BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Objek penelitian berada pada bagian barat daya Pegunungan Meratus, yaitu merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan itu maka pembahasan mengenai geologi regional daerah penelitian akan disajikan dalam empat tahapan, yaitu : 1. Fisiografi Regional, 2. Stratigrafi Regional, 3. Struktur Geologi Regional, 4. Sejarah Geologi Regional Fisiografi Regional Menurut Bemmelen (1949) pulau Kalimantan dibagi menjadi beberapa zona fisiografi, yaitu : 1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda. 2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak di lepas Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan yang dikenal sebagai sub cekungan Pasir. 3. Meratus Graben, terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah ini sebagai bagian dari cekungan Kutai. 8

2 9 4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat laut dan Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen. Gambar 2.1 Peta fisiografi Pulau Kalimantan (Sumber : Kusnama, 2008) Secara fisiografis, daerah penelitian termasuk ke dalam Pegunungan Meratus bagian selatan, yang dibatasi oleh Cekungan Barito di sebelah barat, Blok Paternoster di sebelah timur, dan Cekungan Kutai di bagian utara. (Gambar 2.1 ) Stratigrafi Regional Daerah penyelidikan secara regional termasuk bagian akhir barat daya dari Pegunungan Meratus, terdiri dari satuan batuan ultramafik, sekis talk klorit, peridotit

3 10 terserpentinisasi, dan batuan volkanik. Secara regional daerah penelitian tersusun oleh beberapa batuan yang berumur Pratersier sampai Kuarter antara lain meliputi : Batuan Ultramafik, Batuan Malihan, Gabro, Diabas, Basal, Andesit Porfir, Formasi Pudak Anggota Batukora. 1. Basal (Mba) Formasi pada batuan ini terdiri dari basal berwarna kelabu hitam, berhablur penuh hipidiomorf, berbutir tak seragam, berbutir halus sedang, porfiritik dengan fenokris plagioklas (labradorit) dan piroksen (augit), massa dasar mikrolit plagioklas dan piroksen yang memperlihatkan tekstur antar butir. Setempat amigdaloidal dengan rongga terisi mineral karbonat. Batuan ini terdapat bersama batuan ultramafik dan gabro. 2. Batuan Malihan (Mm) Formasi ini terdiri dari sekis hornblende, sekis muskovit, filit, sekis klorit dan kuarsit muskovit. Batuan malihan ini sebagian besar menempati bagian baratdaya Lembar, di G. Ladang Kapus, G Damargusang dan S. Aranio dekat bendungan Riam Kanan. Pentarikan K-Ar pada contoh batuan sekis hornblende dari S. Aranio menghasilkan umur 113 ± 1 juta tahun atau Kapur Awal. Hubungan dengan batuan sekitarnya adalah sentuhan tektonik 3. Batuan Ultramafik (Mub)

4 11 Formasi batuan ini terdiri dari hazburgit, websterlit, piroksenit dan serpentinit. Tersebar di sepanjang Pegunungan Bobaris, Peg Manjam dan Peg. Kusan yang hubungan dengan batuan sekitarnya adalah sentuhan tektonik. 4. Formasi Pudak Formasi batuan ini terdiri Lava dengan perselingan konglomerat/breksi vulkaniklastik (hialoklastik) dan batupasir kotor dengan olistolit batugamping, basal porfir, ignimbrite, batuan malihan dan ultramafik. Ukuran olistolit berkisar antara beberapa cm sampai ratusan m. Olistolit batugamping paling luas, mencapai 2 km. Bagian atas formasi menjemari dengan formasi Keramaian Struktur Geologi Regional Struktur geologi yang terdapat di Lembar Banjarmasin adalah antiklin, sinklin, sesar naik, sesar mendatar dan sesar turun. Sumbu lipatan umumnya berarah timurlaut baratdaya dan umumnya sejajar dengan arah sesar normal. Kegiatan tektonik daerah ini diduga telah berlangsung sejak Jaman Jura, yang menyebabkan bercampurnya batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada zaman Kapur Awal atau sebelumnya terjadi penerobosan granit dan diorit terhadap batuan ultramafikdan batuan malihan. Pada akhir Kapur Awal terbentuk kelompok Alino yang sebagian merupakan olistrostrom, diselingi dengan kegiatan gunungapi Kelompok Pitanak. Pada awal Kapur Akhir kegiatan tektonik menyebabkan tersesarkannya batuan ultramafik dan malihan ke atas Kelompok Alino. Pada Kala

5 12 Paleosen kegiatan tektonik menyebabkan terangkatnya batuan Mesozoikum, disertai penerobosan batuan andesit porfir. Pada Awal Eosen terendapkan Formasi Tanjung dalam lingkungan paralas. Pada Kala Oligosen terjadi genang laut yang membentuk Formasi Berai. Kemudian pada Kala Miosen terjadi susutlaut yang membentuk Formasi Warukin. Gerakan tektonik yang terakhir terjadi pada Kala Akhir Miosen, menyebabkan batuan yang tua terangkat, membentuk Tinggian Meratus, dan melipat kuat batuan Tersier dan pra-tersier. Sejalan dengan itu terjadilah penyesaran naik dan penyesaran geser yang diikuti sesar turun dan pembentukan Formasi Dahor pada Kala Plistosen Sejarah Geologi Menurut Sikumbang dan Heryanto (1994), Komplek akresi Bobaris Meratus, Kalimantan Selatan (Gambar2.2), membentuk punggungan en-echelon berarah timur laut barat daya. Komplek akresi tersebut disusun oleh batuan dasar berupa batuan malihan, batuan mafik ultramafik yang secara tektonik ditutupi oleh produk volkanik dan magmatik Kapur (Formasi Pitap) dan endapan volkaniklastik Kapur (Formasi Haruyan/Manunggul). Secara tidak selaras di atasnya ditutupi oleh endapan sedimen Tersier dan Kuarter. Hubungan satuan batuan umumnya berupa kontak tektonik sebagai hasil proses tektonik yang terjadi sejak Kapur sampai Tersier Akhir. Komplek akresi Bobaris Meratus dikontrol oleh kelurusan struktur berarah barat laut tenggara yang umumnya berupa sesar naik atau sesar anjak yang terbentuk

6 13 selama proses akresi. Sesar lainnya yang berarah utara-selatan atau timur lautbaratdaya diperkirakan sebagai sesar normal maupun sesar geser. Priyomarsono (1986), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komplek tersebut beserta batuan malihannya dianggap sebagai bagian dari litosfer samudera tua. Hasil temuan Hamilton dan Wakita et al (1998). menyebutkan terjadinya pembentukan komplek mélange di Pulau Laut berumur Akhir Kapur Tersier akibat subduksi kerak samudera tua. Tetapi Wakita et al., membedakan komplek akresi pegunungan Bobaris-Meratus berasosiasi dengan suatu busur ofiolit dalam komplek mélange Pulau Laut yang diperkirakan sebagai bagian dari lempeng kerak samudera tua. Sedangkan Parkinson (1998), menganggap komplek tersebut, terbentuk dalam lingkup ofiolit busur muka. Monnier et al (1999). melakukan studi geokimia batuan peridotit di kawasan telitian membuktikan bahwa ofiolit komplek Bobaris-Meratus berasosiasi dengan suatu ofiolit sub-kontinental tepian tenggara Lempeng Eurasia atau Sundaland dan tidak berasosiasi dengan suatu ofiolit dari MOR (Mid Oceanic Ridge) atau ofiolit busur. Pada kondisi actual, Komplek akresi pegunungan Bobaris-Meratus merupakan hasil alih tempat yang melibatkan proses geologi yang rumit sejak mulai Jura, Akhir Kapur sampai Tersier Akhir.

7 14 Gambar 2.2 Peta geologi Komplek akresi Bobaris-Meratus disederhanakan dari Sikumbang dan Heryanto (1994), Priyamarsono (1986), Hamilton (1979), Monnier et al (1999), Sikumbang dkk (1986), dan Zulkarnain dkk (1995), telah mencoba menerangkan mekanisme alih tempat komplek akresi Bobaris-Meratus seperti model obduksi, subduksi atau terbentuk langsung dari mantel atas. Hampir semua model umumnya berdasarkan data geologi permukaan dan studi petrologi geokimia batuan. Situmorang (1987) memberikan gambaran umum konfigurasi pegunungan Bobaris Meratus melalui data gravitasi. Tetapi dalam ulasannya tidak memberikan solusi terhadap permasalahan alih tempat batuan basa ultrabasa tersebut.

8 Konsep Ofiolit Ofiolit Definisi ofiolit menurut Penrose Field Conference, (1972) adalah sekelompok batuan yang berkomposisi mafik sampai ultramafik yang sekuennya dari bawah ke atas, yaitu : 1. Kompleks ultramafik (peridotit termetamorfik), terdiri dari lherzolit, hazburgit, dan dunit. Umumnya batuan memperlihatkan struktur tektonik metamorfik (banyak atau sedikit terserpentinisasi). 2. Kompleks gabro berlapis dan gabro massif. Gabro memiliki tekstur cumulus (mencakup peridotit cumulus serta piroksenit). Komplek gabro biasanya sedikit terdeformasi dibandingkan dengan kompleks ultramafik. 3. Kompleks retas berkomposisi mafik (diabas). 4. Kompleks batuan vulkanik berkomposisi mafic bertekstur bantal (basalt). Suatu ofiolit mungkin tidak lengkap (dismembered ophiolite) dan termetamorfis, dalam kasus ini ofiolit tersebut disebut sebagai ofiolit termetamorfisme. Susunan ofiolit yang tidak lengkap tersebut kemungkinan merupakan ofiolit yang dialihtempatkan secara obduksi (Coleman, 1971). Pada umumnya para peneliti terdahulu percaya bahwa ofiolit terbentuk pada Mid Oceanic Ridge. Walaupun demikian, sebagian yang lain (diantaranya Miyashiro, 1973) mengemukakan bahwa ofiolit dapat pula terbentuk pada lingkungan supra subduction zone di cekungan tepi benua. Di samping itu, Raymond (2002)

9 16 mengemukakan kemungkinan lain dimana sikuen batuan beku intrusi basa ultrabasa dapat menghasilkan kenampakan yang mirip ofiolit. Gambar 2.3 Litologi dan ketebalan dari sikuen ofiolit (Sumber : Boudier and Nicholas (1985)) Hasil Penrose Field Conference (1972) (Gambar 2.4), menyatakan bahwa kumpulan mineral dan sebagaian komposisi peridotit dari komplek ofiolit menunjukkan sejarah keseimbangan yang lebih cocok dengan sejarah metamorfik,

10 17 yaitu partial melting atau un-mixing pada kondisi tekanan dan temperatur yang bervariasi dalam mantel daripada fraksinasi kristal dari peleburan magma basaltik. Gambar 2.4 Sifat fisik ofiolit menurut Penrose Field Conference (1972) Ofiolit dan tektonik lempeng Berdasarkan konsep tektonik lempeng, ofiolit adalah massa batuan alokton yang merupakan bagian integral dari mekanisme lempeng yang terdapat di tepi benua (Coleman, 1986). Adanya pemekaran dasar samudera dapat membawa gabungan batuan yang terdapat di pematang tengah samudera ke tepi benua (Dietz, 1963). Hutcinson (1973) mengemukakan bahwa mekanisme pengalihtempatan ofiolit ke tepi benua meliputi tiga cara, yaitu :

11 18 1. Pengalihtempatan gawir gawir ofiolit yang tergeser ke dalam kawasan zona penunjaman yang terdeformasi. 2. Pengalihtempatan secara obduksi, yaitu pemotongan kerak samuderayang tersusun dari ofiolit lengkap oleh kerak benua. 3. Pengalihtempatan ofiolit lengkap akibat benturan dua massa kerak benua atau dua massa kerak samudera Hubungan ofiolit dengan mélange Coleman (1971) menyatakan bahwa ofiolit merupakan bongkah bongkah asing dalam mélange, di sini ditunjukkan bahwa mélange terdiri dari ofiolit. Proses deformasi metamorfisme dapat mengubah fragmen berlapis pada ofiolit menjadi campuran tektonik atau mélange dengan matriks berupa serpentinit. Mélange juga merupakan hasil percampuran dalam palung yang disebabkan oleh lengseran gayaberat yang kemudian diikuti oleh percampuran tektonik dalam zona penunjaman, Dari kedua pernyataan ini, dapat disimpulkan ofiolit dalam mélange dapat berperan sebagai salah satu penyusun mélange ataupun sebagai induk mélange Genesis Ofiolit Telah diketahui bahwa ofiolit dapat terbentuk bukan hanya pada lingkungan pematang tengah samudera (MOR), tetapi juga pada beberapa jenis lingkungan di depan maupun di belakang busur (Supra Subduction Zone), baik itu busur gunungapi maupun busur kepulauan. Hanya pada dua lingkungan tersebut ofiolit yang

12 19 sesungguhnya dapat terbentuk. Selain itu, ada beberapa kenampakan sikuen batuan beku yang ciri cirinya menyerupai ofiolit. Kenampakan mirip ofiolit ini (diantaranya berupa intrusi batuan ultrabasa basa) dapat terbentuk pada lingkungan yang lebih bervariasi, seperti misalnya di dalam kerak benua. Selain Dewey and Bird (1971), Metcalf (2001) juga mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai perbedaan ciri khas Ofiolit MOR dengan Ofiolit SSZ juga dapat ditampilkan dalam bentuk (Tabel 3.3) dibawah ini. Tabel 3.3 Perbandingan Ofiolit MOR dan Ofiolit SSZ Ofiolit MOR Ofiolit SSZ Umumnya tidak utuh / tidak lengkap Umumnya utuh dan lengkap Lavanya berkarakteristik kerak samudera Lavanya berkarakteristik island arc / Memperlihatkan tekstur mineral dan reaksi dalam keadaan sedikit air Umumnya tertindih batuan sedimen laut dalam Umumnya lapisan mantel berkomposisi lherzolite volcanic arc Memperlihatkan tekstur mineral dan reaksi dalam keadaan banyak air Umumnya tertindih beberapa lapisan lava dan volcaniclastic Umumnya lapisan mantel berkomposisi hazburgit. Moores (2002) mengemukakan bahwa sikuen sebuah ofiolit jika ditemukan dalam keadaan utuh dapat menceritakan proses khas pembentukannya, dan dengan demikian juga menceritakan lingkungan tektonik pembentuknya. Oleh karena itu, maka ofiolit yang berasosiasi dengan continental rift mengandung lapisan granit, ofiolit yang berasosiasi dengan busur mengandung batuan volkaniklastik, dan ofiolit

13 20 yang berasosiasi dengan hot spot mengandung lapisan tebal lava basalt (gambar 2.5). Dengan membandingkan parameter parameter tertentu pada sebuah ofiolit, akan dapat diperoleh kesimpulan mengenai lingkungan tektonik pembentuk ofiolit tersebut. Gambar 2.5 Perbandingan ketebalan dari kerak samudera dan kompleks ofiolit (Sumber : R.G. Coleman, 1971b.) 2.3 Petrologi Magma Magma merupakan larutan silikat yang terbentuk secara alami dan bersifat mudah bergerak, mengandung oksida, sulfide, dan volati. Volatil ini terutama terdiri atas CO2, S, Cl, F, dan Br yang banyak dikeluarkan ketika pembentukan magma.

14 21 Temperatur magma berkisar antara C (magma asam) sampai C (magma basa). Kedua jenis magma ini merupakan induk batuan beku (Larsen, 1938). kondisi, yaitu : Lingkungan pembentukan magma dapat dibedakan menjadi tiga macam 1. Plutonik Magma membeku jauh di dalam perut bumi pada kondisi tekanan tinggi. 2. Hipabisal Magma membeku pada kedalaman dangkal dari permukaan bumi. 3. Volkanik Magma membeku di permukaan bumi pada kondisi tekanan rendah. Kondisi lingkungan pembekuan magma ini akan tercermin pada tekstur batuan yang dihasilkannya. Pada pembekuan magma, mineral mineral anhydrous yang tidak mengandung gugus OH akan pertama kali terbantuk. Karena mineral tersebut terbentuk pada temperatur yang sangat tinggi, maka disebut mineral pirogenetik. Cairan selebihnya akan lebih banyak mengandung gugus hidroksil seperti amfibol, dan dinamakan mineral hidrogenetik. Berdasarkan temperaturnya, proses pembekuan magma dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu : 1. Tahap ortomagmatik Pembekuan magma pertama kali dengan temperatur lebih dari C.

15 22 2. Tahap pegmatik Pembekuan magma pada temperatur C C. 3. Tahap pneumatolitik Pembekuan magma pada temperatur C C, dimana larutan sisa kaya akan gas dan cairan. 4. Tahap Hidrotermal Pembekuan magma pada temperatur C C, berupa larutan sisa yang kaya akan gas dan larutan. Pada tahap ini terjadi ubahan mineral, yaitu mineral yang pertama terbantuk digantikan oleh mineral baru. Secara kimiawi, komposisi magma sangat bervariasi dalam jumlah dan jenisnya. Berdasarkan hasil analisis batuan vulkanik, senyawa kimiawi yang terdapat dalam magma dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu : 1. Senyawa yang bersifat volatile (CH 4, CO 2, HCl, H 2 S, SO 2, dan NH 3 ), 2. Senyawa yang berifat non volatile, merupakan ikatan kimia unsure yang berjumlah sekitar 90% (SiO 2, TiO 2, Al 2 O 3, Fe 2 O 3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na 2 O, K 2 O, dan P 2 O 5 ), 3. Trace element yang berjumlah sekitar 1% (Rb, Ba, Sr, Ni, Co, V, Co, Cr, Li, S, dan Pb). Turner dan Verhoogen (1960) mengelompokkan jenis magma menjadi tiga golongan magma primer, yaitu magma basaltic olivine, magma tholeiitik dan magma granodiorit granit. Magma baslatik olivine berasal dari kulit bumi bagian bawah.

16 23 Magma granodiorit granit berasal dari tingkat yang lebih tinggi dengan komposisi yang bervariasi mulai dari diorite kuarsa, granodiorit, dan granit yang sering berhubungan erat dengan proses orogenesa. Carmichael (1974), membedakan ada dua massa magma primer, yaitu magma granitic dan magma basaltic. Magma basaltic ini dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu magma thoeliitik dan magma basalt olivine. Magma thoeliitik dicirikan oleh mineral pigionit (enstatit dan augit), residual silica bersifat gelas Dan jarang ditemukan olivine, sedangkan batuan yang sering ditemukan adalah riolit dan granofir. Magma thoeliitik dihasilkan oleh peleburan sebagian peridotit pada kedalaman kurang dari 100 km. Magma basalt olivine banyak mengandung olivine, piroksen (titanit dan augite) dan residu alkali feldspar, nefelin dan zeolit. Jenis magma ini berkomposisi trakhitik dan phoenolit yang terbentuk pada kedalaman lebih dari 100 km. Beberapa faktor yang mempengaruhi evolusi magma adalah tempat dan cara magma terbentuk serta kondisi tempat yang dilalui magma saat bergerak. Mekanisme evolusi magma dapat dikelompokkan dalam pengertian asimilasi, diferensiasi dan pencampuran magma. Ketiga proses tersebut dalam evolusi magma dapat bekerja secara berurutan atau bersama sama. Proses diferensiasi meliputi semua kegiatan yang mengakibatkan suatu jenis magma induk yang semula relative homogeny terpecah pecah menjadi beberapa

17 24 bagian atau fraksi dengan komposisi yang berbeda beda. Hal ini disebabkan kerena migrasi ion atau molekul dalam larutan magma karena adanya perubahan temperatur dan tekanan. Akhirnya membentuk berbagai jenis batuan beku dengan komposisi yang berbeda beda pula. Proses diferensiasi magma secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Cairan sub magma, yaitu tidak bersatunya magma karena adanya perbedaan titik cair magma akibat proses kimia dan fisika. 2. Cairan yang kurang lebih terpisah sempurna satu dengan yang lain dalam daerah daerah yang berbeda bagian magmanya atau komposisinya Hubungan Komposisi Magma dengan Lingkungan Tektonik Lempeng Sejak Teori Tektonik Lempeng mulai diterima kalangan umum sekitar tahun 1960-an, sejak itu pula konsep hubungan antara komposisi magma dengan tempat pembentukannya dalam lingkungan lempeng tektonik mulai berkembang. Dalam Tektonik lempeng, terdapat tujuh jenis lingkungan yang memungkinkan terbentuknya magma dan diferensiasinya menjadi batuan beku yaitu mid oceanic ridges (MOR), Intra-continental rifts, island arc, active continental margins, back arc basin, ocean island basalt, miscellaneous intra continental activity. Setiap jenis lingkungan tersebut akan mengahsilkan magma dengan cirri khas tertentu pula yang umumnya dapat diamati dari komposisi kimianya. Dengan

18 25 menggunakan diagram yang telah dibuat para peneliti terdahulu antara lain dari Pearce (1977) dan Mullen (1983), asal magma batuan yang diteliti dapat ditentukan dengan tetap memperhatiakan aspek aspek lain yang terkait. Aspek aspek terkait yang dimaksud antara lain berupa data petrologi termasuk di dalamnya data petrografi dan data singkapan, yang memperlihatkan urutan dan asosiasi batuan, struktur, maupun tekstur yang merupakan penciri khas lingkungan tektonik tertentu. (tabel 2.2). Tatanan lempeng Kelompok magma Tabel 2.2 Klasifikasi tiga magma utama (Wilson, 1989) Batas lempeng Antar-lempeng Konvergen Divergen Kepulauan Pengangkatan (zona (pemetang samudera daratan (zona subduksi) samudera) lemah) Tholeiite calcalcaline Tholeiite Tholeiite olivine - alcaline Jenis gaya Kompresi Tension Kompresi minor Tholeiite olivine - alcaline Tension 2.4 Batuan Metamorf Definisi Batuan Metamorf dan Metamorfisme Batuan metamorf merupakan batuan hasil malihan dari batuan yang telah ada sebelumnya yang ditunjukkan dengan adanya perubahan komposisi mineral, tekstur dan struktur batuan yang terjadi pada fase padat (solid rate) akibat adanya perubahan temperatur, tekanan dan kondisi kimia di kerak bumi (Ehlers and Blatt, 1982).

19 26 Pada batuan silikat batas bawah terjadinya metamorfisme pada umumnya pada suhu C ± 50 0 C yang ditandai dengan munculnya mineral mineral Mg carpholite, Glaucophane, Lawsonite, Paragonite, Prehnite atau Slitpnomelane, sedangkan batas atas terjadinya metamorfisme sebelum terjadi pelelehan adalah berkisar C C tergantung pada jenis batuan asalnya (Bucher & Frey, 1994). Tekanan dapat menyebabkan terjadinya suatu metamorfisme bervariasi. Metamorfisme akibat intrusi magmatic dapat terjadi mendekati tekanan permukaan yang besarnya beberapa bar saja. Sedangkan metamorfisme yang terjadi pada suatu kompleks ofiolit dapat terjadi dengan tekanan lebih dari kbar (Bucher & Frey, 1944). Aktivitas kimiafluida dan gas yang berada pada jaringan antara butir batuan, mempunyai peranan yang penting dalam proses metamorfisme. Fluida aktif yang banyak berperan adalah air beserta karbon dioksida, asam hidrolik dan hidroflorik. Umumnya fluida dan gas tersebut bertindak sebagai katalis atau solven serta bersifat membentuk rekasi kimia dan penyeimbang mekanis (Huang WT, 1962) Tipe Tipe Metamorfisme Bucher dan Frey (1994) mengemukakan pendapatnya bahwa bredasarkan tatanan geologinya, proses metamorfisme dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Metamorfisme Regional / dinamothermal Metamorfisme regional atau dinamotermal merupakan proses metamorfisme yang terjadi pada daerah yang sangat luas. Proses metamorfisme ini dibedakan menjadi

20 27 tiga yaitu : metamorfisme orogenik, metamorfisme burial, dan metamorfisme dasar samudera. a. Metamorfisme Orogenik Proses metamorfisme ini terjadi pada daerah sabuk orogenik dimana terjadi proses deformasi yang menyebabkan rekristalisasi. Umumnya batuan yang dihasilkan mempunyai butiran mineral yang terorientasi dan membentuk sabuk yang melampar dari ratusan sampai ribuan kilometer. Proses metamorfisme ini memerlukan eaktu yang sangat lama berkisar antara puluhan juta tahun lalu. b. Metamorfisme Burial Proses metamorfisme ini terjadi akibat kenaikan tekanan dan temperatur pada daerah geosinklin yang mengalami sedimentasi intensif, kemudian terlipat. Proses yang terjadi adalah rekristalisasi dan rekasi antara mineral dengan fluida. c. Metamorfisme Dasar Samudera Proses metamorfisme ini terjadi akibat adanya perubahan pada kerak samudera di sekitar punggungan tengah samudera (mid oceanic ridges). Batuan metamorf yang dihasilkan umumnya berkomposisi basa dan ultrabasa. Adanya pemanasan air laut menyebabkan mudah terjadinya reaksi kimia antara batuan dan air laut tersebut. 2. Metamorfisme Lokal

21 28 Proses metamorfisme lokal ini merupakan suatu proses metamorfisme yang terjadi pada daerah yang sempit berkisar antara beberapa meter sampai kilometer saja, Proses metamorfisme ini dapat dibedakan menjadi : a. Metamorfisme Kontak Metamorfisme kontak terjadi pada batuan yang mengalami pemanasn di sekitar kontak massa batuan beku intrusive maupun ekstrusif. Perubahan terjadi karena pengaruh panas dan material yang dilepaskan oleh magma serta oleh deformasi akibat gerakan massa. Zona metamorfisme kontak disebut contact aureole. Proses yang terjadi umumnya berupa rekristalisasi, rekasi antara mineral, rekasi antara mineral dan fluida serta penggantian dan penambahan material. Batuan yang dihasilkan umumnya berbutir halus. b. Metamorfisme Thermal Metamorfisme thermal adalah jenis khusus metamorfisme kontak yang menunjukkan efek hasil temperatur yang tinggi pada kontak batuan dengan magma pada kondisi volkanik atau quasi volkanik. Contoh pada xenoliths atau pada zone dike. c. Metamorfisme Dinamik Metamorfisme ini terjadi pada daerah yang mengalami deformasi intensif, seperti pada patahan. Proses yang terjadi murni karena gaya mekanis yang mengakibatkan penggerusan dan granulasi batuan. Batuan yang dihasilkan bersifat non-foliasi dan dikenal sebagai fault breccias, fault gauge, atau milonit.

22 29 d. Metamorfisme Hidrotermal Metamorfisme ini terjadi akibat adanya perkolasi fluida atau gas yang panas pada jaringan antar butir atau pada retakan retakan batuan sehingga menyebabkan perubahan komposisi mineral dan kimia. Perubahan juga dipengaruhi oleh adanya confining pressure. e. Metamorfisme Impact Metamorfisme ini terjadi akibat adanya tabrakan hypervelocity sebuah meteorit. Kisaran waktunya hanya beberapa mikrodetik dan umumnya ditandai dengan terbentuknya mineral coesit dan stishovite. Metamorfisme ini erat kaitannya dengan geothermal. Sedangkan, berdasarkan tingkat metamorfismenya, maka batuan matamorf dibagi menjadi dua tipe yaitu : 1. Metamorfisme tingkat rendah (low-grade metamorfisme) Pada batuan metamorfisme tingkat rendah jejak kenampakan batuan asal masih dapat diamati dan penamaannya menggunakan awalan meta (-sedimen, -beku). 2. Metamorfisme tingkat tinggi (high-grade metamorfisme) Pada batuan metamorf tingkat tinggi jejak batuan asal sudah tidak tampak, malihan tertinggi membentuk migmatit (batuan yang sebagian besar bertekstur malihan dan sebagian lagi bertekstur beku atau igneous).

23 Facies Metamorfisme Proses metamorfisme bersifat tidak statis (Spear, 1993), dikarakteristikkan oleh perubahan kondisi tekanan, temperatur, dan stress. Temperatur merupakan faktor penting dalam proses metamorfik karena banyak reaksi metamorfik ditentukan oleh perubahan dalam temperatur. Terjadinya perubahan temperatur pada batuan memerlukan adanya penambahan panas. Sumber panas bisa dari intrusi (metamorfisme kontak) atau bersumber dari zona subduksi (metamorfisme regional). Tekanan dalam metamorfisme regional bergantung pada kedalaman. Semakin dalam semakin meningkat perubahan tekanannya. Sedangkan dalam metamorfisme kontak hanya temperatur yang memegang peranan. Gambar 2.6 Facies Metamorfisme berdasarkan temperatur, tekanan dan kedalaman (Winter, 2001)

24 31 Menurur Barker (1990), proses metamorfisme dikontrol oleh antara lain: perubahan temperatur dan tekanan, kimia fluida, perubahan fluida, rata rata tekanan dan lain lain. Tekanan merupakan fungsi penentuan kedalaman dalam kerak, sementara temperatur berfungsi untuk mengetahui gradient geothermal dan geothermal suatu wilayah. Pemahaman tentang proses metamorfisme penting karena batuan ini dapat memberikan informasi tentang evolusi geologi suatu daerah. Konsep fasies metamorfik didasarkan pada metamorfisme batuan mafik dan sejarah P dan T dari fasies metamorfik serta analisis paragenesa batuan mafiknya. Gambar 2.6 merupakan diagram Facies Metamorfisme berdasarkan temperatur, tekanan dan kedalaman (Winter, 2001). Mineral kelompok zeolit (zeo) merupakan indicator yang baik untuk temperatur metamorfisme tingkat paling rendah. Zona analsim heulandit pada fasies zeolit terbentuk pada temperatur C C. Kemudian zona ini diganti oleh zona laumontit yang terbentuk pada temperatur C C. Umumnya metamorfisme metabasit zona laumontit secara langsung masuk kedalam fasies prehnit pumpelit (PP) atau fasies prehnit aktinolit (PrA). Antara suhu C C, prehnit merupakan fase kunci dalam metabasit tingkat rendah dan berguna dalam indicator kondisi P dan T. Umumnya ubahannya langsung dari Ca-plagioklas atau sebagai pengganti zeolit yang terbentuk lebih awal. Dalam fasies prehnit pumpelit (PP) dan fasies prehnit aktinolit (PrA), piroksen terubah menghasilkan klorit, aktinolit, dan pumpelit (PA). Dengan meningkatnya temperatur, prehnit dan pumpelit menjadi tidak stabil dan diganti oleh mineral kelompok epidot.

25 32 Karakteristik fasies sekishijau (greenschist/gs) yaitu aktinolit (act) + klorit (chl) + kuarsa (qtz) + albit (ab) + epidot (epi) + sfen (spn). Transisi dari sekishijau ke fasies amfibolit adalah fasies epidot amfibolit ditandai dengan perubahan aktinolit ke hornblende dan albit ke oligoklas. Perubahan temperatur dan mineralogy dipengaruhi oleh tekanan dan kimia batuan, juga adanya miscibility gap dalam Ca-amfibol dan plagioklas (peristerit gap). Peristerit gap dalam batuan metabasit terbentuk pada tekanan rendah (2 kbar) dipelajari oleh Maruyama, et al (1982). Mereka menemukan bahwa zona transisi terdiri atas peristerit pairs + Epidot (epi) + klorit (chl) + Caamfibol (biasanya aktinolit + hornblende) + kuarsa (qtz) + sfen (spn) terbentuk pada temperatur C C. Pada temperatur yang lebih tinggi dari sekishijau, kumpulan mineral ini diganti oleh zona amfibolit (AM) terdiri atas plagioklas (An 20 An 50 ) + hornblende (hrb) + klorit (chl) + sfen (spn) + ilmenit (ilm). Di bawah kondisi tekanan lebih tinggi, amfibolit dikarakteristikkan oleh oligoklas (olg) + hornblende (hrb) + epidot (epi) + rutil (± kuarsa ± garnet). Jika metabasit termetamorfisme di bawah fasies granulit atau piroksen hornfels, dicirikan oleh kehadiran struktur granoblastik, dengan mineralogy terdiri atas: Opx (hipersten) + anortit (an) + plagioklas (plg) + Cpx + spinel (spl) + garnet (gnt). Dalam beberapa granulit, piroksen hornblende hadir pada temperatur C C. Di bawah kondisi fasies granulit tekanan tinggi, anortit plagioklas menjadi meningkat tidak stabil dan akhirnya mineral tersebut keluar. Garnet umumnya jarang teramati pada fasies piroksen hornfels sementara pada fasies granulit (GR) umumnya dapat teramati. Perubahan dari piroksenit pembawa spinel garnet dan lerzolit terjadi dalam fasies

26 33 granulit sampai fasies eklogit (EC). Dalam fasies eklogit, kumpulan mineralnya adalah Cpx (omfasit) + garnet dalam jumlah yang sama. Fase asesorisnya adalah kuarsa, rutil, dan kianit. Metabasit dari lingkungan sekirbiru didominasi oleh mineral Na-amfibol seperti glaukofan dan krosit. Kumpulan mineral dari sekisbiru (BS) mengindikasikan kondisi metamorfisme pada temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Pada tekanan lebih rendah dari fasies eklogit, fasies sekisbiru terbentuk pada tekanan 5 8 kbar dan pada temperatur C C. Mineralogi metabasitnya adalah galena + epidot (lawsonit + sfen + albit + kuarsa + klorit + mika putih + Stp + kalsit). Sekis biru pada tekanan lebih tinggi mengandung sedikit jadeit piroksen ke glaukofan. Banyak fasies sekisbiru merupakan transisi ke fasies sekishijau dan fasies epidot amfibolit. Dalam penambahan ke Na amfibol (glaukofan krosit), fasies sekisbiru bertemperatur lebih tinggi umumnya mengandung garnet dan amfibol sekunder seperti aktinolit atau Na-Ca amfibol diketahui sebagai baroisit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stratigrafi Regional Komplek akresi kolisi Kapur dalam paparan Sunda merupakan kumpulan batuan yang disrupted secara tektonik dimana pembentukannya dihasilkan oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Lokasi Penelitian Gambar 3. Letak cekungan Asam-asam (Rotinsulu dkk., 2006) Pulau Kalimantan umumnya merupakan daerah rawa-rawa dan fluvial. Selain itu juga terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1)

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) terbatas pada Daerah Komplek Luk Ulo dan Perbukitan Jiwo (Jawa Tengah), Ciletuh (Jawa Barat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Sulawesi Selatan) (Gambar 1.1). Setiawan dkk. (2013) mengemukakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Sulawesi Selatan) (Gambar 1.1). Setiawan dkk. (2013) mengemukakan bahwa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batuan metamorf merupakan batuan yang persebarannya terbatas di Indonesia dan muncul di tempat tertentu seperti Daerah Komplek Luk Ulo (Jawa Tengah), Komplek Meratus

Lebih terperinci

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK Batuan beku adalah batuan yang berasal dari pendinginan magma. Pendinginan tersebut dapat terjadi baik secara Ekstrusif dan Intrusif. Batuan beku yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36 PENGERTIAN BATUAN BEKU Batuan beku atau sering disebut igneous rocks adalah batuan yang terbentuk dari satu atau beberapa mineral dan terbentuk akibat pembekuan dari magma. Berdasarkan teksturnya batuan

Lebih terperinci

A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK)

A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK) A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK) Batuan Beku Ultrabasa (Ultramafik) adalah batuan beku dan meta -batuan beku dengan sangat rendah kandungan silika konten (kurang dari 45%), umumnya > 18% Mg O, tinggi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013

J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013 J.G.S.M. Vol. 14 No. 1 November 2013 29 ANOMALI GAYABERAT KAITANNYA TERHADAP KETERDAPATAN FORMASI PEMBAWA BATUBARA DI DAERAH BANJARMASIN DAN SEKITARNYA, KALIMANTAN SELATAN GRAVITY ANOMALY IN RELATION TO

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tipe batuan metamorf tersingkap di Indonesia bagian tengah yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf tersebut merupakan produk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. FISIOGRAFI Geologi regional P.Obi ditunjukkan oleh adanya dua lajur sesar besar yang membatasi Kep.Obi yaitu sesar Sorong-Sula di sebelah utara dan sesar Sorong Sula mengarah

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya.

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya. 4. Batuan Metamorfik 4.1 Kejadian Batuan Metamorf Batuan metamorf adalah batuan ubahan yang terbentuk dari batuan asalnya, berlangsung dalam keadaan padat, akibat pengaruh peningkatan suhu (T) dan tekanan

Lebih terperinci

proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T).

proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T). BATUAN METAMORF 1. Proses metamorfosis : proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T). Proses isokimia 2. Macam-macam proses metamorfosis -Regional (dinamo-termal),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH Oleh Aton Patonah NIM : 22004001 Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tanggal... Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian geologi karena pada daerah ini banyak terdapat singkapan batuan yang terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI Disusun oleh: REHAN 101101012 ILARIO MUDA 101101001 ISIDORO J.I.S.SINAI 101101041 DEDY INDRA DARMAWAN 101101056 M. RASYID 101101000 BATUAN BEKU Batuan beku

Lebih terperinci

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, api) adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan

Lebih terperinci

SISTEM VULKANISME DAN TEKTONIK LEMPENG

SISTEM VULKANISME DAN TEKTONIK LEMPENG SISTEM VULKANISME DAN TEKTONIK LEMPENG I. Mekanisme Pelelehan Batuan Suatu batuan tersusun atas campuran dari beberapa mineral dan cenderung dapat meleleh pada suatu kisaran suhu tertentu ketimbang pada

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9

KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9 KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9 BERDASARKAN PROTOLITNYA & UKURAN BUTIR PROTOLIT TIPE BATUAN NAMA BATUAN Batulempung pelites metapelit Batupasir psammite metapsamit Batulempung campuran

Lebih terperinci

Magma dalam kerak bumi

Magma dalam kerak bumi MAGMA Pengertian Magma : adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah bersifat mobil, suhu antara 900-1200 derajat Celcius atau lebih yang berasal dari kerak bumi bagian bawah.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar.

Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar. Afinitas magma merupakan perubahan komposisi komposisi kimia yang terkandung didalam magma yang disebabkan oleh oleh adanya factor factor tertentu. Aktifitas aktifitas magma ini bisa berbeda satu sama

Lebih terperinci

CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks

CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks Nama Kelompok : NORBAYAH A1A513227 YOGA PURWANINGTIYAS A1A513210 SAFARIAH A1A513223 DOSEN PEMBIMBING: Drs. H. SIDHARTA ADYATMA, Msi. Dr.

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrogenesis merupakan bagian dari ilmu petrologi yang menjelaskan tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer terbentuknya batuan hingga

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II. 1 KERANGKA GEOLOGI REGIONAL Sebelum membahas geologi daerah Tanjung Mangkalihat, maka terlebih dahulu akan diuraikan kerangka geologi regional yang meliputi pembahasan fisiografi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatera terletak di sepanjang tepi baratdaya dari Sundaland (tanah Sunda), perluasan Lempeng Eurasia yang berupa daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

MAGMA GENERATION. Bab III : AND SEGREGATION

MAGMA GENERATION. Bab III : AND SEGREGATION MAGMA GENERATION Bab III : AND SEGREGATION VOLCANIC SYSTEM Parfitt, 2008 Chapter 3 : Magma Generation and Segregation MEKANISME PELELEHAN MAGMA Temperatur di mana pelelehan pertama dimulai pada batuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian, yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional,

Lebih terperinci

IV. BATUAN METAMORF Faktor lingkungan yang mempengaruhi

IV. BATUAN METAMORF Faktor lingkungan yang mempengaruhi IV. BATUAN METAMRF Faktor lingkungan yang mempengaruhi Batuan metamorf adalah batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya dari batuan yang sudah ada, baik batuan beku, sedimen maupun sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografis. Pembagian zona tersebut dari Utara ke Selatan meliputi

Lebih terperinci

Pengertian Dinamika Geologi. Dinamika Geologi. Proses Endogen. 10/05/2015 Ribka Asokawaty,

Pengertian Dinamika Geologi. Dinamika Geologi. Proses Endogen. 10/05/2015 Ribka Asokawaty, Pengertian Dinamika Geologi Dinamika Geologi Dinamika Geologi merupakan semua perubahan geologi yang terus-menerus terjadi di bumi, baik karena proses eksogen maupun proses endogen. Ribka F. Asokawaty

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

Lokasi. XI, Pulau Sari 2, Gunung Raja 1, Pantai Linoh 2 dan kebun Tanjung 3. Pedon-pedon

Lokasi. XI, Pulau Sari 2, Gunung Raja 1, Pantai Linoh 2 dan kebun Tanjung 3. Pedon-pedon Lokasi Lokasi daerah penelitian terletak di daerah perkebunan febu Proyek Inti Rakyat (PIR) Gula I Pelaihari. Daerah perkebunan ini berada kurang lebih 60 km sebelah selatan Banjarmasin, yang tercakup

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Thorp dkk. (1990; dalam Suwarna dkk., 1993) membagi fisiografi wilayah Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi 5 zona fisiografi (Gambar 2.1,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

ANALISIS GEOKIMIA LOGAM Cu, Fe PADA BATUAN DASIT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

ANALISIS GEOKIMIA LOGAM Cu, Fe PADA BATUAN DASIT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN PROSIDING 20 13 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK ANALISIS GEOKIMIA LOGAM Cu, Fe PADA BATUAN DASIT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Jurusan Teknik Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA

MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA MODUL III DIFERENSIASI DAN ASIMILASI MAGMA Sasaran Pembelajaran Mampu menjelaskan pengertian dan proses terjadinya diferensiasi dan asimilasi magma, serta hubungannya dengan pembentukan mineral-mineral

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrologi merupakan suatu cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi batuan beku

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tektonik Sumatera Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas. Diapir-diapir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama berupa plagioklas, kuarsa (C6-C7) dan k-feldspar (D3-F3).

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci