BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA. terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA. terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan"

Transkripsi

1 BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam Regering Reglement (RR) 32 yang ditetapkan pada tahun Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, Distric, dan Onderdistric. Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan Decentralisatie Wet 33 pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan 32 Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op het beleid der regering van Nederlandsch-Indie, Stbl No. 129 yang ditetapkan pada tanggal 2 September Lihat Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm Decentralisatie Wet sebutan lazim dari Wet van Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie.

2 mengurus keuangan sendiri. Daerah-daerah yang dibentuk dipimpin oleh petinggi-petinggi Belanda yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1925 Pemerintah Belanda mengeluarkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS). Aturan ini mulai melibatkan orang Indonesia dalam badan-badan pemerintahan, khususnya para kaum ningrat. Untuk melaksanakan Indische Staatsregeling (IS) tersebut, dikeluarkan dua peraturan baru, yaitu Regentschap ordonatie dan Provincies ordonantie. Melalui kedua peraturan tersebut, kawasan Jawa dan Madura mulai dibagi dalam beberapa Provincies (setara dengan provinsi), Regent (setara dengan karesidenan) dan Stad (setara dengan kabupaten/kotamadya). Kawasan di luar Jawa, pada tahun 1937 diberlakukan Groepgemeenschap ordonantie dan Stadgemeente ordonantie Buittengewesten. Pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan peraturan sebelumnya tetap dipertahankan tetapi dibawahnya dibentuk beberapa Groeps (setara karesidenan) dan Stad (setara kabupaten/kotamadya). Dalam sistem ini mulai diterapkan konsep desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Otonomi dalam konsep ini adalah hak untuk membantu pelaksanaan pemerintah pusat, sementara kepala daerah adalah orang pusat di daerah yang sekaligus memegang jabatan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 8-9

3 Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, konsep yang sudah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang menghapuskan sistem desentralisasi dengan menerapkan sistem sentralisasi penuh melalui kekuasaan militer sebagai sentralnya. Setelah kemerdekaan, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dari waktu ke waktu sejalan dengan adanya konfigurasi politik yang mewarnai proses terciptanya suatu undang-undang pemerintahan daerah yang representatif dan aktual. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, proses desentralisasi dengan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah selalu bergerak dan berubah-ubah dari satu titik ke titik lain dengan bobot kekuasaan yang berpindah-pindah mengikuti perubahan sistem politik (rezim) dalam memandang visi tentang kebangsaan. 35 Konsep otonomi daerah yang selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda, mempengaruhi jalannya pemerintahan di daerah. Perbedaan itu sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi, yaitu Pusat dan Daerah. Dengan kata lain bahwa pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan berada pada Pemerintah Daerah J. Kaloh, op.cit, hlm Ibid, hlm 16

4 Gambar 1 Bobot Kekuasaan Pemerintahan Sentralisasi Desentralisasi Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal, pertama, karena pengaturan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang sejak kemerdekaan hingga sekarang telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun Jika kita cermati secara analitis, terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut 37. Kedua, di sebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap Undang- 37 UU No. 1 Tahun 1945 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No.22 Tahun 1948 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 1 Tahun 1957 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), Penpres No. 6 Tahun 1959 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No. 18 Tahun 1965 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 5 Tahun 1974 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No. 22 Tahun 1999 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 32 Tahun 2004 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi).

5 Undang tentang Pemerintahan Daerah yang disebabkan oleh kepentingan penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. 38 Perjalanan panjang sejarah pemerintahan sebelum proklamasi dan setelah proklamasi, menjadi masukan yang sangat berarti untuk melahirkan pemerintahan daerah yang kuat dan stabil dari kepentingan politis, atau karena konflik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, maupun karena tarik-menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Meskipun pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda telah timbul pelaksanaan otonomi daerah, namun karena pada waktu itu Negara Indonesia belum terbentuk, maka sejarah panjang otonomi daerah di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu era kemerdekaan, era Orde Baru, dan era Reformasi. 1. Otonomi Daerah di Era Kemerdekaan Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan 38. J. Kaloh, op.cit, hlm.2

6 Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD Dalam Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu: 39 I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah. 39 Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.

7 Pada era kemerdekaan ( ) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu: Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen Yohanis Anton Raharusun, Op.cit, hlm.130

8 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau

9 pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. 41 Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa. 42 Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan. Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undangundang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 41 KND yang belum dipilih melalui pemilu ini tidak dapat berjalan sendiri, tetapi dipimpin oleh Kepala Daerah (bukan anggota) sehingga tidak punya hak suara. Meskipun kondisi tersebut tidak ideal bagi suatu badan legislatif, tapi realitas ini dapat dimengerti demi kelancaran pemerintahan daerah pada masa itu. 42 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.132

10 1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah. b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD). Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokokpokok pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah.

11 Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditegaskan bahwa daerah dalam Negara Republik Indonesia tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa, nagari, marga, gampong dan sebagainya yang disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri). Masing-masing daerah tersebut dinamakan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Secara yuridis-fungsional pemerintahan atau wilayah hukum penyelenggaraan administrasi pemerintahan, wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintahan pusat, wilayah provinsi sebagai wilayah hukum pemerintahan provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten (kota besar), dan wilayah kabupaten (kota besar) dibagi atas wilayah yang disebut desa, nagari, marga dan lain-lain. Tingkatan daerah swatantra dilatar belakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum tentang empat persoalan penting. Persoalan pertama mengenai apakah suatu urusan adalah urusan pusat atau urusan daerah, Kedua mengenai keberagaman kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak kongruen dengan urusan hukum adat, Ketiga mengenai Kepala Daerah yang harus dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan, tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah, Keempat mengenai pengawasan,

12 maksudnya bahwa Pemerintah Pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya. 43 Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah bersifat kolegial, dimana masalah pemerintahan tidak lagi diputuskan secara tunggal oleh BPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah, akan tetapi diputuskan oleh DPRD dan DPD. Pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan DPD, dimana para anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-anggota daerah yang diangkat oleh Presiden untuk Provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kabupaten (kota besar) atau oleh Kepala Daerah Provinsi untuk desa. Aturan tersebut ditujukan demi tegaknya kedaulatan rakyat dan berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, selain itu agar dualisme pemerintahan daerah seperti dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak terjadi lagi dimana pemerintah daerah yang berdasarkan BPRD dan pemerintah daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri termasuk posisi kepala daerah sebagai pimpinan BPRD. 44 Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak 43 Memori Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ad.1, ad. 2, ad. 3, dan ad. 4. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

13 medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD. Menurut Amarah Muslimin: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengandung prinsip: a. Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan daerah luar bisa disatukan, atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia; b. Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, dan tingkatan terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbeda-beda bagi daerah-daerah; c. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah; dan d. Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis (collegial bestuur) atas dasar permusyawaratan. 45 Bila kita lihat secara eksplisit terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mencakup hampir seluruh segi desentralisasi, baik desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal, walaupun desentralisasi tersebut pengaturannya tidak di jabarkan secara langsung sehingga membingungkan daerah dalam pelaksanaannya. 45 Amarah Muslimin, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, (Jakarta : Jembatan, 1960). hlm.50

14 Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Hatta dan Menteri Dalam Negeri Anak Agung Gede Agung, undang-undang pemerintahan daerah itu coba digulirkan, namun hanya terbatas di daerah eks RI. Bentuknya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang dan Perpu pembentukan daerah otonom provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1950), Provinsi Yogyakarta (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950), Provinsi Jawa Tengah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950), Provinsi Jawa Barat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950), Provinsi Sumatera Selatan (Perpu Nomor 3 Tahun 1950), dan Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 5 Tahun 1950). 46 Pada tahun 1950 terjadi pergantian konstitusi UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara umum UUDS 1950 itu sendiri masih kental dipengaruhi paham liberalisme. Pada masa ini diberlakukan 2 (dua) peraturan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur (Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku). 46 Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.142

15 c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an. Terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun secara substansial masih mempertahankan format pemerintahan lokal yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, antara lain tingkatan daerah otonom masih tetap tiga lapis yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III, Pemerintah Daerah masih tetap terdiri dari DPRD dan DPD, sumber pendapatan daerah masih tetap, sistem pengawasan preventif dan represif oleh pemerintahan atasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah bawahan dan beberapa hal lainnya. Beberapa perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 antara lain:

16 a. Sistem pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan sebelumnya dimana diangkat oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diajukan oleh DPRD. b. Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintahan daerah secara bertahap dihilangkan, dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan menerbitkan Undang-Undang pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks NIT/negara bagian lainnya. c. Kedudukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi alat pusat dan sekaligus alat daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja. Konsekuensinya, diberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD, juga berhak menahan dijalankannya keputusan DPRD dan DPD. d. Otonomi materiil yang dianut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diubah menjadi otonomi riil. Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan pemerintahan menurut bakat, kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari waktu ke waktu. Bahkan, kepada pemerintah daerah dapat diberikan tugas pembantuan. e. Di daerah-daerah, selain ada lembaga-lembaga DPRD, DPD dan Kepala Daerah (collegial bestuur) yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan menjalankan tugas medebewind, juga terdapat penguasa lain

17 (pamong praja) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum. 47 Menurut Soetarjo, Undang-Undang ini mencerminkan negara serikat atau bonstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di pihak lain membentuk negara federasi. 48 Pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 pada dasarnya sudah cukup baik, hanya sayangnya tidak diberlakukan secara sungguhsungguh oleh pemerintah pusat, dikarenakan keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerahdaerah otonom sehingga menimbulkan berbagai konflik dalam sistem pemerintahan. Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masing-masing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya mengakibatkan koordinasi tidak berjalan dengan baik. 47 Djohermansyah Djohan, dikutip Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm Soetarjo Kartohadikusumo, Kedudukan Pamong Praja, Majalah Swatantra, dikutip Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.403

18 d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangankewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin. 49 Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal). Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi kepencapaian stabilitas dan efesiensi pemerintahan di daerah. Kedua Penpres ini merubah asas-asas pemerintahan 49 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.160

19 daerah dari arah desentralisasi ke sentralisasi. Prajudi menyebutkan, kedua penpres ini memakai sistem dualisme fungsional yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah. 50 Penetapan Presiden (penpres) Nomor 6 Tahun 1959 bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi. Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah dapat exist sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional. 51 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menimbulkan reaksi hebat dikalangan partai-partai politik, karena kekuasaan mereka dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipreteli. Penpres tersebut oleh partai-partai politik dinilai sebagai suatu langkah mundur penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia karena telah menggusur demokrasi pemerintahan dengan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan daerah. 52 Dikatakan demikian karena: a. Pemilihan Kepala Daerah tidak di pilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi diajukan oleh DPRD kepada Presiden. Bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat Kepala Daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD. 50 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm Ibid. hlm Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.151

20 b. Pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat bukan kepada DPRD selaku wakil rakyat (Kedaulatan tidak lagi berada ditangan rakyat). c. Kepala Daerah dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD. d. Kedudukan Kepala Daerah selaku alat pusat sekaligus alat daerah sehingga memungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah selaku penguasa tunggal. Bila dilihat dari sisi bobot kekuasaan, terlihat jelas dalam pelaksanaan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan kembali dipegang oleh pemerintah pusat, berbeda dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 di mana bobot kekuasaan lebih pada pemerintahan daerah. e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS 53 mengeluarkan TAP No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Tahapan Pertama Salah satu isinya mangamanatkan untuk membentuk satu Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan demokrasi terpimpin dalam rangka 53 MPRS di bentuk Presiden Soekarno dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 yang keanggotaannya terdiri dari semua anggota DPR-GR ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan.

21 Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut, Presiden Soekarno menetapkan Keppres Nomor 514 Tahun 1961 (diubah dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1961) membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan tugas memberikan usul kepada pemerintah tentang pokok-pokok pengaturan pemerintahan daerah. 54 Atas tugas tersebut, Panitia Negara menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang akhirnya dapat disetujui oleh DPR-GR dan ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah terdiri dari IX Bab dan 90 Pasal. Undang-Undang ini menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959, bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuanketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 tahun 1960 seluruhnya diadopsi kedalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Jakarta, Lihat pula Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.405

22 Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain: a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7- pasal 9). b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-pasal 73)

23 c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan (pasal 55). 2. Otonomi Daerah di Era Orde Baru Periode orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berjalan cukup panjang selama 32 tahun sejak tahun 1966 hingga Pada era ini ditetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terus bertahan hingga jatuhnya rezim orde baru melalui reformasi di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual, selama penerapan Undang-Undang tersebut diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagai Undang-Undang produk orde baru yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa lepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu stabilitas yang semakin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum angka 1 huruf i Tujuan pemberian otonomi kepada

24 daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Menurut J. Kaloh: Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi: a. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (Kepala Daerah). b. Dihapusnya lembaga BPH (Badan Pelaksana Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah. c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Daerah. d. Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden. e. Kepala Daerah hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun. 56 Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertitik tolak pada 3 (tiga) prinsip dasar, yaitu desentralisasi berupa penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya, Dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah, dan tugas pembantuan (medebewind) berupa penyerahan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban 56 J. Kaloh, op.cit, hlm.23

25 mempertanggung jawabkan kepada yang memberi tugas (Pasal 1 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1974). Ketiga prinsip dasar tersebut pada dasarnya mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Pada masa itu muncul istilah Pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat. Ini berarti bahwa antara Pusat dan Daerah saling komplementer, saling memerlukan, dan bukan dalam posisi saling berhadapan. 57 Dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip dasar tersebut tidak berjalan dengan serasi, karena semakin besar dan dominannya pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah. 58 Kuntjorojakti, menggambarkan desentralisasi pada periode itu sebagai gerak pendulum dari satu kutub ke kutub lainnya. Kehidupan desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub, dari kutub desentralisasi dan sisitem demokrasi ke kutub sentralisasi dan autokrasi tetapi lebih berat ke sentralisasi dan autokrasi J. Kaloh, op.cit, hlm Ibid, hal Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.407

26 Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat. Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat. 3. Otonomi Daerah di Era Reformasi Reformasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1998 mengakibatkan lengsernya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Euforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, ikut menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat di daerah-daerah, khususnya elitelit politik daerah untuk menuntut hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, yang selama masa orde baru selalu

27 dikekang dan diekploitasi oleh Pemerintah Pusat. Isu yang dikembangkan oleh elit-elit politik daerah adalah pembagian kekuasaan/kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk perimbangan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang selama masa orde baru di monopoli pemerintah pusat. Ketika reformasi dicetuskan, salah satu tuntutan penting reformasi yang disuarakan oleh masyarakat di daerah adalah agar terselenggaranya otonomi daerah secara komprehensif menyentuh rasa keadilan, terutama menyangkut aspek politik, pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini oleh berbagai kalangan dan para pakar pemerintahan, politik, dan ekonomi dianggap sebagai masalah utama ketidakpuasan sebagian besar rakyat di daerah. Manifestasi terselenggaranya otonomi daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan masyarakat di daerah, baik menyangkut aspek administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. 60 Reformasi bidang politik dan pemerintahan daerah telah melahirkan agenda dan kesepakatan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Tap MPR inilah yang menjadi semangat dan landasan awal pengaturan pemerintahan daerah setelah reformasi, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun J.Kaloh, op.cit.hlm.69

28 a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota. Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya raja-raja kecil di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah,

29 Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur dalam mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, yang mengakibatkan kesulitan besar dalam keterpaduan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah. 2. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya. 3. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi. Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawab

30 penyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Tidak adanya hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah yang di pilih oleh DPRD, serta kesalahan persepsi para Pejabat daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah, mengakibatkan timbulnya raja-raja kecil yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa memikirkan tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat kelemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sekaligus untuk menyesuaikan pengaturan pemerintahan daerah terhadap Amandemen UUD 1945, 61 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain soal hubungan antara pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah, dan pemberhentian Kepala Daerah. 61 UD 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama yang ditetapkan tanggal 19 Oktober 1999 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999, Perubahan Kedua yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Perubahan Ketiga yang ditetapkan tanggal 9 November 2001 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001, Perubahan Keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

31 Dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sifat hubungan hierarkis dihidupkan kembali yang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditiadakan. Dengan dihidupkannya hubungan hierarkis, diharapkan Gubernur dapat mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pula dalam Pasal 24 ayat (5), dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam proses pelantikan, Gubernur memiliki fungsi yang cukup penting, dimana Gubernur mengajukan pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih yang diusulkan DPRD untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 109). Terhadap pemberhentian Kepala Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemberhentian Kepala Daerah dilakukan melalui prosedur impeachment ke Mahkamah Agung. Apabila DPRD menganggap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat diusulkan pemberhentiannya dengan terlebih dahulu diajukan Ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana DPRD dapat memutuskan pemberhentian Kepala Daerah dalam hal melanggar aturan yang telah ditentukan dengan disahkan oleh Presiden (Pasal 49).

32 B. Bentuk-Bentuk Otonomi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan: Ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perkataan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, kabupaten dan kota pada ayat (1) menunjukkan pembagian dan susunan daerah-daerah. Sedangkan perkataan mengatur dan mengurus sendiri pada ayat (2) menunjukkan adanya otonomi, dimana otonomi berasal dari perkataan auto dan nomos. Auto atau oto berarti sendiri sedangkan nomos berarti mengatur, sehingga otonomi sama maknanya mengatur rumah tangga sendiri. 62 Dari kedua hal tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya bentuk otonomi yang diberlakukan secara umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain bentuk otonomi umum yang diberlakukan pada sebagian besar daerah (wilayah) Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga diatur bentuk otonomi lain, yaitu bentuk otonomi istimewa dan bentuk otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B UUD 1945, dimana Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 62 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.424

33 Bentuk otonomi istimewa dan otonomi khusus telah diberlakukan di beberapa daerah, antara lain Yogyakarta dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh dengan Otonomi Khusus Aceh, dan Papua dengan Otonomi Khusus Papua. Selain itu Aceh juga mendapatkan status Istimewa dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Status daerah khusus dan daerah istimewa masih menjadi pertanyaan hingga saat ini, dikarenakan tidak adanya kriteria dalam UUD 1945 yang menjadi dasar suatu daerah diberikan status daerah khusus atau daerah istimewa. Keadaan demikian seakan menghambat daerah-daerah untuk mendapatkan status daerah istimewa atau daerah khusus, dan bahkan menimbulkan keinginan bagi daerahdaerah untuk mencari dan menentukan kriteria sendiri agar daerahnya dapat dijadikan daerah istimewa atau daerah khusus. Keinginan daerah-daerah tertentu untuk mendapatkan status khusus telah didengungkan, seperti halnya provinsi riau dan Bali. Di Bali kegiatan seminar dan diskusi yang membahas otonomi khusus Provinsi Bali sudah sering dilakukan, bahkan DPRD Provinsi Bali telah membentuk Pansus yang bertugas menyusun Naskah Akademis dan draft rancangan undang-undangnya. Untuk itu, perlu kiranya dibangun pemikiran-pemikiran bagi penentuan kriteria daerah otonomi khusus dan otonomi istimewa, sehingga tidak membingungkan dan menimbulkan kecemburuan bagi daerah, serta tidak

34 menimbulkan anggapan bahwa untuk mendapatkan status otonomi khusus harus melalui pemberontakan bersenjata. UUD 1945 tidak mengatur lembaga negara mana yang berwenang melakukan tafsiran (advisory opinion) terhadap ketentuan UUD yang dirasa kurang jelas. Berhubung adanya kekosongan norma (limten van normen/vacuum of norm) tentang lembaga negara yang berwenang menafsirkan UUD, maka tafsiran atas kekhususan atau keistimewaan itu akan dilakukan oleh Pemerintah dan pada akhirnya oleh DPRD melalui mekanisme pengajuan Rancangan Undang-Undang. Mengingat bahwa keputusan akhir berada ditangan DPR sebagai lembaga politik, tentunya diharapkan spirit politis yang ada pada lembaga tersebut dapat diadaptasikan pada terwujudnya sebuah undang-undang otonomi khusus atau otonomi istimewa yang adil dan obyektif, dan bukan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik yang sempit. Dalam kaitan ini, perlu di ingat etika politik dan hukum dalam sebuah adagium politc legibus non leges politic adaptande atau politic are to adapted to the law and not the law adapted to politic Otonomi Umum Secara harfiah, tidak ada penyebutan otonomi umum baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, kecuali 63 Dodi Riyadmadji, Otonomi Khusus Bali, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII, 3 Agustus- September 2007.

35 penyebutan otonomi daerah. Dikatakan Otonomi umum karena merupakan otonomi yang diberikan dan diberlakukan pada sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam satu pengaturan, kecuali pada daerah-daerah yang diberikan status istimewa atau khusus. Hal ini hanya untuk membedakan atau untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk otonomi yang berlaku di Indonesia. Penerapan otonomi umum pada sebagian besar daerah di Indonesia, merupakan refleksi dan peyerahan manajemen pemerintahan (a transfer of management) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Penyerahan manajemen pemerintahan tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kemandirian daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah. Landasan dasar pelaksanaan otonomi umum adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya sesuai kewenangan yang diberikan. Hal-hal yang diatur antara lain Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, Pembagian Urusan Pemerintahan, Penyelenggaraan Pemerintahan, Kepegawaian Daerah, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Perencanaan Pembangunan Daerah, Keuangan Daerah, Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan, Kawasan Perkotaan, Desa, Pembinaan dan Pengawasan, dan Pertimbangan dalam Kebijakan Otonomi Daerah.

36 2. Otonomi Istimewa Otonomi istimewa merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan dengan hak-hak istimewa. Pada dasarnya otonomi yang dilaksanakan sama dengan otonomi umum, hanya diberikan kewenangan istimewa dalam menyelenggarakan hal-hal tertentu, seperti Provinsi Aceh yang melaksanakan syari at Islam, Pendidikan Agama, Adat Istiadat dan Peran Ulama dalam pemerintahan, atau Provinsi Yogyakarta dengan tetap dijalankannya Kesultanan Yogyakarta. Apabila kita merunut sejarah Republik Indonesia, ada beberapa tonggak sejarah yang menjadi tanda keistimewaan yogyakarta, yaitu pertama adalah ketika Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia sejak tahun 1946 sampai dengan 1949, kedua terkait peran keraton dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Yogyakarta, dimana Sultan tidak saja bertugas mengayomi rakyat tetapi sekaligus sebagai Kalifatullah Sayyidin Panatagama (pemimpin spiritual keagamaan). 64 Lain halnya dengan Provinsi Aceh, keistimewaan pelaksanaan syariat islam diberikan terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi, yang bersumber dari pandangan hidup berlandaskan Syari at Islam dan melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan 64 Arifin yacob, Jurnal Otonomi Daerah, Vol.VII, 3 Agustus-September 2007.

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SHINTA HAPPY YUSTIARI, S.AP, MPA SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA SUMBER PENELITIAN SEJARAH DOKUMEN / ARSIP BENDA / PRASASTI PELAKU SEJARAH SISTEM PRA KEMERDEKAAN PENJAJAHAN

Lebih terperinci

4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.

4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang. Sejarah pemerintahan daerah SEBELUM AMANDEMEN PERIODE UUD 1945 PADA AWAL KEMERDEKAAN 18 agustus 1945 27 desember 1949 Uud 1945 pada masa awal kemerdekaan menerangkan dalam bab VI tentang pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA BAB IV ANALISIS JURIDIS DINAMIKA PENGATURAN PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH DI INDONESIA A. Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah dan Daerah Dalam Konstitusi Republik

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah)

PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah) Sejarah Hukum, Pemerintahan Daerah 46 PASANG SURUT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (Tinjauan Sejarah Hukum Pemerintahan Daerah) Oleh : Afif Syarif, SH,MH. ABSTRAK Pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Lebih terperinci

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia desentralisasi dan sentralisasi telah beberapa kali mengalami

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 BAB II ISI... 4 2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan... 2.2 Sistem Pemerintahan Indonesia 1945 s.d.1949...

Lebih terperinci

Pandangan Umum Terhadap Konsep Otonomi Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia

Pandangan Umum Terhadap Konsep Otonomi Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia Pandangan Umum Terhadap Konsep Otonomi Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia Oleh : Sri Maulidiah Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Riau Abstrak

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi.

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. 1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi

Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi Pasal 18 UUD 49 dan Pasal 18, 18A dan B (Amandemen) Harsanto Nursadi 1 BAB PEMERINTAH DAERAH Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya

Lebih terperinci

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *14124 UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN, KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KABUPATEN ATAU KOTA DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH

Lebih terperinci

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1959 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1959 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENETAPAN PRESIDEN NOMOR 6 TAHUN 1959 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PRESIDEN, Menimbang : 1. bahwa sebagai lanjutan dari Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tertanggal 5 Juli 1959 tentang kembali

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA A. Warisan Kolonial Sebelum kedatangan Belanda, pelaksanaan otonomi daerah masih dapat dikatakan asing dan tidak dilaksanakan di daerah-daerah di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

Otonomi Daerah. Nama : Tegar Supitomula NIM : Kelas : H Kelompok : Persatuan Jurusan : Sistem Informasi Dosen : Mohammad Idris.

Otonomi Daerah. Nama : Tegar Supitomula NIM : Kelas : H Kelompok : Persatuan Jurusan : Sistem Informasi Dosen : Mohammad Idris. Otonomi Daerah Nama : Tegar Supitomula NIM : 11.12.5708 Kelas : H Kelompok : Persatuan Jurusan : Sistem Informasi Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 BAB I PENDAHULUAN 1.Latar

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN OTONOMI DAERAH. Modul ke: Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN.

KEWARGANEGARAAN OTONOMI DAERAH. Modul ke: Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN. KEWARGANEGARAAN Modul ke: OTONOMI DAERAH by Fakultas FEB Syahlan A. Sume Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id OTONOMI DAERAH Pokok Bahasan: 1. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH 2. SEJARAH OTONOMI DAERAH

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat? LAMPIRAN Pedoman Wawancara: 1. Bagaimana kinerja aparat desa, terutama dari Sekretaris desa dan juga kaur yang berada dibawah pemerintahan bapak? 2. Bagaimana Hubungan kepala desa dengan BPD di Desa Pohan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Fakultas Ekonomi dan Bisnis Otonomi Daerah (Otda) Program Studi Managemen www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN Otonomi derah adalah hak,wewenang, dan kewajiban daerah otonom

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA SEBAGAI PENEGAK PERATURAN DAERAH 2.1. Sejarah Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja Salah satu perangkat pemerintahan daerah yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. Rakyat, hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum (recht, peraturan perundang-undangan)

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ~HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH)* 0/eh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein Arah kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI

PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI Oleh : Santoso Budi NU 1 Abstrak : Controlling towards legal product based on UU No. 32 year 2004 covers reventive aspect and represive aspect.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

KEDAULATAN DAN OTONOMI DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

KEDAULATAN DAN OTONOMI DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN POLICY PAPER BINA DESA #RUU DESA KEDAULATAN DAN OTONOMI DESA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Ribuan kepala desa yang tergabung dalam asosiasi kepala desa dalam dua tahun terakhir ini semakin unjuk gigi dengan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah

BAB III TINJAUAN TEORI. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah 24 BAB III TINJAUAN TEORI A. Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi bidang pemerintahan daerah salah satunya adalah tuntutan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu sendiri, terutama optimalisasi peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasarkan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang dengan sadar memilih bentuk negara dan dirumuskan sesuai dengan jiwa negara yang berbudaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Konsekuensi dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung?

Konsekuensi dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung? Konsekuensi dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung? Perubahan Konstitusi dan Pengaruhnya terhadap Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan Bupati dan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH : Perubahan Politik Hukum Riana Susmayanti, SH.MH. Faculty of Law, Universitas Brawijaya Email : rerezain@yahoo.co.id, r.susmayanti@ub.ac.id 1. PENDAHULUAN [Pertemuan 4] 1.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci