BAB II LANDASAN TEORI. pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Social Support 1. Pengertian Social Support Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman, hubungan sosial dan komunikasi. Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997) mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat meningkatkan perasaan positif serta meningkatkan harga

2 diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain. Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan anggota kelompok masyarakat. 2. Bentuk-Bentuk Social Support House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu : a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu. c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya. d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran ataupun umpan balik.

3 Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk social support, yaitu: a) Emotional or esteem supporrt Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa dicintai dan dihargai. b) Tangible or instrumental Support Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak. c) Informational Support Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful lebih baik dan dapat menetapkan sumber dan strategi coping yang harus dilakukan untuk

4 mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri. d) Companionship Support Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992) Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support. 3. Dampak Social Support Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa

5 secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres. Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan. Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu: 1. Buffering Hypotesis Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor 2. Direct effect hypotesis Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan dukungan sosial tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan

6 individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat. Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain: 1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan. 2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu. 3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat. 4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006). Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan (adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009).

7 B. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological well-being Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995). Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989). Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada pendefenisian positive psychological functioning. Misalnya teori dari Malow (1968) tentang konsep aktulaisasi diri, pandangan Roger (1961) tentang fully functioning person, formulasi teori jung (1933), Vonzfranz (1964) tentang individuasi dan kosep kedewasaan oleh Allport (1961).

8 Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). 2. Dimensi Psychological Well-Being Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yakni : a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten, seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006). Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri akan memiliki sikap positif

9 terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif. Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995). b. Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others). Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995).

10 c. Otonomi (Autonomy) Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan berpikir (Ryff dan Keyes, 1995). d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan dirinya.

11 Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995). e. Tujuan Hidup (Purpose in life). Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak dicapai dalam kehidupannya. Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes, 1995). f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki perasaan akan berkembang, melihat dirinya sendiri sebagai individu yang selalu

12 tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan efektif. Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff dan Keyes, 1995). 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu : A. Faktor Demografis Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut : 1. Usia Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer (1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa muda hingga dewasa tengah.

13 Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir. 2. Jenis Kelamin Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi. 3. Status Sosial Ekonomi Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik dari dirinya.

14 Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer 1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996). 4. Budaya Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain. Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan menilai diri tinggi pada hubungan positif dengan orang lain dan rendah pada

15 penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi. B. Dukungan Sosial Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub (Taylor, 1999). C. Evaluasi terhadap pengalaman hidup. Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain.

16 C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung 1. Pengertian Penyintas Istilah penyintas muncul pertama kali pada tahun Kemunculannya bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata survivor. Mereka paling tidak harus menggunakan tiga patah kata, yakni: korban yang selamat (Juneman, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa penyintas berasal dari kata sintas yang mempunyai makna terus bertahan hidup atau mampu mempertahankan keberadaannya. Kemudian dalam pemakaiannya diberikan awalan pe-, sehingga menjadi penyintas. Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005). Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007). 2. Pengertian Bencana Alam Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2007)

17 Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006). Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ancaman tradisional seperti gejala gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Sementara itu timbul pula ancaman baru seperti kekerasan sosial, serangan terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan bahan berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan untuk tujuan damai maupun peperangan. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror (BNPB, 2007).

18 3. Bencana Alam Gunung Sinabung Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang mempunyai ketinggian meter diatas permukaan laut yang berada pada koordinat menit LU dan menit BT. Letaknya cukup dekat dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya. Satusatunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,R, 2008) Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28 Agustus Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010, sekitar pukul WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan warga yang tinggal di sekitar gunung diungsikan. Berikut hasil pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yaitu aktivitas tanggal 28 Agustus 2010 pada pukul WIB, secara visual terpantau asap putih tipis, ketinggian sekitar 20 meter dengan tekanan lemah hingga sedang. Pada pukul WIB, Gunung Sinabung tertutup kabut dan pada pukul Pukul WIB, tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. Dengan demikian Gunung Sinabung tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan. Aktivitas yang terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 adalah pukul WIB, terdengar suara gemuruh. Dengan aktivitas tersebut maka Gunung Sinabung diubah tipenya dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan AWAS terhitung pukul WIB tanggal 29 Agustus 2010, pada Pukul WIB berkoordinasi dengan tim di lapangan, diputuskan dilakukan pengungsian masyarakat yang bermukim dan beraktivitas pada radius 6 km dari kawah aktif

19 dan pada Pukul WIB, tampak asap letusan dengan ketinggian 1500 meter dari bibir kawah. Pada saat ini sejumlah warga yang masih bertahan karena menjaga rumahnya di zona bahaya pun akhirnya ikut mengungsi. karena hutan di sekeliling desa mereka sudah rata dihujani debu vulkannik. Kumpulan debu vulkanik keluar lagi dari kawah Gunung Sinabung, pukul WIB, pada hari Senin, 30 Agustus 2010, Gunung yang semula tenang tiba-tiba saja kembali memuntahkan letusannya. Walaupun tidak disertai lava namun terlihat munculnya debu vulkanik disertai gemuruh dan getaran hebat (Wikipedia B, 2010). 4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung Dampak umum bencana baik nature dan manmade dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991). Adapun dampak bencana terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar. (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2008)

20 Menurut American Psychological Association (2006), setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktorfaktornya adalah: (1) Tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) Kemampuan individu secara umum untuk menghadapi situasi emosional, (3) Peristiwa lain yang menimbulkan stress mengikuti peristiwa traumatic yang baru dialaminya. Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi ( shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya, merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi, tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi, hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa terganggu, menarik diri, diabaikan). Bencana dapat menyebabkan dampak psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejalagejala psikologis lainnya. Dari kumpulan gejala-gejala tersebut dapat dikategorikan dalam posttraumatic stress disorder (Salzer & Bickman, 2005). Bencana alam yang terjadi akan memunculkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positifnya adalah tanah di sekitar daerah tersebut subur setelah berapa tahun meletus gunung tersebut. Dengan tanah yang menjadi subur maka sekitar daerah

21 Gunung Sinabung terdapat banyak pohon tinggi yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung. Sementara dampak negatifnya adalah berjatuhan korban yang terkena lava panas, dan dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit karena terhirup butiran abu vulkanik. Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat ditemukan karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan, 2004): 1. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan tersebut biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari kejadian yang mendadak dan tidak terduga serta luasnya cakupan akan dampak dari bencana. 2. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat langsung maupun tidak. Biasanya dapat berupa kematian, kesengsaraan, maupun akibat negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat. 3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem pemerintahan, bagunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum lainnya. Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pelayanan sosial, yang terkadang tidak mencukupi atau kurang terkoordinasi.

22 D. Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung Bencana alam dapat diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan gunung meletus. Indonesia yang memiliki sejarah bencana dan potensi bencana dimasa mendatang dikarenakan berbagai faktor, seperti letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif. Salah satu gunung berapi yang aktif berada di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung Bencana alam gunung sinabung yang terjadi akan memunculkan dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positif yaitu akan menyuburkan tanah yang terkena erupsi Gunung Sinabung pada jangka waktu panjang sehingga tanah yang menjadi subur di sekitar daerah Gunung Sinabung akan tumbuh pohon-pohon yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya juga tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung. Sementara dampak negatif adalah adanya korban yang terkena lava panas saat erupsi terjadi, menimbulkan berbagai penyakit, kerusakan infrastruktur jalan dan irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, penurunan terjadi pada perkembangbiakan ternak, penurunan terjadi pada kunjungan wisata, penurunan ekonomi, dan berdampak psikologis setelah bencana terjadi.

23 Keadaan ini dirasakan langsung oleh penyintas bencana alam Gunung Sinabung khususnya penyintas yang tinggal di pengungsian. Penyintas adalah orang yang selamat dari suatu peristiwa yang kemungkinan dapat mengancam nyawa melayang atau sangat berbahaya. Penyintas yang berada di pengungsian Gunung Sinabung adalah penyintas yang tinggal di desa yang dinyatakan zona merah atau tidak aman untuk ditempati, penyintas yang tinggal di pengungsian terdiri dari dua penyintas, pertama penyintas adalah orang-orang yang akan di relokasi ke desa yang baru yaitu siosar. Hal ini karena tempat tinggal mereka sudah tidak dapat ditempati kembali dan mengancam nyawanya, dan kedua penyintas adalah orang-orang yang tidak di relokasi artinya mereka dapat pulang ke rumah mereka kembali. Hal ini karena desa tempat mereka tinggal masih layak untuk ditempati. Selama tinggal di pengungsian, terbatasnya sumber-sumber personal material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian psikologis individu pasca-bencana berupa kemampuan individu dalam melakukan penyesuian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca-bencana. Oleh karena itu, pentingnya social support terhadap pemulihan pada penyintas bencana alam. Bentuk-bentuk social support yang tepat diberikan kepada penyintas bencana alam dengan berbagai permasalahan, baik fisik maupun psikologis, menjadi suatu pertanyaan yang perlu diketahui sehingga dapat menghasilkan kemampuan untuk dapat bertahan, bangkit dari keterpurukan tersebut. Tidak semua orang mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan. Banyak faktor yang

24 mempengaruhi apakah individu menerima atau tidak menerima dukungan seperti ketersediaan sarana pendukung di pengungsian. Bentuk social support yang diperoleh dan dibutuhkan oleh individu tergantung pada keadaan tertekan yang dihadapi.. Bentuk social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support memiliki peran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang tiap individu. Social support diperoleh dari temanteman dan keluarga atau instansi lainnya. Social support tersebut bertujuan untuk memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu yang merasakan dampak akibat erupsi Gunung Sinabung. Pemberian social support yang sesuai dengan kebutuhan setiap penyintas akan memberikan manfaat bagi mereka. Social Support yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dialami oleh penyintas. Social support yang diperoleh akan membantu penyintas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Hal ini akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Psychological well-being merupakan perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Seorang penyintas dituntut untuk mampu beradaptasi dengan situasi pascabencana alam Gunung Sinabung dan mampu menghadapi dampak negatif yang dirasakan pada kehidupan meraka saat ini. Seseorang yang mampu beradaptasi dan menghadapi situasi ini adalah mereka yang mengalami pertumbuhan dan

25 mampu memenuhi kebutuhannya. Kemampuan beraptasi dan menghadapi kondisi ini merupakan kunci penting penentu psychological well-being, yakni perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup. Setelah mengalami bencana alam, banyak tantangan hidup yang harus dihadapi dan akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti penerimaan diri, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, mempunyai tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Social support dan Psychological well-being ini akan menunjukkan gambaran yang kompleks mengenai penyintas bencana alam Gunung Sinabung.

26 E. Paradigma Berpikir Bencana Alam Gempa Bumi Longsor Gunung Meletus Banjir Kekeringan G. Sinabung Dampak Positif: Dalam waktu jangka panjang akan memberikan kesuburan pada tanah yang terkena erupsi. Dampak Negatif: Infastruktur Jalan dan Irigasi, Lahan pertanian dan perkebunan, Perkembangbiakan ternak, Kunjungan wisata, Socio-ekonomi dan Psikologis Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung SOCIAL SUPPORT a.emotional or esteem supporrt b.tangible or instrumental Support c.informational Support d.companionship Support PSYCPHOLOGICAL WELL- BEING 1.Penerimaan Diri 2. Hubungan Positif dengan Orang Lain 3. Otonomi 4. Penguasaan Lingkungan 5. Tujuan Hidup 6. Pertumbuhan Pribadi \

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Ancaman akan terjadinya bencana dari waktu ke waktu semakin luas dan cenderung meningkat. Bencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Adolesen (remaja) adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dibeberapa daerah, seperti banjir dan tanah longsor.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dibeberapa daerah, seperti banjir dan tanah longsor. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang berada di antara dua samudera dan dilewati dua sikrum gunung berapi. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang sangat diinginkan oleh semua orang. Setiap orang memiliki harapan-harapan yang ingin dicapai guna memenuhi kepuasan dalam kehidupannya. Kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Hardiness II.1.1. Pengertian Hardiness Menurut Bartone (dalam Ingranurindani, 2008) mengatakan bahwa hardiness merupakan kepribadian yang menjadi dasar atau disposisi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor alam dan non alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

BAB I PENDAHULUAN. faktor alam dan non alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan non alam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar belakang Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di duniakarena posisi geografis Indonesia terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia yaitu Eurasia,

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB II JENIS-JENIS BENCANA Kuliah ke 2 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB II JENIS-JENIS BENCANA Dalam disaster management disebutkan bahwa pada dasarnya bencana terdiri atas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Parker (1992), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS TUJUAN Memahami pengertian bencana dan krisis Memahami penyebab terjadinya bencana Mengidentifikasi proses terjadinya bencana Mengidentifikasi respons individu terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkaran gunung api (ring of fire). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkaran gunung api (ring of fire). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan alamnya, tetapi merupakan salah satu Negara yang rawan bencana karena berada dipertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Indo Australia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu 9 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu masih menyisakan pilu bagi banyak pihak, terutama bagi orang yang terkena dampak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan peningkatan urbanisasi, deforestasi, dan degradasi lingkungan. Hal itu didukung oleh iklim

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan kondisi iklim global di dunia yang terjadi dalam beberapa tahun ini merupakan sebab pemicu terjadinya berbagai bencana alam yang sering melanda Indonesia. Indonesia

Lebih terperinci

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM Kartika Adhyati Ningdiah 10508117 Latar Belakang Masalah Bencana merupakan peristiwa atau kejadian yang dapat menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang sosial, kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal, dan kekacauan

BAB I PENDAHULUAN. bidang sosial, kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal, dan kekacauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATIPANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATIPANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELUARAN BELANJA DALAM KEADAAN DARURAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATIPANDEGLANG, Menimbang : Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi kapan terjadinya dan dapat menimbulkan korban luka maupun jiwa, serta mengakibatkan kerusakan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada usia ini sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomi berada pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis Indonesia terletak di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2015 No.22,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul. Perubahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, Penanggulangan, bencana. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, Hal ini berarti

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, Hal ini berarti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7 1. Usaha mengurangi resiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perceived Social Support 1. Pengertian Perceived Social Support Sarafino dan Smith (dalam Mumpuni, 20 14) menyatakan bahwa social support bukan hanya mengacu kepada perilaku yang

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN KEPADA MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM DAN MUSIBAH KEBAKARAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT.

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 9 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua daerah tidak pernah terhindar dari terjadinya suatu bencana. Bencana bisa terjadi kapan dan dimana saja pada waktu yang tidak diprediksi. Hal ini membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai karakteristik alam yang beragam. Indonesia memiliki karakteristik geografis sebagai Negara maritim,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang rawan bencana karena alam negeri kita ini berdiri di atas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN. negara yang rawan bencana karena alam negeri kita ini berdiri di atas pertemuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan alamnya, tetapi merupakan salah satu negara yang rawan bencana karena alam negeri kita ini berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng

Lebih terperinci

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG NOMOR 31 TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SERI E STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR TANGGAP DARURAT BENCANA DI KABUPATEN TANAH DATAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Koordinasi merupakan suatu tindakan untuk mengintegrasikan unit-unit pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam hal penanggulangan bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 71 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN STATUS KEADAAN DARURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 32 31 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL KELAS VI SEMESTER 2 CARA- CARA PENANGGULANGAN BENCANA ALAM A. CARA- CARA MENGHADAPI BENCANA ALAM 1. Menghadapi Peristiwa Gempa Bumi Berikut adalah upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari TINJAUAN PUSTAKA Burnout Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri mengalami kelelahan emosional, sikap

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 893 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA

OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA OLEH : Letkol Laut ( K/W) Drg. R Bonasari L Tobing, M.Si INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA BENCANA Letkol Laut (K/W) drg. R. Bonasari L.T, M.Si Dikum Terakhir : Magister Sains Psikologi UI Jakarta Dikmil Terakhir

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN 1 PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara yang kaya akan gunung api dan merupakan salah satu negara yang terpenting dalam menghadapi masalah gunung api. Tidak kurang dari 30

Lebih terperinci

Rumah Tahan Gempabumi Tradisional Kenali

Rumah Tahan Gempabumi Tradisional Kenali Rumah Tahan Gempabumi Tradisional Kenali Kearifan lokal masyarakat Lampung Barat terhadap bencana khususnya gempabumi yang sering melanda wilayah ini sudah banyak ditinggalkan. Kearifan lokal tersebut

Lebih terperinci