESTIMASI POTENSI, JUMLAH TANGKAPAN YANG DIPERBOLEHKAN, DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN LAMPIRAN XXIX PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 CC. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Kelautan 1. Pelaksanaan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH

ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH ANALISIS STRATEGI BISNIS PENGELOLAAN OBYEK WISATA PANTAI LOSARI DI KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN NURHIDAYAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

STRATEGI PENANGGULANGAN IUU FISHING (ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING) MELALUI PENDEKATAN EKONOMI (STUDI KASUS DI PERAIRAN LAUT ARAFURA)

STRATEGI PENANGGULANGAN IUU FISHING (ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING) MELALUI PENDEKATAN EKONOMI (STUDI KASUS DI PERAIRAN LAUT ARAFURA) 2005 Dedy H Sutisna 18 February 2005 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3, Program TKL-Khusus Institut Pertanian Bogor Februari 2005 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran nelayan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN Dionisius Bawole *, Yolanda M T N Apituley Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Ida Mulyani Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat beraneka ragam dan jumlahnya sangat melimpah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: ht tp :// w w w.b p s. go.id Katalog BPS: 5402003 PRODUKSI PERIKANAN LAUT YANG DIJUAL DI TEMPAT PELELANGAN IKAN 2008 ISSN. 0216-6178 No. Publikasi / Publication Number : 05220.0902 Katalog BPS / BPS Catalogue

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

Terlaksananya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan. Terlaksananya penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Terlaksananya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan. Terlaksananya penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. B. URUSAN PILIHAN 1. KELAUTAN DAN PERIKANAN a. KELAUTAN 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan 1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan

Lebih terperinci