BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Letak Indonesia yang sangat strategis, telah dimanfaatkan sejak dahulu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Letak Indonesia yang sangat strategis, telah dimanfaatkan sejak dahulu"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Letak Indonesia yang sangat strategis, telah dimanfaatkan sejak dahulu sebagai jalur pelayaran perdagangan internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan laut antara lain keterbatasan teknologi navigasi, masih rendahnya tingkat keselamatan pelayaran, dan berbagai faktor Iainnya, menjadikan tingkat kecelakaan di laut saat itu masih tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya temuan-temuan kapal tenggelam di perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya Kelautan dan Perikanan memperkirakan terdapat lebih dari 500 titik kapal tenggelam yang tersebar di perairan nusantara (Kompas, 20 April 2013: 12). Dalam hal pengelolaan potensi sumber daya kelautan, keberadaan kapal tenggelam dalam konteks arkeologis merupakan salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Keberadaan kapal tenggelam yang berpotensi sebagai data arkeologi dapat memiliki nilai ilmu pengetahuan, sejarah, dan nilai ekonomi. Benda berharga yang umumnya berasal dari kapal tenggelam, di samping memiliki potensi ekonomi juga mengandung bukti-bukti sejarah/arkeologi maritim, sehingga upaya pemanfaatan benda berharga tersebut perlu mendapat pengawasan yang serius. Bentuk pemanfaatannya diupayakan agar tidak memberi dampak negatif berupa pemusnahan data sejarah budaya/arkeologi yang ada di laut. Potensi ekonomi dari benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam dapat dikontribusikan kepada negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan 1

2 2 Pajak. Target tersebut akan sulit tercapai jika pemanfaatan benda berharga tersebut tidak mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dilakukan secara ilegal. Oleh karena itu, sejak 1989 diberlakukan suatu aturan mengenai proses pengelolaan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam (yang disingkat menjadi BMKT). Menurut Keppres No. 19 Tahun 2007 (pasal 1 ayat 1), BMKT adalah istilah penyebutan untuk benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Hal ini menunjuk pada benda-benda berharga yang berasal dari semua kapal yang tenggelam di wilayah perairan teritorial Indonesia. Wilayah perairan teritorial Indonesia yang dimaksud diatas adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia. Berdasarkan keppres tersebut di atas, benda-benda yang berasal dari semua kapal yang tenggelam dapat disebut sebagai BMKT apabila mempunyai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun. Kegiatan pengkoordinasian pengelolaan BMKT sudah dimulai sejak tahun 1989 melalui pembentukan Panitia Nasional BMKT dengan Ketua Menteri Koordinator Politik dan Keamanan melalui Keppres No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Setelah beberapa kali mengalami perubahan kepengurusan, susunan Panitia Nasional BMKT (PANNAS BMKT) sejak tahun 2000 dikoordinatori oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Keppres No. 107 Tahun Seiring dengan upaya untuk lebih meningkatkan kinerja serta untuk menyesuaikan dengan perubahan susunan tugas pokok dan fungsi kementerian dan lembaga, maka diterbitkan Keppres No.19 Tahun 2007 sebagai revisi atas Keppres No. 107 Tahun Revisi keppres tersebut di atas, dalam kelembagaannya melibatkan unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia,

3 3 Kejaksaan Agung, serta Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam susunan PANNAS BMKT. Pada tahun 2009, dokumen Keppres No.19 Tahun 2007 direvisi kembali menjadi Keppres No. 12 Tahun Perubahan tersebut hanya memperjelas status BMKT pada Pasal 2 dan Pasal 4 ayat 2, sedangkan susunan PANNAS BMKT tetap terdiri atas 17 lembaga pemerintahan sebagaimana tercantum pada sebelumnya (Keppres No.19 Tahun 2007). Dalam upaya mendukung kegiatan pengelolaan BMKT, berbagai perangkat peraturan teknis juga ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Dalam hal ini, tugas Panitia Nasional ialah mengkoordinasikan kegiatan antar departemen; menyiapkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan rekomendasi perizinan survei dan pengangkatan dan pemanfaatan BMKT ke pejabat berwenang; dan menyelenggarakan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian atas proses pengangkatan, pengangkutan dan pemanfaatan BMKT tersebut. Pemerintah dan masyarakat Indonesia mulai menyadari potensi tinggalan arkeologi bawah air setelah terjadi kasus pada tahun 1986 berupa pengangkatan dan pelelangan ilegal muatan kapal kargo VOC Geldermalsen yang karam pada tahun 1751 di perairan Pulau Buaya Riau. Awalnya, benda-benda pada kapal karam menjadi perhatian karena mengandung potensi secara ekonomi. Hal ini dikarenakan benda-benda yang diangkat dari kapal tersebut antara lain berupa lebih dari buah keramik Cina dan 126 batang emas seberat 50 kg. Berdasarkan catatan Balai Lelang Christie s Amsterdam, benda-benda hasil

4 4 pengangkatan kapal kargo VOC Geldermalsen telah terjual melalui pelelangan ini sejumlah 18 juta dollar Amerika (Green, 2004). Walaupun lokasi penemuan kapal karam Geldermalsen berada di wilayah perairan Indonesia, namun seluruh temuan barang dimiliki oleh Michael Hatcher. Berdasarkan berbagai kajian tentang aspek nilai penting benda sejarah dan aspek lainnya, disusun suatu regulasi yang saling menguntungkan antara pemilik wilayah tempat penemuan barang dan kapal karam, pemilik barang, dan pengambil barang. Akan tetapi, pemerintah Indonesia sama sekali tidak mendapatkan hasil dari penjualan tersebut. Oleh sebab itu, kemudian muncul regulasi-regulasi yang cenderung lebih berorientasi pada aspek (ekonomis) nilai jualnya saja. Kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologis bawah air di Indonesia sejauh ini masih terfokus pada pemanfaatan ekonomis atas barang yang diambil/ditemukan, sedangkan kepentingan yang lain seperti nilai penting ilmu pengetahuan, kesejarahan, dan kemanfaatan untuk masyarakat luas seperti yang diamanatkan pada UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 masih kurang diperhatikan. Penggunaan kata Benda Berharga pada istilah Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang dibuat oleh pemerintah juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk keengganan pemerintah untuk mengakui bahwa tinggalan arkeologi bawah air adalah sebagai benda cagar budaya yang wajib dilestarikan. Koos Siti Rochmani (2003) dalam tulisannya di Buletin Cagar Budaya menyebutkan bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air sangat menonjol sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun daripada benda cagar budaya. Padahal jika merujuk pemahaman yang disepakati oleh para ahli, sudah jelas bahwa tinggalan arkeologi bawah air

5 5 adalah benda cagar budaya (UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan arkeologi bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar budaya. Oleh karena itu, UNESCO melarang bentuk-bentuk kegiatan eksploitasi komersial terhadap benda cagar budaya bawah air (Pasal 2 ayat 7, Konvensi UNESCO Tahun 2001). Selama ini titik perhatian utama kegiatan pengangkatan dan pengelolaan BMKT adalah keramik. Hal ini dikarenakan benda hasil pengangkatan asal kapal muatan yang tenggelam, yang berupa keramik, merupakan temuan yang paling banyak dan dominan. Keramik sebagai benda cagar budaya memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, keramik hasil pengangkatan BMKT tersebut juga mengandung nilai informasi dan nilai akademis yang tinggi karena memiliki: 1. nilai kuantitas: semakin banyak jumlahnya maka nilai informasi akan semakin baik namun, semakin banyak jumlah temuan keramik dalam jenis dan masa yang sama, maka nilai ekonomisnya (nilai jual barang tersebut) akan semakin kecil; 2. nilai in situ: lokasi penemuan dipastikan asli dan masih pada tempatnya; 3. nilai otentisitas: pengamatan dari segi bahan, bentuk, dan isi temuan dipastikan asli bukan imitasi atau modifikasi; dan 4. nilai integritas: temuan-temuan lain yang berupa non-keramik dapat saling menunjang atau merupakan suatu perpaduan yang utuh sehingga makna kultural yang dimiliki dapat disajikan secara utuh (Tanudirjo, 2004a). Namun, ketiadaan suatu standar prosedur pelaksanaan penanganan terhadap temuan keramik hasil pengangkatan BMKT di Indonesia ini, dapat

6 6 menyebabkan penurunan kualitas nilai penting atas potensi keramik tersebut bila difungsikan sebagai benda cagar budaya. Penurunan kualitas temuan keramik dari BMKT akan menyebabkan hilangnya nilai informasi dan nilai akademis bahkan akan berdampak pada menurunnya kemanfaatan nilai ekonomis. Salah satu tempat yang memiliki tinggalan arkeologi bawah air yang telah ditindaklanjuti dengan proses kegiatan pengangkatan BMKT adalah di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kegiatan pengangkatan ini dilakukan setelah diterbitkannya izin pengangkatan oleh bupati melalui Surat Keputusan Bupati Jepara No. 185 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007 kepada PT. Adikencana Salvage (PT AKS) berdasarkan surat rekomendasi dari PANNAS BMKT pada 28 Juni Lokasi pengangkatan muatan kapal karam ini terletak pada koordinat ,67 LS ,22 BT di kedalaman 30 mdpl. Titik Pengangkatan BMKT PT AKS Pulau Mandalika PLTU Muria Pulau Panjang Gudang penyimpanan BMKT/ Kantor PT AKS Pelabuhan Kartini Gambar No. 1 Citra satelit yang menunjukan lokasi pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kab. Jepara Sumber:

7 7 Berdasarkan ketentuan teknis pengangkatan BMKT, izin pengangkatan BMKT berlaku hanya untuk satu kali kegiatan pada satu lokasi dengan jangka waktu dua tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu enam bulan. Dalam dokumen laporan hasil pengangkatan BMKT oleh PT AKS kepada Bupati Jepara tanggal 18 Maret 2008, sepanjang tahun kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kabupaten Jepara berlangsung, menghasilkan tidak kurang dari buah keramik yang dapat diangkat. Sementara itu, hasil observasi di tempat penyimpanan BMKT milik PT AKS di Kota Jepara pada tahun 2013 menunjukan fakta bahwa kondisi BMKT berupa keramik pasca pengangkatan tersebut tidak tertangani secara optimal, bahkan terkesan keramik tersebut tidak terurus dengan baik. Ketidakjelasan model pengelolaan dan aturan mengenai penanganan BMKT pasca pengangkatan ini ikut andil dalam menciptakan kondisi tersebut. Kondisi tersebut disebabkan karena tidak ada petunjuk teknis yang jelas dari instansi-instansi terkait. Mengacu pada ketentuan teknis pengangkatan dari PANNAS BMKT, pasca kegiatan pengangkatan BMKT diikuti dengan kegiatan pemilahan kualitas dan kuantitas BMKT untuk kepentingan pelelangan. Akan tetapi kondisi faktual di lapangan, BMKT hasil pengangkatan tersebut hanya tersimpan di dalam gudang penyimpanan tanpa penanganan lebih lanjut, misalnya kegiatan konservasi keramik, pemilahan, pendokumentasian, dan pengepakan. Penanganan tersebut justru perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian BMKT yang berpotensi sebagai objek yang diduga cagar budaya.

8 8 Sementara itu, pada saat proses kegiatan pengangkatan BMKT berlangsung, terjadi beberapa kali insiden yaitu penghentian kegiatan oleh masyarakat nelayan di sekitar lokasi pengangkatan. Kelompok nelayan setempat yang diwakili oleh suatu LSM mengajukan tuntutan klaim ganti rugi karena menganggap kegiatan pengangkatan BMKT tersebut mengganggu aktivitas mereka. Selanjutnya, tuntutan menjadi berkembang berupa adanya keinginan masyarakat nelayan untuk diikut sertakan pada kegiatan pengangkatan, tuntutan bagi hasil dari keuntungan pelelangan BMKT, dan mengklaim agar pihak nelayan dapat memiliki sejumlah benda-benda yang diangkat dari dalam laut. Hal itu terjadi karena tidak adanya suatu sosialiasi mengenai kegiatan pengangkatan BMKT di sekitar lokasi. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menunjukkan adanya permasalahan pengelolaan pada sumber daya arkeologi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai model pengelolaan dan aturan penanganan BMKT pasca pengangkatan oleh pemerintah (dalam hal ini menunjuk pada PANNAS BMKT); selain itu, terdapat pula konflik kepentingan antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT di Perairan Laut Jepara. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi bagaimana sebaiknya prosedur yang tepat mengenai pengelolaan sumber daya arkeologi yang berasal dari kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Jepara. Sesuai dengan sifat penelitian evaluasi, maka penelitian ini juga diupayakan untuk dapat mengetahui keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dijalankan di masa lampau.

9 9 Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyusun tata cara pengelolaan yang lebih baik di masa yang akan datang. B. RUMUSAN MASALAH Atas dasar uraian latar belakang permasalahan di atas, maka sesuai dengan topik penelitian ini, masalah yang akan diungkap adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT di Jepara, Jawa Tengah? 2. Strategi pengelolaan seperti apa yang dapat diterapkan pada pelestarian dan pemanfaatan BMKT di Jepara sebagai warisan budaya? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini ada dua yaitu, pertama untuk mengevaluasi proses pengelolaan BMKT, kedua untuk mengevaluasi kebijakan yang diberlakukan terkait dengan kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Hasil evaluasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dilakukan, dalam rangka memperbaiki dan menyusun tata cara pengelolaan yang lebih baik. Aspek-aspek yang ingin diketahui antara lain adalah unsur-unsur pengelolaan, pihak-pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan, dan mekanisme pengelolaan yang pernah diberlakukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan solusi yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Langkah berikutnya adalah menyusun

10 10 rencana kerja bagi manajemen pelestarian sumber daya arkeologi BMKT di Jepara dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatannya. Rencana kerja tersebut merupakan wujud pemecahan masalah yang tersusun dalam mekanisme kerja yang terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT di Jepara. Hasil akhir dari penelitian evaluatif ini adalah menghasilkan masukan dalam rangka meninjau kembali kebijakan yang berlaku. Selanjutnya, masukan ini nantinya dapat memberikan rekomendasi pengelolaan yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, Pertama, manfaat teoritis yang terkait dengan pemberian wawasan dan pengetahuan yang komprehensif tentang pelestarian dan pemanfaatan dalam pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air. Kedua, manfaat praktis yaitu menjadi suatu masukan kepada para stakeholder dalam merumuskan kebijakan pada upaya pelestarian dan pemanfaatan tinggalan arkeologi bawah air, khususnya BMKT di perairan laut Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi arkeologi, terutama dalam kajian manajemen sumber daya arkeologis. E. TINJAUAN PUSTAKA Studi pelestarian dan pemanfaatan objek tinggalan arkeologis dapat menggunakan kajian Manajemen Sumber Daya Budaya atau Cultural Resource Management (CRM). Kajian ini merupakan sistem pengelolaan sumberdaya

11 11 arkeologi untuk mencapai tujuan tertentu misalnya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan tinggalan budaya masa lampau. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 521) menyebut Manajemen Sumber Daya Budaya sebagai upaya penyelamatan warisan budaya arkeologis melalui perlindungan situs dan arkeologi penyelamatan. Kegiatan ini dilakukan dalam kerangka pelaksanaan hukum yang berlaku. Sementara itu, kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologi dalam hal konsep pelestarian dan pengelolaannya memiliki tiga hal model pemanfaatan (Cleere, 1989: 5--10) yaitu, pertama nilai ideologis, untuk memantapkan identitas budaya (termasuk di dalamnya aspek kesejarahan) suatu kelompok masyarakat, kedua nilai akademis yang berkaitan dengan aspek keilmuan dan penelitian, ketiga nilai ekonomi yang berhubungan dengan kemanfaatan, kepentingan pariwisata, dan kemampuan atau kemungkinannya untuk mendapatkan keuntungan. Satu hal yang sangat penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumber daya arkeologi adalah bentuk pemanfaatan yang berwawasan pelestarian. Konsep ini digunakan untuk melindungi dan mengatur upaya-upaya pelestarian sumber daya budaya dan nilai-nilai yang dikandungnya, sehingga dapat berbanding lurus dengan perolehan kualitas baik nilai ideologis maupun nilai ekonomisnya. Tinggalan arkeologi bawah air yang juga termasuk dalam kategori cagar budaya harus diperlakukan sama dengan warisan budaya lainnya. Oleh karena itu, Hari Untoro Drajat (2002) mengemukakan bahwa setiap kegiatan eksploitasi terhadap arkeologi bawah air yang mengarah pada pemanfaatan harus mengacu pada prinsip-prisip pelestarian, tidak hanya mengacu pada kepentingan profitabilitas semata. Dengan demikian, kegiatan eksplorasi terhadap potensi

12 12 tinggalan arkeologi harus dilakukan dengan menggunakan metode, teknik yang berlaku secara akademis, dan sesuai dengan prinsip kerja yang ada. Jadi, nilainilai keaslian yang melekat pada benda-benda tersebut tidak berubah, serta dapat digunakan untuk kajian pengungkapan sejarah, budaya masa lalu dan ilmu pengetahuan. Penelitian mengenai kajian arkeologi bawah air di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya metode penelitian yang mapan. Selain itu, penelitian semacam ini merupakan kajian yang relatif baru dan belum populer di Indonesia jika dibandingkan dengan kajian arkeologi di darat (terrestrial archaeology). Judi Wahjudin (2003) dalam sebuah artikel pernah memaparkan tentang metode penelitian bawah air yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia, namun pemaparan metode tersebut masih bersifat pengenalan dan sangat umum. Penelitian terhadap artefak temuan BMKT pernah dilakukan oleh Niko Roni Setiawan (2009) terhadap hasil pengangkatan BMKT di Cirebon. Penelitian tersebut dilakukan terhadap artefak wadah berbahan kaca dengan menerapkan suatu kajian analisis terhadap variasi artefak serta kandungan komposisi unsur kimianya melalui uji laboratorium. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa artefak wadah berbahan kaca BMKT Cirebon berasal dari Cina pada Abad X Masehi. Kajian artefaktual mengenai hasil dari kegiatan pengangkatan BMKT pernah dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati dari Departemen Kelautan dan Perikanan di Cirebon. Penelitian tersebut diklaim oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati DKP sebagai kegiatan ekskavasi BMKT pertama yang mengikuti standar arkeologi bawah air yang tinggi (Leibner, 2005: 3). Hasil kajian tersebut memaparkan bahwa muatan

13 13 kapal (BMKT) di situs perairan Cirebon menunjukkan jenis yang beraneka ragam, sehingga mencerminkan jangkauan jalur perdagangan di kawasan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan pada masa itu. Kajian lengkap mengenai BMKT di Cirebon diterbitkan oleh PANNAS BMKT untuk yang pertama kali pada tahun 2008 (Utomo, 2008). Buku tersebut merupakan dokumentasi tertulis dari hasil temuan arkeologis bawah laut di perairan laut utara Cirebon yang dilakukan oleh PT Paradigma Putra Sejahtera pada tahun Selain di perairan laut utara Cirebon, di perairan laut Jawa setidaknya telah dieksplorasi beberapa situs kapal karam, diantaranya Java Sea Wreck oleh Pasific Sea Resources bersama PT Sulung Segarajaya pada tahun Java Sea Wreck merupakan situs kapal karam di perairan Laut Jawa yang berlokasi di antara Pulau Bangka dan Jakarta. Laporan arkeologis yang komprehensif mengenai pengangkatan tersebut telah diterbitkan oleh Pasific Sea Resources pada tahun 1997 dengan judul The Archaeological Recovery of the Java Sea Wreck (Mathers dan Flecker, 1997). Situs kapal karam lainnya adalah Intan Shipwreck yang merupakan situs kapal karam di perairan Laut Jawa yang berlokasi di antara Pulau Bangka dan Jakarta, hanya berjarak 10 mil laut dari lokasi situs Java Sea Wreck. Pengangkatan BMKT dilakukan pada tahun 1997 oleh PT Sulung Segarajaya (perusahaan yang sama dengan yang mengeksplorasi Java Sea Wreck) berkerjasama dengan perusahaan dari Jerman yaitu Seabed Explorations. Penelitian ilmiah dan komprehensif pada kegiatan eksplorasi ini dilakukan oleh Michael Flecker (2001b). Penerapan kajian CRM pada peninggalan arkeologi bawah air secara ilmiah pernah dilakukan oleh Yadi Mulyadi (2009). Penelitian tersebut melihat

14 14 penerapan community development/pelibatan peran masyarakat pada tahaptahap pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air di situs Gua Moko kawasan pantai Nirwana, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampai saat ini belum ada kajian ilmiah mengenai penerapan CRM pada tinggalan arkeologi bawah air berupa BMKT dari situs kapal karam yang berada di perairan laut Jepara. F. LANDASAN TEORI Dalam studi arkeologi, pengelolaan terhadap sumber daya budaya di beberapa tempat dikenal dengan berbagai istilah, di antaranya adalah Archaeological Heritage Management (Eropa), Archaeological Resource Management (Inggris), Cultural Heritage Management (Australia), dan Cultural Resource Management atau Public Archaeology (Amerika). Walaupun menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun pada dasarnya objek dan prinsip pelaksanaannya sama (Carman, 2002: 5). Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan selanjutnya untuk kegiatan pengelolaan sumber daya budaya adalah Cultural Resource Management yang selanjutnya disingkat menjadi CRM. Dalam lingkup kajian CRM, beberapa istilah yang digunakan diantaranya seperti warisan budaya, sumber daya budaya, atau pusaka budaya, maka istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sumber daya budaya. Penggunaan istilah tersebut mempertimbangkan fakta bahwa setiap data arkeologis pada dasarnya telah mengalami proses penyebaran vertikal (dalam kronologi dimensi waktu) dan penyebaran horisontal (dalam dimensi ruang), sehingga kemudian menjadi suatu bentuk warisan budaya (cultural heritage). Namun di sisi lain, data arkeologis juga dapat dilihat sebagai sumber daya

15 15 (resource) yang dapat dikelola dan dimanfaatkan seperti halnya sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Atas dasar tersebut, maka dalam penelitian ini menggunakan istilah sumber daya budaya (cultural resource). Sumber daya budaya merupakan aset yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik untuk kepentingan ideologis, akademis, maupun untuk kepentingan ekonomis (Cleere, 1989: 10). Dengan demikian, maka sumber daya budaya perlu mendapat pengelolaan secara tepat agar kelestariannya dapat terjaga dan terlindungi. Untuk itu, diperlukan suatu bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumber daya budaya. Langkah tersebut diperlukan agar kualitas artefak sebagai sumber data utama dapat dipertahankan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian arkeologi pada khususnya. Satu hal yang penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumber daya budaya adalah upaya perlindungan dengan menerapkan suatu mekanisme yang baku. Secara lebih praktis, Michael Pearson dan Sharon Sullivan (1995: 10) menyatakan bahwa pelestarian harus dilakukan melalui langkah pendokumentasian dan identifikasi sumber daya, penilaian signifikansi, perencanaan, pelaksanaan atau implementasi, monitoring, dan evaluasi. Henry F Cleere (1989, 5--10) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya arkeologi didasari oleh filosofi yang melihat kegunaan sumber daya arkeologi sebagai jati diri (cultural identity) suatu komunitas yang merupakan fungsi ideologisnya, fungsi ekonomis yang antara lain melalui kepariwisataan, dan fungsi akademis

16 16 dalam rangka menjaga dan menyelamatkan keberadaan data tentang sumber daya tersebut. Dalam manajemen sumber daya arkeologi, terdapat dimensidimensi baru yang mencakup berbagai kepentingan di luar ilmu arkeologi atau peneliti arkeologi, di antaranya kepentingan ekonomi, pendidikan, wisata, masyarakat, generasi mendatang, pengelolaan jangka panjang, serta aspek hukum dan politis (Tanudirjo, 2004b). Manajemen sumber daya arkeologi dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber daya arkeologi, menetapkan strategi untuk pelestarian jangka panjang baik melalui upaya-upaya hukum maupun perlindungan, serta pengawetan fisik. Selain itu, manajemen sumber daya arkeologi juga menerapkan sistem manajemen yang dapat menjamin agar nilainilai sumber daya arkeologi tidak menurun, mengurangi kemungkinan kerusakan, atau mengusahakan mitigasi yang sebaik-baiknya jika kerusakan tidak dapat dihindari. Pada batas-batas yang memungkinkan, manajemen sumber daya arkeologi menyajikan nilai-nilai sumber daya arkeologi kepada masyarakat luas melalui kemudahan akses dan interpretasi (Tanudirjo, 2008). Menurut Donald G Macleod (1977: 64), pengelolaan sumber daya arkeologi idealnya melibatkan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu masyarakat, akademisi, dan pemerintah, yang masing-masing memiliki peranan dan kedaulatan yang berbeda. Sampai saat ini, sistem pengelolaan sumber daya arkeologi cenderung masih menjadi otoritas pemerintah semata. Sistem ini nyaris bersifat tertutup dan eksklusif, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan stakeholders lainnya. Sebagai akibatnya, peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya arkeologi menjadi terbatas (Tanudirjo, 2004b). Bahkan, mereka cenderung menjadi korban kebijakan yang mengakibatkan kekecewaan,

17 17 kekhawatiran, pembatasan kegiatan, dan bahkan kehilangan penghasilan, yang akhirnya memunculkan konflik. Secara garis besar, tata kerja manajemen sumber daya arkeologi terdiri atas lima tahap utama, yaitu identifikasi sumber daya arkeologi (studi kelayakan); penetapan nilai-nilai penting; merancang dan melaksanakan kebijakan pelestarian dan pengelolaan; merancang dan melaksanakan strategi pelestarian; serta merancang dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan evaluasi (Pearson dan Sullivan, 1995: 8--10). Identifikasi meliputi menemukan, mengenali, dan merekam berbagai aspek yang terkait dengan sumber daya arkeologi, baik lokasinya, lingkungan, ukuran, bentuk dan jenisnya, jumlah, kepemilikan, serta berbagai aspek deskripisi lain dari sumber daya arkeologi yang bersangkutan. Selanjutnya, penetapan nilai penting dilakukan untuk mengkaji dan menemukan nilai-nilai penting dari sumber daya arkeologi serta bagianbagiannya yang dapat mengandung, menunjukkan, atau mencerminkan nilai-nilai penting tersebut. Hasil dari penetapan nilai penting yang terkandung dalam sumber daya arkeologi digunakan untuk merancang kebijakan pelestarian dan pengelolaan, dengan mempertimbangkan hambatan dan potensi untuk melestarikan dan mengelola sumber daya arkeologi. Langkah ini berkaitan dengan nilai-nilai apa atau bagian situs mana yang akan dilestarikan, dikembangkan, dapat diakses publik dan tidak, interpretasi dan presentasi kepada publik, serta bagaimana proses pengawetan dan perlindungan yang akan dilakukan. Pada tahap ini juga harus dikembangkan struktur organisasi pengelola dengan hak kewajiban dan kewenangan masing-masing. Selain itu juga perlu ditetapkan tolok ukur keberhasilan manajemen (Tanudirjo, 2004b).

18 18 Langkah selanjutnya adalah menentukan strategi untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan melalui rancangan pengelolaan dan pelestarian beserta program-programnya. Implementasi yang dapat dilakukan antara lain teknis aksesibilitas kepada publik, teknik pengawetan yang tepat untuk diterapkan pada sumber daya arkeologi, penyusunan prosedur penggalangan dana, serta cara melaksanakan pendidikan masyarakat tentang sumber daya arkeologi (Tanudirjo, 2004b). Dalam kaitannya dengan strategi dan implementasi pelestarian, manajemen sumber daya arkeologi menekankan pada pendekatan berkelanjutan. Hal ini terkait dengan kepentingan jangka panjang untuk generasi mendatang. Langkah terakhir adalah menyusun cara-cara untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian. Manajemen yang telah dilaksanakan tentu harus dimonitor dan dinilai keberhasilannya. Untuk itu perlu ditetapkan tolok ukur dan cara-cara mengukur keberhasilan proses pelestarian dan pengembangannya, serta bagaimana mekanisme pemantauan dan evaluasi akan dilakukan (Tanudirjo, 2004b). Dalam pelaksanaan manajemen sumber daya arkeologi, harus selalu disadari bahwa minat dan kepentingan terhadap sumber daya arkeologi tidak sama bagi berbagai pihak. Minat dan kepentingan tersebut seringkali saling bertentangan sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesia juga seringkali diwarnai dengan konflik kepentingan. Oleh karena itu, manajemen sumber daya arkeologi harus dipandang sebagai manajemen konflik (Tanudirjo,2004b). Fenomena konflik tersebut perlu disikapi melalui introspeksi dengan mengevaluasi relevansi model pengelolaan yang

19 19 telah diterapkan dengan tuntutan konteks masa kini sehingga diperoleh pemahaman apakah diperlukan suatu modifikasi atau penyesuaian. G. CARA PENELITIAN Sesuai dengan lokasi kegiatan pengangkatan BMKT, penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Objek kajian dalam penelitian ini adalah kegiatan dan hasil pengangkatan BMKT di perairan Laut Pulau Mandalika, Kab. Jepara, Jawa Tengah selama tahun yang dikelola oleh PT Adikencana Salvage. Selain itu, pengamatan dilakukan pula terhadap peraturan perundangan berkait dengan kegiatan pengangkatan BMKT yang berasal dari stakeholders baik yang berada di wilayah Kabupaten Jepara maupun di tempat-tempat lain seperti PANNAS BMKT pada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta, dan Direktorat Warisan Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan cara penelitian kualitatif evaluatif, yaitu untuk melihat dan meneliti pelaksanaan suatu kegiatan, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan kegiatan, serta untuk mengukur apakah tujuan kegiatan tersebut tercapai (Singarimbun dkk, 1989: 6). Sebagaimana dalam kajian manajemen sumber daya arkeologi, penelitian ini diawali dengan kegiatan identifikasi terhadap sumber daya arkeologi hasil pengangkatan BMKT. Selain itu, juga dilakukan identifikasi terhadap kondisi dan riwayat pengelolaan BMKT di Indonesia secara umum termasuk di dalamnya kegiatan pengelolaan BMKT yang dilakukan di wilayah Kab. Jepara. Selain itu, penggunaan pendekatan kualitatif berupaya untuk menafsirkan fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Metode penelitian yang digunakan yaitu

20 20 pengamatan langsung, dan pemanfaatan dokumen yang hasilnya kemudian dideskripsikan oleh peneliti. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena hasil laporan penelitian ini adalah uraian tentang pengelolaan dan pemanfaatan, potensi-potensi sumber daya budaya, dan alternatif pengembangan hasil evaluasi yang berdasar dari data catatan lapangan, dan dokumentasi atau publikasi. Sebagai cagar budaya, maka tolok ukur evaluasi harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan benda cagar budaya sebagaimana yang berlaku pada umumnya. Tolok ukur evaluasi dalam kajian ini menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Hal ini dikarenakan objek evaluasi berupa dua tahapan awal dari rangkaian tahapan pengelolaan BMKT yang dikaji dalam penelitian ini terjadi pada saat undang-undang tersebut masih diberlakukan. Kemudian, pada tahapan berikutnya tolok ukur evaluasi menggunakan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyesuaikan dengan konteks waktu saat perundangan tersebut diberlakukan. Selain itu, digunakan juga peraturan perundangan berupa dokumen-dokumen regulasi pengelolaan peninggalan bawah air. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, data penelitian diperoleh dengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi observasi atau pengamatan secara langsung terhadap sumber daya arkeologi yang ada di lokasi penelitian. Data ini meliputi data pengamatan melalui kegiatan partisipatoris penulis terhadap sumber daya arkeologi berupa BMKT di Kabupaten Jepara selama kegiatan pengangkatan BMKT sejak tahun

21 21 Sementara itu, data yang bersifat sekunder diperoleh dengan pemanfaatan sumber-sumber pustaka berupa buku, artikel (baik bersifat ilmiah maupun populer dari sumber tercetak dan sumber website di jaringan internet), dokumen-dokumen kebijakan, dan data piktorial yang berhubungan secara langsung dengan pengelolaan BMKT. Dari data-data tersebut di atas diharapkan diperoleh informasi di antaranya cara pandang stakeholders terhadap pengelolaan keramik hasil pengangkatan BMKT. Di samping itu, akan diperoleh riwayat pengelolaan BMKT di Kab. Jepara yang meliputi kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui proses pembentukan pengelolaan yang berlangsung terutama pada saat pengangkatan BMKT, serta untuk mengetahui permasalahan yang ada dalam pengelolaan tersebut. Data yang sudah diperoleh selama proses penelitian pada akhirnya dianalisis, baik kualitas datanya maupun akurasinya dengan cara direduksi dan interpretasi data guna mendapatkan hasil yang benar-benar merupakan interpretasi dari data penelitian yang diperoleh di lapangan. Dari data yang diperoleh tersebut diharapkan akan didapat gambaran mengenai kegiatan pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi pengelolaannya pada tahap analisis. Pada tahap analisis, evaluasi yang dilakukan meliputi proses kegiatan berupa survei (kegiatan mencari dan mengidentifikasi keberadaan dan potensi BMKT), pengangkatan (kegiatan mengangkat dari bawah air, memindahkan, menyimpan, inventarisasi, dan konservasi BMKT dari lokasi asal penemuan ke tempat penyimpanannya), dan pemanfaatan BMKT (kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk pemerintah).

22 22 Selanjutnya, acuan evaluasi yang digunakan diambil dari prinsip-prinsip dalam manajemen sumber daya arkeologi, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan dokumen-dokumen regulasi pengelolaan peninggalan bawah air yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 2. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Antara Pemerintah dan Perusahaan; 3. Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 12 Tahun 2009; 4. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; dan 6. Permen Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.48/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian kegiatan pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Jepara dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Hasil kegiatan evaluasi tersebut di atas digunakan sebagai dasar untuk mencoba merumuskan strategi pengelolaan sumber daya arkeologi yang tepat

23 23 pada kegiatan pengangkatan BMKT di Jepara, Jawa Tengah. Mengingat bahwa dalam pengelolaan sumber daya arkeologi seringkali berpotensi menimbulkan konflik, maka perlu dilakukan pemetaan kepentingan dari berbagai pihak terkait. Dengan demikian, diharapkan strategi pengelolaan sumber daya arkeologi yang dihasilkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan (aspek akademis, ekonomi, dan sosial). Langkah-langkah penelitian di atas dapat dirumuskan secara sederhana dalam bagan alir sebagai berikut Bagan No. 1 Bagan alir kegiatan penelitian Latar belakang masalah Penentuan permasalahan, tujuan, dan landasan teori Pengumpulan Data Latar belakang sejarah lokasi penelitian Identifikasi sumber daya arkeologi BMKT di perairan Laut Jepara Kondisi dan riwayat pengelolaan BMKT di Jepara Analisis Penentuan status BMKT di Jepara Perumusan Tolok Ukur Evaluasi Pengelolaan BMKT Evaluasi terhadap pengelolaan BMKT di Jepara Hasil Penelitian Hasil evaluasi terhadap pengelolaan BMKT di Jepara Rekomendasi strategi pengelolaan BMKT di Jepara

BAB IV PENUTUP. Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan

BAB IV PENUTUP. Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan BAB IV PENUTUP Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan perdagangan lokal dan global masa lalu. Adanya kapal karam dengan muatannya (BMKT) yang ditemukan di wilayah perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dilihat dari sejarah Indonesia ketika berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu, kemudian lahirnya

I. PENDAHULUAN. Dilihat dari sejarah Indonesia ketika berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu, kemudian lahirnya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentu memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dilihat dari sejarah Indonesia ketika berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu, kemudian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perahu/kapal merupakan salah satu bentuk dari objek kajian arkeologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perahu/kapal merupakan salah satu bentuk dari objek kajian arkeologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perahu/kapal merupakan salah satu bentuk dari objek kajian arkeologi yang mampu menunjukkan keterkaitan antar unsur-unsur budaya maritim lainnya (Thufail, 2010). Banyak

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM OLEH PEMERINTAH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Prosedur. Status. Kapal Tenggelam.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Prosedur. Status. Kapal Tenggelam. No.440, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Prosedur. Status. Kapal Tenggelam. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184/PMK.06/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Cagar Budaya merupakan salah satu kekayaan negara yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Cagar Budaya merupakan salah satu kekayaan negara yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Cagar Budaya merupakan salah satu kekayaan negara yang dapat menunjukkan identitas bangsa. Pencarian akar budaya di masa lampau dan upaya perlindungan atasnya merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA SELAKU KETUA PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA SELAKU KETUA PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA SELAKU KETUA PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA - 1 - KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 107 TAHUN 2000 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk pengangkatan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan 2014 Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG KEPUTUSAN NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA NASIONAL PENGANGKATAN DAN PEMANFAATAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL YANG TENGGELAM DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dan memiliki wilayah laut yang sangat luas maka salah satu moda transportasi yang sangat diperlukan adalah angkutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

2016, No yang Tenggelam tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Survei dan pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Teng

2016, No yang Tenggelam tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Survei dan pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Teng No. 327, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KKP. Survei dan Pengangkatan. Benda Berharga. Kapal Tenggelam. Perizinan. Moratorium. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA SELAKU KETUA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.14/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TELUK BATANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.11/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu pulau yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.10/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA

MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar Cagar Budaya dimiliki oleh masyarakat, sehingga perlu diupayakan agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1993 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.12/MEN/2009 TENTANG WILAYAH KERJA DAN WILAYAH PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN PANTAI SUNGAILIAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa warisan budaya Bali merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Candi Prambanan merupakan salah satu cagar budaya Indonesia yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah UNESCO sejak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Peningkatan kesejahteraan rakyat dan Pembanguna n Nasional. Tahun 1989 dibentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT

Peningkatan kesejahteraan rakyat dan Pembanguna n Nasional. Tahun 1989 dibentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT 1 2 Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) Peningkatan kesejahteraan rakyat dan Pembanguna n Nasional Tahun 1989 dibentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT Maraknya pencurian

Lebih terperinci

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

NOMOR 11 TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 11 TAHUN 2 0 1 3 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III. dan Benua. Gambar

BAB III. dan Benua. Gambar BAB III PERLINDUNGANN CAGAR BUDAYA BAWAH AIR DI INDONESIA 3.1 Sejarah Cagar Budaya Bawah Air di Indonesia Secara geografis, Indonesia merupakan sebuah kepulaun bahari yang terdiri dari 17.508 pulauu dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.35/MEN/2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.35/MEN/2011 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.35/MEN/2011 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBAS DAN LAUT SEKITARNYA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini akan membahas mengenai (1) latar belakang; (2) rumusan permasalahan; (3) tujuan dan kegunaan; (4) ruang lingkup penelitian; (5) kerangka pemikiran; dan (6) sistematika

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1879, 2014 KEMENHUB. Pelabuhan. Terminal. Khusus. Kepentingan Sendiri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 73 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG OPERASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 29 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci