Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014,"

Transkripsi

1 344 DISTORSI PENERAPAN PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT NO. 10 TAHUN 2012 : STUDI EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI KOTA SURABAYA Arkial Eko Yoswiarto ( ) Abstrak Penyediaan perumahan real estate untuk masyarakat oleh pemerintah daerah dengan menganut konsep hunian berimbang bertujuan untuk menjamin ketersediaan rumah. Tetapi hingga saat ini di kota Surabaya pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang. Penting untuk melihat dan menganalisis penyebab pengembang perumahan belum melaksanakan konsep hunian berimbang, dan mengetahui penyebab pemerintah kota Surabaya belum memberikan sanksi yang tegas kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang sehingga dapat diketahui siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif bertujuan menggambarkan kendala-kendala pengembang perumahan dalam melaksanakan konsep hunian berimbang dan kendala pemerintah kota Surabaya dalam pemberian sanksi kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang. Teori yang digunakan adalah teori dan konsep ekonomi politik, pemerintah kota, pengembang perumahan dan pemerintah kota. Hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri terlihat adanya saling pengaruh dan hubungan antara fenomena politik dan ekonomi dalam pengambilan kebijakan pelaksanaan konsep hunian berimbang, para pengambil kebijakan sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomis yang menguntungkan kelompok tertentu dan masih kurang tegasnya pemerintah kota dalam menjalankan kebijakan konsep hunian berimbang ini. Untuk itu penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah kota tegas dalam menjalankan kebijakan penyediaan perumahan dengan melaksanakan konsep hunian berimbang. Kata kunci : Ekonomi Politik, Konsep Hunian Berimbang, Pengembang Perumahan

2 345 Abstract Provision of residential real estate to the public by local government to embrace the concept of balanced residential house aims to ensure availability. But until now in the city of Surabaya housing developers have not implemented the concept of balanced residential. It is important to look at and analyze the causes of the housing developers have not implemented the concept of balanced residential, and find the cause of the Surabaya city government has not given explicit sanction to the housing developers have not implemented the concept of balanced residential so it can be anyone who is advantaged and disadvantaged. This study used a qualitative approach, which aims to produce descriptive data illustrate the constraints of housing developers in implementing the concept of balanced residential and constraints Surabaya city government in granting sanction to housing developers have not implemented the concept of balanced residential. The theory used is the theory and concepts of political economy, the city government, housing developers and the city government. The results of the study conducted by researchers themselves looks existence of mutual influence and the relationship between political and economic phenomena in taking the concept of balanced residential policy implementation, policy makers strongly influenced by economic interests that benefit certain groups and the city government is still a lack of traction in policy run this balanced residential concept. Therefore this study recommends that the city government firmly in implementing housing policy by implementing the concept of balanced residential. Keywords: Political Economy, Concept Residential Balanced, Real Estate Developer Pendahuluan Salah satu hak dasar yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28H adalah bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Rumah merupakan kebutuhan dasar ( basic needs) bagi setiap manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf hidup, kepribadian serta peradaban bangsa. Rumah merupakan pusat pendidikan keluarga, penyiapan generasi muda, serta menjadi roda penggerak pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dinilai sangat memberatkan pengembang real estate yang berusaha untuk membangun perumahan yang layak huni untuk semua kelas baik itu kelas atas, menengah, dan bawah sekalipun. Pemerintah terkesan masih kesulitan memberikan pelayanan yang layak untuk masyarakatnya terutama di sektor perumahan rakyat karena terkendala berbagai macam faktor yang salah satunya telah saya jelaskan di atas. Akan tetapi pemerintah harus mewujudkan cita-cita perumahan rakyat agar semua keluarga di Indonesia mempunyai rumah yang layak huni terutama masyarakat berpenghasilan rendah agar pembangunan merata dan fungsi pemerintah sebagai

3 346 pemegang mandat yang berkewajiban memenuhi permintaan rakyat akan perumahan rakyat yang layak huni serta dapar dijangkau oleh semua kelas baik itu menengah bawah maupun menengah ke atas. Selain itu masih banyaknya pengembang perumahan real estate yang membangun rumah yang hanya berfokus pada 1 atau 2 jenis rumah seperti rumah mewah dan menengah agar mendapatkan profit atau keuntungan yang tinggi dalam menjual rumah jenis tersebut sehingga pasar seakan masih menganggap perumahan sebagai simbol eksklusifitas dan akses bagi orang kaya. Persoalan perumahan ini pun mencoba di regulasi oleh negara dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perumahan Rakyat no tahun 1992 yang mengatur tentang bahwasanya pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, mewujudkan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, memberi arah pada pada pertumbuhan wilayah, serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat selain itu tujuan pembangunan perumahan yang serasi dan berimbang tersebut perlu diwujudkan agar lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh sifat kebersamaan dan kekeluargaan untuk menghindari terciptanya perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Sehingga pemerintah perlu mengatur tentang adanya hunian berimbang yang menciptakan keserasian berbagai kelompok masyarakat supaya tidak ada pemisahan kelas sosial di antara masyarakat. Hingga kini aturan yang terdapat pada pasal 1 ayat 3 ini diterjemahkan oleh para pengembang perumahan real estate dengan perbandingan 1:3:6 yaitu 1 rumah mewah yang dibangun berbanding 3 rumah menengah yang dibangun, dan 6 rumah sederhana yang dibangun wajib dalam satu hamparan lokasi. Perbandingan ini dibuat agar tidak terjadi potensi timbulnya segregasi sosial di antara pemilik rumah supaya semua bisa berbaur dengan yang lain tidak melihat profesi, status sosial ataupun yang lain. Semua ini dilakukan pemerintah agar dapat mensejajarkan semua kelas sosial dalam satu lokasi agar dapat hidup bersama secara kekeluargaan dan gotong royong sesuai semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika yang mencoba dimasukkan dalam penjelasan aturan hunian berimbang yang dilaksanakan oleh pemerintah. Permasalahan sekarang terletak pada pengembang perumahan sekarang melihat permintaan pasar di kota Surabaya sendiri dalam menyediakan perumahan. Mereka melihat seperti apakah permintaan pasar di Surabaya sendiri menginginkan rumah yang mempunyai tipe seperti apa untuk ditempati. Jika pasar di Surabaya mulai banyak menginginkan tipe rumah menengah bukan tidak mungkin mereka mulai memperbanyak rumah-rumah tipe tersebut. Begitu juga berlaku pada rumah sederhana jika mereka melihat pasar rumah sederhana sangat bagus untuk dibangun kenapa tidak sekalian mereka membangun rumah sederhana. Dalam kenyataannya para pengembang perumahan terkesan kesulitan mengaplikasikan aturan tersebut dikarenakan keruwetan ijin dan masih kurang informasi tentang aturan pemerintah pusat tersebut. Selain itu pengembang

4 347 perumahan masih melihat pasar di Surabaya sendiri terbuka lebar untuk mengembangkan rumah mewah pada saat itu sehingga masih tidak memikirkan aturan 1:3:6 tersebut. Akan tetapi pada pelaksanaan nya terutama di kota Surabaya sendiri mengalami kendala yang sangat besar terutama yang berkaitan dengan lingkungan hunian berimbang ini. Pengembang di satu sisi masih mengutamakan faktor ekonomi dan pasar dalam menentukan pilihan mereka membangun jenis-jenis rumah. Seakan-akan aturan 1:3:6 itu hanya bertaji di atas kertas akan tetapi seperti tidak bermakna apa-apa dalam pelaksanaannya di lapangan. Padahal ini cara efektif agar masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di Surabaya dapat memiliki rumah seandainya aturan ini dijalankan karena ini akan membuat pemenuhan rumah sederhana semakin banyak dan tidak akan terjadi kekurangan rumah sehingga semua masyarakat berpenghasilan rendah dapat menikmati. Dalam hal ini bagaimana dengan pemerintah kota Surabaya selaku kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam mengawasi aturan ini apakah mereka menganggap para pengembang perumahan sudah melaksanakan kewajibannya dalam mentaati peraturan tersebut yang telah diamanatkan atau pemerintah kota Surabaya melakukan pembiaran dalam menindak para pengembang perumahan yang tidak menjalankan aturan pemerintah pusat tersebut. Dari latar belakang masalah di atas saya ingin meneliti bagaimana hubungan pemerintah yang ingin mengatasi persoalan perumahan rakyat dalam memenuhi jumlah perumahan real estate yang dapat diakses oleh semua pihak baik itu masyarakat kelas menengah bawah maupun menengah ke atas dan menangkal masalah segregasi sosial jika dalam satu lokasi perumahan hanya di isi satu jenis rumah yang ekslusif sehingga menimbulkan segregasi sosial di masyarakat, dengan pihak pasar atau privat yang menginginkan profit atau keuntungan dengan melihat bagaimana respon masyarakat kota Surabaya yang lebih menginginkan rumah jenis apa untuk ditempati sehingga sewaktu-waktu keinginan pasar sewaktu-waktu dapat berubah seiring berjalannya waktu dan pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat kota Surabaya. Maka dari itu dalam penelitian ini dikemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa pengembang perumahan belum melaksanakan konsep hunian berimbang di kota Surabaya? 2. Faktor-faktor apa yang membuat pemerintah kota Surabaya kurang tegas dalam menindak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang? 3. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari belum terlaksananya konsep hunian berimbang tersebut?

5 348 Metode dan Jenis Penelitian Penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang dinyatakan secara verbal berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena sosial tertentu dimana peneliti dapat mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Masri Singarimbun, 1987:4). Penelitian ini juga biasa disebut dengan taksonomik (taxonomic research) yang dimaksudkan untuk melakukan eksplorasi dan klarifikasi mengenai pengembang perumahan dalam melaksanakan dan menyikapi penerapan aturan hunian berimbang di kota Surabaya dan sikap pemerintah kota Surabaya dalam menerapkan aturan hunian berimbang serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari belum terlaksananya aturan hunian berimbang dengan mendeskripsikan sejumlah variabel yang terkait. Dengan pendekatan kualitatif maka terdapat kesempatan luas untuk mengeksplorasi sikap dan perilaku dari pihak-pihak yang terlibat dan dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi bukan sekedar menjawab pertanyaan apa (Lisa Harrison, 2007:86). Kajian Teoritik Teori Ekonomi Politik Ekonomi politik seperti yang diidentifikasikan oleh Webster s Third New International Dictionary didefinisikan sebagai sebuah ilmu sosial yang berurusan dengan saling keterkaitan proses-proses politik dan ekonomi. Berdasarkan kamus tersebut diidentifikasikan bahwa ekonomi politik pada abad kedelapanbelas merupakan sebuah bidang pemerintahan yang terlibat dengan pengarahan kebijakan-kebijakan menuju perbaikan pemerintah dan kesejahteraan komunitas. Pada abad kesembilanbelas, ekonomi politik merupakan sebuah ilmu sosial yang berhubungan dengan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan daripada ekonomi-ekonomi komersial atau pribadi. Dalam kajiannya, seperti yang diungkapkan Frank Stilwell bahwa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan mendasar dari ekonomi politik ialah mengenai (1) apa yang sedang terjadi, (2) mengapa hal tersebut bisa terjadi, (3) siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan, (4) apakah hal tersebut penting, (5) dan jika hal tersebut penting, apa yang bisa diperbuat dan siapa yang bisa melakukannya (Frank Stilwell, 2002:3). Disiplin ilmu ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, pembentukan harga, perdagangan, konsumsi, dan lain-lain). Penelusuran mendalam tentang ekonomi politik biasanya didekati dari format dan pola hubungan antara pemerintah, swasta, masyarakat, partai politik, organisasi buruh, lembaga konsumen, dan sebagainya. Pembahasan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari suatu kebijakan publik, mulai dari proses perancangan, perumusan, sistem organisasi dan implementasinya (Didik Rachbini & Bustanul Arifin, 2001:3).

6 349 Ekonomi Politik dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah politik yang dapat digunakan untuk melihat proses politik dan meletakkan dasar-dasar politik untuk pembangunan sebagai akibat dari adanya tuntutan-tuntutan politik yang harus dipenuhi agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung sesuai analisis kebijakan dengan menekankan pada ekonomi politik dalam kaitannya dengan penyediaan perumahan real estate untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota Surabaya. Kerangka pemikiran ekonomi politik digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam penyediaan perumahan real estate oleh pengembang perumahan agar tetap dalam koridor hunian berimbang sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 7 tahun Kemudian melihat siapa saja yang mendapatkan keuntungan dan kerugian dari belum terlaksananya dengan baik aturan hunian berimbang tersebut serta melihat implikasi apa saja yang ditimbulkan baik secara ekonomi maupun politis dari hal tersebut terutama dengan melihat aktor-aktor yang terlibat baik dari pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan serta pengembang perumahan sebagai pelaku ekonomi serta masyarakat. Pembahasan Penyajian hasil temuan data diawali dari bagaimana pengertian dan pedoman tahapan yang harus dilalui dalam penerapan konsep hunian berimbang serta suatu penjelasan kenapa pengembang perumahan dalam menjalankan proyek perumahan real estate nya dikatakan harus mengikuti konsep hunian berimbang, sehingga dapat diketahui apakah pengembang perumahan sudah mengikuti konsep hunian berimbang dengan baik dan benar atau belum dalam kenyataannya dan hal-hal apa saja yang telah dilakukan pemerintah kota Surabaya untuk menerapkan sekaligus mendukung konsep hunian berimbang ini, kemudian mengenai pihak-pihak mana saja yang diuntungkan serta dirugikan dari belum terlaksananya konsep aturan hunian berimbang tersebut. Konsep hunian berimbang wajib dilakukan oleh seluruh pengembang perumahan yang ada di Surabaya, baik pengembang perumahan swasta maupun pengembang perumahan pemerintah. Pengertian konsep hunian berimbang dari pemerintah untuk pengembang perumahan telah diatur melalui Undang-Undang no 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dan ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor tahun 1992 tentang pedoman pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang. Pada saat itu untuk melakukan pembangunan dengan konsep hunian berimbang dilakukan dengan pembangunan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mewujudkan kawasan dan lingkungan hunian yang berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial. Kemudian untuk menyelenggarakan konsep hunian berimbang ini dibuatlah perbandingan tertentu, ini dimaksudkan agar pengembang perumahan

7 350 menengah atau dan mewah ikut membangun rumah sederhana sehingga memperbanyak pasokan rumah yang tidak hanya didominasi tipe rumah tertentu. Perbandingan tertentu ini adalah perbandingan jumlah rumah sederhana, berbanding rumah menengah, berbanding rumah mewah, sebesar 6 (enam) atau lebih, berbanding 3 (tiga) atau lebih, berbanding 1 (satu). Jadi dalam hal ini perbandingan itu dimaksudkan juga agar pengembang tidak hanya berorientasi keuntungan dengan membangun rumah tipe mewah dan menengah saja tetapi ikut berpartisipasi membangun rumah sederhana yang memerlukan stok banyak dalam penyediaannya. Belum terlaksananya dengan baik aturan 1:3:6 ini kemudian pada tahun 2012 Menteri Perumahan Rakyat mengeluarkan peraturan menteri perumahan rakyat no 10 tahun 2012 yang menjelaskan tentang hunian berimbang dengan perbandingan yang diperkecil dari sebelumnya menjadi 1:2:3 yang menjelaskan perbandingan rumah mewah sebesar (1), berbanding rumah me nengah (2) atau lebih, berbanding rumah sederhana (3) atau lebih. Di dalam peraturan menteri perumahan rakyat juga sudah memberikan kelonggaran kepada pengembang perumahan real estate bahwa lokasi hunian berimbang bisa dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan tetapi tetap harus menyediakan akses ke pusat pelayanan dan tempat kerja dan dibangun dalam satu wilayah kabupaten/kota. Ini dimaksudkan agar pengembang perumahan tidak seenaknya membangun rumah sederhana di tempat lain yang jauh dari pusat kota karena mempertimbangkan aspek komersial. Tren perkembangan real estat di Surabaya masih positif. Peningkatan kebutuhan akan hunian di kota Surabaya, membuat real estat berkembang cukup pesat. Luas perumahan real estat di kota Surabaya saat ini mencapai ± 3.536,65 Ha atau ± 35 % dari luas permukiman kota Surabaya dan ± 10 % dari luas kota Surabaya. Dari proyek-proyek penyediaan rumah di atas terdapat sepuluh proyek perumahan real estate yang memprioritaskan membangun tipe rumah mewah, kemudian empat proyek perumahan real estate yang memprioritaskan membangun dua tipe rumah yaitu mewah dan menengah, lalu enam dua proyek perumahan real estate yang lebih memprioritaskan membangun tipe rumah menengah, kemudian tiga proyek perumahan real estate yang membangun dua tipe rumah yaitu menengah dan sederhana (RS), lalu lima proyek perumahan real estate yang membangun rumah tipe sederhana (RS), ada juga satu proyek perumahan real estate yang lebih memprioritaskan pembangunan dua tipe rumah, yaitu sederhana (RS) dan sangat sederhana(rss), kemudian ada juga proyek perumahan real estate yang membangun tiga tipe rumah sekaligus yaitu mewah, menengah, dan sederhana (RS). Hal-hal yang telah diuraikan di atas dapat dilihat bahwa kemauan pembangunan perumahan real estate untuk masyarakat berpenghasilan rendah masing sangat kecil dan sedikit karena perubahan cara pandang pengembang perumahan bahwa rumah seharusnya komoditi publik bukan komoditi komersial. Padahal dalam peraturan menteri perumahan rakyat no 10 tahun 2012 amanat tentang hunian berimbang juga disebutkan bahwa luasan lahan rumah sederhana sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) dari luas lahan keseluruhan.

8 351 Jika tidak dilaksanakan telah disebutkan sanksi administratif siap dijatuhkan kepada pengembang yaitu dalam bentuk peringatan tertulis, pencabutan insentif, pembatasan kegiatan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan, pembekuan izin usaha, sampai pencabutan izin usaha. Sedangkan sanksi pidana juga siap dijatuhkan yaitu pidana denda paling banyak Rp ,- (lima milyar) dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan. Pembangunan perumahan real estate yang berbasis hunian berimbang sudah merupakan salah satu aspek kenyamanan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, kemudian diadopsi oleh pemerintah kota Surabaya. Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan khususnya perumahan real estate dikembangkan dengan proporsi 1:3:6 yang kemudian telah dirubah menjadi 1:2:3 dengan komposisi rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana yang di dalamnya termasuk rumah sangat sederhana. Maka dari itu pembangunan perumahan real estate tidak semua dibebankan pemerintah kota Surabaya, melalui program perumahan dan permukiman pemerintah kota dibantu pelaku ekonomi dalam hal ini pengembang perumahan. Ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi seperti investasi. Dalam pembangunan perumahan real estate, pengembang diwajibkan memenuhi kebutuhan perumahan dengan proporsi yang telah diatur dalam peraturan menteri tersebut agar tercipta hunian berimbang yang telah dijelaskan tujuan nya dalam peraturan menteri. Tetapi lemahnya penerapan kebijakan pemerintah perilaku dunia usaha menganggap remeh kebijakan tersebut. Kinerja yang rendah ini berdampak dengan banyaknya perumahan real estate yang belum menjalankan konsep hunian berimbang dalam perumahan real estate mereka. Konsep ekonomi politik sebagai suatu yang dipakai untuk memberi gambaran permasalahan ini dengan melihat pola hubungan swasta, pemerintah dan masyarakat. Pembahasan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari suatu kebijakan publik, mulai dari proses perancangan hingga implementasi dari kebijakan itu sendiri. Pembangunan perumahan real estate yang berbasis dengan konsep hunian berimbang ini pertama kali diatur dalam surat keputusan bersama menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum dan menteri negara perumahan rakyat no tahun 1992 tentang pedoman permukiman dengan lingkungan hunian berimbang, Oleh sebab itu pengembang yang proyek perumahannya sudah selesai ataupun masih berjalan harus menganut pada surat keputusan bersama mendagri, menteri PU, dan menpera no tahun 1992 tersebut. Setelah ditindak lanjuti dalam Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota Surabaya atau biasa disingkat dengan RP4D. Pemerintah kota Surabaya baru terlihat serius menjalankan konsep lingkungan hunian berimbang. Ini ditunjukkan dengan dimasukkannya konsep lingkungan hunian berimbang dalam salah satu syarat zoning pedoman perencanaan dan pembangunan fisik dapat dilihat pada lampiran penelitian. Akan tetapi meskipun sudah dimasukkan sebagai syarat zoning tetap saja banyak pengembang perumahan tidak mengikuti nya dikarenakan tidak ada perbedaan perhitungan pembiayaan dalam usaha pengembang kecil dan pengembang besar

9 352 jadi ini membuat para pengembang perumahan berani mengembangkan perumahannya tidak mengikuti aturan konsep hunian berimbang agar mendapatkan keuntungan yang berlebih dengan menjual rumah tipe menengah dan mewah. Kemudian tidak hanya masalah teknis tetapi juga ikut membantu dalam hal pembuatan rusunawa, karena rusunawa lebih efektif dalam pembangunannnya dengan tidak menghabiskan lahan pembangunan yang terlalu luas, sedangkan rumah tinggal jika ingin dibangun secara besar-besaran maka diperlukan lahan yang sangat luas belum juga prasarana, sarana, dan utilitas yang harus kami penuhi sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun kawasan perumahan real estate itu sendiri. Ekonomi politik merupakan suatu kajian dimana didalamnya menggunakan perspektif ekonomi untuk memahami masalah-masalah politik, yang dapat dipakai untuk melihat proses politik serta analisis kebijakan dengan menekankan pada ekonomi politik, yang menunjukkan adanya saling pengaruh antara fenomena politik dan fenomena ekonomi (Hudiyanto, 2005:23). Hal ini jelas berbeda dengan realita yang ada dimana hingga saat ini masih banyak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep lingkungan hunian berimbang baik dari developer yang telah menjalankan proyeknya dari tahun 1990-an ataupun developer perumahan real estate yang baru mengerjakan proyeknya medio 2000-an. Selain itu terdapat permasalahan banyaknya perumahan real estate yang membangun dengan cara cluster-cluster tipe rumah yang berada dalam satu pintu gerbang yang dipergunakan untuk pintu masuk sekaligus keluar bagi para penghuni ataupun tamu dari penghuni cluster tersebut. Eksklusifitas letak rumah seperti ini lah yang diinginkan oleh para pembeli rumah karena mereka menganggap keamanan dan kenyamanan dari sistem seperti ini akan membuat mereka para penghuni merasa sangat nyaman tinggal di dalam sana. Fenomena seperti inilah yang kemudian digunakan oleh para developer perumahan untuk berkompetisi membangun seperti yang diharapkan para calon pembeli karena mereka meyakini inilah pasar properti yang begitu diinginkan oleh calon pembeli tersebut di kota Surabaya Eksklusifitas perumahan real estate membuat banyak developer perumahan tidak berminat melaksanakan konsep lingkungan hunian berimbang dikarenakan mereka melihat jika ini dilakukan akan membuat perumahan real estate mereka menjadi tidak eksklusif lagi dan ini pun akan membuat efek berantai dengan tidak laku nya rumah-rumah yang dijual oleh mereka dan akan berdampak pada pemasukan serta keuntungan mereka. Eksklusifitas rumah merupakan hal yang sudah wajar di inginkan oleh para calon pembeli rumah, karena melihat masih bagus nya prospek dari properti seperti itu. Akan tetapi eksklusifitas sebuah tipe rumah seharusnya tidak membuat semua tipe harus seperti sistem cluster, ini dikarenakan seperti yang sudah saya dijelaskan di awal bahwa tujuan adanya konsep hunian berimbang adalah perlu diwujudkan agar lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh sifat kebersamaan dan kekeluargaan untuk menghindari terciptanya perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Sehingga pemerintah perlu mengatur tentang adanya hunian berimbang yang

10 353 menciptakan keserasian berbagai kelompok masyarakat supaya tidak ada pemisahan kelas sosial di antara masyarakat. Dalam pemikiran ekonomi politik liberal klasik ialah bahwa tiap pelaku ekonomi (baik kon sumen maupun produsen) haruslah diberi kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadinya masing-masing. Konsumen diberi kebebasan memilih kombinasi konsumsi dari berbagai macam barang dan jasa yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya sesuai selera dan kemampuan uang yang dimilikinya. Begitu juga produsen diberi kebebasan memilih berbagai input dan teknologi untuk digunakan dalam proses produksi menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang berlandaskan pada permintaan yang lebih dikehendaki konsumen (Deli arnov, 2006:30). Inilah kemudian yang dikehendaki oleh para pengembang dalam membangun perumahan real estate yang ber konsep cluster karena melihat sangat tingginya permintaan dari para konsumen pembeli perumahan terutama di daerah Surabaya sendiri, mereka menginginkan adanya eksklusifitas hunian agar mereka dapat hidup dengan tenang, aman, dan nyaman dengan orang-orang yang membeli hunian di tipe cluster yang sama dan mereka pun tahu harga yang ditawarkan pun membuat hunian di cluster tersebut tidak sembarangan orang yang dapat membelinya, meski letak perumahan mereka berdekatan dengan jalan raya arteri yang menghubungkan setiap wilayah di Surabaya. Kemudian terdapat permasalahan banyaknya pengembang perumahan real estate yang beranggapan bahwa jika konsep lingkungan hunian berimbang dilaksanakan maka pembangunan rumah tipe sederhana akan membuat perumahan real estate mereka tidak lagi menguntungkan secara komersial. Fakta bahwa adanya perumahan real estate yang dibangun pasti dibarengi dengan pembangunan ruang-ruang komersial seperti ruko ataupun rukan di depan pintu masuk sebuah perumahan real estate dan ikut membuat brand perumahan real estate secara tidak langsung naik karena terbantu dengan area komersial tersebut, dan ini semua dibangun untuk mensupport kegiatan dari para penghuni perumahan real estate itu sendiri. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan adanya saling pengaruh antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Dimana pada pelaku ekonomi yaitu developer perumahan berkeinginan membangun perumahan real estate serta membuat area-area komersial baru tanpa dilaksanakannya konsep lingkungan hunian berimbang dalam perumahan real estate nya dan pelaku politik dalam hal ini pemkot memberikan akses seluas-luasnya kepada investor dalam mengembangkan area-area yang telah di rencanakan seperti pengembangan perumahan real estate beserta area komersial nya di area yang masih terdapat tempat seperti area Surabaya barat ataupun Surabaya timur dan menghimbau kepada pengembang perumahan real estate untuk mengikuti aturan 1:3:6 atau hunian berimbang yang berimbang tanpa dikenai sanksi tegas. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari perspektif ekonomi pembangunan perumahan real estate beserta area komersial nya dapat membuat perekonomian kota Surabaya semakin melaju dan pemerataan pembangunan ekonomi ke seluruh area Surabaya. Oleh karena itu pemerintah kota cenderung melakukan pembiaran tidak memberikan sanksi tegas dalam pelaksanaan aturan konsep hunian berimbang. Belum berjalanannya konsep tentang hunian berimbang ini baik oleh pengembang perumahan selaku pihak yang membangun perumahan real estate

11 354 ataupun proses pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah kota Surabaya sendiri menimbulkan banyak permasalahan baik pada pembangunan perumahan real estate yang tidak sesuai dengan aturan konsep hunian berimbang hingga pada pengendalian dan pengawasan hingga pemberian sanksi oleh dinas terkait. Tetapi dari belum berjalanannya aturan konsep hunian berimbang ini memunculkan implikasi baik dalam hal ekonomis maupun politis yang bersifat menguntungkan dan merugikan. Pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam hal ini yaitu Sebagai pelaku usaha, pengembang perumahan lebih menekankan kepada keuntungan, oleh karena itu pengembang perumahan diuntungkan dengan belum berjalannya dengan baik aturan tentang konsep hunian berimbang ini, hal ini disebabkan ketika pengembang perumahan melakukan pembangunan rumah tinggal lebih difokuskan kedalam jenis rumah tipe menengah maupun mewah yang lebih menguntungkan dari segala aspek ekonomi dalam penjualan kepada calon konsumen, daripada membangun rumah tipe sederhana yang secara ekonomi tidak memberikan keuntungan baik untuk pemasaran perumahan yang mengandalkan eksklusifitas hunian ataupun dari sisi ekonomi. Dengan tidak adanya ketegasan pemerintah kota untuk menindak pengembang perumahan yang tidak menerapkan konsep hunian berimbang dalam perumahan real estate yang mereka bangun membuat para pengembang perumahan lebih leluasa dalam memaksimalkan lahan yang mereka miliki dengan membangun rumah tinggal yang lebih eksklusif dan menjanjikan keuntungan berlebih dalam pembangunan rumah tipe menengah dan mewah seiring dengan maju nya perekonomian kota Surabaya sendiri daripada membangun rumah tinggal sederhana yang memberikan margin keuntungan sedikit dan menghilangkan kesan eksklusif dalam perumahan real estate yang mereka bangun, sedangkan Pemerintah Kota sangat dirugikan dengan belum terlaksananya dengan baik konsep hunian berimbang ini, pasokan rumah tinggal kelompok sederhana untuk kota Surabaya sangat dibutuhkan dalam memenuhi kekurangan rumah tinggal yang setiap tahun semakin meningkat. Jika konsep hunian berimbang ini berjalan dengan baik maka pemerintah kota Surabaya tidak perlu banyak membangun flat/rumah susun sewa untuk masyarakat berpenghasilan rendah karena konsep hunian berimbang ini dinilai dapat memenuhi pasokan backlog dalam kebutuhan rumah tinggal. Selain itu pengembang akan semakin banyak membangun rumah tipe sederhana apabila pemerintah kota Surabaya dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas serta pengendali bidang perumahan dengan baik serta dapat memberi penjelasan dan pengertian bahwa membangun rumah tipe sederhana juga sangat dibutuhkan untuk masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah seperti buruh yang masih banyak terdapat di kota Surabaya. Masyarakat disini terutama masyarakat/warga kota Surabaya yang belum mempunyai rumah tinggal secara mandiri atau masih mengontrak rumah dan bisa juga menyewa kost-kost an. Sebenarnya bila konsep hunian berimbang ini berjalan dengan baik maka tidak ada masyarakat kota Surabaya yang masih mengkontrak terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja sebagai buruh pabrik ataupun yang lainnya. Sehingga belum dilaksanakannya hunian berimbang dengan baik dan benar membuat pasokan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota Surabaya sendiri malah semakin meningkat kebutuhannya akan rumah sederhana padahal sudah menjadi kewajiban bagi pengembang yang membangun rumah

12 355 menengah dan mewah dalam perumahannya menyediakan rumah ber tipe sederhana dalam perbandingan tertentu seperti yang telah di amanatkan oleh pemerintah pusat untuk mengurangi kebutuhan pasokan rumah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kesimpulan Dari permaalahan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu penyebab pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang berawal dari sikap pemerintah kota Surabaya yang enggan mengawasi pelaksanaan konsep hunian berimbang yang harus dijalankan pengembang perumahan pada saat sudah dikeluarkannya peraturan dari pemerintah pusat yang mengatur tentang aturan konsep hunian berimbang dan juga keterlibatan pemerintah daerah dalam mengawasi pelaksanaan aturan konsep hunian berimbang serta menindak pengembang perumahan agar melaksanakan konsep hunian berimbang. Dari sikap pemkot tersebut yang membuat banyak pengembang perumahan menganggap remeh kebijakan ini. Hingga berdampak saat ini, banyak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang di kota Surabaya. Kemudian penyebab pemerintah kota kurang tegas dalam memberi sanksi kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan hunian berimbang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah kota Surabaya yang berjalan kurang begitu baik sehingga membuat pemberian sanksi menjadi hambatan. Faktor yang kedua adalah, belum dibentuknya Badan Pengendali Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota sehingga membuat pengawasan serta pemberian sanksi terhadap pengembang perumahan yang tidak mengikuti aturan kurang tegas dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan masih banyaknya pengembang perumahan yang belum melaksanakan aturan konsep lingkungan hunian berimbang dalam proyek pembangunan perumahannya seperti yang terjadi dalam realitanya masih banyak yang melanggar aturan ini. Yang dari belum dijalankannya aturan konsep lingkungan hunian berimbang terdapat pihak-pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan. Dimana pihak-pihak yang diuntungkan pertama adalah pengembang perumahan, hal ini disebabkan pengembang perumahan masih dapat membangun jenis rumah tipe menengah maupun mewah yang jelas lebih menguntungkan dari segala aspek ekonomi daripada membangun rumah tipe sederhana. Sedangkan pihak yang dirugikan adalah pemerintah kota Surabaya, hal ini dikarenakan jika konsep hunian berimbang dapat berjalan dengan baik maka pemerintah kota Surabaya mendapatkan tambahan banyak rumah tipe sederhana untuk memenuhi pasokan backlog yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pihak yang dirugikan selanjutnya adalah masyarakat kota Surabaya, hal ini disebabkan membuat para masyarakat berpenghasilan rendah yang belum mempunyai rumah tinggal sendiri tidak dapat memiliki rumah karena terbatasnya pasokan rumah tinggal untuk tipe sederhana serta harga nya yang semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kota Surabaya yang berpenghasilan rendah.

13 356 Daftar Pustaka Arifin, Bustanul., dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo, Deliarnov. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga, Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, Hudiyanto. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi Aksara, Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3ES, Stilwell, Frank. Political Economy The Content Of Economic Ideas, UK: Oxford University Press, 2002.

Ekonomi Politik Penyerahan Fasum dan Fasos Oleh Pengembang Perumahan Kepada Pemerintah Kota Surabaya

Ekonomi Politik Penyerahan Fasum dan Fasos Oleh Pengembang Perumahan Kepada Pemerintah Kota Surabaya Ekonomi Politik Penyerahan Fasum dan Fasos Oleh Pengembang Perumahan Kepada Pemerintah Kota Surabaya M. Syah Rizal Abstrak Penelitian ini membahas tentang ekonomi politik dalam permasalahan penyerahan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1280, 2013 KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT. Perumahan. Kawasan Permukiman. Hunian Berimbang. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.571, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT. Perumahan. Kawasan Permukiman. Hunian Berimbang. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 salah satu cita-cita perjuangan bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, seiring

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KONTRAK DAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. Bahwa dalam pembangunan nasional yang pada

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGAWASAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DENGAN HUNIAN BERIMBANG DI KOTA BANDUNG.

BAB III PELAKSANAAN PENGAWASAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DENGAN HUNIAN BERIMBANG DI KOTA BANDUNG. BAB III PELAKSANAAN PENGAWASAN PERIZINAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DENGAN HUNIAN BERIMBANG DI KOTA BANDUNG. A. Hunian Berimbang 1. Sejarah dan Latar Belakang Pola hunian berimbang secara kuantitas telah ditetapkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang. BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Seiring dengan perkembangan Kota DKI Jakarta di mana keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah menjadi masalah dalam penyediaan hunian layak bagi masyarakat terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pangan adalah papan berupa rumah tempat tinggal. Sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. dan pangan adalah papan berupa rumah tempat tinggal. Sebagaimana yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar (basic needs) dan pokok manusia selain sandang dan pangan adalah papan berupa rumah tempat tinggal. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi di Indonesia terutama di kota besar terjadi sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota besar dengan tujuan mendapatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.101 2016 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5883) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam. tunai atau angsuran, hibah atau dengan cara lain yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam. tunai atau angsuran, hibah atau dengan cara lain yang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (home needs) bagi manusia setelah pangan dan sandang. Setiap individu manusia akan mengutamakan pemenuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah merupakan kebutuhan pokok (primer) yang dibutuhkan. oleh manusia, selain makanan dan pakaian. Dalam perkembangannya, rumah

BAB I PENDAHULUAN. Rumah merupakan kebutuhan pokok (primer) yang dibutuhkan. oleh manusia, selain makanan dan pakaian. Dalam perkembangannya, rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah merupakan kebutuhan pokok (primer) yang dibutuhkan oleh manusia, selain makanan dan pakaian. Dalam perkembangannya, rumah tidak hanya berfungsi sebagai

Lebih terperinci

dan Kawasan Permukiman

dan Kawasan Permukiman Membedah terdiri dari 18 bab dan 167 pasal, namun tulisan berikut ini tidak akan menyajikan secara keseluruhan isi undang undang tetapi hanya isu yang dianggap penting saja. Dalam UU PKP banyak diperkenalkan

Lebih terperinci

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 1 TAHUN RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN ABSTRAKSI : bahwa dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, perlu dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebutuhan dan keinginan manusia terus berkembang dan tidak terbatas

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebutuhan dan keinginan manusia terus berkembang dan tidak terbatas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan dan keinginan manusia terus berkembang dan tidak terbatas seiring dengan perkembangan zaman. Manusia tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia. Seiring dengan rutinitas dan padatnya aktivitas yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah mempunyai ruang lingkup dan bentuk tersendiri sesuai dengan tujuan, arah dan sifat pembahasan serta kegunaannya dalam pelaksanaan pembangunan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan nasional disegala bidang, salah satunya dalam sektor ketenagakerjaan. Pelaksanaan

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor permukiman adalah

`BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor permukiman adalah 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memperhatikan arti penting permukiman yang tidak dapat dipisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkannya, maka lingkup permukiman meliputi masalah-masalah yang menyangkut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, mempunyai bermacam-macam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, mempunyai bermacam-macam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam kehidupannya. Manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pertumbuhan angka penduduk di Indonesia selalu mengalami peningkatan. Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan masyarakat terhadap rumah sebagai salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Namun bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata rumah menjadi sebutan yang teramat mahal, padahal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan tentang Penataan Ruang di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut bahwa

Lebih terperinci

PERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: IKE ISNAWATI L2D

PERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: IKE ISNAWATI L2D PERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: IKE ISNAWATI L2D 001 431 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN 1.1.1 Pertumbuhan Sektor Perumahan Nasional Peta bisnis properti di Indonesia menunjukkan terjadinya kecenderungan penurunan kapitalisasi pada tahun 2007,

Lebih terperinci

Perubahan Konsep Dapur Hunian Akibat Kebutuhan Pengguna pada Perumahan (Studi Kasus: Perumahan Vila Bukit Tidar Malang)

Perubahan Konsep Dapur Hunian Akibat Kebutuhan Pengguna pada Perumahan (Studi Kasus: Perumahan Vila Bukit Tidar Malang) Perubahan Konsep Dapur Hunian Akibat Kebutuhan Pengguna pada Perumahan (Studi Kasus: Perumahan Vila Bukit Tidar Malang) Umamah Al Batul 1 dan Rinawati P. Handajani 2 1 Mahasiswi Jurusan Arsitektur, Fakultas

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA KEUNTUNGAN DEVELOPER DARI HARGA JUAL BERBAGAI TIPE RUMAH PADA BANGUNAN PERUMAHAN ABSTRAK

ANALISIS BIAYA KEUNTUNGAN DEVELOPER DARI HARGA JUAL BERBAGAI TIPE RUMAH PADA BANGUNAN PERUMAHAN ABSTRAK VOLUME 10 NO. 2, OKTOBER 2014 ANALISIS BIAYA KEUNTUNGAN DEVELOPER DARI HARGA JUAL BERBAGAI TIPE RUMAH PADA BANGUNAN PERUMAHAN Wahyu Ramadhan 1 dan Yervi Hesna 2 ABSTRAK Kawasan perkotaan yang berkembang

Lebih terperinci

PENYEDIAAN HUNIAN BURUH INDUSTRI COMMUTER DI KAWASAN INDUSTRI TERBOYO SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDYANA PUSPARINI L2D

PENYEDIAAN HUNIAN BURUH INDUSTRI COMMUTER DI KAWASAN INDUSTRI TERBOYO SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDYANA PUSPARINI L2D PENYEDIAAN HUNIAN BURUH INDUSTRI COMMUTER DI KAWASAN INDUSTRI TERBOYO SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDYANA PUSPARINI L2D 306 008 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang didukung kegiatan di sektor industri sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan yang struktur dan infrastrukturnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kebutuhan akan rumah menjadi perhatian yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kebutuhan akan rumah menjadi perhatian yang cukup BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, kebutuhan akan rumah menjadi perhatian yang cukup serius bagi pemerintah, adanya tuntutan masyarakat untuk dapat memiliki rumah yang sesuai dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.09/MEN/V/2008 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.09/MEN/V/2008 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.09/MEN/V/2008 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlahan menjadi lebih baik dan stabil

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlahan menjadi lebih baik dan stabil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlahan menjadi lebih baik dan stabil menurut data yang diperoleh dari International Monetary Fund (IMF). Berikut adalah grafik yang

Lebih terperinci

e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diatur pedoman pembangunan perumahan dan permukiman dengan

e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diatur pedoman pembangunan perumahan dan permukiman dengan SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PEKERJAAN UMUM, DAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 648-384 TAHUN 1992 NOMOR : 739/KPTS/1992 NOMOR : 09/KPTS/1992 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya proses perkembangan kota-kota di Indonesia saat ini membawa dampak timbulnya berbagai masalah perkotaan. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi berakibat pada

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Draf tanggal 7-8 Juli 2014 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang

Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi BAB V KESIMPULAN Provinsi NTB merupakan daerah yang menjanjikan bagi investasi termasuk investasi asing karena kekayaan alam dan sumber daya daerahnya yang melimpah. Provinsi NTB dikenal umum sebagai provinsi

Lebih terperinci

Pembangunan Perumahan Dengan Hunian Berimbang Bagi Pemenuhan Kebutuhan Rumah Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Pembangunan Perumahan Dengan Hunian Berimbang Bagi Pemenuhan Kebutuhan Rumah Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah ISSN: 1411-8564 Pembangunan Perumahan Dengan Hunian Berimbang Bagi Pemenuhan Kebutuhan Rumah Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah Vol. 9 No.1 Sri Maharani *Universitas Jayabaya ARTICLE INFO Keywords:

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut, kebutuhan primer yaitu sandang, pangan, papan, serta pendidikan menjadi

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh banyak pihak adalah tersedianya rumah tinggal yang layak bagi semua orang. Rumah tinggal adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Surabaya sebagai ibu kota Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu kota industri terbesar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK HOUSING CAREER GOLONGAN MASYARAKAT BERPENDAPATAN MENENGAH-RENDAH DI KOTA SEMARANG

STUDI KARAKTERISTIK HOUSING CAREER GOLONGAN MASYARAKAT BERPENDAPATAN MENENGAH-RENDAH DI KOTA SEMARANG STUDI KARAKTERISTIK HOUSING CAREER GOLONGAN MASYARAKAT BERPENDAPATAN MENENGAH-RENDAH DI KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Perumnas Banyumanik dan Perumahan Bukit Kencana Jaya) TUGAS AKHIR Oleh: ARIEF WIBOWO

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI Muh. Rifai Sahempa irahmidar@yahoo.com (Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Publik Pascasarjana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51, Pasal 56, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan akan papan. Papan atau rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mendesak. Manusia

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang

Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang Ir. Hery Budiyanto, MSA, PhD 1) 1) Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang, E-mail: budiyantohery@yahoo.com

Lebih terperinci

Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan

Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan Instrumen Perhitungan Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan Akibat Konversi Lahan TA 2014 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan akan tempat tinggal semakin terasa mendesak dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan akan tempat tinggal semakin terasa mendesak dikarenakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini kebutuhan akan tempat tinggal semakin terasa mendesak dikarenakan setiap tahunnya mengalami peningkatan sesuai dengan angka pertumbuhan jumlah penduduknya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan dan pembenahan sebuah kota sekarang ini tidak hanya berfokus pada daerah pusat kota saja, hal ini disebabkan tanah kosong di pusat perkotaan sudah mulai

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN RUANG BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT PERBELANJAAN DAN PUSAT PERKANTORAN DI KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENDIRIAN BANGUNAN PADA JALUR HIJAU

TINJAUAN HUKUM PENDIRIAN BANGUNAN PADA JALUR HIJAU TINJAUAN HUKUM PENDIRIAN BANGUNAN PADA JALUR HIJAU 1. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi masyarakat dewasa ini berbanding lurus dengan pembangunan properti. Tumbuhnya masyarakat dengan kemampuan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. (DIY) memiliki peran yang sangat strategis baik di bidang pemerintahan maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. (DIY) memiliki peran yang sangat strategis baik di bidang pemerintahan maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kota Yogyakarta sebagai ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki peran yang sangat strategis baik di bidang pemerintahan maupun perekonomian. Laju

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal. Dimana tempat tinggal atau rumah merupakan kebutuhan dasar yang akan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal. Dimana tempat tinggal atau rumah merupakan kebutuhan dasar yang akan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk perkotaan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan peningkatan permintaan terhadap kebutuhan akan tempat tinggal. Dimana

Lebih terperinci

Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh

Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh Aspek-aspek minimal yang harus tercantum dalam Perda Kumuh No Aspek-aspek minimal Perda 1. Ketentuan Umum; Muatan 1. Daerah adalah Kabupaten/Kota... 2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. Persaingan pasar dalam dunia properti rumah semakin hari semakin

Bab 1 PENDAHULUAN. Persaingan pasar dalam dunia properti rumah semakin hari semakin Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan pasar dalam dunia properti rumah semakin hari semakin meningkat dengan membawa peluang besar terhadap property developer atau pengembang perumahan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 3-1972 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 37, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis properti di Indonesia saat ini sedang berkembang karena. ditandai dengan semakin gencarnya ekspansi pembangunan properti dan

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis properti di Indonesia saat ini sedang berkembang karena. ditandai dengan semakin gencarnya ekspansi pembangunan properti dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bisnis properti di Indonesia saat ini sedang berkembang karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Hal ini ditandai dengan semakin

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERUBAHAN FUNGSI HUNIAN MENJADI FUNGSI KOMERSIAL Studi Kasus: Jln Bintaro Utama 3, Sektor 3 Bintaro Jaya

PERUBAHAN FUNGSI HUNIAN MENJADI FUNGSI KOMERSIAL Studi Kasus: Jln Bintaro Utama 3, Sektor 3 Bintaro Jaya PERUBAHAN FUNGSI HUNIAN MENJADI FUNGSI KOMERSIAL Studi Kasus: Jln Bintaro Utama 3, Sektor 3 Bintaro Jaya Anggraeni Dyah S. Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Budi Luhur Jl. Raya

Lebih terperinci

Gilang Wiryanu Murti. DO NOT COPY.

Gilang Wiryanu Murti. DO NOT COPY. Paper T1 ini bagus dan benar karena: 1. Semua materi kuliah Hukum Ekonomi yang telah disampaikan dosen sampai periode UTS, dibahas dalam paper ini dan pembahasannya dikaitkan dengan tema yang telah ditugaskan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Pemerintah Kota Bandung, dalam hal ini Walikota Ridwan Kamil serta Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, telah menunjukkan pentingnya inovasi dalam dalam program

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2003 TENTANG BADAN PENGAWAS PASAR TENAGA LISTRIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51, Pasal 56, dan

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PROPOSAL PROYEK PERUMAHAN VILLA JATI APUS

PROPOSAL PROYEK PERUMAHAN VILLA JATI APUS PROPOSAL PROYEK PERUMAHAN VILLA JATI APUS Referensi Oleh : Younanda Nomor Kontrak : 82009000 Villa Jati Apus Hunian nyaman, sejuk dan terjangkau Halaman 1/ 14 DAFTAR ISI EXECUTIVE SUMMARY 1....3 2. LATAR

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELITA BANGSA Jln. Inspeksi Kalimalang Tegal Danas Cikarang Kab. Bekasi

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELITA BANGSA Jln. Inspeksi Kalimalang Tegal Danas Cikarang Kab. Bekasi Disusun Oleh : Teguh Widianto Jurusan : Tehnik Arsitektur Semester : 6 ( ENAM ) Mata Kuliah : REAL ESTATE SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI PELITA BANGSA Jln. Inspeksi Kalimalang Tegal Danas Cikarang Kab. Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SEWA DAN RUMAH KOST

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SEWA DAN RUMAH KOST BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SEWA DAN RUMAH KOST DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

Oleh: Made Mintarja Triasa I Gusti Ayu Puspawati Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh: Made Mintarja Triasa I Gusti Ayu Puspawati Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana PENERBITAN BROSUR PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG YANG MERUGIKAN KONSUMEN DITINJAU DARI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PADA YAYASAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN BALI) Oleh: Made Mintarja Triasa I Gusti

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 48 TAHUN 2017

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 48 TAHUN 2017 BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 48 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KABUPATEN KUANTAN SINGINGI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN Disebarluaskan Oleh: KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN DIREKTORAT PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140), yang disebut lingkungan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci