BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stratigrafi Regional Komplek akresi kolisi Kapur dalam paparan Sunda merupakan kumpulan batuan yang disrupted secara tektonik dimana pembentukannya dihasilkan oleh berbagai macam proses geologi yang kompleks. Salah satunya tersebar di kompleks Lok Ulo, Jawa Tengah (Hamilton, 1989; Parkinson, dkk., 1998; Wakita, 2000). Penelitian kompleks melange Lok Ulo, daerah ini telah dilakukan oleh Asikin (1974) membahas evolusi Lok Ulo dengan konsep tektonik baru (plate tektonik); Suparka (1987) membahas petrologi dan geokimia ofiolit Lok Ulo; Handoyo, dkk (1995) mendalami karakteristik melange dan olisostrom; Miyazaki, dkk (1998) membahas batuan glaukofan kuarsa jadeit dari Karangsambung Jawa Tengah; Parkinson, dkk., (1998) membahas tentang tektonik batuan metamorfik derajat tinggi berumur Pra Tersier dan asosiasi batuan Jawa, Kalimantan dan Sulawesi; Wakita (2000) tentang kompleks akresi dan kolisi Kapur di Indonesia Tengah; Permana, dkk (2005 & 2006) tentang penelitian batuan metamorf derajat tinggi di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Komplek ofiolit Karangsambung Utara menurut Suparka (1987) disusun oleh batuan ultramafik (harsburgit terserpentinisasi, serpentinit, lersolit hornblende) dan batuan mafik (gabro, basalt, serta diabas). Mineral penyusun batuan mafik terdiri dari plagioklas, dan piroksen sebagai komponen utama. Gabro, basalt dan diabas umumnya aphyric, dapat digolongkan ke dalam toleit. Batuan ultramafik bertekstur kumulat, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh pengendapan gravitasi dari magma primer (gambar 2.1). Umur kompleks melange Lok Ulo adalah Kapur Bawah sampai Paleosen (Asikin,1974). Sementara berdasarkan pentarikhan umur dari salah satu bongkah porfir kuarsa di dalam melange (Kenter,dkk;1976, dalam disertasi Suparka, 1987) menunjukkan umur 65 juta tahun atau batas antara Kapur Akhir dan Paleosen; pentarikhan umur dilakukan dengan menggunakan metode jejak belah (fission track) terhadap mineral zirkon dari batuan porfir kuarsa. Selain itu, pentarikhan umur dilakukan pada sekis dari komplek yang sama, berdasarkan metode K-Ar didapatkan umur 117 ± 1,1 juta tahun dan filit dengan metode 5

2 6 Rb-Sr berumur 85 juta tahun. Suparka (1987) melakukan pentarikhan umur kelompok ofiolit menggunakan penarikan radiometri K-Ar, yaitu pada basalt dan diabas yang mewakili kelompok ofiolit serta sekis mika (batuan metamorf) didapatkan umur batuan berturut-turut adalah 81 ± 4,06 juta tahun dan 85,03 ± 4,25 juta tahun; batuan sekis mika diperoleh umur 101,71 ± 5,15 juta tahun. Peneliti lainnya, yaitu Wakita, dkk (1994b, dikutip dari Parkinson dkk., 1998) mengatakan bahwa komplek Lok Ulo berumur Kapur Awal Kapur Akhir berdasarkan analisa pada batuan sedimen (kumpulan radiolaria) dari shale sampai chert. Pola umum struktur kompleks melange Lok Ulo berarah Timur Barat dimana blok tektonik tersusun atas sekis kristalin, filit, marmer, riolit, dasit, batuan mafik dan ultra mafik, gamping, rijang, serpih silikaan, serpih, batupasir dan konglomerat, terdapat sebagai keratan tektonik dan sebagai blok fault-bounded. Kompleks ini ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Karangsambung yang berumur Eosen (gambar 2.2). 2.2 Kerangka Tektonik Jawa Perkembangan tektonik pulau Jawa telah diuraikan oleh para peneliti terdahulu seperti Asikin (1974), Hamilton (1989), Parkinson dkk., (1998), Wakita (2000) dan Sribudiyani, dkk (2003). Perkembangan tektonik pulau Jawa dimulai pada waktu Kapur Awal sejak terpisahnya lempeng Hindia Australia dari lempeng Antartika, yaitu pada saat kerak samudera Hindia bergerak ke utara mendekati kerak benua Eurasia (Asikin, 1974; Hamilton, 1989; Wakita, 2000; dan Sribudiyani, dkk., 2003) (gambar 2.3). Subduksi antara kerak samudera Hindia dengan kerak tepian benua Eurasia terjadi pada kala Kapur Akhir - Tersier Awal dengan lajur tunjaman berbentuk melengkung. Di Sumatera, Jawa dan Kalimantan arah lajur tunjaman membentuk sudut yang miring terhadap gaya utama (Hamilton, 1979). Kecepatan penunjaman kerak samudera Hindia terhadap kerak benua Eurasia 5 10 cm/tahun (Hamilton,1979). Selama proses penunjaman, terjadi aktivitas volkanomagmatik yang berumur Kapur Akhir Tersier Awal. Bersamaan dengan berjalannya proses penunjaman, terbentuk satuan batuan komplek akresi berupa komplek melange yang merupakan kumpulan batuan asal kerak samudera dan kerak benua. Proses akresi menurut Wakita (2000) berkembang sepanjang

3 7 tepian paparan Sunda dimana bagian kompleks Lok Ulo merupakan tipikal accretionary wedge yang terbentuk dari proses akresi kerak samudera pada umur Kapur. Sementara itu, Sribudiyani, dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat keterlibatan mikrokontinen Gondwana selain terjadi subduksi. Proses subduksi pada Tersier Awal berpengaruh pada bagian bawah Formasi Karangsambung, yakni pada kala Eosen (Asikin, 1974). Pada kala Eosen Awal sampai Oligosen Awal kecepatan penunjaman kerak samudera Hindia terhadap kerak tepian benua Eurasia berkurang menjadi 2,16 cm/tahun (Hamilton, 1979) sehingga akibat pengurangan kecepatan ini, terjadi gaya kompresi pada bagian cekungan belakang busur, cekungan muka busur dan komplek akresi yang disertai dengan gerakan vertikal mengakibatkan sebagian dari komplek akresi mengalami pengangkatan. 2.3 Landasan Teori Batuan Metamorf Bates dan Jackson (1980) mendefinisikan metamorfisme sebagai perubahan mineralogi, struktur kristal batuan dalam kondisi padat yang terjadi pada kedalaman dibawah zona pelapukan dan sementasi. Batuan metamorfik berbeda secara mineralogi dari kondisi batuan asalnya. Proses metamorfisme bersifat tidak statis (Spear, 1993), dikarakteristikkan oleh perubahan kondisi tekanan, temperatur, dan strain. Temperatur merupakan faktor penting dalam proses metamorfik karena banyak reaksi metamorfik ditentukan oleh perubahan dalam temperatur. Terjadinya perubahan temperatur pada batuan memerlukan adanya penambahan panas. Sumber panas bisa dari intrusi (metamorfisme kontak) atau bersumber dari zona subduksi (metamorfisme regional). Tekanan dalam metamorfisme regional bergantung pada kedalaman. Semakin dalam, semakin meningkat perubahan tekanannya. Sedangkan dalam metamorfisme kontak hanya temperatur yang memegang peranan. Menurut Barker (1990), proses metamorfisme dikontrol oleh antara lain: perubahan temperatur dan tekanan, kimia fluida, perubahan fluida, rata-rata tekanan dan lain-lain. Tekanan merupakan fungsi penentuan kedalaman dalam kerak, sementara temperatur berfungsi untuk mengetahui gradien geothermal dan geothermal suatu wilayah. Pemahaman tentang proses metamorfisme penting karena batuan ini dapat memberikan informasi tentang evolusi geologi suatu daerah.

4 Konsep Fasies metamorf Konsep fasies pertama kali diusulkan oleh Eskola (1920, 1939), Korzhinskii (1959), Coombs, dkk (1960, 1961), Winkler (1974) dan Miyashiro (1973, 1974). Menurut Miyashiro, fasies metamorf yaitu batuan yang terekristalisasi pada temperatur, tekanan dan potensial kimia H 2 O tertentu. Tiap individu zona dibatasi oleh perubahan mineral mayor. Miyashiro menghindari kesukaran dalam mengadopsi luasnya data P T individu fasies metamorfik dan konsentrasi deskripsi urutan metamorfik progresif dalam batuan metamorf. Oleh karena itu, Miyashiro membagi fasies metamorf terbagi ke dalam 10 fasies, yaitu ; 1. Fasies sekis hijau terdiri atas kumpulan mineral aktinolit + klorit + epidot + albit. 2. Fasies amfibolit epidot dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral albit + epidot + hornblende. Amfibolit epidot dibedakan dari sekis hijau yaitu oleh adanya hornblende selain aktinolit. 3. Fasies amfibolit ditandai oleh asosiasi mineral plagioklas intermedier (Na Ca plag) plagioklas basa (Ca plag) dan hornblende. 4. Fasies granulit terdiri atas kumpulan mineral orto & klinopiroksen + garnet almandin pirop. 5. Fasies sekis glaukofan dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral glaukofan + lawsonit + kuarsa. 6. Fasies eklogit terdiri atas kumpulan mineral klinopiroksen (omphacite) + Mg garnet + kuarsa (atau kianit). 7. Fasies piroksen hornfels dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral orto & klinopiroksen dan tidak adanya garnet almandin dan pirop. 8. Fasies sanidinit mewakili temperatur paling tinggi kombinasi dengan batuan tekanan rendah. Fasies ini terdiri atas kumpulan mineral klinopiroksen + labradorit + kuarsa. 9. Fasies prehnit pumpelit dikarakteristikkan oleh hadirnya mineral prehnit dan pumpelit. 10. Fasies zeolit ditandai oleh hadirnya mineral stilbit + heulandit + laumontit + wairakit dengan meningkatnya temperatur. Namun, dalam hal ini penulis memakai klasifikasi Barker (1990) karena merupakan hasil gabungan dari para peneliti sebelumnya serta mengambil perhitungan empiris observasi dan pertimbangan teori yang diperlukan.

5 9 Konsep fasies metamorfik menurut Barker (1990) didasarkan pada proses metamorfisme dan pemahaman sejarah P dan T dari fasies metamorfik serta analisis paragenesa batuan protolithnya. Barker (1990) membuat klasifikasi fasies metamorfik yang berasal dari batuan beku mafik (gambar 2.4); 1. Mineral kelompok zeolit (zeo) merupakan indikator yang baik untuk temperatur metamorfisme tingkat paling rendah. Zona analsim-heulandit pada fasies zeolit terbentuk pada temperatur 100 o C 200 o C. Kemudian zona ini diganti oleh zona laumontit yang terbentuk pada temperatur 200 o C 275 o C. 2. Metamorfisme metabasit zona laumontit secara langsung masuk kedalam fasies prehnit pumpelit (PP) atau fasies prehnit aktinolit (PrA). Antara suhu 300 o C 400 o C, prehnit merupakan fase kunci dalam metabasit tingkat rendah dan berguna dalam indikator kondisi P dan T. Umumnya ubahannya langsung dari Ca-plagioklas atau sebagai pengganti zeolit yang terbentuk lebih awal. 3. Dalam fasies prehnit pumpelit (PP) dan fasies prehnit aktinolit (PrA), piroksen terubah menghasilkan klorit, aktinolit, dan pumpelit (PA). Dengan meningkatnya temperatur, prehnit dan pumpelit menjadi tidak stabil dan diganti oleh mineral kelompok epidot. 4. Karakteristik fasies sekishijau (greenschist/gs) yaitu aktinolit (act) + klorit (chl) + kuarsa (qtz) + albit (ab) + epidot (ep)+ sfen (spn). 5. Transisi dari sekishijau ke fasies amfibolit adalah fasies epidot amfibolit ditandai dengan perubahan aktinolit ke hornblende dan albit ke oligoklas. Perubahan temperatur dan mineralogi dipengaruhi oleh tekanan dan kimia batuan, juga adanya miscibility gap dalam Ca-amfibol dan plagioklas (peristerit gap). Peristerit gap dalam batuan metabasit terbentuk pada tekanan rendah (2 kbar) (Maruyama, et al (1982). Mereka menemukan bahwa zona transisi terdiri atas peristerit pairs + Epidot (ep) + klorit (chl) + Ca-amfibol (biasanya aktinolit + hornblende) + kuarsa (qtz) + sfen (spn) terbentuk pada temperatur 370 o C 420 o C. 6. Pada temperatur yang lebih tinggi dari sekishijau, kumpulan mineral ini diganti oleh zona amfibolit (AM) terdiri atas plagioklas (An 20 -An 50 ) + hornblende (hrb) + klorit (chl) + sfen (spn)+ ilmenit (ilm). Di bawah kondisi tekanan lebih tinggi, amfibolit dikarakteristikkan oleh oligoklas (olg) + hornblende (hrb) + epidot (ep) + rutil (± kuarsa ± garnet).

6 10 7. Jika metabasit termetamorfisme di bawah fasies granulit atau piroksen hornsfel, dicirikan oleh kehadiran struktur granoblastik, dengan mineralogi terdiri atas : Opx (hipersten) + anortit (an) + plagioklas (plg) + Cpx + spinel (spl) + garnet (gnt). Dalam beberapa granulit, Piroksen hornblende hadir pada temperatur 700 o C 750 o C. 8. Di bawah kondisi fasies granulit tekanan tinggi, anortit plagioklas menjadi meningkat tidak stabil dan akhirnya mineral tersebut keluar. Garnet umumnya jarang teramati pada fasies piroksen hornfels sementara pada fasies granulit (GR) umumnya dapat teramati. Perubahan dari piroksenit pembawa spinel garnet dan lerzolit terjadi dalam fasies granulit sampai fasies eklogit (EC). 9. Dalam fasies eklogit, kumpulan mineralnya adalah Cpx (omfasit) + garnet dalam jumlah yang sama. Fase asesorisnya adalah kuarsa, rutil dan kianit. Metabasit dari lingkungan sekisbiru didominasi oleh mineral Na-amfibol seperti glaukofan dan krosit. 10. Kumpulan mineral dari sekisbiru (BS) mengindikasikan kondisi metamorfisme pada temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Pada tekanan lebih rendah dari fasies eklogit, fasies sekisbiru terbentuk pada tekanan 5-8 kbar dan pada temperatur 200 o C 350 o C. Mineralogi metabasitnya adalah galena + epidot (lawsonit) + sfen + albit + kuarsa + klorit + mika putih + Stp + kalsit). Sekis biru pada tekanan lebih tinggi mengandung sedikit jadeit piroksen ke glaukofan. Banyak fasies sekisbiru merupakan transisi ke fasies sekishijau dan fasies epidot amfibolit. Dalam penambahan ke Na amfibol (glaukofan krosit), fasies sekisbiru bertemperatur lebih tinggi umumnya mengandung garnet dan amfibol sekunder seperti aktinolit atau Na-ca amfibol diketahui sebagai baroisit fasies metamorf. Untuk fasies metamorfik pelit dan psammit berdasarkan pada klasifikasi Barker (1990) (gambar 2.5). Ilit merupakan fase silikat berlembar yang dominan dalam pelit, terbentuk pada temperatur 215 o C 280 o C. Ilit digantikan oleh muskovit pada temperatur 270 o C 280 o C. Selama low grade metamorphism, klorit berubah strukturnya dari tipe 1b menjadi II b. ini terjadi pada temperatur 150 o C 200 o C. Di atas 300 o C batuan tersebut masuk ke dalam bagian bawah fasies sekis hijau. Pelit mempunyai komposisi Chl + Ms + Qtz + Ab (±cal). Kumpuan mineral tersebut terbentuk pada temperatur 300 o C 425 o C. Peningkatan temperatur dari low sekis hijau upper sekis hijau ditandai dengan hadirnya biotit, yaitu pada temperatur 425 o C 450 o C. Pada beberapa tempat garnet spesartin memungkinkan terdapat dalam batuan tersebut, tetapi porfiroblast garnet spesartin hanya terbentuk pada

7 11 temperatur 450 o C 500 o C. Meskipun garnet spesartin mungkin terjadi pada sekis hijau, adanya garnet almandin merupakan indikasi kondisi fasies epidot amfibolit atau lebih tinggi. Karakteristik mineral lain pada kondisi fasies sekis hijau epidot amfibolit adalah kloritoid. Pemunculan kloritoid mulai terbentuk pada temperatur 525 o C 560 o C. pada temperatur lebih dari 525 o C 560 o C, kloritoid keluar membentuk staurolit. Pemunculan staurolit dan kyanit dalam pelit (mid amphibolite facies) menunjukkan kondisi P dan T minimum, yaitu pada temperatur > 550 o C dengan tekanan P > 5 kbar. Pada kondisi mid amphibolite facies (P = 6 8 kbar; T = 600 o C 670 o C) kianit merupakan polimorf dominan, tipikal kumpulan pelit menjadi Ky + Grt + Bt + Olg + Qtz (±Ms). Lebih atas dari amphibolite facies, masuk ke dalam fasies granulit (P = 7 9 kbar; T = 670 o C 800 o C), muskovit keluar membentuk k felspar). Pada temperatur di atas 640 o C terjadi partial melting atau anateksis biasanya terjadi pada pelit dan memberikan pemunculan granitoid. Masuknya metamorfik kontak, yaitu hadirnya biotit mengindikasikan temperatur 425 o C atau lebih besar. Pada temperatur ini, porfiroblast andalusit umum dalam litologi pelitik. Andalusit merupakan indikator sangat baik pada kondisi tekanan rendah. Andalusit tidak stabil di atas P = 4,5 kbar dan merupakan tipikal P < 4 kbar. Di atas 515 o C 550 o C, porfiroblast kordierit terbentuk dan kumpulannya adalah And + Crd + Bt. Dalam kasus lain, staurolit berkembang memberikan asosiasi And + St + Bt. Pada P = 3 kbar, reaksi andalusit silimanit terbentuk pada temperatur 590 o C. Silimanit prismatik terbentuk pada temperatur lebih tinggi, muskovit pecah dan membentuk k felspar. Dalam wilayah fasies sekis biru (tekanan tinggi temperatur rendah) pelit menunjukkan sedikit reaksi. Pada tekanan menengah mereka dikarakteristikkan oleh kumpulan fase yang sama dengan fasies sekis hijau. Kumpulan fase pelit fasies sekis biru adalah Chl + mika putih + Ab + Qtz (±Stp, Cal, Ep + opak (Ilm atau Py).

8 12 Skala 1 : (Mod. Asikin,dkk 1992 & Condon, dkk 1996) Keterangan : Tmwt Anggota Tuf Formasi Waturanda KTs Grewake Kog Gabro Tomt Formasi Totogan KTm Batuan Terbreksikan Teol Batugamping Terumbu Km Sekis dan Filit KTl Komplek Lok Ulo Kose Serpentinit Gambar 2.1 Geologi Regional Daerah penelitian yang terletak di kawasan Karangsambung dan Banjarnegara, kabupaten Kebumen, provinsi Jawa Tengah.

9 13 Gambar 2.2 Stratigrafi regional daerah kompleks melange Lok Ulo, Jawa Tengah (Asikin; 1974 dan Prasetyadi; 2006).

10 14 Gambar 2.3 komponen utama pada komplek akresi kolisi Kapur (Wakita, 2000). Kompleks ini terdistribusi antara sebuah kontinen (Sundaland) dan mikrokontinen (Paternoster, Buton, dll). Komplek akresi Kapur Akhir terdistribusi di (1) Ciletuh, (2) Karangsambung, (3) Jiwo Hill, (4) Bantimala, (5) Barru, (6) Latimojong, (7) Pompangea, (8) Meratus, (9) Pulau Laut.

11 15 Gambar 2.4 Klasifikasi fasies metamorfik menurut Barker (1990). Zeo (fasies zeolit), PP (fasies prehnit-pumpelit), PrA (fasies prehnit-aktinolit), PA (fasies pumpelit-aktinolit), GS (fasies sekishijau), EA (fasies epidot amfibolit), AM (fasies amfibolit), BS (fasies sekis biru), GR (fasies granulit), EC (fasies eklogit).

12 16 Gambar 2.5 Klasifikasi fasies metamorfik pelitik dan psammitik menurut Barker (1990)

13 Skala 1 : (Mod. Asikin,dkk 1992 & Condon, dkk 1996) Keterangan : Tmwt Formasi Waturanda KTl Komplek Lok Ulo Km Sekis dan Filit Skala 1 : Tomt Teol Formasi Totogan Batugamping Terumbu KTs KTm Grewake Batuan Terbreksikan Kose Kog Serpentinit Gabro Gambar 2.1 Geologi Regional Daerah penelitian yang terletak di kawasan Karangsambung dan Banjarnegara, kabupaten Kebumen, i i h

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1)

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) terbatas pada Daerah Komplek Luk Ulo dan Perbukitan Jiwo (Jawa Tengah), Ciletuh (Jawa Barat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Sulawesi Selatan) (Gambar 1.1). Setiawan dkk. (2013) mengemukakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Sulawesi Selatan) (Gambar 1.1). Setiawan dkk. (2013) mengemukakan bahwa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batuan metamorf merupakan batuan yang persebarannya terbatas di Indonesia dan muncul di tempat tertentu seperti Daerah Komplek Luk Ulo (Jawa Tengah), Komplek Meratus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Beberapa tipe batuan metamorf tersingkap di Indonesia bagian tengah yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi (Gambar 1.1). Kompleks metamorf tersebut merupakan produk

Lebih terperinci

BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH BATUAN METAMORF KOMPLEKS MELANGE LOK ULO, KARANGSAMBUNG BANJARNEGARA, JAWA TENGAH Oleh Aton Patonah NIM : 22004001 Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tanggal... Pembimbing

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9

KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9 KLASIFIKASI BATUAN METAMORF IDARWATI - KULIAH KE-9 BERDASARKAN PROTOLITNYA & UKURAN BUTIR PROTOLIT TIPE BATUAN NAMA BATUAN Batulempung pelites metapelit Batupasir psammite metapsamit Batulempung campuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Objek penelitian berada pada bagian barat daya Pegunungan Meratus, yaitu merupakan Kompleks Melange Pegunungan Bobaris Meratus, sehubungan dengan itu maka pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian geologi karena pada daerah ini banyak terdapat singkapan batuan yang terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

SESI -3 BATUAN METAMORF

SESI -3 BATUAN METAMORF MATERI INI BERDASAR PELATIHAN PETROLOGI SESI -3 BATUAN METAMORF Prof. Emmy Suparka 2015 Metamorfisme berarti PERUBAHAN 1. Perubahan dalam kondisi menyebabkan perubahan mineralogy dan tekstur batuan. 2.

Lebih terperinci

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya.

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya. 4. Batuan Metamorfik 4.1 Kejadian Batuan Metamorf Batuan metamorf adalah batuan ubahan yang terbentuk dari batuan asalnya, berlangsung dalam keadaan padat, akibat pengaruh peningkatan suhu (T) dan tekanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian, yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional,

Lebih terperinci

proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T).

proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T). BATUAN METAMORF 1. Proses metamorfosis : proses ubahan akibat perubahan Tekanan (P), Temperatur (T) atau keduanya (P dan T). Proses isokimia 2. Macam-macam proses metamorfosis -Regional (dinamo-termal),

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Semua proses kegiatan penelitian mulai dari pengambilan conto batuan, metode penelitian sampai pembuatan laporan disederhanakan dalam bentuk diagram alir (gambar 3.1). 3.1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BATUAN METAMORF BAYAH di DESA CIGABER, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

KARAKTERISTIK BATUAN METAMORF BAYAH di DESA CIGABER, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN KARAKTERISTIK BATUAN METAMORF BAYAH di DESA CIGABER, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Aton Patonah & Ildrem Syafri Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Tenik Geologi, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

Petrogenesis Batuan Metamorf di Perbukitan Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah

Petrogenesis Batuan Metamorf di Perbukitan Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah Petrogenesis Batuan Metamorf di Perbukitan Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah Anis Kurniasih 1*, Ikhwannur Adha 2, Hadi Nugroho 1, Prakosa Rachwibowo 1 1 Departemen Teknik Geologi UNDIP, Jl. Prof.

Lebih terperinci

Karakteristik Exotic Block Batuan Metamorf Pada Komplek Melange Luk Ulo

Karakteristik Exotic Block Batuan Metamorf Pada Komplek Melange Luk Ulo Karakteristik Exotic Block Batuan Metamorf Pada Komplek Melange Luk Ulo Muhamad Alwi 1), Johanes Hutabarat 2), Agung Mulyo 3) 1) Mahasiswa S1 Prodi Teknik Geologi, Fakultas Teknis Geologi, UNPAD (muhamad.alwi07@gmail.com)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BATUAN BLOK ASING (EXOTIC BLOCK) DI DAERAH SADANG KULON KOMPLEKS MELANGE LUK ULO KARANGSAMBUNG

KARAKTERISTIK BATUAN BLOK ASING (EXOTIC BLOCK) DI DAERAH SADANG KULON KOMPLEKS MELANGE LUK ULO KARANGSAMBUNG KARAKTERISTIK BATUAN BLOK ASING (EXOTIC BLOCK) DI DAERAH SADANG KULON KOMPLEKS MELANGE LUK ULO KARANGSAMBUNG Ega Pratama 1 *, Johanes hutabarat 2, Agung Mulyo 3 1 Mahasiswa S1 Prodi Teknik Geologi, Fakultas

Lebih terperinci

BASEMENT KOMPLEK BAYAH, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

BASEMENT KOMPLEK BAYAH, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN BASEMENT KOMPLEK BAYAH, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN Aton Patonah 1), Faisal Helmi 2), J. Prakoso 3), & T. Widiaputra 3) 1) Laboratorium Petrologi, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran 2)

Lebih terperinci

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAB III ALTERASI HIDROTERMAL 3.1 Tinjauan Umum White (1996) mendefinisikan alterasi hidrotermal adalah perubahan mineralogi dan komposisi yang terjadi pada batuan ketika batuan berinteraksi dengan larutan

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

EKSPLORASI UMUM BAHAN KERAMIK DI DAERAH KALITENGAH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH

EKSPLORASI UMUM BAHAN KERAMIK DI DAERAH KALITENGAH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH EKSPLORASI UMUM BAHAN KERAMIK DI DAERAH KALITENGAH DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : Zulfikar, Kusdarto, Corry Karangan Kelompok Penyelidikan Mineral Bukan Logam S A R

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrogenesis merupakan bagian dari ilmu petrologi yang menjelaskan tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer terbentuknya batuan hingga

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II. 1 KERANGKA GEOLOGI REGIONAL Sebelum membahas geologi daerah Tanjung Mangkalihat, maka terlebih dahulu akan diuraikan kerangka geologi regional yang meliputi pembahasan fisiografi

Lebih terperinci

A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK)

A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK) A. BATUAN BEKU ULTRABASA (ULTRAMAFIK) Batuan Beku Ultrabasa (Ultramafik) adalah batuan beku dan meta -batuan beku dengan sangat rendah kandungan silika konten (kurang dari 45%), umumnya > 18% Mg O, tinggi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Pulau Buton yang terdapat di kawasan timur Indonesia terletak di batas bagian barat Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Pulau Buton terletak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA. Asisten Acara:

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA. Asisten Acara: LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA: PETROGRAFI BATUAN METAMORF Asisten Acara: 1... 2.... 3.... 4....

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU

BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU 4.1 Pendahuluan Kata provenan berasal dari bahasa Perancis, provenir yang berarti asal muasal (Pettijohn et al., 1987 dalam Boggs, 1992). Dalam geologi, istilah

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan mineral Batu Hijau yang terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya merupakan endapan porfiri Cu-Au. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

IV. BATUAN METAMORF Faktor lingkungan yang mempengaruhi

IV. BATUAN METAMORF Faktor lingkungan yang mempengaruhi IV. BATUAN METAMRF Faktor lingkungan yang mempengaruhi Batuan metamorf adalah batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya dari batuan yang sudah ada, baik batuan beku, sedimen maupun sebagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

Oleh: Nugroho Imam Setiawan NIM: Magister Teknik Geologi ITB 2010

Oleh: Nugroho Imam Setiawan NIM: Magister Teknik Geologi ITB 2010 GENESIS VULKANIK BERUMUR TERSIER DI DAERAH KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Oleh: Nugroho Imam Setiawan NIM: 22008002 Magister Teknik Geologi ITB 2010 Outline Presentasi Pendahuluan - Perumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

REKAMAN DATA LAPANGAN

REKAMAN DATA LAPANGAN REKAMAN DATA LAPANGAN Lokasi 01 : M-01 Morfologi : Granit : Bongkah granit warna putih, berukuran 80 cm, bentuk menyudut, faneritik kasar (2 6 mm), bentuk butir subhedral, penyebaran merata, masif, komposisi

Lebih terperinci

PETROLOGI AMFIBOLIT KOMPLEK MELANGE CILETUH, SUKABUMI, JAWABARAT

PETROLOGI AMFIBOLIT KOMPLEK MELANGE CILETUH, SUKABUMI, JAWABARAT Petrologi Amfibolit Komplek Melange Ciletuh, Sukabumi, Jawa Barat PETROLOGI AMFIBOLIT KOMPLEK MELANGE CILETUH, SUKABUMI, JAWABARAT Aton Patonah 1, Haryadi Permana 2 1) Laboratorium Petrologi dan Mineralogi,

Lebih terperinci

Citra LANDSAT Semarang

Citra LANDSAT Semarang Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan batuan metamorf yang dapat diamati langsung di permukaan bumi tidak sebanyak batuan beku dan sedimen mengingat proses terbentuknya yang cukup kompleks. Salah

Lebih terperinci

CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks

CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks CHAPTER 15 Metamorphism, Metamorphic Rocks, and Hydrothermal Rocks Nama Kelompok : NORBAYAH A1A513227 YOGA PURWANINGTIYAS A1A513210 SAFARIAH A1A513223 DOSEN PEMBIMBING: Drs. H. SIDHARTA ADYATMA, Msi. Dr.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

LATIHAN DAN TES JARAK JAUH (LTJJ) Persiapan OSK Bidang : Kebumian. Latihan 1. Bahan : Geologi -1

LATIHAN DAN TES JARAK JAUH (LTJJ) Persiapan OSK Bidang : Kebumian. Latihan 1. Bahan : Geologi -1 Bidang Studi Kode Berkas : Kebumian : KEB-L01 (soal) LATIHAN DAN TES JARAK JAUH (LTJJ) Persiapan OSK 2018 Bidang : Kebumian Latihan 1 Bahan : Geologi -1 (Tektonik Lempeng, Kristalografi, Mineralogi, Petrologi,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. FISIOGRAFI Geologi regional P.Obi ditunjukkan oleh adanya dua lajur sesar besar yang membatasi Kep.Obi yaitu sesar Sorong-Sula di sebelah utara dan sesar Sorong Sula mengarah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Kerangka Tektonik dan Struktur Regional Kalimantan Cekungan Ketungau berada di Kalimantan Barat. Kerangka tektonik regional Pulau Kalimantan dapat dilihat pada (Gambar 2.1).

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

ALBUM PETROGRAFI BATUAN METAMORF MARMER

ALBUM PETROGRAFI BATUAN METAMORF MARMER ALBUM PETROGRAFI BATUAN METAMORF Sayatan Tipis MARMER Deskripsi : Sampel ini adalah granular batuan metamorf menengah - grained didominasi oleh forsterit ( < 5 % vol ), serpentine ( 15 % ), kalsit ( 40

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan tektonik dan relief dapat mempengaruhi komposisi batuan sedimen selama proses transportasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf Definisi Batuan Batuan adaiah kompleks/kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat secara gembur ataupun padat. Bedanya dengan mineral, batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949). Zona-zona ini (Gambar 2.1) dari utara ke selatan yaitu: Gambar 2.1. Peta

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

PETROGENESIS BATUAN METAMORF DAERAH CIGABER KECAMATAN CIHARA, KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN SARI ABSTRACT

PETROGENESIS BATUAN METAMORF DAERAH CIGABER KECAMATAN CIHARA, KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN SARI ABSTRACT PETROGENESIS BATUAN METAMORF DAERAH CIGABER KECAMATAN CIHARA, KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN Hero Ayasa 1, Aton Patonah 2, Ildrem Syafri 2 1 Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran 2 Lab. Petrologi

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL KARANGSAMBUNG

GEOLOGI REGIONAL KARANGSAMBUNG GEOLOGI REGIONAL KARANGSAMBUNG 2.1 Fisiografi Regional Jawa Secara regional seluruh pulau Jawa memiliki perkembangan tektonik yang sama, namun karena pengaruh dari jejak tektonik yang lebih tua mengontrol

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

Magma dalam kerak bumi

Magma dalam kerak bumi MAGMA Pengertian Magma : adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah bersifat mobil, suhu antara 900-1200 derajat Celcius atau lebih yang berasal dari kerak bumi bagian bawah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki tatanan tektonik yang aktif yang berada pada bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga lempeng besar,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon Kuarsa sekunder adalah mineral silika yang memiliki temperatur pembentukan relatif panjang, berkisar 180 0 C hingga lebih dari 300 0 C (Reyes, 1990). Kehadiran kuarsa

Lebih terperinci

Gambar 2.22 Fasies batuan ubahan dalam kaitannya dengan temperatur, tekananm dan kedalaman (Norman, 1985)

Gambar 2.22 Fasies batuan ubahan dalam kaitannya dengan temperatur, tekananm dan kedalaman (Norman, 1985) Gambar 2.21 Fasies batuan metamorf Gambar 2.22 Fasies batuan ubahan dalam kaitannya dengan temperatur, tekananm dan kedalaman (Norman, 1985) GEOLOGI DASAR 38 Fasies Batuan Metamorf Fasies merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci