BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO),

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO),"

Transkripsi

1 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Pemberian vitamin D (1,25(OH) 2 D 3 ) terbukti dapat mencegah terjadinya fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO), dilihat dari hal-hal berikut : 5. Kadar Transforming Growth Factors Beta-1 (TGF-β1) pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 6. Fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 7. Fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 8. Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D. V.2. Saran Pada penelitian ini, peran vitamin D dilihat pada fibrosis di ruang interstisial ginjal. Pada penelitian selanjutnya dapat dilihat bagaimana peran vitamin D terhadap perbaikan kerusakan tubulus ginjal pada model obstruksi ureter, kaitannya dengan peran vitamin D terhadap regangan dan proliferasi epitel tubulus ginjal. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap ekspresi

2 68 reseptor vitamin D di epitel tubulus renalis sehingga akan lebih diketahui mekanisme aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Vitamin D juga diduga berperan dalam mencegah timbulnya glomerulosklerosis. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme aksi vitamin D dalam mencegah glomerulosklerosis. V.3. Ringkasan V.3.1. Latar Belakang Fibrosis ginjal merupakan tahapan yang dialami oleh penderita gagal ginjal kronis yang tidak tertangani dengan baik, yang berdampak pada terjadinya penyakit ginjal terminal (End Stage Renal Disease/ESRD). Selain dapat disebabkan oleh peradangan akut dan obstruksi traktus urinarius kronis, fibrosis ginjal juga dapat disebabkan oleh kegagalan penyembuhan penyakit yang mendahuluinya (Liu, 2006). Fibrosis ginjal mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal yang vital bagi tubuh, diantaranya dalam menghasilkan urin, memelihara keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, metabolisme vitamin D dan menghasilkan eritropoietin. Akibatnya, terjadi gangguan homeostasis tubuh yang dapat mengenai seluruh sistem organ (Schnaper, 2005). Proses fibrosis ginjal meliputi 2 bentuk, yaitu glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial. Dari dua proses tersebut, fibrosis tubulointerstisial paling banyak berkembang menjadi ESRD (Nangaku, 2004). Terjadinya fibrosis ditandai dengan peningkatan level marker fibrosis, satu diantaranya adalah transforming growth factor beta-1 (TGF-β1).

3 69 TGF-β1 merupakan salah satu sitokin yang berperan dalam patomekanisme biomolekuler yang mendasari progresifitas penyakit ginjal (Border dan Noble, 1994). TGF-β1 bekerja sebagai stimulator pembentukan ECM, melalui 4 proses, yaitu 1) stimulasi sintesis komponen ECM, 2) stimulasi sintesis integrin, yaitu reseptor membran yang memungkinkan sel mengenali molekul ECM tertentu pada membran basalis maupun sel lain, 3) menghambat sintesis protease inhibitor yang berfungsi memecah ECM, dan 4) mengurangi sintesis enzim ECM-degrading protease yang memecah ECM. Disamping itu, TGF-β1 juga menstimulasi produksi beberapa faktor pertumbuhan (growth factor) seperti basis fibroblast growth factors (bfgf) dan platelet derived growth factors (PDGF) yang juga menstimulasi pembentukan protein matriks ekstraseluler (Trihono, 2011). Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) merupakan model fibrosis tubulointerstisial ginjal yang telah banyak dikerjakan. Fibrosis interstisial pada UUO diawali dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi, yang kemudian memproduksi sitokin-sitokin yang bertanggung jawab terhadap apoptosis tubulus, proliferasi dan aktivasi fibroblast menjadi miofibroblast. Miofibroblast bersifat kontraktil dan mampu menghasilkan ECM dalam jumlah besar (Chevalier et al., 2009). Kelebihan UUO sebagai model fibrosis tubulointerstisial ginjal meliputi tidak adanya toksin eksogen, lingkungan uremik yang dapat diminimalisir, serta dapat dimanfaatkannya ginjal kontralateral sebagai kontrol (Chevalier, 2009). Selain itu, waktu yang diperlukan untuk menimbulkan fibrosis juga lebih singkat, yaitu berkisar antara 7-14 hari.

4 70 Vitamin D, selain dikenal memiliki peran penting dalam metabolisme mineral tulang, juga berperan dalam berbagai fungsi biologis tubuh yang lain, diantaranya dalam sistem imun, sistem kardiovaskular, sistem reproduksi dan resistensi insulin. Vitamin D juga diketahui memiliki efek renoprotektif. Vitamin D mensupresi fibrosis ginjal dengan menghambat transduksi sinyal Smad-TGF-β melalui interaksi langsung dengan Smad3 (Ito et al., 2013). Penelitian pada sel mesenkim multipoten menunjukkan bahwa vitamin D mampu menurunkan ekspresi kolagen tipe I dan III, serta faktor profibrotik TGF-β1. Namun sebaliknya, vitamin D mampu meningkatkan ekspresi antagonis TGF-β1 (BMP-7) dan MMP8 yang merupakan faktor pemicu pemecahan kolagen (Artaza dan Norris, 2009). Vitamin D juga diduga mencegah pembentukan miofibroblast ginjal dengan menginduksi pembentukan Hepatocyte Growth Factors (HGF) oleh hepar (Li et al., 2005). Beberapa mekanisme sasaran aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis telah diteliti (Li et al., 2005; Ito et al., 2013), namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi mekanisme aksi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penulis meneliti pengaruh pemberian vitamin D terhadap pencegahan fibrosis ginjal dilihat dari parameter TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast di ginjal. V.3.2. Tinjauan Pustaka Fibrosis ginjal ditandai oleh akumulasi dari fibroblast dan matriks ekstraseluler yang berlebihan dan infiltrasi sel-sel inflamasi di ruang interstisial

5 71 ginjal. Selain itu, pada fibrosis ginjal juga terjadi apoptosis epitel tubulus dan degenerasi fungsi tubulus, sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi nefron baik filtrasi, reabsorpsi maupun sekresi, sehingga mengakibatkan perubahan jumlah dan komposisi urin yang dihasilkan. Fibrosis tubulointerstisial ginjal dianggap merupakan penanda dari penyakit ginjal progresif, yang akan berakibat terjadinya gagal ginjal kronis (Kuncio et al., 1991; Struz dan Zeisberg, 2006). Gambaran histopatologis pada fibrosis tubulointerstisial yaitu adanya penimbunan matriks di ruang intestisial yang berhubungan dengan sel-sel inflamasi, hilangnya epitel tubulus, akumulasi fibroblast dan penipisan pembuluh darah peritubuler. Semua faktor tersebut berperan dalam progresifitas fibrosis ginjal, meskipun masih belum terungkap dengan pasti faktor mana yang paling berpengaruh dan bagaimana hubungan antar faktor-faktor tersebut dalam berkontribusi terhadap fibrogenesis (Bohle et al., 1979). Pada fibrosis, terjadi peningkatan kadar TGF-β1 yang kemudian mengawali munculnya sel-sel inflamasi dan fibroblast menuju lokasi cedera yang kemudian menstimulasi sel tersebut untuk menghasilkan sitokin dan matriks ekstraseluler. Selain itu, TGF-β1 juga meningkatkan sekresi inhibitor protease yang merupakan stimulator poten bagi akumulasi matriks ekstraseluler (Roberts dan Sporn 1996). Komponen matriks ekstraseluler pada fibrosis tubulointerstisial didominasi oleh kolagen, terutama kolagen tipe I, II dan IV. Peningkatan sintesis kolagen dimediasi oleh TGF-β1, melalui peningkatan ekspresi gen kolagen serta melalui

6 72 aktivasi dan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast. Aktivasi fibroblast menjadi miofibroblast ditandai dengan adanya ekspresi α-smooth muscle actin (α- SMA). Pada kultur, adanya ekspresi α-sma menyebabkan miofibroblast memiliki kekuatan kontraksi dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan fibroblast yang tidak memiliki ekspresi α-sma (Hinz et al., 2001). Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) merupakan tindakan operatif yang dianggap representatif sebagai model fibrosis ginjal. UUO dilakukan dengan cara melakukan ligasi dan pemotongan ureter pada salah satu sisi (kanan/kiri) (Chevalier et al., 2009). Ligasi pada ureter mengakibatkan terjadinya stasis urin, yang diikuti dengan adanya peningkatan tekanan di dalam tubulus renalis. Regangan pada epitel tubulus renalis akan memicu terjadinya inflamasi serta pelepasan berbagai mediator dan sitokin (Liu, 2011), yang jika terus berlanjut akan mengakibatkan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast (Nagle et al., 1973). Proliferasi fibroblast menyebabkan peningkatan peningkatan sintesis dan akumulasi kolagen di ruang interstisial ginjal (Sharma et al., 1993). Pada UUO, fibrosis interstisial terjadi sejak hari ke-5 sampai hari ke-12, dan semakin berat pada hari ke-19 (Cachat et al., 2003). Vitamin D merupakan senyawa yang larut dalam lipid. Setelah disintesis di kulit, Vitamin D3 ditransport di dalam darah oleh vitamin D binding protein. Konsentrasi vitamin D dalam darah meningkat dalam 24 jam setelah paparan UV, dan kembali ke konsentrasi semula setelah 7 hari. Fungsi utama dari bentuk aktif vitamin D 1,25(OH) 2 D 3 adalah memelihara homeostasis ion kalsium dan fosfat (Gilaberte et al., 2011). Dalam memelihara keseimbangan ion kalsium dan fosfat,

7 73 1,25(OH) 2 D 3 di traktus gastrointestinal kemudian masuk ke dalam sel usus dan berikatan dengan reseptor vitamin D (vitamin D receptor/vdr), dan membentuk struktur heterodimer dengan kompleks asam retinoat dan reseptornya. Kompleks ini kemudian masuk ke nukleus dan berikatan dengan area spesifik pada DNA, yang disebut VDR-element (VDRE). VDRE berhubungan dengan transkripsi ratusan gen pada manusia yang diperantarai vitamin D, yang berhubungan dengan absorpsi kalsium dan fosfat usus dan remodeling tulang dalam rangka memelihara homeostasis kalsium dalam tubuh (Uitterlinden et al., 2004). Mekanisme ini disebut sebagai respon klasik atau respon genomik vitamin D. Vitamin D juga dapat bekerja melalui jalur non-klasik atau jalur nongenomik (respon cepat). Mekanisme ini berlangsung ketika vitamin D terikat dengan VDR yang terhubung dengan kaveola membran plasma, yang kemudian akan mengaktivasi transduksi sinyal meliputi protein kinase C, fosfolipase A2, fosfolipase C, dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Huktakangans et al., 2004). Selain di usus, VDR diekspresikan di berbagai tempat, misalnya tulang, kulit, sel-sel sistem imun, pankreas dan pembuluh darah. Oleh karena itu, vitamin juga berperan dalam memodulasi sistem imun, pemeliharaan kepadatan tulang, sekresi insulin dan hormon paratiroid, serta dalam sistem kardiovaskuler (Lips, 2006). Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa vitamin D memiliki efek renoprotektif. Mekanisme potensial vitamin D dalam proteksi ginjal yang pertama adalah efek anti-inflamasi. Vitamin D mampu menurunkan infiltrasi sel-

8 74 sel inflamasi di glomerolus maupun ruang interstisial akibat berbagai macam cedera (Griffin et al., 2001). Mekanisme kedua adalah kemampuan vitamin D dalam menghambat ekspresi gen renin. Penelitian Li et al. (2002) menunjukkan bahwa gen renin dikontrol secara negatif oleh reseptor vitamin D (VDR). Penelitian in-vitro yang dilakukan oleh Li et al. (2005) memperlihatkan bahwa pada fibrosis interstisial, pemberian vitamin D aktif dapat menghambat aktivasi miofibroblast, dengan menginduksi ekspresi hepatocyte growth factors (HGF), melalui interaksi VDR dan VDRE dengan region promoter HGF. HGF merupakan suatu glikoprotein dapat ditemukan pada sel mesangial, fibroblast interstisial dan sel endotel. Induksi HGF menurunkan ekspresi α-sma, marker adanya miofibroblast. Transforming Growth Factor Beta-1 (TGF-β1), sebagaimana telah dijabarkan di atas, merupakan mediator penting dalam proses fibrogenesis di ginjal. Peningkatan sintesis dan aktivitas TGF-β1 yang diperantarai oleh fosforilasi smad2/3 kemudian memicu proliferasi fibroblast dan peningkatkan transkripsi gen kolagen (Col1a1) sehingga berujung pada peningkatan akumulasi kolagen di ruang interstisial ginjal. Penelitian Ito et al. (2013) menyebutkan bahwa vitamin D mampu mencegah terjadinya fibrosis ginjal dengan cara menghambat transduksi sinyal TGF-β-Smad melalui interaksi langsung dengan Smad3. Vitamin D tidak mencegah fosforilasi Smad2 dan Smad3 (psmad), akan tetapi menghalangi pengikatan psmad ke region promoter pada target gen TGF-β1 yang berhubungan dengan fibrogenesis yaitu Serpine1 dan Acta2. Hal ini mengakibatkan terhambatnya proses fibrogenesis yang dimediasi oleh TGF-β1.

9 75 V.3.3. Jalannya Penelitian Mencit jantan background Swiss Webster sebanyak 25 ekor usia 6-8 minggu dengan berat badan gram diambil dari Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan (UPHP) LPPT UGM. Mencit dipelihara di kandang milik Laboratorium Anatomi dan Embriologi FK UGM, diberi pakan AD2 dan air minum dari kran secara ad libitum. Kandang ditempatkan dalam suhu ruangan dengan siklus gelap terang 12 jam. Setelah di adaptasi selam 7 hari, mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok: Kelompok SO : mencit dengan sham-uuo, mendapatkan vehicle (etanol 0,2%) i.p selama 14 hari. Kelompok UUO : mencit dengan UUO, mendapatkan vehicle (etanol 0,2%)i.p selama 14 hari. Kelompok UD1 : mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,125 μg/kg/hari i.p selama 14 hari Kelompok UD2 : mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,25 μg/kg/hari i.p selama 14 hari. Kelompok UD3 : mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,5 μg/kg/hari i.p selama 14 hari. Tindakan UUO dilakukan dengan cara melakukan insisi pada region flank sebelah kanan, kemudian ureter proksimal dan distal diikat, kemudian dipotong diantaranya, setelah itu luka ditutup kembali. Prosedur yang sama dilakukan untuk sham-uuo, kecuali tidak dilakukan pengikatan dan pemotongan ureter. Setelah 14 hari perlakuan, mencit dieutanasia, organ ginjal diambil untuk dilakukan

10 76 analisis terhadap kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast. Kadar TGF-β1 diperiksa dengan metode sandwich ELISA. Fraksi area kolagen ditentukan dengan menghitung luas jaringan kolagen di ruang interstisial ginjal yang tampak berwarna merah dengan pengecatan picrosirius red dibandingkan dengan luas area keseluruhan dalam satu lapang pandang menggunakan software ImageJ, yang diukur dalam 15 lapang pandang. Fraksi area miofibroblast ditentukan dengan menghitung luas jaringan miofibroblast di ruang interstisial tubulus ginjal yang berwarna coklat dengan pengecatan imunohistokimiawi menggunakan antibodi α-sma (Sigma ) dibandingkan dengan luas area keseluruhan lapang pandang menggunakan software ImageJ, yang diukur dalam 15 lapang pandang. V.3.4. Hasil dan Pembahasan Pada penelitian ini diperoleh data bahwa Pada kelompok sham-uuo, nilai median (min-maks) kadar TGF-β1 di jaringan ginjal adalah 5,72(4,93-6,93)pg/ml, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok UUO 76,07(46,71-113,23)pg/ml, dengan perbedaan yang signifikan (p=0,009). Peran TGF-β1 dalam fibrogenesis ginjal salah satunya telah diteliti oleh Wang et al. (2005) yang menyatakan bahwa pada mencit dengan UUO, kelompok wild type menunjukkan gambaran fibrosis ginjal, sementara pada kelompok mencit transgenik TGF-β1 memperlihatkan jaringan ginjal yang normal. Pada kelompok sham-uuo, rerata±sem fraksi area kolagen di ruang interstisial tubulus ginjal adalah (4,64±0,49)%, lebih rendah dibandingkan kelompok UUO 14 hari (19,97±1,82)%, dengan nilai p<0,001. Timbulnya fibrosis

11 77 di tubulointerstisial ginjal dapat ditandai dengan adanya miofibroblast, yang dalam keadaan normal tidak terdapat di ruang interstisial tubulus ginjal. Setelah 14 hari UUO, jaringan miofibroblast tampak terlihat berwarna coklat dengan pewarnaan imunohistokimiawi menggunakan antibodi primer α-sma, dengan median 21,17(17,30-25,99)%, sedangkan pada kelompok sham-uuo hanya sebesar 0,66(0,29-7,49)%. Uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,009. Adanya perbedaan indikator fibrosis yang signifikan antara kelompok UUO 14 hari dengan kelompok sham-uuo menunjukkan bahwa kedua kelompok ini dapat dijadikan sebagai kontrol positif dan kontrol negatif dari fibrosis ginjal. Obstruksi ureter selama 14 hari mengakibatkan terjadinya fibrosis ginjal. Sementara itu, sham-uuo memperlihatkan kondisi ginjal yang normal, baik dilihat dari fraksi area kolagen, miofibroblast dan kadar TGF-β1. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa UUO merupakan model yang representatif untuk fibrosis interstisial ginjal. Penelitian Haralambous et al. (1993) menunjukkan bahwa UUO kronis pada tikus neonatus memperlihatkan adanya peningkatan deposisi kolagen tipe I, III dan V di ruang interstisial ginjal. Miyajima et al. (2003) juga menyebutkan bahwa pada UUO kronis terdapat apoptosis tubulus renalis dan fibrosis interstisial. Setahun berikutnya, Misseri et al.(2004) menyatakan bahwa setelah UUO, terjadi apoptosis epitel tubulus renalis yang diakibatkan oleh aktivasi TNF-α yang merupakan mediator apoptosis. Mekanisme UUO dalam mengakibatkan fibrosis interstisial ginjal telah banyak diteliti. UUO mengakibatkan infiltrasi makrofag di ruang interstisial

12 78 ginjal (Tashiro et al., 2003). Makrofag kemudian memproduksi sitokin-sitokin yang berperan dalam apoptosis tubulus serta aktivasi dan proliferasi fibroblast. Salah satu sitokin pro-fibrotik yang bertanggung jawab dalam fibrogenesis adalah TGF-β1. Pada penelitian ini, terjadi peningkatan kadar TGF-β1 di jaringan ginjal setelah UUO 14 hari. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ito et al.(2013) bahwa pada ginjal dengan UUO, terjadi peningkatan mrna TGF-β1 sampai 15 kali lipat dibandingkan dengan kelompok sham-uuo Setelah teraktivasi dari bentuk latennya, TGF-β1 berikatan dengan reseptor TGF-β1 di membran, kemudian mengakibatkan fosforilasi protein turunannya yaitu Smad2 dan Smad3. Fosforilasi Smad2/3 (psmad) tersebut mengaktivasi transkripsi gen, yang dapat mengakibatkan aktivasi dan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast dan aktivasi sel epitel tubulus untuk membentuk matriks ekstraseluler, menurunkan degradasi matriks ekstraseluler dan memicu apoptosis (Hovatar dan Sanders, 2012). Proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast ditandai dengan adanya ekspresi α-sma, suatu protein yang mengakibatkan miofibroblast kemampuan berkontraksi. Miofibroblast menghasilkan kolagen dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan fibroblast (Liu, 2011). Selain akibat aktivasi dan proliferasi fibroblast, akumulasi matriks ekstraseluler yang didominasi oleh kolagen timbul akibat transkripsi gen Col1a1 yang meningkat akibat peningkatan kadar TGF-β1 (Ito et al., 2013). Pemberian vitamin D diharapkan dapat mencegah ataupun menghambat proses fibrogenesis di ruang interstisial tubulus ginjal. Pada penelitian ini, nilai rerata kadar TGF-β1 pada kelompok yang diberi vitamin D lebih rendah dibanding kelompok UUO 14 hari (p=0,009). Fraksi area kolagen

13 79 pada kelompok yang diberi vitamin D juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok UUO 14 hari (p<0,001). Hasil ini sesuai dengan penelitian Zhang et al., (2010) bahwa mencit wild type dengan UUO 7 hari memperlihatkan fibrosis yang lebih ringan dibandingkan dengan mencit yang tidak memiliki reseptor vitamin D (VDR). Keparahan fibrosis pada penelitian tersebut dilihat dari banyaknya deposisi kolagen dan fibronektin di ruang interstisial ginjal. Vitamin D juga mampu mengurangi ekspresi kolagen dan faktor profibrotik lain pada sel mesenkim multipoten (Artaza dan Norris, 2008). Fraksi area miofibroblast yang terbentuk di ruang interstisial tubulus ginjal pada kelompok UUO lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok yang mendapatkan injeksi vitamin D (p=0,009). Hasil ini sesuai dengan penelitian Li et al. (2005) yang menyebutkan bahwa pemberian 1,25-dihydroxyvitamin D3 pada konsentrasi 10-6 mol/l dapat menghambat ekspresi α-sma yang diinduksi oleh TGF-β1. Penelitian Tan et al.(2006) juga menyebutkan bahwa pemberian paricalcitol, suatu analog vitamin D, dapat menghambat aktivasi α-sma pada ginjal obstruktif. Menurut penelitian tersebut, pemberian TGF-β1 secara langsung dapat menginduksi ekspresi α-sma pada fibroblast interstisial ginjal tikus normal. Ito et al.(2013) juga menyatakan hasil yang serupa yaitu bahwa pemberian 1,25(OH) 2 D 3 menurunkan ekspresi α-sma. Ekspresi α-sma diketahui menjadi marker terbentuknya miofibroblast di jaringan interstisial ginjal, dan merupakan salah satu proses penting dalam patogenesis penyakit ginjal kronis. Terbentuknya jaringan kolagen dan aktivasi miofibroblast di ruang interstisial ginjal dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya fibrosis. Rendahnya

14 80 persentase pembentukan kolagen dan miofibroblast pada kelompok vitamin D dibandingkan kelompok UUO menunjukkan bahwa vitamin D mampu menghambat proses fibrogenesis ginjal. Mekanisme kerja vitamin D dalam menghambat pembentukan miofibroblast salah satu diantaranya adalah bahwa vitamin D dapat menginduksi ekspresi gen Hepatocyte Growth Factors (HGF), suatu glikoprotein yang dalam ginjal normal terdapat pada sel mesangial, fobroblast interstisial dan sel endotel (Li et al., 2005), melalui interaksi antara reseptor vitamin D dan VDRE dengan region promoter HGF. HGF diketahui mampu mensupresi aktivasi miofibroblast, dan menghambat perubahan epitel tubulus menjadi sel mesenkim. Akan tetapi, netralisasi aktivasi HGF ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan efek antifibrotik dari vitamin D (Li et al., 2005), sehingga diduga terdapat mekanisme lain mengenai kerja vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Mekanisme lain yang mendasari kerja vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal dapat ditelusuri dari TGF-β1. Pada penelitian ini, kadar TGF-β1 pada kelompok vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan kelompok UUO 14 hari (p=0,009). Vitamin D dapat menghambat pembentukan TGF-β1 dan mengurangi ekspresi reseptornya (Tan et al., 2006). Penelitian Ito et al. (2013) menyebutkan bahwa vitamin D mencegah fibrosis ginjal dengan cara menghambat transduksi sinyal TGF-β-Smad. Menurut penelitian tersebut, vitamin D menghambat transduksi sinyal TGF-β-Smad dengan cara menghambat rekrutmen psmad3 ke area promoter pada target gen TGF-β yaitu Serpine1 (mengkode plasminogen

15 81 activator inhibitor-1), acta2 (mengkode α-sma) dan Col1a1 (mengkode kolagen tipe I). Peran vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal juga terlihat jika membandingkan kelompok yang mendapatkan vitamin D dengan kelompok sham- UUO. Rerata kadar TGF-β1 pada kelompok yang mendapat vitamin D lebih rendah dibanding dengan kelompok sham-uuo, namun hasil ini tidak bermakna secara signifikan (p>0,05). Perbedaan kadar TGF-β1 pada kelompok vitamin D dengan kelompok sham-uuo dimungkinkan terjadi akibat cara dan waktu pemberian perlakuan, serta respon biologis dari hewan coba. Selain itu, dapat juga akibat bervariasnya jalur kaskade fibrogenesis yang tidak semuanya dapat dihambat oleh vitamin D. Sejalan dengan kadar TGF-β1, jaringan kolagen yang terbentuk di ruang interstisial ginjal pada kelompok sham-uuo lebih rendah dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang mendapatkan vitamin D dan bermakna secara statistik, dengan nilai p < 0,05. Pemberian vitamin D mampu mengurangi pembentukan jaringan kolagen, namun tidak menghambat sepenuhnya. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dosis terhadap respon yang ditimbulkan, pada penelitian ini vitamin D diberikan dalam 3 dosis, yaitu UD1(0,125µg/kgBB); UD2(0,25µg/kgBB) dan UD3(0,5µg/kgBB). Nilai median (min-maks) kadar TGF-β1 pada masing-masing kelompok tidak jauh berbeda, yaitu UD1 5,39(4,93-6,05)pg/mL, UD2 4,93(4,20-6,05)pg/mL, dan UD3 4,77(3,92-9,07)pg/mL. Perbedaan dosis pemberian ini ternyata tidak

16 82 menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p kadar TGFβ1, dimana antara kelompok UD1 dengan UD2 memiliki nilai p=0,338, kelompok UD1 dengan UD3 dengan nilai p=0,600, dan antara kelompok UD2 dengan UD3 memiliki nilai p=1,000. Hasil yang serupa juga terlihat pada fraksi area kolagen di ruang interstisial tubulus ginjal. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna, dilihat dari nilai p antara kelompok UD1 dengan UD2 (p=0,948), kelompok UD1 dengan UD3 (p=0,289), dan kelompok UD2 dengan UD3 (p=0,262). Aktivasi miofibroblast pada ketiga kelompok yang mendapatkan vitamin D juga tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna, dimana kelompok UD1 dengan UD2 memiliki nilai p=0,465, kelompok UD1 dengan UD3 dengan p=0,251, dan kelompok UD2 dengan UD3 juga dengan nilai p>0,05 yaitu p=0,602. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tan et al. (2006) membandingkan dua dosis pemberian analog vitamin D (paricalcitol) dosis 0,1µg dan 0,3µg pada model UUO 7 hari terhadap deposisi kolagen di ruang interstisial ginjal dan kerusakan tubulus renalis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara dua dosis tersebut, dimana deposisi kolagen dan kerusakan tubulus pada dosis 0,3µg lebih sedikit dibandingkan dosis 0,1µg.

17 83 Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Ito et al. (2013) yang menyatakan bahwa efek pemberian 1,25(OH) 2 D 3 dalam menurunkan ekspresi α- sma dan fibroblast-specific-protein-1(fsp-1) dipengaruhi oleh dosis. Dosis yang lebih besar menghasilkan ekspresi α-sma dan FSP-1 yang lebih rendah. Pada penelitian ini, 1,25(OH) 2 D 3 diberikan selama 7 hari dosis 0,3µg dan 0,6µg melalui injeksi subkutan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil tersebut diantaranya adalah lamanya waktu pemberian vitamin D, cara pemberian dan jenis vitamin D yang diberikan. Pada dua penelitian di atas, perlakuan berlangsung selama 7 hari UUO, sementara pada penelitian ini berlangsung selama 14 hari. Selain itu, cara pemberian vitamin D yang dilakukan juga berbeda, dimana pada penelitian Tan et al. (2006) dan Ito et al. (2013) dilakukan secara injeksi subkutan, sedangkan pada penelitian ini dilakukan secara injeksi intra peritoneal. Pemberian injeksi intraperitoneal lebih cepat diabsorpsi ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan pemberian melalui subkutan. Jenis vitamin D yang diberikan kemungkinan juga dapat mempengaruhi perbedaan hasil yang ada. Paricalcitol diketahui merupakan analog vitamin D yang tidak mengakibatkan efek hiperkalsemia (Teng et al., 2003), sehingga dapat menghambat mekanisme feedback negative sebagai efek dari tingginya kadar kalsium dalam darah yang turut diperankan oleh hormon paratiroid (Henry, 2011). Pada penelitian ini, walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik, namun didapatkan bahwa pemberian vitamin D dosis yang lebih tinggi menunjukkan penurunan fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast.

18 84 V.3.5. Kesimpulan Pemberian vitamin D terbukti dapat mencegah terjadinya fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO), dilihat dari hal-hal berikut: 1. Kadar TGF-β1 pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 2. Fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 3. Fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D. 4. Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D. V.3.6. Saran Pada penelitian ini, peran vitamin D baru dilihat pada fibrosis di ruang interstisial ginjal. Pada penelitian selanjutnya dapat dilihat bagaimana peran vitamin D terhadap perbaikan kerusakan tubulus ginjal pada model obstruksi ureter, kaitannya dengan peran vitamin D terhadap regangan dan proliferasi epitel tubulus ginjal. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap ekspresi reseptor vitamin D di epitel tubulus renalis sehingga akan lebih diketahui lokasi kerja vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Vitamin D juga diduga berperan

19 85 dalam mencegah timbulnya glomerulosklerosis. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme aksi vitamin D dalam mencegah glomerulosklerosis.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di Amerika Serikat

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronis merupakan salah satu penyakit tidak menular yang cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah kasusnya terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney. Disease/CKD) merupakan epidemi di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney. Disease/CKD) merupakan epidemi di seluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease/CKD) merupakan epidemi di seluruh dunia. Prevalensi penyakit ini terus bertambah dengan peningkatan jumlah populasi sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan buruknya prognosis gagal ginjal kini merupakan masalah yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan

BAB I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah Fibrosis merupakan pembentukan jaringan parut yang berlebihan terutama pada organ paru, pembuluh darah, jantung dan ginjal (Sakai et al., 1996). Di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu masalah. kesehatan utama sejalan dengan peningkatan usia (Neuhofer

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu masalah. kesehatan utama sejalan dengan peningkatan usia (Neuhofer BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu masalah kesehatan utama sejalan dengan peningkatan usia (Neuhofer et al., 2006). National Health and Nutrition Examination

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. 73 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Uji pendahuluan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak etanol daun salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. Agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada hewan uji tikus putih yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas Gadjah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 300 juta. Jumlah tertinggi penderita diabetes mellitus terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Berdasarkan penelitian epidemiologi, Word Healty Organitation (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes mellitus di atas umur 20 tahun berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini viabilitas sel diperoleh dari rerata optical density (OD) MTT assay dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Viabilitas sel (%) = (OD perlakuan / OD kontrol)

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, terlihat adanya ketertarikan pada polypeptide growth factor (PGFs) sebagai mediator biologis dalam proses regenerasi periodontal. Bahan-bahan tersebut

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. dunia, yakni sekitar 36 jutakematian setiap tahun atau 63% dari semua kematian

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. dunia, yakni sekitar 36 jutakematian setiap tahun atau 63% dari semua kematian BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbesar di dunia, yakni sekitar 36 jutakematian setiap tahun atau 63% dari semua kematian secara global.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium 49 BAB 5 PEMBAHASAN Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Biokimia Universitas Muhammdiyah Jogjakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24 ekor, di mana tiap kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hiperglikemia merupakan manifestasi penyakit diabetes mellitus (DM). Pada saat ini prevalensinya makin meningkat di negara maju. Penyakit ini menempati peringkat empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Adanya kelainan struktural atau fungsional pada. ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Adanya kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung selama minimal 3 bulan disebut sebagai gagal ginjal kronis (Tanto, et al, 2014). Di Amerika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, 9 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Anriani Lubis, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Anriani Lubis, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lemak merupakan salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Lemak ini mencakup kurang lebih 15% berat badan dan dibagi menjadi empat kelas yaitu trigliserida,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 Dilepas ke sirkulasi seluruh tubuh Mengatur fungsi jaringan tertentu Menjaga homeostasis Berada dalam plasma, jaringan interstitial

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah satu mineral dengan jumlah terbanyak di bumi. Sebagian besar silika terdapat dalam bentuk kristalin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan menopause sebagai berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Mellitus terjadi akibat keterbatasan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Mellitus terjadi akibat keterbatasan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Diabetes Mellitus (DM) adalah sindroma gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes Mellitus terjadi akibat keterbatasan insulin dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Subjek penelitian ini adalah anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari 14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka merupakan gangguan integritas jaringan yang menyebabkan kerusakan dan biasanya berhubungan dengan hilangnya fungsi. 1 Saat barier rusak akibat ulkus, luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hepar merupakan organ pencernaan terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hepar terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Trombosit merupakan salah satu komponen sel darah yang tidak berinti dalam jumlah normal 150-450x10 9 sel/l. Ukuran sel ini bervariasi dengan rerata diameter 8-10 fl

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada zaman modern ini, seluruh dunia mengalami pengaruh globalisasi dan hal ini menyebabkan banyak perubahan dalam hidup manusia, salah satunya adalah perubahan gaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. kontributor utama terjadinya aterosklerosis. Diabetes mellitus merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 adalah insiden kardiovaskuler yang didasari oleh proses aterosklerosis. Peningkatan Agregasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan menurunnya atau penghambatan pertumbuhan karsinoma epidermoid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencabutan gigi merupakan tindakan yang cukup sering dilakukan di bidang kedokteran gigi. Indikasi pencabutan gigi bervariasi seperti pernyakit periodontal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal banyak diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa (Carranza & Newman, 1996; Teronen dkk., 1997).

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Insiden penyakit kardiovaskuler diperkirakan akan terus meningkat

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Insiden penyakit kardiovaskuler diperkirakan akan terus meningkat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Insiden penyakit kardiovaskuler diperkirakan akan terus meningkat dalam beberapa dekade ke depan seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup (Sasayama, 2008). Perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan ortodonti sudah semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa kebutuhan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, salah satu dampak negatifnya ialah munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk mikroorganisme. Gangguan atau kerusakan pada struktur anatomi kulit dengan hilangnya fungsi yang berturut-turut

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. post test only control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

BAB V PEMBAHASAN. post test only control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan the post test only control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kulit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5

Lebih terperinci

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Secretory Leukocyte Protease Inhibitor (SLPI) MENURUNKAN ESKPRESI IL-1β MELALUI PENGHAMBATAN EKSPRESI SELULER NF-Kβ PADA PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Rattus Novergicus ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulkus lambung merupakan masalah pencernaan yang sering ditemukan di masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi penduduk dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik adalah salah satu penyebab kematian utama karena merokok (Barnes PJ., 2007). PPOK merupakan masalah kesehatan global yang menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini masyarakat tertarik pada usaha untuk mengobati diri sendiri ketika merasa mengalami keluhan kesehatan yang bersifat ringan. Dalam kurun waktu tahun 2000 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mekanime patologi. Penyembuhan tulang atau union dapat dinilai dari

BAB I PENDAHULUAN. mekanime patologi. Penyembuhan tulang atau union dapat dinilai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyembuhan tulang adalah proses metabolisme fisiologi yang kompleks pada tulang fraktur melibatkan macam variasi zat biokimia, seluler, hormonal dan mekanime patologi.

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada 12 ekor kelinci jantan jenis New Zealand

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada 12 ekor kelinci jantan jenis New Zealand BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan pada 12 ekor kelinci jantan jenis New Zealand berusia 8-12 minggu dengan berat badan 2500-3000 gram. Kemudian dilakukan adaptasi selama satu minggu, serta diberikan

Lebih terperinci

kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok OO bermakna fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok OO dengan

kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok OO bermakna fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok OO dengan kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok OO (2,26+0,08). Berdasarkan hasil uji post hoc Mann Whitney terdapat perbedaan bermakna fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok OO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model 50 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model hipertensi pada dosis 126 mg/kgbb dan 252 mg/kgbb dibandingkan kontrol negatif. 2. Pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 16 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1. Kadar Glukosa Darah Berdasarkan hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit sebelum dan setelah pemberian alloxan, rata-rata kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur merupakan sumber terbesar dari produk baru dalam bidang farmasi. Lebih dari itu, jamur memiliki peranan penting dalam pengobatan modern, itu menunjukkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia cukup banyak laporan tentang kasus hepatotoksisitas, walaupun jumlah kematian akibat toksisitas ini tidak begitu tinggi. Salah satu penyebab dari toksisitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada wanita dengan insiden lebih dari 22% (Ellis et al, 2003) dan angka mortalitas sebanyak 13,7% (Ferlay

Lebih terperinci