BAB I PENDAHULUAN. modern maupun di dalam masyarakat tradisional adalah tradisi lisan (Boyer, 1990: 1;

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. modern maupun di dalam masyarakat tradisional adalah tradisi lisan (Boyer, 1990: 1;"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu gejala kebudayaan yang perlu diperhatikan, baik dalam masyarakat modern maupun di dalam masyarakat tradisional adalah tradisi lisan (Boyer, 1990: 1; Tuloli, 1991: 1). Tradisi lisan mempunyai banyak ragam dan tiap-tiap ragam tradisi lisan mempunyai variasi yang sangat banyak pula. Jika dilihat dari aspek pementasannya, maka tradisi lisan memperlihatkan berbagai peristiwa budaya, dan kompleksitas yang menjelaskan tentang budaya dari masyarakat pendukungnya. Melalui pementasan tradisi lisan, dapat diketahui berbagai peristiwa yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Ruth Finnegan mengatakan bahwa pementasan tradisi lisan memuat berbagai peristiwa yang terjadi dalam suatu kebudayaan dan berhubungan dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya (Finnegan, 1978: 3). Jika ditinjau dari segi isinya, tradisi lisan memperlihatkan keteraturan-keteraturan yang berlaku pada setiap ragam tradisi lisan, sehingga memudahkan para pemilik untuk mempelajari tradisi lisan tersebut. Nani Tuloli (1991: 2) mengatakan bahwa membicarakan tradisi lisan tidak akan sempurna kalau hanya membicarakan mengenai isinya, dengan mengabaikan pencerita, konteks penceritaan, pendengar atau penontonnya. Finnegan mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya tradisi lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui interpretasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya. Karena dengan deskripsi etnografis mengenai penggubah atau pelantun, variasi yang terjadi akibat audiens dan saat penceritaan, reaksi audiens, sumbangan 1

2 alat-alat musiknya, dan konteks sosial tempat penceritaan atau pementasan itu akan menjadi ruang untuk mempelajari tradisi lisan di masa depan (Finnegan, 1978: 7). Ia juga mengatakan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak terlepas dari aspek ekonomi, hubungan kekuasaan, sistem nilai dan struktur keluarga dalam suatu masyarakat (Finnegan, 1992: 122). Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara (Danandjaja, 1994: 9-12). Tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari masyarakat tradisional, tetapi juga dapat menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan musik dan film yang diproduksi di Afrika dan India. Berangkat dari pemikiran di atas, maka tradisi lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam perkembangan industri kreatif di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Keberadaan tradisi lisan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya (Tuloli, 1991: 2). Tingginya dinamika masyarakat Indonesia dewasa ini, yang dipicu oleh perkembangan transportasi, telekomunikasi dan pariwisata telah berdampak pada banyaknya tradisi lisan yang hilang dan belum sempat didokumentasikan. Kehadiran berbagai media telekomunikasi dalam kehidupan modern, yang menyerbu masyarakat di setiap kebudayaan, telah menyebabkan adanya kemungkinan akan semakin mempercepat lenyapnya tradisi lisan dalam suatu kebudayaan yang ada. Padahal, hilangnya tradisi lisan tersebut 2

3 sekaligus hilang atau lenyapnya berbagai ingatan kolektif tentang kehidupan masyarakat pendukungnya, baik yang terdokumentasikan di dalam pementasan tradisi lisan maupun yang tersimpan di dalam isinya. Fenomena tradisi lisan di Nusantara dewasa ini telah terdesak oleh perkembangan yang ada dalam masyarakat modern. Teeuw (1984: 330) mengatakan bahwa banyak contoh bentuk tradisi lisan atau sastra lisan yang masih dihafalkan dan dipertahankan terus tanpa banyak perubahan, tetapi ada pula tradisi lisan yang telah berubah karena disebabkan oleh adanya dinamika intrinsik maupun pengaruh aspek lain di luar dirinya. Nani Tuloli (1991: 2) mengatakan bahwa, perubahan tersebut dapat saja dipengaruhi oleh adanya perkembangan masyarakat di berbagai segi kehidupan, seperti, ekonomi, pendidikan, politik, dan kepercayaan. Selanjutnya Finnegan (1987: 77-78) mengatakan bahwa keberadaan tradisi lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan dan agama, serta semua aspek kebudayaan lainnya. Masyarakat Wakatobi merupakan salah satu etnis di Nusantara yang mempunyai berbagai ingatan kolektif yang memuat jati diri masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah nilai-nilai budaya masyarakat Wakatobi disimpan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu ingatan kolektif masyarakat Wakatobi yang mengandung nilai-nilai budaya tersebut adalah nyanyian rakyat yang disebut kabhanti atau bhanti-bhanti (Udu, 2010: 18). Sebagai tradisi lisan, tradisi bhanti-bhanti juga tidak terlepas dari gejala perubahan dunia yang disebabkan oleh adanya kemajuan di bidang telekomunikasi, transportasi dan pariwisata. Kemajuan yang dimoroti oleh tiga bidang itu telah menjadikan dunia berada pada ruang dan waktu yang sudah saling menyatu dan tentunya akan 3

4 mempengaruhi keberadaan tradisi bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dunia. Secara etimologi kata kabhanti berasal dari bahasa Wolio yang merupakan kata jadian dari kata bhanti yang berarti sindiran, dan mendapatkan awalan (ka-) yang berfungsi untuk mengubah kata kerja menjadi kata benda (Niampe, 1998: 5). Sehingga kata kabhanti merupakan kata jadian yang bermakna sebuah sindiran. Dalam bahasa Wakatobi, kata kabhanti, tidak dikenal, mereka hanya mengenal kata bhanti yang berarti sindiran, hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Wakatobi, misalnya /kolalo di amai iso, nobhanti kami/ kami lewat pada mereka itu, mereka menyindir kami. Mengacu pada konteks kalimat di atas, maka bhanti berarti ungkapan yang mengandung sindiran. Selanjutnya La Ode Kamaluddin 1, mengatakan bahwa kata bhanti merupakan nyanyian yang dilantunkan dan tidak ditujukan untuk seseorang, tetapi hanya sebagai luapan perasaan. Di sisi yang lain, La Ode Kamaluddin juga mengatakan bahwa kata bhanti-bhanti merupakan nyanyian yang dilantunkan untuk menyindir orang atau pendengar dengan menggunakan bahasa yang tidak langsung (Wawancara, tanggal 2 Februari 2011). La Ode Taalami (2008: 59) mengatakan bahwa kata bhanti dalam bahasa Wakatobi berarti dua pengertian, pertama bhanti berarti sindiran halus, dan kedua, bhanti sebagai salah satu jenis lagu yang berisi ungkapan perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan kerinduan), juga nasihat. Dengan demikian, kata bhanti 1 La Ode Kamaluddin merupakan salah seorang yang mendapatkan penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan pariwisata tahun 2010 sebagai maestro kabhanti atas jasanya menghidupkan dan melestarikan tradisi kabhanti dalam masyarakat Wakatobi. 4

5 dalam bahasa Wakatobi berarti: (1) sindiran halus (menggunakan kata metaphor), (2) nyanyian rakyat. Sebagai nyanyian rakyat, bhanti-bhanti merupakan salah satu bentuk kesenian berupa nyanyian rakyat (folksong) masyarakat Wakatobi Buton yang mengandung segala apa yang dipikirkan dan dirasakan yang berhubungan dengan dirinya, lingkungannya maupun tuhannya yang kadangkala disampaikan melalui bahasa metaphor 2 atau tidak langsung sehingga mampu mengungkapkan berbagai persoalan hidup masyarakatnya. Bhanti-bhanti sebagai nyanyian rakyat juga dilantunkan dengan nada dan irama yang indah, sehingga dapat menghibur dan menjadi ruang pembelajaran budaya bagi masyarakat pendukungnya. Hal yang sama dikemukakan oleh La Ode Nsaha (1987/1988: 235) bahwa kabhanti merupakan nyanyian rakyat yang disampaikan dalam bahasa halus sehingga menyentuh sampai di hati. Tradisi bhanti-bhanti Wakatobi dipentaskan dalam beberapa konteks, misalnya pada saat pesta, nazar, dan tempat minum-minuman keras atau di paradhaka a. Berbagai konteks pementasan tersebut, akan menampilkan tradisi bhanti-bhanti yang berbeda, karena setiap pementasan adalah baru (Bdk, Lord, 1981: 30). Dalam berbagai konteks itulah, tradisi bhanti-bhanti mampu merefleksikan berbagai kebudayaan, sistem sosial, budaya, politik, serta berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat Wakatobi. Dalam pementasannya, tradisi bhanti-bhanti Wakatobi menggunakan beberapa alat musik berupa gendang (ganda), gitar (hitara), gambus (gambusu), 2 Dalam tulisannya tentang Metafor dalam Kabhanti Pengantar Tidur (2006), Hamuruddin Udu mengatakan bahwa pada dasarnya kabhanti merupakan nyanyian rakyat yang menggunakan bahasabahasa metaphor atau bahasa tidak langsung yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. 5

6 biola (piola), serta botol (botolo) atau gelas (tonde) yang dipukul dengan sendok atau benda keras lainnya. Namun tidak semua pementasan bhanti-bhanti menggunakan semua alat di atas dalam satu pementasan, tetapi bisa saja hanya menggunakan salah satu dari gambus, gitar atau biola. Alat-alat itu digunakan secara bergantian, sesuai dengan respon penonton. Apabila penonton menginginkan joget, maka pelantun tradisi bhanti-bhanti akan menyajikan irama dangdut. Tetapi apabila penonton menginginkan tarian balumba, maka pementasan bhanti-bhanti akan menyajikan irama gambus. Selanjutnya apabila penonton menginginkan badendang, maka bhanti-bhanti akan menyajikan irama bandengan dengan alat musik biola. Tradisi lisan bhanti-bhanti biasa dimainkan oleh tiga orang, yaitu pemukul gendang, pemukul botol, dan pemain gitar, biola serta gambus. Namun, tidak semua pementasan dimainkan oleh banyak orang, tetapi terkadang ada juga pementasan yang hanya diiringi oleh gambus dan botol. Banyaknya jumlah pemain tradisi bhantibhanti ditentukan oleh konteks pementasan. Apabila penanggap atau yang mengundang menginginkan peralatan yang kompleks, maka jumlah pemainpun akan lebih kompleks, tetapi jika konteks pementasannya hanya hiburan seperti nazar, maka bisa saja hanya satu pemain yang mementaskan tradisi bhanti-bhanti. Lama pementasan tradisi bhanti-bhanti juga sangat bervariatif, dan tergantung dari konteks yang ada. Kalau dilakukan di malam hari, maka pementasan dapat dilakukan hingga lewat tengah malam, dan bahkan ada yang semalam suntuk. Tetapi jika dilakukan dalam suatu nazar, maka lama pementasan tergantung dari pemesannya. Selanjutnya, jika dilakukan pada konteks minum-minuman keras, maka lama pementasan tergantung dari lama tidaknya mereka selesai minum. 6

7 La Ode Kamaluddin biasanya mementaskan tradisi bhanti-bhanti selama berjam-jam dalam suatu acara pesta. La Mbongo mementaskan tradisi bhanti-bhanti hingga semalam suntuk saat menghibur orang yang memasak di suatu pesta. Bahkan La Huudu, pernah pentas selama dua hari dua malam dan ia hanya istrahat waktu makan, karena begitu antusiasnya menonton. Sambutan penonton yang begitu maksimal membuat sang pelantun berkata bahwa Andaikan Tuhan memberi saya kesempatan untuk melihat, maka setelah itu saya sudah rela untuk kembali ke pangkuannya. Dalam pementasan tradisi bhanti-bhanti, komposisi skematik dipengaruhi oleh konteks sosial di saat pelantunan. Albert B. Lord (1981: 13), mengatakan bahwa komposisi dalam tradisi lisan disusun bersamaan dengan proses pementasannya. Dengan demikian, jika pementasan bhanti-bhanti di wilayah petani akan mempengaruhi pelantun untuk dan mendorongnya untuk merefleksikan kehidupan masyarakat petani. Hal ini disampaikan oleh La Ode Kamaluddin bahwa Untuk menarik minat penonton, kita harus menyanyikan apa yang dekat dengan kehidupan mereka 3. Dengan demikian, pementasan dan komposisi skematik bhanti-bhanti akan berubah berdasarkan konteks pelantunan yang dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya kondisi psikologi pelantun, reaksi penonton, penonton, serta kondisi sosial, budaya, politik, pemerintahan, yang ada di sekitar pementasan. Saat ini, masyarakat Wakatobi mengalami perubahan sebagai akibat dari adanya perubahan ekonomi, pendidikan dan pengaruh kemajuan teknologi, terutama dalam bidang telekomunikasi, transportasi dan pariwisata. Sampai dengan era tahun 1960-an, hampir setiap pesta dalam masyarakat Wakatobi masih menggunakan 3 Wawancara dengan La Ode Kamaluddin, 8 September

8 tradisi bhanti-bhanti sebagai hiburannya, namun saat ini telah tergantikan oleh musik-musik dangdut yang dimainkan oleh organ tunggal. Bagi generasi muda, mereka lebih memilih untuk joget dengan iringan organ tunggal, dibandingkan menonton atau menyaksikan pementasan tradisi bhanti-bhanti. Anak-anak muda Wakatobi lebih memilih joget, dance atau triping dibandingkan mereka memainkan badendang atau balumpa. Di samping itu, kebanyakan anak-anak Wakatobi sudah tidak dapat memainkan badendang dan balumpa. Perkembangan dan perubahan sikap generasi muda masyarakat Wakatobi di atas akan berdampak pada keberadaan dan keberlangsungan tradisi bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi. Pada hal, hilangnya berbagai bentuk pementasan tradisi bhanti-bhanti akan berdampak pada hilangnya peristiwa budaya dan berbagai pemikiran, ide dan gagasan yang tersimpan dalam tradisi lisan bhanti-bhanti itu sendiri. Berangkat dari fenomena yang telah disebutkan di atas, maka penelitian mengenai tradisi bhanti-bhanti Wakatobi perlu dilakukan, mengingat pementasan tradisi bhanti-bhanti merupakan peristiwa budaya yang memuat berbagai ingatan kolektif masyarakat pendukungnya. Selain itu, tradisi bhanti-bhanti juga menyimpan berbagai ide dan gagasan yang tersimpan di dalam teks-teksnya. Di sisi yang lain, tradisi bhanti-bhanti memiliki keteraturan-keteraturan atau sistem-sistem baku, memiliki pola-pola repetisi dan paralelisme yang tetap, sehingga masalah penelitian berikutnya adalah belum adanya penjelasan mengenai sistem formula tradisi bhanti-bhanti Wakatobi. Pada hal analisis ilmiah mengenai sistem formula tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi dapat memberikan kemudahan bagi para pelantun dalam proses komposisi tradisi bhanti-bhanti tanpa harus menghafal 8

9 atau menyusun komosisi terlebih dahulu sebelum melakukan pementasan. Melalui analisis sistem formula tradisi bhanti-bhanti diharapkan dapat mendukung penyusunan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti Wakatobi, sehingga tradisi bhanti-bhanti dapat dipelajari dan dihidupkan kembali di masa depan. Selanjutnya, masalah dalam penelitian ini adalah belum adanya penjelasan ilmiah mengenai komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. Melalui penjelasan ini, seorang pelantun atau pendengar bhanti-bhanti dapat menyusun atau mengkomposisi bhanti-bhanti dengan mudah. Melalui hasil analisis ini, diharapkan dapat membantu orang-orang yang akan mempelajari dan menghidupkan tradisi bhanti-bhanti dalam menyusun atau mengkomposisi dan mementaskan tradisi bhanti-bhanti sesuai dengan konteks dan situasi yang ada di masa yang akan datang. Berdasarkan beberapa masalah penelitian di atas, maka sejauh ini belum ada penelitian yang menggunakan konsep kelisanan Albert Bates Lord terhadap tradisi bhanti-bhanti. Oleh karena itu, penelitian mengenai tradisi bhanti-bhanti dengan menggunakan konsep kelisanan Albert Bates Lord yang meliputi, (1) bentuk-bentuk pementasan, (1) formula dan (3) komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi perlu dilakukan. Karena penelitian tentang kabhanti atau bhanti-bhanti selama ini masih berhubungan dengan struktur, isi dan makna kabhanti. Belum satupun yang menjelaskan tentang pementasan, formula dan komposisi skematik bhanti-bhanti. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai bentuk-bentuk pementasan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 9

10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka tradisi lisan merupakan salah salah satu fenomena kebudayaan yang menyimpan berbagai ingatan kolektif masyarakatnya. Di sisi yang lain, adanya perkembangan dinamika internal dan eksternal dalam masyarakat Wakatobi telah mempengaruhi perkembangan tradisi bhanti-bhanti dan masyarakat pendukungnya. Pada hal, hilang tradisi lisan bhantibhanti tersebut sekaligus hilangnya berbagai unsur-unsur pementasan bhanti-bhanti yang meliputi: (1) situasi dan tempat (2) pelantun, (3) media (sarana dan prasarana yang digunakan yang meliputi: nada, kostum dan ekspresi), (4) alat yang digunakan, (5) Pendengan (audiens) dan Partisipan (6) variasi yang terjadi sebagai respon penonton. Jika ditinjau dari segi bentuk, teks-teks tradisi lisan bhanti-bhanti memperlihatkan keteraturan-keteraturan yang berlaku sebagaimana pada setiap ragam tradisi lisan. Teks-teks bhanti-bhanti dibangun oleh sistem repetisi, paralelisme yang membentuk bhanti-bhanti. Di sisi yang lain, pementasan bhantibhanti juga disusun berdasarkan komposisi skematik yang ada dalam setiap pementasan bhanti-bhanti yang tentunya memberikan kontribusi dalam kelangsungan kehidupan tradisi bhanti-bhanti. Dengan demikian, hilang atau lenyapnya tradisi lisan bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi, berarti juga hilang dan lenyapnya berbagai sistem formula, komposisi skematik yang digunakan untuk mengungkapkan ide, pemikiran, impian, kenangan, tanggapan tentang berbagai peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi di dalam masyarakat Wakatobi dalam setiap pementasan bhanti-bhanti. 10

11 Berangkat dari masalah penelitian di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk pementasan tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi? 2. Bagaimanakah formula yang terdapat dalam tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi? 3. Bagaimanakah komposisi skematik yang digunakan dalam tradisi bhantibhanti masyarakat Wakatobi? 4. Bagaimanakah keterkaitan antara konteks pementasan, formula dan komposisi skematik dalam tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: Pertama, secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menyelamatkan dan mengembangkan tradisi lisan bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi. Hal ini disebabkan karena tradisi lisan kabhanti merupakan ingatan kolektif masyarakat pendukungnya yang sekaligus kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Kedua, tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan unsur-unsur yang membentuk pementasan tradisi bhantibhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. 2. Untuk menjelaskan formula bhanti-bhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. 11

12 3. Untuk menjelaskan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. 4. Untuk menjelaskan keterkaitan konteks sosial yang mendukung pementasan bhanti-bhanti dengan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan panfaat praktis. 1. Secara teoritis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut. a. dapat menambah khazanah sumber infomasi mengenai kajian-kajian tradisi lisan, dan menambah pengetahuan khususnya masyarakat Wakatobi tentang tradisi bhanti-bhanti. b. Sebagai sumber informasi mengenai bentuk-bentuk pementasan, sistem formula, dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti, terutama bagi masyarakat Wakatobi dan Indonesia pada umumnya. c. Untuk menjelaskan keterkaitannya konteks pementasan tradisi bhantibhanti dengan bentuk-bentuk pementasan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat: a. memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pelestarian budaya daerah, khususnya tradisi bhanti-bhanti di dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Mengingat tradisi bhanti-bhanti sebagai salah satu potensi kesenian daerah atau sastra daerah yang tak ternilai harganya 12

13 dalam menciptakan identitas masyarakat pendukungnya maupun sebagai sumber inspirasi bagi penciptan seni di dalam masyarakat Wakatobi; b. sebagai acuan ilmiah dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan kebudayaan dalam masyarakat Wakatobi dan Indonesia pada umumnya; dan c. sebagai motivasi untuk peneliti-peneliti berikutnya, untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan tradisi lisan bhanti-bhanti yang tentunya belum dijangkau dalam penelitian ini. 1.5 Tinjauan Pustaka Pembicaraan mengengai tradisi lisan telah banyak melibatkan ahli dan berbagai sudut pandang yang digunakannya. Penggunaan paradigma oleh para ahli tersebut tidak terlepas dari perkembangan paradigma yang ada pada bidang ilmuilmu yang lainnya. Berikut ini akan diuraikan penggunaan paradigm yang pernah digunakan dalam penelitian tradisi lisan. Jika melihat berbagai perkembangan paradigma yang pernah digunakan dalam penelitian tradisi lisan, maka kehadiran paradigma difusi dalam dunia antropologi telah mendorong para ahli untuk melakukan pemetaan tradisi lisan melalui paradigma difusi kebudayaan (diffusion theory) 4. Menurut Danandjaja (2003: ) beberapa tokoh yang pernah melakukan penelitian dengan menggunakan pemikiran ini adalah Joel Chandler Harris ( ), Richard M. Dorson ( ), William R. Bascom ( ), Stith Thomson ( ), Jan Harold 4 Thomas Heylland Eriksen tentang Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengatar (2009: 22) mengatakan bahwa difusionisme merupakan doktrin tentang difusi historis yang menyangkut ciri dan sifat budaya. 13

14 Brunvand (1998), Archer Taylor ( ), Ralp Steele Boggs ( ), Wyland D. Hand ( ), Paul G. Brewster (1898-?). Para ahli di atas, tertarik pada keunikan sejarah 5 kebudayaan Amerika, untuk itu mereka menelusuri keunikan itu melalui persebaran dongeng-dongeng masyarakat Amerika yang dianggapnya berasal dari Afrika. Mereka menelusuri persebaran dongeng-dongeng itu ketika diceritakan dalam versi Amerika. Di samping itu, mereka juga melakukan klasifikasi, interprestasi, dan perbandingan mengenai suatu cerita sehingga mereka dapat melakukan pemetaan terhadap masyarakat Amerika berdasarkan cerita rakyat mereka. Untuk itu, mereka melakukan banyak hal mengenai folklore Amerika, seperti melakukan perbandingan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tempat, dan jalan peredaran folklore, serta berbagai bentuk gaya presentasinya. Mereka juga mefokuskan perhatian mereka terhadap pandangan masyarakat yang diwakili oleh folkolere tersebut. Selanjutnya, para ahli folkolore tersebut kemudian menghasilkan publikasi-publikasi ilmiah berupa koleksi dongeng-dongeng berupa fable yang terkenal sampai sekarang yang mereka klaim sebagai ciri-ciri dan sifat dari masyarakat Amerika. Di Afrika dan Asia, penelitian tradisi lisan dari prespektif ini antara lain dilakukan oleh Jan Vansinna (1985), Christopher Heywood (2004), dan Amin Sweney (1980). Dalam penelitiannya mengenai sejarah masyarakat Afrika, Jan Vansinna menggunakan tradisi lisan sebagai salah satu sumber dalam penulisan sejarah masyarakat. Jan Vansinna kemudian mengelompokkan masyarakat Afrika berdasarkan ciri-ciri dan sifat yang ada dalam tradisi lisan mereka. Di samping 5 Jacobs, Melville A Look Ahead in Oral Literature Research (The Journal of American Folklore), Vol. 79, No. 313 (Jul. - Sep., 1966), pp

15 penelitian yang dilakukan Jan Vansinna tersebut, penelitian serupa juga dilakukan oleh Christopher Heywood (2004) untuk melihat sejarah pergerakan masyarakat Afrika Selatan melalui ingatan kolektif mereka. Heywood menelusuri pergerakan masyarakat Afrika Selatan tersebut baik dalam satra lisan maupun dalam berbagai tulisan mereka dalam beberapa periode perjalanan kemerdekaan di negara itu. Dengan menggunakan paradigma ini, Heywood memetakkan ciri-ciri dan sifat gerakan masyarakat di Afrika berdasarkan penelusuran sejarah melalui berbagai tulisan termasuk berdasarkan sumber yang berasal dari tradisi lisan mereka. Dalam upayanya untuk memahami kebudayaan China, Martin Jacques (2011) menelusuri berbagai folklore China guna memahami cara berpikir masyarakat China dewasa ini. Ia juga mencoba memahami kebudayaan China dari cerita rakyat mengenai asal usul masyarakat China yang berasal dari wilayah Sungai Kuning. Di Indonesia, penelusuran sejarah masyarakat melalui tradisi lisan juga pernah dilakukan oleh Mattulada (1990). Ia melakukan kajian mengenai cerita Sawerigading sebagai salah satu sumber dalam penulisan sejarah masyarakat Sulawesi Selatan khususnya etnis Bugis. Ia mengatakan bahwa cerita Sawerigading memuat sejarah masyarakatnya. Hal ini sebagaimana diperkuat oleh Danandjaja (1990), bahwa cerita Sawerigading merupakan sumber sejarah etnis Bugis di Sulawesi Selatan dan memiliki fungsi sosial yang tinggi. Karena melalui cerita Sawerigading, kita dapat memahami nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Bugis tersebut. Penggunaan paradigma histori dalam melihat tradisi lisan, telah melahirkan ketimpangan karena dianggap banyak mengabaikan aspek struktur tradisi lisan, baik yang menyangkut struktur permukaan maupun struktur dalam dari tradisi lisan. 15

16 Sehubungan dengan itu, Ahimsa-Putra (2006: 66) mengatakan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti dongeng, merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan yang tentunya memiliki pola atau struktur tersendiri. Dengan demikian, penggunaan tinjauan sejarah dalam tradisi lisan tidak cukup kuat untuk melihat struktur yang ada di dalam suatu tradisi lisan atau maupun struktur sosial masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Sehingga diperlukan suatu paradigma yang mampu menganalisis tradisi lisan, guna melihat isi dongeng maupun konteks masyarakat pemiliknya. Akibat dari ketidakpuasan dari paradigma historis tersebut, lahirlah tokohtokoh yang menggunakan paradigma struktural dalam kajian tradisi lisan. Beberapa tokoh yang mengembangkan paradigma strukturalisme dalam tradisi lisan adalah Alan Dundes (1934-?), Claude Levi-Strauss (1958), Parry dan Lord (1976). Tokohtokoh di atas, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam penelitian tradisi lisan. Ketertarikan Dundes untuk melakukan kajian mengenai tradisi lisan, dipengaruhi oleh pemikiran Vladimir Propp yang mengatakan bahwa dongeng-dongeng yang dimiliki oleh masyarakat Amerika-Indian tidaklah acak dan tidak hadir begitu saja, tetapi memiliki struktur yang dapat diuraikan menjadi bagian-bagian, misalnya motif, dan dongeng dapat diibaratkan seperti sebuah kotak yang dapat diisi berbagai motif. Kemudian Dundes melakukan analisis motif terhadap kajian tradisi lisan dimana ia mencoba menggunakan paradigma struktural yang dilengkapi dengan analisis fungsional untuk membadingkan tradisi lisan di satu daerah dengan tradisi lisan di daerah lainnya. Ia menganalisis motif dan fungsi yang dalam setiap tradisi lisan dari 16

17 masing-masing daerah (1965) 6. Selanjutnya, Murti Bunanta (1998) juga telah melakukan penelitian dengan membandingkan motif cerita Bawang Merah dan Bawang Putih yang ada dalam buku-buku bacaan anak-anak di Indonesia. Di samping itu, ia juga manganalisis fungsi cerita tersebut dalam penulisan cerita anak di Indonesia. Ini merupakan upaya untuk keluar dari analisis yang selama difokuskan pada aspek struktur atau histori dari tradisi lisan. Albert B. Lord (1981) menggunakan paradigma struktural yang dikombinasikan dengan paradigma antropologis dalam melihat nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia. Dalam penelitiannya mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia, Lord mengkaji aspek formula dan formulaic, performansi, komposisi skematik, dan transmisi yang terjadi dalam nyanyian rakyat tersebut. Dampak dari pemikiran Lord ini kemudian mempengaruhi ahli-ahli berikutnya seperti Walter J. Ong (1982) 7, Ruth Finnegan (1977, 1978, 1992); serta penelitian Amin Sweeney (1987) 8 ; Helen Gregory (2008) 9. Tokoh-tokoh tersebut kemudian menerapkan paradigma yang digunakan Lord dalam berbagai tradisi lisan yang ada diberbagai belahan dunia. Selain beberapa penelitian di atas, konsep Lord juga dikembangkan dibeberapa belahan dunia lainnya seperti, di Finlandia, Turki dan Mongolia 10, China, 6 The Study of Folklore (1965), merupakan kumpulan tulisan dari beberapa ahli yang berhubungan dengan folklore. Dari tulisan tersebut, Dundes membahas mengenai perbandingan motif-motif yang ada dalam tradisi lisan yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. 7 Buku Orality and Literacy the Technologizing of the Word (1982: 2-3) karya Walter J. Ong mempertanyakan adanya jarak teks dan konteks penceritaan yang selama ini dalam penelitian tradisi lisan. 8 A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World, merupakan pernah mengkaji kelisanan di dunia Melayu. 9 Gregory, Helen (Re) presenting Ourselves: Art, Identity, and Status in U.K. Poetry Slam (Oral Tradition). Vol. 23, Nomor 2 (2008): Enhong, Yang A Comparative Study of the Singing Styles of Mongolian and Tibetan Geser/Gesar Artists (Oral Tradition), Vol.13 No. 2 (1998): Dalam tulisan tersebut, 17

18 Rusia dan bangsa Yugoslavia yang lain. Temuan mereka hampir sama dengan beberapa temuan di atas, sehingga teori Lord dapat dianggap memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam berbagai tradisi lisan dan kebudayaan yang ada. Di Indonesia, temuan Lord itu kemudian mendorong beberapa peneliti seperti James Fox (1986), Nani Tuloli (1992), Suripan Sadi Hutomo (1993), dan Wigati (2008). Fox melihat tradisi lisan Bini di Rote, Nani Tuloli melihat cerita rakyat Tanggomo di Sulawesi Tengah, dan Wigati melihat Helaiheli dan Ehabla di masyarakat Sentani Papua. Selanjutnya Hutomo melakukan penelitian dengan teori yang sama untuk melihat cerita Kentrung dalam masyarakat Tuban. Dengan menggunakan paradigma yang sama mereka menemukan bahwa terdapat gejala paralelisme dalam tradisi lisan yang mereka teliti. Mereka juga menganalisis aspek formula, komposisi skematik dan pementasan dari setiap tradisi tersebut. Dari hasil penelitian mereka terlihat adanya ciri-ciri tradisi lisan, yaitu: (1) komposisi bersifat oral; (2) mengandalkan pementasan (performance); (3) bersifat epic. Selain paradigma struktural yang dikombinasikan dengan antropologi yang dilakukan oleh Lord di atas, beberapa penelitian yang mefokuskan kajiannya pada tradisi lisan adalah Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006). Ahimsa-Putra mengkaji beberapa mitos di Indonesia dengan menggunakan pendekatan strukturalisme. Dalam kajian itu, ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme Levi-Strauss.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mitos memiliki dua struktur yaitu struktur luar dan struktur dalam. Dengan menggunakan paradigma strukturalisme Levi-Strauss, Enhong kemudian membuat perbandingan beberapa motif yang ada di daratan China. Dalam perbandingan itu, ditemukan bahwa terdapat penggunaan formula dan formulaic yang dimunculkan dengan adanya repetisi dalam tradisi lisan Mongol dan Tibet. 18

19 Ahimsa-Putra (2006: 446) menyimpulkan bahwa menganalisis mitos sebagai salah satu gejala sosial dapat juga digunakan untuk menganalisis gejala sosial budaya yang ada di dalam suatu masyarakat. Walaupun di sisi yang lain, Ahimsa-Putra masih menyarankan untuk pengujian teori struktural Levi-Strauss dalam gejala kebudayaan yang lainnya. Penggunaan teori strukturalisme Levi-Strauss juga dilakukan oleh Ery Iswari (2010) dalam mengkaji representasi bentuk-bentuk jender dalam budaya Makassar berdasarkan teks folklore. Ia menganalisis pengunaan simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan relasi gender dalam cerita rakyat Makassar serta sejarah perempuan Makassar di masa lalu. Ia juga mengatakan bahwa pada tataran struktur dalam, relasi-relasi gender tersebut disederhanakan menjadi oposisi biner (2010: 167). Di samping itu, penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat ketertataan dan keterulangan sejumlah symbol seperti tanah, bulan/bintang, laut, ayam, rumah, dan perahu dalam mitos masyarakat Makassar. Andreas Yobe (2006) melakukan penelitian mengenai struktur cerita rakyat masyarakat suku Mee Papua dengan menggunakan analisis struktur naratif yang dikembangkan oleh Vladimir Propp. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat suku Mee Papua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur cerita rakyat masyarakat Mee Papua, tidak memiliki fungsi sebagaimana dalam 31 fungsi yang dikemukakan oleh Vladimir Propp. Dalam tulisannya mengenai Cerita Rakyat Masyarakat Wakorumba di Kabupaten Buton Utara (2011), Wa Ode Alfian menggunakan paradigma struktural untuk menganalisis alur, tema dan amanat, tokoh dan penokohan, serta latar cerita yang ada dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba tersebut. Ia juga 19

20 menganalisis mengenai nilai-nilai budaya yang ada dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba. Dalam penelitian tersebut, Alfian juga mengatakan bahwa cerita rakyat masyarakat Wakorumba memiliki nilai budaya yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan pribadi, hubungan manusia tuhannya. Di samping itu, Alfian juga membicarakan model pelestariannya, dan salah satu rekomendasinya adalah bahwa untuk melestarikan cerita rakyat seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah, pembuatan buku cerita, dan pengadaan lomba bercerita dalam masyarakatnya. Selain beberapa paradigma di atas, penelitian tradisi lisan juga dilakukan dengan menggunakan paradigma struktural fungsional. Beberapa orang yang menggunakan paradigma ini adalah H.S.P. Saputra (2007) dan M. Zainuddin (2010). Dalam tulisannya mengenai Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using- Banyuwangi, Saputra menguraikan tentang aspek formula dan formulaic, kompsisi skematik, serta performansi yang digunakan dalam mantra masyarakat Using. Hasil analisisnya mengenai struktur mantra itu, tidak terlepas dari aspek formula yang tetap. Dari aspek fungsi, Saputra mengatakan bahwa pada prinsipnya mantra dalam masyarakat Using-Banyuwangi memiliki fungsi negatif dan fungsi positif. Masyarakat Using-Banyumas memiliki dua jenis mantra, yaitu putih dan hitam. Ia menambahkan bahwa mantra Sabuk Mangir (SM) berguna untuk kasih sayang, yang didasari oleh ketulusan hati dan memiliki dampak positif. Selanjutnya, mantra Jaran Goyang (JG) tergolong mantra merah yang digunakan hal negatif yang dilatari oleh dendam. Di samping penggunaan paradigma strukturalisme di atas, Alan Lomax (1915) kemudian menggunakan paradigma etnomusikologi untuk melihat 20

21 perkembangan musik di dalam tradisi lisan. Ia mengumpulkan nyanyian rakyat bersama ayahnya sehingga ia menemukan Huddie Ledbetter (leadbelly). Sebagai pengumpul berbagai bahan, lalu ia merekamnya ke dalam dentingan dari pianis jazz yang sangat kreatif. Ia mengumpulkan berbagai bahan folklore dan kemudian melakukan penelitian mendalam mengenai emosi, sosial, sejarah, dan konteks. Selanjutnya, Lomax juga melihat gaya-gaya dari setiap data nyanyian itu, dan kemudian menguhubungkanya dengan aspek antropologinya (Danandjaja, 2003: ). Penelitian tradisi lisan juga, banyak dilakukan dengan paradigma sosiologi sebagaimana dilakukan oleh Richard Bauman, (1975) 11. Ia mefokuskan penelitiannya pada konteks penceritaan tradisi lisan sebagai model komunikasi sosial dalam masyarakat. Ini dilakukan karena adanya perubahan paradigma dari fokus pada aspek teks (strukutur) dan mengabaikan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut ke hal yang ada di luar teks yang memungkinkan untuk mengakomodasi keberadaan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Pemikiran ini kemudian mempengaruhi beberapa penelitian berikutnya seperti penelitian Albert B. Lord (1981) 12, Bauman (1992), (Ruth Finnegan ( ; 1989) 14, Elizabet C. Fine (1994) 15, yang kemudian 11 Di dalam jurnal Verbal Art as Performance yang diterbitkan dalam jurnal American Anthropologist, New Series, Vol. 77, No. 2 (Jun., 1975), pp , Richard Bauman telah membicarakan tentang performansi dalam seni verbal. Ia mengatakan bahwa performansi merupakan satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam kajian tradisi lisan. 12 Dalam bukunya The Singer of Tales Alber Bates Lord menggunakan dua paradigma, untuk memenuhi tuntutan metodologis yaitu strukturalisme untuk kebutuhan analisi struktur yang meliputi, formula dan formulaic, komposisi skematik dari nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia. Kemudian untuk menangkap aspek performansi sebagai bagian terpenting dalam konteks pementasannya, Lord menggunakan pendekatan antropologi. 13 Ruth Finnegan dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Sosial Context menjelaskan tentang berbagai aspek yang membentuk puisi lisan dalam masyarakat. Mulai dari konsep, metode, komposisi, gaya dan perfromansi, proses transmisi, pendengar, konteks dan fungsi puisi lisan, serta Ruth juga menulis tentang puisi lisan dan masyarakat penedukugnya. 21

22 mefokuskan penelitian mereka pada performansi sebagai salah satu model komuniksi sosial dalam masyarakat tradisional. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pascal Boyer (1990) yang melihat tradisi lisan sebagai objek kajian antropologi yang penting untuk diungkap dalam memahami sebuah kebudayaan, sistem sosial, psikologi, maupun aspek struktur suatu masyarakat. Kehadiran teori-teori feminis dewasa ini telah mendorong beberapa peneliti untuk melakukan penelitian tradisi lisan dari prespektif ini. Beberapa hasil penelitian yang menggunakan paradigma ini adalah Muslimat (2005), Udu (2010). Dalam kajiannya mengenai Wanita Dalam Cerita Rakyat Makassar, Muslimat menggunakan pendekatan kritik sastra feminis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena kehidupan masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan pria dan prasangka gender memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan dan penindasan terhadap wanita. Ia juga mengatakan bahwa tradisi lisan memberikan solusi dalam memecahkan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan modern yang dapat dikembangkan melalui pencitraan wanita yang ada dalam cerita rakyat. Melalui pencitraan perempuan dalam cerita rakyat, perempuan dapat mencapai kebebasan dan kesetaraan sebagaimana terdapat dalam cerita rakyat Sitti Naharirah. Selanjutnya, penelitian Sumiman Udu tentang Perempuan dalam Kabhanti dengan menggunakan pendekatan sosiofeminis. Melalui pendekatan ini, ditemukan bahwa tradisi yang mengintari kehidupan perempuan, tidak terlepas dari rekayasa dan 14 Ruth Finnegan, dalam bukunya Oral Traditions and The Verbal Art: a Guide to Research Practices (1992) menyajikan beberapa metode penelitian tradisi lisan, mulai dari teori dan perspektif yang digunakan sampai pada cara menganalisis fungsi dan struktur teks tradisi lisan. 15 Dalam buku The Foklore Text Elizabeth C. Fine menuliskan tentang persoalan-persoalan dalam penelitian tradisi lisan, metode, pendekatan baik dalam hubungannya dengan teks maupun yang berhubungan dengan aspek performansinya. Dalam buku tersebut, Fine mengatakan bahwa ada tiga fokus yang perlu diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3) budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). 22

23 konstruksi sosial budaya. Ia juga menyimpulkan bahwa perempuan di dalam tradisi kabhanti masyarakat Wakatobi dicitrakan sebagai (1) perempuan yang lemah dan kuat dari segi fisiknya, (2) dari segi psikis, perempuan dicitrakan sebagai perempuan yang bebas dan terbelenggu, dan (3) aspek sosialnya, perempuan dicitrakan sebagai ibu, pengasuh anak, sebagai tuan rumah. Ia juga menemukan bahwa perempuan sesungguhnya adalah pribadi yang terbuka, menginginkan dialog, mampu bekerja dan menginginkan perubahan, perempuan juga mengimpikan pendidikan sebagai ruang untuk mengubah kehidupannya. Di samping beberapa paradigma di atas, paradigma hermeneutic juga pernah digunakan untuk kajian-kajian tradisi lisan. Beberapa orang yang telah menggunakan paradigma ini dalam kajian tradisi lisan adalah Sri Yaningsih dan kawan-kawan (1985) melakukan kajian mengenai ungkapan tradisional masyarakat Sasak dan Mbojo. Dengan melakukan pengumpulan puluhan ungkapan tradisional dari kedua masyarakat tersebut, Yaningsih kemudian melakukan interprestasi dengan menggunakan pendekatan hermeneutik, dengan mencoba melakukan penelusuran mengenai makna teks-teks tersebut sesuai dengan sejarah yang membentuknya di dalam masyarakat Sasak dan Mbojo. Dari hasil analisis itu dijelaskan bahwa ungkapan tradisional itu merupakan salah satu cara pengungkapan cara berpikir dari masyarakat pendukungnya. Dalam penelitiannya mengenai Cerita Rakyat Banjar, M Zainuddin menggunakan pendekatan sosiologis. Melalui penggunaan pendekatan ini, ia menemukan bahwa dalam cerita rakyat Sarawin, manusia memiliki hubungan dengan tuhan melalui kepercayaan, ketaatan, doa, bersyukur, tobat, berserah diri, dan melalui kesabaran. Dalam hubungannya dengan masyarakat, manusia memiliki 23

24 beberapa bentuk hubungan yaitu gotong royong, musyawarah, kebijaksaan, persatuan, pepatuhan adat, bertanggung jawab, keramahan, suka menolong, saling memaafkan, menghargai, perasaan malu, dan menepati janji, sedangkan dalam hubungannya dengan diri sendiri, manusia harus memiliki kerja keras, menuntut ilmu, kecerdikan, dan pemberani. Beberapa hasil penelitian mengenai tradisi kabhanti atau bhanti-bhanti dapat digolongkan berdasarkan paradigma yang digunakannnya sebagai berikut. Pertama, penelitian kabhanti yang menggunakan pendekatan filologi pernah dilakukan oleh La Niampe (1998) 16 dan Ali Rusdin (2002) 17. Keduanya menganalisis kabhanti dari pendekatan filologi yang menekankan pada suntingan teks, dengan berusaha untuk menemukan naskah arketip atau naskah yang mendekati naskah yang asli. Analisis dilakukan dengan metode stema disertai dengan aparat kritik. Peneliti khabanti dalam naskah juga dilakukan oleh Sumiman Udu (2009) 18 yang mengaji tentang konsep seks masyarakat Buton dalam naskah Kabhanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dhempa karya Sultan La Kobu. Penelitian dengan menggunakan paradigma semiotik etnografi ini, menemukan bahwa pemaknaan khabanti dari sudut pandang masyarakat pemilik khabanti memperlihatkan tata cara seks yang penting bagi penciptaan generasi Buton yang berkualitas di masa depan. Kedua, penelitian tradisi lisan kabhanti dengan menggunakan pendekatan struktural yaitu Sulfiah (2002), La Hamudin (2000), La Sudu (2010), Ramawati 16 Dalam kajiannya mengenai naskah kabhanti Bulamalino, La Niampe melakukan kajian suntingan teks dari aspek filologi. Ia menemukan beberapa versi dalam naskah Bulamalino karya Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin. 17 Dalam kajiannya mengenai Naskah kabhanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa Ali Rusdin melakukan analisis filologi dengan mefokuskan kajiannya pada suntingan teks naskah tersebut. 18 Dalam kajiannya mengenai Konsep Seks Masyarakat Buton, Sumiman Udu menjelaskan bahwa masyarakat Buton memiliki cara pembacaan yang berbeda tentang naskah tersebut. Kalau di dalam naskah menjelaskan tetantang tata cara menanam, maka bagi masyarakat Buton, menanam yang dimaksud adalah tata cara pelaksanaan hubungan seks. 24

25 Masiri (2009), Karimuddin (2010), La Niampe, ddk (2010). Beberapa peneliti mengenai kabhanti di atas, menekankan kajian mereka pada struktur, bentuk dan makna kabhanti dalam masyarakat Mawasangka, Cia-Cia, Muna dan Wakatobi. Mereka menganalisis kabhanti dari segi struktur baris, bait, rima, serta makna dan fungsi kabhanti dalam masyarakat. Paradigma fungsional pernah dilakukan oleh Udu (2008, 2010) yang melihat fungsi kabhanti sebagai media pembelajaran. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa kabhanti merupakan salah satu media pembelajaran sastra yang efektif pada anak usia dini khususnya di dalam masyarakat Wakatobi. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa salah satu fungsi kabhanti dalam masyarakat Wakatobi adalah sebagai ruang ingatan kolektif masyarakat Wakatobi terhadap kearifan lokal mereka terhadap lingkungan, sistem sosial dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Wakatobi. Penelitian yang menjelaskan tentang teks, konteks dan fungsi kabhanti dilakukan oleh Asrif (2015). Dalam penelitian tersebut, Asrif mefokuskan penelitiannya pada aspek teks, dimana ia melihat pada aspek penciptaan teks, mulai dari aspek waktu, formula, tema dan gaya bahasa yang digunakan dalam teks kabhanti. Pada kajiannya mengenai formula, Asrif menyajikan tiga jenis formula yaitu (1) formula dalam, (2) formula luar, dan (3) formula pendahulu. Sedangkan dalam analisisnya mengenai tema, Asrif hanya melihat pada aspek tema yang diangkat dalam karya-karya sastra lainnya. Selanjutnya, Asrif juga melihat aspek konteks, dalam bagian ini ia menemukan dua konteks budaya yang mendukung kabhanti yaitu budaya maritim dan budaya agraris. Penelitian ini juga melihat, fungsi kabhanti dalam masyarakat Buton yaitu (1) hiburan, (2) edukasi, (3) silaturahmi, (4) ekonomi. 25

26 Selanjutnya penelitian mengenai kabhanti juga pernah dilakukan dengan menggunakan prespektif linguistik. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Hamiruddin Udu (2006). Dalam penelitian tersebut, ia melihat tentang pebanding dan pembading unsur makna dan maknanya, serta pandangan budaya masyarakat yang terbaca dalam kabhanti pengantar tidur. Dari tulisan ini ditemukan bahwa pembanding metafora dalam kabhanti selalu menggunakan nama benda-benda atau hal lain yang akrab dengan kehidupan anak. Pola pasangan metafora dengan metafora, metafora dengan nonmetafora, pasangan nonmetafora dengan metafora. Penggunaan paradigma postrukturalisme dalam penelitian mengenai kabhanti juga dilakukan oleh Sumiman Udu (2009). Dalam analisis tersebut, ditemukan bahwa dalam teks kabhanti terdapat perbedaan cara berpikir tentang jodoh antara perempuan dari kalangan ode 19, dan perempuan yang berasal dari kalangan maradhika 20. Perempuan dari kalangan maradhika cenderung memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya. Sedangkan perempuan dari golongan kaomu dan walaka yang sering kali menggunakan gelar ode menyerahkan masalah jodohnya pada adat atau keluarga. Berangkat dari beberapa penggunaan paradigma dalam penelitian tradisi lisan di atas, maka penelitian mengenai tradisi kabhanti pernah dilakukan oleh Asrif, Udu (2013), namun penelitian-penelitian tersebut belum mampu mengungkap berbagai bentuk pementasan, formula, dan komposisi skematik yang ada dalam tradisi lisan 19 ode dalam masyarakat Buton memiliki pemahaman yang ganda, dalam masyarakat tradisional Buton sebagian memahami ode sebagai darah biru, sedangkan dalam undang-undang martabat tujuh Buton versi Muhammad Idrus Kaimuddin sultan Buton ke 29, ode bukanlan darah biru, melainkan gelar yang diberikan kepada masyarakat Buton atas jasa-jasa mereka pada kesultanan Buton. 20 Maradhika atau merdeka merupakan salah satu strata sosial dalam sistem sosial masyarakat Buton. Dalam strata ini, kalangan maradika merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kebebasan, namun dibatasi dalam hal menduduki jabatan di zaman kesultanan. 26

27 bhanti-bhanti, khususnya tradisi bhanti-bhanti Wakatobi. Dengan demikian, penelitian mengenai berbagai bentuk-bentuk pementasan, formula, dan komposisi skematik tradisi lisan bhanti-bhanti perlu dilakukan. Karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai bentuk pementasan, sistem formula, dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 1.6 Kerangka Teori Kajian ini akan dilakukan dalam rangka memahami aspek tradisi lisan bhantibhanti dalam masyarakat Wakatobi. Teori dan konsep dasar yang digunakan dalam kajian ini dibatasi pada teori dan konsep yang relevan dengan objek kajian. Finnegan (1992) mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya tradisi lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui interprestasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya, tetapi penelitian tradisi lisan harus diarahkan pada konteks pementasannya. Karena dengan deskripsi etnografis mengenai konteks pementasan seperti penggubah atau pelantun, variasi yang terjadi akibat audiens, reaksi audiens, sumbangan alat-alat musiknya, dan konteks sosial tempat penceritaan atau pelantunan itu akan menjadi ruang untuk mempelajari tradisi lisan di masa depan (Finnegan, 1978: 7). Di samping itu, Ruth Finnegan (1992: 122) juga mengatakan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak terlepas dari aspek ekonomi, hubungan kekuasaan, sistem nilai dan struktur keluarga dalam suatu masyarakat. Hal itu didasari oleh adanya pertimbangan bahwa kajian ini tidak hanya terfokus pada teks atau lor saja, tetapi juga pada folk, sebagaimana model penelitian folklor modern yang cenderung memanfaatkan ilmu interdisipliner (Danandjaja, 1984: 5-6). 27

28 Dengan demikian, konsep teoritis yang dijadikan referensi dalam penelitian ini merupakan konsep tradisi lisan yang tidak hanya terfokus pada teks, tetapi juga pada masyarakatnya. Untuk itu, beberapa teori dan konsep yang akan diuraikan dalam penelitian ini meliputi: konsep tradisi lisan, konsep pementasan, konsep formula, konsep komposisi skematik, dan konteks sosial tradisi lisan. Penggunaan teori-teori tersebut dilakukan guna mendukung pemecahan dan pembahasan masalah penelitian. Selanjutnya, teori dan konsep tersebut akan diuraikan sebagai berikut Tradisi Lisan Menurut Jan Vansina (2014: 1) istilah tradisi lisan mengacu pada sebuah proses dan kepada hasil dari proses tersebut. Hasilnya adalah pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang berusia paling tidak satu generasi. Prosesnya berupa penyampaian pesan dari mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai pesan tersebut menghilang. Oleh karena itu, setiap tradisi lisan adalah versi pada satu masa, sebuah elemen dalam proses pengembangan lisan yang dimulai dari komunikasi awal. Sifat dari setiap versi akan berbeda tergantung pada posisinya di dalam proses secara keseluruhan. Untuk menjelaskan mengenai tradisi lisan sebagai proses, Zaimar (2008: 321) menerjemahkan konsep Ruth Finnegan (1992: 16-17) tentang istilah oral poetry yang dipadankan dengan istilah tradisi lisan. Zaimar menekankan bahwa karya dapat disebut tradisi lisan dengan melihat ketiga aspek, yaitu komposisi skematik, cara penyampaian, dan pertunjukannya. Dari segi isi pesan, Mursal Esten (1999: 21) mengatakan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya yang 28

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. disimpulkan bahwa tradisi bhanti-bhanti Wakatobi merupakan salah satu tradisi

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. disimpulkan bahwa tradisi bhanti-bhanti Wakatobi merupakan salah satu tradisi BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi bhanti-bhanti Wakatobi merupakan salah satu tradisi yang telah diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi

BAB I PENDAHULUAN. Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabhanti Watulea merupakan tradisi lisan masyarakat Watulea di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Kabhanti Watulea adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya dengan budayanya. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain bahasa daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pemiliknya, sebagai milik bersama, yang isinya mengenai berbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Dalam penulisan sebuah karya ilmiah diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka bertujuan untuk mengetahui keauntetikan sebuah karya ilmiah. Kajian yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam tiga kelompok berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, sebagian

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam tiga kelompok berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan, sebagian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ragam kebudayaan di Indonesia yang dapat menunjukan identitas budaya pemiliknya ialah folklor. Menurut Danandjaja (1984:2), folklor didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap

A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di sekolah dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik pada aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Untuk mencapai ketiga aspek tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih teratur dan mempunyai prinsip-prinsip yang kuat. Mengingat tentang

BAB I PENDAHULUAN. lebih teratur dan mempunyai prinsip-prinsip yang kuat. Mengingat tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya merupakan cerminan dari suatu bangsa, bangsa yang menjunjung tinggi kebudayaan pastilah akan selalu dihormati oleh negara lainnya. Budaya yang terdapat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,1989:8).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebudayaan antik (antiquarian) Inggris memperkenalkan istilah folklor ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebudayaan antik (antiquarian) Inggris memperkenalkan istilah folklor ke dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Folklor merupakan khazanah sastra lama. Salah satu jenis folklor adalah cerita rakyat. Awalnya cerita rakyat merupakan cerita lisan yang dapat dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat, atau dalam arti sempitnya disebut sebagai kesenian rakyat. Coseteng dan Nemenzo (Jahi 2003: 29) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada peribahasa yang menyebutkan di mana ada asap, di sana ada api, artinya tidak ada kejadian yang tak beralasan. Hal tersebut merupakan salah satu kearifan nenek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Tapanuli Tengah dikenal dengan sebutan Negeri Wisata Sejuta Pesona. Julukan ini diberikan kepada Kabupaten Tapanuli Tengah dikarenakan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pulau, daerah di Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan berbagai macam sumber daya alam serta keberagaman suku dan budaya. Sebagai negara dengan beberapa pulau, daerah

Lebih terperinci

SILABUS MATAKULIAH KAJIAN SASTRA LISAN IN 426 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

SILABUS MATAKULIAH KAJIAN SASTRA LISAN IN 426 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SILABUS MATAKULIAH KAJIAN SASTRA LISAN IN 426 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2006 SILABUS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelilitian Ziarah merupakan istilah yang tidak asing di masyarakat. Ziarah adalah salah satu bentuk kegiatan berdoa yang identitik dengan hal yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan yang pesat saat ini. Film juga telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan 36 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki (KBBI, 2002:740) atas

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar 9 Tahun Dalam Sastra Dayak Ngaju, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003), 20.

BAB I PENDAHULUAN. Belajar 9 Tahun Dalam Sastra Dayak Ngaju, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003), 20. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Dayak Ngaju merupakan suku Dayak yang berdomisili di Provinsi Kalimantan Tengah. Umumnya, suku Dayak Ngaju tinggal di sepanjang sungaisungai besar seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (blackberry massanger), telepon, maupun jejaring sosial lainnya. Semua itu

BAB I PENDAHULUAN. (blackberry massanger), telepon, maupun jejaring sosial lainnya. Semua itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, media komunikasi tradisional cenderung banyak yang terlupakan dibandingkan dengan media teknologi komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN GORONTALO MAKALAH NONSEMINAR RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM

UNIVERSITAS INDONESIA TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN GORONTALO MAKALAH NONSEMINAR RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM UNIVERSITAS INDONESIA TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN GORONTALO MAKALAH NONSEMINAR diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM 1006699511

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Violeta Inayah Pama, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Violeta Inayah Pama, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri karena adanya bukti-bukti berupa tradisi dan peninggalan-peninggalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi 1) Repustakaan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kelurahan Sindangkasih adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kelurahan Sindangkasih adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa di BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Seni tradisi Gaok di Majalengka, khususnya di Dusun Dukuh Asem Kelurahan Sindangkasih adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa di wilayah tersebut. Berbeda dengan

Lebih terperinci

SILABUS MATAKULIAH SASTRA NUSANTARA IN 109 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

SILABUS MATAKULIAH SASTRA NUSANTARA IN 109 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SILABUS MATAKULIAH SASTRA NUSANTARA IN 109 DRS. MEMEN DURACHMAN, M.HUM. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2006 SILABUS 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gending berarti lagu, tabuh, nyanyian, sedangkan Rare berarti bayi/

BAB I PENDAHULUAN. Gending berarti lagu, tabuh, nyanyian, sedangkan Rare berarti bayi/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gending berarti lagu, tabuh, nyanyian, sedangkan Rare berarti bayi/ kanak-kanak, Gending Rare berarti nyanyian untuk bayi/ kanak-kanak. Gending Rare diketahui sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Dapat dikatakan dalam suatu bagian daerah Indonesia memiliki kebudayaan dan kesenian khas

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk

I. PENDAHULUAN. Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk ungkapan pengarang atas kehidupan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi BAB 7 PENUTUP 7.1 Kesimpulan I La Galigo merupakan intangible heritage yang menjadi identitas masyarakat Sulawesi Selatan dan saat ini masih bertahan di tengah arus globalisasi. Salah satu cara untuk melestarikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan serta memiliki beraneka ragam budaya. Kekayaan budaya tersebut tumbuh karena banyaknya suku ataupun etnis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai berbagai permasalahan yang kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menyangkut berbagai hal, yakni permasalahan

Lebih terperinci

MENDONGENG DI SEKOLAH Oleh: Eko Santosa

MENDONGENG DI SEKOLAH Oleh: Eko Santosa MENDONGENG DI SEKOLAH Oleh: Eko Santosa Keith Johnstone (1999) menjelaskan bahwa mendongeng atau bercerita (storytelling) merupakan produk seni budaya kuno. Hampir semua suku bangsa di dunia memiliki tradisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian pustaka sangat diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Budaya memberikan identitas khusus yang membedakan antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Budaya menjadi hal yang penting dalam masyarakat, terlebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Permukaan Bulan. Bulan merupakan satu-satunya satelit alam yang dimiliki bumi. Kemunculan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Permukaan Bulan. Bulan merupakan satu-satunya satelit alam yang dimiliki bumi. Kemunculan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Gambar 1.1 Permukaan Bulan Bulan merupakan satu-satunya satelit alam yang dimiliki bumi. Kemunculan bulan saat malam hari, membuat malam menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal

BAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal bahwa tradisi lisan masih hidup di berbagai suku bangsa di Indonesia. Tradisi lisan sering

Lebih terperinci

Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan

Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan penelitian (4) mamfaat penelitian. A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teks sastra adalah teks artistik yang disusun dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra

Lebih terperinci

BAB V UPAYA PELESTARIAN NYANYIAN RAKYAT KAU-KAUDARA DI SEKOLAH. Pada bagian ini membahas tentang upaya pelestarian kau kaudara yang

BAB V UPAYA PELESTARIAN NYANYIAN RAKYAT KAU-KAUDARA DI SEKOLAH. Pada bagian ini membahas tentang upaya pelestarian kau kaudara yang 175 BAB V UPAYA PELESTARIAN NYANYIAN RAKYAT KAU-KAUDARA DI SEKOLAH A. Pengantar Pada bagian ini membahas tentang upaya pelestarian kau kaudara yang dapat dilakukan di sekolah, antara lain (1) nyanyian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budaya merupakan suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah merupakan wujud ideal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada penggunaan lambang suatu kerajaan (Zoest, 1993, hal. 6). Simbol

BAB I PENDAHULUAN. pada penggunaan lambang suatu kerajaan (Zoest, 1993, hal. 6). Simbol BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Simbol merupakan tanda yang muncul dari kesepakatan sosial, misal pada penggunaan lambang suatu kerajaan (Zoest, 1993, hal. 6). Simbol sangat erat dengan kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Ada beberapa buku yang penulis pakai dalam memahami dan langsung mendukung penelitian ini, diantaranya buku yang berkaitan dengan revitalisasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan beraneka ragam macam budaya. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Hiburan adalah segala sesuatu yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih. Hiburan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu daerah pasti memiliki suatu keunikan masing-masing. Keunikankeunikan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu daerah pasti memiliki suatu keunikan masing-masing. Keunikankeunikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu daerah pasti memiliki suatu keunikan masing-masing. Keunikankeunikan tersebut terlihat pada berbagai kebudayaan serta adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan suatu kegiatan yang mempunyai hubungan dengan proses berpikir, serta keterampilan ekspresi

Lebih terperinci

1.1 Mob Papua dalam Penelitian Sastra Lisan

1.1 Mob Papua dalam Penelitian Sastra Lisan Bab I Pendahuluan 1.1 Mob Papua dalam Penelitian Sastra Lisan Bagian ini memuat alasan ilmiah penulis untuk mengkaji mob Papua sebagai bagian dari karya sastra lisan. Kajian karya sastra lisan berarti

Lebih terperinci

Tembang Batanghari Sembilan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud

Tembang Batanghari Sembilan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Tembang Batanghari Sembilan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan A. Pendahuluan B. Hasil Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 64 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian tradisi lisan merupakan obyek kajian yang cukup kompleks. Kompleksitas kajian tradisi lisan, semisal upacara adat dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Fendra Pratama, 2014 Perkembangan Musik Campak Darat Dari Masa Ke Masa Di Kota Tanjung Pandan Belitung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Fendra Pratama, 2014 Perkembangan Musik Campak Darat Dari Masa Ke Masa Di Kota Tanjung Pandan Belitung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik Melayu Indonesia lahir pada tahun 50an. Musik Melayu Indonesia sendiri adalah musik tradisional yang khas di daerah Pantai Timur Sumatera dan Semenanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nyanyian rakyat Muna (selanjutnya di dalam karya ini disingkat NRM)

BAB I PENDAHULUAN. Nyanyian rakyat Muna (selanjutnya di dalam karya ini disingkat NRM) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyanyian rakyat Muna (selanjutnya di dalam karya ini disingkat NRM) adalah nyanyian tradisional yang didendangkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau

BAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang luas, beragam suku tersebar di berbagai wilayah, dan memiliki sumber daya manusia yang unik pula.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan generasi mudah kita terjebak dalam koptasi budaya luar. Salah kapra dalam memanfaatkan teknologi membuat generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra pada umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk lisan dan bentuk tulisan. Sastra yang berbentuk lisan seperti mantra, bidal, pantun, gurindam, syair,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana

Lebih terperinci

MERUMUSKAN METODE PENGKAJIAN TRADISI LISAN

MERUMUSKAN METODE PENGKAJIAN TRADISI LISAN RESENSI BUKU MERUMUSKAN METODE PENGKAJIAN TRADISI LISAN Asep Rahmat Hidayat Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113, Telepon: 085220508085, Posel: kang.abu2@gmail.com Naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng

BAB I PENDAHULUAN. (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satua merupakan salah satu karya sastra dari kesusastraan Bali purwa (tradisional) yang banyak ditemukan dalam masyarakat Bali. Satua atau dongeng (bahasa Indonesia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, (3) definisi operasional, (4) tujuan penelitian, (5) manfaat penelitian, dan (6) paradigma penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, (3) definisi operasional, (4) tujuan penelitian, (5) manfaat penelitian, dan (6) paradigma penelitian. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian, (2) masalah penelitian, (3) definisi operasional, (4) tujuan penelitian, (5) manfaat penelitian, dan (6) paradigma penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri yang satu dengan yang lainnya.

Lebih terperinci

MEDIA TRADISIONAL. A. Pengertian Media Tradisional

MEDIA TRADISIONAL. A. Pengertian Media Tradisional MEDIA TRADISIONAL A. Pengertian Media Tradisional Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang beragam yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan budaya dan tradisi

Lebih terperinci

PELESTARIAN KARUNGUT SENI TRADISI LISAN KLASIK DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH

PELESTARIAN KARUNGUT SENI TRADISI LISAN KLASIK DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH PELESTARIAN KARUNGUT SENI TRADISI LISAN KLASIK DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH Oleh: Neni Puji Nur Rahmawati Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat Karungut adalah sebuah kesenian tradisional

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH : SASTRA NUSANTARA KODE : IN 109 Dr. Tedi Permadi, M.Hum. JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2013 Tujuan Pembelajaran Khusus Pertemuan ke-1: Pertemuan ke-2:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Akar tradisi melekat di kehidupan masyarakat sangat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Akar tradisi melekat di kehidupan masyarakat sangat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal dengan bangsa yang mempunyai kekayaan tradisi dan budaya. Kekhasan serta kekayaan bangsa dalam tradisi dan budaya yang dimiliki, bukti bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam kebudayaannya. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang dianyam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah suatu peristiwa sosial yang mempunyai tenaga kuat sebagai sarana kontribusi antara seniman dan penghayatnya, ia dapat mengingatnya, menyarankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat Ciamis. Ronggeng gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni

Lebih terperinci

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran BAB 7 Standar Kompetensi Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat setempat. 2. Mengembangkan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi lokal ini sering disebut dengan kebudayaan lokal (local culture), yang

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi lokal ini sering disebut dengan kebudayaan lokal (local culture), yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap suku bangsa di Nusantara memilliki beragam bentuk tradisi yang khas. Tradisi lokal ini sering disebut dengan kebudayaan lokal (local culture), yang hidup di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra Bali merupakan bagian dari kebudayaan daerah yang merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat memperkaya warisan budaya bangsa

Lebih terperinci