ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR TOTOK HENDARTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR TOTOK HENDARTO"

Transkripsi

1 ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR TOTOK HENDARTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2010 Totok Hendarto NIM. C

3 ABSTRACT TOTOK HENDARTO. Disparity Analysis of Fishery Resources Utilization in East Java Province Coastal Area Management Perspective. Under Direction of ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO and LUKY ADRIANTO. Indonesia consists of 70% sea, a big potential of diversity, 6.1 million ton per year of fishery, and 57% have utilized. Law No.27, 2007 said that fishery resources potential should be managed well, while said that authority of fishery management should be decentralized to province/regency-city government as broad as to increase people s welfare and local competition. The objectives of this study were to 1) identify disparity of fishery resources utilization in East Java coastal area; 2) to identify disparity of East Java coastal area development, and 3) to arrange the strategy of East Java coastal area management. The study has done by quantitative and qualitative phenomenological by survey method. North location of this study represented by Lamongan Regency, while the south location represented by Trenggalek Regency. Disparity of fishery resources utilization in coastal area management perspective caused development disparity in north coastal area and south coastal area in East Java Province. The characteristic of north coastal area was more opened and has high economic activity network. It showed economical dynamic which higher than others. Planning and arranging area development strategy should be directed to maturing organization and revitalization its function. In the south coastal area, according to its diversity, resources condition, decentralization maturity level, and region authority, it should be directed to investment which bigger both the number of variety and the number of infrastructure unit, and facility of area development. Key words: disparity, management, development, fishery resources

4 RINGKASAN TOTOK HENDARTO. Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO dan LUKY ADRIANTO. Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai km 2. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Potensi yang besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakppan sebuah kebutuhan yang mutlak. Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Salah satu aspek teknik yang digunakan sebagai tolak ukur adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE / Catch Per Unit Effort). Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses menghasilkan rumusan informasi pendukung pemerintah menyusun sebuah kebijakan. Perkembangan wilayah pesisir dianalisis dengan Shift Share, untuk menganalisis herarki wilayah pesisir indikator sosial digunakan analisis komponen utama dan menganalisis herarki wilayah pesisir indikator man-made capital digunakan analisis Skalogram. Kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur pembangunan nasional dipergunakan analisis input output. Untuk mengetahui tingkat kesusksesan maupun tingkat kegagalannya, sehingga digunakan analisis kebijakan Tren nilai CPUE per alat tangkap di wilayah pesisir Utara selama tahun cenderung menurun, di Selatan cenderung meningkat. Sektor perikanan laut tidak dominan relatif terhadap sektor lainnya. Pembangunan wilayah pesisir tidak terkonsenterasi pada sektor tertentu. Kuota lokasi di kedua wilayah pesisir merupakan sektor basis, di Utara dua kali lipat lebih besar dibanding di Selatan. Laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut berjalan cepat, kecepatan di Utara hampir tiga kali lipat dibanding di Selatan. Dayasaing lokal sektor perikanan laut bersifat kompetitif atau berdaya saing tetapi kemampuannya sangat jauh berbeda. Disparitas perkembangan wilayah pesisir memperlihatkan tingkat pertumbuhan di Utara hampir dua puluh lima kali lipat lebih cepat dibanding Selatan. Daya saing Utara sangat baik dan berkeunggulan comparatif (comparatif advantage), di Selatan tidak mempunyai daya saing dan tidak

5 berkeunggulan comparatif (comparatif advantage). Pergeseran wilayah pesisir Utara bersifat progresif, di Selatan tidak progresif. Disparitas perkembangan wilayah pesisir dari aspek kependudukan, di Utara berherarki rendah, di Selatan berherarki sedang, aspek kependidikan di Utara berherarki tinggi, di Selatan berherarki sedang, aspek kesehatan di Utara-Selatan berherarki sedang, meskipun nilai Utara tiga kali lipat lebih besar dari Selatan. Faktor keragaan pemanfaatan sumberdaya perikanan (secara geografis), potensi ekonomi wilayah (tingkat kematangan aktifitas ekonomi) dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur menyebabkan terjadinya disparitas. Disparitas pembangunan wilayah menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah dan menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Secara menyeluruh disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perspektif pengelolaan wilayah pesisir menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan di Provinsi Jawa Timur. Strategi yang bisa disarankan oleh penulis guna mengurangi terjadinya disparitas wilayah pesisir meliputi dua strategi yaitu strategi pertama, program pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan (supply side strategy) dan permintaan (demand side strategy). Strategi kedua, adalah pengembangan wilayah pesisir atas dasar strategi keterkaitan (lingkages) antar wilayah pesisir. Kata kunci : disparitas, manajemen, pembangunan, sumberdaya perikanan.

6 ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR TOTOK HENDARTO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

7 Judul Disertasi Nama Nomor Pokok Program Studi : Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur : Totok Hendarto : C : Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lautan Komisi Pembimbing : Ketua : Prof. Dr. Ismudi Muchsin Anggota : Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo MS Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc Penguji Luar Komisi : Daniel Mohammad Rosyid PhD, CPM (Institut Teknologi Sepuluh Nopember ITS Surabaya, Ketua Dewan Masyarakat Pesisir Jawa Tmur) Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo M.Sc ( Guru Besar Institut Pertanian Bogor) Ujian Terbuka pada : Hari : Jum at Tanggal : 5 Maret Jam : Selesai Tempat : Auditorium Andi Hakim Nasution Gedung Andi Hakim Nasution Kampus IPB darmaga, Bogor

8 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iv vii x 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan Penelitian Terdahulu KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis Hipotesis Novelty (Kebaruan) Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Data dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Keragaan Perikanan Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Wilayah Pesisir... 47

9 ii Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur Analisis Kontribusi-Keterkaitan dan Struktur Perekonomian Wilayah Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keragaan Umum Propinsi Jawa Timur Kondisi Geografis Demografi Kondisi Perekonomian Disparitas Wilayah dan Kondisi social Budaya Keragaan Umum Kabupaten Lamongan Kondisi Geografis Demografi Kondisi Perekonomian Potensi Perikanan Keragaan Umum Kabupaten Trenggalek Kondisi Geografis Demografi Kondisi Perekonomian Potensi Perikanan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keragaan Perikanan Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Utara Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Selatan Analisis Deskriptif Program dan Bentuk Kegiatan Pembangunan Wilayah Pesisir Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi Pangsa Sektoral Tiap Lokasi Pangsa Lokal Tiap Sektor Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Kuota Lokasi

10 iii Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor Dayasaing Lokal Tiap Sektor Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur Analisis Shift Share Perkembangan Wilayah Pesisir Analisis Komponen Utama Herarki Wilayah Indikator Sosial Ekonomi Analisis Skalogram Herarki Wilayah Pesisir Indikator Man-made Capital Analisis Kontribusi dan Keterkaitan Sumberdaya Pesisir Terhadap Perkembangan Wilayah Analisis Pembentukan Output, NTB dan Pendapatan diwilayah Pesisir Analisis Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Output, Pendapatan dan tenaga Kerja di Wilayah Pesisir Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 iv DAFTAR TABEL Halaman 1. Matrik Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir dan Laut Bentuk Umum Tabel Input-Output Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Kab. Lamongan Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kab. Lamongan Keragaan Jenis, Produksi Utama, Skala Usaha & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab. Lamongan Jumlah Nelayan di Kabupaten Trenggalek Jumlah dan jenis Alat Tangkap di Kabupaten Trenggalek Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Trenggalek Keragaan Jenis, Produksi Utama & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab.Trenggalek Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Utara Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata Upaya Penangkapan (effort) Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan... 93

12 v 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan Upaya Penangkapan (effort) Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir di Wilayah Pesisir Utara Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir di Wilayah Pesisir Selatan Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong Di Wilayah Pesisir Utara Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong Di Wilayah Pesisir Selatan Rasio Sektor Perikanan Laut- Pertanian Wilayah Pesisir Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Wilayah Pesisir Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Wilayah Pesisir Tahun Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Wilayah Pesisir Utara Selatan Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Wilayah Pesisir Utara Selatan Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir Utara Selatan Nilai Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Wilayah Pesisir Utara Dan Selatan Propinsi Jawa Timur Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Sumberdaya Alam, Sumberdaya Sosial dan Sumberdaya Buatan Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Nilai Score CPUE per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara-Selatan

13 vi 40. Nilai Score Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (DPSDPI) Nilai Score Analisis Disparitas Pembanguan Wilayah Pesisir (DPWP) Nilai Score Analisis Disparitas Kontribusi Sebaran Perkembangan Wilayah Pesisir (DKSPWP) Nilai Score Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan (AK).. 154

14 vii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Jawa Timur Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Lamogan Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Trenggalek Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Utara Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Utara Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara Tren CPUE Alat Tangkap Purse Seine di Wilayah Pesisir Utara Tren CPUE Alat Tangkap Payang Besar di Wilayah Pesisir Utara Tren CPUE Alat Tangkap Pancing Prawe di Wilayah Pesisir Utara Tren CPUE Alat Tangkap Payang Kecil di Wilayah Pesisir Utara Tren CPUE Alat Tangkap Gill Net di Wilayah Pesisir Utara

15 viii 16. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Utara Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Selatan Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Pantai di Wilayah Pesisir Selatan Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Klitik di Wilayah Pesisir Selatan Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Cincin di Wilayah Pesisir Selatan Tren CPUE Alat Tangkap Pancing di Wilayah Pesisir Selatan Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Angkat di Wilayah Pesisir Selatan Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Selatan PDRB Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Pertanian Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Tahun Pangsa Sektoral Tiap Lokasi Tahun

16 ix 35. Pangsa Lokal Tiap Sektor Tahun Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi Tahun Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Tahun Kuota Lokasi Tahun Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor Tahun Daya Saing Tiap Sektor Tahun Profil Tingkat Pertumbuhan Tahun Profil Daya Saing Tahun Profil Pergeseran Wilayah Tahun Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun Score Analisis Komponen Utama Kependudukan Tahun Score Analisis Komponen Utama Kependidikan Tahun Faktor Score Analisis Komponen Utama Kesehatan Tahun Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan Tahun Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Tahun Pembentukan Output Tahun Pembentukan NTB Tahun Pembentukan Pendapatan Tahun Pengganda Output Tahun Pengganda Pendapatan Tahun Pengganda Tenaga Kerja Tahun Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Tahun Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Tahun Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Tahun

17 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya, Pangsa Sektoral Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th Pangsa Sektoral, Pangsa Sektoral Agregat Tiap Kec Kab. Lamongan Th Kuota Lokasi dan Indeks Spesialisasi per Kec Tiap Sektor PDRB Th Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat, Dayasaing Sektoral Agregat Th 2000 sd Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya dan Pangsa Sektoral PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th Pangsa Sektoral dan Pangsa Lokal Tiap Sektor Kab. Lamongan Th Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Tiap Sektor Per Kec di Lamongan Th Kuota Lokasi, Indeks Spesialisasi dan Indeks Lokalisasi per Kec Kab. Lamongan Sektor Th Laju Pertumbuhan Kec di Lamongan Th Laju Pertumbuhan Dayasaing Sektoral Kec di Lamongan Th Dayasaing Lokal Kec di Lamongan Th PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th

18 xi 19. Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya, Pangsa Sektoral Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Kab. Trenggalek Th Indeks Lokalisasi, Indeks Spesialisasi Sektor, Kuota Lokasi dan Laju Pertumbuhan Tiap Kec Th Laju Pertumbuhan Kec Agregat dan Dayasaing Sektoral Agregat Th Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th Pangsa Sektoral Tiap, Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Kec terhadap PDRB Th Pangsa Lokal Agregat Sektor, Indeks Spesialisasi, Indeks Lokalisasi dan Kuota Lokasi PDRB per Kec Th Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th Laju Pertumbuhan Kec Agregat Sektor Tiap Sektor Th Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat Th Dayasaing Sektoral Agregat Wilayah Th Klasifikasi Tabel IO Jawa Timur untuk 20 Sektor Tabel Koefisien Input Output Jatim th Tabel Transaksi Input Output Jatim th Tabel Transaksi Input Output Jatim th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Lamongan. 208

19 xii 41. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Lamongan Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Lamongan Total Output Multiplers Lamongan Total Income Multiplers Lamongan Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages RAS Lamongan Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages RAS Lamongan Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages RAS Lamongan Total Output Multiplers RAS Lamongan Total Income Multiplers RAS Lamongan Total Employment Multiplers RAS Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Trenggalek Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Trenggalek Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Trenggalek Total Output Multiplers Trenggalek Total Income Multiplers Trenggalek Total Employment Multiplers Trenggalek Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages Trenggalek Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages Trenggalek Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages Trenggalek Total Output Multiplers Trenggalek Total Income Multiplers Trenggalek

20 xiii 62. Total Employment Multiplers Trenggalek Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kependudukan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kependidikan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kesehatan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kependudukan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kependidikan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara Tahun 2007 Indikator Kesehatan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kependudukan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kependidikan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2004 Indikator Kesehatan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kependudukan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kependidikan Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan Tahun 2007 Indikator Kesehatan Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan Tahun Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan Tahun Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek Tahun

21 xiv 78. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek Tahun Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun Standar Penilaian Score Lima Indikator Kebijakan Profil Kelas Pelabuhan Perikanan, Produksi Ikan dan Jumlah Nelayan di Jawa Timur PDRB Kab Lamongan Tahun PDRB Kab Lamongan Tahun Nilai r dan R Komponen Pertumbuhan setiap sektor Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah PDRB Kab Lamongan Tahun PDRB Kab Lamongan Tahun Nilai r dan R Komponen Pertumbuhan setiap sektor Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah PDRB Kab Trenggalek tahun PDRB Kab Trenggalek tahun PDRB Kab Trenggalek Tahun PDRB Kab Trenggalek Tahun Nilai r dan R

22 xv 103. Nilai r dan R Komponen Pertumbuhan setiap sektor Komponen Pertumbuhan setiap sektor Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah Daftar Istilah (Glossary)

23 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km dan panjang garis pantai km. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Dengan luas laut 5,8 juta km, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Namun ketersediaan atau stok ikan secara alami di perairan merupakan salah satu faktor pembatas peningkatan produktifitas usaha dalam kegiatan penangkapan. Potensi yang demikian besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakan sebuah kebutuhan yang mutlak. Fungsi perencanaan dan pengelolaan tidak hanya berdimensi fisik untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sistem alam dan sumberdaya perikanan namun juga memiliki dimensi sosial karena komunitas di wilayah pesisir yang telah berinteraksi secara dinamis dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan sehingga pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan dapat terwujud (Kusumastanto, 2006). Ketchum dalam Kusumastanto et al menyatakan wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara wilayah daratan dan laut. Secara ekologis wilayah pesisir adalah sebuah wilayah yang dinamik dengan pengaruh daratan terhadap lautan atau sebaliknya. Proses keterkaitan antara wilayah darat dan laut merupakan sumber dinamika dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal management; ICM). (Jones and Westmascot dalam Kusumastanto, et al. 2006) menyatakan wilayah pesisir tidak hanya diidentifikasi berdasarkan sifat ekologis semata, namun mencakup definisi administratif sebagai suatu wilayah pengelolaan. Wilayah pesisir dan laut diharapkan menjadi pusat pertumbuhan dan sebagai kutub dari ruang ekonomi. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub, mempunyai kekuatan centrifugal memancar ke sekelilingnya dan 1

24 2 mempunyai kekuatan centripental menarik sekitarnya ke pusat-pusat tersebut. Penentu kebijakan pembangunan seringkali berharap wilayah pesisir menjadi pusat pertumbuhan dengan beberapa alasan antara lain : terjadinya proses aglomerasi, konsentrasi investasi dan proses penyebaran bagi wilayah-wilayah belakangnya. Unit ekonomi industri yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi. Dalam rangka mewujutkan sektor perikanan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian, diperlukan usaha-usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan sampai tingkat optimal di seluruh wilayah, sasaran peningkatan devisa dan kesejahteraan bagi nelayan dan petani ikan melalui perluasan usaha yang menjadi prioritas utama disamping aspek kelestarian. Disparitas pembangunan regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik, baik sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana, secara terpusat pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakankebijakan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Rustiadi, 2005). Wilayah pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif sebagai sumber pangan dan merupakan tumpuan harapan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dimasa mendatang (Bengen, 2000). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia sampai saat ini, secara umum belum optimal dan masih berpeluang untuk dikembangkan. Karakteristik wilayah yang berbeda, menyebabkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan. Wilayah perairan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu wilayah perairan dengan wilayah perairan yang lain. Perbedaan yang ada diantaranya meliputi perbedaan kondisi geografi, topografi, demografi, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, budaya dan sosial kultural masyarakat, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi, kemampuan investasi permodalan pemerintah dan masyarakat dan merupakan komponen sistem perikanan yang bersifat spesifik yang dimiliki daerah. Komponen sistem perlu dikelola dan diperhatikan dengan baik dalam upaya pengembangan perikanan. Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyatakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia perlu 1

25 3 dikelola dengan baik. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai pemasaran, dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintah dan otoritas lain diarahkan mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. Pemerintah provinsi dan kebupaten kota diberi kewenangan menentukan urusan pilihan nyata dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerahnya. Kekhasan yang dimiliki beberapa kabupaten di Utara dan Selatan Jawa, berupa potensi kelautan dan perikanan dijadikan pilihan untuk dikelola dan dikembangkan dengan baik (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Disparitas pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi wilayah. Disparitas pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah, membentuk interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya berlebihan (backwash) mengakibatkan aliran nilai tambah dan terakumulasi di pusat-pusat pembangunan secara besar-besaran dan berlebihan. Disparitas pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional sub-optimal, juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembanguan agregat dari interaksi pembangunan inter-regional yang sinergis atau saling memperkuat. Menyadari terjadinya disparitas pembangunan inter-regional, pemerintah berupaya menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah. Strategi program pengembangan wilayah lebih didasarkan atas strategi dari sisi pasokan, berupa program pengembangan wilayah didasarkan atas keunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktifitas wilayah didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya wilayah (Rustiadi, 2005). 1

26 4 Strategi pembangunan yang hanya dilakukan dari sisi pendekatan pasokan akhirnya terhenti akibat adanya keterbatasan dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Strategi pembangunan wilayah harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan. Strategi ini dikembangkan melalui upaya-upaya mendorong tumbuhnya permintaanpermintaan suatu produk dan jasa secara domestik melalui peningkatanpeningkatan kesejahteraan diantaranya peningkatan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Keinginan untuk menjadikan pembangunan kelautan dan perikanan sebagai arus utama pembangunan nasional, yang ditunjukkan dengan letak geografis dan kandungan sumberdaya kelautan yang dimiliki, dengan potensi yang sangat besar serta kenyataan posisi geopolitis yang penting dan dinamis. Pertimbangan yang mendasari pembangunan berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai arus utama pembangunan diantaranya adalah (Dahuri, 2003) : 1. Melimpahnya sumberdaya perikanan kelautan; 2. Keterkaitan yang kuat kedepan dan kebelakang antara industri berbasis kelautan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya; 3. Sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif dapat bertahan. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi makro cenderung mengakibatkan terjadinya disparitas pembanguan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi dipusatpusat pertumbuhan, sementara wilayah belakangnya mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Di Jawa Timur secara makro dapat dilihat ketimpangan pembangunan signifikan antara perkembangan wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur. Disparitas pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. Studi tentang pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi terhadap disparitas perkembangan wilayah pesisir Jawa Timur sangat perlu dilakukan. 1

27 5 1.2 Perumusan Masalah Persoalan pembangunan tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendorong pertumbuhan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional. Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Kebijakan pembangunan yang hanya menitik beratkan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, secara spasial ternyata menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Disparitas hasil pembangunan wilayah lebih disebabkan diantaranya 1. kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan 2. kebijakan yang bersifat sektoral (Hadi, 2001). Menurut Rustiadi (2005), beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Aspek geografi, suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi variasi spasial kuantitas dan kualitas sumberdaya. Apabila faktor-faktor yang lain berada pada posisi yang sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik pula. Dari aspek aktifitas ekonomi, faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). faktor ekonomi terkait perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki, (2). faktor ekonomi terkait akumulasi dari berbagai faktor, (3). faktor ekonomi terkait pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect dan (4). faktor ekonomi terkait distorsi pasar, yaitu kebijakan pemerintah seringkali memberikan penekanan dan arah pertumbuhan dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan yang justru menimbukan disparitas antar wilayah. Secara nasional potensi ikan masih belum dimanfaatkan secara optimal, namun di beberapa wilayah perairan tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestari maksimum. Tingkat pemanfaatan ikan di perairan Utara Pulau Jawa telah melampaui potensi lestari maksimum, tetapi di perairan Selatan Pulau Jawa masih mungkin dikembangkan. Mempertimbangkan kondisi sumbedaya ikan dan 1

28 6 dalam kerangka pembangunan nasional, peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa mendatang. Peranan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat strategis dan sangat erat kaitannya dengan isu lebih tangkap (over fishing), kelebihan kapasitas penangkapan, deplesi stok ikan, perubahan ekosistem dan meningkatnya perdagangan ikan dunia dengan segala potensi dampaknya (FAO, 1999). Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan sembilan wilayah pengelolaan perikanan. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6,4 juta ton per tahun. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80 persen dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2003). Pembangunan perikanan khsusunya perikanan tangkap di Indonesia hakekatnya mempunyai tujuan ganda yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan disisi lain. Program pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung seharusnya dapat menyentuh semua lapisan masyarakat nelayan. Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP 9), dengan wilayah perairan terbuka. Luas wilayah mencakup wilayah perairan teritorial dan perairan ZEE Indonesia. Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumbedaya ikan yang potensial. Potensi lestari sumberdaya ikan di WPP 9, meliputi Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Flores. Dasar variasi pengaruh lautan, wilayah laut Jawa Timur dikategorikan menjadi lima wilayah, dua diantaranya adalah : 1. wilayah Utara Jawa Timur; 2. wilayah Selatan Jawa Timur. Wilayah Selatan ditandai gelombang tinggi dan sulit dijangkau nelayan kecil. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Jawa Timur bervariasi berdasarkan wilayah penangkapan dan pengaruh iklim global lainnya (Muhammad, 2001). Reformasi kebijakan pembangunan daerah, harus segera dilakukan baik faktor eksternal yaitu kesepakatan didasarkan efisiensi dan faktor internal yaitu tuntutan kesimbangan wilayah dalam menikmati hasil pembangunan. Penyeimbangan pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur perlu dilakukan secara berkesinambungan. 1

29 7 Pembangunan infrastruktur yang membuka wilayah pesisir Selatan Jawa Timur harus diikuti peningkatan kemampuan pengelolaan wilayah pesisir. Dari latar belakang, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaan sumberdaya perikanan laut mempengaruhi disparitas perkembangan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur; 2. Sejauhmana kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut mempengaruhi disparitas struktur perekonomian wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur; 3. Bagaimana keragaan disparitas kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur. 1.3 Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian adalah untuk : 1. Mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur 2. Mengidentifikasi disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur 3. Menyusun strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil analisis bersifat makro penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan penetapan rekomendasi kebijakan pembangunan dengan merumuskan, menentukan, memprioritaskan, mengarahkan serta upaya peningkatan efisiensi alokasi dana investasi. Hasil analisis bersifat mikro digunakan sebagai masukan bagi para pelaku ekonomi serta seluruh stakeholders akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir. 1

30 8 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam, dan sering dilakukan perubahan-perubahan ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya dapat memberikan pengaruh lingkungan hidup. Semakin tinggi laju pembangunan, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup. Perencanaan pembangunan sistem ekologi yang berimplikasi perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh. Perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu, sehingga dicapai pengembangan lingkungan hidup dalam pembangunan (Bengen, 2000). Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan terjaganya kualitas lingkungan, agar secara agregat keputusan pembangunan dapat menguntungkan semua pihak (Darwanto, 2000 dalam Adibroto, 2001). Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses individu maupun lembaga untuk menggerakkan dan mengelola sumberdaya, agar menghasilkan perbaikan berkelanjutan menuju kualitas hidup yang diinginkan. Terdapat enam elemen kunci dalam pembangunan yaitu perubahan, proses, perbaikan atau pertumbuhan, keberlanjutan, distribusi dan kualias hidup. Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujutkan kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, pembangunan sebagai suatu pertumbuhan, menunjukkan kemampuan kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas dan merupakan keharusan dalam pembangunan (Soley, 1999). Agenda 21 Indonesia, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan menyarankan pengelolaan perencanaan wilayah pesisir hendaknya mengintegrasikan lingkungan dengan tujuan sosial dan harus dibuat dengan partisipasi aktif dan sedini mungkin dari anggota masyarakat (Sonak et al, 2008). 4 8

31 9 Partisipasi dan keterlibatan masyarakat hendaknya ditingkatkan melalui program pendidikan lingkungan serta pengelolaan limbah perairan hendaknya termasuk dalam upaya terpadu yang melibatkan seluruh perwakilan dikabupaten kota, provinsi hingga tingkat nasional (Lasut et al, 2008). Seragaldin dan Steer (1993) mengemukakan bahwa terdapat empat tipe yaitu tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan manusia (man-made capital), seperti mesin, pabrik, bangunan dan bentuk infrastruktur dan teknologi lain. Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur yaitu hard infrastructure seperti jalan, telekomunikasi, listrik dan sistem irigasi dan soft infrastructure berbentuk pelayanan seperti transportasi, kredit dan perbankan, input produksi dan pemasaran. Secara fisik man made capital merupakan kekayaan hasil pembangunan yang dapat diukur dengan mudah. Tipe kedua adalah sumberdaya yang disediakan oleh lingkungan (natural capital) seperti sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Tipe ketiga adalah sumberdaya manusia (human capital) serta tipe keempat adalah sumberdaya sosial (sosial capital) sebuah bentuk fungsi kelembagaan dan budaya berbasis sosial. Fauzi (2001) mengemukakan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, telah mengalami perubahan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan merupakan konsep sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan sangat multi dimensi dan multi interprestasi. Pengertian sederhana dalam perspektif ekonomi terutama pandangan ekonomi neo klasikal, keberlanjutan diartikan sebagai maksimalisasi kesejahteraan sepanjang waktu. Konsep kesejahteraan menyangkut dimensi yang sangat luas, perspektif neo-klasikal melihatnya sebagai maksimalisasi kesejahteraan yang diturunkan dari utilitas yang diperoleh dengan mengkonsumsi barang dan jasa. Barang dan jasa yang dikonsumsi antara lain dihasilkan dari 4 9

32 10 sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004). Di banyak negara, terutama negara berkembang, terdapat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya laut untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, sebagai menahan dampak angin topan dan tsunami, dan sebagai media transportasi laut, pariwisata, perikanan, dan pengembangan daerah pesisir. Terdapat 1.2 juta orang (23%) dari total penduduk dunia yang hidup di wilayah pesisir dan secara terus menurus memberikan tekanan kepada ekosistem pesisir sehingga terjadi perubahan relative cepat diseluruh dunia. Ekosistem pesisir juga berubah diantaranya akibat kerusakan habitat, penangkapan ikan yang berlebihan serta dampak tumpahan minyak. Pengelolaan wilayah pesisir teradu (ICM) berpotensi untuk menampung banyak isu ditujukan ke proses multi-stakeholder, tetapi hendaknya didukung kolaborasi, kontribusi dan penghargaan pemerintah. (Wilson dan Wiber, 2009). Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasarinya, pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kedua di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo et.al., 2000). Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya pembangunan didaratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan meningkat (Resosudarmo et.al., 2002). Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai. Secara ekologis wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih di pengaruhi proses-proses kelautan. Batas wilayah pesisir ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri, 1998). 4 10

33 11 Wilayah pesisir merupakan wilayah yang bersifat dinamis dan merupakan tantangan bagi sistem perencanaan wilayah pesisir dengan tingkat ketidakpastian dan dinamika yang sangat tinggi. Lingkungan kelautan masih sedikit dimengerti jika dibanding wilayah daratannya, terutama yang berhubungan dengan flora dan fauna serta dampak dari perubahan yang terjadi. Secara pasti, perencanaan wilayah pesisir jauh lebih rumit dibandingkan dengan perencanaan wilayah daratan lainnya, karena ekosistem wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan ekosistem daratan lainnya. Dibutukan komunikasi yang baik antara berbagai kelompok masyarakat lokal untuk bersama-sama bekerja dan berpikir secara nasional dalam konteks wilayah lokal. Yang perlu diingat manajemen wilayah pesisir terpadu (ICZM) merupakan rangkaian proses, yang lebih mengarah kepada penjiwaan dari sekedar bentuk spesifik dari sebuah manajemen. Tidak ada yang salah ataupun benar dalam metode penerapan ICZM, karena setiap situasi tentunya berbeda (Stead dan McGlashan, 2006). Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya total nilai kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word s gross natural product (COREMAP, 1999). Wilayah pesisir pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang dominan adalah perikanan laut, yang mencakup kegiatan penangkapan, budidaya dan pengolahan (Anonymous, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah proses pengaturan, para stakeholder dan anggota kelompok memiliki kekuatan dan kesempatan formal untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan yang merupakan hal penting berdampak pada peraturan pengelolaan perikanan. Banyak pelaku aktifitas ekonomi disektor perikanan tidak memiliki kemauan untuk maju dan mendiskusikan permasalahan keamanan dan pengelolaan perikanan secara terbuka karena pendapatnya seringkali tidak berpengaruh pada peraturan yang sedang disusun. Masyarakat pesisir membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur kehidupan dimasa 4 11

34 12 mendatang (Kaplan dan Powell, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah digunakan lebih dari satu dekade untuk mengarahkan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kesuksesan dapat diraih apabila para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu memiliki inisiatif untuk berbagi pengalaman, belajar dari kesalahan masa lalu dan memiliki keinginan untuk mengubah strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara ters menrus. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu membutuhkan waktu dan dukungan jangka panjang dari pemerintah, membawa pada pendekatan pengelolaan yang efisien, adil, bertahan, dan berkelanjutan (Hauck dan Sowman, 2001). Sebuah tantangan bagi seluruh stakeholder yang terlibat, untuk menemukan keseimbangan antara mendorong kegiatan dan mengelola lingkungan pesisir yang tepat dibawah panduan yang telah disepakati secara internasional. Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara lain: 1) dibutuhkan jawaban atas permasalahan lingkungan wilayah pesisir dan termasuk respon dalam perspektif jangka panjang untuk para pembuat kebijakan, 2) dibutuhkan pengakuan terhadap kebergantungan ekonomi dan sistem lingkungan dan untuk menentukan batas antara aktivitas manusia yang dibutuhkan, khususnya di daerah pesisir, dan 3) dibutuhkan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan dan mengembalikan lingkungan yang terdegradasi (Sarda, Avila, dan Mora, 2005). Wilayah laut terlindung (Marine Protected Areas) merupakan salah satu bentuk program untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat pesisir yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang berharga secara komersial serta beragam bentuk pengelolaan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir (Cho, 2005). Dalam pendekatan pengelolaan, akan lebih efektif apabila terdapat pihakpihak yang pro aktif, mengambil sudut pandang strategi jangka panjang, mengenali dinamisme dari sistem yang sedang dikelola, adaptif (dalam hal geografis dan respon terhadap informasi baru), dan mencari solusi yang menyeluruh (Fletcher dan Pike, 2007). Sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan sistem pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki karekateristik 4 12

35 13 serupa baik sumberdaya alami dan manusianya yang secara fisik terhubung melalui laut (Laine dan Kronholm, 2005). Kelompok pesisir lokal merupakan organisasi netral yang mewakili banyak kepentingan dan memiliki peran yang sangat penting dalam melibatkan mayarakat, meningkatkan kesadaran, dan menampung aspirasi (Storrier dan McGlashan, 2006). 2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir Konsep ruang mempunyai beberapa elemen atau unsur yang dapat dilihat secara terpisah, secara bersamaan dan dipergunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu organisasi tata ruang dari kegiatan manusia. Unsur-unsur tata ruang penting adalah jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Keempat unsur ini secara bersamaan menyusun unit tata ruang yang disebut Wilayah. Usaha menetapkan batas-batas wilayah, kerapkali pengelompokan atas kriteria : homogenitas; nodalitas dan unit program atau unit administrasi. Konsep homogenitas menetapkan batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah yaitu pendapatan per kapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran atau keadilan sosial politik seperti identitas wilayah berdasarkan sejarah, budaya dan sebagainya. Konsep nodalitas, menekankan perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah terdapat sifat ketergantungan fungsional. Mendefinisikan konsep disadari penduduk tidak dapat hidup terpisahpisah sedemikian rupa, cenderung berkumpul pada pusat yang spesifik dari kegiatan. Pusat atau kota dan wilayah belakangnya saling tergantung dan tingkat ketergantungan dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang-barang dan pelayanan ataupun komunikasi dan transportasi (Budiharsono, 2006). Setiap wilayah mempunyai satu atau beberapa kota besar sebagai pusat dan diantaranya tertinggi berwujut kota metropolitan dan prinsip dominasi atau pengaruh kota dipakai untuk menetapkan batas wilayah. Konsep administrasi atau unit program, lebih mudah dipahami karena didasarkan perlakuan kebijakan yang sama disebut wilayah perencanaan atau wilayah program. Manfaat konsep ini adalah perencana dan analisisi dapat bekerja dan lebih mudah mengadakan evaluasi dan monitoring program pembangunan. Kelemahannya adalah batas wilayah administrasi tidak sama dengan wilayah fungsional (Budiharsono, 2006). 4 13

36 14 Teori kutub dan pusat pertumbuhan menekankan pada kutub pertumbuhan ruang ekonomi. Teori dipergunakan memahami dan menanggapi masalah di bidang yang menunjukkan hubungan kausal diantara berbagai variabel dalam kerangka utuh di bidang tertentu. Abstraksi ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu : ruang sebagai suatu rencana diagram atau cetak biru; ruang sebagai medan kekuatan-kekuatan dan ruang sebagai suatu keadaan yang homogen. Kutub diartikan vektor dari ruang ekonomi sebagai medan kekuatan. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang menarik. Setiap pusat merupakan pusat penarik dan penolak serta mempunyai medan sendiri dalam gugus medan pusat-pusat lainnya. Unit ekonomi yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi. Persaingan diantara perusahaan-perusahaan sejenis menciptakan keadaan hanya perusahaan kuat saja yang bisa hidup. Peranan dari unit-unit tersebut digambarkan sebagai perusahaan pendorong. Perusahaan-perusahaan pendorong dapat meningkatkan produksi perusahaan lainnya, jika peningkatan produksi tularan, lebih besar dari kenaikan produksi pendorong, maka perusahaan pendorong disebut perusahaan utama. Ciri-ciri perusahaan pendorong antara lain : perusahaan besar dengan modal besar dan tekonologi maju; termasuk ke dalam kelompok industri maju dan cepat tumbuh; mempunyai produktifitas tinggi dan kemampuan besar dalam penerapan teknologi maju; mempunyai posisi penawaran kuat dan hubungan kuat dengan kegiatan lain di wilayah tersebut (Todaro, 1995). Pengertian kutub pertumbuhan didasarkan atas teori keseimbangan dengan menyadari seluruh produksi bukan hanya merupakan penjumlahan produksi dari setiap perusahaan dalam suatu matrik, tetapi merupakan fungsi pengaruh mempengaruhi perusahaan tertentu yang ditimbulkan arus perusahaan-perusahaan lain dan proses rangkaian dinamis menciptakan hubungan ketergantungan serta tumbuh berkembang terus menerus. Konsep dasar sosial ekonomi dari kutub pertumbuhan meliputi : 1. Konsep industri utama dan perusahaan pendorong, berdasarkan karakteristiknya, industri utama dan perusahaan-perusahaan pendorong mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Terdapat gugus perusahaan 4 14

37 15 atau industri kutub pertumbuhan tersebut. Lokasi geografis dapat terjadi berdasarkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja atau fasilitas prasarana; 2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari industri utama dan perusahaan pendorong menimbulkan polarisasi unit-unit lainnya ke kutub pertumbuhan. Aglomerasi ekonomi ditandai : a. economics internal to firm dicirikan dengan biaya produksi rata-rata yang rendah, b. economics external to firm but internal to industry, ditandai penurunan biaya tiap unit produksi karena lokasi tertentu dari industri, seperti dekat dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja trampil. 3. Konsep spred backwash effect dan konsep trikling down effect, konsepkonsep ini mengandung pengertian pemancaran, penyebaran, penetesan dan pengertian penarikan, pengumpulan atau polarisasi yang terjadi diantara hubungan kutub dan wilayah pengaruhnya (hinterland). Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan, ekonomi sosial dan kelembagaan (Todaro, 1995). Strategi kutub dan pusat pertumbuhan telah menarik penentu kebijakan pembangunan karena beberapa alasan antara lain : 1. Berbagai aglomerasi ekonomi cenderung menjadi alasan efisien dalam rangka menekan biaya-biaya; 2. Konsentrasi investasi di titik-titik pertumbuhan spesifik menjadi lebih murah, khususnyanya pembiayaan pemerintah tersebar di wilayahwilayah yang lebih luas dan; 3. Spred effect mengimbas ke sekitar titik pertumbuhan menanggulangi masalah-masalah didaerah terbelakang. Dampak atau manfaat dari strategi kutub dan pertumbuhan dipandang kurang memuaskan, terutama spread effect atau trickling down ke daerah pinggiran (periphery) tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Telaah dan studi dan penelitian dampak strategi kutub dan pusat pertumbuhan menghasilkan pemahaman sebagai berikut : 4 15

38 16 1. Spread effect dari pusat pertumbuhan biasanya lebih kecil dari yang diharapkan, atau lebih kecil dari backwash effect dan memberikan hasil akhir negatif bagi hinterlandnya. Spread effect secara geografis amat terbatas dan sempit, biasanya terbatas commuting area dan berfungsi sesuai dengan ukuran pusat-pusat yang bersangkutan; 2. Peningkatan pendapatan di pusat-pusat berhirarki lebih rendah atau di wilayah pedesaan menyebabkan penggandaan pendapatan yang kuat di pusat-pusat yang jenjang hirarkinya lebih tinggi dan tidak sebaliknya dan tampaknya lebih berorientasi ke atas dari pada ke bawah, dalam sistem jenjang hirarki kota-kota; 3. Kerangka pembangunan lebih luas, khususnya pembangunan tata ruang, agak sulit menerapkan kebijakan pusat pertumbuhan untuk daerahdaerah terbelakang karena kurangnya spread effect dari kota-kota ke daerah hinterland yang lebih luas. Penerapan strategi kutub dan pusat pertumbuhan cenderung gagal karena kekeliruan dalam beberapa hal diantaranya adalah : 1. Seringkali penentu kebijakan membuat keputusan melakukan konsentrasi investasi wilayah yang kondisinya tidak menunjukkan tingginya potensi industri untuk tumbuh didaerah-daerah terbelakang. Daerah industri membutuhkan kondisi tertentu untuk tumbuh, selain faktor investasi semata; 2. Pertumbuhan diprioritaskan pada distribusi atau pemerataan. Kesadaran kutub dan pusat pertumbuhan lebih didasarkan pertimbangan fungsional dari pada berdasarkan geografis yang cenderung diabaikan; 3. Kecenderungan kutub-kutub pertumbuhan mempunyai interaksi dengan kutub-kutub di wilayah lain. Tidak terdapat hubungan dan interaksi yang cukup nyata dengan industri-industri tersebar diwilayah bersangkutan. Seharusnya terdapat interaksi kutub-kutub pertumbuhan berfungsi dengan industri-industri. Industri seharusnya menyediakan input, bahan baku atau bahan setengah jadi bagi industri pendorong atau industriindustri pendorong harus memanfaatkan input dari industri-industri 4 16

39 17 lokal. Di bidang agroindustri, pengolahan hasil perikanan memanfaatkan hasil-hasil tangkapan nelayan lokal di wilayah pedesaan; 4. Adanya batas pertumbuhan atau polarisasi dari kutub dan pusat pertumbuhan, masalah Diseconomics of scale. Industri maju di kotakota, mengalami kemunduran disebabkan diseconomics of scale, seperti masalah efisiensi manajemen perusahaan besar, kenaikan biaya produksi. Manfaat aglomerasi berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi disebabkan ongkos sosial seperti pencemaran suara, udara dan air. Bila tidak diatasi dan tetap dipertahankan, memerlukan biaya tinggi dibebankan kegiatan ekonomi di tempat lain; Kutub dan pusat pertumbuhan tampil di kota-kota yang memiliki kompleks industri pendorong, masalahnya adalah ukuran dari kota tersebut. Pertumbuhan kota menghadapi masalah-masalah perluasan kota, baik disebabkan tata ruang dan topografi, masalah harga tanah, teknologi, fasilitas transportasi, jaringan komunikasi, fasilitas pelayanan sosial dan tata guna lahan. Menanggulangi masalah ini dapat dipecahkan melalui analisa dan teori batas ambang pertumbuhan kota yaitu cara penyebaran kota-kota dengan ukuran-ukuran tertentu dalam sistim tata ruang, terutama di wilayah-wilayah yang kurang maju. 2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (Randall, 1997). Menurut Adrianto (2006), sumberdaya secara awam sering diartikan sebagai sesuatu yang bernilai untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Menurut pandangan ekonomi, paling tidak dikenal tiga sumberdaya yaitu sumberdaya kapital, sumberdaya tenaga kerja dan sumberdaya alam. Sumberdaya kapital menunjuk kepada kelompok sumberdaya yang digunakan untuk menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Sementara sumberdaya tenaga kerja dimaksudkan sebagai kapasitas produktif dari manusia baik secara pisik maupun mental yang terkait dengan kemampuan untuk bekerja atau memproduksi suatu barang dan atau jasa. Sedangkan sumberdaya alam adalah stok materi living 4 17

40 18 maup non living yang terdapat dalam lingkungan pisik secara potensial memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumberdaya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource basesd economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional (BPS, 2008). Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi disebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan sumberdaya alam. Perkembangan pemikiran mengenai perhitungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang biasanya dianggap sebagai penggambaran dari kesejahteraan masyarakat (System of National Accounting / SNA, Growth Domestic Product / GDP dan Net National Product / NNP), ternyata masih mengabaikan perhitungan mengenai penurunan sumberdaya. Perkembangan selanjutnya dalam neo classical ekonomi, pengukuran dengan menggunakan GDP dan NNP, belum menjawab mengenai sumberdaya itu sendiri dalam kaitannya dengan man-made capital, human capital dan natural capital, yang dalam kurun waktu tertentu mengalami depresi dan apresiasi. Natural capital sendiri pada dasarnya menghasilkan barang dan jasa yang tidak dihitung secara utuh dalam prespektif neo-classical economy (Fauzi dan Anna, 2002). Indonesia memiliki modal sumberdaya alam (natural capital) yang besar dan relative masih belum optimal pemanfaatannya, ditambah dengan modal sosial (sosial capital), teknologi dan sumberdaya manusia yang perlu didesain secara komprehensif dalam sebuah aransemen pembangunaan yang tepat dan berkelanjutan. Dengan meletakkan fungsi dan kebijakan ekonomi secara benar sesuai dengan visi ecological economics (EE) maka pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan akhir dari visi ecological economics (EE) adalah suatu keniscayaan, yaitu sebuah konesp pembangunan ekonomi yang lebih arif, meletakkan keseimbangan peran manusia sebagai bagian dari komunitas dan kelestarian ekosistem (Adrianto, 2004b). Nilai keberadaan merupakan katagori nilai yang dimiliki ekosistem pesisir. Nilai keberadaan ekosistem pesisir merupakan nilai kegunaan didapat seseorang atau masyarakat mengetahui ekosistem pesisir terpelihara keberadannya. Keberadaan sistem alam termasuk indivisible in consumtion, kegunaan diperoleh 4 18

41 19 seseorang yang mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem, tidak berkurang hanya karena orang lain juga mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem tersebut. Salah satu wujud nyata adanya nilai keberadaan adalah timbulnya partisipasi didalam usaha merehabilitasi sumberdaya alam yang mengalami kerusakan, partisipasi pelestarian tumbuhan. Kegunaan keberadaan dan ketidakbergunaan karena kepunahan merupakan sumber nilai keberadaan. Pertimbangan dasar penetapan ekosistem pesisir paling tidak menggunakan lima kriteria utama yaitu (Alikodra, 1999) : 1. Keanekaragaman, yaitu sumberdaya pesisir memiliki keanekaragaman yang besar, baik biota maupun ekosistemnya, penting dalam menentukan stabilitas biota dan menjamin sumber genetika yang besar. 2. Keterwakilan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki formasi biota tertentu dan dipergunakan pembaku bagi formasi-formasi sejenis di daerah lain. 3. Keaslian, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi biota maupun fisik sejauh mungkin masih asli atau belum dipengaruhi kegiatan manusia. 4. Kekhasan, yaitu sumberdaya pesisir harus memiliki sifat-sifat yang khas yang tidak diketemukan di daerah lain. 5. Keefektifan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi yang mendukung efektifitas pengelolaan, seperti luas, batas alam seperti sungai, pantai sehingga memudahkan pengawasan dan pengamanan. Bertitik tolak kriteria tampak bahwa kriteria satu sampai lima dapat menjadi sumber adanya nilai keberadaan. Pengembangan konsep nilai keberadaan sangat membantu sebagai penghubung antara ahli ekonomi dan ahli lingkungan di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai Penggunaan adalah nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh seseorang atau masyarakat dari penggunaan barang atau jasa lingkungan saat kini. Penggunaan barang atau jasa lingkungan bersifat konsumtif maupun non konsumtif. Jenis nilai penggunaan digolongkan atas dua nilai penggunaan yaitu nilai penggunaan langsung dan nilai penggunaan tidak langsung (Dahuri, 2000) Surplus konsumen dari sumberdaya pesisir menggunakan asumsi ekosistem pesisir dianggap barang privat. Jumlah responden yang bersedia membayar sama dengan jumlah permintaan dan nilai nominal yang bersedia 4 19

42 20 dibayar responden sama dengan harga dari nilai ekonomi pesisir. Total nilai ekonomi dari sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari nilai pakai dan nilai yang bukan nilai pakai. Nilai pakai adalah nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya terhadap fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem. Nilai-nilai pakai selanjutnya dibagi menjadi nilai-nilai pemanfaatan secara langsung, nilai-nilai dari pemanfaatan secara tidak langsung dan nilai pilihan. Nilai-nilai pemanfaatan secara langsung adalah pemanfaatan sebenarnya. Nilainilai pemanfaatan secara tidak langsung berupa keuntungan-keuntungan berasal dari fungsi-fungsi ekosistem. Nilai-nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang membayar pelestarian sumberdaya pesisir dan laut bagi penggunaan dimasa depan, nilai-nilai pilihan dapat dianggap sebagai premi asuransi dan masyarakat bersedia membayarnya guna menjamin pemanfaatan di masa depan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Pearce & Moran, 1994). Menurut Spinner (2006), kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hubungan manajemen sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan ekspor, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung, dan nilai budaya sumberdaya yang tidak dapat dikuantifikasi dengan uang. Berbagai perististiwa yang merusak ekosistem wilayah, seperti banjir memiliki dampak langsung pada nilai sumberdaya dan mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Melalui upaya-upaya pencegahan dan rehabilitasi kerusakan serta pengelolaan sumberdaya terpadu, integritas ekologi menjadi terjamin dan kegiatan produksi dapat berlangsung berkelanjutan, kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dicapai. Menurut Biro Pusat Statistik, tingkat kesejahteraan dikaji melalui bidang-bidang antara lain : kependudukan, pendidikan dan kesehatan (Suwito, 2005). Salah satu tujuan utama komunitas berbasis pengelolaan sumberdaya pesisir adalah pemberdayaan masyarakat yang kurang beruntung, terdiri dari sebagian besar penduduk pesisir dan seringkali terpengaruh oleh berbagai isu pengelolaan. Pengembangan komunitas haruslah berlandaskan pendekatan pendidikan dan pematangan organisasi komunitas sebagai dasar utama mencapai 4 20

43 21 tujuan yaitu melestarikan sumberdaya, rehabilitasi habitat, dan pengurangan kemiskinan (Balgos, 2005). Mengkombinasikan partisipasi masyarakat, pendidikan lingkungan dan dorongan ekonomi merupakan keputusan yang tepat untuk secara bersama-sama memberikan dukungan kelembagaan dalam jangka panjang dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, akademisi, atau institusi lainnya yang tergabung dalam kerangka kesuksesan penyelenggaraan wilayah laut terlindung/marine Protected Areas (White et al, 2005). 2.4 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan geranasi mendatang untuk memenuhi kebuthan hidupnya. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, tetapi merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak, sehingga pengelolaan pesisir dan laut yang berkelanjutan tidak lepas dari frame pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2000). Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya menjadi issue yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan. Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah dapat dipahami, namun sampai sekarang masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis atau mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan. Khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi atau data dari ekologi, sosial, ekonomi maupun ehtik (Fauzi, 2002). Perikanan sebagai suatu sumberdaya yang bersifat common property dan berada pada suatu 4 21

44 22 tempat yang tidak mudah untuk dipisahkan atau dibagi-bagikan, pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan seorang individu berpengaruh pada individu yang lain. Persoalan eksternalitas tetap muncul saat sumberdaya tersebut dimanfaatkan, wakaupun sumberdaya tersebut terdistribusikan merata menurut waktu dan lokasi. Kondisi sumberdaya perikanan, eksternalitas merupakan dilemma sebuah ciri khas dan membedakannya dari sumberdaya lainnya (Sobari, 2003). Pembangunan perikanan berkelanjutan adalah suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terdapat dua substansi pokok yaitu : 1) konsep kebutuhan mensejahterakan nelayan dan generasi mendatang, 2) gagasan tentang keterbatasan yang bersumber kepada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang (Kusumastanto, 2003). Terdapat beberapa cara pengembangan perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada sektor perikanan, dan penguatan institusional departemen perikanan berupa kolaborasi yang lebih baik dengan departemen lain, ketiga, memecahkan masalah pendanaan, keempat meningkatkan penelitian perikanan dan kelima pengembangan sumberdaya manusia dibidang perikanan (Thorpe et al. 2009). Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong pemerataan serta tegaknya kelembagaan dan kearifan lokal di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir (Masydzulhak, 2006). 4 22

45 23 Revitalisasi perikanan merupakan upaya yang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus. Revitalisasi perikanan itu sendiri memerlukan prasyarat perubahan diantaranya adalah kemauan untuk mengubah pendekatan sektoral menuju pendekatan integratif untuk mengelola sumberdaya perikanan (Dahuri dan Adrianto, 2005). Penurunan yang tajam pada spesies ikan lebih disebabkan oleh terjadinya penangkapan yang berlebihan sebagai akibat dari perubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi pasar bebas (Vetemaa et al, 2005). Komunitas ikan di wilayah pesisir pantai Baltik perubahan yang signifikan terjadi karena faktor eutrofikasi dan suhu air (Adjers et al, 2005). Eutrofikasi merupakan peningkatan kadar nitrogen dan fosfor di laut, diakui sebagai ancaman utama pada ekosistem laut (Nordvarg dan Hakanso, 2002). Statistika penangkapan ikan yang formal sekarang ini masih merupakan satu sumber data yang digunakan secara luas untuk menggambarkan dinamika persediaan ikan (Lajus, Ojaveer, Tammiksaar, 2007). Proses terpadu pengelolaan perikanan meliputi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, pengalokasian sumberdaya dan formulasi serta implementasi, dengan pelaksanaan peraturan yang berpengaruh pada aktivitas perikanan dalam rangka untuk memastikan keberlanjutan produktivitas sumberdaya (FAO, 1997). Pengelolaan perikanan meliputi : 1) mengatur kebijakan dan tujuan budidaya perikanan yang ada maupun potensial serta aktivitas lain terkait dengan pengaruh potensi ekonomi serta kontribusi sosial perikanan untuk tujuan dan kebutuhan lokal maupun nasional; 2) menentukan dan mengimplementasikan tindakan yang penting untuk memungkinkan stakeholders untuk bekerja mencapai tujuan (FAO, 1996). Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal diantarnya meliputi nilai pengetahuan, religi, sosial dan ekonomi. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dalam kerangka co management merupakan tipe cooperatif, pemerintah dan masyarakt terlibat secara bersama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan (Ramadhan, 2006). Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya kesenjangan antara kepercayaan publik seperti konservasi jangka panjang stok perikanan dan lingkungan ekologi dengan adanya keinginan tertentu dari pengguna yang mengeksploitasi sumberdaya 4 23

46 24 perikanan. Terdapat dua faktor utama yang berkontribusi terhadap perilaku nelayan memanfaatkan sumberdaya perikanan yaitu faktor internal dan eskternal. Perilaku positif nelayan merupakan perilaku yang comform, mengikuti prinsip ekonomi dan konservasi, sedangkan perilaku negatif adalah kegiatan destruktif yang berakibat buruk bagi kelestarian sumberdaya perikanan (Amanah, 2006). Masyarakat dan stake holders terkait yang diwakili lembaga adat seharusnya terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Pentingnya untuk mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada dalam masyarakat kedalam suatu model pengelolaan diterjemahkan dalam bentuk co-management, secara ideal masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang setara, perhatian utamanya adalah bagaimana memecahkan masalah dalam sistem pengaturan dan pengawasan (Dubbink and Viiet, 1996). Ancaman terhadap kapasitas keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik akibat aktivitas manusia maupun fenomena alam, menuju sumberdaya pesisir dan lautan secara sektoral dan dapat diatasi melalui pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dengan pendekatan terpadu dan holistik (Efendy, 2005). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), mengamanatkan negara-negara didunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip pengelolaan meliputi : 1) pelaksanan hak menangkap ikan diikuti upaya konservasi; 2) pengelolaan mempertahankan kualitas sumberdaya, keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumberdaya; 4) perumusan kebijakan perikanan; 5) pengelolaan berdasakan prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya; 7) mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) pengintegrasian pengelolaan sumber perikanan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan 10) penegakan hukum (Manggabarani, 2006). 4 24

47 25 Undang-undang 31 tahun 2004 Bab I Pasal 1 menyatakan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan dibidang perikanan, yang dilakukan pemerintah atau otoritas lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati. Pasal 2 menyebutkan, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemeratan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu : 1) meningkatkan taraf hidup nelayan atau pembudidaya skala kecil, 2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, 3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, 4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi protein ikan, 5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya, 6) meningkatkan poduktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, 7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengeloahan ikan, 8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta 9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan, akhirnya sumberdaya mengalami tekanan secara ekologi dan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumberdaya perikanan terdiri atas sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta segala sumberdaya buatan manusia digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Diberlakukannya Undang-undang 32 tahun 2004 membawa konsekuensi berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemda memiliki landasan 4 25

48 26 yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi dan kabupaten kota, yaitu menyusun zonasi kawasan perairan untuk menfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan untuk suatu kawasan tertentu atau suatu sumberdaya tertentu. Membuat rencana aksi yang memuat rencana investasi berbagai sektor, untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara partisipatif yaitu segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan perencanaan pengelolaan tersebut (Dahuri, 2003). Kerangka pembangunan perikanan khususunya perikanan tangkap, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya perikanan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 maupun Undang-undang Perikanan No 9 tahun 1985, diperbaharui Undang-undang Perikanan No. 31 tahun Peran dimaksud adalah memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan, diwujutkan dalam tiga fungsi yaitu (Nikijuluw, 2002) : (1) Fungsi alokasi, dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. (2) Fungsi distribusi, dijalankan pemerintah agar terwujut keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang, disamping keberpihakan pemerintah kepada yang tersisih atau lebih lemah. (3) Fungsi stabilisasi, ditujukan agar pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah sebagai berikut : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil 4 26

49 27 (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan (6) Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah dan daya saing (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan budidaya ikan dan tata ruang. Penyiapan berbagai program pembangunan dalam pengelolaan pesisir dan lautan terpadu harus didasarkan pada kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan setempat. Atas dasar kondisi biofisik dan sosial ekonomi tersebut dapat diimplementasikan berbagai program terkait pelibatan aktif masyarakat pesisir mulai dari perencanaan hingga tindak lanjut program (Amanah, 2004). Kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah peningkatan daya saing komoditas perikanan didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan, sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensinya. Kebijakan pengendalian perikanan tangkap wilayah perairan yang sudah lebih tangkap, pengembangannya kedepan dilakukan melalui prinsip kehati-hatian, membatasi penambahan upaya penangkapan sekaligus mendorong nelayan dapat beralih kegiatan pembudidayaan ikan atau pengolahan, khususunya melalui pengembangan produk. Wilayah padat tangkap, peningkatan mutu lebih didorong guna memberikan penghasilan lebih besar bagi para nelayan. Wilayah perairan yang masih potensial, peningkatan produksi dilakukan secara selektif sesuai jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan memperhitungkan prinsip kelestarian sumberdaya ikan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004). 4 27

50 Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terminologi perencanaan (planning) dan pengelolaan (management) memiliki berbagai interpretasi yang tergantung pada tujuan waktu penggunaan terminologi. Perencanaan merupakan serangkaian proses sebelum melakukan sesuatu dimasa depan, yang memiliki dua komponen yaitu menentukan tujuan yang akan dicapai dimasa depan dan mengidentifikasi langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Perencanaan dapat dikategorikan kedalam dua kelompok besar yaitu perencanaan strategis (strategic planning) dan perencanaan operasional (operasional planning). Perencanaan strategis merupakan level tertinggi dalam perencanaan, jenis perencanaan ini menyediakan kerangka, visi dan misi serta strategi besar untuk mencapai beberapa tujuan spesifik. Perencanaan strategis tidak berisi detail langkah pencapaian tujuan. Rencana pengelolaan pesisir dan laut disusun sebagai sebuah dokumen yang diharapkan mampu mengidentifikasi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir pada saat yang sama mampu memberikan solusi dimasa depan. Terminologi pengelolaan (management) memiliki berbagai makna tergantung dari tujuan dan sudut pandang pelaku. Pengelolaan memiliki makna sebagai proses pengaturan kegiatan sehari-hari untuk mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan pesisir (coastal management) dapat dipandang sebagai proses pengaturan kegiatan sehari-hari yang terjadi di wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi pengelolaan strategis (strategic management) dan pengelolaan operasional (operational management). Pengelolaan strategis memfokuskan pada proses terkendali dari sebuah urusan institusi yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut, lebih berprespektif makro, sedangkan pengelolaan operasional lebih menitik beratkan pengaturan kegiatan sehari-hari di lapangan sehingga berorientasi mikro (Kay and Alder,1999). Perencanaan strategis (strategic planning), perencanaan operasional (operasional planning), pengelolaan strategis (strategic management) dan pengelolaan operasional (operational management) dalam konteks pengelolaan pesisir dan laut di Indonesia, kedua jenis perencanaan dan pengelolaan dapat dilakukan tergantung tujuannnya. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak ada 4 28

51 29 pembedaan yang tegas antara kedua jenis perencanaan dan pengelolaan tersebut dalam kerangka pengelolaan pesisir dan laut (Kusumastanto. 2006). Prinsip pengelolaan wilayah pesisir terdiri dari lima hal yaitu : 1) prinsip pembangunan berkelanjutan; 2) prinsip keterpaduan; 3) prinsip desentralisasi pengelolaan pesisir; 4) prinsip berorientasi pada masyarakat dan 5) prinsip pengelolaan global (Cicin-Sain and Knecht,1998). Kesatuan ekosistem menjadi hal utama dalam pengelolaan perikanan, tetapi para ahli masih mempunyai pendapat yang berbeda pada cara mengukur ekosistem yang sehat serta memasukkannya dalam konsep penilaian kelestarian sumberdaya perikanan. Terdapat kecenderungan meningkatnya perhatian terhadap kontribusi perikanan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan dengan proses globalisasi, industri perikanan merupakan industri yang adaptif, maket-driven dan sektor yang selalu berkembang dalam perkonomian dunia secara global (FAO, 2001). Pengelolaan perikanan memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan seringkali terjadi konflik diantara tujuan-tujuan itu, beberapa contoh tujuan diantaranya adalah penyediaan berkelanjutan, peningkatan efisiensi dan dan keuntungan ekonomi, komunitas wisata yang berkelanjutan dan kondisi kerja yang sehat dan aman bagi para wisatawan. Tujuan ini secara umum selaras dengan tiga tujuan pengembangan secara berkelanjutan yaitu ekologis, ekonomis, dan pengembangan sosial, yang terdapat dalam tujuan regional. Pengembangan secara berkelanjutan seringkali didefinisikan sebagai ketahanan secara ekonomi, ekologi, dan sosial, untuk mencapai tujuan ini menggunakan pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan yang melibatkan beberapa bidang ilmu, di antaranya biologi, ekonomi dan geografi (Heen dan Flaaten, 2007). Kebijakan pengelolaan perikanan tidak akan berhasil optimal apabila dilakukan secara parsial baik dalam konsteks institusi maupun pengelolaan itu sendiri. Kabijakan dan strategi penguatan kapasitas kelembagaan yang berorientasi pada isu dan permasalahan internasional menjadi sangat pentin dan merupakan komplemen dari strategi kebijakan yang sudah ada dan harus dipandang sebuah pendekatan holistic dan komprehensif (Adrianto, 2004a). 4 29

52 30 Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) yaitu tangkapan maksimm yang lestari. Inti pendekatan ini adalah setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasias produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi pendekatan pengelolaan dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya karena pendekatan MSY tidak mempertimbangan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2000). Pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menjadikan kebijkan nyata dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia harus segera dilaksanakan. Peluang keberhasilan implementasi pengelolaan wilayah pesisir paling tidak didukung oleh adanya dua kebijakan yaitu pertama, lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang akan memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk mengelola kawasan psisir dan laut, kedua terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan menjadi lokomotif penggerak pembangunan kelautan dan perikanan nasional termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Karena kedua hal tersebut, partisipasi dan komitmen para stakeholder untuk mewujutkan pembangunan pesisir secara lestari merupakan faktor penentu utama (Adrianto dan Kususmastanto, 2004). Pendekatan ekosistem perikanan diadopsi meliputi penggabungan dua hal yang berbeda tetapi berhubungan dengan harapan dapat menyatukan paradigma. Pertama yaitu pengelolaan ekosistem bertujuan untuk mencapai tujuan dari penghematan struktur, keberagaman dan fungsi ekosistem melalui tindakan pengelolaan yang fokus pada komponen biofisikal ekosistem. Kedua yaitu pengelolaan perikanan bertujuan untuk mencapai tujuan dari pemuasan kebutuhan manusia dan sosial akan makanan dan keuntungan ekonomi melalui tindakan pengelolaan yang berfokus pada aktivitas mencari ikan dan sasaran sumberdaya. Dua paradigma ini cenderung terbagi ke dua perspektif yang berbeda, tetapi 4 30

53 31 konsep pengembangan berkelanjutan membutuhkan keduanya untuk menjadi pendekatan yang lebih menyeluruh untuk menyeimbangkan manusia dan ekosistem. Pendekatan ekosistem perikanan adalah suatu cara implementasi pengembangan berkelanjutan dalam konteks perikanan (FAO, 2003). Pengelolaan perikanan merupakan sebuah proses yang kompleks, membutuhkan integrasi antara ekologi dan biologi sumberdaya dengan sosial ekonomi serta faktor institusi yang mempengaruhi perilaku nelayan dan pembuat keputusan. Tujuan dari bidang yang multidisplin ini adalah untuk membantu pengambil keputusan guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan dari aktivitas perikanan sehingga generasi yang akan datang juga memperoleh manfaat dari sumberdaya (Seijo et al, 1998). Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasimulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO. 1997). Indikator-indikator yang digunakan sebagai alat bantu pengelolaan harus dapat membantu mengkomunikasikan secara jelas, efektif dan dapat dipertanggung jawabkan dalam aspek pengelolaan sumberdaya (FAO, 2001). Widodo dan Nurhakim (2002), mengemukakan pengelolaan sumberdaya ikan, pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disatu sisi dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi di sisi lain. Pengelolaan sumberdaya ikan harus mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemnafaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan sumberdaya ikan, serta upayah konservasi ikan untuk kepentingan generasi mendatang. Secara umum tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah : (1) Menjaga kelestarian produksi, melalui regulasi serta tindakan perbaikan. (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Dalam pengelolaan perikanan khususnya pada saat penangkapan, terdapat suatu mekanisme yang lazim dilakukan penangkap ikan yaitu pembuangan, merupakan bagian penangkapan yang tersisa di kapal selama penangkapan ikan secara komersial dan dikembalikan lagi ke laut. Pembuangan ini meliputi spesies 4 31

54 32 komersial, bahan-bahan komersial tapi tidak dapat dijual, dan organisme yang dapat dijual. Pola pembuangan ditentukan oleh faktor lingkungan dan sosial termasuk peraturan dan kebiasaan nelayan terutama ditentukan kebijaksanaan nelayan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Mekanisme ini memberikan dampak negatif secara ekonomi dan ekologi seperti hilangnya pendapatan yang potensial dan juga sumber pangan bagi manusia serta dampak pada ekosistem laut (Catchpole, Frid, dan Gray, 2005). Penyusunan kebijakan perikanan dan kelautan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berisi faktor-faktor strategis, bersifat makro kebijakan yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi proses pengambilan keputusan yang terkait dengan sektor perikanan dan kelautan. Untuk itu diperlukan tiga pilar sebagai penopang implementasi kebijakan perikanan dan kelautan yaitu : 1) integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan perikanan dan kelautan; 2) implementasi kebijakan perikanan dan kelautan; 3) pendidikan dan riset perikanan dan kelautan yang kuat. Ketiga pilar ini merupakan satu kesatuan yang dapat digunakan sebagai landasan bagi disain sekaligus implementasi kebijakan perikanan dan kelautan nasional (Soewardi dan Adrianto, 2005) Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan Sektor perikanan di berbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap pembangunan wilayah, pembangunan daerah memungkinkan peningkatan pemerataan menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur. Pengembangan sektor perikanan di Indonesia didukung besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki dan tuntutan pasar yang semakin meningkat. Kebijakan ekonomi nasional berorientasi ekonomi kerakyatan berbasis perikanan perlu dikembangkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat pertumbuhan perekonomian. Pengembangan sektor perikanan menjadi penekanan pembangunan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Keberhasilan pembangunan sektor perikanan akhirnya berdampak positif bagi pengembangan industri perikanan hulu dan industri perikanan hilir (Wardoyo, 1992). 4 32

55 33 Pengembangan sektor perikanan menyangkut berbagai aspek yang mampu menumbuhkan kegiatan produktif lainnya saling terkait, saling mendukung dan saling menguntungkan, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, mulai dari sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hingga sub sistem pemasarannya. Pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah dapat dipandang sebagai jembatan dalam mewujutkan industri yang meningkatkan nilai tambah. Industrialisasi sektor perikanan dapat menjadi jembatan antara hasil perikanan sebagai bahan baku dengan teknologi pengelohannya. Sektor perikanan relatif tidak terpengaruh adanya krisis ekonomi dan dapat dijadikan sektor unggulan bagi pemulihan perekonomian nasional. Peran strategis sektor perikanan sebagai sektor unggulan antara lain : 1. Berbahan baku lokal, tidak tergantung komponen impor untuk proses produksinya, 2. Meningkatkan devisa karena umumnya berorientasi ekspor, 3. Memiliki dimesi pemerataan karena kuatnya keterkaitan kedepan dan kebelakang dengan penggerak utamanya nelayan dan para pengusaha. Secara tidak langsung pembangunan sektor perikanan dapat ditempuh melalui transformasi sektor perikanan subsisten ke arah modern (Solahuddin, 1999). Sektor perikanan dapat menjadi salah satu sektor unggulan, jika pembangunan sektor perikanan memperhatikan arah pengembangan dan sasaran sektor perikanan. Pengembangan sektor perikanan diarahkan mencapai komoditi yang berdaya saing, berkeunggulan komparatif serta berwawasan lingkungan, sasarannya adalah peningkatan peran serta sumberdaya manusia agar bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. Jenis komoditi atau produk sektor perikanan yang perlu dikembangkan adalah komoditi berciri antara lain : 1. berdaya saing tinggi, 2. termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat secara luas, 3. berdampak luas terhadap sektor ekonomi lainnya (Lukmana, 1995). Nasution (1999) menambahkan strategi peningkatan daya saing sektor perikanan dalam rangka memasuki era pasar global, antara lain melalui : 4 33

56 34 1. Restrukturisasi ekonomi perikanan dalam arti luas; 2. Peningkatan investasi; 3. Penataan keterkaitan dengan sektor lain dan; 4. Peningkatan peran serta pemerintah dan swasta. Salah satu indikator utama menilai kemampuan bersaing suatu komoditas dari perusahaan adalah ukuran produktivitas, menunjukkan seberapa jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki (input) terhadap output yang dihasilkan. Pengukuran produktivitas merupakan langkah awal yang menentukan proses perbaikan maupun peningkatan performasi unjuk kerja perusahaan. Produk memiliki daya saing tinggi jika terdapat upaya penciptaan nilai tambah produk. Tiga penciptaan nilai tambah produk yaitu : 1. Pemilihan produk strategis, yaitu produk yang secara riil berpotensi memiliki pasar domestik dan global; 2. Peningkatan kualitas unit terkecil dari sistem iptek industri-pemasaran yang memiliki unsur SDM, teknologi, modal, sistem dan organisasi; 3. Pengenalan inovasi teknologi setiap tahap transformasi industri untuk meningkatkan impuls nilai tambah dan keunggulan kompetitif (Djojodihardjo, 1997). Menurut Sahardjo (1992) dasar upaya pengembangan adalah : 1. Industri berdaya saing kuat dan peluang pasar yang cukup luas, perlu didorong pengembangannya terutama industri pengolahan bahan baku yang dapat diperbaharui; 2. Perlu dilakukan pengkajian dalam pemilihan teknologi yang tepat; 3. Perlu dikembangkan dukungan litbang terapan secara bertahap; 4. Menciptakan keterkaitan yang luas antara sektor pertanian dan sektor industri sehingga mendorong peningkatan nilai tambah dan menambah kegiatan ekonomi di daerah melalui pengaruh gandanya dan mendorong pengembangan zona industri, kantong-kantong industri, kawasan industri dan sentra-sentra industri kecil. Usaha budidaya perikanan sangat beragam dan berhubungan dengan faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut pandang sosial, perkembangan percepatan ekonomi di daerah pesisir meliputi pematangan kelembagaan 4 34

57 35 organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya (Guillemot et al, 2009). Indikasi ekonomi perikanan tangkap seringkali diperhitungkan diberbagai Negara, dalam jangka pendek meliputi pembukuan dan pengawasan pelaksanaan. Dalam jangka panjang lebih menyoroti tentang investasi modal yang digunakan. (Floc h et al, 2008). Keuntungan sosial dan aktifitas ekonomi diwilayah pesisir dan berbagai kegiatan kelautan berujung pada kesejahteraan masyarakat pesisir dan untuk kebaikan perekonomian nasional. Kebijakan konservasi sumber daya alam dan kelestarian budaya haruslah seimbang dengan perkembangan kebijakan, sehingga tidak membatasi keuntungan sosial ekonomi dan kesempatan pengembangan (Cicin-Sain dan Belfiore, 2005). Peningkatan teknologi budidaya perairan menyebabkan adanya peningkatan produksi ikan meliputi budidaya perikanan secara ilmiah, produksi bibit, praktik penggabungan budidaya ikan dengan pertanian yang terintegrasi, dan pengelolaan perusahaan bersamaan dengan komersialisasi pakan ikan yang telah merevolusi praktik perikanan dibeberapa negara (Ninan dan Sharma, 2006). Kekayaan biodiversitas terumbu karang merupakan tempat berkumpulnya ikanikan yang mendukung sektor perikanan, berkaitan erat dengan keberlanjutan ketersediaan pangan dan kebutuhan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di seluruh wilayah Pasifik (L C L Teh et al, 2009). Salah satu cara lain untuk mengembangkan perikanan yaitu dengan memanfaatkan kekuatan angin lepas pantai. Namun keuntungan dari metode ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sejumlah variabel yang berhubungan dengan lingkungan dan juga spesies ikan yang ada di sekitar fasilitas tersebut (Fayram dan Risi, 2007). 2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian yang mengkaji investasi salah satunya dilakukan Hadi (2001), salah satu tujuannya adalah mempelajari perubahan kebijakan pembangunan, investasi dalam bentuk pengeluaran pembangunan pemerintah dan adanya desentralisasi pengelolaan serta peningkatan investasi swasta terhadap pemerataan pembangunan wilayah terhadap disparitas ekonomi Kawasan Indonesia Timur. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antar Regional Kawasan Indoneisa Timur dan Barat sebagai kerangka kerja dan 4 35

58 36 analisisnya. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut antara lain adalah : kebijakan pengembangan investasi dalam sektor industri manufaktur dan perdagangan internasional yang terpusat di Kawasan Indonesia Barat menyebabkan sektor industri manufaktur berkembang di Kawasan Indonesia Barat. Analisis pengganda menunjukkan nilai tambah dari adanya injeksi ekonomi dimasing-masing wilayah berjalan tidak seimbang. Penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (1999) mengenai kajian kebutuhan invstasi pembangunan perikanan dalam pembangunan lima tahun mendatang ( ) menggunakan pendekatan analisis Tabel I-O tahun 1995 mendapatkan hasil sebagai berikut, nilai ICOR sub sektor perikanan berkisar antara 2,75-3,95 mengindikasikan sub sektor perikanan mempunyai prospek yang cukup baik bagi investasi yang ditanam. ICOR Sub sektor perikanan sebesar 3,55 mengindikasikan sektor perikanan relative efisien untuk penanaman modal. Kebutuhan investasi yang diperlukan kurun waktu sebesar Rp. 16,45 trilyun dengan asumsi pertumbuhan GDP sebesar 6 % per tahun. Susanti (2003) melalukan penelitian tentang dampak perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia menghasilkan kesimpulan diantaranya adalah ; pengaruh peningkatan investasi sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum berpengaruh positif serta menimbulkan peningkatan output sektoral. Pengaruh dari perubahan produktifitas juga memberikan hasil yang sama yakni perubahan produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja memberikan pengaruh meningkatkan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan secara parsial. Konsumsi rumah tangga sektoral mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output sektor perikanan mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan-penawaran. Nababan (2008) mengadakan penelitian tentang tinjauan aspek ekonomi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah, menghasilkan atribut yang paling berpengaruh terhadap penentuan indeks 4 36

59 37 keberlanjutan dari segi ekonomi adalah tingkat subsidi, besarnya pemasaran perikanan, sifat kepemilikan sarana penangkapan dan alternatif pekerjaan dan pendapatan. Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi ekonomi adalah sebesar 50,51 (cukup berkelanjutan). Hamdan (2006) mengadakan penelitian tentang analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat dengan tujuan penelitian ; mereview potensi SDI dan tingkat pemanfaatannya, mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap dan menentukan faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil peneltian diantaranya adalah status keberlanjutan yang terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan, nilai indeksnya semua berada di bawah 50 berarti kebijakan pengelolaan perikanan tangkap tidak berkelanjutan. Tiga aspek penting berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Penelitian tentang peranan sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan Sobari (2007) bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan sektor perikanan dan kelautan, menganalisis peranan sektor perikanan dan kelautan di lihat dari indikator pendapatan wlayah dan tenaga kerja, serta menetapkan alternatif strategi pengembangan sektor perikanan dan kelautan di kabupaten Kendal. Hasil peneltian diantaranya adalah kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB dari tahun 1999 sampai tahun 2003 berkisar antara 1,48 % - 1,69 %. Trend kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB cenderung menigkat. Sektor perikanan dan kelautan berdasarkan indikator pendapatan wilayah, memberikan dampak yang positif dan cenderung meningkat terhadap pembanguan wilayah. Dampak sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan wilayah berdasarkan tenaga kerja cenderung menurun. Alternatif strategi yang diprioritaskan untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan adalah : 1) melakukan pengembangan pengusahaan sektor perikanan dan kelautan dengan memanfaatkan potensi sektor perikanan dan kelautan yang besar, tenaga kerja perikanan dan aksesibility yang mudah didapat serta adanya dukungan pemerintah daerah lewat program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, guna 4 37

60 38 memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor; 2) membuka dan mengembangkan usaha baru dengan memanfaatkan potensi yang ada serta peluang adanya surplus permintaan karena belum terpenuhinya produk perikanan, seiring dengan meningkatnya pola konsumsi masyarakat. Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisisi tabel input output, dilakukan oleh Razali (1996), di Kabupaten Sabang, dengan melihat sejauh mana peran sektor perikanan dalam perekonomian Sabang. Penelitian tersebut menggunakan beberapa metode analisi antara lain : 1) metode input output (non survey metode RAS), 2) analisis perubahan struktur perekonomian, yaitu melihat perubahan sumbangan relatif sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kurun waktu tertentu, 3) analisis komponen utama dan 4) metode deskriptif. Hasil penelitian menyatakan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output, nilai tambah bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor perikanan belum termasuk salah satu sektor unggulan, karena memiliki nilai keterkaitan dan nilai pengganda yang masih relatif kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Mudzakir (2003) meneliti tentang dampak pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian Jawa Tengah, penelitian bertujuan antara lain menganalisis : 1) besarnya potensi dan kontribusi sumberdaya perikanan pada perekonomian Jawa tengah, 2) Struktur perekonomian jawa Tengah dan peranan sektor perikanan dalam perekonomian Jawa Tengah pada pembentukan output, permintaan antara dan permintaan akhir. Hasil penelitian menyatakan bahwa sektor perikanan di Jawa Tengah memiliki potensi sumberdaya perikanan yang besar, baik sumberdaya ikan maupun sumberdaya perairan lainnya dan berpotensi untuk menghasilkan devisa negara, karena sifat usaha perikanan dengan input dari lokal serta dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk. Investasi di jawa Tengah masih didominasi sektor yang secara langsung berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pembangunan. Sektor perikanan belum merupakan sektor unggulan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian Jawa Tengah. 4 38

61 39 3. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya. Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (manmade). Sumberdaya alam di wilayah pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non renewable resources). Sumberdaya alam yang dapat pulih satu diantaranya adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya alam yang dapat pulih, pemanfaatannya memerlukan pengelolaan yang tepat dan terintegrasi. Hal ini diperlukan guna menjamin kelestarian sumberdaya alam untuk kepentingan generasi yang akan datang, serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam. Wilayah pesisir pada umumnya merupakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang dominan adalah perikanan. Pengembangan sektor perikanan menjadi penekanan pembangunan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Sektor perikanan diberbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap pembangunan wilayah. Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan dan sosial ekonomi. Kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Dalam perekonomian yang luas, hubungan antar kegiatan ekonomi menunjukkan keterkaitan yang kuat dan dinamis. Kemajuan di satu sektor tidak dapat dicapai tanpa dukungan sektor lain. Hubungan manajemen 39

62 40 sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang menarik Hasil analisis diketahui bagaimana perkembangan sektor wilayah dibandingkan secara relative sektor-sektor lainnya, apakah tumbuh secara cepat atau lambat. Pendekatan pembangunan wilayah yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi makro cenderung mengakibatkan terjadinya disparitas pembanguan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi dipusat pertumbuhan, sementara wilayah belakangnya mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan (Rustiadi, 2005). Ketidakseimbangan (disparity) pembangunan wilayah diartikan sebagai keterkaitan yang bersifat asimetris dan dapat memperlemah pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Ketidakseimbangan atau disparitas dari pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Paradigma keterkaitan antar wilayah, suatu kesejahteraan harus didistribusikan secara berkeadilan keseluruh wilayah, untuk itu dibutuhkan kebijakan atau program yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujutkan pembangunan wilayah yang berimbang (Rustiadi, 2005). Salah satu permasalahan utama pengelolaan wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir. Wilayah pesisir yang memiliki sumbedaya melimpah, namun pada saat yang bersamaan kemiskinan di wilayah pesisir merebak diwilayah ini. Secara teoritis, berdasarkan metode pengukurannya kemiskinan masyarakat pesisir dapat digolongkan dalam kemiskinan absolut dankemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan pendekatan garis kemiskinan (poverty line) sedangkan kemiskinan relatif diukur dari perbandingan pendapatan anatar kelompok rumahtangga. Kemiskinan masyarakat pesisir merupakan hal yang nyata (Kusumastanto, 2006). 40

63 41 Menurut Rustiadi (2005), beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Aspek geografi, suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi variasi spasial kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dimiliki. Salah satu contoh kebijakan yang mengakibatkan munculnya disparitas wilayah adalah beberapa kebijakan yang lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat-pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang luar biasa. Di Jawa Timur secara makro dapat dilihat ketimpangan pembangunan signifikan antara perkembangan wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur. Disparitas pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong pemerataan dan kearifan lokal di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir. Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. 41

64 42 Indikator-indikator yang digunakan sebagai alat bantu pengelolaan harus dapat membantu mengkomunikasikan secara jelas, efektif dan dapat dipertanggung jawabkan dalam aspek pengelolaan sumberdaya. Secara diagramatik kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada gambar 1 berikut : Ekosistem Pesisir dan Laut Jawa Timur Pengembangan Sumberdaya Alam Karakteristik Utara dan Selatan Pengelolaan Sumberdaya eksisting Peran Pemerintah Disparitas Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Tidak Ada Disparitas Umpan Balik Parameter Disparitas Ekonomi Ada Strategi Integrasi Pengelolaan Utara Pengelolaan Selatan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 42

65 43 Asumsi penelitian dari : 1. Setiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor; 2. Dalam proses produksi, hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding kenaikan atau penurunan output sektor tersebut; 3. Efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masingmasing sektor secara terpisah berarti diluar sistim input output semua pengaruh dari luar diabaikan. 3.2 Hipotesis Terdapat disparitas perkembangan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur yang disebabkan oleh disparitas pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi Kebaharuan Penelitian Kebaharuan penelitian (novelty) adalah 1) aspek teori : penelitian ini merupakan penjabaran dan pembuktian lebih lanjut tentang disparitas pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi terhadap perkembangan wilayah, 2) aspek aplikasi : penelitian ini memfokuskan kepada disparitas perkembangan wilayah pesisir utara-selatan. Aspek teori maupun aspek aplikasi, merupakan kajian pertama kali di Indonesia, diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran bersifat komprehensif dan holistic. 43

66 44 44

67 44 4. METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah wilayah pesisir Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia dengan disparitas ekonomi pembangunan perikanan Utara dan Selatan secara nyata serta yang disebabkan oleh disparitas pengelolaan pesisir dan laut. Gambar 2. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Jawa Timur Wilayah pesisir Utara direpresentasikan oleh Kabupaten Lamongan (Gambar 3) dan sebelah Selatan (Gambar 4) oleh Kabupaten Trenggalek, dengan pertimbangan 1) ketersediaan fasilitas pelabuhan perikanan (pelabuhan perikanan yang dimilikinya berstatus sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara) dan 2) konsentrasi nelayan dan aktivitas perikanan. Kelas pelabuhan sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep 10/Men/2004 tentang Pelabuhan Perikanan adalah : 1) Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 3) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 4) Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan 5) Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Jumlah produksi dan jumlah nelayan di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek merupakan yang terbesar di masing-masing pesisir Utara dan Selatan (Lampiran 84).

68 45 Secara umum pelabuhan perikanan yang berstatus PPS dan PPN, fasilitas kepelabuhannya dapat mendukung perkembangan perikanan di wilayahnya. Pelabuhan perikanan berstatus PPP, PPI atau TPI masih diperlukan peningkatan pembangunan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan. Gambar 3. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Lamogan Gambar 4. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Selatan direpresentasikan Oleh Kabupaten Trenggalek

69 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. 1) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis perkembangan wilayah pesisir dan laut adalah : PDRB Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek per Kecamatan menurut sektor tahun 2004 dan 2007, data sarana prasarana perkembangan wilayah indikator kependudukan, kependidikan dan kesehatan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek tahun 2004 dan ) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut terhadap perkembangan wilayah pesisir dan laut : tabel input output transaksi domestik atas dasar harga konstan Provinsi Jawa Tmur tahun 2000 klasifikasi 20 sektor, dan data perekonomian regional Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek dalam angka tahun 2004 dan ) Data sekunder yang diperlukan guna menganalisis pemetaan potensi ekonomi wilayah pesisir dan laut adalah data perekonomian regional Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek per Kecamatan dan per sektor dalam angka tahun 2004 dan ) Data sekunder hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Trenggalek. 4.3 Metode Analisis Analisis Keragaan Perikanan Hasil tangkapan adalah output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan merupakan input dari kegiatan penangkapan. Besaran atau nilai dari catch per unit effort (CPUE) menggambarkan tingkat produktifitas dari upaya penangkapan, semakin tinggi nilai CPUE menunjukkan tingkat produktifitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi. CPUE merupakan nlai yang dihasilkan dari perbandingan jumlah produksi dan jumlah upaya tangkap (Dajan, 1983) : a. Rumus menghitung CPUE (ton/trip) b. Rumus menghitung CPUE Standard (ton/trip)

70 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Wilayah Pesisir Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses menghasilkan rumusan informasi pendukung bagi pemerintah dalam menyusun sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan seharusnya didasarkan pada kerangka logika keilmuan serta kondisi riil dilapangan. Tabel 1 memperlihatkan matrik analisis pemetaan potensi ekonomi wilayah pesisir dan laut. Tabel 1. Matrik Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir dan Laut No Parameter Formula Deskripsi 1. Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi 2. Pangsa Sektotal Tiap Lokasi 3. Pangsa Lokal Tiap Sektor 4. Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi 5. Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Nilai R i, j1,j2, t < α, pada tahun t, keberadaan x j2 di lokasi i bersifat melimpah relatif terhadap keberadaan x jx (atau keberadaan x fl di lokasi i bersifat langka relatif terhadap keberadaan x j2 ). Nilai ps i, j, t mendekati angka 100% pada tahun t, untuk lokasi i, sector y merupakan sektor dominan relatif terhadap sektor-sektor lainnya. Nilai pl i, j, t yang mendekati angka 100% pada tahun t, untuk sektor j, lokasi i lebih dominan relatif thdp lokasi-lokasi lainnya Nilai cs i, t yang mendekati angka 1 pada tahun t, lokasi i lebih terkonsentrasi (terspesialisasikan) pada sektor-sektor tertentu. Nilai cl j, t yang mendekati angka 1 pada tahun t, sektor j lebih terkonsentrasi (terlokalisasikan) di lokasi-lokasi tertentu. 6. Kuota Lokasi Nilai LQ i, j, t,yang lebih besar dari angka 1 sektor perikanan laut merupakan sektor basis. 7. Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor 8. Dayasaing Lokal Tiap Sektor Sumber : Saefulhakim, S Nilai IDE i, t yang mendekati angka 100 pada tahun t, lokasi i memiliki diversitas (keberagaman) sektor yang lebih tinggl Nilai DS i, j, t0, t1 yang positif (>0) antara periode tahun t 0 sd. t 1 laju pertumbuhan lokasi i untuk sektor j lebih cepat relatif thdp laju pertumbuhan sektor j secara agregat wilayah. Sektor j, lokasi i lokasi dayasaing (kompetitif). Angka negatif sektor j lokasi i bukan sektor yang kompetitif.

71 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Untuk menganalisis perkembangan wilayah pesisir digunakan analisis Shift Share yaitu suatu teknik analisis perkembangan wilayah atas dasar potensi sumberdaya alam (natural capital). Sedangkan untuk menganalisis herarki wilayah pesisir indikator sosial digunakan analisis komponen utama dan menganalisis herarki wilayah pesisir indikator man-made capital digunakan analisis Skalogram (Budiharsono, 2006). (1) Analisis Shift Share Perkembangan Wilayah Pesisir Ketiga komponen pertumbuhan regional, komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut jika dalam Kabupaten terdapat m daerah kecamatan ( j = 1, 2, 3,..., m ) dan n sektor ekonomi ( i =1,2,3,..., n ) maka perubahan tersebut diatas dapat dinyatakan sebagai berikut (Budiharsono, 2006) : Y ij = PR ij + PP ij + PPW ij Atau secara rinci dapat dinyatakan sebagai berkut : Y ij Y ij = Y ij = Y ij (Ra-1) + Y ij (Ri-Ra) + Y ij (ri-ri) Dimana : Y ij = perubahan dalam kesempatan kerja/produksi sektor i pada wilayah ke j Y ij = produksi/tenaga kerja sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis Y ij = produksi/tenaga kerja sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja sektor i pada tahun dasar analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja sektor i pada tahun akhir analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja pada tahun dasar analisis = Produk domestik regional bruto (PDRB) atau tenaga kerja pada tahun akhir analisis

72 49 Dimana : r i = Y ij / Y ij R i = Y i. / Y i. R a = Y.. / Y.. (ri-1) = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja pada sektor i kec ke j (R a -1) = PR ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan regional. (R i -R a ) = PP ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan poporsional (r i -R i ) = PPW ij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah Kriteria pengambilan keputusan : Jika PP ij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j pertumbuhannya bersifat lambat. Jika PP ij > 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j pertumbuhannya bersifat cepat. Jika PPWij < 0 wilayah ke j tidak mempunyai comparatif advantage untuk sektor ke i jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Jika PPWij > 0 wilayah ke j mempunyai comparatif advantage untuk sektor ke i jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. PB ij = PP ij + PPW ij PB.j = PP.j + PPW.j Dimana : PBij PB.j = pergeseran bersih sektor i pada wilayah j = pergeseran bersih wilayah j Kriteria pengambilan keputusan : Jika PBij < 0, pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk bersifat lambat Jika PBij 0, pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk bersifat progresif Jika PB.j < 0, pertumbuhan wilayah tersebut termasuk bersifat lambat Jika PB.j 0, pertumbuhan wilayah tersebut termasuk bersifat progresif

73 50 (2) Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) Perkembangan Wilayah Metode seleksi variabel seperti ini dilakukan dengan teknik Analisis Komponen Utama (PCA: Principal Components Analysis) (Tanaka, Tarumi dan Wakimoto, 1984). Perangkat lunak yang digunakan adalah STATISTICA for Windows (StatSoft, 2001). Analisis dilakukan terhadap variabel yang telah dibakukan. Nilai baku suatu variabel didefinisikan sebagai simpangan nilai variabel tersebut dari rataannya dibagi dengan simpangan bakunya. Secara matematis definisi ini dapat ditulis sebagai berikut: Dimana : y t : nilai variabel baku ke-j untuk sampel ke-/ x t j : nilai variabel ke-j untuk sampel ke-i x, : rataan nilai variabel ke-j antar sampel i \...n S x : simpangan baku variabel ke-j n : banyaknya sampel pengukuran variabel key Kriteria pengambilan keputusan : Rendah skor - 0,5 Sedang - 0,5 skor 0,5 Tinggi skor > 0,5 (3) Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah Pesisir Sedangkan penentuan herarki wilayah berdasarkan potensi man-made capital pada dasarnya adalah membuat tingkatan berdasarkan fasilitas pelayanan (infrastruktur) yang ada, yang selanjutnya digunakan metode skalogram. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan pemukiman atau wilayah dan kelembagaan

74 51 atau fasilitas pelayanan, dengan data yang diperlukan meliputi jumlah penduduk, jenis dan jumlah fasilitas pelayanan untuk masing-masing wilayah kecamatan (Budiharsono, 2006). Tahapan metode skalogram adalah: 1. kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah penduduk; 2. kecamatan diurutkan berdasakan jumlah jenis fasilitas pelayanan yang ada pada setiap kecamatan; 3. fasilitas-fasilitas tersebut diurutkan berdasarkan jumlah wilayah kecamatan yang memiliki jenis fasilitas tersebut; 4. jenis fasilitas diurutkan berdasarkan jumlah total unit fasilitas; 5. peringkat kecamatan diurutkan berdasarkan jumlah total fasilitas dimiliki oleh masing-masing kecamatan Analisis Kontribusi-Keterkaitan dan Struktur Perekonomian Wilayah Kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur pembangunan nasional dipergunakan analisis input output. Pembentukan output, nilai tambah bruto, pendapatan, permintaan antara dan permintaan akhir dapat diketahui secara langsung dari tabel input output. Dalam suatu model IO, transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel IO harus memenuhi 3 asumsi dasar : 1. asumsi homogenitas yang mensyaratkan setiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan bahwa tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor; 2. asumsi proporsionalitas yang mensyaratkan dalam proses produksi, hubungan antara input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding kenaikan atau penurunan output sektor tersebut; 3. asumsi aditivitas, yaitu suatu asumsi yang menyebutkan efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masingmasing sektor secara terpisah berarti diluar sistim input output semua pengaruh dari luar diabaikan.

75 52 Dengan asumsi-asumsi tersebut, Tabel IO mempunyai keterbatasan antara lain : 1. karena rasio input output tetap konstan sepanjang periode analisis; 2. produsen tak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Hubungan yang tetap ini berarti menunjukkan bahwa apabila input suatu sektor di dua kali lipatkan maka outputnya akan dua kali juga. Asumsi semacam itu menolak adanya pengaruh perubahan teknologi ataupun produktivitas yang berarti perubahan kuantitas dan harga input sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output. Walaupun mengandung keterbatasan dan kelemahan, model IO tetap merupakan alat analisis ekonomi yang lengkap dan komprehensif.analisis input output mempunyai beberapa kelemahan : 1. Model IO hanya bersifat deskriptif dan bebas nilai (netral) dari pandangan kebijakan. Kekuatan Analisis IO mendiskripsikan hubungan antar industri, aspek tekniknya dan karaktersitiknya yang bebas nilai, juga merupakan kelemahannya ketika dilihat dari perspektif lain. 2. Operasi Model IO lemah ketika parameter berubah. Didalamnya juga tidak memasukkan mekanisme untuk menangkap efek substitutsi baik dalam kemajuan teknologi maupun pola perdagangan. 3. Ketika dipertimbangkan sebagai alat perencana maka model IO kurang dapat mengakomodasi perencanaan pemerintah yang seringkali berorientasi pada tujuan (goal oriented). (1) Analisis Kontribusi Perikanan Laut. Untuk mengetahui peranan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor penyedia input (sektor hulu) maupun sebagai sektor pengguna output (sektor hilir) serta dampak yang ditimbulkan terhadap peronomian wilayah diketahui berdasarkan analisis multiplier dan analisis keterkaitan. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Francois Quesnay dan selanjutnya dikembangkan Wassily W. Leontief menggunakan pendekatan hubungan interdependensi antar sektor dalam suatu perekonomian, yang dinyatakan melalui persamaan linear.

76 53 Penerapan model ini mensyaratkan terpenuhinya tiga asumsi dasar, yaitu : 1. homogenitas, menyatakan perubahan suatu sektor hanya menghasilkan barang melalui suatu cara dengan satu susunan input; 2. proporsionalitas, perubahan suatu tingkat output selalu didahului oleh penggunaan input yang seimbang dan 3. additivitas, akibat total pelaksanaan produksi diberbagai sektor dihasilkan masing-masing sektor secara terpisah (BPS, 1995). Tabel 2. Bentuk Umum Tabel Input-Output. / \ Permintaan Antara Permintaan Akhir Alokasi Ouput Sektor Produksi Konsum. Konsum. Pembentuk- Jumlah Rumah Pemerin- kan Modal Stok Ekspor Susunan input 1.. j.. n Tangga tah Tetap i a s p 1 x11.. xij.. xin Rt1 KP1 I1 S1 E1 X1 n n e r p t k o u a t d t r o u i xi1.. xij.. xin Rti KPi Ii Si Ei Xi a r k s i n xn1.. xnj.. xnn Rtn KPn In Sn En Xn / Upah dan Gaji L1.. Lj.. Ln Rumah Tangga Nilai Tambahan Lain V1.. Vj.. Vn Import M1.. Mj.. Mn Jumlah Input X1.. Xj.. Xn \ / Sumber:Nasendi,1986; Miernyk,1957;BPS,1995. Dimana : X ij = banyaknya ouput sektor 1 yang digunakan sebagai input sektor j Y i = permintaan akhir terhadap sektor i = RT i + KP i + I i + S i + E i Sektor dalam baris, menunjukkan alokasi ouput sektor i untuk permintaan antara (intermediate demand) sektor j dan sebagian untuk permintaan akhir. Secara matematis persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :

77 54 i = 1, 2,..., n Dimana : X i = total output sektor i X ij = jumlah output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Y i = permintaan akhir terhadap sektor i Sektor dalam kolom, penggunaan input yang disediakan sektor lain untuk aktivitas produksi. Persamaan matematisnya dapat ditulis : = 1, 2,..., n Dimana : X i = total output sektor j X ij = banyaknya input yang disediakan sektor i untuk memproduksi sektor j G j = input primer dari sektor j = (L j + M j + V j ) L j = upah dan gaji rumah tangga M j = import = nilai tambah lainnya. V j Permintaan antara menunjukkan jumlah penawaran output dari suatu sektor ke sektor lain yang digunakan dalam proses produksi. Permintaan akhir merupakan konsumen akhir terdiri dari : 1. pengeluaran konsumsi rumah tangga 2. pengeluaran konsumsi pemerintah; 3. pembentukan modal tetap; 4. perubahan stok dan; 5. ekspor. Penyusunan Tabel I-O pada penelitian ini menggunakan metode non-survey Table I-O terbaru Provinsi Jawa Timur yang telah tersedia, menggunakan teknik "partial non-survey", metode "RAS". Metode Ras pertama kali diperkenalkan oleh Stone dan Brown, yaitu suatu metode mencari satu set bilangan pengganda baris dan pengganda kolom untuk mendapatkan matriks kuadrant II baru. Matriks A adalah matriks

78 55 koefisien input yang berasal dari kuadrant II dan aij adalah sel-sel matriks, dan a ij terbentuk dua macam pengaruh : a. pengaruh substitusi, seberapa jauh komoditas ini dapat digantikan oleh komoditas lain dalam proses produksi; b. pengaruh fabrikasi (pembuatan), seberapa jauh komoditas j dapat menyerap input antara dari jumlah input yang tersedia. Apabila pengganda substitusi di beri notasir dan pengganda fabrikasi diberi notasi s sedangkan Ao adalah matriks koefisien input nasional maka matriks koefisien input regional adalah : At = r Ao s. Langkah yang ditempuh dalam menurunkan I-O regional dari I-O dasar, yaitu : 1. pada wilayah yang akan dibuat tabelnya dihitung komponen jumlah permintaan antara, input antara, input primer (nilai tambah bruto), permintaan akhir dan input primer masing-masing sektor, 2. kebalikan matriks A (koefisien input tabel I-O) dengan total input sektor. Penyusunan matriks dengan menggunakan pengganda basis ke-r dan pengganda kolom ke-s, berlanjut terus sampai diperoleh suatu matriks, dimana jumlah angka masing-masing baris sama dengan jumlah permintaan antara masing-masing sektor dan jumlah angka masingmasing kolom sama dengan jumlah input antara masing-masing sektor. 1 Koefisien Input (Teknologi) Koefisien input atau koefisien teknologi dalam Tabel I-O diperoleh dari perbandingan antara output sektor i yang digunakan dalam sektor j, atau (X ij ) input total sektor j, (X j ). Input atau koefisien itu a ij, maka : X ij a ij = X j Dimana a ij = koefisien input Dengan koefisien input tersebut disusun matriks sebagai berikut : a 11 x 1 + a 12 x a in x n + Y 1 = X 1 a 21 x 1 + a 22 x a 2n x n + Y 2 = X =.. a n1 x 1 + a n2 x a nn x n + Y n = X n

79 56 Atau dalam bentuk matriks dapat ditulis sebagai berikut : a a 1n x 1 Y 1 X 1 a a 2n x 2 Y 2 X 2 :... : : + : = : a n1... a nn x n Y n X n A X Y X AX + Y = X -----> Y = X - AX > Y = (I - A)X dimana (I-A) disebut Matrik Leontief. Bentuk matriks Leontief selengkapnya adalah sebagai berikut : / \ (1 - a 11 )... a 1n (I - A) = - a n1...(1 - a nn ) \ / Dimana : I : matrik identitas berukuran n x n yang elemennya memuat satu pada diagonalnya dan nol selainnya. X : jumlah output (I - A) : matrik Leontif (I - A) -1 X : matrik kebalikan Leontif Selanjutnya dari persamaan Y = (I-A) X, didapatkan X= (I-A) -1 Y; dimana (I-A) -1 merupakan matriks kebalikan Leontief. Fungsi matriks ini dalam Tabel I-O berguna untuk analisa ekonomi, karena tergambar saling berkaitan antara sektor baik pada tingkat produksi maupun pada tingkat permintaan akhir. (2) Analisis Keterkaitan Sektor Perikanan Laut 1. Keterkaitan Langsung Ke depan Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke depan, digunakan rumus :

80 57 i = 1, 2,.., n Dimana : F i = keterkaitan langsung ke depan X ij = banyaknya output sektor i yang digunakan sektor j X i = total output sektor i (antara dan akhir) a ij = unsur matriks koefisien teknis 2. Keterkaitan Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor, dapat digunakan rumus : i = 1, 2,.., n Dimana : B j = keterkaitan langsung ke belakang X ij = banyaknya input sektor j X j = total output sektor j (antara dan akhir) a ij = unsur matriks koefisien teknis 3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke Depan Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur akibat suatu sektor perikanan terhadap sektor-sektor yang menyediakan output bagi sektor tersebut, baik secara langsung maupun tak langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan digunakan rumus sebagai berikut (Langham, 1982) :

81 58 j = 1, 2,.., n Dimana FLTL i = keterkaitan langsung dan tidak ke depan C ij = unsur kebalikan matriks Leontief terbuka. 4. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Ke belakang Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat untuk mengukur akibat dari suatu sektor yang diteliti terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut, secara langsung maupun tak langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan rumus (Langham, 1982) : i = 1, 2,.., n Dimana BLTL j C ij = keterkaitan langsung dan tidak belakang = unsur kebalikan matriks Leontief terbuka. (3) Analisis Multiplier Effect Sektor Perikanan Laut 1. Pengganda Pendapatan Tipe I Pengganda pendapatan tipe I adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Pengganda pendapatan tipe ini, merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang dirumuskan sebagai berikut: Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :, i = 1, 2,...n

82 59 Dimana MI j = pengganda pendapatan tipe I sektor j P i = koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor i C ij = unsur kebalikan matriks Leontief 2. Pengganda Pendapatan Tipe II Pengganda pendapatan tipe ini, selain menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi. Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :, j = 1, 2,...n Dimana MII j = pengganda pendapatan tipe II sektor j P j D ij = koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j = unsur kebalikan matriks Leontief tertutup. 3. Pengganda Kesempatan Kerja Tipe I Pengganda tenaga kerja adalah besarnya kesempatan kerja yang tersedia pada sektor yang diteliti sebagai akibat penambahan permintaan akhir dari sektor yang bersangkutan sebesar satuan rupiah. Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe I digunakan :, i = 1, 2,...n

83 60 Dimana MLI j = pengganda tenaga kerja tipe I ke j T i T j L i X i C ij = koefisien tenaga kerja sektor ke-i (orang/satuan rupiah) = koefisien tenaga kerja sektor ke-j (orang/satuan rupiah) = Komponen tenaga kerja sektor ke-i = total ouput (satuan rupiah) ke-i = unsur kebalikan matriks Leontief. 4. Pengganda Tenaga Kerja Tipe II Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe II digunakan rumus, i = 1, 2,...n Dimana MLII j = pengganda tenaga kerja tipe II ke j D ij = unsur kebalikan matriks Leontief tertutup. 5. Pengganda Output Sederhana Pengganda output sederhana bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor dalam suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghitung pengganda output sederhana digunakan rumus :, i = 1, 2,..., n Dimana MXS j = pengganda output sederhana sektor j C ij = unsur kebalikan matriks Leontief. 6. Pengganda Output Total Pengganda output total bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di

84 61 dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lainnya, baik secara langsung dan tidak langsung maupun induksi. Untuk menghitung pengganda output total secara sederhana digunakan rumus sebagai berikut :, i = 1, 2,..., n Dimana MXT j = pengganda output total sektor j D ij = unsur kebalikan matriks Leontief tertutup. (4) Analisis Manfaat Investasi Sektor Perikanan Laut 1. Koefisien Penyebaran Analisis ini menunjukkan koefisien kaitan yang memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir untuk semua sektor dalam perekonomian. Koefisien penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief (Sutomo, 1996). Secara matematik dirumuskan sebagai berikut :, i,j = 1,2,..., n Dimana b j = koefisien penyebaran C ij = unsur kebalikan matriks Leontief (I-A) -1 baris ke-i, kolom ke-j = dampak yang ditimbulkan satu unit permintaan akhir sektor ke-i terhadap semua sektor. = dampak yang ditimbulkan satu unit permintaan akhir semua sektorterhadap salah satu sektor.

85 62 2. Kepekaan Penyebaran Kepekaan penyebaran memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir untuk semua sektor di dalam perekonomian. Kepekaan penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief (Sutomo,1995), yang dirumuskan sebagai berikut :, i,j = 1,2,..., n Dimana f i = kepekaan penyebaran C ij = unsur kebalikan matriks Leontief (I-A) -1 baris ke-i, kolom ke-j = dampak yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir sektor ke-i terhadap semua sektor. = dampak yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir semua sektor terhadap salah satu sektor. Apabila nilai indeks bj dari sektor i > 1, hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut memperoleh pengaruh dari sektor lainnya juga tinggi. Dengan perkataan lain, sektor peka terhadap pengaruh sektor lain. Sebaliknya apabila indeks fi dari sektor j > 1, berarti pengaruh sektor tersebut terhadap sektor lainnya juga tinggi (Sutomo, 1996) Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Pengelolaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iterative, adaptif dan partisipatif yang tediri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan harus dievaluasi untuk mengetahui tingkat kesusksesan maupun tingkat kegagalannya, sehingga diperlukan suatu analisis kebijakan (Adrianto, 2007).

86 63 (United Nations dalam Budiharsosno, 2003), kebijakan adalah pedoman untuk bertindak atau lebih lengkapnya adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai kegiatan-kegiatan tertentu atau suatu rencana. (Carl Frederich dalam Budiharsosno, 2003), kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang mencapai tujuan atau mewujutkan sasaran yang diinginkan. Teknik Amoeba digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan kebijakan pembangunan perikanan, indikator-indikator yang dianalisis didasarkan evaluasi program dan bentuk kegiatan pembangunan perikanan. Pada hakekatnya, pendekatan ini dikembangkan berdasarkan kerangka pembangunan berkelanjutan sebagaimana dipersyaratkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries. Dengan pendekatan ini dimungkinkan dilakukan diagnose terhadap kondisi suatu kebijakan berdasarkan hasil pengukuran beberapa indikator (Pitcher and Preikshot, 2001). Aplikasi teknik amoeba dalam penelitian ini didasarkan pada hasil identifikasi berdasarkan indikator CPUE, potensi sumberdaya perikanan (DPSDPI), pembanguan wilayah pesisir (DPWP), kontribusi sebaran perkembangan wilayah pesisir (DKSPWP) dan kebijakan pembangunan perikanan (AK). Teknik amoeba didasarkan pada teknik ordinasi dengan multi dimensional scaling, yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Multi dimensional scaling adalah satu klas prosedur yang menyajikan persepsi secara spasial dengan menggunakan tayangan yang dapat dilihat. Hubungan antara indikator ditunjukkan sebagai hubungan geografis antara titik-titik di dalam suatu ruang multidimensional. Sumbu dari peta spasial diasumsikan menunjukkan dimensi yang dipergunakan dengan menggunakan acuan pengukuran atribut sehingga diperoleh daftar skor untuk setiap dimensi (Supranto, 2004).

87 64 5. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Keragaan Umum Propinsi Jawa Timur Kondisi Geografis Propinsi Jawa Timur terletak hingga Bujur Timur, dan 7 12 hingga 8 48 Lintang Selatan. Luas wilayah Propinsi Jawa Timur mencapai km², terbagi ke dalam empat badan koordinasi wilayah (Bakorwil), 29 kabupaten, sembilan kota, dan 658 kecamatan, desa/kelurahan (2.400 kelurahan dan desa). Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan mencakup 90% luas wilayah Propinsi Jawa Timur. Di sebelah utara, Propinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka, Samudera Indonesia, di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Surabaya sebagai Ibukota Propinsi Jawa Timur. Wilayah Propinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan-barat, merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; zona tengah (gunung berapi), merupakan daerah relatif subur terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi; dan zona utara dan Madura (lipatan), merupakan daerah relatif kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan). Bagian tengah wilayah Jawa Timur terbentang rangkaian pegunungan berapi. Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Dibandingkan wilayah Pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan lebih sedikit. Curah hujan rata-rata mm per tahun, dengan musim hujan selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar C. Suhu tertinggi terjadi pada Oktober dan November (35,3 C), dan terendah di bulan Agustus (19,3 C) dengan kelembaban 39%-97%. Tekanan udara tertinggi di bulan Agustus sebesar 1.012,0 Milibar. Jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan Februari. Rata-rata penyinaran matahari terlama di bulan Agustus, sedangkan terendah di bulan April. Kecepatan angin tertinggi terjadi di bulan Oktober, dan terendah di bulan April (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008).

88 Demografi Jawa Timur merupakan Propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, pada 2008 mencapai jiwa, dengan laju pertumbuhan 0,54%. Pada 2007 jumlah penduduk Jawa Timur tercatat sebanyak jiwa (51% di antaranya adalah perempuan), kepadatan penduduk 814 jiwa/km 2. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibanding di kabupaten. Kota Surabaya sebagai ibukota Propinsi dan sentra kegiatan ekonomi Jawa Timur yang memiliki faktor penarik untuk menjadi daerah tujuan bagi para pencari kerja, pertumbuhan penduduknya sudah semakin jenuh, para pendatang umumnya mencari domisili di kabupaten/kota sekitarnya. Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, selebihnya bekerja di sektor perdagangan (18,80%), sektor jasa (12,78%), dan sektor industri (12,51%). Etnisitas di Jawa Timur relatif heterogen, mayoritas penduduk adalah suku Jawa. Suku Madura mendiami Pulau Madura dan daerah bagian timur, terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Suku Madura tersebar hampir di seluruh kota di Jawa Timur, umumnya mereka bekerja di sektor informal. Penduduk Jawa Timur mayoritas beragama Islam (95,76%), beragama Kristen Protestan 1,98%; Katolik (0,98%); Hindu (0,94%); Budha (0,29%); dan lainnya (0,05%) (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008) Kondisi Perekonomian Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta, dan Propinsi Jawa Barat, kontribusi PDRB Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16%. Perekonomian Jawa Timur ditopang tiga sektor utama : perdagangan, industri, dan pertanian. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur atas dasar harga berlaku (ADHB) pada periode menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan membaiknya kondisi perekonomian. Berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000, menunjukkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur terus membaik, meski pada 2006 terjadi sedikit perlambatan dibanding 2005, antara lain disebabkan dampak negatif kenaikan harga BBM dua kali, dan cukai rokok

89 66 pada 2005, serta dampak luapan lumpur panas Lapindo. Tahun 2008, pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 5,90%, meski masih di atas angka pertumbuhan Melemahnya pertumbuhan ekonomi 2008 antara lain disebabkan dampak krisis ekonomi global. Dampak kenaikan harga BBM dan berlanjutnya dampak lumpur panas Lapindo tidak menghalangi perekonomian Jawa Timur untuk tetap tumbuh pada Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada 2007 meski tertatih-tatih, merangkak naik menjadi 6,11%, atau naik 0,31%. Tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur kembali melambat menjadi 5,90%, atau melemah 0,21% dibanding Hampir seluruh sektor mengalami perlambatan pertumbuhan, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini tumbuh menjadi 9,26%, yang pada 2007 hanya mencapai 10,44%. Pertanian yang diharapkan menjadi sektor unggulan mendongkrak pertumbuhan ekonomi 2008, ternyata mengalami perlambatan akibat kemarau panjang. Pertumbuhan sektor industri pengolahan melambat akibat menurunnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor. Pada 2008, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 16,57% terhadap PDRB, Disparitas Wilayah dan Kondisi Sosial Budaya Tingkat kesenjangan ekonomi antar-wilayah di Jawa Timur pada kurun menunjukkan nilai yang fluktuatif seiring tingkat perubahan PDRB per kapita Jawa Timur, juga dipengaruhi kondisi sosial ekonomi selama kurun tersebut. Kesenjangan antar-kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur sangat dipengaruhi kreativitas pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi dimiliki untuk meningkatkan ouput daerah, yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat setempat. Struktur ekonomi secara nasional mengalami kejutan akibat kenaikan harga BBM, mendorong tingginya laju inflasi pada 2005 yang berdampak terhadap nilai PDRB per kapita karena melemahnya daya beli, kesenjangan antar-wilayah sesudah tahun 2005 menunjukkan kemajuan yang signifikan. Perspektif perbandingan absolut antar-daerah melalui perbandingan nilai PDRB per kapita dan tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap rata-rata capaian Jawa Timur pada 2007, maka diperoleh empat kategori daerah. Pertama,

90 67 umumnya wilayah perkotaan memiliki pertumbuhan sektor-sektor ekonomi tinggi dan PDRB per kapita tinggi di atas rata-rata kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur. Kedua, daerah-daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi PDRB per kapita lebih rendah dibandingkan rata-rata PDRB per kapita Propinsi, menyebar di kabupaten/kota. Ketiga, PDRB per kapita yang tinggi, tetapi pertumbuhan ekonominya rendah, terjadi di Kota Kediri. Keberadaan perusahaan industri rokok berskala nasional di daerah merupakan pendorong nilai PDRB per kapita, meskipun tingginya nilai PDRB per kapita tidak benar-benar mencerminkan tingginya pendapatan masyarakat. Keempat, daerah-daerah PDRB per kapitanya rendah sekaligus pertumbuhan ekonominya juga rendah. Kondisi sosial budaya Jawa Timur secara umum relatif baik, terutama yang menyangkut pelayanan pendidikan, kesehatan. Pendidikan merupakan isu sentral dalam pembangunan berpusat pada rakyat karena salah satu premis pentingnya adalah memperbesar pilihan-pilihan bagi rakyat. Meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, faktor kesehatan menjadi sesuatu yang sangat penting. Jumlah tenaga medis yang berada di unit pelayanan kesehatan pada 2008 secara umum mengalami peningkatan sebesar 2,3%. Jumlah tenaga paramedis di unit pelayanan kesehatan meningkat sebesar 3,2%. Satu tenaga medis melayani penduduk, dan setiap satu tenaga paramedis melayani penduduk. Rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk sebesar 1: jiwa. Ratarata setiap puskesmas memiliki 1-2 puskesmas pembantu. Pondok Bersalin Desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana, dan pelayanan kesehatan lainnya sesuai kemampuan bidan desa. Keberadaan posyandu menyebar sampai tingkat rukun warga dan dusun. Upaya meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan, terutama untuk keluarga miskin dan daerah terpencil, mulai tahun 2006 dilakukan pengembangan puskesmas menjadi puskesmas rawat inap sesuai standar. Pada tahun 2007, jumlah kunjungan rawat jalan di puskesmas sebanyak orang, dan rawat inap puskesmas sebanyak orang. Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas dalam mencari pengobatan pada 2007 mencapai 54,40%. Terdapat kecenderungan masyarakat untuk beralih dari persalinan yang ditolong tenaga non-medis ke tenaga medis. Data Susenas 2008

91 68 menunjukkan, cakupan persalinan tenaga medis pada balita usia 0-4 tahun di Jawa Timur mencapai 88,45% dan 11,55% masyarakat Jawa Timur memanfaatkan tenaga non-medis dalam membantu proses kelahiran. Persentase penolong persalinan tenaga medis di daerah pedesaan lebih rendah dibanding perkotaan. Tahun 2007, panjang jalan raya di Jawa Timur mencapai 3.900,19 kilometer, terbagai atas jalan nasional (1.899,21 km), dan jalan Propinsi (2.000,98 km). 16,06% Dari total panjang jalan tersebut, 16,06% di antaranya dalam kondisi baik, kemudian 65,18% lainnya dalam kondisi sedang, dan sisanya sebesar 18,76% dalam kondisi rusak ringan dan berat. Jika dilihat panjang jalan Propinsi yang 2.000,98 km, maka 5,35% (107,09 km) di antaranya dalam kondisi rusak berat; dan 14,58% (291,68 km) rusak ringan; 75,50% (1.510,63 km) dalam kondisi sedang dan 4,58% (91,58 km) sisanya dalam kondisi baik (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008). Semburan Lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 hingga kini, menyebabkan kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian, sekolah, serta infrastruktur lainnya, seperti jalan tol, jaringan telepon, listrik, air bersih, gas, dan lainnya, di tiga kecamatan tenggelam dalam lumpur, berdampak negatif terhadap aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Perkembangan struktur ruang Jawa Timur mengarah pada dominasi kawasan perkotaan yang mempengaruhi perekonomian wilayah pedesaan. Urbanisasi dan aglomerasi wilayah terus berkembang mengarah ke hierarki perkotaan lebih besar, sehingga primacy kota metropolitan semakin tinggi dibandingkan tingkatan kotakota lainnya. Perkembangan kawasan perkotaan cenderung membesar, dan berpotensi mendorong perkembangan mega-urban, perkembangan perkotaan, dan mengendalikan perkembangan kawasan terbangun di perkotaan serasi dengan kawasan pedesaan sesuai daya dukung, serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, struktur ruang wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Timur dibagi menjadi sembilan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Penentuan sembilan SWP di Jawa Timur berdasarkan kecenderungan pergerakan manusia, barang dan jasa, serta karakteristika wilayah. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa di Jawa Timur cenderung memusat pada titik-titik tertentu, mengarah kepada wilayah yang telah berkembang.

92 69 Pola ruang wilayah Jawa Timur sampai dengan tahun 2005 terbagi atas 11,62% kawasan lindung, dan 88,38% kawasan budidaya. Potensi kawasan budidaya yang sangat besar ini perlu dikelola dan diarahkan pada pencapaian pemanfaatan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Keamanan dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan ruang yang terbebas dari kerawanan bencana; kenyamanan berarti masih dalam batas daya dukungnya; produktif berarti menghasilkan nilai ekonomi; dan berkelanjutan berarti keseimbangan aspek sosial dan lingkungan hidup. 5.2 Keragaan Umum Kabupaten Lamongan Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Lamongan terletak pada sampai dengan Lintang Selatan dan diantara garis bujur timur sampai Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah kurang lebih 1.812,8 km² atau % dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur. Panjang garis pantai sepanjang 47 km, maka wilayah perairan laut Kabupaten Lamongan adalah seluas 902,4 km2. Kabupaten Lamongan dibelah Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi 3 karakteristik yaitu: 1. Bagian Tengah Selatan merupakan daratan rendah relatif agak subur yang membentang dari Kecamatan Kedungpring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung Sugio, Maduran, Sarirejo dan Kembangbahu. 2. Bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu dengan kesuburan sedang, terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro. 3. Bagian Tengah Utara merupakan daerah rawan banjir, meliputi kecamatan Sekaran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Turi, Karangbinagun, Glagah. Batas wilayah administratif Kabupaten Lamongan : Sebelah Utara perbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto, sebelah barat berbatasan dengan Kabupten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten Lamongan terdiri dari daratan rendah ketinggian 0-25 meter seluas 50,17%, meter seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berketinggian di

93 70 atas 100 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kabupaten Lamongan, 72,5% lahannya datar tingkat kemiringan 0-2%, sebagian kecil wilayahnya sangat curam, atau kurang dari 1% (0,16%) tingkat kemirimgan lahan 40%. Tata guna tanah di Kabupaten Lamongan : sawah Hektar, sawah tidak resmi 8.168,56 Hektar, sawah tadah hujan ,80 Hektar, Tegalan ,33 Hektar, pemukiman ,89 Hektar, Tambak 3.497,72 Hektar, kawasan hutan ,00 Hektar, kebun Campuran 212,00 Hektar, Rawa 1.340,00 Hektar, Tanah tandus kritis 889,00 Hektar (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008) Demografi Data Survey Sensus Ekonomi Nasional (susenas) Propinsi Jawa Timur Tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2005 : 1.261,972 jiwa, terdiri dari jiwa (51,26%) perempuan dan jiwa (48,74%) laki-laki. Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan berdasarkan kelompok usia 0-14 tahun sebanyak jiwa, usia tahun sebanyak jiwa, usia 65 ke atas sebanyak jiwa. Banyaknya pencari kerja tamatan SD yang terdaftar : 55 orang, tamatan SMP : 216 orang, tamatan SMU sederajat : orang, tamatan Diploma I/II/III : orang, tamatan sarjana : orang. Pemenuhan lowongan kerja menurut sektor listrik-gas-air 186 orang, bangunan 242 orang, perdagangan 417 orang (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2008) Kondisi Perekonomian Berdasarkan kondisi sumber daya alam yang ada, potensi unggulan daerah Kabupaten Lamongan di sektor pertanian khususnya. Besarnya volume perdagangan di Kabupaten Lamongan khususnya komoditi pertanian, pertambangan dan penggalian dan industri hasil produk lamongan merupakan suatu potensi unggulan daerah yang perlu didukung sistem pemasaran yang efisien dan dukungan sarana prasarana yang baik. Kabupaten Lamongan mempunyai letak strategis diantara pusat-pusat pertumbuhan di Jawa Timur merupakan potensi yang besar untuk dioptimalkan dalam rangka pengembangan wilayah. Model pembangunan ekonomi daerah pendekatan kutub pertumbuhan, menciptakan pusat pertumbuhan khususnya di wilayah pantura dengan pihak

94 71 investor merupakan strategi yang telah dikembangkan selama beberapa tahun. Diharapkan pusat-pusat pertumbuhan tersebut menjadi mesin pertumbuhan perekonomian Kabupaten Lamongan secara keseluruhan tanpa mengesampingkan pengembangan wilayah lainnya. Perkembangan pencapaian kemajuan perekonomian daerah dapat dilihat dari nilai pertumbuhan perekonomian yang dicapai setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi selama Lima tahun terakhir menunjukkan pola kecenderungan yang semakin meningkat, meskipun pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut disadari masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan Nasional. Peranan sektor primer menunjukkan kecenderungan samakin menurun, sektor tersier menunjukkan kecenderungan meningkat Potensi Perikanan Wilayah penangkapan ikan laut di Kabupaten Lamongan sepanjang 47 km. Perkembangan jumlah alat tangkap di sajikan pada Tabel 3, produksi dan nilai produksinya di sajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Kabupaten Lamongan No Jenis Alat Tangkap Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004 Th 2005 Th 2006 Th Purse Seine Payang Besar Pancing Prawe Payang Kecil Gill Net Jumlah Sumber :Kab Lamongan dalam angka Produksi ikan olahan meliputi pengalengan, pindang, asinan, tepung ikan, vilet. Komoditasnya meliputi Cumi (Loligo spp), Layang (Decapterus spp), Kembung (Rastrelliger spp), Tembang (Sardinella fimbriata), Tongkol (Euthynnus spp), Tengiri (Scomberomorus commersoni), Kerapu ( Serranidae).

95 72 Tabel 4. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Lamongan No Tahun Produksi (Ton) Pertumbuhan Produksi (%) Nilai Produksi (Rp. Jt) Pertumb Nilai Produksi (%) , , ,67 6, ,94 3, ,70 3, ,06 1, ,49-0, ,56 2, ,44 0, ,22 2, ,88-10, ,62 36, ,32-10, ,01 36,61 Sumber :Kab Lamongan dalam angka Rata-rata ,56 13,96 Pada Tabel 5 terlihat industri perikanan laut di Kab. Lamongan terdiri dari 32 perusahaan berskala sedang sampai besar yaitu hanya 7,06 % sedangkan skala kecil mencapai 421 perusahaan atau 92,94 % dari total 453 industri perikanan. Tabel 5. Keragaan Jenis, Produksi Utama, Skala Usaha & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kabupaten Lamongan. No Jenis Industri & Produksi Utama Skala Usaha Jml Lokasi Di Kec Status & Jarak dr wil Penghasil ikan 1. Ikan asin Sedang-besar di Brondong 1 di Paciran Wil pesisir Wil pesisir 0 km 7 km 2. Ikan penggaraman Sedang-besar 1 1 di Brondong Wil pesisir 0 km 3 Ikan kering Sedang-besar 2 2 di Brondong Wil pesisir 0 km 4. Ikan pindang Sedang-besar di Brondong Wil pesisir 0 km 5. Es batu balok Sedang-besar 2 1 di Kambangb 1 di Solokuro Wil daratan 54 km Wil daratan 14 km 6. Pengeringan Kecil di Brondong Wil pesisir 0 km 7. Pemindangan Kecil 43 1 di Brondong Wil pesisir 0 km 8. Pendinginan/es-esan Kecil di Brondong Wil pesisir 0 km 9. Petis/trasi Kecil 47 1 di Brondong Wil pesisir 0 km 10. Pengasapan Kecil 61 1 di Brondong Wil pesisir 0 km 11. Tepung Ikan Kecil 4 1 di Brondong Wil pesisir 0 km 12. Kerupuk Kecil 23 1 di Brondong Wil pesisir 0 km Jumlah 453 lokasi di 4 Kec Sumber :Kab Lamongan dalam angka 2008.

96 Keragaan Umum Kabupaten Trenggalek Kondisi Geografis Kabupaten Trenggalek merupakan satu dari 38 (tiga puluh delapan) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur, yang terletak di Kawasan Selatan Jawa Timur (KSJT) yaitu ± 181 km sebelah barat daya dari Kota Surabaya, dengan luas wilayah 1.261,40 km 2 atau Ha. Secara geografis terletak pada koordinat Bujur Timur dan Lintang Selatan, yang memiliki batas-batas administratif, sebagai berikut : 1. Sebelah Utara : Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo 2. Sebelah Timur : Kabupaten Tulungagung 3. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia 4. Sebelah Barat : Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten Trenggalek terdiri dari 14 kecamatan, 152 desa dan 5 kelurahan, 322 dusun/lingkungan, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Kondisi topografi terdiri 2 / 3 bagian wilayah pegunungan dan 1 / 3 bagian wilayah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 sampai dengan di atas permukaan laut, dan dari ketinggian tersebut 53,8% berketinggian m, kemiringan tanah 0% - 7% wilayah dataran rendah dan 7% - 40% wilayah pegunungan. Secara hidrologi, di Kabupaten Trenggalek terdapat Sungai Ngasinan merupakan muara sungai Bagong, Prambon, Pinggir, Nglongah, dan Sungai Tawing. Sungai Ngasinan mengalir ke Parit Agung dan Parit Raya menuju Samudera Indonesia, sungai yang langsung mengalir ke Samudera Indonesia adalah Sungai Gedangan, Konang, Tumpak Nongko dan Sungai Ngemplak. Pola penggunaan tanah yang paling dominan di Kabupaten Trenggalek yaitu untuk hutan negara, mencapai luas Ha (48,43%). Penggunaan tanah kering mencapai 37,19% seluas Ha. tanah sawah mencapai Ha (8,85%). Kabupaten Trenggalek memiliki panjang pantai mencapai ± 96 km yang terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Watulimo, Panggul dan Munjungan. Salah satu pantainya yaitu Pantai Prigi memiliki luas ZEE ± km 2 dengan tingkat eksploitasi sekitar ± 7,54 %.

97 Demografi Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004, jumlah penduduk Kabupaten Trenggalek jiwa jumlah rumah tangga , terdiri dari jiwa penduduk laki-laki (49,78 %) dan jiwa penduduk perempuan (50,22 %). Jumlah penduduk naik 0,30 % dibanding akhir tahun sebelumnya. Kepadatan penduduk Kabupaten Trenggalek 538 jiwa/km 2, tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Panggul sebesar jiwa/km 2, disusul Kecamatan Trenggalek tingkat kepadatan jiwa/km 2, dan tingkat kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Bendungan 290 jiwa/km 2. Salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui jalur pendidikan. Tingkat pendidikan di daerah berkaitan dengan tersedianya fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten Trenggalek sejumlah 453 sekolah, dilengkapi ruang belajar dan didukung murid dan guru. Kecamatan Panggul, Pule dan Dongko merupakan kecamatan terbanyak memiliki SD berkaitan jumlah murid SD yang ditampung dan kondisi geografis yang bergunung-gunung. Jika ditinjau dari kepadatan murid per sekolah, Kecamatan Trenggalek dan Panggul merupakan kecamatan terpadat dengan jumlah murid per sekolah masing-masing 162 dan 159 murid. Angka pengangguran cenderung meningkat periode empat tahun terakhir. Jika pada tahun 1998 sebesar 2,59% maka pada tahun 2002 naik menjadi 3,58% dari total angkatan kerja. Hasil survei angkatan kerja Propinsi Jawa Timur pada tahun 2004, angka pengangguran mencapai 6%. Kualitas kesehatan masyarakat Kabupaten Trenggalek pada umumnya cukup baik. Pemerataan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat baik promotif, preventif, kuratif maupun rahabilitatif dengan sasaran utama yaitu kelompok penduduk rentan kesehatan seperti Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Bayi, Balita dan Ibu Menyusui dilaksanakan terpadu melalui sarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Tahun 2004, kondisi fasilitas kesehatan di Kabupaten Trenggalek terdiri : 1 Rumah Sakit Pemerintah, 2 Rumah Sakit Swasta, 22 Puskesmas, 66 Puskesmas Pembantu, 24 Puskesmas Keliling, 110 Polindes, 834 Posyandu dan 10 apotek. Dari 22 Puskesmas yang ada tahun 2004, terdapat 6 Puskesmas dengan cakupan kunjungan penderita diatas orang pertahun.

98 Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian makro daerah Kabupaten Trenggalek diketahui dari beberapa indikator seperti Pertumbuhan Ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Regional Per Kapita, Tingkat Inflasi dan Indeks Disparitas Wilayah. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Trenggalek selama enam tahun terakhir, cenderung fluktuatif. Upaya-upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Trenggalek nampak hasilnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi 3,18%. Kontribusi terbesar peningkatan pertumbuhan diberikan sektor industri pengolahan 2,56%. Sektor Pertanian dari tahun ke tahun selalu menjadi primadona dalam pembentukan PDRB. Masyarakat Trenggalek masih bersifat agraris karena mayoritas bekerja pada sektor ini. Inflasi yang terjadi di Kabupaten Trenggalek cenderung fluktuatif, mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 46,13%. Dampak dari krisis moneter tahun 1997 yang terasa tahun 1998 diperparah dengan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Untuk mengetahui tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah kecamatan dalam Kabupaten Trenggalek maupun antar kecamatan dalam satu kawasan, bagaimana struktur ekonomi kecamatan, pendapatan Per kapita kecamatan dan tingkat kemakmuran penduduk, dipergunakan indikator ekonomi Indeks Disparitas Wilayah. Hasil perhitungan Indeks Disparitas Wilayah menunjukkan pembangunan selama menyebar merata pada masing-masing wilayah kecamatan. Keragaman antar kecamatan di Kabupaten Trenggalek relatif merata dan kesenjangan antar kecamatan kecil. Kemampuan daya beli masyarakat Trenggalek secara umum untuk mengkonsumsi barang dan jasa mengalami peningkatan sebesar 2,76%. Kabupaten Trenggalek memiliki potensi ekonomi cukup besar untuk dikembangkan antara lain : pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan, industri kecil dan menengah serta pariwisata, seni dan budaya. Kabupaten Trenggalek memiliki potensi perikanan dan kelautan yang dapat dikembangkan baik perikanan laut maupun perikanan darat. Salah satu sektor andalan Kabupaten Trenggalek adalah sektor pariwisata. Obyek wisata yang sering dikunjungi wisatawan adalah wisata alam diantaranya Pantai Prigi.

99 76 Kondisi prasarana dan sarana daerah Kabupaten Trenggalek dapat diketahui dari beberapa indikator seperti panjang Jalan dan jembatan serta sarana telekomunikasi daerah. Sarana prasarana jalan merupakan unsur vital yang dapat menggerakkan dan memperlancar kegiatan perekonomian, pendidikan dan kesehatan di suatu wilayah baik perkotaan maupun perdesaan. Panjang jalan di Kabupaten Trenggalek 859,290 Km, 457,96 Km kondisi baik (53,29%), 220,97 Km kondisi sedang (25,71%), 126,87 Km kondisi rusak ringan (14,76%) dan 53,49 Km kondisi rusak berat (6,22%). Jumlah jembatan di Kabupaten Trengggalek sebanyak 293 buah, yang terdiri dari : 254 jembatan beton, 6 jembatan komposit, 4 jembatan besi dan 29 jembatan kayu Potensi Perikanan Pusat pendaratan perikanan laut di Kabupaten Trenggalek terletak antara, sebelah Utara berbatasan Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo, sebelah Timur Kabupaten Tulungagung, sebelah Selatan Samudra Hindia dan sebelah Barat Kabupaten Ponorogo dan Pacitan. Luas wilayah Kabupaten Trenggalek hektar terdiri 60% pegunungan dan 40 % merupakan daratan rendah. Panjang pantai Selatan Kabupaten Trenggalek ± 96 km, dimana sebagian besar pantainya berbentuk teluk yang terdiri dari Teluk Panggul, Tuluk Mujungan dan yang terbesar adalah Teluk Prigi. Teluk Prigi mempunyai tiga pantai yaitu Pantai Damas yang berada di Desa Karanggandu, Pantai Ngresep yang berada di Desa Tasikmadu dan Desa Prigi, kemudian Pantai Karanggongso termasuk Pasir Putih yang terletak di Dusun Karanggongso Desa Tasikmadu. Teluk Prigi memiliki dasar laut Lumpur bercampur pasir dengan sedikit berbatu karang dan memiliki kedalaman antara m. Sebagian besar Pantai Prigi sudah terbuka dan hanya sebagian kecil masih terdapat hutan. Komoditasnya meliputi Tengiri (Scomberomorus commersoni), Tembang (Sardinella fimbriata), Kembung (Rastrelliger spp), Teri (Stolepharus spp), Lemuru (Sardinella longiceps).

100 77 Tabel 6. Jumlah Nelayan di Kabupaten Trenggalek No Tahun Lokal (org) Pertumb (%) Andon (org) Pertumb (%) Jumlah Pertumb (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , ,54 Sumber :Kab Trenggalek dalam angka Iklim yang ada di Kabupaten Trenggalek terdiri dari musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan yang terbagi menjadi tujuh bulan dan pada musim kemarau terbagi menjadi lima bulan. Pada Tabel 6 terlihat pertumbuhan jumlah nelayan di pesisir selatan ini berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun penurunan dan kenaikannya tidak terlalu besar. Sebagian besar nelayan didominasi nelayan lokal yang rata-rata pertumbuhannya adalah 2,12 persen. Tabel 7. Jumlah dan jenis Alat Tangkap di Kabupaten Trenggalek No Jenis Alat Tangkap Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004 Th 2005 Th 2006 Th Pukat Pantai Jarring Klitik Pukat Cincin Pancing Jaring Angkat Jumlah Sumber :Kab Trenggalek dalam angka Di wilayah pesisir Selatan jenis alat tangkap hanya ada enam jenis yaitu Pukat Pantai, Jaring Klitik, Pukat Cincin, Pancing dan Jaring Angkat. Jumlah alat tangkap tahun fluktuasinya tidak terlalu tinggi.

101 78 Tabel 8. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Trenggalek No Tahun Produksi (Ton) Pertumb. Produksi (%) Nilai Produksi (Rp. Jt) Pertumb. Nilai Prod (%) , , ,10 48, ,28 353, ,50-33, ,57-44, ,60 56, ,14 68, ,40 308, ,79 122, ,30-139, ,70 37, ,10-5, ,60 10,09 Sumber :Kab Trenggalek dalam angka Nilai produksi tahun meningkat sebesar 48 %, tahun berikutnya justru mengalami penurunan 33,01 % dan naik kembali tahun Tahun 2005 mengalami kenaikan yang nyata yaitu 308 %. Tahun 2006 dan 2007 justru mengalami penurunan. Nilai produksi dari tahun ketahun semenjak tahun 2001 sampai tahun 2007 selalu meningkat. Keragaan jenis, produksi utama dan lokasi industri perikanan laut menunjukkan di wilayah pesisir selatan hanya ada satu jenis industri yaitu ikan pindang dengan jumlah industri 24 industri, semuanya berada di Kecamatan Watulimo. Industri yang ada berskala sedang sampai besar, diharapkan industri perikanan dapat menampung produksi nelayan setempat. Tabel 9. Keragaan Jenis, Produksi Utama & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab.Trenggalek. No Jenis Industri & Produksi Utama Skala Usaha Jml Lokasi Di Kec Status & Jarak dr wil Penghasil ikan 1. Ikan pindang Sedang-besar di Watulimo Wil pesisir 0 km Jumlah 24 lokasi di 1 Kec Sumber :Kab Trenggalek dalam angka 2008.

102 79 6. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumerdaya Perikanan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dari waktu ke waktu mengalami perubahan, perubahan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut, dipengaruhi intensitas pemanfaatan berupa penambahan atau pengurangan jumlah unit alat penangkapan ikan atau jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan, serta ketersediaan besarnya stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat pemanfaatan ataupun laju pemanfaatan suatu jenis sumberdaya perikanan selama kurun waktu tertentu, adalah dengan melihat besar kecilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari seluruh upaya penangkapan ikan yang dilakukan. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini didasarkan pada nilai catch per unit effort (CPUE) yang dihasilkan. Penghitungan nilai CPUE untuk mengetahui status pemanfaatan sumberdaya ikan, banyak digunakan beberapa kalangan karena tidak memerlukan penghitungan yang rumit dan dengan biaya rendah. CPUE dapat diperoleh dari data statistik perikanan yang tersedia atau dari hasil pencatatan kegiatan penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Data yang dihasilkan sangat ditentukan pada kemampuan petugas yang ada di tempat pendaratan atau pada kemampuan dalam memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya. Upaya penangkapan dinyatakan dalam satuan upaya penangkapan (jumlah unit alat tangkap, jumlah trip penangkapan ataupun jumlah mata pancing yang digunakan). Jumlah hasil tangkapan ikan (catch) merupakan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh dan upaya penangkapan (effort) merupakan jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Hasil tangkapan ikan (catch) dapat dinyatakan dalam satuan berat (kg atau ton) ataupun satuan ekor ikan yang diperoleh (Uktolseja et al, 1998). Upaya (effort) adalah berbagai sarana atau faktor masukan (input) yang dipergunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan. Pengertian umum dari upaya ini pada dasarnya merupakan indeks dari berbagai faktor masukan seperti tenaga kerja, kapal, jaring (alat tangkap) dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan (Fauzi, 2004). 79

103 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Utara Hasil Tangkapan (Catch) Tahunan Hasil tangkapan ikan di pusat pendaratan perikanan laut di wilayah pesisir Utara dari tahun 2001 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan perkembangan hasil tangkapannya terlihat pada grafik pada Gambar 5 berikut ini : Tabel 10. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Tahun No Tahun Hasil Tangkapan (ton) , , , , , , ,32 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan. Gambar 5. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara Dari Tabel 10 dan Gambar 5 diatas, menunjukkan hasil tangkapan ikan pada tahun kecenderungan meningkat, kemudian menurun tahun 2004 dan meningkat kembali tahun Tahun menunjukkan kecenderungan yang menurun. 80

104 81 Tabel 11. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) No Bulan Rata-rata (Ton) 1 Januari 1.529,64 2 Februari 1.458,27 3 Maret 1.959,85 4 April 1.893,22 5 Mei 2.387,43 6 Juni 2.165,51 7 Juli 3.174,25 8 Agustus 3.285,21 9 September 3.688,90 10 Oktober 3.100,43 11 November 2.316,70 12 Desember 2.074,12 Gambar 6. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 6 diatas, terlihat rata-rata produksi tertinggi terdapat pada bulan September sebesar 3.688,90 ton/bulan sedangkan rata-rata produksi terendah terdapat pada bulan Februari yaitu 1.458,27 ton/bulan. Rata-rata produksi hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir Utara menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu purse seine, payang besar, pancing prawe, payang kecil dan gill net. Kontribusi masing-masing alat tangkap berbeda-beda terhadap 81

105 82 hasil tangkapan secara total, kontribusi terbesar ke yang terkecil secara berurutan adalah payang besar, gill net, pancing prawe, purse seine dan payang kecil. Selengkapnya tersaji pada Tabel 12 dan Gambar 7. Tabel 12. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap (Ton) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) No Tahun Purse Seine Payang Besar Pancing Prawe Payang Kecil Gill Net , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,173 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan Gambar 7. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Rata-rata tiap bulannya penangkapan mengalami fluktuasi memiliki pola fluktuasi yang cukup tajam, seperti yang terlihat pada Tabel 13 dan Gambar 8 dibawah ini. Hasil tangkapan rata-rata mencapai puncak pada bulan September, dan tangkapan rata-rata terendah terjadi pada bulan Pebruari. 82

106 83 Tabel 13. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Ton) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Bulan Tahun Jumlah Ratarata Jan 1.058, , , , , ,19 801, , ,64 Feb 1.478, , , ,98 508, ,86 921, , ,27 Mar 1.243, , , , , , , , ,85 Apr 1.576, , , , , ,06 954, , ,22 Mei 2.345, , , , , ,58 802, , ,43 Juni 1.921, , , , , ,83 807, , ,51 Juli 3.946, , , , , , , , ,25 Agst 2.646, , , , , , , , ,21 Sept 4.581, , , , , , , , ,90 Okt 3.808, , , , , , , , ,43 Nov 2.667, , , , , , , , ,70 Des 1.634, , , , , ,41 799, , ,12 Jumlah , , , , , , , ,68 Rata-rata 2.409, , , , , , ,28 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan Gambar 8. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) 83

107 Upaya Penangkapan (Effort) Perikanan Laut Upaya penangkapan ikan di wilayah pesisir Utara menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu purse seine, payang besar, pancing prawe, payang kecil dan gill net serta perkembangannya dalam kurun waktu tujuh tahun ( ) disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 9 dibawah ini : Tabel 14. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Purse Payang Pancing Payang No Tahun Gill Net Seine Besar Prawe Kecil ,74 421,50 89,17 39,40 375, ,04 337,80 62,31 27,49 358, ,39 265,92 155,80 27,85 393, ,24 282,46 259,61 35,07 175, ,95 287,97 167,43 91,81 359, ,81 387,97 63,87 39,65 306, ,35 582,46 137,98 26,31 513,78 Gambar 9. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) 84

108 85 Waktu pengamatan tujuh tahun ( ), alat tangkap payang besar adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan di wilayah pesisir Utara dibanding alat tangkap lainnya, disebabkan efektivitas alat tangkap payang besar lebih tinggi dibanding alat tangkap yang lainnya disetiap operasi penangkapan. Tabel 15 memperlihatkan rata-rata upaya penangkapan setiap bulan per alat tangkap sangat bebeda-beda. Tabel 15. Rata-rata Upaya Penangkapan (effort) Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Alat Tangkap Bulan Purse Payang Pancing Payang Seine Besar Prawe Kecil Gill Net Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan Tabel 16. Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Purse Seine Payang Besar Pancing Prawe Payang Kecil Gill Net Bulan ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) Jan Feb 25 13, , , , ,33 Mar 26 3, , , , ,13 Apr 23-11, , , , ,49 Mei 27 17, , , , ,12 Juni 30 11, , , , ,10 Juli 20-33, , , , ,42 Agst 21 5, , , , ,65 Sept 28 33, , , , ,88 Okt 25-10, , , , ,56 Nov 23-8, , , , ,77 Des 25 8, , , , ,81 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lamongan 85

109 86 Rata-rata dan fluktuasi upaya penangkapan ikan per bulan per alat tangkap disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 10. Gambar 10. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara (Tahun ) Tujuan untuk mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur diantaranya dapat dilihat melalui tren CPUE per alat tangkap baik di wilayah pesisir Utara maupun di Selatan selama tahun pengamatan 2001 sampai dengan Gambar 11. Tren CPUE Alat Tangkap Purse Seine di Wilayah Pesisir Utara Tahun

110 87 Pada Gambar 11 diatas terlihat CPUE alat tangkap purse seine dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan pada tahun CPUE tahun 2004 sampai 2007 mengalami fluktuasi akan tetapi secara keseluruhan tren perkembangan CPUE relatif stabil dengan tingkat fluktuasi yang tidak terlalu besar. Gambar 12. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Besar di Wilayah Pesisir Utara Tahun CPUE alat tangkap payang besar dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan yang tidak terlalu besar pada tahun 2004 dan CPUE tahun 2003 sampai 2007 cenderung mengalami penurunan yang cukup tajam, bahkan terendah dicapai pada tahun

111 88 Gambar 13. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing Prawe di Wilayah Pesisir Utara Tahun Pada Gambar 13 diatas terlihat CPUE alat tangkap pancing prawe dari tahun 2001 sampai 2002 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan mengalami penurunan pada tahun 2003 dan CPUE tahun 2005 sampai 2006 mengalami kenaikan dan mengalami penurunan kembali pada tahun Gambar 14. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Kecil di Wilayah Pesisir Utara Tahun

112 89 Pada Gambar 14 diatas terlihat CPUE alat tangkap payang kecil dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami kenaikan dan mengalami penurunan sampai pada tahun CPUE tahun mengalami fluktuasi produksi. Gambar 15. Tren CPUE Alat Tangkap Gill Net di Wilayah Pesisir Utara Tahun Pada Gambar 15 diatas terlihat CPUE alat tangkap gill net dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami dinamika kenaikan dan penurunan yang tidak terlau besar yang selanjutnya meningkat tajam tahun CPUE tahun 2005 menurun sangat tajam naik sedikit tahun 2006 mengalami penurunan kembali tahun Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Analisis potensi dan musim penangkapan sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan laut sangat penting untuk mengontrol dan memonitor tingkat eksploitasi penangkapan ikan yang dilakukan terhadap sumberdaya di perairan tersebut. Pola musim yang berlangsung di suatu perairan diantaranya dipengaruhi oleh pola arus Di Indonesia terdapat empat musim penangkapan ikan yaitu mism barat, musim timur, musim peralihan awal tahun dan musim peralihan akhir tahun (Nontji, 1987). Indonesia dipengaruhi musim timur pada bulan Mei-September dan dipengaruhi musim barat yang jatuh pada periode bulan November-Maret, sedangkan bulan April dan Oktober di Indonesia mengalami musim peralihan. 89

113 90 Memasuki bulan April arah angin sudah tidak menentu dan pada periode inilah dikenal sebagai musim peralihan atau pancaroba awal tahun. Siklus ini berlangsung kembali ketika bulan Oktober, dimana arah angin kembali tidak menentu dan dikenal sebagai musim pancaroba akhir tahun (Wyrtki, 1961). Indeks Musim Penangkapan Nilai IMP Juli September Nopember Januari Maret Mei Bulan Juli - Juni Gambar 16. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Utara Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Selatan Hasil Tangkapan (Catch) Tahunan Hasil tangkapan ikan di pusat pendaratan perikanan laut wilayah pesisir Selatan dari tahun 2001 hingga 2007 dapat dilihat pada Tabel 17, sedangkan perkembangan hasil tangkapannya terlihat pada Gambar 17 berikut ini : Tabel 17. Hasil Tangkapan Ikan Laut di Wilayah Pesisir Selatan Tahun No Tahun Hasil Tangkapan (Ton) , , , , , , ,10 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 90

114 91 Gambar 17. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Pusat Pendaratan Perikanan Laut Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Dari Tabel 17 dan Gambar 17 diatas, menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pada tahun menunjukkan kecenderungan yang meningkat, kemudian menurun pada tahun 2004 dan meningkat kembali pada tahun Tahun menunjukkan kecenderungan yang menurun. Tabel 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) No Bulan Rata-rata (Ton) 1 Januari 847,70 2 Februari 743,84 3 Maret 1.188,54 4 April 1.008,09 5 Mei 1.226,15 6 Juni 1.041,21 7 Juli 1.661,22 8 Agustus 1.730,79 9 September 1.890,21 10 Oktober 1.654,01 11 November 1.178,79 12 Desember 1.050,95 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 91

115 92 Gambar 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 18 diatas, terlihat rata-rata produksi tertinggi terdapat pada bulan September sebesar 2.651,62 ton/bulan sedangkan rata-rata produksi terendah terdapat pada bulan Februari yaitu 839,77 ton/bulan. Rata-rata produksi hasil tangkapan ikan di wilayah pesisir Selatan menggunakan alat tangkap utama yaitu pukat pantai, jaring klitik, pukat cincin, pancing dan jaring angkat. Selengkapnya tersaji pada Tabel 19 dan Gambar 19. Tabel 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap (Ton) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Pukat Jaring Pukat Pancing Jaring No Tahun Pantai Klitik Cincin Angkat Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 92

116 93 Gambar 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Rata-rata penangkapan setiap bulan mengalami fluktuasi dengan pola fluktuasi yang cukup tajam, seperti yang terlihat pada Tabel 20 dan Gambar 20 dibawah ini. Hasil tangkapan rata-rata mencapai puncak pada bulan September dan tangkapan rata-rata terendah terjadi pada bulan Pebruari. Tabel 20. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Ton) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Bulan Tahun Jumlah Ratarata Jan 327,91 533,94 496,09 983,93 542, ,27 874, ,91 847,70 Feb 458,12 745,96 532, ,35 234, , , ,88 743,84 Mar 385,07 754,39 338, ,69 704, , , , ,54 Apr 488,27 660,16 851,91 982,30 506, , , , ,09 Mei 726,64 923,33 527, ,67 814, ,52 875, , ,15 Juni 595, ,02 847, , , ,30 881, , ,21 Juli 1.222, , , , , , , , ,22 Agst 819, , , , , , , , ,79 Sept 1.419, , , , , , , , ,21 Okt 1.179, ,43 811,61 775, , , , , ,01 Nov 826, ,33 608,84 741, , , , , ,79 Des 506, ,93 279,51 586, , ,46 872, , ,95 Jumlah 8.954, , , , , , , ,40 Rata-rata 746, ,68 744, , , , ,43 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 93

117 94 Gambar 20. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Upaya Penangkapan (Effort) Perikanan Laut Upaya penangkapan ikan di Wilayah Pesisir Selatan menggunakan jenis alat tangkap utama yaitu pukat pantai, jaring klitik, pukat cincin, pancing dan jaring angkat serta perkembangannya dalam kurun waktu tujuh tahun ( ) disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 21 dibawah ini : Tabel 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) No Tahun Pukat Jaring Pukat Jaring Pancing Pantai Klitik Cincin Angkat ,33 106,46 73,94 109,46 94, ,43 74,05 128,16 44,55 113, ,24 113,77 47,79 58,03 95, ,05 64,26 111,86 156,39 153, ,18 167,84 649,43 243,36 219, ,55 292,77 315,54 286,18 297, ,62 72,29 198,17 69,67 113,40 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 94

118 95 Gambar 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Dalam kurun waktu tujuh tahun ( ), alat tangkap pukat cincin adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan di wilayah pesisir Selatan dibandingkan alat tangkap lainnya, disebabkan efektivitas alat tangkap pukat cincin lebih tinggi dibanding alat tangkap yang lainnya disetiap operasi penangkapan (trip). Tabel 22. Upaya Penangkapan (effort) Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Alat Tangkap Bulan Pukat Jaring Pantai Klitik Pukat Cincin Pancing Jaring Angkat Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek 95

119 96 Tabel 23. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) Pukat Pantai Jarring Klitik Pukat Cincin Pancing Jaring Angkat Bulan ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) ratarata Fluktuasi (%) Jan Feb 37 8, , , , ,33 Mar 32-13, , , , ,71 Apr 36 12, , , , ,00 Mei 32-11, , , , ,70 Juni 34 6, , , , ,78 Juli 35 4, , , , ,36 Agst 36 2, , , , ,00 Sept 39 7, , , , ,33 Okt 40 2, , , , ,00 Nov 30-26, , , , ,05 Des 36 20, , , , ,00 Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Trenggalek Gambar 22. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan (Trip) per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan (Tahun ) 96

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya melalui pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN PELABUHAN TANGLOK GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR (TKP 481)

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN PELABUHAN TANGLOK GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR (TKP 481) IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN PELABUHAN TANGLOK GUNA MENDUKUNG PENGEMBANGAN SEKTOR EKONOMI DI KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR (TKP 481) disusun oleh : MOHAMMAD WAHYU HIDAYAT L2D 099 437 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris dengan berbagai produk unggulan di setiap daerah, maka pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan di Indonesia harus berorientasi pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2007-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU. Oleh: RUDDY SUWANDI

ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU. Oleh: RUDDY SUWANDI ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU Oleh: RUDDY SUWANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ANALISIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintahan pusat kearah

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berkembang, memiliki jumlah penduduk yang besar, dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentunya untuk memajukan perekonomian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci