Fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area)"

Transkripsi

1 SNI XXXX:XXXX Standar Nasional Indonesia Fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area) ICS XX.XXXX Badan Standardisasi Nasional

2

3 Daftar Isi Daftar Isi...i Prakata... iii 1 Ruang lingkup Acuan normatif Istilah dan definisi Material hasil pengerukan Jenis material hasil pengerukan Pengujian karakteristik material Uji fisik Uji kimia Uji biologis Metode pembuangan Umum Material terkontaminasi Pembuangan di laut Pemilihan tebing (side casting) Umum Jarak side cast Dispersi Umum Penggunaan suction dredger untuk menyebarkan material ke aliran pasang Agitasi Pemompaan ke darat Umum Areal penampungan Kedalaman pengendapan Penutupan areal penampungan Drainase areal penampungan Pemilihan jenis alat keruk Persyaratan lokasi pembuangan Lokasi pembuangan di perairan Lokasi pembuangan di daratan Bibliografi i

4

5 Prakata Standar ini bertujuan untuk memberikan pedoman baku dalam perencanaan fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area). Standar ini ditujukan bagi perencana pelabuhan, untuk menjadi acuan yang seragam dalam perencanaan dumping area. Standar ini mengacu pada beberapa naskah standar yang berlaku secara luas, seperti British Standard dan OCDI. Standar ini juga mengacu pada naskah akademik yang relevan dengan perencanaan pengerukan, sehingga diharapkan muatan yang terkandung dalam standar ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. iii

6

7 Fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area) 1 Ruang lingkup Standar ini memberikan ketentuan mengenai fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area). Ketentuan yang dimaksud mencakup jenis material, metode pembuangan, pemilihan peralatan dan persyaratan lokasi pembuangan. 2 Acuan normatif Undang undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008, Pelayaran. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010, Kenavigasian. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009, Kepelabuhan. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414 Tahun 2013, Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 52 Tahun 2011, Pengerukan dan Reklamasi. Keputusan Menteri Perhubungan No. PP.72/2/20-99, Standar Kinerja Pelayanan Operasional Pelabuhan Laut. Standar Nasional Indonesia SNI , Tatacara Pengerukan Muara Sungai dan Pantai. British Standard BS , Maritime structures Part 5: Code of practice for dredging and land reclamation. 3 Istilah dan definisi 3.1 pelabuhan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 3.2 kepelabuhanan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan-keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah 1 dari 13

8 3.3 pelabuhan laut pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau agkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai. 3.4 pelabuhan sungai dan danau pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau. 3.5 daerah lingkungan kerja wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 3.6 daerah lingkungan kepentingan perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 3.7 pengerukan pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu. 3.8 reklamasi pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan. 3.9 kapal keruk kapal dengan jenis apapun yang dilengkapi dengan alat bantu, yang khusus digunakan untuk melakukan pekerjaan pengerukan dan/atau reklamasi daerah buang daerah buang adalah lokasi yang digunakan untuk tempat penimbunan hasil kerja keruk alur pelayaran perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari alur dan perlintasan bagian dari perairan yang dapat dilayari sesuai dimensij spesifikasi kapal di laut, sungai dan danau otoritas pelabuhan lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial 2 dari 13

9 3.14 pekerjaan pengerukan pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar laut/perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu pengerukan awal (capital dredging) pengerukan yang pertama kali dilaksanakan dalam rangka pendalaman kolam pelabuhan atau alur pelayaran pengerukan pemeliharaan (maintenance dredging) pengerukan yang dilaksanakan secara rutin berkala dalam rangka memelihara kedalaman kolam pelabuhan atau alur pelayara, atau pekerjaan pengerukan lainnya pemeruman pemeruman atau kedalam perairan. sounding adalah kegiatan pemetaan untuk mengetahui countur 3.18 pemeruman awal pemeruman awal atau pre-dredge sounding adalah kegiatan pemeruman awal yang dilaksanakan sebelum diadakan pekerjaan pengerukan (Pemeruman Pra Pengerukan). Data yang dihasilkan digunakan sebagai dasarpenentuan perhitungan volume dan desain yang dikeruk pemeruman progress pemeruman progres atau progress sounding adalah pemeruman sementara dari seluruh lokasi yang telah dikeruk. Data yang dihasilkan digunakan untuk mengetahui perkembangan hasil seluruh pekerjaan pengerukan yang telah dicapai pemeruman akhir pemeruman akhir atau final sounding adalah pemeruman akhir yang dilaksanakan setelah pekerjaan pengerukan selesai tingkat pengendapan tingkat pengendapan atau siltation rate adalahpengendapan atau sedimentasi yang materialnya datang dari luar maupun dalam lokasi keruk yang terjadi pada saat pelaksanaan pengerukan. 4 Material hasil pengerukan 4.1 Jenis material hasil pengerukan Kegiatan pengerukan yang hasil material keruknya tidak dimanfaatkan, adalah kegiatan pekerjaan pengerukan untuk pendalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan atau untuk keperluan lainnya, antara lain adalah: pembangunan pelabuhan/dermaga, penahan gelombang, saluran air masuk untuk sistem pendinginan (Water intake), pendalaman galangan kapal dan lain-lain. 3 dari 13

10 Kegiatan pengerukan yang hasil material keruknya dimanfaatkan adalah kegiatan pekerjaan pengerukan untuk pengurugan dan/atau atau reklamasi serta pekerjaan pengerukan untuk penambangan. 4.2 Pengujian karakteristik material Sebelum material hasil keruk dibuang di lokasi yang direncanakan diperlukan suatu kajian dan/atau analisa pengujian khusus secara biologis dan kimiawi terhadap sampling material hasil keruk untuk mendapatkan informasi kemungkinan terjadinya kontaminasi dengan material di lokasi dumping area. Material hasil keruk yang memiliki karakteristik sangat buruk harus dalam arti memliki potensi dan/atau dampak yang sangat besar pada kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan wajib dipisahkan dan tidak diperbolehkan untuk dibuang di dumping area. Pengecualian terhadap karakter material hasil kerukan. Material hasil kerukan boleh tidak dilakukan pengujian secara biologis dan kimiawi selama material tersebut memenuhi kriteria salah satu dibawah ini: 1. Merupakan suatu material geologi yang tidak terganggu sebelumnya 2. Material keruk berupa pasir, kerikil, dan batuan 3. Kajian yang menunjukkan bahwa bahan yang dikeruk dan/atau area lokasi pengerukan belum terkontaminasi. 4. Material keruk memenuhi persayaratan dari poin (1), (2), dan (3) serta merupakan material keruk yang berasal dari pekerjaan pengerukan tunggal dengan volume keruk tidak melebihi ton per tahun Uji fisik Untuk material hasil keruk yang dilakukan uji fisik terhadapnya, informasi-informasi dibawah ini wajib diketahui setelah dilakukan uji fisik. 1. Volume material 2. Loading rate material di area pembuangan yang direncanakan 3. Karakteristik sedimen yang dapat dilakukan dengan metode grain size analysis. 4. Evaluasi terhadap karakter fisik material keruk dan sedimen diperlukan untuk menentukan potensi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh material hasil keruk serta untuk mengetahui kebutuhan bahan kimia untuk proses pengujian berikutnya Uji kimia Untuk material hasil keruk yang dilakukan uji kimia terhadapnya, informasi-informasi dibawah ini wajib diketahui setelah dilakukan uji kimia. 1. Karakteristik geokimia utama dalam sedimen 2. Potensi rute penyebaran kontaminasi yang diakibatkan oleh senyawa kimia material keruk dalam sedimen. 3. Potensi tumpahan kontaminan yang mungkin terjadi di area pengerukan dan/atau dumping area. 4. Deposit yang mungkin terjadi dengan sumber daya mineral dan bahan alami lainnya. 4 dari 13

11 4.2.3 Uji biologis Jika uji fisik dan uji kimia dirasa tidak cukup memenuhi kriteria yang berlaku, maka uji biologis terhadap material hasil keruk harus dilakukan. Tes biologis yang dilakukan wajib memasukkan spesies yang dianggap sensitif dan representatif terhadap material hasil keruk yang akan dibuang serta harus tepat dalam menentukan: 1. Toksisitas akut 2. Toksisitas kronis 3. Potensi Bioakumulasi 4. Potensi Kecacatan yang mungkin ditimbulkan pada spesies tersebut sebagai dampak dari material hasil keruk. 5 Metode pembuangan 5.1 Umum Setiap metode pembuangan harus memenuhi peraturan perundangan yang berlaku dan disetujui oleh otoritas berwenang sebelum pembuangan dilakukan. Pembuangan ke daratan harus memperhatikan cara pemasangan sambungan antara pipa terapung dengan pipa terbenam di dasar laut. 5.2 Material terkontaminasi Material hasil keruk yang berkategori bahan berbahaya harus diisolasi lingkungan sekitarnya. terhadap Lokasi pembuangan dapat berupa areal penampungan di darat yang dirancang khusus agar bahan berbahaya tidak mencemari lingkungan sekitar, atau atau pembuangan ke laut dalam lubang hasil galian dengan menggunakan selimut material yang stabil. Tidak terdapat standar khusus mengenai metode pembuangan material terkontaminasi, oleh karena itu perlu perencanaan terperinci untuk setiap kasus khusus menyangkut hal ini. 5.3 Pembuangan di laut Dalam pemilihan tempat pembuangan dalam pekerjaan besar, pertimbangan harus dilakukan pada proses pendangkalan yang berlangsung cepat, akibat adanya bahan buangan tersebut. Level dasar laut pada lokasi pembuangan harus aman untuk kapal pembuang pada semua keadaan pasang surut kondisi laut selama pekerjaan dilakukan Apabila sedimen berbutir kasar dipindahkan dengan pengerukan dari system transport sedimen pantai, seperti dalam pemeliharaan kanal yang menahan angkutan litoral, setiap usaha harus dilakukan untuk mengembalikan sedimen kerukan ke areal bagian downdrift dalam sistem sedimen. dengan cara ini, pengaruh buruk yang potensial di coastline dapat dihindari atau seidaknya dikurangi. Proses ini dikenal dengan stand by passing. 5 dari 13

12 Penentuan lokasi sebagai tempat pembuangan material hasil kerukan yang praktis dan dekat dengan lokasi pengerukan seringkali bukan merupakan solusi yang paling ekonomis atau paling memuaskan untuk lingkungan. 5.4 Pemilihan tebing (side casting) Umum Pembuangan material hasil pengerukan dengan side casting meliputi pengeluaran material kerukan sepanjang areal pengerukan dengan mengeluarkan langsung menggunakan dredger bucket atau pemompaan. Sistem ini dapat digunakan untuk mempertahankan pengerukan pada situasi tertentu. Side casting banyak digunakan untuk pekerjaan baru apabila formasi pengerukan hanya sementara, seperti dalam pengerukan parit untuk memasang pipa atau kabel. Hal ini juga berlaku dalam kasus pengerukan ulang material side cast, yang jika sesuai dapat digunakan sebagai bahan pengisi parit bekas galian Jarak side cast Apabila material kerukan akan dibuang dengan side casting, perlu dipastikan bahwa endapan hasil pembuangan cukup jauh dari formasi kerukan dan berada dibagian downdrift dari daerah pengerukan, untuk meminimalkan resiko masuknya material side cast ke areal pengerukan. Untuk material granular, tempat pembuangan harus berada diluar batas kemiringan alami dari areal pengerukan. Material granular harus dapat menyebar luas selama terjadi proses melalui kolam air dan jika kolam air, kedalaman air lebih dari beberapa meter, sejumlah material kerukan dapat masuk kembali ke daerah pengerukan. Untuk partikel endapan lanau dan lempung, dengan kecepatan pengendapan yang lebih rendah dan sudut repose yang lebih kecil, side casting hanya efektif jika ada arus alami untuk memindahkan material endapan hasil kerukan dari areal pengerukan. 5.5 Dispersi Umum Pada situasi tertentu mungkin lebih praktis untuk membuang hasil pengerukan dengan menyebarkan material tersebut ke areal yang luas. Jika hal ini akan dilakukan, material hasil pengerukan harus sangat halus dengan kecepatan pengendapan yang rendah dan terdapat arus dengan kekuatan dan durasi yang cukup untuk mentransfer sedimen keluar dari areal pengerukan ke areal sekitarnya dimana material hasil pengerukan akan mengendap. Yang perlu menjadi pertimbangan adalah bahwa areal ini tidak sensitif terhadap pengaruh material endapan. Pada umumnya, dispersi paling efektif terjadi distuari dengan energi tinggi, dimana besarnya volume sedimen yang bergerak terjadi secara alami. Sebelum metode dispersi digunakan, sangat penting untuk melakukan studi untuk menentukan pola dispersi yang akan terjadi. Metode dispersi sebaiknya tidak digunakan di areal yang sensitif terhadap kontaminasi sedimen halus. Areal tersebut meliputi tempat penampungan alat ekstraksi air. 6 dari 13

13 5.5.2 Penggunaan suction dredger untuk menyebarkan material ke aliran pasang Suction dredger atau Cutter suction dredger yang bekerja menggunakan pipa untuk mengeluarkan hasil pengerukannya, dapat digunakan untuk memindahkan material kerukan keluar dari areal kerja ke tidal stream atau perairan yang dalam. Metode semacam itu biasanya diterapkan untuk perpindahan sedimen yang terkumpul dalam suatu basin yang berdekatan dengan estuari atau sungai. Metode ini dapat menanggulangi masalah locking in and out of docks dengan tongkang dan alat keruk tipe hopper dengan barges atau hopperdredger dan memungkinkan proses pengerukan berjalan terus. Mungkin perlu untuk membatasi waktu pengerjaan dalam keadaan khusus, biasanya saat air surut. 5.6 Agitasi Pengerukan dengan cara agitasi yaitu dengan mendorong material menjadi suspensi secara mekanis atau hidraulis dengan tujuan agar dapat terbawa oleh arus air, hanya dapat digunakan dalam pengerjaan pengerukan pada endapan lepas (loose) material halus di areal pasut tinggi atau arus fluvial yang memadai. Suspensi sedimen dasar dapat dicapai dengan beragam alat pengerukan, termasuk trailing suction hopper dredger, Cutter suction dredger, dustpan dredger, boom dredger, dan dengan bottom scrapping atau alat raking seperti bed-leveller. Keberhasilan motede agitasi tergantung pada jarak antara endapan tersuspensi yang akan dipindahkan dengan lokasi endapan tersebut akan disebarkan. Hal ini tergantung pada tingginya endapan dasar sedimen di kolam air, kecepatan jatuh partikel serta arah dan kekuatan arus air selama tersuspensi. Namun demikian, pengerukan agitasi ini secara lingkungan tidak dapat diterima di banyak lokasi. 5.7 Pemompaan ke darat Umum Material dapat dipompa kedarat jika kondisi tempat dan situasi memperkenankan untuk pembuangan atau reklamasi daratan. Material dengan ukuran butir memiliki pengaruh penting pada jarak pemompaan (lihat Gambar 5.2). Pada umumnya, tidak praktis untuk penempatan fasilitas tambahan lepas pantai lebih dari 1500 m dari garis pantai, kecuali jika digunakan pompa pengerak (booster). Tempat tambatan harus dipilih perlindungan maksimum terhadap alat tambahan dari angin besar dan kondisi laut Areal penampungan Istilah areal penampungan yang dimaksud disini adalah areal tertutup di pantai yang khusus dibangun untuk menampung material hasil pelaksanaan pengerukan. Drainase dari endapan material lanau dan lempung halus dapat menimbulkan masalah, dan yang harus diketahui adalah bahwa setiap areal yang akan dipergunakan sebagai tempat pembuangan material hasil kerukan biasanya dibuat steril untuk periode yang cukup panjang. Jika material hasil pengerukan masih dalam rentang pasir, masalah drainase ini tidak akan muncul. Pertimbangan penting dalam mendesain areal penampungan untuk pembuangan material halus adalah pelepasan uap lembab dari endapan. Uap lembab siap dilepaskan apabila permukaan areal dari endapan relatif lebih besar terhadap kedalamannya. 7 dari 13

14 5.7.3 Kedalaman pengendapan Apabila tidak mungkin untuk memberlakukan peraturan mengenai kedalaman optimum dari endapan tetapi, sebagaimana tertera dalam petunjuk umum, setiap areal yang akan diisi endapan melalui proses tunggal seharusnya tidak melebihi kedalaman akhir setinggi 1,5 m. Kapasitas areal penampungan keseluruhan, harus lebih besar dari volume material kerukan yang akan ditampung. Sedimen halus yang ditransfer ke areal penampungan dengan pemompaan akan melepaskan uap lembab secara sangat lambat, sebagai konsekuensinya densitasnya bertambah besar pada lokasi material yang dikeruk. Bulking yang asli adalah bulking yang lebih tinggi akibat adanya peningkatan kadar air, relatif terhadap kondisi bulk pada lokasi pengerukan tergantung pada karakteristik dari material kerukan. Dengan mengamati perilaku material dalam tes sedimentasi sederhana, dapat dilakukan perkiraan dengan kapasitas maksimum areal penampungan dan kedalaman air yang harus dipertahankan diatas level endapan padat untuk memastikan bahwa aliran yang masuk secara kontinu akan mengalami proses pengendapan yang cukup sebelum drainase dari air bersih supernatant dari areal Penutupan areal penampungan Umumnya material pembuangan di darat ditampung dalam suatu areal dengan pembuatan tanggul-tanggul sebagai penahan, secara ekonomis pembuatan tanggultanggul dapat dilakukan dengan menggunakan material yang ada ditempat tersebut. Jika di tempat itu dilapisi dengan lapisan penutup yang kedalamannya cukup, perlu pembersihan lapisan ini sebelumnya. Jika sesuai, material humus dapat digunakan untuk mengkonstruksi tanggul penutup. Tingginya tanggul penutup harus cukup untuk menampung semua material kerukan yang harus dibuang ke daerah tersebut, dan juga kedalaman air yang memungkinkan terjadinya pengendapan material hasil pemompaan akhir ke areal dan tambahan tinggi jagaan untuk menghindari terjadinya limpasan atau penembusan akibat weathering pada bagian atas tanggul. Secara praktis, tinggi jagaan antara cm cukup tinggi Drainase areal penampungan Drainase dari areal penampungan terdiri dari drainase air supernatant selama proses pengisian awal dan drainase jangka panjang yang terjadi sehingga memungkinkan konsolidasi yang cukup untuk material infilled. Drainase dalam air supernatant selam proses pengisian dapat dicapai dengan struktur bendugan yang sementara atau permanen. Bentuk umum dari konstruksi sementara terdiri dari bendungan baja fabrikasi, segi empat dalam perencanaan, dengan tipe tebing solid dan bagian depan dikonstruksi untuk mengakomodasi drop-boards, yang memungkinkan bertambahnya level bendungan sejalan dengan kemajuan pengisian di areal penampungan. Untuk struktur overflow permanen, diameter besar, precast concrete manhole rings memberikan metode yang nyaman dalam mencapai level over flow yang meningkat secara progresif dan permukaan bendungan yang panjang dalam areal yang relatif kecil dan terbatas. 8 dari 13

15 Pelepasan uap lembab dari material subsequent menjadi endapan dapat dicapai dengan evaporasi, drainase vertikal dan lateral. Dari ketiganya, evaporasi adalah yang terpenting, oleh karena itu harus mempertahankan kerapatan hingga minimum. Proses evaporasi dapat percepat dengan meningkatkan permukaan areal yang terlihat dari atmosfir. Hal ini dapat dilaksanakan dengan regular parit pada jarak yang sangat dekat menimbulkan bagian berombak-ombak pada endapan, peralatan harus diperlukan untuk proses parit (ditching) ini. Drainase dasar dapat terjadi secara alami apabila areal penampungan ditempatkan disubsoil free-draining dan berbutir-butir kecil (granular). Alternatif lain, beberapa bentuk drainase dasar dapat dibentuk sebelum pengisian dimulai. Walaupun begitu, hal ini harus dikenali bahwa pada banyak kasus permeabilitas dari endapan material kerukan akan sangat kecil dan konsekuensinya sistem drainase apapun perlu untuk berada dekat untuk menjadi efektif metode drainase tradisional, seperti drains tanah lempung atau ubin, tidak dapat bekerja dengan efektif kecuali tindakan pencegahan dibuat untuk mencegah ingress material halus. Pengukuran seperti ini dapat mengikutsertakan penggunaan membran (filter sintetis). 6 Pemilihan jenis alat keruk Masing-masing jenis alat keruk memiliki kinerja berbeda untuk berbagai keadaan cuaca dan material tanah dasarnya. Secara umum, alat keruk dengan penggerak sendiri memiliki kelaikan laut yang baik dan dapat digunakan di perairan laut terbuka. Sedangkan alat keruk tanpa penngerak sendiri terutama jenis dengan jangkar tiang mudah dipengaruhi oleh angin dan gelombang. Jenis alat keruk selain memperhatikan keadaan tanah dasarnya ditetapkan setelah memperhatikan keadaan cuaca, sebagi berikut: 1. Gelombang, angin, arus, pasang surut dan daerah teduh 2. Keadaan Laut 3. Kedalaman perairan 4. Lebar kanal dan alur perairan 5. Kekuatan tanah 6. Ukuran partikel 7. Jarak transport ke dumping area. 8. Hari kerja dan jam kerja 9. Volume kerukan dan kedalaman maksimum 10. Luas daerah keruk, tempat tambat dan volume lalu-lintas 11. Tempat berlindung alat keruk dan kapal serta fasilitas perbaikan. 12. Perlengkapan daya, suplai air dan fasilitas penjangkaran. 13. Gaya penjangkaran 14. Akomodasi untuk alat keruk dan kapal pendukung. Pemilihan alat keruk harus disesuaikan dengan kondisi lapangan dan jenis material dasar yang dikeruk sebagaimana tabel berikut: 9 dari 13

16 Tabel 1 Kesesuaian alat keruk dengan kondisi lapangan dan material dasar 10 dari 13

17 7 Persyaratan lokasi pembuangan 7.1 Lokasi pembuangan di perairan Tempat pembuangan material keruk yang lokasinya di perairan, idealnya dibuang pada jarak 12 mil dari daratan danatau pada kedalaman lebih dari 20 m atau lokasi lainnya setelah mendapat rekomendasi atau izin dari otoritas pelabuhan yang berwenang. Lokasi pembuangan material hasil pengerukan di perairan harus memenuhi persyaratan dan tidak diperbolehkan di area: 1. Alur kenavigasian-pelayaran; 2. Kawasan perairan yang merupakan bagian dari hutan lindung; 3. Kawasan perairan yang merupakan bagian dari suaka alam; 4. Kawasan taman nasional laut; 5. Sempadan pantai; 6. Kawasan terumbu karang; 7. Kawasan perairan mangrove 8. Kawasan perikanan dan budidaya; 9. Daerah lain di perairan yang sensitif terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan lokasi pembuangan material hasil keruk di perairan harus dilakukan melalui suatu kajian yang paling sedikit memuat penjelasan tentang: 1. Lokasi rencana buangan material keruk harus memenuhi ketentuan dan tidak bertentangan dengan area yang dijabarkan pada poin 3). 2. Kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter Lws dan/atau 3. Jarak dari garis pantai lebih dari 12 (dua belas) Mil. 4. Studi lingkungan yang dilakukan memenuhi dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ligkungan hidup yang berlaku. 5. Lokasi rencana buang material di perairan tidak boleh mencemari lingkungan perairan dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Pemilihan sebuah dumping area pembuangan di laut harus melibatkan pertimbangan yang bersifat lingkungan dan juga ekonomi dan operasional kelayakan. Pemilihan lokasi dumping area harus dapat dipastikan bahwa pembuangan material dikeruk tidak mengganggu, atau mendevaluasi, penggunaan komersial dan ekonomi yang sah dari lingkungan laut dan/atau menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada ekosistem laut yang rentan. 7.2 Lokasi pembuangan di daratan Tempat pembuangan material keruk di darat harus mendapat persetujuan dari PEMDA setempat yang berkaitan dengan penguasaan lahan yang sesuai RUTR. Lokasi pembuangan material hasil pengerukan di darat harus memenuhi persyaratan dan tidak diperbolehkan di area: 1. Kawasan hutan lindung; 2. Kawasan suaka alam; 3. Kawasan taman nasional; 4. Taman wisata alam; 11 dari 13

18 5. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 6. Kawasan pemukiman; 7. Daerah lain yang sensitif terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lokasi pembuangan material hasil keruk yang berada di daratan tidak boleh menyebabkan terjadinya pencemaran kualitas tanah dan/atau kualitas air tanah setelah material hasil keruk di buang di lokasi yang direncanakan. 12 dari 13

19 Bibliografi Pedoman Teknis Kegiatan Pengerukan dan Reklamasi, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan, Standard Design Criteria for Ports in Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan, Thoresen, Carl A. Port Design Guidelines and Recommendations. Trondheim: Tapir Publishers, Thoresen, C. A., Port Designer's Handbook: Recommendations and Guidelines. London: Thomas Telford. 13 dari 13

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengerukan dan reklamasi sebagaimana diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 107 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun

Lebih terperinci

Fasilitas dan peralatan di pelabuhan untuk pelayanan kapal pesiar tipe yacht

Fasilitas dan peralatan di pelabuhan untuk pelayanan kapal pesiar tipe yacht SNI XXXX:XXXX Standar Nasional Indonesia Fasilitas dan peralatan di pelabuhan untuk pelayanan kapal pesiar tipe yacht ICS XX.XXXX Badan Standardisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i Prakata... iii

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

Bab iv Pelaksanaan dan proses pekerjaan Pengerukan

Bab iv Pelaksanaan dan proses pekerjaan Pengerukan Bab iv Pelaksanaan dan proses pekerjaan Pengerukan Di dalam bab ini terdapat dua hal yang akan dibahas, yaitu pelaksanaan dan proses pekerjaan pengerukan. Secara umum, pelaksanaan pengerukan antara lain

Lebih terperinci

Reklamasi Rawa. Manajemen Rawa

Reklamasi Rawa. Manajemen Rawa Reklamasi Rawa Manajemen Rawa Reklamasi lahan adalah proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai. tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2015 KEMENHUB. Penyelenggara Pelabuhan. Pelabuhan. Komersial. Peningkatan Fungsi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 23 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London

Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London Daftar pustaka Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London. 1979. United Nations Development Programme. Dredging For Navigation: a Handbook For Port and Waterways Authorities.

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pelabuhan merupakan salah satu jaringan transportasi yang menghubungkan transportasi laut dengan transportasi darat. Luas lautan meliputi kira-kira 70 persen dari luas

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE

OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE PROSIDING 20 13 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK OPTIMALISASI DERMAGA PELABUHAN BAJOE KABUPATEN BONE Jurusan Perkapalan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Desain Konsep Self-Propelled Backhoe Dredger untuk Operasi Wilayah Sungai Kalimas Surabaya

Desain Konsep Self-Propelled Backhoe Dredger untuk Operasi Wilayah Sungai Kalimas Surabaya JURNAL TEKNIK ITS Vol. 7, No. 1 (2018), 2337-3520 (2301-928X Print) G 31 Desain Konsep Self-Propelled Backhoe Dredger untuk Operasi Wilayah Sungai Kalimas Surabaya Fajar Andinuari dan Hesty Anita Kurniawati

Lebih terperinci

PENGERUKAN PELABUHAN

PENGERUKAN PELABUHAN METODA PELAKSANAAN PENGERUKAN PELABUHAN ABSTRAK Dalam merencanakan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan, masalah sedimentasi atau pendangkalan harus diminimalisasi terutama pada kolam Pelabuhan guna

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM NOMOR: KP 99 TAHUN 2017 NOMOR: 156/SPJ/KA/l 1/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

TIPE DERMAGA. Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu

TIPE DERMAGA. Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu DERMAGA Peranan Demaga sangat penting, karena harus dapat memenuhi semua aktifitas-aktifitas distribusi fisik di Pelabuhan, antara lain : 1. menaik turunkan penumpang dengan lancar, 2. mengangkut dan membongkar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 220, 2015 KEUANGAN. PPN. Jasa Kepelabuhanan. Perusahaan Angkutan Laut. Luar Negeri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5742). PERATURAN

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca : 1. surat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN : 1 BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN, ANGKUTAN SUNGAI, DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1880, 2014 KEMENHUB. Pengerukan. Reklamasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 74 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002 Tentang PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan telah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA 5.1. KESIMPULAN Kawasan Strategis Pantai Utara yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi DKI Jakarta sesuai

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 276, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkatan Laut. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 37 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1089, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelayaran. Sungai. Danau. Alur. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI

Lebih terperinci

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1764, 2015 KEMENHUB. Pelabuhan. Labuan Bajo. NTT. Rencana Induk PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 183 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.633, 2012 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan. Tanjung Priok. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 38 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK

Lebih terperinci

KEWENANGAN PERIZINAN REKLAMASI

KEWENANGAN PERIZINAN REKLAMASI KEWENANGAN PERIZINAN REKLAMASI http://www.beritabenoa.com I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara maritim mempunyai garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia dengan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Tegal. Jawa Tengah. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1522,2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Makassar. Sulawesi Selatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 92 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.363, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan. Tanjung Balai Karimun. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.731, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pencemaran. Perairan. Pelabuhan. Penanggulangan PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Abstrak Penulisan ini akan dikaji mengenai multi fungsi hidrolik untuk kapal keruk 30 M. Dengan kajian ini diharapkan dapat mengoptimalkan dan memenuh

Abstrak Penulisan ini akan dikaji mengenai multi fungsi hidrolik untuk kapal keruk 30 M. Dengan kajian ini diharapkan dapat mengoptimalkan dan memenuh Abstrak Penulisan ini akan dikaji mengenai multi fungsi hidrolik untuk kapal keruk 30 M. Dengan kajian ini diharapkan dapat mengoptimalkan dan memenuhi sistem hidrolik kebutuhan kapal keruk. Berangkat

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Sungai Musi mempunyai panjang ± 750 km

Sungai Musi mempunyai panjang ± 750 km STUDI PENETAPAN TARIF ALUR PELAYARAN (CHANNEL FEE) : STUDI KASUS SUNGAI MUSI Septyan Adi Nugroho, Murdjito Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA

BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TAMBAT, LABUH KAPAL LAUT DAN RAKIT KAYU DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN UMUM Kegiatan kenavigasian mempunyai peranan penting dalam mengupayakan keselamatan berlayar guna mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi serta industri saat ini diikuti dengan bertambahnya permintaan dari industri untuk bahan tambang ataupun mineral, salah satunya yaitu timah.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1879, 2014 KEMENHUB. Pelabuhan. Terminal. Khusus. Kepentingan Sendiri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 73 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR : 45 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1439, 2015 KEMENHUB. Kepelabuhanan. Konsensi. Bentuk Kerja Sama. Pemerintah. Badan Usaha Pelabuhan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 15 TAHUN

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara No.785, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Harga Jual. Jasa Kepelabuhan. Badan Usaha Pelabuhan. Penetapan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 95 TAHUN 2015

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 05 TAHUN 2014 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.430,2016 KEMENHUB. Jasa. Angkutan Penyeberangan. Pengaturan dan Pengendalian. Kendaraan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 27 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 431, 2016 KEMENHUB. Penumpang. Angkutan Penyeberangan. Kewajiban. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 28 TAHUN 2016 TENTANG KEWAJIBAN PENUMPANG

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. BAB VI PenUTUP

BAB 6 PENUTUP. BAB VI PenUTUP BAB VI PenUTUP Pembahasan survey hidrografi dan pelaksanaan pengerukan secara keseluruhan mulai dari : penjelasan lingkup pekerjaan pengerukan, pengumpulan dan pengolahan data survey hidrografi, pelaksanaan

Lebih terperinci

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 69/1998, PRASARANA DAN SARANA KERETA API *35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PADA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN TANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERIZINAN ANGKUTAN DAN PENGELOLAAN TAMBATAN DI PERAIRAN KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAMASI UNTUK KAWASAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN BARU (KPPB) DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR

BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR Penyusunan RKS Perhitungan Analisa Harga Satuan dan RAB Selesai Gambar 3.1 Flowchart Penyusunan Tugas Akhir BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR 4.1 Data - Data Teknis Bentuk pintu air

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian

Lebih terperinci

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Gambar 7.2 Potongan A A dari Gambar 7.1

Gambar 7.2 Potongan A A dari Gambar 7.1 Gambar 7.2 Potongan A A dari Gambar 7.1 Pembersihan lapangan (Gambar 7.3) Sebelum reklamasi dilaksanakam, perairan pantai perlu dibersihkan dari bahan bahan organik dan anorganik berupa sampah kota, bangkai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian

Lebih terperinci

PENATAAN KAWASAN PULAU, PANTAI, PESISIR, DAN PELABUHAN

PENATAAN KAWASAN PULAU, PANTAI, PESISIR, DAN PELABUHAN WALIKOTA MAKASSAR PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAAN KAWASAN PULAU, PANTAI, PESISIR, DAN PELABUHAN BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2004 LEMBARAN DAERAH

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 1.

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 1. LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan Bab 1 Pendahuluan Bab 1 Pendahuluan Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe

Lebih terperinci

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) - 35-7. BIDANG PERHUBUNGAN 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten 2. Pemberian izin penyelenggaraan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Oleh : Presiden Republik Indonesia Nomor : 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal : 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber : LN 1991/35; TLN NO. 3441 Presiden Republik

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi luas perairan 3,1 juta km 2, terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. (Dishidros,1992).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

PENANGANAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. Kementerian Pekerjaan Umum

PENANGANAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. Kementerian Pekerjaan Umum PENANGANAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Kementerian Pekerjaan Umum 1 KERUSAKAN 501 Pengendapan/Pendangkalan Pengendapan atau pendangkalan : Alur sungai menjadi sempit maka dapat mengakibatkan terjadinya afflux

Lebih terperinci

BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG SALINAN BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN SUNGAI YANG MELINTASI JEMBATAN DI WILAYAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN

Lebih terperinci

BAB II LiNGKUP PEKERJAAN PeNGERUKAN ALUR PELAYARAN PELABUHAN

BAB II LiNGKUP PEKERJAAN PeNGERUKAN ALUR PELAYARAN PELABUHAN BAB II LiNGKUP PEKERJAAN PeNGERUKAN ALUR PELAYARAN PELABUHAN Pekerjaan pengerukan dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: Pengerukan Awal (Capital Dredging), Pengerukan Perawatan (Maintenance Dredging),

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROSEDUR UNTUK MENDAPATKAN REKOMENDASI IJIN PENETAPAN LOKASI TERMINAL KHUSUS DI PROVINSI

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI ALOR, : a. bahwa pelabuhan mempunyai peran

Lebih terperinci

PRESENTASI PROYEK AKHIR D-IV TPLP TEKNIK SIPIL

PRESENTASI PROYEK AKHIR D-IV TPLP TEKNIK SIPIL PRESENTASI PROYEK AKHIR D-IV TPLP TEKNIK SIPIL ANALISIS RENCANA PEMANFAATAN LAHAN REKLAMASI PANTAI CEMPA E UNTUK PANGKALAN PENDARATAN IKAN DI KECAMATAN SOREANG KELURAHAN WATTANG SOREANG PAREPARE SULAWESI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sungai sebagai sumber air sangat penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci