V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju Perubahan Tutupan Lahan Terbangun di Kota Padang Urbanisasi ditandai dengan adanya gerakan penduduk yang berpindah dan menetap dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Dengan adanya perpindahan tersebut daerah perkotaan akan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk akan ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan perumahan dan sarana-prasarana penunjang bagi masyarakat lainnya (lahan-lahan terbangun). Berdasarkan hal tersebut, didalam peneliitian ini kegiatan urbanisasi akan menimbulkan adanya perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun. Secara bersamaan tutupan lahan terbangun dan jumlah penduduk akan memperlihatkan bagaimana arah pemencaran perkembangan wilayah Kota Padang Perubahan tutupan lahan terbangun kota Padang tahun 1994 dan 2006 Perkembangan tutupan lahan terbangun selalu mengikuti perkembangan jumlah penduduk. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 1994 dan tahun 2006 didapatkan informasi penggunaan lahan aktual. Informasi penggunaan lahan dalam bentuk spasial dapat menggambarkan komposisi atau konfigurasi kondisi penggunaan lahan di suatu lokasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat TM tahun 1994, struktur tutupan lahan kota Padang tahun 1994 didominasi oleh penggunaan lahan hutan sebesar 71,07 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : badan air/sawah 11,22 %, lahan terbangun 10,52 %, kebun campuran 5,13 %, semak belukar 1,39 %, dan lahan kosong 0,67 %. Sementara itu, berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat ETM tahun 2007, struktur penggunaan lahan masih didominasi oleh hutan sebesar sebesar 70,09 % dari luas wilayah kota Padang. Selanjutnya berturut-turut : lahan terbangun 15,73 %, kebun campuran 3,30 %, semak belukar 0,67 %, sawah 9,51 %, dan lahan kosong 0,71 %. Struktur penggunaan lahan tahun 1994 dan tahun 2007 disajikan pada Tabel 17, dan sebaran spasialnya ditunjukkan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tutupan lahan terbangun mengalami perluasan sebesar 3.617,90 ha antara tahun Laju pertumbuhan rata-rata tutupan lahan terbangun antara tahun adalah yang tertinggi dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya, yakni sebesar 3,81%. Sedangkan tutupan lahan kebun campuran mengalami pengurangan terbesar yaitu seluas 1.296,33 ha. 55

2 56 Tabel 17. Struktur Tutupan Lahan di Kota Padang Tahun 1994 dan 2007 Penggunaan Lahan Tahun 1994 Tahun 2007 Perubahan Laju Luas Luas % % % (Ha) (Ha) Luas (Ha) Perubahan Rata-rata Hutan 49392,91 71, ,12 70,09-681,79-0,002-0,11 Kebun Campuran 3589,05 5, ,72 3, ,33-0,052-2,73 Lahan Terbangun 7316,83 10, ,63 15, ,80 0,071 3,80 Semak Belukar 938,56 1,35 464,00 0,67-474,56-0,073-4,14 Lahan Kosong 463,89 0,67 490,07 0,71 26,18 0,008 0,43 Badan Air/Sawah 7794,76 11, ,46 9, ,30-0,022-1,17 Jumlah 69496,00 100, ,00 100,00 Sumber: Hasil analisis data penelitian, 2010 Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di kota Padang berdasarkan hasil interpretasi citra mengalami peningkatan antara tahun Perubahan lahan terbangun pada umumnya berasal dari tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran. Setelah dilakukan pemeriksaan ke lapangan lahan tutupan lahan semak belukar dan kebun campuran sangat luas di daerah yang berada pada kemiringan 0-2%, yang sebagian besar berada di kecamatan Koto Tangah. Perubahan tutupan lahan tersebut sejalan dengan pernyataan Rustiadi (2001) bahwa proses alih fungsi lahan umumnya berlangsung dari aktivitas dengan economic land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan economic land rent yang lebih tinggi. Penggunaan lahan sebagai kawasan terbangun (permukiman, perkantoran, pertokoan, dan fasilitas-fasilitas yang berbentuk bangunan lainnya) memiliki nilai economic land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu penggunaan lahan sebagai lahan terbangun akan terus meningkat luasannya. Sebaliknya penggunaan lahan hutan, sawah dan semak belukar akan terus menurun. Dengan demikian secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang semakin menurun padahal dilain pihak permintaan akan sumberdaya terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita.

3 57 Gambar 13. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 1994

4 58 Gambar 14. Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 2007

5 59 Tabel 18. Matrik Perubahan Tutupan Lahan dari antara Tahun 1994 dan Tahun Hutan Kebun Campuran Lahan Kosong Lahan Terbangun Sawah Semak Hutan 48711,12 532,77 18,06 106,14 21,15 3,68 Kebun Campuran ,13 1, ,23 54,77 0 Lahan Kosong , Lahan Terbangun , Sawah , ,44 0 Semak 0 122,83 6,19 332,12 17,10 460,31 Sumber : Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010) Tabel 19. Luas Perubahan Tutupan Lahan (ha) menjadi Lahan Terbangun di Kota Padang antara Tahun 1994 dan Tahun 2007 Kecamatan Perubahan Lahan Bgs L.Kl L.Bg P.Sl P.Tm P.Br P.Ut Ngl Krj Pauh Kt.T Hutan menjadi Terbangun 1,41 11,93 17,55 2,78 0,00 0,00 0,00 0, ,79 48,68 Semak menjadi Terbangun 0,00 11,72 6,85 1,61 14,04 2,16 11,52 15,32 58,82 26,73 183,35 Kebun menjadi Terbangun 38,24 97,11 164,36 40,22 81,39 5,86 18,85 60,41 445,30 110,58 742,91 Sawah menjadi Terbangun 27,92 77,74 162,79 5,37 103,83 1,31 10,43 31,89 348,37 104,42 495,24 Jumlah 67,57 198,50 351,55 49,98 199,26 9,33 40,80 107,62 852,49 265, ,18 Sumber : Hasil Analisis Matrix Citra Landsat TM 5+ tahun 1994 dan Citra Landsat ETM 7+ tahun 2007 dengan ArcView 3.3 (2010) Keterangan: Bgs (Bungus Teluk Kabung); L.Kl (Lubuk Kilangan); L.Bg (Lubuk Begalung);P.Sl (Padang Selatan); P.Tm (Padang Timur); P.Br (Padang Barat) P.Ut (Padang Utara); Ngl (Nanggalo); Krj (Kuranji); Pauh (Pauh); Kt.T (Koto Tangah) Gambar 15. Diagram Jumlah Perubahan Tutupan Lahan menjadi lahan terbangun antara tahun

6 60 Kecamatan Koto Tangah mengalami perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun terbesar yaitu seluas 1.470,18 ha. Tutupan lahan kebun campuran merupakan lahan yang paling tinggi mengalami perubahan menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 742,91 ha, disusul secara berurutan oleh tutupan lahan sawah (495,24 ha), semak belukar (183,35) dan hutan (48,68 ha). Sedangkan kecamatan Padang Barat merupakan kecamatan paling rendah terjadi perubahan tutupan lahan, hanya seluas 9,33 ha daerah ini mengalami perubahan tutupan lahan menjadi lahan terbangun Pola Pemencaran kota Padang. Luas lahan terbangun di Kota Padang mengalami peningkatan 5,20 % dari persentase luas lahan terbangun antara tahun 1994 sampai tahun 2007, dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 3,80 %. Perluasan lahan terbangun paling besar adalah di kecamatan Koto Tangah, sebesar 40,69 % dan yang paling kecil pada kecamatan Padang Barat, sebesar 0,26 %. Namun dalam pertumbuhan jumlah penduduk kecamatan Padang Barat mengalami penurunan jumlah penduduk yang cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan lain yaitu sebesar -9,53 % dari peningkatan jumlah penduduk kota Padang secara keseluruhan antara tahun Sedangkan di kecamatan Koto Tangah pertumbuhan luas lahan terbangun berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dengan penambahan julmlah penduduk sebesar 40,49 % dan perluasaan luas lahan terbangun sebesar 40,69 % dari total pertambahan jumlah penduduk dan perluasan lahan terbangun kota Padang. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk paling tinggi berada pada kecamatan Koto Tangah, sebesar 3,91 % dan yang paling rendah di kecamatan Padang Barat dengan - 1,34 %. Secara keseluruhan laju perluasan lahan terbangun dan laju pertumbuhan kota padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007 disajikan pada Tabel 20.

7 61 Tabel 20. Perbandingan perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan jumlah penduduk antara tahun 1994 sampai tahun 2007 No. Kecamatan Perluasan lahan terbangun Pertumbuhan penduduk Luas (ha) % Jiwa % 1. Bungus Teluk Kabung 67,57 1, ,50 2. Lubuk Kilangan 198,50 5, ,41 3. Lubuk Begalung 351,55 9, ,99 4. Padang Selatan 49,98 1, ,52 5. Padang Timur 199,26 5, ,11 6. Padang Barat 9,33 0, ,53 7. Padang Utara 40,80 1, ,81 8. Nanggalo 107,62 2, ,16 9. Kuranji 852,49 23, , Pauh 265,52 7, , Koto Tangah 1.470,18 40, ,49 Jumlah 3.612,80 100, ,00 Sumber: Hasil analisa data, 2010 Berdasarkan data Tabel 20, terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sebagian besar kecamatan di Kota Padang antara tahun 1994 sampai tahun 2007, kecuali di kecamatan Padang Barat (mengalami pengurangan jumlah penduduk). Kecamatan yang mengalami peningkatan paling tinggi adalah kecamatan Koto Tangah sebesar 40,49%, dan kecamatan Padang Utara mengalami peningkatan jumlah paling kecil yaitu sebesar 0,81%. Sementara itu, kecamatan Padang Barat mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu sebesar -9,53%. Kecamatan Padang Barat merupakan pusat kota dari Kota Padang, karena sebagian besar pusat pemerintahan dan pusat ekonomi berada di kecamatan ini. Penurunan jumlah penduduk di kecamatan Padang Barat disebabkan karena faktor perkembangan kota. Penurunan jumlah penduduk pada kecamatan Padang Barat lebih banyak disebabkan karena semakin tumbuhnya pusat-pusat pemerintahan dan ekonomi. Hal ini menimbulkan peningkatan nilai tanah dan sewa lahan, sehingga di daerah ini lebih diminanti sebagai tempat perniagaan. Sedangkan untuk tempat pemukiman, masyarakat mencari daerah-daerah pinggir kota yang belum padat dan nilai sewa lahannya pun relatif lebih murah. Namun penurunan jumlah penduduk yang sangat tinggi tersebut juga akibat adanya permasalahan pada proses pendataan jumlah penduduk (sensus penduduk tahun 2000). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan metode perhitungan jumlah penduduk ketika itu.

8 62 Persentase Perubahan Tutupan Lahan Terbangun dan Peningkatan Jumlah Penduduk Kota Padang Per-kecamatan 50,00 40,00 Persentase 30,00 20,00 10,00 terbangun penduduk 0,00 Bungus Teluk Kabung Lubuk Kilangan Lubuk Begalung Padang Selatan Padang Timur Padang Barat Padang Utara Nanggalo Kuranji Pauh Koto Tangah -10,00 Kecamatan Gambar 16. Grafik persentase perubahan tutupan lahan terbangun dan peningkatan jumlah penduduk Kota Padang per-kecamatan antara tahun Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk di kota Padang begerak kearah pinggir kota, yaitu kebagian utara Kota Padang. Hal ini terlihat dari persentase perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk, kecamatan Koto Tangah lebih dari 40 % pertumbuhan penduduk maupun perluasan lahan terbangun. Sementara itu, kecamatan Kuranji hampir 30 %, sedangkan pada kecamatan lainnya tidak mencapai 10 % (perluasan lahan terbangun) dan dibawah 12 % pada pertumbuhan penduduk. Perluasan lahan terbangun dan pertumbuhan penduduk menyebabkan pertumbuhan jumlah sarana hunian, data jumlah sarana hunian/rumah dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah Sarana Hunian/Rumah dan Kepadatan Penduduk Di Kota Padang Tahun 2007 No. Kecamatan Luas (km 2 ) Jumlah Rumah (Unit) Luas Lahan Terbangun (ha) Jumlah Penduduk Jumlah penduduk /rumah Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) 1. Bungus Tl. Kabung 100, , ,43 234,09 2. Lubuk Kilangan 85, , ,50 495,23 3. Lubuk Begalung 30, , , ,06 4. Padang Selatan 10, , , ,17 5. Padang Timur 8, , , ,68 6. Padang Barat 7, , , ,00 7. Padang Utara 8, , , ,97 8. Nanggalo 8, , , ,00 9. Kuranji 57, , , , Pauh 146, , ,67 358, Koto Tangah 232, , ,91 680,11 Kota Padang 649, , , ,10 Sumber : Hasil Analisa Data dan BPS Kota Padang, 2010

9 63 Berdasarkan luas lahan terbangun dan jumlah penduduk setiap kecamatan di kota Padang tahun 2007 terlihat bahwa kepadatan paling tinggi adalah di kecamatan Padang selatan yaitu 127,96 jiwa/km 2. Sedangkan kepadatan paling kecil adalah di kecamatan Koto Tangah yaitu 46,65 jiwa/km 2. sementara itu kepadatan di kecamatan Lubuk Begalung, Padang Utara, Padang Timur, Padang Barat dan kecamatan Nanggalo memiliki kepadatan penduduk lebih dari 100 jiwa per kilometer persegi. Walaupun kepadatan penduduk di kecamatan Koto Tangah merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan kecamatan lain, namun dari segi jumlah rumah/hunian di kecamatan ini memiliki jumlah yang paling tinggi dibanding dengan kecamatan lain yaitu sebanyak rumah. Sebanyak rumah merupakan rumah dengan tipe permanen, rumah adalah tipe semi permanen dan rumah lainnya adalah bangunan tipe non permanen. Sebagian besar bangunan rumah atau hunian tipe permanen di kecamatan Koto Tangah merupakan perumahan-perumahan baru yang dibangun secara masal seperti perumnas atau perumahan KPR-BTN yang sengaja di peruntukan untuk dihuni oleh keluarga-keluarga dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Hal ini sejalan dengan program pemerintah daerah untuk mengantisipasi kepadatan penduduk di pusat kota Karakteristik Banjir dan Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang Proses terjadinya banjir pada daerah-daerah yang memiliki kondisi topografi datar dan berada di tepi pantai memiliki resiko yang tinggi terhadap bencana banjir, baik itu banjir kiriman, banjir genangan maupun banjir akibat pasang air laut Karakteristik Peristiwa Banjir Kota Padang Besar kecilnya banjir disuatu daerah sangat ditentukan oleh sebab dan karakteristik banjir setempat. Karakteristik banjir setempat sangat tergantung kepada karakteristik lingkungan suatu daerah. Berdasarkan data hasil penelitian, baik dari data primer maupun data sekunder dan pengamatan dilapangan, maka penyebab banjir di daerah penelitian dapat di uraikan sebagai berikut: a. Sebab-sebab banjir Berdasarkan pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alami dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai,

10 64 kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Banjir akibat aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan lingkungan seperti: perubahan kawasan pemukiman di sekitar bantaran, rusak atau kurang memadainya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya hutan (vegetasi alami). Kota Padang dilihat dari geomorfologinya merupakan perpaduan antara bentuk lahan pebukitan vulkanik bagian Timur, bentuk lahan aluvial bagian Tengah dan bentuk lahan marin bagian Barat. Daerah bagian Timur merupakan perbukitan vulkanik yang lebih tinggi dari daerah bagian Tengah dan Barat, sehingga daerah bentuk lahan aluvial dan marin yang dilalui oleh beberapa sungai besar seperti Batang Bungus, Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin serta masih ada lagi 18 sungai kecil lainnya yang mempunyai aliran permanen sepanjang tahun, sering mengalami banjir. Apalagi Kota Padang merupakan daerah dengan iklim hujan tropis mempunyai curah hujan yang cukup tinggi rata-rata 300 mm per-bulan dengan rata-rata hari hujan hari perbulan. Peristiwa banjir selalu terjadi ketika curah hujan yang tinggi dan kejadian pasang-surut air laut bertepatan waktunya. Pasang-surut di Kota Padang memiliki tipe pasang-surut ganda campuran, dalam artian dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali mengalami surut air laut. Kejadian banjir di Kota Padang sering bertepatan dengan kejadian pasang naik, sehingga air yang akan mengalir ke laut terhambat karena bertemunya dua massa air, yaitu massa air tawar dan massa air laut ini yang sering menyebab-kan banjir. Peluang terjadinya banjir akan besar jika hujan yang sangat lebat dengan durasi yang lama terjadi ketika pasang naik. Biasanya pasang air laut akan terjadi mulai sore sampai malam hari dan tengah malam akan surut kembali. Apabila pasang sudah surut, biasanya genangan banjir pun akan surut. Banjir dengan karakteristik seperti ini sering terjadi didaerah yang dilalui oleh aliran sungai Batang Kandis dan sungai Batang Kasang. Daerah yang sering menjadi langganan banjir diantaranya adalah daerah simpang kalumpang, anak air, belakang rumah potong, dan disekitar pasar lubuk buaya. Penyebab banjir di sekitar kecamatan Koto Tangah lebih banyak disebabkan antara lain (1) karena meluapnya debit air sungai Batang Kandis, (2) bentuk sungai masih alami, mengakibatkan adanya penyempitan sungai akibat sedimentasi, semak belukar maupun tumpukan sampah, dan (3) pasang naik air

11 65 laut bersamaan waktunya dengan debit air puncak sungai Batang Kandis. Hal ini senanda dengan hasil penelitian Eriza (2008), bahwa sungai Batang Kandis dalam kondisi kritis karena tidak dapat lagi menampung debit banjir sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian banjir. Berbeda dengan banjir yang terjadi pada daerah lain seperti Dadok Tunggul Hitam, Air Pacah, Alai, Siteba, Balimbing yang berada pada kawasan DAS Kuranji. Banjir di daerah ini lebih banyak disebabkan karena kekurangan sarana drainase disekitar permukiman. Sejak dulu daerah ini merupakan daerah yang cukup sering tergenang banjir karena tidak sanggupnya aliran sungai Batang Kuranji menampung debit air. Namun setelah selesai dilaksanakannya proyek Padang Flood Project tahap II akhir tahun 2001, sungai Batang Kuranji sudah mampu menampung debit aliran air puncak. Sementara itu, untuk daerah yang sering tergenang banjir seperti daerah Pauh, Parak Laweh, dan Perumnas Balimbing, daerah ini masuk kedalam kawasan DAS Batang Arau. Karakteristik banjir di daerah ini sama seperti yang terjadi di DAS Batang Kuranji. Genangan banjir umumnya terjadi akibat kurang memadainya fasilitas drainase. Masih banyak kawasan pemukiman yang memiliki drainase yang tidak sesuai dengan daya tampungnya. Meskipun ada beberapa kawasan permukiman yang sudah memiliki saluran drainase, namun pengelolaan dan pemeliharaan yang sering terabaikan mengakibatkan permasalahan ketika hujan dengan intensitas yang besar terjadi. DAS Batang Arau telah beberapa kali dilakukan proyek pengendalian banjir. Dimulai dari zaman penjajahan Belanda sudah dibuat Banjir Kanal untuk mengantisipasi meluapnya sungai Batang Arau. Normalisasi dan pengerukan sedimentasi di muara sungai sudah dilakukan, pelebaran dan pembuatan tanggul pembatas sungai pun sudah dilakukan. Namun manfaat dari proyek pengendalian banjir ini belum optimal karena permasalahan drainase disekitar pemukiman yang masih kurang dan pemeliharaan yang tidak baik. Karateristik banjir di kota Padang sangat berbeda dengan karakteristik banjir di wilayah pulau Sumatera bagian timur. Karakteristik sungai yang pendek dengan aliran yang cukup deras sering menimbulkan banjir dengan waktu genangan yang relatif lebih cepat susutnya. Berdasarkan wawancara dengan penduduk yang terkena banjir, genangan banjir paling besar yang pernah terjadi setinggi leher orang dewasa (kira-kira 1,5 meter). Lama genangan tidak lebih dari satu hari, namun dalam setahun frekuensi banjir besar bisa terjadi berkali-kali.

12 66 b. Sejarah Banjir Kota Padang Berdasarkan data dari studi Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1983 dan studi evaluasi lingkungan, tidak kurang Rp 6,5 miliar nilai harta benda lenyap setiap terjadi banjir besar di Kota Padang tahun 1972 sampai tahun Sayangnya, data tahun tidak ada sehingga hal ini diyakini menjadi penyebab pemerintah kota kurang peduli dengan banjir Padang ini dan sekaligus kurang peduli dengan persoalan lingkungan dan tata ruang kota. Sejarah banjir dari tahun dapat dilihat pada Tabel 22. Mencermati riwayat Kota Padang yang kini berpenduduk (tahun 2007), menjadi langganan banjir sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dimungkinkan karena Kota Padang dengan luas 695 km persegi terletak pada dataran aluvial yang terbentuk oleh tiga aliran sungai utama, yaitu Batang Arau, Batang Kuranji, dan Batang Airdingin, dengan daerah tangkapan hujan bersumber dari Gunung Bolak, Gunung Lantiak, dan Gunung Bongsu masingmasing 172 km 2, 213 km 2, dan 131 km 2. Tabel 22. Sejarah Banjir Kota Padang Tahun Luas Genangan (Ha) Kerusakan Data tidak tersedia rumah, jiwa, Rp. 11,325 miliyar rumah, jiwa, Rp. 30,502 miliyar rumah, jiwa, Rp. 6,030 miliyar rumah, jiwa, Rp. 6,894 miliyar rumah, jiwa, Rp. 11,573 miliyar Data tidak tersedia Data tidak tersedia rumah, jiwa rumah, 4100 jiwa rumah, jiwa rumah, jiwa Sumber: DPU Kota Padang Aspek geomorfologi kota Padang yang mempengaruhi terjadinya banjir Klindao (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suatu daerah memiliki kerentanan terhadap bahaya banjir adalah bentuk lahan hasil bentukan banjir, peristiwa banjir dan vegetasi penutup atau tataguna lahan. Oleh karena itu untuk melihat faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya banjir di kota Padang, ada dua faktor penting yaitu aspek fisik (geomorfologi dan hidrologi) dan aspek manusia (perubahan tutupan lahan terbangun).

13 67 Berdasarkan pendekatan geomorfologi, daerah daratan kota Padang terbentuk akibat proses fluvial dan proses marin. Sesuai dengan survai lapangan, peristiwa banjir berpotensi terjadi di daerah dengan bentuk lahan fluvial dan marin tersebut. Berikut ini akan dianalisis karakteristik bentuklahan yang terbentuk akibat bentukan banjir dan berpotensi tergenang banjir dalam setahun yang meliputi aspek morfogenesa dan morfologi. a. Satuan Bentuklahan Dataran Aluvial Pantai (M2) Satuan bentuklahan dataran aluvial pantai (M2) terdiri dari bekas lagun dan lagun yang masih aktif. Daerah bekas lagun sudah banyak dipengaruhi oleh endapan dari sungai, sehingga daerah ini lebih tinggi dari daerah lagun yang masih aktif. Satuan bentuklahan tersebut mempunyai topografi datar-hampir datar dengan kemiringan lereng antara 0 2%. Luas satuan bentuklahan ini 1386,94 ha atau 2,00 %. Satuan bentuklahan ini terdapat menyebar dibelakang pantai Air Tawar, dibelakang pantai Pasir Sebelah dan pantai Pasir Jambak dan dibelakang pantai Bungus Teluk Kabung. b. Satuan bentuklahan Depresi Antar Beting (M3) Depresi antar beting sebagian besar terdiri rawa-rawa belakang yang terisi endapan dari sungai dan laut. Daerahnya tersebar antara Ulak Karang sampai Gunung Pangilun, Pasir Sebelah sampai Ganting, Air Tawar dan Tabing sampai Tunggul Hitam, dengan luas 738,65 ha atau 1,06%. Material penyusun terdiri dari tanah organosol dan glei humus dengan tekstur lempung berpasir. Satuan bentuklahan ini telah dikembangkan menjadi lokasi permukiman. Pengembangan satuan bentuklahan ini menjadi permukiman dilakukan dengan cara pengurungan dengan material bahan timbunan, terutama kerikil dan batu apung yang didatangkan dari Lubuk Alung dan Batang Kuranji. c. Satuan Bentuklahan Rawa Belakang (F3) Satuan bentuklahan rawa belakang didapati dibelakang tanggul alam, pola memanjang, berliku dan tidak teratur. Tekstur tanah daerah rawa belakang pada umumnya lempung liat berpasir. Drainase permukaan buruk sampai sangat buruk. Sebagian dari rawa belakang telah dibuat saluran air guna mencegah genangan air dan mengurangi bahaya banjir. Antara satuan bentuklahan kipas aluvial Batang Kuranji dan Batang Air Dingin terdapat deposit rawa belakang melebar ke timur dengan dibatasi oleh bukit yang curam. Total ketebalan dari deposit rawa belakang ini sekitar 180 meter yang ditemukan dari hasil pemboran dan lebih dari 230 meter ke arah

14 68 timur dari kota. Sedangkan di pusat kota, ketebalannya mencapai 300 meter (Lahmeyer International dalam Karim, 1997). Keadaan topografi satuan bentuklahan rawa belakang pada umumnya datar-hampir datar dengan kemiringan 0-3%, tinggi daerah dari permukaan laut berkisar antara 1-3 meter. Luas rawa belakang adalah 4160,82 ha atau 5,99%. d. Satuan Bentuklahan Dataran Banjir. Satuan bentuklahan ini terbentuk dari proses sedimentasi yang berulangulang setiap kali ternjadinya banjir. Dataran banjir di lokasi penelitian ini merupakan hasil endapan sungai Batang Bungus, Batang Kuranji, Batang Air Dingin dan Batang Arau. Material permukaannya tersusun dari endapan pasir sampai kerikil. Drainase daerah ini sedang, dengan jenis tanah aluvial dan tekstur tanah pasir berlempung. Keadaan topografi datar dengan kemiringan lereng antara 0-2%. Tinggi dataran banjir dari permukaan laut antara 1-2 meter. Luas daerahnya 684,30 ha atau 0,98 %. e. Satuan Bentuklahan Gosong Sungai Gosong sungai umumnya terdapat disekitar aliran Batang Kuranji, karena Batang Kuranji memiliki air yang keruh akibat hasil erosi lahan dibagian hulu. Gosong pasir ini sering ditumbuhi oleh vegetasi kelapa, namun saat ini sebagian besar gosong sungai sudah berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk. Bentuk topografi daerahnya data sampai hampir datar, dengan kemiringan lereng 0-2% dan ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 1-2 meter. Luas satuan bentuklahan gosong sungai 363,54 ha atau 0,52% Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Berdasarkan Yusuf (2005), daerah rawan banjir biasanya berada di daerah-daerah dengan topografi yang datar dan berada disepanjang aliran sungai. Daerah yang berada disepanjang aliran sungai tersebut merupakan daerah-daerah yang terbentuk akibat proses fluvial yang dipengaruhi oleh genangan banjir. Penentuan daerah rawan banjir dalam penelitian ini menggunakan model MAFF-Japan. Pendekatan dalam model ini menggunakan variabel fisik yaitu spasial curah hujan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, geologi dan bentuklahan. Masing-masing variabel tersebut diberi bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap terjadinya banjir. Dengan menggunakan sistem informasi geografi semua variabel dilakukan proses tumpang susun sehingga didapatkan informasi spasial daerah

15 69 rawan banjir. Luas sebaran tingkat kerawanan kota Padang terhadap banjir dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil dari proses tumpangsusun (Tabel 23) memperlihatkan bahwa kota Padang memiliki daerah yang rawan terhadap banjir seluas 1.979,61 ha, 8400,35 ha daerah berpotensi banjir, ,68 ha daerah aman dari banjir dan ,36 ha daerah yang sangat aman dari banjir. Daerah dengan kategori rawan banjir dan berpotensi banjir sebagian besar berada pada ketinggian dibawah 25 mdpl. Sementara itu, daerah aman dan sangat aman dari banjir berada pada ketinggian diatas 25 mdpl dengan kemiringan lereng yang beragam dari miring sampai sangat curam. Kecamatan yang paling luas daerah rawan banjir adalah kecamatan Koto Tangah yakni seluas 872,39 ha. Sementara itu kecamatan Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung dan kecamatan Padang Barat tidak memiliki daerah rawan. Secara spasial persebaran daerah rawan banjir disajikan pada Gambar 17. Tabel 23. Zonasi Daerah Rawan Banjir Kota Padang Kecamtan Sangat Aman Aman Berpotensi Banjir Rawan Banjir Bungus Teluk Kabung 6612, ,73 654,00 0 Lubuk Kilangan 6691, ,56 243,08 0 Lubuk Begalung 1415,20 658,11 807,97 188,19 Padang Selatan 702,69 164,40 245,37 178,58 Padang Timur 0 91,93 673,22 74,34 Padang Barat 0 166,30 379,16 0 Padang Utara 0 350,76 427,09 60,70 Nanggalo 0 67,70 559,63 250,35 Kuranji 1824, , ,97 351,25 Pauh 14405, ,11 219,94 3,82 Koto Tangah 16499, , ,92 872,39 Jumlah 48152, , , ,61 Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian, 2010 Perubahan tutupan lahan alami menjadi lahan terbangun antara tahun 1994 dan tahun 2007 di daerah yang termasuk kedalam kategori rawan banjir adalah seluas 403,26 ha, 18,99 % dari total daerah rawan banjir. Perubahan tutupan lahan tersebut terdiri dari 241,38 ha perubahan dari kebun campuran menjadi lahan terbangun dan 161,88 ha adalah tutupan lahan sawah yang berubah menjadi lahan terbangun.

16 70 Gambar 17. Peta Zonasi Daerah Rawan Banjir di Kota Padang

17 Respon Peningkatan Laju Urbanisasi Terhadap Bahaya Banjir di Kota Padang Berdasarkan analisa perubahan tutupan lahan kota Padang antara tahun 1994 dan 2007, telah terjadi penambahan jumlah luasan tutupan lahan terbangun. Setelah dilakukan tumpang susun antara data spasial perubahan tutupan lahan terbangun dan data spasial karakteristik geomorfologi, serta peta genangan banjir, terlihat adanya peningkatan luasan lahan terbangun pada daerah dengan bentuklahan bentukan banjir dan daerah yang sering tergenang oleh banjir. Menurut Yusuf (2005), tingkat bahaya banjir akan selalu di pengaruhi oleh penggunaan lahan. Banjir dikatakan sebagai bahaya, jika genangan banjir menimbulkan kerusakan dan kehilangan harta dan jiwa. Oleh karena itu peningkatan daerah terbangun dan pertumbuhan penduduk didaerah rawan terjadi genangan banjir mengakibatkan tingkat bahaya banjir semakin tinggi. Di kota Padang perluasan tutupan lahan terbangun berbanding lurus dengan laju pertumbuhan penduduk kota Padang pada rentang waktu antara tahun 1994 sampai tahun Pertumbuhan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan lahan untuk dijadikan sebagai perumahan semakin meningkat. Peningkatan sarana pemukiman dan sarana penunjang lainnya. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan pemukiman penduduk masih cendrung mengkonversi lahan alami menjadi lahan terbangun, baik untuk tempat tinggal maupun untuk kegiatan ekonomi. Berdasarkan hasil analisa data sekunder dan pengamatan dilapangan, daerah yang selalu digenangi banjir tiap tahun paling luas berada di kecamatan Koto Tangah. Secara berurutan mengikuti kecamatan Nanggalo, Kuranji, Lubuk Begalung, Bungus Teluk Kabung, Padang Utara, Padang Timur dan kecamatan Padang Barat. Tingginya luas dan frekuensi banjir di kecamatan Koto Tangah dan adanya peningkatan perkembangan wilayah terbangun di daerah tersebut mengakibatkan tingginya bahaya dan resiko banjir. Peningkatan pertumbuhan lahan terbangun di kecamatan Koto Tangah mengalami peningkatan yang sangat signifikan rentang tahun Hal ini sesuai dengan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang periode maupun RTRW periode yang telah direvisi menjadi RTRW periode Berdasarkan hasil wawancara dengan pemerintah daerah (BAPPEDA), Pertumbuhan wilayah pemukiman diarahkan ke

18 72 bagian utara, timur dan selatan kota Padang. Sebagai prioritas pertama adalah wilayah utara kota padang yaitu kecamatan Padang Utara dan Koto Tangah. Ketersediaan sumberdaya lahan yang belum termanfaatkan dan bisa dijadikan sebagai pusat pemukiman maupun fasilitas pendukung lain cukup luas. Semakin meningkatnya kebutuhan ruang untuk permukiman dan perumahan akibat meningkatnya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan kondisi lingkungan tidak menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Masyarakat perkotaan ditandai dengan pola pemikiran yang materialistis, sehingga faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih lokasi rumah atau hunian adalah faktor biaya. Oleh sebab itu peningkatan jumlah perumahan massal seperti perumahan KPR-BTN merupakan solusi bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah, meskipun ada beberapa masyarakat dengan keadaan ekonomi yang menengah keatas memilih bertempat tinggal di perumahan murah ini. Pada umumnya perumahan-perumahan murah ini dibangun pada lahanlahan dengan nilai ekonomi sumberdaya lahan yang rendah. Nilai sumberdaya lahan yang rendah karena berada pada daerah-daerah rawa dengan tutupan lahan kebun campuran dan semak belukar. Sebagian besar konsentrasi penyebaran lahan terbangun berada pada daerah dengan kemiringan lereng kategori datar (0 2%) dengan luas daerah sebesar ,82 ha (23,6 %). Apabila curah hujan tinggi dan disaat bersamaan terjadi pasang naik air laut daerah ini sering dan atau berpotensi tergenang banjir. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan peristiwa banjir di kota Padang pada umumnya merupakan tipe banjir genangan. Hanya peristiwa banjir di kecamatan Koto Tangah saja yang dapat digolongkan sebagai tipe banjir kiriman dan banjir rob karena seringkali peristiwa banjir terjadi ketika debit aliran air puncak bersamaan waktunya dengan pasang naik air laut. Tipe banjir genangan cenderung disebabkan karena permasalahan lingkungan binaan dan pengelolaan drainanse yang kurang baik. Sedangkan, tipe banjir kiriman lebih disebabkan oleh daya tampung sungai yang tidak memadai lagi serta permasalahan erosi dan sedimentasi di daerah sepanjang aliran sungai.

19 Bentuk dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Banjir yang Berkelanjutan Upaya mengantisipasi banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam setiap kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat dominan. Mencermati partisipasi masyarakat pada tahapan siklus banjir ternyata tidak dapat secara umum disamaratakan. Pada suatu tahapan tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan sementara pada tahapan lainnya sulit ditemukan dan bahkan tidak ada. Untuk itulah maka dianalisis lebih jauh untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompokkelompok kegiatan penanggulangan banjir. Pengamatan dan wawancara pada masyarakat penerima dampak bencana dilakukan pada daerah yang selalu tergenang banjir dalam setahun yaitu kecamatan Koto Tangah. Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau membersihkan saluran drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan memantau kondisi lingkungan. Disamping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan RT/RW. Kegiatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi terjadinya banjir adalah melakukan gotong royong membersihkan saluran drainase. Kegiatan seperti ini dilakukan secara sukarela yang di koordinasi oleh kelembagaan RT/RW. Partisipasi masyarakat dalam beraspirasi belum banyak ditemui dilapangan. Masyarakat yang sering dilanda banjir mengeluhkan tentang aspirasi mereka belum banyak yang ditanggapi pemerintah. Sebagian besar masyarakat yang menjadi langganan banjir di kecamatan Koto Tangah meminta pemerintah segera untuk meluruskan sungai yang berkelok-kelok memasang tanggul pada sungai yang melalui permukiman. Menurut masyarakat sungai yang berkelok dan belum dipasangi tanggul merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya banjir. Kecamatan Koto Tangah dialiri dua sungai besar yaitu sungai Batang Air Dingin dan sungai Batang Kandis. Sungai Batang Air Dingin + 1 km kearah muara telah di pasangi tanggul pembatas dan aliran yang berkelok pun sudah

20 74 di luruskan. Sementara itu, sungai Batang Kandis belum dilakukan upaya penanggulangan banjir melalui normalisasi sungai atau pembuatan tanggul pembatas. Menurut Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Kota Padang menyatakan bahwa pelaksanaa proyek penanggulangan banjir Batang Kandis baru memasuki tahap permohonan kepada pemerintah pusat. Skenario pelaksanaan proyek sudah final, hanya menunggu izin dan pendanaan dari pemerintah. Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban, pembagian makanan, pakaian, dan penyediaan obat-obatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di daerah-daerah yang sering dilanda banjir yaitu kecamatan Koto Tangah, Nanggalo, dan Bungus Teluk Kabung, partisipasi masyarakat seperti ini muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa diupayakan pemerintah. Dengan belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur. Pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan secara swadaya. Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder (beneficiaries, intermediaris, dan decision/policy maker) mempunyai peran dan pengaruh yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir. Demikian juga masing-masing karakteristik/jenis kegiatan penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat partisipasi yang berbeda. Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam penanggulangan banjir di kota Padang ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu: (1) indirect benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3) targeted assistance. Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok kegiatan struktural di luar badan air (of-stream structural measures) yang meliputi kegiatan-kegiatan peningkatan dan pembangunan sistem drainase, dan pembangunan prasarana retensi air (retention facilities). Kegiatan yang dicirikan dengan large number of beneficiaries and few social cost terdapat

21 75 pada kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention non-structural measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir (floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat. Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi dan barakbarak pengungsian. 1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (BP-DAS) Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep sudah tersedia kebijakan nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum yang dapat dijadikan acuan penyusunan konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatankegiatan yang meliputi kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengidentifikasikan masalah drainase hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan pemeliharaan saluran drainase. Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/ perundangan yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi. Meskipun dalam kebijakan/peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahapan operasionalisasi prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi hanya teridentifikasi peran pemerintah daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

22 76 prasarana off-stream structural measure, sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan. 2. Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang Pada kelompok kegiatan ini, pada tahap penyusunan konsep cukup banyak kebijakan nasional yang dapat diidentifikasi yang umumnya hanya menekankan pada floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air. Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang dilakukan yang berkaitan dengan floodplain regulation karena umumnya masih berupa konsep yang tertuang dalam bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia. Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan dari implementasi floodplain regulation. Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan oleh pengelola sungai dan pemda. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan agama, profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi, namun belum ada regulasi yang secara tegas mengatur hal ini. Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda serta dengan biaya sosial yang rendah tersebut, maka dalam penyusunan regulasi pemerintah yang menjadi fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasi yang sesuai dan efektif serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi. 3. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek Pada kelompok kegiatan penanganan darurat banjir terutama pada kegiatan persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), pada tahap penyusunan konsep terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat, seperti pada tahap penyusunan konsep atau strategi penanganan ketika keadaan darurat banjir. Pada tahap pengembangan juga sudah terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan

23 77 penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun demikian pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan oleh instansi pemerintah. Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak teridentifikasi secara spesifik sedangkan instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai melakukan hampir semua kegiatan. Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang melibatkan masyarakat secara langsung. Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, tersebut, maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana atau paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir tersebut. Di samping itu perlunya disusun suatu kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut sehingga dalam perencanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran mereka secara lebih Pembahasan Berdasarkan hasil analisa interpretasi citra penginderaan jauh, laju pertumbuhan lahan terbangun di Kota padang dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007 meningkat sebesar 3,12 %. Pertumbuhan lahan terbangun tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk kota Padang yaitu sebesar 2,31%. Meningkatnya pertumbuhan lahan terbangun dan jumlah penduduk merupakan indikator telah meningkatnya urbanisasi penduduk ke kota Padang. Urbanisasi merupakan hal yang lumrah bagi sebuah kota. Apalagi kota Padang adalah Ibukota Propinsi Sumatera Barat. Namun meningkatnya laju urbanisasi dan pemilihan tempat tinggal pada daerah-daerah yang memiliki kerentanan terhadap banjir yaitu pada daerah bentuklahan bentukan banjir mengakibatkan meningkatnya bahaya dan resiko terhadap banjir. Selama ini persoalan banjir merupakan salah satu persoalan lingkungan utama di kota

24 78 Padang, karena banjir merupakan salah satu bencana yang secara rutin terjadi di kota Padang. Penyebab terjadinya banjir di Kota Padang karena disebabkan antara lain oleh: (1) curah hujan tinggi; (2) pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air; (3) drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan; (4) luapan sungai ketika hujan; (5) kerusakan lingkungan pada daerah hulu; (6) kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater; (7) berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai; serta (8) kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain meliputi: (1) korban manusia; (2) kehilangan harta benda; (3) kerusakan rumah penduduk; sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar udara, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya; (4) terganggunya transportasi, serta; (5) rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan. Disamping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non material, antara lain kerawanan sosial, wabah penyakit, menurunnyja kenyamanan lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan perekonomian mereka terhambat. Meningkatnya perkembangan daerah pinggir kota (ke utara dan timur) yaitu kecamatan Koto Tangah dan Kuranji menuntut setiap stekholder untuk siap siaga dalam menghadapi banjir. Permasalahan utama dalam menghadapi banjir selama ini adalah minimnya fasilitas drainase sehingga sering menimbulkan genangan ketika curah hujan yang tinggi terjadi. Meningkatnya laju perkembangan lahan terbangun dan jumlah penduduk di kecamatan Koto Tangah serta tingginya daerah rawan banjir dan berpotensi terjadi banjir mengakibatkan kerentanan terhadap bahaya banjir cukup tinggi didaerah ini. Apalagi sungai Batang Kandis belum dilakukan proyek pengendalian banjir. Kondisi sungai Batang Kandis saat ini masuk kedalam kategori sungai kritis, karena tidak sanggup menampung debit banjir. Walaupun saat ini proyek pengendalian banjir pada sungai Batang Kandis dalam proses perencanaan, permasalahan banjir di Kota Padang selama ini tidak selesai dengan adanya

25 79 proyek pembangunan pengendalian banjir. Saat ini sudah ada kolam retensi yang diharapkan dapat mengendalikan banjir, namun kenyataannya fungsinya belum terlihat optimal karena masih banyak terjadi genangan banjir di beberapa kawasan. Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery. Pada tahap pra bencana dilakukan: (1) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (2) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (3) membuat peta daerah genangan banjir; (4) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (5) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (6) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (7) membuat sumur resapan; (8) pemantapan Satkorlak PBP; (9) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (10) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (11) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (14) mereboisasi kota dan daerah hulu; (15) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW. Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (1) pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; (2) menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran; (4) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah studi umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki

26 80 prasarana publik yang rusak; (3) pembersihan lingkungan; (4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir. Dalam hal ketersediaan landasan hukum, pemerintah daerah (Pemda) belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir. Sementara itu pemerintah daerah hanya menggunakan surat-surat edaran dalam mengatur warga masyarakat. Upaya pemerintah daerah dalam kegiatan pengendalian banjir banyak menemui kendala, antara lain lantaran: (1) kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan; (2) kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan lingkungan; (3) kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan pemerintah; (4) peraturan daerah masih sangat terbatas; (5) lemahnya penegakan hukum; (6) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; (7) terbatasnya dana pemerintah.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana telah mengakibatkan suatu penderitaan yang mendalam bagi korban serta orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami masyarakat yang terkena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir sudah menjadi masalah umum yang dihadapi oleh negaranegara di dunia, seperti di negara tetangga Myanmar, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapore, Pakistan serta

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kawasan Pantai Utara Surabaya merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik topografi rendah sehingga berpotensi terhadap bencana banjir rob. Banjir rob ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumberdaya alam yang sangat berharga bagimanusia dan semua makhluk hidup. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Perencanaan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota padang adalah Kota terbesar dipantai barat Pulau Sumatera sekaligus Ibukota dari Provinsi Sumatera Barat. Kota ini memiliki luas wilayah 694,96 km 2 dengan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana dapat datang secara tiba-tiba, dan mengakibatkan kerugian materiil dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan menanggulangi dan memulihkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam banjir bandang yang terjadi di daerah Batu Busuk Kelurahan Lambuang Bukit Kecamatan Pauh Kota Padang pada Bulan Ramadhan tanggal Selasa, 24 Juli 2012

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan menunjukkan bahwa manusia dengan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persentasi uap air di udara semakin banyak uap air dapat diserap udara.

BAB I PENDAHULUAN. persentasi uap air di udara semakin banyak uap air dapat diserap udara. BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi, air juga merupakan kebutuhan dasar manusian yang digunakan untuk kebutuhan minum,

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data skunder dari instansi terkait, dan data primer hasil observasi dan wawancara maka dapat diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan (illegal logging) di kawasan hulu dari sistem daerah aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Dengan pembangunan dan industrialisasi, pemerintah berusaha mengatasi permasalahan yang timbul akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Dan dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU

NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU 83 NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU Neraca Air SWP DAS Arau Ketersediaan Air pada SWP DAS Arau Analisis Data Hujan. Curah hujan merupakan masukan utama dalam suatu DAS untuk berlangsungnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB 3 PERUMUSAN INDIKATOR - INDIKATOR BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG

BAB 3 PERUMUSAN INDIKATOR - INDIKATOR BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG BAB 3 PERUMUSAN INDIKATOR - INDIKATOR BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG Pada bahagian ini akan dilakukan perumusan indikator indikator dari setiap faktor faktor dan sub faktor risiko bencana yang sudah dirumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 0 12 Lintang Selatan dan 106 0 48 Bujur Timur. Sebelah Utara Propinsi DKI Jakarta terbentang pantai dari Barat

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Banjir Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia memiliki peranan yang sangat penting sebagai pusat administrasi, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Secara topografi, 40

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana banjir sudah menjadi bencana rutin yang terjadi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I PENDAHULUAN - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN Kota Semarang sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah merupakan sebuah kota yang setiap tahun mengalami perkembangan dan pembangunan yang begitu pesat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, sehingga memiliki potensi sumber daya air yang besar. Sebagai salah satu sumber daya air, sungai memiliki

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA PADANG ABSTRACT

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA PADANG ABSTRACT 1 EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA PADANG Andre Cahyana 1, Erna Juita 2, Afrital Rezki 2 1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat 2 Dosen Program

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Banjir sebagai fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi daerah hulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana (Nandi, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. alam tidak dapat ditentang begitu pula dengan bencana (Nandi, 2007) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alam merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu manusia tidak dapat dipisahkan oleh alam. Alam sangat berkaitan erat dengan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air di bumi ini sebagian besar terdapat di laut dan pada lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak gunung), air juga hadir sebagai awan, hujan, sungai, muka air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BANJIR DAN KEKERINGAN. Pertemuan 4

BANJIR DAN KEKERINGAN. Pertemuan 4 BANJIR DAN KEKERINGAN Pertemuan 4 BANJIR Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering. Banjir pada umumnya disebabkan

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 05 TAHUN 2014 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b Tema 7 Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015 Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai Muhammad Rijal

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara maritim dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah perairan kurang lebih 70,8 % dari luas permukaan bumi yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN Tinjauan Umum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia. Di samping disebabkan oleh faktor alam, seringkali disebabkan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BAB III ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Isu Strategis Dalam penyusunan renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor tentunya tidak terlepas dari adanya isu strategis pembangunan Kota Bogor, yaitu : a. Pengembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dan presipitasi yang jatuh di

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado Windy J. Mononimbar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa. Hal ini mendorong masyarakat disekitar bencana

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM Untuk dapat memenuhi tujuan penyusunan Tugas Akhir tentang Perencanaan Polder Sawah Besar dalam Sistem Drainase Kali Tenggang, maka terlebih dahulu disusun metodologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR. Sumihar Hutapea

MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR. Sumihar Hutapea MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR Sumihar Hutapea UNIVERSITAS MEDAN AREA MEDAN 2016 KARAKTERISTIK DAS : DAS Sebagai Ekosistem Geografi

Lebih terperinci

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir Pengendalian Banjir 1. Fenomena Banjir 1 2 3 4 5 6 7 8 Model koordinasi yang ada belum dapat menjadi jembatan di antara kelembagaan batas wilayah administrasi (kab/kota) dengan batas wilayah sungai/das

Lebih terperinci