BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika diperlukan oleh manusia untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Narkotika berpengaruh terhadap fisik dan mental, apabila digunakan dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter phsikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi kesehatan phisik dan kejiwaan manusia. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional (Syamsul Hidayat, 2010:1) Dalam dasar menimbang Undang undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis 1

2 1 akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional. Tindak pidana narkotika merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah pada taraf yang sangat menghawatirkan, jika di amati berita-berita diberbagai media hampir setiap hari ada tindak pidana narkoba. Berikut adalah prevlensi pengguna narkoba di Indonesia dari tahun : Tabel. 1.1 Prelevansi penyalagunaan narkoba di Indonesia tahun Tahun Presentase 1.5% 1.99% 2.32% 2.56% 2.80% Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2015 pengguna narkoba sudah mencapai 2.80%, ada kenaikan hampir dua kali lipat dalam 9 tahun terakhir (tahun 2005 prevalensi 1.5%). Hal ini mengindikasikan begitu mudah seseorang mendapatkan narkoba yang pada akhirnya akan mengancam dan merusak generasi sebagai penerus bangsa. Pemerintah menanggapi peningkatan penyalagunaan narkoba dengan Kejahatan Narkotika belakangan ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961 (Kusno Adi, 2009:30). Dunia Internasional sekarang ini belum memberika perhatian khusus terhadap kejahatan penyalagunaan narkoba, karena menurut PBB itu bukalan kejahatan serius. The consequences of Indonesia s participation in the

3 2 Narcotic Drugs and Psychotropic Substances Convention in order to take more strict national measures in legally eradicating Narcotics crimes shall have a higher degree of binding force in the light of international law sources, as regulated in Article 38 Paragraph (1) of the Statute of International Court of Justice than the opinion of the Human Rights Commission of the United Nations to the effect that crimes related to the drugs abuse do not belong to the category of the most serious crimes (Patrick Gallahue and others : 11) Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam - macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang. Beberapa perkara tindak pidana narkotika telah diputus secara tegas dengan hukuman mati. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pengedar dan pengguna narkotika yang masih bebas diluar sana dan lolos dari jeratan hukum. Dalam perkara Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK, Terdakwa tindak pidana narkotika pada tingkat Banding diputus lebih berat daripada putusan sebelumnya. Di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Terdakwa hanya diputus Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Sedangkan di tingkat Banding Terdakwa diputus melakukan tindak pidana Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki, Menyimpan, Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk

4 3 Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan uraian diatas maka Penulis tertarik untuk melakukan peninjauan lebih mendalam dengan melakukan penulisan penelitian hukum dengan judul Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis dapat mengambil beerapa permasalahan yang akan dirumuskan untuk mempermudah penulis dalam mengkaji masalah yang diangkat serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Rumusan masalah yang akan dikaji penulis tersebut adalah : 1. Apakah argumentasi hukum Penuntut Umum mengajukan upaya Banding telah sesuai dengan KUHAP? 2. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi menerima dan menjatuhkan sanksi pidana kepada Terdakwa sesuai dengan KUHAP? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui argumentasi hukum Penuntut Umum mengajukan upaya Banding terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP.

5 4 b. Mengetahui implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana narkotika terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP. 2. Tujuan Subyektif a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana. b. Menerapkan ilmu dan pemikiran mengenai Hukum Acara Pidana yang telah Penulis pelajari selama masa perkuliahan. c. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian yang dilakukan diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh dari sebuah penelitian baik manfaat bagi Penulis maupun manfaat bagi orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan pengajaran, literature dan referensi serta sebagai sarana untuk memecahkan permasalahan yang terjadi. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian hukum selanjutnya.

6 5 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan atas permasalahan yang diteliti. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wahana bagi penulis dalam mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang sistematis, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh penulis selama Penulis menimba Ilmu di bangku perkuliahan. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu kegiatan know how dalam ilmu Hukum. Bahwa sebagai suatu kegiatan yang bersifat know-how, maka tujuan dari adanya penelitian hukum adalah untuk untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi. Oleh karena tujuannya adalah untutk memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi maka dibutuhkanlah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum yang ada, melakukan penalaran hukum, serta menganalisis yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas permasalahan tersebut. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60). (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56). Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecaan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 60). Berdasarkan uraian diatas untuk mencapai tujuan dari penelitian hukum yaitu untuk menghasilkan suatu argumentasi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi maka diperlukanlah suatu metode penelitian. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini:

7 6 a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang penulis gunakan dalam menyusun penelitian hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif. Bahwa terkait dengan penelitian hukum doktrinal atau normatif ini, Peter Mahmud Marzuki memberikan pendapat, bahwa menurutnya semua penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research) adalah selalu normatif. Jika tipe penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan adanya pernyataan demikian maka sudah jelas bahwa penelitian tersebut adalah bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan. Jenis penelitian hukum normatif yang dipilih leh penulis telah sesuai dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat untuk menghasilkan argumentasi. b. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Hal tersebut timbul dari hasil telaah yang dilakukan dan dapat melahirkan preskripsi yang dapat diterapkan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22). c. Pendekatan Penelitian Bahwa di dalam penelitian hukum, terdapat berbagai macam pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2014: 133) pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

8 7 Bahwa pendekatan yang akan digunakan penulis daam penelitian hukum ini adalah pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis, ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 134). d. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas.bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim (Peter Mahmud Maruki, 2010: 141). Adapun bahan-bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke IV 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana; 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

9 8 6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 7. Putusan Pengadilan Negeri Yoyakarta Nomor: 445/PID.SUS/2014/PN.Yyk; 8. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnak hukum, dan komentar-komentar atas putusan (Peter Mahmud Maruki, 2010: 141). 1. Buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum; 2. Jurnal-jurnal hukum; 3. Artikel; dan 4. Bahan dari media internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Bahan hukum tersebut kemudian dipelajari, dikaji, dianalisis, dan digunakan sebagai dasar untuk menjawab permasalahan hukum yang akan diteliti. f. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deduksi.sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor.dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 47).

10 9 Adapun dalam penulisan hukum ini, yang dimaksud sebagai premis mayor yang sifatnya umum ialah aturan hukum dalam KUHAP. Sedangkan yang dimaksud sebagai premis minor yang bersifat khusus ialah fakta hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK. Dari kedua premis tersebut, maka akan dapat ditarik kesimpulan untuk dapat menjawab isu hukumnya. F. Sistematika Penulisan Hukum Dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk memberikan pemahaman terkait seluruh isi dalam penulisan hukum ini, maka penulis akan menjabarkannya ke dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana di setiap bab akan dibagi ke dalam beberapa sub bagian untu mempermudah pemahaman mengenai isi dari penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum sebagai berikut : BAB I : BAB II : PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi). TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang hakim, tinjauan tentang penuntut umum, tinjauan tentang banding, tinjauan tentang putusan dan tinjauan tentang tindak pidana

11 10 narkotika. Selain itu dalam bab ini juga akan dilengkapi dengan kerangka pemikiran untuk memberikan pemahaman mengenai alur berfikir penulis. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Bahwa berdasarkan rumusan masalah, terdapat dua pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: argumentasi hukum Penuntut Umum mengajukan upaya Banding terhadap putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP dan implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana narkotika terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan Pasal 183 Jo. Pasal 143 ayat (1) KUHAP. BAB IV : PENUTUP Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Marwan Effendy, 2007:127). Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, 12

13 12 karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambrenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. b. Pengertian Penuntut Umum Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (KUHAP Pasal 1 butir 6a). Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (KUHAP Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13) Jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi, Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus Jaksa (Bambang Waluyo, 2008:57).

14 13 c. Wewenang Penuntut Umum Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP mealui Pasal 14, yaitu: 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik Pembantu; 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik; 4. Membuat surat dakwaan; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7. Melakukan penuntutan; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10. Melaksanakan menetapan Hakim. 2. Tinjauan tentang Upaya Banding Putusan yang diambil peradilan tingkat banding adalah putusan tingkat kedua dan tingkat terakhir. Pengadilan Tinggi sebagai institusi peradilan tingkat banding merupakan instansi

15 14 peradilan tingkat kedua dan terakhir. Secara institusional, putusan tingkat terakhir peradilan adalah wewenang peradilan tingkat banding, sedang Mahkamah Agung adalah instansi peradilan kasasi terhadap putusan tingkat terakhir dari instansi peradilan yang lain (M. Yahya Harahap, 2010:449) Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Upaya banding yang secara formal dibenarkan undangundang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yang ditentukan Pasal 67 Jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Menurut M. Yahya Harahap (2012: 453) bahwa alasan permintaan banding dapat diperinci sebagai berikut: (1) Dapat Dikemukakan Pemohon Secara Umum ; (2) Dapat Dikemukakan Secara Terperinci ; (3) Permintaan Banding Dapat Ditujukan Terhadap Hal Tertentu. Selain itu permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, antara lain (M. Yahya Harahap, 2012: ): (1) Putusan menjadi mentah kembali; (2) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding; (3) Putusan yang dibanding tidak mempunyai daya eksekusi.

16 15 3. Tinjauan Tentang Putusan a. Pengertian Putusan Pengertian putusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap (2012:347) putusan adalah hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebagaimana penjelasan di atas, putusan merupakan hasil permusyawaratan Majelis Hakim, adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh Majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya musyawarah yang dilakukan Majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang menjelaskan bahwa musyawarah diawali dengan Hakim Ketua Majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya keputusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;

17 16 2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah yang didakwakan terhadap Terdakwa di persidangan oleh Penuntut Umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, profesional, dan bertanggung jawab serta harus independen tidak terpengaruh dari pihak manapun. Selain mengenai substansi isi materi dalam putusan, Hakim juga harus berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak melanggar aturan mengenai tentang tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Syarat Formil Putusan Dalam KUHAP diatur mengenai syarat suatu putusan agar sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara pidana adalah: 1) Memuat hal-hal yang diperintahkan oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal

18 17 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai l KUHAP mengatur mengenai hal-hal yang harus diperhatikan agar putusan tidak batal demi hukum yaitu (M. Yahya Harahap, 2012: ): a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Hukum ditegakkan bukan atas nama hukum atau penguasa, tetapi atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berkaitan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu keadilan berdasarkan ketuhanan. b) Identitas Terdakwa Dalam putusan harus diuraikan identitas terdakwa secara jelas dan terang guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili. Identitas terdakwa ini meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan Penuntut Umum Pasal 197 ayat (1) huruf c mengatur bahwa putusan memuat keseluruhan isi surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa

19 18 Fakta dan keadaan harus diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta atau keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa harus jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Kesimpulan tuntutan pidana atau rekuisitor Penuntut Umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan. Dasar-dasar hukum alasan kesimpulan tuntutan pidana diuraikan serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta alat pembuktian. f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal Pasal 197 ayat (1) huruf g mengatur bahwa putusan pengadilan negeri harus memuat tanggal hari musyawarah dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan. h) Pernyataan kesalahan Terdakwa Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan

20 19 tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Penjelasan tentang surat palsu Jika dalam persidangan ditemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalsuan itu dijelaskan dalam putusan, dimana letaknya kepalsuan itu. k) Perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus dan nama panitera. Apabila dalam suatu putusan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini tidak dipenuhi maka mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) yang berbunyi Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Betapa besarnya dampak yang ditimbulkan apabila suatu putusan tidak memuat ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l KUHAP sehingga putusan yang dilahirkan tidak mempunyai kekuatan hukum dan daya eksekusi, yang mengakibatkan keadaan Terdakwa kembali seperti semula seperti sebelum didakwa.

21 20 c. Bentuk-bentuk Putusan Ada bermacam-macam bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan bentuk-bentuk putusan bisa saja dipengaruhi oleh penilaian Hakim terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Putusan bebas, berarti Terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal. Pengertian Terdakwa diputus bebas, Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Jika ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas adalah putusan yang tidak memenuhi asas pembuktian menurut undangundang secara negatif dan tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. 2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

22 21 Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti secara sah menurut segi pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang didakwakan tersebut bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan terdapat keadaankeadaan yang istimewa yang menyebabkan Terdakwa tidak dapat dihukum, misalnya dikarenakan adanya alasan pemaaf sebagaimana terdapat dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP (Leden Marpaung, 2011: 135). 3) Putusan Pemidanaan Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan adalah Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 354). Putusan ini dijatuhkan karena berdasarkan pembuktian di persidangan dengan didukung dengan sedikitnya dua alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, ternyata dapat diketahui bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Sehingga hal tersebut

23 22 memberikan keyakinan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara bahwa Terdakwalah pelaku tindak pidana. 4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan Penuntut Umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: ). 5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Menurut Leden Marpaung (2011: 134) putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena terdapat beberapa alasan, yaitu: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik pengaduan); b) Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).

24 23 6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang bunyinya Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal, apabila Penuntut Umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 359). 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu strafbaarfeit, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. Straf berarti pidana, baar berarti dapat atau boleh, feit adalah pebuatan (Adami Chazawi, 2002; 69). Menjelaskan bahwa Tindak Pidana/strafbaarfeit adalah Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan lainnya,

25 24 terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 72). Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum Sedangkan syarat-syarat dari Tindak Pidana Tersebut adalah dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik Dapat dipertanggung jawabkannya pelaku atas perbuatannya Tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997;187). Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50). Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhuungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi: a. Kesengajaan

26 25 b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c. Ada atau tidaknya perencanaan d. Adanya perasaan takut. 2) Unsur Objektif Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi: 3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku 5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) (Dharana Lastarya, 2006:15). Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang

27 26 bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Erwin Mappaseng, 2002:2). Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut (Erwin Mappaseng, 2002:3): a. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (contoh: heroin/putaw, kokain, ganja). b. Narkotika Golongan II Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh, morfin, petidin). c. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh: Kodein) Berdasarkan pasal Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.

28 27 Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di antaranya sebagai berikut : Narkotika : Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melibihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanan denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

29 28 Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

30 29 Selanjutnya dalam ketentuan pidana Pasal 127 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa : (1) Setiap Penyalahguna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.

31 30 B. Kerangka Pemikiran Perkara Tindak Pidana Narkotika Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Yogyakarta Putusan Putusan Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana Narkotika Upaya Hukum Banding Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding - Dikabulkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran

32 31 Penjelasan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran di atas, menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK). Bahwa terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika ini pada Pengadilan Negeri Yogyakarta diputus Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian Penuntut Umum mengajukan permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta karena merasa belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menjelaskan hal-hal yang menjadi alasan pengajuan upaya hukum banding. Oleh karena alasan yang telah diajukan, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki, Menyimpan, Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan alasan yang diuraikan oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta mengabulkan permintaan Banding dan membatalkan putusan sebelumnya dalam perkara ini. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menyatakan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang telah Penuntut Umum ajukan dalam memori Banding. Sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp ,- (delapan ratus juta rupiah).

33 32 Dari perbedaan putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa antara Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta maka diketahui adanya argumentasi hukum Penuntut Umum yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Selain itu juga terdapat implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana Narkotika sehingga penulis memandang perlu adanya suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK.

34 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pada sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amendemen ke- IV. Sehingga setiap orang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. Salah satu prinsip penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Uang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu negara, uang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebarkan seluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1980 an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila di tinjau dari aspek hukum adalah sah keberadaanya. Undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke-empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika 1. Pengertian tindak pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika sebagai bentuk tindakan yang melanggar hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia Perez (Jupe) harus masuk ke dalam jeruji besi. Kala itu, Dewi Persik (Depe) dan Jupe harus melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dewasa ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Setiap manusia dalam hidup bermasyarakat tidak pernah terlepas dari hubungan satu sama lain dalam berbagai hal maupun aspek. Manusia senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan Narkotika merupakan masalah yang kompleksitasnya memerlukan upaya penanggulangan secara menyeluruh. Upaya penanggulangan tersebut dilakukan dengan melibatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan semakin meningkat. Dapat kita amati dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang hukum ditinjau dari beberapa aspek. Ditinjau dari hubungan hukum yang diatur dikenal Hukum Publik dan Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan Hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di masyarakat. Aparatur penegak hukum merupakan pelengkap dalam hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang oleh karena itu segala

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN. REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.GSK) Oleh : Arkisman ABSTRAK Narkotika adalah obat/ bahan berbahaya, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur publik yang artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga dengan negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci