KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI CIANJUR MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI CIANJUR MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI CIANJUR MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014 Muhammad Ahda Agung Arifian NIM E

4 4 ABSTRAK MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN. Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Cianjur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan IWAN HILWAN. Cagar Alam Bojonglarang Jayanti adalah salah satu kawasan konservasi yang diduga diinvasi oleh spesies tumbuhan asing. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung keanekaragaman dan mengidentifikasi pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif. Pengumpulan data menggunakan analisis vegetasi metode kombinasi jalur dan garis berpetak pada vegetasi hutan, dan metode petak ganda pada vegetasi padang rumput. Hasil analisis vegetasi di hutan dataran rendah primer teridentifikasi 2 spesies tumbuhan asing invasif yang termasuk ke dalam 2 famili, di vegetasi hutan pantai teridentifikasi 11 spesies tumbuhan asing invasif yang termasuk ke dalam 8 famili, di vegetasi hutan dataran rendah sekunder teridentifikasi 13 spesies tumbuhan asing invasif yang termasuk ke dalam 9 famili, dan di vegetasi padang rumput teridentifikasi 10 spesies tumbuhan asing invasif yang termasuk ke dalam 8 famili. Secara umum pola sebaran tumbuhan asing invasif berdasarkan indeks Morisita adalah mengelompok (clumped). Kata kunci: Bojonglarang Jayanti, keanekaragaman, pola sebaran, spesies tumbuhan asing invasif ABSTRACT MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN. Diversity and Distribution Patterns of Invasive Alien Plant Species in Bojonglarang Jayanti Nature Reserve Cianjur. Supervised by AGUS HIKMAT and IWAN HILWAN. Bojonglarang Jayanti Nature Reserve is one of the conservation area that is supposed getting inveded by alien plant species. The purpose of this research is to counting diversity and identify distribution patterns of invasive alien plant species. Data was collected by vegetation analysis with squared track and line combination method in forest vegetation, and quadrat method in savanna vegetation. The result of vegetation analysis in primary lowlands forest vegetation was identified 2 invasive alien plant species that belong to 2 families, in coastal forest was identified 11 invasive alien plant species that belong to 8 families, in secondary lowlands forest was identified 13 invasive alien plant species that belong to 9 families, and in savanna vegetation was identified 10 invasive alien plant species that belong to 8 families. Generally, the distribution patterns of invasive alien plant species based on Morisita index was clumped. Keywords: Bojonglarang Jayanti, distribution patterns, diversity, invasive alien plant species

5 KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI CIANJUR MUHAMMAD AHDA AGUNG ARIFIAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6 6

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah tumbuhan asing invasif, dengan judul Keanekaragaman dan Pola Sebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Cianjur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Bapak Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Suhendar dari DAMKAR SAKA, Muhammad Adlan Ali, Wida Agustina, dan Ariffani Setya Rohim yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada Aldira Noval Nasution atas masukan-masukannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa pula diucapkan terima kasih kepada keluarga besar KSHE, HIMAKOVA, Kelompok Pemerhati Flora, Nepenthes rafflesiana 47, dan seluruh sahabat-sahabat atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Muhammad Ahda Agung Arifian

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan 2 Manfaat 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu 2 Alat dan Bahan 2 Jenis Data 3 Metode Pengumpulan Data 3 Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 7 Komposisi Tumbuhan 8 Spesies Tumbuhan Asing Invasif 14 SIMPULAN DAN SARAN 25 Simpulan 25 Saran 25 DAFTAR PUSTAKA 25 LAMPIRAN 29

10 6 DAFTAR TABEL 1 Komposisi spesies dan famili tumbuhan 9 2 Spesies tumbuhan dengan INP > 10% dan INP > 15% 10 3 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan 13 4 Nilai indeks kesamaan komunitas 15 5 Daftar spesies tumbuhan asing invasif 15 6 INP spesies tumbuhan asing invasif 16 7 Hasil perhitungan indeks Morisita spesies tumbuhan asing invasif 24 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi Cagar Alam Bojonglarang Jayanti 2 2 Metode petak ganda 3 3 Metode kombinasi jalur dengan garis berpetak 4 4 Komposisi spesies dan famili tumbuhan 9 5 Nilai indeks keanekaragaman tumbuhan 13 6 Nilai indeks kemerataan tumbuhan 14 7 Clibadium surinamense 17 8 Euphorbia hirta 18 9 Imperata cylindrica Lantana camara Leucaena leucocephala Passiflora foetida Psidium guajava Sida rhombifolia Spathodea campanulata Stachytarpheta jamaicensis Swietenia macrophylla Mimosa pudica Chromolaena odorata 23 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil perhitungan INP vegetasi hutan dataran rendah primer 29 2 Hasil perhitungan INP vegetasi hutan pantai 36 3 Hasil perhitungan INP vegetasi hutan dataran rendah sekunder 43 4 Hasil perhitungan INP vegetasi padang rumput 50 5 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif di vegetasi hutan dataran rendah primer 53 6 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif di vegetasi hutan pantai 54 7 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif di vegetasi hutan dataran rendah sekunder 54 8 Perhitungan indeks penyebaran Morisita spesies tumbuhan asing invasif di vegetasi padang rumput 55

11 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (CABJ) merupakan kawasan suaka alam yang memiliki dua tipe hutan yaitu hutan pantai dan hutan dataran rendah di pantai selatan Jawa Barat. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 516/Kpts/Um/10/1973 dengan luas 750 ha (BKSDA 2007). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 1 cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Penurunan keanekaragaman hayati di Indonesia kini mulai menjadi perhatian terutama yang berada di kawasan konservasi, termasuk CABJ. Hal ini dikarenakan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, konversi lahan, dan perubahan iklim global yang menyebabkan hilangnya habitat. Disamping itu, ancaman lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah keberadaan spesies asing invasif. Ancaman spesies asing invasif terhadap keanekaragaman hayati merupakan ancaman terbesar kedua setelah kerusakan habitat (IUCN 2009). Spesies asing invasif (Invasive Alien Species/IAS) adalah spesies-spesies yang secara sengaja atau tidak sengaja diintroduksi di luar habitat aslinya dan mempunyai kemampuan untuk berkembang, menginvasi, berkompetisi dengan spesies asli dan mengambil alih menjadi dominan pada lingkungannya yang baru (Wibowo et al. 2010). Tjitrosoedirdjo (2005) menyatakan di Indonesia ada 1936 spesies tumbuhan asing yang tergolong dalam 187 famili. Ancaman spesies asing invasif merupakan acaman biologi yang menyebabkan kepunahan spesies yang lebih tinggi (D'Antonio dan Vitousek 1992). Spesies tumbuhan asing invasif memiliki potensi bereproduksi dengan cepat sehingga populasi cepat meningkat dan membahayakan bagi spesies tumbuhan asli. Kehadiran spesies asing invasif akan menimbulkan homogenitas biotik yang menyebabkan spesies asli tergantikan (Olden et al. 2004). Tumbuhan asing invasif muncul baik secara alami maupun secara introduksi. Munculnya tumbuhan asing invasif secara alami berkaitan erat dengan proses suksesi. Spesies tumbuhan asing invasif yang muncul melalui introduksi salah satunya Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran (Wibowo et al. 2010). Kawasan CABJ yang terletak berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat menyebabkan kawasan ini tidak terlepas dari gangguan masyarakat yang berada sekitar kawasan. Aktivitas manusia merambah kawasan cagar alam telah menyebabkan keterbukaan lahan. Proses suksesi menjadi hutan sukunder yang terjadi di lahan yang terbuka dimungkinkan akan menyebabkan munculnya spesies tumbuhan asing invasif sebagai tumbuhan pionir. Kondisi ini perlu menjadi perhatian agar spesies tumbuhan asing invasif tidak mengancam vegetasi yang ada dan menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati. Selain itu, data mengenai spesies tumbuhan asing invasif di CABJ belum tersedia. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukannya penelitian mengenai spesies tumbuhan asing invasif di CABJ.

12 2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menghitung keanekaragaman spesies tumbuhan asing invasif di CABJ 2. Mengidentifikasi pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif di CABJ Manfaat Penelitian ini diharapkan memberi informasi mengenai spesies tumbuhan asing invasif di CABJ, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan dan perlindungan tumbuhan di CABJ. METODE Lokasi dan Waktu Lokasi pengambilan data dilakukan di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret - April Gambar 1 Peta lokasi Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu GPS, tally sheet, kompas, golok, pisau, meteran jahit, patok, koran bekas, sasak dari kayu, kamera, papan

13 jalan, alat tulis, kantong plastik, label, spidol permanen, sprayer, dan meteran. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu spesies tumbuhan di CABJ, alkohol 70%, dan peta kawasan. 3 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer (vegetasi) dan data sekunder (kondisi umum lokasi penelitian). Metode Pengumpulan Data Analisis Vegetasi Metode ini digunakan untuk mengamati parameter berupa nama spesies, jumlah individu, dan habitus. Analisis vegetasi dilakukan pada empat tipe vegetasi, yaitu vegetasi padang rumput, vegetasi hutan dataran rendah primer, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi hutan dataran rendah sekunder. a. Vegetasi padang rumput Analisis vegetasi dilakukan menggunakan metode petak ganda berukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar petak 20 m. Penggunaan metode ini dilakukan pada tumbuhan yang berhabitus herba dan semak. Peletakan petak contoh dilakukan secara systematic sampling, dalam satu petak contoh terdiri dari 25 petak pengamatan. Bentuk petak analisis vegetasi petak ganda dapat dilihat pada Gambar 2. \ Petak 2mx2m Jarak petak Gambar 2 Metode petak ganda b. Vegetasi hutan Analisis vegetasi dilakukan pada hutan dataran rendah primer dan hutan dataran rendah sekunder menggunakan metode kombinasi jalur dengan garis

14 4 berpetak berukuran 20 m x 200 m sebanyak 5 jalur, sedangkan analisis vegetasi pada hutan pantai menggunakan petak berukuran 20 m x 100 m sebanyak 5 jalur. Setiap jalur terdiri dari 10 petak yang masing-masing petak terdiri dari empat sub petak pengamatan seperti tersaji pada Gambar 3. Keterangan : a. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon dengan diameter batang 20 cm. b. Petak ukur tiang (10 m x 10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm sampai < 20 cm. c. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batang < 10 cm. d. Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1,5 m dan tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya pandan dan palem. Gambar 3 Metode kombinasi jalur dengan garis berpetak Pembuatan Herbarium Pembuatan herbarium dilakukan terhadap semua jenis tumbuhan yang ditemukan di areal pengamatan. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah (Susantyo 2011): a. Mengambil contoh spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, jika ada bunga dan buah maka keduanya diambil dan dijadikan spesimen herbarium. Pengambilan contoh spesimen herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan analisis vegetasi. b. Contoh spesimen herbarium dipotong dengan menggunakan pisau dengan panjang kurang lebih 40 cm. c. Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberikan label yang berukuran 3 cm x 5 cm. Label berisi keterangan tentang nomor jenis, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul/kolektor. d. Selanjutnya beberapa herbarium disusun di atas sasak yang terbuat dari kayu dan disemprot atau direndam dengan alkohol 70%. e. Herbarium lalu di oven pada 50 o -70 o C selama tujuh hari. f. Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya. Identifikasi Spesies Tumbuhan dan Tumbuhan Asing Invasif Identifikasi spesies tumbuhan yang telah dibuat herbarium dilakukan untuk mengetahui nama ilmiah dari spesies tersebut. Identifikasi nama ilmiah dilakukan

15 di Herbarium Bogorinense LIPI. Sementara itu, identifikasi tumbuhan asing invasif dilakukan dengan cek silang pada buku panduan lapang, seperti yang ditulis Weber (2003), Invasive Species Specialist Group (2005) dan SEAMEO BIOTROP (2008). Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi umum CABJ Cianjur dan untuk informasi mengenai spesies tumbuhan asing invasif. 5 Analisis Data Komposisi Spesies Komposisi spesies tumbuhan di CABJ dapat diketahui dengan menggunakan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Indriyanto (2006) menyatakan INP didapatkan dengan formula matematika yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah sebagai berikut: Kerapatan (K) Kerapatan Relatif (KR) Frekuensi (F) Frekuensi Relatif (FR) Dominansi (D) Dominansi Relatif (DR) Jumlah individu suatu spesies = ind/ha Luas seluruh petak Kerapatan suatu spesies = Kerapatan seluruh spesies x 100% Jumlah petak dijumpai suatu spesies = Jumlah seluruh petak Frekuensi suatu spesies = Frekuensi seluruh spesies x 100% Luas bidang dasar suatu spesies = m 2 /ha Luas seluruh petak Dominansi suatu spesies = Dominansi seluruh spesies x 100% INP untuk tumbuhan bawah, semai, dan pancang = KR + FR INP untuk tiang dan pohon = KR + FR + DR Tingkat Keanekaragaman Spesies Keanekaragaman spesies dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H'). Indeks ini menurut Ludwig dan Reynold (1988) dapat dihitung dengan rumus: H = - p i ln p i p i = N Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman Shannon n i = Jumlah INP suatu spesies N = Jumlah INP seluruh spesies

16 6 Tingkat Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk melihat tingkat kesamaan antar komunitas yang dibandingkan. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan indeks kesamaan komunitas ditentukan dengan rumus: IS = S i=1 [min x ij,x ik ]) S i=1 x ij + S x100 i=1 x ik Keterangan: IS = Indeks kesamaan komunitas S i=1 [min(x ij,x ik )] = Jumlah individu yang sama atau nilai yang terendah dari spesies-spesies yang terdapat dalam dua petak contoh yang dibandingkan S i=1 x ij = Jumlah individu dari semua spesies yang terdapat pada komunitas A S i=1 x ik = Jumlah individu dari semua spesies yang terdapat pada komunitas B Tingkat Kemerataan Spesies Tumbuhan Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (evennes). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Indeks ini menurut Ludwig dan Reynolds (1988) dapat dihitung dengan rumus: E = H' ln S Keterangan : E = Indeks kemerataan H = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah spesies Pola Penyebaran Spesies Tumbuhan Invasif Pola penyebaran spesies tumbuhan dapat diketahui dengan menggunakan rumus penyebaran Morisita. Pola penyebaran spesies tumbuhan dalam suatu habitat meliputi penyebaran merata (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus penyebaran Morisita (1959): Ið = n X i 2 - X i (X i ) 2 - X i Keterangan : Ið = Derajat penyebaran Morisita n = Jumlah petak di ukur 2 X i = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas X i = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas

17 7 Derajat Keseragaman Mu = x n + X i X i - 1 Keterangan : x = Nilai chi-square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97.5% X i = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i n = Jumlah petak ukur Derajat Pengelompokan Mc = x n + X i X i - 1 Keterangan : x = Nilai chi-square dari tabel db (n-1), selang kepercayaan 2.5% X i = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke-i n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: Ið - Mc Ip = ( ), bila Ið Mc 1.0 n - Mc Ip = 0.5 ( Ið - 1 ), bila Mc Ið 1.0 Mc - 1 Ip = -0.5 ( Ið - 1 ), bila 1.0 > Ið > Mu Mu - 1 Ip = ( Ið - 1 ), bila 1.0 > Mu > Ið Mu - 1 Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai berikut: Ip = 0, spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random) Ip > 0, spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform) HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan hutan Bojonglarang Jayanti ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 516/Kpts/Um/10/1973 pada tanggal 16 Oktober 1973 seluas 750 ha. Menurut Tim Tata Batas Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Kehutanan, dan Departemen Pertanian menyatakan

18 8 luas kawasan yang masih berupa hutan hanya seluas 580 ha sisanya 170 ha sudah digarap oleh masyarakat. CABJ terletak di sebelah selatan Kabupaten Cianjur, termasuk ke dalam wilayah Desa Cidamar dan Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur. Letak geografis kawasan CABJ terletak antara BT dan LS. Adapun batas-batas wilayah CABJ yakni sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Naringgul, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Garut, dan sebelah barat berbatasan dengan Sindangbarang. Menurut Balai Konservasi Sumberdaya Alam (2007) topografi CABJ relatif datar sampai berbukit dengan ketinggian 0 sampai 250 m dpl. Jenis tanah pada kawasan ini yaitu podsolik merah kuning, laterit coklat, dan laterit merah kuning. Tipe iklim CABJ menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2645 mm/tahun. Suhu udara kawasan ini berkisar antara 18 C - 31 C. Kawasan CABJ termasuk ke dalam tipe hutan dataran rendah dan hutan pantai. Jenis vegetasi yang terdapat di kawasan ini yaitu kiara (Ficus globasa), laban (Vitex pubescens), bungur (Lagerstroemia speciosa), ketapang (Terminalia catappa), bambu duri (Bambusa spinosa), kopo (Syzygium jambos), dan pandan laut (Pandanus tectorius). Selain itu terdapat tumbuhan langka dan dilindungi yaitu bunga bangkai (Rafflesia patma), butun (Barringtonia asiatica) yang langka di dalam kawasan, jenis rotan, dan tumbuhan bawah (BKSDA 2007). Vegetasi di dalam kawasan CABJ yang sedikit mengakibatkan jumlah satwa yang dapat dijumpai sangat sedikit. Satwa yang masih terdapat dalam kawasan CABJ jenis mamalia meliputi babi hutan (Sus scrofa), kancil (Tragulus javanicus), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus), bajing kelapa (Callosciurus notatus), kalong (Pteropus vampyrus), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica). Jenis burung adalah walet linci (Collocalia linchii), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), dan elang ular bido (Spilornis cheela) (BKSDA 2007). Komposisi Tumbuhan Komposisi Spesies dan Famili Tumbuhan Pengambilan data pada vegetasi hutan dilakukan di 3 tipe hutan yaitu hutan dataran rendah primer, hutan pantai, dan hutan dataran rendah sekunder dengan tingkat aktivitas manusia yang tinggi. Sedangkan pengambilan data pada vegetasi padang rumput hanya dilaksanakan di 1 plot contoh. Analisis vegetasi yang dilakukan di CABJ tercatat 136 spesies tumbuhan dari 60 famili. Analisis vegetasi menunjukkan bahwa hutan pantai memiliki komposisi spesies tertinggi, yaitu 76 spesies dari 40 famili, diikuti hutan dataran rendah sekunder dengan komposisi 70 spesies dari 33 famili, lalu hutan dataran rendah primer dengan komposisi 58 spesies dari 32 famili. Komposisi spesies terendah ada pada vegetasi padang rumput, yaitu 46 spesies dari 23 famili. Perbedaan komposisi vegetasi hutan dengan padang rumput dipengaruhi oleh

19 faktor klimatis (de Steven dan Gramling 2013) dan kondisi strata tajuk yang menyebabkan faktor cahaya paling berpengaruh (Agustian 2013). Data mengenai komposisi spesies dan famili disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 4. Tabel 1 Komposisi spesies dan famili tumbuhan No Tingkat pertumbuhan Tipe vegetasi Tumbuhan bawah Famili Spesies Semai Famili Spesies Pancang Famili Spesies Tiang Famili Spesies Pohon Famili Spesies Keterangan: 1) Hutan dataran rendah primer, 2) Hutan pantai, 3) Hutan dataran rendah sekunder, 4) Padang rumput Jumlah spesies dan famili tumbuhan yang ditemukan di vegetasi hutan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah spesies dan famili yang ditemukan di vegetasi padang rumput, hal ini disebabkan adanya variasi strata tajuk yang lebih banyak di hutan dibandingkan dengan padang rumput. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Dhote (2005) diacu dalam Long (2010) yang menyebutkan stratifikasi vertikal dengan lapisan kanopi yang berbeda didominasi oleh spesies yang berbeda. Selain perbedaan strata tajuk, tidak rapatnya tajuk pada petak pengamatan menyebabkan spesies tumbuhan bawah yang intoleran dapat tumbuh. Ewusie (1990) menyebutkan padang rumput di daerah tropis lebih miskin spesies tumbuhan dibandingkan dengan vegetasi hutan. 9 Padang rumput Hutan dataran rendah sekunder Hutan pantai Hutan dataran rendah primer Spesies Famili Gambar 4 Komposisi spesies dan famili tumbuhan

20 10 Dominansi Spesies Tumbuhan Soegianto (1994) diacu dalam Indriyanto (2006) menyebutkan parameter kuantitatif yang menyatakan dominansi spesies dalam suatu komunitas tumbuhan adalah Indeks Nilai Penting (INP). Suatu jenis tumbuhan dapat dikatakan berperan atau berpengaruh dalam komunitas jika INP tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon 15% (Sutisna 1981 diacu dalam Rosalia 2008). Tabel 2 Spesies tumbuhan dengan INP > 10% dan INP > 15% No Nama spesies Lokasi / INP (%) Tumbuhan bawah 1 Ageratum conyzoides Borreria distans Borreria hispida Dactyloctenium aegyptum Dioscorea hipsida Imperata cylindrica Isachne globosa Merremia umbellata Phyllantus niruri Pollinia ciliata Pueraria phaseoloides Ruellia sp Scleria purpurascens Sloanea sigun Sp 22 (Rumput b) Semai 1 Aporosa frutescens Ardisia humilis Baccaurea javanica Bridelia monoica Calliandra calothyrsus Canthium horridum Cyathocalys biovulatus Gliricidia sepium Leucaena leucocephala Memecylon edule Micromelum pubescens Polyalthia lateriflora Popowia pisocarpa Psidium guajava

21 11 Tabel 2 Spesies tumbuhan dengan INP > 10% dan INP > 15% (lanjutan) No Nama spesies Lokasi / INP (%) Semai 15 Xanthophyllum excelsum Pancang 1 Antidesma montanum Bridelia monoica Canthium horridum Cyathocalys biovulatus Ficus septica Gliricidia sepium Guazuma ulmifolia Hibiscus tiliaceus Litsea sp Macaranga tanarius Memecylon edule Popowia pisocarpa Psidium guajava Streblus asper Tiang 1 Aporosa frutescens Barringtonia asiatica Caesalpinia sp Cyathocalys biovulatus Eugenia cuprea Gliricidia sepium Hibiscus tiliaceus Sp 20 (Kopo konang) Lagerstroemia sp Mischocarpus sundaicus Polyalthia lateriflora Polyalthia subcordata Popowia pisocarpa Streblus asper Terminalia cattapa Pohon 1 Apium virgatus Aporosa frutescens Artocarpus elastica

22 12 Tabel 2 Spesies tumbuhan dengan INP > 10% dan INP > 15% (lanjutan) No Nama spesies Lokasi / INP (%) Pohon 4 Caesalpinia sp Ceiba pentandra Erythrina lithosperma Eugenia cuprea Ficus sp Gliricidia sepium Hibiscus tiliaceus Sp 13 (Ki jajaran) Mischocarpus sundaicus Paraserianthes falcataria Popowia pisocarpa Sterculia campanulata Swietenia macrophylla Keterangan: 1) Hutan dataran rendah primer, 2) Hutan pantai, 3) Hutan dataran rendah sekunder, 4) Padang rumput Borreria hispida, Isachne globosa, Scleria purpurascens, dan Imperata cylindrica merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada masing-masing plot hutan dataran rendah primer, hutan pantai, hutan dataran rendah sekunder, dan padang rumput untuk tingkat tumbuhan bawah. Micromelum pubescens merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada plot hutan dataran rendah primer dan hutan dataran rendah sekunder, sedangkan Memecylon edule dan Leucaena leucocephala memiliki INP tertinggi pada masing-masing plot hutan pantai dan padang rumput untuk tingkat semai. Cyanthocalys biovulatus, Hibiscus tiliaceus, dan Gliricidia sepium merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada masing-masing plot hutan dataran rendah primer, hutan pantai, dan hutan dataran rendah sekunder untuk tingkat pancang. Polyalthia subcordata, H. tiliaceus, dan G. sepium merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada masing-masing plot hutan dataran rendah primer, hutan pantai, dan hutan dataran rendah sekunder untuk tingkat Tiang. Popowia piscocarpa, Ficus sp, dan H. tiliaceus merupakan spesies yang memiliki INP tertinggi pada masing-masing plot hutan dataran rendah primer, hutan pantai, dan hutan dataran rendah sekuder untuk tingkat pohon. Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Tumbuhan Keanekaragaman spesies tumbuhan hutan secara umum tidak menunjukkan adanya variasi nilai indeks keanekaragaman kecuali pada tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah hutan pantai. Vegetasi hutan pantai memiliki nilai keanekaragaman dan kemerataan tertinggi pada tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah dan semai dengan nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan masing-masing 3.34 dan 0.88 serta 2.84 dan Pada tingkat pertumbuhan

23 pancang vegetasi hutan dataran rendah primer memiliki nilai tertinggi indeks keanekaragaman dengan nilai 2.60, sedangkan indeks kemerataan tertinggi yaitu vegetasi hutan pantai dengan nilai Pada tingkat pertumbuhan tiang vegetasi hutan dataran rendah primer memiliki nilai keanekaragaman dan kemerataan tertinggi dengan nilai indeks masing-masing 2.45 dan Tingkat pertumbuhan pohon vegetasi hutan dataran rendah primer memiliki indeks keanekaragaman tertinggi sebesar 2.84, sedangkan indeks kemerataan tertinggi sebesar 0.87 pada vegetasi hutan dataran rendah primer dan hutan pantai. Data mengenai keanekaragaman tumbuhan di CABJ disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 5. Tabel 3 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan No Tingkat pertumbuhan Tipe vegetasi Tumbuhan bawah H' E Semai H' E Pancang H' E Tiang H' E Pohon H' E Keterangan: 1) Hutan dataran rendah primer, 2) Hutan pantai, 3) Hutan dataran rendah sekunder, 4) Padang rumput 13 Pohon Tiang Pancang Semai Tumbuhan bawah , , , ,5 4 Padang rumput Hutan dataran rendah sekunder Hutan pantai Hutan dataran rendah primer Gambar 5 Nilai indeks keanekaragaman tumbuhan

24 14 Menurut Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2012) indeks keanekaragaman terbagi dalam 3 kategori, yaitu tinggi (H' > 3), sedang (1 < H' < 3), dan rendah (H' < 1). Gambar 6 menunjukkan pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah memiliki keanekaragaman yang tinggi pada vegetasi hutan dataran rendah primer, hutan pantai, dan hutan dataran rendah sekunder, sedangkan pada vegetasi padang rumput keanekaragamannya sedang. Tingkat pertumbuhan pancang dan pohon memiliki keanekaragaman yang sedang di semua vegetasi kecuali vegetasi padang rumput, hal ini karena data yang diambil melalui analisis vegetasi di padang rumput hanya pada tingkat semai dan tumbuhan bawah. Pada tingkat pertumbuhan tiang memiliki keanekaragaman yang rendah di hutan dataran rendah primer dan hutan pantai, tetapi keanekaragaman yang sedang di hutan dataran rendah sekunder. Pohon Tiang Pancang Semai Tumbuhan bawah ,2 0, , , ,2 Padang rumput Hutan pantai Hutan dataran rendah sekunder Hutan dataran rendah primer Gambar 6 Nilai indeks kemerataan tumbuhan Tabel 3 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa secara umum kemerataan jenis berbagai tingkat pertumbuhan termasuk tinggi karena memiliki nilai indeks kemerataan > 0.6, kecuali pada tingkat pertumbuhan tiang di hutan terganggu yang termasuk kemerataan sedang karena indeks kemerataannya berada pada selang Magurran (1988) diacu dalam Hilwan et al. (2013) menyebutkan apabila nilai indeks kemerataan jenis (E) < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, 0.3 < E < 0.6 menunjukkan kemerataan jenis sedang, dan E > 0.6 menunjukkan kemerataan jenis tinggi. Komunitas tumbuhan di CABJ tidak menunjukkan adanya komunitas yang benar-benar sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks kesamaan yang tidak mencapai angka 100. Nilai indeks kesamaan komunitas tertinggi yaitu komunitas tumbuhan hutan dataran rendah sekunder dan padang rumput dengan nilai indeks sebesar Sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas terendah yaitu

25 komunitas tumbuhan hutan dataran rendah primer dan padang rumput dengan nilai indeks Nilai indeks kesamaan di CABJ dapat dilihat pada Tabel 4. Lokasi Tabel 4 Nilai indeks kesamaan komunitas Hutan dataran rendah primer Hutan pantai Hutan dataran rendah sekunder 15 Padang rumput Hutan dataran rendah primer Hutan pantai Hutan dataran rendah sekunder Padang rumput Spesies Tumbuhan Asing Invasif Jumlah Spesies Tumbuhan Asing Invasif Spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di CABJ sebanyak 18 spesies. Jumlah spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan bila dibandingkan dengan seluruh spesies tumbuhan yang ditemukan pada plot termasuk sedikit. Daftar spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di CABJ disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Daftar spesies tumbuhan asing invasif No Nama spesies Famili Habitus Sumber 1 Abrus precatorius Fabaceae Semak 2,3 2 Ageratum conyzoides Asteraceae Herba 1 3 Chromolaena odorata Asteraceae Semak 1,2,3 4 Clibadium surinamense Asteraceae Herba 1 5 Cyperus rotundus Cyperaceae Herba 1,2 6 Dactyloctenium aegyptum Poaceae Herba 1 7 Euphorbia hirta Euphorbiaceae Herba 1 8 Imperata cylindrica Poaceae Herba 2,3 9 Lantana camara Lamiaceae Semak 1,2,3 10 Leucaena leucochepala Fabaceae Pohon 1,2,3 11 Mimosa pudica Fabaceae Herba 1,2 12 Passiflora foetida Passifloraceae Semak 1 13 Psidium guajava Myrtaceae Pohon 2,3 14 Ricinus communis Euphorbiaceae Pohon 1,2,3 15 Sida rhombifolia Malvaceae Semak 1 16 Spathodea campanulata Bignoniaceae Pohon 3 17 Stachytarpheta jamaicensis Lamiaceae Herba 1 18 Swietenia macrophylla Meliaceae Pohon 3 Keterangan : 1) SEAMEO BIOTROP (2008), 2) ISSG (2005), 3) Weber (2003)

26 16 Spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di CABJ terdiri dari 18 spesies dari 11 famili. Spesies tumbuhan asing invasif dari famili Asteraceae dan Fabaceae merupakan famili yang paling banyak ditemukan di CABJ. Habitus yang paling tinggi ditemukan yaitu herba sebanyak 8 spesies. Dominansi Spesies Tumbuhan Asing Yuliana et al. (2011) menyebutkan tumbuhan asing invasif memiliki ciriciri yaitu mampu tumbuh dengan cepat, reproduksinya cepat, seringkali bereproduksi secara vegetatif, memiliki kemampuan menyebar yang tinggi, toleransi yang besar terhadap kondisi lingkungan, dan umumnya berasosiasi dengan manusia. Bila dilihat dari ciri-cirinya, spesies tumbuhan asing invasif semestinya mendominasi suatu komunitas tumbuhan. Nilai INP untuk setiap spesies tumbuhan asing invasif disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 INP spesies tumbuhan asing invasif No Nama spesies INP (%) Abrus precatorius Ageratum conyzoides Chromolaena odorata Clibadium surinamense Cyperus rotundus Dactyloctenium aegyptum Euphorbia hirta Imperata cylindrica Lantana camara Leucaena leucochepala Mimosa pudica Passiflora foetida Psidium guajava Ricinus communis Sida rhombifolia Spathodea campanulata Stachytarpheta jamaicensis Swietenia macrophylla Keterangan: 1) Hutan dataran rendah primer, 2) Hutan pantai, 3) Hutan dataran rendah sekunder, 4) Padang rumput Spesies tumbuhan asing invasif yang memiliki pengaruh di komunitasnya yaitu Imperata cylindrica dan Ageratum conyzoides yang memiliki INP > 10%, serta Psidium guajava, Spathodea campanulata, dan Swietenia macrophylla yang memiliki INP > 15%.

27 Bioekologi Tumbuhan Asing Invasif 1. Abrus precatorius Saga rambat (Abrus precatorius) merupakan spesies yang berasal dari India. Legum A. precatorius merupakan pengikat nitrogen (Gordon 1998) dan dalam skala yang luas keberadaan spesies ini dapat mengubah status nutrien tanah (ISSG 2005;Vitousek 1986 diacu dalam Gordon 1998). A. precatorius juga diduga memiliki zat alelopati yang mampu menggeser keberadaan spesies asli (ISSG 2005;Gunn 1969 diacu dalam Gordon 1998). Tumbuhan ini mempunyai tunas yang mampu memanjat dan mencekik sehingga mengganggu pertumbuhan dan reproduksi spesies asli. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang terganggu dan menyebar dengan cepat setelah terjadi kebakaran. Agen biologis yang menyebarkan biji A. precatorius adalah burung (Weber 2003). 2. Ageratum conyzoides Babadotan (Argeratum conyzoides) merupakan spesies yang berasal dari Amerika Tropis. Jenis ini mampu tumbuh hingga ketinggian 3000 m dpl. A. conyzoides mampu menghasilkan benih per tumbuhannya dan setengah dari benih ini dapat segera berkecambah setelah gugur. Benih A. conyzoides mudah disebarkan melalui angin dan air (SEAMEO BIOTROP 2008). Zat alelopati menyebabkan A. conyzoides menjadi jenis yang efektif untuk menginvasi spesies asli (Peng et al. 2012). Di dunia A. conyzoides sudah tersebar di daerah Cina Selatan, Asia Tenggara, dan Sub-Sahara Afrika (Ekeleme et al. 2005; Okunade 2002 diacu dalam Peng et al. 2012). Menurut SEAMEO BIOTROP (2008) A. conyzoides diintroduksi pada awal abad 20 di Pulau Jawa, kini sudah terdistribusi secara luas di Indonesia. 3. Clibadium surinamense Clibadium surinamense merupakan spesies yang berasal dari Amerika Tropis. Spesies ini berbunga sepanjang tahun, dapat ditemukan pada ketinggian m dpl (SEAMEO BIOTROP 2008). Menurut Wibowo (1990) diacu dalam Wibowo et al. (1997) C. surinamense merupakan spesies yang tahan terhadap api. C. surinamense sangat umum ditemukan di pinggiran hutan, vegetasi sekunder dan habitat yang rusak. Di Indonesia secara umum ditemukan di Pulau Jawa. Spesies ini pertama kali dilaporkan keberadaannya di Sumatera pada tahun 1931 di dekat perkebunan tembakau Medan. Keberadaan jenis ini juga dilaporkan di Kalimantan dan Gimpu, Sulawesi Tengah (SEAMEO BIOTROP 2008). 17 Gambar 7 Clibadium surinamense

28 18 4. Cyperus rotundus Cyperus rotundus merupakan spesies yang berasal dari India. C. rotundus merupakan gulma lebih dari 90 negara dan merupakan jenis gulma invasif yang paling buruk di dunia (ISSG 2005), hal ini juga dinyatakan oleh Holm et al. (1991) diacu dalam Travlos (2009) yang menyebutkan C. rotundus menjadi masalah dibanyak negara dibandingkan dengan spesies gulma lainnya di dunia termasuk di daerah yang kering. Di Indonesia C. rotundus sudah terdistribusi secara luas. Spesies ini dapat dijumpai sampai dengan ketinggian 1800 m dpl, C. rotundus mampu beradaptasi dengan baik di habitat yang rusak (SEAMEO BIOTROP 2008). Kemampuan untuk beradaptasi ini karena jaringan bawah tanah C. rotundus yang kompleks mampu bertahan hidup dan bereproduksi dalam kondisi buruk (ISSG 2005). 5. Dactyloctenium aegyptium Dactyloctenium aegyptium merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari daerah subtropis (Verloove dan Gullon 2008; Arianoutsou et al. 2010). D. aegyptium dapat ditemukan hingga ketinggian 1000 m dpl dan tumbuh di tempat yang terkena cahaya matahari maupun tempat yang teduh. Spesies ini beradaptasi dengan baik di daerah yang kering, tanah berpasir, dan tempat terbuka yang kering atau agak lembab. D. aegyptium mampu menghasilkan sampai biji per individu, setelah berumur 19 tahun spesies ini mampu menghasilkan biji yang menunjukkan perkecambahan 5 %. Di Indonesia D. aegypytium telah tersebar secara luas (SEAMEO BIOTROP 2008). 6. Euphorbia hirta Patikan kebo (Euphorbia hirta) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. E. hirta dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian m dpl di tempat yang terbuka atau tenaungi dan tidak terlalu lembab. Speseis ini menghasilkan sampai 3000 benih per tumbuhan, berbunga sepanjang tahun. Di Indonesia E. hirta diintroduksi sejak lama dan kini menyebar di seluruh Indonesia (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 8 Euphorbia hirta 7. Imperata cylindrica Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Asia Timur (Brewer 2008). I. cylindrica merupakan salah satu spesies tumbuhan yang paling menjadi masalah di dunia (Hagan et al. 2013), menurut ISSG (2005) I. cylindrica merupakan satu dari sepuluh gulma yang terburuk di dunia. Spesies ini menyebar dengan mudah melalui rimpang dan benih. Potongan

29 rimpang mudah meregenerasi tumbuhan baru. I. cylindrica merupakan kompetitor spesies tanaman asli sehingga bersifat invasif (Weber 2003). Selain kompetitor, kemampuan beradaptasi terhadap tanah yang bermiskin hara, tahan terhadap kekeringan, sistem rimpang yang luas (ISSG 2005), dan tahan terhadap api (ISSG 2005, Kone et al. 2013, Wibowo 1990 diacu dalam Wibowo et al. 1997) merupakan faktor-faktor I. cylindrica bersifat invasif. Hagan et al. (2013) juga 19 Gambar 9 Imperata cylindrica menyebutkan zat alelopati pada I. cylindrica merupakan salah satu faktor penyebab spesies ini bersifat invasif. 8. Lantana camara Saliara (Lantana camara) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis (Arianoutsou et al. 2010). L. camara merupakan salah satu tanaman yang paling invasif dan termasuk dalam 100 spesies invasif yang berdampak secara global (GISP 2003 diacu dalam Simba et al. 2013). Spesies ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang buruk dan mampu bergenerasi dengan mudah setelah terjadi kerusakan. Penyebaran benih dilakukan oleh burung. Semak-semak L. camara dapat menghilangkan vegetasi asli dan mengubah hutan alam menjadi lahan semak, menggangu proses suksesi, dan menurunkan keanekaragaman hayati (ISSG 2005; Weber 2003). Tingginya kandungan Mg, Ca, dan K merupakan sebuah kelebihan bagi L. camara, karena kebanyakan satwa herbivora menghindarinya sebagai pakan akibat toksisitas dan aroma yang menyengat ketika daun hancur (Hakim et al. 2005; Lui 2011 diacu dalam Simba et al. 2013). Di Pulau Jawa L. camara secara alami dapat ditemukan dapat ditemukan pada ketinggian m dpl. Penyebaran di Indonesia meliputi Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 10 Lantana camara

30 20 9. Leucaena leucocephala Lamtorogung (Leucaena leucocephala) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Utara. L. leucocephala merupakan spesies invasif yang menyerang daerah terganggu baik di wilayah tropis maupun subtropis dan tercatat sebagai salah satu 100 spesies asing invasif terburuk di dunia (ISSG 2005; Lowe et al. 2000). Invasi L. leucocephala pada awal proses suksesi akan mengubah lingkungan, membatasi regenerasi jenis tumbuhan asli, menyebabkan timbulnya Gambar 11 Leucaena leucocephala spesies tumbuhan asing invasif yang lebih agresif, dan menurunkan kekayaan jenis (Marod et al. 2012; Weber 2003; Yoshida dan Oka 2004). L. leucocephala dapat ditemukan hingga ketinggian 1400 m dpl. Pohon berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Penyebaran L. leucocephala di Indonesia mencakup seluruh wilayah, jenis ini pada awalnya diintroduksi di Pulau Jawa. 10. Passiflora foetida Permot (Passiflora foetida) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. P. foetida merupakan jenis tanaman pemanjat yang invasif di daerah terbuka, tanah kosong, di pinggir jalan, dan area pertanian. Spesies ini mampu tumbuh pada tanah yang mengandung asam sulfat, biasanya P. foetida tumbuh di daerah basah atau daerah-daerah dengan musim kemarau yang jelas. Pertama kali diintroduksi di Pulau Jawa, kini sudah menyebar di seluruh Indonesia (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 12 Passiflora foetida 11. Psidium guajava Jambu biji (Psidium guajava) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tengah mulai dari Meksiko hingga Amerika Selatan bagian utara (ISSG 2005). Kemampuan untuk tumbuh pada berbagai jenis tanah dan iklim

31 menyebabkan P. guajava menjadi invasif. P. guajava merupakan spesies yang tahan terhadap kekeringan dan cepat tumbuh. Keberadaan P. guajava akan mengurangi kekayaan spesies dan menghambat regenerasi spesies asli (Weber 2003). Macdonald dan Jarman (1985) menyebutkan P. guajava merupakan spesies invasif padang rumput yang agresif dan merupakan masalah pada daerah pinggiran hutan. Penyebaran P. guajava dilakukan oleh satwa frugivora. 21 Gambar 13 Psidium guajava 12. Ricinus communis Kaliki atau jarak (Ricinus communis) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Afrika Tropis (SEAMEO BIOTROP 2011; Wu et al. 2010). R. communis merupakan spesies yang cepat tumbuh dan berumur pendek, belukar yang terbentuk dapat menghalangi munculnya spesies asli. Penyebaran benih dilakukan oleh burung dan mamalia, benih yang tersebar akan dorman didalam tanah untuk beberapa lama (Weber 2003). Spesies ini lebih suka tumbuh di padang rumput, pinggir jalan, dan tanah kosong. Penyebaran di Indonesia ada di Pulau Jawa (SEAMEO BIOTROP 2008). 13. Sida rhombifolia Sidagori (Sida rhombifolia) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika (de Almeida dan Freitas 2006). S. rhombifolia menginvasi padang rumput, pinggir jalan, dan tanah kosong. Spesies ini hidup di daerah terbuka yang tidak terlalu lembab pada ketinggian m dpl. Di Indonesia S. rhombifolia ini menyebar ke semua wilayah (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 14 Sida rhombifolia 14. Spathodea campanulata Kecrutan (Spathodea campanulata) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Afrika Tropis (Bito 2007; Wu et al. 2010). S. campanulata telah

32 22 diintroduksi ke seluruh daerah tropis. Tumbuh dengan baik di daerah tropis yang ternaungi dan lembab (ISSG 2005). S. campanulata memiliki daun yang besar yang dapat menaungi tumbuhan yang ada di bawahnya, sehingga tanaman asli tidak akan tumbuh dan kekayaan spesies di bawah kanopi jenis ini akan berkurang (Weber 2003). Gambar 15 Spathodea campanulata 15. Stachytarpheta jamaicensis Pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. Anderson (1993) diacu dalam Orr (2010) menyebutkan S. jamaicensis merupakan indikator gangguan pada padang rumput. Produksi benih S. jamaicensis sangat cepat. Benih tersebar melalui pergerakan air selama musim hujan (Lakshmi dan Raju 2011). S. jamaicensis hidup di daerah terbuka yang tidak terlalu kering. Di Indonesia tersebar di seluruh Papua, umum dijumpai di Pulau Jawa, dapat dijumpai juga di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor bagian barat (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 16 Stachytarpheta jamaicensis 16. Swietenia macrophylla Mahoni daun besar (Swietenia macrophylla) adalah spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. S. macrophylla merupakan spesies yang cepat tumbuh dan toleran terhadap naungan serta tahan terhadap cuaca kering. S. macrophylla tumbuh baik di tempat yang terganggu dan hutan sekunder, dapat menginvasi spesies asli dan menjadi spesies yang dominan terutama setelah terjadi gangguan terhadap hutan. Penyebaran biji dilakukan oleh angin dan dapat tersebar sejauh 500 meter dari pohon induk (Weber 2003; Orwa et al. 2009). Orwa et al. (2009) menyebutkan di Filipina, S. macrophylla dilaporkan sangat kuat terhadap angin dan tahan terhadap badai.

33 23 Gambar 17 Swietenia macrophylla 17. Mimosa pudica Putri malu (Mimosa pudica) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. M. pudica merupakan spesies intoleran (Ajorlo et al. 2014). Di Pulau Jawa dapat ditemukan pada ketinggian m. Spesies ini berbunga sepanjang tahun dan hanya bereproduksi melalui biji (Ajorlo et al. 2014; SEAMEO BIOTROP 2008). Holm et al. (1997) diacu dalam Ajorlo et al. (2014) M. pudica dewasa menghasilkan 675 biji per tahun. M. pudica pertama kali diintroduksi ke Indonesia saat penanaman tembakau di Dili, Sumatera. Kini M. pudica tersebar diseluruh wilayah Indonesia (SEAMEO BIOTROP 2008). Gambar 18 Mimosa pudica 18. Chromolaena odorata Kirinyuh (Chromolaena odorata) merupakan spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tropis. C. odorata termasuk salah satu dari 100 spesies asing invasif terburuk di dunia (Lowe et al. 2000) dan sangat mengancam spesies asli (Codilla dan Metillo 2011). C. odorata adalah spesies cepat tumbuh yang Gambar 19 Chromolaena odorata

34 24 dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang terbuka, umumnya tumbuhan ini dapat ditemukan pada ketinggian m. Spesies ini bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Reproduksi secara seksual melalui biji yang disebarkan oleh angin, sedangkan reproduksi secara aseksual dengan cara pertumbuhan tunas pada akar yang telah rusak (Weber 2003). Pola reproduksi seksual dan aseksual ini mengindikasikan penyebaran C. odorata efisien baik dalam jarak yang dekat atau jauh (Ye et al. 2004). Selain faktor reproduksi, faktor lain yang menyebabkan C. odorata invasif yaitu toleran terhadap api (Roder et al. 1995) dan mempunyai zat alelopati (Atagana et al. 2013). Di Indonesia, C. odorata telah tersebar disemua pulau (SEAMEO BIOTROP 2008). Pola Sebaran Tumbuhan Asing Invasif Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan secara umum memiliki pola penyebaran mengelompok (clumped), sesuai dengan nilai indeks penyebaran Morisita yang diperoleh dari hasil analisis data pola penyebaran spesies-spesies tersebut. Hasil perhitungan nilai indeks Morisita disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil perhitungan indeks Morisita spesies tumbuhan asing invasif No Nama spesies Indeks Morisita Pola sebaran 1 Abrus precatorius Mengelompok 2 Ageratum conyzoides Mengelompok 3 Chromolaena odorata Mengelompok 4 Clibadium surinamense Mengelompok 5 Cyperus rotundus Mengelompok 6 Dactyloctenium aegyptum Mengelompok 7 Euphorbia hirta Mengelompok 8 Imperata cylindrica Mengelompok 9 Lantana camara Mengelompok 10 Leucaena leucochepala Mengelompok 11 Mimosa pudica Mengelompok 12 Passiflora foetida Psidium guajava Mengelompok 14 Ricinus communis Sida rhombifolia Mengelompok 16 Spathodea campanulata Mengelompok 17 Stachytarpheta jamaicensis Mengelompok 18 Swietenia macrophylla Mengelompok Keterangan: 1) Hutan dataran rendah primer, 2) Hutan pantai, 3) Hutan dataran rendah sekunder, 4) Padang rumput Derajat Morisita secara umum menunjukkan nilai > 0, artinya pola penyebaran spesies tersebut adalah mengelompok. Fenomena persebaran tumbuhan secara mengelompok di alam sangat umum dijumpai (Odum 1959; Krebs 1972; Ludwig dan Reynolds 1988; Indriyanto 2006). McNaughton dan Wolf (1990) menyebutkan faktor ketersediaan hara dan kondisi iklim merupakan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN BERGUNA DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT WIDA AGUSTINA

POTENSI DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN BERGUNA DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT WIDA AGUSTINA POTENSI DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN BERGUNA DI CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT WIDA AGUSTINA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988). 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dibuktikan dengan terdapat berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan endemik yang hanya dapat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari tiga taman nasional yang ada di Sumatera yang dapat mewakili prioritas tertinggi unit konservasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara yang kaya akan keanekaragaman jenis flora di dunia. Keanekaragaman hayati di Indonesia jauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan secara sistematik, faktual,

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI SEMENANJUNG PRAPAT AGUNG TAMAN NASIONAL BALI BARAT ALDIRA NOVAL NASUTION

KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI SEMENANJUNG PRAPAT AGUNG TAMAN NASIONAL BALI BARAT ALDIRA NOVAL NASUTION KEANEKARAGAMAN DAN POLA SEBARAN SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI SEMENANJUNG PRAPAT AGUNG TAMAN NASIONAL BALI BARAT ALDIRA NOVAL NASUTION DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN (2) METODOLOGI 4/4/2012 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDAHULUAN (2) METODOLOGI 4/4/2012 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KEANEKARAGAMAN DAN POLA PENYEBARAN SPASIAL SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF DI CAGAR ALAM KAMOJANG ANGGA ZAELANI HIDAYAT E34070032 Dosen Pembimbing: Dr.Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara ekologi, invasi merupakan pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju ke area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian secara perlahan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas, Status dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran menyatu dengan Cagar Alam (CA) Pangandaran, merupakan semenanjung

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELlTlAN

METODOLOGI PENELlTlAN METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff.

TINJAUAN PUSTAKA. Tristaniopsis merguensis Griff. 3 TINJAUAN PUSTAKA Tristaniopsis merguensis Griff. 1) Nomenklatur dan Nama lokal. T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812 dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan Taman Hutan Raya Pancoran Mas secara administratif terletak di Kota Depok, Jawa Barat. Luas Tahura Pancoran Mas berdasarkan hasil pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci