MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS. (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS. (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG"

Transkripsi

1 MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG 21 Februari 1975

2 Dalam kasus Golder, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia, mengambil keputusannya dalam sidang paripurna berdasar Peraturan 48 dari Peraturan Mahkamah dan terdiri dari para hakim sebagai berikut: Tn. G. BALLADORE PALLIERI, Ketua, Tn. H. MOSLER, Tn. A. VERDROSS, Tn. E. RODENBOURG, Tn. M. ZEKIA, Tn. J. CREMONA, Ny. I. H. PEDERSEN, Tn. T. VILHJALMSSON, Tn. R. RYSSDAL, Tn. A. BOZER, Tn. W. J. GANSHOF VAN DER MEERSCH, Sir Gerald FITZMAURICE, dan juga Tn. M.-A. EISSEN, Panitera dantn. J.F. SMYTH, Wakil Panitera, Setelah dibahas secara tertutup, Memutuskan sebagai berikut: PROSEDUR 1. Kasus Golder diajukan kehadapan Mahkamah oleh Pemerintah Kerajaan Inggris Britania Raya dan Pemerintah Irlandia Utara (selanjutnya disebut Pemerintah).Kasus ini berawal dari pengaduan terhadap Pemerintah Inggris yang diajukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Eropa (selanjutnya disebut Komisi)berdasar Pasal 25 (pas. 25) Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (selanjutnya disebut Konvensi), oleh seorang berkewarganegaraan Inggris, yaitu Tn. Sidney Elmer Golder. Pengaduan ini pertama kali diajukan pada tahun 1969; dan dilengkapi pada bulan April 1970 dan dicatat dengan nomor 4451/70. Laporan Komisi mengenai kasus ini disusun berdasar Pasal 31 (pas. 31) dari Konvensi, diajukan kehadapan Komite Menteri dalam Dewan Eropa pada tanggal 5 Juli Pengaduan Pemerintah, yang disusun berdasar Pasal 48 (pas. 48) dari Konvensi, diajukan ke Mahkamah pada tanggal 27 September 1973 dalam periode tiga bulan sesuai dengan Pasal 32 paragraf 1 danpasal 47 (pas. 32-1, pas. 47). Tujuan pengaduan adalah mengajukan kasus untuk diputuskan oleh Mahkamah, dimana Pemerintah menyatakan keberatan atas pendapat yang

3 dinyatakan oleh Komisi dalam laporan mereka dan dengan pendekatan yang digunakan Komisi dalam menginterpretasikan Konvensi tersebut. 3. Pada tanggal 4 Oktober 1973, Panitera menerima duapuluhlima salinan laporan dari Sekretaris Komisi. 4. Pada tanggal 9 Oktober 1973, Ketua Mahkamah memilih secara acak, dihadapan Panitera, lima nama dari tujuh hakim yang akan duduk sebagai anggota Majelis, SirHumphrey Waldock, hakim terpilih berkewarganegaraan Inggris, dan Tn. G. Balladore Pallieri, Wakil Ketua Mahkamah, bertindak menjadi anggota ex officio berdasar Pasal 43 (pas. 43) Konvensi dan Peraturan 21 paragraf 3 (b) dari Peraturan Mahkamah. Lima hakim terpilih adalah MM. R. Cassin, R. Rodenbourg, A. Favre, T. Vilhjálmsson dan W. Ganshof van der Meersch, (Pasal 43 Konvensi secara singkat, dan Peraturan 21 paragraf 4) (pas. 43). Ketua Mahkamah juga memilih secara acak nama-nama hakim pengganti (Peraturan 2l paragraf 4). Tn. G. Balladore Pallieri kemudian bertindak sebagai Ketua Majelis sesuai Peraturan 21 paragraf Ketua Majelis, menegaskan, melalui Panitera, kepada wakil Pemerintah dan Delegasi Komisi mengenai prosedur yang harus ditaati. Dengan Perintah tertanggal 12 Oktober 1973, Ketua Majelis memutuskan bahwa Pemerintah harus memberikan pernyataan sebelum 3l Januari 1974 dan bahwa Delegasi Komisi dapat mengajukan pernyataan jawaban dalam waktu dua bulan setelah pernyataan Pemerintah diterima. Ketua Majelis juga memerintahkan Panitera untuk meminta Delegasi Komisi menyerahkan dokumen-dokumen utama yang disebutkan dalam laporan kepada Mahkamah. Dokumen-dokumen ini diterima dan dicatat pada tanggal 17 Oktober. Ketua Majelis kemudian mengizinkan perpanjangan atas waktu yang telah ditentukan, hingga 6 Maret 1974 untuk Pemerintah, dan hingga 6 Junidan kemudian 26 Juliuntuk Delegasi Komisi (Perintah tertanggal 21 Januari, 9 April dan 5 Juni 1974). Pernyataan Pemerintah diterima pada 6 Maret 1974 dan pernyataan Komisi dengan dilampiri pengamatan pengacara pemohon pada 26 Juli. 6. Majelis mengadakan pertemuan secara tertutup pada 7 Mei SirGerald Fitzmaurice, yang dipilih sebagai anggota Majelis pada Januari 1974 di kediaman SirHumphrey Waldock, mulai bertugas di Mahkamah sebagai hakim terpilih dengan kewarganegaraan Inggris (Pasal 43 Konvensi dan Peraturan 2 paragraf 3) (pas. 43). Pada hari yang sama, dengan mengingat bahwa kasus ini telah memunculkan pertanyaan serius yang mempengaruhi interpretasi Konvensi, Majelis memutuskan untuk, berdasar Peraturan 48,melepaskan yurisdiksi dalam rangka mengadakan Sidang Paripurna. Tn. Balladore Pallieri, bertindak sebagi Ketua.

4 7. Setelah berkonsultasi dengan pihak Pemerintah dan Delegasi Komisi, Ketua Majelis memutuskan, melalui Perintah tertanggal 6 Agustus 1974, bahwa dengar pendapat lisan akan dimulai pada 11 Oktober. 8. Dengar pendapat umum dilangsungkan pada tanggal 11 dan 12 Oktober 1974 di Gedung Hak Asasi Manusia di Strasbourg. Pihak yang hadir dihadapan Majelis: dari Pemerintah: Tn. P. FIFOOT, Penasehat Hukum, Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran, Pengacara Hukum, Perwakilan dan Penasehat, Sir Francis VALLAT, K.C.M.G., Q.C., Pengajar Hukum Internasional, King s College, London; mantan Penasehat Hukum Kantor Luar Negeri, Tn. G. SLYNN, Q.C., Perekam dari Hereford, Penasehat, dan Sir William DALE, K.C.M.G., mantan Penasehat Hukum Kantor Persemakmuran, Tn. R. M. MORRIS, Pejabat Utama, Kementrian Dalam Negeri, Para Penasehat; dari Komisi: Tn. G. SPERDUTI, Delegasi Utama, Ny. T. OPSAHL dan K. MANGAN, Delegasi, dan Tn. N. TAPP, Q.C., yang telah mewakili pemohon dihadapan Komisi, membantu para Delegasi berdasar Peraturan 29 paragraf 1, kalimat kedua. The Court mendengarkan penjelasan dan pendapat daritn. Fifoot, Sir Francis Vallat dan Tn. Slynn dari Pemerintah dan dari Tn. Sperduti, Tn. Opsahl dantn. Tapp dari Komisi, berikut jawaban mereka atas beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Mahkamah dan oleh beberapa hakim. Pada sesi dengar pendapat, Pemerintah mengeluarkan dokumen tertentu ke hadapan Sidang. FAKTA-FAKTAYANG ADA 9. Fakta-fakta kasus dapat dirangkum sebagai berikut. 10. Pada tahun 1965, Tn. Sidney Elmer Golder, warga negara Inggris yang lahir pada tahun 1923, dihukum di Inggris karena melakukan perampokan dengan kekerasan selama limabelas tahun penjara. Pada tahun 1969, Golder menjalani hukumannya di Penjara Parkhurst di Pulau Wight.

5 11. Pada 24 Oktober 1969malam, terjadi keributan serius di area rekreasi dimana kebetulan Golder berada. Pada tanggal 25 Oktober, petugas penjara, Tn, Laird, yang terlibat dan terluka ketika meredam keributan, membuat pernyataan bahwa ia dapat mengidentifikasi penyerangnya, dimana ia mengatakan:: "Frazer berteriak... dan Frape, Noonan dan seorang tahanan lainnya yang saya lihat, saya rasa bernama Golder... mengayunkan pukulan keras kepada saya." 12. Pada 26 Oktober, Golder, bersama dengan tahanan lain yang dicurigai telah ikut serta dalam keributan tersebut, dipisahkan dari tahanan lain. Pada tanggal 28 dan 30 Oktober, Golder diwawancarai oleh petugas kepolisian. Pada wawancara kedua, ia diberitahu bahwa ia dituduh menyerang seorang petugas penjara; ia diperingatkan bahwa "fakta-fakta yang ada akan dilaporkan untukmempertimbangkan kemungkinan penuntutan terhadapnya karena menyerang petugas penjara sehingga menimbulkan luka tubuh". 13. Golder kemudian menulis surat kepada wakilnya di Parlemen pada 25 Oktober dan 1 November, dan kepada Kepala Kepolisian pada 4 November 1969, mengenai keributan pada 24 Oktober dan kesulitankesulitan yang ia alami sesudahnya; Kepala Penjara menghentikan suratsurat ini dengan alasan Golder tidak mengikuti jalur birokrasi yang berwenang sebelumnya. 14. Pada pernyataan kedua, yang disusun pada tanggal 5 November 1969, Laird menguatkan yang ia katakan sebelumnya, sebagai berikut: "Ketika saya menyebut tahanan Golder, saya mengatakan Saya rasa itu Golder, yang berada disana waktu itu bersama dengan Frazer, Frape dan Noonan, ketika ketiga orang yang saya sebut terakhir melakukan penyerangan terhadap saya. "Jika itu Golder dan saya yakin mengingat melihat dia di dalam kelompok yang meneriakkan kekerasan dan secara umum menyebabkan keributan, tapi saya tidak yakin bahwa ia menyerang saya. "Sesudahnya ketika Noonan dan Frape menarik saya, Frazer juga berada disana tapi saya tidak dapat mengingat siapa narapidana lainnya, tetapi ada beberapa orang disana dimana salah seorangnya berdiri namun saya tidak tahu siapa." Pada tanggal 7 November, petugas penjara lain melaporkan bahwa: "... selama keributan berlangsung pada malam itu sebagian besar waktu saya berada ruang T.V. dengan tahanan lainnya yang tidak terlibat dalam keributan tersebut , Golder berada di ruangan ini dengan saya dan sejauh yang saya tahu ia tidak terlibat dalam keributan tersebut. Keberadaannya bersama saya dapat dikuatkan oleh petugas.yang mengawasi kami berdua dari luar." Golder kemudian dikembalikan ke sel nya pada hari yang sama.

6 15. Sementara itu, pihak berwenang penjara telah mempertimbangkan berbagai pernyataan, dan pada 10 November menyusun daftar tuduhan yang menurut mereka mungkin lebih tepat terhadap para tahanan, termasuk Golder, atas pelanggaran terhadap disiplin penjara. 16. Pada akhirnya tidak ada tuduhan dijatuhkan kepada Golder dan data yang ditulis dalam catatan tahanannya ditandai dengan "tuduhan tidak dilanjutkan". Data tersebut kemudian dihapus dari catatan penjara pada tahun 1971 selama pemeriksaan kasus oleh Komisi. 17. Pada tanggal 20 Maret 1970, Golder mengajukan suatu petisi kepada Menteri Dalam Negeri dari Departemen Dalam Negeri. Ia meminta pemindahan ke penjara lain dan mengatakan: "Saya tahu bahwa sebuah pernyataan yang telah secara salah menuduh saya terlibat dalam kejadian pada 24 October yang lalu, yang dibuat oleh petugas Laird, telah dimasukkan kedalam catatan tahanan saya. Saya mencurigai bahwa pernyataan yang salah inilah yang telah menghalangi saya mendapatkan rekomendasi dari dewan pembebasan bersyarat setempat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. "Saya dengan hormat meminta izin untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud menggugat atas pencemaran nama baik sehubungan dengan adanya pernyataan ini. Atau, saya ingin meminta sebuah pemeriksaan independen atas catatan saya diizinkan oleh Ibu. G.M. Bishop sebagai hakimnya. Saya akan menerima jaminan beliau bahwa pernyataan ini tidak dimasukkan kedalam catatan saya dan saya juga bersedia menyatakan bahwa fitnah terhadap saya ini tidak secara material merugikan saya kecuali kerugian karena ditahan di sel terpisah selama dua minggu dan sebuah gugatan tidak lagi diperlukan, dengan memberikan permintaan maaf kepada saya atas fitnah tersebut..." 18. Di Inggris, masalah hubungan antara tahanan yang telah dihukum dengan pihak lain diluar penjara tempat ia ditahan telah diatur oleh Undang- Undang Penjara tahun 1952, seperti yang telah diubah dan peraturan turunannya dibuat berdasar Undang-Undang tersebut. Bagian 47, sub-bagian I, dari Undang-Undang Penjara menyatakan bahwa "Menteri Dalam Negeri dapat membuat peraturan dan pengaturan tentang tahanan.dan tentang perlakuan..disiplin dan pengawasan terhadap orang-orang yang harus ditahan. Peraturan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dalam penerapan kewenangan ini adalan Peraturan Penjara tahun 1964, yang diajukan dihadapan Parlemen dan telah berstatus sebagai Instrumen Hukum. Pengaturan yang relevan tentang komunikasi antara tahanan dan pihak diluar penjara terdapat dalam Peraturan 33, 34 dan 37 sebagai berikut: "Surat-menyurat dan kunjungan secara umum Peraturan 33 (1) Menteri Dalam Negeri dapat, dengan pertimbangan untuk menegakkan disiplin dan ketertiban atau pencegahan kejahatan terhadap orang lain, memberlakukan

7 larangan-larangan, baik secara umum atau dalam kasus tertentu, dimana komunikasi diperbolehkan antara seorang tahanan dengan orang lain. (2) Kecuali diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan ini, seorang tahanan tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang luar, atau orang yang bersamanya tanpa seizin Menteri Dalam Negeri.... Surat menyurat dan kunjungan secara pribadi Peraturan (8) Seorang tahanan tidak berhak, berdasarkan Peraturan ini, berkomunikasi dengan siapapun yang berkaitan dengan urusan hukum atau urusan lainnya, atau dengan siapapun selain keluarga dan teman, kecuali atas izin Menteri Dalam Negeri. Penasehat Hukum Peraturan 37 (1) Penasehat hukum seorang tahanan dalam segala proses hukum, baik perdata maupun pidana, dimana tahanan tersebut merupakan pihak yang terlibat, maka ia harus diberikan fasilitas yang mencukupi untuk mewawancarai tahanan dalam hal yang berkaitan dengan proses hukum tersebut, dan dapat dilakukan tanpa didengar namun tetap dalam pengawasan seorang petugas. (2) Penasehat hukum seorang tahanan dapat, atas seizin Menteri Dalam Negeri, melakukan wawancara tahanan tersebut yang berkaitan dengan urusan hukum lainnya, dalam pengawasan dan pendengaran seorang petugas." 19. Pada tanggal 6 April 1970, Departemen Dalam Negeri memerintahkan Kepala Penjara untuk memberitahu Golder mengenai jawaban atas petisi yang diajukannya tertanggal 20 Maretsebagai berikut: "Menteri Dalam Negeri telah mempertimbangkan petisi anda secara penuh tapi tidak dapat memenuhi permintaan anda untuk dipindahkan, dan beliau tidak dapat menemukan dasar untuk mengambil tindakan terhadap hal lain yang disebutkan dalam petisi anda. " 20. Dihadapan Komisi, Golder mengajukan dua laporan yang masingmasing berkaitan dengan penghentian surat-suratnya (seperti yang disebutkan diatas dalam paragraf 13) dan mengenai penolakan oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengizinkannya berkonsultasi dengan seorang pengacara. Pada tanggal 30 Maret 1971, Komisi menyatakan bahwa laporan yang pertama diajukan tidak dapat diterima, karena semua solusi internal belum seluruhnya dicoba untuk ditempuh, namun Komisi menerima laporan kedua berdasar Pasal 6 paragraf 1 dan 8 (pas. 6-1, pas. 8) dari Konvensi. 21. Golder dibebaskan dari penjara melalui pembebasan bersyarat pada tanggal 12 Juli Dalam laporan mereka, Komisi menyatakan pendapat: - secara bulat, menyatakan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menjamin hak atas akses ke pengadilan;

8 - secara bulat, menyatakan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), baik berdiri sendiri maupun bersama dengan Pasal lain dalam Konvensi, tidak ada pembatasan hak seorang tahanan yang sedang dihukum untuk melakukan proses hukum dan dalam hal ini memiliki akses yang tidak terbatas untuk mendapatkan seorang pengacara; dan oleh karena itu pembatasan yang diberikan seperti yang dilakukan oleh pihak berwenang Pemerintah Inggris tidak sesuai dengan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1); - dengan tujuh suara melawan dua suara, menyatakan bahwa Pasal 8 paragraf 1 (pas. 8-1) diberlakukan untuk kasus ini; - sama halnya dinyatakan bahwa pelanggaran atas Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) juga dinyatakan sebagai pelanggaran atas Pasal 8 (pas. 8) (oleh delapan suara melawan satu suara, seperti yang dijelaskan kepada Mahkamah oleh Delegasi Utama Komisi pada tanggal 12 Oktober 1974). Komisi kemudian menyatakan pendapatnya bahwa hak atas akses terhadap pengadilan yang telah dijamin oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak dapat dikenai persyaratan "dalam jangka waktu yang wajar". Dalam pengaduan yang membawa kasus ini kehadapan Mahkamah, Pemerintah menyatakan keberatan atas pendapat dari Komisi ini namun mereka memberi pernyataan bahwa Pemerintah tidak lagi ingin mendebat permasalahan ini. 23. Pendapat akhir dibawah ini dinyatakan dihadapan Mahkamah pada sesi dengar pendapat lisan pada tanggaa 12 Oktober 1974 di sore hari. - untuk Pemerintah: "Pemerintah Kerajaan Inggris dengan hormat mengajukan kepada Mahkamah bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi tidak dapat dikaitkan pada pemohon mengenai haknya atas akses terhadap pengadilan, tetapi dapat diterapkan hanya pada hak atas proses apapun yang mungkin ia ajukan untuk didengar secara adil dan sesuai dengan persyaratan lain yang disebutkan dalam paragraf tersebut. Pemerintah selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal ini penolakan Pemerintah Kerajaan Inggris untuk mengijinkan pemohon untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara bukan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 (pas. 6).Sebagai alternatif, jika Mahkamah menjumpai bahwa hak-hak yang diberikan oleh Pasal 6 (pas. 6) termasuk dalam hak atas akses ke pengadilan secara umum, maka Pemerintah Kerajaan Inggris mengajukan pendapat bahwa hak atas akses ke pengadilan tidaklah tidak terbatas bagi orang yang sedang menjalani penahanan, dan oleh sebab itu pemberlakuan pembatasan yang masuk akal terhadap akses ke pengadilan oleh pemohon adalah diperbolehkan demi kepentingan ketertiban dan disiplin penjara, dan bahwa penolakan Pemerintah Kerajaan Inggris untuk mengijinkan pemohon untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara adalah dalam kerangka pembatasan yang diperbolehkan, dan oleh karena itu tidak dapat disebut sebagai pelanggaran atas Pasal 6 (pas. 6) dari Konvensi. Pemerintah Kerajaan Inggris lebih jauh menyatakan bahwa pengendalian terhadap korespondensi pemohon ketika ia berada dalam penjara merupakan konsekuensi yang wajar atas pengurangan kebebasan yang diterimanya, dan oleh karena itu tindakan Pemerintah Kerajaan Inggris bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 8 paragraf 1 (pas. 8-1), dan bahwa tindakan Pemerintah Kerajaan Inggris dalam hal apapun adalah

9 termasuk dalam perkecualian yang dinyatakan oleh Pasal 8 paragraf 2 (past. 8-2), karena pembatasan tersebut diberlakukan sesuai dengan hukum, dan merupakan kekuasaan Pemerintah untuk menilai apakah pembatasan tersebut memang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk mencegah kekacauan atau kejahatan. Dengan pertimbangan tersebut, Bapak Ketua, dengan segala hormat saya meminta Mahkamah yang terhormat ini, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, untuk menyatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris dalam kasus ini tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 6 (pas. 6) ataupun Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental." - untuk Komisi: "Pertanyaan-pertanyaan dimana Mahkamah meminta untuk dijawab adalah sebagai berikut: (1) Apakah Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia melindungi orang perorang yang hendak melakukan proses sipil atas haknya atas akses terhadap pengadilan? (2) Jika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menjamin hak atas akses semacam itu, apakah ada pembatasan yang melekat berkaitan dengan hak ini, atau penerapannya, yang dapat diberlakukan dalam kasus yang diajukan ini? (3) Dapatkan tahanan yang sedang menjalani hukuman yang ingin menulis surat kepada pengacaranya dalam rangka untuk dapat melakukan proses sipil bersandar pada perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi dalam hal korespodensi? (4) Menurut jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan ini, According to the answers given to the foregoing questions, apakah fakta-fakta dalam kasus yang diajukan ini mengungkapkan pelanggarana terhadap Pasal 6 dan Pasal 8 (pas. 6, pas. 8) dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia?" HUKUM YANG ADA I. DALAM HAL PELANGGARAN YANG DITUDUHKAN TERHADAP PASAL 6 PARAGRAF 1 (PAS. 6-1) 24. Paragraf 73, 99 dan 110 dari laporan Komisi menunjukkan bahwa Komisi secara bulat melihat adanya pelanggaran Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Pemerintah tidak setuju atas pendapat ini. 25. Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menyatakan: "Dalamhalhak dan kewajiban sipilseseorang atautindak pidana yang dituduhkankepadanya, setiap orang berhakatas persidangan yang adildanterbukadalam jangka waktu yang wajarolehpengadilan yang independendan tidak memihakyang dibentuk secara sah oleh hukum. Keputusan yang ada harusdibacakansecara terbukatetapipers dan publikdapat dikecualikan dariseluruh atau sebagiandariproses persidangandemi kepentinganmoral, ketertiban umumatau keamanan nasionaldalam suatu masyarakat demokratis, di manakepentingananak dibawah umuratau perlindungankehidupanpribadi dibutuhkan, atausejauhbenar-benar diperlukanmenurut pendapatpengadilan dalam keadaankhusus, dimana publikasijustru akan merugikankepentingan keadilan."

10 26. Dalam kasus yang diajukan, Mahkamah diminta untuk memutuskan dua pertanyaan berbeda yang muncul seperti yang disebutkan diatas sebelumnya: (i) Apakah Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) terbatas hanya menjamin secara substansi hak atas pengadilan yang adil dalam proses hukum yang tertunda, ataukah pasal tersebut juga menjamin hak atas akses ke pengadilan bagi setiap orang yang ingin memulai suatu tindakan agar hak dan kewajiban sipilnya diakui? (ii) Dalam hal yang disebutkan terakhir, apakah ada batasan yang diberlakukan pada hak atas akses atau pada penerapan hak tersebut yang bisa diterapkan dalam kasus ini? A. Mengenai hak atas akses" 27. Mahkamah mengingatkan kembali bahwa pada tanggal 20 Maret 1970 Golder mengajukan petisi kepada Menteri Dalam Negeri meminta izin untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud melakukan gugatan atas pencemaran nama baik terhadap petugas penjara bernama Laird dan kemudian petisi tersebut ditolak pada tanggal 6 April (paragraf 16 dan 18 diatas). Walaupun penolakan Menteri Dalam Negeri secara langsung telah menghalangi Golder untuk menghubungi seorang pengacara, tetapi bukan berarti masalah yang muncul dari kasus ini hanya berkaitan dengan masalah korespondensi dan mengesampingkan segala sesuatu yang terkait dengan akses ke pengadilan. Secara nyata, tidak ada seorangpun yang mengetahui apakah Golder cukup bersikeras dalam mewujudkan tujuannya menggugat Laird jika ia diizinkan untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara. Lebih jauh, informasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada Mahkamah memberi alasan untuk berpikiran bahwa pengadilan di Inggris tidak akan menghentikan sebuah tuntutan yang diajukan oleh tahanan yang sedang menjalani hukuman hanya berdasar pada alasan bahwa ia berhasil membuat suatu surat perintah tertulis dikeluarkan melalui pengacara misalnya tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri sesuai yang disebutkan dalam Peraturan 33 paragraf 2 dan 34 paragraf 8 dari Peraturan Penjara tahun 1964, yang tidak dibagian mana pun dalam kasus ini, hal tersebut terjadi. Meski begitu, pada kenyataannya Golder telah memperjelas bahwa ia bermaksud "melakukan gugatan sipil atas pencemaran nama baik"; adalah untuk tujuan inilah ia ingin menghubungi seorang pengacara, yang merupakan suatu langkah awal yang wajar dalam proses gugatan dan dalam kasus Golder mungkin merupakan langkah penting dikarenakan situasi dirinya yang dalam penahanan. Dengan melarang Golder melakukan kontak

11 dengan seorang pengacara, Menteri Dalam Negeri pada kenyataannya telah menghambat dilakukannya gugatan yang dimaksud. Tanpa secara formal mengingkari hak Golder untuk melakukan proses hukum dihadapan pengadilan, Menteri Dalam Negeri secara nyata telah menghambat Golder melakukan gugatan sipil pada saat itu, yaitu tahun Hambatan terhadap Golder tersebut telah bertentangan dengan Konvensi, seperti halnya dengan hambatan hukum. Adalah benar bahwa seperti yang telah ditekankan oleh Pemerintah untuk memperoleh pembebasan, Golder berada dalam posisi dimana ia bisa meminta bantuan pengadilan sesuai keinginannya, akan tetapi pada bulan Maret dan April tahun 1970 hal ini masih belum terlalu dipahami dan menghalangi penerapan suatu hak secara efektif dapat dihitung sebagai pelanggaran atas hak tersebut, walaupun penghalangan tersebut bersifat sementara. Mahkamah kemudian harus memeriksa apakah penghalangan tersebut telah melanggar suatu hak yang dijamin oleh Konvensi dan terutama oleh Pasal 6 (pas. 6), dimana Golder menyandarkan kasusnya ini. 28. Satu hal yang tidak diperhatikan dan bahkan Mahkamah mengabaikannya: hak yang Golder inginkan untuk, baik benar atau salah, dituntut dari Laird dihadapan pengadilan Inggris adalah hak sipil dalam arti yang dijelaskan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). 29. Selanjutnya, Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak menyatakan suatu hak atas akses ke pengadilan dalam istilah yang jelas. Pasal ini memaparkan mengenai hak-hak yang berbeda namun berasal dari ide dasar yang sama dan dimana, jika disatukan, menjadi satu hak yang tidak secara khusus diartikan dalam istilah yang lebih sempit. Adalah tugas Mahkamah untuk memastikan, dalam hal interpretasi, apakah akses ke pengadilan merupakan satu faktor atau aspek dari hak semacam ini. 30. Pengajuan kasus ini ke Mahkamah sejak awal ditujukan untuk melihat bagaimana Konvensi khususnya Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), harus diinterpretasikan. Mahkamah menyetujui untuk mempertimbangkan, begitu juga dengan Pemerintah dan Komisi, bahwa semua itu dilakukan dengan berpedoman pada Pasal 31 hingga 33 dari Konvensi Wina tertanggal 23 Mei 1969 tentang Hukum Perjanjian. Konvensi tersebut belum diberlakukan dan menjelaskan secara rinci, pada Pasal 4, bahwa Konvensi ini tidak akan bersifat retroaktif, tetapi Pasal 31 hingga 33 darinya memaparkan secara garis besar prinsip-prinsip hukum internasional yang secara umum telah disebutkan oleh Mahkamah. Dalam hal ini, untuk interpretasi Konvensi Eropa akan memperhatikan bahwa pasal-pasal tersebut tunduk pada, bilamana tepat, pada setiap peraturan organisasi yang relevan yaitu Dewan Eropa melalui mana peraturan tersebut diadopsi (Pasal 5 Konvensi Wina).

12 31. Dalam cara yang telah disebutkan dalam peraturan umum dalam Pasal 31 dari Konvensi Wina, proses interpretasi suatu perjanjian adalah satu kesatuan, proses gabungan tunggal; aturan ini, yang erat terintegrasi, berada dalam pijakan yang sama dengan berbagai elemen yang disebutkan dalam empat paragraf dalam Pasal tersebut. 32. Dalam hal Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa, sesuai konteksnya, memberikan alasan untuk berpikiran bahwa hak ini termasuk dalam jaminan yang telah ditentukan sebelumnya. 33. Penjelasan terjelas dapat ditemu dalam teks berbahasa PErancis, kalimat pertama, Dalam hal "contestations civiles" (gugatan sipil) semua orang mempunyai hak atas proses yang dilakukan olehnya atau terhadapnya yang dilakukan dengan cara-cara tertentu - "équitablement" (secara adil), "publiquement" (secara terbuka), "dans un délai raisonnable" (dalam jangka waktu yang masuk akal), dan lain-lain. tetapi juga dan terutama "à ce que sa cause soit entendue" (bahwa kasusnya disidangkan) bukan oleh otoritas apapun tetapi "par un tribunal" (oleh pengadilan atau tribunal) sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) (Keputusan Ringeisen tertanggal 16 Juli 1971, Seri A no. 13, hal. 39, paragraf 95). Pemerintah telah menekankan dengan benar bahwa dalam Bahasa Perancis kata "cause" dapat diartikan sebagai "procès qui se plaide/sidang gugatan" (Littré, Kamus Bahasa Perancis, jilid I, hal. 509, 5o). Walau begitu, hal ini bukanlah satusatunya arti dari kata tersebut; tetapi juga bisa untuk menunjukkan lebih jauh lagi: "semua kepentingan untuk mendukung, menegakkan" (Paul Robert, Kamus Abjad dan analogis bahasa Perancis, jilid I, hal. 666, II-2o). Sama halnya juga, kata "contestation" (tuntutan) secara umum muncul sebelum dimulainya proses hukum dan merupakan konsep terpisah darinya. Sedangkan untuk frase "tribunal indépendant et impartial établi par la loi" (tribunal yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh hukum), memunculkan gagasan pembentukan dan bukan pada fungsinya, kelembagaan ketimbang prosedur. Dalam teks Bahasa Inggris, disebutkan "tribunal yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh hukum". Lebih jauh, frase "dalam menegakkan hak dan kewajiban sipilnya", dimana Pemerintah menggunakannya untuk mendukung argumennya, bukan berarti hanya mengacu pada proses hukum yang sudah tertunda; seperti yang dipahami oleh Komisi, bahwa hal tersebut bisa berarti sama dengan "dimanapun hak dan kewajiban sipilnya ditegakkan" (paragraf 52 laporan). Hal itu juga kemudian berarti hak untuk mendapatkan penentuan atas perselisihan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban sipil oleh pengadilan atau tribunal". Pemerintah telah menyatakan bahwa istilah "sidang yang adil dan terbuka" dan "dalam jangka waktu yang wajar, kalimat kedua paragraf 1

13 ("keputusan", "pengadilan"), dan paragraf Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1, pas. 6-3) secara jelas menunjuk pada suatu proses sebelum dimulainya persidangan. Walaupun hak atas prosedur hukum yang adil, terbuka dan cepat dijamin penerapannya dalam proses hukum yang sedang berlangsung, bukan berarti bahwa hak untuk mengajukan untuk melakukan proses tersebut dapat diabaikan; Delegasi Komisi secara tepat menekankan hal ini pada paragraf 21 dari pernyataan mereka. Disamping itu, dalam hal tindakan pidana, istilah "jangka waktu yang wajar" dapat saja dimulai pada tanggal sebelum persidangan dimulai, oleh pengadilan yang berkompeten dalam "penetapan... suatu tuntutan pidana" (Keputusan Wemhoff 27 Juni 1968, Seri A no. 7, pp , paragraf 19; Keputusan Neumeister 27 Juni l968, Seri A no. 8, p. 41, paragraf 18; Keputusan Ringeisen 16 Juli 1971, Seri A no. 13, p. 45, paragraf 110). Adalah dimungkinkan juga dalam kasus perdata jangka waktu yang wajar dapat segera diterapkan, dalam situasi tertentu, bahkan sebelum dikeluarkannya surat perintah dimulainya proses hukum dihadapan pengadilan, dimana penggugat mengajukan sengketa. 34. Pemerintah lebih jauh mendebat pentingnya menghubungkan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dengan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas 13). Mereka telah meneliti bahwa Pasal 5 tersebut memberikan ketegasan mengenai hak atas akses ke pengadilan; dihilangkannya klausul yang sama dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tampaknya lebih mengena buat mereka. Pemerintah juga telah menyampaikan bahwa jika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) ditafsirkan memberikan hak atas akses, maka Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas 5-4, pas 13) akan menjadi tidak berguna. Delegasi Komisi menjawab bahwa Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13), dibandingkan dengan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), adalah "tambahan" untuk peraturan lainnya. Pasal 5 dan 13 tersebut, menurut mereka, tidak menyebutkan hak tertentu tetapi dirancang untuk dapat memberikan jaminan prosedur, "berdasarkan jalurnya". Yang pertama untuk "hak atas kebebasan", sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 5 paragraf 1 (pas. 5-1), sedangkan yang kedua untuk seluruh "hak dan kebebasan sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi ini". Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), mereka tambahkan, dimaksudkan untuk melindungi "dengan sendirinya" "hak atas tata kelola peradilan yang baik", dimana "hak yang peradilan harus kelola" merupakan "elemen penting dan melekat". Hal ini berguna untuk menjelaskan perbedaan antara susunan kata dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13). Alasan ini bukan tanpa kekuatan meskipun ekspresi "hak atas tata kelola peradilan yang adil (atau baik)", yang kadang-kadang digunakan karena keringkasan dan kemudahannya (sebagai contoh, dalam Keputusan Delcourt 17 Januari 1970, Seri A no. 11, p. 15, paragraf 25), tidak muncul dalam teks

14 Pasal 6 paragraf. 1 (art. 6-1), dan juga dapat dipahami mengacu hanya pada cara kerja peradilan dan bukan pada pengorganisasiannya. Mahkamah berpendapat bahwa interpretasi yang diperdebatkan oleh Pemerintah tidak berarti dapat mengarah pada mencampuradukkan Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dengan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13), ataupun menjadikan pasal yang disebutkan terakhir menjadi tidak berguna. Pasal 13 (pas. 13) berbicara tentang pemulihan efektif dihadapan "otoritas nasional" yang mungkin saja bukan suatu mahkamah atau pengadilan seperti yang dimaksud Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 (pas. 5-4). Lebih jauh, pemulihan efektif berkaitan dengan pelanggaran hak yang telah dijamin oleh Konvensi, sementara Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 (pas. 5-4) mencakup gugatan yang tekait dengan pertama, keberadaan atau ruang lingkup hak sipil dan kedua, terkait dengan keabsahan penangkapan atau penahanan. Terlebih lagi, ketiga peraturan tersebut tidak bekerja di ranah yang sama. Konsep "hak dan kewajiban sipil" (Pasal 6 paragraf. 1) (art. 6-1) adalah tidak sama dengan apa yang disebut "hak dan kebebasan yang diatur dalam Konvensi ini" Pasal 13 (pas. 13), walaupun ada kemungkinan terjadi beberapa tumpang tindih. Sedangkan untuk "hak atas kebebasan" (Pasal 5) (pas. 5), karakter "sipil' darinya dari segala sisi terbuka untuk diperdebatkan (Keputusan Neumeister 27 Juni 1968, Seri A no. 8, p. 43, paragraf 23; Keputusan Matznetter 10 November 1969, Seri A no. 10, p. 35, paragraf 13; Keputusan De Wilde, Ooms dan Versyp 18 Juni 1971, Seri A no. 12, p. 44, paragraf 86). Selain itu, persyaratan Pasal 5 paragraf. 4 (pas. 5-4) dalam aspek tertentu tampak lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan dalam Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1), khususnya yang terkait dengan unsur "waktu". 35. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 paragraf 2 Konvensi Wina, of the Vienna Convention, bagian pembukaan suatu traktat merupakan bagian integral dari keseluruhan perjanjian. Dan bagian pembukaan umumnya sangat berguna dalam mengartikan obyek" dan "tujuan" suatu instrumen yang akan diinterpretasikan. Dalam kasus ini, bagian yang paling signifikan dalam Pembukaan Konvensi Eropa adalah para Pemerintah yang menandatangai dimana mereka menyatakan bahwa mereka "memutuskan, sebagai Pemerintah Negara-negara Eropa yang memiliki pemikiran yang sama dan memiliki warisan bersama berupa tradisi politik, cita-cita, kebebasan dan supremasi hukum, untuk mengambil langkah-langkah awal penegakan bersama atas hak-hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal" of 10 December Dalam pandangan Pemerintah, In the Government s view, gambaran tersebut menunjukkan "proses selektif" yang diadopsi oleh pembuat naskah: bahwa Konvensi ini tidak berusaha untuk melindungi Hak Asasi Manusia

15 secara umum melainkan hanya hak-hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal. Pasal 1 dan 19 (pas. 1, pas. 19) adalah, dalam argumentasi mereka, mengarah pada tujuan yang sama. Komisi, pada bagian mereka, menyertakan pentingnya "rule of law" yang, dalam pandangan mereka, menguraikan pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Sifat selektif dari Konvensi tidak dapat dipertanyakan. Mungkin bisa diterima, seperti yang sudah disampaikan oleh Pemerintah, bahwa Pembukaan tidak memasukkan supremasi hukum sebagai obyek dan tujuan Konvensi, tapi bisa dilihat bahwa Konvensi adalah salah satu warisan spiritual bersama para anggota Dewan Eropa. Namun Mahkamah beranggapan, sama halnya dengan Komisi, bahwa adalah suatu kesalahan jika melihatnya hanya sebagai"sebuah referensi retoris", tanpa adanya relevansi bagi mereka yang menafsirkan Konvensi. Satu alasan mengapa para Pemerintah penandatangan memutuskan untuk mengambil langkah pertama penegakan bersama atas beberapa hak tertentu yang disebutkan dalam deklarasi Universal adalah kepercayaan mendalam mereka pada supremasi hukum. Adalah wajar dan sesuai dengan prinsip itikad baik (Pasal 31 paragraf 1 Konvesi Wina) untuk mengingat pertimbangan ini dalam menafsirkan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) sesuai dengan konteksnya dan dalam melihat obyek dan tujuan Konvensi, Ini semua benar adanya karena Undang-undang Dewan Eropa, suatu organisasi dimana setiap negara peserta Konvensi menjadi anggotanya (Pasal 66 Konvensi) (pas. 66), mengacu pada dua bagian yang mengakui supremasi hukum: pertama dalam Pembukaan, dimana Pemerintah negara anggota menegaskan kepatuhan mereka pada prinsip ini, dan kedua dalam Pasal 3 (pas. 3) yang menyatakan bahwa "setiap Negara Anggota Dewan Eropa harus menerima prinsip supremasi hukum...". Dan dalam hal masalah sipil, sangat jarang memahami supremasi hukum tanpa ada kemungkinan memiliki akses ke pangadilan. 36. Pasal 31 paragraf 3 (c) Konvensi Wina menunjukkan bahwa hal tersebut diterapkan bersama dengan konteks "semua peraturan hukum internasional yang relevan berlaku antara para negara pihak". Salah satu peraturan tersebut adalah prinsip umum hukum dan terutama "prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara yang beradab" (Pasal 38 paragraf 1 (c) Statuta Mahkamah Internasional). Pada bulan Agustus 1950 Komite Hukum Majelis Konsultatif pada Dewan Eropa melihat bahwa "Komisi dan Mahkamah harus menerapkan prinsip-prinsip semacam itu" dalam melaksanakan tugas mereka dan sehingga memasukkan klausul tertentu ke dalam Konvensi adalah tidak ada gunanya (Arsip Majelis Konsultatif, kertas kerja sesi tahun 1950, volume III, no. 93, p. 982, paragraf 5). Prinsip dimana gugatan sipil harus dapat diajukan ke hakim merupakan salah satu prinsip hukum dasar yang "diakui" secara universal; sama halnya

16 dengan prinsip hukum internasional yang melarang penolakan keadilan. Pasal 6 paragraf 1 (art. 6-1) harus dipahami dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ini. Ketika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dipahami hanya secara khusus berkaitan dengan dilakukannya suatu tindakan dihadapan pengadilan, Negara Pihak dapat, tanpa melanggar teks tersebut, dapat menentukan sendiri melalui pengadilannya, atau menghilangkan yurisdiksinya untuk memutuskan tindakan sipil tertentu dan mempercayakannya pada organ Pemerintah. Asumsi semacam ini, yang beresiko pada adanya kesewenangwenangan kekuasaan, akan memiliki konsekuensi serius yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disebutkan sebelumnya, dan Mahkamah tentu tidak dapat mengabaikan hal ini (Keputusan Lawless 1 Juli 1961, Seri A no. 3, p. 52, dan Keputusan Delcourt 17 Januari 1970, Seri A no. 11, pp ). Tidak dapat dibayangkan, menurut pendapat Mahkamah, bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) harus menjelaskan secara rinci jaminan prosedural yang diberikan kepada para pihak dalam suatu tuntutan yang tertunda ketimbang memberikan perlindungan terlebih dahulu terhadap apa yang sebenarnya dapat menguntungkan dari jaminan tersebut, yaitu, akses ke pengadilan. Proses hukum yang berkarakter adil, terbuka dan cepat tidak akan bernilai sama sekali jika proses hukum itu sendiri tidak ada. 37. Dengan melihat semua pertimbangan sebelumnya secara bersamasama, maka hak atas akses merupakan unsur yang melekat pada hak yang disebutkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Hal ini bukanlah tafsir luas yang memaksakan kewajiban baru pada Negara Pihak: hal ini berdasar pada ketentuan dalam kalimat pertama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) sesuai konteksnya dan dengan memperhatikan obyek dan tujuan Konvensi, suatu traktat penyusunan hukum bersama (lihat Keputusan Wemhoff 27 Juni 1968 Seri A no. 7, hlm. 23, paragraf 8), dan prinsip-prinsip umum hukum. Mahkamah kemudian berkesimpulan, tanpa perlu menggunakan "upaya tambahan untuk melakukan interpretasi" seperti yang digambarkan pada Pasal 32 Konvensi Wina, bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas 6-1) menjamin hak semua orang untuk melakukan tuntutan sehubungan dengan hak dan kewajiban sipilnya untuk diajukan kehadapan pengadilan atau tribunal. Dengan cara ini Pasal tersebut sudah mencakup "hak untuk mendapat pengadilan", yaitu hak atas aksesnya, adalah hak untuk menjalankan proses dihadapan pengadilan untuk permasalahan sipil, yang merupakan salah satu aspek saja. Terhadapnya ditambahkan dengan jaminan yang ditetapkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mengenai penyusunan dan komposisi pengadilan, serta tata cara prosedurnya. Secara singkat, kesemua itu dirangkum menjadi hak atas persidangan yang adil. Mahkamah tidak perlu lagi memastikan dalam kasus ini apakah dan sejauh mana Pasal 6 paragraf 1 (pas.6-1) lebih lanjut membutuhkan suatu keputusan mengenai substansi

17 perdebatan (dalam bahasa Inggris "determination", dalam bahasa perancis "décidera"). B. Mengenai "Batasan-Batasan Implisit" 38. Karena penghalangan akses ke pengadilan, yang disebutkan dalam paragraf 26 diatas, mempengaruhi hak yang dijamin dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), maka masih tetap dibutuhkan untuk ditentukan apakah penghalangan tersebut dibenarkan berdasarkan beberapa pembatasan yang sah dalam penikmatan atau penerapan hak tersebut Mahkamah menilai, menerima pendapat Komisi dan penyampaian lain dari Pemerintah, bahwa hak akses ke pengadilan tidaklah mutlak. Karena hak ini adalah hak yang ditetapkan oleh Konvensi (lihat Pasal 13, 14, 17 dan 25) (pas. 13, pas. 14, pas. 17, pas. 25) tanpa, dalam artian yang lebih sempit, menjelaskan, adanya ruang untuk, terlepas dari ikatan yang membatasi isi dari suatu hak, diterapkannya pembatasan yang diperbolehkan karena adanya implikasi. Kalimat pertama Pasal 2 Protokol (P1-2) tertanggal 20 Maret 1952, yang terbatas pada "tidak seorangpun yang dapat disangkal haknya atas pendidikan", memunculkan masalah yang hampir sama. Dalam keputusannya tertanggal 23 Juli 1968 dalam hal yang berkaitan dengan aspek tertentu dari hukum dalam penggunaan bahasa dalam sistem pendidikan di Belgia, Mahkamah memerintahkan bahwa: "Hak atas pendidikan... sesuai dengan sifatnya, membutuhkan pengaturan oleh Negara, peraturan yang mungkin berbeda dalam hal waktu dan tempat menurut kebutuhan dan sumber daya yang ada dalam masyarakat dan setiap orang. Sudah pasti bahwa peraturan semacam itu tidak boleh sama sekali merugikan susbtansi hak atas pendidikan atau bertentangan dengan hak lain yang termakktub dalam Konvensi." (Seri A no. 6, hal. 32, paragraf 5). Pertimbangan ini lebih valid dalam hal hak yang, tidak seperti hak atas pendidikan, tidak disebutkan dalam keterangan yang jelas. 40. Pemerintah dan Komisi telah menyebutkan contoh-contoh peraturan, dan terutama pembatasan, yang dapat ditemui dalam hukum nasional terkait dengan hak atas akses ke pengadilan, sebagai contoh peraturan yang terkait dengan anak dibawah umur dan orang yang kurang waras. Walaupun kemunculannya sangat jarang dan berbeda macamnya, pembatasan yang dikeluhkan oleh Golder merupakan contoh lain atas pembatasan tersebut. Bukanlah fungsi Mahkamah untuk menjelaskan teori umum pembatasan yang diperbolehkan dalam kasus orang yang sedang menjalani hukuman, atau bahkan menetapkan kompatibilitas Peraturan 33 paragraf 2, 34 paragraf 8 dan 37 paragraf 2 dari Peraturan Penjara tahun 1964 dengan Convention. Dalam hal kasus yang diangkat dari petisi yang diajukan oleh individu, Mahkamah hanya diminta untuk berperan dalam menentukan apakah

18 penggunaan peraturan-peraturan tersebut dalam kasus ini melanggar Konvensi seperti yang diasumsikan oleh Golder atau tidak (Keputusan De Becker tertanggal 27 Maret 1962, Seri A no. 4, hal. 26). 41. Sehubungan dengan ini, Mahkamah membatasi diri untuk mencatat sebagai berikut. Dalam mengajukan petisi kepada Menteri Dalam Negeri untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud menggugat Laird atas pencemaran nama baik, Golder berusaha membuktikan kebenaran dirinya atas tuduhan yang dikenakan padanya oleh petugas penjara tersebut pada 25 Oktober 1969 dan menimbulkan konsekuensi yang tidak mengenakkan bagi dirinya, dimana sebagian dari konsekuensi tersebut masih dialaminya hingga 20 Maret 1970 (paragraf 12, 15 dan 16 diatas). Lebih jauh, proses hukum yang diinginkan akan terkait dengan insiden yang berhubungan dengan kehidupan dalam penjara dan muncul ketika yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan. Akhirnya, proses hukum tersebut ditujukan terhadap salah seorang petugas penjara yang mengenakan tuduhan dalam rangka menjalankan tugasnya dan berada dibawah kewenangan Menteri Dalam Negeri. Dalam situasi semacam ini, Golder dapat secara sah meminta untuk berkonsultasi dengan pengacara dengan maksud melakukan suatu proses hukum. Bukanlah wewenang Menteri Dalam Negeri untuk mengukur prospek atas tindakan yang akan dilakukan; tetapi pengadilan yang independen dan tidak memihak lah yang akan memutuskan gugatan yang mungkin akan diajukan. Dalam hal penolakan permintaan izin keluar yang telah diminta, Menteri dalam Negeri telah gagal menghormati hak Golder untuk mengakses pengadilan yang telah dijamin oleh Pasa 6 paragraf 1 (pas. 6-1). II. DALAM HAL DUGAAN PELANGGARAN PASAL 8 (pas. 8) 42. Pendapat sebagian besar Komisi (paragraf 123 dari laporan mereka) "fakta yang merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 8 (pas. 8)". Pemerintah tidak setuju dengan pendapat ini. 43. Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi menyebutkan sebagai berikut: "1. Setiap orang mempunyai hak dihormati kehidupan pribadi dan keluarganya, tempat tinggalnya dan korespondensinya. 2. Tidak boleh ada campur tangan oleh suatu otoritas publik atas penerapan hak ini kecuali jika diatur lain oleh hukum dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, keselamatan publik atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk mencegah kekacauan atau kejahatan, demi perlindungan kesehatan atau moral, atau demi perlindungan hak dan kebebasan orang lain."

19 44. Penolakan Menteri Dalam Negeri terhadap petisi tertanggal 20 Maret 1970 memiliki pengaruh langsung dan segera dalam mencegah Golder menghubungi seorang pengacara dengan cara apapun, termasuk dalam cara yang paling biasa yang akan ia mulai lakukan, yaitu korespondensi. Dengan terjadinya baik penghentian ataupun penyaringan pesan seperti misalnya sebuah surat, yangmana akan Golder tulis untuk seorang pengacara atau sebaliknya- dan menjadikannya sebagai sebuah korespondensi dalam artian yang dicakup oleh paragraf 1 Pasal 8 (pas. 8-1), maka adalah salah jika disimpulkan, seperti yang dilakukan Pemerintah, pasal ini tidak dapat diterapkan. Menghalangi seseorang untuk bahkan memulai korespondensi merupakan bentuk paling jauh dari "campur tangan" (paragraf 2 Pasal 8) (pas. 8-2) dengan menerapkan hak untuk dihormati korespondensinya ; tidak dapat dibayangkan bahwa hal ini berada diluar ruang lingkup Pasal 8 (pas. 8) sementara pengawasan jelas ada didalamnya. Disetiap saat, jika Golder berusaha menulis surat kepada seorang pengacara tanpa keputusan Menteri Dalam Negeri atau tanpa meminta izin seperti yang dipersyaratkan, dan korespondensi tersebut dihentikan maka ia dapat memohonkan Pasal 8 (pas. 8); seseorang akan mengalami paradoks dan ketidakadilan jika beranggapan bahwa dalam mematuhi persyaratan Peraturan Penjara tahun 1964 ia akan kehilangan manfaat perlindungan dari Pasal 8 (pas. 8). Mahkamah kemudian bertindak untuk memutuskan apakah penolakan petisi pemohon telah melanggar Pasal 8 (pas. 8) atau tidak. 45. Dalam pernyataan Pemerintah, hak untuk menghormati korespondensi harus tunduk, terlepas dari campur tangan yang dijelaskan dalam paragraf 2 Pasal 8 (pas. 8-2), pada pembatasan yang diberlakukan sehingga mengakibatkan, antara lain, dari apa yang disebutkan dalam Pasal 5 paragraf 1 (a) (pas. 5-1-a): hukuman penjara berakhir setelah penghukuman oleh suatu pengadilan yang berwenang telah membawa konsekuensi yang dapat berdampak pada penerapan pasal lain dalam Konvensi, terrmasuk Pasal 8 (pas. 8). Seperti yang telah ditekankan oleh Komisi, kepatuhan tidak sesuai dengan cara dimana pengadilan berurusan dengan masalah yang diangkat berdasar Pasal 8 (pas.8) dalam kasus "Pergelandangan" (Keputusan De Wilde, Ooms dan Versyp 18 Juni 1971, Seri A no. 12, hal , par. 93). Terlebih lagi, kepatuhan bertentangan dengan teks eksplisit Pasal 8 (pas. 8). Formula pembatasan yang digunakan pada paragraf 2 (pas. 8-2) ("Tidak boleh ada campur tangan... kecuali misalnya..") tidak boleh keluar dari konsep pembatasan yang ada. Dalam hal ini, status hukum hak untuk dihormati korespondensinya, seperti yang didefinisikan dalam Pasal 8 (pas. 8) dengan teliti, memberikan pertentangan yang jelas dengan status hukum hak terhadap pengadilan (paragraf 38 diatas).

20 46. Pemerintah memberikan pandangan lain bahwa campur tangan yang dikeluhkan telah memenuhi kondisi yang jelas seperti yang ditetapkan dalam paragraf 2 of Article 8 (art. 8-2). Tidak diragukan lagi bahwa campur tangan yang terjadi adalah sesuai hukum, yaitu Peraturan 33 paragraf 2 dan 34 paragraf 8 dari Peraturan Penjara tahun 1964 (paragraph 17 diatas). Mahkamah menerima, lebih jauh, bahwa kebutuhan akan campur tangan dalam penerapan hak yang dimiliki oleh tahanan yang menjalani masa hukuman untuk dihormati korespondensinya harus tetap dihargai dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku dalam penjara secara normal dan wajar. Prinsip "pencegahan kekacauan atau kejahatan, misalnya, mungkin dapat memperbolehkan tindakan campur tangan yang lebih luas dalam situasi yang melibatkan tahanan dibandingkan terhadap orang yang dalam keadaan bebas. Sejauh ini, tapi hanya sejauh ini saja, pengurangan kebebasan yang sah dalam artian Pasal 5 (pas. 5) dapat dikaitkan dengan Pasal 8 (pas. 8). Dalam keputusannya tertanggal l8 Juni 1971 yang disebutkan diatas, Mahkamah menyatakan bahwa "bahkan dalam kasus dimana orang ditahan karena pergelandangan" (paragraf 1 (e) dari Pasal 5) (pas. 5-1-e) dan tidak ditahan setelah dihukum oleh pengadilan otoritas nasional yang berwenang mungkin memiliki "alasan yang cukup bahwa memang dibutuhkan untuk mengenakan pembatasan untuk tujuan mencegah kekacauan atau kejahatan, memberikan perlindungan kesehatan atau moral, dan perlindungan hak dan kebebasan orang lain". Namun begitu, dalam kasus-kasus tersebut tidak ada yang mempertanyakan penghalangan para pemohon untuk memulai korespondensi; yang ada hanyalah pengawasan yang dalam keadaan apapun tidak berlaku dalam beberapa kasus, termasuk khususnya korespondensi antara para gelandangan yang ditahan dengan penasehat hukum pilihan mereka (Seri A no. 12, hal. 26, paragraf 39, dan hal. 45, paragraf 93). Dalam rangka untuk menunjukkan mengapa campur tangan yang dikeluhkan oleh Golder adalah "perlu", Pemerintah mengedapankan pencegahan kekacauan atau kejahatan dan, sampai pada titik tertentu, kepentingan akan keselamatan publik dan perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Bahkan dengan memperhatikan penghargaan terhadap negara anggota, Mahkamah tidak dapat memahami bagaimana pertimbanganpertimbangan ini, yang mereka pahami dalam masyarakat demokratis, dapat mendorong Menteri Dalam Negeri menghalangi Golder berkorespondensi dengan seorang pengacara dengan maksud menuntut Laird atas pencemaran nama baik. Mahkamah kembali menekankan pada fakta bahwa Golder berusaha melepaskan dirinya dari tuduhan yang diberikan kepadanya oleh petugas penjara yang sedang menjalankan tugasnya sehubungan dengan insiden yang terjadi di dalam penjara. Dalam

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

DOKUMEN S INSTRUMEN REGIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA. Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia (1950)

DOKUMEN S INSTRUMEN REGIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA. Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia (1950) DOKUMEN S INSTRUMEN REGIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA S.1. Regional Eropa S.1.1. Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia (1950) Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1958)

Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1958) Regional Eropa Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1958) Ditandatangani di Roma, 14 November 1950 (ETS No. 005). Berlaku pada 3 September 1958. Para Pemerintah penandatangan,

Lebih terperinci

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999 Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Fenomena proses penegakan hukum di Indonesia Dibentuknya berbagai Komisi

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 1 KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae PERSERIKATAN BANGSA-BANGS Administrasi Transisi Perserikatan Bang bangsa di Timor Lorosae UNTAET NATIONS UNIES Administration Transitoire des Natio Unies in au Timor Oriental UNTAET/REG/2001/3 16 March

Lebih terperinci

Resolusi yang diadopsi tanpa mengacu pada komite Pertanyaan dipertimbangkan oleh Dewan Keamanan pada pertemuan 749 dan750, yang diselenggarakan pada 30 Oktober 1956 Resolusi 997 (ES-I) Majelis Umum, Memperhatikan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG. Lembar Fakta No. 26. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

KELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG. Lembar Fakta No. 26. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia KELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG Lembar Fakta No. 26 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia Tak seorang pun bisa ditangkap, ditahan, dan diasingkan secara sewenang-wenang. Deklarasi Universal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat 13. KESIMPULAN Majelis Hakim Yang Terhormat Maksud saya menuliskan Pembelaan saya sendiri adalah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang mudah dipahami, dengan demikian agar tidak ada lagi keraguan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU No.547, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPR-RI. Kode Etik. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN

PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN PERATURAN DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/17/PDK/XII/2012 TENTANG KODE ETIK OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang:

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Standar Audit SA 250. Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 250. Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan SA 0 Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb STANDAR AUDIT 0 PERTIMBANGAN ATAS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM AUDIT ATAS LAPORAN KEUANGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 14/1999, PENGESAHAN AMENDED CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH)

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA

STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA STATUTA ASOSISI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN INSTITUSI SEJENIS SE-ASIA Pembukaan Presiden atau Kepala mahkamah konstitusi dan institusi sejenis yang melaksanakan kewenangan konstitusional di Asia: MENGINGAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM 1 (satu) Hari Kerja ~ waktu paling lama, Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebagaimana

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3)] terhadap

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Mukadimah Negara-negara peserta Konvensi ini, Menimbang, kewajiban negara-negara dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatanganan Ratifikasi dan Aksesi MUKADIMAH Negara-negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci