RANCANG BANGUN MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG (KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT) ANI WIDIYATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANG BANGUN MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG (KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT) ANI WIDIYATI"

Transkripsi

1 RANCANG BANGUN MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG (KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT) ANI WIDIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2011 Ani Widiyati NRP P

4

5 ABSTRACT ANI WIDIYATI. Design Based on The Model of Sustainable Management of Reservoir Fisheries Floating Cage (Reservoir Case Cirata West Java). Under direction of D. DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL AND ZAINAL ABIDIN. The research of the sustainable management model s design of Reservoir Fisheries floating cage (Reservoir Case Cirata, West Java) aims to calculate the carrying capacity, make its institutional model, build dynamic system model and assess the sustainability of the reservoir management of floating cage based aquaculture in Cirata Reservoir. The calculation of the pollution load and capacity of assimilation is used to calculate its carrying capacity and Interpretative Structural Modeling (ISM) is used to create institutional. Furthermore, Powersim software is used to create dynamic models and Rapfish used to assess the status of sustainability in the management of Cirata Reservoir. This study shows the status of water quality in Cirata reservoir has been low into high polluted (based on water quality classification class B PP 82-year-2001), the carrying capacity of the reservoir parameters in Cirata based on TSS, BOD, COD, PO 4, NO 3, NO 2, Fe, Cd, Zn, and Mn parameter have passed the threshold of the standard quality of water in the river. The ideal reservoir management involves the central government (Ministry of Forestry), Cirata Reservoir Management Agency, Department of Fisheries and Marine West Java Province and the Ministry of Fisheries and Marine. The population growth is the factor of problem in the utilization of Cirata Reservoir. The problem follows the basic pattern of boundary dynamic model for success, tragedy of the common and shifting of the burden, with the dominant building block is reinforcing. The increased activity of the population (KJA, industry, agriculture, livestock, forest encroachment) increased sedimentation and pollution balance the functions of ecological, economic and socio-cultural. Ecology aspect is the weakest aspect in the sustainable management of Cirata Reservoir. Socio-cultural aspect is the dominant aspect as a major capital in the intervention of four other aspects. (economic, legalinstitutional, technology / infrastructure and ecology). Keywords: reservoir management, sustainable, dynamic model, Cirata Reservoir

6

7 RINGKASAN ANI WIDIYATI. Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat). Dibimbing oleh D.DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL dan ZAINAL ABIDIN. Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan. Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif holistik dengan pendekatan kesisteman. Pendekatan ini diduga akan memudahkan bagi pengambil kebijakan (decision maker) dalam pengelolaan waduk untuk secara dini menyiapkan langkah langkah strategis, dalam pengelolaannya dan dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Pendekatan sistem dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit. Penelitian tentang rancang bangun model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung (kasus Waduk Cirata-Jawa Barat) telah dilakukan dengan tujuan menghitung beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan, membuat model kelembagaan untuk pengelolaan waduk serta membuat rancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, untuk data biofisik perairan Waduk Cirata merupakan data time series 5 tahun. Metode penelitian untuk menghitung daya dukung perairan waduk dengan penghitungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan. Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk menganalisis kelembagaan dan software Powersim digunakan untuk membuat model dinamik. Hasil penelitian memperlihatkan status mutu perairan Waduk Cirata pada kondisi sudah tercemar sedang sampai berat (pada klasifikasi baku mutu air

8 golongan B yaitu peruntukan pertanian perikanan dan peternakan). Kapasitas asimilasi perairan Waduk Cirata terhadap parameter TSS, BOD, COD, PO 4, NO 3, NO 2, Fe, Cd, Zn, dan Mn, sudah melewati ambang batas baku mutu perairan. Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk tersebut yaitu tujuan utama yang ingin dicapai memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilannya adalah (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (4) Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, (5) Kelestarian sumber daya perikanan, (6) Penegakan regulasi pemerintah, (7) Terjalinnya koordinasi antar institusi, dan (8) Monitoring dan evaluasi pengelolaan. Kebutuhan utama program yang diperlukan dalam keberhasilan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit pengelola yang tepat, (4) Permodalan dan fasilitas pinjaman, (5) Pemasaran yang baik. Kendala utama yang akan dihadapi yang berpengaruh sebagai penggerak yang kuat dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan adalah masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk. Lembaga yang berperan untuk keberhasilan pengelolaan waduk berkelanjutan di Waduk Cirata yang mempunyai penggerak yang kuat adalah (1) Badan Pengelola Waduk Cirata, (2) Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), (3) Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, (4) Dinas Perikanan Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan/Desa. Analisis kebijakan alternatif dalam pengelolaan Waduk Cirata yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat melalui beberapa cara, yaitu: (a) Penduduk secara umum: sosialisasi program KB (revitalisasi program KB nasional, angka kenaikan bisa ditekan menjadi 1,1% per tahun), penyuluhan kepada masyarakat tentang keluarga sederhana bahagia. Penduduk sekitar wilayah waduk: dibuat kebijakan untuk pembatasan penduduk di luar wilayah waduk yang akan melakukakan usaha perikanan budidaya di perairan Waduk Cirata, untuk penduduk yang berdomisili di wilayah waduk diberi porsi usaha yang lebih besar, selain diberi ijin usaha juga diberikan modal usaha dalam bentuk pinjaman lunak atau bantuan benih ikan unggul. Penebaran ikan pemakan plankton (nilem, bandeng, mola, grasscarp) ke perairan waduk sebagai sumber penghasilan nelayan tangkap, manfaat lainnya adalah sebagai pengendali eutrofikasi karena memanfaatkan plankton sebagai pakannya. Penyuluhan tentang pentingnya pengelolaan waduk berkelanjutan kepada penduduk yang berada di wilayah perairan waduk. (b) Limbah sampah penduduk, tinja manusia, dan feses ternak: Pengolahan dengan pendekatan sumber. Pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end- pipe of solution) ke pendekatan sumber. Pengembangan program pengelolaan sampah/limbah dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P) yang meliputi, antara lain: waste to energy dan kompos. (c) Limbah Budidaya KJA: penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1% dari luas waduk (6200 ha) yaitu 62 ha, upaya menurunkan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) di Waduk Cirata dengan memberikan pelatihan

9 dan keterampilan usaha baru, pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru dan menggali teknologi baru untuk pemanfaatan limbah budidaya KJA, misalnya untuk bahan filler pupuk organik, dan sumber energy. (d) Limbah pupuk pertanian: teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos, sehingga petani beralih menggunakan pupuk kompos/organik daripada pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan dan sosialisai teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan teras. (e) Penanganan RPH dan Industri: penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan industri pada wilayah sempadan sungai meter dan waduk meter dari titik pasang tertinggi (Keppres No. 32 Tahun 1990 pasal 16-18), pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT/RW dan perlu pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan regulasi dengan sangsi yang berat bagi pengusaha yang akan membuka usaha tanpa membuat amdal dan ipal bagi RPH atau industri lainnya. Pertumbuhan penduduk menjadi faktor pengungkit bagi sumber konflik pemanfaatan Waduk Cirata, permasalahan mengikuti archetype model dinamik limit to succes, tragedy of the common dan shifting of the burden, dengan building block yang dominan adalah reinforcing. Peningkatan aktifitas penduduk (KJA, industri, pertanian, peternakan, perambahan hutan) meningkatkan sedimentasi dan pencemaran menjadi balancing terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Kondisi aspek lainnya juga masih perlu ditingkatkan. Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan, teknologi/infrastruktur, aspek sosial dan ekologi. Kata kunci: pengelolaan waduk, berkelanjutan, model dinamik, Waduk Cirata

10

11 Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

12

13 RANCANG BANGUN MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA KARAMBA JARING APUNG (KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT) ANI WIDIYATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

14 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) 2. Dr. Ir. Yanuar D. Purwanto, MS (Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Triheru Prihadi, M.Sc (Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, KKP) 2. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)

15 Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat) : Ani Widiyati : P : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Dietrich G Bengen Dr. Ir. Kholil, M. Kom Dr. Drs. Zainal Abidin, M.Geothml Anggota Anggota Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Si Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

16 PRAKATA Assalamualaikum Warohmatullaahi Wabarakatuh, Alhamdulillah, penulisan disertasi dengan judul Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata-Jawa Barat) dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Djokosetiyanto, DEA (Ketua), Dr. Ir. M. Kholil, M. Kom (Anggota), Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen DEA (Anggota), Dr. Drs. Zainal Abidin M. Geothermal (Anggota) yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Bapak Dr. drh. Hasim, DEA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi. Badan Sumberdaya Daya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa. Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar yang telah memberikan rekomendasi dan bantuan dana kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor. Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata yang telah memberikan ijin untuk mengambil data primer dan sekunder dari Waduk Cirata. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat, Kepala dinas Kabupaten Purwakarta, Bandung dan Cianjur atas bantuan dalam penyediaan data sekunder. Dr. Auldry F Walukow dan Dr. Rakhman Kurniawan yang telah memberikan dukungan moril dan membantu dalam pengolahan data. Bapak Dr. Triheru Prihadi, Dr. Estu Nugroho, Dr. Anang Hari Kristanto, Dra. Kusdiarti, Ir. Winarlin, Ati Puspitasari atas dukungan moril dan bantuannya selama penulis menyelesaikan disertasi. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Andjar Koentjoro M.Sc, dan anak anak tersayang Iswidiarman Angga Krislianto, SE dan Iswiditya Andi Hapsara atas do anya dengan segala kasih sayang dan telah banyak berkorban dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap semangat menyelesaikan studi ini. Ir. Yaya Hudaya (Staf Data-Badan Pengelola Waduk Cirata), Bapak Jahidin (Staf Data-Pembangkitan Jawa Bali-Cirata), Ir. Lusi (Kasubdit Pengelolaan Lingkungan-BPLHD Jabar) atas bantuannya dalam penyediaan data sekunder. Adik-adikku tercinta Anto, Doyo, Endro, Fajar, Galuh dan Herman atas kasih sayang dan dorongan semangat serta do anya. Dr. Mazfia Umar MM, Dr. Ridwan, Ir. Partomo atas bantuan dan dorongan semangat, serta rekan rekan PSL 2005 IPB. M. Nurdin S.Pi dan Rizki Maulana atas bantuannya dalam pengeditan disertasi, dan semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas semua amalnya, Aamiin. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, April 2011 Ani Widiyati

17

18 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1960 di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Soejadi (Almarhum) dan Sri Suliharti (Almarhum). Pendidikan SD Kebondalem I, SMP Negeri I dan SMA Negeri diselesaikan di Kabupaten Pemalang. Setamat dari SMA tahun 1979 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis memilih Fakultas Perikanan Jurusan Akuakultur dan menyelesaikan studi pada tahun Pada tahun 1984 penulis diterima bekerja di Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor. Pada tahun 1985 penulis diangkat sebagai PNS, sebagai peneliti pada Kelompok Penelitian Pembenihan. Pada tahun 1988 penulis diangkat sebagai Kepala Instalasi Kolam Percobaan Cibalagung Bogor sampai tahun Pada tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Pasca Sarjana Juruan Ilmu Perairan Institut Pertanian Bogor, lulus tahun Tahun 2002 sampai 2004 penulis diangkat menjadi Kepala Kolam Percobaan Plasma Nutfah Cijeruk Bogor. Tahun sebagai Kepala Subsie Program di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Pada tahun 2005 penulis menempuh studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Andjar Koentjoro, M.Sc pada tanggal 23 Agustus 1985, dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Iswidiarman Angga Krislianto, SE (25 tahun) dan Iswiditya Andi Hapsara (20 tahun). Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian dalam disertasi ini antara lain: (1) Diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Volume 4 (2): peringkat akreditasi A dengan judul makalah Analisis Faktor Penting dalam Pengelolaan Perikanan Budidaya di Keramba Jaring Apung Berkelanjutan dengan Metode Interpretative Structural Modeling (ISM) di Waduk Cirata (Jawa Barat). (2) Diterbitkan pada Prosiding Forum Teknologi Akuakultur dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan dengan judul Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi BOD dan COD di Lingkungan Perairan Karamba Jaring Apung Waduk Cirata (sedang diproses sejak Juli 2009). (3) Diterbitkan pada Prosiding Forum Teknologi Akuakultur dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) dengan judul Model Dinamik Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata (Jawa Barat).

19

20 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR... xviii DAFTAR LAMPIRAN... xxii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty) TINJAUAN PUSTAKA Perairan Waduk Sedimentasi di Waduk Pencemaran di Waduk Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung Pembangunan Berkelanjutan Sistem dan Model Dinamik Sistem Pemodelan Sistem Dinamik Pola-Pola Dasar Sistem Dinamik Interpretation Structural Modelling (ISM) METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Rancangan Penelitian Mengukur Daya Dukung Perairan Model Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata Analisis Keberlanjutan Tahapan Penelitian Analisis Sistem Pengembangan Model Uji Validasi dan Sensitivitas Model Simulasi Model Analisis Kebijakan Keterkaitan Model Biofisik dengan Dinamik GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Morfometri Waduk Cirata Kedalaman Perairan Waduk Cirata Potensi Wilayah Penelitian... 60

21 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Dukung Perairan Waduk Cirata Status Kualitas Perairan Muara Sungai Citarum Karakteristik Fisika Kimia Perairan Waduk Cirata Status Mutu Perairan Waduk Cirata Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Perairan Waduk Cirata Analisis Kelembagaan untuk Pengelolaan Waduk Berbasis Perikanan Budidaya KJA Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Tujuan yang Ingin dicapai Kebutuhan Program yang diperlukan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Waduk Cirata Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan di Waduk Cirata Elemen Kendala dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Model Dinamik Sub Model Sumber Pencemar Model Beban Pencemaran Model Kualitas Air Waduk Analisis Kecenderungan Sistem Uji Validitas Uji Validitas Struktur Validitas Kinerja (output model) Verifikasi Model Analisis Kebijakan MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Kebijakan Status Waduk Cirata Kebijakan Konservasi DAS Citarum Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi Verifikasi Model Kebijakan Implikasi Kebijakan Status Keberlanjutan Aspek Ekologi Aspek Ekonomi Aspek Hukum Kelembagaan Aspek Infrastruktur dan Teknologi Aspek Sosial Budaya Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran

22 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

23 DAFTAR TABEL Halaman 1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun Titik koordinat sampling di Waduk Cirata Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan waduk yang diukur serta alat dan metode analisis Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA Konversi rumus statistik ke persamaan powersim Karakteristik Waduk Cirata Data morfometri dan hidrologi Waduk Cirata, Jawa Barat Kisaran kedalaman, rasio kedalaman, dan area pemanfaatan KJA di Waduk Cirata Sumber: (Prihadi 2005) Status kualitas perairan Sungai Citarum Kualitas Perairan Waduk Cirata Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan I tahun Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan II tahun Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan III tahun Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan IV tahun Beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan Waduk Cirata (Jawa Barat) tahun Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata hasil sensus tahun Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan Waduk Cirata Berkelanjutan Lembaga yang berperan dalam pengelolaan Waduk Cirata dijabarkan menjadi 12 sub elemen Sub elemen kendala dalam dalam pengelolaan waduk berkelanjutan Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar

24 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata Sumber: Prihadi (2005) Kerangka pemikiran rencana penelitian Garis besar pengembangan model dinamik Struktur dasar model perbaikan yang gagal Struktur dasar pemindahan beban Diagram simpal kausal model batas keberhasilan Struktur dasar sasaran yang berubah Diagram simpal kausal struktur model pertumbuhan dan kekurangan modal Struktur dasar sukses bagi yang berhasil Diagram simpal kausal model eskalasi Struktur dasar kesulitan bersama Lokasi pengambilan parameter fisika dan kimia perairan Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan Diagram input output sistem pengelolaan waduk berkelanjutan Matriks DP-D untuk elemen tujuan Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM Hubungan interaksi antar sub model dalam pengelolaan Waduk Cirata Diagram sebab akibat (causal loop) model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA Ringkasan keterkaitan model biofisik dengan dinamik Waduk Cirata berlokasi di wilayah 3 kabupaten yaitu Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur (BPWC 2010) Tampilan Waduk Cirata dengan Landsat 7 kombinasi band 543 (RGB): (a) April 2002 (musim kemarau) dan (b) September 2002 (musim penghujan) (Prihadi, 2005) Kapasitas asimilasi TDS di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi TSS di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi BOD di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi COD di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi PO 4 di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi NO3 di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi NO2 di Waduk Cirata tahun Kapasitas asimilasi Fe di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi Cd di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi Cu di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi Zn di Waduk Cirata Kapasitas asimilasi Mn di Waduk Cirata tahun Kapasitas asimilasi Pb di Waduk Cirata Hubungan keterkaitan parameter pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata

25 xix 36 Diagram hierarki dari tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan (kasus di Waduk Cirata) Diagram hierarki kebutuhan program dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) untuk kebutuhan program dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) Diagram hierarki lembaga yang berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) Matrik Driver Power (DP) dan Dependence (D) lembaga yang berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) Diagram hierarki kendala utama dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan Diagram hierarki dari sub elemen kendala utama dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan Model terpadu pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan Sub model dinamik sederhana total sumber pencemar Sub model dinamik KJA tunggal dan luas KJA Sub model dinamik limbah ternak dan industri Sub model dinamik limbah pertanian, limbah padat, dan tinja Sub model dinamik luas hutan, pemukiman, dan pertanian Sub model dinamik KJA ganda, serta model limbah KJA tunggal versus KJA ganda Sub model dinamik sumber pencemar Waduk Cirata Sub model dinamik beban pencemaran Waduk Cirata Sub model kualitas air Waduk Cirata Kecenderungan populasi penduduk total (jiwa) Kecenderungan jumlah masing masing sumber pencemar yang masuk ke Waduk Cirata Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empirik Grafik perbandingan jumlah RTP hasil simulasi dan aktual Pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan perbedaan fraksi penduduk Pertumbuhan jumlah sampah Pertumbuhan jumlah limbah feses penduduk total Pertumbuhan jumlah limbah KJA tunggal Perbandingan jumlah limbah N dan P KJA tunggal Perbandingan jumlah limbah KJA ganda (Mas Nila-MN) dan KJA tunggal (Mas M) Perkembangan luas KJA dan lahan bebas usaha Perkembangan limbah tinja RTP Perkembangan limbah padat RTP Perkembangan limbah industri

26 xx 68 Perkembangan limbah ternak Perkembangan limbah ternak ayam, itik, domba dan sapi Perkembangan limbah pupuk pertanian limbah pupuk pertanian merupakan akumulasi dari limbah pupuk N dan P Perkembangan limbah pupuk N dan P Perkembangan luas pemukiman, luas pertanian, dan luas hutan di DAS Cirata Nilai kapasitas asimilasi TDS dan perkembangan beban pencemaran TDS Nilai kapasitas asimilasi TSS dan perkembangan beban pencemaran TSS Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban pencemaran BOD Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban pencemaran COD Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran NO Nilai kapasitas asimilasi 3 PO4 dan perkembangan beban pencemaran PO Nilai kapasitas asimilasi F dan perkembangan beban pencemaran F Nilai kapasitas asimilasi As dan perkembangan beban pencemaran As Nilai kapasitas asimilasi Cd dan perkembangan beban pencemaran Cd Nilai kapasitas asimilasi Fe dan perkembangan beban pencemaran Fe Nilai kapasitas asimilasi Pb dan perkembangan beban pencemaran Pb Nilai kapasitas asimilasi Mn dan perkembangan beban pencemaran Mn Nilai kapasitas asimilasi Zn dan perkembangan beban pencemaran Zn Perkembangan total beban pencemaran air dan daya dukung lingkungan Nilai baku mutu TDS dan perkembangan konsentrasi TDS Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD Nilai baku mutu NO 3 dan perkembangan konsentrasi NO Nilai baku mutu 3 PO4 dan perkembangan konsentrasi 3 PO Nilai baku mutu Fe dan perkembangan konsentrasi Fe Nilai baku mutu TSS dan perkembangan konsentrasi TSS

27 xxi Nilai baku mutu F dan perkembangan konsentrasi F Nilai baku mutu Zn dan perkembangan konsentrasi Zn Nilai baku mutu As dan perkembangan konsentrasi As Nilai baku mutu Cd dan perkembangan konsentrasi Cd Nilai baku mutu Pb dan perkembangan konsentrasi Pb Nilai baku mutu Mn dan perkembangan konsentrasi Mn Hubungan populasi penduduk dengan daya dukung lingkungan Penurunan jumlah limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi peternakan Penurunan total limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi peternakan Penurunan jumlah limbah KJA tunggal berdasarkan intervensi fraksi KJA dan RTP Penurunan jumlah limbah KJA ganda berdasarkan intervensi fraksi KJA dan RTP Penurunan limbah industri, limbah tinja, limbah padat dan limbah pupuk pada skenario optimis Perbandingan total beban limbah pada kondisi existing, skenario pesimis, moderat dan optimis Model konseptual pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun 2008/2009 di Waduk Cirata Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Atribut aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Atribut aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Atribut aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung

28 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persamaan model dinamik Perangkat lunak model pengelolaan Waduk Cirata (MoPeCi) Ordinat radfish Monte Carlo

29 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan maka semakin besar pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat berlebihan antara lain kegiatan pertanian, perikanan, pariwisata, industri, dan pertambangan, sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan. Tumbuhnya kemiskinan akibat pertambahan penduduk telah menghancurkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya (WCED 1987). Salah satu contoh akibat dari terjadinya kerusakan lingkungan adalah rusaknya daerah tangkapan air (hutan, situ, danau, waduk dll.) Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sumber air minum, kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan, dan untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau serta 162 waduk buatan besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal, dimulai dari hulu hingga hilir ( Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat yang selesai dibangun pada tahun Waduk tersebut dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008 MW atau energi per tahun GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa dan Bali (BPWC 2003). Volume air pada waktu normal sekitar m 3, dengan luas permukaan sekitar ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m, kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan Waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC 2003). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air terbesar dari daerah aliran Sungai Citarum. Pada awal dibangun luas Waduk Cirata mencapai ha, adapun

30 2 daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat. Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah tingginya sedimentasi yang telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan. Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan mengurangi kapasitas volume daya tampung air waduk, dan merusak kualitas perairan pada akhirnya dapat memperpendek usia fungsional waduk tersebut. Turunnya volume air waduk menyebabkan waduk tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6% dari volume pada saat rencana pembangunan. Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Teknik budidaya intensif di KJA, telah mendorong petani memberikan pakan buatan secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan yang diberikan ikan dan feses banyak terbuang ke perairan. Menurut BPWC (2008), pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan petak dengan jumlah pemilik orang, tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat petak dari jumlah pemilik orang. Perkembangan KJA di perairan Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun meningkat 140% per tahun (Krismono 1999). Akibat dari pertambahan KJA yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Goldburg et al. (2001), dampak negatif dari aktivitas budidaya ikan pada KJA di waduk adalah adanya buangan

31 3 limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Menurut Mc Donald et al. (1996), dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Menurut Mc Ghie et al. (2000), bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di bawah KJA akibat dari pakan ikan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan. BPWC (2003)menyatakan, selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa tata ruang waduk yang ada belum tepat dan belum ditaati dalam pelaksanaannya. Dalam pengelolaan waduk agar tetap lestari sebaiknya melibatkan multi stakeholder, yaitu: (1) pelaku usaha, baik yang bergerak di dalam kawasan maupun di luar kawasan waduk; (2) pemerintah, yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perikanan; (3) perguruan tinggi; (4) lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum (masyarakat nelayan dan non nelayan). Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan waduk, seperti kualitas sumberdaya manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi, dan infrastruktur. Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial. dan budaya, menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial sektoral. Pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sybernetic, holistic, and effectiveness (SHE) dengan melibatkan seluruh stakeholder.

32 4 Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui pola perkembangan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan sistem model dinamik. Pendekatan ini akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan waduk untuk menyiapkan langkah langkah strategis dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Selanjutnya pendekatan ini juga dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit (Muhammadi et al. 2001). Secara garis besar pengembangan sistem model dinamik meliputi 3 tahap, yaitu: (a) cognitive map, (b) construction model, (c) simulation and policy analysis. Cognitif map merupakan langkah pengenalan masalah secara mendasar, dilakukan melalui studi literatur, wawancara pakar, dan diskusi dengan stakeholder melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion: FGD). FGD merupakan forum diskusi stakeholder untuk mengidentifikasi seluruh variabel, masalah, kendala, dan kebutuhannya dalam pengelolaan waduk. Hasil dari FGD kemudian dibuat kedalam system conceptualization dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop diagram) yang menggambarkan hubungan sebab akibat dan feed back-nya satu variabel terhadap lainnya, sehingga memudahkan pengendalian sesuai dengan yang diinginkan. Construction model merupakan tahap pengembangan model yang didasarkan pada causal loop diagram. Pengembangan model menggunakan software tool Powersim. Sebagai langkah akhir dari pengembangan model dinamis adalah simulasi dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan ini dilakukan terhadap hasil simulasi model berdasarkan skenario yang dikembangkan. Selanjutnya hasil analisis kebijakan akan menjadi bahan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan waduk secara berkelanjutan.

33 5 1.2 Kerangka Pemikiran Waduk Cirata adalah waduk terluas kedua di Jawa Barat yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur, dibangun oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan utamanya sebagai pembangkit listrik tenaga air. Pada kenyataannya berfungsi sebagai waduk serbaguna yang diambil manfaatnya untuk kegiatan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan (Garno 2001). Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan waduk. Pertama adalah aspek teknis yang berlangsung yaitu sistem pertanian di daerah aliran sungai, industri di daerah hulu, erosi, pendangkalan waduk, usaha karamba jaring apung, dan pemukiman penduduk. Kedua adalah aspek non teknis seperti kelembagaan, regulasi, teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran masyarakat. Untuk menjamin keberlanjutan waduk maka dalam pengelolaannya, tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya harus dilaksanakan, dan secara menyeluruh (holistik) dengan menggunakan pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya menekankan pada satu variabel saja. Menurut BPWC (2003), selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa zonasi waduk yang ada

34 6 sudah tidak tepat lagi, dan belum ditaati dalam pelaksanaannya, sehingga diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata. Sumber: Prihadi (2005) Dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan adalah sesuai dengan fungsi waduk tersebut, sedangkan dampak negatif dan permasalahan yang paling menonjol adalah pemukiman kembali penduduk asal kawasan yang digenangi, pengadaan lapangan kerja, hilangnya daratan, hutan, perkebunan, dan sumberdaya lainnya termasuk flora, fauna, serta dampak ekologi yang merugikan lainnya baru akan terasa dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, maka pembangunan waduk perlu dinilai dan dikaji dengan memperhitungkan arti dan peran pentingnya bagi pembangunan ekonomi dan kemudian memantapkan cara dan teknik pengelolaan sumberdaya perairan waduk agar diperoleh hasil optimal dengan meminimalkan efek atau dampak negatif yang tidak diinginkan. Berdasarkan hal tersebut, maka

35 7 diperlukan adanya suatu kajian untuk membahas masalah mengenai pengelolaan sumberdaya perairan waduk secara optimal dan terpadu, untuk mendukung suatu program pengelolaan yang efektif guna menjamin keberlanjutan fungsí utama dari waduk tersebut. Dahuri (2003) menyatakan bahwa pendekatan yang penting untuk diterapkan dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perairan, khususnya perairan waduk adalah dengan pendekatan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan. Dengan dasar pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan waduk sebaiknya mengikuti keempat dimensi tersebut. Gambar 2 memperlihatkan diagram alir kerangka pemikiran rencana penelitian. WADUK CIRATA Fungsi Ekonomi Fungsi Ekologi Fungsi Sosial Budaya PLTA KJA Konservasi Tenaga Kerja Pariwisata Pendapatan Kelestarian plasma nutfah dan tata guna air Penyerapan pengangguran Konfik Kepentingan Fungsi Turbin Kelembagaan/ Regulasi Daya dukung perairan Pengelolaan Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung Strategi Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.

36 8 1.3 Tujuan Penelitian 1) Menghitung daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata (Jawa Barat). 2) Membuat model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 3) Merancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 4) Menilai keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jarring apung, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi cepat, tepat, dan akurat. 2) Manfaat teoritis akademis: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan waduk dengan pendekatan kesisteman. 1.5 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya dengan menggabungkan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosekbud. Penelitian terdahulu hanya melakukan kajian bersifat pemantauan terhadap kualitas perairan saja. Metoda yang digunakan pada penelitian ini dengan menggabungkan hard system methodology (daya dukung perairan) dengan soft system methodology (ekonomi, sosial budaya, kelembagaan) dengan sistem dinamik.

37 9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Waduk Kebutuhan manusia akan pasokan sumber air sebagai sumber energi yang meningkat dari waktu ke waktu telah mendorong manusia untuk membendung sungai untuk menciptakan waduk. Keberadaan waduk di suatu wilayah diperlukan mengingat waduk mempunyai banyak fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Yuningsih dan Soewarno (1995) menyatakan bahwa waduk sebagai tempat menampung air dengan cara membendung alur sungai. Menurut Ryding dan Rast (1989) waduk umumnya dibentuk oleh pembuatan suatu dam melintang sungai atau suatu aliran yang menghasilkan suatu perairan yang terkurung oleh adanya bangunan dam tersebut. UNEP-IETC/ILEC (2000) mendefinisikan waduk sebagai badan air buatan yang dibangun oleh manusia dengan membendung sungai atau mengalihkan air dari sungai dan mengurungnya ke lembah buatan. Waduk dibuat manusia untuk dapat berfungsi sebagai sumber daya alam untuk kegunaan irigasi pertanian, pengendalian banjir, transportasi air, wisata air, penggelontoran limbah domestik, pembangkit listrik tenaga air, air baku untuk keperluan domestik dan industri serta sebagai sumber daya untuk perikanan penangkapan atau perikanan budidaya. Keberadaan waduk ternyata memberikan dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dampak positif utama yang dapat diberikan oleh adanya waduk adalah tersedianya energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air. Banjir yang biasanya datang pada musim penghujan dapat dikendalikan dan ditampung ke dalam waduk. Waduk sebagai penampung air dapat dimanfaatkan untuk pengairan dari aktivitas pertanian, sebagai bahan baku air minum masyarakat perkotaan di sekitar wilayah waduk. Selanjutnya keberadaan waduk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan, olahraga air, dan pariwisata. Selain dampak positif, timbul dampak negatif baik secara ekologis, teknis, kebijakan dan sosial. Saat ini di Indonesia tercatat ada 232 bendungan atau waduk dengan ketinggian lebih besar dari 10 m. Jumlah waduk tersebut masih belum mencukupi kebutuhan air, terutama untuk daerah-daerah rawan air seperti di kawasan

38 10 Indonesia Timur. Sejumlah besar dari waduk tersebut sudah mengalami kondisi kelayakan di bawah normal yaitu: Waduk Djuanda, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Waduk Darma, Waduk Kedung Ombo, Waduk Wonogiri, Waduk Wadas Lintang, Waduk PB Soedirman, Waduk Sermo, Waduk Selorejo, Waduk Sutami, Waduk Wonorejo, dan Waduk Bening. Beberapa waduk menghentikan operasi PLTA yaitu Waduk Djuanda, Waduk Saguling, Waduk Kedung Ombo, Waduk Sempor, dan Waduk Wadaslintang (Syarief 2003). Menurut Solichin (2005), permasalahan yang dihadapi dalam pendayagunaan sumber daya air seperti waduk adalah mencari cara pengelolaan yang tepat sehingga didapat hasil yang optimum dari sumber daya yang ada. Oleh sebab itu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka telah digunakan program dinamik stokastik untuk mengkaji operasi suatu sistem waduk pembangkit listrik, telah diperoleh hasil optimasi yang berupa tabel pola operasi pembangkit listrik yang memberikan kemungkinan pemakaian pola operasi tersebut untuk operasi nyata. Setiawan (2004), telah membuat suatu model pengelolaan waduk dengan memperkirakan debit air untuk mengantisipasi operasi pembangkit listrik pada debit minimum. 2.2 Sedimentasi di Waduk Salah satu permasalahan waduk di Indonesia adalah tingginya sedimentasi, dimana sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Menurut Manan (1979) sedimentasi adalah agregat-agregat partikel yang berkumpul di beberapa tempat yang telah dipindahkan pada jarak tertentu baik lateral maupun vertikal. Selanjutnya dikatakan sedimentasi adalah proses pengendapan dari bahan organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Peningkatan beban sedimentasi ini terutama disebabkan oleh peningkatan laju erosi yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan (sistem pompa). Menurut BPWC (2003), sedimentasi di Waduk Cirata sejak tahun 1987 sampai tahun 2001 seperti pada Tabel 1.

39 11 Tabel 1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun Tahun Pengukuran Volume Sedimen (10 6) 3 m 0 Kumulatif Sedimen ( ) m 0 Total Kapasitas ( ) m 1.973,00 Kap. Efektifitas Waduk ( ) m 796,00 Sumber: BPWC (2003) 10,11 11,27 25,52 15,33 5,87 10,67 21,98 47,45 62,78 68, , , , , ,31 790,10 789,20 782,89 781,00 778,69 Secara fisik sedimentasi waduk akan menyebabkan penurunan elevasi air yang berakibat mengurangi manfaat waduk dan mengancam kelestarian waduk termasuk mengurangi luas lahan untuk KJA. Pendangkalan di waduk dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas perairan serta merusak habitat organisme yang ada di dalamnya (Syarief 2003). Menurut UNEP-IETC/ILEC (2000) salah satu masalah lingkungan yang terjadi di danau dan waduk di seluruh dunia yaitu penurunan elevasi air. Selanjutnya dikemukakan bahwa penurunan elevasi air dapat disebabkan oleh penggunaan air yang berlebihan di danau atau waduk atau adanya sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi bersumber terutama dari aktivitas di daerah aliran sungainya, yang disebabkan adanya penggundulan hutan atau pengolahan tanah yang mengabaikan aspek konservasi air dan tanah sehingga menyebabkan erosi tanah. Erosi tanah dalam jumlah besar yang masuk ke waduk atau badan air penerimanya, akan mengakibatkan terjadinya pendangkalan. Berbagai kegiatan yang menyebabkan erosi tanah seperti penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, pembukaan jalan baru, menyebabkan kandungan sedimen pada aliran permukaan meningkat yang akhirnya akan bermuara di waduk. Sedimen yang tersuspensi dalam bentuk partikel halus dan kasar akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota dalam ekosistem waduk. Biota akan sulit bernafas dan akhirnya akan mati lemas. Selanjutnya sedimen akan meningkatkan kekeruhan air yang akan menghalangi penetrasi cahaya dan mengganggu organisme dalam fotosintesa. Sedimen yang berasal dari lahan pertanian dapat menimbulkan eutrofikasi. Menurut Dahuri (2003), eutrofikasi dapat mengakibatkan perairan pada kondisi annoxia (kekurangan oksigen) di dalam kolom air yang disebabkan kelebihan organisme pemakai oksigen yang sering dikombinasikan dengan stratifikasi oksigen. Sebagian komunitas fitoplankton akan musnah dan digantikan oleh jenis yang tidak diinginkan dengan

40 12 jumlah individu yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan. 2.3 Pencemaran Waduk Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan, pencemaran merupakan faktor yang paling dominan. Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik perairan tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan seperti sungai, danau, waduk, pesisir, serta tambak, pencemaran dapat terjadi karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian, dan perikanan. Limbah yang masuk ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni limbah anorganik yang sulit atau tidak-dapat terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai oleh mikroorganisme (Garno 2002) Waduk sebagai penampung air, adanya pencemaran di DAS nya akan menumpuk ke dalam perairan, sehingga kualitas lingkungan perairan waduk tersebut menjadi terdegradasi. Secara langsung maupun tidak langsung pencemaran perairan akan mempengaruhi komunitas di waduk karena akan mengurangi produktivitas perairan, menimbulkan perusakan habitat, dan menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup organisme perairan. Bahan pencemar seperti pestisida dari aktivitas pertanian dan logam berat limbah dari industri dapat terakumulasi dan melalui proses pemangsaan akan mengalami magnifikasi biologis. Melalui sistem rantai makanan, semakin tinggi tingkatan tropiksi pemangsa maka semakin besar pula tingkat akumulasi bahan pencemar dalam tubuh organisme (Dahuri 2003). Terjadinya peningkatan logam berat di lingkungan perairan telah menyebabkan efek toksik pada biota-biota yang berada di perairan tersebut. Logam berat bersifat akumulatif, maka logam berat cenderung untuk terpartisi pada lemak/lipid pada biota air atau karbon organik yang menyelubungi partikel

41 13 sedimen. Butiran polen dan spora yang mengendap dalam sedimen dapat menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu masa. Hal tersebut disebabkan oleh lapisan sporopolenin pada dinding sel polen dan spora yang memiliki laju dekomposisi yang sangat lambat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk melihat proses sedimentasi yang terjadi pada suatu diwilayah tertentu. Kandungan logam berat yang tinggi di perairan waduk dapat mempercepat korositas dari turbin PLTA, sehingga jika tidak dikendalikan akan merusak peralatan mesin turbin yang harganya mahal. Eutrofikasi adalah pengayaan suatu perairan akibat masuknya nutrien (N dan P) sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer. Adanya N dan P yang berlebihan dan didukung oleh kondisi perairan lentik menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Menurut Siska (2002), masalah eutrofikasi merupakan salah satu permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan suatu waduk yang sudah bersifat hipertrofik seperti Waduk Jatiluhur, sehingga dalam memecahkan permasalahan tersebut sebaiknya digunakan kesisteman. Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae, penetrasi matahari ke dalam perairan menjadi terhambat sehingga proses fotosintesa dalam perairan terganggu, terjadinya persaingan penggunaan oksigen perairan antara algae dengan organisme lainnya sehingga mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut pada malam hari, organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan oksigen akan mati. Masuknya N dan P yang berlebih di perairan berasal dari erosi lahan pertanian dan akumulasi hasil limbah budidaya ikan, dapat mengakibatkan alga hijau tumbuh dengan subur, selanjutnya jika menutupi perairan dapat memusnahkan organisme akuatik aerob. Midlen and Redding (2000) menyatakan bahwa dari pakan ikan yang diberikan maka hanya 25% P dan 25% N yang dimanfaatkan oleh ikan, sisanya masuk ke lingkungan perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan ikan yang masuk ke lingkungan perairan 10% P dan 65% N berada dalam bentuk terlarut, sedangkan 65% P dan 10% N berada dalam bentuk partikel. Pakan ikan dalam bentuk partikel akan masuk ke sedimen tergantung kondisi perairan dan dinamika dari dasar perairan. Di perairan air tawar, pada keadaan di dasar perairan tidak ada

42 14 oksigen, sejumlah P dilepaskan ke perairan sehingga mempercepat terjadinya eutrofikasi. Pada kegiatan budidaya ikan dengan pemberian pakan buatan seperti kegiatan budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk, maka buangan pakan ikan yang tidak termakan oleh ikan serta feces yang terbuang ke perairan merupakan limbah bahan organik yang pada jumlah berlebih dapat mencemari dan mengganggu ekosistem lingkungan perairan tersebut. Kehadiran bahan beracun seperti amonia, nitrit dan H 2 S ini yang berada di dasar perairan mengganggu pernapasan organisme perairan, karena hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen pada akhirnya akan mengangkut gas-gas beracun. Hal ini diduga disebabkan hemoglobin mempunyai affinitas yang jauh lebih tinggi terhadap gas beracun dibandingkan terhadap oksigen, akibatnya biota air mengalami hipoksia (Dahuri 2003). 2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung Kegiatan perikanan di waduk merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1974 di Waduk Jatiluhur mulai dilakukan penelitian dan uji coba pemeliharaan ikan di karamba. Dasar hasil penelitian tersebut maka dimulai budidaya ikan di Waduk Saguling, selanjutnya berkembang ke Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, dan Waduk Kedung Ombo. Budidaya ikan dalam karamba di Waduk secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 (Hardjamulia et al. 1991) dan perkembangan yang paling pesat baru mulai pada tahun1988 (Kartamiharja 1995). Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena terdapatnya potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan yang tersedia, kelestarian sumberdaya, kemudahan melaksanakannya, sudah tersedianya paket teknologi budidaya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil secara ekonomis menguntungkan (Hardjamulia et al. 1991). Budidaya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya ikan di Waduk Cirata termasuk ke dalam kegiatan budidaya intensif karena pakan ikan yang

43 15 diberikan 100% adalah pakan buatan (pelet). Frekuensi pemberian pakan rata-rata tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan komersial (pelet) mengandung protein tinggi (lebih dari 20%) dengan kandungan nutrisi lainnya cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas perairan. Pertambahan jumlah KJA budidaya ikan di Waduk Cirata yang dimulai tahun 1987, sampai tahun 2002 semakin meningkat. Peningkatan jumlah KJA sampai tahun 1997 dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi mulai tahun 1998 peningkatan jumlah KJA tidak sejalan dengan peningkatan produksinya. Hal ini diduga karena kualitas air di Waduk Cirata yang mulai menurun setelah tahun 1997 sampai tahun 2002, serta akibat sering terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat pencemaran dan terserang virus herpes (Prihadi et al. 2005). Ryding dan Rast (1989) mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi karamba yang digunakan untuk produksi ikan. Di awal masa pertumbuhan, karamba ditebari ikan kecil, selanjutnya ikan diberi pakan pelet yang kaya hara dan diberikan pada interval waktu tertentu. Di dalam wilayah perlindungan karamba tersebut, ikan tumbuh cepat dan biasanya dipanen pada akhir masa pertumbuhan. Menurut Sukadi et al. (1989) KJA merupakan tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa sehingga terjadi pertukaran air dari karamba ke perairan sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Hardjamulia et al. (1991) mengemukakan prinsip dasar pada KJA yaitu sebagai wadah yang semua sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring yang dapat menampung ikan di dalamnya, terjadi pertukaran air dari dalam dan luar keramba serta kotoran dan sisa-sisa pakan ke luar dari karamba ke lingkungan perairan sekitarnya. Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa sejak tahun 1988 budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan waduk dan danau. Fenomena ini digambarkan dengan keadaan di Jawa Barat yaitu di Waduk Saguling, Cirata dan

44 16 Jatiluhur. Jumlah karamba meningkat dari unit pada tahun 1988 menjadi unit pada tahun Produksi ikan juga meningkat dari ton pada tahun 1988 menjadi ton pada tahun 1995 atau rata-rata meningkat 75% per tahun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada budidaya ikan di KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Salah satu teknologi yang telah dikembangkan untuk menanggulangi jumlah pakan yang terbuang sekaligus menanggulangi pencemaran perairan adalah dengan karamba jaring apung ganda. Dalam pelaksanaan teknologi ini, pakan diberikan hanya untuk ikan utama (pada umumnya ikan mas). Ikan utama dipelihara pada jaring lapisan atas sedangkan dalam jaring lapisan bawah dipelihara ikan yang dapat memanfaatkan pakan yang terbuang dari jaring lapisan atas (contoh: ikan nila). Hasil uji coba di Waduk Jatiluhur dengan jaring lapisan atas ukuran 6m x 6m x 2m untuk ikan mas dan jaring lapisan bawah 7m x 7m x 3m untuk ikan nila, dengan lama pemeliharaan 90 hari, diperoleh produksi rata-rata ikan mas saat panen adalah 15 kali dari bobot awal, sedangkan ikan nila diperoleh produksi 10 kali. Konversi pakan ikan mas didapatkan 1,6 dan ikan nila 1,0. Karamba jaring apung secara umum merupakan kegiatan ekonomi yang menguntungkan jika dikelola dengan baik, sehingga telah menarik investor baik di investor dari masyarakat sekitar waduk itu sendiri maupun investor dari luar masyarakat sekitar Waduk Cirata. Perkembangan KJA di Waduk Cirata sangat cepat. Menurut Garno (2000), pada tahun 1999 tedapat KJA dengan produksi ikan ton. KJA di Waduk Cirata telah menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003, tercatat sebanyak unit KJA sehingga sisa pakan yang berada di dasar waduk adalah sebesar ton (Prihadi 2005). Menurut Schimittou (1991) dalam Adnyana (2001), KJA kondisinya sangat tidak teratur dan telah melampaui batas lestari (1%) dari total area yang tersedia. Sisa pakan dan kotoran ikan yang berlebihan telah menimbulkan endapan sekitar 10% dari total pakan yang diberikan. Dari akumulasi endapan di dasar waduk

45 17 kondisi perairan menjadi eutrofikasi yang menjadi bahaya laten budidaya ikan perairan waduk yang dapat mengakibatkan kematian masal pada ikan. Limbah dari aktivitas KJA di Waduk Cirata yang menumpuk di dasar perairan waduk telah menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan perairan maupun terhadap kelangsungan umur waduk dan kegiatan usaha perikanan. Sebagai contoh, adanya hujan terus menerus selama minimal dua hari mendung dan atau gerimis apalagi diikuti dengan angin yang cukup kencang, akan berakibat munculnya peristiwa pembalikan massa air di dasar perairan ke perairan bagian atas, sehingga zat beracun yang sudah lama terakumulasi di dasar perairan terangkat ke atas. Peristiwa ini disebut dengan kejadian umbalan yang mengakibatkan kematian massal pada ikan dalam KJA. 2.5 Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan global yang dicetuskan sebagai akibat akumulasi keprihatinan terhadap ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan, ketidakmeratan kesejahteraan umat manusia, dan kecenderungan timbulnya dampak lingkungan. WCED menyelesaikan agenda pembangunan global dengan mengeluarkan dokumen Our Common Future pada tahun 1987, dalam dokumen dikemukakan bahwa tata ekonomi dunia menjadi pemicu kerusakan lingkungan dan mengusulkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan menjadi jalan tengah untuk mewadahi pembangunan berorientasi ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan nilai lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam perencanaan sehingga tercipta pemerataan distribusi manfaat antar strata sosial ekonomi dan jender, dan tersedia peluang pembangunan bagi generasi mendatang. Berdasarkan definisi di atas maka pembangunan berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar, yaitu 1) pembangunan lingkungan hidup, 2) pembangunan ekonomi dan 3) pembangunan sosial. Ketiga pilar saling terkait dan memperkuat satu sama lain (Eppel 1999; Harris 2000), bersifat dinamis dengan mendorong penggunaan sumberdaya yang didukung oleh

46 18 pengembangan teknologi dan kelembagaan yang dapat mengawal pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dan akan datang (WCED 1987). Sumberdaya perlu digunakan secara efisien untuk mencapai produksi optimal secara berkelanjutan dengan memelihara kestabilan dan menghindari eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan perlu dicapai suatu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan sumberdaya. Pada sumberdaya tak terbarukan efisiensi ditempuh melalui konversi atau investasi kembali menjadi sumberdaya terbarukan. Kestabilan sumberdaya dilakukan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas atmosfer, dan fungsi ekosistem lainnya. Keberlanjutan sumberdaya juga ditandai oleh kemampuan pulih lingkungan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus mampu memproduksi barang dan jasa secara berkelanjutan dan berkeadilan antara sektor terkait untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan dapat dicapai dengan dipenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, transportasi, kesehatan, dan pendidikan melalui penggunaan sumberdaya yang efisien. Pembangunan sosial berkelanjutan dicapai dengan tercapainya keadilan, pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, persamaan jender, peranan politik dan partisipasi (Harris 2000). Pembangunan berkelanjutan menempatkan manusia sebagai pelaku pembangunan yang bersinergi satu sama lain dalam menggunakan sumberdaya secara efisien bagi peningkatan kesejahteraannya (people oriented) dan minim dampak lingkungan. Penilaian keberlanjutan memiliki beberapa tujuan yaitu dalam upaya untuk (1) mencapai efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) mendorong pencapaian tujuan berkelanjutan, dan (3) mengembangkan landasan ilmiah mempunyai dasar ilmiah dalam menilai keberlanjutan suatu aktifitas pembangunan. Efesiensi penggunaan sumberdaya dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dalam jangka panjang dan lintas generasi (Campbell et al. 2001), menekan terjadinya konflik (Hassanshahi et al. 2008), mengoptimalkan jasa lingkungan dan pencapaian tujuan keberlanjutan pembangunan (Rammel et al. 2007). Adanya penilaian keberlanjutan memudahkan proses evaluasi. Landasan ilmiah penilaian

47 19 keberlanjutan perlu dikembangkan karena memerlukan pemahaman ilmu lintas disiplin yaitu ilmu sosial, ekonomi, dan lingkungan (Hassanshahi et al. 2008). Penilaian keberlanjutan juga dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan seperti pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat, atau lembaga penelitian. Penilaian keberlanjutan juga sebaiknya dilaksanakan secara terus menerus, sehingga diperoleh informasi ilmiah terkait perkembangan pemanfaatan sumberdaya dan pola penggunaannya. 2.6 Sistem dan Model Dinamik Sistem Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan olek penulis, diantaranya Ford (1999) menyebutkan bahwa sistem adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait. Grant et al. (1997) juga menyatakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan dari bahan-bahan dan proses-proses yang saling berhubungan dan secara bersama melakukan sejumlah peranan. Analisis sistem merupakan suatu penerapan dari metode ilmiah tentang masalah-masalah dalam suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan suatu teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan dan membuat prediksi tentang sistem yang kompleks, umumnya menggunakan penghitungan matematik, statistik dan komputer. Inti dari analisis sistem lebih mengarah kepada strategi pemecahan masalah yang lebih luas, bukan sekedar sekumpulan teknik-teknik kuantitatif. Pengertian tentang sistem dikemukakan oleh Muhammadi et al. (2001) yaitu sebagai keseluruhan interaksi antar komponen dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar komponen yang memberi bentuk atau struktur kepada obyek, sehingga membedakan dengan obyek lain dan mempengaruhi kelakuan dari obyek. Pengertian komponen adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Pengertian obyek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu, sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Pengertian batas antara sistem dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap

48 20 (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup ini hanya ada pada anggapan (untuk analisis) karena pada kenyataan sistem selalu terinteraksi dengan lingkungan atau sebagai sebuah sistem terbuka. Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Pekerjaan yang teramati merupakan hasil yang dicapai oleh kerja sistem yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Di lain pihak, unjuk kerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar komponen dalam batas lingkungan tertentu. Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhammadi et al. 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983, dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya time delay yang menggambarkan ketergantungan output terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai outputnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah: 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999; Kholil 2005). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu sibernetik (goal oriented), holistik dan efektifitas. Sibernetik artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada problem oriented tetapi lebih ditekankan pada apa tujuan dari penyelesaian

49 21 masalah tersebut. Efektifitas maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007) metodologi sistem dapat dibagi dua yaitu hard system methodology (HSM) dan soft sistem methodology (SSM). Pendekatan HSM memiliki asumsi bahwa: (1) masalah yang dimiliki system terdefinisi dengan baik, (2) memiliki solusi optimum tunggal, (3) pendekatan sains untuk pemecahan masalah akan bekerja dengan baik, (4) didominasi faktor teknis. Dalam pendekatan hard system teknik dan prosedur kaku untuk menghasilkan data dan pengolahan masalah yang terdefinisi dengan baik, difokuskan pada implementasi komputer. HSM dapat dikarakterisasi sebagai sesuatu yang memiliki tujuan atau akhir yang akan dicapai dan systemnya dapat direkayasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara SSM merupakan sebuah pendekatan untuk pemodelan proses pengorganisasian dan hal itu dapat digunakan baik untuk pemecahan masalah umum maupun dalam manajemen perubahan. SSM dapat dikarakterisasikan sebagai sesuatu yang memiliki akhir yang diinginkan, tetapi cara mencapai hasil dan hasil aktualnya tidak mudah untuk dikuantifikasikan. SSM lebih mengarah pada model konseptual (normatif) yang bisa menghasilkan perencanaan dan strategi Pemodelan Menurut Winardi (1999) model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata. Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh Eriyatno (1999) bahwa model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model adalah suatu abstraksi dari realitas oleh karena pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek

50 22 dari realitas yang sedang dikaji. Model adalah penyederhanaan sistem di alam yang dapat digunakan untuk memudahkan pengambilan keputusan (Suratmo 2002). Model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan,yaitu antara model dan kenyataan harus ada persamaan agar model yang bersangkutan dapat digunakan secara berarti (Winardi 1999). Hal tersebut tidak berbeda dengan pendapat Ford (1999) yang mengartikan model sebagai pengganti sistem yang sebenarnya untuk memudahkan kerja. Untuk melakukan simulasi model dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang dinamakan Powersim. Arne et al. (1996) menjelaskan bahwa Powersim adalah suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model sistem dinamik dengan kemampuan yang tinggi dalam melakukan simulasi. Powersim digunakan sebagai laboratorium mini untuk melakukan percobaan beberapa kebijakan sebelum dicobakan ke dunia nyata. Model tidak memerlukan fungsi-fungsi matematis secara eksplisit, untuk merealisasikan variabel sistem, namun model simulasi dapat digunakan untuk memecahkan sistem kompleks yang tidak dapat diselesaikan secara matematis. Simulasi model yaitu model yang meniru tingkah laku sistem dengan mempelajari interaksi komponen-komponennya. Menurut Djojomartono (1993), dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang harus diperhatikan, yaitu 1) identifikasi sistem, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) simulasi model, 5) evaluasi model, dan 6) penggunaan model dan analisis kebijakan. Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem. Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dangan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Dalam tahap ini sistem dapat dinyatakan di atas kertas dengan beberapa cara: diagram lingkar sebab akibat dan

51 23 diagram kotak, menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektifitas model. Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model. Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi. Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji ini berkisar dari memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan data pengamatan atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitifitas dapat dilakukan setelah model selesai divalidasi. Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan. Sushil (1993) menekankan bahwa fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem, sehingga langkah-langkah pemecahan masalah memberikan umpan pada pemahaman sistem. Pemahaman atas sistem melahirkan identifikasi dan definisi atas permasalahan yang terjadi dalam sistem tersebut. Konseptual sistem kemudian dilakukan atas dasar permasalahan yang didefinisikan. Hal ini akan menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem yang selanjutnya akan mendefinisikan masalah sampai konseptualisasi sistem dinyatakan dapat diterima. Didasarkan konseptualisasi sistem ini, selanjutnya model diformulasikan secara detail dalam persamaan matematis yang juga akan menimbulkan tambahan pemahaman atas sistem. Formulasi terus berlangsung dengan tujuan mendapatkan model logis yang dapat mempresentasikan sistem nyata. Model selanjutnya disimulasikan dan dilakukan validasi yang juga akan menimbulkan umpan balik tentang pemahaman

52 24 atas sistem. Hasil validasi kemudian akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi masalah. Tahap selanjutnya dilakukan analisis kebijakan pada model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman akan sistem. Kebijakan yang menimbulkan perbaikan selanjutnya diimplementasikan dan umpan balik yang diperoleh dari sistem nyata, pada akhirnya juga akan menimbulkan tambahan pemahaman akan sistem Sistem Dinamik Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhammadi et al. 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), sistem dinamik merupakan salah satu teknik HSM yang dapat digunakan dalam rancang bangun sistem. Selanjutnya menurut Forrester (1961) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), sistem dinamik dititik beratkan pada analisis karakteristik struktur sistem yang selanjutnya dipetakan secara nyata. Sistem dinamik dapat digunakan untuk menganalisis aspek fisik suatu industri atau proses produksi serta hal-hal yang berkaitan dengan perumusan dimasa datang. Rancang bangun sistem dinamik mengutamakan pada non-linier feed-back loop yang mempengaruhi proses kedinamisan yang bersifat nyata dalam struktur sistem. Menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), manfaat utama dari sistem dinamik adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola. Sistem dinamik yang dikembangkan pertama kali oleh Bellman (1957) dalam Wangsadipura dan Lubis (2006), merupakan suatu metode pendekatan untuk penyelesaian masalah yang rumit dan kompleks. Sistem dinamik mengoptimasikan suatu proses pengambilan keputusan berangkai dengan memberikan suatu ketetapan rangkaian keputusan

53 25 yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang merupakan fungsi tempat dan waktu. Ruth dan Lindholm (2002) menyatakan bahwa model dinamik adalah suatu proses untuk memperluas pengetahuan kita dengan menggunakan komputer sebagai alat penyelesainnya. Menurut Hall dan Dracup (1970) dalam Wangsadipura dan Lubis (2006), dibandingkan dengan teknik optimasi lainnya, sistem dinamik memiliki sejumlah keuntungan dalam pemakaiannya untuk optimasi pendayagunaan sumber daya air. Keuntungan tersebut dapat digunakan untuk merangkum tujuan dan kendala yang bersifat non linier, nonconvex, dan tidak terus menerus serta dapat mengakomodir sifat stokastik sistem, dimana sifat tersebut terkait dalam setiap permasalahan sistem sumber daya air. Permasalahan pada lingkungan (sosial dan sumberdaya alam) merupakan permasalahan yang kompleks dan dinamik sehingga harus diselesaikan menggunakan model dinamik (Milrad 2002). Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Cavana and Ford (2004), bahwa sistem dinamik dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sumber daya alam. Sebagai contoh Reynolds (1999) menggambarkan dinamika plankton di perairan waduk dengan model dinamik. Kholil (2005) menyatakan bahwa, pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) ke dalam model dinamiknya dengan bantuan software tool Powersim versi 2.5 berbasis

54 26 sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model secara garis besar disajikan pada Gambar 3. Problem state Sistem conceptualitation Causal diagram Model Construction Validasi OK? Tidak Simulasi Selesai Policy analisis Gambar 3 Garis besar pengembangan model dinamik.

55 Pola-pola Dasar Sistem Dinamik Secara empiris ada 8 pola dasar sistem dinamis: 1) perbaikan yang gagal (fixes that fail), 2) pemindahan beban (shifting the burden), 3) batas keberhasilan (limit to succes), 4) sasaran yang berubah (drifting goals), 5) kemajuan dan kekurangan modal (growth and underinvestment), 6) sukses bagi yang berhasil (sucess to the succesful), 7) eskalasi (escalation), dan 8) kesulitan bersama (tragedy of the commons) (Kim & Anderson 1998; Muhammadi et al. 2001). Pola-pola dasar sistem dinamik atau pola lingkaran dinamika sistem terdiri atas lingkaran umpan balik. Selanjutnya, gabungan lingkaran umpan balik membuat kerumitan yang tidak dapat dimengerti, penyederhanaan terhadap kerumitan tersebut dapat dikenali melalui pola lingkaran umpan balik (Aminullah 2004). Sejauh ini telah dapat dikenali tiga kelompok pola, yaitu pengelolaan sistem, pemecahan masalah, dan kecenderungan pelaku. Kelompok pertama adalah polapola pengelolaan sistem terdiri dari: a) tindakan perbaikan yang tertunda, b) penyesuaian tujuan, c) batas pertumbuhan, dan d) pertumbuhan dan kekurangan modal. Kelompok pola kedua adalah pola-pola pemecahan masalah yang terdiri dari: a) perbaikan yang gagal, dan b) pergeseran beban. Kemudian kelompok pola ketiga adalah pola-pola kecenderungan pelaku terdiri dari: a) sukses bagi yang berhasil, b) percepatan, dan c) kesulitan bersama. 1. Perbaikan yang gagal (fixes that fail) Perbaikan yang gagal adalah suatu tindakan perbaikan cepat pada suatu gejala yang tanpa disadari akan menimbulkan akibat lain yang akan memperburuk gejala tersebut. Struktur dasar dari perbaikan yang gagal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 memperlihatkan dua bagian yang dinamik. Bagian dinamik pertama memuat gejala masalah dan perbaikan cepat. Bagian dinamik kedua memuat tentang akibat yang tidak disengaja atau tidak disadari yang ditimbulkan oleh perbaikan. Struktur dasar perbaikan yang gagal diawali oleh suatu gejala masalah. Saat gejala masalah muncul, segera dilakukan perbaikan untuk mengurangi masalah (simpal (-)). Namun, perbaikan tersebut setelah beberapa waktu membawa kita kepada suatu akibat yang tidak disengaja yang sebenarnya justru membangkitkan atau memperburuk gejala masalah tersebut (simpal (+)).

56 28 + Gejala Masalah Simpal (- ) Perbaikan + - Simpal (+ ) Akibat yang tidak disengaja + Gambar 4 Struktur dasar model perbaikan yang gagal. 2. Pemindahan beban (shifting the burden) Pemindahan beban adalah tindakan pemecahan gejala masalah secara cepat (sementara) yang tanpa disadari akan menimbulkan efek samping yang justru akan memperburuk gejala masalah tersebut. Model baku pemindahan beban biasanya dimulai dengan sebuah gejala masalah yang akan membuat kita cenderung untuk lebih menerapkan pemecahan gejala masalah daripada pemecahan masalah yang sebenarnya (mendasar). Struktur model baku pemindahan beban, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Pemecahan Gejala Masalah - Simpal ( - ) + + Gejala Masalah Simpal ( + ) Efek Samping - Simpal ( - ) + Pemecahan Gejala Mendasar - Gambar 5 Struktur dasar pemindahan beban.

57 29 Ciri-ciri utama dalam model baku pemindahan beban adalah: a. Gejala masalah yang selalu berulang dan suatu tindakan perbaikan cepat dan mudah segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dari gejala masalah. b. Dugaan adanya tindakan yang lebih efektif untuk menyelesaikan gejala masalah, namun tindakan ini membutuhkan waktu lama, modal, komitmen, atau perubahan. c. Perilaku pemecahan gejala masalah yang tampaknya bersifat mendorong atau memperkuat yang mengakibatkan semakin meningkatnya kepercayaan terhadap pemecahan gejala masalah. 3. Batas keberhasilan (limit to succes) Pada suatu sistem yang menggambarkan situasi batas keberhasilan, kegiatan pertumbuhan pada awalnya membawa keberhasilan yang semakin meningkat. Namun, dengan berjalannya waktu keberhasilan itu sendiri menyebabkan sistem mencapai batas sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat. Keberhasilan memicu munculnya mekanisme pembatasan kemudian menyebabkan keberhasilan itu menurun. Kecenderungan yang ditunjukkan akan ditentukan oleh kegiatan pertumbuhan awal. Struktur model batas keberhasilan diperlihatkan pada Gambar 6. Struktur ini berciri proses penguatan (R1) dan proses keseimbangan (B2). Pembatas Usaha R1 Unjuk Kerja B2 Pembatasan Kegiatan + + Gambar 6 Diagram simpal kausal model batas keberhasilan 4. Sasaran yang berubah (drifting goals) Sasaran yang berubah adalah suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang dicapai, selanjutnya dilakukan

58 30 tindakan perbaikan untuk meningkatkan atau menurunkan target atau sasaran. Model baku sasaran yang berubah berawal dari terjadinya selisih antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang sesungguhnya (aktual). Untuk menghilangkan selisih tersebut, perlu dilakukan tindakan koreksi atau perbaikan, yang membutuhkan waktu, tenaga, dana, dan atau perhatian. Tindakan koreksi tidak selalu dijamin akan berhasil. Selain itu pengaruhnya baru nyata dirasakan setelah beberapa waktu sehingga diperlukan kesabaran. Pilihan lain untuk menghilangkan selisih adalah dengan menurunkan target atau sasaran unjuk kerja yang diinginkan yang sesuai dengan tingkat unjuk kerja aktual (Gambar 7). - Sasaran Simpal ( - ) Tekanan Terhadap Sasaran Lebih Rendah Aktual Selisih Simpal ( - ) + + Tindakan Koreksi Gambar 7 Struktur dasar sasaran yang berubah. Ciri dari struktur model baku sasaran yang berubah adalah adanya dua simpal (-) atau hubungan keseimbangan. Simpal (-) pertama terdiri dari unjuk kerja aktual, selisih antara unjuk kerja aktual dan yang ditargetkan, dan tindakan koreksi/perbaikan untuk meniadakan selisih. Simpal pertama ini mengandung sebuah penundaan waktu yang terjadi antara tindakan koreksi dan pengaruhnya terhadap unjuk kerja aktual. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukannya waktu yang relatif lama untuk merasakan pengaruhnya nyata dari tindakan koreksi. 5. Kemajuan dan kekurangan modal (growth and underinvestment) Kemajuan dan kekurangan modal adalah keadaan ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan dengan kapasitas pertambahan modal untuk memenuhi

59 31 kebutuhan. Dalam situasi kemajuan dan kekurangan modal, akan terjadi pertumbuhan yang mendekati batas yang dapat dieleminasi atau ditunda bila dibuat kapasitas penanaman modal yang memadai. Meskipun demikian, sebagai hasil dari kebijakan atau perlambatan di dalam sistem, permintaan yang menurun akan membatasi pertumbuhan lebih lanjut. Penurunan permintaan kemudian diikuti oleh pengurangan kapasitas penanaman modal yang menyebabkan timbulnya kinerja yang lebih buruk. Gambar 8 memperlihatkan contoh diagram simpal kausal dari struktur model kemajuan dan kekurangan modal dengan mengambil kisah sebuah perusahaan alat listrik. + Upaya Pertumbuhan + Simpal ( + ) Kebutuhan - Simpal ( - ) + Dampak Faktor Pembatas - + Standar Kinerja + Kapasitas Simpal ( - ) Pemenuhan Kebutuhan Modal + Kapasitas Penanaman Modal + Gambar 8 Diagram simpal kausal struktur model pertumbuhan dan kekurangan modal. 6. Sukses bagi yang berhasil (sucess to the succesful) Sukses bagi yang berhasil adalah suatu keadaan yang bersaing dalam meraih sukses (kemenangan). Bagi yang berhasil adalah karena kecendeungan untuk lebih banyak menempatkan sumber daya daripada pihak yang lain untuk terus meningkatkan susksesnya. Suatu model sukses bagi yang berhasil menggambarkan dua atau lebih individu, kelompok, proyek, inisiatif, dan sebagainya, yang saling bersaing untuk mencapai sukses (Gambar 9).

60 Keberhasilan A Simpal ( + ) Akses Sumber Daya untuk A tidak Untuk B Simpal ( + ) Keberhasilan + Sumber Daya untuk A + - Sumber Daya untuk B + Gambar 9 Struktur dasar sukses bagi yang berhasil. 7. Eskalasi (escalation) Eskalasi adalah dua pihak terlibat dalam suatu persaingan untuk saling mengungguli satu sama lain. Situasi eskalasi menggambarkan keadaan dimana dua pihak atau lebih terlibat dalam situasi di mana masing-masing pihak saling bereaksi terhadap tindakan pihak yang lain. Secara umum, diagram simpal kausal model ini terlihat pada Gambar 10. Aktivitas + + Hasil Simpal ( + ) Ancaman terhadap A + + Kualitas A relatif - Hasil - + Simpal ( + ) Ancaman terhadap B Aktivitas + Gambar 10 Diagram simpal kausal model eskalasi. 8. Kesulitan bersama (tragedy of the commons) Kesulitas bersama adalah suatu kejadian yang melibatkan dua pihak atau lebih yang bersama-sama menggunakan sumberdaya terbatas dan mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya yang berakhir dengan kesulitan bersama. Model kesulitan bersama didasarkan atas struktur dasar batas keberhasilan (Gambar 11).

61 33 Pendapatan Bersih A + + Simpal ( + ) Aktivitas Total + Aktivitas Simpal ( + ) Simpal ( + ) - Aktivitas Simpal ( + ) Pendapatan Bersih B Pendapatan per Aktivitas Individu Gambar 11 Struktur dasar kesulitan bersama. Ciri model ini ada tiga fase pembentukan prilaku. Fase pertama adalah fase stabil. Pada fase ini, peningkatan aktivitas tidak menyebabkan penurunan sumberdaya alam dan pendapatan, sehingga pelaku tidak sadar akan adanya keterbatasan. Fase kedua adalah fase penurunan sedikit secara bertahap. Pada saat ini konsumsi semakin besar sehingga jumlah sumberdaya alam semakin menurun. Turunnya sumberdaya alam ini menimbulkan kepanikan sehingga konsumsi meningkat dengan cepat. Kondisi ini menimbulkan fase ketiga yaitu penurunan jumlah sumberdaya alam secara cepat. 2.7 Interpretation Structural Modelling (ISM) Aspek kelembagaan dalam pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan merupakan salah satu permasalahan dalam pengelolaan waduk yang memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis, dan probabilistik. Oleh sebab itu, pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan yang efektif adalah dengan pendekatan sistem. Interpretation Structural Modelling (ISM) merupakan suatu tools untuk perencanaan strategis yang akan melibatkan keterkaitan yang luas dari berbagai lembaga (Saxena 1992, dalam Eriyatno 1998). Teknik ISM dibagi

62 34 menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam sistem secara efektif untuk pengambilan keputusan yang baik. Penyusunan hierarki dari suatu sistem diperlukan untuk menjelaskan pemahaman terhadap masalah yang dianalisa. Setiap elemen dari program yang dikaji dijabarkan dalam bentuk sub elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen yang memiliki suatu arahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan, seperti: apakah tujuan A lebih penting dari tujuan B? atau apakah lembaga A lebih berperan dari lembaga B?. Perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antar sub elemen atau ada tidaknya hubungan kontekstual dilakukan oleh para pakar bidang pengelolaan DAS. Jika jumlah pakar lebih dari satu maka harus dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol : V jika e ij = 1 dan e ij = 0 A jika eij = 0 dan e ij = 1 X jika eij = 1 dan e ij = 1 O jika eij = 0 dan e ij = 1 Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai e ij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antar sub elemen ke-i dan ke-j. Hasil penilaian diatas tersusun dalam suatu matrik interaksi struktural atau structural self-interaction matrix (SSIM). Selanjutnya dari nilai SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matrik tersebut lalu dikoreksi menjadi matrik tertutup yang memiliki kelengkapan dari hubungan sebab-akibat (causal loop) atau hubungan saling mempengaruhi. Hasil analisis ISM menguraikan tentang posisi dan keterkaitan lembaga dalam proses pengelolaan Waduk Cirata yang dituangkan dalam matrik driver power dan diagram struktural fungsi lembaga. Dalam matriks DP-D (driver power-dependence) yang menggambarkan klasifikasi sub elemen menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

63 35 a. Kuadran 1: weak driver-weak dependent variables (autonomous). Lembaga yang berada dalam posisi autonomous pengaruhnya lemah serta tingkat keterkaitannya dengan lembaga lain rendah. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika nilai DP 0,5 X dan nilai D 0,5 X. b. Kuadran 2: weak driver-strongly dependent variables (dependent). Lembaga yang berada dalam posisi dependent pengaruhnya lemah serta tingkat keterkaitannya dengan lembaga lain tinggi. Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 2 jika nilai DP 0,5 X dan nilai D > 0,5 X. c. Kuadran 3: strong driver-weak dependent variabels (lingkage). Lembaga yang berada dalam posisi lingkage pengaruhnya kuat serta tingkat keterkaitannya dengan lembaga lain juga tinggi. Sub elemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji lebih mendalam, sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk pada sektor 3 jika nilai DP > 0,5 X dan nilai D 0,5 X. d. Kuadran 4: strong driver-weak dependent variables (independent). Lembaga yang berada dalam posisi independent pengaruhnya kuat serta tingkat keterkaitannya dengan lembaga lain rendah. Sub elemen yang masuk pada katagori 4 merupakan sisa dari sistem dan bersifat peubah bebas. Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dalam sistem. Sub elemen yang masuk pada sektor 4 jika nilai DP > 0,5 X dan nilai D 0,5 X.

64 36

65 37 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk Cirata (Jawa Barat) selama 1 tahun. Sampel diperoleh dari 8 titik lokasi (Gambar 12), dengan titik koordinat disajikan pada Tabel 2. Gambar 12 Lokasi pengambilan parameter fisika dan kimia perairan. Tabel 2 Titik koordinat sampling di Waduk Cirata Stasiun Nama Lokasi Lintang Selatan Bujur Timur 1 Outlet UP pintu IV 107 o 20, ,885 2 Intake UP 107 o 20,727 o 06 41,501 3 Batas daerah bahaya 107 o 19,707 o 06 42,404 4 Zona II Purwakarta 107 o 16,617 o 06 43,702 5 Muara Cisokan 107 o 16,617 o 06 46,016 6 Muara Sungai Citarum 107 o 17,465 o 06 47,137 7 Badan air Sungai Citarum 107 o 18,832 o 06 48,042 8 Muara Sungai Cimeta - -

66 38 Lokasi sampling dijelaskan lebih jauh sebagai berikut: Stasiun 1 : Outlet UP pintu IV Pintu keluar air Waduk Cirata setelah melalui turbin. Stasiun 2 : Intake UP Pintu masuk air Waduk Cirata menuju turbin. Stasiun 3 : Batas daerah bahaya Batas zona bahaya dan terlarang aktivitas KJA dan lainnya hingga ke intake DAM, berarus kuat dan dalam. Stasiun 4 : Zona II Purwakarta Titik tengah Waduk Cirata merupakan titik pertemuan arus sungai-sungai sub DAS (Citarum, Cisokan, Cibalagung, Cikundul) di Waduk Cirata. Stasiun 5 : Muara Cisokan Inlet air Waduk Cirata dari sub DAS Cisokan. Stasiun 6 : Muara Sungai Citarum Inlet air Waduk Cirata dari sub DAS Citarum sebelum memasuki Waduk Cirata. Stasiun 7 : Badan air Sungai Citarum Inlet air Waduk Cirata dari sub DAS Citarum bagian hulu. Stasiun 8 : Muara Sungai Cimeta Anak Sungai Citarum. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh air, sedimen dan biota air berupa ikan, plankton dan bentos yang diambil dari setiap stasiun pengamatan, air destilasi, dan bahan kimia baik untuk analisis kualitas air, analisis sedimen, analisis logam berat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah botol nansen, botol sample, freezer, peralatan analisis kimia di laboratorium, ph meter, DO meter, petersen, plankton net dan AAS (atomic absorption spectroscopy), GPS (global positioning system) dan peralatan lain yang digunakan untuk analisis kualitas air dan sedimen serta alat detektor isotop. Parameter, fisika, kimia, dan biologi

67 39 perairan yang akan diukur serta alat dan metode analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan waduk yang diukur serta alat dan metode analisis No Parameter Satuan Alat atau metode analisis A Waduk 1. Air a. Sifat Fisik Suhu air 0 C termometer Kecerahan Cm keping Secchi Total padatan terlarut Ppm gravimetri Total padatan tersuspensi Ppm gravimetri Kekeruhan Ntu turbidimeter Kedalaman waduk M echosounding Luas permukaan waduk m2 pemetaan b. Sifat Kimia Ntu turbidimeter Kesadahan Ppm titrimeter Karbon dioksida bebas Ppm titrimeter Oksigen terlarut Ppm dissolved oxygen meter ph Ppm ph meter Nitrit Ppm spektrofotometer Nitrat Ppm spektrofotometer Amonia Ppm spektrofotometer N total Ppm spektrofotometer Ortofosfat Ppm spektrofotometer P total Ppm spektrofotometer Kebutuhan oksigen biologi Ppm titrimeter Kebutuhan oksigen kimia Ppm titrimeter Kalsium Ppm spektrofotometer Jumlah pakan Ton/tahun timbangan Konversi pakan % pakan/pertambahan bobot B Kondisi KJA Jumlah KJA Unit BPWC Jumlah ikan yang ditebar Ekor wawancara Jumlah ikan yang mati Ekor wawancara Bobot ikan tebar G wawancara Produksi ikan ton/tahun wawancara Jumlah pakan ton/tahun wawancara Lama pemeliharaan Bulan wawancara

68 Rancangan Penelitian Mengukur Daya Dukung Perairan 1) Tujuan penelitian: mengukur daya dukung perairan Waduk Cirata; 2) Metode pengumpulan data: in situ dan ex situ; 3) Variabel yang diamati: beban pencemaran dengan paramater yang diukur adalah debit sungai (Q) dan konsentrasi limbah (C); 4) Metode analisa data: Kapasitas asimilasi: menghitung daya dukung perairan dilakukan dengan menghitung beban pencemaran yaitu dengan cara mengukur debit air dan konsentrasi limbah langsung di muara sungai yang menuju Waduk Cirata, selanjutnya data dihitung berdasarkan model berikut (Chapra 1983): BP = Qi Ci BP = beban pencemaran yang berasal dari sungai (ton/bulan) Q i = debit sungai ke-i (m 3 /detik) C i Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing masing parameter limbah di perairan waduk dengan total beban pencemaran parameter tersebut di muara sungai. Titik perpotongan dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter disebut sebagai nilai kapasitas asimilasi. Selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota berdasarkan Keputusan Menteri KLH No. 51/Men-KLH/2004. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran yang dimaksud, disajikan pada Gambar 13. Jika pola hubungan tersebut direferensikan terhadap standar baku mutu, maka diperoleh nilai kapasitas asimilasi wilayah terhadap suatu parameter limbah tertentu. 6 = konsentrasi limbah parameter ke-i (mg/l)

69 41 Konsentrasi Baku Beban Gambar 13 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencemaran di muara sungai secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: y = f ( x) Secara matematis persamaan regresi linier dapat dituliskan : Dimana : y = a + bx x = nilai parameter di sungai y = nilai parameter di perairan waduk a = nilai tengah/rataan umum b = koefisien regresi untuk parameter di sungai Peubah x merupakan jumlah nilai dari seluruh muara yang diamati untuk parameter tertentu dan y merupakan nilai parameter di perairan waduk Model Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata Metode pengumpulan data: data yang diperlukan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penyusunan model kelembagaan pengelolaan waduk berkelanjutan dilakukan dengan wawancara, diskusi, kuesioner, dan survey lapangan, dengan responden di wilayah studi terdiri dari tokoh masyarakat di lingkungan waduk, pembudidaya ikan, pedagang pengumpul ikan, kelompok LSM, dan pejabat setempat, serta wawancara dengan berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan kegiatan tersebut. Data sekunder yang dikumpulkan adalah: jumlah penduduk, keadaan sosial ekonomi masyarakat, jumlah dan jenis industri di DAS Citarum, letak geografis dan iklim,

70 42 struktur organisasi dan keadaan SDM, serta regulasi yang berkaitan dengan masalah pengelolaan Waduk Cirata, jumlah keramba jaring apung, jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah pedagang pengumpul. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait yaitu dari Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Dinas PU, Dinas Tata Ruang, Dinas Pariwisata, Dinas Meteorologi dan Geofisika, Dinas Lingkungan Hidup, serta PLN. Metode Analisis data: data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun sekunder diolah dengan menggunakan program software ISM Analisis Keberlanjutan Pengolahan data menggunakan alat analisis Rap-fish yang merupakan teknik penilaian kinerja berbagai aspek yang mempengaruhi keberlanjutan suatu aktivitas (Pither dan Preischot 2001). Pinter et al. (2005) menyatakan aspek keberlanjutan yang dinilai meliputi ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan. Setiap aspek keberlanjutan terdiri atas beberapa atribut yang merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi ketersediaan sumberdaya. Atribut ditentukan berdasarkan hasil observasi kondisi Waduk Cirata saat ini, studi literatur dan wawancara dengan para pakar. Penilaian kinerja menggunakan pendapat pakar dan data sekunder dalam bentuk skala 0 sampai 2 atau 3 yang menunjukan kategori buruk sampai baik. Perubahan kinerja atribut ditunjukkan dengan nilai akar nilai tengah kuadrat Root Mean Square (RMS) pada sumbu x. Nilai RMS merupakan standar error yang bertujuan mengetahui nilai perubahan atribut saat terjadi perubahan kinerja dari suatu aspek keberlanjutan. Untuk mengevaluasi hasil penilaian atribut terhadap status pengelolaan waduk berkelanjutan, maka dilakukan simulasi Montecarlo. Simulasi Montecarlo dapat menunjukan perkiraan tingkat kesalahan skor setiap atribut sehingga pengaruh kesalahan acak terhadap suatu proses dapat dievaluasi dan keakuratan ordinat dapat diprediksi. Status keberlanjutan yang ditunjukkan dengan perpaduan setiap aspek dengan nilai 0% sampai 100% ditampilkan dengan diagram layang.

71 43 Apabila nilai indeks > 50% menunjukkan sistem berkelanjutan dan sebaliknya jika nilai indeks < 50% Tahapan Penelitian Analisis Sistem Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi model, serta implementasi. Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno 1999; Hardjomidjojo 2005). 1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan pada dasarnya adalah segala keinginan sumber-sumber yang terseleksi dan dapat digunakan (Eriyatno 1999). Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pendataan tentang kebutuhan seluruh pelaku (stakeholder) yang berperan atau terlibat. Inventarisasi ini digunakan sebagai masukan dalam model yang dibangun. Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001a) dikemukakan bahwa pengelolaan perairan yang berkelanjutan, perlu melibatkan partisipasi pengguna dan stakeholders yang berkepentingan dalam mengalokasi sumberdaya air tersebut diantara berbagai persaingan penggunaan dan pengguna. Demikian pula faktor sosial ekonomi sama pentingnya seperti faktor ilmiah dan teknis. Pelaku yang terlibat adalah: masyarakat yang tinggal di sekitar waduk yang berkepentingan dengan air waduk sebagai masyarakat mengusahakan budidaya ikan di dalam KJA; masyarakat yang berkepentingan dengan air waduk guna mengairi sawahnya; pengelola waduk yang berkepentingan untuk memanfaatkan air waduk untuk tenaga listrik; pemerintah yang berkepentingan untuk pemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan masyarakat; pemerhati lingkungan yang berkepentingan terhadap kelestarian sumberdaya perairan waduk. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam pengembangan pengelolaan sedimentasi limbah budidaya ikan di waduk berdasarkan kajian pustaka, stakeholder yang terlibat disajikan dalam Tabel 4.

72 44 Tabel 4 Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA No. Aktor/ Stakeholder Kebutuhan 1. Masyarakat/ Petani 1.1. Terbukanya lapangan pekerjaan 1.2. Tersedianya lahan untuk usaha budidaya ikan 1.3. Produksi budidaya KJA meningkat 1.4. Pemasaran yang baik dengan harga yang tinggi 1.5. Peningkatan pendapatan 1.6. Kontuinitas permintaan 1.7. Tersedianya sarana produksi 1.8. Tersedianya sarana informasi 2. Pemerintah 2.1. Dinas Pengairan Umum 2.2. PLN 2.1. Tersedianya wadah tampungan air permukaan sebagai salah satu pengendali banjir 2.2. Pasokan energi listrik terjamin secara kontinyu (industri dan rumah tangga) 2.3. Dinas Perikanan 2.3.Peningkatan produksi perikanan serta ketersediaan produk ikan secara kontinyu dan 2.4. Dinas Lingkungan Hidup berkualitas 2.4.Terjaganya kelestarian plasma nutfah dan 2.5. BPWC lingkungan perairan baik di DAS maupun waduk 2.6. Dispenda 2.5. Terjaganya fungsi dan umur waduk, daya dukung waduk dan master plan pengelolaan Waduk Cirata 2.7. Dinas Tenaga Kerja 2.6. Pendapatan daerah meningkat, peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah serta adanya keamanan yang kondusif 2.7.Tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat 3. Lembaga keuangan bank/koperasi 3.1. Keamanan usaha 3.2. Profitabilitas usaha 3.3.Resiko kegagalan pengembalian pinjaman modal kecil 4. Pengusaha Pakan 4.1. Kemitraan 4.2. Ketersediaan bahan baku pakan

73 Daya saing kompetitif 4.4. Iklim usaha yang kondusif 5. Pedagang pengumpul dan pedagang besar ikan 5.1. Terjaminnya mutu 5.2. Harga beli yang rasional 5.3. Kontinyuitas produksi 5.4. Margin keuntungan tinggi 5.5. Terjaminnya jumlah 5.6. Akses modal 5.7. Jaringan pemasaran yang kondusif 7. LSM 6.1. Lingkungan sehat 6.2. Tidak terjadi konflik sosial 6.3. Transparansi 6.4. Tata kelola pemerintahan yang bersih 6.5. Keamanan 6.6. Peningkatan kesejahteraan masyarakat 8. Penyedia jasa transportasi 7.1. Keamanan berusaha 7.2. Kemitraan dengan pedagang atau petani 2. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan sistem (Eriyatno 1999). Tahap formulasi permasalahan merupakan perumusan permasalahan penurunan daya dukung dari limbah budidaya ikan dari KJA di perairan Waduk Cirata. Dalam tahap ini dihasilkan diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan diagram input-output sistem pengelolaan waduk berkelanjutan (Gambar 18). Beberapa formulasi masalah yang dapat disusun dalam rangka pengelolaan waduk yang berkelanjutan yaitu: 1) Masalah penurunan biofisik lingkungan perairan waduk yang terdiri dari pencemaran lingkungan perairan tinggi, sedimentasi yang tinggi yang diduga berasal dari bahan organik dari limbah budidaya ikan di KJA dan erosi di DAS-nya serta daya dukung waduk yang semakin menurun. 2) Masalah kelembagaan dan regulasi: masih lemahnya tanggung jawab pemerintah daerah dan instansi terkait terhadap permasalahan Waduk Cirata, masyarakat yang belum memahami arti kelestarian fungsi dan umur waduk,

74 46 lemahnya regulasi dalam penegakan undang-undang yang ada, masih rendahnya pendidikan masyarakat sehingga masih sulit memahami kelestarian fungsi utama waduk. 3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Identifikasi sistem dapat disajikan dalam bentuk diagram input-output (black box) seperti ditunjukkan pada Gambar 14.

75 47 LINGKUNGAN Iklim Curah Hujan INPUT YANG TIDAK TERKENDALI Peraturan/kebijakan pemerintah Pencemaran lingkungan Jumlah penduduk Sikap dan perilaku mayarakat OUTPUT YANG DIKEHENDAKI Fungsi dan umur waduk menjadi lebih panjang Pencemaran lingkungan terkendali Potensi sumberdaya perairan meningkat Kelestarian waduk Keberlanjutan Usaha KJA MODEL PENGELOLAAN WADUK CIRATA (JAWA BARAT) INPUT YANG TERKENDALI Jumlah industri Jumlah pemukiman di sekitar waduk dan KJA Luas lahan pertanian berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lahan Tataruang kawasan waduk Jumlah KJA Sedimentasi limbah budidaya ikan Teknologi budidaya ikan Modal/investasi Sarana produksi Sarana penyedotan sedimen OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Pencemaran perairan Peningkatan sedimentasi Daya dukung waduk menurun Usaha KJA tidak berlanjut PLTA terganggu Umur waduk menjadi pendek MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 14 Diagram input output model pengelolaan waduk berkelanjutan.

76 Pengembangan Model 1. Model Kelembagaan Pengembangan model kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan didasarkan atas hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan metoda ISM yang dikembangkan oleh Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999). Data pada teknis ISM adalah kumpulan pendapat dari pakar panelis sewaktu menjawab tentang keterkaitan antar elemen. Pengembangan model kelembagaan ini bertujuan untuk membangun alternatif institusi pengelola waduk yang tepat, sesuai dengan karakteristik daerah, perkembangan masyarakat dan peraturan yang berlaku. 2. Analisis Kelembagaan Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kelembagaan ini adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan pengelolaan waduk berkelanjutan. Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999), program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktifitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Pada penelitian ini program yang ingin dicapai dalam pengelolaan Waduk Cirata adalah (1) tujuan yang ingin dicapai, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, dan (4) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Dasar pertimbangan dalam pemilihan elemen dari program yang ingin dicapai adalah elemen dominan yang sudah dikonsultasikan dengan pakar. Menurut Kholil (2005) dan Eriyatno (1999), analisis terhadap model kelembagaan ini pada dasarnya untuk menyusun hirarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji kemudian membuat klasifikasi ke dalam 4 sektor untuk menentukan sub elemen mana yang termasuk ke dalam variabel autonomous (sektor 1), dependent (sektor 2), linkage (sektor 3) atau independent (sektor 4) (Gambar 15).

77 49 IV III Driver power I II Gambar 15 Dependence Matriks DP-D untuk elemen tujuan.

78 50 Gambar 16. Secara garis besar analisis kelembagaan dengan metode ISM ini seperti pada Mulai Input analisis kelembagaan (1) Tujuan yang ingin dicapai, (2) Kebutuhan program, (3) Kendala utama, dan (4)Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Analisis kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata, (Jawa Barat) berdasarkan elemenelemen yang dikaji dengan metode ISM OK? Tidak Ya Output : Hirarki sub elemen untuk setiap elemen yang dikaji dan klasifikasi sub elemen pada setiap elemen Selesai Gambar 16 Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM. 3. Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; serta (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu :

79 51 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map) yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi-asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan software tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Gambar 17 memperlihatkan hubungan interaksi antar sub model dalam pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya KJA.

80 52 Jumlah penduduk Textil PLTA Subsistem Penduduk Pertumbuhan pemukiman Subsistem Industri Ternak Karamba Limbah domestik Jumlah Sungai Subsistem Sumber Air Debit air sungai Limbah domestik Prilaku budaya Jumlah penduduk Subsistem Pendapatan Sosial Pendidikan Tenaga kerja Kualitas air Waduk Konversi lahan hutan Luas lahan Subsistem terpakai Pertanian Limbah pertanian Kosentrasi N dan P Gambar 17 Hubungan interaksi antar sub model dalam pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) 4. Rancang Bangun Model Dinamik Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Pertambahan jumlah penduduk berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat, seperti kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan, dan perilaku masyarakat. Meningkatnya angka kemiskinan mendorong masyarakat meningkatkan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Selanjutnya kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat ternyata tidak memperhatikan teknik untuk pencegahan erosi. Peningkatan alih fungsi hutan akan meningkatkan erosi yang pada akhirnya meningkatkan pendangkalan di waduk. Jumlah penduduk yang tinggi menimbulkan limbah domestik yang tinggi pula, dimana daerah aliran

81 53 sungai merupakan tempat pembuangan limbah domestik dari masyarakat dari hulu sampai hilir. Disamping limbah domestik, keberadaan industri di sepanjang DAS juga membuang limbahnya ke DAS tersebut. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan tingginya jumlah pengangguran sehingga mengakibatkan masyarakat memanfaatkan perairan waduk sebagai lahan untuk melakukan kegiatan ekonomi, yaitu usaha budidaya ikan dengan menggunakan karamba jaring apung. Dari kegiatan tersebut dihasilkan limbah domestik dan limbah yang berasal dari pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feces ikan yang terbuang ke perairan waduk dan menyebabkan pencemaran serta sedimentasi limbah organik. Sedimentasi yang berasal dari erosi daratan dan limbah budidaya ikan berakibat pada daya tampung volume air waduk menurun. Fenomena ini pada akhirnya akan mengakibatkan kelestarian fungsional waduk terganggu yaitu umur fungsional waduk menjadi lebih pendek dari umur fungsional sebenarnya. Adanya regulasi dari pemerintah diharapkan dapat menurunkan dan mengatur kegiatan usaha budidaya perikanan masyarakat yang selama ini sudah melampaui daya dukung perairan. Gambar 18 memperlihatkan diagram sebab akibat (causal loop diagram). Umur Waduk + Jml Penduduk + Limbah Domestik Erosi Darat Limbah industri - Daya Dukung Perairan + - Regulasi Sedimentasi Waduk Vol.faeces + + Konversi lahan Jml angkatan kerja Industri Jml.Pengangguran Nilai Pendapatan + Jml Petani ikan KJA Jml permintaan Jml KJA + + Jml.Ikan di KJA + Jml.Pakan + Gambar 18 Diagram sebab akibat (causal loop) model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA Waduk Cirata

82 Uji Validasi dan Sensitivitas Model Untuk menguji kebenaran sebuah model dengan kondisi obyektif dilakukan uji validasi. Ada dua uji validasi yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah. Sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauh mana model sesuai dengan kinerja sistem nyata (keadaan yang sebenarnya) atau kesesuaian dengan data empirik. Validitas struktur meliputi dua pengujian, yakni validitas konstruksi dan validitas kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Sedangkan uji validitas kestabilan dilakukan dengan menguji konsistensi antara model agregat dan model rinci. 1. Uji Validasi Kinerja Validitas kinerja dilakukan dengan cara pengujian menggunakan statistik AME (absolute mean eror) dan AVE (absolute variation eror). Nilai batas penyimpangan yang dapat diterima adalah 5 10%. Tabel 5 Konversi rumus statistik ke persamaan powersim No Rumus statistik Persamaan powersim 1 Penyimpangan means absolut (AME) AME = (S i -A i ) A Si = S i N Ai = A i N 2 Penyimpangan variasi absolut (AVE) AVE = Ss-Sa Sa Ss = ((S i S i ) 2 N) Sa = ((Ai A i ) 2 N) i E1 = abs(sr-ar)/ar Sr = integrate (S)/t(n) t(0)) Ar = integrate (A)/t(n)-t(0)) Keterangan: A = nilai aktual ^2 = pangkat dua S = nilai simulasi n = waktu N = interval waktu pengamatan sqrt = akar Sa = deviasi nilai aktual integrate = sigma fungsi waktu Ss = deviasi nilai simulasi S = nilai simulasi Abs = nilai absolut E2 = abs(ss-sa)sa Ss=sqrt(integrate ((S-Sr)^2)(t(n)-t(0))) Sa=sqrt(integrate((A-Ar)^2)(t(n)-t(0)))

83 55 2. Uji Sensitivitas Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sentifitas dengan menggunakan fungsi-fungsi sepeti IF, STEP, GRAPH, dan PULSE (Davidsen 1994, dalam Kholil 2005). Uji sensitifitas dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus, tujuannya untuk menemukan alternatif tindakan baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian positif, maupun untuk mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitifitas dilakukan dengan dua macam (Muhammadi et al. 2001): 1) intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model, dan 2) intervensi struktural, yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan simulasi model adalah untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan (Muhammhadi et al. 2001). Tahap simulasi akan memberikan informasi model yang dibangun memuaskan atau tidak, jika tidak, dilakukan perbaikan yang diperlukan. Pada akhirnya, hasil dari pendekatan sistem akan memberikan informasi mengenai dinamika komponen penyusun struktur dalam pengelolaan perairan Waduk Cirata secara berkelanjutan. Kebijakan pengelolaan perairan Waduk Cirata dapat dilakukan dengan memilih skenario yang dianggap paling tepat untuk diterapkan sesuai dengan kebutuhan stakeholder Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan untuk mempengaruhi sistem agar sesuai dengan apa yang diinginkan (Davidsen 1994, dalam Kholil 2005). Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi model (Muhamadi et al. 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu: pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide-ide baru untuk mempengaruhi sistem agar mencapai

84 56 tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara analisis kebijakan alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru serta perubahan lingkungan ke depan Keterkaitan Model Biofisik dengan Dinamik Model biofisik merupakan salah satu sub sistem penyusun model dinamik yang dibangun. Selain model biofisik, model dinamik pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan didasari oleh analisis kelembagaan. Hal ini sebagai representasi komponen lingkungan (biofisik), ekonomi (finansial), dan kelembagaan sebagai penyusun sistem pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan. Model dinamik yang tersusun akan menjadi landasan kebijakan dalam menyusun strategi pengelolaan (Gambar 19). Parameter Fisika,Kimia dan Biologi perairan Kebutuhan program, kendala utama, tujuan program, lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Beban Pencemaran Kapasitas Asimilasi Daya Dukung ISM Kelembagaan/ institusi pengelola Waduk Cirata Model dinamik Analisis Kebijakan Selesai Strategi Pengelolaan Gambar 19 Ringkasan keterkaitan model biofisik dengan dinamik.

85 57 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Morfometri Waduk Cirata Ketinggian air dari permukaan laut adalah 200 m dan waduk ini selesai di bangun pada tahun Volume air pada waktu normal adalah sekitar m 3, dengan luas permukaan sekitar ha, kedalaman rata-rata sekitar 34.9 m, kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan Waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic. Tabel 6 menggambarkan karakteristik Waduk Cirata. Tabel 6 Karakteristik Waduk Cirata Deskripsi Keterangan Lokasi pada DAS Di bagian tengah Ketinggian dari muka laut (m) 200 Selesai dibangun Volume air x 1000 m Luas pemukaan (A), ha Kedalaman rata-rata (m) 34,9 Kedalaman maksimum (Z maks ), m 106 Status kesuburan Mesotrophic-Eutrophic Pola percampuran massa air Oligomictic (rare) Kondisi tanpa oksigen dimulai pada lapisan 9 m (anoxic, sore hari) kedalamn (m) 5 m (anoxic, pagi hari) Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air dari DAS Citarum. Waduk ini merupakan waduk ketiga setelah Jatiluhur dan Saguling yang dibangun dengan membendung aliran Sungai Citarum, dan dilihat dari letaknya, Waduk Cirata berlokasi di wilayah 3 kabupaten yaitu Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur (Gambar 20 ).

86 58 KAB.PURWAKARTA DAM KAB. CIANJUR KAB. BANDUNG BARAT Gambar 20 Waduk Cirata berlokasi di wilayah 3 kabupaten yaitu Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur (BPWC 2008). Luas Waduk Cirata mencapai ha, adapun daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat. Pembangunan bendungan utama Waduk Cirata dimulai pada permulaan tahun 1984 dan diselesaikan pada Agustus 1987, namun pengisiannya dilakukan selama kurang lebih sebulan sejak 1 September 1987 dengan sumber masukan air berasal dari outlet Waduk Saguling dan 15 sungai kecil disekitarnya yakni Sungai Citarum, Cikundul, Cihujang, Cihea, Cibodas, Cipeuyeum, Cidurang, Cibolang, Cinagis, Cikerta, Citamiang, Citangkap, Cicendo, Cimeta, dan Sungai Cisokan. Sungai-sungai ini sebelum masuk ke Waduk Cirata terlebih dahulu melintasi daerah perindustrian yang terdapat di daerah sekitar Waduk Cirata. Beberapa data morfometri dan hidrologi Waduk Cirata dapat dilihat pada Tabel 7.

87 59 Tabel 7 Data morfometri dan hidrologi Waduk Cirata, Jawa Barat No Dimensi Nilai 1 Tinggi tanggul 125 m 2 Panjang tanggul 453,5 m 3 Luas permukaan 6200 ha 4 Panjang maksimum 14,5 km 5 Lebar rata-rata 4,3 km 6 Kedalaman maksimum 106 m 7 Kedalaman rata-rata 34,9 m 8 Panjang total garis pantai 181 km 9 Elevasi dasar waduk (dpl) 22 m 10 Volume air maksimum 2,165 x 10 6 m 3 Sumber : Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan (UPDT) Waduk Cirata (a) (b) Waduk/danau Daratan bervegetasi Daratan nonvegetasi Gambar 21 Tampilan Waduk Cirata dengan Landsat 7 kombinasi band 543 (RGB): (a) April 2002 (musim kemarau) dan (b) September 2002 (musim penghujan) (Prihadi, 2005). 4.2 Kedalaman Perairan Waduk Cirata Kedalaman perairan Waduk Cirata bervariasi dengan kedalaman m yang memiliki rasio luasan terbesar (1.200 ha). Pada rata-rata kedalaman perairan ini juga paling banyak dimanfaatkan sebagai lokasi KJA (27,60%). Kisaran kedalaman, rasio kedalaman, dan area pemanfaatan KJA di Waduk Cirata dapat dilihat pada Tabel 8.

88 60 Tabel 8 Kisaran kedalaman, rasio kedalaman, dan area pemanfaatan KJA di Waduk Cirata (Sumber: Prihadi 2005) Kisaran Kedalaman (m) Luasan (ha) Rasio (%) Pemanfaatan KJA (ha) Area (ha) % , , , , , , , , Total Potensi Wilayah Penelitian Berdasarkan kondisi fisik yang telah dijelaskan di atas, dapat diidentifikasi potensi wilayah penelitian secara umum sebagai berikut: 1) Energi dari sumber daya air yang terdapat di Waduk Cirata dapat dijadikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) bagi masyarakat di wilayah Jawa dan Bali. 2) Potensi perairan di Waduk Cirata dapat dimanfaatkan sebagai tampungan air untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar. 3) Waduk Cirata berpotensi untuk memenuhi kebutuhan air domestik dan industri-industri yang berada di sekitar waduk. 4) Air dari waduk dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi bagi areal pertanian. 5) Sumberdaya perairan dapat dimanfaatkan untuk melakukan usaha pengembangan di bidang perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. 6) Sumberdaya perairan dapat dimanfaatkan sebagai sumberplasma nutfah organisme perairan air tawar 7) Keindahan Waduk Cirata dan panoramanya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor kepariwisataan.

89 61 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Daya Dukung Perairan Waduk Cirata Status Kualitas Perairan Muara Sungai Citarum Daerah aliran Sungai Citarum (DAS) merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Sumber air Sungai Citarum berasal dari mata air Gunung Wayang melalui 8 kabupaten-kota (Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Bogor, dan Karawang), serta mengairi 3 waduk besar (Saguling, Cirata dan Jatiluhur). Sungai Citarum merupakan sumber air terbesar yang masuk ke Waduk Cirata. Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada muara Sungai Citarum, parameter yang telah melampaui baku mutu air adalah zat tersuspensi, kekeruhan, kecerahan, karbondioksida (CO 2 ) bebas, asam karbonat (HCO 3 ), kesadahan, sulfida (H 2 S), ammonia (NH 3 ), nitrit (NO 2 -N), oksigen terlarut (DO), biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan natrium (Na). Parameter zat tersuspensi, kekeruhan dan kecerahan sudah melebihi baku mutu air, diduga karena tingginya sedimentasi akibat dari lahan kritis yang cukup luas. Secara umum permasalahan DAS Citarum adalah: lahan kritis cukup luas, langganan banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, sedimentasi, penegakan hukum belum tegas, partisipasi masyarakat masih kurang, koordinasi masih lemah dan berpotensi konflik apabila stakeholder tidak bersatu. Berdasarkan data kualitas air di muara Sungai Citarum maka dapat dinyatakan bahwa perairan Sungai Citarum yang masuk ke Waduk Cirata sudah tercemar. Faktor utama penyebab kerusakan berat yang dialami Sungai Citarum diduga adalah banyaknya industri yang sengaja membuang limbah ke Sungai Citarum ( Pencemaran yang terjadi di perairan Waduk Cirata disebabkan oleh berbagai sumber baik dari limbah domestik (limbah organik), limbah industri (limbah anorganik) maupun dari erosi tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2003), secara garis besar sumber pencemaran perairan dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu limbah industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban storm water), pertambangan, pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya.

90 62 Sedangkan bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara (nutrient), logam beracun (toxic metal), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substance (bahan yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air berkurang).

91 63 Tabel 9 Status Kualitas Perairan Sungai Citarum Baku Mutu PP 82 Tahun 2001 Hasil analisis Kualitas air No. Parameter Satuan Kriteria Gol B*) Rata2 tw1 Rata2 tw2 Rata2 tw3 Rata2 tw4 Rata2 muara sungai FISIKA 1 Temperatur o C tan 27,7 27,3 27,9 27,7 27,6 2 Residu terlarut mg/l ,67 154, ,8 3 Zat tersuspensi mg/l (-) 15 32, 7 3,2 8,2 14,8 4 Kekeruhan NTU (-) ,4 8,2 6 Kecerahan Cm (-) ,7 KIMIA 1 ph ,6 7,4 7,3 8,0 7,6 2 CO 2 bebas mg/l (-) 13,2 15,8 35,6 3,9 17,2 3 HCO3 mg/l (-) 129,3 105,3 144,0 149,6 132,0 4 Kesadahan (CaCO 3 ) mg/l 53, ,34 5 Sulfida (H 2 S) mg/l 0, ,01 0,01 6 Ammonia (NH 3 ) mg/l 0,05 0,01 0,002 0,007 0,012 0,008 7 Nitrit (NO 2 -N) mg/l 1 0,04 0,11 0,07 0,37 0,14 8 Nitrat (NO 3 -N) mg/l 10 1,15 0,64 0,57 0,60 0,74 9 Fosfat (PO 4 ) mg/l (-) 0,22 0,17 0,30 0,27 0,24 11 Oksigen Terlarut (DO) mg/l > 6 2,9 2,8 2,2 0,2 2,02 12 C O D mg/l 10 15,42 14,88 9,71 15,72 13,93 13 B O D mg/l 6 10,87 10,81 5,34 7,86 8,72 16 Besi (Fe) mg/l 5 0,14 0,16 0,34 0,21 17 Air Raksa (Hg) ppb 1 0,54 0,13 0,27 0,52 0,37 18 Nikel (Ni) mg/l (-) 0,03 0,03 0,04 0,03 19 Tembaga (Cu) mg/l 1 0,01 0,01 0,01 20 Seng (Zn) mg/l 5 0,02 0,11 0,02 0,04 0,05 22 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 0,009 0,0004 0,006 0, Timbal (Pb) mg/l 0,1 0,0087 0,01 28 Mangan (Mn) mg/l 0,5 0,076 0,021 0,05 29 Natrium (Na) mg/l (-) 34, ,83 BIOLOGI 1 MPN E.coli JPT/100 ml ,25 2 MPN Coliform JPT/100 ml ,75

92 Karakteristik Fisika Kimia Perairan Waduk Cirata 1. Parameter Fisika Perairan a. Suhu Suhu perairan merupakan salah satu parameter yang mengatur proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi di dalam suatu perairan. Suhu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam perairan. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air (Haslam 1995). Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Naiknya suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air, 2) meningkatnya kecepatan reaksi kimia, 3) mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya, dan 4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya diduga akan mati (Kristanto 2002). Hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa kisaran suhu pada semua titik adalah C. Kisaran suhu ini masih dalam batasan normal dan baik untuk kehidupan organisme perairan waduk. b. Zat Tersuspensi Zat tersuspensi (padatan tersuspensi total) adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 milimikron. Zat tersuspensi terdiri dari pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab nilai zat tersuspensi yang utama adalah kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke badan air (Effendie 2003). Hasil pengukuran zat tersuspensi adalah 15,11 mg/l. Nilai tersebut sudah melewati baku mutu air yang ditentukan. c. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yag diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1989). Kekeruhan pada perairan tergenang (danau/waduk) lebih banyak

93 65 disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus (Effendi 2003). Hasil pengamatan di kawasan Waduk Cirata menunjukan bahwa nilai kekeruhan di semua titik pengamatan sudah melebihi ambang batas (standar) yang telah ditetapkan yaitu 12,07 NTU. d. Kecerahan Kecerahan perairan menurut Parson dan Takahashi (1973) merupakan suatu kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu. Besarnya kecerahan suatu perairan sangat tergantung pada warna air dan kekeruhan, dalam hal ini semakin gelap warnanya akan semakin keruh, maka kecerahannya semakin rendah. Hasil pengamatan di perairan Waduk Cirata menunjukan nilai kecerahan di semua titik pengamatan sudah melebihi ambang batas (standar). Nilai kecerahan rata-rata di semua titik pengamatan berkisar 63,75 cm. Kondisi kecerahan yang rendah di Waduk Cirata diduga karena tingginya nilai zat tersuspensi. Nilai kecerahan akan berpengaruh terhadap daya tembus sinar matahari ke dalam perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap suhu dan proses fotosintesa. 2. Parameter Kimia Perairan a. ph Nilai ph merupakan hasil pengukuran aktifitas ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Mackereth et al. (1989) ph terkait sangat erat dengan kandungan karbondioksida dan alkalinitas. Pada ph yang kurang dari 5, nilai alkalinitas tidak terdeteksi. Makin tinggi nilai ph, semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan karbondioksida bebasnya. Toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh ph. Nilai ph normal suatu perairan danau adalah 6-9 (Goldman dan Horne, 1983). Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan ph rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Pada suasana alkalis (ph tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap kedalam tubuh organisme akuatik dibandingkan amonium.

94 66 Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai ph. Proses nitrifikasi akan berakhir jika ph bersifat asam. Pada ph 4,5 5,5 proses nitrifikasi akan terhambat (Novotny & Olem 1994). Selanjutnya Effendi (2003) menjelaskan bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada ph netral dan alkalis. Oleh karena itu proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi ph netral dan alkalis. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbondioksida. Dalam karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat (Moss 1993), keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air sehingga membentuk asam karbonat (Cole 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan ph perairan menurun. Dari hasil analisis parameter ph diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai ph dalam kisaran 7-9. Nilai ph dari masing-masing titik pengamatan masih berada pada ambang batas yang ditetapkan. b. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) Dissolved oxygen (DO) atau oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di zona eufotik, serta difusi dari udara (APHA 1989). Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan diperairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA 1989) sehingga jika ketersedian oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus akan menurunkan kualitas air. Kelarutan oksigen akan semakin berkurang dengan bertambahnya suhu (Effendi 2003). Secara vertikal distribusi oksigen akan menurun di perairan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Distribusi vertikal oksigen di Waduk Cirata digolongkan tipe clinograde. Tipe ini terjadi pada danau atau waduk yang produktif (eutrofik) yang kaya unsur hara dan bahan organik, konsentrasi oksigen

95 67 semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman bahkan telah habis sebelum mencapai dasar (Goldman & Horne 1983). Selanjutnya Effendi (2003) menjelaskan penghilangan oksigen pada bagian dasar perairan lebih banyak disebabkan proses dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen terlarut. Dari hasil analisis parameter DO diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai DO rata-rata 3,6 mg/l. Nilai DO dari masing-masing titik pengamatan sudah di bawah ambang batas baku mutu air yang ditetapkan. c. Fosfat (PO 4 ³ˉ-P) Pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat organik ynag selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktifitas badan air. Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya terbentuk orto-fosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Menurut Sutamihardja (1978) dalam Prihadi (2005) kandungan fosfat terlarut dalam perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l. Jika dalam suatu perairan terjadi masukkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadaan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali. Dari hasil analisis parameter diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai nilai rata-rata Fosfat (PO 4 ³ˉ-P) 0,21 mg/l. Nilai Fosfat (PO 4 ³ˉ-P dari masing-masing titik pengamatan masih dalam ambang batas minimal yang ditetapkan. d. Nitrit Nitrit adalah ion-ion anorganik alami yang merupakan bagian dari siklus nitrogen. Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditemukan dalam berbagai

96 68 bentuk diantaranya molekul N 2 terlarut, asam amino, ammonia (NH 3 ), amonium (NH + 4 ), nitrit (NO ), dan nitrat (NO 3 ). Keberadaan nitrit di perairan menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Oleh karena itu nitrit dapat dengan mudah dioksidasikan menjadi nitrat, maka nitrat adalah senyawa yang paling sering ditemukan di dalam air bawah tanah maupun air yang terdapat di permukaan (Effendie 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa kadar nitrit di perairan sangat rendah karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Dari hasil analisis parameter nitrit diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai nitrit rata-rata 0,08 mg/l. Nilai nitrit dari masing-masing titik pengamatan sudah di bawah ambang batas baku mutu air yang ditetapkan. e. Biological Oxygen Demand (BOD) Biological oxygen demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (APHA 1989). Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama, bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil, misalnya amonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji, glokusa, aldehida, ester, dan sebagainya. Secara tidak langsung, BOD mengambarkan kadar bahan organik yang berada di perairan (Effendi 2003). Kandungan BOD dan COD digunakan sebagai indikator pencemaran organik maupun anorganik di suatu perairan yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut (Fardias1992). Air dengan BOD tinggi menunjukan defisiensi oksigen sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Suyasa & Dwijani 2007). Dari hasil analisis parameter nitrit diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai nitrit rata-rata 12 mg/l. Nilai BOD dari masing-masing titik pengamatan sudah di bawah ambang batas baku mutu air yang ditetapkan. f. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical oxygen demand (COD) menggambarkan jumlah oksigen total yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi dengan

97 69 oksidator kalium dikromat, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (nonbiodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O (APHA 1989). Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi secara biologis karena dalam uji COD bahan-bahan organik stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Tabel 10 memperlihatkan kualitas perairan Waduk Cirata (Jawa Barat) tahun Tabel 10 Kualitas Perairan Waduk Cirata (Jawa Barat) tahun 2008 Parameter Satuan Kriteria Gol. B *) Rata-rata Pengukuran FISIKA Temperatur oc tan Residu terlarut mg/l ,0 Zat tersuspensi mg/l (-) 15,11 Kekeruhan NTU (-) 12,07 Kecerahan cm (-) 63,75 KIMIA ph CO2 bebas mg/l (-) 16,32 HCO3 mg/l (-) 128,62 Kesadahan (CaCO3) mg/l 42,41 Sulfida (H2S) mg/l 0,1 0,06 Ammonia (NH3) mg/l 0,05 0,01 Nitrit (NO2-N) mg/l 1 0,08 Nitrat (NO3-N) mg/l 10 0,87 Fosfat (PO4) mg/l (-) 0,21 Oksigen Terlarut (DO) mg/l > 6 3,06 C O D mg/l 10 19,07 B O D mg/l 6 12,0 Besi (Fe) mg/l 5 0,20 Air Raksa (Hg) ppb 1 0,62 Nikel (Ni) mg/l (-) 0,02 Tembaga (Cu) mg/l 1 0,01 Seng (Zn) mg/l 5 0,05 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 0,02 Timbal (Pb) mg/l 0,1 0,01 Mangan (Mn) mg/l 0,5 0,03 Natrium (Na) - (-) 29,73 BIOLOGI MPN E.coli JPT/100 ml ,21 MPN Coliform JPT/100 ml ,1 Keberadaan bahan organik yang tinggi dapat berasal dari alam atau dari aktifitas rumah tangga, pertanian, dan industri. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada

98 70 perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar biasanya dapat lebih dari 200 mg/l, dan pada limbah industri dapat mencapai mg/l (UNESCO/WHO/UNEP 1992, dalam Effendi 2003). Dari hasil analisis parameter COD diperoleh hasil hampir semua titik pengamatan mempunyai nitrit rata-rata 19,07 mg/l. Nilai COD dari masingmasing titik pengamatan sudah di bawah baku mutu air yang ditetapkan Status Mutu Perairan Waduk Cirata Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005), metode storet merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Secara prinsip metode storet adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya. Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata untuk masing-masing lokasi dan waktu pengukuran (Triwulan I-IV) memperlihatkan bahwa Waduk Cirata telah tercemar sedang sampai berat (Tabel 11, 12, 13 dan 14). Tabel 11 dan Tabel 12 memperlihatkan status mutu air pada musim penghujan, dimana status mutu air buruk pada semua stasiun pada klasifikasi mutu air klas B. Sedangkan Tabel 13 dan 14 memperlihatkan status mutu air pada musim kemarau yaitu sedang-buruk. Status mutu air di Waduk Cirata pada musim penghujan lebih buruk dibandingkan pada musim kemarau pada semua stasiun. Hal ini diduga disebabkan pada musim penghujan, tingkat erosi, jumlah dan jenis sampah menunjukkan penambahan dibandingkan pada musim kemarau (PJB 2007). Selanjutnya peningkatan limbah tersebut mengakibatkan penurunan mutu perairan Waduk Cirata. Tinggi rendahnya skor mutu air dipengaruhi oleh beberapa kegiatan masyarakat di wilayah hulu sungai sampai hilir sampai bermuara pada perairan Waduk Cirata. Kegiatan penduduk di wilayah perairan (kegiatan perikanan budidaya di karamba jaring apung) di Waduk Cirata juga memberikan sumbangan yang besar terhadap status mutu perairan. Kegiatan lain yang dominan antara lain, pemukiman, pertanian, pertambangan galian C, penggundulan hutan, industri, tempat pembuangan akhir (TPA) dan erosi. Tingginya erosi di DAS Citarum mengakibatkan perairan sungai tersebut berwarna coklat hampir setiap hari. Sumber penyebab erosi diduga disebabkan oleh galian tanah, pembangunan dan

99 71 penggundulan hutan (BPWC 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa buruknya status mutu perairan Waduk Cirata tidak terlepas dari masukkan zat pencemar yang berasal dari aktivitas penduduk dari Kota Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta. Tabel 11,12, 13, dan 14, memperlihatkan hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata triwulan I, II, dan III, status mutu air pada stasiun 1 sampai 7 memperlihatkan kondisi perairan yang sedang-buruk pada klasifikasi mutu air 1. Pada triwulan IV, dari stasiun 1-7 memperlihatkan status mutu air yang buruk. Tabel 11 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata triwulan I tahun 2008 No Nama Stasiun Klasifikasi mutu air Klas I Klas II Klas III Klas IV 1 St 1 Buruk Sedang Sedang Baik sekali 2 St 2 Buruk Sedang Sedang Baik sekali 3 St 3 Buruk Sedang Sedang Baik sekali 4 St 4 Buruk Sedang Sedang Baik sekali 5 St 5 Buruk Sedang Baik Baik sekali 6 St 6 Buruk Buruk Sedang Baik sekali 7 St 7 Buruk Sedang Sedang Baik sekali Tabel 12 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata triwulan II tahun 2008 No Nama Stasiun Klasifikasi mutu air Klas I Klas II Klas III Klas IV 1 St 1 Buruk Buruk Buruk Buruk 2 St 2 Buruk Buruk Buruk Buruk 3 St 3 Buruk Buruk Buruk Buruk 4 St 4 Buruk Buruk Buruk Buruk 5 St 5 Buruk Buruk Buruk Sedang 6 St 6 Buruk Buruk Buruk Sedang 7 St 7 Buruk Buruk Buruk Sedang Tabel 13 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata triwulan III tahun 2008 No Nama Stasiun Klasifikasi mutu air Klas I Klas II Klas III Klas IV 1 St 1 Buruk Buruk Buruk Sedang 2 St 2 Buruk Buruk Buruk Buruk 3 St 3 Buruk Buruk Buruk Buruk 4 St 4 Buruk Buruk Buruk Buruk 5 St 5 Buruk Buruk Buruk Buruk 6 St 6 Buruk Buruk Buruk Buruk 7 St 7 Buruk Buruk Buruk Buruk 8 St 8 Buruk Buruk Buruk Buruk

100 72 Tabel 14 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata triwulan IV tahun 2008 No Nama Stasiun Klasifikasi mutu air Klas I Klas II Klas III Klas IV 1 St 1 Buruk Buruk Buruk Buruk 2 St 2 Buruk Buruk Buruk Buruk 3 St 3 Buruk Buruk Buruk Buruk 4 St 4 Buruk Buruk Buruk Buruk 5 St 5 Buruk Buruk Buruk Buruk 6 St 6 Buruk Buruk Buruk Buruk 7 St 7 Buruk Buruk Buruk Buruk 8 St 8 Buruk Buruk Buruk Buruk Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Perairan Waduk Cirata (Jawa Barat) Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi sumber pencemar, jenis pencemar dan besarnya beban pencemar yang masuk ke dalam perairan Waduk Cirata (Tabel 15). Penghitungan beban pencemaran yang masuk ke waduk bersumber dari luar waduk sehingga sangat terkait dengan debit sungai yang mengalir masuk ke perairan waduk. Secara umum sumber pencemar yang masuk ke dalam perairan Waduk Cirata dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelompok yaitu: limbah rumah tangga (domestik), limbah industri, limbah pertanian dan peternakan, limbah budidaya ikan di KJA, dan erosi. Hal ini sesuai dengan pendapat Garno (2002) yang menyatakan bahwa sumber utama pencemaran waduk berasal dari limbah domestik dan kegiatan KJA. Limbah KJA merupakan limbah yang masuk secara langsung ke perairan waduk dalam jumlah yang banyak, sedangkan yang lainnya masuk secara tidak langsung melalui limpasan dari sungai-sungai yang mengalir ke waduk. Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah perairan waduk umumnya belum memiliki saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Limbah cair rumah tangga dibuang langsung ke waduk atau ke sungai yang mengalir ke waduk. Permukiman merupakan penyumbang beban pencemar bahan organik yang masuk ke perairan waduk. Untuk menjelaskan daya dukung perairan waduk terhadap pencemar, maka dibuat grafik perpotongan nilai kapasitas asimilasi dengan baku mutu perairan. Perairan waduk memiliki kemampuan menampung beban pencemaran sampai pada batas-batas tertentu. Kemampuan ini dipengaruhi oleh proses

101 73 pengenceran dan perombakan yang terjadi di dalamnya. Kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima beban pencemar limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Apabila beban limbah yang masuk ke perairan melebihi kemampuan asimilasinya, maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Penghitungan kapasitas asimilasi perairan waduk dalam menampung beban pencemar dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan metode hubungan antara masing-masing parameter kualitas air di perairan waduk dengan total beban pencemar di muara sungai. Kemudian hasil yang didapat dibandingkan dengan baku mutu air kelas B yang peruntukannya digunakan sebagai perikanan/pertanian. Jika kapasitas asimilasi belum terlampaui, menunjukkan bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah, dimana beban yang masuk akan mengalami proses difusi atau dispersi atau penguraian di dalam lingkungan perairan waduk. Hal ini ditandai oleh nilai konsentrasi parameter beban pencemar yang masih di bawah nilai ambang batas baku mutu air. Begitu juga sebaliknya, jika nilai kapasitas asimilasinya telah melebihi kemampuan asimilasinya, maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Kapasitas asimilasi suatu perairan ditentukan oleh morfologi dan dinamika perairan tersebut serta jenis dan jumlah limbah yang masuk ke dalam perairan tersebut. Data perhitungan regresi (fungsi y), beban pencemaran dan kapasitas asimilasi dapat dilihat pada Tabel 15. Persamaan regresi yang terbentuk merupakan hubungan beban pencemaran di muara sungai dengan kualitas air di Waduk Cirata dalam jangka waktu 3 tahun (tahun ). Parameter beban pencemar yang dianalisis seperti TSS, BOD, COD, PO 4, NO 3, NO 2, Fe, Cd, Zn, Mn melampui kapasitas asimilasinya, sedangkan parameter lain seperti TDS dan NO 3 masih di bawah kapasitas asimilasinya. Grafik kapasitas asimilasi terhadap parameter beban pencemar di perairan Waduk Cirata disajikan pada Gambar

102 74 Tabel 15 Beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan Waduk Cirata (Jawa Barat) tahun 2008 No Parameter Fungsi y 2 R Beban Pencemaran (ton/bulan) Kapasitas Asimilasi (ton/bulan) FISIKA 1 Zat padat terlarut y = 1,3113x+98,792 R , ,92 = 0,992 (TDS) 2 Zat padat y = 1,5396x-37,426 R ,121 = 0, ,78 tersuspensi (TSS) KIMIA 3 BOD y = 3,8901x+1,1618 R 2 = 0, , ,28 4 COD y = 2, ,8744 R 2 = 0, , ,57 5 Phosphat (PO4) y = 2, ,1904 R 2 = 0, ,59 64,28 6 Nitrat sebagai N (NO3) y = 3, ,1248 R 2 = 0, , ,47 7 Nitrit sebagai N (NO2) y = 4,0065 0,1131 R 2 = 0, ,84 0,27 8 Besi (Fe) y = 8,0456x+2,2949 R 2 = 0, ,13 14,63 9 Kadmium (Cd) y = 5,2413 0,0003 R 2 = 0,9998 1,57 1,98 10 Tembaga (Cu) y = 8,6778x+0,0061 R 2 = 0,998 3,49-30,3 11 Timbal (Pb) y = 5,196x - 0,000 R2 = 0,998 2,62 5,82 12 Seng (Zn) y = 3,4544x+0,0213 R 2 = 0, ,40 42,86 13 Mangan (Mn) y = 2,1651x+0,0106 R 2 = 0, ,58 40,64 1. Kapasitas Asimilasi TDS (Total Dissolve Solution) Salah satu pencemaran parameter fisika perairan yang terjadi di Waduk Cirata adalah TDS yaitu sedimentasi. Waduk dengan sedimentasi tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Fenomena ini diduga adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan prinsipprinsip konservasi air dan tanah, perubahan tata guna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk serta kepadatan penduduk. Menurut BPLHD (2001), salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas hutan. Penurunan luas hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS memiliki konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Hal ini berakibat pada tingginya sedimentasi sungai dan waduk yang mengakibatkan berkurangnya produktifitas dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah di daerah tangkapan air, dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan luas hutan. Menurut Syarief (2003), pendangkalan di waduk dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas perairan serta merusak habitat organisme di

103 75 dalamnya. Gambar 22 memperlihatkan kapasitas asimilasi dari TDS di Waduk Cirata tahun Penentuan kapasitas asimilasi untuk TDS dilakukan dengan persamaan regresi y =1,3113x + 98,792 dan nilai R 2 =0,992. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar ,2 ton/bulan sehingga beban pencemaran TDS di Waduk Cirata ,2 ton/tahun masih di bawah kapasitas asimilasinya. Gambar 22 Kapasitas asimilasi TDS di Waduk Cirata. 2. Kapasitas Asimilasi TSS (Total Solid Solution) Gambar 23 memperlihatkan kapasitas asimilasi dari TSS di Waduk Cirata. Penentuan kapasitas asimilasi untuk TSS dilakukan dengan persamaan regresi y= 1,5396x - 37,426 dan nilai R 2 =0,9588. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 10362,12 ton/bulan. Dari Gambar 23 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar oleh parameter TSS karena nilai kapasitas asimilasi berada pada kuadraan II yang berarti sudah melebihi kapasitas asimilasi walaupun nilai tersebut masih dibawah baku mutu air golongan I. Sedangkan Gambar 21 memperlihatkan bahwa beban pencemaran parameter TSS belum melewati kapasitas asimilasinya. Kejadian ini diduga karena proses self purification secara alami tidak optimal. Jika penyebab terjadinya TDS dan TSS tidak segera diatasi maka tidak berapa lama maka kapasitas asimilasi perairan tersebut diduga akan berada di atas baku mutu air. Secara umum suatu perairan memiliki kemampuan self purification atau kemampuan pulih alamiahnya. Bahan bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya

104 76 menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Gambar 23 Kapasitas asimilasi TSS di Waduk Cirata 3. Kapasitas Asimilasi BOD dan COD Hasil perhitungan kapasitas asimilasi untuk BOD diperoleh dari persamaan regresi y= 3,8901x + 1,1618 dan nilai R 2 = 0,9982. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 5810,28 ton/bulan. Nilai kapasitas asimilasi untuk COD ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 2,2669x + 9,8744 dan R 2 = 0,9956. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar ,57 ton/bulan. Gambar 24 dan 25 memperlihatkan nilai kapasitas asimilasi BOD dan COD berada pada posisi kuadran IV yang berarti perairan Waduk Cirata sudah tercemar berat oleh parameter BOD dan COD karena beban pencemaran sudah melewati kapasitas asimilasi dan sudah di atas baku mutu air golongan B. Fenomena nilai kapasitas asimilasi BOD dan COD tersebut diduga karena self purification di perairan Waduk Cirata sudah tidak berjalan secara optimal diduga karena banyaknya beban N dan P serta bahan pencemar organik lainnya yang masuk ke perairan Waduk Cirata sudah melebihi kapasitas asimilasinya. Nilai kandungan BOD dan COD di perairan menggambarkan jumlah bahan organik yang terkandung. BOD dan COD yang tinggi menunjukkan besarnya bahan organik yang terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya pencemaran BOD dan COD di perairan Waduk Cirata diduga akibat

105 77 tingginya aktivitas penduduk di DAS-nya (pembuangan limbah domestik, limbah pasar, dan aktivitas pertanian) serta dari Waduk (perikanan budidaya dengan KJA). Pada perairan yang relatif tenang seperti Waduk Cirata, limbah organik yang masuk dimungkinkan akan mengendap dan terakumulasi pada subtrat dasar perairan sehingga proses dekomposisi meningkat dan menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggoro (1996) yang menyatakan bahwa menumpuknya bahan pencemar organik di perairan akan menyebabkan proses dekomposisi organisme pengurai semakin meningkat sehingga konsentrasi BOD juga meningkat. Kapasitas asimilasi suatu perairan menjadi pertimbangan penting dalam upaya pendayagunaan lingkungan. Kesulitan pada alternatif ini adalah kapasitas asimilasi dari sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah terbatas. Limbah yang berlebihan tidak mungkin dapat diasimilasi sehingga apabila oksigen yang larut dalam lingkungan perairan habis, maka perairan akan menjadi kotor dan berbau busuk. Gambar 24 Kapasitas asimilasi BOD di Waduk Cirata Gambar 25 Kapasitas asimilasi COD di Waduk Cirata

106 78 4. Kapasitas Asimilasi (PO 4 ³ˉ-P) Berdasarkan persamaan regresi y= 2,2751x + 0,1904 dan R 2 = 0,9955, maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi PO 4 ³ˉ-P di perairan Waduk Cirata. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan kapasitas asimilasi sebesar 64,28 ton/bulan. Dari Gambar 26 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar oleh parameter PO 4 ³ˉ-P. Kandungan PO 4 ³ˉ-P di perairan mengindikasikan suatu kesuburan perairan. Perairan alami pada umumnya mempunyai kandungan fosfat yang tinggi (Kevern 1982). Tingginya kandungan PO 4 ³ˉ-P diakibatkan oleh tingginya rendah aktivitas manusia. Keberadaan kegiatan perikanan budidaya pada KJA di Waduk Cirata yang sudah melewati daya dukung perairan menyumbang kandungan PO 4 ³ˉ-P di perairan tersebut. Kandungan PO 4 ³ˉ-P yang berlebihan berkaitan dengan kesuburan perairan yang dapat mengakibatkan eutrofikasi di perairan. Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae sehingga penetrasi matahari ke dalam perairan menjadi terhambat selanjutnya proses fotosintesa di perairan terganggu, terjadi persaingan penggunaan oksigen perairan dengan organisme lainnya sehingga mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut pada malam hari. Organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan oksigen akan mati. Masuknya PO 4 ³ˉ-P yang berlebih di perairan berasal dari erosi lahan pertanian dan akumulasi hasil limbah budidaya ikan dapat mengakibatkan alga hijau tumbuh dengan subur selanjutnya jika menutupi perairan maka dapat memusnahkan organisme akuatik aerob. Tingginya beban pencemaran PO 4 ³ˉ-P di Waduk Cirata menyebabkan waduk ini sudah mencapai tingkat hipertrof (Garno 2002). Gambar 26 Kapasitas asimilasi PO 4 di Waduk Cirata

107 79 5. Kapasitas Asimilasi NO 3 Nilai kapasitas asimilasi untuk NO 3 ditentukan berdasarkan persamaan regresi y = 3,3551x + 0,1248 dan R 2 = 0,9987. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 2904,47 ton/bulan. Dari Gambar 27 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar berat oleh parameter NO 3 karena perpotongan nilai kapasitas asimilasi berada pada kuadraan IV yang berarti daya dukung parameter NO 3 sudah melebihi kapasitas asimilasi walaupun masih dibawah baku mutu air golongan I. Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan yang merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Effendie 2003). Nitrat dan nitrit merupakan hasil dari proses nitrifikasi. Beban pencemaran nitrat dan nitrit sudah melewati kapasitas asimilasi diduga karena adanya pemukiman, kegiatan pertanian, peternakan dan tempat pembuangan akhir yang membuang limbahnya secara berlebihan ke DAS dan waduk. Kegiatan perikanan budidaya karamba jaring apung di perairan waduk juga ikut andil menyumbang beban pencemaran nitrat dan nitrit. Gambar 27 Kapasitas asimilasi NO 3 di Waduk Cirata. 6. Kapasitas Asimilasi NO 2 Gambar 28 memperlihatkan kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar berat oleh parameter NO 2. Hal ini karena nilai hasil perpotongan garis regresi berada di atas garis baku mutu (kuadran III). Nilai kapasitas asimilasi untuk NO 2 ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 4,0065x 0,1131 dan R 2 = 0,9097.

108 80 Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 0,27 ton/bulan. Gambar 28 Kapasitas asimilasi NO 2 di Waduk Cirata tahun Kapasitas Asimilasi Logam Berat Menurut PJB (2007) keberadaan logam berat di perairan Waduk Cirata diduga berasal dari limbah sejumlah industri di daerah aliran Sungai Citarum dan Cisokan di Bandung, Cimahi, Bandung Barat, dan Cianjur ditengarai mengalir kedua sungai dan masuk ke Waduk Cirata. Menurut Boline (1981), dalam Mustarudin (2005), diantara logam berat yang masuk ke perairan logam berat Hg, Cd, dan Pb sangat berbahaya karena dapat mengganggu fungsi normal enzim atau struktur selular ikan dan biota lainnya. Selanjutnya dikatakan ke tiga logam tersebut mempunyai afinitas yang besar terhadap sulfidril yang merupakan gugus fungsi pada asam amino organisme yang mengikat logam berat. Menurut Darmono (1995), Hg, Cd, dan Pb tidak mempunyai fungsi biologis tetapi menyebabkan keracunan pada makhluk hidup karena mempunyai sifat terakumulasi dengan cepat pada tubuh organisme akibat interaksi sel/jaringan tubuh dengan logam berat dari lingkungan. Oleh sebab itu, keberadaan logam berat di perairan Waduk Cirata yang sudah melewati ambang batas dapat membahayakan kehidupan organisme perairan dan manusia, juga dapat meningkatkan laju korosi sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan turbin. a. Fe Berdasarkan persamaan regresi y= 8,0456x + 2,2949 dan R 2 = 0,9989 maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Fe di perairan Waduk Cirata. Hasil

109 81 perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 11,32 ton/bulan. Dari Gambar 29 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata sudah tercemar oleh Fe. Gambar 29 Kapasitas asimilasi Fe di Waduk Cirata. b. Cd Gambar 30 memperlihatkan bahwa kondisi perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh parameter Cd, nilai kapasitas asimilasi untuk Cd ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 5,2413x 0,0003 dan R 2 = 0,9998. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 1,98 ton/bulan. Gambar 30 Kapasitas asimilasi Cd di Waduk Cirata c. Cu Gambar 31 memperlihatkan keberadaan perpotongan garis regresi dengan kapasitas asimilasi dan baku mutu (kuadran III) yang berarti bahwa parameter Cu belum melewati kapasitas asimilasi dan masih di bawah ambang batas baku mutu.

110 82 Nilai kapasitas asimilasi untuk Cu ditentukan berdasarkan persamaan regresi y= 8,6778x + 0,0061 dan R 2 = 0,998. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar -30,3 ton/bulan. Hasil ini memperlihatkan bahwa perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh Cu. Gambar 31 Kapasitas asimilasi Cu di Waduk Cirata d. Zn Berdasarkan persamaan regresi y= 3,4544x + 0,0213 dan R 2 = 0,9944 (Gambar 30) maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Zn. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 42,86 ton/bulan. Gambar 32 menunjukkan beban pencemaran kondisi perairan Waduk Cirata tercemar Zn, walaupun masih di bawah baku mutu (kuadran II). Gambar 32 Kapasitas asimilasi Zn di Waduk Cirata e. Mn Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi logam berat Mn sebesar 40,64 ton/bulan(gambar

111 83 31). Perhitungan tersebut berdasarkan persamaan regresi y= 2,1651x + 0,0106 dan R 2 = 0,9628. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perairan tersebut belum tercemar oleh Mn, 1 titik di kuadran I dan ada 2 titik yang berada di kuadran III. Gambar 33 Kapasitas asimilasi Mn di Waduk Cirata tahun f. Pb Berdasarkan persamaan regresi y= 5,196 x - 0,000dan R 2 = 0,998 (Gambar 34) maka dapat ditentukan kapasitas asimilasi Pb. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 5,8214 ton/bulan. Dari Gambar 34 terlihat bahwa kondisi perairan Waduk Cirata belum tercemar oleh parameter Pb karena nilai kapasitas asimilasi masih di bawah ambang batas nilai baku mutu. Gambar 34 Kapasitas asimilasi Pb di Waduk Cirata.

112 Analisis Kelembagaan untuk Pengelolaan Waduk Berbasis Perikanan Budidaya KJA Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk merupakan sumber daya air yang telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan waduk yang banyak mengalami kendala karena permasalahannya bersifat kompleks. Dalam UU sumberdaya air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No. 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; PP. No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kep. Pres No.123/2001 tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumberdaya air. Walaupun sudah banyak undang undang atau peraturan yang dibuat tentang pengelolaan sumber daya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air akan tetapi pada kenyataannya konservasi sumber daya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumber daya air pada waduk masih jauh dari harapan, hal ini diduga akibat lemahnya penegakan hukum. Fenomena tersebut terjadi di perairan Waduk Cirata dimana sebagai waduk dengan fungsi tunggal (PLTA) sudah berubah menjadi waduk multifungsi diantaranya untuk kegiatan perikanan budidaya di KJA. Keberadaan KJA di waduk merupakan salah satu permasalahan besar yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan. Sampai saat ini jumlah KJA sudah melebihi daya dukung perairan sehingga mengganggu fungsi utama dari waduk tersebut. Oleh sebab itu, perlu segera dicari suatu strategi pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata secara berkelanjutan. Tabel 16 memperlihatkan jumlah KJA di perairan Waduk Cirata tahun Jumlah KJA tahun 2007 sebanyak petak, jumlah tersebut sudah melebihi batas jumlah yang direkomendasikan oleh Balitkanwar yaitu petak. Sedangkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 41/2002 tanggal 29 Nopember 2002 ditetapkan sebanyak petak (1% dari luas perairan waduk). Hamparan KJA

113 85 di Waduk Cirata dibagi dalam 3 wilayah kabupaten yaitu zona 1 wilayah Kabupaten Bandung Barat, zona 2 wilayah Kabupaten Purwakarta, dan zona 3 wilayah Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Cianjur mempunyai jumlah petak terbanyak dibandingkan Kabupaten Bandung Barat dan Purwakarta. Hal ini disebabkan luasan perairan yang masuk ke wilayah kabupaten Cianjur lebih besar dibandingkan dua kabupaten lainnya. Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan hasil analisa lapangan maupun studi literatur, dipilih 4 elemen yang dipakai untuk mengukur pengelolaan waduk berbasis perikanan KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yaitu 1. Tujuan program yang ingin dicapai, 2. Kebutuhan program yang diperlukan, 3. Lembaga yang terlibat serta 4. Kendala progam. Pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata mempunyai tujuan yang diharapkan dapat membantu dalam keberhasilan pengelolaan Waduk Cirata. Adapun elemen tujuan terdiri 12 elemen yaitu (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (4) Produksi ikan berkelanjutan, (5) Lapangan pekerjaan bersinambungan, (6) Terjaganya keseimbangan ekosistem perairan, (7) Kelestarian sumber daya perikanan, (8) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk, (9) Monitoring perubahan perairan waduk, (10) Penegakan regulasi pemerintah, (11) Terjadinya koordinasi antar institusi dan (12) Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat. Elemen kebutuhan program yaitu: (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit pengelola yang tepat, (4) Keberadaan lembaga penyuluh, (5) Pelatihan pelaku pengelola, (6) Penetapan jumlah KJA sesuai daya dukung perairan waduk, (7) Kerja sama lintas sektoral, (8) Kemudahan birokrasi, (9) Pemacuan stok ikan, (10) Pemodalan dan fasilitas pinjaman, (11) Pemasaran yang baik, (12) Monitoring dan evaluasi pengelolaan.

114 86 Dengan adanya tujuan serta kebutuhan program dalam pengelolaan waduk, ternyata ditemukan 12 elemen kendala yaitu: (1) Masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk, (2) Lokasi dan batas wilayah pengelolaan belum jelas, (3) Masih rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama, (4) Belum adanya partisipasi aktif masyarakat, (5) Belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak, (6) Tanggung jawab kepemilikan waduk tidak jelas, (7) Kerjasama lintas sektoral masih lemah, (8) Tidak adanya penyuluhan terhadap masyarakat, (9) Belum adanya sistem peringatan dini, (10) Belum adanya monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi, (11) Belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan, dan (12) Penegakan regulasi. Dalam pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan akan melibatkan berbagai lembaga baik pusat maupun daerah. Pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA akan melibatkan berbagai instansi yang terkait dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Untuk mewujudkan keberhasilan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan lembaga yang dapat menghadapi berbagai kendala. Selanjutnya lembaga yang terlibat membutuhkan tujuan program yang akan dipakai untuk menghilangkan kendala tersebut. Keterkaitan antar program dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan waduk berbasi perikanan budidaya KJA (Gambar 35). Tujuan program Kendala program Kebutuhan program Lembaga yg terlibat Gambar 35 Hubungan keterkaitan parameter pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata Selanjutnya keempat parameter tersebut dianalisis untuk mendapatkan elemen kunci dan faktor yang menjadi penggerak keberhasilan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya (Kasus Waduk Cirata).

115 Tujuan yang Ingin Dicapai Elemen tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan (kasus di Waduk Cirata) dijabarkan dalam 12 sub elemen (Tabel 17). Sub elemen tersebut dibuat dengan pertimbangan jumlah karamba jaring apung di Waduk Cirata sudah melebihi daya dukung waduk dan tata letak sudah tidak sesuai dengan zonasi peruntukan. Menurut BPWC (2003), pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan petak dengan jumlah pemilik orang tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat petak dari jumlah pemilik orang Tabel 16). Perkembangan KJA di perairan Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun meningkat 140% per tahun (Krismono 1999). Menurut Garno (2000), pada tahun 1999 terdapat KJA dan telah menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk. Tabel 16 Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata hasil sensus tahun 2007 Wilayah No Nama Desa Jumlah Petani Jumlah KJA [RTP] [Petak Kolam] Zona 1 1 Margalaksana Bandung 2 Margaluyu Nanggeleng Nyenang Bojong Mekar Jumlah Zona 2 1 Citamiang Purwakarta 2 Sinar Galih Tegal Datar Pasir Jambu Jumlah Zona 3 1 Bobojong Cianjur 2 Mande Cikidang Bayangbang 4 Kertajaya Gunung Sari Kamurang Jumlah Total Sumber: BPWC (2008).

116 88 Tabel 17 Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan No. Sub Elemen 1 Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA 2 Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan 3 Kelestarian sumberdaya perairan waduk 4 Produksi ikan berkelanjutan 5 Lapangan pekerjaan bersinambungan 6 Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan 7 Kelestarian sumber daya perikanan 8 Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk 9 Monitoring perubahan perairan waduk 10 Penegakan regulasi pemerintah 11 Terjadinya koordinasi antar institusi 12 Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat Menurut Schmittou dalam Adnyana (2001), KJA di Waduk Cirata kondisinya sudah sangat tidak teratur dan telah melampaui batas lestari (1%) dari total area yang tersedia. Menurut Goldburg et al. (2001), dampak negatif dari aktifitas budidaya ikan di KJA di waduk adalah adanya buangan limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan, sehingga berakibat pencemaran terhadap perairan tersebut. Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa perlu segera dibuat rancangan strategi pengelolaan perikanan budidaya (KJA) di Waduk Cirata dengan mengumpulkan pendapat pakar. Hasil kajian dari pakar, pihak terkait dan peneliti di lapangan,elemen tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti terlihat pada Tabel 17. Interpretasi dalam bentuk hierarki hasil analisis dengan ISM disajikan pada Gambar 35. Gambar 36 adalah hasil pengelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Hasil analisis dengan metode ISM pada elemen tujuan diperoleh 3 level hierarki. Level 3 adalah rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, kelestarian sumberdaya perairan waduk, terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, kelestarian sumber daya perikanan, penegakan regulasi pemerintah, terjadinya koordinasi antar institusi, dan membuat

117 89 strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat. Pada level 2 adalah produksi ikan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk. Sedangkan pada level 1 adalah lapangan pekerjaan berkesinambungan dan monitoring perubahan perairan waduk. 5 9 Level Level Level 3 Gambar 36 Diagram hierarki dari tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata). Selanjutnya hasil analisis ISM berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependence ke 12 sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor (Gambar 36). Dari Gambar 36 terlihat bahwa sub elemen yang masuk ke dalam sektor linkage (III) adalah (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tataletak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (6) Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, (7) Kelestarian sumber daya perikanan, (10) Penegakan regulasi pemerintah, (11) Terjalinnya koordinasi antar institusi, (12) Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat. Hal ini berarti bahwa sub elemen tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata tetapi tingkat keterkaitan dengan faktor lainnya tinggi. Menurut Mutiari (2005) dalam penegakan regulasi pemerintah untuk masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk pelaksanakannya saja. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih harus diuji dengan pelaksanaan dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.

118 90 Selanjutnya sub elemen produksi ikan berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk, lapangan pekerjaan berkesinambungan dan monitoring perubahan perairan waduk masuk ke dalam sektor dependent (II). Hal ini memberikan makna bahwa ke 4 sub elemen tersebut merupakan variabel yang tergantung atau dipengaruhi oleh variabel lain, khususnya sub elemen yang berada pada sektor linkage. Independent 13 1, 2, 3, 6, 7, 10, 11, Independent 11 Linkage Autonomous 5 4 Dependent 3 2 4, 8 1 5, 9 0 Dependence Gambar 37 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan (kasus di Waduk Cirata) Kebutuhan Program yang diperlukan dalam Pengelolaan Waduk Cirata Berkelanjutan Kebutuhan Program yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan budidaya di KJA di Waduk Cirata menurut pakar dijabarkan menjadi 12 sub elemen yaitu seperti terlihat pada Tabel 18. Interpretasi dalam bentuk hierarki hasil analisis dengan ISM disajikan pada Gambar 37. Gambar 38 adalah pengelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Tabel 18 Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan No. Sub Elemen 1 Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan 2 Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk 3 Pemilihan unit pengelola yang tepat 4 Keberadaan lembaga penyuluh

119 91 5 Pelatihan pelaku pengelola 6 Penetapan jumlah KJA sesuai daya dukung perairan waduk 7 Kerja sama lintas sektoral 8 Kemudahan birokrasi 9 Pemacuan stok ikan 10 Pemodalan dan fasilitas pinjaman 11 Pemasaran yang baik 12 Monitoring dan evaluasi pengelolaan Seperti pada hasil analisis ISM pada tujuan program yang ingin dicapai, dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata berkelanjutan maka pada elemen kebutuhan program yang diperlukan terdiri dari 3 level hierarki. Gambar 34 memperlihatkan level 3 adalah penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan dan penentuan kepemilikan sumberdaya waduk. Selanjutnya level 2 adalah pemilihan unit pengelola yang tepat, permodalan dan fasilitas pinjaman, dan pemasaran yang baik. Sedangkan pada level 1 adalah keberadaan lembaga penyuluh, pelatihan pelaku pengelola, penetapan jumlah KJA sesuai daya dukung perairan waduk, kerja sama lintas sektoral, kemudahan birokrasi, pemacuan stok ikan, serta monitoring dan evaluasi pengelolaan Level Level Level 3 Gambar 38 Diagram hierarki kebutuhan program dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata). Hasil analisis ISM berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependence ke 12 sub elemen kebutuhan program dikelompokkan ke dalam 4 sektor (Gambar 6). Gambar 6 memperlihatkan sub elemen yang masuk ke dalam sektor independent (IV) adalah (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit

120 92 pengelola yang tepat, (10) Pemodalan dan fasilitas pinjaman, (11) Pemasaran yang baik. Hal ini berarti bahwa ke 4 sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya KJA berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata). Selanjutnya sub elemen (4) Keberadaan lembaga penyuluh, (5) Pelatihan pelaku pengelola, (6) Penetapan jumlah KJA sesuai daya dukung perairan waduk, (7) Kerja sama lintas sektoral, (8) Kemudahan birokrasi, (9) Pemacuan stok ikan, (12) Monitoring dan evaluasi pengelolaan, masuk ke dalam sektor dependent (II). Hal ini memberikan makna bahwa ke 7 sub elemen tersebut merupakan variabel yang tergantung atau dipengaruhi oleh variabel lain, khususnya sub elemen yang berada pada sektor independent (IV). Independent 13 1, Independent 10 9 Linkage 3, 10, , 5, 6, 7, 8, 9, Autonomous 4 Dependent Dependence Gambar 39 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) untuk kebutuhan program pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan di Waduk Cirata Menurut Kartodihardjo (1999), kelembagaan dapat berarti bentuk atau wadah atau organisasi sekaligus juga mengandung pengertian tentang normanorma, aturan, dan tata cara atau prosedur yang mengatur hubungan antar manusia, bahkan kelembagaan merupakan sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak. Menurut Mochtar ( 2001), pengelolaan air dan sumber air sampai saat ini belum terdapat bentuk lembaga pengelola yang baku. Kelembagaan merupakan suatu aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh

121 93 faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama (North 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa kelembagaan adalah sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupun dengan orang lain di luar organisasi. Jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata cukup banyak dan beragam perannya. Namun berdasarkan pemikiran serta hasil pendapat pakar, elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan di Waduk Cirata dijabarkan menjadi 12 sub elemen (Tabel 19). Tabel 19 Lembaga yang berperan dalam pengelolaan Waduk Cirata dijabarkan menjadi 12 sub elemen No. Sub Elemen 1 Pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) 2 Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Propinsi Jawa Barat 3 Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan/Desa 4 Indonesian Power 5 Badan Pengelola Waduk Cirata 6 PJT II 7 Dinas KLH 8 Bapedalda 9 Lembaga riset/perguruan Tinggi 10 LSM 11 Lembaga Keuangan 12 Dinas Pariwisata Pada Gambar 39 terlihat bahwa lembaga yang berperan dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata terdiri dari 7 level hierarki. Gambar 39 memperlihatkan pada level 7 lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata adalah Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC). Dari 7 level hierarki yang terdiri dari 12 sub elemen, ternyata BPWC merupakan lembaga dipilih pakar untuk mengelola perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata. Badan Pengelola Waduk Cirata selama ini merupakan institusi yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan perairan Waduk Cirata dengan fungsi utama sebagai pembangkit listrik tenaga air (BPWC 2003). Pembentukan BPWC tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 16 tahun 1998 tentang

122 94 pengembangan pemanfaatan perairan umum dan lahan surutan di Waduk Cirata. Sebagai unit usaha di lingkungan PT. PJB yang bergerak dibidang usaha di luar ketenaga listrikan, jenis usaha yang dilakukan adalah pengembangan pemanfaatan potensi ekonomis di Cirata, diantaranya yang paling dominan adalah usaha perikanan, pertanian, dan pariwisata (PJB 2007). Level 6 terdiri dari Pemerintah pusat, Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan Kotamadya/Kabupaten/ Kecamatan/Desa. Level 5 adalah Indonesian Power. Level 4 terdiri dari PJT II dan Dinas KLH. Level 3 hanya satu lembaga yaitu lembaga riset/perguruan Tinggi. Level 2 adalah Bapedalda dan Lembaga Keuangan. Sedangkan level 1 adalah LSM dan Dinas Pariwisata Level Level 2 9 Level Level 4 4 Level Level 6 5 Level 7 Gambar 40 Diagram hierarki lembaga yang berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Dengan adanya BPWC yang mempunyai mandat untuk mengelola lingkungan perairan waduk, diharapkan dapat mengurangi konflik antar institusi mengingat wilayah perairan waduk terletak pada 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur. Berdasarkan nilai Driver Power dan Dependence ke-12 sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor (Gambar 39). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 4 lembaga yang berada pada posisi independent. Pada Gambar 41 terlihat bahwa sub elemen yang masuk ke dalam sektor independent (IV) adalah

123 95 (1) BPWC, (2) Pemerintah Pusat, (3) Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, (4) Dinas Perikanan Kotamadya / Kabupaten / Kecamatan / Desa. Hal ini bermakna bahwa sub elemen tersebut terutama sub elemen (5) BPWC memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata. Sementara PJT II, BPLHD, lembaga riset/ Perguruan Tinggi, LSM, lembaga keuangan, dan Dinas Pariwisata berada pada sektor II (dependent). Posisi ini memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan agar sub elemen yang berada pada sektor tersebut dikaji secara seksama dan hatihati, sebab interaksi antar sub elemen dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata. Sedangkan sub elemen (4) Indonesian Power dan (12) Dinas KLH berada pada posisi autonomus yang berarti lembaga tersebut pengaruhnya lemah serta tingkat keterkaitan dengan lembaga lain dalam pengelolaan perikanan budidaya KJA di Waduk Cirata lemah. Independent 5 1, 2, 3 Independent Autonomous Linkage Dependent Dependence Gambar 41 Matrik Driver Power (DP) dan Dependence (D) lembaga yang berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) Elemen Kendala dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Pada Gambar 42 terlihat bahwa kendala utama pada pengelolaan waduk berkelanjutan terdiri dari 4 level hierarki. Gambar 42 memperlihatkan pada level 4 kendala utama pada pengelolaan waduk berkelanjutan adalah masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk. Pada level 3 adalah masih rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama, belum adanya partisipasi aktif masyarakat, belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak,

124 96 tanggung jawab kepemilikan waduk tidak jelas, kerjasama lintas sektoral masih lemah, belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan dan belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan, kurangnya visi dan misi pengelolaan. Pada level 2 adalah tidak adanya penyuluhan terhadap masyarakat. Sedangkan level 1 adalah lokasi dan batas wilayah pengelolaan belum jelas, belum adanya sistem peringatan dini dan belum adanya monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi. Tabel 20 adalah 12 sub elemen kendala dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata). Tabel 20 Sub elemen kendala dalam dalam pengelolaan waduk berkelanjutan No. Sub Elemen 1 Masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk 2 Lokasi dan batas wilayah pengelolaan belum jelas 3 Masih rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama 4 Belum adanya partisipasi aktif masyarakat 5 Belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak 6 Tanggung jawab kepemilikan waduk tidak jelas 7 Kerjasama lintas sektoral masih lemah 8 Tidak adanya penyuluhan terhadap masyarakat 9 Belum adanya sistem peringatan dini 10 Belum adanya monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi 11 Belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan 12 Penegakan regulasi Gambar 42 Diagram hierarki kendala utama dalam pengelolaan waduk berkelanjutan

125 97 Berdasarkan nilai Driver Power dan Dependence ke-12 sub elemen dikelompokkan ke dalam IV sektor (Gambar 42). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 1 elemen yang berada pada posisi independent yaitu masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk yang memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan budidaya karamba jaring apung di Waduk Cirata. Sedangkan masih rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama, belum adanya partisipasi aktif masyarakat, belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak, tanggung jawab kepemilikan waduk tidak jelas, kerjasama lintas sektoral masih lemah, belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan dan belum adanya pengembangan strategi berkelanjutan, kurangnya dalam penegakan regulasi berada pada sektor dependent (II). Sementara tidak adanya penyuluhan terhadap masyarakat, lokasi dan batas wilayah pengelolaan belum jelas, belum adanya sistem peringatan dini dan belum adanya monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi berada pada posisi linkage (III). Posisi ini memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan agar sub elemen yang berada pada sektor tersebut dikaji secara seksama dan hati-hati, sebab interaksi antar sub elemen dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan waduk. Independent , 4, 5, 6, 7, 11, 12 Independent Autonomous Linkage Dependent , Dependence Gambar 43 Diagram hierarki dari sub elemen kendala utama dalam pengelolaan waduk berkelanjutan

126 Model Dinamik Pengembangan model dinamik meliputi: (a) sub model sumber pencemar, (b) sub model beban pencemaran, dan (c) sub model kualitas air waduk. Simulasi dilakukan selama periode waktu 40 tahun dimulai , skenario modelnya adalah: 1) Kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dan dampaknya pada penurunan jumlah limbah yaitu limbah KJA, limbah ternak babi, limbah ternak sapi, limbah feses manusia, jumlah sampah, serta berpengaruh pada penurunan erosi pemukiman serta erosi pertanian dan total sumber pencemar. 2) Kebijakan penurunan jumlah KJA, luas pemukiman, luas pertanian, jumlah sapi, dan jumlah babi serta dampaknya terhadap penurunan jumlah limbah dan erosi. Pemodelan diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model yang akan menggambarkan sistem yang dikaji (Eriyatno 1999). Tujuan utama dari penelitian ini adalah membangun model pengelolaan Waduk Cirata secara terpadu. Model pengelolaan perairan Waduk disusun berdasarkan tiga sub model yaitu: a) Sub model sumber pencemar yang masuk ke perairan waduk, yaitu sumber limbah dari kegiatan di luar waduk dan dari kegiatan di badan air waduk, b) Sub model beban pencemar, dan c) Sub model kualitas air waduk. Gambaran hubungan umum ketiga submodel tersebut disajikan pada Gambar 44. Sub Model sumber pencemar Sub Model beban pencemaran Sub Model Kualitas air Waduk Cirata Daya Dukung (Kapasitas asimilasi) Gambar 44 Model terpadu pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan

127 Sub Model Sumber Pencemar Sub model sumber pencemar tersusun oleh beberapa sub-sub model limbah, yaitu: sub model KJA, sub model ternak limbah tinja sapi, sub model ternak limbah tinja ayam, sub model erosi pertanian, sub model erosi pemukiman, sub model limbah tinja pemukim waduk dan sub model sampah. Ketujuh sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub model kemudian diintegrasikan menjadi satu model sumber pencemar perairan di Waduk Cirata. Penggabungan ketujuh sub model limbah (sub model KJA, sub model ternak limbah tinja sapi, sub model ternak limbah tinja ayam, sub model erosi pertanian, sub model erosi pemukiman, sub model limbah tinja pemukim waduk dan sub model sampah) merupakan gambaran total sumber pencemaran yang masuk ke perairan Waduk Cirata dalam hubungannya sebagai penyumbang terhadap beban pencemar Waduk. Sub model dinamik sumber pencemar Waduk Cirata ditunjukkan pada Gambar 45. Sub model dinamik sumber pencemar dari luar dan dalam Waduk Cirata dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: TSP = LKJAT + LKJAG + LTPRTP + LPDPRTP + LIN + LT + LP + LPPT + LTPT... (5) d( TSP) = + C( t)... (6) dt TSP = + t= n t= 2002 C( t) dt... (7) TSP = t = n t = n t = n t = n C1 ( t) dt + C2( t) dt + C3( t) dt + C4( t) dt + C5( t) dt + C6( t) dt + t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = (8) Dalam model dinamik sederhana persamaan 8 ditulis menjadi: TSP = (LKJAT*fk1) + (LKJAG*fk2) + (LTPRTP*fk3) + (LPDPRTP*fk4) + (LIN*fk5) + (LT*fk6) + (LP*fk7) + (LPPT*fk8) +(LTPT*fk9)... (9) t = n t = n t = n C7( t) dt Persamaan ini digambarkan dalam diagram flow-level model dinamik sederhana pada Gambar 45.

128 100 JLB Lj_LB fk7 JPddk JPddk Lj_JPddk fk8 fk2 Lj_LSH JLSH JPddk JLPM JPddk Lj_LPM fk4 fk1 Lj_KJA JLKJA TSP JLPT Lj_LPT fk5 JPddk JPddk fk3 Lj_LTM JLTM JPddk JLSI JPddk Lj_LSI fk6 Gambar 45 Sub model dinamik sederhana total sumber pencemar. Keterangan : LKJAT LKJAG LTPRTP LPDPRTP LIN LPT LT LP LPPT LTPT JPddk C (t) = Limbah KJA Tunggal = Limbah KJA Ganda = Limbah Tinja Penduduk RTP = Limbah Padat Penduduk RTP = Limbah Industri = Limbah Pertanian = Limbah Ternak = Limbah Pupuk = Limbah Padat = Limbah Tinja Penduduk Total = Jumlah Penduduk = Total sumber pencemar per tahun Dari persamaan 9 menunjukkan bahwa total sumber pencemar merupakan fungsi waktu dan kontinu. Oleh sebab itu, penyelesaiannya baik ruas kiri dan kanan persamaan menggunakan model dinamik sehingga dalam model dinamik sederhana ditulis menjadi: TSP = + t= n t= 2002 C( t) dt = ((TSP)*fk TSP )...(10)

129 101 Sub Model KJA Tunggal Fk_pengali Fk2 L_RTP J_RTP J_KJA BBM_aw Pr_LKJA Fk_KJA_Ex Fk Fk_RTP_Ex JLN DDL1 JL BBM_Akh J_pakanT J_LimbahKJAM_Ex FCR FkN DDL2 Daya_Dukung_Lin FCR_ Fk Limbah Fk waktu LJ_FCR Gambar 46 Sub model dinamik KJA tunggal dan luas KJA.

130 102 Gambar 47 Sub model dinamik limbah ternak dan industri.

131 Gambar 48 Sub model dinamik limbah pertanian, limbah padat, dan tinja. 103

132 104 Gambar 49 Sub model dinamik luas hutan, pemukiman, dan pertanian.

133 Gambar 50 Sub model dinamik KJA ganda, serta sub model limbah KJA tunggal versus KJA ganda. 105

134 106 Gambar 51 Sub model dinamik sumber pencemar Waduk Cirata

135 Sub Model Beban Pencemar Sub model beban pencemar terdiri atas beberapa sub sub model beban pencemaran, yaitu: TDS, TSS, As, Cd, Pb, F, BOD, COD, PO, NO 3, Fe, Zn, dan Mn. Ketiga belas sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub model kemudian diintegrasikan menjadi satu model beban pencemaran perairan di Waduk Cirata. Sub model dinamik beban pencemar waduk ditunjukkan pada Gambar 52. Sub model dinamik beban pencemar Waduk Cirata dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut: 3 4 TBP = TDS + TSS + As + Cd + Pb + F + BOD + COD + PO + NO 3 + Fe + Zn + Mn... (11) 3 4 Hal ini memenuhi persamaan total massa (Jerald 1996) sebagai berikut : M = Q t 0 C( t) dt...(12a) d( TBP) dt = + C( t)...(12b) TBP = + TBP = t = n t = n t= n t= 2002 C( t) dt...(13) C1( t) dt + C2( t) dt + C3( t) dt + C4( t) dt + C5( t) dt + t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = 2002 t = n t = n t = n t = n C ( t) dt + C8( t) dt + C9( t) dt + C10( t) dt + C11( t) dt + t = 2002 t = 2002 t = 2002 t= 2002 t= 2002 t= 2002 t= n t = n 7 C12( t) dt...(14) t= n t = n t= n t = n C6( t) dt + Dalam model dinamik sederhana persamaan 14 ditulis menjadi: TBP = TDS*fk1 + TSS*fk2 + As*fk3 + Cd*fk4 + Pb*fk5 + F*fk6 + BOD*fk7 + COD*fk8 + PO *fk9+ NO 3 *fk10+ Fe*fk11+ Zn*fk12 + Mn*fk13...(15) 3 4

136 108 Keterangan : TBP BP BP TDS BP BOD BP COD BP PO4 BP NO3 BP TSS BP As BP Cd BP Fe BP Zn BP Pb BP Mn BP F = Total beban pencemaran = Beban pencemaran = Beban pencemaran total dissolve solid = Beban pencemaran biological oxygen demand = Beban pencemaran chemical oxygen demand = Beban pencemaran posphat = Beban pencemaran nitrat = Beban pencemaran total suspended solid = Beban pencemaran arsen = Beban pencemaran kadmium = Beban pencemaran besi = Beban pencemaran seng = Beban pencemaran timbal = Beban pencemaran mangan = Beban Pencemaran fluor

137 Gambar 52 Sub model dinamik beban pencemaran Waduk Cirata 109

138 Sub Model Kualitas Air Waduk Sub model kualitas air Waduk Cirata terdiri atas beberapa sub-sub model kualitas air waduk, yaitu: TDS, TSS, As, Cd, Pb, F, BOD, COD, PO, NO 3, Fe, Zn, dan Mn (Gambar 53). Ketiga belas sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub model kemudian diintegrasikan menjadi satu model kualitas air Waduk Cirata. 3 4 d( TDS) dt = + C1( t)...(16) TDS = + t= n t= 2002 C1 ( t) dt...(17) Dalam model dinamik sederhana persamaan 17 ditulis menjadi : KA TDS = (KA TDS*fk1)...(18) Keterangan: KA TDS = Kualitas air TDS Untuk parameter yang lain analog dengan persamaan tersebut.

139 Gambar 53 Sub model kualitas air Waduk Cirata 111

140 Analisis Kecenderungan Sistem Analisis kecenderungan sistem ditunjukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan melalui simulasi model. Perilaku simulasi ditetapkan selama 40 tahun, yaitu dimulai tahun 2005 sampai dengan Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah-peubah model yang akan disimulasikan adalah jumlah limbah KJA tunggal, limbah KJA ganda, limbah tinja penduduk, limbah padat penduduk RTP, limbah industri, limbah ternak, limbah pupuk, limbah padat penduduk total, dan limbah tinja penduduk total Jumlah Penduduk (jiwa) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 54 Kecenderungan populasi penduduk total (jiwa). Gambar 54 memperlihatkan hasil simulasi model menunjukkan bahwa jumlah penduduk total di sekitar perairan dan yang berada di atas perairan Waduk Cirata terus meningkat dari jiwa pada awal simulasi dan menjadi jiwa pada akhir tahun simulasi. Pola peningkatan jumlah penduduk diikuti pula oleh jumlah limbah padat yang dihasilkan. Gambar 55 memperlihatkan pada awal simulasi jumlah limbah padat penduduk total pada awal simulasi 219,08 ton/tahun meningkat menjadi 290,07 ton/tahun. Jumlah limbah KJA tunggal pada awal simulasi ,64 ton meningkat menjadi ,75 ton pada akhir simulasi. Jumlah limbah KJA ganda pada awal simulasi ,55 ton meningkat menjadi ,66 ton. Jumlah limbah tinja penduduk RTP pada awal simulasi 6.647,15 ton meningkat menjadi ,50 ton. Jumlah

141 113 limbah padat penduduk RTP meningkat dari 9.58 ton menjadi 30,44 ton. Jumlah limbah ternak meningkat dari ,13 ton menjadi ,92 ton. Jumlah limbah industri meningkat dari ,60 ton menjadi ,80 ton. Peningkatan jumlah penduduk pada awal sampai akhir simulasi merupakan faktor pengungkit utama bagi pertambahan limbah limbah lainnya Limbah (ton) Jan Jan Jan Jan Jan Jan Tahun Gambar 55 Kecenderungan jumlah masing masing sumber pencemar yang masuk ke Waduk Cirata Keterangan: 1 Jumlah limbah KJA eksisting (J_LimbahKJAM_Ex); 2 Jumlah limbah KJA N eksisting (J_limbahKJA_MN_Ex); 3 Jumlah limbah tinja RTP eksisting (J_Ltinja_RTP_Ex); 4 Jumlah limbah padat RTP eksisting (J_L_padat_RTP_Ex); 5 Beban limbah industri eksisting (BL_In_Ex); 6 Total limbah ternak masyarakat sekitar eksisting (TLTernak_MskS_Ex); 7 Beban limbah padat masyarakat sekitar eksisting (BL_pdtMskS_Ex).

142 Uji Validitas Secara garis besar uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima dan dibenarkan secara akademik atau tidak. Dalam penelitian ini dilakukan dua pengujian validitas yaitu uji validitas struktur dan validitas kinerja Uji Validitas Struktur Uji validitas struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata (Muhammadi 2001). Secara empirik pertambahan total sumber pencemar dipengaruhi oleh sumber pencemar dari: limbah KJA tunggal, limbah KJA ganda, limbah tinja penduduk, limbah padat penduduk RTP, limbah industri, limbah ternak, limbah pupuk, limbah padat penduduk total, dan limbah tinja penduduk total. Peningkatan jumlah sumber pencemar akan meningkatkan beban pencemaran dan menurunkan daya dukung Waduk Cirata. Hasil simulasi terhadap sub model sumber pencemar pada Gambar 49 memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah penduduk diikuti oleh peningkatan total beban sumber pencemar secara eksponensial (Tabel 21). Penelitian ini memperkuat simpulan Mustafa et al. (2008) dan Dahuri (2003) bahwa faktor sumber pencemar perairan adalah limbah domestik (perkotaan) (domestic urban wastes), limbah cair perkotaan (urban stormwater), limbah cair pemukiman (sewage), pertambangan, limbah industri (industrial wastes), limbah pertanian (agriculture wastes), limbah perikanan budidaya dan air limbah pelayaran (shipping waste water). Tabel 21 Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar Time J_LimbahKJAM_Ex J_limbahKJA_MN_Ex J_LTinja_RTP_Ex J_L_padat_RTP_Ex BL_In_Ex TLTernak_MskS_EX BL_pdt_MskS_Ex 01 Jan Jan Jan Jan Jan , , , , , , , , , , , , , , ,81 9,58 12,07 15,21 19,17 24, , , , , , , , , , ,85 219,08 241,09 261,39 278,02 288,54

143 Validitas Kinerja (output model) Validitas kinerja model merupakan pengujian sejauh mana kinerja model yang dibangun (output model) sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta atau diterima secara akademik. Validitas ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan data hasil keluaran model yang dibangun dengan data empirik. Beberapa jenis teknik uji statistik yang dapat digunakan dalam pengujian validitas kinerja model antara lain adalah absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) dengan batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5-10%. Selain itu juga digunakan uji Durbin Watson (DW) dan Kalman filter (KF). Dalam penelitian ini pengujian validitas kinerja terhadap model yang dibangun menggunakan uji Kalman Filter dengan tingkat fitting (kecocokan) yang dapat diterima 47,5-52,5% (Barlas 1996, dalam Kholil 2005). Pengujian validitas kinerja ini dilakukan terhadap sub model sumber pencemar yaitu jumlah penduduk total dan jumlah penduduk RTP yang merupakan faktor pengungkit terhadap pertambahan (leverage factor) terhadap pertambahan total limbah. Setelah melalui berbagai penyempurnaan baik secara struktur maupun fungsional maka hasil simulasi terhadap ketiga sub model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan data empirik (aktual). Validasi kinerja terhadap sub model sumber pencemar untuk variabel jumlah penduduk dengan menggunakan rumus AME, AVE, KF dan DW diperoleh nilai masing-masing 0,0174 (1,74%), 0,0202 (2,02%), 0,49(49%), dan 0,93 dengan demikian nilai nilai AME dan AVE tersebut berada pada batas (5-10%) dan 47,5-52,5% untuk KF serta DW<2 menunjukkan pola fluktuasi kurang tajam. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel jumlah penduduk ditunjukkan pada Gambar 56. Hasil pengujian validasi kinerja pada sub model sumber pencemar untuk variabel jumlah RTP dengan menggunakan rumus AME, AVE, KF dan DW diperoleh nilai masing-masing 0, (0,0618%), 0, (0,0826%), 0,50 (50%), dan 0,301, dengan demikian nilai-nilai AME dan AVE tersebut berada pada batas (5-10%) dan 47,5-52,5% untuk KF serta DW< 2 menunjukkan pola

144 116 fluktuasi kurang tajam. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total sumber pencemar ditunjukkan pada Gambar 57. Gambar 56 Perbandingan perkembangan jumlah penduduk (jiwa) hasil simulasi dengan data empirik. Gambar 57 Grafik perbandingan jumlah RTP hasil simulasi dan aktual.

145 Verifikasi Model 1. Verifikasi Sub Model Total Sumber Pencemar Verifikasi model dilakukan untuk mengetahui prilaku sistem model sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk melakukan langkah langkah strategis berkaitan dengan pengelolaan Waduk Cirata. Meningkatnya jumlah penduduk berdasarkan hasil simulasi (Gambar 58) diikuti oleh peningkatan limbah KJA tunggal, limbah KJA ganda, limbah tinja penduduk, limbah padat penduduk RTP, limbah industri, limbah ternak, limbah pupuk, limbah padat penduduk total, dan limbah tinja penduduk total (Gambar 58). Dalam periode 40 tahun mendatang ( ) bila tidak ada intervensi kebijakan, misalnya dengan pembatasan pertambahan penduduk, maka hasil simulasi menunjukkan akan terjadi pertumbuhan yang pesat selama periode tersebut. Apabila tidak ada upaya penurunan jumlah penduduk, maka pertambahan penduduk yang terus meningkat akan menyebabkan kondisi overshoot yang merugikan bagi kehidupan manusia. Peningkatan jumlah penduduk akhirnya menemui masalah dalam penanganan limbah, hal ini memberikan petunjuk bahwa permasalahan limbah memiliki bentuk struktur Archetype Tragedy of the Commons. Hal ini berarti ada banyak pelaku yang berlomba tapi akhirnya menemui masalah. Fraksi pertumbuhan jumlah penduduk (Fr_ jml_pddk_tot) secara nasional selama ini adalah 1,5%. Penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk dari 1,5% menjadi 1,3% meskipun memberikan pengaruh penurunan yang nyata terhadap level (stock) dan laju (rate), namun tidak mengubah perilaku pola pertumbuhan penduduk (Gambar 60). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk ternyata dapat menurunkan jumlah penduduk dari jiwa menjadi jiwa pada tahun 2045.

146 Penduduk (jiwa) J_Pddk_Tot EX J_Pddk_Tot_OP 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 58 Pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan perbedaan fraksi penduduk. Jumlah limbah padat yang meningkat diduga diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang pesat ( ). Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah padat penduduk total meningkat dari 219,08 ton menjadi 288,54 ton pada tahun 2045 (Gambar 59). Peningkatan jumlah limbah padat akan mengakibatkan percepatan pendangkalan dan peningkatan limbah organik baik di DAS Citarum maupun di perairan Waduk Cirata Sampah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 59 Pertumbuhan jumlah sampah. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di DAS Citarum, maka meningkat pula jumlah penduduk yang tinggal di sekitar waduk. Jumlah

147 119 penduduk total di sekitar waduk meningkat dari jiwa menjadi jiwa pada akhir simulasi. Peningkatan jumlah penduduk di sekitar waduk diikuti pula dengan meningkatnya jumlah limbah feses di Waduk Cirata. Menurut Sasimartoyo (2001) rata-rata massa limbah feses manusia per hari gram ( ton/thn) yang terdiri dari tinja 86 gram dan urine gram. Karakteristik limbah manusia terdiri atas tinja, urine, bahan organik, nitrogen, phosporic acid, dan potasium. Hasil simulasi menunjukkan jumlah limbah feses penduduk total meningkat dari ,72 ton menjadi ,61 ton pada tahun 2045 (Gambar 60). Peningkatan limbah feses yang pesat ini akan mengakibatkan berkembangnya penyakit. Hasil wawancara dengan masyarakat yang tinggal di Waduk Cirata 99% menggunakan air waduk untuk kebutuhan MCK. Sebagian besar masyarakat terkena penyakit penyakit kulit. Hasil wawancara menyebutkan bahwa 99% masyarakat di Waduk Cirata membuang limbah fesesnya ke Waduk Cirata. Kondisi ini sangat memperburuk sanitasi lingkungan, oleh sebab itu dibutuhkan peran dan perhatian dari semua pihak Limbah Feses (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 60 Pertumbuhan jumlah limbah feses penduduk total. Peningkatan jumlah penduduk telah mendorong meningkatnya jumlah RTP di Waduk Cirata. Jumlah RTP meningkat dari jiwa menjadi jiwa pada akhir simulasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah KJA, jumlah ikan tebar, jumlah pakan dan jumlah limbah. Menurut hasil observasi diperoleh bahwa

148 120 dalam 1 RTP memiliki 8 petak KJA, 1 petak KJA berisi 1400 kg ikan, pakan yang diberikan menghasilkan FCR 1,7 setiap 4 bulan, dan jumlah limbah pakan yang terbuang ke perairan (sisa pakan yang tidak termakan, feces ikan) 30% dari pakan. Data-data ini dijadikan dasar dalam analisis simulasi model limbah KJA Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 61 Pertumbuhan jumlah limbah KJA tunggal. Hasil simulasi KJA tunggal periode menunjukkan jumlah pakan meningkat dari ,60 ton menjadi ,06 ton sehingga jumlah limbah KJA meningkat dari ,64 ton menjadi ,95 ton (Gambar 63). Jumlah limbah N meningkat dari 1.627,98 ton menjadi 3.233,94 ton, dan jumlah limbah P meningkat dari 1.472,1 ton menjadi 2.924,3 ton (Gambar 62) Limbah (ton) JLN JLP Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 62 Perbandingan jumlah limbah N dan P KJA tunggal.

149 121 Hasil simulasi KJA ganda periode menunjukkan bahwa jumlah pakan meningkat dari ,76 ton menjadi ,49 ton, dan jumlah limbah KJA meningkat dari ,55 ton menjadi ,90 ton (Gambar 63) Limbah (ton) J_limbahKJA_MN_Ex J_LimbahKJAM_Ex Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 63 Perbandingan jumlah limbah KJA ganda (Mas Nila-MN) dan KJA tunggal (Mas- M). Dengan meningkatnya jumlah penduduk RTP maka mengakibatkan meningkatnya luas KJA dan berdampak pada berkurangnya luas lahan bebas usaha. Peningkatan luasan KJA diduga dapat berdampak pada fungsi utama waduk sebagai PLTA menjadi tidak normal, antara lain daya tampung air di waduk berkurang akibat sedimentasi dari limbah padat KJA, menurunnya kualitas air waduk seperti ph turun dapat merusak turbin lebih cepat akibat korosi. Selanjutnya penurunan kualitas air waduk dapat merusak ekosistem perairan tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa luas hamparan KJA meningkat dari 156,41 ha menjadi 310,70 ha sehingga mengakibatkan berkurangnya hamparan lahan bebas usaha dari 4.052,59 ha menjadi 3.898,30 ha (Gambar 64).

150 Luas (ha) Luas_KJA L_Lindung LL_wisata LLBebas Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 64 Perkembangan luas KJA dan lahan bebas usaha. Dengan meningkatnya penduduk RTP maka meningkat pula limbah tinja dan limbah dari penduduk RTP. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah tinja RTP meningkat dari 6.647,15 ton menjadi ,81 ton dan limbah padat RTP meningkat dari 9,58 ton menjadi 24,15 ton pada akhir simulasi tahun 2045 (Gambar 65 dan Gambar 66). Hal ini diduga dapat meningkatkan limbah organik ke perairan waduk Cirata. Peningkatan limbah organik diduga dapat meningkatkan pertumbuhan fitoplankton sehingga di perairan Waduk Cirata sering terjadi eutrofikasi. Selanjutnya eutrofikasi menyebabkan penetrasi sinar matahari ke dalam perairan terganggu, dan pada malam hari mengakibatkan penurunan kandungan oksigen di perairan secara drastis. Fenomena ini dapat mengganggu ekosistem perairan.

151 Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 65 Perkembangan limbah tinja RTP. 25 Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 66 Perkembangan limbah padat RTP. Dari sektor industri, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya jumlah industri dan berdampak pada meningkatnya limbah industri. Hasil simulasi menunjukkan bahwa limbah industri meningkat dari ,60 ton menjadi ,49 ton pada akhir simulasi tahun 2045 (Gambar 67). Pada kondisi ini maka perlu diadakan intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan Waduk Cirata melalui: penegakan regulasi, koordinasi daerah, memperkuat hubungan antar stakeholder, kompromi tingkat kebutuhan, dan pembangunan organisasi berbasis masyarakat.

152 Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 67 Perkembangan limbah industri. Dari sektor peternakan, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya jumlah peternakan dan berdampak pada meningkatnya limbah ternak. Hasil simulasi menunjukkan bahwa limbah ternak meningkat dari ,13 ton menjadi ,85 ton pada akhir simulasi tahun 2045 (Gambar 68). Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Gambar 68 Perkembangan limbah ternak. Tahun Pada kondisi ini maka perlu diadakan intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan Waduk Cirata melalui: penegakan regulasi, koordinasi daerah, memperkuat hubungan antar stakeholder, kompromi tingkat kebutuhan, dan pembangunan organisasi berbasis masyarakat. Limbah ternak merupakan akumulasi dari limbah ternak ayam (Ay), Itik (It), Domba (Do), dan Sapi (Sa) disekitar waduk yang secara teoritis hanya 20% total limbah yang memasuki badan sungai. Menurut Soeminto (1987) dalam Setiawan

153 125 (2007), kotoran dari seekor sapi ternak dewasa terdiri atas 23,59 kg/hari kotoran padat dan 9,07 kg/hari kotoran cair (Gambar 69) Jan Jan Jan Jan Jan Jan 2055 Gambar 69 Perkembangan limbah ternak ayam, itik, domba, dan sapi. Dari sektor pertanian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya luas pertanian dan berdampak pada meningkatnya limbah pertanian, dalam hal ini limbah pupuk N dan P. Hasil simulasi menunjukkan bahwa limbah pupuk meningkat dari ,07 ton menjadi ,34 ton pada akhir simulasi tahun 2045 (Gambar 70). Pada kondisi ini maka perlu diadakan intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan Waduk Cirata melalui: penegakan regulasi, koordinasi daerah, memperkuat hubungan antar stakeholder, kompromi tingkat kebutuhan, dan pembangunan organisasi berbasis masyarakat.

154 Limbah (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 70 Perkembangan limbah pupuk pertanian limbah pupuk pertanian merupakan akumulasi dari limbah pupuk N dan P. Gambar 71 Perkembangan limbah pupuk N dan P. Total luas pemukiman di DAS Citarum meningkat dari 1945,60 ha menjadi ha pada tahun Luas pertanian meningkat dari 2.918,40 ha menjadi 4.520,55 ha pada akhir simulasi (Gambar 72). Peningkatan luas pemukiman dan luas pertanian diikuti oleh laju konversi lahan hutan, dimana luas pada awal simulasi ha berkurang dari ha menjadi 0 ha pada tahun 2019 (Gambar 72). Ada selisih antara total luas pemukiman dan pertanian dengan luas hutan akhir simulasi, pada kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk telah menggunakan lahan di luar DAS untuk pemukiman dan pertanian atau sebagian

155 127 telah menempati Waduk Cirata sebagai tempat pemukiman sekaligus menjadi nelayan atau pembudidaya KJA. Kondisi ini semakin memperburuk kualitas air Waduk Cirata karena meningkatnya limbah KJA, dan limbah feses manusia. Dalam pemanfaatan Waduk Cirata serta pemanfaatan lahan untuk pemukiman dan pertanian akhirnya menemui masalah limbah dan menipisnya keterbatasan ketersediaan lahan, hal ini memberikan petunjuk bahwa pemanfaatan lahan memiliki bentuk struktur Archetype Limit to Success dan Tragedy of the Commons (Kim & Anderson 1998) Luas (ha) LPmVsIn LP LHutan Jan Jan Jan Jan Jan2045 Tahun Gambar 72 Perkembangan luas pemukiman, luas pertanian, dan luas hutan di DAS Cirata. 2. Verifikasi Model Beban Pencemar Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran TDS. Hasil simulasi periode menunjukkan beban pencemaran TDS meningkat dari ,86 ton menjadi ,13 ton. Nilai beban pencemaran TDS pada periode masih di bawah nilai kapasitas asimilasi TDS yaitu ,92 ton (Gambar 73).

156 128 Gambar 73 Nilai kapasitas asimilasi TDS dan perkembangan beban pencemaran TDS. Gambar 74 Nilai kapasitas asimilasi TSS dan perkembangan beban pencemaran TSS. Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran TSS. Hasil simulasi periode menunjukkan beban pencemaran TSS meningkat dari ,04 ton menjadi ,12 ton. Nilai beban pencemaran TSS pada periode berada di atas nilai kapasitas asimilasi TSS yaitu 10,362 ton (Gambar 74). Oleh sebab itu,

157 129 dibutuhkan penanganan terhadap sumber pencemar TSS melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan. Banyaknya oksigen terlarut yang diperlukan bakteri untuk mengoksidasikan bahan organik disebut sebagai konsumsi oksigen biologis (KOB) atau biological oksigen demand yang biasa disingkat BOD. Beban pencemaran BOD di perairan sangat dipengaruhi oleh sumber pencemar yang masuk ke badan air. Hasil simulasi periode menunjukkan beban pencemaran BOD meningkat dari ,08 ton menjadi ,45 ton. Nilai ini masih di atas nilai kapasitas asimilasi BOD yaitu 5.810,29 ton, artinya air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk dan mengakibatkan penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya sehingga dibutuhkan penananganan terhadap sumber pencemar BOD melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan (Gambar 75). Gambar 75 Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban pencemaran BOD. Kebutuhan oksigen kimia atau chemical oxygen demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO 2 dan H 2 O (Effendi 2003). Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya

158 130 beban pencemaran COD. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran COD meningkat dari 5,08 ton menjadi 2.901,09 ton. Beban pencemaran COD pada periode meningkat dari ,92 ton menjadi ,84 ton, nilai ini berada di atas nilai kapasitas asimilasi COD yaitu ton. Artinya pada periode Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk ke Waduk. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata (Gambar 76). Gambar 76 Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban pencemaran COD. Di perairan, nitrogen berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrat ( NO 3 ) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Effendi 2003). Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran NO 3. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran meningkat dari 6.632,20 ton menjadi ,87 ton. Nilai beban pencemaran pada periode berada di atas nilai kapasitas asimilasi yaitu 2.904,47 ton. Artinya pada periode ini air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata (Gambar 77).

159 131 Gambar 77 Nilai kapasitas asimilasi dan Perkembangan beban pencemaran NO 3 Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfat merupakan fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh tumbuhan (Dugan 1972, dalam Effendi 2003). Pada kerak bumi keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor banyak digunakan sebagai pupuk, sabun atau detergen, bahan industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan makanan, katalis dan sebagainya. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulur ledakan pertumbuhan alga di perairan (algae bloom). Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran PO 3 PO Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran meningkat dari 2,780,93 ton menjadi 5,530,43 ton. Nilai beban pencemaran 3 PO pada periode ini berada di atas nilai kapasitas asimilasi PO yaitu 64,29 ton. Artinya pada periode air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata (Gambar 78). 4

160 132 3 Gambar 78 Nilai kapasitas asimilasi PO4 dan perkembangan beban pencemaran PO 4 3. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran F meningkat dari 1.147,82 ton menjadi 1.871,21 ton. Nilai beban pencemaran F pada periode ini berada di atas nilai kapasitas asimilasi F yaitu 108,70 ton. Artinya pada periode air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata (Gambar 79). Gambar 79 Nilai kapasitas asimilasi F dan perkembangan beban pencemaran F. Beban pencemaran As di perairan sangat dipengaruhi oleh sumber pencemar. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran As meningkat dari 2.479,32 ton menjadi 3.479,14 ton. Nilai beban pencemaran As pada periode

161 berada di atas nilai kapasitas asimilasi As yaitu 18,49 ton. Artinya pada periode perairan Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah organik yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di Waduk Cirata (Gambar 80). Gambar 80 Nilai kapasitas asimilasi As dan perkembangan beban pencemaran As. Gambar 81 memperlihatkan peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran Cd. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran Cd meningkat dari ,69 ton menjadi ,31 ton. Beban pencemaran Cd pada periode berada di atas nilai kapasitas asimilasi Cd yaitu 1,98 ton. Artinya pada periode air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya.

162 134 Gambar 81 Nilai kapasitas asimilasi Cd dan perkembangan beban pencemaran Cd. Keberadaan Fe pada kerak bumi menempati posisi keempat terbesar. Fe banyak digunakan dalam kegiatan pertambangan, industri kimia, bahan celupan, tekstil, penyulingan, minyak, dan sebagainya (Eckenfelder 1989 dalam Effendi 2003). Peningkatan total beban sumber pencemar ternyata diikuti oleh menurunnya beban pencemaran Fe. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran Fe menurun dari 3.428,33 ton menjadi 7.177,64 ton. Beban pencemaran Fe pada periode berada di atas nilai kapasitas asimilasi Fe yaitu 14,63 ton. Artinya pada periode air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di Waduk Cirata (Gambar 82). Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran Pb. Nilai beban pencemaran meningkat melebihi nilai kapasitas asimilasi pada periode 2005 sampai akhir simulasi yaitu dari 6.398,59 ton menjadi 8.898,13 ton, nilai ini berada diatas nilai kapasitas asimilasi Pb yaitu 5,82 ton. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di Waduk Cirata (Gambar 83).

163 135 Gambar 82 Nilai kapasitas asimilasi Fe dan perkembangan beban pencemaran Fe. Gambar 83 Nilai kapasitas asimilasi Pb dan perkembangan beban pencemaran Pb Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran Mangan (Mn) meningkat dari 2.049,29 ton menjadi 4.048,92 ton. Nilai ini berada di atas nilai kapasitas asimilasi Mn yaitu 40,64 ton. Artinya pada periode perairan Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di Waduk Cirata (Gambar 84).

164 136 Gambar 84 Nilai kapasitas asimilasi Mn dan perkembangan beban pencemaran Mn. Zn termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam. Kadar Zn pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Moore 1991 dalam Effendi 2003). Zn digunakan dalam industri besi baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas. Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi meningkatnya beban pencemaran Zn. Hasil simulasi menunjukkan beban pencemaran Zn meningkat dari 463,48 ton menjadi 963,38 ton. Beban pencemaran Zn pada periode berada di atas nilai nilai kapasitas asimilasi Zn yaitu 42,86 ton. Artinya pada periode ini air Waduk Cirata tidak mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem Waduk Cirata (Gambar 85). Beban pencemaran yang terus meningkat mengakibatkan daya dukung Waduk Cirata semakin menurun. Daya dukung Waduk dapat dijelaskan berdasarkan nilai kapasitas asimilasi, apabila berada di bawah nilai kapasitas asimilasi berarti perairan Waduk masih memenuhi daya dukung, demikian sebaliknya. Nilai beban pencemaran yang berada di bawah nilai kapasitas asimilasi berarti bahwa dalam rentang waktu tertentu air Waduk Cirata masih mampu mengasimilasi pencemaran limbah yang masuk tanpa terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya.

165 137 Gambar 85 Nilai kapasitas asimilasi Zn dan perkembangan beban pencemaran Zn. Hal ini disebabkan oleh air memiliki kemampuan self purification atau kemampuan pulih alamiahnya. Beban limbah yang masuk perairan hendaknya tidak melebihi daya asimilasi ekosistem sehingga kemampuan pulih alaminya (self purification) dapat berlangsung secara optimal (Dahuri 2003). Konsentrasi polutan yang masuk ke perairan mengalami tiga macam fenomena, yaitu pengenceran (dilution), penyebaran (dispertion), dan reaksi penguraian (decay or reaction). Oleh sebab itu, dibutuhkan segera penanganan terhadap sumber pencemar melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan. Akumulasi dari masing masing beban pencemaran mengakibatkan total beban pencemaran pada periode terus meningkat dari ,06 ton menjadi ,85 ton. Peningkatan total beban pencemaran ini akan meningkatkan konsentrasi kualitas air Waduk Cirata dan menurunkan daya dukung lingkungan sehingga akan melebihi stándar baku mutu air. Daya dukung lingkungan turun dari 0,75 (75%) mencapai 0,1 (10%), hal ini berarti daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata semakin hari semakin menurun. Berdasarkan hasil simulasi ini menunjukkan bahwa dibutuhkan penanganan terhadap sumber pencemar melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan. Gambar 86 memperlihatkan perkembangan total beban pencemaran perairan dan daya dukung lingkungan.

166 138 Beban Pencemaran (ton) ,6 0,5 0,4 0,3 0,2 Daya Dukung Lingkungan (%) Tot_BP DDL2 01 Jan Jan Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 86 Perkembangan total beban pencemaran perairan dan daya dukung lingkungan. 3. Verifikasi Model Kualitas Air Waduk Cirata Peningkatan total beban pencemaran akan mempengaruhi meningkatnya konsentrasi TDS di waduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata rata konsentrasi TDS pada periode meningkat dari 314,44 mg/l menjadi 489,59 mg/l nilai ini masih di bawah nilai baku mutu TDS yaitu 1000 mg/l (Gambar 87) Limbah (ton) BPTDS KAs_TDS 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 87 Nilai baku mutu TDS dan perkembangan konsentrasi TDS Konsentrasi COD di Waduk Cirata dipengaruhi oleh beban pencemaran di inlet sungai. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi COD pada

167 139 periode meningkat dari 286,70 mg/l menjadi 575,87 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu COD yaitu 10 mg/l (Gambar 88). Gambar 88 Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD Beban pencemaran yang terus meningkat akan mempengaruhi konsentrasi BOD di Waduk Cirata. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi BOD pada periode meningkat dari 103,54 mg/l menjadi 201,99 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu BOD yaitu 2 mg/l (Gambar 89). Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi NO 3 pada periode meningkat dari 22,67 mg/l menjadi 47,32 mg/l, nilai ini masih di bawah nilai baku mutu NO 3 yaitu 10 mg/l (Gambar 90). Seiring dengan peningkatan total beban pencemaran maka akan meningkat pula konsentrasi PO di Waduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata rata 3 4 konsentrasi PO pada periode meningkat dari 0,37 mg/l menjadi ,92 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu PO yaitu 0,20 mg/l (Gambar 91). 4

168 140 Gambar 89 Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD Konsentrasi (mg/l) KANO3 BM_NO Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 90 Nilai baku mutu NO 3 dan Perkembangan konsentrasi NO 3 0,8 Konsentrasi (mg/l) 0,6 0,4 0,2 0,0 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun KAPO4 BM_PO4 Gambar 91 Nilai baku mutu PO4 dan perkembangan konsentrasi PO 4

169 141 Meningkatnya konsentrasi Fe di Waduk Cirata disebabkan oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Fe pada periode meningkat dari 29,72 mg/l menjadi 59,72 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu Fe yaitu 0,30 mg/l (Gambar 92). Gambar 92 Nilai baku mutu Fe dan perkembangan konsentrasi Fe Nilai konsentrasi TSS terus meningkat melebihi nilai baku mutu pada periode 2005 sampai akhir simulasi yaitu dari 493,32 mg/l menjadi 989,88 mg/l, kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata. Oleh sebab itu dibutuhkan penananganan terhadap sumber pencemar TSS melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan (Gambar 93). 800 Konsentrasi (mg/l) KATSS BM_TSS 0 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 93 Nilai baku mutu TSS dan perkembangan konsentrasi TSS

170 142 Simulasi pada periode menunjukkan bahwa total beban pencemaran akan mempengaruhi konsentrasi F di Waduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata rata konsentrasi F pada periode meningkat dari 4,31 mg/l menjadi 9,31 mg/l, nilai ini masih di bawah nilai baku mutu F yaitu 0,5 mg/l (Gambar 94). Konsentrasi (mg/l) Jan Jan Jan 2045 Tahun KAF BM_F Gambar 94 Nilai baku mutu F dan perkembangan konsentrasi F Konsentrasi Zn di Waduk Cirata sangat dipengaruhi oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata rata konsentrasi Zn pada periode meningkat dari 1,64 mg/l menjadi 3,39 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu Zn yaitu 0,05 mg/l. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata (Gambar 95). Gambar 95 Nilai baku mutu Zn dan perkembangan konsentrasi Zn.

171 143 Gambar 96 memperlihatkan bahwa meningkatnya konsentrasi As di Waduk dipengaruhi oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi As pada periode terus meningkat dari 64,45 mg/l menjadi 89,45 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu As yaitu 0,05 mg/l. Gambar 96 Nilai baku mutu As dan perkembangan konsentrasi As Gambar 97 memperlihatkan bahwa meningkatnya konsentrasi Cd di Waduk dipengaruhi oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Cd pada periode terus meningkat dari 100,51 mg/l menjadi 139,51 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu Cd yaitu 0,01 mg/l. Gambar 98 memperlihatkan bahwa meningkatnya konsentrasi Pb di waduk dipengaruhi oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Pb pada periode terus meningkat dari 33,27 mg/l menjadi 46,27 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu Pb yaitu 0,03 mg/l.

172 144 Gambar 97 Nilai baku mutu Cd dan perkembangan konsentrasi Cd Gambar 98 Nilai baku mutu Pb dan perkembangan konsentrasi Pb Gambar 99 memperlihatkan bahwa meningkatnya konsentrasi Mn di Waduk dipengaruhi oleh peningkatan total beban pencemaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata rata konsentrasi Mn pada periode terus meningkat dari 4,52 mg/l menjadi 8,92 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu Mn yaitu 0,10 mg/l.

173 145 Gambar 99 Nilai baku mutu Mn dan perkembangan konsentrasi Mn Dari hasil simulasi Gambar 87 sampai dengan Gambar 99 di atas menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi kualitas air di Waduk Cirata terus meningkat pada periode sehingga cenderung nilai kualitas airnya berada di atas nilai baku mutu PP 82 Tahun Hal ini membuktikan bahwa kondisi sumber pencemar harus tetap dikontrol agar tidak mengganggu keseimbangan ekologi Waduk Cirata. Oleh sebab itu dibutuhkan penanganan terhadap sumber pencemar melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan. Seiring dengan pertambahan populasi penduduk, total beban sumber pencemar (limbah) dan total beban pencemaran maka daya dukung lingkungan terus menurun secara drastis (Gambar 100). Daya dukung lingkungan terus turun dari 0,75 (75%) menjadi 0,1 (10%).

174 146 Penduduk (jiwa) ,6 0,5 0,4 0,3 Daya Dukung Lingkungan J_Pddk_Tot EX DDL2 Tot_BP Tot_B_limbah_SelfpEx 0,2 01 Jan Jan Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 100 Hubungan populasi penduduk dengan daya dukung lingkungan Analisis Kebijakan 1. Skenario-Skenario Kebijakan Skenario yang dilakukan adalah skenario pesimis (PM), moderat (MDR), dan optimis (OP). Skenario optimis adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan industri dari 3,41% menjadi 2,0%, laju pertambahan RPH dari 3,41 % menjadi 2,0%, laju penggunaan pupuk pertanian dari 0,02 % menjadi 0,01% dan laju pertambahan penduduk dari 1,5% menjadi 1,3%. Skenario moderat adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan penduduk RTP sebesar 0,0234% menjadi 0,01%. Skenario pesimis adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan peternakan ayam dari 2,31% menjadi 1%, peternakan itik dari 1,67% menjadi 1%, peternakan domba dari 1,625 menjadi 1% dan peternakan sapi dari 2,06% menjadi 1% (Gambar 101). 2. Pengembangan Kebijakan Alternatif Analisis kebijakan adalah pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model yang merupakan tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut maka proses analisis akan lebih cepat, bersifat holistik, hemat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini akan diuraikan tentang bagaimana melakukan analisis kebijakan tersebut secara teknis

175 147 dan operasional dengan simulasi model (Muhammadi et al. 2001). Analisis kebijakan ini dilakukan dengan melakukan intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter. Intervensi struktural adalah intervensi dengan mengubah unsur, mengubah hubungan yang membentuk struktur model atau intervensi dengan menambahkan sub model penghubung ke dalam model awal. Fasilitas intervensi adalah dengan menggunakan fungsi-fungsi khusus seperti: IF, STEP, GRAPH, sinus, setengah sinus, trend, ramp, pulsa, random dan forecast. Penggunaan fasilitas ini sesuai dengan antisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata. Pertama-tama dilakukan skenario pesimis yaitu intervensi fungsional terhadap parameter laju limbah peternakan yaitu laju pertambahan limbah peternakan ayam dari 2,31% menjadi 1%, limbah peternakan itik dari 1,67% menjadi 1%, limbah peternakan domba dari 1,625 menjadi 1% dan limbah peternakan sapi dari 2,06% menjadi 1% (Gambar 101). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan fraksi pertumbuhan jumlah limbah peternakan dapat menurunkan jumlah limbah tinja ternak dari ,85 ton menjadi ,94 ton pada tahun 2045 (Gambar 102). Dalam skenario pesimis ini total beban limbah Existing turun dari ,39 ton menjadi ,72 ton (Gambar 103).

176 Limbah Ternak (ton) JLimbah Ay PM JLimbah_It_PM JLimbah_Do_PM JLimbah_sa_PM JLimbah_sa EX JLimbah_Do EX JLimbah_It EX JLimbah_Ay EX 3 01 Jan Jan 2045 Tahun Gambar 101 Penurunan jumlah limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi peternakan. Limbah Ternak (ton) Jan Jan Jan 2045 Tahun TLTernak_MskS_EX TLTernak_MskS_PM Gambar 102 Penurunan total limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi peternakan. Intervensi fungsional dilakukan dengan cara menurunkan jumlah limbah ternak ayam, itik, domba dan sapi menjadi 1%, hal ini memberikan petunjuk bahwa upaya pemecahan masalah melalui intervensi fungsional tersebut mengikuti bentuk struktur Archetype Shifting the Burden. Secara teknis penurunan

177 149 jumlah ternak ayam, itik, domba dan sapi sulit diterapkan karena menyangkut sumber pendapatan ekonomi penduduk. Teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah ternak misalnya kompos dan sumber energi biogas dengan pendekatan reduce, reuse, recycle, recovery dan participation (4R + P). Hal ini merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam hal penanganan limbah di wilayah DAS Citarum. Kedua, dilakukan skenario moderat yaitu intervensi fungsional terhadap laju pertambahan penduduk RTP sebesar 0,0234% menjadi 0,01%, (Gambar 104). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan fraksi pertumbuhan jumlah RTP dan jumlah KJA dapat menurunkan jumlah limbah KJA tunggal dari ,95 ton menjadi ,57 ton, dan menurunkan limbah KJA ganda dari ,90 ton menjadi ,62 pada tahun 2045 (Gambar 104). Dalam skenario moderat ini total beban limbah existing turun dari ,39 ton menjadi ,29 ton. Namun dalam skenario ini belum efektif untuk menurunkan total beban limbah (Gambar 105) Limbah (ton) J_LimbahKJAM_Ex J_LimbahKJAM_MDR 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 103 Penurunan jumlah limbah KJA tunggal berdasarkan intervensi fraksi KJA dan RTP.

178 Limbah (ton) J_LimbahKJAM_Ex J_limbahKJA_MN_Ex J_LimbahKJAM_MDR J_limbahKJA_MN_MDR 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 104 Penurunan jumlah limbah KJA ganda berdasarkan intervensi fraksi KJA dan RTP. Intervensi fungsional dilakukan dengan cara menurunkan jumlah RTP dan KJA sulit dilakukan karena diduga dapat berdampak buruk terhadap penghidupan atau ekonomi penduduk, hal ini memberikan petunjuk bahwa upaya pemecahan masalah melalui intervensi fungsional tersebut mengikuti bentuk struktur Archetype Shifting the Burden. Secara teknis penurunan jumlah KJA dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1% dari luas waduk (6200 ha) yaitu 62 ha. Begitu pula upaya menurunkan jumlah RTP di Waduk Cirata dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan keterampilan usaha baru dan pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru. Ketiga, dilakukan skenario optimis yaitu intervensi fungsional terhadap laju pertambahan limbah industri dari 3,41% menjadi 2,0%, laju pertambahan limbah RPH dari 3,41 % menjadi 2,0%, laju limbah dari penggunaan pupuk pertanian dari 0,02 % menjadi 0,01% dan laju pertambahan penduduk dari 1,5% menjadi 1,3% (Gambar 106). Dalam skenario optimis ini total beban limbah Existing turun dari ,39 ton menjadi ,61 ton. Skenario optimis ternyata lebih efektif dalam menurunkan total beban limbah dibanding skenario pesimis dan moderat (Gambar 107). Skenario optimis akan berhasil jika perhatian pemerintah lebih intensif dan kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi memelihara lingkungannya, untuk itu diperlukan dana yang memadai dan kontinyu untuk mendukung pelaksanaan skenario-skenario tersebut.

179 Limbah (ton) BL_In_Ex BL_In_OP Limbah (ton) JL_tinjaPddkTMskS_Ex JL_tinjaPddkTMskS_OP Jan 01 Jan 01 Jan Tahun 01 Jan Jan Jan 2045 Tahun Limbah (ton) TBLPupuk_Ex TBLPupuk_OP Limbah (ton) BL_pdt_MskS_Ex BL_pdt_MskS_OP Jan Jan Jan 2045 Tahun Jan Jan Jan 2045 Tahun Gambar 105 Penurunan limbah industri, limbah tinja, limbah padat dan limbah pupuk pada skenario optimis.

180 Limbah (ton) Tot_B_limbah_Self Tot_B_limbah_Selfp Tot_B_limbah_Selfp_ Tot_B_limbah_Selfp_ Jan 01 Jan 01 Jan 01 Jan 01 Jan Tahu Gambar 106 Perbandingan total beban limbah pada kondisi existing, skenario pesimis, moderat dan optimis. Selanjutnya hasil penelitian ini memperkuat simpulan Kholil (2005) bahwa upaya penurunan produksi limbah akan dapat berhasil secara efektif bila kebijakan yang ditempuh adalah dengan mengurangi pertumbuhan penduduk. Secara teknis penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya pembatasan migrasi, pembatasan usia nikah, dan sosialisasi program KB secara besar-besaran serta pengertian tentang keluarga kecil bahagia. Pertambahan penduduk merupakan faktor pengungkit (leverage factor), hal ini memperkuat simpulan Neto et al. (2006) bahwa pertambahan populasi penduduk dan perkembangan industri sejalan dengan meningkatnya pencemaran air dan degradasi lingkungan. Sedangkan pembatasan kaum imigran dari luar DAS Citarum yang masuk ke-8 kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat yakni dapat dilakukan melalui kebijakan pemda dengan pengembangan pusat-pusat bisnis, industri, pertanian, perkebunan dan

181 153 perumahan di wilayah penyangga kabupaten (hinterland) Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat, sehingga terjadi perpindahan mobilisasi penduduk dari Kabupaten Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat ke daerah hinterland tersebut. Secara teknis penurunan jumlah pemakaian pupuk pertanian sulit diterapkan karena menyangkut produktivitas panen dan sumber pendapatan ekonomi penduduk. Teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos sehingga beralih menggunakan pupuk kompos ketimbang pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan terras. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah seperti metode vegetasi, dan mekanik (Sitanala 2000). Hal ini tentu akan mengurangi pemakaian pupuk. Jika intervensi fungsional dilakukan dengan cara menurunkan jumlah RPH dan industri maka diduga dapat berdampak buruk terhadap penghidupan atau ekonomi masyarakat, hal ini memberikan petunjuk bahwa upaya pemecahan masalah melalui intervensi fungsional tersebut mengikuti bentuk struktur Archetype Shifting the Burden. Secara teknis penurunan pertambahan jumlah limbah RPH dan industri di DAS Citarum dan sekitar Waduk Cirata dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan industri pada wilayah sempadan sungai meter dan Waduk meter dari titik pasang tertinggi (Kepres No 32 Tahun 1990 pasal 16 18). Hal ini dimaksudkan agar limbah tidak langsung ke badan sungai atau badan air. Kebijakan lainnya adalah RPH dan industri wajib memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) sebelum di buang ke luar lingkungannya (badan perairan). Teknis kebijakan lain adalah pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT- RW dan pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992).

182 Analisis Kebijakan Alternatif Kebijakan alternatif dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat melalui beberapa cara, yaitu: a. Penduduk secara umum: Sosialisasi program KB (revitalisasi program KB nasional, angka kenaikan bisa ditekan menjadi 1,3% per tahun), serta penyuluhan kepada masyarakat tentang keluarga sederhana bahagia. Penduduk sekitar wilayah waduk: dibuat kebijakan untuk pembatasan penduduk di luar wilayah waduk yang akan melakukakan usaha perikanan budidaya KJA di perairan Waduk Cirata untuk penduduk yang berdomisili di wilayah waduk diberi porsi usaha yang lebih besar, selain diberi izin usaha juga diberikan modal usaha dalam bentuk pinjaman lunak atau bantuan benih ikan unggul. Penebaran ikan pemakan plankton (nilem, bandeng, mola, grasscarp) ke perairan waduk sebagai sumber penghasilan nelayan tangkap, manfaat lainnya adalah sebagai pengendali eutrofikasi karena memanfaatkan plankton sebagai pakannya. Penyuluhan tentang pentingnya pengelolaan waduk berkelanjutan dari hulu sampai hilir kepada penduduk yang berada di wilayah perairan waduk, misalnya bersama pemerintah melaksanakan penanaman pohon dari hulu sampai hilir dan mengurangi penebangan pohon di daerah hulu. b. Limbah sampah penduduk, tinja manusia, dan feses ternak: Pengolahan dengan pendekatan sumber. Pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end-pipe of solution) ke pendekatan sumber. Pengembangan program pengelolaan sampah/limbah dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P) yang meliputi, antara lain: waste to energy dan kompos. c. Limbah Budidaya KJA Jangka pendek: memberikan penyuluhan kepada petani pembudidaya ikan di KJA antara lain: pengurangan pemberian pakan ikan (tidak menggunakan sistem pompa) tetapi sesuai kebutuhan pakan ikan konsumsi misalnya 2-3% dari bobot ikan per hari; pengurangan padat tebar ikan, budidaya polikultur ikan mas dengan ikan plankton feeder.

183 155 Jangka menengah: Penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1% dari luas waduk (6200 ha) yaitu 62 ha dan zonasi untuk usaha KJA, upaya menurunkan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) di Waduk Cirata terutama untuk KJA yang ilegal/petak-petak yang belum mendapat ijin baru, atau dengan memberikan pelatihan dan keterampilan usaha baru pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru dan menggali teknologi baru untuk pemanfaatan limbah budidaya KJA, misalnya untuk bahan filler pupuk organik, dan sumber energy, tidak ada izin baru ataupun penambahan petakan KJA, pembenahan zonasi pemanfaatan perairan waduk sesuai dengan daya dukung perairan. Jangka panjang: Pengelolaan DAS Citarum sebagai satu kesatuan ekosistem, peningkatan kualitas pakan (misalnya penurunan kandungan P dalam pakan komersial) dan benih ikan (misalnya kualitas genetik: pertumbuhan ikan cepat), pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan kepada pengusaha pakan, petani ikan dan masyarakat sekitar wilayah waduk untuk lebih berperan serta dalam mengelola waduk. d. Limbah Pupuk Pertanian: Teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos sehingga petani beralih menggunakan pupuk kompos/organik daripada pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan dan sosialisai teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan teras. e. Penanganan RPH dan Industri: penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan Industri pada wilayah sempadan sungai meter dan Waduk meter dari titik pasang tertinggi (Keppres No 32 Tahun 1990 pasal 16 18), pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT-RW dan perlu pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan regulasi dengan sangsi yang berat bagi pengusaha yang akan membuka usaha tanpa membuat amdal dan ipal bagi RPH atau industri lainnya.

184 156

185 157 6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Secara umum keberhasilan pengelolaan Waduk Cirata Berkelanjutan akan sangat terkait dengan aspek institusi atau lembaga pengelolanya, kebijakan atau tata cara pengelolaannya, serta anggaran yang menunjang kelancaran pengelolaanya. Isu strategis pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat terutama harus diawali oleh adanya institusi yang bertanggung jawab melakukan pengelolaan. Kejelasan pihak pengelola ini akan menjadi pendorong disusunnya tata cara dan sumber pendanaan bagi keberhasilan pengelolaan waduk tersebut. Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual pengelolaan yang terdiri dari penentuan pengelola kawasan (manager) dan penyusunan sistem pengelolaannya (management) yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Model pengelolaan diawali dengan pembentukan lembaga pengelola (institutional arrangement) melalui partisipasi dari para pihak, baik pihak perusahaan, pihak masyarakat, maupun institusi pemerintah. Secara lebih rinci, beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata adalah: (1) belum disepakati bersama pihak yang bertanggung jawab secara khusus menangani pengelolaan waduk, (2) belum terjalinnya komunikasi dan kerjasama, serta peran yang optimal antar berbagai pihak (stakeholders) terkait secara partisipatif; (3) terbatasnya kebijakan terkait pengelolaan waduk; dan (4) belum jelasnya pengelolaan anggaran dan bagi hasil dari nilai ekonomi waduk yang dikelola. Pengelola secara kemitraan dan partisipatif dengan pembentukan sebuah badan pengelola secara khusus merupakan alternatif terbaik yang dimungkinkan. Institusi pemerintah terutama pihak Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat provinsi berperan sebagai pengarah dan pengawas terkait isu lingkungan dalam pengelolaan waduk tersebut. Selain itu, diperlukan kesepakatan antar tiga (3) pemerintah daerah yang secara administratif diliputi Waduk Cirata, yaitu Pemda Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta. Sementara pihak pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM yang diwakili PT. PLN dan PT. Indonesia Power sebagai pihak yang mengelola

186 158 manfaat waduk dari sisi energi juga harus dilibatkan dalam Badan Pengelola tersebut. Keberadaan badan pengelola ini juga harus didasari oleh partisipasi dan kesepakatan para pihak di luar institusi pemerintah. Pihak-pihak tersebut antara lain sektor swasta yang memanfaatkan nilai ekonomi dari waduk, seperti para pengusaha industri yang membuang limbahnya ke badan air yang mengalir ke waduk hingga para pengusaha jaring apung. Selain itu diperlukan partisipasi masyarakat secara umum serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkepentingan dengan keberadaan waduk. Pihak lain yang perlu dimintai partisipasinya adalah institusi akademis seperti Perguruan Tinggi yang bisa memberikan masukan dan saran tentang kondisi, potensi, dan ancaman yang bisa mendorong keberhasilan atau kegagalan pengelolaan waduk melalui kajian-kajian yang bersifat akademis dan independen (Gambar 107). Implikasi pendanaan dan pengelolaan pendapatan awalnya berasal dari penyertaan berbagai pihak, baik anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang terlibat, serta industri dan pihak swasta lainnya dengan memberikan dorongan melalui program CSR (Corporate Sosial Responsibility) atau sejenisnya. Dana CSR digunakan untuk membantu kemitraan yang ada dan pemberdayaan masyarakat terutama yang terlibat dan terkena dampak dari pengelolaan waduk. Sistem pengelolaan Waduk Cirata sendiri terbagi menjadi kebijakan status Waduk Cirata sebagai landasan terhadap kebijakan lain, yaitu kebijakan konservasi lingkungan DAS Citarum, kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial, dan kebijakan peningkatan nilai ekonomi (Gambar 107). Status waduk dibangun berdasarkan hasil analisis zonasi waduk, analisis kondisi pencemaran waduk, dan nilai ekonomi waduk. Hasil ini disintesiskan dengan hasil analisis dari preferensi pakar dan stakeholders untuk membangun sistem pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan. Kebijakan status Waduk Cirata dititikberatkan untuk memberikan landasan dalam menentukan kebijakan selanjutnya, yaitu kebijakan konservasi lingkungan DAS Citarum, peningkatan kesejahteraan sosial, dan peningkatan nilai ekonomi, serta kebijakan pengelolaan waduk secara keseluruhan. Seluruh kebijakan yang disusun mengacu pada Sistem Manajemen Lingkungan (SML) Waduk Cirata

187 159 yang telah ditentukan sebelumnya. Kebijakan konservasi disusun berdasarkan optimalisasi dari kepentingan lingkungan dan ekonomi di Waduk Cirata. Hal serupa juga berlaku dalam penyusunan kebijakan peningkatan nilai ekonomi waduk. Kebijakan ini didasari oleh pemanfaatan sumberdaya yang ada di Waduk Cirata untuk menunjang peningkatan ekonomi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial disusun berdasarkan optimalisasi pelestarian sistem sosial dan pemberdayaan masyarakat dengan kepentingan pemanfaatan sumber daya alam waduk guna kepentingan ekonomi.

188 160 dana pemberdayaan dana csr Industri terkait Lembaga Penelitian/ Perguruan Tinggi CSR LSM pendampingan Masyarakat Lokal masukan masukan & kesepakatan BPLHD musyawarah Pemda Prov. Jabar Pemda Kab. Bandung Pemda Kab. Cianjur masukan Institusi Teknis masukan Pemda Kab. Purwakarta penelitian & informasi bantuan pengeloaan Badan Pengelola Waduk Cirata Indonesian Power PLN Dep. ESDM Pemerintah Pusat Kebijakan Status Waduk Cirata Kebijakan Konservasi Lingkungan DAS Citarum Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi Ketetapan Status Rehabilitasi Kawasan Pemberdayaan Masyarakat Peningkatan Nilai Ekonomis KJA Zonasi Waduk Penegakan Hukum Konservasi SD Air Pengendalian Pencemaran Pengendalian Sedimentasi Sosialisasi, Edukasi & Pelibatan Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Limbah Pemanfaatan Pariwisata Pemanfaatan Ikan Pemakan Plankton umpan balik & informasi Pengelolaan Waduk Cirata, Jawa Barat evaluasi Gambar 107 Model konseptual pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan.

189 Kebijakan Status Waduk Cirata Kebijakan status merupakan landasan yang penting bagi penyusunan kebijakan lanjutan yang bersifat lebih operasional. Kebijakan ini perlu disusun untuk memperjelas landasan pengelolaan Waduk Cirata. Kebijakan ini secara normatif bisa ditempuh dengan kesepakatan para stakeholders kunci untuk menetapkan regulasi teknis sebagai landasan awal untuk melangkah pada tahap berikutnya. Stakeholders kunci tersebut terdiri dari para pihak yang bermitra melalui arahan pihak ketiga dari institusi pemerintah. Program yang bisa dilaksanakan dalam ruang lingkup kebijakan penetapan status waduk melalui: 1. Penyusunan sistem zonasi waduk; Zonasi waduk yang ada pada saat ini sudah tidak tepat lagi. Dalam implementasinya sudah tidak sesuai lagi sehingga diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 108,memperlihatkan hamparan luasan KJA berdasarkan overlay tahun 2008/2009, bertambah dibandingkan luasan tahun Menurut BPWC (2003), wilayah perairan Waduk Cirata mempunyai 6 zonasi yaitu mintakat bahaya, suaka,usaha, usaha terkendali, bebas dan bahaya. 2. Melakukan penegakan hukum berdasarkan sistem zonasi yang telah disusun. Dalam implementasinya, petani pembudidaya ikan sudah tidak mematuhi zonasi yang sudah ditetapkan tetapi tidak ada sangsi yang dijatuhkan kepada pelanggar zonasi.

190 162 Keterangan: KJA Tahun 2008/2009 (sumber: Google Earth 2010) Gambar 108 Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun 2008/2009 di Waduk Cirata 6.2 Kebijakan Konservasi DAS Citarum Sumberdaya air memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor dan antar generasi. Kebijakan konservasi DAS Citarum merupakan bagian dari upaya menyeluruh dalam melakukan rehabilitasi kawasan yang pada akhirnya bisa menjaga kondisi lingkungan Waduk Cirata. Program berkaitan dengan rehabilitasi kawasan adalah: 1. Melakukan upaya konservasi sumber daya air terpadu; Rehabilitasi kawasan untuk sumberdaya air waduk terkait dengan pengelolaan DAS terpadu payung hukumnya adalah UU no tentang Kehutanan dan UU no 7 tahun 2006 tentang sumberdaya air.

191 Melakukan pengendalian pencemaran; Melakukan pengendalian pencemaran diantaranya adalah dengan melaksanakan amdal dan ipal untuk industri sebelum membuang limbahnya ke perairan. 3. Melakukan pengendalian sedimentasi. Pengendalian sedimentasi di waduk, diantaranya dengan memperbaiki sistem pertanian di daerah hulu. Melakukan pengelolaan hutan yang sudah dituangkan dalam UU RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. 6.3 Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar waduk dari nilai ekonomi yang bisa digali dari pemanfaatan waduk. Program peningkatan kesejahteraan sosial ini meliputi: 1. Melakukan pemberdayaan masyarakat, melalui sosialisasi pentingnya pengelolaan waduk dan edukasi pemanfaatan nilai ekonomi waduk secara ramah lingkungan. 2. Melakukan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Waduk Cirata, baik dari mulai penyusunan regulasi hingga pemanfaatan nilai ekonominya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan stabilitas sosial masyarakat sekitar waduk. 6.4 Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi Kebijakan peningkatan nilai ekonomi terkait adanya potensi ekonomi dari pemanfaatan Waduk Cirata. Program terkait kebijakan peningkatan nilai ekonomi ini meliputi: 1. Peningkatan kegiatan PLTA 2. Melakukan pemanfaatan limbah yang terakumulasi di waduk menjadi bahan bernilai ekonomi, seperti pupuk pertanian dan bioenergi. 3. Melakukan pemanfaatan keindahan alam waduk menjadi tujuan wisata yang memiliki efek domino pada peningkatan kegiatan ekonomi penunjang pariwisata, seperti penyewaan perahu, penginapan, dan penjualan makanan, cindera mata, hasil bumi, serta berbagai hal yang menarik wisatawan.

192 Melakukan pemanfaatan ikan pemakan plankton sebagai komoditas ekonomi. 5. Membatasi kepemilikan karamba jaring apung dari penduduk luar wilayah Waduk Cirata 6.5 Verifikasi Model Kebijakan Hasil verifikasi melalui studi komparatif dan wawancara mendalam dengan stakeholders dan pakar, mengindikasikan suatu proses pemahaman mengenai pendekatan sistem dalam pengelolaan Waduk Cirata. Secara keseluruhan model pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan dapat merepresentasikan kondisi nyata terkait pengelolaan waduk tersebut saat ini. Kesetaraan yang dibangun antar stakeholders masih sulit untuk diwujudkan di lapangan sehingga peran masyarakat lokal sering terabaikan. Selain kesetaraan, masih terdapat konflik kepentingan dalam pemanfaatan Waduk Cirata oleh berbagai pihak terkait. Pemanfaatan Waduk Cirata secara ekstraktif oleh masyarakat diakibatkan desakan ekonomi yang perlu dicarikan solusinya. Pelaksanaan program pengelolaan seringkali tidak jelas dalam pembagian peran para stakeholders kuncinya. Jangka waktu pelaksanaan program pengelolaan harus ditentukan secara bertahap dan terukur. Model yang dibangun diharapkan bisa diimplementasikan pada pengelolaan Waduk Cirata saat ini dan masa yang akan datang. 6.6 Implikasi Kebijakan Berdasarkan verifikasi yang dilakukan, perlu disusun strategi untuk memperkuat sistem yang telah disusun guna meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan. Perlu dilakukan manajemen konsensus dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang terkait pengelolaan Waduk Cirata. Pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar perusahaan menjadi fokus utama dalam menjalankan kebijakan pengelolaan Waduk Cirata. Penyusunan tahapan program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.

193 165 Model konseptual kebijakan pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan dimulai dengan perlunya komunikasi dan kesepakatan antara para pihak terkait. Sebagai langkah awal, kerangka musyawarah harus dibangun dengan memperhatikan kriteria kesetaraan (equity). Hal ini akan menuju pada perwujudan Badan Pengelola Waduk Cirata yang melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan waduk yang diinginkan secara berkelanjutan. 6.7 Status Keberlanjutan Aspek Ekologi Penilaian aspek ekologi pada pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA merupakan penilaian terhadap atribut frekuensi kejadian up welling, tingkat kematian ikan, tingkat produksi ikan, tingkat pencemaran di DAS tingkat pencemaran di waduk dan daya dukung perairan. Hasil analisis data dengan program Rapfish disajikan pada Lampiran 3. Gambar 109 menunjukkan atribut aspek ekologi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu frekuensi kejadian up welling, tingkat kematian ikan, tingkat produksi ikan, tingkat pencemaran di DAS tingkat pencemaran di waduk dan daya dukung perairan, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 11.16%, 3.17%, 5.12%, 5.71%, 5.82%,dan 1.37%. Terjadinya frekuensi up welling ternyata merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 11,16% yang berarti atribut ini sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut, diduga akibat periswtiwa up welling mengakibatkan kerugian material yang besar. Sejak tahun 1991, 1993 dan 1997 jumlah ikan yang mati di Cirata berturut-turut 34,5 ton, 29,2 ton dan 209,3 ton. Dalam sehari, jumlah ikan yang mati pasca terjadinya up welling mencapai 60 ton, atau kalau dirupiahkan setara Rp 500 juta (Suyoso 2007). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh kematian masal ikan di Cirata dari tahun ke tahun kecenderungannya semakin meningkat. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan Cirata terus memburuk.

194 166 Menurut Kurnia (2006), up welling (pembalikan lapisan air) hanya terjadi pada waktu suhu permukaan air dan lapisan di dalamnya berbeda secara signifikan. Pada waktu suhu permukaan air turun, misalnya pada puncak musim hujan atau ketika suhu sangat dingin pada awal atau akhir musim kemarau, maka lapisan air dari dasar waduk naik dengan membawa NH 3, H 2 S dan CO 2. Gas dan zat beracun itu terakumulasi dari proses pembusukan anaerob di lapisan bawah, terutama akibat sisa pakan dan kotoran ikan. Fenomena tersebut biasanya terjadi puncak musim hujan, yaitu di sekitar Januari Februari atau pada akhir musim kemarau. Untuk mengurangi dampak up welling, diantaranya adalah dengan mengurangi padat tebar, memelihara ikan yang tahan terhadap kualitas air buruk (ikan catfish), penggunaan pakan ikan yang berkualitas. Pakan ramah lingkungan (telah berhasil diramu oleh ahli nutrisi Ikan di Universitas Ilmu dan Teknologi Kelautan Tokyo). Pakan ini dibuat dengan menambahkan asam sitrat atau amino acid-chelated (asam amino yang terikat dengan mineral seperti Zn, Mn dan Cu) sehingga jumlah unsur fosfor yang dilepas ke air menjadi menurun. Dengan menggunakan pakan ikan ini, jumlah unsur fosfor yang tertahan (terakumulasi) di dalam tubuh ikan meningkat sekitar 30% untuk pakan yang ditambahkan asam sitrat atau 16,5% untuk pakan yang disuplementasi dengan amino acid-chelated. Penggunaan pakan ini juga berhasil menurunkan tingkat ekskresi nitrogen oleh ikan meskipun tidak begitu tinggi. Khusus untuk masalah polusi amonia yang jauh lebih berbahaya daripada fosfat, baru-baru ini telah dikembangkan strain ikan nila ramah lingkungan melalui pendekatan genetik. Dengan demikian amonia yang dikeluarkan dari tubuh ikan menjadi menurun, yaitu sekitar 30-40% lebih rendah daripada ikan biasa.

195 167 Gambar 109 Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Aspek Ekonomi Penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut peningkatan PAD dari usaha KJA, peningkatan pendapatan masyarakat, kemudahan pasar, harga jual produk, biaya produksi budidaya, biaya investasi KJA. Gambar 110 menunjukkan atribut aspek ekonomi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu peningkatan PAD dari usaha KJA, peningkatan pendapatan masyarakat, kemudahan pasar, harga jual produk, biaya produksi budidaya, biaya investasi KJA, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 3.12%, 4.09%, 0.58%, 2.94%, 0.12%, dan 1.35%. Peningkatan pendapatan masyarakat merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.09 % yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Dari hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar wilayah waduk Cirata, sebagian besar mereka mencari nafkah sebagai petani, nelayan waduk, pembudidaya ikan, pedagang saprodi, pemilik warung disekitar waduk, pengusaha transportasi di waduk. Sebagian besar mencari nafkah sebagai pembudidaya ikan

196 168 baik di darat maupun di waduk. Masyarakat di wilayah waduk berharap keberadaan Waduk Cirata akan meningkatkan taraf hidup mereka dengan peningkatan pendapatan dari fungsi waduk seperti peningkatan hasil pertanian karena adanya irigasi yang lancar, peningkatan produksi ikan karena adanya lahan budidaya (perairan waduk), peluang pekerjaan baru lainnya seperti dari perdagangan saprodi pertanian dan budidaya ikan yang meningkat, rumah makan baik di pinggir maupun di tengah waduk, transportasi untuk mengangkut pakan dan ikan di darat aupun di perairan waduk. Gambar 110 Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Aspek Hukum Kelembagaan Penilaian aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut kebijakan pemerintah terhadap pembuangan limbah, penegakan hukum, koordinasi dan implementasi pengelolaan KJA, dan kebijakan pemerintah tentang keberadaan KJA. Gambar 111 menunjukkan atribut aspek hukum dan kelembagaan yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu kebijakan pemerintah terhadap pembuangan limbah, penegakan hukum, koordinasi dan

197 169 implementasi pengelolaan KJA, dan kebijakan pemerintah tentang keberadaan KJA, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 6.63%, 11.34%, 9.49%, 7.91%, dan 5.55%. Penegakan hukum merupakan atribut yang mempunya AKNT yang terbesar yaitu 11.34% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law) sehingga penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum. Masyarakat harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Akhirnya, penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum. Tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before the law) (Susetyo 2006). Dalam hal ini penegakan hukum yang harus dilakukan misalnya, penegakan undang-undang keberadaan jumlah KJA di Waduk Cirata, keberadaan/penempatan KJA pada zonasi yang tepat, pembuangan limbah ke DAS Citarum, pertanian, peternakan.

198 170 Gambar 111 Atribut aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Aspek Infrastruktur dan Teknologi Penilaian aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut kelas kesesuaian lahan, jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah pakan, jenis pakan, padat tebar ikan, ketersediaan alat pendukung di KJA, ketersediaan kapal untuk transportasi, dermaga untuk pengangkutan ikan, SPBU, dan aksesbilitas yang mudah ke lokasi budidaya. Gambar 112 menunjukkan atribut aspek infrasturktur dan teknologi yang sensitif terhadap kinerja pengelolaan waduk berkelanjutan yaitu kelas kesesuaian lahan, jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah pakan, jenis pakan, padat tebar ikan, ketersediaan alat pendukung di KJA, ketersediaan kapal untuk transportasi, dermaga untuk pengangkutan ikan, SPBU, dan aksesbilitas yang mudah ke lokasi budidaya, dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 4.53%, 0,84%, 2.28%, 1.54%, 2.71%, 0.50%, 0.25%, 2.31%, 0.74%, dan 3.88%. Kelas kesesuaian lahan merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.53% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Kesesuaian lahan yang tinggi diperlukan untuk keberlanjutan suatu kegiatan usaha. Kondisi perairan waduk Cirata saat ini sudah tidak sesuai

199 171 lagi untuk kegiatan budidaya ikan dengan karamba jaring, mengingat kondisi ekologi perairan sudah memburuk. Gambar 112 Atribut aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata Aspek Sosial Budaya Penilaian aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan merupakan penilaian terhadap atribut dukungan LSM setempat, pendidikan SDM pengelola waduk, tingkat SDM masyarakat dan pengelola KJA. Nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 4.65%, 1.11%, 3.42%, dan 1.54%. Dukungan LSM setempat merupakan atribut yang mempunyai AKNT yang terbesar yaitu 4.65% yang berarti atribut ini sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan waduk tersebut. Dukungan LSM merupakan suatu potensi yang perlu dimanfaatkan dan dikembangkan dengan melakukan kegiatan positif seperti membentuk kelompok tani dalam rangka pengelolaan waduk. Kelompok tersebut dapat berupa kelompok tani nelayan, kelompok pemerhati lingkungan yang bisa diajak untuk melaksanakan reboisasi hutan, dll. Selanjutnya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, pelatihan, pembinaan, pembentukan kelompok/paguyuban,

200 172 pembuatan kerjasama, pendampingan dan memberikan bantuan dalam pengelolaan waduk. Gambar 113 adalah atribut sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata. Gambar 113 Atribut aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya merupakan keterpaduan penilaian aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/kebijakan. Kelima aspek penentu tercapainya suatu pengelolaan waduk berkelanjutan saling terkait dan mempengaruhi yang ditunjukkan oleh diagram layang (Gambar 114). Gambar 114 menunjukkan bahwa kondisi aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Aspek ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat kondisi waduk sudah memprihatinkan seperti pendangkalan, eutrofikasi (penyuburan unsur hara). Akibatnya keragaman ekologi akuatik waduk terancam, termasuk ikan-ikan yang dibudidayakan di KJA. Kualitas air baku waduk juga menurun dan mulai tercemar logam berat.

201 173 Pendangkalan, eutrofikasi, dan turunnya kualitas air waduk akibat DAS Citarum rusak dan intensifnya pengembangan KJA untuk meningkatkan produksi ikan. DAS Citarum rusak karena baik di hulu dan di hilir pertumbuhan penduduk meningkat pesat, tidak bijaknya manusia dalam membuang limbah industri, perternakan, rumah tangga, dan pertanian, serta penyalahgunaan tata ruang. TPA sampah Sarimukti di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, temasuk penyumbang limbar air lindi yang besar ke Waduk Cirata karena lokasi TPA sangat dekat dengan sungai Citarum dan pengelolaan air lindinya tidak memadai (Sudarsono 2010). Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar (skor 57.37%), yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan (Skor 40.16), teknologi/infrastruktur (skor 49.79%), aspek ekonomi (skor 51.32%)dan ekologi (skor 22.29). Dukungan masyarakat (LSM) di sekitar wilayah perairan Waduk Cirata yang cukup besar dalam pengelolaan waduk, perlu dibina dan ditingkatkan oleh pemerintah. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, mereka berpersepsi bahwa Waduk Cirata adalah sumberdaya alam milik bersama yang harus dikelola bersama agar fungsinya berkelanjutan. Sistem kerjasama antara warga di sekitar Waduk Cirata masih kuat tetapi disebabkan banyak pendatang dari kota, adat istiadat tersebut menjadi longgar khususnya untuk generasi muda.

202 174 Gambar 114 Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung

203 175 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1) Daya Dukung Perairan Waduk Cirata: Status mutu perairan Waduk Cirata pada kondisi sudah tercemar sedang sampai berat (pada klasifikasi baku mutu air golongan B PP 82 Tahun 2001). Daya dukung perairan (kapasitas asimilasi) Waduk Cirata terhadap parameter TSS, BOD, COD, PO 4, NO 3, NO 2, Fe, Cd, Zn, dan Mn, sudah melewati ambang batas baku mutu perairan. 2) Untuk menjamin keberlanjutan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya (KJA), pengelolaan yang ideal dengan melibatkan: Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan) Badan Pengelola Waduk Cirata Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat Dinas Perikanan dan Kelautan Kota/Kabupaten. 3) Pertumbuhan penduduk menjadi faktor pengungkit bagi sumber konflik pemanfaatan Waduk Cirata, permasalahan mengikuti archetype model dinamik limit to succes, tragedy of the common dan shifting of the burden, dengan building block yang dominan adalah reinforcing. Peningkatan aktifitas penduduk (KJA, industri, pertanian, peternakan, perambahan hutan) meningkatkan sedimentasi dan pencemaran menjadi balancing terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. 4) Aspek ekologi merupakan aspek yang paling lemah dalam keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata. Aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar sebagai modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya (ekonomi, hukum-kelembagaan, teknologi/infrastruktur dan ekologi). 7.2 Saran 1) Penegakan hukum, koordinasi daerah, memperkuat hubungan antar stakeholder, kompromi tingkat kebutuhan merupakan hal yang penting

204 176 dalam penanganan sumber pencemar dan kerusakan lahan di DAS Citarum, sehingga daya dukung waduk tetap lestari. 2) Untuk menuju keberlanjutan fungsi ekonomi, ekologi maka perlu penataan dan pengaturan kembali terhadap kegiatan perikanan budidaya KJA, peternakan, pertanian dan industri di wilayah sekitar Waduk Cirata. 3) Peningkatan partisipasi stakeholder (penduduk disekitar wilayah waduk, pembudidaya ikan, pengelola pabrik pakan ikan) dengan penyuluhan intensif oleh instansi terkait tentang pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan.

205 177 DAFTAR PUSTAKA Adnyana Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. Fishery Aquaculture Engeenering 19: Aminullah Berpikir Sistemik untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit PPM. Anggoro S Dampak Pencemaran terhadap Fisik-Kimia Air. Materi Kursus AMDAL. Semarang: PPLH UNDIP. [APHA] America Public Health Association Standard Method for The Examination of Water and Wastewater. Ed ke-17. Washington DC: APHA. AWWA. WPCF. Barg UC Guidelines For The Promotion of Environmenttal Management of Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper. hlm 328. Beveridge MCM Cage Aquaculture. Fishing News Books. London. [BPLHD] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Pola Pengendalian Pencemaran Air di DAS Citarum Hulu sampai dengan Tengah. Bandung: BPLHD Pemerintah Propinsi Jawa Barat. [BPWC] Badan Pengelola Waduk Cirata Laporan Pemantauan Kualitas Air Waduk Cirata. Bandung: BPWC. [BPWC] Badan Pengelola Waduk Cirata Laporan Pemantauan Kualitas Air Waduk Cirata. Bandung: BPWC. Cavana RY, Ford A, editor Environmental and Resource System 20: Chapman D, Hall Water Quality Assesments. London: UNESCO/WHO/ UNEP Ltd. Cole GA Textbook of Limnology. Ed ke-3. USA: Waveland press, inc. Illionis. Coyle G Quantitative Modelling in System Dinamycs Society. The Proceedings of the 17 th International Conference of System Dinamycs Society and 5 th Astralia & Newzealand System Conference. Newzealand: Willington. Darmono Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI Press. Eriyatno Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press.

206 178 Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Djojomartono M Pengantar Umum Analisis Sistem. Di dalam: Makalah Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Bogor: Kerjasama Badan Pengkajian Penerapan Teknologi dan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Djojomartono M Bahan Kuliah Dasar-Dasar Analisis Sistem Dinamik [Tidak Dipublikasikan]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Dirjen PB DKP, ACIAR] Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan Perikanan dan Australian Centre for International Agricultural Research Pengelolaan Perikanan secara Bersama pada Perairan Waduk di Indonesia. Pedoman untuk Para Pengelola Waduk. Jakarta: Dirjen PB DKP dan ACIAR. [Ditjen PHP DEPTAN] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Biogas Limbah Ternak dan Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Jarak Pagar. Jakarta : Ditjen PHP Deptan. Donald ME, Tikkanen CA, Axler RP, Larsen CP, Host G Fish Simulation Culture Model (FI-C): A Bionergetics Based Model for Aquacultural Wasteload Application. Aquacultural Engineering. 15(4): Effendi H Telaah Kualitas Air bagi Sumber Daya danllingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Eriyatno Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Sofyar F Riset Kebijakan Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. Bogor: IPB Press. Fardiaz S Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Ford A An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Modeling of Environment. Washington DC: Island Press. Forrester J W Principles of systems. Cambridge USA: Wright Allen Press. Garno YS Status dan Strategi Pengendalian Pencemaran Waduk Multiguna Cirata. P3TL-BPPT. J Teknik Lingkungan 3:

207 179 Garno YS Status dan Karakteristik Pencemaran di Waduk Kaskade Citarum. Teknik Lingkungan. DIT. TL-BPPT. 2: Garno YS Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budidaya dan Yutrofikasi di Perairan waduk pada DAS Citarum. P3TL-BPPT. J Teknik Lingkungan. 3: Goldburg RJ, Elliot MS, Naylorm RL Marine Aquaculture in the United States, Envionmental Impacts and Policy Options. Pew Oceans Commission 2101 Wilson Boulevard. Suite 550. Arlington, Virginia Goldman CR, Horne AJ Limnology. New York: Mc Graw Hill Book Company. Golterman HL Physiological Limnology. Ámsterdam: Elsevier. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL Ecology and Natural Resource Management. System Analysis and Simulation. New York: John Wiley & Sons. Guo H C, Liu L, Huang GH, Fuller GA, Zou R, Yin YY A System dynamics spproach for regional environmental planning and management : A study for the Lake Erhai Basin. J. Environmental Management. 61: Hardjamulia A, Suhenda N, Krismono Budidaya Ikan Air Tawar Dalam Keramba Jaring Apung Mini. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Hardjoko B, Djokosetiyanto Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Jakarta: Universitas Terbuka. Hardjomidjojo, H Bahan Kuliah Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan [Tidak dipublikasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haslam SM River Pollution and Ecological Perspective. English. John Wiley and Sons, Chichester. hlm 253. Irwen Analisis beban pencemaran lingkungan pada sungai way seputih Desa Udik-Buyut Ilir Kabupaten Lampung Tengah [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Johnsen RI, Grahl NO, Lunested BT Environmental Distribution of Organic Waste From a Marine Fish Farm. Aquaculture. 118: Jorgensen SE, Vollenweider RA Problems of Lake and Reservoirs. Guidelines of Lake Management. Vol 1: Principle of Lake Management. Shiga: International Lake Environment Committee Foundation.

208 180 Kartamihardja ES Daya Dukung Perairan Dan Pengembangan Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Apung Yang Ramah Lingkungan. Prosiding Ekpose Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Yang Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. hlm Kartamihardja ES Pengembangan dan Pengelolaan Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan di Perairan Waduk dan Danau Serbaguna. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II: Ujung Pandang 2-3 Desember Puslitbang Perikanan, Japan International Cooperation Agency, Universitas Hasanuddin. Kartodiharjo H Analisis kelembagaan pengelolaan daerah aliran sungai: Konsep, paradox dan masalah, serta upaya peningkatan kinerja. Bahan Lokakarya Nasional Kebijaksanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Ditjen Pembangunan Daerah, DepDagri dan Balitbang Pertanian, Deptan,. Karyana A Analisis posisi dan peran lembaga serta pengembangan kelembagaan daerah aliran sungai (DAS): Studi kasus di DAS ciliwung [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kevern NR A Manual of Limnological Methods. Michigan: Departement of Fisheries ad Wildlife Michigan State University. Kholil Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan sampah terpadu berbasis nirlimbah (zero waste) studi kasus di Jakarta Selatan [Disertasi] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: KLH. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta: KLH. Kim DH, Anderson V System Archetype Basics, From Story to Structure. USA: Pegasus Communication, Inc. Krismono Pengelolaan Lingkungan Budidaya Ikan di Keramba Jaring Apung. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 5: Krismono Penelitian Potensi Sumberdaya Perairan Waduk Wadaslintang, Mrica, Karangkates dan Waduk Selorejo untuk Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung. Bulletin Penelitian Perikanan Darat 11 Kristanto Ekologi Industri. Yogyakarta.

209 181 Laoh OEH Keterkaitan faktor fisik, faktor sosial ekonomi dan tataguna lahan di daerah tangkapan air dengan erosi dan sedimentasi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mackereth FJH, Heron J, Talling Water Analysis. Cumbria UK: Freshwater Biological Association. hlm 120. Maintindom Y Analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Manan S Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. McGhie TK, Crawford CM, Mitchell IM, O Brien D The Degradation of Fish-Cage Waste in Sediments During Fallowing. Aquaculture, 187: Midlen A, Redding TA Environmental Management for Aquaculture. Kluwer Academic Publishers Dordrecht. Milrad M Using Construction Kits, Modeling Tools and System Dynamics Simulations to Support Collaborative Discovery Learning. Educational Tecnology & Society 5 (4). Sweden. Mochtar Aspek pengelolaan air dan sumber air dalam era Otonomi Daerah. Di dalam: Kodoatie R, Suharyanto S, Sangkawati, Edhisono S, editor. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta. hlm Mohamad AI Prediksi dan distribusi sedimentasi pada rencana Waduk PLTA Kota Panjang Riau [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Moore JW Inorganic Contaminant of Surface Water. New York: Springer- Verlag. Moss B Ecology of Freshwater. Ed ke-2. Blackwell Scientific Publications. London. hlm 415. Muhammadi E, Aminullah, Soesilo B Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, Mustarudin Model penyebaran logam berat akibat cemaran industri pada perairan umum dan pengaruhnya terhadap nilai ekonomi (studi kasus pada Kali Ciliwung dalam Rorotan-Marunda, Jakarta Utara [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

210 182 MSMAS DAS Citarum, Kondisi dan Rencana Penanganannya. [11 Maret 2009]. Mutiari YL Penegakan Hukum Lingkungan : Sangsi Administrasi Menurut UU No.23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan Simbur Cahaya No.27 Tahun X. Nabli M, Nugent J The New Institutional Economics and its applicability to Development. World Development. 17: Nastiti A, Krismono, Kartamihardja ES Dampak Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. J. Penelitian Perikanan Indonesia. 7: Neufeld V, editor Webster s New World Large Print Dictionary, Comact School and Office Edition. Cleveland: Webster s New Wold. Neto AC, Legey LFL, Araya MCG, Jablonski S A system dynamics model for the environmental management of the Sepetiba Bay Watershed, Brazil. J. Environ Man 38: Novotny V, Olem H Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nostrand Reinhold. North DC Institutions, Institusional Change and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press. Nugrahanto P Limbah Pabrik Berkontribusi Besar Merusak Citarum.Akses. [18 Juni 2009] Octaviany M, Jusie Fluktuasi kandungan oksigen terlarut selama 24 jam pada lokasi karamba jaring apung, Ciputri, di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.. Ott WR Environmental Indices Theory and Practise. Michigan: Ann Arbour Science Inc. Parson T, Takahashi M, Hargrave B Biological Oceanographic Processes. Ed ke-3. New York: Pergamon Press.. Peraturan Pemerintah. No. 51 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah. No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Pemerintah. No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kep. Pres No.123/2001 tentang koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada

211 183 tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait tentang pengelolaan sumber daya air. [PJB] Pembangkitan Jawa dan Bali Unit Pembangkitan Cirata Laporan Pemantauan Cirata. Purwakarta: PT. PJB Unit Pembangkitan Cirata. Prihadi TH Pengelolaan waduk berbasis budidaya ikan secara lestari. pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmansyah, Makmur, Kamaruddin Pendugaan Laju Sedimentasi dan Dispersi Limbah Partikel Organik Dari Budidaya Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J Penelitian Perikanan Indonesia 10: Ryding SO, Rast W, editor The Control of Eutrophication of Lakes and Reservoirs. Paris: The Parthenon Publishing Group.. Ruth M, Lindholm J Dynamic Modeling for Marine Conservation. Springer-Verlag New York,Inc. Salmin Oksigen Terlarut (DO) dan kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, 30: Schimittou, HR A method of fish production in Indonesia. Cage Culture. Jakarta: FRDP. CRIFI. Setiawan BTA Menuju optimalisasi pengelolaan waduk air dengan metode PR Bellman (studi kasus: Waduk PLTA Cirata-Kaskade (Citarum) [Tesis]. Bandung: Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung.. Shinji I A form community partcipation for watershed management Lake Biwa. FDI and ILEC: Siska EM Penerapan model sistem dinamik dalam penentuan kondisi trofik (kasus Waduk Jatiluhur) [Tesis]. Bandung: Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung. Sitanala A Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Slobodan PS Assesment of Water Through System Dynamics Simulation : from Global Issue to regional Solutions. IEEE Solichin Optimasi operasi sistem multi waduk dengan menggunakan program dinamik sokastik [Tesis]. Bandung: Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung.

212 184 Sukadi MF, Rabegnatar INS, Praseno O, Krismono, Jangkaru Z, Schmittou HR Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Suratmo FG Panduan Penelitian Multidisiplin. Bogor: IPB Press. Suria LR Pola operasi Waduk Darma dengan program dinamik deterministik dan stokastik [Tesis]. Bandung: Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung. Sushil A Practical Approach for Managerial Problems. System Dynamic. New Delhi: Wiley Eastern Limited. Suyasa IWB, Dwijani W Kemampuan Sistem saringan Pasir Tanaman Menurunkan Nilai BOD dan COD Air Tercemar Limbah Pencelupan. Ecothropic 2:1-7. Suzy A Analisis beban pencemaran dan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syarief R Kondisi dan Pengelolaan Bendungan/Waduk dan Danau di Indonesia. dalam Marsono, D., L. Paskalis, E. Haryanto. (editor). Yogyakarta: BIGRAF Publ dan STTL. Undang undang. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. [UNEP-IETC] United Nation Environment Programme - International Environmental Technology Centre a. Planning and Management of Lakes and Reservoirs : An Integrated Approach to Eutrofication : A Student Guide. Osaka/Shiga: UNEP-IETC. [UNEP-IETC/ILEC] United Nation Environment Programme-International Environmental Technology Centre And International Lake Environment Committee Foundation b. Similarities, Differences and Importance. Lakes and Reservoirs. Vol 1. Shiga: UNEP-IETC/ILEC. Wangsadipura M, Lubis RS Penggunaan Program Dinamik Deterministik Dalam Penentuan Kurva Pengatur Pengoperasian Waduk Berdasarkan Kondisi Musim Tahun. J Infrastructure and Built Environment 2. [WCED] Word Commission on Environment and Development Our Common Future. New York: Oxford University Press. Widiyati, Adang S, Prihadi TH, Djajasewaka H Pendugaan Sedimentasi di Waduk Cirata. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, siap terbit.

213 185 Widyastuti E Model pengelolaan berkelanjutan budidaya ikan dalam karamba jaring apung di waduk (studi kasus di perairan Waduk PB. Sudirman) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widyastuti M, Marfa MA Kajian Daya Tampung Sungai Gajahwong Terhadap Beban Pencemaran. Majalah Geografi Indonesia 2004, 18. Winardi Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung: Mandar Maju. Yap, Atien Keragaan Polutan di Perairan Waduk. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Yuningsih SM, Suwarno Pengaruh Erosi DPS Serayu Hulu terhadap pendangkalan PLTA.PB Soedirman. J Peneltian Perairan 10:28-34 Reynolds CS Modelling phytoplankton dynamics and its application to lake management. J Hydrobiologia : Zachry T Advancements through the environmental management science program. Environmental and Waste Management. Symposia Papers Presented Before the Division of Environmental Chemistry American Chemical Society March 28 April Hlm

214 LAMPIRAN

215 189 LAMPIRAN 1 Persamaan model dinamik init BL_pupuk_NMHj = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj = +dt*lj_blpupuk_nmhj init BL_pupuk_NMHj_1 = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj_1 = +dt*lj_blpupuk_nmhj_1 init BL_pupuk_NMHj_2 = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj_2 = +dt*lj_blpupuk_nmhj_2 init BL_pupuk_NMHj_3 = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj_3 = +dt*lj_blpupuk_nmhj_3 init BL_pupuk_NMHj_4 = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj_4 = +dt*lj_blpupuk_nmhj_4 init BL_pupuk_NMHj_5 = 59890*365 flow BL_pupuk_NMHj_5 = +dt*lj_blpupuk_nmhj_5 init BL_pupuk_PMHj = *365 flow BL_pupuk_PMHj = +dt*lj_blpupuk_pmhj init BL_pupuk_PMHj_1 = *365 flow BL_pupuk_PMHj_1 = +dt*lj_blpupuk_pmhj_1 init BL_pupuk_PMHj_2 = *365 flow BL_pupuk_PMHj_2 = +dt*lj_blpupuk_pmhj_2 init BL_pupuk_PMHj_3 = *365 flow BL_pupuk_PMHj_3 = +dt*lj_blpupuk_pmhj_3 init BL_pupuk_PMHj_4 = *365 flow BL_pupuk_PMHj_4 = +dt*lj_blpupuk_pmhj_4 init BL_pupuk_PMHj_5 = *365 flow BL_pupuk_PMHj_5 = +dt*lj_blpupuk_pmhj_5 init Bl_RPH = 3.14*365 flow Bl_RPH = +dt*lj_rph init Bl_RPH_1 = 3.14*365 flow Bl_RPH_1 = +dt*lj_rph_1 init Bl_RPH_2 = 3.14*365 flow Bl_RPH_2 = +dt*lj_rph_2 init Bl_RPH_3 = 3.14*365 flow Bl_RPH_3 = +dt*lj_rph_3 init Bl_RPH_4 = 3.14*365 flow Bl_RPH_4 = +dt*lj_rph_4 init Bl_RPH_5 = 3.14*365 flow Bl_RPH_5 = +dt*lj_rph_5 init BPIn = *365 flow BPIn = +dt*lj_bpin init BPIn_1 = *365 flow BPIn_1 = +dt*lj_bpin_1 init BPIn_2 = *365 flow BPIn_2 = +dt*lj_bpin_2 init BPIn_3 = *365 flow BPIn_3 = +dt*lj_bpin_3 init BPIn_4 = *365 flow BPIn_4 = +dt*lj_bpin_4

216 190 init BPIn_5 = *365 flow BPIn_5 = +dt*lj_bpin_5 init FCR_1 = 1.5 flow FCR_1 = +dt*lj_fcr init FCR_11 = 1.5 flow FCR_11 = +dt*lj_fcr_5 init FCR_3 = 1.5 flow FCR_3 = +dt*lj_fcr_1 init FCR_5 = 1.5 flow FCR_5 = +dt*lj_fcr_2 init FCR_7 = 1.5 flow FCR_7 = +dt*lj_fcr_3 init FCR_9 = 1.5 flow FCR_9 = +dt*lj_fcr_4 init J_ayam = flow J_ayam = +dt*lj_ayam init J_ayam_1 = flow J_ayam_1 = +dt*lj_ayam_1 init J_ayam_2 = flow J_ayam_2 = +dt*lj_ayam_2 init J_ayam_3 = flow J_ayam_3 = +dt*lj_ayam_3 init J_ayam_4 = flow J_ayam_4 = +dt*lj_ayam_4 init J_ayam_5 = flow J_ayam_5 = +dt*lj_ayam_5 init J_Domba = flow J_Domba = +dt*lj_domba init J_Domba_1 = flow J_Domba_1 = +dt*lj_domba_1 init J_Domba_2 = flow J_Domba_2 = +dt*lj_domba_2 init J_Domba_3 = flow J_Domba_3 = +dt*lj_domba_3 init J_Domba_4 = flow J_Domba_4 = +dt*lj_domba_4 init J_Domba_5 = flow J_Domba_5 = +dt*lj_domba_5 init J_itik = flow J_itik = +dt*lj_itik init J_itik_1 = flow J_itik_1 = +dt*lj_itik_1 init J_itik_2 = flow J_itik_2 = +dt*lj_itik_2 init J_itik_3 = flow J_itik_3 = +dt*lj_itik_3 init J_itik_4 = flow J_itik_4 = +dt*lj_itik_4

217 191 init J_itik_5 = flow J_itik_5 = +dt*lj_itik_5 init J_Pddk_Tot = flow J_Pddk_Tot = +dt*l_pddk_tot init J_Pddk_Tot_1 = flow J_Pddk_Tot_1 = +dt*l_pddk_tot_1 init J_Pddk_Tot_2 = flow J_Pddk_Tot_2 = +dt*l_pddk_tot_2 init J_Pddk_Tot_3 = flow J_Pddk_Tot_3 = +dt*l_pddk_tot_3 init J_Pddk_Tot_4 = flow J_Pddk_Tot_4 = +dt*l_pddk_tot_4 init J_Pddk_Tot_5 = flow J_Pddk_Tot_5 = +dt*l_pddk_tot_5 init J_RTP = 3990 flow J_RTP = +dt*l_rtp init J_RTP_1 = flow J_RTP_1 = +dt*l_rtp_1 init J_RTP_10 = flow J_RTP_10 = +dt*l_rtp_10 init J_RTP_11 = flow J_RTP_11 = +dt*l_rtp_11 init J_RTP_12 = 3990 flow J_RTP_12 = +dt*l_rtp_13 init J_RTP_13 = flow J_RTP_13 = +dt*l_rtp_12 init J_RTP_14 = flow J_RTP_14 = +dt*l_rtp_14 init J_RTP_15 = flow J_RTP_15 = +dt*l_rtp_15 init J_RTP_16 = 3990 flow J_RTP_16 = +dt*l_rtp_17 init J_RTP_17 = flow J_RTP_17 = +dt*l_rtp_16 init J_RTP_18 = flow J_RTP_18 = +dt*l_rtp_18 init J_RTP_19 =

218 192 flow J_RTP_19 = +dt*l_rtp_19 init J_RTP_2 = flow J_RTP_2 = +dt*l_rtp_2 init J_RTP_20 = 3990 flow J_RTP_20 = +dt*l_rtp_21 init J_RTP_21 = flow J_RTP_21 = +dt*l_rtp_20 init J_RTP_22 = flow J_RTP_22 = +dt*l_rtp_22 init J_RTP_23 = flow J_RTP_23 = +dt*l_rtp_23 init J_RTP_3 = flow J_RTP_3 = +dt*l_rtp_3 init J_RTP_4 = 3990 flow J_RTP_4 = +dt*l_rtp_5 init J_RTP_5 = flow J_RTP_5 = +dt*l_rtp_4 init J_RTP_6 = flow J_RTP_6 = +dt*l_rtp_6 init J_RTP_7 = flow J_RTP_7 = +dt*l_rtp_7 init J_RTP_8 = 3990 flow J_RTP_8 = +dt*l_rtp_9 init J_RTP_9 = flow J_RTP_9 = +dt*l_rtp_8 init J_Sapi = flow J_Sapi = +dt*lj_sapi init J_Sapi_1 = flow J_Sapi_1 = +dt*lj_sapi_1 init J_Sapi_2 = flow J_Sapi_2 = +dt*lj_sapi_2 init J_Sapi_3 = flow J_Sapi_3 = +dt*lj_sapi_3 init J_Sapi_4 = flow J_Sapi_4 = +dt*lj_sapi_4 init J_Sapi_5 = 45373

219 193 flow J_Sapi_5 = +dt*lj_sapi_5 init LHutan = 1216 flow LHutan = -dt*ljlhutan init LHutan_1 = 1216 flow LHutan_1 = -dt*ljlhutan_1 init LHutan_2 = 1216 flow LHutan_2 = -dt*ljlhutan_2 init LHutan_3 = 1216 flow LHutan_3 = -dt*ljlhutan_3 init LHutan_4 = 1216 flow LHutan_4 = -dt*ljlhutan_4 init LHutan_5 = 1216 flow LHutan_5 = -dt*ljlhutan_5 init LLDiluarKJA = 4664 flow LLDiluarKJA = -dt*lj_lkja init LLDiluarKJA_1 = 4664 flow LLDiluarKJA_1 = -dt*lj_lkja_1 init LLDiluarKJA_2 = 4664 flow LLDiluarKJA_2 = -dt*lj_lkja_2 init LLDiluarKJA_3 = 4664 flow LLDiluarKJA_3 = -dt*lj_lkja_3 init LLDiluarKJA_4 = 4664 flow LLDiluarKJA_4 = -dt*lj_lkja_4 init LLDiluarKJA_5 = 4664 flow LLDiluarKJA_5 = -dt*lj_lkja_5 init LPmVsInd = flow LPmVsInd = +dt*ljlpmvsind init LPmVsInd_1 = flow LPmVsInd_1 = +dt*ljlpmvsind_1 init LPmVsInd_2 = flow LPmVsInd_2 = +dt*ljlpmvsind_2 init LPmVsInd_3 = flow LPmVsInd_3 = +dt*ljlpmvsind_3 init LPmVsInd_4 = flow LPmVsInd_4 = +dt*ljlpmvsind_4 init LPmVsInd_5 = flow LPmVsInd_5 = +dt*ljlpmvsind_5 init LPt = flow LPt = +dt*ljlpt init LPt_1 = flow LPt_1 = +dt*ljlpt_1 init LPt_2 = flow LPt_2 = +dt*ljlpt_2 init LPt_3 = flow LPt_3 = +dt*ljlpt_3 init LPt_4 = flow LPt_4 = +dt*ljlpt_4 init LPt_5 =

220 194 flow LPt_5 = +dt*ljlpt_5 L_Pddk_tot = Fk_Pddk_Tot*J_Pddk_Tot*DDL2 L_Pddk_tot_1 = Fk_Pddk_Tot_1*J_Pddk_Tot_1*DDL2_1 L_Pddk_tot_2 = Fk_Pddk_Tot_2*J_Pddk_Tot_2*DDL2_2 L_Pddk_tot_3 = Fk_Pddk_Tot_3*J_Pddk_Tot_3*DDL2_3 L_Pddk_tot_4 = Fk_Pddk_Tot_4*J_Pddk_Tot_4*DDL2_4 L_Pddk_tot_5 = Fk_Pddk_Tot_OPt*J_Pddk_Tot_5*DDL2_5 L_RTP = Fk_RTP_Ex*J_RTP*Pr_LKJA*Fk*Fk2 L_RTP_1 = Fk_RTP_Ex*J_RTP_1 L_RTP_10 = Fk_RTP_1*J_RTP_10 L_RTP_11 = Fk_RTP_1*J_RTP_11 L_RTP_12 = Fk_RTP_2*J_RTP_13 L_RTP_13 = Fk_RTP_2*J_RTP_12*Pr_LKJA_3*Fk_3*Fk2_3 L_RTP_14 = Fk_RTP_2*J_RTP_14 L_RTP_15 = Fk_RTP_2*J_RTP_15 L_RTP_16 = Fk_RTP_3*J_RTP_17 L_RTP_17 = Fk_RTP_3*J_RTP_16*Pr_LKJA_4*Fk_4*Fk2_4 L_RTP_18 = Fk_RTP_3*J_RTP_18 L_RTP_19 = Fk_RTP_3*J_RTP_19 L_RTP_2 = Fk_RTP_Ex*J_RTP_2 L_RTP_20 = Fk_RTP_4_OPt*J_RTP_21 L_RTP_21 = Fk_RTP_4_OPt*J_RTP_20*Pr_LKJA_5*Fk_5*Fk2_5 L_RTP_22 = Fk_RTP_4_OPt*J_RTP_22 L_RTP_23 = Fk_RTP_4_OPt*J_RTP_23 L_RTP_3 = Fk_RTP_Ex*J_RTP_3 L_RTP_4 = Fk_RTP_PS*J_RTP_5 L_RTP_5 = Fk_RTP_PS*J_RTP_4*Pr_LKJA_1*Fk_1*Fk2_1 L_RTP_6 = Fk_RTP_PS*J_RTP_6 L_RTP_7 = Fk_RTP_PS*J_RTP_7 L_RTP_8 = Fk_RTP_1*J_RTP_9 L_RTP_9 = Fk_RTP_1*J_RTP_8*Pr_LKJA_2*Fk_2*Fk2_2 Lj_ayam = Fk_Ay*J_ayam*DDL2 Lj_ayam_1 = Fk_Ay_1*J_ayam_1*DDL2_1 Lj_ayam_2 = Fk_Ay_MD*J_ayam_2*DDL2_2 Lj_ayam_3 = Fk_Ay_2*J_ayam_3*DDL2_3 Lj_ayam_4 = Fk_Tr_3*J_ayam_4*DDL2_4 Lj_ayam_5 = Fk_Tr_OPt*J_ayam_5*DDL2_5 Lj_BLpupuk_NMHj = Fk_pupuk*BL_pupuk_NMHj*DDL1 Lj_BLpupuk_NMHj_1 = Fk_pupuk_1*BL_pupuk_NMHj_1*DDL1_1 Lj_BLpupuk_NMHj_2 = Fk_pupuk_2*BL_pupuk_NMHj_2*DDL1_2 Lj_BLpupuk_NMHj_3 = Fk_pupuk_OP*BL_pupuk_NMHj_3*DDL1_3 Lj_BLpupuk_NMHj_4 = Fk_pupuk_3*BL_pupuk_NMHj_4*DDL1_4 Lj_BLpupuk_NMHj_5 = Fk_pupuk_OPt*BL_pupuk_NMHj_5*DDL1_5 Lj_BLpupuk_PMHj = Fk_pupuk*BL_pupuk_PMHj*DDL1 Lj_BLpupuk_PMHj_1 = Fk_pupuk_1*BL_pupuk_PMHj_1*DDL1_1 Lj_BLpupuk_PMHj_2 = Fk_pupuk_2*BL_pupuk_PMHj_2*DDL1_2 Lj_BLpupuk_PMHj_3 = Fk_pupuk_OP*BL_pupuk_PMHj_3*DDL1_3 Lj_BLpupuk_PMHj_4 = Fk_pupuk_3*BL_pupuk_PMHj_4*DDL1_4

221 195 Lj_BLpupuk_PMHj_5 = Fk_pupuk_OPt*BL_pupuk_PMHj_5*DDL1_5 Lj_BPIn = IF(TIME>=2020, Fk_In2*BPIn*DDL2, Fk_In*BPIn*DDL2) Lj_BPIn_1 = IF(TIME>=2020, Fk_In2_1*BPIn_1*DDL2_1, Fk_In_1*BPIn_1*DDL2_1) Lj_BPIn_2 = IF(TIME>=2020, Fk_In2_2*BPIn_2*DDL2_2, Fk_In_2*BPIn_2*DDL2_2) Lj_BPIn_3 = IF(TIME>=2020, Fk_In2_3*BPIn_3*DDL2_3, Fk_In_OP*BPIn_3*DDL2_3) Lj_BPIn_4 = IF(TIME>=2020, Fk_In2_4*BPIn_4*DDL2_4, Fk_In_3*BPIn_4*DDL2_4) Lj_BPIn_5 = IF(TIME>=2020, Fk_In2_5*BPIn_5*DDL2_5, Fk_In_OPt*BPIn_5*DDL2_5) Lj_domba = Fk_Dom*J_Domba*DDL2 Lj_domba_1 = Fk_Dom_1*J_Domba_1*DDL2_1 Lj_domba_2 = Fk_Dom_MD*J_Domba_2*DDL2_2 Lj_domba_3 = Fk_Dom_2*J_Domba_3*DDL2_3 Lj_domba_4 = Fk_Tr_3*J_Domba_4*DDL2_4 Lj_domba_5 = Fk_Tr_OPt*J_Domba_5*DDL2_5 LJ_FCR = Fk_FCR*FCR_1 LJ_FCR_1 = Fk_FCR_1*FCR_3 LJ_FCR_2 = Fk_FCR_2*FCR_5 LJ_FCR_3 = Fk_FCR_3*FCR_7 LJ_FCR_4 = Fk_FCR_4*FCR_9 LJ_FCR_5 = Fk_FCR_5*FCR_11 Lj_itik = Fk_It*J_itik*DDL2 Lj_itik_1 = Fk_It_1*J_itik_1*DDL2_1 Lj_itik_2 = Fk_It_MD*J_itik_2*DDL2_2 Lj_itik_3 = Fk_It_2*J_itik_3*DDL2_3 Lj_itik_4 = Fk_Tr_3*J_itik_4*DDL2_4 Lj_itik_5 = Fk_Tr_OPt*J_itik_5*DDL2_5 Lj_LKJA = Fj_LKJA*Luas_KJA Lj_LKJA_1 = Fj_LKJA_1*Luas_KJA_1 Lj_LKJA_2 = Fj_LKJA_2*Luas_KJA_2 Lj_LKJA_3 = Fj_LKJA_3*Luas_KJA_3 Lj_LKJA_4 = Fj_LKJA_4*Luas_KJA_4 Lj_LKJA_5 = Fj_LKJA_5*Luas_KJA_5 Lj_RPH = IF(TIME>=2020,Fk_RPH*Bl_RPH*DDL2,Fk_RPH2*Bl_RPH*DDL2) Lj_RPH_1 = IF(TIME>=2020,Fk_RPH_1*Bl_RPH_1*DDL2_1,Fk_RPH2_1*Bl_RPH_1*DD L2_1) Lj_RPH_2 = IF(TIME>=2020,Fk_RPH_2*Bl_RPH_2*DDL2_2,Fk_RPH2_2*Bl_RPH_2*DD L2_2) Lj_RPH_3 = IF(TIME>=2020,Fk_RPH_OP*Bl_RPH_3*DDL2_3,Fk_RPH2_3*Bl_RPH_3*D DL2_3)

222 196 Lj_RPH_4 = IF(TIME>=2020,Fk_RPH_3*Bl_RPH_4*DDL2_4,Fk_RPH2_4*Bl_RPH_4*DD L2_4) Lj_RPH_5 = IF(TIME>=2020,Fk_RPH_OPt*Bl_RPH_5*DDL2_5,Fk_RPH2_5*Bl_RPH_5*D DL2_5) Lj_sapi = Fk_Sa*J_Sapi*DDL2 Lj_sapi_1 = Fk_Sa_1*J_Sapi_1*DDL2_1 Lj_sapi_2 = Fk_Sa_MD*J_Sapi_2*DDL2_2 Lj_sapi_3 = Fk_Sa_2*J_Sapi_3*DDL2_3 Lj_sapi_4 = Fk_Tr_3*J_Sapi_4*DDL2_4 Lj_sapi_5 = Fk_Tr_OPt*J_Sapi_5*DDL2_5 LjLhutan = (LjLPmVsInd+LjLPt) LjLhutan_1 = (LjLPmVsInd_1+LjLPt_1) LjLhutan_2 = (LjLPmVsInd_2+LjLPt_2) LjLhutan_3 = (LjLPmVsInd_3+LjLPt_3) LjLhutan_4 = (LjLPmVsInd_4+LjLPt_4) LjLhutan_5 = (LjLPmVsInd_5+LjLPt_5) LjLPmVsInd = FkLPmvsInd*LPmVsInd LjLPmVsInd_1 = FkLPmvsInd_1*LPmVsInd_1 LjLPmVsInd_2 = FkLPmvsInd_2*LPmVsInd_2 LjLPmVsInd_3 = FkLPmvsInd_3*LPmVsInd_3 LjLPmVsInd_4 = FkLPmvsInd_4*LPmVsInd_4 LjLPmVsInd_5 = FkLPmvsInd_5*LPmVsInd_5 LjLPt = FkLPt*LPt LjLPt_1 = FkLPt_1*LPt_1 LjLPt_2 = FkLPt_2*LPt_2 LjLPt_3 = FkLPt_3*LPt_3 LjLPt_4 = FkLPt_4*LPt_4 LjLPt_5 = FkLPt_5*LPt_5 B_Limb_padat = Fk_limb pdt*j_pddk_tot B_Limb_padat_1 = Fk_limb pdt_1*j_pddk_tot_1 B_Limb_padat_2 = Fk_limb pdt_2*j_pddk_tot_2 B_Limb_padat_3 = Fk_limb pdt_3*j_pddk_tot_3 B_Limb_padat_4 = Fk_limb pdt_4*j_pddk_tot_4 B_Limb_padat_5 = Fk_limb pdt_5*j_pddk_tot_5 BBM_Akh = Daya_Dukung_Ling*BBM_aw*DDL2*DDL1 BBM_Akh_1 = Daya_Dukung_Ling_1*BBM_aw_1*DDL2_1*DDL1_1 BBM_Akh_2 = Daya_Dukung_Ling_2*BBM_aw_2*DDL2_2*DDL1_2 BBM_Akh_3 = Daya_Dukung_Ling_3*BBM_aw_3*DDL2_3*DDL1_3 BBM_Akh_4 = Daya_Dukung_Ling_4*BBM_aw_4*DDL2_4*DDL1_4 BBM_Akh_5 = Daya_Dukung_Ling_5*BBM_aw_5*DDL2_5*DDL1_5 BBM_aw = Fk_pengali*J_KJA/1000 BBM_aw_1 = Fk_pengali_1*J_KJA_2/1000 BBM_aw_2 = Fk_pengali_2*J_KJA_4/1000 BBM_aw_3 = Fk_pengali_3*J_KJA_6/1000 BBM_aw_4 = Fk_pengali_4*J_KJA_8/1000 BBM_aw_5 = Fk_pengali_5*J_KJA_10/1000

223 197 Berat_Biomassa_M = (Fk_pengali_M*J_KJA_1)/1000 Berat_Biomassa_M_1 = (Fk_pengali_M_1*J_KJA_3)/1000 Berat_Biomassa_M_2 = (Fk_pengali_M_2*J_KJA_5)/1000 Berat_Biomassa_M_3 = (Fk_pengali_M_3*J_KJA_7)/1000 Berat_Biomassa_M_4 = (Fk_pengali_M_4*J_KJA_9)/1000 Berat_Biomassa_M_5 = (Fk_pengali_M_5*J_KJA_11)/1000 Berat_Biomassa_NL = Fk_pengali_NL*J_KJA_1*1/1000 Berat_Biomassa_NL_1 = Fk_pengali_NL_1*J_KJA_3*1/1000 Berat_Biomassa_NL_2 = Fk_pengali_NL_2*J_KJA_5*1/1000 Berat_Biomassa_NL_3 = Fk_pengali_NL_3*J_KJA_7*1/1000 Berat_Biomassa_NL_4 = Fk_pengali_NL_4*J_KJA_9*1/1000 Berat_Biomassa_NL_5 = Fk_pengali_NL_5*J_KJA_11*1/1000 BL_In_1 = BPIn_4+Bl_RPH_4 BL_In_Ex = BPIn+Bl_RPH BL_In_MD = BPIn_2+Bl_RPH_2 BL_In_OP = BPIn_3+Bl_RPH_3 BL_In_OPt = BPIn_5+Bl_RPH_5 BL_In_PS = BPIn_1+Bl_RPH_1 BL_pdt_MskS_1 = Fk_BL_pdt_MskS_4*B_Limb_padat_4 BL_pdt_MskS_Ex = Fk_BL_pdt_MskS*B_Limb_padat BL_pdt_MskS_MD = Fk_BL_pdt_MskS_2*B_Limb_padat_2 BL_pdt_MskS_OP = Fk_BL_pdt_MskS_3*B_Limb_padat_3 BL_pdt_MskS_OPt = Fk_BL_pdt_MskS_5*B_Limb_padat_5 BL_pdt_MskS_PS = Fk_BL_pdt_MskS_1*B_Limb_padat_1 BL_pupukNMHj_MS = Fk_NHj_MS*BL_pupuk_NMHj BL_pupukNMHj_MS_1 = Fk_NHj_MS_1*BL_pupuk_NMHj_1 BL_pupukNMHj_MS_2 = Fk_NHj_MS_2*BL_pupuk_NMHj_2 BL_pupukNMHj_MS_3 = Fk_NHj_MS_3*BL_pupuk_NMHj_3 BL_pupukNMHj_MS_4 = Fk_NHj_MS_4*BL_pupuk_NMHj_4 BL_pupukNMHj_MS_5 = Fk_NHj_MS_5*BL_pupuk_NMHj_5 BL_pupukNMKm_MS = Fk_NKm_MS*BL_pupuk_NMHj BL_pupukNMKm_MS_1 = Fk_NKm_MS_1*BL_pupuk_NMHj_1 BL_pupukNMKm_MS_2 = Fk_NKm_MS_2*BL_pupuk_NMHj_2 BL_pupukNMKm_MS_3 = Fk_NKm_MS_3*BL_pupuk_NMHj_3 BL_pupukNMKm_MS_4 = Fk_NKm_MS_4*BL_pupuk_NMHj_4 BL_pupukNMKm_MS_5 = Fk_NKm_MS_5*BL_pupuk_NMHj_5 BL_pupukPMHj_MS = Fk_PHj_MS*BL_pupuk_PMHj BL_pupukPMHj_MS_1 = Fk_PHj_MS_1*BL_pupuk_PMHj_1 BL_pupukPMHj_MS_2 = Fk_PHj_MS_2*BL_pupuk_PMHj_2 BL_pupukPMHj_MS_3 = Fk_PHj_MS_3*BL_pupuk_PMHj_3 BL_pupukPMHj_MS_4 = Fk_PHj_MS_4*BL_pupuk_PMHj_4 BL_pupukPMHj_MS_5 = Fk_PHj_MS_5*BL_pupuk_PMHj_5 BL_pupukPMKm_MS = Fk_PKm_MS*BL_pupuk_PMHj BL_pupukPMKm_MS_1 = Fk_PKm_MS_1*BL_pupuk_PMHj_1 BL_pupukPMKm_MS_2 = Fk_PKm_MS_2*BL_pupuk_PMHj_2 BL_pupukPMKm_MS_3 = Fk_PKm_MS_3*BL_pupuk_PMHj_3 BL_pupukPMKm_MS_4 = Fk_PKm_MS_4*BL_pupuk_PMHj_4 BL_pupukPMKm_MS_5 = Fk_PKm_MS_5*BL_pupuk_PMHj_5

224 198 BPAs = Fk_b_7*Tot_B_limbah-Fk_a_7 BPAs_1 = Fk_b_44*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_44 BPAs_2 = Fk_b_70*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_70 BPAs_3 = Fk_b_96*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_96 BPAs_4 = Fk_b_122*Tot_B_limbah_1-Fk_a_122 BPAs_5 = Fk_b_148*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_148 BPBOD = Fk_b_2*Tot_B_limbah-Fk_a_2 BPBOD_1 = Fk_b_50*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_49 BPBOD_2 = Fk_b_76*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_75 BPBOD_3 = Fk_b_102*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_101 BPBOD_4 = Fk_b_128*Tot_B_limbah_1-Fk_a_127 BPBOD_5 = Fk_b_154*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_153 BPCd = Fk_b_9*Tot_B_limbah-Fk_a_9 BPCd_1 = Fk_b_42*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_42 BPCd_2 = Fk_b_68*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_68 BPCd_3 = Fk_b_94*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_94 BPCd_4 = Fk_b_120*Tot_B_limbah_1-Fk_a_120 BPCd_5 = Fk_b_146*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_146 BPCOD = Fk_b_3*Tot_B_limbah-Fk_a_3 BPCOD_1 = Fk_b_49*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_48 BPCOD_2 = Fk_b_75*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_74 BPCOD_3 = Fk_b_101*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_100 BPCOD_4 = Fk_b_127*Tot_B_limbah_1-Fk_a_126 BPCOD_5 = Fk_b_153*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_152 BPF = Fk_b_6*Tot_B_limbah-Fk_a_6 BPF_1 = Fk_b_45*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_45 BPF_2 = Fk_b_71*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_71 BPF_3 = Fk_b_97*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_97 BPF_4 = Fk_b_123*Tot_B_limbah_1-Fk_a_123 BPF_5 = Fk_b_149*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_149 BPFe = Fk_b_8*Tot_B_limbah-Fk_a_8 BPFe_1 = Fk_b_43*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_43 BPFe_2 = Fk_b_69*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_69 BPFe_3 = Fk_b_95*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_95 BPFe_4 = Fk_b_121*Tot_B_limbah_1-Fk_a_121 BPFe_5 = Fk_b_147*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_147 BPMn = Fk_b_12*Tot_B_limbah-Fk_a_12 BPMn_1 = Fk_b_39*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_40 BPMn_2 = Fk_b_65*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_66 BPMn_3 = Fk_b_91*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_92 BPMn_4 = Fk_b_117*Tot_B_limbah_1-Fk_a_118 BPMn_5 = Fk_b_143*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_144 BPNO3 = Fk_b_5*Tot_B_limbah-Fk_a_5 BPNO3_1 = Fk_b_47*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_46 BPNO3_2 = Fk_b_73*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_72 BPNO3_3 = Fk_b_99*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_98 BPNO3_4 = Fk_b_125*Tot_B_limbah_1-Fk_a_124 BPNO3_5 = Fk_b_151*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_150

225 199 BPPb = Fk_b_10*Tot_B_limbah-Fk_a_10 BPPb_1 = Fk_b_41*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_39 BPPb_2 = Fk_b_67*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_65 BPPb_3 = Fk_b_93*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_91 BPPb_4 = Fk_b_119*Tot_B_limbah_1-Fk_a_117 BPPb_5 = Fk_b_145*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_143 BPPO4 = Fk_b_4*Tot_B_limbah-Fk_a_4 BPPO4_1 = Fk_b_48*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_47 BPPO4_2 = Fk_b_74*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_73 BPPO4_3 = Fk_b_100*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_99 BPPO4_4 = Fk_b_126*Tot_B_limbah_1-Fk_a_125 BPPO4_5 = Fk_b_152*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_151 BPTDS = Fk_b*Tot_B_limbah-Fk_a BPTDS_1 = Fk_b_46*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_51 BPTDS_2 = Fk_b_72*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_77 BPTDS_3 = Fk_b_98*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_103 BPTDS_4 = Fk_b_124*Tot_B_limbah_1-Fk_a_129 BPTDS_5 = Fk_b_150*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_155 BPTSS = Fk_b_1*Tot_B_limbah-Fk_a_1 BPTSS_1 = Fk_b_51*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_50 BPTSS_2 = Fk_b_77*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_76 BPTSS_3 = Fk_b_103*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_102 BPTSS_4 = Fk_b_129*Tot_B_limbah_1-Fk_a_128 BPTSS_5 = Fk_b_155*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_154 BPZn = Fk_b_11*Tot_B_limbah-Fk_a_11 BPZn_1 = Fk_b_40*Tot_B_limbah_PS-Fk_a_41 BPZn_2 = Fk_b_66*Tot_B_limbah_MD-Fk_a_67 BPZn_3 = Fk_b_92*Tot_B_limbah_OP-Fk_a_93 BPZn_4 = Fk_b_118*Tot_B_limbah_1-Fk_a_119 BPZn_5 = Fk_b_144*Tot_B_limbah_OPt-Fk_a_145 Daya_Dukung_Ling = GRAPH(FCR_1,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0.4 7,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22, 0.22,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) Daya_Dukung_Ling_1 = GRAPH(FCR_3,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0.4 7,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22, 0.22,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) Daya_Dukung_Ling_2 = GRAPH(FCR_5,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0.4 7,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22, 0.22,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) Daya_Dukung_Ling_3 = GRAPH(FCR_7,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0.4 7,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22,

226 ,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) Daya_Dukung_Ling_4 = GRAPH(FCR_9,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0.4 7,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22, 0.22,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) Daya_Dukung_Ling_5 = GRAPH(FCR_11,2005,1,[0.98,0.95,0.9,0.86,0.78,0.75,0.69,0.65,0.61,0.56,0.52,0. 47,0.43,0.39,0.35,0.33,0.31,0.29,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.28,0.23,0.22,0.22,0.22,0.22,0.17,0.17,0.17,0.17,0.17,0.16,0.16,0.14,0.13,0.11,0.11,0.1,0.08,0.0 7,0.06,0.06,0.05,0.05,0.05"Min:0;Max:1;Zoom"]) DDL1 = 1-(LPt1/LDAS) DDL1_1 = 1-(LPt1_1/LDAS_1) DDL1_2 = 1-(LPt1_2/LDAS_2) DDL1_3 = 1-(LPt1_3/LDAS_3) DDL1_4 = 1-(LPt1_4/LDAS_4) DDL1_5 = 1-(LPt1_5/LDAS_5) DDL2 = 1-LPmvsInd1/LDAS DDL2_1 = 1-LPmvsInd1_1/LDAS_1 DDL2_2 = 1-LPmvsInd1_2/LDAS_2 DDL2_3 = 1-LPmvsInd1_3/LDAS_3 DDL2_4 = 1-LPmvsInd1_4/LDAS_4 DDL2_5 = 1-LPmvsInd1_5/LDAS_5 Fk = 1-(LTpplusTs/L_Waduk_) Fk_1 = 1-(LTpplusTs_1/L_Waduk_1) Fk_2 = 1-(LTpplusTs_2/L_Waduk_2) Fk_3 = 1-(LTpplusTs_3/L_Waduk_3) Fk_4 = 1-(LTpplusTs_4/L_Waduk_4) Fk_5 = 1-(LTpplusTs_5/L_Waduk_5) Fk2 = 1-(Luas_KJA/LLDiluarKJA) Fk2_1 = 1-(Luas_KJA_1/LLDiluarKJA_1) Fk2_2 = 1-(Luas_KJA_2/LLDiluarKJA_2) Fk2_3 = 1-(Luas_KJA_3/LLDiluarKJA_3) Fk2_4 = 1-(Luas_KJA_4/LLDiluarKJA_4) Fk2_5 = 1-(Luas_KJA_5/LLDiluarKJA_5) FkLPmVsIndplusLPt = 1-(LPmvsIndplusLPt/LHutan1) FkLPmVsIndplusLPt_1 = 1-(LPmvsIndplusLPt_1/LHutan1_1) FkLPmVsIndplusLPt_2 = 1-(LPmvsIndplusLPt_2/LHutan1_2) FkLPmVsIndplusLPt_3 = 1-(LPmvsIndplusLPt_3/LHutan1_3) FkLPmVsIndplusLPt_4 = 1-(LPmvsIndplusLPt_4/LHutan1_4) FkLPmVsIndplusLPt_5 = 1-(LPmvsIndplusLPt_5/LHutan1_5) J_KJA = Fk_KJA_Ex*J_RTP J_KJA_1 = Fk_KJA_Ex*J_RTP_1 J_KJA_10 = Fk_KJA_4_OPt*J_RTP_20 J_KJA_11 = Fk_KJA_4_OPt*J_RTP_23 J_KJA_2 = Fk_KJA_PS*J_RTP_4 J_KJA_3 = Fk_KJA_PS*J_RTP_7

227 201 J_KJA_4 = Fk_KJA_1*J_RTP_8 J_KJA_5 = Fk_KJA_1*J_RTP_11 J_KJA_6 = Fk_KJA_2*J_RTP_12 J_KJA_7 = Fk_KJA_2*J_RTP_15 J_KJA_8 = Fk_KJA_3*J_RTP_16 J_KJA_9 = Fk_KJA_3*J_RTP_19 J_L_padat_RTP_1 = Fk_L_padat_4*J_Pop_pddk_8 J_L_padat_RTP_Ex = Fk_L_padat*J_Pop_pddk_1 J_L_padat_RTP_MD = Fk_L_padat_2*J_Pop_pddk_4 J_L_padat_RTP_OP = Fk_L_padat_3*J_Pop_pddk_6 J_L_padat_RTP_OPt = Fk_L_padat_5*J_Pop_pddk_10 J_L_padat_RTP_PS = Fk_L_padat_1*J_Pop_pddk_2 J_Limbah_M = Fk_Limbah_M*J_PakanG*Fk_time J_Limbah_M_1 = Fk_Limbah_M_1*J_PakanG_1*Fk_time_1 J_Limbah_M_2 = Fk_Limbah_M_2*J_PakanG_2*Fk_time_2 J_Limbah_M_3 = Fk_Limbah_M_3*J_PakanG_3*Fk_time_3 J_Limbah_M_4 = Fk_Limbah_M_4*J_PakanG_4*Fk_time_4 J_Limbah_M_5 = Fk_Limbah_M_5*J_PakanG_5*Fk_time_5 J_limbahKJA_MN_1 = Fk_LMN_4*J_Limbah_M_4 J_limbahKJA_MN_Ex = Fk_LMN*J_Limbah_M J_limbahKJA_MN_MD = Fk_LMN_2*J_Limbah_M_2 J_limbahKJA_MN_OP = Fk_LMN_3*J_Limbah_M_3 J_limbahKJA_MN_OPt = Fk_LMN_5*J_Limbah_M_5 J_limbahKJA_MN_PS = Fk_LMN_1*J_Limbah_M_1 J_LimbahKJAM_1 = Fk_Limbah_3*J_pakanT_3*Fk_waktu_3 J_LimbahKJAM_2 = Fk_Limbah_4*J_pakanT_4*Fk_waktu_4 J_LimbahKJAM_Ex = Fk_Limbah*J_pakanT*Fk_waktu J_LimbahKJAM_MD = Fk_Limbah_2*J_pakanT_2*Fk_waktu_2 J_LimbahKJAM_OPt = Fk_Limbah_5*J_pakanT_5*Fk_waktu_5 J_LimbahKJAM_PS = Fk_Limbah_1*J_pakanT_1*Fk_waktu_1 J_LTinja_PddkTot = Fk_tinja_1*J_Pddk_Tot J_LTinja_PddkTot_1 = Fk_tinja_3*J_Pddk_Tot_1 J_LTinja_PddkTot_2 = Fk_tinja_5*J_Pddk_Tot_2 J_LTinja_PddkTot_3 = Fk_tinja_7*J_Pddk_Tot_3 J_LTinja_PddkTot_4 = Fk_tinja_9*J_Pddk_Tot_4 J_LTinja_PddkTot_5 = Fk_tinja_11*J_Pddk_Tot_5 J_LTinja_RTP_1 = Fk_tinja_8*J_Pop_pddk_9 J_LTinja_RTP_Ex = Fk_tinja*J_Pop_pddk J_LTinja_RTP_MD = Fk_tinja_4*J_Pop_pddk_5 J_LTinja_RTP_OP = Fk_tinja_6*J_Pop_pddk_7 J_LTinja_RTP_OPt = Fk_tinja_10*J_Pop_pddk_11 J_LTinja_RTP_PS = Fk_tinja_2*J_Pop_pddk_3 J_PakanG = FCR_M*Berat_Biomassa_M J_PakanG_1 = FCR_M_1*Berat_Biomassa_M_1 J_PakanG_2 = FCR_M_2*Berat_Biomassa_M_2 J_PakanG_3 = FCR_M_3*Berat_Biomassa_M_3 J_PakanG_4 = FCR_M_4*Berat_Biomassa_M_4 J_PakanG_5 = FCR_M_5*Berat_Biomassa_M_5

228 202 J_pakanT = FCR*BBM_aw J_pakanT_1 = FCR_2*BBM_aw_1 J_pakanT_2 = FCR_4*BBM_aw_2 J_pakanT_3 = FCR_6*BBM_aw_3 J_pakanT_4 = FCR_8*BBM_aw_4 J_pakanT_5 = FCR_10*BBM_aw_5 J_Pop_pddk = Fk_Pddk*J_RTP_2 J_Pop_pddk_1 = Fk_Pddk_1*J_RTP_3 J_Pop_pddk_10 = Fk_Pddk_10*J_RTP_21 J_Pop_pddk_11 = Fk_Pddk_11*J_RTP_22 J_Pop_pddk_2 = Fk_Pddk_2*J_RTP_5 J_Pop_pddk_3 = Fk_Pddk_3*J_RTP_6 J_Pop_pddk_4 = Fk_Pddk_4*J_RTP_9 J_Pop_pddk_5 = Fk_Pddk_5*J_RTP_10 J_Pop_pddk_6 = Fk_Pddk_6*J_RTP_13 J_Pop_pddk_7 = Fk_Pddk_7*J_RTP_14 J_Pop_pddk_8 = Fk_Pddk_8*J_RTP_17 J_Pop_pddk_9 = Fk_Pddk_9*J_RTP_18 JL_tinjaPddkTMskS_1 = FkLtinjaMsk_S_3*J_LTinja_PddkTot_3 JL_tinjaPddkTMskS_2 = FkLtinjaMsk_S_4*J_LTinja_PddkTot_4 JL_tinjaPddkTMskS_Ex = FkLtinjaMsk_S*J_LTinja_PddkTot JL_tinjaPddkTMskS_MD = FkLtinjaMsk_S_2*J_LTinja_PddkTot_2 JL_tinjaPddkTMskS_OPt = FkLtinjaMsk_S_5*J_LTinja_PddkTot_5 JL_tinjaPddkTMskS_PS = FkLtinjaMsk_S_1*J_LTinja_PddkTot_1 JLimbah_Ay = Cons_ay*J_ayam*Cons_pengali JLimbah_Ay_1 = Cons_ay_1*J_ayam_1*Cons_pengali_1 JLimbah_Ay_2 = Cons_ay_2*J_ayam_2*Cons_pengali_2 JLimbah_Ay_3 = Cons_ay_3*J_ayam_3*Cons_pengali_3 JLimbah_Ay_4 = Cons_ay_4*J_ayam_4*Cons_pengali_4 JLimbah_Ay_5 = Cons_ay_5*J_ayam_5*Cons_pengali_5 JLimbah_Do = Cons_do*J_Domba*Cons_pengali JLimbah_Do_1 = Cons_do_1*J_Domba_1*Cons_pengali_1 JLimbah_Do_2 = Cons_do_2*J_Domba_2*Cons_pengali_2 JLimbah_Do_3 = Cons_do_3*J_Domba_3*Cons_pengali_3 JLimbah_Do_4 = Cons_do_4*J_Domba_4*Cons_pengali_4 JLimbah_Do_5 = Cons_do_5*J_Domba_5*Cons_pengali_5 JLimbah_It = Cons_it*J_itik*Cons_pengali JLimbah_It_1 = Cons_it_1*J_itik_1*Cons_pengali_1 JLimbah_It_2 = Cons_it_2*J_itik_2*Cons_pengali_2 JLimbah_It_3 = Cons_it_3*J_itik_3*Cons_pengali_3 JLimbah_It_4 = Cons_it_4*J_itik_4*Cons_pengali_4 JLimbah_It_5 = Cons_it_5*J_itik_5*Cons_pengali_5 JLimbah_sa = Cons_sa*J_Sapi*Cons_pengali JLimbah_sa_1 = Cons_sa_1*J_Sapi_1*Cons_pengali_1 JLimbah_sa_2 = Cons_sa_2*J_Sapi_2*Cons_pengali_2 JLimbah_sa_3 = Cons_sa_3*J_Sapi_3*Cons_pengali_3 JLimbah_sa_4 = Cons_sa_4*J_Sapi_4*Cons_pengali_4 JLimbah_sa_5 = Cons_sa_5*J_Sapi_5*Cons_pengali_5

229 203 JLN = FkN*BBM_aw*1/1000 JLN_1 = FkN_1*BBM_aw_1*1/1000 JLN_2 = FkN_2*BBM_aw_2*1/1000 JLN_3 = FkN_3*BBM_aw_3*1/1000 JLN_4 = FkN_4*BBM_aw_4*1/1000 JLN_5 = FkN_5*BBM_aw_5*1/1000 JLP = FkP*BBM_aw*1/1000 JLP_1 = FkP_1*BBM_aw_1*1/1000 JLP_2 = FkP_2*BBM_aw_2*1/1000 JLP_3 = FkP_3*BBM_aw_3*1/1000 JLP_4 = FkP_4*BBM_aw_4*1/1000 JLP_5 = FkP_5*BBM_aw_5*1/1000 KAAs = Fk_b_18*BPAs+Fk_a_18 KAAs_1 = Fk_b_36*BPAs_1+Fk_a_36 KAAs_2 = Fk_b_62*BPAs_2+Fk_a_62 KAAs_3 = Fk_b_88*BPAs_3+Fk_a_88 KAAs_4 = Fk_b_114*BPAs_4+Fk_a_114 KAAs_5 = Fk_b_140*BPAs_5+Fk_a_140 KABOD = Fk_b_24*BPBOD+Fk_a_23 KABOD_1 = Fk_b_35*BPBOD_1+Fk_a_35 KABOD_2 = Fk_b_61*BPBOD_2+Fk_a_61 KABOD_3 = Fk_b_87*BPBOD_3+Fk_a_87 KABOD_4 = Fk_b_113*BPBOD_4+Fk_a_113 KABOD_5 = Fk_b_139*BPBOD_5+Fk_a_139 KACd = Fk_b_16*BPCd-Fk_a_16 KACd_1 = Fk_b_32*BPCd_1-Fk_a_32 KACd_2 = Fk_b_58*BPCd_2-Fk_a_58 KACd_3 = Fk_b_84*BPCd_3-Fk_a_84 KACd_4 = Fk_b_110*BPCd_4-Fk_a_110 KACd_5 = Fk_b_136*BPCd_5-Fk_a_136 KACOD = Fk_b_23*BPCOD+Fk_a_22 KACOD_1 = Fk_b_33*BPCOD_1+Fk_a_33 KACOD_2 = Fk_b_59*BPCOD_2+Fk_a_59 KACOD_3 = Fk_b_85*BPCOD_3+Fk_a_85 KACOD_4 = Fk_b_111*BPCOD_4+Fk_a_111 KACOD_5 = Fk_b_137*BPCOD_5+Fk_a_137 KAF = Fk_b_19*BPF-Fk_a_19 KAF_1 = Fk_b_26*BPF_1-Fk_a_26 KAF_2 = Fk_b_52*BPF_2-Fk_a_52 KAF_3 = Fk_b_78*BPF_3-Fk_a_78 KAF_4 = Fk_b_104*BPF_4-Fk_a_104 KAF_5 = Fk_b_130*BPF_5-Fk_a_130 KAFe = Fk_b_17*BPFe+Fk_a_17 KAFe_1 = Fk_b_34*BPFe_1+Fk_a_34 KAFe_2 = Fk_b_60*BPFe_2+Fk_a_60 KAFe_3 = Fk_b_86*BPFe_3+Fk_a_86 KAFe_4 = Fk_b_112*BPFe_4+Fk_a_112 KAFe_5 = Fk_b_138*BPFe_5+Fk_a_138

230 204 KAMn = Fk_b_13*BPMn+Fk_a_14 KAMn_1 = Fk_b_27*BPMn_1+Fk_a_27 KAMn_2 = Fk_b_53*BPMn_2+Fk_a_53 KAMn_3 = Fk_b_79*BPMn_3+Fk_a_79 KAMn_4 = Fk_b_105*BPMn_4+Fk_a_105 KAMn_5 = Fk_b_131*BPMn_5+Fk_a_131 KANO3 = Fk_b_21*BPNO3+Fk_a_20 KANO3_1 = Fk_b_29*BPNO3_1+Fk_a_29 KANO3_2 = Fk_b_55*BPNO3_2+Fk_a_55 KANO3_3 = Fk_b_81*BPNO3_3+Fk_a_81 KANO3_4 = Fk_b_107*BPNO3_4+Fk_a_107 KANO3_5 = Fk_b_133*BPNO3_5+Fk_a_133 KAPb = Fk_b_15*BPPb+Fk_a_13 KAPb_1 = Fk_b_30*BPPb_1+Fk_a_30 KAPb_2 = Fk_b_56*BPPb_2+Fk_a_56 KAPb_3 = Fk_b_82*BPPb_3+Fk_a_82 KAPb_4 = Fk_b_108*BPPb_4+Fk_a_108 KAPb_5 = Fk_b_134*BPPb_5+Fk_a_134 KAPO4 = Fk_b_22*BPPO4-Fk_a_21 KAPO4_1 = Fk_b_31*BPPO4_1-Fk_a_31 KAPO4_2 = Fk_b_57*BPPO4_2-Fk_a_57 KAPO4_3 = Fk_b_83*BPPO4_3-Fk_a_83 KAPO4_4 = Fk_b_109*BPPO4_4-Fk_a_109 KAPO4_5 = Fk_b_135*BPPO4_5-Fk_a_135 KATDS = Fk_b_20*BPTDS+Fk_a_25 KATDS_1 = Fk_b_38*BPTDS_1+Fk_a_38 KATDS_2 = Fk_b_64*BPTDS_2+Fk_a_64 KATDS_3 = Fk_b_90*BPTDS_3+Fk_a_90 KATDS_4 = Fk_b_116*BPTDS_4+Fk_a_116 KATDS_5 = Fk_b_142*BPTDS_5+Fk_a_142 KATSS = Fk_b_25*BPTSS-Fk_a_24 KATSS_1 = Fk_b_37*BPTSS_1-Fk_a_37 KATSS_2 = Fk_b_63*BPTSS_2-Fk_a_63 KATSS_3 = Fk_b_89*BPTSS_3-Fk_a_89 KATSS_4 = Fk_b_115*BPTSS_4-Fk_a_115 KATSS_5 = Fk_b_141*BPTSS_5-Fk_a_141 KAZn = Fk_b_14*BPZn+Fk_a_15 KAZn_1 = Fk_b_28*BPZn_1+Fk_a_28 KAZn_2 = Fk_b_54*BPZn_2+Fk_a_54 KAZn_3 = Fk_b_80*BPZn_3+Fk_a_80 KAZn_4 = Fk_b_106*BPZn_4+Fk_a_106 KAZn_5 = Fk_b_132*BPZn_5+Fk_a_132 LHutan1 = IF(LHutan<=0,0,LHutan) LHutan1_1 = IF(LHutan_1<=0,0,LHutan_1) LHutan1_2 = IF(LHutan_2<=0,0,LHutan_2) LHutan1_3 = IF(LHutan_3<=0,0,LHutan_3) LHutan1_4 = IF(LHutan_4<=0,0,LHutan_4) LHutan1_5 = IF(LHutan_5<=0,0,LHutan_5)

231 205 LLBebas = L_Waduk_-(Luas_KJA+L_Bahaya+L_Lindung+LL_wisata) LLBebas_1 = L_Waduk_1- (Luas_KJA_1+L_Bahaya_1+L_Lindung_1+LL_wisata_1) LLBebas_2 = L_Waduk_2- (Luas_KJA_2+L_Bahaya_2+L_Lindung_2+LL_wisata_2) LLBebas_3 = L_Waduk_3- (Luas_KJA_3+L_Bahaya_3+L_Lindung_3+LL_wisata_3) LLBebas_4 = L_Waduk_4- (Luas_KJA_4+L_Bahaya_4+L_Lindung_4+LL_wisata_4) LLBebas_5 = L_Waduk_5- (Luas_KJA_5+L_Bahaya_5+L_Lindung_5+LL_wisata_5) LPmvsInd1 = IF(LPmVsInd<6080,LPmVsInd,6080) LPmvsInd1_1 = IF(LPmVsInd_1<6080,LPmVsInd_1,6080) LPmvsInd1_2 = IF(LPmVsInd_2<6080,LPmVsInd_2,6080) LPmvsInd1_3 = IF(LPmVsInd_3<6080,LPmVsInd_3,6080) LPmvsInd1_4 = IF(LPmVsInd_4<6080,LPmVsInd_4,6080) LPmvsInd1_5 = IF(LPmVsInd_5<6080,LPmVsInd_5,6080) LPmvsIndplusLPt = IF((LPmVsInd+LPt)<LDAS,LPmVsInd+LPt,0) LPmvsIndplusLPt_1 = IF((LPmVsInd_1+LPt_1)<LDAS_1,LPmVsInd_1+LPt_1,0) LPmvsIndplusLPt_2 = IF((LPmVsInd_2+LPt_2)<LDAS_2,LPmVsInd_2+LPt_2,0) LPmvsIndplusLPt_3 = IF((LPmVsInd_3+LPt_3)<LDAS_3,LPmVsInd_3+LPt_3,0) LPmvsIndplusLPt_4 = IF((LPmVsInd_4+LPt_4)<LDAS_4,LPmVsInd_4+LPt_4,0) LPmvsIndplusLPt_5 = IF((LPmVsInd_5+LPt_5)<LDAS_5,LPmVsInd_5+LPt_5,0) LPt1 = IF(LPt<6080,LPt,6080) LPt1_1 = IF(LPt_1<6080,LPt_1,6080) LPt1_2 = IF(LPt_2<6080,LPt_2,6080) LPt1_3 = IF(LPt_3<6080,LPt_3,6080) LPt1_4 = IF(LPt_4<6080,LPt_4,6080) LPt1_5 = IF(LPt_5<6080,LPt_5,6080) LTpplusTs = Luas_KJA+L_Bahaya+L_Lindung+LL_wisata LTpplusTs_1 = Luas_KJA_1+L_Bahaya_1+L_Lindung_1+LL_wisata_1 LTpplusTs_2 = Luas_KJA_2+L_Bahaya_2+L_Lindung_2+LL_wisata_2 LTpplusTs_3 = Luas_KJA_3+L_Bahaya_3+L_Lindung_3+LL_wisata_3 LTpplusTs_4 = Luas_KJA_4+L_Bahaya_4+L_Lindung_4+LL_wisata_4 LTpplusTs_5 = Luas_KJA_5+L_Bahaya_5+L_Lindung_5+LL_wisata_5 Luas_KJA = IF((Fk_Luas_KJA*J_KJA)<Luas_Usaha,Fk_Luas_KJA*J_KJA,Luas_Usaha) Luas_KJA_1 = IF((Fk_Luas_KJA_1*J_KJA_2)<Luas_Usaha_1,Fk_Luas_KJA_1*J_KJA_2,Luas _Usaha_1) Luas_KJA_2 = IF((Fk_Luas_KJA_2*J_KJA_4)<Luas_Usaha_2,Fk_Luas_KJA_2*J_KJA_4,Luas _Usaha_2)

232 206 Luas_KJA_3 = IF((Fk_Luas_KJA_3*J_KJA_6)<Luas_Usaha_3,Fk_Luas_KJA_3*J_KJA_6,Luas _Usaha_3) Luas_KJA_4 = IF((Fk_Luas_KJA_4*J_KJA_8)<Luas_Usaha_4,Fk_Luas_KJA_4*J_KJA_8,Luas _Usaha_4) Luas_KJA_5 = IF((Fk_Luas_KJA_5*J_KJA_10)<Luas_Usaha_5,Fk_Luas_KJA_5*J_KJA_10,L uas_usaha_5) Pr_LKJA = (1-Luas_KJA/Luas_Usaha) Pr_LKJA_1 = (1-Luas_KJA_1/Luas_Usaha_1) Pr_LKJA_2 = (1-Luas_KJA_2/Luas_Usaha_2) Pr_LKJA_3 = (1-Luas_KJA_3/Luas_Usaha_3) Pr_LKJA_4 = (1-Luas_KJA_4/Luas_Usaha_4) Pr_LKJA_5 = (1-Luas_KJA_5/Luas_Usaha_5) PrSelLvsLKJAM = (SelLKJAM_vs_LKJAMN/J_LimbahKJAM_Ex)*100% PrSelLvsLKJAM_1 = (SelLKJAM_vs_LKJAMN_1/J_LimbahKJAM_PS)*100% PrSelLvsLKJAM_2 = (SelLKJAM_vs_LKJAMN_2/J_LimbahKJAM_MD)*100% PrSelLvsLKJAM_3 = (SelLKJAM_vs_LKJAMN_3/J_LimbahKJAM_1)*100% PrSelLvsLKJAM_4 = (SelLKJAM_vs_LKJAMN_4/J_LimbahKJAM_2)*100% PrSelLvsLKJAM_5 = (SelLKJAM_vs_LKJAMN_5/J_LimbahKJAM_OPt)*100% SelLKJAM_vs_LKJAMN = J_LimbahKJAM_Ex-J_limbahKJA_MN_Ex SelLKJAM_vs_LKJAMN_1 = J_LimbahKJAM_PS- J_limbahKJA_MN_PS SelLKJAM_vs_LKJAMN_2 = J_LimbahKJAM_MD- J_limbahKJA_MN_MD SelLKJAM_vs_LKJAMN_3 = J_LimbahKJAM_1-J_limbahKJA_MN_OP SelLKJAM_vs_LKJAMN_4 = J_LimbahKJAM_2-J_limbahKJA_MN_1 SelLKJAM_vs_LKJAMN_5 = J_LimbahKJAM_OPt- J_limbahKJA_MN_OPt TBLPupuk_1 = TBLpupukN_4+TBLpupukP_4 TBLPupuk_Ex = TBLpupukN+TBLpupukP TBLPupuk_MD = TBLpupukN_2+TBLpupukP_2 TBLPupuk_OP = TBLpupukN_3+TBLpupukP_3 TBLPupuk_OPt = TBLpupukN_5+TBLpupukP_5 TBLPupuk_PS = TBLpupukN_1+TBLpupukP_1 TBLpupukN = BL_pupukNMHj_MS+BL_pupukNMKm_MS TBLpupukN_1 = BL_pupukNMHj_MS_1+BL_pupukNMKm_MS_1 TBLpupukN_2 = BL_pupukNMHj_MS_2+BL_pupukNMKm_MS_2 TBLpupukN_3 = BL_pupukNMHj_MS_3+BL_pupukNMKm_MS_3 TBLpupukN_4 = BL_pupukNMHj_MS_4+BL_pupukNMKm_MS_4 TBLpupukN_5 = BL_pupukNMHj_MS_5+BL_pupukNMKm_MS_5

233 207 TBLpupukP = BL_pupukPMHj_MS+BL_pupukPMKm_MS TBLpupukP_1 = BL_pupukPMHj_MS_1+BL_pupukPMKm_MS_1 TBLpupukP_2 = BL_pupukPMHj_MS_2+BL_pupukPMKm_MS_2 TBLpupukP_3 = BL_pupukPMHj_MS_3+BL_pupukPMKm_MS_3 TBLpupukP_4 = BL_pupukPMHj_MS_4+BL_pupukPMKm_MS_4 TBLpupukP_5 = BL_pupukPMHj_MS_5+BL_pupukPMKm_MS_5 TLTernak_MskS_1 = pengali_lt_4*totlternak_4 TLTernak_MskS_EX = pengali_lt*totlternak TLTernak_MskS_MD = pengali_lt_2*totlternak_2 TLTernak_MskS_OP = pengali_lt_3*totlternak_3 TLTernak_MskS_OPt = pengali_lt_5*totlternak_5 TLTernak_MskS_PS = pengali_lt_1*totlternak_1 Tot_B_limbah = BL_In_Ex+J_L_padat_RTP_Ex+J_LimbahKJAM_Ex+J_LTinja_RTP_Ex+TLTe rnak_msks_ex+tblpupuk_ex+j_limbahkja_mn_ex+bl_pdt_msks_ex+jl_ tinjapddktmsks_ex Tot_B_limbah_1 = BL_In_1+J_L_padat_RTP_1+J_LimbahKJAM_2+J_LTinja_RTP_1+TLTernak_ MskS_1+TBLPupuk_1+J_limbahKJA_MN_1+BL_pdt_MskS_1+JL_tinjaPddkT MskS_2 Tot_B_limbah_MD = BL_In_MD+J_L_padat_RTP_MD+J_LimbahKJAM_MD+J_LTinja_RTP_MD+ TLTernak_MskS_MD+TBLPupuk_MD+J_limbahKJA_MN_MD+BL_pdt_MskS _MD+JL_tinjaPddkTMskS_MD Tot_B_limbah_OP = BL_In_OP+J_L_padat_RTP_OP+J_LimbahKJAM_1+J_LTinja_RTP_OP+TLTer nak_msks_op+tblpupuk_op+j_limbahkja_mn_op+bl_pdt_msks_op+jl _tinjapddktmsks_1 Tot_B_limbah_OPt = BL_In_OPt+J_L_padat_RTP_OPt+J_LimbahKJAM_OPt+J_LTinja_RTP_OPt+T LTernak_MskS_OPt+TBLPupuk_OPt+J_limbahKJA_MN_OPt+BL_pdt_MskS_ OPt+JL_tinjaPddkTMskS_OPt Tot_B_limbah_PS = BL_In_PS+J_L_padat_RTP_PS+J_LimbahKJAM_PS+J_LTinja_RTP_PS+TLTe rnak_msks_ps+tblpupuk_ps+j_limbahkja_mn_ps+bl_pdt_msks_ps+jl_t injapddktmsks_ps Tot_B_limbah_Selfp_2 = Fk_Sp_4*Tot_B_limbah_1 Tot_B_limbah_Selfp_MD = Fk_Sp_2*Tot_B_limbah_MD Tot_B_limbah_Selfp_OP = Fk_Sp_3*Tot_B_limbah_OP Tot_B_limbah_Selfp_OPt = Fk_Sp_5*Tot_B_limbah_OPt Tot_B_limbah_Selfp_PS = Fk_Sp_1*Tot_B_limbah_PS Tot_B_limbah_SelfpEx = Fk_Sp*Tot_B_limbah Tot_BP = BPAs+BPBOD+BPCd+BPMn+BPCOD+BPF+BPFe+BPNO3+BPPb+BPPO4+B PTDS+BPTSS+BPZn Tot_BP_1 = KAAs+KABOD+KACd+KAMn+KACOD+KAF+KAFe+KANO3+KAPb+KAP O4+KATDS+KATSS+KAZn

234 208 Tot_BP_2 = BPAs_4+BPBOD_4+BPCd_4+BPMn_4+BPCOD_4+BPF_4+BPFe_4+BPNO3_ 4+BPPb_4+BPPO4_4+BPTDS_4+BPTSS_4+BPZn_4 Tot_BP_3 = KAAs_1+KABOD_1+KACd_1+KAMn_1+KACOD_1+KAF_1+KAFe_1+KAN O3_1+KAPb_1+KAPO4_1+KATDS_1+KATSS_1+KAZn_1 Tot_BP_4 = KAAs_2+KABOD_2+KACd_2+KAMn_2+KACOD_2+KAF_2+KAFe_2+KAN O3_2+KAPb_2+KAPO4_2+KATDS_2+KATSS_2+KAZn_2 Tot_BP_5 = KAAs_3+KABOD_3+KACd_3+KAMn_3+KACOD_3+KAF_3+KAFe_3+KAN O3_3+KAPb_3+KAPO4_3+KATDS_3+KATSS_3+KAZn_3 Tot_BP_6 = KAAs_4+KABOD_4+KACd_4+KAMn_4+KACOD_4+KAF_4+KAFe_4+KAN O3_4+KAPb_4+KAPO4_4+KATDS_4+KATSS_4+KAZn_4 Tot_BP_7 = BPAs_5+BPBOD_5+BPCd_5+BPMn_5+BPCOD_5+BPF_5+BPFe_5+BPNO3_ 5+BPPb_5+BPPO4_5+BPTDS_5+BPTSS_5+BPZn_5 Tot_BP_8 = KAAs_5+KABOD_5+KACd_5+KAMn_5+KACOD_5+KAF_5+KAFe_5+KAN O3_5+KAPb_5+KAPO4_5+KATDS_5+KATSS_5+KAZn_5 Tot_BP_MD = BPAs_2+BPBOD_2+BPCd_2+BPMn_2+BPCOD_2+BPF_2+BPFe_2+BPNO3_ 2+BPPb_2+BPPO4_2+BPTDS_2+BPTSS_2+BPZn_2 Tot_BP_OP = BPAs_3+BPBOD_3+BPCd_3+BPMn_3+BPCOD_3+BPF_3+BPFe_3+BPNO3_ 3+BPPb_3+BPPO4_3+BPTDS_3+BPTSS_3+BPZn_3 Tot_BP_PS = BPAs_1+BPBOD_1+BPCd_1+BPMn_1+BPCOD_1+BPF_1+BPFe_1+BPNO3_ 1+BPPb_1+BPPO4_1+BPTDS_1+BPTSS_1+BPZn_1 TotLTernak = JLimbah_Ay+JLimbah_Do+JLimbah_It+JLimbah_sa TotLTernak_1 = JLimbah_Ay_1+JLimbah_Do_1+JLimbah_It_1+JLimbah_sa_1 TotLTernak_2 = JLimbah_Ay_2+JLimbah_Do_2+JLimbah_It_2+JLimbah_sa_2 TotLTernak_3 = JLimbah_Ay_3+JLimbah_Do_3+JLimbah_It_3+JLimbah_sa_3 TotLTernak_4 = JLimbah_Ay_4+JLimbah_Do_4+JLimbah_It_4+JLimbah_sa_4 TotLTernak_5 = JLimbah_Ay_5+JLimbah_Do_5+JLimbah_It_5+JLimbah_sa_5 const BM_As = 0.05 const BM_As_1 = 0.05 const BM_As_2 = 0.05 const BM_As_3 = 0.05

235 209 const BM_As_4 = 0.05 const BM_As_5 = 0.05 const BM_BOD = 2 const BM_BOD_1 = 2 const BM_BOD_2 = 2 const BM_BOD_3 = 2 const BM_BOD_4 = 2 const BM_BOD_5 = 2 const BM_Cd = const BM_Cd_1 = const BM_Cd_2 = const BM_Cd_3 = const BM_Cd_4 = const BM_Cd_5 = const BM_COD = 10 const BM_COD_1 = 10 const BM_COD_2 = 10 const BM_COD_3 = 10 const BM_COD_4 = 10 const BM_COD_5 = 10 const BM_F = 0.5 const BM_F_1 = 0.5 const BM_F_2 = 0.5 const BM_F_3 = 0.5

236 210 const BM_F_4 = 0.5 const BM_F_5 = 0.5 const BM_Fe = 0.3 const BM_Fe_1 = 0.3 const BM_Fe_2 = 0.3 const BM_Fe_3 = 0.3 const BM_Fe_4 = 0.3 const BM_Fe_5 = 0.3 const BM_Mn = 0.1 const BM_Mn_1 = 0.1 const BM_Mn_2 = 0.1 const BM_Mn_3 = 0.1 const BM_Mn_4 = 0.1 const BM_Mn_5 = 0.1 const BM_NO3 = 10 const BM_NO3_1 = 10 const BM_NO3_2 = 10 const BM_NO3_3 = 10 const BM_NO3_4 = 10 const BM_NO3_5 = 10 const BM_Pb = 0.03 const BM_Pb_1 = 0.03 const BM_Pb_2 = 0.03 const BM_Pb_3 = 0.03

237 211 const BM_Pb_4 = 0.03 const BM_Pb_5 = 0.03 const BM_PO4 = const BM_PO4_1 = const BM_PO4_2 = const BM_PO4_3 = const BM_PO4_4 = const BM_PO4_5 = const BM_TDS = 1000 const BM_TDS_1 = 1000 const BM_TDS_2 = 1000 const BM_TDS_3 = 1000 const BM_TDS_4 = 1000 const BM_TDS_5 = 1000 const BM_TSS = 50 const BM_TSS_1 = 50 const BM_TSS_2 = 50 const BM_TSS_3 = 50 const BM_TSS_4 = 50 const BM_TSS_5 = 50 const BM_Zn = 0.05 const BM_Zn_1 = 0.05 const BM_Zn_2 = 0.05 const BM_Zn_3 = 0.05

238 212 const BM_Zn_4 = 0.05 const BM_Zn_5 = 0.05 const Cons_ay = 182 const Cons_ay_1 = 182 const Cons_ay_2 = 182 const Cons_ay_3 = 182 const Cons_ay_4 = 182 const Cons_ay_5 = 182 const Cons_do = 2700 const Cons_do_1 = 2700 const Cons_do_2 = 2700 const Cons_do_3 = 2700 const Cons_do_4 = 2700 const Cons_do_5 = 2700 const Cons_it = 182 const Cons_it_1 = 182 const Cons_it_2 = 182 const Cons_it_3 = 182 const Cons_it_4 = 182 const Cons_it_5 = 182 const Cons_pengali = 1/ *365 const Cons_pengali_1 = 1/ *365 const Cons_pengali_2 = 1/ *365 const Cons_pengali_3 = 1/ *365 const Cons_pengali_4 = 1/ *365 const Cons_pengali_5 = 1/ *365 const Cons_sa = const Cons_sa_1 = const Cons_sa_2 = const Cons_sa_3 = const Cons_sa_4 = const Cons_sa_5 = const FCR = 1.7 const FCR_10 = 1.7 const FCR_2 = 1.7 const FCR_4 = 1.7 const FCR_6 = 1.7 const FCR_8 = 1.7 const FCR_M = 1.7 const FCR_M_1 = 1.7 const FCR_M_2 = 1.7 const FCR_M_3 = 1.7 const FCR_M_4 = 1.7 const FCR_M_5 = 1.7 const Fj_LKJA = const Fj_LKJA_1 =

239 213 const Fj_LKJA_2 = const Fj_LKJA_3 = const Fj_LKJA_4 = const Fj_LKJA_5 = const Fk_a = const Fk_a_1 = const Fk_a_10 = const Fk_a_100 = const Fk_a_101 = const Fk_a_102 = const Fk_a_103 = const Fk_a_104 = const Fk_a_105 = const Fk_a_106 = const Fk_a_107 = const Fk_a_108 = const Fk_a_109 = const Fk_a_11 = const Fk_a_110 = const Fk_a_111 = const Fk_a_112 = const Fk_a_113 = const Fk_a_114 = const Fk_a_115 = const Fk_a_116 = const Fk_a_117 = const Fk_a_118 = const Fk_a_119 = const Fk_a_12 = const Fk_a_120 = const Fk_a_121 = const Fk_a_122 = const Fk_a_123 = const Fk_a_124 = const Fk_a_125 = const Fk_a_126 = const Fk_a_127 = const Fk_a_128 = const Fk_a_129 = const Fk_a_13 = const Fk_a_130 = const Fk_a_131 = const Fk_a_132 = const Fk_a_133 =

240 214 const Fk_a_134 = const Fk_a_135 = const Fk_a_136 = const Fk_a_137 = const Fk_a_138 = const Fk_a_139 = const Fk_a_14 = const Fk_a_140 = const Fk_a_141 = const Fk_a_142 = const Fk_a_143 = const Fk_a_144 = const Fk_a_145 = const Fk_a_146 = const Fk_a_147 = const Fk_a_148 = const Fk_a_149 = const Fk_a_15 = const Fk_a_150 = const Fk_a_151 = const Fk_a_152 = const Fk_a_153 = const Fk_a_154 = const Fk_a_155 = const Fk_a_16 = const Fk_a_17 = const Fk_a_18 = const Fk_a_19 = const Fk_a_2 = const Fk_a_20 = const Fk_a_21 = const Fk_a_22 = const Fk_a_23 = const Fk_a_24 = const Fk_a_25 = const Fk_a_26 = const Fk_a_27 = const Fk_a_28 = const Fk_a_29 = const Fk_a_3 = const Fk_a_30 = const Fk_a_31 = const Fk_a_32 = const Fk_a_33 = const Fk_a_34 = const Fk_a_35 = const Fk_a_36 = const Fk_a_37 =

241 const Fk_a_38 = const Fk_a_39 = const Fk_a_4 = const Fk_a_40 = const Fk_a_41 = const Fk_a_42 = const Fk_a_43 = const Fk_a_44 = const Fk_a_45 = const Fk_a_46 = const Fk_a_47 = const Fk_a_48 = const Fk_a_49 = const Fk_a_5 = const Fk_a_50 = const Fk_a_51 = const Fk_a_52 = const Fk_a_53 = const Fk_a_54 = const Fk_a_55 = const Fk_a_56 = const Fk_a_57 = const Fk_a_58 = const Fk_a_59 = const Fk_a_6 = const Fk_a_60 = const Fk_a_61 = const Fk_a_62 = const Fk_a_63 = const Fk_a_64 = const Fk_a_65 = const Fk_a_66 = const Fk_a_67 = const Fk_a_68 = const Fk_a_69 = const Fk_a_7 = const Fk_a_70 = const Fk_a_71 = const Fk_a_72 = const Fk_a_73 = const Fk_a_74 = const Fk_a_75 = const Fk_a_76 = const Fk_a_77 = const Fk_a_78 = const Fk_a_79 = const Fk_a_8 = const Fk_a_80 =

242 216 const Fk_a_81 = const Fk_a_82 = const Fk_a_83 = const Fk_a_84 = const Fk_a_85 = const Fk_a_86 = const Fk_a_87 = const Fk_a_88 = const Fk_a_89 = const Fk_a_9 = const Fk_a_90 = const Fk_a_91 = const Fk_a_92 = const Fk_a_93 = const Fk_a_94 = const Fk_a_95 = const Fk_a_96 = const Fk_a_97 = const Fk_a_98 = const Fk_a_99 = const Fk_Ay = 2.31% const Fk_Ay_1 = 2.31% const Fk_Ay_2 = 2.31% const Fk_Ay_MD = 1% const Fk_b = const Fk_b_1 = const Fk_b_10 = 2E-05 const Fk_b_100 = const Fk_b_101 = const Fk_b_102 = const Fk_b_103 = const Fk_b_104 = const Fk_b_105 = const Fk_b_106 = const Fk_b_107 = const Fk_b_108 = const Fk_b_109 = const Fk_b_11 = const Fk_b_110 = const Fk_b_111 = const Fk_b_112 = const Fk_b_113 = const Fk_b_114 = const Fk_b_115 = const Fk_b_116 = const Fk_b_117 = const Fk_b_118 = const Fk_b_119 = 2E-05

243 const Fk_b_12 = const Fk_b_120 = 2E-05 const Fk_b_121 = const Fk_b_122 = 3E-05 const Fk_b_123 = const Fk_b_124 = const Fk_b_125 = const Fk_b_126 = const Fk_b_127 = const Fk_b_128 = const Fk_b_129 = const Fk_b_13 = const Fk_b_130 = const Fk_b_131 = const Fk_b_132 = const Fk_b_133 = const Fk_b_134 = const Fk_b_135 = const Fk_b_136 = const Fk_b_137 = const Fk_b_138 = const Fk_b_139 = const Fk_b_14 = const Fk_b_140 = const Fk_b_141 = const Fk_b_142 = const Fk_b_143 = const Fk_b_144 = const Fk_b_145 = 2E-05 const Fk_b_146 = 2E-05 const Fk_b_147 = const Fk_b_148 = 3E-05 const Fk_b_149 = const Fk_b_15 = const Fk_b_150 = const Fk_b_151 = const Fk_b_152 = const Fk_b_153 = const Fk_b_154 = const Fk_b_155 = const Fk_b_16 = const Fk_b_17 = const Fk_b_18 = const Fk_b_19 = const Fk_b_2 = const Fk_b_20 = const Fk_b_21 = const Fk_b_22 =

244 218 const Fk_b_23 = const Fk_b_24 = const Fk_b_25 = const Fk_b_26 = const Fk_b_27 = const Fk_b_28 = const Fk_b_29 = const Fk_b_3 = const Fk_b_30 = const Fk_b_31 = const Fk_b_32 = const Fk_b_33 = const Fk_b_34 = const Fk_b_35 = const Fk_b_36 = const Fk_b_37 = const Fk_b_38 = const Fk_b_39 = const Fk_b_4 = const Fk_b_40 = const Fk_b_41 = 2E-05 const Fk_b_42 = 2E-05 const Fk_b_43 = const Fk_b_44 = 3E-05 const Fk_b_45 = const Fk_b_46 = const Fk_b_47 = const Fk_b_48 = const Fk_b_49 = const Fk_b_5 = const Fk_b_50 = const Fk_b_51 = const Fk_b_52 = const Fk_b_53 = const Fk_b_54 = const Fk_b_55 = const Fk_b_56 = const Fk_b_57 = const Fk_b_58 = const Fk_b_59 = const Fk_b_6 = const Fk_b_60 = const Fk_b_61 = const Fk_b_62 = const Fk_b_63 = const Fk_b_64 = const Fk_b_65 = const Fk_b_66 =

245 const Fk_b_67 = 2E-05 const Fk_b_68 = 2E-05 const Fk_b_69 = const Fk_b_7 = 3E-05 const Fk_b_70 = 3E-05 const Fk_b_71 = const Fk_b_72 = const Fk_b_73 = const Fk_b_74 = const Fk_b_75 = const Fk_b_76 = const Fk_b_77 = const Fk_b_78 = const Fk_b_79 = const Fk_b_8 = const Fk_b_80 = const Fk_b_81 = const Fk_b_82 = const Fk_b_83 = const Fk_b_84 = const Fk_b_85 = const Fk_b_86 = const Fk_b_87 = const Fk_b_88 = const Fk_b_89 = const Fk_b_9 = 2E-05 const Fk_b_90 = const Fk_b_91 = const Fk_b_92 = const Fk_b_93 = 2E-05 const Fk_b_94 = 2E-05 const Fk_b_95 = const Fk_b_96 = 3E-05 const Fk_b_97 = const Fk_b_98 = const Fk_b_99 = const Fk_BL_pdt_MskS = 6.4% const Fk_BL_pdt_MskS_1 = 6.4% const Fk_BL_pdt_MskS_2 = 6.4% const Fk_BL_pdt_MskS_3 = 6.4% const Fk_BL_pdt_MskS_4 = 6.4% const Fk_BL_pdt_MskS_5 = 6.4% const Fk_Dom = 1.62% const Fk_Dom_1 = 1.62% const Fk_Dom_2 = 1.62% const Fk_Dom_MD = 1% const Fk_FCR =

246 220 const Fk_FCR_1 = const Fk_FCR_2 = const Fk_FCR_3 = const Fk_FCR_4 = const Fk_FCR_5 = const Fk_In = 3.41% const Fk_In_1 = 3.41% const Fk_In_2 = 3.41% const Fk_In_3 = 3.41% const Fk_In_OP = 2% const Fk_In_OPt = 2% const Fk_In2 = 2% const Fk_In2_1 = 2% const Fk_In2_2 = 2% const Fk_In2_3 = 2% const Fk_In2_4 = 2% const Fk_In2_5 = 2% const Fk_It = 1.67% const Fk_It_1 = 1.67% const Fk_It_2 = 1.67% const Fk_It_MD = 1% const Fk_KJA_1 = 8 const Fk_KJA_2 = 8 const Fk_KJA_3 = 8 const Fk_KJA_4_OPt = 4 const Fk_KJA_Ex = 8 const Fk_KJA_PS = 4 const Fk_L_padat = 0.6*1/1000 const Fk_L_padat_1 = 0.6*1/1000 const Fk_L_padat_2 = 0.6*1/1000 const Fk_L_padat_3 = 0.6*1/1000 const Fk_L_padat_4 = 0.6*1/1000 const Fk_L_padat_5 = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt_1 = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt_2 = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt_3 = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt_4 = 0.6*1/1000 const Fk_limb pdt_5 = 0.6*1/1000 const Fk_Limbah = 30% const Fk_Limbah_1 = 30% const Fk_Limbah_2 = 30% const Fk_Limbah_3 = 30%

247 const Fk_Limbah_4 = 30% const Fk_Limbah_5 = 30% const Fk_Limbah_M = 30% const Fk_Limbah_M_1 = 30% const Fk_Limbah_M_2 = 30% const Fk_Limbah_M_3 = 30% const Fk_Limbah_M_4 = 30% const Fk_Limbah_M_5 = 30% const Fk_LMN = 30% const Fk_LMN_1 = 30% const Fk_LMN_2 = 30% const Fk_LMN_3 = 30% const Fk_LMN_4 = 30% const Fk_LMN_5 = 30% const Fk_Luas_KJA = 7*7*(1/10000) const Fk_Luas_KJA_1 = 7*7*(1/10000) const Fk_Luas_KJA_2 = 7*7*(1/10000) const Fk_Luas_KJA_3 = 7*7*(1/10000) const Fk_Luas_KJA_4 = 7*7*(1/10000) const Fk_Luas_KJA_5 = 7*7*(1/10000) const Fk_NHj_MS = 20% const Fk_NHj_MS_1 = 20% const Fk_NHj_MS_2 = 20% const Fk_NHj_MS_3 = 20% const Fk_NHj_MS_4 = 20% const Fk_NHj_MS_5 = 20% const Fk_NKm_MS = 5% const Fk_NKm_MS_1 = 5% const Fk_NKm_MS_2 = 5% const Fk_NKm_MS_3 = 5% const Fk_NKm_MS_4 = 5% const Fk_NKm_MS_5 = 5% const Fk_Pddk = 4 const Fk_Pddk_1 = 4 const Fk_Pddk_10 = 4 const Fk_Pddk_11 = 4 const Fk_Pddk_2 = 4 const Fk_Pddk_3 = 4 const Fk_Pddk_4 = 4 const Fk_Pddk_5 = 4 const Fk_Pddk_6 = 4 const Fk_Pddk_7 = 4 const Fk_Pddk_8 = 4 const Fk_Pddk_9 = 4 const Fk_Pddk_Tot = 1.5% const Fk_Pddk_Tot_1 = 1.5% const Fk_Pddk_Tot_2 = 1.5% const Fk_Pddk_Tot_3 = 1.5% 221

248 222 const Fk_Pddk_Tot_4 = 1.5% const Fk_Pddk_Tot_OPt = 1% const Fk_pengali = 1400 const Fk_pengali_1 = 1400 const Fk_pengali_2 = 1400 const Fk_pengali_3 = 1400 const Fk_pengali_4 = 1400 const Fk_pengali_5 = 1400 const Fk_pengali_M = 1400 const Fk_pengali_M_1 = 1400 const Fk_pengali_M_2 = 1400 const Fk_pengali_M_3 = 1400 const Fk_pengali_M_4 = 1400 const Fk_pengali_M_5 = 1400 const Fk_pengali_NL = 455 const Fk_pengali_NL_1 = 455 const Fk_pengali_NL_2 = 455 const Fk_pengali_NL_3 = 455 const Fk_pengali_NL_4 = 455 const Fk_pengali_NL_5 = 455 const Fk_PHj_MS = 20% const Fk_PHj_MS_1 = 20% const Fk_PHj_MS_2 = 20% const Fk_PHj_MS_3 = 20% const Fk_PHj_MS_4 = 20% const Fk_PHj_MS_5 = 20% const Fk_PKm_MS = 5% const Fk_PKm_MS_1 = 5% const Fk_PKm_MS_2 = 5% const Fk_PKm_MS_3 = 5% const Fk_PKm_MS_4 = 5% const Fk_PKm_MS_5 = 5% const Fk_pupuk = 0.02 const Fk_pupuk_1 = 0.02 const Fk_pupuk_2 = 0.02 const Fk_pupuk_3 = 0.02 const Fk_pupuk_OP = 0.01 const Fk_pupuk_OPt = 0.01 const Fk_RPH = 3.41% const Fk_RPH_1 = 3.41% const Fk_RPH_2 = 3.41% const Fk_RPH_3 = 3.41% const Fk_RPH_OP = 2% const Fk_RPH_OPt = 2% const Fk_RPH2 = 2% const Fk_RPH2_1 = 2% const Fk_RPH2_2 = 2% const Fk_RPH2_3 = 2%

249 223 const Fk_RPH2_4 = 2% const Fk_RPH2_5 = 2% const Fk_RTP_1 = const Fk_RTP_2 = const Fk_RTP_3 = const Fk_RTP_4_OPt = 0.01 const Fk_RTP_Ex = const Fk_RTP_PS = 0.01 const Fk_Sa = 2.06% const Fk_Sa_1 = 2.06% const Fk_Sa_2 = 2.06% const Fk_Sa_MD = 1% const Fk_Sp = 30% const Fk_Sp_1 = 30% const Fk_Sp_2 = 30% const Fk_Sp_3 = 30% const Fk_Sp_4 = 30% const Fk_Sp_5 = 30% const Fk_time = 4 const Fk_time_1 = 4 const Fk_time_2 = 4 const Fk_time_3 = 4 const Fk_time_4 = 4 const Fk_time_5 = 4 const Fk_tinja = const Fk_tinja_1 = const Fk_tinja_10 = const Fk_tinja_11 = const Fk_tinja_2 = const Fk_tinja_3 = const Fk_tinja_4 = const Fk_tinja_5 = const Fk_tinja_6 = const Fk_tinja_7 =

250 224 const Fk_tinja_8 = const Fk_tinja_9 = const Fk_Tr_3 = 1% const Fk_Tr_OPt = 1% const Fk_waktu = 3 const Fk_waktu_1 = 3 const Fk_waktu_2 = 3 const Fk_waktu_3 = 3 const Fk_waktu_4 = 3 const Fk_waktu_5 = 3 const FkLPmvsInd = const FkLPmvsInd_1 = const FkLPmvsInd_2 = const FkLPmvsInd_3 = const FkLPmvsInd_4 = const FkLPmvsInd_5 = const FkLPt = const FkLPt_1 = const FkLPt_2 = const FkLPt_3 = const FkLPt_4 = const FkLPt_5 = const FkLtinjaMsk_S = 30% const FkLtinjaMsk_S_1 = 30% const FkLtinjaMsk_S_2 = 30% const FkLtinjaMsk_S_3 = 30% const FkLtinjaMsk_S_4 = 30% const FkLtinjaMsk_S_5 = 30% const FkN = const FkN_1 = const FkN_2 = const FkN_3 = const FkN_4 = const FkN_5 = const FkP = const FkP_1 = const FkP_2 = const FkP_3 = const FkP_4 = const FkP_5 = const KAs_As = const KAs_As_1 = const KAs_As_2 =

251 225 const KAs_As_3 = const KAs_As_4 = const KAs_As_5 = const KAs_BOD = const KAs_BOD_1 = const KAs_BOD_2 = const KAs_BOD_3 = const KAs_BOD_4 = const KAs_BOD_5 = const KAs_Cd = const KAs_Cd_1 = const KAs_Cd_2 = const KAs_Cd_3 = const KAs_Cd_4 = const KAs_Cd_5 = const KAs_COD = const KAs_COD_1 = const KAs_COD_2 = const KAs_COD_3 = const KAs_COD_4 = const KAs_COD_5 = const KAs_F = const KAs_F_1 = const KAs_F_2 = 108.7

252 226 const KAs_F_3 = const KAs_F_4 = const KAs_F_5 = const KAs_Fe = const KAs_Fe_1 = const KAs_Fe_2 = const KAs_Fe_3 = const KAs_Fe_4 = const KAs_Fe_5 = const KAs_Mn = const KAs_Mn_1 = const KAs_Mn_2 = const KAs_Mn_3 = const KAs_Mn_4 = const KAs_Mn_5 = const KAs_NO3 = const KAs_NO3_1 = const KAs_NO3_2 = const KAs_NO3_3 = const KAs_NO3_4 = const KAs_NO3_5 = const KAs_Pb = const KAs_Pb_1 = const KAs_Pb_2 =

253 227 const KAs_Pb_3 = const KAs_Pb_4 = const KAs_Pb_5 = const KAs_PO4 = const KAs_PO4_1 = const KAs_PO4_2 = const KAs_PO4_3 = const KAs_PO4_4 = const KAs_PO4_5 = const KAs_TDS = const KAs_TDS_1 = const KAs_TDS_2 = const KAs_TDS_3 = const KAs_TDS_4 = const KAs_TDS_5 = const KAs_TSS = const KAs_TSS_1 = const KAs_TSS_2 = const KAs_TSS_3 = const KAs_TSS_4 = const KAs_TSS_5 = const KAs_Zn = const KAs_Zn_1 = const KAs_Zn_2 =

254 228 const KAs_Zn_3 = const KAs_Zn_4 = const KAs_Zn_5 = const L_Bahaya = 95 const L_Bahaya_1 = 95 const L_Bahaya_2 = 95 const L_Bahaya_3 = 95 const L_Bahaya_4 = 95 const L_Bahaya_5 = 95 const L_Lindung = 146 const L_Lindung_1 = 146 const L_Lindung_2 = 146 const L_Lindung_3 = 146 const L_Lindung_4 = 146 const L_Lindung_5 = 146 const L_Waduk_ = 4664 const L_Waduk_1 = 4664 const L_Waduk_2 = 4664 const L_Waduk_3 = 4664 const L_Waduk_4 = 4664 const L_Waduk_5 = 4664 const LDAS = 6080 const LDAS_1 = 6080 const LDAS_2 = 6080 const LDAS_3 = 6080 const LDAS_4 = 6080 const LDAS_5 = 6080 const LL_wisata = 214 const LL_wisata_1 = 214 const LL_wisata_2 = 214 const LL_wisata_3 = 214 const LL_wisata_4 = 214 const LL_wisata_5 = 214 const Luas_Usaha = 2500 const Luas_Usaha_1 = 2500 const Luas_Usaha_2 = 2500 const Luas_Usaha_3 = 2500 const Luas_Usaha_4 = 2500 const Luas_Usaha_5 = 2500 const pengali_lt = 20% const pengali_lt_1 = 20% const pengali_lt_2 = 20% const pengali_lt_3 = 20% const pengali_lt_4 = 20% const pengali_lt_5 = 20%

255 229 LAMPIRAN 2 Perangkat lunak model pengelolaan Waduk Cirata (MoPeCi) A. Konfigurasi Program Program terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem menu utama, subsistem sumber pencemar, subsistem beban pencemar, subsistem kualitas air dan subsistem causal loop. B. Instalasi Program Perangkat lunak yang digunakan adalah Powersim Powersim 2005 membutuhkan spesifikasi komputer yaitu Windows NT/XP/Vista, memori RAM 256 MB, hardisk 40 MB, dan VGA 64 MB. C. Langkah Langkah Menjalankan Program 1) Klik program MoPeCi di direktori D 2) Klik Folder MoPeCi 3) Klik COVER dan klik MASUK Tampilan awal program MoPeCi. 4) Klik MENU UTAMA dan silahkan disimulasikan model yang diperlukan seperti sumber pencemar, beban pencemar, kualitas air dan causal loop.

256 230

257 231 LAMPIRAN 3 Ordinat Radfish Monte Carlo A. Aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata. B. Aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

258 232 C. Aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata D. Aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

259 233 E. Aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: reservoir management, sustainable, dynamic model, Cirata Reservoir

ABSTRACT. Keywords: reservoir management, sustainable, dynamic model, Cirata Reservoir ABSTRACT ANI WIDIYATI. Design Based on The Model of Sustainable Management of Reservoir Fisheries Floating Cage (Reservoir Case Cirata West Java). Under direction of D. DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi lingkungan menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan masyarakat, sehingga komponen-komponen pembentuk lingkungan tidak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Lebih terperinci

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun

Ir. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun .. Latar belakang Waduk merupakan danau buatan dengan membendung aliran sungai, yang pada urnumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Pembangkt

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 3 No. 3, Desember 2016: 175-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v3i3.16250 KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya pembangunan waduk di Indonesia. Pembangunan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Waduk Cirata Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Waduk Cirata terletak diantara

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 157 6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Secara umum keberhasilan pengelolaan Waduk Cirata Berkelanjutan akan sangat terkait dengan aspek institusi atau lembaga pengelolanya, kebijakan atau tata cara pengelolaannya,

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan perlunya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan antar generasi,

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT

KANDUNGAN LOGAM BERAT KANDUNGAN LOGAM BERAT Cu, Zn, DAN Pb DALAM AIR, IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DALAM KERAMBA JARING APUNG, WADUK SAGULING SHITA FEMALA SHINDU DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sungai Cidurian merupakan salah satu sungai strategis di Provinsi Banten yang mengalir dari hulu di Kabupaten Bogor, dan melewati Kabupaten Lebak, perbatasan Kabupaten

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN SUMBER DANA BLU FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN SUMBER DANA BLU FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN SUMBER DANA BLU FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN ENZIM EKSOGEN SEBAGAI STIMULAN PENINGKATAN PERFORMAN IKAN NILA (TILAPIA NILOTICA) DAN PENGURANGAN EUTROFIKASI DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai. Waduk juga merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padatan, dan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN Oleh: RINI AGUSTINA F14103007 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

b. bahwa Ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 114 Tahun 2003 tentang

b. bahwa Ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 114 Tahun 2003 tentang SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENGKAJIAN TEKNIS UNTUK MENETAPKAN KELAS AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pembangunan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik, yang tercermin dalam peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor Analisis faktor penting dalam pengelolaan perikanan... (Ani Widiyati) ANALISIS FAKTOR PENTING DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN BUDIDAYA DI KERAMBA JARING APUNG BERKELANJUTAN DENGAN METODE Interpretative Structural

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas manusia berupa kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan pertambangan menghasilkan buangan limbah yang tidak digunakan kembali yang menjadi sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budidaya, masyarakat sekitar danau sering melakukan budidaya perikanan jala

BAB I PENDAHULUAN. budidaya, masyarakat sekitar danau sering melakukan budidaya perikanan jala BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara umum, danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI TUNTANG DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan

BAB I PENGANTAR. laju pembangunan telah membawa perubahan dalam beberapa aspek kehidupan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Secara alamiah, hubungan timbal balik tersebut terdapat antara manusia sebagai individu dan manusia sebagai

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI PEMALI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 55 III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum

Lebih terperinci

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD 4.1.Perumusan Mitigasi, Adaptasi dan Alternatif 4.1.1. Program Program yang Dirumuskan Pada umumnya program-programpada RPJMD Provinsi Jawa Barat memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sebagai kebutuhan primer setiap manusia dan merupakan suatu komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang kurang baik dapat menyebabkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk (reservoir) merupakan bangunan penampung air pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian, perikanan, regulator air

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup, tidak lepas dari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan caranya

Lebih terperinci