KAJIAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK DAN USULAN PENYEMPURNAANNYA: Kasus di Tiga Propinsi di Jawa
|
|
- Dewi Sugiarto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 KAJIAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK DAN USULAN PENYEMPURNAANNYA: Kasus di Tiga Propinsi di Jawa Oleh: Yusmichad Yusdja, Prajogo U. Hadi, Nizwar Syafa at, Handewi P. Saliem, Saptana, Ketut Karisaya, Sudi Mardianto, dan M. Maulana Ringkasan Eksekutif A. Isu Sentral Distribusi Pupuk (Urea) Bersubsidi 1. Kelangkaan pupuk (urea) masih sering terjadi pada saat musim tanam dan berulang setiap tahun, sehingga petani mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk secara 6 tepat (dosis, jenis, mutu, waktu,tempat dan harga), padahal produksi urea dalam negeri (5,9 juta ton) masih lebih tinggi dibanding kebutuhan pupuk bersubsidi (4,6 juta ton). Kalaupun pupuk tersedia di pasar, namun harganya di atas HET (Harga Eceran Tertinggi), padahal penetapan HET dan besarnya subsidi telah memperhitungkan secara cermat besaran keuntungan produsen, distributor dan pengecer serta biaya distribusi. 2. Dalam situasi normal (temuan di lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar sekitar 6,7 18,1 persen di atas HET (Tabel 1). 3. Dengan fakta tersebut, persoalan kelangkaan (yang akan merefleksikan tidak tepat dosis, jenis, mutu, waktu, tempat) dan harga dibayar petani di atas HET (yang akan mencerminkan tidak tepat harga) nampaknya terletak pada sistem distribusi yang ada. 4. Kajian singkat ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai implementasi sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini dengan menggunakan pendekatan Pemahaman Masalah Secara Singkat (PMSS) dengan mengambil kasus di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Subang dan Cirebon), Jawa Tengah (Kabupaten Klaten dan Sragen) dan Jawa Timur (Kabupaten Jombang dan Malang). B. Implementasi Sistem Distribusi Pupuk Saat ini (Delivery system saja). 5. Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini dituangkan dalam SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, menganut sistem berjenjang dan bersifat pasif terbuka. Berjenjang artinya sistem distribusi dilakukan oleh beberapa pelaku distribusi (distributor dan pengecer resmi) yang masingmasing mempunyai tugas dan tanggung jawab, sedangkan bersifat pasif artinya petani sendiri yang mendatangi pengecer resmi untuk membeli pupuk. Bersifat terbuka berarti hanya terdiri dari delivery system saja tidak dilengkapi oleh receiving system dan juga tidak dilengkapi oleh accountability system. Tidak ada kewajiban secara eksplisit bagi pengecer resmi di atas untuk menyalurkan/menjual habis pupuk bersubsidi yang sudah diterima dari distributor kepada petani dalam kurun waktu tertentu (Gambar 1). VI-91
2 Pabrik Pupuk : PT. Pupuk Sriwijaya PT. Pupuk Kalimantan Timur PT. Pupuk Iskandar Muda Pabrik Pupuk : PT. Pupuk Kujang Cikampek PT. Petrokimia Gresik LINI II / UPP GUDANG LINI III PRODUSEN Rp / kg (Tergantung Jarak Antara Kabupaten ke Kecamatan) GUDANG LINI III DISTRIBUTOR Alur Distribusi ke Daerah Biasa Alur Distribusi ke Daerah Yang Sulit Dijangkau Atau pada Saat Operasi Pasar Rp / kg PENGECER KEP.MENPERINDAG NO.70/MPP/KEP/2/2003 DAN PERUBAHANNYA NO.356/MPP/KEP/5/2004 HET ke Petani Rp /kg GAMBAR. SISTEM DISTRIBUSI DAN PENETAPAN HARGA PUPUK UREA BERSUBSIDI VI-92
3 6. Negosiasi penentuan HET Lini IV (pengecer resmi) dan besaran subsidi dilakukan antara pemerintah dan produsen pupuk karena yang bertanggung jawab terhadap penyaluran pupuk sampai lini IV (pengecer resmi) adalah produsen pupuk itu sendiri. Berdasarkan perhitungan produsen dari realisasi penyaluran urea Januari-Juli 2005 (contoh Pabrik Pupuk kalimantan Timur - PKT) harga jual di lini IV tanpa subsidi Rp per kg, sedangkan HET sebesar Rp per kg, sehingga besaran subsidi Rp 779 per kg. Dengan ketentuan seperti itu, maka seharusnya yang bertanggung jawab terjaminnya HET di tingkat pengecer resmi adalah produsen pupuk itu sendiri sebagai penyalur (Ini sesuai dengan SK Menperindang No 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No 356/MPP/KEP/5/2004, pasal 4 ayat 2). 7. Namun dalam kenyataanya tidak demikian. Dalam situasi normal (temuan di lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar berkisar 6,7 18,1 persen di atas HET (Tabel 1.). Tabel. 1. Tingkat Harga Urea yang Berlaku di Masing Masing Penyalur (Rp/kg). Keterangan : *) Harga referensi Rp. 980/kg. **) Harga referensi Rp. 1020/kg. ***) Harga referansi (HET) Rp. 1050/kg. Angka ( ) menunjukkan persentase terhadap harga referensi. No. Uraian Jabar Jateng Jatim 1 Harga di Lini III (GPP) *) 965 (100) 980 (100) 980 (100) 2 Harga di Tingkat Distributor**) (103,4) (102,9) (102,5) 3 Harga di Tingkat Pengecer***) (118,1) (114,3) (106,7) 8. Adapun penyebab harga yang dibayar petani di atas HET adalah : a. Produsen kurang peduli terhadap penyaluran pupuk yang dilakukan oleh distributor dari Lini III ke Lini IV (wan prestasi terhadap pasal 4 ayat 2, SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004), sehingga banyak distributor hanya menjual DO (delivery order) (kasus Jawa Barat distributor menjual DO dengan keuntungan mencapai Rp. 65 per kg jauh di atas fee distributor Rp per kg, di Jawa Timur distributor bodong pada wilayah penyaluran PKT diperkirakan mencapai 30 %). Kasus jual beli DO ini akan mengakibatkan kontrol dan pengawasan peredaran pupuk sulit dilakukan, dan dapat mengacaukan ketersediaan pupuk di suatu wilayah, seandainya DO tersebut dijual ke pengecer di luar wilayah kerjanya. Kondisi ini pada akhirnya akan mengakibatkan keterjaminan HET di pengecer akan terganggu, karena pengecer menebus pupuk di atas harga yang ditetapkan. Ulah distributor tersebut sebagai wan prestasi terhadap pasal 10 ayat 2 SK Menperindag No. 70 Tahun VI-93
4 b. Gambaran akibat dari kejadian jual beli DO adalah pengecer resmi yang seharusnya menebus pupuk urea per kg ke distributor franko toko pengecer sebesar Rp , akibat ulah distributor menjual DO meningkat menjadi Rp (kasus Jawa Barat), Rp (kasus Jawa Tengah) dan Rp (kasus Jawa Timur) (Tabel Lampiran 1, 2 dan 3). c.. Selain distributor, pengecerpun berperilaku tidak benar dengan mengambil marjin harga jauh di atas ketentuan (tambahan keuntungan di luar fee untuk kasus Jawa Barat mencapai Rp. 135/kg; Jawa Tengah Rp. 100/kg; dan Jawa Timur Rp. 25/kg) (Tabel Lampiran 1, 2 dan 3). Kondisi tersebut telah memberikan andil peningkatan harga pupuk bersubsidi yang seharusnya dibayar oleh petani (harga melampaui HET) (wan prestasi terhadap pasal 10 ayat 3, SK Menperindag No. 70 Tahun 2003). d. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama harga pupuk bersubsidi yang dibayar petani di atas HET adalah (1) ulah distributor yang hanya menjual DO dan (2) ulah pengecer resmi yang mengambil marjin di atas ketentuan yang telah ditetapkan. Dua hal tersebut dipicu oleh lemahnya kontrol produsen pupuk atas penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV, padahal produsen tersebut yang bertanggung jawab atas terjaminnya HET di Lini IV (wan prestasi terhadap pasal 4 ayat 2, SK Menperindag No 356 Tahun 2004). e. Sebagai catatan: untuk menghindari beban tanggung jawab HET tersebut, produsen mempengaruhi Departemen Perdagangan untuk mengubah SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, pasal 4 ayat 2, yang semula tertulis Produsen bertanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi mulai dari Lini I samapi dengan Lini IV... diubah menjadi Produsen, distributor dan pengecer bertanggung jawab penyaluran pupuk bersubsidi secara 6 tepat... dari lini I sampai Lini IV (lihat draft SK Mendag tahun 2005, pasal 4 ayat 2). Dalam rancangan SK Mendag tersebut secara jelas yang menjamin HET hanya pengecer resmi saja (pasal 4 ayat 2 dan pasal 11 ayat 3). C. Receiving System dan Accountability Systems Untuk Mengatasi Kelangkaan Pupuk 9. Dengan sistem distribusi yang berlaku saat ini, sesungguhnya masih ada ruang untuk menjamin HET dengan cara menambah receiving system, yaitu kelompok tani membeli langsung ke distributor (kasus kelompok tani Rukun Santosa, Jombang, Jawa Timur). Pada kasus di Kabupaten Jombang, kelompok tani sebenarnya masih dimungkinkan untuk menjual pupuk bersubsidi di bawah HET, karena kelompok tani tersebut mendapat harga Urea bersubsidi dari distributor franko tempat pembeli sebesar Rp per kg. Dengan kata lain, apabila distributor benar-benar melaksanakan fungsinya, yaitu menjual pupuk sesuai dengan harga tebus (Rp 1.020) franko tempat pembeli, maka lonjak harga ataupun harga pupuk bersubsidi melampaui HET tidak perlu terjadi. Oleh karena itu, ke depan kelompok tani perlu diaktifkan dan diberdayakan kembali, agar kelompok tani dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah. Dalam kasus kebijakan subsidi pupuk ini, kelompok tani dapat berperan untuk mengkoordinir pembelian pupuk secara berkelompok atau bahkan dapat difungsikan sebagai pengecer resmi. 10. Selain itu, pengaktifan kelompok tani dalam merencanakan kebutuhan pupuk untuk kelompoknya sesuai dengan rekomendasi akan membantu mengatasi kelangkaan pupuk di suatu wilayah akibat dari penggunaan pupuk yang berlebihan di tingkat petani. Kasus di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea di tingkat petani mencapai kg per hektar, sementara rekomendasi umum dari Dinas Pertanian sekitar 300 kg per hektar. Perbedaan perhitungan VI-94
5 kebutuhan pupuk bersubsidi yang didasarkan pada dosis umum, dengan kondisi di tingkat petani yang umumnya menggunakan lebih tinggi dari dosis anjuran, telah menyebabkan alokasi pupuk bersubsidi di suatu wilayah tidak mencukupi. 11. Sistem distribusi saat ini yang dituangkan dalam SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang kemudian diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, tidak dilengkapi dengan sistem akuntabilitas mandiri, karena yang mencatat realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari produsen ke pengecer resmi adalah produsen itu sendiri yang juga merangkap sebagai penerima subsidi. Memang ada fungsi Pengawasan dan Pemantauan yang tercantum pasal 14 SK Menperindag No. 356 Tahun 2004, namun pengawasan tersebut lebih banyak berfungsi untuk melaporkan kelangkaan dan gejolak harga secara berjenjang kepada produsen dan Menteri. 12. Sistem akuntabilitas dalam sistem distribusi yang ada saat ini diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor resmi pemerintah dan pemeriksaan dilakukan terhadap distribusi pupuk bersubsidi yang telah berjalan. Sistem akuntabilitas seperti ini rawan terhadap berbagai penyimpangan, khususnya terhadap besaran penyaluran, karena produsen pupuk dapat saja melaporkan realisasi jumlah pupuk bersubsidi yang telah disalurkan lebih besar dari jumlah riil yang sebenarnya disalurkan (kasus ini dialami oleh PKT dan telah diberi pinalti oleh BPK). Kondisi ini juga merupakan salah satu penyebab kelangkaan pupuk di lapangan. Pinalti atau hukuman yang diberikan setelah proses penyaluran berjalan menjadi tidak bermanfaat untuk mengatasi kelangkaan pada tahun berjalan. Untuk itu, perlu dibangun sistem informasi yang mencatat realisasi penyaluran pupuk bersubsidi pada tahun berjalan, agar antisipasi terhadap kekurangan (kelebihan) pupuk bersubsidi pada suatu wilayah dapat ditanggulangi sesegera mungkin. 13. Kelemahan sistem akuntabilitas di atas, diperparah oleh adanya peraturan yang membolehkan produsen menagih pembayaran subsidi kepada Menteri Keuangan, begitu pupuk disalurkan ke lini III bukan ke Lini IV sebagai tanggung jawabnya (SK Menteri Keuangan No. 319/KMK.06/2004, pasal 7 ayat 2) (penjelasan seperti ini juga diperoleh Tim Peneliti dari Perwakilan PUSRI Jawa Tengah dan Jawa Barat). Dengan demikian tidak salah apabila dikatakan bahwa produsen telah melepaskan tanggung jawab penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III ke Lini IV, walaupun subsidi pupuk diperhitungkan sampai Lini IV (lihat pasal 4 rancangan SK Mendag Tahun 2005). Oleh karena itu, disarankan agar rancangan SK Mendag tersebut perlu dikaji ulang. 14. Berdasarkan uraian butir 13, maka untuk menjamin sistem akuntabilitas dapat disarankan bahwa penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau BUMN atau asosiasi kelompok tani. Maksud penyerahan sepenuhnya di sini adalah tanggung jawab produsen hanya sampai pada Gudang Penyangga Pupuk (GPP) Lini III di Kabupaten, sedangkan dari GPP ke Lini IV dilakukan oleh pihak swasta atau BUMN atau asosiasi kelompok tani. D. Evaluasi Produsen Sebagai Distributor Pupuk Bersubsidi 15. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini menganut sistem berjenjang dan bersifat pasif terbuka. Berjenjang karena pengangkutan pupuk bersubsidi dari produsen/pabrik hingga ke Gudang Penyangga Pupuk (GPP) di Lini III yang berlokasi di kabupaten menjadi tanggung jawab produsen pupuk; kemudian dari GPP ke pengecer resmi Lini IV menjadi tanggung jawab distributor; dan dari pengecer resmi ke petani menjadi tanggung jawab pengecer. Dengan sistem berjenjang seperti ini, titik krusial dalam penyaluran pupuk bersubsidi adalah sejak dari GPP ke petani, karena pelakunya (distributor dan pengecer) sudah diserahkan kepada pihak swasta, badan usaha maupun koperasi. Keterlibatan produsen pupuk (PUSRI) sebagai VI-95
6 distributor (dan itupun jumlahnya relatif kecil) lebih didasarkan pada pemanfaatan sumberdaya manusia dan sarana yang telah ada selama ini. Penunjukkan produsen pupuk sebagai distributor juga tidak melanggar ketentuan, sepenjang memenuhi persyaratan sebagai distributor. 16. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan kinerja distributor dari produsen pupuk cukup baik, karena mereka sebenarnya lebih berpengalaman dalam hal teknis penyaluran maupun administrasi pergudangan. Permasalahan justru muncul pada beberapa distributor swasta yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi maupun teknis (tidak mempunyai kantor, gudang maupun sarana transportasi), namun karena didukung oleh kekuatan tertentu mendapat lisensi dari produsen pupuk untuk menjadi distributor. Distributor semacam inilah yang sebenarnya seringkali menyebabkan pasokan pupuk bersubsidi di suatu daerah menjadi langka atau mengalami lonjak harga hingga melampui HET, karena mereka hanya menjual DO saja dan tidak bertanggung jawab terhadap arus penyaluran pupuk di wilayah yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya. Untuk itu, peraturan mengenai penunjukkan distributor harus lebih diperketat dan dilaksanakan seobyektif mungkin. Pembenahan terhadap pelaku distributor ini, berdasarkan pengamatan di lapangan akan dapat memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap kelancaran distribusi pupuk bersubsidi hingga ke tingkat petani E. Usulan Penyempurnaan Sistim Distribusi 17. Untuk mengatasi kelangkaan (yang akan merefleksikan tidak tepat dosis, jenis, mutu, waktu, tempat) dan menjamin berlakunya HET (yang akan mencerminkan tidak tepat harga), perlu dilakukan penyempurnaan terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini secara bertahap sebagai berikut : 1) Periode sampai Desember 2005 a. Pengaturan sistem distribusi pupuk bersubsidi disarankan tetap menggunakan SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, dengan beberapa penyempurnaan sebagai berikut: (1) menambah pengecer resmi paling sedikit 2 (dua) buah di setiap kecamatan yang lokasinya berbeda desa; (2) kelompok tani dapat menjadi sebagai salah satu pengecer resmi (saat ini kelompok tani sudah memiliki SIUP). Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, perlu didorong untuk propinsi lainnya. b. Pasal 4 ayat 2 SK Menperindag No. 70 Tahun 2003, dimana produsen bertanggung jawab atas penyaluran dari Lini I sampai Lini IV secara 6 tepat harus dipantau secara ketat. Hal ini perlu dilakukan karena produsen telah diberi kebebasan menentukan harga jual pupuk bersubsidi di tingkat distributor dan pengecer resmi. Kontrak subsidi dan penentuan HET dilakukan antara pemerintah dengan produsen pupuk bukan dengan pengecer resmi. Dengan demikian, yang menjamin HET adalah produsen bukan pengecer resmi (lihat rancangan SK Mendag Tahun 2005 pasal 11 ayat 3). VI-96
7 c. Perlu dibangun sistem akuntabilitas untuk menghitung realisasi penyaluran pupuk bersubsidi sampai Lini IV dengan menambah ketentuan pada pasal 14 poin (c) SK Memperindag No. 356 Tahun 2004, dimana tugas komisi pengawasan pupuk bersubsidi juga melakukan pencatatan realisasi penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV. d. Menindak secara tegas distributor yang hanya melakukan kegiatan menjual DO saja. Pemberian sanksi yang tegas juga perlu dilakukan terhadap pengecer resmi yang menjual pupuk bersubsidi di atas HET. Disarankan agar produsen dalam menentukan harga tebus di tingkat distributor dan pengecer resmi dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan laba normal dan HET. Hal ini perlu dilakukan agar perdagangan pupuk di tingkat distributor dan pengecer resmi menjadi layak. 2) Periode sampai Januari - Desember 2006 a. Sistem distribusi pupuk tetap menggunakan ketentuan yang berlaku pada sistem penyaluran pupuk tahun b. Melaksanakan pilot proyek di beberapa propinsi yang melibatkan kelompok tani sebagai receiving system yang mengarah kepada pengembangan sistem distribusi tertutup dan melibatkan asosiasi kelompok tani sebagai distributor. c. Pada akhir Desember 2006 diharapkan beberapa kelompok tani sudah cukup mapan dan memadai untuk berperan sebagai receiving system secara utuh. 3) Periode sampai Januari - Desember 2007 a. Sistem distribusi pupuk tetap menggunakan ketentuan tahun b. Menggunakan sepenuhnya sistem distribusi tertutup. Distributor dan pengecer resmi ditangani oleh asosiasi kelompok tani dan kelompok tani. Pengecer resmi hanya diperkenankan pada wilayah di mana kelompok taninya belum berkembang. VI-97
8 Tabel. Lampiran 1. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Barat, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). No. Uraian Distributor Pengecer Resmi Referensi Riil Referensi Riil VI-98
9 1 Harga Tebus ,020 1,055 2 Fee Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya Total Biaya 1,020 1,025 1,050 1,105 8 Harga Jual 1,020 1,055 1,050 1,240 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk Tabel. Lampiran 2. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Tengah, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). No. Uraian Distributor Pengecer Resmi Referensi Riil Referensi Riil 1 Harga Tebus ,020 1,050 2 Fee Biaya Transport, Bongkar Muat, Gudang dan lainnya Total Biaya 1,020 1,035 1,050 1,100 8 Harga Jual 1,020 1,050 1,050 1,200 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk VI-99
10 Tabel. Lampiran 3. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Timur, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). No. Uraian Distributor Pengecer Resmi Referensi Riil Referensi Riil 1 Harga Tebus ,020 1,045 2 Fee Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya Total Biaya 1,020 1,040 1,050 1,095 8 Harga Jual 1,020 1,045 1,050 1,120 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk VI-100
11 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal dari sisi penyediaan, sebenarnya total produksi pupuk Urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur selalu di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, sebenarnya masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET. VI-101
12 Program kebijakan pupuk di Indonesia sebenarnya sudah cukup komprehensif karena: (1) melalui program panjang, pemerintah sudah membangun industri pupuk yang tersebar di berbagai wilayah dengan kapasitas produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik yang didukung oleh sektor minyak dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dan sepenuhnya dikuasai oleh 5 pabrik pupuk BUMN sehingga mampu dan dapat diarahkan untuk mengemban misi sebesar-besarnya untuk mendukung pembangunan pertanian nasional, (2) Menperindag meminta produsen pupuk senantiasa mendahulukan pemenuhan kebutuhan domestik, (3) melalui SK memperindang distribusi pupuk domestik diatur dengan sistem rayonisasi pasar, dimana setiap pabrik pupuk wajib menjamin kecukupan pasokan pupuk sesuai HET di kios pengecer resmi di rayon pasar yang menjadi tanggung jawabnya, (4) HET dan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi menurut waktu dan wilayah pemasaran sudah ditetapkan oleh Mentan, sehingga sudah cukup jelas jumlah dan kapan pupuk itu harus didistribusikan ke pasar bersubsidi, (5) sebagai imbalan dalam melaksanakan produksi dan distribusi pupuk Urea bersubsidi hingga kios pengecer sesuai HET, pabrik pupuk memperoleh subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, (6) besarnya subsidi yang dibayarkan ke pabrikan pupuk sesuai dengan besaran subsidi gas dan volume pupuk bersubsidi yang disalurkan, dan (7) pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi tersebut dimonitor, dievaluasi dan diawasi terus menerus oleh suatu tim pemerintah antar departemen bersama DPR. Dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini (terjadinya langka pasok dan lonjak harga), maka dapat dikatakan bahwa program kebijakan pupuk yang amat komprehensif dibangun pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya dugaan meningkatnya ekspor pupuk terutama secara ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring menariknya margin antara harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk Urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang semestinya merupakan kelompok masyarakat miskin. Ekspor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar domestik diduga karena telah terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar sejak ditetapkannya adanya perbedaan harga pupuk, sehingga pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. VI-102
13 Selain kedua faktor di atas, fenomena langka pasok dan lonjak harga juga diduga terjadi akibat adanya perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi). Ada beberapa petani yang masih sangat fanatisme untuk pupuk merk tertentu, sehingga mereka mau membeli sekalipun dengan harga yang lebih mahal. Perilaku ini mengakibatkan terjadi kelangkaan pupuk pada daerah-daerah tertentu. Banyak produsen pupuk dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai gudang penyimpanan pupuk di lini III pada beberapa daerah diduga juga turut berkontribusi terhadap lambatnya pendistribusian pupuk yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat pengecer atau petani Tujuan Dari informasi dan permasalahan di atas, maka kajian ini fokuskan untuk mengevaluasi penerapan kebijakan sistem distribusi pupuk Urea tahun 2005 dan memberikan rekomendasi alternatif perbaikan kebijakan distribusi pupuk tahun II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Kerangka Teoritis Pentingnya peranan pupuk dalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil komoditas pertanian, menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat strategis. Untuk penyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 tepat yaitu: tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Untuk mendukung itu, pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk ke petani melalui pabrik pupuk yaitu berupa subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk, dengan harapan harga pupuk yang diterima petani sesuai HET yang ditetapkan pemerintah. Khususnya untuk produksi pupuk Urea, ada 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Inskadar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur yang ditugaskan memproduksi jenis pupuk ini. Produksi ke lima pabrik tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi pasar domestik khususnya pasar bersubsidi dan baru berikutnya untuk pasar non bersubsdi. Jika produksi sudah mampu melayani pasar domestik, baru kelebihannya boleh diekspor melalui jalur resmi. Di sisi lain, pemerintah melalui Menperindag menetapkan sistem rayonisasi dalam pendistribusian pupuk, dimana tiap pabrikan yang ditunjuk VI-103
14 bertanggung jawab untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produksi sendiri belum bisa memenuhi permintaan di wilayah tanggung jawabnya, produsen tersebut diwajibkan untuk mendatangkan pupuk dari produsen lain dengan pola Kerja Sama Operasional (KSO). Sedangkan hubungan kerja produsen dengan distributor yang ditunjuk diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB). Kalau sistem pendistribusian tersebut berjalan dengan baik (diperlihatkan oleh garis tidak putus-putus pada Gambar 1) maka tentunya tidak akan ada fenomena langka pasok dan lonjak harga seperti saat ini. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya penyimpangan dari sistem pendistribusian yang ditetapkan telah menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk. Penyimpangan tersebut seperti digambarkan oleh garis putus-putus. Produksi pupuk Urea yang utamanya adalah untuk memenuhi pasar domestik bersubsidi, telah bergesar kepemenuhannya untuk pasar dunia dalam bentuk ekspor ilegal akibat selisih margin harga dunia dengan harga domestik semakin menarik. Ekspor ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh produsen pupuk, tetapi juga oleh para penyelundup dengan membeli pupuk dari para distributor dan pengecer pada pasar bersubsidi. Kebijakan subsidi pupuk yang kembali ditetapkan pemerintah sejak tahun 2003 telah menyebabkan pasar domestik bersifat dualistik yaitu pasar bersubsidi dan non subsidi. Kebijakan ini menyebabkan adanya disparitas harga antara pasar bersubsidi dan non subsidi, dimana membuka peluang juga terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini akan terus terjadi jika tidak didukung oleh sistem pengawasan dan penerapan sanksi yang memadai. Adanya rasa fanatisme terhadap merk tertentu menyebabkan terjadinya perembesan pupuk antar wilayah dalam pasar bersubsidi. Perembesan ini juga terjadi karena adanya perbedaan harga yang cukup menarik antar wilayah. Kelangkaan pupuk juga terjadi akibat adanya jadwal tanam yang tidak pasti, sehingga menyebabkan adanya permintaan pupuk lebih besar dari rencana kebutuhan yang ditetapkan Mentan. Tidak adanya gudang penyimpanan di lini III pada beberapa daerah menyebabkan terjadinya kelambatan pendistribusian, juga berkontribusi terhadap fenomena langka pasok dan lonjak harga. Di tingkat petani, penggunaan dosis pupuk jauh diatas dosis anjuran, pemilikan lahan yang relatif sempit, perencanaan luas tanam yang tidak baik, serta penggunaan lahan secara intensif diduga juga sangat menentukan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk di tingkat petani. VI-104
15 VI-105
16 K E B I J A K A N S U B S I D I PT. Pusri PT. Kujang PT. Petrokimia Gresik PT. PIM PT. Kaltim Produksi Pupuk Urea Domestik Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah A Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah B Pasar Domestik Non Subsidi Gresik Ekspor Pupuk Ilegal Ekspor Pupuk Legal Di Tingkat Petani * Dosis Berlebih * Perenc. LuasTan tidak tepat * IP Meningkat * Pemilikan lh sempit Pasar Pupuk Dunia Keterangan : Jalur resmi dan sesuai kebutuhan berdasarkan SK Menperindang dan Mentan Jalur ilegal dan diluar rencana kebutuhan yang menyebabkan langka pasok dan lonjak harga Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Langka Pasok dan Lonjak Harga Pupuk Urea di Pasar Domestik VI-105
17 2.2. Lokasi Penelitian Kajian ini telah dilakukan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Barat, kajian dilakukan didua kabupaten yaitu Subang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pupuk Kujang Cikampek (PT. PKC) dan Cirebon yang merupakan wilayah PT. Pupuk Sriwijaya (PT. Pusri). Di Jawa Tengah, kajian dilakukan di Kabupaten Sragen dan Klaten yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pusri. Sementara di Jawa Timur, dilakukan di Kabupaten Jombang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Petrokimia Gresik (PT. PKG) dan Kabupaten Malang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pupuk Kalimantan Timur (PT. PKT) Alat Analisis Kajian ini menggunakan metode pemahaman masalah secara singkat (PMSS). Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, seperangkat analisis yang diterapkan, yaitu tabulasi silang/frekuensi dan sistem distribusi pupuk. Untuk mendukung kedua analisis tersebut akan dilengkapi dengan data kualitatif berupa informasi pada masing-masing tataran kajian. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kasus Jawa Barat Implementasi Sistem Distribusi Pupuk 1. Rencana Penyaluran dan Realisasi Sistem distribusi pupuk di Indonesia selama ini di atur oleh Menteri Perdagangan dan Industri yang sekarang menjadi Menteri Perdagangan. Pengaturan sistem distribusi pupuk ini dengan harapan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan 6 azas tepat, yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi. Selama tahun 2005, rencana kebutuhan pupuk Urea bersubsidi untuk tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662 ribu ton (Tabel 1). Rencana kebutuhan per bulannya berkisar 5 ribu 8 ribu ton. Rencana kebutuhan pupuk jenis ini tertinggi terjadi di Kabupaten Indramayu (65 ribu ton) dan terendah di Kabupaten Purwakarta (13,6 ribu ton). VI-106
18 Tabel 1. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi di Jawa Barat Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jan - Jun Jan-Des A. Rencana (ton) 1. Bogor Sukabumi Cianjur Cirebon Kuningan Majalengka Indramayu Bekasi Karawang Purwakarta Subang Bandung Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Total B. Realisasi (%) 1. Bogor Sukabumi Cianjur Cirebon Kuningan Majalengka Indramayu Bekasi Karawang Purwakarta Subang Bandung Sumedang Garut VI-107
19 15. Tasikmalaya Ciamis Rataan Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar, 2005 (diolah) Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk Urea Bersubsidi di Propinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74 persen dari rencana penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah sekitar 103,29 persen dari rencana penyaluran sampai bulan Juni. Artinya, realisasi penyaluran pupuk secara keseluruhan di Jawa Barat sudah sekitar 3,29 persen diatas rencana. Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan Januari, April, Mei dan Juni, yaitu dengan penyaluran berkisar 105,29 113,66 persen. Sementara realisasi penyaluran pupuk masih dibawah rencana hanya terjadi pada bulan Pebruari dan Maret, yaitu dengan penyaluran berkisar 85,21 92,56 persen. Realisasi penyaluran pupuk menurut kabupaten menunjukkan bahwa pada beberapa kabupaten tertentu sudah terjadi penyaluran pupuk diatas rencana, sebaliknya pada beberapa kabupaten lainnya masih dibawah rencana. Sampai dengan bulan Juni, dari 16 kabupaten yang ada, sebanyak 10 kabupaten (Bogor, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Ciamis) yang realisasi penyaluran pupuknya sudah diatas rencana penyaluran. Sementara realiasi penyaluran pupuk di 6 Kabupaten yaitu Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya masih dibawah rencana. Realisasi penyaluran pupuk baik diatas maupun dibawah rencana akan menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun antar daerah. Sebagai contoh, adanya realisasi penyaluran pupuk diatas rencana pada bulan-bulan tertentu akan menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan dan lonjak harga pada bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk Urea bersubsidi jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya. Demikian juga, terjadinya realisasi penyaluran pupuk pada beberapa kabupaten sudah diatas rencana menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Jika alokasi yang berlebih tersebut akan dipindahkan ke wilayah yang langka maka sudah pasti akan meningkatkan harga jualnya karena peningkatan ongkos distribusi ke daerah langka tersebut. Selain masalah pasokan atau jumlah dan harga, 6 azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan adanya ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat, jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi. 2. Evaluasi Sistem Penyaluran Pupuk Bersubsidi VI-108
20 Kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa sistem pendistribusian pupuk yang diterapkan selama ini belum cukup efektif dalam upaya memenuhi 6 azas tepat yang selama ini menjadi target pemerintah dan para pelaku lainnya dalam mendistribusikan pupuk ke tingkat petani. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadinya pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana. Pertama, pemakaian pupuk Urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan Urea yang dianjurkan pemerintah sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya kebanyakan petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar kg/ha. Penggunaan pupuk yang berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk Urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya seperti SP36 dan KCl merupakan pupuk pelengkap. Sehingga seringkali dijumpai banyak petani yang tidak menggunakan pupuk KCl disamping harganya memang relatif mahal. Kedua, pemilikan lahan yang sempit ( < 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau dikonversi kedalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi). Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Deptan yang merupakan usulan Dinas Pertanian Propinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan pola tanam. Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi 2 kali, ketika begitu masih ada persediaan air mencukupi pada gadu 2 (MK II) maka petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada tanaman hortikultura juga sangat sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak pasti dan selalu berubah-ubah sesuai permintaan pasar. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi. Di daerah pantura, banyak permintaan pupuk dari petani untuk kebutuhan tambak, yang semestinya bukan merupakan alokasi pupuk bersubsidi. Penggunaan pupuk Urea per hektar untuk tambak dalam setahun bisa mencapai kg Urea. Dalam memenuhi kebutuhan pupuk Urea di Jawa Barat, ada dua produsen pupuk yang ditunjuk untuk bertanggungjawab secara penuh yaitu PT. Pusri dan PT. PKC. Kedua produsen ini bertanggung jawab menurut kabupaten yang telah ditetapkan. Ada 7 kabupaten yang menjadi tanggung jawab PT. Pusri yaitu kabupaten: Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Sementara kabupaten-kabupaten yang menjadi tanggung jawab PT. PKC adalah Bogor, Sukabumi, Cianjur, Subang, Karawang, Indramayu, Bekasi, Purwakarta, dan Bandung. VI-109
21 Rencana dan realisasi penyaluran pupuk Urea bersubsidi dari PT. Pusri pada masing-masing kabupaten yang menjadi tanggung jawabnya disajikan pada Tabel 2. Sampai dengan bulan Juli 2005, rencana penyaluran pupuk Urea dari PT. Pusri di 7 kabupaten yang menjadi tanggungjawabnya sebesar 142,6 ribu ton. Sementara realisasinya penyaluran pupuk sudah mencapai 101,26 persen dari rencana penyaluran. Pada bulan Januari sampai Maret, realisasi penyaluran pupuk yang dilakukan PT. Pusri sesuai kebutuhan, dan mulai bulan April sampai Juni sudah diatas rencana, sebaliknya pada bulan Juli hanya sekitar 10 persen dibawah rencana penyaluran. Tabel 2. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pusri di Jawa Barat, 2005 (Ton). A. Rencana Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul 1. Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Cirebon Kuningan Majalengka B. Realisasi Total Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Cirebon Kuningan Majalengka Total % thp rencana Sumber: PPD Pusri Jabar, 2005 (diolah). VI-110
22 Jumlah penyaluran pupuk oleh PT. PKC di 6 kabupaten selama bulan Januari Juli sudah mencapai 17,4 ribu ton (Tabel 3). Tampak bahwa penyaluran pupuk tertinggi terjadi pada Kabupaten Indramayu yaitu sebanyak 4,8 ribu ton, disusul Kabupaten Karawang dan Subang berturut-turut 3,9 ribu ton dan 3,4 ribu ton. Dari data yang tersedia, sampai bulan Juli, terlihat bahwa belum ada distribusi pupuk dari PT. PKC ke Kabupaten Bogor. Kondisi ini patut dicurigai, ada kemungkinan telah terjadi perembesan pupuk dari kabupaten lainnya ke Bogor. Tabel 3. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pupuk Kujang Cikampaek (PT. PKC) di Jawa Barat, 2005 (Ton). Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul 1. Bogor Sukabumi Cianjur Subang Karawang Indramayu Total Sumber: PT. Pupuk Kujang Cikampek, Kinerja Penyaluran Pupuk di Lini IV 1. Wilayah Kerja dan Volume Penyaluran Fakta di lapang menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di Lini IV (pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh pengecer itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh distributor pada Lini III. Sebelum melihat bagaimana kinerja penyaluran pupuk di Lini IV, maka dalam bahasan ini terlebih dahulu dilihat sekilas keragaan distributor pada masing-masing kabupaten kajian (Subang daan Cirebon). Kabupaten Subang merupakan wilayah tanggung jawab PT. PKC. Ada 9 distributor yang dipercaya PT. PKC dalam mendistribusikan pupuk Urea (Tabel 4). Distirbutor terbesar PT. PKC di Kabupaten Subang adalah PT. Bumi Persada Sejati (BPS) dan PT. Angkasa Raya Christa (ARC). Sampai bulan Juli, jumlah penyaluran pupuk pada ke dua distributor ini mencapai 38 persen dari jumlah keseluruhan di VI-111
23 Kabupaten Subang. Distributor besar berikutnya adalah PT. Muara Teguh Persada dan PT. Reza Putra. Dari 9 distributor, tampaknya penyaluran pupuk sampai bulan Juli belum pernah dilakukan ke PT. Selini Shakti. PT. Kujang sendiri punya gudang di Desa Tambak Dahan, Kecamatan Binong yang biasanya disebut sebagai supply point dengan kapasitas 3000 ton. Sehingga dalam pendistribusian pupuk, PT Kujang mendistribusikan pupuk tidak langsung ke gudang distributor dan hanya cukup ke supply point saja. Harga tebus distributor di gudang ini Rp 965/kg. Tabel 4. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pusri Menurut Distributor di Kabupaten Cirebon, 2005 (Ton). No. Distributor Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul Pangsa (%) 1. CV. Afiah Cv. Juwita CV. Sinar Jaya CV. Sumber Sarana Tani CV. Sumber Tani CV. PPI Cirebon PT. Pertani Total Sumber: PPD Pusri Jabar, 2005 (diolah). Ada 7 distributor (CV. Afiah, CV. Juwita, CV. Sinar Jaya, CV. Sumber Sarana Tani, CV. Sumber Tani, CV, PPI Cirebon, dan PT. Pertani) sebagai kepercayaan PT. Pusri dalam menyalurkan pupuk di Kabupaten Cirebon (Tabel 5). CV. Juwita merupakan distributor terbesar di Kabupaten ini. Sampai Juli 2005, dari sebanyak 20,8 ribu ton yang disalurkan PT. Pusri, sebanyak 31,33 persen disalurkan ke CV. Juwita. Distributor besar berikutnya adalah CV. Sumber Sarana Tani dan CV. Sumber Tani. Gudang PT. Pusri di Kabupaten Cirebon berkapasitas ton. Sebagian distributor mengambil pupuk langsung ke gudang PT. Pusri dengan harga tebus Rp 980/kg dan sebagian distributor menerima pupuk di gudang dengan harga sudah memperhitungan biaya transportasi sehingga harga menjadi lebih tinggi dari Rp 980/kg. VI-112
24 Tabel 5. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi Oleh PT. Kujang Menurut Distributor di Kabupaten Subang Distributor Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul Pangsa (%) 1. PT. Angkasa Raya Christa PT. Bumi Persada Sejati PT. Dinamika Kembar Ut.ama PT. Muara Teguh Persada PT. Pertani PT. Pusri Puskud Jabar PT. Reza Putra PT. Selini Shakti Total Sumber: PT. Pupuk Kujang Cikampek, 2005 (diolah). 2. Mekanisme Perolehan dan Penyaluran dan Tingkat Harga Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh kedekatan pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing distributor itu sendiri. Sebagai contoh, kebanyakan distributor di Kabupaten Subang tidak mempunyai armada (truk) untuk mendistribusikan pupuk ke gudang pengecer. Hanya PT. Bumi Persada Sejati (BPS) yang langsung mengantarkan pupuk ke gudang pengecernya, sementara yang lainnya tidak melakukan fungsi pendistribusian. Kondisi yang sama juga umumnya terjadi di Kabupaten Cirebon. Sehingga kalau dikaitkan dengan fungsi dan tugas yang harus dilakukan distributor, dapat dikatakan bahwa para distributor di Kabupaten Subang dan sebagian distributor di Kabupaten Cirebon sudah tidak mentaati sistem pendistribusian pupuk yang sudah ditetapkan pemerintah. Dalam peraturan dan kesepakatan yang ada, distributor bertugas untuk menyalurkan pupuk dari Lini III ke Lini IV (pengecer) dan selama penyaluran tersebut semua biaya transportasi ditanggung oleh distributor, sehingga harga tebus yang dibayarkan pengecer di gudang pengecer diharapkan sebesar Rp 1020/kg dan selanjutnya pengecer mampu menjual sesuai HET yang ditetapkan pemerintah (Rp 1050/kg). Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di tingkat petani. Jumlah permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan pengalaman jumlah permintaan pada musim- VI-113
25 musim tanam tahun sebelumnya. Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk ke masing-masing distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang produsen (PT. PKC dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup membawa DO dari distributornya dan diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke gudang produsen (jual DO saja). Berikut adalah keragaan jumlah dan harga tebus pupuk Urea dari Pengecer Pusaka Tani sebagai salah satu pengecer resmi di Kecamatan Pusaka Negara Kabupaten Subang (Tabel 6). Ada sekitar 6 pengecer resmi yang beroperasi di Kecamatan Pusaka Negara. Wilayah kerja yang menjadi tanggung jawab masing-masing pengecer tidak jelas. Hal ini terbukti pengecer tidak mengetahui secara pasti berapa petani atau kelompok tani yang harus dilayani. Dalam prakteknya, pengecer akan melayani setiap petani dari mana pun asalnya. Pengecer tidak pernah menanyakan dari mana asal petani dan untuk apa dia membeli pupuk. Prinsip pengecer yang penting pupuknya terjual. Tabel 6. Keragaan Jumlah dan Harga Beli Pupuk Urea Pada Pengecer Resmi (Pusaka Tani) di Kecamatan Pusaka Negara, Kabupaten Subang, Juli Sumber Pembelian (Distibutor) Volume Perminggu (ton) Harga Beli Sampai di Pengecer (Rp/kg) 1. PT. BPS PT. Reza PT. Pertani PT. Puskud PT. MTP PT. Pusri Total/Rataan Sumber: data primer VI-114
26 Pada bulan Juli, rata-rata jumlah pupuk yang disalurkan pengecer Pusaka Tani hanya sekitar 15 ton per minggu. Pada musimmusim permintaan pupuk tinggi dan pasokan pupuk cukup dari distributor, pengecer Pusaka Tani mampu menjual pupuk Urea mencapai 50 ton perminggu. Pusaka Tani sebenarnya merupakan pengecer resmi dari distributor PT. Reza Putra. Mengingat pada bulan Juli PT. Reza Putra tidak mampu memenuhi permintaan Pusaka Tani, maka distributor PT. Reza Putra minta tolong ke distributor lainnya untuk memenuhi permintaan Pusaka Tani dan termasuk beberapa pengecer dibawah binaannya. Harga tebus yang harus dibayarkan Pusaka Tani sangat beragam menurut distributor. Keragaman ini terjadi karena distributor menentukan harga secara sepihak tanpa mengindahkan harga tebus yang ditetapkan pemerintah. Sesuai peraturan pemerintah, semestinya Pusaka Tani menebus harga pupuk Urea digudangnya sebesar Rp 1.020, sehingga jika dijual sesuai HET (Rp 1.050) masih ada margin sebesar Rp 30/kg. Dalam kenyataannya harga tebus yang dibayar Pusaka Tani sudah diatas HET yang ditetapkan pemerintah, kecuali jika mengambil pupuk dari Distributor PT. BPS yang langsung mengantarkannya ke tempat pengecer. Sementara jika mengambil dari distributor lainnya, Pusaka Tani sendiri harus mengambilnya ke gudang supply point PT. PKC. Dengan harga tebus berkisar Rp di gudang supply point PT. PKC ditambah ongkos angkut dan bongkar muat sekitar Rp 40/kg, maka harga tebus yang diibayar Pusaka Tani sampai di tempat gudangnya menjadi Rp /kg. Dengan tetap mempertahankan margin sebesar Rp 30/kg, maka Pusaka Tani harus menjual pupuk ke petani berkisar Rp Rp (di atas HET). Jika pengecer ingin memperoleh keuntungan diluar fee yang lebih besar lagi maka penjualan pupuk dilakukan lebih tinggi lagi diatas HET. 3. Persepsi Pedagang Pengecer Terhadap Sistem Penyaluran Pupuk Menurut para pengecer baik yang berkedudukan di Kabupaten Subang maupun di Kabupaten Cirebon, sistem pendistribusian pupuk saat ini kurang bagus. Pertama, gudang distributor pada umumnya tidak berlokasi di sentra sentra produksi atau pelayanan, sehingga biaya transportasi menjadi mahal dan sering terjadi keterlambatan dalam pendistribusian. Tidak semua distributor mempunyai gudang dan armada pengangkutan. Selain itu, banyak distributor yang tidak mempunyai armada angkutan, sehingga biaya transpsortasi pada umumnya dibebankan ke pengecer, dan pengecer selanjutnya membebankan kepada petani. Temuan ini sebenarnya memperlihatkan bahwa syarat-syarat menjadi distributor sebenarnya tidak dipenuhi. Kedua, sistem rayonisasi yang diciptakan di tingkat kabupaten sebaiknya diikuti sistem rayonisasi di tingkat distributor dan pengecer. Distributor sebaiknya mempunyai pengecer yang hanya berada di wilayah kecamatan tertentu saja yang menjadi binaannya. Pada kenyataannya lokasi pengecer dari masing-masing distributor di mana- VI-115
EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat
EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor16161 PENDAHULUAN Kasus kelangkaan
Lebih terperinciEfektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah
20 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah Pendahuluan Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS
IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS 4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan pangan
Lebih terperinciPupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran
Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Oleh : Feryanto (email: fery.william@gmail.com) Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan perekonomian
Lebih terperinciUSULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA
USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, M. Maulana, dan Sudi Mardianto Pusat Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas
Lebih terperinciKAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA
KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto dan Mohamad Maulana I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus
Lebih terperinciBIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI
SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan
Lebih terperinciKebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan
6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA Oleh : Nizwar Syafa at Adreng Purwoto M. Maulana Chaerul Muslim PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
Lebih terperinciKEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI
KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI Oleh : Pantjar Simatupang Fenomena langka pasok dan lonjakan harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi karena produksi pupuk urea dalam
Lebih terperinciAnalisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95
CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70/MPP/Kep/2/2003 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Pasal 1 Dalam keputusan ini
Lebih terperinciEVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 1. Konstruksi Kebijakan Menimbulkan Dualisme Pasar dan Rawan Terhadap Penyimpangan Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada
Lebih terperinciKONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006
KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.511, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Pupuk Bersubsidi. Pengadaan. Penyaluran. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/M-DAG/PER/4/2013 TENTANG PENGADAAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciRANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI
RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah telah memberikan berbagai macam subsidi kepada petani, dan salah satu bentuk subsidi yang menonjol adalah
Lebih terperinci13 FEBRUARI 2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004 MENTERI PERTANIAN
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 106/Kpts/SR.130/2/2004 TANGGAL 13 FEBRUARI 2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN MENTERI PERTANIAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala yang penting diselesaikan adalah menyangkut masalah produktivitas pertanian.
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK UREA UNTUK SEKTOR PERTANIAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK
Lebih terperinciWALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG
WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA BANJAR TAHUN ANGGARAN 2012 WALIKOTA BANJAR Menimbang : bahwa
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK
Lebih terperinciJakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP
KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 106/Kpts/SR.130/2/2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 106/Kpts/SR.130/2/2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004 MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciMENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR
Lebih terperinciPERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI
PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI MOHAMAD MAULANA Pusat Analisis Sosial Ekonoi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Bogor Jl. A
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciV. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG
V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,
BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk
Lebih terperinciANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN
ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDIUNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciAnalisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia 2007-2012 Oleh : Prajogo U. Hadi Dewa K. Swástica Frans Betsí M. D. Nur Khoeriyah Agustin Masdjidin Siregar Deri Hidayat
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA BARAT
Lebih terperinciWALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016
WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOTA SOLOK
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG
SALINAN BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN
ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciWALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT
WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA BUKITTINGGI NOMOR : 1 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BUKITTINGGI TAHUN
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA SUKABUMI
BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 26 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI TANGGAL : 29 NOPEMBER 2009 NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG : PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinciANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *
ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output * A. ISU POKOK 1. Tahun 2003, pemerintah kembali menerapkan subsidi pupuk secara tidak langsung melalui
Lebih terperinciBUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014
BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN KUANTAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Selain kondisi geografis tersebut luas lahan yang cukup luas sangat menunjang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 64/Kpts/SR.130/3/2005 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 64/Kpts/SR.130/3/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2007 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciSALINAN NOMOR 5/E, 2010
SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciKaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk Oleh : Nizwar Syafa at Adreng Purwoto Iwan Setiajie Anugrah Erma Suryani Khairina M. Noekman Yuni Marisa Muhamad Suryadi
Lebih terperinciWALIKOTA TASIKMALAYA
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang Mengingat
Lebih terperinciBUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG
BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN DAN PERIKANAN KOTA SOLOK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I-1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam dunia perindustrian tidak akan luput dari adanya persaingan antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain. Dimana berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan
Lebih terperinciMakalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG SISTEM SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK
Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG SISTEM SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK Oleh: DR. Nizwar Syafa at Ir. Adreng Purwoto, MS Ir. Khairina M. Noekman, MS Ir.Iwan Setiaji Anugerah, MS Ir.Erma
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG
NOMOR 1 BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG SERI E HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR
BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciNoMoR { s 2oo9 TENTANG /-\ sangat penting sehingga pengadaan dan penyalurannya perlu cermat, akurat, tepat waktu, tepat ukuran dan tepat sasaran;
PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NoMoR { s 2oo9 TENTANG PENGADAAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2OO9 DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang
Lebih terperinciPEDOMAN PENDAMPINGAN VERIFIKASI DAN VALIDASI PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI TA 2018
PEDOMAN PENDAMPINGAN VERIFIKASI DAN VALIDASI PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI TA 2018 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR LAMPIRAN... iv BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B.
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO
Lebih terperinciWALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR,
WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI ( HET ) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR TAHUN ANGGARAN 2009
Lebih terperinciPENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G
SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional berupaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian melalui penerapan teknologi budidaya
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan
Lebih terperinciIV. ANALISIS SITUASIONAL DISTRIBUSI PUPUK DI BANYUMAS
IV. ANALISIS SITUASIONAL DISTRIBUSI PUPUK DI BANYUMAS 4.1 Profil Daerah Kabupaten Banyumas adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan
Lebih terperinciBUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciANALISIS PEMASARAN PUPUK BERSUBSIDI TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN SANGGAU LEDO KABUPATEN BENGKAYANG
ANALISIS PEMASARAN PUPUK BERSUBSIDI TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN SANGGAU LEDO KABUPATEN BENGKAYANG Sri Widarti 1), Hery Medianto Kurniawan 2), Simpuk 3) Dosen Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas
Lebih terperinci3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN
PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,
Lebih terperinciMembedah Masalah Perpupukan Nasional
Membedah Masalah Perpupukan Nasional Oleh Sunarsip Belakangan ini kita sering membaca berita tentang kelangkaan pupuk, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelangkaan pupuk ini disebabkan karena adanya
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinci