TESIS ALMOND WIBOWO NIM:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS ALMOND WIBOWO NIM:"

Transkripsi

1 TESIS TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT ALMOND WIBOWO NIM: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i

2 TESIS TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana ALMOND WIBOWO NIM: PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii

3 Lembar Pengesahan Pembimbing TESIS INI TELAH DI SETUJUI TANGGAL 10 OKTOBER 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes NIP : NIP : Mengetahui Ketua Program Studi ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP : Prof. Dr. Dr. A. A Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP: iii

4 ii

5 3 Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 10 OKTOBER 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Penguji : 1. Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS 2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes 3. Prof. DR. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And 4. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK 5. Prof. Dr.dr. N. Adiputra, M.OH

6 4 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT dengan baik. Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang dijalani penulis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada rof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana dan pembimbing I yang telah memberikan banyak sekali masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes selaku Pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr I Ketut Swastika, Sp. PD (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga di tujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. Dr. A. A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan yang baik ini penulis mengucakpan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And., Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK. dan Prof. Dr.dr. N. Adiputra, M.OH yang telah memberikan saran, masukan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

7 5 TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT Abstrak Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian Tranexamic acid menurunkan skor MASI lebih banyak dibandingkan dengan Triple combination. Penelitian ini merupakan eksperimental dengan pre and post test control group design. Penelitian dilaksanakan pada bulan April Agustus 2014, melibatkan 45 orang penderita melasma yang diobati dengan tranexamic acid (dua kali seminggu) sebagai kelompok terapi dan 45 orang penderita melasma yang diobati triple combination (sekali sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 4 minggu. Terhadap subyek penelitian dilakukan penilaian Melasma Area and Severity Index (MASI). Hasil pre and post control pada kelompok tranexamic acid dan triple combination menggunakan uji t-paired. Nilai MASI sebelum penelitian untuk kelompok Tranexamic acid 8,86 dan kelompok triple combination 9,09 secara statistik tidak berbeda (p=0,681). Nilai MASI sesudah penelitian untuk kelompok Tranexamic acid 6,45 dan kelompok triple combination 7,49 secara statistik berbeda secara bermakna (p=0,032). Tranexamic acidsecara statistik lebih efektif bermakna dibandingkan triple combination dimana lesi melasma setelah 4 minggu kedepan ditemukan penurunan sebanyak 27,22% pada kelompok terapi, dibandingkan 17.58% pada kelompok kontrol (p=0,032). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi maupun kelompok kontrol yang diukur mulai minggu ke 0 sampai minggu ke 4 secara bermakna (p=0,001). Tranexamic acid lebih efektif dibandingkan triple combination dalam pengobatan melasma. Kata kunci : Melasma, tranexamic triple combination vii

8 6 TRANEXAMIC ACID REDUCE MELASMA SCORE BETTER THAN TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) IN ANTI AGING PROGRES Abstract Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are available but none is satisfactory. The aim of this study is to determine tranexamic acid administration lowered MASI scores more than the triple combination. This eksperiment use pre and post test control group design and was conducted from April to August 2014, 90 female patients with epidermal melasma were divided into two groups of 45 each. One group received tranexamic acid (twice a week). The other, a control group, received a topical triple combination (once daily) for 4 weeks. Evaluation using Melasma Area and Severity Index (MASI) score. The test is using t-paired for pre and post test both group. Pre test score for tranexamic acid was 8,86 and triple combination group was 9,09 and statistically not different (p=0,681). Post test score for tranexamic acid was 6,45 and for triple combination group was 7,49 which means statistically different (p=0,032). Tranexamic acid was significantly more effective than triple combination cream week 4 onwards. lesion were decrease in 27,22% of tranexamic acid, compared to 17,58% of those who used triple combination cream (p=0,032). All 90 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,001). Tranexamic acid was more effective than triple combination cream in the treatment of melasma. Keywords : Melasma, tranexamic acid, triple combination cream

9 7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan penelitian Manfaat Penelitian Manfaat Ilmiah Manfaat Aplikasi... 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA Melasma Pendahuluan Epidemiologi Etiologi Patogenesis Gambaran klinis Penunjang Diagnosa banding Penatalaksanaan Tranexamic acid Triple combination Mekanisme kerja Cara kerja Efek samping Tabir surya Evaluasi hasil pengobatan Teknik Evaluasi subjektif Teknik Evaluasi Objektif BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka berpikir Konsep Hipotesis penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Desain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Populasi dan Basar Sampel Populasi Target Populasi Terjangkau Sampel Cara pengambilan sampel Kriterian Inklusi Ekslusi Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi Variabel Penelitian Klasifikasi Variabel Definisi Variabel ix

10 8 4.7 Prosedur Pelitian Alat dan Bahan Perhitungan dosis Prosedur Alur Penelitian Analisis Data BAB V HASIL PENELITIAN Uji Normalitas Data Uji Homogenitas Data Skor MASI Analisis Komparabilitas Analisis efek pemberian tranexamic acid + tabir surya Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Subyek Penelitian Kelompok usia Pekerjaan Faktor predisposisi Distribusi Data Hasil Penelitian Pengaruh Tranexamic Acid terhadap Penurunan Skor MASI Efek Samping BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran. 45 DAFTAR PUSTAKA 46 LAMPIRAN x

11 9 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penuaan merupakan proses yang melibatkan faktor fisik, psikis, dan social yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, tetapi bukan berarti proses penuaan harus menurunkan kualitas hidup kita. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM), diharapkan proses penuaan dapat dicegah, sehingga kesehatan dan kualitas hidup manusia semakin bertambah baik. Penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu proses penurunan fungsi organisme yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Penuaan merupakan hasil dari perubahan struktur dan fungsi sel suatu organisme dalam suatu periode. Proses penuaan menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap suatu penyakit bahkan kematian (Wihandani, 2009). Penurunan fungsi berbagai organ tubuh tersebut mengakibatkan muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, baik itu tanda fisik maupun psikis. Tanda fisik pada proses penuaan seperti pertumbuhan warna kulit berlebih, massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. Penuaan kulit atau biasa disebut dengan skin aging memiliki berbagai tanda, salah satunya adalah kelainan pigmentasi kulit. Kelainan paling banyak kita jumpai adalah melasma. Tanda tanda proses penuaan kulit yang lainya dapat berupa kulit menjadi lebih tipis, kering dan keriput pada daerah wajah. Proses tidak meratanya pertumbuhan warna kulit atau melanogenesis paling utama disebabkan karena proses penuaan kulit dan diperparah dengan kondisi iklim di indonesia yang membuat proses melanogenesis makin tidak teratur. Melasma berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah (Lapeere, 2008). Melasma semakin banyak terbentuk pada pria maupun wanita berusia lanjut, hal ini dikarenakan fungsi perlindungan kulit terhadap paparan sinar matahari mulai berkurang. 1

12 10 Melasma paling sering diderita wanita usia reproduksi, sedangkan pria 10% dari keseluruhan kasus. Melasma dapat terjadi pada semua ras, akan tetapi paling sering mengenai individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V, VI), yaitu bangsa Hispanik, Asia Timur dan Selatan yang merupakan daerah dengan radiasi sinar ultraviolet (UV) yang tinggi (Chan, 2008). Meskipun penyebab pasti melasma masih kurang dimengerti, terdapat banyak faktor yang terlibat dalam etiopatogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, radiasi sinar matahari dan faktor lainnya seperti pemakaian bahan kosmetika tertentu, obat-obatan (bersifat fototoksik dan fotoalergik, antikonvulsi), defisiensi nutrisi dan idiopatik (Cestari, 2007). Ada tiga bentuk klinis berdasarkan distribusi pigmen pasien melasma. Bentuk sentrofasial (63%), malar (21%) dan mandibular (16%). Jumlah makula hiperpigmentasi bervariasi mulai dari lesi tunggal sampai multipel (Rigopoulos, 2007). Meskipun melasma tidak mempunyai risiko secara medis, tetapi melasma dapat mengganggu penampilan wajah, hal ini secara emosional sangat mengganggu penderita dan juga menjadi masalah sosial di berbagai negara (Cestari, 2007). Apabila seseorang mendapat melasma maka mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengalami rekurensi (Bauman, 2003). Melasma juga merupakan kelainan yang sulit diobati dengan pengobatan yang ada, meskipun salah satu kunci keberhasilan pengobatan telah dilakukan (pemakaian tabir surya dan menghindari paparan sinar matahari) (Bauman, 2003).Saat ini belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif untuk pasien melasma secara keseluruhan. Pengobatan yang ada memiliki efektifitas yang bervariasi terhadap depigmentasi (Rigopoulos, 2007). Mengingat akan pentingnya bagi pasien dan para dokter untuk mengobati kelainan ini, berbagai pengobatan terbaru telah digunakan untuk mengobati melasma (Cestari, 2007). Sasaran pengobatan melasma harus bertujuan memperlambat proliferasi melanosit, menghambat pembentukan melanosom dan meningkatkan degradasi melanosom (Bauman, 2002). Hal ini dapat tercapai melalui inhibisi aktivitas melanosit, inhibisi sintesis melanin, menghilangkan / mendestruksi melanin dan mengganggu granul-granul melanin. Menghindari paparan langsung sinar

13 11 matahari dan pemakaian tabir surya berspektrum luas terhadap radiasi sinar UV (UVA dan UVB), menghentikan pemakaian kontrasepsi oral, suntik, dan susuk, atau bahan-bahan yang mengandung estrogen-progesteron dan menghindari produkproduk kosmetika wajah yang mengandung pewangi. Selain dari penggunaan obatobat depigmentasi seperti hidrokuinon, tretinoin, kortikosteroid dan tranexamic acid, pengelupasan secara kimia, dermabrasi, serta laser yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi (Menter, 2004). Efikasi pengobatan monoterapi yang kurang dan tidak dapat diprediksi pada melasma menyebabkan berkembangnya bahan-bahan terapeutik kombinasi, diantaranya formula Kligman. Pigmentary Disorders Academy (PDA) berpendapat bahwa terapi triple combination (TC) topikal yang telah paten harus diberikan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Saat ini, kebutuhan akan fixed combination therapy yang stabil telah tercapai dengan ditemukannya krim TC yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01% (Katsambas, 2002). Tetapi pengobatan dengan krim TC ini juga tidak luput dari efek samping, seperti kulit kemerahan, tingkat eksfoliasi kulit yang terkadang berlebihan. Hal ini akan memberikan dampak kulit menjadi lebih fotosensitif terhadap cahaya matahari, yang tidak menutup kemungkinan akan mempermudah orang mengalami melasma itu sendiri. Penelitian Chan (2005) terhadap pasien melasma derajat sedang sampai berat yang diobati dengan terapi TC menunjukkan adanya perbaikan derajat keparahan melasma berdasarkan investigator s assessment of Global Severity Score dan penurunan skor MASI (Melasma Area Severity Index). Penelitian ini juga melaporkan adanya efek samping ringan seperti eritema, iritasi, eksfoliasi dan perasaan tidak nyaman di kulit. Pada awal 2011, terdapat berbagai teori dan penelitian penggunaan tranexamic acid injeksi terhadap wanita dengan melasma tipe epidermal (wu, 2011). Ini yang menjadi dasar untuk membandingkan pengobatan antara penggunaan Injeksi dan penggunaan obat topikal, dimana akan terlihat perlakuan mana yang memberikan perubahan yang lebih cepat pada area hiperpigmentasi yang diterapi.

14 12 Berbagai sumber teori mengungkapkan bahwa tranexamic acid bekerja sangat baik untuk mengatasai masalah hiperpigmentasi. Tranexamic acid bekerja pada tingkat pertama proses melanogenesis, yaitu pada proses menghambat hidroksilasi tirosin menjadi DOPA. Dengan makin sedikitnya jumlah DOPA di kulit, proses terbentuknya melanin yang berlebih di kulit akan sangat jauh berkurang. Ini kelebihan tranexamic acid dibandingkan dengan triple combination yang bekerja pada tahap ke 2 melanogenesis, dimana telah terbentuk DOPA yang merupakan cikal bakal dari melanin kulit. Tranexamic acid memberikan efek samping yang minimal, tanpa iritasi dan tanpa proses eksfoliasi, sehingga lebih nyaman untuk digunakan tanpa meningkatkan resiko fotosensitivitas kulit penderita (Chan, 2008). Pengobatan yang ideal seharusnya mempunyai efek yang kuat, cepat, dan permanen dan tanpa efek samping (Balkrishnan, 2003). Atas pertimbangan hal di atas maka perlu kiranya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengobatan melasma dengan tranexamic acid 1.2 Rumusan masalah Apakah pemberian tranexamic acid lebih menurunkan skor MASI daripada triple combination? 1.3 Tujuan penelitian Untuk mengetahui pemberian Tranexamic acid lebih menurunkan skor MASI daripada Triple combination. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1Manfaat ilmiah Akan menjadi data bagi penelitian selanjutnya dalam hal penanganan melasma Manfaat aplikasi Akan membuka wawasan mengenai penanganan melasma yang lebih efektif..

15 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Melasma Pendahuluan Proses penunaan pada kulit dapat berupa berbagai macam permasalahan, seperti warna kulit yang berlebih, kondisi kulit yang mengering dan menipis, kerutan, bahkan atrofi kulit. Proses penuaan kulit yang paling banyak terdapat di Indonesia adalah penimbunan warna kulit yang berlebih atau melasma. Sekarang ini makin banyak orang yang semakin perduli terhadap masalah penuaan kulit ini terutama melasma, sehingga harus diatasi dengan cara yang paling efektif. Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai, bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduksi. Melasma muncul dalam bentuk makula berwarna coklat terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular, biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Meskipun melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap (Lapeere, 2008) Epidemiologi Insiden pasti melasma masih belum diketahui. Banyaknya bahan-bahan pemutih yang dijual bebas berpengaruh terhadap keterbatasan insiden pasti yang sebenarnya (Chan, 2008). Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6 juta wanita menderita kelainan ini. Prevalensi melasma pada kulit Asia tidak diketahui akan tetapi diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria (Chan, 2008). Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya 10% dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti pada wanita (Rigopoulos, 2007). Penelitian oleh Goh (1999) di Singapura mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar matahari. Sudharmono (2004) di Jakarta, dari 145 pasien melasma hampir seluruh 5

16 14 pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis kelamin pria (2,07%). Meskipun melasma dapat mengenai semua ras akan tetapi paling sering dijumpai pada ras berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV-VI) terutama pada wanita ras Asia dan Hispanik yang tinggal pada daerah dengan radiasi ultraviolet yang tinggi. Pada wanita ras Latin, melasma lebih sering terjadi pada tipe kulit III-IV Etiologi Etiologi melasma masih belum dimengerti. Adapun faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV, dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut terlibat dalam patogenesis melasma (Rigopoulos, 2007). Dari sekian banyak faktor etiologi yang berhubungan dengan melasma, paparan sinar matahari terlihat sangat berperan penting. Penelitian oleh Sanchez (2005) semua pasien yang bertempat tinggal di Puerto Rico dan sebagian besar onset melasmanya terjadi selama musim panas, pasien merasa pada musim dingin melasma mereka nyata berkurang. Pasien ini juga mengatakan bahwa paparan sinar matahari akan memperparah melasma mereka. Pathak (2006) memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari adalah yang sangat berperan. Beberapa dari faktor-faktor tersebut telah diobservasi sedangkan yang lainnya telah dilakukan uji klinis. Kira-kira sepertiga kasus melasma pada wanita, dan sebagian besar pada pria adalah idiopatik Patogenesis Patogenesis melasma selalu digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis maupun proses pengobatan. Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan dengan biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi kulit, baik di tingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga berhubungan langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa mekanisme yang bersifat spesifik.

17 15 A. Sistem Pigmentasi Kulit Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu pigmen melanin (Jimbow, 2001). Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan epidermal. Melanosit memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit di produksi dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam pembentukan dua subtipe melanin tersebut (Jimbow, 2001). Tirosin hidroksilasi 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA) oksidasi enzim tirosinase DOPAquinon Pembentukan melanin di dalam melanosom Bermigrasi ke dalam dendrit-dendrit dari melanosit setiap melanosit berhubungan dengan beberapa keratinosit Unit Melanin Epidermal Skema 2.1. Pigmentasi kulit *

18 16 Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari polimerisasi dan oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen melanin yaitu, eumelanin (coklat-hitam) dan feomelanin (kuning-merah). Eumelanin bersifat lebih dominan (koesoema, 2005). Melanin ditransfer dari melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi melanosom dilakukan oleh asam hidrolase lisosom selama keratinosit naik menuju permukaan epidermis, dan akhirnya melanin hilang bersama lepasnya stratum korneum. Jika terdapat inflamasi kulit dan kemudian kerusakan selular, beberapa melanosom masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka selsel ini yang kemudian dikatakan sebagai melanofag. Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa perubahan jumlah melanosit, dengan mekanisme peningkatan produksi melanosom, peningkatan melanisasi dari melanosom, pembentukan melanosom yang lebih besar, peningkatan pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan melanosom dalam keratinosit. B. Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma a). Faktor Endokrin Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain : Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan progesteron (Koesoema, 2005). Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenylcyclase untuk membentuk c-amp dan akan meningkatkan pembentukan tirosinase melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila

19 17 kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik. Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai penyebab terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron, penggunaan estrogen konjugasi pada wanita postmenopause dan pengobatan kanker prostat dengan dietilbestrol. Meskipun peran estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun dilaporkan bahwa melanosit yang mengandung reseptor estrogen menstimulasi sel-sel tersebut menjadi hiperaktif. Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang disertai melasma juga belum diketahui dengan pasti. Pathak (2006) berpendapat bahwa melasma tidak akan hilang setelah proses kelahiran atau penghentian penggunaan obat kontrasepsi. Kelainan ini dapat memudar akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka waktu yang lama, dan timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Dari penelitian ternyata 77% wanita yang menderita melasma karena pemakaian pil kontrasepsi, juga menderita melasma gravidarum. Pada penelitian Iraji di Iran menunjukkan dari 230 wanita hamil, 27,6% menderita melasma. Penelitian di Pakistan menyatakan dari 140 wanita hamil, 46,4% menderita melasma dan pada satu penelitian di Perancis oleh (Estev, 1994) pada 60 wanita hamil, di laporkan prevalensi sebanyak 5% (n=3). Prevalensi melasma pada penelitian lainnya dilaporkan sebanyak 50-70%. Pada mamalia, hormon pituitari dan ovarium merangsang terjadinya melanogenesis. Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam etiologi melasma, terdapat insiden yang rendah diantara para wanita postmenopause yang mendapat terapi pengganti (Torok, 2005). Perez (2009) mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita dengan melasma idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level leutinizing hormon (LH) dan level estradiol serum yang rendah, abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi ovarium ringan. Pada 15 pasien pria dengan melasma idiopatik juga menunjukkan profil hormon

20 18 yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron serum yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular resistance. Di samping itu juga terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit autoimun tiroid dengan melasma. Penelitian oleh Lutfi pada tahun 2004 pada 108 wanita yang tidak hamil dan menemukan hubungan yang bermakna antara penyakit tiroid autoimun dan melasma, terutama pada wanita yang penyakit tersebut didapat pada saat hamil atau setelah menggunakan obat kontrasepsi oral. Pada penelitian ini penderita penyakit tiroid empat kali lebih besar menderita melasma (n=84) dibanding kontrol (n=25). b). Predisposisi Genetik Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap patogenesis melasma, seperti yang diduga pada kajadian melasma familial bahwa penyakit ini jauh lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin, Oriental dan Indo-Cina. Faktor predisposisi genetik pada melasma sering dijumpai pada penderita dengan tipe kulit III-VI. Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak mengandung sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma juga. Pada kembar identik pernah dilaporkan menderita melasma, sementara saudara kandung lain dengan kondisi yang sama tidak menderita melasma. Penelitian Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia tahun kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada usia lebih muda bila terdapat riwayat melasma dalam keluarga. Meskipun telah dilaporkan beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat diturunkan sangat lemah. Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik (Damayanti, 2004).

21 19 c). Faktor Paparan Sinar Matahari Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah apabila terpapar sinar matahari. Eksaserbasi melasma hampir pasti di jumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan memudar selama musim dingin. Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan. Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam pencapaiannya ke bumi adalah UVB nm dan UVA nm. Semakin kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis. Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase sehingga dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses melanogenesis (Jimbow, 2001). Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. Ultraviolet A menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan fotooksidasi dari melanin yang telah ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi, terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis Terjadinya melasma pada daerah wajah karena memiliki jumlah melanosit epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan merupakan daerah yang paling sering terpapar sinar matahari. Interaksi antara faktor sinar matahari dan berbagai hormon terjadi di perifer, kemudian bersama-sama mempengaruhi metabolisme melanin di dalam melanoepidermal unit.

22 20 d). Faktor Kosmetika Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Penelitian Tranggono pada bulan Januari sampai Desember 1978 terhadap 244 pasien di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta yang menderita noda-noda hitam, 18,3% diantaranya disebabkan oleh kosmetik. Bahan kosmetika yang menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak, minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik. Melasma yang terjadi biasanya difus dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari. Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi melanosit yaitu leukotrien C 4 dan D 4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 α, IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF) α menghambat proliferasi melanosit. Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses ini melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.

23 21 e). Faktor Obat-obatan Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar matahari. Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis (Nasution, 1998). Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin), amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan barbiturat Gambaran Klinis Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola retikular. Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. Melasma tidak mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu lesi sampai multipel dengan distribusi simetris Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Laboratorium Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi endokrin, tiroid dan hepatic.

24 22 B. Pemeriksaan histopatologis Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal. Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan, terdapat peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan. Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul disekitar pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal. C. Pemeriksaan lampu Wood Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan menggunakan lampu Wood. Lawrens (1997) berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe melasma campuran dermal-epidermal. Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik bagi perbaikan klinis. Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat diklasifikasikan menjadi :

25 23 a). Tipe Epidermal Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal. Sebagian besar pasien melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi. b). Tipe Dermal Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui makrofag dan keadaan ini tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan depigmentasi. c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran) Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak. d). Tipe Indeterminate Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V danvi) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul Diagnosis Banding Melasma dapat didiagnosis banding dengan Hipermelanosis postinflamasi, Efelid, Solar lentigo, Lentigo simpleks, Nevus ota, Acquired bilateral naevus of ota-like macules, Erythose peribuccale pigmentaire of Brocq, Erythromelanosis follicularis faciei et colli, Poikiloderma of civatte, Melanosis Riehl, Dermatitis Berloque, Makula Café au lait, Keratoses seboroik, Liken planus aktinik, Hiperpigmentasi periorbita.

26 Penatalaksanaan Pengobatan melasma dapat dilakukan dengan cara topikal menggunakan bahan-bahan pemutih yang dibagi dalam tiga kategori yaitu senyawa fenolik (hidrokuinon), senyawa non fenolik (asam azelaik, tretinoin, asam kojik, asam L- askorbat, kortikosteroid, vitamin E, dan thrioctic acid) dan formula kombinasi (formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof). Selain itu pada kasus-kasus yang sulit diobati dapat digunakan pengobatan dengan pengelupasan kimia yaitu dengan asam glikolik (GA), asam trikloroasetat (TCA), asam salisilat, tretinoin dan resorsinol; dermabrasi, intense pulsed light therapy (IPL) dan laser (Lapeere, 2008). Oleh karena paparan sinar matahari merupakan faktor utama dalam eksaserbasi melasma, maka diwajibkan pemakaian tabir surya berspektrum luas (SPF>30) yang memiliki perlindungan terhadap UVA dan UVB, dan menghindari paparan langsung sinar matahari serta menggunakan pakaian tertutup dan kain pelindung seperti topi atau payung disiang hari. Secara umum ada dua jenis produk tabir surya yaitu tabir surya organik dan inorganik. 2.2 Tranexamic acid Asam traneksamat (trans-4-amino methyl cyclohexane carboxylic asam) adalah analoglisin yang telah terbukti untuk mencegah hiperpigmentasi akibat UV. TA mengurangi aktivitas tirosinase melanosit dengan mencegah pengikatan plasminogen kekeratinosit, yang menghasilkan pengurangan prostaglandin dan asam arakidonat, yang merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam melanogenesis. penggunaan tranexamic acid untuk melasma yang diberikan secara lokal dengan suntikan mikro, menunjukkan asam tranexamat merupakan preparat yang menjanjikan untuk penanganan melasma (Lee, 2006). Studi tersebut melibatkan sebanyak 100 wanita dengan melasma, yang diberikan tranexamic acid dengan cara injeksi mikro, terapi ataupun pemberian tranexamic acid (0,05 ml 4 mg/ml) ini selama 8 minggu, sedangkan parameter evaluasi menggunakan MASI (Melasma Area and Severity Index), yang dilakukan pada minggu ke 4 dan 8. Hasil dari studi

27 25 tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan MASI yang bermakna pada minggu ke 8. Jika dibandingkan dengan nilai awal, yaitu: 13,22 ± 3,02 vs 9,02 ± 2,62 vs 7,57 ± 2,54 (p <0,05), masing-masing pada Triple combination Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat memperbaiki efektivitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek samping. Formulasi kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof. Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%, tretinoin 0,1%, dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan melasma, efelid, dan hiperpigmentasi postinflamasi. Formula Pathak mengandung hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya apabila ditemukan adanya iritasi akibat hidrokuinon atau tretinoin. Formula Westerhof mengandung N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon 2%, dan triamsinolon asetonid 0,1%. Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang mengandung fluosinolon asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI). Formula dari terapi TC ini terdiri dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0,01% (FA). Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma selama 8 minggu. Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga bahan aktif yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan penelitian ini telah memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik. Baru-baru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh uji klinis pada melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan pernyataan yang disetujui dalam pengobatan melasma. PDA berpendapat bahwa topical fixed triple combination (TC) harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi mempunyai onset kerja dan efikasi yang rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap triple therapy atau jika triple therapy tidak tersedia.

28 Mekanisme kerja A. Hidrokuinon Hidrokuinon adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan pada saat ini, terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah lainnya. Hidrokuinon merupakan senyawa kimia hidroksifenolik yang dapat menginhibisi perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan aktivitas enzim tirosinase (Balkrishnan, 2003). Mekanisme lainnya adalah penghambatan sintesis DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan penghancuran melanosit. Kemiripan struktur kimia HQ dengan precursor melanin menjelaskan kemampuannya untuk dapat dimetabolisme di dalam melanosit begitu juga terhadap kerja HQ yang selektif pada proses melanogenesis. Derivat dari HQ yaitu the monobenzyl ether of HQ, 4-methoxyphenol, 4-isopropylcatechol, 4-hydroxyanisol, dan N-acetyl-4-S-cystaminylphenol. Tidak seperti the monobenzylether of HQ, HQ tidak dimetabolisme menjadi radikal bebas sitotoksik dan tidak merusak melanosit. Efek depigmentasi biasanya terbatas pada daerah aplikasi dan bersifat reversibel (Rigopoulos, 2007). Efektivitas HQ berhubungan secara langsung dengan konsentrasi preparat, vehikulum yang digunakan, dan stabilitas hasil akhir dari bahanbahan kimia yang terkandung didalamnya. Konsentrasi HQ bervariasi mulai dari 2%-5%, dimana konsentrasi yang lebih tinggi biasanya lebih iritatif dan memiliki risiko yang lebih besar terhadap fototoksisitas, dengan peningkatan efikasi yang lebih sedikit dan tidak direkomendasikan, terkecuali pada kasus yang refrakterreversibel (Rigopoulos, 2007). Aplikasi topikal HQ 2%-4% adalah pengobatan yang disetujui dan HQ 4% merupakan baku emas untuk pengobatan melasma. Pemakaian HQ 2%, tanpa penambahan substansi lainnya, hanya bermanfaat sebagai terapi pemeliharaan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh US Food and Drug Administration and European of Cosmetics Products. Efikasi dan efek simpang HQ 4% telah dievaluasi oleh Ennes (2000) pada penelitian buta ganda kontrol plasebo yang melibatkan 48 pasien melasma di wajah.

29 27 Berbagai penelitian uji klinis menganjurkan vehikulum solusio hidroalkoholik atau salap hidrofilik atau gel yang mengandung AHA 10%, yang lebih baik untuk formulasi HQ. Antioksidan, seperti sodium bisulfat 0,1% dan asam askorbat (vitamin C) 0,1%, harus digunakan untuk menjaga stabilitas forrmulasi. Efek pemutih HQ didapatkan mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah aplikasi (Cestari, 2007). efek samping akut pemakaian HQ diantaranya dermatitis kontak iritan dan alergik, hiperpigmentasi postinflamasi, dan perubahan warna kuku. Okronosis eksogen, reticulated ripple-like sooty pigmentation yang permanen pada wajah, biasanya mengenai pipi, dahi, daerah periorbital adalah efek samping kronis yang utama. Resolusi biasanya terjadi perlahan setelah penghentian obat. Hidrokuinon dapat menimbulkan depigmentasi permanen apabila lesi diobati dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu lama. B. Tretinoin Tretinoin (asam retinoat atau asam vitamin A) juga terbukti efektif untuk pengobatan melasma. Selain melasma, tretinoin juga digunakan untuk mengobati hiperpigmentasi akibat penuaan dini dan hiperpigmentasi postinflamasi. Tretinoin secara luas diyakini dapat menyebabkan penyebaran granul-granul pigmen dalam keratinosit, dengan mengganggu transfer pigmen, dan mempercepat transfer epidermis, sehingga pigmen hilang secara lebih cepat (Chan, 2008). Tretinoin juga mempercepat turnover epidermis, mempersingkat transit time di lapisan basal dan mempercepat hilangnya pigmen melalui proses epidermopoesis (Victor, 2004). Asam retinoat (RA) mereduksi melanin epidermis, kemungkinan dengan cara menurunkan jumlah transfer melanosom ke keratinosit, selanjutnya meningkatkan proliferasi epidermis dan penghambatan enzim tirosinase dan pada akhirnya terjadi penurunan proses melanogenesis. Ketika digunakan sebagai monoterapi, tretinoin cukup efektif akan tetapi membutuhkan waktu pengobatan selama 6 bulan atau lebih. Sehingga tretinoin sering dikombinasikan dengan satu atau lebih bahan lainnya untuk mempercepat timbulnya efek yang diharapkan. Tretinoin juga berpotensi untuk menginduksi sintesis DNA sel epidermal dan

30 28 dermal. Hal ini dianggap dapat membantu meniadakan efek atrofogenik steroid topikal dengan meningkatkan ketebalan kulit (Torok, 2005). Tretinoin mengesampingkan efek atrofi dan anti mitotik akibat penggunaan kortikosteroid. Reaksi iritasi akibat tretinoin dapat memfasilitasi penetrasi epidermal dari HQ dan juga mencegah HQ teroksidasi. Konsentrasi tretinoin berkisar antara 0,05% sampai 0,1%. Efek samping pemakaian tretinoin berupa eritema, deskuamasi dan dermatitis kontak, akan tetapi tidak akan merubah efikasi pengobatan. C. Kortikosteroid Kortikosteroid topikal dapat mengurangi hiperpigmentasi pada pasien melasma akan tetapi tidak dapat dipakai sebagai monoterapi oleh karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Kortikosteroid memiliki efek anti metabolik pada berbagai sistem sel. Ada yang bersifat sitotoksik atau sitostatik terhadap epidermis dan menurunkan turnover epidermis (Menter, 2004). Kortikosteroid dapat menghambat sintesis melanin melalui penurunan aktivitas sel secara umum. Selain itu, kortikosteroid dapat mereduksi iritasi atau inflamasi yang disebabkan oleh HQ dan tretinoin. Demikian juga, komponen kortikosteroid tampaknya antagonis terhadap efek penipisan stratum korneum akibat penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang diinduksi oleh retinoid. Kligman dan Willis menduga bahwa komponen kortikosteroid pada formulasi mereka dapat menekan fungsi biosintetik dan sekresi melanosit, sehingga menekan produksi melanin tanpa menghancurkan melanosit (Menter, 2004). Efek samping pemakaian kortikosteroid potensi tinggi terutama dalam jangka waktu lama diantaranya atrofi, telangiektasi, akne atau erupsi akneformis, eritema mirip rosacea, dermatitis perioral, dan rasa gatal. D.Tranexamic acid Secara umum mekanisme tranexamic acid menurunkan derajat pigementasi dari melasma, namun dari studi in-vitro diketahui plasminogen banyak terdapat di bagian basal epidermis, dan keratinosit banyak mengandung plasminogen activator (PA) khususnya PA tipe urokinase. PA

31 29 ini berguna untuk diferensiasi, pertumbuhan, migrasi dan juga tentunya untuk pigementasi keratinosit, dan blokade dari efek ini mungkin merupakan mekanisme kerja tranexamic acid dalam menurunkan hiperpigementasi (Maeda, 2007) Cara kerja TC mempunyai sediaan dalam bentuk topikal yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01% dan diaplikasikan sekali sehari, kira-kira setengah jam sebelum tidur. Tranexamic acid mempunyai sediaan bentuk injeksi dan akan di berikan injeksi secara intradermal sebanyak 2x dalam 1 minggu Efek samping Efek samping pengobatan TC yang paling sering terjadi adalah eritema, deskuamasi, rasa terbakar, kulit kering, dan rasa gatal. Efek samping yang mungkin terjadi saat penyuntikan tranexamic acid adalah rasa sakit dan oedema. 2.4 Tabir surya Matahari merupakan faktor etiologi yang berperan penting dalam proses penuaan kulit. Akibat dari paparan matahari akan menimbulkan proses hipermelanogenesis pada lapisan epidermis dan dermis kulit. Menghindari paparan sinar matahari (UVA dan UVB) dan penggunaan pelindung matahari termasuk pemakaian tabir surya berspektrum luas, pelindung UVA pada kaca mobil dan rumah, dan pakaian tertutup, seperti topi, adalah bagian dari pengobatan melasma yang sangat menentukan. Tabir surya telah ada sejak tahun 1928 dan saat ini berperan penting dalam pencegahan kanker kulit dan proteksi terhadap sinar matahari. Saat ini, tolak ukur dan pelaporan efikasi tabir surya ditentukan oleh sun protection factor (SPF). Tabir surya sangat efektif mencegah terjadinya eritema. SPF merupakan pengukuran kemampuan perlindungan suatu tabir surya terhadap eritema, terutama pengukuran proteksi terhadap UVB, sebagaimana UVB 1000 kali lebih eritemogenik dibanding UVA. Sun

32 30 protection factor adalah perbandingan antara dosis radiasi UV yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon eritema minimal kulit yang dilindungi oleh tabir surya selama 24 jam setelah terpapar terhadap dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkatan eritema yang sama pada kulit yang tidak dilindungi. Protokol yang ada secara umum dapat diterima, tetapi belum ada standart internasional yang sebenarnya. Saat pemeriksaan SPF telah selesai, sumber radiasi (solar stimulator atau natural sunlight) dan tipe kulit peserta harus ditentukan. Di Amerika Serikat, tabir surya diatur oleh Food and Drug Administration (FDA). Terdapat 17 bahan aktif terkandung dalam tabir surya yang disetujui FDA. Komposisi tabir surya secara umum dibagi menjadi bahan inorganik dan organik, sebelumnya secara berurutan dikenal dengan istilah tabir surya fisik dan tabir surya kimia. Tabir surya inorganik bekerja dengan merefleksikan atau menghamburkan radiasi sinar tampak, UV, dan infrared lebih dari sekedar berspektrum luas. Bahan inorganik utama yang digunakan saat ini adalah zinc oxide (ZnO) dan titanium dioxide (TiO 2 ), yang bersifat fotostabil dan memerlukan aplikasi yang tebal untuk mencapai refleksi yang adekuat. Zinc oxide memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVA (sampai 380 nm), dimana TiO 2 memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVB dan memiliki warna keputihan oleh karena indeks refraksi yang lebih tinggi. Berbeda dengan bahan tabir surya inorganik, bahan kimia organik mengabsorbsi radiasi UV melalui struktur cincin aromatik konjugasi. Berdasarkan aktivitasnya bahan tabir surya organik dibagi menjadi filter UVB dan UVA. Komposisi tabir surya organik, khususnya filter UVB, bekerja dengan mengabsorbsi radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas. PABA merupakan bahan organik UVB yang paling poten, yang mana kemampuannya mengikat keratinosit dapat mengotori kulit, tetapi membuatnya tahan terhadap air dan keringat. Banyak laporan mengenai alergi kontak akibat PABA, dan oleh sebab itu sering digantikan dengan derivat PABA yang kurang efektif seperti padimate O Sinamat, termasuk octinoxate dan cinoxate, adalah filter UVB yang sangat populer di AS karena tidak mengotori kulit dan jarang mengiritasi. Salisilat, bahan organik UVB yang paling lemah, termasuk octisalate, homosalat,dan trolamine salicylate.

33 31 Benzophenone merupakan bahan organik UVA yang memberikan perlindungan broad-spectrum terhadap UVB dan UVA. Namun demikian, benzophenone bersifat fotolabil dan oksidasinya dapat menganggu sistem antioksidan. FDA telah menyetujui 3 benzophenone: oxybenzone, sulisobenzone, dan dioxybenzone. Avobenzone (butyl methoxydibenzoylmethane), filter UVA yang poten, tetapi bersifat sangat fotolabil. Ecamsule (Mexoryl atau terephthalylidene dicamphor sulphoic acid) merupakan bahan broad-spectrum terbaru dengan profil absorbsi antara 290 dan 390 nm. Ecamsule dapat mencegah atau mereduksi pigmentasi yang di induksi sinar matahari, pembentukan dimer pirimidin, akumulasi protein p53, perubahan densitas sel Langerhans, dan fotodermatoses. Filter organik dan inorganik juga bekerja secara sinergis untuk meningkatkan SPF. Bahan inorganik menghamburkan sinar UV, meningkatkan the photons optical pathways dan mempertinggi absorbsi yang berikutnya oleh bahan organik. Pakaian tertutup dan topi diyakini sebagai fotoproteksi yang sangat bermakna. Dibanding tabir surya, cara fotoproteksi paling populer yang dipakai masyarakat umum, pakaian memiliki banyak kelebihan. Pertama, pakaian dan topi memberikan kenyamanan dan perlindungan yang sama terhadap UVA dan UVB. Kedua, pakaian dan topi lebih memberi perlindungan yang dapat diandalkan selama pemakainya ingat untuk menggunakannya. Terakhir, pakaian dan topi lebih murah dibanding tabir surya, dan sama sekali tidak menimbulkan komplikasi seperti dermatitis kontak dan fotoalergik. Untuk ukuran perlindungan UV pada baju yang lebih akurat dan kuantitatif, sebagian besar perusahaan di seluruh dunia telah menyetujui UV protection factor (UPF) sebagai alat ukur standart. Standart ini pertama kali di kembangkan dan dipublikasikan di Australia tahun 1996, dan kemudian disetujui dan disaring kembali oleh European Committee for Standardization tahun Evaluasi hasil pengobatan (efikasi) Evaluasi hasil pengobatan penelitian uji klinis pada melasma dapat di bagi menjadi teknik evaluasi subjektif dan objektif Teknik evaluasi subjektif Meskipun mutunya lebih rendah dibanding teknik evaluasi objektif, evaluasi subjektif terutama sekali the physician s global assessment (PGA) merupakan the

34 32 primary efficacy endpoint untuk mengevaluasi pengobatan terbaru. PGA adalah the primary efficacy endpoint pada uji klinis melasma. Secara klinis, PGA merupakan pengukuran subjektif yang relevan dari perubahan keparahan pigmentasi selama pengobatan dibanding dengan awal pengobatan. Sistem pengukuran yang paling sering digunakan adalah Melasma Area and Severity Index (MASI) score dan pertama kali dipakai oleh Kimbrough-Green et al untuk penilaian melasma. Melasma Area and Severity Index adalah suatu cara untuk mengukur secara teliti keparahan melasma dan perubahan selama terapi. Skor MASI dihitung pertama sekali dengan menilai area hiperpigmentasi di wajah. Empat area yang di evaluasi: dahi (F), pipi kanan (MR), pipi kiri (ML), dan dagu (C), yang disesuaikan secara berurutan dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari seluruh wajah. Melasma di masing-masing keempat area diberi nilai numerik: 0, tidak dijumpai lesi hiperpigmentasi; 1, <10%; 2, 10-29%; 3, 30-49%; 4, 50-69%; 5, 70-89%; dan 6, %. Kehitaman pigmen dibanding kulit normal (D) di nilai pada masing-masing area dengan skala 0 (tidak ada) sampai 4 (maksimal), homogenitas (H) juga di ukur berdasarkan skala 0 (minimal) sampai 4 (maksimal). Untuk mengukur skor MASI, jumlah tingkatan keparahan D dan H di kalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A); skor maksimal adalah 48 dan minimal 0. The Melasma Severity Scale (MSS) merupakan sistem skoring empat tingkat (skala kategorik) yang menilai keparahan melasma yaitu: 0, lesi melasma hampir sama dengan kulit normal di sekitarnya atau dengan sedikit sisa pigmentasi; 1, ringan, sedikit lebih gelap dibanding kulit normal di sekitarnya; 2, moderat, cukup gelap dibanding kulit normal di sekitarnya; 3, berat, sangat mencolok/jelas kegelapan lesi dibanding kulit normal di sekitarnya Teknik evaluasi objektif Berbagai teknik evaluasi objektif telah digunakan pada penelitian uji klins melasma, seperti reflectance spectroscopy, fotografi, fluorescent video recording dan corneomelametry, dan histologi.

35 33 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai, bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduksi. Melasma muncul dalam bentuk makula berwarna coklat terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular, biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Meskipun melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap (Sharquie, 2005). Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya 10% dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti pada wanita (Katsambas, 2002). Penelitian oleh Goh dan Dlova di Singapura mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar matahari (Shudarmono, 2006). Triple combination Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat memperbaiki efektivitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek samping. Formulasi kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof (Rigopoulos, 2007). Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%, tretinoin 0,1%, dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan melasma, efelid, dan hiperpigmentasi postinflamasi (Rigopoulos, 2007). Formula Pathak mengandung hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya apabila ditemukan adanya iritasi akibat hidrokuinon atau tretinoin. Formula Westerhof mengandung N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon 2%, dan triamsinolon asetonid 0,1%. 25

36 34 Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang mengandung fluosinolon asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI). Formula dari terapi TC ini terdiri dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0,01% (FA). Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma selama 8 minggu (Victor, 2004) Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga bahan aktif yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan penelitian ini telah memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik (Chan, 2006). Barubaru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh uji klinis pada melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan pernyataan yang disetujui dalam pengobatan melasma. PDA berpendapat bahwa topical fixed triple combination (TC) harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi mempunyai onset kerja dan efikasi yang rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap triple therapy atau jika triple therapy tidak tersedia (Chan, 2008). Tranexamic acid Asam traneksamat (trans-4-amino methyl cyclo hexane carboxylic asam) adalah analog lisin yang telah terbukti untuk mencegah hiperpigmentasi akibat UV. TA mengurangi aktivitas tirosinase melanosit dengan mencegah pengikatan plasminogen ke keratinosit, yang menghasilkan pengurangan prostaglandin dan asam arakidonat, yang merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam melanogenesis. penggunaan tranexamic acid untuk melasma yang diberikan secara lokal dengan suntikan mikro, menunjukkan asam tranexamat merupakan preparat yang menjanjikan untuk penanganan melasma (Lee, 2006). Studi tersebut melibatkan sebanyak 100 wanita dengan melasma, yang diberikan tranexamic acid dengan cara injeksi mikro, terapi ataupun pemberian tranexamic acid (0,05 ml 4 mg/ml) ini selama 8 minggu, sedangkan parameter evaluasi menggunakan MASI (Melasma Area and Severity Index), yang dilakukan pada minggu ke 4 dan 8. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan MASI yang bermakna pada minggu ke8. Jika dibandingkan dengan nilai awal, yaitu: 13,22 ± 3,02 vs 9,02 ± 2,62 vs 7,57 ± 2,54 (p <0,05), masing-masing pada 0 8.

37 Konsep Penelitian Faktor intrinsik Endokrin genetik Triple combination / tranexamic acid Faktor ekstrinsik Sinar matahari Kosmetika Obat obatan Epidermal melasma Penilaian Skor MASI 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai berikut: 1. Pemberian tranexamic acid lebih efektif daripada pemberian triple combination

38 36 BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Desain penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan menggunakan randomized pre-posttest control group design. Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut : Bagan 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random O1 = penilaian MASI score sebelum P0 (triple combination) (pretest) O3 = penilaian MASI sebelum P1 (tranexamic acid) (pretest) P0 = Perlakuan dengan TC + Tabir surya selama 1 bulan P1 = Perlakuan dengan tranexamic acid + Tabir surya selama 1 bulan (2x penyuntikan dalam 1mgg) O2 = penilaian MASI score sesudah P0 (triple combination) (posttest) O4 = penilaian MASI score sesudah P1 (tranexamic acid) (posttest) MASI Score Melasma Area Severity Index telah banyak digunakan sebagai acuan untuk menilai pengurangan Melanin yang terdapat di lapisan kulit (Pandya, 2002). MASI score menilai keseluruhan dari wajah, mulai dari dahi, dagu, dan pipi. Tiap area akan diberi nilai dari 0 hingga 6, dimana angka ini mewakili luas area yang mengalami hiperpigmentasi. Tingkat kegelapan (D) dari melasma sendiri akan diwakili dengan angka 0 hingga 4. Dengan adanya 28

39 37 score penilaian untuk melasma ini, kita dapat mengetahui seberapa efektif nya tindakan yang akan dilakukan untuk mengurangi proses melanogenesis. perumusan MASI score : 0.3 A(f) [D(f) + H(f)] A(rm) [D(rm) + H(rm)] A(lm) [D(lm) + H(lm)] A(c) [D(c) + H(c)]. Area of involvement (A): meliputi 4 areaforehead (f) 30%; right malar region (rm) 30%; left malar region (lm) 30%; and the chin (c) 10%. pemberian score 0 to 6. o 0 = tidak terkena o 1 = <10% o 2 = 10% to 29% o 3 = 30% to 49% o 4 = 50% to 69% o 5 = 70% to 89% o 6 = 90% to 100% Darkness (D): tingkat kegelapanakan diberi score 0 to 4. o o o o o 0 =tidak terkena 1 = ringan 2 = sedang 3 = berbatas tegas 4 = maximum Homogeneity (H) tingkat homogenitas akan diberi nilai yang sama sengan tingkat kegelapan..

40 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di Skin Act's clinic Alam Sutera Tangerang. 4.3 Populasi dan besar sample Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus SJ Pocock p1 : persentase sukses yang diharapkan pada perlakuan tranexamic acid80% p2 : persentase sukses yang diharapkan dengan perlakuan TC 60% Jumlah sampel tiap kelompok adalah minimal 41. Untuk mengantisipasi drop out 10% pada waktu penelitian maka sampel tiap kelompok adalah sebesar Populasi target Wanita usia yang menderita epidermal melasma Populasi terjangkau Wanita usia yang menderita melasma yang berobat ke Skin Act's clinic Sampel Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Skin Act's clinic yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil untuk dilakukan pengukuran dan jumlahnya sesuai dengan rumusan besar sampel yang telah ditentukan. 4.4 Cara pengambilan sampel penelitian Cara pemilihan sampel dilakukan secara konservatif. 4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi Kriteria Inklusi : Pasien melasma berjenis kelamin wanita. Pasien melasma tipe epidermal.

41 39 Pasien melasma derajat sedang sampai berat (MASI 2). Usia pasien tahun. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent. Tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi Kriteria eksklusi : Pasien sedang hamil. Pasien sedang menyusui. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat yang bersifat fotosensitif seperti klorpromazin, amiodaron; tetrasiklin, minosiklin, klorokuin. Pasien yang bekerja dibawah paparan sinar matahari. Pasien yang telah mendapat pengobatan topikal (kortikosteroid, asam glikolat, hidrokuinon, terapi sinar UV, retinoid) dalam waktu 2 minggu, obat kortikosteroid sistemik dalam waktu 1 bulan, laser, dermabrasi atau peels dalam waktu 3 bulan, dan atau obat sistemik asitretin, etretinat, isotretinoin, metotreksat) dalam waktu 4 bulan sebelum datang. 4.6 Variable Penelitian Klasifikasi Variable A. Variabel bebas : Tranexamic acid, triple combination B. Variabel tergantung : MASI skor C. Variabel terkendali : Sinar matahari, Kontrasepsi Definisi Operasional Variabel Melasma merupakan peningkatan produksi warna kulit terutama eumelanin yang berwarna kecoklatan. Melasma epidermal yang diteliti ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan lampu woodlamp yang dilakukan oleh seorang dokter. Tranexamic acid yang digunakan adalahtranexamic acid buatan kalbe yang diberikan secara intracutan sebesar 1mg per injeksi dengan luas area sebesar 1 cm x 1 cm dalam sekali penyuntikan. Triple combination merupakan formula yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0.05% dan fluosinolon asetonid 0,01%.

42 40 Tingkat melasma diukur dengan skor MASI dan yang digunakan adalah melasma dengan skor MASI > 2. Anti aging kulit merupakan proses untuk menahan penuaan kulit yang salah satu tandanya adalah pembentukan warna kulit berlebih. 4.7 Prosedur Penelitian Alat dan Bahan 1. Tranexamic acid 2. Triple combination 3. Woodlamp 4. Spuit 1cc 5. Nacl 6. Kenacort injeksi Perhitungan dosis Tranexamic acid Perhitungan dosis Tranexamic acid mengikuti percobaan lee pada tahun 2006, yatu berupa pemberian injeksi 1mg untuk luas permukaan 1cm x 1cm Prosedur 1. Memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi 2. Sebelum penelitian dimulai, pasien dijelaskan tentang prosedur, tujuan dan efek pengobatan dari peneltian ini (lampiran 2, 3, 4). 3. Diagnosa melasma dengan cara inspeksi area hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa, kemudian pasien diperiksa dengan menggunakan lampu Wood dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal. 4. Dilakukan penilaian skor MASI dan yang akan digunakan hanya skor MASI > Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama untuk perlakuan injeksi Tranexamic acid (kelompok perlakuan), dan kelompok kedua untuk perlakuan Triple combination (kelompok kontol). 6. Setelah itu diberi perlakuan :

43 41 a. P0 (kelompok perlakuan) diberi perlakuan berupa injeksi tranexamic acid setiap 4 hari selama 30 hari (mengikuti fase regenerasi kulit dari sel basal). b. P1 (kelompok control) diberi cream Triple combinationsetiap hari selama 30 hari. 7. Kemungkinan terjadinya efek samping berupa peradangan dan reaksi alergi pada proses pemberian tranexamic acid dapat diatasi dengan pemberian kenacort injeksi pada area yang mengalami peradangan. 8. Setelah 30 hari kedua kelompok akan dievaluasi kembali dengan menggunakan skor MASI. 4.8 Alur penelitian Epidermal melasma Melasma Epidermal melasma Evaluasi MASI score Evaluasi MASI score Injeksi tranexamic acid Pemberian topikal triple combination Evaluasi MASI score Evaluasi MASI score Alur penelitian Gambar Analisis Data Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS for windows Versi Analisis data dalam penelitian meliputi: 1. Analisis Desriptif Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan

44 42 program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data. 2. Analisis normalitas data Uji normalitas data dilakukan dengan uji saphiro-wilk. Data normal bila p>0, Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan Uji Levene. 4. Uji Komparasi Uji untuk pre and post pada kelompok kontrol menggunakan paired-t test Uji untuk pre and post pada kelompok perlakuan menggunakan paired-t test Antar kelompok post test menggunakan independent t test

45 43 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental dengan rancangan pretest posttest control group design, melibatkan 90 orang wanita berusia tahun yang menderita epidermal melasma dan berobat ke Skin Act s Clinic sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok kontrol diberikan TC + Tabir surya selama 1 bulan dan kelompok perlakuan diberikan tranexamic acid + Tabir surya selama 1 bulan. Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan. 5.1 Uji Normalitas Data Data Skor MASI diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Skor MASI Kelompok Subjek n p Ket. Skor MASI kontrol pre 45 0,101 Normal Skor MASI perlakuan pre 45 0,127 Normal Skor MASI kontrol post 45 0,116 Normal Skor MASI perlakuan post 45 0,441 Normal 5.2 Uji Homogenitas Data Data Skor MASI diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2 berikut. 35

46 44 Skor MASI pre Skor MASI post Tabel 5.2 Homogenitas Data Skor MASIantar Kelompok Perlakuan Variabel F P Keterangan 2,70 0,18 0,104 0,674 Homogen Homogen 5.3Skor MASI Analisis komparabilitas Analisis komparabilitas bertujuan untuk mengetahui perbandingan rerata skor MASI antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa tranexamic acid + Tabir surya. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Perbedaan Rerata Skor MASIAntar Kelompok SebelumDiberikan Perlakuan Kelompok Subjek n Rerata Skor MASI SB t P Kontrol Perlakuan ,09 8,86 2,34 2,89 0,41 0,681 Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata skor MASI kelompok kontrol adalah 9,09 2,34 dan rerata kelompok tranexamic adalah 8,86 2,89. Analisis kemaknaan dengan uji t-independen menunjukkan bahwa nilai t = 0,41 dan nilai p = 0,681. Hal ini berarti bahwa rerata skor MASI pada kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan tidak berbeda (p>0,05) Analisis efek pemberian tranexamic acid + tabir surya Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata skor MASI antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa Triple combination dan tranexamic acid. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 berikut.

47 45 Tabel 5.4 Perbedaan Rerata Skor MASIAntar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan Kelompok Subjek n Rerata Skor MASI SB t P Kontrol Perlakuan ,49 6,45 2,30 2,22 2,19 0,032 Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata skor MASI kelompok kontrol adalah 7,49 2,30 dan rerata kelompok tranexamic acid + Tabir surya adalah 6,45 2,22. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 2,19 dan nilai p = 0,032. Hal ini berarti bahwa rerata Skor MASI pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05) Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok diuji berdasarkan rerata Skor MASI pada masing-masing kelompok antara sebelum dengan sesudah diberikan perlakuan berupa Triple combination dan tranexamic acid. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t- paired disajikan pada Tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Perbedaan Rerata Skor MASIantaraSebelumdengan Sesudah Diberikan Triple combination dantranexamic acidpada Masing-masing Kelompok Kelompok Rerata Skor MASI Sebelum Perlakuan Rerata Skor MASI Sesudah Perlakuan t P Kontrol 9,09 2,34 7,49 2,30 8,67 0,001 Perlakuan 8,86 2,89. 6,45 2,22 8,08 0,001 Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa dengan uji t-paired didapatkan masing-masing nilai t = 8,67 dan t = 8,08 dengan nilai kemaknaan yang sama yaitu nilai p = 0,001. Hal ini

48 46 berarti bahwa rerata Skor MASI pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan antara sebelum dengan sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05) Kontrol Perlakuan Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Skor MASI Sebelum dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Pendahuluan Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai, bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis didapat, berupa bercak yang tidak teratur, berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan sinar ultraviolet.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Definisi Melasma adalah hipermelanosis yang terjadi pada daerah wajah yang terkena sinar matahari. Melasma muncul sebagai makula hiperpigmentasi simetris yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma merupakan kelainan yang ditandai lesi makula hiperpigmentasi pada kulit yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, leher, atau lengan. Melasma masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma adalah kelainan pigmentasi didapat dengan gambaran klinis berupa makula cokelat muda hingga cokelat tua pada daerah terpajan matahari, contohnya wajah dan leher

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis yang didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan tingkat ekonomi di Indonesia menyebabkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan tingkat ekonomi di Indonesia menyebabkan banyak 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan tingkat ekonomi di Indonesia menyebabkan banyak masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi menengah ke atas. Hingga nilai beli terhadap sesuatu yang sekunder

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan wrinkle/kerutan kulit, kulit yang kasar, kulit kering,

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan wrinkle/kerutan kulit, kulit yang kasar, kulit kering, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan dini (PD) adalah proses degeneratif yang melibatkan kulit dan sistem penyokong kulit, 1 berupa perubahan stuktural dan elastilitas kulit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Hidrokinon dalam Kosmetik

Hidrokinon dalam Kosmetik Hidrokinon dalam Kosmetik Kita ketahui bahwa kosmetik sangat beragam jenisnya, mulai dari kosmetik untuk wajah, kulit, rambut, hingga kuku. Namun diantara ragam jenis kosmetik tersebut, yang sering menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah paparannya berlebihan. Kerusakan kulit akibat paparan sinar matahari

BAB I PENDAHULUAN. jumlah paparannya berlebihan. Kerusakan kulit akibat paparan sinar matahari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matahari sebagai sumber cahaya alami memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan, tetapi selain mempunyai manfaat sinar matahari juga dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit sehat merupakan idaman semua orang terutama bagi kaum perempuan oleh karena itu mayoritas masyarakat menggunakan produk kosmetik pemutih yang beredar di pasaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

BAB I PENDAHULUAN. Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan

I. PENDAHULUAN. World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang baik, bukan sekedar tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu radiasi UV-A ( nm), radiasi UV-B ( nm), dan radiasi UV-C

BAB I PENDAHULUAN. yaitu radiasi UV-A ( nm), radiasi UV-B ( nm), dan radiasi UV-C BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari adalah sumber utama radiasi sinar ultraviolet (UV) untuk semua sistem kehidupan manusia. Radiasi sinar UV dibagi menjadi tiga kategori, yaitu radiasi

Lebih terperinci

MEKANISME KERJA WHITENING AGENT MAKALAH

MEKANISME KERJA WHITENING AGENT MAKALAH MEKANISME KERJA WHITENING AGENT MAKALAH Disusun Oleh : Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap wanita

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komponen warna kulit manusia termasuk di dalamnya adalah melanin,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komponen warna kulit manusia termasuk di dalamnya adalah melanin, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Melasma 2.1.1 Pendahuluan Komponen warna kulit manusia termasuk di dalamnya adalah melanin, darah dalam pembuluh kapiler superfisial, kolagen, dan bahan kimia lainnya yang dihasilkan

Lebih terperinci

KRIM I M P EMU M TI T H I Bleaching Cream Dra. a N. az a liln i i n w i at a y t,m,. M S. i S. i,. A, p A t p

KRIM I M P EMU M TI T H I Bleaching Cream Dra. a N. az a liln i i n w i at a y t,m,. M S. i S. i,. A, p A t p KRIM PEMUTIH Bleaching Cream Dra.Nazliniwaty,M.Si.,Apt Sediaan kosmetika memutihkan kulit Masalah Hiperpigmentasi Warna Hitam Berupa Bercak Bercak Setempat Pada Kulit Warna kulit Jumlah pigmen terbentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Sebagai pelindung utama tubuh dari kerusakan fisika, kimia dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Sebagai pelindung utama tubuh dari kerusakan fisika, kimia dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan produk kosmetik saat ini sudah merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari yang tidak terpisahkan dari gaya hidup modern. Menurut BPOM Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kosmetik Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang untuk digunakan pada bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang musim. Sinar matahari merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup, namun ternyata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Radiasi sinar UV yang terlalu lama pada kulit dapat menyebabkan timbulnya penyakit kulit seperti kanker kulit dan reaksi alergi pada cahaya/fotoalergi (Ebrahimzadeh

Lebih terperinci

Iklim tropis di Indonesia menjadikan negara kita ini memperoleh sinar. matahari sepanjang tahun. Pengaruh menguntungkan dari sinar matahari adalah

Iklim tropis di Indonesia menjadikan negara kita ini memperoleh sinar. matahari sepanjang tahun. Pengaruh menguntungkan dari sinar matahari adalah BABI PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Iklim tropis di Indonesia menjadikan negara kita ini memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Pengaruh menguntungkan dari sinar matahari adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekeringan, keriput sampai kanker kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kekeringan, keriput sampai kanker kulit (Tranggono dan Latifah, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari, disatu pihak sangat diperlukan oleh makhluk hidup sebagai sumber energi, kesehatan kulit dan tulang, misalnya dalam pembentukan vitamin D dari pro vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paparan sinar matahari dapat memicu berbagai respon biologis seperti sunburn, eritema hingga kanker kulit (Patil et al., 2015). Radiasi UV dari sinar matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kulit merupakan suatu organ yang berada pada seluruh permukaan luar tubuh manusia. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting untuk perlindungan organ tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB II. Penuaan Dini pada Wanita Jepang

BAB II. Penuaan Dini pada Wanita Jepang BAB II Penuaan Dini pada Wanita Jepang 2.1 Penuan Dini Banyak orang berfikir bahwa penuaan merupakan hal yang sangat biasa, bahkan bagi sebagian orang penuaan dianggap tidak terlalu penting untuk kesehatan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melasma merupakan kelainan kulit yang perkembangannya dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melasma merupakan kelainan kulit yang perkembangannya dipengaruhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melasma merupakan kelainan kulit yang perkembangannya dipengaruhi oleh interaksi lingkungan dan hormonal pada individu yang memiliki suseptibilitas secara genetik (Handel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organ tubuh (termasuk kulit) secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti

BAB I PENDAHULUAN. organ tubuh (termasuk kulit) secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging adalah suatu proses menghilangnya kemampuan seluruh organ tubuh (termasuk kulit) secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan

Lebih terperinci

1 Siti Fitrah I H 2 Poppy M. Lintong 2 Lily L. Loho.

1 Siti Fitrah I H 2 Poppy M. Lintong 2 Lily L. Loho. PENGARUH PEMBERIAN UMBI BENGKUANG (Pachyrrhizus erosus l urban) TERHADAP JUMLAH PIGMEN MELANIN KULIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIPAPARKAN SINAR MATAHARI 1 Siti Fitrah I H 2 Poppy M. Lintong 2 Lily L.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui konsep Anti Aging Medicine, masalah-masalah penuaan dapat diatasi. sehingga kualitas hidup tetap terjaga dengan baik.

BAB I PENDAHULUAN. Melalui konsep Anti Aging Medicine, masalah-masalah penuaan dapat diatasi. sehingga kualitas hidup tetap terjaga dengan baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah suatu proses yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kita berharap dapat melewati penuaan dalam kondisi sehat dan tanpa keluhan penyakit. Penuaan sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta

The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta The Correlation between Cosmetics Usage to Acne Vulgaris in Female Student in FKIK Muhammadiyah University of Yogyakarta Hubungan Lamanya Paparan Kosmetik dengan Timbulnya Acne Vulgaris pada Mahasiswi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Munculnya kerutan halus pada wajah, timbul spot-spot hitam, merupakan ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Munculnya kerutan halus pada wajah, timbul spot-spot hitam, merupakan ciri-ciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Proses normal seiring dengan pertambahan usia, kulit akan mulai mengendur dan berkerut. Hal ini disebabkan fungsi fisiologis dari organ terutama kulit mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan. TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016

Lembar Pengesahan. TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, MSc. SpAnd NIP. 194402011964091001 Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo,

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya bercak berwarna putih pada kulit seseorang sering menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, yang

Lebih terperinci

Obat-obat Hormon Hipofisis anterior

Obat-obat Hormon Hipofisis anterior Obat-obat Hormon Hipofisis anterior Gonadotropin korionik (Chorex) Menstimulasi produksi testosteron dan progesteron untuk mengobati hipogonadisme pada pria. Menginduksi ovulasi pada wanita dengan ovarium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama radiasi sinar UV terjadi pembentukan Reactive Oxygen Species

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama radiasi sinar UV terjadi pembentukan Reactive Oxygen Species BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terletak di daerah tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang tahun. Sebagian penduduknya bekerja di luar ruangan sehingga mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses penuaan dapat dilihat dari perubahan beberapa organ terutama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses penuaan dapat dilihat dari perubahan beberapa organ terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses penuaan dapat dilihat dari perubahan beberapa organ terutama kulit. Seiring bertambahnya usia, fungsi kulit ikut menurun. Sel kulit yang mati melekat lebih lama

Lebih terperinci

KORELASI ANTARA RESPONS PIGMENTASI AKIBAT PAJANAN MATAHARI DENGAN DERAJAT PARUT AKNE VULGARIS

KORELASI ANTARA RESPONS PIGMENTASI AKIBAT PAJANAN MATAHARI DENGAN DERAJAT PARUT AKNE VULGARIS Artikel Asli KORELASI ANTARA RESPONS PIGMENTASI AKIBAT PAJANAN MATAHARI DENGAN DERAJAT PARUT AKNE VULGARIS Istiana Fiatiningsih, Kristiana Etnawati, Agnes Sri Siswati Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Ketika kulit mengalami penuaan, akan terjadi berbagai masalah seperti

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Ketika kulit mengalami penuaan, akan terjadi berbagai masalah seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan kulit merupakan proses fisiologis yang terjadi pada semua makhluk hidup. Ketika kulit mengalami penuaan, akan terjadi berbagai masalah seperti kulit menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TIJAUA PUSTAKA A. Kanker dan Kanker Payudara Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya abnormalitas regulasi pertumbuhan sel dan meyebabkan sel dapat berinvasi ke jaringan serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup terutama manusia membutuhkan sinar matahari dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat sinar matahari telah banyak diketahui di antaranya sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetik telah menjadi bagian kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan secara luas baik untuk

Lebih terperinci

Tabir surya. kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tdk dpt memasuki kulit (mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar )

Tabir surya. kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tdk dpt memasuki kulit (mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar ) Tabir surya Zat yang megandung bahan pelindung Zat yang megandung bahan pelindung kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tdk dpt memasuki kulit (mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar )

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkena polusi dan zat zat yang terdapat di lingkungan kita. Kulit merupakan

BAB I PENDAHULUAN. terkena polusi dan zat zat yang terdapat di lingkungan kita. Kulit merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Sehingga kulit adalah organ tubuh yang pertama kali terkena polusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk Indonesia. Tanaman anggur merupakan tanaman tropis bertipe iklim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk Indonesia. Tanaman anggur merupakan tanaman tropis bertipe iklim BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Anggur Anggur diduga berasal dari sekitar Laut Hitam dan Laut Kaspi. Kemudian, menyebar ke amerika utara, amerika selatan, dan eropa, selanjutnya ke Asia termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan penggunanya dalam kehidupan seharihari.peranannya. pun menjadi semakin penting karena terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menunjang penampilan penggunanya dalam kehidupan seharihari.peranannya. pun menjadi semakin penting karena terkait dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masyarakat semakin konsumtif dan selektif terhadap pemilihan bahan kosmetika pencerah kulit.kosmetika senantiasa digunakan untuk menunjang penampilan penggunanya

Lebih terperinci

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR

PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Tinjauan Kepustakaan I 5 th August 2016 PERAN PRESSURE GARMENT DALAM PENCEGAHAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK PASCA LUKA BAKAR Neidya Karla Pembimbing : dr. Tertianto Prabowo, SpKFR Penguji : dr. Marietta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. xerosis yang akan menyebabkan berkurangnya elastisitas kulit sehingga lapisan

BAB I PENDAHULUAN. xerosis yang akan menyebabkan berkurangnya elastisitas kulit sehingga lapisan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumit pecah adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan terdapatnya fisura pada tumit. Fisura yang terjadi pada tumit pecah akibat dari kulit kering atau xerosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jerawat, atau dalam bahasa medisnya disebut akne, merupakan salah satu penyakit kulit yang banyak dijumpai secara global pada remaja dan dewasa muda (Yuindartanto,

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja.

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. atas. Akne biasanya timbul pada awal usia remaja. 1 BAB I A. Latar Belakang Penelitian Akne merupakan penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebasea yang ditandai dengan komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada wajah, leher,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ultra Violet/UV (λ nm), sinar tampak (λ nm) dan sinar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ultra Violet/UV (λ nm), sinar tampak (λ nm) dan sinar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Radiasi sinar matahari yang mengenai permukaan bumi merupakan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Radiasi sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa lima besar karsinoma di dunia adalah karsinoma paru-paru, karsinoma mamae, karsinoma usus besar dan karsinoma lambung

Lebih terperinci

Jerawat biasanya muncul di wajah, leher, bahu, dada, punggung dan bahu, dan maaf ada juga di daerah pantat.

Jerawat biasanya muncul di wajah, leher, bahu, dada, punggung dan bahu, dan maaf ada juga di daerah pantat. Written by DR. Santi Hoesodo Merah dan ranum! Kalau untuk buah-buahan sih ok saja. Tapi untuk keadaan berjerawat. Aduh...siapa juga yang mau. Penulis ingat semasa SMA kalau ada teman yang berjerawat besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi. Setelah energi

I. PENDAHULUAN. Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi. Setelah energi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang terletak di daerah tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang musim. Sebagian penduduknya bekerja di luar ruangan sehingga mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. Tesis Ini Telah Disetujui. Pada Tanggal 27 Desember 2016

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. Tesis Ini Telah Disetujui. Pada Tanggal 27 Desember 2016 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 27 Desember 2016 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP. 194612131971071001 Dr. dr. A.A.G.P.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu peradangan kronik dari folikel pilosebasea yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas (Siregar, 2013). Gambaran

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO PENDERITA MELASMA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR RISIKO PENDERITA MELASMA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH 1 FAKTOR RISIKO PENDERITA MELASMA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran Umum PRANANINGRUM DWI OKTARINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

Proses Menua Intrinsik Proses Menua Ekstrinsik

Proses Menua Intrinsik Proses Menua Ekstrinsik Perbedaan gel dan emulgel? Emulgel merupakan terdiri dari 2 fase yang dimana gabungan antara fase emulsi dan fase gel.sedangkan gel merupakan terdiri dari satu fase saja yaitu terdiri dari basis gel dan

Lebih terperinci

Histologi Dari Melanosit

Histologi Dari Melanosit Histologi Dari Melanosit Alya Amila Fitrie Fakultas Kedokteran Bagian Histologi Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Warna kulit tergantung pada 3 (tiga) komponen menurut derajat yang bervariasi. Jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penuaan atau aging menjadi salah satu masalah pada setiap orang, terutama pada mereka yang sudah memasuki usia menengah atas. Paparan sinar matahari, polusi udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

Nama : Fitria Intan Beladina NIM: FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2012

Nama : Fitria Intan Beladina NIM: FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2012 Nama : Fitria Intan Beladina NIM: 092010101034 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2012 Ingin tampil cantik tanpa operasi? Tidak menyebabkan perubahan sel atau jaringan sekitar yang tidak bermasalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetika dikenal sebagai penunjang penampilan agar tampak lebih menarik. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, beragam kosmetika muncul di pasaran.

Lebih terperinci

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL... AGUSTUS 2017 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes. Mengetahui, Ketua Program Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik Jumlah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sebaran usia mahasiswi yang menggunakan kosmetik Penelitian ini melibatkan 85 responden mahasiswi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Responden tersebut

Lebih terperinci

PELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE

PELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE TESIS PELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE ADITYA DENNY PRATAMA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Lebih terperinci

Evita Halim, Wieke Triestianawati, Hanny Nilasari, Lili Legiawati, Endi Novianto, Wresti Indriatmi

Evita Halim, Wieke Triestianawati, Hanny Nilasari, Lili Legiawati, Endi Novianto, Wresti Indriatmi Artikel Asli PERBANDINGAN EFEKTIVITAS DAN KEAMANAN TERAPI KRIM KOMBINASI ASAM RETINOAT 0,05%, HIDROKUINON 4% DAN FLUSINOLON ASETONID 0,01% DENGAN KRIM KOMBINASI ASAM RETINOAT 0,05% DAN HIDROKUINON 4% UNTUK

Lebih terperinci

SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA I NYOMAN AGUS PRADNYA WIGUNA KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Metode Baumann Metode Baumann adalah sebuah metode untuk menentukan tipe wajah berdasarkan kadar kandungan minyak pada wajah. Beberapa studi telah menunjukkan jika banyak pasien

Lebih terperinci

OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23

OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23 OBAT YANG MEMPENGARUHI REPRODUKSI PRIA KELOMPOK 23 Etiologi Sebagian besar kelainan reproduksi pria adalah oligospermia yaitu jumlah spermatozoa kurang dari 20 juta per mililiter semen dalam satu kali

Lebih terperinci

KUALITAS HIDUP PENDERITA MELASMA PADA IBU-IBU PENGUNJUNG POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DI KELURAHAN TANJUNG REJO KARYA TULIS ILMIAH

KUALITAS HIDUP PENDERITA MELASMA PADA IBU-IBU PENGUNJUNG POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DI KELURAHAN TANJUNG REJO KARYA TULIS ILMIAH KUALITAS HIDUP PENDERITA MELASMA PADA IBU-IBU PENGUNJUNG POS PELAYANAN TERPADU (POSYANDU) DI KELURAHAN TANJUNG REJO KARYA TULIS ILMIAH Oleh : SARAVANAN NAIR A/L PATHMANABAN 110100467 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. Bahan yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah usia lanjut di Indonesia

Lebih terperinci

), 1 bulan setelah pengobatan (O 2. pada kedua kelompok (p < 0,05). Perbedaan penurunan skor MASI pada O 2

), 1 bulan setelah pengobatan (O 2. pada kedua kelompok (p < 0,05). Perbedaan penurunan skor MASI pada O 2 Perbandingan Modifikasi Kligman dan Pengelupasan Kimiawi Larutan Jessner terhadap Modifikasi Kligman dan Asam Glikolat 20%: Evaluasi Penurunan Skor MASI (Melasma Area Severity Index) pada Penderita Melasma

Lebih terperinci

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll

Manfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll Manfaat Terapi Ozon Sebagai Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer untuk berbagai penyakit. Penyakit yang banyak diderita seperti diabetes, kanker, stroke, dll. Keterangan Rinci tentang manfaat

Lebih terperinci

KRIM TABIR SURYA DARI KOMBINASI EKSTRAK SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr & Perry) DENGAN EKSTRAK BUAH CARICA (Carica pubescens) SEBAGAI SPF

KRIM TABIR SURYA DARI KOMBINASI EKSTRAK SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr & Perry) DENGAN EKSTRAK BUAH CARICA (Carica pubescens) SEBAGAI SPF KRIM TABIR SURYA DARI KOMBINASI EKSTRAK SARANG SEMUT (Myrmecodia pendens Merr & Perry) DENGAN EKSTRAK BUAH CARICA (Carica pubescens) SEBAGAI SPF Suwarmi, Agus Suprijono Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi YAYASAN

Lebih terperinci