PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN PEDIATRI DENGAN DIAGNOSA ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2012 JUNI 2013 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Ciptaning Hayu Susesi NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014

2 EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN PEDIATRI DENGAN DIAGNOSA ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2012 JUNI 2013 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi Oleh : Ciptaning Hayu Susesi NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014 i

3 ii

4 iii

5 HALAMAN PERSEMBAHAN When we do the small things, JESUS has a way of making them BIG Kupersembahkan karyaku ini untuk Kedua orang tuaku, Suharsi Harismanto dan Sudartriningsih atas segala doa dan dukungannya Kakak dan adikku tercinta Sahabatku Ajeng, Venta, dan Yulia Teman-teman FKKA dan 2010 Dan.. Almamater ku iv

6 v

7 vi

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan penyertaannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yaitu: 1. Ibu Dra. Th.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt. dan Ibu Dra. AM. Wara Kusharwanti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan dan ilmu kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 2. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih. 3. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt. dan Ibu Maria Wisnu Donowati, M. Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik, dan saran yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Dekan dan segenap staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mendukung kelancaran jalannya penelitian. vii

9 5. Teman-teman seperjuangan Venta, Elvira, Agnes, Tyas, Ndanda dan sahabatku untuk semangat, kerjasama, bantuan dan informasi yang selalu dibagikan selama proses penyusunan skripsi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkatnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penatalaksanaan terapi asma pada anak-anak. Yogyakarta, 09 Desember 2014 Penulis viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi PRAKATA... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi INTISARI... xx ABSTRACT... xxi BAB I. PENGANTAR... 1 A. Latar Belakang Perumusan Masalah... 3 ix

11 2. Keaslian Penelitian Manfaat Penelitian... 7 B. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus... 8 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 9 A. Drug Therapy Problems... 9 B. Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis Pengertian Patofisiologi Penatalaksanaan Terapi Asma a. Tujuan Terapi b. Tatalaksana Serangan Asma c. Terapi Farmakologi C. Interaksi Obat D. Keterangan Empiris BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian B. Variabel dan Definisi Operasional C. Subjek Penelitian D. Bahan dan Instrumen Penelitian E. Lokasi Penelitian x

12 F. Jalannya Penelitian Analisis Situasi dan Penentuan Masalah Pengambilan dan Pengolahan Data Analisis Data Penyajian Hasil Penelitian G. Keterbatasan Penelitian BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Demografi Pasien Jenis Kelamin Umur Lama Rawat B. Profil Pengobatan Obat Saluran Pernapasan Obat Saluran Pencernaan Obat Anti Infeksi Obat Analgesik-Antipiretik Suplemen-Vitamin C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) Obat yang tidak Dibutuhkan Obat tidak Efektif Dosis Terlalu Rendah Reaksi Obat yang Merugikan Dosis Terlalu Tinggi xi

13 D. Rangkuman Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS xii

14 DAFTAR TABEL Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs... 9 Tabel II. Tingkat Signifikasi Potensial Interaksi Obat Tabel III. Distribusi Jumlah Kasus Pasien Asma Berdasarkan Kelas Terapi yang Digunakan dalam Pengobatan Asma pada Pasien Anak Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tabel IV. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pernapasan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Tabel V. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Obat Tabel VI. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Anti Infeksi pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Tabel VII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Analgesik- Antipiretik pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif xiii

15 Tabel VIII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Vitamin dan Suplemen pada Pasien Asma Berdasarkan Kelompok dan Zat Aktif Tabel IX. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat yang tidak Diperlukan (Unnecessary Drug Therapy) Tabel X. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) Obat Saluran Pernapasan Tabel XI. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) pada Obat Anti Infeksi Tabel XII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat yang Merugikan (Adverse Drug Reaction) Tabel XIII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Obat Terlalu Tinggi (Dosage too High) pada Obat Saluran Pernapasan xiv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan Keluarnya Mediator Kimiawi dan Memicu terjadinya Reaksi Alergi Gambar 2. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni Gambar 3. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Gambar 4. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Lama Hari Rawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Gambar 5. Bagan Jumlah Kejadian Drug Therapy Problems yang Terjadi pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni Gambar 6. Bagan Rekomendasi yang dapat diberikan pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni Lampiran 2. Jumlah Kombinasi Penggunaan Obat Bronkodilator yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 3. Jumlah Kombinasi Penggunaan Kortikosteroid yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 4. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antihistamin yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 5. Jumlah Kombinasi Penggunaan Mukolitik yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 6. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antitusif yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 7. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antiemetika yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 8. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antidiare yang Digunakan dalam Setiap Pasien xvi

18 Lampiran 9. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antibiotika yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 10. Jumlah Kombinasi Penggunaan Analgesik yang Digunakan dalam Setiap Pasien Lampiran 11. Rekam Medis Lampiran 12. Rekam Medis Lampiran 13. Rekam Medis Lampiran 14. Rekam Medis Lampiran 15. Rekam Medis Lampiran 16. Rekam Medis Lampiran 17. Rekam Medis Lampiran 18. Rekam Medis Lampiran 19. Rekam Medis Lampiran 20. Rekam Medis Lampiran 21. Rekam Medis Lampiran 22. Rekam Medis Lampiran 23. Rekam Medis Lampiran 24. Rekam Medis xvii

19 Lampiran 25. Rekam Medis Lampiran 26. Rekam Medis Lampiran 27. Rekam Medis Lampiran 28. Rekam Medis Lampiran 29. Rekam Medis Lampiran 30. Rekam Medis Lampiran 31. Rekam Medis Lampiran 32. Rekam Medis Lampiran 33. Rekam Medis Lampiran 34. Rekam Medis Lampiran 35. Rekam Medis Lampiran 36. Rekam Medis Lampiran 37. Rekam Medis Lampiran 38. Rekam Medis Lampiran 39. Rekam Medis Lampiran 40. Rekam Medis Lampiran 41. Rekam Medis xviii

20 Lampiran 42. Surat Keterangan Permohonan Ijin Penelitian di RS Panti Rapih xix

21 INTISARI Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan episode berulang berupa mengi, rasa berat di dada dan batuk. Asma pada anak memiliki prevalensi yang lebih besar dibandingkan dengan prevalensi pada dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma. Penelitian ini termasuk dalam jenis deskriptif evaluatif dan menggunakan rancangan cross-sectional dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Dari hasil penelitian didapatkan 31 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Responden terbanyak berjenis kelamin laki-laki sebesar 67,75% (n=31). Penggunaan obat saluran pernapasan sebanyak 31 pasien dengan zat aktif yang paling banyak digunakan adalah salbutamol sulfat dan flutikason propionat (25 kasus). DTPs yang ditemukan sebanyak 45 kasus yaitu pemberian obat yang tidak dibutuhkan sebanyak 5 kasus, obat tidak efektif sebanyak 1 kasus, dosis terlalu rendah sebanyak 18 kasus, interaksi obat yang merugikan sebanyak 7 kasus, dan dosis terlalu tinggi sebanyak 14 kasus. Dapat disimpullkan bahwa Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan asma masih perlu mendapat perhatian. Kata kunci : asma, pediatri, Drug Therapy Problems xx

22 ABSTRACT Asthma is a chronic respiratory disease which characterized by recurrent episodes of wheezing, chest tightness and coughing. Asthma in children has a greater prevalence than in adults. This study aims to evaluate of Drug Therapy Problems (DTPs) on pediatric patient with asthma. This is a descriptive evaluative study with cross-sectional study design. Data collection is conducted using retrospective method based on the medical records of pediatric patients with asthma in inpatient of Panti Rapih Hospital Yogyakarta during January 2012 June 2013 period. There are 31 patients involve in the study. Most of patients are male (21 patients). The respiratory drug are used by 31 patients. The most drugs widely used are salbutamol sulphate and fluticasone propionate (25 cases). Results of the study shows that there are 45 cases of DTPs. The DTPs consist of unnecessary drug therapy (5 cases), ineffective drug (1 case), dosage too low (18 cases), adverse drug reaction (7 cases), and dosage too high (14 cases). In conclusion, the health care provider had to pay attention to the Drug Therapy Problems. Keywords: asthma, pediatrics, Drug Therapy Problems xxi

23 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan hiperresponsivitas yang menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak nafas, rasa berat di dada serta batuk terutama terjadi pada malam dan dini hari. Umumnya gejala ini bersifat reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan (Global Initiative for Asthma, 2012). Penyakit asma dapat terjadi setiap saat dan dapat menyerang pada semua umur, tetapi pada umumnya asma merupakan pediatric disease karena banyak terjadi pada anak-anak. Sekitar 50% anak-anak mempunyai gejala pada umur 2 tahun tetapi kebanyakan pasien mendapatkan diagnosa asma pada umur 5 tahun. Antara 30-70% anak dengan penyakit asma dapat membaik atau gejalanya hilang pada usia remaja (Dipiro et al., 2008). Anak yang menderita asma sering mengalami kekambuhan dan akan mempengaruhi masa tumbuh kembang anak karena dapat menimbulkan dampak negatif seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan aktivitas pribadi maupun keluarga (Matondang, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan di Indonesia menunjukkan prevalensi penyakit asma di Yogyakarta menduduki peringkat ke 3 dari 33 provinsi di Indonesia. Penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini bulan Januari-Desember 2009 oleh Handayani (2010) 1

24 menunjukkan bahwa dari 32 pasien asma, didapatkan jumlah pasien usia <5 tahun yaitu sebesar 28%. Prevalensi asma di Yogyakarta dan asma pada anak cukup tinggi, sehingga sangat diperlukan suatu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut antara lain dengan pencegahan dan pengobatan yang efektif. Salah satu parameter untuk menilai suatu pengobatan yang efektif adalah dengan melakukan evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs). DTPs merupakan peristiwa atau masalah tidak diinginkan yang terjadi pada pasien terkait terapi obat yang telah diberikan. Drug Therapy Problems yang dapat terjadi pada suatu terapi pengobatan dapat disebabkan oleh faktor seperti ketepatan indikasi, efektivitas obat, dan keamanan obat. Adanya DTPs ini dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi sehingga setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab untuk mencegah masalah-masalah yang mungkin terjadi selama proses terapi. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Hal ini karena Rumah Sakit tersebut merupakan salah satu rumah sakit swasta besar di Yogyakarta dan juga berada di tengah kota Yogyakarta. Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusriana (2002), dapat diketahui bahwa dari 39 pasien masih terdapat masalah yang berkaitan dengan DTPs yaitu adanya ketidaksesuaian dosis yang diberikan dengan dosis standar dan terdapat pontensial interaksi antara teofilin-eritromisin sebesar 12,82% dan teofilin-zafirlukast sebesar 7,69% (n=39). Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah di RS Panti Rapih Yogyakarta pada 2

25 periode Januari 2012-Juni 2013 masih terdapat adanya DTPs pada pasien pediatri dengan diagnosa asma. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Seperti apa karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013? b. Seperti apa profil pengobatan pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013? c. Apakah terdapat Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan obat pada pasien pediatri dengan diagnosa asma yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013? 2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti 3

26 Rapih periode Januari 2012-Juni 2013 belum pernah dilakukan, tetapi terdapat beberapa penelitian terkait dengan penyakit asma telah di lakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut : a. Gibson (2000) mengenai Kajian peresepan pasien dewasa asma bronkial non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun Dalam penelitian ini dilakukan kajian kerasionalan obat secara teoritis meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi obat. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif non analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Gibson terletak pada tahun penelitian, subyek penelitian yaitu pada pasien pediatri dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). b. Yusriana (2002) mengenai Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Kajian yang dilakukan adalah pola pengobatan penyakit asma bronkial yang meliputi jumlah obat yang diberikan, golongan obat yang diberikan, jenis obat yang diberikan, dan cara pemberian obat. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif non 4

27 analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusriana terletak pada tahun penelitian dan evaluasi yang dilakukan yaitu DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). c. Kusuma (2004) mengenai Kajian Pola peresepan obat asma yang diberikan pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun Kajian yang dilakukan meliputi pola peresepan obat asma yang meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitis serta pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Kusuma, penelitian ini dilakukan pada tahun dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan Drug Therapy Problems (DTPs) yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). Persamaan penelitian ini adalah subyek penelitian pada pasien asma anak. d. Handayani (2009) mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini 5

28 Yogyakarta bulan Januari-Desember Kajian yang dilakukan meliputi karakteristik pasien pasien asma bronkial, pola pengobatan pasien asma bonkial dan DRPs. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Handayani, penelitian ini dilakukan pada tahun dan subyek penelitian pada pasien pediatri. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi yang dilakukan yaitu evaluasi DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). e. Pratiwi (2011) mengenai Kajian Drug Related Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Bawah dan Asma di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 1 Januari-30 Juni Kajian yang dilakukan adalah DRPs yang meliputi butuh obat baru atau penambahan obat dalam terapi, obat yang tidak diperlukan, obat salah, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, interaksi obat, dan kepatuhan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Pratiwi, penelitian ini dilakukan pada tahun dan subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi DRPs. f. Hidayah (2011) mengenai Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Asma Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 6

29 2009. Kajian yang dilakukan adalah DRPs yang meliputi membutuhkan tambahan terapi obat, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi, obat salah, dosis terlalu rendah, interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Hidayah, penelitian ini dilakukan pada tahun , subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma dan tempat penelitian di RS Panti Rapih Yogyakarta. Persamaan penelitian ini adalah terdapat pada evaluasi DRPs. 3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi dan sebagai salah satu pertimbangan dalam penatalaksanaan terapi asma pada anak sehingga dapat mencegah terjadinya DTPs serta meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan obat asma pada pasien pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari 2012-Juni

30 2. Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut: a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosa asma. b. Mengidentifikasi profil pengobatan pasien asma. c. Mengidentifikasi potensial kejadian Drug Therapy Problems yang meliputi: obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). 8

31 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Drug Therapy Problems (DTPs) Drug Therapy Problem merupakan peristiwa yang tidak diinginkan atau yang mungkin dialami oleh pasien selama proses terapi sehingga dapat mengganggu tercapainya tujuan dari terapi. Drug Therapy Problems yang dapat terjadi dalam suatu proses terapi menurut Cipolle (2004) adalah: Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs No DTPs Penyebab Obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary drug therapy) Butuh tambahan obat (need for additional drug therapy) Obat tidak efektif (ineffective drug) Dosis terlalu rendah (dosage too low) Reaksi yang merugikan (adverse drug reaction) Dosis terlalu tinggi (dosage too high) Ketidakpatuhan (noncompliance) Obat tidak sesuai kondisi pasien Pemberian duplikasi obat Kondisi lebih tepat dengan terapi non farmakologi Terapi obat untuk mencegah efek samping Penyalahgunaan obat Kondisi baru butuh tambahan terapi obat Obat untuk mencegah resiko baru yang mungkin terjadi Dibutuhkan pencapaian efek sinergis/peningkatan efek Obat tidak efektif/tidak sesuai dengan kondisi Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan Bentuk sediaan yang tidak tepat Obat yang digunakan bukan obat yang efektif atau bukan yang paling efektif Dosis yang diberikan terlalu rendah Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif Interval pemberian terlalu jarang Durasi pemberian terlalu singkat Adanya reaksi obat yang tidak diharapkan Obat lebih aman digunakan untuk mengurangi faktor resiko Regimen dosis yang teratur atau berubah terlalu cepat Kontraindikasi obat Dosis yang diberikan terlalu tinggi Frekuensi pemberian terlalu singkat Durasi pemberian terlalu lama Terjadi interaksi yang menyebabkan reaksi toksik Pasien tidak mengerti aturan pakai Pasien tidak mau minum obat Pasien lupa meminum obat Obat terlalu mahal Pasien tidak dapat menelan atau menggunakan obat secara tepat Obat tidak tersedia untuk pasien 9

32 10 Penyebab Drug Therapy Problems yang sering terjadi pada terapi asma adalah karena kondisi pasien yang tidak mendapatkan terapi, pemberian dosis yang tidak tepat, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi pada penggunaan kortikosteroid dan β2 agonis tidak diberikan secara inhalasi tetapi secara per oral, adanya efek samping obat, adanya kesalahan dalam teknik penggunaan inhalasi. Masalah terkait terapi ini juga disebabkan karena pasien tidak mau menggunakan inhalasi, kegagalan pasien mendapatkan obat, ketidakpatuhan pasien, dan tidak adanya pengetahuan pasien yang cukup tentang terapi asma (Mackinnon, 2007; Abdelhamid, 2008). Drug Therapy Problems obat yang tidak dibutuhkan pada asma umumnya disebabkan obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi pasien dan adanya pemberian duplikasi obat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), diketahui bahwa pasien mendapatkan obat antibiotika berupa sefiksim dan amoksisilin tetapi pada pasien tidak terdapat indikasi infeksi seperti peningkatan suhu tubuh dan peningkatan kadar leukosit. Pada penelitian ini juga terdapat adanya pemberian 2 obat dalam golongan yang sama (duplikasi) yaitu sama-sama golongan β 2 adrenergik yang merupakan bronkodilator dan bekerja secara cepat namun aksinya tidak bertahan lama. Terjadinya pemberian duplikasi obat ini dapat meningkatkan efek samping yang meliputi tremor otot rangka, hipokalemia, hiperglikemi, peningkatan kadar asam laktat, dan sakit kepala. Adanya DTPs butuh tambahan terapi obat pada pasien asma disebabkan karena terdapat kondisi pasien yang memerlukan terapi tetapi tidak mendapatkan terapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), diketahui bahwa 5

33 11 pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator untuk mengatasi keluhan yang dialami. Pada kondisi kelima pasien ini, ada kemungkinan pasien telah mendapatkan terapi suportif berupa pemberian oksigen namun tidak tercantumkan dalam rekam medis. Kemudian terdapat juga pasien yang mengalami demam selama 2 hari dan suhu mencapai 39,1 C tetapi tidak mendapatkan antipiretik untuk menurunkan demam yang dialami. DTPs karena pemberian obat yang tidak efektif pada asma pada umumnya disebabkan karena pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008) di Sudan, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi pada penggunaan kortikosteroid dan β 2 agonis tidak diberikan secara inhalasi tetapi secara per oral. Hal ini dapat menyebabkan adanya peningkatan efek samping seperti sariawan pada penggunaan kortikosteroid serta tremor dan palpitasi pada penggunaan oral β 2 agonis. Oleh karena itu penggunaan secara inhalasi lebih disarankan untuk mengurangi efek samping yang dapat terjadi. Dosis terlalu rendah terjadi karena pasien menerima obat dengan dosis dibawah dosis terapeutik yang terdapat dalam standar yang ada. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), dosis obat terlalu rendah terjadi pada pemberian salbutamol dan terbutalin yang dianalisis berdasarkan DIH dan IONI Salbutamol secara p.o diberikan dengan dosis 2 x 2 mg/5ml sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 3 x 2 mg/5ml. Terbutalin secara p.o diberikan dengan dosis 2 x 2 mg sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 3 x 2,5

34 12 mg. Dosis terlalu rendah dalam penelitian ini disebabkan karena frekuensi yang terlalu sedikit sehingga dosis sehari yang diberikan terlalu rendah. Efek yang merugikan pada asma umumnya disebabkan oleh interaksi obat dan adanya efek samping obat. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), interaksi obat paling banyak terjadi pada pemberian aminofilin dengan metilprednisolon yang menyebabkan meningkatnya efek aminofilin sehingga toksisitasnyapun ikut meningkat dan perlu adanya monitoring serum level aminofilin dan perubahan dosis. Kemudian interaksi lain juga terjadi pada pemberian aminofilin dengan eritromisin sehingga meningkatkan kliren ginjal dari eritromisin. Efek yang merugikan karena adanya efek samping obat pada pasien asma terjadi karena penggunaan obat N-asetilsistein (Fluimucil, Pectocil, dan Rhinatiol ) yang dapat menyebabkan efek samping berupa rasa sesak di dada, bronkospasme, iritasi trakeal dan bronkial (Handayani, 2010). Dosis terlalu tinggi terjadi karena pasien menerima obat dengan dosis di atas dosis terapeutik yang dianjurkan oleh standar yang ada. Pada penelitian Pratiwi (2011), dosis terlalu tinggi terjadi pada pemberian eritromisin, aminofilin, dan sefiksim dengan standar DIH (2006) dan MIMS Volume 11 tahun Eritromisin diberikan dengan dosis 450mg/hari sedangkan dosis yang dianjurkan adalah mg/hari. Aminofilin diberikan dengan dosis 25 mg/dosis sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 12,2 mg/dosis. Sefiksim diberikan dosis 15 mg/hari sedangkan dosis yang dianjurkan 6,5-12,9 mg/hari.

35 13 Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), didapatkan juga masalah terkait pemberian dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pemberian deksametason secara i.v yang dievaluasi berdasarkan DIH dan IONI Deksametason diberikan dengan dosis 3 x 2 mg sedangkan dosis yang dianjurkan 3 x 1,1 mg sehingga kelebihan dosis sebesar 82%. DTPs pada aspek ketidakpatuhan pasien asma umumnya disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien mengenai terapi asma. Pada penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008), ketidakpatuhan pasien disebabkan karena sedikitnya pengetahuan pasien maupun keluarga tentang penggunaan dosis obat, frekuensi pemberian, pentingnya terapi maintenance, dan teknik pengunaan inhalasi secara tepat. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya efek terapi yang diharapkan sehingga perlu adanya edukasi kepada pasien maupun keluarga. 1. Pengertian B. Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis Asma atau asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernafasan yang ditandai dengan adanya penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel secara spontan atau dengan terapi. Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan reaksi alergi. Kurang lebih 80% pasien asma memiliki alergi (Dipiro et al., 2008). Bronkitis asmatis adalah kondisi ketika asma dan bronkitis akut terjadi secara bersamaan. Bronkitis akut adalah inflamasi pada saluran bronkus yang disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri (Robinson, 2014).

36 14 Faktor pemicu asma juga dapat meliputi faktor host yaitu genetik, obesitas, jenis kelamin, dan faktor lingkungan yaitu alergen, infeksi, sensitivitas karena pekerjaan, rokok, diet dan polusi udara (Global Initiative for Asthma, 2012). 2. Patofisiologi Asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1, dimana reaksi timbulnya inflamasi berlangsung cepat. Inflamasi yang menyebabkan asma diawali oleh adanya pejanan alergen yang masuk ke dalam tubuh dari lingkungan atau adanya faktor pencetus lain (Brasher, 2007). Pada asma tipe alergi terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase lambat ini dimulai dengan adanya pejanan alergen tertentu dan menyebabkan aktivasi sel THelper2 (TH2) yang akan memproduksi interleukin (IL)-4 dan IL-13 dibantu oleh IL-5, dan IL-6 yang akan menstimulasi sel B yang spesifik terhadap antigen asing yang untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian membentuk IgE yang akan berikatan dengan mastosit melalui Fracmen crystallizable Receptor (Fc-R). Apabila terpejan dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan berikatan dengan IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit. Ikatan antara antigen dan IgE tersebut akan menyebabkan degradulasi mastosit yang akan mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, kemotaksin, eosinofil, dan bradikinin. Mediator inflamasi ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, kontraksi otot polos, sekresi mukus sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi saluran pernapasan. Inflamasi ini juga terjadi karena adanya Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor

37 15 (GM-CSF), TNFα, IL-8/9 dan sel inflamasi. GM-CSF akan mengaktivasi granulosit dan makrofag. TNFα akan mengaktivasi neutrofil dan merangsang makrofag mensekresi kemokin serta menginduksi kemotaksis. IL-8/9 akan mengaktivasi neutrofil dan kemoatraktan neutrofil. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-9 jam pejanan alergen (Akib dkk., 2008; Baratawidjaja dan Rengganis., 2010). Reaksi fase cepat ini terjadi ketika adanya antigen berikatan dengan IgE yang menyebabkan degranulasi mastosit dan terjadi pelepasan mediator proinflamasi seperti histamin, eikosanoid, leukotrien, dan sitokin. Dalam reaksi cepat ini, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF, dan IFN terbukti dapat menginduksi dan meningkatkan pelepasan histamin. Pada reaksi fase cepat, obstruksi saluran pernapasan terjadi antara menit setelah pejanan alergen (Dipiro et al., 2008; Akib dkk., 2008). Gambar 1.Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan Keluarnya Mediator Kimiawi dan Memicu terjadinya Reaksi Alergi (Judarwanto, 2012)

38 16 3. Penatalaksanaan Terapi Asma 1. Tujuan terapi Tujuan dari terapi asma adalah untuk menghilangkan dan mengendalikan asma, mencegah eksaserbasi akut, mempertahankan dan meningkatkan faal paru, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya airflow limitation irreversibel, serta mencegah kematian karena asma (Departemen Kesehatan RI, 2007). 2. Tatalaksana serangan asma Penatalaksanaan terapi asma menurut Respirologi Anak (2008) dibagi menjadi 3 yaitu, tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat (UGD), di Ruang Rawat Sehari, dan di Ruang Rawat Inap. a. Tatalaksana di klinik atau UGD Tatalaksana awal ketika pasien datang dalam keadaan serangan asma adalah dengan pemberian β 2 -agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi ini dapat diulangi dua kali dengan selang 20 menit dan pada pemberian ketiga dapat ditambahkan dengan obat antikolinergik. Pada serangan asma ringan, pasien akan menunjukkan respon yang baik dengan sekali pemberian nebulisasi. Kemudian dilakukan pemantauan selama 1-2 jam dan jika respon baik tersebut dapat bertahan maka pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali dengan obat β agonis (hirupan atau oral) diberikan 4-6 jam. Jika setelah dilakukan pemantauan 2 jam gejala timbul kembali maka serangan asma merupakan serangan asma sedang.

39 17 Derajat serangan asma dikatakan sedang yaitu apabila pada pemberian dua kali nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response). Jika serangan asma sedang, maka pasien dapat diberikan inhalasi β 2 - agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik) secara langsung dan perlu dilakukan pemantauan dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada serangan asma sedang, pasien dapat diberikan kortikosteroid sistemik/oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari. Apabila dengan pemberian tiga kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response) maka dapat dikatakan derajat serangan asma berat dan harus dirawat di ruang rawat inap. Pada serangan asma berat, pasien diberikan oksigen 2-4L/menit dan dapat langsung diberikan nebulisasi β 2 -agonis dengan antikolinergik. b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS) Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan dan setelah pemberian nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, maka di RRS dilajutkan dengan nebulisasi β 2 -agonis dengan antikolinergik bila perlu setiap 2 jam. Kemudian dapat diberikan kortikosteroid sistemik oral (metilprednisolon, prednisolon, atau triamsinolon) dan dilajutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis tetap baik, pasien dapat dipulangkan dan dibekali obat seperti pada serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ugd. Bila responnya tidak baik, maka pasien dialihkan ke ruang rawat inap dengan tatalaksana asma berat.

40 18 c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap Pada ruang rawat inap, pemberian oksigen dapat diteruskan dan jika ada dehidrasi serta asidosis, maka dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi. Nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian terjadi perbaikan klinis maka frekuensi pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Steroid intravena dapat diberikan secara bolus dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari setiap 6-8 jam. Aminofilin dapat diberikan secara intravena dengan dosis awal (jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya) 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan dalam menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam) maka dosis yang dapat diberikan adalah setengah dari dosis awal. Kadar aminofilin ini sebaiknya diukur dan dipertahankan sebesar μg/ml. Dosis rumatan aminofilin diberikan setelah 4 jam dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/jam. Jika terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6-12 jam. Steroid dan aminofilin dapat diganti dengan pemberian per oral dan jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan diberikan obat hirupan β2-agonis (hirupan atau oral) setiap 4-6 jam selama jam. 3. Terapi farmakologi Terapi melalui rute inhalasi merupakan rute terapi pertama untuk anak dengan asma pada semua umur. Hampir semua anak dapat memberikan hasil yang

41 19 efektif dengan terapi inhalasi. Pada terapi farmakologi asma dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu controllers dan relievers. a. Controllers Obat ini merupakan terapi yang diberikan setiap hari secara jangka panjang untuk menjaga asma tetap terkontrol terutama melalui efek antiinflamasi. Obat golongan controllers untuk terapi pada anak meliputi: inhalasi dan injeksi glukokortikosteroid, leukotriene modifiers, inhalasi long acting β 2 - agonists, teofilin, kromolin, dan long-acting β 2 -agonists secara per oral. Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif (Global Initiative for Asthma, 2012). 1.) Inhalasi dan glukokortikosteroid sistemik Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif dan direkomendasikan untuk terapi asma pada anak di semua usia (Global Initiative for Asthma, 2012). Formulasi ini sangat efektif meningkatkan indeks terapeutik obat dan mengurangi efek samping tanpa menghilangkan efek terapinya. Obat yang termasuk dalam glukokortikosteroid yang ada untuk terapi saat ini adalah beklometason dipropionat, triamsinolon asetonid, flutikason propionat, flunisolid, dan budesonid yang semuanya efektif untuk mengontrol asma pada dosis yang sesuai (Brunton et al., 2010). Mekanisme aksi dari glukokortikosteroid dalam terapi asma adalah dengan meningkatkan reseptor β 2 -adrenergik dan meningkatkan responsivitas reseptor untuk menstimulasi β 2 -adrenergik, mengurangi produksi mukus dan

42 20 hipersekresi mukus, mengurangi bronkokonstriksi, mengurangi inflamasi pada saluran pernapasan dan eksudasi. Reseptor glukokortikosteroid ditemukan di sitoplasma pada sebagian besar sel di dalam tubuh. Kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat masuk melewati membran dan akan berikatan dengan reseptor glukokortikosteroid. Aktivasi reseptor kortikosteroid akan mengaktifkan faktor transkripsi untuk memicu aktivasi biologis. Kemudian akan terbentuk mrna yang akan meningkatkan produksi dari mediator anti inflamasi; dan menekan produksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-8, mengurangi aktivasi sel inflamasi, infiltrasi dan penurunan permeabilitas vaskular (Dipiro et al., 2008). Obat steroid inhalasi yang sering digunakan untuk anak-anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah budesonid inhalasi untuk anak usia kurang dari 12 tahun adalah μg/hari (yang setara dengan μg/hari flutikason) dan untuk anak berusia di atas 12 tahun adalah 400 μg/hari ( μg/hari flutikason). Pada penggunaan obat ini belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah penggunaan steroid dengan dosis rendah selama 8-12 minggu tidak timbul respon dan masih terdapat gejala asma, maka pengobatan dilanjutkan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid inhalasi dengan 400 μg/hari dan termasuk dalam penatalaksanaan asma persisten (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008).

43 21 Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu jam. Pilihan steroid yang utama adalah metil prednisolon karena memiliki efek antiinflamasi yang lebih besar dan efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgbb diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgbb setiap 4-6 jam. Deksametasone diberikan secara bolus intravena dengan dosis ½ - 1 mg/kgbb, dilanjutkan 1 mg/kgbb/hari setiap 6-8 jam (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). Efek samping inhalasi glukokortikosteroid adalah pada dosis tinggi dapat menyebabkan kulit menjadi tipis dan memar serta insufisiensi adrenal. Pemberian dosis rendah pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat (Global Initiative for Asthma, 2012). Pada pemberian budesonid memiliki efek samping seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, sakit kepala, infeksi telinga, infeksi virus, dan perubahan suara. Pada pemberian flutikason dapat menimbulkan efek samping seperti sakit kepala, faringitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas, diare, hidung berair, dan demam (Departemen Kesehatan RI, 2007). 2.) Leukotriene modifiers Obat-obat golongan antagonis reseptor leukotrien adalah zafirlukast dan montelukast sedangkan obat inhbitor 5-lipoksigenase adalah zileuton telah tersedia di Amerika Serikat sejak tahun 1996 yang baik digunakan pada anak-

44 22 anak maupun orang dewasa dengan asma persisten. Obat ini dapat mengurangi faktor pemicu asma seperti alergen, latihan fisik, udara dingin, iritan, dan aspirin. Penggunaan terapi obat dari zileuton terbatas kerena adanya potensi peningkatan enzim hati khususnya pada 3 bulan pertama terapi dan adanya penghambatan potensial dari metabolisme obat oleh isoenzim CYP3A4 (Sukandar dkk., 2009). Dalam uji klinis, antagonis reseptor LTD 4 (zafirlukast dan montelukast) telah menunjukkan keberhasilan terapi pada orang dewasa dan anak-anak dengan asma persisten. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1 dan PEF), menurunkan gejala terbangun pada malam hari, dan penggunaan β 2 - agonis. Manfaat utama dari golongan obat ini adalah dapat efektif pada pemberian per oral dengan frekuensi pemberian sekali atau 2x sehari. Namun, penggunaan terapi obat ini kurang efektif dibandingkan dengan terapi dosis rendah pada inhalasi kortikosteroid. Mekanisme kerja zafirlukast dan montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien yang selektif dan kompetitif sehingga dapat menghambat produksi leukotrien yang akan menimbulkan inflamasi. Mekanisme zileuton adalah sebagai inhibitor spesifik 5- lipoksigenase yang akan menghambat pembentukan LTB 1, LTC 1, LTD 1, Lte 1 (Dipiro et al., 2008). Efek samping dari pemberian Leukotriene modifiers tidak diketahui secara spesifik pada dosis yang dianjurkan. Peningkatan enzim liver dapat terjadi pada pemberian zafirlukast dan zileuton (Global Initiative for Asthma,

45 ). Efek samping pemberian Leukotriene modifiers terjadi pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual, dan infeksi (Departemen Kesehatan RI, 2007). 3.) Inhalasi long acting β 2 -agonists dan long-acting β-agonists secara oral Obat-obat golongan long acting β 2 -agonist yaitu formoterol dan salmeterol yang dapat memberikan efek bronkodilatasi jangka panjang dalam bentuk aerosol. Salmeterol lebih selektif dibandingkan albuterol karena dapat tertinggal lebih lama di paru. Yang membedakan formoterol dari salmeterol adalah formoterol mempunyai onset yang lebih cepat. Salah satu jenis obat ini biasanya dikombinasikan dengan sediaan kortokosteroid sebagai terapi profilaksis (Dipiro et al., 2008). Mekanisme kerja obat pada golongan β 2 -agonis berkaitan dengan relaksasi langsung otot polos saluran napas dan mengakibatkan bronkodilatasi. Stimulasi reseptor β 2 adrenergik ini akan mengaktifkan jalur Gs-adenilil siklase-amp siklik yang mengakibatkan penurunan tonus otot polos. Obat ini juga meningkatkan konduktansi saluran Ca2+ yang sensitif terhadap K+ dalam otot polos saluran napas, menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi membran (Brunton et al., 2010) Efek samping pada pemberian inhalasi long acting β 2 -agonists memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian per oral. Efek samping ini seperti demam dan berhubungan dengan peningkatan risiko serangan berat. Pada pemberian per oral, efek samping yang dapat ditimbulkan berupa takikardi, ansietas, tremor, sakit kepala, dan hipokalemia (Global Initiative for Asthma, 2012).

46 24 4.) Teofilin Teofilin merupakan suatu metil xantin yang masih sering digunakan untuk terapi asma. Teofilin dapat menghasilkan efek bronkodilatasi dengan bekerja menghambat nonselektif fosfodiesterase yang kemudian akan meningkatkan kadar camp dan cyclic guanosine monophosphate. Teofilin mulai jarang digunakan sebagai pertimbangan akan peningkatan risiko severe life threatening toxicity dan banyak interaksi antar obat serta penurunan efikasi dibandingan dengan inhalasi kortikosteroid dan long acting β 2 -agonis (Dipiro et al., 2008). Efek samping dari pemberian teofilin adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi serum tinggi dapat menyebabkan takikardi, aritmia, dan seizure (Global Initiative for Asthma, 2012). b. Relievers Obat ini merupakan terapi yang digunakan pada saat dibutuhkan aksi yang cepat untuk mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala yang ada. Golongan obat ini meliputi: inhalasi β 2 -agonis kerja cepat, inhalasi antikolinergik, teofilin kerja pendek, dan β 2 agonis kerja pendek secara per oral (Global Initiative for Asthma, 2012). 1.) Inhalasi β 2 -agonis kerja cepat dan β 2 agonis kerja pendek secara per oral Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, levalbuterol HFA, reproterol, dan pirbuterol. Terapi dengan inhalasi β 2 -agonis kerja cepat seharusnya diberikan hanya pada saat

47 25 dibutuhkan dengan dosis rendah dan frekuensi yang diperlukan (Global Initiative for Asthma, 2012). Terapi β 2 agonis kerja pendek secara per oral tepat jika digunakan pada sebagian pasien yang tidak dapat menggunakan terapi dengan inhalasi meskipun penggunaannya sangat berkaitan dengan tingginya prevalensi terjadinya efek samping. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian secara per oral adalah takikardi, tremor, sakit kepala, dan iritasi serta pada dosis tinggi dapat menyebabkan hiperglikemi dan hipokalemia. (Global Initiative for Asthma, 2012). Dosis yang dapat diberikan pada salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgbb/kali dan diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,005-0,1 mg/kgbb/kali setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgbb. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai pada 2-4 jam dan lama kerjanya sampai 5 jam (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). Pemberian salbutamol secara nebuliser dapat diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgbb (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/jam (dosis maksimum 15 mg/jam) (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). 2.) Inhalasi antikolinergik Antikolinergik merupakan inhibitor kompetitif reseptor muskarinik, mengatasi bronkokonstriksi termediasi kolinergik. Golongan ini merupakan bronkodilator, namun tidak seefektif β2 agonis. Antikolinergik melemahkan

48 26 tapi tidak menghambat bronkokonstriksi akibat olahraga. Contoh obatnya adalah ipratropium dan tiotropium bromida (Dipiro et al., 2008). Pada terapi asma, inhalasi antikolinergik tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang manajemen asma pada anak-anak. Efek samping dari pemberian obat ini adalah mulut kering dan rasa tidak enak di mulut (Global Initiative for Asthma, 2012). c. Obat-obat lain 1.) Mukolitik Mukolitik diberikan untuk membantu ekspektorasi dengan mengurangi viskositas sputum (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat diberikan tetapi harus hati-hati pada anak dengan reflek batuk yang optimal. Terapi mukolitik inhalasi tidak menunjukkan manfaat dalam penanganan serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). Obat mukolitik yang sering digunakan adalah bromheksin. Obat ini bekerja dengan mengurangi kekentalan mukus sehingga mudah untuk dikeluarkan. Efek samping obat ini berupa gangguan pada saluran cerna, pusing, berkeringat, tetapi jarang terjadi (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.) Antibiotika Pemberian antibiotik pada terapi asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri. Antibiotika pada keadaan tertentu dapat diberikan yaitu pada infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh

49 27 bakteri seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulen, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). a.) Eritromisin Eritromisin merupakan anti bakteri yang memiliki spektrum yang hampir sama dengan penisilin dan memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif. Eritromisin juga aktif terhadap bakteri anaerob yang terdapat di usus. Anti bakteri ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga bakteri dapat lisis. Eritromisin dapat digunakan untuk infeksi saluran pernapasan, pertusis, enteritis karena kampilobakter, dan penyakit legionaire (Brunton et al., 2010). Eritromisin memiliki efek antiinflamasi yang terjadi pada asma bronkial. Obat ini bekerja dengan mengurangi produksi sel endotelin-1 yang berperan utama dalam bronkokonstriksi asma bronkial. Pada uji klinis terdahulu, dapat diketahui bahwa makrolida dapat mengurangi produksi sitokin proinflamasi dengan menghambat pelepasan IL-8, epithelial cellderived neutrophil attractant (ENA-78), and macrophage inflammatory protein 1 (MIP-1) sehingga inflamasi yang terjadi dapat berkurang (Kanoh, 2010; Wales, 2014). Efek samping obat ini dapat menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan reaksi alergi lainnya (Sukandar dkk., 2009; Brunton et al., 2010).

50 28 b.) Isoniazid Obat ini berfungsi untuk terapi tuberkulosis aktif dan untuk profilaksis orang yang memiliki risiko tinggi terjadi infeksi. Obat ini efektif terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang berkembang dengan bekerja pada sintesis mycolic acid yang diperlukan untuk membentuk dinding sel bakteri (Departemen Kesehatan RI, 2005). Efek samping obat ini adalah mual, muntah, neuritis perifer, kejang, reaksi hipersensitif seperti eritema multiforme, demam, agranulositosis (Sukandar dkk., 2009). c.) Rifampisin Rifampisin digunakan untuk terapi tuberkulosis yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain. Obat ini bekerja dengan menghambat aktivasi polymerase RNA sehingga sintesis RNA pada bakteri dapat terganggu (Departemen Kesehatan RI, 2005). Efek samping rifampisin adalah gangguan saluran pencernaan yang meliputi mual, muntah anoreksia, diare, rasa panas di perut. Pada terapi intermitten dapat terjadi gangguan respiratori pendek, syok, anemia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, ruam, udem, leukopenia, eosinofilia, dan gagal ginjal akut (Sukandar dkk., 2009). 3.) Antihistamin Antihistamin oral dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu nonselektif (generasi pertama atau antihistamin yang bersifat sedatif) dan selektif perifer (generasi kedua atau antihistamin non sedatif). Pada umumnya antihistamin

51 29 generasi pertama bersifat larut lemak dan dapat melewati sawar ini dengan mudah. Obat yang selektif terhadap perifer memiliki sedikit atau tidak sama sekali memiliki efek pada sistem saraf pusat atau otonom (Sukandar dkk., 2009). Antihistamin H 1 bekerja dengan menghambat secara kompetitif terhadap histamin untuk berikatan dengan reseptor histamin sehingga reseptor tidak teraktivasi. Tidak adanya aktivasi ini menyebabkan tidak terjadinya efek seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Pohan, 2007). 4.) Antiemetika a.) Ondansetron Ondansetron merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru yang dapat memiliki efek antimuntah yang sangat efektif. Obat ini bekerja menghambat terbentuknya ikatan serotonin dengan reseptor 5HT3 (Chow, 2010). Efek samping obat ini adalah konstipasi, nyeri kepala, sensasi hangat atau muka merah, reaksi hipersensitivitas, nyeri dada, aritmia, hipotensi dan bradikardia (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). b.) Metoklopramid Merupakan obat golongan antagonis dopamin yang bekerja pada reseptor dopamin pada Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) yang merupakan pusat muntah. Obat ini bekerja dengan menghambat CTZ sehingga mual dan muntah dapat berkurang (Tjay dan Rahardja, 2007).

52 30 Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti, efek ekstrapiramidal terutama terjadi pada anak-anak, hiperprolaktinemia, mengantuk, gelisah, diare, depresi, ruam kulit, udem (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). 5.) Antitukak Ranitidin merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi asam lambung yang bekerja sebagai antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 di sel parietal sehingga histamin tidak dapat berikatan dengan reseptor H2 dan menginduksi sekresi asam lambung (Birnkammer, 2011). Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah diare, gangguan fungsi cerna, sakit kepala, pusing, ruam dan rasa letih (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). 4. Interaksi Obat Pada evaluasi potensial terjadinya interaksi obat, hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat signifikasi dari interaksi. Tingkat signifikasi yang mungkin terjadi ini diperlukan untuk melihat besar kecilnya efek yang ditimbulkan jika terjadi interaksi. Hal ini penting sebagai pertimbangan dalam menentukan terapi yang akan dilakukan sehingga kemungkinan efek yang merugikan dapat dihindari (Tatro, 2007). Tingkat signifikasi diklasifikasikan berdasarkan tingkat keamanan (severity) dan dokumentasi yang telah ada (documentation). a. Severity dibedakan menjadi 3 macam yaitu major, moderate, minor. Pada tingkat major, potensial interaksi obat dapat menyebabkan kerusakan

53 31 permanen. Pada tingkat moderate, potensial interaksi obat dapat menyebabkan keadaan yang buruk pada kondisi pasien sedangkan pada tingkat minor, efek yang ditimbulkan tidak besar dan tidak menimbulkan efek yang signifikan. b. Documentation dibedakan menjadi 5 tingkatan yaitu established, probable, suspected, possible, unlikely. Pada tingkat established, efek yang ditimbulkan telah terbukti terjadi pada studi kontrol yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Pada tingkat probable, efek yang ditimbulkan sangat mungkin terjadi tetapi tidak terdapat bukti secara klinis. Pada tingkat suspected, efek yang ditimbulkan kemungkinan dapat terjadi. Pada tingkat possible, efek yang ditimbulkan dapat kemungkinan terjadi tetapi data yang ada sangat sedikit. Pada tingkat unlikely, efek yang ditimbulkan belum dapat dipastikan dan tidak terdapat bukti yang cukup. Tabel II. Tingkat Signifikasi Potensial Interaksi Obat (Tatro, 2007) Significance Severity Documentation rating 1 Major Suspected or > 2 Moderate Suspected or > 3 Minor Suspected or > 4 Major/Moderate Possible 5 Minor Possible Any Unlikely Keterangan: Suspected or > : established, probable 5. Keterangan Empiris Prevalensi asma pada pediatri cukup tinggi sehingga diperlukan suatu pengobatan yang efektif. Adanya permasalahan terkait terapi obat masih terjadi pada pasien, oleh karena itu hasil penelitian akan menunjukkan adanya

54 32 kemungkinan permasalahan terkait penggunaan obat pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

55 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif evaluatif dan menggunakan rancangan penelitian cross-sectional dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Jenis penelitian deskriptif evaluatif karena dalam penelitian ini dilakukan identifikasi gambaran fenomena yang terjadi dalam suatu populasi tertentu yaitu pada pasien pediatri dengan diagnosa asma kemudian dievaluasi berdasarkan pedoman/standar yang ada tanpa adanya intervensi terhadap subjek uji. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-sectional karena pengambilan data yang meliputi variabel penelitian dilakukan pada satu kurun waktu yang bersamaan yaitu periode Januari 2012-Juni Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu yang diambil dari rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari 2012-Juni B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel penelitian meliputi profil penggunaan obat asma dan Drug Therapy Problems yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat 33

56 34 yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). 2. Definisi Operasional a. Asma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah asma bronkial dan bronkitis asmatis. b. Drug Therapy Problems (DTPs) adalah masalah-masalah dalam penggunaan obat yang meliputi: 1.) Obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy) adalah masalah yang terjadi karena adanya pemberian obat secara duplikasi. Contoh: pasien mendapatkan 2 produk kortikosteroid yang berbeda (deksametason dan triamsinolon) untuk terapi asma. 2.) Dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy) adalah masalah yang terjadi karena adanya kondisi pasien yang memerlukan tambahan obat. Contoh: pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator. 3.) Obat yang tidak efektif (ineffective drug) adalah masalah yang terjadi karena obat yang diberikan tidak tepat dan kondisi pasien tidak dapat disembuhkan dengan terapi yang diberikan. Contoh: pemberian salbutamol tidak secara inhalasi tetapi secara oral. 4.) Dosis terlalu rendah (dosage too low) adalah masalah yang terjadi karena adanya pemberian dosis terlalu rendah untuk mencapai efek yang diharapkan. Contoh: pemberian salbutamol p.o dengan dosis 2 x

57 35 2 mg/5ml dan dosis yang dianjurkan DIH adalah 3 x 2 mg/5ml. 5.) Efek obat merugikan (adverse drug reaction) adalah masalah yang terjadi karena pemberian obat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Contoh: pemberian kortikosteroid secara oral dapat menyebabkan mulut kering dan sariawan. 6.) Dosis terlalu tinggi (dosage too high) adalah masalah yang terjadi karena pemberian dosis obat terlalu tinggi. Contoh: aminofilin yang diberikan 25mg/dosis dan dosis yang dianjurkan DIH (2006) adalah 12,2 mg/dosis. c. Kajian ketepatan dosis obat berdasarkan sumber informasi Respirologi Anak 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary d. Kajian efek yang merugikan dan interaksi obat berdasarkan sumber informasi pada Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley s Drug Interactions 9 th edition 2010 serta dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (darah, urin dan feses) dan pemeriksaan fisik pada rekam medis. e. Kajian interaksi obat yang dibahas dalam hasil dan pembahasan adalah interaksi dengan tingkat signifikasi 1 sesuai dengan Tatro (2007). f. Profil pengobatan asma adalah gambaran peresepan obat yang meliputi kelas terapi, kelompok, golongan obat, zat aktif obat, dan jumlah kasus.

58 36 g. Kasus merupakan kejadian penggunaan obat dan DTPs yang terjadi per pasien. Dalam satu rekam medis dapat memiliki lebih dari satu kasus. C. Subjek Penelitian Subjek penelitian meliputi pasien anak yang mendapatkan diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Kriteria inklusi subjek adalah pasien pediatri berumur 14 tahun yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis. 2. Kriteria eksklusi subjek adalah tidak lengkapnya rekam medis terkait resep racikan yang tidak diketahui komposisi obatnya. D. Bahan dan Instrumen Penelitian Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Instrumen yang digunakan adalah standar/acuan yang meliputi Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011, Drug Interaction Facts 2007, Stockley s Drug Interactions, 9 th edition 2010.

59 37 E. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bagian rekam medis. F. Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap berikut: 1. Analisis situasi dan penentuan masalah Analisis situasi dan penentuan masalah dilakukan dengan mencari informasi mengenai prevalensi penyakit asma melalui media cetak dan melalui media internet seperti buku, penelitian, dan jurnal. Diketahui bahwa penyakit asma pada anak-anak memiliki prevalensi yang tinggi. Kemudian dilakukan penyusunan proposal usulan penelitian dan pengajuan perijinan untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan hasil printout nomor rekam medis dan jumlah pasien asma yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, didapatkan jumlah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosa asma baik diagnosa utama keluar dan diagnosa lain/komplikasi sebanyak 128 pasien. 2. Pengambilan data dan pengolahan data Subjek yang diperoleh dari nomor rekam medis dan jumlah pasien pada analisis situasi dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Terdapat 31 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan 97 pasien tidak memenuhi kriteria (95 pasien mendapatkan diagnosa lain/komplikasi bukan asma bronkial maupun bronkitis asmatis dan 2 pasien mendapatkan resep yang tidak

60 38 diketahui komposisi obatnya). Proses pengambilan data dilanjutkan dengan menelusuri dokumen rekam medis pasien di instalasi rekam medis. Dilakukan pencatatan data meliputi nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, berat badan, anamnesa, diagnosa, lama rawat inap, riwayat sakit, riwayat pengobatan, tanda vital, obat yang berikan, dosis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, lama pemberian, hasil pemeriksaan laboratorium, dan keteranganketerangan lain yang dapat mendukung penelitian. 3. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluatif sebagai berikut: a. Karakteristik pasien Karakteristik pasien asma diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan lama hari rawat 1.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100 %. 2.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan kelompok umur yang dibagi menjadi umur 4 tahun, umur 5-11 tahun, dan umur tahun. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok umur dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%. 3.) Distribusi lama hari rawat dikelompokkan berdasarkan lamanya hari rawat pasien. Kemudian persentase dihitung dengan membagi jumlah

61 39 pasien pada setiap banyaknya lama hari rawat dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%. b. Profil penggunaan obat asma Distribusi jumlah kelas terapi obat yang digunakan dikelompokkan menjadi 5 kelas terapi yaitu obat saluran pernapasan, obat saluran pencernaan, obat anti infeksi, obat analgesik-antipiretik, suplemen-vitamin. Kemudian profil penggunaan kelas terapi obat dikelompokkan berdasarkan kelompok, golongan, zat aktif obat dan jumlah kasus yang menerima obat tersebut. c. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) Evaluasi DTPs yang dilakukan meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). Data kemudian evaluasi dengan menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, dan Plan (SOAP). Subjective meliputi nama pasien, jenis kelamin, umur, keluhan yang dialami oleh pasien, keadaan umum pasien, riwayat penyakit dan diagnosa. Objective meliputi berat badan, hasil laboratorium (darah, urin, dan feses), tanda vital (suhu, tekanan darah, RR, nadi, dan saturasi O2). Assessment merupakan penilaian yang dilakukan terkait permasalahan (DTPs) yang mungkin terjadi selama terapi penggunaan obat. Penilaian ini dilakukan dengan mengevaluasi kasus yang didapat

62 40 berdasarkan pustaka yang ada. Untuk evaluasi ketepatan dosis digunakan acuan Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary Kemudian untuk evaluasi interaksi obat digunakan acuan Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley s Drug Interactions, 9 th edition Plan atau rekomendasi meliputi saran yang dapat diberikan untuk mengatasi DTPs yang terjadi berdasarkan standar/acuan yang ada. 4. Penyajian Hasil Penelitian Hasil penelitian berupa karakteristik demografi pasien asma, profil pengobatan, dan eveluasi Drug Therapy Problems pada asma diuraikan secara deskriptif yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Presentase kejadian DTPs dihitung berdasarkan kelompok parameter DTPs dengan cara membagi jumlah kasus pada setiap jenis kelompok DTPs dengan jumlah kasus DTPs secara keseluruhan dikali 100%. G. Keterbatasan Penelitian Evaluasi obat yang tidak dibutuhkan dilakukan berdasarkan diagnosis, catatan keperawatan dan hasil laboratorium yang ada dalam data rekam medik. Data yang tertulis pada rekam medis terbatas dari catatan perawat terkait kondisi pasien dan keterangan dari keluarga sehingga tidak dapat disimpulkan secara pasti ketepatan penggunaan obat karena tidak dapat melihat secara langsung kondisi pasien yang kemungkinan tidak terdapat dalam rekam medik.

63 41 Evaluasi dosis hanya berdasarkan dosis pada rekam medis dan tidak diketahui derajat serangan asma sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi penurunan atau peningkatan dosis berikutnya.

64 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian yang meliputi karakteristik demografi pasien, profil pengobatan, dan evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) yang kemungkinan dapat terjadi. A. Karakteristik Demografi Pasien 1. Jenis Kelamin Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 31 responden, jumlah responden laki-laki yang mengalami asma sebanyak 21 pasien (67,75%) sedangkan perempuan sebanyak 10 pasien (32,25%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden laki-laki merupakan responden terbanyak yang mengalami asma. Hal ini sama dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi kejadian asma pada anak terjadi lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (Brunton et al., 2010). Hasil penelitian lain yang sama dengan hasil penelitian ini juga dilakukan oleh Wahani (2011) yang menunjukkan bahwa pasien anak dengan jenis kelamin laki-laki merupakan pasien terbanyak yang mengalami asma yaitu sebanyak 29 pasien. Penelitian tersebut tidak menyebutkan secara pasti penyebab utama dominasi jumlah laki-laki. Penyebab asma pada anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Menurut Cristiano (2010), hal ini disebabkan karena ukuran diameter saluran pernapasan pada anak laki-laki relatif lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan. 42

65 43 Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut: 32,25% Perempuan 67,75% Laki-laki Gambar 2. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni Umur Pasien Umur responden diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu 4 tahun, 5-11 tahun, dan tahun. Dari 31 pasien didapatkan pasien dengan umur 4 tahun sebanyak 25 pasien (80,65%), umur 5-11 tahun sebanyak 5 pasien (16,13%), dan umur tahun sebanyak 1 pasien (3,22%). Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah responden umur < 12 tahun lebih besar dibandingkan dengan umur >12 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena asma pada anak terkait erat dengan reaksi alergi dan anak juga lebih rentan terhadap infeksi. Dua hal tersebut merupakan rangsangan yang dapat berinteraksi dengan respon jalan dan dapat menimbulkan episode asma akut. Pada anak-anak umur < 12 tahun belum dapat menghindari faktor-faktor pencetus alergi,

66 44 sedangkan pada anak umur tahun sudah dapat menghindari faktor-faktor pencetus dari alergi sehingga kekambuhan asma yang terjadi akibat alergi dapat berkurang (Harrison, 2000). Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 3 sebagai berikut: 16,13% 3,22% 4 tahun 80,65% 5-11 tahun tahun Gambar 3. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni Lama rawat Pada penelitian ini didapatkan bahwa lamanya hari rawat inap dari 31 pasien anak dengan diagnosis asma terbanyak adalah 4 hari yaitu 12 pasien (38,71%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2011) yang menyebutkan bahwa lama rata-rata rawat inap pasien asma adalah 3-4 hari pada 13 pasien (n=22 pasien). berikut: Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 4 sebagai

67 Jumlah Pasien PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lama Hari Rawat Lama Hari Rawat Gambar 4. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Lama Hari Rawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013 B. Profil Pengobatan Pada penelitian ini ditemukan beberapa macam obat yang digunakan pada pasien dengan diagnosa asma. Dari data yang diperoleh, obat yang diberikan dibagi menjadi 5 kelas terapi obat yaitu obat saluran pernapasan (obat bronkodilator, kortikosteroid, antitusif, dekongestan, antihistamin, anti tuberkulosis), obat yang bekerja pada saluran pencernaan (antiemetika, antitukak, antidiare, dan digestan), obat anti infeksi (antibiotika dan antifungi), obat yang bekerja sebagai analgesik-antipiretik, dan suplemen-vitamin. Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan obat saluran pernapasan pada 31 pasien. Hal ini berarti pengobatan yang diberikan telah sesuai dengan tujuan terapi yaitu untuk pengobatan asma. Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Tabel III sebagai berikut :

68 46 Tabel III. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Kelas Terapi yang Digunakan dalam Pengobatan Asma pada Pasien Anak Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta No. Kelas Terapi Jumlah Pasien (n=31) 1. Obat saluran pernapasan Obat saluran pencernaan Obat anti infeksi Obat analgesik-antipiretik Suplemen-Vitamin 3 1. Obat saluran pernapasan Penggunaan obat saluran pernapasan yang paling banyak digunakan adalah obat bronkodilator dengan zat aktif salbutamol dan kortikosteroid dengan zat aktif flutikason propionat masing-masing sebanyak 25 kasus. Pemberian obat ini merupakan obat kombinasi pada terapi lini pertama yang biasanya diberikan untuk mengurangi serangan asma. Salbutamol digunakan pada terapi asma sebagai stimulan adrenoreseptor beta 2 selektif yang mempunyai daya bronkodilatasi yang baik dan sangat efektif untuk mengurangi serangan asma. Flutikason propionat merupakan obat profilaksis asma dan sebagai pengobatan asma eksaserbasi akut serta penggunaan secara inhalasi flutikason merupakan terapi controller yang paling efektif pada anak disemua usia (Global Initiative for Asthma, 2012). Penggunaan kelompok obat bronkodilator pada penelitian ini berjumlah 68 kasus pada 30 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat bronkodilator dalam 1 pasien dapat berjumlah lebih dari 1 obat bronkodilator yaitu terdapat 10 kombinasi dan 2 secara tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah terbutalin sulfat, aminofilin, dan salbutamol sulfat sebanyak 7 pasien. Penggunaan bronkodilator secara tunggal paling banyak ditemukan pada

69 47 pemberian salbutamol sulfat yaitu 8 pasien. Secara detail, jumlah penggunaan kombinasi obat bronkodilator dapat dilihat di Lampiran 2. Pada penggunaan kelompok obat kortikosteroid berjumlah 55 kasus pada 30 pasien dengan jumlah kombinasi obat terdapat 6 kombinasi dan 2 secara tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah deksametason dan flutikason propionat sebanyak 11 pasien. Penggunaan kortikosteroid secara tunggal terdapat pada pemberian deksametason (2 pasien) dan flutikason propionat (6 pasien). Secara detail, jumlah penggunaan kombinasi obat kortikosteroid dapat dilihat di Lampiran 3. Obat saluran pernapasan lain yang banyak digunakan adalah antihistamin, mukolitik, antitusif dan dekongestan. Penggunaan antihistamin pada penelitian ini sebanyak 28 kasus pada 25 pasien dengan jumlah kombinasi sebanyak 2 kombinasi dan 3 secara pemberian tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah setirizin HCl dan mebhydrolin napadisylate sebanyak 2 pasien. Penggunaan antihistamin secara tunggal paling banyak adalah mebhydrolin napadisylate sebanyak 10 pasien. Pada penyakit asma, antihistamin digunakan untuk mengatasi alergi yang merupakan salah satu pemicu terjadinya serangan asma. Obat ini bekerja dengan menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mastosit sehingga tidak terjadi bronkokonstriksi (Indonesia Pediatrician, 2012). Jumlah penggunaan kombinasi obat antihistamin secara detail dapat dilihat di Lampiran 4. Pada pasien asma dengan gejala batuk dan pilek seringkali diperlukan obat mukolitik, antitusif maupun dekongestan. Penggunaan mukolitik pada

70 48 penelitian ini sebanyak 9 kasus pada 8 pasien dengan pemberian obat secara tunggal sebanyak 2 obat dan jumlah kombinasi sebanyak 1 kombinasi. Pengguaan obat secara tunggal ditemukan pada pemberian ambroksol (4 pasien) dan bromheksin (3 pasien). Penggunaan kombinasi tersebut terdapat pada pemberian ambroksol HCl dan bromheksin sebanyak 1 pasien. Obat mukolitik yang ditemukan pada penelitian ini adalah ambroksol HCl dan bromheksin. Keduanya berfungsi untuk mengurangi kekentalan mukus sehingga mudah dikeluarkan (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Jumlah penggunaan kombinasi obat mukolitik secara detail dapat dilihat di Lampiran 5. Obat antitusif yang digunakan adalah kodein fosfat dan noskapin. Penggunaan antitusif pada penelitian ini sebanyak 3 kasus pada 2 pasien dengan pemberian obat secara tunggal sebanyak 1 yaitu kodein (1 pasien) dan kombinasi sebanyak 1 kombinasi. Penggunaan kombinasi terdapat pada pemberian kodein dan noskapin (1 pasien). Jumlah penggunaan kombinasi obat antitusif secara detail dapat dilihat di Lampiran 6. Obat ini bekerja secara sentral dengan menekan pusat batuk di bagian medulla batang otak. Pemberian antitusif bagi anak-anak dengan asma harus dipertimbangkan karena obat ini memiliki kontraindikasi dengan penyakit asma (Supriyatno, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laforest et al., (2008), antitusif merupakan terapi tambahan yang umum diberikan pada pasien asma meskipun kurangnya bukti terkait adanya efektivitas obat tersebut. Antitusif dapat diberikan pada pasien dengan kontrol asma yang buruk atau asma berat serta diberikan pada pasien dengan batuk kronis.

71 49 Obat dekongestan yang digunakan adalah pseudoefedrin HCl, dan kombinasi antara pseudoefedrin HCl, guaifenesin dan triprolidine. Obat dekongestan bekerja sebagai stimulan reseptor alpha-1 adrenergik yang dapat mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran hidung (Gitawati, 2014). Penggunaan obat antitusif maupun ekspektoran dan dekongestan pada penelitian ini ditujukan untuk mengurangi keluhan batuk dan pilek yang seringkali menyertai asma dan dapat menjadi pemicu asma. Distribusi jumlah kasus pasien asma pada penggunaan obat saluran pernapasan disajikan pada Tabel IV berikut ini. Tabel IV. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pernapasan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Kelompok obat Golongan Zat Aktif Obat Jumlah Kasus Agonis β Salbutamol sulfat Inhalasi 25 Adrenergik Bronkodilator Kortikosteroid Antihistamin Mukolitik Antitusif Dekongestan Terbutalin Sulfat 13 Prokaterol HCl 6 MetilXantin Aminofilin 10 Kombinasi Ipratropium + Salbutamol sulfat 3 Salbutamol, Glyseryl guaiacol 11 Kortikosteroid Budesonide 8 Inhalasi Flutikason Propionat 25 Kortikosteroid Deksametason 19 Peroral Triamsinolon 3 Antagonis Setirizin 9 Reseptor H1 Mebhydrolin napadisylate 12 Kromoglikat Ketotifen hidrogen fumarate 6 Kombinasi Isothipendyl, asetaminophen 1 Mukolitik Ambroksol HCl 5 Bromheksin 4 Antitusif Kodein fosfat 2 Noskapin 1 Pseudoefedrin HCl 3 Kombinasi Pseudoefedrin HCl, guaifenesin, triprolidin 1 Jumlah Kasus 167 Jumlah per Kel

72 50 2. Obat saluran pencernaan Penggunaan obat saluran pencernaan dalam penelitian ini bertujuan sebagai terapi penyakit penyerta atau untuk mengurangi keluhan yang terjadi pada pasien, meliputi antiemetika, antitukak, digestan, dan antidiare. Berdasarkan Lampiran 7, golongan obat antiemetik pada penelitian ini digunakan sebanyak 8 kasus pada 7 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 1 obat yaitu ondansetron (6 pasien) dan kombinasi sebanyak 1 macam. Penggunaan kombinasi ditemukan pada pemberian metoklopramid dan ondansetron (1 pasien). Pemberian obat antiemetika pada penelitian ditujukan untuk mengurangi keluhan mual dan muntah. Ondansetron dapat mengurangi mual dan muntah karena bekerja dengan menghambat terbentuknya ikatan serotonin dan reseptor 5HT3 sehingga rangsangan mual muntah dapat berkurang (Chow, 2010). Pemberian metoklopramide ditujukan untuk mengurangi mual dan muntah karena memiliki daya anti emetis kuat dengan menghambat reseptor dopamin di CTZ (Tjay dan Rahardja, 2007). Penggunaan obat antitukak dalam penelitian ditemukan sebanyak 1 kasus yaitu pada rekam medis 10. Pada rekam medis 10 diketahui bahwa pasien mengalami muntah sehingga diberikan obat antitukak dengan zat aktif ranitidin HCl. Ranitidin HCl ditujukan untuk mengurangi sekresi asam lambung melalui penghambatan reseptor histamin-h2 sehingga keluhan mual muntah dapat dikurangi (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Penggunaan obat golongan digestan dengan zat aktif pankreatin ditemukan sebanyak 1 kasus yaitu pada rekam medis 16. Pada rekam medis 16

73 51 diketahui bahwa pasien mengalami mual, muntah dan susah makan. Pemberian obat ini digunakan sebagai pengganti enzim pankreas yang membantu pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Berkurangnya enzim pencernaan dalam tubuh dapat menyebabkan timbulnya gas yang berlebihan pada sistem pencernaan baik di dalam lambung, usus halus, dan usus besar sehingga terjadi mual serta muntah atau gejala maag (Nurul, 2011). Berdasarkan Lampiran 8, obat antidiare dalam penelitian ini digunakan sebanyak 4 kasus pada 3 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 2 obat dan kombinasi sebanyak 1 macam. Pemberian secara tunggal terdapat pada obat Lacto B (1 pasien) dan Zn sulfat heptahidrat (1 pasien). Pemberian kombinasi ditemukan pada pemberian Zn sulfat heptahidrat dan Lacto B sebanyak 1 pasien. Penggunaan obat antidiare dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan suplemen dan preparat kombinasi. Golongan suplemen dalam penelitian ini yang digunakan adalah Zn sulfat heptahidrat dan pada golongan preparat kombinasi digunakan probiotik. Pada penelitian ini, pasien mengalami buang air besar sebanyak 5 kali, selain itu terdapat juga pada pemeriksaan feces secara makroskopis diketahui bahwa konsistensi feces lunak dan berwarna coklat. Menurut penelitian (Walker and Black, 2010) yang berjudul zinc for treatment of diarrhea : effect on diarrhea morbidity, mortality and incidence of future episode dapat diketahui bahwa zinc merupakan terapi yang efektif untuk diare dan dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian terutama jika digunakan di Negara dengan pendapatan yang rendah. Pemberian probiotik

74 52 (Lactobacillus) juga diharapkan dapat membantu memperbaiki keseimbangan flora usus yang terganggu akibat terjadinya diare. Secara ringkas hasil distribusi jumlah kasus penggunaan obat saluran pencernaan disajikan pada Tabel V berikut ini: Tabel V. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Obat Kelompok obat Golongan Zat aktif Jumlah Kasus Jumlah per Kel. Antiemetika Antagonis serotonin 5-HT3 Ondansetron 7 Golongan stimulan motilitas Metoklopramid 1 8 Antitukak Antagonis reseptor H2 Ranitidin HCl 1 1 Suplemen Zn sulfat 2 Antidiare heptahidrat 4 Preparat kombinasi Probiotik 2 Digestan Pankreatin 1 1 Jumlah Kasus Obat anti infeksi Pemberian obat anti infeksi diberikan dengan tujuan untuk mengatasi kemungkinan adanya infeksi yang terjadi pada saluran pernapasan pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Oemiati (2010), hasil menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan penyakit asma. Pada kelompok yang terdiagnosis ISPA memiliki 2,7 kali berisiko terkena asma dibandingkan dengan kelompok yang tidak terkena ISPA. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu dipertimbangkan adanya pemberian obat anti infeksi untuk mengatasi infeksi yang terjadi pada saluran penapasan. Pemberian anti infeksi dalam penelitian ini juga ditunjang dengan adanya kenaikan leukosit, limfosit, dan monosit pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien.

75 53 Berdasarkan Lampiran 9, penggunaan obat anti infeksi dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 41 kasus pada 27 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 5 obat dan kombinasi sebanyak 6 macam. Pemberian secara tunggal paling banyak pada pemberian eritromisin (10 pasien). Pemberian kombinasi paling banyak ditemukan pada kombinasi eritromisin dan gentamisin (5 pasien). Penggunaan zat aktif terbanyak adalah eritromisin sebanyak 16 kasus. Digunakan antibiotika golongan makrolida pada terapi asma karena dalam konsensus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) disebutkan bahwa infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif. Kemudian pada penelitian yang telah dilakukan oleh Wales (2014), antibiotika golongan makrolida dapat mengurangi inflamasi yang terjadi pada asma dengan menghambat ekspresi dari endotelial-1 yang berperan utama dalam vasokonstriksi. Pemberian obat antituberkulosis pada penelitian ini adalah Isoniazid dan Rifampisin sebanyak 2 kasus. Pemberian obat antituberkulosis ini tidak ditujukan untuk penyakit asma. Menurut International Child Health (2012), pengobatan TBC pada anak dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal/intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap awal/intensif, pasien mendapat minimal 3 macam obat Isoniazid (H), Rifampisin (R), dan Pirazinamid (Z) diberikan selama 2 bulan pertama. Pada tahap lanjutan, pasien mendapatkan Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan kecuali pada TB berat. Pemberian obat anti tuberkulosis pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap awal/intensif maupun tahap lanjutan. Pada kasus ini tidak diketahui riwayat pengobatan TBC, tetapi pemberian obat ini

76 54 kemungkinan diberikan pada fase lanjutan dan pasien telah mendapatkan terapi intensif tuberkulosis. Penggunaan antifungi pada penelitian ini adalah Nystatin sebanyak 1 kasus. Pemberian antifungi pada rekam medis 14 ditujukan untuk mengobati sariawan yang diderita pasien. Penyebab utama terjadinya sariawan pada anakanak adalah jamur Candida Albicans. Jamur ini seringkali menyerang anak-anak ketika daya tahan tubuh menurun sehingga kurang mampu melawan infeksi (Akpan, 2002). Obat ini digunakan untuk kandidiasis dengan cara berikatan dengan gugus sterol terutama ergosterol pada fungi sehingga menyebabkan permebilitas membran meningkat dan menyebabkan keluarnya berbagai molekul kecil dari fungi (Brunton et al., 2010). Distribusi jumlah kasus terkait penggunaan antiinfeksi yang ditemukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel VI berikut ini: Tabel VI. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Anti Infeksi pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Kelompok obat Golongan Zat aktif Jumlah Kasus Jumlah per Kel. Makrolida Eritromisin 16 Azitromisin 2 Sefalosporin Sefotaksim 3 Sefiksim 4 Sepradin 2 Antibiotika Aminoglikosida Gentamisin sulfat 5 41 Netilmisin sulfat 2 Amikasin sulfat 2 Penisilin Amoxisilin 3 Amoxisilin + Clavulanic 1 Kuinolon Asam pipemidat 1 Antituberkulosis Isoniazid + Rifampisin 2 2 Antifungi Nystatin 1 1 Jumlah Kasus 44

77 55 4. Obat analgesik-antipiretik Berdasarkan Lampiran 10, penggunaan obat analgesik-antipiretik yang paling banyak digunakan adalah golongan non opiat sebanyak 27 kasus pada 23 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 4 obat dan kombinasi sebanyak 1 macam. Pemberian secara tunggal paling banyak ditemukan pada pemberian obat parasetamol (17 pasien). Pemberian kombinasi ditemukan pada pemberian parasetamol + propalamin, ibuprofen, dan metamizole (1 pasien). Parasetamol dalam penelitian ini, banyak digunakan sebagai antipiretik pada anak yang mengalami demam akibat serangan asma. Parasetamol merupakan obat yang relatif aman untuk anak-anak. Penggunaan parasetamol dalam penelitian ini menurut National Institute for Health and Clinical Exellence (NICE), tidak dapat digunakan secara rutin pada anak yang mengalami demam tetapi dapat digunakan pada anak yang mengalami ketidaknyamanan termasuk menangis berkepanjangan, aktivitas berkurang, selera makan menurun dan mengalami gangguan tidur. Menurut WHO, penggunaan parasetamol pada anak sebaiknya diberikan apabila suhu tubuh > 39 0 C (Lubis, 2011). Seraca ringkas hasil distribusi jumlah kasus penggunaan obat analgesik-antipiretik disajikan pada Tabel VII sebagai berikut: Tabel VII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Analgesik-Antipiretik pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Kelompok obat Analgesikantipiretik Golongan Zat Aktif Jumlah Kasus Parasetamol 18 Parasetamol + asetilsistein 3 Non opiat Parasetamol + phenylpropalamin 1 Ibuprofen 2 Metamizole 2 Diazepam 1 Jumlah Kasus 27 Jumlah per Kel. 27

78 56 5. Suplemen-Vitamin Suplemen-Vitamin merupakan golongan obat yang paling sedikit digunakan yaitu sebanyak 3 kasus. Pemberian obat golongan ini ditemukan pada rekam medis 12, 15, dan 16. Pada kasus ini, pasien mengalami mual, muntah dan susah makan. Hal ini menyebabkan asupan gizi yang masuk di dalam tubuh berkurang sehingga diperlukan suplemen dan vitamin agar dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan elektrolit karena asupan makanan tidak mencukupi. Pemberian suplemen dan vitamin juga berfungsi untuk meningkatkan daya tubuh melawan suatu mikroorganisme tertentu yang menyebabkan terjadinya infeksi dan pemberiannya hanya digunakan jika diperlukan (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Distribusi penggunaan obat golongan vitamin dan suplemen dalam pengobatan asma pada penelitian ini disajikan pada Tabel VIII berikut ini: Tabel VIII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Suplemen dan Vitamin pada Pasien Asma Berdasarkan Kelompok dan Zat Aktif Kelompok obat Zat Aktif Jumlah Kasus Jumlah per Kel. Benutrion 1 Suplemen dan Vitamin Imboost 1 Curmunos 1 6 B6 3 Jumlah Kasus 6 C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan pada penelitian ini, didapatkan adanya Drug Therapy Problems yang kemungkinan terjadi pada pengobatan pasien anak dengan diagnosa asma sebanyak 45 kasus. Evaluasi DTPs yang dilakukan pada penelitian ini meliputi obat yang tidak dibutuhkan

79 57 (unnecessary drug therapy), perlu tambahan terapi obat (need for additional drug therapy), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). 1. Obat yang tidak Dibutuhkan (Unnecessary Drug Therapy) Berdasarkan hasil evaluasi dari 45 kasus DTPs, didapatkan jumlah kejadian DRPs pada kategori obat yang tidak dibutuhkan sebanyak 5 kasus. Obat yang tidak dibutuhkan ditemukan pada pemberian obat diazepam pada rekam medis 15, dimana pada kasus terapi diberikan terapi diazepam tetapi pada pasien tidak terdapat adanya tanda-tanda anak mengalami kecemasan yang dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan psikososial yang tenang, keadaan umum sedang, kesadaran Compos Mentis (CM) yang berarti pasien dalam keadaan sadar. Diazepam merupakan obat yang dapat digunakan untuk pemakaian jangka pendek pada ansietas atau terjadinya insomnia (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Pada hari ketiga pemberian obat ini sudah dihentikan. Pada rekam medis 11, 13 dan 28, obat yang tidak dibutuhkan terjadi karena adanya pemberian 2 produk obat yang memiliki efek yang sama. Pada rekam medis 13, pasien mendapatkan setirizin dan mebhydrolin napadisylate yang merupakan obat antihistamin untuk mengurangi adanya reaksi alergi yang merupakan salah satu pencetus asma. Pada rekam medis 13, pasien juga mendapatkan obat kodein dan noskapin selama 1 hari, keduanya merupakan obat antitusif.

80 58 Pada rekam medis 11 dan 28, pasien mendapatkan pemberian triamsinolon dan deksametason selama 1 hari. Kedua obat ini merupakan obat golongan kortikostreroid yang digunakan pada terapi asma untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan dan dapat digunakan untuk mengontrol asma (Global Initiative for Asthma, 2012). Jumlah kasus DTPs pada aspek obat tanpa indikasi pada penelitian ini disajikan pada Tabel IX berikut ini: Tabel IX. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat yang tidak Diperlukan (Unnecessary Drug Therapy) Unnecessary drug therapy Jumlah Rekomendasi Kasus Pemberian setirizin dan 1 mebhydrolin napadisylate Penghentian salah satu obat Kodein dan noskapin 1 Diazepam 1 Tidak perlu pemberian diazepam Pemberian triamsinolon dan 2 deksametason Penghentian salah satu obat Jumlah Kasus 5 2. Obat tidak Efektif (Ineffective Drug) Dari analisis penelitian, obat tidak efektif ditemukan pada rekam medis 26. Pada rekam medis 26, pasien dengan umur 3 bulan mendapatkan dosis salbutamol sulfat dengan dosis 2 x ½ ampul atau setara dengan 2 x 1,25 mg. Pemberian obat ini pada bayi masih menjadi kontroversional dan menjadi tidak efektif karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Vecchio, Doerr, dan Gaughan (2012) menunjukkan bahwa pemberian albuterol tidak membantu dalam terapi pada infant dengan umur 11 hari sampai 3 bulan dengan bronkiolitis Respiratory Syncytial Virus akut (RSV). Pemberian obat ini juga dapat memberikan efek yang

81 59 berbahaya karena dapat meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga sebaiknya obat ini tidak diberikan pada pasien bayi. 3. Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) Berdasarkan hasil evaluasi dari 45 kasus DTPs, didapatkan jumlah kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) sebanyak 18 kasus yang terbagi dalam 2 kelompok kelas terapi yaitu obat yang bekerja pada saluran pernapasan sebanyak 13 kasus dan obat yang bekerja pada infeksi sebanyak 5 kasus. a. Obat yang bekerja pada saluran pernapasan 1.) Dosis rendah pada terbutalin sulfat terjadi pada rekam medis 1 dan 31 dengan pasien berusia 2 tahun. Dosis minimal sekali pemberian adalah 2 mg, dosis minimal dalam sehari adalah 6 mg dan dosis maksimal dalam sehari adalah 8 mg. Perlu adanya peningkatan dosis pemberian terbutalin sulfat pada rekam medis 1 dan 31 dengan dosis 3 x 2 mg sehari. 2.) Dosis terlalu rendah pada pemberian salbutamol sulfat terjadi sebanyak 5 kasus. Pada pemberian salbutamol sulfat secara nebuliser terjadi sebanyak 3 kasus yaitu pada rekam medis 2 dan 30. Pada rekam medis 2, dosis terlalu rendah terjadi pada pemberian salbutamol sulfat di IGD dan ruang rawat inap. Pada pemberian salbutamol sulfat secara per oral terjadi sebanyak 2 kasus yaitu pada rekam medis 9 dan 11. Pada rekam medis 2 dan 30, dapat diketahui bahwa dosis minimal yang dapat diberikan untuk sekali pemberian adalah 2,5 mg dan dosis maksimal untuk sehari adalah 10 mg. Perlu adanya peningkatan dosis sekali pemberian dan dosis sehari menjadi 4 x 2,5 mg.

82 60 Pada rekam medis 9, pasien anak berusia 11 bulan dengan berat badan 8,5 kg sehingga dosis yang dapat diberikan adalah 4 x 1,7 mg. Hal ini dapat diketahui bahwa dosis minimal sekali pemberian adalah 1,7 mg dan dosis maksimal dalam sehari adalah 6,8 mg. Perlu adanya peningkatan dosis menjadi 4 x 1,7 mg atau setara 4 x 4 ml dengan bentuk sediaan sirup. Pada rekam medis 11, pasien anak berusia 1 tahun dengan berat badan 9,1 kg sehingga dosis yang dapat diberikan adalah 4 x 1,82 mg sehari. Hal ini dapat diketahui bahwa dosis minimal sekali pemberian adalah 1,82 mg dan dosis maksimal dalam sehari adalah 7,28 mg. Perlu adanya peningkatan dosis menjadi 4 x 1,82 mg. 3.) Dosis rendah pada pemberian flutikason propionat secara nebuliser terjadi sebanyak 4 kasus yaitu pada pasien rekam medis 2 dan 30. Pada rekam medis 2 dan 30, pasien mendapatkan flutikason propionat secara nebuliser pada saat masuk IGD dan di rawat inap. Hal ini dapat diketahui bahwa dosis minimal sehari adalah 50 μg dan dosis maksimal sehari adalah 100 μg/hari. Pada rekam medis 2 dan 30 saat di IGD, perlu adanya peningkatan dosis menjadi 1 x 50 μg. Pada rekam medis 2 pada saat di rawat inap perlu peningkatan dosis menjadi 3 x 25 μg (3 x ½ ampul) dan peningkatan dosis flutikason propionat pada rekam medis 30 adalah 2 x 50 μg (2 x 1 ampul). 4.) Dosis rendah pada pemberian ketotifen hidrogen fumarate terjadi sebanyak 2 kasus yaitu pada rekam medis 8 dan 30. Dosis minimal yang dapat diberikan untuk sekali pemberian ketotifen hidrogen fumarate adalah

83 61 1 mg dan dosis maksimum untuk sehari adalah 2 mg. Perlu dilakukan peningkatan dosis menjadi 2 x 1 mg atau 2 x 1 cth sehari. Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada Tabel X berikut ini: Tabel X. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) Obat Saluran Pernapasan Dosis yang diberikan Dosis Literatur Jumlah Kasus (no RM) Terbutalin dengan dosis: 3 x 1/3 tablet (3 x 0,83 mg) dengan bentuk sediaan 2,5 mg 2 (1, 31) Dosis salbutamol sulfat secara oral: 3 x 2 ml (3 x 0,8 mg) dengan bentuk sediaan sirup 2mg/5mL Dosis salbutamol sulfat secara per oral: 3 x 0,5 mg Dosis Salbutamol sulfat: 3 x ¾ ampul (3 x 1,875 mg). Bentuk sediaan nebule 2,5 mg. Dosis Salbutamol sulfat di IGD ½ ampul (1,25 mg). Bentuk sediaan nebule 2,5 mg Dosis salbutamol sulfat nebuliser: 3 x 1/3 ampul (3 x 0,83mg) Dosis flutikason propionat: 3 x ¾ ampul (3 x 37,5 μg) Dosis flutikason propionat: 1 x ½ ampul (25μg) dengan bentuk sediaan 50 μg Dosis flutikason propionat: dan 2 x 1/3 ampul (2 x 16,67 μg) Dosis ketotifen hidrogen fumarat: 2 x ½ cth (2 x 0,5 mg) dengan bentuk sediaan sirup 1 mg/5ml Dosis ketotifen hidrogen fumarat: 2 x 1/4 cth (2 x 0,25) dengan Dosis terbutalin untuk anak usia1-6 tahun: 2 mg diberikan 3-4 kali sehari* Dosis salbutamol oral untuk anak <2 tahun: 200 μg/kgbb diberikn 4x sehari** Dosis salbutamol sulfat secara nebuliser untuk anak < 5 tahun: 2,5 mg diulangi sampai 4x/hari* Dosis flutikason propionat untuk anak <12 tahun: μg/hari*** Dosis ketotifen hidrogen fumarat untuk anak > 2 tahun: 2 x 1 mg** 1 (9) 1 (11) 1 (2) 1 (2) 1 (30) 1 (2) 2 (2, 30) 1 (30) 1 (8) 1 (30) Rekomendasi Peningkatkan dosis: 3 x 2 mg per hari Peningkatan dosis: 4 x 1,7 mg (4 x 4 ml) Peningkatan dosis: 4 x 1,82 mg Peningkatan dosis: 3 x 2,5 mg (3 x 1 ampul) Peningkatan dosis: 3 x 25 μg (½ ampul dari 50 μg) Peningkatan dosis: 1 x 50 μg (1 ampul) Peningkatan dosis: 2 x 50 μg (2 x 1 ampul) Peningkatan dosis: 2 x 1 mg atau 2 x 1 cth Peningkatan dosis: 2 x 1 mg atau 2 x 1 cth bentuk sediaan sirup 1 mg/5ml Jumlah Kasus 13 Keterangan: pustaka berdasarkan * British National Formulary (BNF), 2011; ** IONI, 2008 ;*** Rahajoe, 2008 b. Obat anti infeksi 1.) Dosis terlalu rendah pada pemberian eritromisin terjadi sebanyak 4 kasus pada rekam medis 2, 3, 4, dan 7. Pada kasus ini dapat diketahui bahwa dosis minimal sekali pemberian adalah 250 mg dan dosis maksimal dalam pemberian sehari adalah mg. Perlu adanya peningkatan dosis

84 62 eritromisin pada rekam medis 2, 3, 4, dan 7 dengan dosis menjadi 4 x 250 mg perhari. 2.) Dosis terlalu rendah pada pemberian amoxisilin terjadi pada rekam medis 9. Pada kasus ini dapat diketahui bahwa dosis minimum dalam sekali pemberian adalah 125 mg, dosis maksimum dalam sekali pemberian adalah 250 mg dan dosis minimum dalam sehari adalah 375 mg, dosis maksimum dalam sehari adalah 750 mg. Perlu adanya peningkatan dosis menjadi mg atau 1,5-2 cc diberikan 3 x sehari. Distribusi jumlah kasus DTPs pada aspek pemberian dosis yang terlalu rendah pada kelas terapi obat anti infeksi disajikan pada Tabel XI berikut ini: Tabel XI. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) pada Obat Anti Infeksi Dosis yang diberikan Dosis Literatur Jumlah Kasus (no RM) Eritromisin dengan dosis: 3 x Dosis eritromisin 2 (2,4) 175 mg untuk anak usia 2-8 Dosis eritromisin: 3 x 200 mg 1 (7) tahun: 250 mg Dosis eritromisin: 3 x 160 mg setiap 6 jam* 1 (3) per oral Dosis amoxisilin: 3 x 1 cc (3 x Dosis amoxisilin 100 mg) dengan bentuk untuk anak < 10 sediaan drop 125 mg/1,25ml tahun: mg 1 (9) Rekomendasi Peningkatan dosis: 4 x 250 mg perhari Peningkatan dosis: mg atau 1,5-2 cc diberikan 3 x setiap 8 jam** Jumlah Kasus 5 Keterangan: pustaka berdasarkan * British National Formulary (BNF), 2011; ** IONI, 2008;*** Rahajoe, Reaksi Obat yang Merugikan (Adverse Drug Reaction) Berdasarkan hasil evaluasi dari 45 kasus DTPs, didapatkan jumlah kasus DTPs pada kategori kemungkinan terjadi reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) sebanyak 7 kasus. DTPs reaksi obat yang merugikan, paling banyak ditemukan terjadi karena adanya interaksi obat yang dapat menyebabkan kenaikan ataupun penurunan kadar obat yang dipengaruhi di dalam tubuh

85 63 sehingga dapat meningkatkan efek toksik maupun dapat menyebakan obat menjadi tidak efektif karena kadarnya di dalam tubuh berkurang. Menurut Tatro (2007), untuk mengevaluasi potensial terjadinya interaksi obat, hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat signifikasi dari interaksi. Tingkat signifikasi yang mungkin terjadi ini diperlukan untuk melihat besar kecilnya efek yang ditimbulkan jika terjadi interaksi. Hal ini penting sebagai pertimbangan dalam menentukan terapi yang akan dilakukan sehingga kemungkinan efek yang merugikan dapat dihindari. Interaksi obat yang paling banyak terjadi yaitu pada pemberian rifampisin sebanyak 6 kasus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya rifampisin yang bersifat menginduksi enzim hati sehingga dapat menginduksi first past effect obat yang dipengaruhi dan menyebabkan kadar obat yang dipengaruhi di dalam tubuh (Stockley s, 2010). a. Interaksi antara rifampisin dengan kortikosteroid (deksametason dan triamsinolon) pada rekam medis 1 dan 4. Tingkat signifikasi pada interaksi ini adalah 1 dengan tingkat keamanan major yang dapat menyebabkan kerusakan permanen dan dokumentasi established yaitu efek yang ditimbulkan telah terbukti pada studi kontrol yang telah dilakukan. Sehingga hal ini diperlukan adanya pemantauan jika pemberian rifampisin dengan dosis 300mg/hari (Tatro, 2007). Tetapi pada kasus, pemberian rifampisin tidak 300mg/hari sehingga tidak diperlukan pemantauan ketat terkait efek yang ditimbulkan. b. Interaksi antara rifampisin dengan eritromisin pada rekam medis 1 dan 4 dapat terjadi karena terjadi penghambatan metabolisme rifampisin dan

86 64 meningkatnya metabolisme eritromisin karena adanya rifampisin sehingga menyebabkan penurunan efek eritromisin dan meningkatkan efek samping eritromisin pada gastrointestinal dan efek samping rifampisin. Tingkat signifikasi pada interaksi ini adalah 1 dengan tingkat keamanan major yang dapat menyebabkan kerusakan permanen dan dokumentasi established yaitu efek yang ditimbulkan telah terbukti pada studi kontrol yang telah dilakukan. Perlu dilakukan pemantauan terhadap penurunan efek eritromisin dan peningkatan efek samping dari rifampisin (Tatro, 2007). c. Interaksi antara rifampisin dengan isoniazid terjadi pada rekam medis 1 dan 4 dapat terjadi karena adanya kemungkinan terjadi perubahan metabolisme isoniazid yang disebabkan oleh rifampisin yang menyebakan terjadinya hepatotoksisitas lebih cepat dibandingkan pemberian masing-masing obat secara tunggal. Tingkat signifikasi pada interaksi ini adalah 1 dengan tingkat keamanan major yang dapat menyebabkan kerusakan permanen dan dokumentasi established yaitu efek yang ditimbulkan telah terbukti pada studi kontrol yang telah dilakukan. Jika terjadi perubahan pada test fungsi liver, pertimbangkan untuk pemberhentian dari salah satu obat. Meskipun penghentian terapi biasanya cukup dilakukan, monitoring ketat dibutuhkan karena beratnya reaksi Perlu dilakukan adanya pemantauan fungsi hati (Tatro, 2007). d. Pemberian metoklopramid pada rekam medis 5 memiliki efek samping yang besar jika diberikan pada anak. Reaksi efek samping pada anak ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi ektrapiramidal (Chow, 2010).

87 65 Distribusi jumlah kasus DRPs reaksi yang merugikan disajikan pada Tabel XII di berikut: Tabel XII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat yang Merugikan (Adverse Drug Reaction) Reaksi yang tidak diinginkan Kortikosteroid (Deksametason, Triamsinolon) dan Rifampisin Makrolida (Eritromisin) dan Rifampisin Rifampisin dan Isoniazid Metoklopramid Efek jika terdapat Interaksi Obat Kemungkinan efek farmakologi dari kortikosteroid dapat menurun * Penurunan efek antimikroba dari makrolida, dapat meningkatkan frekuensi efek samping eritromisin pada gastrointestinal dan efek samping Rifampisin * Hepatoksisitas dapat terjadi lebih cepat dari pada pemberian obat secara sendiri * Memiliki efek samping yang besar pada anakanak yaitu reaksi ekstrapiramidal ** Rekomendasi Literatur Hindari pemberian kombinasi ini jika mungkin. Perlu dipertimbangkan peningkatan 2x lipat dosis kortikosteroid bila pemberian Rifampisin >300 mg/hari * Jika obat ini digunakan secara bersama, monitoring peningkatan efek samping rifamisin dan penurunan respon makrolida atau obat terkait * Jika terjadi perubahan pada test fungsi liver, pertimbangkan untuk pemberhentian dari salah satu obat. Meskipun penghentian terapi biasanya cukup dilakukan, monitoring ketat dibutuhkan karena beratnya reaksi * Merekomendasikan pemantauan terhadap kemungkinan reaksi Jumlah Kasus (no RM) ekstrapiramidal. Jumlah Kasus 7 Keterangan: pustaka berdasarkan * Tatro, 2007; ** Chow, Dosis Terlalu Tinggi (Dosage too High) Signifikasi 2 (1, 4) 1 2 (1, 4) 1 2 (1, 4) 1 1 (5) - Berdasarkan hasil evaluasi dari 45 kasus DTPs, didapatkan jumlah kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) sebanyak 14 kasus yang terbagi dalam 3 kelompok kelas terapi yaitu obat yang bekerja pada saluran pernapasan sebanyak 12 kasus, obat yang bekerja pada infeksi sebanyak 1 kasus, dan obat yang bekerja pada saluran pencernaan sebanyak 1 kasus.

88 66 a. Obat yang bekerja pada saluran pernapasan 1.) Dosis terlalu tinggi pada pemberian flutikason propionat terjadi sebanyak 4 kasus yaitu pada rekam medis 10, 11, 16, 17. Pada kasus tersebut, dapat diketahui bahwa dosis minimum yang dapat diberikan dalam sehari adalah 50 μg dosis maksimum dalam sehari adalah 100 μg. Pada kasus 10, 11, 16, 17, dosis terlalu tinggi terjadi pada dosis maksimum dalam sehari yaitu melebihi 100 μg/hari. Diperlukan adanya penurunan dosis menjadi 3 x 25 μg atau 3 x ½ ampul dari 50 μg. 2.) Dosis terlalu tinggi pada pemberian setirizin HCl terjadi sebanyak 6 kasus yaitu pada rekam medis 9, 15, 17, 19, 24, 27. Pada rekam medis 15 (3 tahun), 17 (4 tahun), 24 (4 tahun), dosis yang digunakan dalam sehari adalah 1 x. Dosis maksimum yang dapat diberikan dalam sehari adalah 5 mg dan dosis minimum adalah 2,5 mg. Perlu adanya penurunan dosis setirizin HCl menjadi 1 x 5 mg sehari. Pada rekam medis 9 (11 bulan), 19 (1 tahun), dan 27 (1 tahun), dosis yang digunakan dalam sehari adalah 1x. Dosis maksimum yang dapat diberikan dalam sehari adalah 2,5 mg, sehingga perlu adanya penurunan dosis menjadi 1 x 2,5 mg. 3.) Dosis terlalu tinggi pada pemberian budesonid terjadi sebanyak 2 kasus yaitu pada rekam medis 24 dan 28. Pada kasus tersebut dapat diketahui dosis maksimum dalam sehari adalah 200 μg dan dosis minimum dalam sehari adalah 100 μg. Pada kasus dosis terlalu tinggi terjadi pada dosis

89 67 dalam sehari yaitu melebihi 200 μg. Perlu adanya penurunan dosis menjadi 3 x 50 μg atau setara dengan 3 x ½ ampul dari 100 μg. Distribusi jumlah kasus DTPs pada dosis yang terlalu tinggi pada kelas terapi obat yang bekerja pada saluran pernapasan disajikan pada Tabel XIII berikut: Tabel XIII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Obat Terlalu Tinggi (Dosage too High) pada Obat Saluran Pernapasan Dosis yang diberikan Dosis literatur Jumlah Kasus (no RM) Dosis flutikason propionat: 3 x 1 ampul (3 x 50 μg). Bentuk sediaan: nebule 50 μg 4 (10, 11, 16, 17) Dosis setirizin HCl: 1 x 0,8 cc (1 x 8 mg). Bentuk sediaan: drop 10mg/mL Dosis setirizin HCl: 1 x 0,7 cc (1 x 7 mg). Bentuk sediaan: drop 10mg/mL Dosis setirizin HCl: 1 x 0,6 ml (1 x 6 mg). Bentuk sediaan: drop 10mg/mL Dosis setirizin HCl: 1 x 0,5 cc (1 x 5 mg). Bentuk sediaan: drop 10mg/mL Dosis setirizin HCl: 1 x 0,5 cc (1 x 5 mg). Bentuk sediaan: drop 10mg/mL Dosis setirizin HCl: ½ tablet (1 x 5 mg). Bentuk sediaan: tablet 10mg Dosis budesonide: 1ampul/8jam (3 x 100 μg). Bentuk sediaan: 100 μg/dosis Dosis flutikason propionat untuk anak < 12 tahun: μg/hari*** Dosis setirizin untuk anak 2-5 tahun: 2,5-5 mg per hari Dosis setirizin untuk anak 6 bulan-2 tahun: 2,5 mg per hari Dosis budesonode untuk anak <12 tahun: μg/hari*** 1 (15) 1 (17) 1 (24) 1 (9) 1 (19) 1 (27) 2 (24, 28) Rekomendasi Penurunan dosis: 3 x 25 μg ( ½ ampul dari 50 μg) Penurunan dosis: 1 x 5 mg (1 x 0,5 cc) Penurunan dosis: 1 x 2,5 mg (1 x 0,5 cc) Penurunan dosis: 3 x 50 μg (3 x ½ ampul dari 100 μg) Jumlah Kasus 12 Keterangan: pustaka berdasarkan * British National Formulary (BNF), 2011; ** Cheng, 2011;*** Rahajoe, b. Obat anti infeksi Pada kelas terapi ini, dosis terlalu tinggi terjadi pada pemberian eritromisin secara per oral yaitu pada rekam medis 21. Pasien mendapatkan eritromisin dengan dosis 3 x 150 mg. Menurut IONI (2008), dosis eritromisin untuk anak usia sampai 2 tahun adalah 125 mg setiap 6 jam. Hal ini dapat diketahui bahwa dosis

90 68 maksimum dalam sekali pemberian adalah 125 mg dan dosis maksimum dalam sehari adalah 500 mg. Pada kasus, terjadi dosis terlalu tinggi pada dosis sekali pemberian tetapi tidak melebihi dosis dalam sehari. Perlu adanya penurunan dosis menjadi 4 x 125 mg. c. Obat yang bekerja pada saluran pencernaan Pada kelas terapi ini, dosis terlalu tinggi terjadi pada pemberian metoklopramid yaitu pada rekam medis 5. Pasien mendapatkan metoklopramid dengan dosis 3 x 4 mg sehari. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2008), dosis pemberian metoklopramid untuk anak usia 5-9 tahun adalah 3 x 2,5 mg per hari. Hal ini dapat diketahui bahwa dosis minimum yang dapat diberikan dalam sekali pemberian adalah 2,5 mg dan dosis maksimal dalam sehari adalah 7,5 mg. Pada kasus ini pemberian metoklopramid perlu adanya penurunan dosis, tetapi terkait efek samping yang besar yang dapat terjadi pada anak-anak yaitu reaksi ektrapiramidal sehingga sebaiknya dilakukan pemantauan kemungkinan adanya efek samping ektrapiramidal atau penggantian dengan obat lain yang lebih aman (Chow, 2010). D. Rangkuman Kejadian Drug Therapy Problems (DTPs) Berdasarkan hasil evaluasi Drug Therapy Problems, ditemukan kejadian DTPs pada 22 pasien dan 9 pasien tidak mengalami kejadian DTPs. Dari 45 kasus DTPs pada pasien pediatri dengan diagnosa asma, obat yang tidak dibutuhkan terjadi sebanyak 5 kasus (11,12%). Obat tidak efektif terjadi sebanyak 1 kasus (2,23%). Pemberian dosis terlalu rendah terdapat 18 kasus (40%). Kemungkinan

91 69 interaksi obat terjadi pada 7 kasus (15,56%). Dosis terlalu tinggi terjadi sebanyak 14 kasus (31,12%). Ringkasan hasil penelitian kejadian DTPs pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5 berikut ini: Obat yang tidak dibutuhkan sebanyak 5 kasus (11,12%) Sampel Penelitian: 31 pasien Yang tidak mengalami DTPs (9 pasien) Yang mengalami DTPs (22 pasien) Kejadian DTPs yang terjadi sebanyak 45kasus Obat tidak efektif sebanyak 1 kasus (2,23%) Dosis terlalu rendah sebanyak 18 kasus (40%) Dosis terlalu tinggi sebanyak 14 kasus (31,12%) Interaksi yang merugikan sebanyak 7 kasus (15,56%) Gambar 5. Bagan Jumlah Kejadian Drug Therapy Problems yang Terjadi pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013 Berdasarkan kejadian DTPs yang kemungkinan dapat terjadi pada penelitian ini, rekomendasi yang dapat diberikan adalah penyesuaian dosis sebanyak 32 kasus yang dibagi menjadi 2 yaitu penurunan dosis sebanyak 14

92 70 kasus dan peningkatan dosis sebanyak 18 kasus. Penghentian obat sebanyak 6 kasus. Ringkasan hasil rekomendasi terkait kejadian DRPs pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6 berikut ini: Rekomendasi (38 kasus) Penyesuaian dosis (32 kasus) Penghentian obat (6 kasus) Penurunan dosis (14 kasus) Peningkatan dosis (18 kasus) Gambar 6. Bagan Rekomendasi yang dapat diberikan pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013.

93 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik demografi pasien asma bronkial paling banyak terjadi pada responden laki-laki yaitu 23 pasien (67,75%), dengan umur 4 tahun sebanyak 25 pasien (80.65%) dan lama hari rawat pasien terbanyak 4 hari (38,71%). 2. Profil pengunaan obat asma pada pasien pediatri di RS Panti Rapih periode Januari 2012-Juni 2013 yaitu penggunaan obat dengan kelas terapi saluran pernapasan (31 pasien) dengan kelompok obat yang paling banyak digunakan obat bronkodilator (68 kasus), golongan obat agonis β adrenergik (56 kasus), serta zat aktif salbutamol sulfat (25 kasus). 3. Drug Therapy Problems (DTPs) yang terjadi sebanyak 45 kasus yaitu obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary drug therapy) sebanyak 5 kasus (11,12%). Obat tidak efektif (Ineffective Drug) terjadi sebanyak 1 kasus (2,23%). Dosis terlalu rendah (dosage too low) terdapat 18 kasus (40%). Kemungkinan interaksi obat (adverse drug reaction) terjadi pada 7 kasus (15,56%). Dosis terlalu tinggi (dosage too high) terjadi sebanyak 14 kasus (31,12%). 71

94 72 B. SARAN 1. Perlu diintensifkan pemantauan penggunaan obat agar dapat segera diambil keputusan apakah diperlukan penghentian pengobatan atau penyesuaian dosis obat. 2. Perlunya kedisiplinan dalam penulisan rekam medis mengenai data pasien, riwayat pengobatan dan komplikasi penyakit sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penatalaksanaan terapi. 3. Pada penelitian retrospektif, perlu dipastikan bahwa semua data yang diperlukan dalam penelitian dapat diakses sehingga perijinan yang dilakukan dapat secara jelas.

95 73 DAFTAR PUSTAKA Abdelhamid, E., Awad, A., Gismallah, A., 2008, Evaluation of a Hospital Pharmacy-Based Pharmaceutical Care Services for Asthma Patient, Pharmacy Practice, vol. 6 (1), 28. Akib, A.A.P., Munasir, Z., Kurniati, N., 2008, Alergi-Imunologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, pp Akpan, A., Morgan, R., 2002, Oral Candidiasis, Postgraduate Medical Journal, Volume 78: Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Makanan dan Obat Republik Indonesia, Jakarta. Baratawidjaja, K.G., Rengganis, I., 2010, Imunologi Dasar, Edisi 9, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp Baxter, K., 2010, Stockley s Drug Interaction, 8 th edition, Pharmaceutical Press, USA, pp Birnkammer, T., 2011, Highly potent and selective acylguanidine-type histamine H2 receptor agonists: synthesis and bivalent ligands, Naturwissenschaftlichen Fakultät IV Chemie und Pharmazie -der Universitat Regensburg, pp. 15. BMJ Group and the Royal Pharmaceutical Society, 2011, British National Formulary, BMJ Group and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain, London, pp Bowers, S.E., 2014, Many Symtoms of This Rare Digestive are Actually Quite Common, such as Weight Loos and Digestive Problems, diakses tanggal 18 Juli Brashers, 2007, Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen, Edisi 2, EGC, Jakarta, pp Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, L., 2010, Goodman & Gilman Manual Farmakologi dan Terapi, diterjemahkan olej Sukandar dkk., hal , Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Cheng, A., 2011, Emergency treatment of Anaphylaxis in Infants and Children, Canadian Paediatric Society, Paediatr Child Health 2011;16(1):35-40, diakses tanggal 02 Desember 2014

96 74 Chow, C.M., Leung, A.K.C., Hon, K.L., 2010, Acute Gastroenteritis: From Guidelines to Real Life, Clinical and Experimental Gastroenterology, vol.3; 2010 pp. 3, Cipolle, RJ and Strand, L.M., 2004, Pharmaceutical care Practice The Clinician s Guide, Second Edition, McGraw-Hill,New York, pp Cristiano, L.M., 2010, Asthma in Women, Partners Asthma Center Grand Rounds, diakses tanggal 1 November Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DITJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2007, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DITJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Dipiro, J., Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L., 2008, Pharmacotheraphy : A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies, Inc., New York, USA, pp Gibson, L.L.F., 2002, Kajian Peresepan Pasien Dewasa Asma Bronkial Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Global Initiative for Asthma, 2012, Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma, Canada, pp Gitawati, R., 2014, Bahan Aktif dalam Kombinasi Obat Flu dan Batuk-Pilek, dan Pemilihan Obat Flu yang Rasional, Media Litbangkes, vol. 24 No. 1, diakses tanggal 2 November Handayani, Y., 2010, Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Bulan Januari-Desember 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Hidayah, F.N., 2011, Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Asma Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Harrison, 2000, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 100, 1312.

97 75 Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, Pustaka Adipura, Yogyakarta, Indonesia Pediatrician, 2012, Antihistamin Medikamentosa Alergi, Jenis dan Farmakokinetiknya, alergi-jenis-dan-farmakokinetiknya/ diakses tanggal 13 Juni International Child Health, 2012, Tuberkulosis : Tatalakasana, diakses tanggal 18 Juli Judarwanto, W., 2012, Imunologi Dasar: Reaksi Hipersensitivitas, diakses tanggal 1 November Kanoh, S., Rubin, B.K., 2010, Mechanisms of Action and Clinical Application of Macrolides as Immunomodulatory Medications, Clinical Microbology Reviews, vol. 23 (3), Kusuma, R.T.H., 2004, Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan pada Pasien Asma Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Laforest, L., Ganse, E.V., Devouassoux, G., Hasnaoui, A.E., Osman, L.M., Bauguil, G., et al., 2008, Dispensing of Antibiotics, Antitussive and Mucolytics to Asthma Patients: A Pharmacy-Based Observational Survey, Respiratory Medicine, 102, Lubis, I.N.D., and Lubis, C.P., 2011, Penanganan Demam Pada Anak, Sari Pediatri, 12(6), Mackinnon, N.J., Morais, C.L., Rose, T., 2007, Drug Related Problems Identified in a Workplace Asthma Self Management Program, Canadian Pharmacists Journal, vol. 140 (2) Matondang, M.A., Lubis, H.M., Daulay, R., Panggabean, G., Dalimunthe, W., 2009, Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi pada Asma Anak, Sari Pediatri, 10 (5), 314. McPhee, S. J., Ganong, W. F., 2010, Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Musani, A.I., Pascual, T.B., Peters, S.P., 2002, Asthma. Dalam: Adelman DC, Casale TB, Corren J, penyunting, Manual of Allergy and Immunilogy, edisi ke empat, Philadelphia, Lippincott WW, pp

98 76 Nurul, 2001, Kekurangan Enzim Pencernaan, Media Berita Indonesia, pencernaan.html diakses tanggal 23 Agustus Oemiati, R., Sihombing, M., Qomariah., 2010, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Asma di Indonesia, Media Litbang kesehatan, Volume XX No 1, 46. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Asma : Pedoaman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, diakses tanggal 17 Juli Pohan, S.S., 2007, Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergenik: Blokade reseptor-penghambatan Aktivasi Reseptor, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 57, No 4. Pratiwi, D.A.B., 2011, Kajian Drug Related Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Bawah dan Asma di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 1 Januari-30 Juni 2006, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanti, D.B., 2008, Respirologi Anak, Edisi Pertama, Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Riskesdas, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 86. Robinson, J., 2014, Asthmatic Bronchitis, Asthma Health Center, diakses tanggal 28 Oktober Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, ISFI Penerbitan, Jakarta, Supriyatno, B., 2010, Batuk Kronik pada Anak, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 60, No. 6, Tatro, D.S., 2007, Drug Interaction Facts, Wolters Kluwer, Facts & Comparisons, USA, pp. 458, 867, 970. Tjay, T.H., 2007, Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya, Edisi 6, Gramedia, Jakarta, 271, 664.

99 77 Vecchio, M.T., Doerr, L.E., Gaughan, J.P., 2012, The Use of Albuterol in Young Infants Hospitalized with Acute RSV Bronchiolitis, Interdisciplinary Perspective on Infectious Diseases, Vol (2012), 4. Wahani, A.M.I., 2011, Karakteristik Asma pada Pasien Anak yang Rawat Inap di RS Prof.R.D Kandouw Malalayang Manado, Sari Pediatri, Vol. 13 (4), 283. Wales, D., Woodhead, M., 2014, The Anti-Inflammatory Effects of Macrolides, Department of Respiratory Medicine, vol. 54 (2), 558 Walker, C.L.F., and Black, R.E., 2010, Zinc for the treatment of diarrhea : effect on diarrhea morbidity, mortality and incidence of future episodes, International Journal of Epidemiology, 39, Yusriana, C.S., 2002, Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode , Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

100 78 LAMPIRAN

101 79 Lampiran 1. Hasil Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013 No kasus DRPs Jenis DRPs Rekomendasi 1 Dosis too low Potensial Peningkatan dosis ADR potensial Pemantauan 2 Dose too low Potensial Peningkatan dosis 3 Dose too low Potensial Peningkatan dosis 4 Dose too low Potensial Peningkatan dosis ADR Potensial Pemantauan 5 Dose too high Potensial Penurunan dosis ADR Potensial Pemantauan Dose too low Potensial Peningkatan dosis 8 Dose too low Potensial Peningkatan dosis 9 Dose too low Potensial Peningkatan dosis Dose too high Potensial Penurunan dosis 10 Dose too high Potensial Penurunan dosis 11 Dose too low Potensial Peningkatan dosis Dose too high Potensial Penurunan dosis Unnecessary drug therapy Potensial Penghentian obat Unnecessary drug therapy Potensial Penghentian Unnecessary drug therapy Potensial Penghentian Dose too high Potensial Penurunan dosis 16 Dose too high Potensial Penurunan dosis 17 Dose too high Potensial Penurunan dosis Dose too high Potensial Penurunan dosis 20 - Potensial Penurunan dosis 21 Dose too high Potensial Penurunan dosis Dose too high Potensial Penurunan dosis Ineffective drug Potensial Peningkatan dosis 27 Dose too high Potensial Penurunan dosis 28 Unnecessary drug therapy Potensial Penghentian Dose too high Potensial Penurunan dosis Dose too low Potensial Peningkatan dosis 31 Dose too low Potensial Peningkatan dosis

102 80 Lampiran 2. Jumlah Kombinasi Penggunaan Obat Bronkodilator yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Salbutamol sulfat 9, 11, 13, 15, 18, 19, 20, Salbutamol sulfat + GG Terbutalin sulfat 1, 2, 3, 4, 21, 22, Aminofiin 27 Salbutamol sulfat 7 4. Prokaterol HCl Salbutamol sulfat 5, 10, Salbutamol sulfat + GG Salbutamol sulfat 6, 8, Terbutalin sulfat Aminofilin 7, Prokaterol HCl Salbutamol sulfat Terbutalin sulfat Ipratropium Br + Salbutamol sulfat Salbutamol sulfat + GG Salbutamol sulfat Terbutalin sulfat Salbutamol sulfat + GG Ipratropium Br + Salbutamol sulfat Tebutalin sulfat Aminofilin Salbutamol sulfat Prokaterol HCl Prokaterol HCl Ipratropium Br + Salbutamol 28 1 sulfat 12. Terbutalin sulfat Salbutamol sulfat 31 1 Jumlah Pasien 30

103 81 Lampiran 3. Jumlah Kombinasi Penggunaan Kortikosteroid yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Deksametason 7, Flutikason propionat 6, 9, 18, 19, 29, Deksametason 2, 3, 4, 5, 8, 10, 21, 22, Flutikason propionat 23, 27, Flutikason propionat Budesonid 12, 15, 16, Triamsinolon Deksametason 11, 20, 28 3 Flutikason propionat 6. Deksametason Budesonid 1, Flutikason propionat Triamsinolon Deksametason Budesonid Flutikason propionat 24 1 Jumlah Pasien 30 Lampiran 4. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antihistamin yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Mebhydrolin napadisylate 1, 2, 3, 4, 7, 14, 21, 22, 26, Setirizin HCl 9, 12, 15, 17, 20, Ketotifen hidrogen fumarate 16, 18, 25, 28, Setirizin HCl Mebhydrolin napadisylate 13, Setirizin HCl Isotipendil + Asetaminopen 19 1 Jumah pasien 25

104 82 Lampiran 5. Jumlah Kombinasi Penggunaan Mukolitik yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Ambroksol HCl 8, 13, 19, Bromheksin HCl 17, 18, Ambroksol HCl Bromheksin HCl 15 1 Jumlah Pasien 8 Lampiran 6. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antitusif yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Kodein Kodein Noskapin 13 1 Jumlah Pasien 2 Lampiran 7. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antiemetika yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Ondansetron 3, 6, 7, 10, 18, Metoklopramid Ondansetron 5 1 Jumlah Pasien 7 Lampiran 8. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antidiare yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Lacto B Zn sulfat Zn sulfat Lacto B 13 1 Jumlah Pasien 3

105 83 Lampiran 9. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antibiotika yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Eritromisin 2, 3, 7, 8, 14, 18, 21, 22, 23, Amoxisilin 9, Sepradin 10, Sefiksim 17, Azitromisin 25, Eritromisin Gentamisin 1, 4, 26, 27, Amoxisilin Sefiksim Sepradin Amikasin Sefotaksim Netilmisin 20, Asam Pimemidik Sefotaksim Eritromisin Gentamisin Mikasin 26 1 Jumlah Pasien 27 Lampiran 10. Jumlah Kombinasi Penggunaan Analgesik yang Digunakan dalam Setiap Pasien No. Kombinasi Obat No. RM Jumlah Pasien (n=31) 1. Parasetamol 1, 4, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 17, 19, 20, 21, 22, 26, 28, 17 30, Parasetamol + n-asetil 5, 8, Metamizole Diazepam Parasetamol + Propalamin Ibuprofen Metamizole 25 1 Jumlah Pasien 23

106 Lampiran 11. Rekam Medis 1 Rekam Medis 1. No. RM 7067xx (13 Februari Februari 2013) Subyektif BA/Laki-laki/2 tahun. Anamnese: panas, batuk, sesak napas, kemudian periksa dan diberikan obat jalan, tetapi keluhan tidak berkurang. Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 13 Februari 2013 Hb: 13,2 Leukosit: 13.8 Eritrosit: 4.94 Hematokrit: 37.9 Trombosit: 283 Eosinofil: 0.2 Basofil: 0.1 Neutrofil: 44,1 Tanda vital Limfosit: 41,3 Monosit: 14,3 MCV: 76,7 MCH: 26,7 MCHC: 34,8 RDW-CV: 14,2 LED 1 jam: 44 LED 2 jam 74 Pemeriksaan thorax Cor: bentuk normal Pulmo: dalam batas normal Tak tampak gambaran infiltrat/proses spesifik BB: 18,5 kg Tanggal 13/02/13 14/02/13 15/02/13 16/02/13 Suhu ( 0 C ) 39, Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 13/02/13 Anak demam, batuk, sesak napas 14/02/13 Anak sariawan, masih batuk ngikil 15/02/13 Masih batuk 16/02/13 Tidak panas Penatalaksaan Obat Nama Obat R/ Eritromisin 175mg, Mebhydrolin napadisylate 1/3 tab, Terbutalin sulfat 1/3 Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M 3x 1 bungkus p.o - 84

107 tab R/ Aminofilin 40mg, 3 x 1 bungkus p.o - Deksametason 1/3 tab R/ INH 200mg, 1 x 1 bungkus sehari Rifampisin 175mg, Vit B6 20mg Gentamisin sulfat 2 x 40 mg iv Parasetamol 200mg k/p p.o Salbutamol sulfat x/hari Budesonid 3/4 Salbutamol sulfat 1 amp Budesonid 1 amp Nebuliser Nebuliser IGD Assessment: Dose too low: pemberian terbutalin sulfat dengan dosis 3 x 1/3 tablet dengan bentuk sediaan 2,5 mg (3 x 0,83 mg per hari). Dosis terbutalin sulfat untuk anak usia 1-6 tahun menurut IONI (2008) adalah 2 mg diberikan 3-4 kali sehari. Adverse drug reaction: No. Obat yang mempengaruhi Obat yanng dipengaruhi Efek yang ditimbulkan Signifikasi 1. Rifampisin Eritromisin Penurunan efek anti mikrobial dari eritromisin dan dapat peningkatkan efek samping rifampisin pada gastrointestinal. 2. Rifampisin Isoniazid Hepatoksisitas dapat terjadi lebih cepat pada pemberian kombinasi. Hal ini dapat terjadi karena adanya kemungkinan perubahan metabolisme isoniazid yang disebabkan oleh rifampisin. 3. Rifampisin Deksametason Penurunan efek farmakologi dari deksametason karena adanya peningkatan metabolisme di hati yang disebabkan oleh rifampisin. Plan: Merekomendasikan pemberian terbutalin sulfat untuk anak usia 1-6 tahun dengan dosis 3 x 2 mg per hari secara per oral. Pada pemberian rifampisin dan eritromisin, dilakukan monitoring untuk penurunan efek dari eritromisin dan monitoring peningkatan efek samping rifampisin. Melakukan pemantauan fungsi hati pada pemberian rifampisin dan isoniazid. Pada pemberian rifampisin dan deksametason, hindari pemberian kombinasi ini jika mungkin. Perlu adanya pertimbangan 2x lipat dosis kortikosteroid jika pemberian rifampisin > 300 mg/kg

108 Lampiran 12. Rekam Medis 2 Rekam Medis 2. No. RM 6944xx (27 Juli Juli 2012) Subyektif AS/Perempuan/4 tahun. Anamnese: 25 Juli anak mulai batuk, sulit bernapas. Mulai 26 Juli, anak panas, batuk dan pilek. Anaak tidak mau makan dan minum, anak mengeluh sakit perut, muntah 4x karena batuk. Anak punya alergi debu, hidung tersumbat ±1 bulan. Diagnosis: Bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 27 Juli 2012 Hb: 15,4 Leukosit: 15,2 Eritrosit: 5,20 Hematokrit: 42,4 Trombosit: 290 Eosinofil: 2,0 Basofil: 0.1 Neutrofil: 77,5 Limfosit: 12,4 Tanda vital Monosit: 8,0 MCV: 81,5 MCH: 29,6 MCHC: 36,3 RDW-CV: 12,3 Glukosa sewaktu: 103 Natrium; 141 Kalium: 4,1 Klorida: 110 Pemeriksaan thorax Cor: normal Pulmo: Bronchopneumonia susolia ringan BB: 20,5 kg Tanggal 27/07/12 28/07/12 29/07/12 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 27/07/12 Anak batuk, sesak, hidung mampet, tidak panas. 28/07/12 Pilek berkurang, batuk kadang ngikil, tidak sesak napas 29/07/12 Kadang batuk, tidak panas, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Aminofilin 40mg Deksametason ½ tab Eritromisin 175mg Mebhydrolin Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M 3 x 1 bungkus p.o x 1 bungkus p.o

109 napadisylate ⅓ tab Terbutalin sulfat ⅓ tab Salbutamol sulfat 1 amp Flutikason propionat 1 amp Salbutamol sulfat ½ amp Flutikason propionat ½ amp Salbutamol sulfat ¾ amp Flutikason propionat ¾ amp Carbol gliserin Nebuliser Sisa dari IGD Nebuliser 3 x sehari Nebuliser Tetes telinga 3x tetes NaCl 0,9% Tetes hidung 2x1 tetes Assessment: adanya tanda-tanda terjadinya infeksi dengan meningkatnya lekosit. Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan indikasi. Dose too Low: Pemberian eritromisin 3 x 175 mg dan menurut BNF (2011) dosis untuk anak usia 2-8 tahun adalah 250 mg dan diberikan setiap 6 jam. Pemberian salbutamol sulfat untuk dosis ¾ ampul dan ½ ampul. Untuk pemberian salbutamol sulfat ¾ ampul (dosis: 1,875 mg) dan ½ ampul (dosis:1,25mg) dengan bentuk sediaan nebule 2,5 mg. Dosis menurut BNF (2011) untuk anak usia di bawah 5 tahun adalah 2,5 mg dan diulangi sampai 4x/hari. Menurut Rahajoe (2008), dosis salbutamol sulfat untuk anak secara nebuliser adalah 0,1-0,15 mg/kgbb (dosis maksimum 5 mg/kali) dengan interval 20 menit. Pemberian flutikason propionat untuk dosis ¾ ampul dan ½ ampul. Untuk pemberian flutikason propionat ¾ ampul (dosis: 37,5μg) dan ½ ampul (dosis: 25μg) dengan bentuk sedian nebule 50μg/dosis. Dosis menurut Rhajoe (2008), untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan untuk peningkatan dosis eritromisin untuk anak usia 2-8 tahun menjadi 4 x 250 mg. Merekomendasikan pemberian dosis salbutamol sulfat untuk anak diberikan 2,05-3,075 mg 3 x sehari dan dosis flutikason propionat μg/hari. 87

110 Lampiran 13. Rekam Medis 3 Rekam Medis 3. No. RM 7118xx (15 Juli Juli 2012) Subyektif AA/laki-laki/2 tahun. Anamnese: sejak Jumat anak batuk pilek, panas, diberikan konidin anak, anak sulit makan. Sabtu dan Minggu anak masih batuk pilek, muntah setiap minum, anak masih sulit makan, minum susu masih mau. Diagnosis: Bronkitis asmatis Obyektif Hasil Laboratorium 15 Juli 2012 Hb: 13,4 Leukosit: 10,1 Eritrosit: 5,52 Hematokrit: 41,7 Trombosit: 302 Eosinofil: 1,9 Basofil: 0.4 Neutrofil: 39,1 Tanda vital Limfosit: 49,2 Monosit: 9,4 MCV: 75,5 MCH: 24,3 MCHC: 32,2 RDW-CV: 14,3 Natrium; 138 Kalium: 4,4 Klorida: 97 Pemeriksaan thorax Cor: tak membesar Pulmo: Bronchopneumonia kanan, tak tampak proses spesifik BB: 11 kg Tanggal 15/07/12 16/07/12 17/07/12 Suhu ( 0 C ) 36, Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 15/07/12 Tidak panas, anak tenang 16/07/12 Masih batuk sedikit, tidak panas 17/07/12 Batuk berkurang, tidak panas Penatalaksaan Obat Nama Obat R/ Eritromisin chew 160 mg Mebhydrolin Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M 3x1 bungkus p.o

111 napadisylate ⅓tab Terbutalin sulfat ⅓ tab R/ Aminofilin 25mg 3x1 bungkus p.o Deksametason ⅓tab Ondansetron 1 mg Injeksi i.v Salbutamol sulfat + 1:1 ampul Flutikason propionat Assessment: terapi yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi pasien. Dose too low: pemberian eritromisin yaitu 3 x 160 mg sehari terlalu rendah dan menurut BNF (2011) dosis untuk anak usia 2-8 tahun adalah 250 mg dan diberikan setiap 6 jam. Plan: Merekomendasikan pemberian eritromisin untuk anak usia 2-8 tahun diberikan dengan dosis 4 x 250 mg per hari. 89

112 Lampiran 14. Rekam Medis 4 Rekam Medis 4. No. RM 6661xx (15 Desember-20 Desember 2012) Subyektif NJ/perempuan/3 tahun. Anamnese: batuk kurang lebih 1 minggu, panas, sesak napas. Diagnosis:bronkitis asmatis Obyektif Hasil Laboratorium 15 Desember 2012 Limfosit: 13,7 Hb: 10,9 Monosit: 7,3 Leukosit: 15,0 MCV: 73,2 Eritrosit: 4,62 MCH: 23,7 Hematokrit: 33,8 MCHC: 32,4 Trombosit: 576 RDW-CV: 14,1 Eosinofil: 0,4 LED 1 jam: 66 Basofil: 0.2 LED 2 jam: 99 Neutrofil: 78,4 Tanda vital BB: 12,5 kg Tanggal 15/12/12 16/12/12 17/12/12 18/12/12 19/12/12 20/12/12 Suhu ( 0 C ) 38, Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 15/12/12 Anak tidak sesak napas 16/12/12 Batuk, pilek, tidak sesak napas 17/12/12 Anak masih batuk ngikil 18/12/12 Masih batuk tetapi berkurang, tidak sesak napas 19/12/12 Batuk berkurang, tidak panas, tidak sesak napas 20/12/12 Batuk berkurang banyak, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M P S M P S M P S M Pemberian R/Aminofilin30mg 3x1 bungkus p.o - - Deksametason ⅓ tab Eritromisin chew 3 x 175 mg

113 Mebhydrolin 3 x ⅓ tab - - napadisylate Terbutalin sulfat 3 x ⅓ tab - - R/ INH B6 10mg Rifampicin 125 Gentamisin sulfat 2 x 20 mg I.V Bolus Parasetamol 1 cth Salbutamol sulfat 1 2 x/hari amp Flutikason propionat 1 amp Nebuliser Assessment:. Dose too low: pemberian eritromisin yaitu 3 x 175 mg sehari terlalu rendah dan menurut BNF (2011) dosis untuk anak usia 2-8 tahun adalah 250 mg dan diberikan setiap 6 jam. Adverse Drug Reaction: No. Obat yang mempengaruhi Obat yanng dipengaruhi Efek yang ditimbulkan Signifikasi 1. Rifampisin Eritromisin Penurunan efek anti mikrobial dari eritromisin dan dapat 1 peningkatkan efek samping rifampisin pada gastrointestinal. 2. Rifampisin Isoniazid Hepatoksisitas dapat terjadi lebih cepat pada pemberian 1 kombinasi. Hal ini dapat terjadi karena adanya kemungkinan perubahan metabolisme isoniazid yang disebabkan oleh rifampisin. 3. Rifampisin Deksametason Penurunan efek farmakologi dari deksametason karena adanya 1 peningkatan metabolisme di hati yang disebabkan oleh rifampisin. Plan: Merekomendasikan pemberian dosis eritromisin untuk anak usia 2-8 tahun diberikan dengan dosis 4 x 250 mg per hari. Pada pemberian rifampisin dan eritromisin, dilakukan monitoring untuk penurunan efek dari eritromisin dan monitoring peningkatan efek samping rifampisin. Pada pemberian rifampisin dan isoniazid, dilakukan pemantauan fungsi hati. Pada pemberian rifampisin dan deksametason, hindari pemberian kombinasi ini jika mungkin. Perlu adanya pertimbangan 2x lipat dosis kortikosteroid jika pemberian rifampisin > 300 mg/kg. 91

114 Lampiran 15. Rekam Medis 5 Rekam Medis 5. No. RM 5954xx (09-11 Agustus 2012) Subyektif OW/perempuan/8,5 tahun. Anamnese: batuk, pilek, sesak napas sejak semalam, sudah di nebulizer tadi malam, sekarang masih sesak. Diagnosis: bronkitis asmatis Obyektif Hasil Laboratorium 09 Agustus 2012 Hb: 12,9 Leukosit: 15,2 Eritrosit: 5,11 Hematokrit: 40,0 Trombosit: 429 Eosinofil: 1,8 Basofil: 0.2 Neutrofil: 81,5 Tanda vital Limfosit: 12,6 Monosit: 4,1 MCV: 78,3 MCH: 25,3 MCHC: 32,3 RDW-CV: 14,9 Natrium; 141 Kalium: 4,0 Klorida: 106 BB: 26 kg Tanggal 09/08/12 10/08/12 11/08/12 Suhu ( 0 C ) 37, Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 09/08/12 Anak batuk, pilek 10/08/12 Sudah tidak sesak napas, masih batuk, tidak pusing, tidak panas 11/08/12 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat R/Eritromisin chew 300mg Parasetamol, n- Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M 3 x

115 asetilsistein ½ tab Deksametason ¾ tab Metoklopramid 4 mg B6 30mg Prokaterol HCl 2 x1 cth Flutikason propionat:salbutamol sulfat 1:1 Rute pemberian Nacl 3 cc Nebuliser Jika perlu Ondansetron 2,5 mg Assessment: Dose too high:dosis metoklopramid yaitu 3 x 4 mg sehari yang diberikan terlalu tinggi. Menurut IONI (2008), dosis metoklopramid untuk anak 5-9 tahun (20-29 kg) adalah 3 x 2,5 mg per hari. Adverse Drug Reaction: metoklopramid tidak tepat karena memiliki efek samping yang besar pada anak-anak. Plan: Pemberian metoklopramid sebaiknya tidak diberikan untuk anak <19 tahun mengingat efek samping ekstrapiramidal yang besar pada anak-anak. 93

116 Lampiran 16. Rekam Medis 6 Rekam Medis 6. No. RM 8310xx (10-12 Februari 2013) Subyektif LN/laki-laki/8 bulan. Anamnese: sejak kemarin sore mulai panas, muntah kurang lebih 8x, tidak diare, batuk, pilek dan nafas berbunyi. Diagnosis: asma bronkial. Obyektif Hasil Laboratorium 10 Februari 2013 Hb: 12,8 Leukosit: 19,1 Eritrosit: 4,93 Hematokrit: 38,1 Trombosit: 397 Eosinofil: 5,1 Basofil: 0.2 Neutrofil: 33,4 Tanda vital Limfosit: 53,6 Monosit: 7,7 MCV: 77,3 MCH: 26,0 MCHC: 33,6 RDW-CV: 13,3 Natrium; 144 Kalium: 5,5 Klorida: 111 BB: 8 kg Tanggal 10/02/13 11/02/13 12/02/13 Suhu ( 0 C ) 37,6 36,6 36,7 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 10/02/13 Panas, batuk, pilek, muntah-muntah 11/02/13 Batuk berkuranng, tidak muntah, tidak panas 12/02/13 Batuk, muntah 1x, tidak panas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M Pemberian Sabutamol sulfat, 3 x 2,5 cc - - Glyseryl guaiacol Pseudoefedrin HCl drop 3 x 2,5 cc

117 Amoxisilin drop 3 x Sefiksim 2 x 1,5 ml Amoxisilin Injeksi x 200 mg Salbutamol sulfat ⅟ 2 : Nebuliser IGD Flutikason propionat 1 Ondansetron Injeksi IGD mg Salbutamol sulfat ⅟ 2 : Flutikason propionat 1 Nebuliser 4x/hari Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan: - 95

118 Lampiran 17. Rekam Medis 7 Rekam Medis 7. No. RM 8474xx (21-29 Mei 2013) Subyektif GA/laki-laki/5 tahun. Anamnesa: panas selama 3 hari (mulai hari sabtu malam), batuk, pilek, muntah, perut sakit, mual. Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 23 Mei 2013 Hb: 13,3 Leukosit: 8,8 Eritrosit: 4,92 Hematokrit: 38,5 Trombosit: 212 Eosinofil: 0,0 Basofil: 0.1 Neutrofil: 60,3 Limfosit: 29,7 Monosit: 9,9 MCV: 78,3 MCH: 27,0 MCHC: 34,5 RDW-CV: 12,6 Hasil Lab 24 Mei 2013 Hb: 12,4 Hematokrit: 36,9 Trombosit: 119 Hasil Lab 25 Mei 2013 Hb: 13,2 Hematokrit: 38,7 Trombosit: 148 BB: 16 kg Tanggal 21/05 22/05 23/05 24/05 25/05 26/05 27/05 28/05 29/05 Suhu ( 0 C ) 37,3 38,3 37,3 39, ,7 36,5 36,7 36,3 Tanda vital Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 21/05/13 Panas, pusing, muntah, batuk, pilek 22/05/13 Masih panas, tidak muntah, panas naik-turun 23/05/13 Masih panas 24/05/13 Anak masih panas 25/05/13 Batuk, pilek 26/05/13 Batuk pilek berkurang, tidak panas 27/05/13 Tidak ada keluhan 28/05/13 Badan tidak panas, tidak ada keluhan 29/05/13 Tidak ada keluhan 96

119 Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M P S M Parasetamol 3-4 x 7 ml Metisoprinol 3 x 7 ml Eritromisin chew 3 x 200 mg Mebhydrolin 3 x ½ tab napadisylate Terbutalin sulfat 3 x ½ tab Aminofilin 40 mg Deksametasone ½ tab 3 x Eritromisin 200 mg Mebhydrolin napadisylate ½ tab Terbutalin sufat ½ 3 x tab Ondansetron 4 mg IV Parasetamol 160 mg Parasetamol 150 mg Assessment: Dose too Low: Pemberian eritromisin 3 x 200 mg sehari terlalu rendah dan menurut BNF (2011) dosis untuk anak usia 2-8 tahun adalah 250 mg dan diberikan setiap 6 jam. Plan: Merekomendasikan peningkatan dosis eritromisin diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam sehari atau 4 x 250 mg. 97

120 Lampiran 18. Rekam Medis 8 Rekam Medis 8. No. RM 8146xx (28 Februari-02 Maret 2013) Subyektif DR/laki-laki/5 bulan. Anamnese: Minggu panas, pilek. Selasa malam mulai batuk, tak panas, tak pilek. Kamis masih batuk ngikil, sesak, grokgrok. Diagnosis: asma bronkitis. Obyektif Hasil Laboratorium 28 Februari 2013 Hb: 12,3 Leukosit: 8,2 Eritrosit: 4,68 Hematokrit: 36,9 Trombosit: 388 Eosinofil: 1,6 Basofil: 0.4 Neutrofil: 39,4 Tanda vital Limfosit: 44,7 Monosit: 9,2 MCV: 78,8 MCH: 26,2 MCHC: 33,3 RDW-CV: 13,6 Pemeriksaan Thorax Cor: tak membesar atau dalam batas normal Pulmones: tak tampak infiltrat atau dalam batas normal. Tak tampak proses spesifik. BB: 7,7 kg Tanggal 28/02/13 01/03/13 02/03/13 03/03/13 Suhu ( 0 C ) 36,3 36,9 37,2 37 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 28/02/13 Batuk, napas grok-grok, batuk ngikil, badan panas 01/03/13 Batuk, tidak panas 02/03/13 Batuk berkurang 03/03/13 Napas masih terdengar wheezing Penatalaksaan Obat Nama Obat Pseudoefedrin HCl, Triprolidin HCl Dosis dan Cara P S M P S M P S M P S M Pemberian 3 x 1,5 cc

121 R/ Eritromisin 125 Parasetamol, n- asetilsistein ⅙ Deksametasone ½ B6 60 mg Salbutamol sulfat, Glyseryl guaiacol Ketotifen hidrogen fumarat R/ Eritromisin chew 125 mg Deksametason ⅓ tab Vit B6 10 mg Ambroksol HCl 4 mg Flutikason propionat ½ Salbutamol sulfat ½ 3 x 1 bungkus x ½ cth x ½ cth x 1 Digunakan setelah racikan lama habis 2 x/ hari Nebuliser Bila perlu NacL 1,5 cc Assessment: Dose too Low: ketotifen hidrogen fumarat diberikan dengan dosis 2 x ½ cth (2 x 0,5 mg) dengan bentuk sediaan 1mg/5 ml. Menurut IONI (2008), dosis ketotifen hidrogen fumarat untuk anak >2 tahun adalah 2 x 1 mg sehari. Plan: Merekomendasikan peningkatan dosis ketotifen hidrogen fumarat menjadi 2 x 1 mg sehari atau 2 x 1 cth. 99

122 Lampiran 19. Rekam Medis 9 Rekam Medis 9. No. RM 8160xx (12-16 Oktober 2012) Subyektif SQ/perempuan/11 bulan 23 hari. Anamnese: anak demam dan napas grok-grok sejak 3 hari yang lalu. 10 Oktober 2012 anak panas, tidak batuk, mulai grok-grok, bersin-bersin. 11 Oktober 2012 anak masih demam, napas sedikit sesak. 12 Oktober 2012 anak demam, napas sedikit sesak. Riwayat keluarga: ayah dan ibu asma. Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 12 Oktober 2012 Hb: 11,1 Leukosit: 19,8 Eritrosit: 4,74 Hematokrit: 33,6 Trombosit: 227 Eosinofil: 0,5 Basofil: 0.3 Neutrofil: 64,9 Tanda vital Limfosit: 26,3 Monosit: 8,0 MCV: 70,9 MCH: 23,4 MCHC: 33,0 RDW-CV: 14,8 HS-CRP: 3,36 Pemeriksaan Thorax Infiltrat peribronchial di perihiler dan para cardial dextra dengan konfigurasi cor normal. BB: 8,5 kg Tanggal 12/10/12 13/10/12 14/10/12 15/10/12 16/10/12 Suhu ( 0 C ) 38,5 37,1 38,5 36,2 36,4 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 12/10/12 Anak sesak napas, panas 13/10/12 Kadang batuk, tidak sesak napas 14/10/12 Panas, batuk berkurang 15/10/12 Tidak panas, masih batuk sedikit, tidak sesak napas 16/10/12 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M P S M 100

123 Amoxisilin drop 3 X 1 cc Setirizin HCl 1 x 0,5 cc (malam) Salbutamol sulfat syp 3 x 2 ml Parasetamol drop 0,8 cc Parasetamol supp Salbutamol sulfat ½ Nebuliser Flutikason propionat ½ Salbutamol sulfat ½ 3 x/ hari Flutikason propionat ½ nebuliser Assessment: Dose too Low: Dosis pemberian amoxisilin 3 x 1 cc (3 x 100 mg) dengan bentuk sediaan drop 125 mg/1,25 ml. Menurut IONI (2008), dosis amoxisilin untuk anak < 10 tahun adalah mg setiap 8 jam atau 3x sehari. Dosis salbutamol sulfat diberikan dengan dosis 3 x 2 ml (3 x 0,8 mg) dengan bentuk sediaan sirup 2mg/5mL. menurut IONI (2008), dosis salbutamol sulfat secara oral untuk anak <2 tahun adalah 200mcg/kgbb 4x sehari (4 x 1,7 mg). Lasal dan Ventolin memiliki efek farmakologi yang sama. Dose too High Dosis pemberian setirizin HCl 1 x 0,5 cc (1 x 5 mg) dengan bentuk sediaan drop 10mg/mL. menurut Cheng (2011), dosis setirizin HCl untuk anak 2-5 tahun adalah 2,5-5 mg per hari. Plan: Merekomendasikan peningkatan dosis amoxisilin menjadi mg 3x sehari. Merekomendasikan peningkatan dosis salbutamol sulfat menjadi 4 x 1,7 mg atau 4 x 4 ml. Merekomendasikan penurunan dosis setirizin HCl menjadi 1 x 0,5 cc atau 1 x 5 mg. 101

124 Lampiran 20. Rekam Medis 10 Rekam Medis 10. No. RM 8359xx (28 Februari 03 Maret 3013) Subyektif DS/perempuan/3,5 tahun. Anamnese: batuk selama 3 hari, lendir tidak bisa keluar, muntah, panas sejak tadi malam, pilek. Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 28 Februari 2013 Hb: 12,8 Leukosit: 12,4 Eritrosit: 4.64 Hematokrit: 37.3 Trombosit: 308 Eosinofil: 4,5 Basofil: 0.2 Tanda vital Neutrofil: 64,1 Limfosit: 23,2 Monosit: 8,0 MCV: 80,4 MCH: 27,6 MCHC: 34,3 RDW-CV: 13,4 Pemeriksaan thorax Cor: normal Pulmo: suspect bronkitis BB: 14,5 kg Tanggal 28/02/13 01/03/13 02/03/13 03/03/13 Suhu ( 0 C ) 37,6 36,4 36,7 36,2 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) ,3 - Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 28/02/13 Batuk, sesak napas, pilek 01/03/13 Masih batuk, tidak muntah, susah makan, tidak mual 02/03/13 Kadang-kadang batuk, tidak sesak napas 03/03/13 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Prokaterol HCl 2 x ½ cth Sepradin 2 x 500 mg injeksi Deksametason 2 x 5 mg injeksi

125 Ondansetron 2 mg injeksi Parasetamol supp 160 mg Ranitidin HCl 2 x ½ amp Salbutamol sulfat ¾ ampul Flutikason propionat 1 amp Assessment: /8jam Nebuliser Dose too High: Flutikason propionat diberikan dengan dosis 3 x 1 ampul (3 x 50 mcg) dengan bentuk sedian nebule 50μg/dosis. Dosis menurut Rhajoe (2008), untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan penurunan dosis flutikason propionat menjadi μg/hari atau dengan dosis 3 x 25 μg (½ ampul dari 50 μg). 103

126 Lampiran 21. Rekam Medis 11 Rekam Medis 11. No. RM 8457xx (09-13 Mei 2013) Subyektif JM/laki-laki/1 tahun 29 hari. Anamnese: kurang lebih 1 minggu pilek, batuk mulai 7 Mei, tanggal 8 Mei masih batuk-pilek, tidak panas, sesak. 9 Mei anak tidak panas, batuk, pilek, sesak, dibawa ke RS, di nebuliser, sore anak masih sesak. Obyektif Hasil Laboratorium 09 Mei 2013 Hb: 13,5 Leukosit: 16,6 Eritrosit: 5,35 Hematokrit: 40,3 Trombosit: 388 Eosinofil: 0.9 Basofil: 0.1 Neutrofil: 74,00 Limfosit: 19,6 Tanda vital Monosit: 5,4 MCV: 75,3 MCH: 25,2 MCHC: 33,5 RDW-CV: 14,4 Natrium: 136 Kalium: 4,5 Clorida: 103 HS-CRP: 10,46 Pemeriksaan thorax Infiltrat peribronkial di perihiler dan pada kardial dektra dengan konfigurasi cor normal. BB: 9,1 kg Tanggal 09/05/13 10/05/13 11/05/13 12/05/13 13/05/13 Suhu ( 0 C ) 36,6 36, ,6 36,8 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 09/05/13 Sesak napas, batuk 10/05/13 Anak rewel, masih batuk 11/05/13 Batuk susah berkurang 12/05/13 Tidak ada keluhan 13/05/13 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M P S M 104

127 Pseudoefedrin HCl 3 x 0,9 cc drop R/ Salbutamol sulfat 3 x 1 bungkus ,5 mg Triamsinolon 2 mg Sepradin 2 x 250 mg Parasetamol 4 x Deksametason 2 x 3,5 mg Salbutamol sulfat ½ 3x/hari amp Flutikason propionat 1 amp Nebuliser Deksametason 5 mg IV Assessment: Unnecessary drug therapy: Pemberian deksametason dan triamsinolon memiliki efek farmakologi yang sama. Dose too low: pemberian salbutamol sulfat dengan dosis 3 x 0,5 mg per hari. Menurut IONI (2008), dosis salbutamol sulfat untuk anak < 2 tahun adalah 200 μg/kgbb 4 x sehari (4 x 1,82 mg). Dose too high: pemberian flutikason propionat dengan dosis 1 amp 3x/hari (3 x 50 μg) dengan bentuk sedian nebule 50μg/dosis. Dosis pemberian flutikason propionat menurut Rahajoe (2008), untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan penghentian pemberian triamsinolon karena sudah diberikan Kalmetason (deksametason) atau dapat dilakukan sebaliknya. Merekomendasikan peningkatan dosis salbutamol sulfat secara p.o menjadi 4 x 1,82 mg. Merekomendasikan penurunan dosis flutikason propionat dengan dosis μg/hari atau 3 x 25 μg (½ ampul dari 50 μg). 105

128 Lampiran 22. Rekam Medis 12 Rekam Medis 12. No. RM 5978xx (10-13 Januari 2012) Subyektif AL/perempuan/5 tahun. Anamnese: sejak Kamis 5 Januari, anak demam, batuk, pilek. 2 hari ini anak tidak mau makan, muntah 1x. Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 10 Januari 2012 Hb: 12,8 Leukosit: 3,9 Eritrosit: 4.91 Hematokrit: 36,1 Trombosit: 349 Eosinofil: 0.5 Basofil: 0.2 Neutrofil: 56,6 Tanda vital Limfosit: 33,1 Monosit: 9,6 MCV: 73,5 MCH: 26,0 MCHC: 35,4 RDW-CV: 14,6 IgM antibodi S.typhi: 3 (Grayzone) Pemeriksaan thorax Bronchitis chronic BB: 12 kg Tanggal 10/01/12 11/01/12 12/01/12 13/01/12 Suhu ( 0 C ) 37,8 ; 38,8 37,4 36,4 36,8 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 10/01/12 Masih panas 11/01/12 Masih batuk, tidak panas, tidak sesak napas 12/01/12 Masih batuk, tidak panas, tidak sesak napas 13/01/12 Batuk berkurang, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Parasetamol 3 x 5 cc Prokaterol HCl 2 x ½ cth Setirizin HCl 1 x 0,5 cc Pseudoefedrin HCl, Triaprolidin HCl 3 x 0,5 cth

129 Codein 3 x 2,5 mg Asam pipemidik 2 x 100 mg Curmunos 2 x 5 cc Sefotaksim 2 x 500 mg Ipratroium Br, Salbutamol sulfat 1 Flutikason propionat 1 Terbutalin sulfat 1 Budesonid 1 Assessment: tidak terdapat DTPs Plan: - Nebuliser Pagi dan siang Nebulizer

130 Lampiran 23. Rekam Medis 13 Rekam Medis 13. No. RM 7987xx (28 Desember Januari 2013) Subyektif WF/laki-laki/7 bulan. Anamnese: demam sudah 5 hari, batuk dan muntah. Diagnosis: asma bronkial Obyektif Hasil Laboratorium 28 Desember 2012 Hb: 11,4 Leukosit: 12,7 Eritrosit: 4.20 Hematokrit: 33,8 Trombosit: 209 Eosinofil: 0.2 Basofil: 0.5 Neutrofil: 12,7 Limfosit: 73,8 Tanda vital Monosit: 12,8 MCV: 80,5 MCH: 27,1 MCHC: 33,7 RDW-CV: 13,1 Natrium: 137 Kalium: 4,1 Clorida: 109 HS-CRP: 0,7 Pemeriksaan thorax Gambaran bronkitis, konfigurasi cor normal, distensi gaster BB: 7,3 kg Tanggal 28/12/12 29/12/12 30/12/12 31/12/12 01/01/13 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 28/12/12 Demam, BAB cair 5x, anak lemas 29/12/12 batuk, tidak sesak 30/12/12 Batuk, muntah 1x karna batuk 31/12/12 Batuk berkurang 01/01/13 Tidak panas, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M P S M P S M Pemberian Salbutamol sulfat 3 x ½ cth

131 Setirizin HCl 1 x 0.3 ml R/ Triamsinolon 1 3 x mg Mebhydrolin napadisilat 1/6 tab Kodein 5/6 tab Ambroksol HCl 5 mg Metamizole Na 3 x 4 tetes Lacto B 1 x 1 sch Zn sulfat heptahidrat 1 x 1 sch Sepradin 2 x 2.5 ml Noskapin 3 x 1 tetes Amikasin sulfat 2 x 50 mg (IV) Salbutamol sulfat ½ 3x/hari amp Flutikason propionat ½ amp Assessment: Unnecessary drug therapy: Pada terapi diberikan 2 macam antihistamin yaitu setirizin HCl dan mebhydrolin napadisylate. Adanya pemberian double antara kodein dan noskapin Plan: penghentian salah satu produk obat 109

132 Lampiran 24. Rekam Medis 14 Rekam Medis 14. No. RM 6589xx (12-14 April 2013) Subyektif SM/ laki-laki/4 tahun. Anamnese: mulai Kamis malam anak panas, sariawan, tidak mau makan dan minum, muntah 3x. Jumat anak demam, masih sariawan, tidak mau makan dan minum, batuk pilek sedikit. Riwayat pengobatan: candistin, puyer (belum diminum). Diagnosis: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 12 April 2013 Hb: 12,8 Leukosit: 6,8 Eritrosit: 4,73 Hematokrit: 36,9 Trombosit: 254 Eosinofil: 0,0 Basofil: 0.3 Neutrofil: 63,8 Tanda vital Limfosit: 27,8 Monosit: 8,1 MCV: 78,0 MCH: 27,1 MCHC: 34,7 RDW-CV: 13,6 Natrium; 136 Kalium: 4,1 Klorida: 104 BB: 18 kg Tanggal 12/04/13 13/04/13 14/04/13 Suhu ( 0 C ) 38,4 ; 38,9 38,9 ; 39,3 ; 37 39,2 ; 39 Nadi (x/menit) ; 96 - Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 12/04/13 Panas, mual, sariawan 13/04/13 Pusing, perut sakit, sariawan 14/04/13 Anak panas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M Nystatin 3 x 1 ml Eritromisin 175 mg 3 x

133 Mebhydrolin napadisilat ½ tablet Terbutalin sulfat ½ tablet Aminofilin 40 mg 3 x Deksametason ½ tablet Parasetamol IV 160 mg Parasetamol 1½ cth Assessment: tidak terdapat DTPs Plan: - 111

134 Lampiran 25. Rekam Medis 15 Rekam Medis 15. No. RM 6594xx (21-23 Mei 2012) Subyektif HG/Perempuan/3 tahun. Anamnese: tiga hari yang lalu anak batuk, makan es krim. Hari ini masih batuk, sesak, tidak muntah, pernapasan cepat, tidak demam. Diagnosis: asma bronkial. Obyektif Hasil Laboratorium Hb: - Leukosit: - Eritrosit: - Hematokrit: - Tanda vital Trombosit: - Eosinofil: - Basofil: - Neutrofil: - Limfosit: - Monosit: - MCV: - MCH: - MCHC: - RDW-CV: - BB: 19 kg Tanggal 21/05/12 22/05/12 23/05/12 Suhu ( 0 C ) 37,1 35,7 35,7 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 21/05/12 Batuk, sesak napas, tidak panas 22/05/12 Kadang batuk, berdahak, tidak panas 23/05/12 Batuk berkurang, napas teratur Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M Diazepam 2 x 2 mg Setirizin HCl drop 1 x 0,8 cc (malam) Ambroksol HCl drop 2 x 1 cc Imbost F 3 x 6 cc Bromheksin HCl 1 cc tetes Nebulizer Bila perlu

135 Budesonid 1 amp Salbutamol sulfat Flutikason propionat 1 amp : 1 amp nebulizer Assessment: Unnecessary Drug Therapy: pemberian diazepam tidak sesuai dengan kondisi pasien. Dose too high: pemberian setirizin HCL 1 x 0,8 cc (1 x 8 mg) dengan bentuk sediaan drop 10mg/mL. menurut Cheng (2011), dosis setirizin untuk anak 2-5 tahun adalah 2,5-5 mg per hari. Plan: Pengehentian pemberian diazepam. Merekomendasikan untuk penurunan dosis setirizin menjadi 1 x 0,5 cc (1 x 5 mg). 113

136 Lampiran 26. Rekam Medis 16 Rekam Medis 16. No. RM 6980xx (19-20 Mei 2012) Subyektif MB/laki-laki/2,5 tahun. Anamnese: Rabu pasien demam naik turun, susah makan, mual, muntah. Kamis anak batuk pilek, sudah periksa dan mendapatkan obat tetapi tidak memberikan efek. Jumat anak sesak napas. Riwayat pengobatan: racikan. Diagnosis Utama: Bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 18 Mei 2012 Hb: 14,0 Leukosit: 4,8 Eritrosit: 5,33 Hematokrit: 41,0 Trombosit: 326 Eosinofil: 0,4 Basofil: 0.4 Neutrofil: 54,4 Limfosit: 34,5 Tanda vital Monosit: 10,3 MCV: 76,9 MCH: 26,3 MCHC: 34,1 RDW-CV: 12,8 Hasil Laboratorium 19 Mei 2012 Glukosa sewaktu: 104 Kalium: 4,7 Klorida: 140 HS-CRP: 0,34 IgE: 127,5 BB: 13,5 kg Tanggal 18/05/12 19/05/12 20/05/12 Suhu ( 0 C ) - 37,9 37,4 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 19/05/12 Batuk, pilek, tidak tampak sesak 20/05/12 Sudah mau makan, masih batuk Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M Salbutamol sulfat, 3 x 5 cc Glyseryl guaiacol Ketotifen hidrogen fumarat 2 x 5 cc

137 Co-amisiclav 3 x 5 cc Pankreatin 3 x 1 sacch Lacto B 2 x Benutrion 250cc/hari infus Amoxisilin 3 x 150 mg Budesonid : Flutikason 3 x / 24jam propionat 1:1 Nebuliser Budesonid : Flutikason 3 x/24jam propionat 1:1 Nebuliser Assessment: Dose too High Pemberian flutikaosn propionat dengan dosis 3 x 1 ampul sehari (3 x 50 μg) dengan bentuk sedian nebule 50μg/dosis. Dosis pemberian flutikason propionat menurut Rahajoe (2008), untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan untuk penurunan dosis pemberian flutikason propionat menjadi μg/hari atau 3 x 25μg (½ ampul 50μg). 115

138 Lampiran 27. Rekam Medis 17 Rekam Medis 17. No. RM 7359xx (05-07 Februari 2012) Subyektif KS/Perempuan/4 tahun. Anamnese: Sabtu anak batuk-pilek, sesak napas sebentar-sebentar. Minggu anak masih batuk-pilek, sesak napas terus. Alergi makanan: telur. Diagnosis Utama: Asma bronkial. Obyektif Hasil Laboratorium 05 Februari 2012 Hb: 13,3 Leukosit: 18,0 Eritrosit: 4,61 Hematokrit: 38,9 Trombosit: 392 Eosinofil: 1,6 Basofil: 0.4 Neutrofil: 79,7 Limfosit: 12,4 Monosit: 5,9 MCV: 84,4 MCH: 28,9 MCHC: 34,2 RDW-CV: 12,3 Hasil pemeriksaan thorax Pulmo tak tampak kelainan. Ukuran jantung normal. BB: 30 kg Pemeriksaan Feces Makroskopis Konsistensi feses lunak, berwarna coklat, tidak terdapat lendir, tidak terdapat darah, tidak terdapat nanah dan larva cacing. Pemeriksaan Feces Mikroskopis Jumlah Lekosit 0-1 dengan nilai normal 0. Todak terdapat eritrosit, telur cacing, amuba, parasit lainnya., amilum, lemak, serat otot, serat tumbuhan, dan jamur. Tanggal 05/02/12 06/02/12 07/02/12 Tanda vital Suhu ( 0 C ) 37,5 36,6 36,9 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 05/02/12 Batuk, pilek, sesak napas 06/02/12 Masih sesak napas, masih batuk 07/02/12 Sesak berkurang Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M 116

139 Pemberian Sefiksim trihidrat syr 2 x 5 cc Salbutamol sulfat, 3 x 7,5 ml Glyseryl guaiacol Setirizin HCl drop 1 x 0,7 ml Budesonid 1 cc Terbutalin sulfat Bromheksin HCl 1 cc 1 cc Flutikason propionat 1 amp Salbutamol sulfat 1 amp Parasetamol 300 mg Budesonid : Salbutamol sulfat 1 : 1 ampul 3-4 x Nebuliser Assessment: Dose too High: Dosis pemberian flutikason propionat 3 x 1 ampul (3 x 50μg) dengan bentuk sediaan 50 μg/dosis terlalu tinggi. Menurut Dosis pemberian flutikason propionat menurut Rahajoe (2008), untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Dosis pemberian setirizin HCl 1 x 0,7 ml (1 x 7 mg) dengan bentuk sediaan sirup 10mg/mL terlalu tinggi. Menurut Cheng (2011), dosis setirizin adalah 2-5 tahun adalah 2,5-5 mg per hari. Plan: Merekomendasikan untuk penurunan dosis pemberian flutikason propionat menjadi μg/hari atau 3 x 25μg (½ ampul 50 μg). Merekomendasikan penurunan dosis pemberian setirizin menjadi 1 x 0,5 mg atau 1 x 5 mg. 117

140 Lampiran 28. Rekam Medis 18 Rekam Medis 18. No. RM 7359xx (29-31 Maret 2012) Subyektif MH/Laki-laki/12 tahun. Anamnese: kurang lebih tiga hari yang lalu batuk, pilek berdahak. Hari ini anak tidak mau makan, lemes mulai tadi pagi, mual, malam agak sesak. Riwayat alergi obat: sulfa + penisilin. Diagnosis Utama: Asma bronkial. Obyektif Hasil Laboratorium 29 Maret 2012 Hb: 13,4 Leukosit: 11,4 Eritrosit: 5,30 Hematokrit: 39,8 Trombosit: 199 Eosinofil: 2,1 Basofil: 0.1 Neutrofil: 86,0 Limfosit: 7,3 Tanda vital Monosit: 4,5 MCV: 75,1 MCH: 25,3 MCHC: 33,7 RDW-CV: 12,5 Natrium: 138 Kalium: 4,3 Klorida: 105 Tanggal 29/03/12 30/03/12 31/03/12 Suhu ( 0 C ) 37,2 36,8 36,4 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah 110/70 110/80 - Catatan Perawat 29/03/12 Sesak napas, batuk 30/03/12 Sesak napas, batuk berkurang, tidak mual 31/03/12 Tidak sesak napas, tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian BB: - P S M P S M P S M 118

141 Ketotifen hidrogen 2 x 5 cc fumarat Salbutamol sulfat 3 x 7,5 cc Eritromisin 3 x 7,5 cc Ondansetron 4 mg Salbutamol sulfat : Flutikason propionat 1 ampul : 1 ampul Nebuliser 2 HS Salbutamol sulfat 1 amp Flutikason propionat 1 amp Bromheksin HCl 30 tts Salbutamol sulfat 1 amp Flutikason propionat 1 amp Bromheksin HCl 30 tts Assessment: tidak terdapat DTPs Plan: - 4 x/hari Nebuliser Nebuliser

142 Lampiran 29. Rekam Medis 19 Rekam Medis 19. No. RM 7572xx (23-26 Januari 2012) Subyektif RA/Perempuan/1 tahun. Anamnese: Januari 2012 anak panas naik turun, periksa dan mendapatkan obat jalan. Hari ini masih panas, muntah 4x. Diagnosis Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 23 Januari 2012 Hb: 11,5 Leukosit: 8,1 Eritrosit: 4.19 Hematokrit: 33,6 Trombosit: 182 Tanda vital Eosinofil: 1,2 Basofil: 0.7 Neutrofil: 27,1 Limfosit: 62,3 Monosit: 8,7 MCV: 80,2 MCH: 27,4 MCHC: 34,2 RDW-CV: 12,6 IgM antibodi S.typhi: 3 (Grayzone) BB: 8 kg Tanggal 23/01/12 24/01/12 25/01/12 26/01/12 Suhu ( 0 C ) 37, ,5 36,9 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 24/01/12 Batuk, pilek tinggal sedikit, tidak panas 25/01/12 Anak batuk, tidak sesak napas, tidak panas, pilek 26/01/12 Tidak panas, batuk berkurang, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Setirizin HCl drop 1 x 0,5 cc Ambroksol HCl drop 2 x 10 tetes Isothipendyl, Asetaminophen drop 3 x 0,8 cc

143 Parasetamol drop 0,8 cc bila perlu Nebuliser 3x Fulikason propionat : Salbutamol ½ : ½ Assessment: Dose too High: dosis pemberian setirizin HCl 1 x 0,5 cc (1 x 5 mg) dengan bentuk sediaan drop 10mg/mL. Menurut Cheng (2011), dosis setirizin untuk anak 6 bulan-2 tahun adalah 2,5 mg per hari. Plan: merekomendasikan penurunan dosis setirizin menjadi 1 x 0,25 cc (1 x 2,5 mg). 121

144 Lampiran 30. Rekam Medis 20 Rekam Medis 20. No. RM 7700xx (13-16 Mei 2012) Subyektif RT/Laki-laki/7 tahun. Anamnese: batuk, pilek, panas sejak kemarin, diberi Sanmol 5 cc. Hari ini anak masih batuk, sesak, panas, jam sudah dinebuliser. Diagnosis Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 13 Mei 2012 Hb: 12,3 Leukosit: 19,9 Eritrosit: 4.68 Hematokrit: 35,4 Trombosit: 208 Eosinofil: 0,1 Basofil: 0.1 Neutrofil: 88,9 Tanda vital Limfosit: 6,9 Monosit: 4,0 MCV: 75,6 MCH: 26,3 MCHC: 34,7 RDW-CV: 12,9 Natrium: 138 Kalium: 4,1 BB: 18 kg Tanggal 13/05/12 14/05/12 15/05/12 16/05/12 Suhu ( 0 C ) 37; 38,4; 38 37,2 ; 36,8 37 ; 37,2 36,7 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 13/05/12 Batuk, sesak napas, masih panas 14/05/12 tidak sesak napas, batuk berkurang 15/05/12 Tidak sesak, masih batuk tapi berkurang 16/05/12 Tidak ada keluhan, batuk jarang, tidak sesak Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Salbutamol sulfat 3 x 5 cc

145 Parasetamol 3 x 7,5 cc Setirizin HCl drop 1 x 0,6 ml Triamsinolon 3 x 2 mg Aztromisin 1 x 1 cth ( bila injeksi stop ) Sefotaksim 3 x 500 mg IV Bolus Deksametason 3 x ½ amp IV Bolus Netilmisin sulfat 2 x 50 mg Salbutamol sulfat : 3x/hari Nebuliser Flutikason propionat 1 amp : 1 amp PPD test Salbutamol sulfat : Flutikason propionat Nebuliser pagi dan sore 1 amp : 1 amp Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan:

146 Lampiran 31. Rekam Medis 21 Rekam Medis 21. No. RM 77458xx (20-22 Mei 2013) Subyektif CB/Laki-laki/ 1 tahun 7 bulan. Anamnese: Demam, batuk, pilek sudak 5 hari yang lalu, kadang muntah lendir, periksa ke bidan belum sembuh, periksa ke klinik dokter mendapatkan obat jalan. Tanggal 19/05/13 malam anak panas, sesek napas, pilek, BAB cair ampas 3x. Alergi obat tidak ada. Ibu pasien alergi dingin. Diagnosa Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 20 Mei 2013 Hb: 11,8 Leukosit: 10,4 Eritrosit: 4,71 Hematokrit: 37,4 Trombosit: 503 Eosinofil: 1,2 Basofil: 0.5 Neutrofil: 32,1 Limfosit: 52,4 Tanda vital Monosit: 13,8 MCV: 79,4 MCH: 29,1 MCHC: 31,6 RDW-CV: 14,5 Hasil pemeriksaan thorax: Bronkitis dan besar, cor dalam batas normal. BB: 9 kg Tanggal 20/05/13 21/05/13 22/05/13 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah Catatan Perawat 20/05/13 Panas 5 hari, batuk, pilek, tidak sesak 21/05/13 Masih batuk, tidak sesak 22/05/13 Tidak sesak, keluar lendir 1x, masih batuk, tidak muntah Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M 124

147 Pemberian Eritromisin 3 x 150 mg - - Mebhydrolin 3 x ¼ tablet - - napadisilat Terbutalin sulfat 3 x ¼ tablet - - Aminofilin 3 x 25 mg - - Deksametason 3 x ¼ tablet - - Salbutamol sulfat 1 cc Flutikason propionat Bromheksin HCl 1 cc 1 cc (Nebuliser) Deksametason ¾ ampul (IV) Parasetamol suppo 160 mg Parasetamol 100 mg (oral) Salbutamol sulfat 2 x 1 cc nebuliser Assessment: Dose too high: pemberian eritromisin dengan dosis 3 x 150 mg. Menurut IONI 2008, dosis eritromisin yang dapat diberikan untuk anak usia sampai 2 tahun adalah 125 mg setiap 6 jam. Plan: Merekomendasikan penurunan dosis eritromisin diberikan dengan dosis 125 mg setiap 6 jam sehari (4 x 125 mg). 125

148 Lampiran 32. Rekam Medis 22 Rekam Medis 22. No. RM 7848xx (09-12 Februari 2013) Subyektif LG/Laki-laki/1 tahun 10 bulan. Anamnese: panas, pilek, batuk mulai 4 hari yang lalu. Mual, muntah 2x, makan sedikit, lemes sudah dari kemarin. Alergi obat tidak ada. Ibu alergi debu. Diagnosa Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 09 Februari 2013 Hb: 12,38 Leukosit: 4,6 Eritrosit: 4.92 Hematokrit: 35,3 Trombosit: 192 Eosinofil: 0,0 Basofil: 0.4 Neutrofil: 54,1 Tanda vital Limfosit: 35,4 Monosit: 10,1 MCV: 77,8 MCH: 26,0 MCHC: 33,4 RDW-CV: 13,3 Natrium: 137 Kalium: 4,1 Klorida: 103 IgG Dengue: negative IgM Dengue: negative BB: 9 kg Tanggal 09/02/13 10/02/13 11/02/13 12/02/13 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 09/02/13 Panas, batuk, tidak sesak napas 10/02/13 Batuk, anak panas, tidak sesak napas, hidung mampet 11/02/13 Batuk, tidak sesak napas 12/02/13 Anak masih batuk Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Eritromisin chew 3 x 150 mg Mebhydrolin napadisilat 3 x ⅕tablet

149 Terbutalin sulfat 3 ¼ tablet Aminofilin 3 x 25 mg 3 x 1 bungkus Deksametason 3 x ¼tab Bila batuk Parasetamol 120 mg Parasetamol 120 mg Salbutamol sulfat ½ amp Flutikason propionat ½ amp Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan: - 3x Nebuliser Bila perlu

150 Lampiran 33. Rekam Medis 23 Rekam Medis 23. No. RM 7877xx (01-04 Maret 2012) Subyektif CB/Laki-laki/1 tahun. Anamnesa: mulai Rabu pagi anak mulai pilek. Sesak napas sejak tadi siang, masih batuk, pilek. Diagnosa Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 01 Maret 2012 Hb: 12,2 Leukosit: 21,8 Eritrosit: 5,22 Hematokrit: 36,2 Trombosit: 293 Eosinofil: 1,1 Basofil: 0.0 Neutrofil: 78,6 Limfosit: 15,4 Monosit: 4,9 MCV: 69,3 MCH: 23,4 MCHC: 33,7 RDW-CV: 15,2 Natrium: 135 Kalium: 4,9 Klorida: 109 BB: 11 kg Tanggal 01/03/12 02/03/12 03/03/12 04/03/12 Suhu ( 0 C ) 36.5 ; ; Tanda vital Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Catatan Perawat 01/03/12 Batuk, pilek, tidak panas, tidak sesak napas 02/03/12 Tidak panas, anak banyak keringat, sesak napas, batuk 03/03/12 Batuk berkurang, tidak sesak napas, tidak panas 04/03/12 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Salbutamol sulfat 3 x 2 cc Deksametason 3 x ½ tablet Eritromisin chew 3 x 150 mg Parasetamol, n- asetilsistein 3 x ⅕ tablet

151 Salbutamol sulfat Flutikason propionat NacL 1 ½ cc Salbutamol sulfat ½ amp Flutikason propionat ½ amp Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan: - Nebuliser ½ amp ½ amp 2 x 1 Nebuliser Bila perlu

152 Lampiran 34. Rekam Medis 24 Rekam Medis 24. No. RM 7956xx (07-09 Mei 2012) Subyektif RN/Laki-laki/3 tahun. Anamnese: batuk sejak 2 minggu yang lalu bardahak, muntah tiap kali batuk, sesak sejak 3 hari yang lalu karena batuk. Muntah >3x, anak lemas, nafsu makan kurang. Diagnosa Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 07 Mei 2012 Hb: 11,9 Leukosit: 11,7 Eritrosit: 4,43 Hematokrit: 35,7 Trombosit: 337 Eosinofil: 2,5 Basofil: 0.2 Neutrofil: 29,3 Limfosit: 61,0 Tanda vital Monosit: 7,0 MCV: 80,6 MCH: 26,9 MCHC: 33,3 RDW-CV: 13,4 Natrium: 144 Kalium: 4,0 BB: 13 kg Tanggal 07/05/12 08/05/12 09/05/12 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah Catatan Perawat 07/05/12 Tidak panas 08/05/12 Masih batuk, 2 hari tidak BAB, kalau bangun tidur napas bunyi 09/05/12 Kadang batuk, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M 130

153 Salbutamol sulfat, 3 x ½ cth Glyceryl guaiacol Setirizin HCl drop 1 x 0.6 ml Sefotaksim 2 x 500 mg (IV) Netilmisin sulfat 3 x 25 mg (IV) Deksametason 3 x ½ amp (IV) Ondansetron 3 x 2 mg (IV) Budesonid 1 amp Ipratropium Br, Salbutamol sulfat 1 amp /8jam Nebuliser Flutikason propionat Budesonid 1 amp 1 amp Nebuliser Assessment: Dose too high: pemberian setirizin HCl dengan dosis 1 x 0,6 ml (1 x 6 mg) dengan bentuk sediaan drop 10 mg/ml. Menurut Cheng (2011), dosis pemberian setirizin untuk anak 2-5 tahun adalah 2,5-5 mg per hari. Pemberian budesonid dengan dosis 1 ampul/8 jam (3 x 100 μg/hari) dengan bentuk sediaan 100μg/dosis. Menurut Rahajoe (2008), dosis budesonide untuk anak <12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan penurunan dosis setirizin HCl menjadi 1 x 0,5 ml ( 1 x 5 mg). Merekomendasikan penurunan dosis budesonid menjadi 3 x 50 μg ( ½ ampul dari 100μg) sehari. 131

154 Lampiran 35. Rekam Medis 25 Rekam Medis 25. No. RM 7986xx (26-29 Mei 2012) Subyektif VF/Laki-laki/7 tahun. Anamnese: panas sejak 3 minggu yang lalu naik turun, batuk,pilek, sesak, muntah 2x, pusing. Riwayat keluarga: Ayah asma. Diagnosa Utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 26 Mei 2012 Hb: 11,8 Leukosit: 9,9 Eritrosit: 4,46 Hematokrit: 35,8 Trombosit: 297 Eosinofil: 0,8 Basofil: 0.9 Neutrofil: 68,6 Limfosit: 17,0 Tanda vital Monosit: 11,7 MCV: 80,4 MCH: 26,4 MCHC: 32,9 RDW-CV: 15,7 Natrium: 134 Kalium: 4,2 Klorida: 102 Hasil Laboratorium 28 Mei 2012 IgM antibodi S.Typhi: 2 (negative) GZ IgM antibodi S.Typhi H: negative IgM antibodi S.Typhi O: negative IgM antibodi S.Typhi AH: negative IgM antibodi S.Typhi AO: negative IgM antibodi S.Typhi BH: negative IgM antibodi S.Typhi BO: + 1/80 IgM antibodi S.Typhi CH: negative IgM antibodi S.Typhi CO: negative HS-CRP: 7,16 Hasil Laboratorium 29 Mei 2012 LED 1 jam: 34 LED 2 jam: 58 Hasil Pemeriksaaan Thorax: Radiologis gambaran bronkitis. Tak tampak lymfadenopathy hilus. Ukuran jantung normal. Tanggal 26/05/12 27/05/12 28/05/12 29/05/12 Suhu ( 0 C ) 37.5 ; 36,4 38,7 ; 37 36,3 ; ; 35.9 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Tekanan darah 100/70 110/60 95/60 - Catatan Perawat 26/05/12 Tidak pusing, perut masih mules, tidak muntah, tidak pilek, batuk sedikit, tidak sesak 27/05/12 Tidak ada keluhan 28/05/12 Tidak ada keluhan 29/05/12 Tidak ada keluhan Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara P S M P S M P S M P S M BB: 11 kg 132

155 Pemberian Azitromisin dihidrat 1 x 5 cc Parasetamol, 3 x 5 cc penilpropalamin HCL plus Ketotifen hidrogen 2 x 5 cc fumarat Ibuprofen 5 cc (bila perlu) Metamizole Na 1/3 ampul (IV) Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan: - 133

156 Lampiran 36. Rekam Medis 26 Rekam Medis 26. No. RM 8144xx (15-20 Januari 2013) Subyektif FR/Laki-laki/3 bulan. Anamnese: batuk, panas, pilek sejak 2 hari yang lalu, muntah 1x. Sesak napas sejak tadi malam, hidung tersumbat, tidak diare. Diagnosa utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 15 Januari 2012 Hb: 10,9 Leukosit: 11,0 Eritrosit: 3,99 Hematokrit: 32,2 Trombosit: 403 Eosinofil: 1,1 Basofil: 0.1 Neutrofil: 46,5 Limfosit: 43,0 Tanda vital Monosit: 9,3 MCV: 80,7 MCH: 27,3 MCHC: 33,9 RDW-CV: 12,5 Natrium: 135 Kalium: 5,2 Klorida: 103 HS-CRP: 29,5 Hasil Pemeriksaaan Thorax: Pulmo normal, ukuran dan bentuk normal, sistema tulang intak BB: 11 kg Tanggal 15/01 16/01 17/01 18/01 19/01 20/01 21/01 22/01 23/01 24/01 25/01 26/01 Suhu ( 0 C ) 39,7 36,4 38, ,2 38, ,5 36,8 36,9 36,7 - Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Tekanan darah Catatan Perawat 15/01/13 Panas, batuk, pilek 16/01/13 Batuk, tidak sesak 17/01/13 Batuk, panas 18/01/13 Pilek, panak, batuk 19/01/13 Batuk, pilek, panas 20/01/13 Pilek, batuk, masih panas 21/01/13 Batuk, pilek 22/01/13 Panas naik-turun 23/01/13 Batuk, pilek, tidak panas 24/01/13 Batuk, tidak panas 134

157 25/01/13 Batuk, tidak panas, tidak sesak 26/01/13 Tidak panas, tidak sesak Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Eritromisin dulcet 100 mg Mebhydrolin napadisilat ⅙ tablet Terbutalin sulfat ⅙ tab Aminofilin 15 mg Deksametason ⅙ tablet Gentamisin sulfat Pemberian 3 x 1 3 x 1 2 x 12.5 mg (IV Bolus) Parasetamol 80 mg Parasetamol 160 mg Parasetamol drop 0.7 (oral) Mikasin 2 x 45 mg Salbutamol sulfat 2 x ½ amp Prokaterol HCl 1 Nebuliser Budesonid 1 Assessment: Ineffective Drug: pemberian salbutamol sulfat pada anak usia 3 bulan menurut Vecchio (20112) tidak membantu dalam terapi pada infant dengan usia 11 hari sampai 3 bulan karena dapat memberikan efek berbahaya dengan meningkatkan kebutuhan oksigen. Plan: Merekomendasikan penghentian salbutamol sulfat. 135

158 Lampiran 37. Rekam Medis 27 Rekam Medis 27. No. RM 8031xx (06-09 April 2013) Subyektif AD/Perempuan/1 tahun. Anamnese: tanggal 29 Februari, anak tergigit tomcat dan diberi zacf. Tanggal 3 Maret anak batuk pilek, muntah, panas diberi Lebnicux. Tanggal 6 April anak panas, batuk, pilek, tidak makan. Diagnosa utama: bronkitis asmatis Obyektif Hasil Laboratorium 06 April 2013 Hb: 12,9 Leukosit: 12,7 Eritrosit: 5,16 Hematokrit: 38,4 Trombosit: 345 Eosinofil: 0,0 Basofil: 0.2 Neutrofil: 55,2 Limfosit: 33,9 Monosit: 10,7 MCV: 74,4 MCH: 25,0 MCHC: 33,6 RDW-CV: 14,6 IgG Dengue: negative IGM Dengue; negative BB: 13 kg Pemeriksaan Feces Makroskopis Konsistensi feses lunak, berwarna coklat, tidak terdapat lendir, tidak terdapat darah, tidak terdapat nanah dan larva cacing. Pemeriksaan Feces Mikroskopis Tidak terdapat lekosit, eritrosit, telur cacing, amuba dan parasit lainnya. Amilum (+), tidak ada lemak, serat otot, serat tumbuhan, dan jamur. Tanggal 06/04/13 07/04/13 08/04/13 09/04/13 Tanda vital Suhu ( 0 C ) 39 37,2 36,5 37 Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah Catatan Perawat 06/04/13 Batuk, pilek, panas, susah makan 07/04/13 Tidak panas, bibir sariawan, batuk 136

159 08/04/13 Batuk, tidak panas 09/04/13 Batuk, muntah lendir 2x Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Eritromisin chew 150 mg Mebhydrolin napadisilat ¼ tablet Terbutalin sulfat ¼ tablet Aminofilin 20 mg Deksametason ¼ tab Pemberian 3 x 1 (bawa 20 bungkus) 3 x 1 (bawa 15 bungkus) P S M P S M P S M P S M Zn sulfat heptahidrat 2 x 1 isch Gentamisin sulfat 2 x 30 mg Parasetamol 130 mg (bila perlu) Salbutamol sulfat 1 cc Flutikason propionat 1 cc 2x/hari Nebuliser Setirizin ½ tablet Assessment: Dose too High: dosis pemberian setirizin HCl ½ tablet (1 x 5 mg) dengan bentuk sediaan tablet 10 mg. Menurut Cheng (2011), dosis pemberian setirizin HCl untuk anak 6 bulan-2 tahun adalah 2,5 mg per hari. Plan: penurunan dosis setirizin HCl menjadi 1 x ¼ tablet (1 x 2,5 mg). 137

160 Lampiran 38. Rekam Medis 28 Rekam Medis 28. No. RM 6696xx (16-17 Juni 2012) Subyektif MLH/Laki-laki/3 tahun 2 bulan. Anamnese: sesak napas mulai hari ini, tidak batuk, tidak pilek. Alergi obat tidak ada. Diagnosa Utama: asma bronkitis. Obyektif Hasil Laboratorium 16 Juni 2012 Hb: 11,3 Leukosit: 11,0 Eritrosit: 4,60 Hematokrit: 34,5 Trombosit: 248 Eosinofil: 0,4 Basofil: 0.1 Neutrofil: 75,5 Limfosit: 19,2 Tanda vital Monosit: 4,8 MCV: 75,0 MCH: 24,6 MCHC: 32,8 RDW-CV: 13,4 BB: 12,5 kg Tanggal 16/06/12 17/06/12 Suhu ( 0 C ) 37.5 ; Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) 24 - Saturasi O2 ( % ) 98 - Tekanan darah - - Catatan Perawat 16/06/12 Batuk, tidak sesak napas 17/06/12 Batuk, tidak sesak napas, tidak panas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M Sefiksim 2 x ½ cth

161 Ketotifen hidrogen 2 x ½ cth fumarat Prokaterol HCl 2 x ½ cth Triamsinolon 3 x ½ cth Deksametason 3 x 1/3 cop (IV) Parasetamol 1 cth Ipratropium Br, 3x/hari salbutamol sulfat 1 amp Budesonid 1 amp Nebuliser Assessment: Unnecessary drug therapy: duplikasi pada pemberian kortikosteroid yaitu Triamsinolon dan deksametason. Dose too high: pemberian budesonide dengan dosis 3 x 1 ampul (3 x 100μg) dengan bentuk sediaan 100μg/dosis. Menurut Rahajoe (2008), dosis budesonide untuk anak kurang dari 12 tahun adalah μg/hari. Plan: Merekomendasikan penghentian pada salah satu pemberian kortikosteroid. Merekomendasikan penurunan dosis budesonide menjadi 3 x 50 μg ( ½ ampul dari 100μg) sehari. 139

162 Lampiran 39. Rekam Medis 29 Rekam Medis 29. No. RM 8050xx (18-19 Juli 2012) Subyektif DS/Laki-laki/4 tahun. Anamnese: batuk dan sesak napas sejak malam ini, muntah 1x. Diagnosa utama: asma bronkial. Obyektif Hasil Laboratorium 19 Juli 2012 Hb: 10,7 Leukosit: 18,6 Eritrosit: 4,83 Hematokrit: 32,0 Trombosit: 293 Eosinofil: 2,7 Basofil: 0.3 Neutrofil: 73,7 Limfosit: 15,5 Tanda vital Monosit: 7,8 MCV: 66,3 MCH: 22,2 MCHC: 33,4 RDW-CV: 13,9 Hasil Pemeriksaan Thorax Cor dalam batas normal, pulmo dalam batas normal, tak tampak gambaran infiltrat. Tanggal 18/07/12 19/07/12 Suhu ( 0 C ) Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) 99 - Tekanan darah - - BB: 14,7 kg Catatan Perawat 18/07/12 Masih sesak napas 19/07/12 Batuk kering, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M Azitromisin 1 x 3.5 cc Prokaterol HCl 2 x ½ cth

163 Salbutamol sulfat ¾ amp Flutikason propionat 1 amp 3x/hari Nebulizer Assessment: tidak terdapat DTPs. Plan:

164 Lampiran 40. Rekam Medis 30 Rekam Medis 30. No. RM 8136xx (24-27 Desember 2012) Subyektif BA/Laki-laki/3 tahun. Anamnese: Jumat anak mulai grok-grok. Sabtu mulai demam, masih batuk dan diare 5x. Kemudian periksa. Minggu malam masih batuk grok-grok, diare ± 5x, tidak panas. Senin masih batuk grok-grok, seseg, diare ± 1x. Obyektif Hasil Laboratorium 24 Desember 2012 Hb: 11,3 Leukosit: 8,6 Eritrosit: 4,15 Hematokrit: 33,6 Trombosit: 296 Eosinofil: 0,9 Basofil: 0.2 Neutrofil: 17,7 Limfosit: 65,0 Tanda vital Monosit: 16,2 MCV: 81,0 MCH: 27,2 MCHC: 33,6 RDW-CV: 12,8 Hasil Pemeriksaan Thorax Mengarah ke gambaran bronchiolitis, konfigurasi cor normal. BB: 14,7 kg Tanggal 24/12/12 25/12/12 26/12/12 27/12/12 Suhu ( 0 C ) 37 ; ; ; Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah Catatan Perawat 24/12/12 Anak sesak napas, panas 25/12/12 Batuk kadang-kadang, pilek, tidak sesak 26/12/12 Batuk 27/12/12 Anak masih batuk pilek Penatalaksaan Obat Nama Obat Eritromisin chew 50 mg Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M 3 x

165 Ambroksol HCl 2.5 mg Deksametason 1/3 tab Vit B6 10 mg Salbutamol sulfat, Glyseryl guaiacol Ketotifen hidrogen fumarat Salbutamol sulfat 1/3 amp Flutikason propionat 1/3 amp NaCl 1 cc 3 x 1 cc x ¼ cth x/hari Nebuliser Parasetamol 0.5 cc Salbutamol sulfat 0.75 mg Flutikason propionat ½ amp Nebuliser Assessment: Dose too low: pemberian ketotifen hidrogen fumarat dengan dosis 2 x ¼ cth (2 x 0,25 mg) dengan bentuk sediaan 1 mg/5 ml. Menurut IONI (2008), dosis ketotifen hidrogen fumarat untuk anak > 2 tahun adalah 2 x 1 mg (2 x 1 cth). Pemberian salbutamol sulfat dengan dosis 3 x 1/3 ampul (3 x 0,83 mg) dengan bentuk sediaan 2,5 mg. Dosis salbutamol secara nebuliser menurut BNF (2011) untuk anak kurang dari 5 tahun adalah 2,5 mg dan diulangi sampai 4x/hari. Pemberian flutikason propionat dengan dosis 1 x ½ ampul (25 μg/dosis) dan 2 x 1/3 ampul (2 x 16,67 μg). Menurut Rahajoe (2008), dosis flutikason propionat untuk anak-anak < 12 tahun adalah μg. Plan: Merekomendasikan peningkatan dosis ketotifen hidrogen fumarat menjadi 2 x 1 cth sehari. Merekomendasikan peningkatan dosis salbutamol sulfat secara nebuliser dengan dosis 2,5 mg 3x sehari (1 ampul 2,5 mg). Merekomendasikan peningkatan dosis flutikason propionat menjadi μg/hari atau 3 x 25μg (½ ampul 50 μg). 143

166 Lampiran 41. Rekam Medis 31 Rekam Medis 31. No. RM 8077xx (10-13 Agustus 2012) Subyektif FB/Laki-laki/2 tahun 2 bulan. Anamnese: Senin sore anak mulai panas, sudah diberi obat penurun panas, sudah turun. Panas naik turun. Selasa anak masih panas sampai Rabu. Kamis tidak panas. Jumat pagi panas lagi, batuk kering. Diagnosa utama: bronkitis asmatis. Obyektif Hasil Laboratorium 10 Agustus 2012 Hb: 10,5 Leukosit:9,0 Eritrosit: 4,02 Hematokrit: 31,3 Trombosit: 215 Eosinofil: 0,0 Basofil: 0.0 Neutrofil: 71,7 Limfosit: 18,1 Monosit: 10,2 MCV: 77,9 MCH: 26,1 MCHC: 33,5 RDW-CV: 13,5 Natrium: 139 Kalium: 4,1 Klorida: 108 HS-CRP: 31,68 BB: 15 kg Pemeriksaan Feces Makroskopis Konsistensi feses lunak, berwarna coklat tua. Tidak terdapat lendir, darah, nanah, dan cacing larva. Pemeriksaan Feces Mikroskopis Lekosit 0-1. Tidak terdapat eritrosit, telur cacing, amuba, parasit lain, amilum, emak, serat otot, dan jamur. Serat tumbuhan (+). Tanggal 10/08/12 11/08/12 12/08/12 13/08/12 Tanda vital Suhu ( 0 C ) ; Nadi (x/menit) Nafas (x/menit) Saturasi O2 ( % ) Tekanan darah Catatan Perawat 10/08/12 Anak panas, batuk kering, sesak napas 11/08/12 Batuk berkurang, tidak sesak napas 12/08/12 Batuk berkurang, tidak sesak napas 144

167 13/08/12 Batuk berkurang, tidak sesak napas Penatalaksaan Obat Nama Obat Dosis dan Cara Pemberian P S M P S M P S M P S M Eritromisin dulcet 3 x Mebhydrolin napadisilat 1/3 Terbutalin sulfat 1/3 Gentamisin sulfat 2 x Salbutamol sulfat 1 Nebuliser amp Flutikason propionat 1 amp Parasetamol susp 100 mg Parasetamol 6 cc Assessment: Dose too low: pemberian terbutalin silfat dengan dosis 3 x 1/3 tablet (3 x 0,83 mg) dengan bentul sediaan tablet 2,5 mg. Menurut BNF (2011), dosis terbutalin sulfat secara oral untuk anak usia 1 bulan-7 tahun adalah 75 μg/kg 3x sehari (3 x 1,125 mg). Plan: Merekomendasikan peningkatan dosis terbutalin sulfat menjadi 3 x 1,125 mg. 145

168 146 Lampiran 42. Surat Keterangan Permohonan Ijin Penelitian di RS Panti Rapih

169 147 BIOGRAFI PENULIS Penulis skripsi Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013 ini memiliki nama lengkap Ciptaning Hayu Susesi. Penulis merupakan anak ketiga dari pasangan Suharsi Harismanto dan Sudartriningsih, lahir di Yogyakarta tanggal 12 April Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu dimulai di TK Pertiwi 5 tahun , SD Negeri 2 Payak tahun , SMP Negeri 1 Piyungan tahun , SMA Negeri 1 Banguntapan mulai dari tahun 2007 hingga tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya pada tahun 2010 di Perguruan Tinggi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikan masa studi pada tahun Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepanitiaan. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa berupa Pengadian Masyarakat tahun 2011 dan Kewirausahaan tahun Kemudian penulis pernah menjadi anggota seksi Konsumsi Acara Pharmacy Performance tahun 2011, anggota P3K Acara TITRASI tahun 2012.

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit saluran pernafasan seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronik merupakan panyakit penyebab kematian

Lebih terperinci

Asma adalah inflamasi pada saluran nafas, dimana melibatkan banyak elemen sel dan selular seperti, sel mast, eosinofil, limfositt, makrofag,

Asma adalah inflamasi pada saluran nafas, dimana melibatkan banyak elemen sel dan selular seperti, sel mast, eosinofil, limfositt, makrofag, Asma adalah inflamasi pada saluran nafas, dimana melibatkan banyak elemen sel dan selular seperti, sel mast, eosinofil, limfositt, makrofag, neutrofil dan sel epitelia. Inflamasi tersebut menyebabkan mengi,

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA PATOGENESIS PENYAKIT ASMA Pendekatan terapi yang rasional terhadap penyakit asma adalah tergantung dari pengetahuan mengenai patogenesis penyakit asma Asma adalah penyakit yang diperantarai oleh ikatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian terbesar di dunia. Telah ditemukan bukti adanya peningkatan prevalensi asma pada anakanak dalam 20 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI Oleh : ARUM NURIL HIDAYAH K 100 090 008 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran pernafasan yang menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut (Nelson, 2007). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA PEDIATRI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA PEDIATRI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI KAJIAN PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA PEDIATRI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : ENI DIAN ASTUTIK K 100 050 056 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDISITIS DI RSUD PEKANBARU PADA TAHUN 2010 SKRIPSI

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDISITIS DI RSUD PEKANBARU PADA TAHUN 2010 SKRIPSI EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDISITIS DI RSUD PEKANBARU PADA TAHUN 2010 SKRIPSI Oleh: REVTY AMELIA K100070004 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: Neny Purwahyuningrum NIM :

SKRIPSI. Oleh: Neny Purwahyuningrum NIM : STUDI DURASI PENYEMBUHAN SESAK NAPAS DENGAN REGIMEN STANDAR PADA PENDERITA ASMA DAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN DI UNIT GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT PARU JEMBER SKRIPSI Oleh: Neny Purwahyuningrum NIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan secara klinis ditandai oleh adanya episode batuk rekuren, napas pendek, rasa sesak di dada dan mengi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Rancangan Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Rancangan Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif 56 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk megevaluasi mutu pelayanan kasus Asma Bronkial Anak di Unit Gawat Darurat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam

Lebih terperinci

ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER

ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER ANALISIS GEJALA EFEK SAMPING AMINOFILLIN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PARU JEMBER SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

banyak digunakan dalam pengobatan akut dan jangka panjang dari asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema dan penyakit paru obstruktif kronik dengan

banyak digunakan dalam pengobatan akut dan jangka panjang dari asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema dan penyakit paru obstruktif kronik dengan BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya teknologi farmasi, penggunaan obat secara per oral dapat dikembangkan menjadi penggunaan obat secara buccal. Penggunaan obat pada buccal, merupakan rute alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2008).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan virus dengue. Penyakit DBD tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang, tetapi ditularkan kepada manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu kondisi paru-paru kronis yang ditandai dengan sulit bernafas terjadi saat saluran pernafasan memberikan respon yang berlebihan dengan cara menyempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada saluran pernafasan,

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA. DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA PADA TAHUN 2014

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA. DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA PADA TAHUN 2014 EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIASMA DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA PADA TAHUN 2014 Sunarti, Fakultas Farmasi Universetas Setia Budi Surakarta Septi Putri Utami, Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta

Lebih terperinci

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan. A S M A DEFINISI Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun tertentu. Asma dimanifestasikan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi asma Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ARTI SINGKATAN... INTISARI... i ii iii vi xi xv xvi xvii xxi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI JUNI 2012 SKRIPSI OLEH: CUT MAYA SARI

Lebih terperinci

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.MOEWARDI SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: TOUDA KURNIA ANDRIYA K 100 040 180 FAKULTAS

Lebih terperinci

H. M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM PENDAHULUAN

H. M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM PENDAHULUAN FARMAKOTERAPI COMMON COLD H. M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM PENDAHULUAN Infeksi virus ringan, self-limited pada saluran napas atas. Penyebab: rhinovirus (40%) & coronavirus (10%),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI Dr. Taufik SpP(K) Bagian Pulmonologi FKUA/RSUP Dr.M.Djamil Padang PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Kekerapannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan suatu penyakit umum yang terdapat di seluruh dunia. Angka prevalensinya bervariasi secara mencolok di antara berbagai negara, hal ini disebabkan

Lebih terperinci

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI Oleh : ARUM NURIL HIDAYAH K 100 090 008 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

St.Aniah Hardiyanti Sitti Hajar Irmawati Sri Rezeki Amalia Suci Febriyani Suparmin Romi Tuti Ernawati Ulmi fajri Vera Febrianti Yanti Sari Syam

St.Aniah Hardiyanti Sitti Hajar Irmawati Sri Rezeki Amalia Suci Febriyani Suparmin Romi Tuti Ernawati Ulmi fajri Vera Febrianti Yanti Sari Syam MAKALAH FARMAKOLOGI OBAT-OBAT MUKOLITIK KELOMPOK IV St.Aniah Hardiyanti Sitti Hajar Irmawati Sri Rezeki Amalia Suci Febriyani Suparmin Romi Tuti Ernawati Ulmi fajri Vera Febrianti Yanti Sari Syam POLITEKNIK

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015.

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015. 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan bersifat deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan melakukan

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma dianggarkan melebihi gabungan anggaran tuberkulosis dan HIV/AIDS di seluruh dunia. Saat ini,

Lebih terperinci

MAKALAH TUTORIAL ASMA BRONKIAL

MAKALAH TUTORIAL ASMA BRONKIAL MAKALAH TUTORIAL ASMA BRONKIAL TUTORIAL A2 Rahmi Islamiati 1110211022 Fia Melia 1110211029 Meilani Sepwita 1110211036 Geraldo Primaman 1110211040 Qisthina Novita 1110211162 Andhika Perkasa 1110211091 Kindy

Lebih terperinci

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN 1) EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENGOBATAN BRONKITIS KRONIK PASIEN RAWAT JALAN DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JUNI 2013-JUNI 2014 2) 1) Abraham Sanni 1), Fatimawali 1),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI Oleh : RIRIN DYAH AYU APRILIA K 100080057 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA Mega Lestari 1 ; Amaliyah Wahyuni, S.Si., Apt 2 ; Noor Hafizah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik untuk Pengobatan ISPA pada Balita Rawat Inap di RSUD Kab Bangka Tengah Periode 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Parasetamol merupakan obat penurun panas dan pereda nyeri yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Metabolit Fenasetin ini diklaim sebagai zat antinyeri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan diagnosis utama Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani

BAB III METODE PENELITIAN. dengan diagnosis utama Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, yaitu dengan mencatat data-data yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 SKRIPSI

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 SKRIPSI EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 SKRIPSI Oleh : NUVIA DHIAR SAPUTRI K100080169 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMs PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG TESIS

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMs PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG TESIS KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMs PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG TESIS Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN OBAT UNTUK PENYAKIT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP. RSUD Dr. MOEWARDI PERIODE JANUARI - DESEMBER 2010 TUGAS AKHIR

POLA PENGGUNAAN OBAT UNTUK PENYAKIT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP. RSUD Dr. MOEWARDI PERIODE JANUARI - DESEMBER 2010 TUGAS AKHIR POLA PENGGUNAAN OBAT UNTUK PENYAKIT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI PERIODE JANUARI - DESEMBER 2010 TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

OBAT SALAH, KETIDAKTEPATAN DOSIS DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD

OBAT SALAH, KETIDAKTEPATAN DOSIS DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMs KATEGORI OBAT SALAH, KETIDAKTEPATAN DOSIS DAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN PNEUMONIA PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2010 SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini telah dilakukan di RSU Puri Asih Salatiga pada tanggal 23-25 Januari 2017. Data penelitian diperoleh dari 67 rekam medis pasien

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat. Penyakit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi asma Asma dikenal sebagai penyakit alergi, biasanya dimulai pada masa kanakkanak, dengan karakteristik obstruksi aliran udara yang reversibel dan bersifat episodik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi debit tinja dibandingkan dengan pola usus normal individu, merupakan gejala dari suatu penyakit sistemik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi atau Pengertian Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.pengetahuan

Lebih terperinci

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi. BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Adapun penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme, faktor lingkungan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut data World Health Organization (WHO) 2012, bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2007). World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 100 juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2007). World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 100 juta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

DRUG RELATED PROBLEMS PADA PENGOBATAN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2007 SKRIPSI

DRUG RELATED PROBLEMS PADA PENGOBATAN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2007 SKRIPSI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PENGOBATAN ASMA BRONKIAL DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh : SITI CHUMAEROH K 100 040 101 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. ISPA dapat diklasifikasikan menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

SKRIPSI FITRIA ARDHITANTRI K Oleh :

SKRIPSI FITRIA ARDHITANTRI K Oleh : IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS POTENSIAL KATEGORI DOSIS PADA PASIEN DI INSTALASI RAWAT JALAN BAGIAN ANAK RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA PERIODE JANUARI - JUNI 2007 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD DR. MOEWARDI TUGAS AKHIR

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD DR. MOEWARDI TUGAS AKHIR EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD DR. MOEWARDI TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya D3 Farmasi DHESI KURNIA

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN TEORITIS. sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari (Wong, 2003).

BAB II TUJUAN TEORITIS. sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari (Wong, 2003). BAB II TUJUAN TEORITIS 2.1. ASMA 2.1.1 Defenisi Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan nafas tempat banyak sel (sel mast, eosinofil, dan limfosit T) memegang peranan. Pada anak yang rentan, inflamasi

Lebih terperinci