USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI"

Transkripsi

1 Kode/Nama Rumpun Ilmu: 531/Sastra (dan Bahasa) Inggris USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI TIM PENGUSUL: Sunardi, S.S., M.Pd. / NIDN: Raden Arief Nugroho, S.S., M.Hum. / NIDN: Budi Harjo, S.Kom., M.Kom. / NIDN: UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO APRIL 2013

2 2

3 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... 2 DAFTAR ISI... 3 RINGKASAN... 4 BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Khusus Urgensi Penelitian... 8 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran Inklusif bagi Penyandang Ketunaan Kegiatan Pembelajaran Inklusif Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inklusif bagi Peserta Didik Tunanetra Road Map Penelitian BAB 3. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Prosedur dan Tahapan Penelitian BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN Anggaran Biaya Jadwal Penelitian DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Justifikasi Anggaran Penelitian Lampiran 2. Dukungan Sarana dan Prasarana Penelitian Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas Lampiran 4. Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana Lampiran 5. Surat Pernyataan Ketua Peneliti

4 RINGKASAN Penyandang tunanetra, dalam kegiatan pembelajarannya, selama ini ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka semakin terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah bahasa Inggris. Target penelitian ini meliputi: (1) terdeskripsikannya masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa; (2) tersusunnya model strategi dan media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; (3) tersusunnya rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; (4) terujinya model tersebut secara empiris dan efektif dalam kegiatan pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan metode riset dan pengembangan, dengan tahapan penelitian: (1) melakukan identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa penyandang tunanetra belajar bersama dalam kelas mahasiswa biasa, melalui metode kajian pustaka, observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah (FGD); (2) menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang meliputi strategi dan media pembelajaran; (3) menyusun rencana pembelajaran inklusif; (4) mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran inklusif tersebut dengan ahli pembelajaran inklusif (expert judgement); (5) mengimplementasikan dan mengujicobakan model dan rencana pembelajaran inklusif tersebut dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas dengan mahasiswa biasa dan mahasiswa tunanetra; dan (6) menyempurnakan model pembelajaran inklusif tersebut berdasarkan hasil implementasi dan ujicoba. 4

5 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini orang berkebutuhan khusus (difable) atau orang yang menyandang ketunaan (impairment) cenderung dipandang masyarakat sebagai objek perlindungan, perlakuan, dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak (Tarsidi, 2011: 1). Pandangan seperti ini mengakibatkan para penyandang ketunaan dipisahkan dari masyarakat umum dan disediakan tempat dan fasilitas tersendiri. Hal ini dilakukan atas asumsi bahwa mereka tidak mampu menghadapi tantangan hidup di masyarakat luas. Dalam bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan praktek pendidikan segregasi yang memisahkan penyandang ketunaan dari orang pada umumnya. Mereka ditempatkan di sekolah-sekolah khusus yang dikenal dengan istilah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak diperbolehkan belajar di sekolah biasa/reguler. Akibatnya, mereka cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Isolasi mereka dari kegiatan masyarakat pada umumnya justru membuat mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat umumnya dan semakin tergantung kepada orang lain. Praktek pendidikan seperti ini menimbulkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan (Tarsidi, 2012: 3). Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 Ayat 1: Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan Pasal 5 Ayat 1: Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Model pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh para penyandang ketunaan sebagai akibat dari model pendidikan segregasi. Penyelenggaraan model pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan/ketunaan untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dengan demikian, para penyandang ketunaan memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik (Permendiknas No. 70/2009: Pasal 1 & 2). 5

6 1.2 Permasalahan Penyandang tunanetra, sebagai salah satu dari para penyandang ketunaan, selama ini memiliki akses pendidikan yang berbeda dengan orang pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa penyandang tunanetra memiliki suatu kondisi di mana orang yang mengalaminya tidak bisa melihat, atau tidak bisa menggunakan penglihatannya secara baik dalam aktifitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010: 1), sehingga mereka ditempatkan secara eksklusif di sekolah khusus penyandang tunanetra yang membuat mereka terisolasi dari kegiatan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Ketika penyandang tunanetra terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas biasa, mereka harus mengikuti proses pembelajaran yang sebenarnya diperuntukkan bagi bukan penyandang ketunaan. Karena keterbatasan penglihatannya, mereka tentu saja tidak dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya yang dapat berakibat pada kegagalan dalam pembelajaran. Permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui praktek pendidikan secara inklusif dengan memberikan alat bantu khusus sesuai dengan ketunaannya, memodifikasi lingkungan belajar, dan menggunakan teknik alternatif yang memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan pembelajaran. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini telah ada beberapa teknik alternatif berbasis teknologi komputer, seperti speech technology dan refreshable Braille display, yang memungkinkan para penyandang tunanetra dapat mengakses informasi di dunia awas layaknya orang normal (Tarsidi, 2007:1). Namun, sebagian besar software teknologi alternatif bagi penyandang tunanetra yang ada di pasaran saat ini disusun dengan menggunakan platform bahasa Inggris. Komunikasi antara komputer (software) dengan pengguna (user) dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris. Keberadaan bahasa Inggris dalam software tersebut dapat menjadi kendala utama penggunaannya bagi penyandang tunanetra yang tidak memiliki keterampilan bahasa Inggris yang cukup. Di sisi lain, bagi penyandang tunanetra, software tersebut merupakan pintu masuk untuk mengakses semua informasi yang ada di dunia awas. Selain itu, informasi di dunia awas terutama yang berkenaan dengan materi pembelajaran bahasa Inggris, sebagian besar disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris. Dalam konteks pembelajaran, keterampilan menggunakan speech technology tersebut juga membantu penyandang tunanetra dalam mempelajari materi pembelajaran secara baik. Berbeda dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah yang memiliki sekolah khusus (luar biasa) bagi penyandang ketunaan, tingkat pendidikan tinggi tidak memiliki sekolah seperti 6

7 ini. Penyandang tunanetra yang melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan tinggi harus mengikuti kegiatan pembelajarannya di kelas reguler bersamaan dengan mahasiswa lain yang bukan penyandang tunanetra. Kenyataan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inklusif tidak dapat dihindarkan dalam kegiatan perkuliahan di perguruan tinggi atau program studi yang menerima mahasiswa penyandang ketunaan, termasuk di dalamnya tunanetra. Dan sebagai mahasiswa, penyandang tunanetra memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan mahasiswa biasa lainnya untuk berhasil dalam studinya. Penelitian ini direncanakan untuk menjawab pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra? 2. Bagaimanakah model media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra? 3. Apakah model pembelajaran inklusif tersebut terbukti memungkinkan mahasiswa penyandang tunanetra mencapai tujuan pembelajaran seperti mahasiswa normal lainnya? 1.3 Tujuan Khusus Secara umum, penelitian ini direncanakan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bagi mahasiswa penyandang tunanetra yang belajar di perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah bahasa Inggris. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: Tahun Pertama: 1. Mengindentifikasi masalah yang terjadi dan kebutuhan dalam melaksanakan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 2. Menyusun model strategi pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 3. Menyusun model media pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; 4. Menyusun rencana kegiatan pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi mahasiswa penyandang tunanetra; Tahun Kedua: 5. Membuktikan bahwa model pembelajaran inklusif tersebut memungkinkan mahasiswa penyandang tunanetra mencapai tujuan pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris seperti mahasiswa normal lainnya; dan 6. Menyusun model final pembelajaran inklusif mata kuliah bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi berdasarkan hasil ujicoba model. 7

8 1.4 Urgensi (Keutamaan) Penelitian Pemberian kesempatan pendidikan tinggi bagi para penyandang tunanetra di Indonesia telah dimulai sekurang-kurangnya sejak tahun 1960-an tetapi pemberian kesempatan tersebut hampir tanpa dukungan sistem. Keberhasilan sejumlah kecil penyandang tunanetra dalam menyelesaikan pendidikan tinggi pada masa itu lebih dipengaruhi oleh kegigihan usaha individu penyandang tunanetra dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya (Tarsidi, 2012: 6). Pendidikan inklusif sebagai salah satu usaha untuk memberi kesempatan yang sama dalam belajar bagi para penyandang ketunaan mulai dikenal luas dalam praktek pendidikan sejak dikeluarkannya Permendiknas No. 70 Tahun Namun, model pendidikan inklusif lebih banyak dipraktekkan pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas, seperti yang dinyatakan pada Permendiknas No. 70/2009, Pasal 4. Akibatnya, penelitian tentang pelaksanaan pendidikan inklusif lebih banyak dilakukan di sekolah-sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas (Sunanto, 2009; Hastuti, 2010; Rudiyati, 2010). Kajian pendidikan inklusif di tingkat pendidikan tinggi belum banyak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pembelajaran inklusif belum banyak dilakukan di perguruan tinggi. Kalaupun ada mahasiswa tunanetra yang mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi, mereka diperlakukan seperti mahasiswa normal tanpa dukungan tambahan sesuai dengan jenis ketunaannya. Bagi mahasiswa tunanetra, bahasa Inggris memiliki peranan yang sangat penting. Pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris yang mereka miliki akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menggunakan perangkat teknik alternatif pembelajaran dan dalam mengakses informasi yang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, saat ini masih sedikit model pembelajaran inklusif yang sudah terbukti efektif secara empirik, baik strategi pembelajaran maupun media pembelajarannya, dalam mata kuliah bahasa Inggris bagi penyandang tunanetra di perguruan tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan dengan harapan mampu menghasilkan sebuah model pembelajaran inklusif yang dapat dipakai sebagai model untuk melaksanakan pembelajaran secara inklusif bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, khususnya dalam mempelajari materi bahasa Inggris. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembelajaran Inklusif bagi Penyandang Ketunaan Saat ini terdapat perubahan paradigma tentang penyelenggarakan pendidikan bagi para penyandang ketunaan (orang berkebutuhan khusus): dari medical model of disability ke 8

9 social model of disability (Tarsidi, 2012: 1-2). Medical model of disability adalah sebuah model di mana orang berkebutuhan khusus dipandang sebagai akibat dari kondisi kelainan fisik semata-mata, yang merupakan hakikat dari kondisi individu penyandangnya - yang merupakan bagian intrinsik dari diri individu yang bersangkutan. Dalam bidang pendidikan, model ini memunculkan pendekatan berbasis belas kasihan (charity-based approach to disability) dimana orang berkebutuhan khusus cenderung dipandang sebagai objek perlindungan, perlakuan dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak. Sebagai akibat dari pendekatan ini, pembelajaran bagi para penyandang ketunaan dijalankan secara segregatif/eksklusif dimana mereka dipisahkan dari siswa umum dan disediakan sekolah khusus bagi mereka (sekolah luar biasa). Akibatnya, para penyandang ketunaan cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang ketunaan yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Lebih jauh pendekatan ini memunculkan diskriminasi terhadap para penyandang ketunaan. Seiring dengan tuntutan akan kesamaan hak bagi para penyandang ketunaan dalam kehidupan sehari-hari, paradigma pendidikan bagi mereka mulai berubah ke model sosial (social model of disability). Model sosial bagi penyandang ketunaan mengemukakan bahwa hambatan sistemik, sikap negatif dan eksklusi oleh masyarakat (secara sengaja atau tidak sengaja) merupakan faktor-faktor utama yang mendefinisikan siapa yang menyandang ketunaan dan siapa yang tidak di dalam masyarakat tertentu. Model ini mengakui bahwa sementara orang-orang tertentu mempunyai variasi fisik, sensori, intelektual, atau psikologis, yang kadang-kadang dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi atau ketunaan pada individu, ini tidak harus mengakibatkan ketunaan, kalau masyarakat dapat menghargai dan menginklusikan semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individu. Dalam bidang pendidikan, pemikiran seperti ini melahirkan model pendidikan inklusif. Di Indonesia, pelaksanaan model pendidikan inklusif didasarkan pada Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pasal 1 dan 2 dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan 9

10 dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan ini bertujuan untuk (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; dan (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah: a. Pendidikan untuk semua: setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layk. b. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi: setiap anak berhak mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik. c. Integrasi pada lingkungan: setiap anak berhak menyatu dengan limgkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis. d. Penerimaan terhadap perbedaan: setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Model pembelajaran inklusif memiliki keuntungan tidak hanya bagi anak berkebutuhan khusus tetapi juga bagi anak tanpa kebutuhan khusus, guru, dan keluarga. Keuntungan pembelajaran inklusif meliputi: 1. Bagi anak berkebutuhan khusus: a. Terhindar dari label negatif: anak memiliki rasa percaya diri. b. Memiliki kesempatan menyesuaikan diri: anak memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata. 2. Bagi anak tanpa kebutuhan khusus: a. Belajar mengenai keterbatasan tertentu: mengetahui keterbatasan/keunikan temannya, dan peduli terhadap keterbatasan temannya. b. Dapat mengembangkan keterampilan sosial: berempati terhadap permasalahan temannya dan membantu temannya yang menghadapi kesulitan. 3. Bagi guru/dosen a. Meningkatkan wawasan guru/dosen terhadap karakteristik siswa: guru/dosen mengenali peta kekuatan dan kelemahan siswa/mahasiswanya. 10

11 b. Menambah kompetensi guru/dosen: guru lebih kretaif dan terampil dalam mengajar dan mendidik. 4. Bagi keluarga a. Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya dapat bersosialisasi dengan baik tanpa ada diskriminasi. b. Orangtua yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus, merasa senang bila anaknya memiliki keterampilan sosial yang baik. Secara umum ada perbedaan perasaan yang dialami peserta didik ketika mengikuti model pembelajaran inklusif dan model pembelajaran eksklusif. Perbedaan tersebut adalah: Pembelajaran Inklusif Pembelajaran Eksklusif/Segregatif Dihargai Harga diri rendah, terkucil Bangga Kecewa Senang Marah Diperhatikan Merasa direndahkan Optimis Frustasi, pesimis Merasa berguna Merasa tidak berguna Percaya diri Tidak percaya diri Aktif Pasif 2.2 Kegiatan Pembelajaran Inklusif Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007: 5-6), kegiatan pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum. Mutu pendidikan dan atau mutu lulusan banyak dipengaruhi oleh mutu kegiatan pembelajaran. Jika mutu kegiatan pembelajarannya bagus, dapat diprediksi bahwa mutu lulusan bagus; atau sebaliknya, jika mutu kegiatan pembelajarannya tidak bagus, maka mutu lulusannya juga tidak bagus. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu siswa dan didukung oleh kompetensi guru, media, sumber dan strategi pembelajaran yang memadai, sesuai dengan standar pelayanan minimal. Seiring dengan kemajuan jaman, sudah banyak pembaharuan sistem strategi dan kelembagaan yang melayani peserta didik berkebutuhan khusus. Pada masa-masa sebelumnya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus masih banyak yang bersifat segregasi (eksklusi) yang terpisah dari 11

12 masyarakat. Tetapi memasuki akhir milenium dua, visi dan misi kelembagaan sudah cenderung lebih humanis dan terintegrasi (inklusi) dengan masyarakat. Pendidikan inklusif adalah suatu bentuk sistem pendidikan di mana peserta didik berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan oleh karena itu strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karekteristik individu peserta didik. Fakta menunjukkan bahwa di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif para siswa memiliki kemampuan yang heterogen, karena peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus ini memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis. Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan siswanya sangat heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar siswa yang mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus. Pada prinsipnya, urutan kegiatan pembelajaran model inklusif sama dengan kegiatan pembelajaran model segregatif/eksklusif. Perbedaannya terletak pada adanya dua jenis mahasiswa dalam kelas, yaitu mahasiswa berkebutuhan khusus dan mahasiswa tanpa kebutuhan khusus. Perbedaan mendasar tentang karakteristik peserta didik inilah yang membuat kegiatan pembelajaran inklusif sedikit berbeda, khususnya dalam hal metode, media, dan evaluasi pembelajarannya. Secara umum, kegiatan pembelajaran inklusif meliputi tiga aktivitas utama, yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif antara lain seperti di bawah ini. 1. Menyusun Rencana Pembelajaran a. Menetapkan tujuan; b. Merencanakan pengelolaan kelas: termasuk mengatur lingkungan fisik dan sosial c. Menetapakan dan pengorganisasian bahan/materi: topik apa yang ingin diajarkan kepada peserta didik; 12

13 d. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk kegiatannya, apakah peserta didik mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran; e. Merencanakan prosedur kegiatan pembelajaran: bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya, apakah kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta didik mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya; f. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar: sumber belajar mana yang akan digunakan, media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta didik; g. Merencanakan penilaian: bagaimana cara peserta didik telah menyelesaikan tugasnya dalam suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk tindak lanjut yang diinginkan. 2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran a. Melaksanakan apersepsi; b. Menyajikan materi/bahan pelajaran; c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan kompetensi pembelajaran; d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif; e. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan; f. Mengelola pembelajaran kelompok yang kooperatif; g. Membina hubungan antarpribadi, bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa, menampilkan kegairahan dan kesungguhan, dan mengelola interaksi antarpribadi. 3. Melaksanakan evaluasi a. Melakukan penilaian selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan setelah kegiatan pembelajaran selesai, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan; b. Bagi peserta didik yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, penilaian dilakukan dengan membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan prestasi sebelumnya; c. Mengadakan tindak lanjut dalam bentuk remidi atau pengayaan. 13

14 2.3 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inklusif bagi Peserta Didik Tunanetra Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007:9), prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus. 1. Prinsip Umum a. Prinsip motivasi Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. b. Prinsip latar/konteks Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi peserta didik. c. Prinsip keterarahan Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat d. Prinsip hubungan sosial Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, interaksi dengan lingkungan, serta interaksi banyak arah. e. Prinsip belajar sambil bekerja Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya. f. Prinsip individulisasi Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap peserta didik secara mendalam, baik tingkat kemampuan dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan dalam belajar, serta perilaku penting lainnya, sehingga setiap kegiatan 14

15 pembelajaran masing-masing peserta didik mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai. g. Prinsip menemukan Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mendorong anak untuk terlibat secara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional. h. Prinsip pemecahan masalah Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan peserta didik terlatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannnya. 2. Prinsip Khusus untuk Peserta Didik Tunanetra a. Prinsip kekonkritan Peserta didik Tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka, untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan. Melalui observasi perabaan benda benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat sifat permukaan, kelenturan, suhu dan sebagainya. Dengan menyadari kondisi seperti ini, dalam proses pembelajaran guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda benda konkrit sebagai alat bantu atau media dan sumber pencapaian tujuan pembelajaran. b. Prinsip pengalaman yang menyatu Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang peserta didik normal yang masuk ke toko, tidak saja melihat rak rak dan benda benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat hubungan antara rak rak dengan benda benda di ruangan. peserta didik Tunanetra tidak mengerti hubungan hubungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar peserta didik untuk mengalami suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan hubungan tersebut. c. Prinsip belajar sambil melakukan Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil bekerja. Perbedaannya adalah bagi peserta didik Tunanetra melakukan sesuatu adalah pengalaman nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam menangkap informasi. Peserta didik normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat 15

16 gambar atau foto. Peserta didik Tunanetra menuntut penjelasan dan pengalaman secara langsung di lingkungan nyata. Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses pembelajaran tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin peserta didik diajak ke dalam situasi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan karakter bahan yang diajarkannya. 2.4 Road Map Penelitian Masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitianpenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi (Sri Mulatsih, Sunardi, dan Rifqi, 2012) dan strategi penerjemahan oleh penerjemah tunanetra (Nababan, Nugroho, dan Sunardi, 2011). Peta jalan penelitian ini digambarkan sebagai berikut. Strategi penerjemahan oleh penerjemah tunanetra (2011) Model strategi dan media pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra (2014) Model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra Model pembelajaran writing berbasis pendidikan karakter di perguruan tinggi (2012) Implementasi model strategi dan media pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra (2015) Keterangan : sudah dilaksanakan akan dilaksanakan dengan Hibah Bersaing Gambar 1. Road Map Penelitian BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Secara umum penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan produk pendidikan dan menginformasikan proses pengambilan keputusan selama pengembangan produk dalam rangka meningkatkan produk itu dan kemampuan pengembang dalam menciptakan produk sejenis di masa mendatang (Van der Akker, 1999: 75). Dalam penelitian ini produk yang akan dikembangkan adalah (1) model strategi pembelajaran inklusif bahasa 16

17 Inggris bagi mahasiswa tunanetra, dan (2) model media penbelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra. Secara khusus, penelitian yang akan dilakukan pada tahun pertama berjenis penelitian kualitatif-deskriptif, dengan menggunakan metode penelitian pengembangan. Sedangkan penelitian pada tahun kedua termasuk jenis penelitian kuantitatif-deskriptif, dengan menggunakan metode experimen murni (true-experimental method). 3.2 Prosedur dan Tahapan Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu penyusunan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi, dan kemudian mengoptimalkan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode riset dan pengembangan (research & development). Sejalan dengan metode ini, pada tahun pertama akan dilakukan kajian terhadap praktek-praktek pembelajaran inklusif yang ada saat ini, khususnya untuk mata kuliah bahasa Inggris di perguruan tinggi, dan selanjutnya berdasarkan hasil kajian tersebut dirumuskan suatu model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra di perguruan tinggi. Kemudian pada tahun berikutnya dilakukan implementasi untuk menerapkan model yang dihasilkan pada tahun pertama, untuk mengetahui efektivitas model tersebut dalam konteks pembelajaran inklusif yang nyata, dan untuk melakukan revisi terhadap model tersebut berdasarkan hasil implementasi, sehingga dihasilkan model yang terakhir. Secara keseluruhan, penelitian ini akan dilaksanakan dalam dua tahun dengan prosedur dan tahapan sebagai berikut: Tahun Pertama (2014) 1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Tujuan tahap ini adalah mengetahui masalah yang timbul dalam pembelajaran bahasa Inggris dimana mahasiswa tunanetra belajar bersama dengan mahasiswa biasa dalam kelas yang sama, serta hal-hal yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra secara inklusif. Data dikumpulkan melalui kajian pustaka terhadap praktek pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini dilaksanakan untuk mahasiswa tunanetra bersama dengan mahasiswa biasa, melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut, dan 17

18 melakukan wawancara tentang masalah dan kebutuhan pembelajaran dengan dosen dan mahasiswa peserta perkuliahan, khususnya mahasiswa tunanetra. b. Melakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) tentang hasil identifikasi masalah dan kebutuhan pembelajaran inklusif bahasa Inggris dengan beberapa dosen dan mahasiswa tunanetra, yang selanjutnya akan digunakan untuk menyusun model pembelajaran inklusif. 2. Tahap Penyusunan Model Pembelajaran Inklusif Tahap ini bertujuan untuk menyusun model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang pelaksanaan perkuliahannya bersama dengan mahasiswa biasa. Adapun kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a. Menyusun model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang meliputi model strategi pembelajaran dan model media pembelajarannya. b. Menyusun rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra berdasarkan pada model strategi pembelajaran dan model media pembelajaran yang telah disusun. c. Mengkonsultasikan model dan rencana pembelajaran yang telah disusun dengan beberapa ahli (experts) yang menguasai permasalahan pembelajaran inklusif atau pembelajaran luar biasa bagi penyandang tunanetra. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan atau evaluasi terhadap model dan rencana pembelajaran yang telah disusun, untuk menjaga validitas model pembelajaran tersebut. Ahli yang akan mengevaluasi model dan rencana pembelajaran yang telah disusun berasal dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Negeri Malang, karena kedua perguruan tinggi tersebut telah berpengalaman dalam mengelola pendidikan luar biasa dan pendidikan inklusif bagi orang berkebutuhan khusus. d. Menganalisis dan merevisi model dan rencana pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra berdasarkan hasil evaluasi dari para ahli. Kegiatan ini akan menghasilkan model pembelajaran dan rencaba pembelajaran yang telah divalidasi oleh ahli pembelajaran inklusif. Model dan rencana pembelajaran inilah yang selanjutnya akan diimplementasikan dan diujicoba pada tahun selanjutnya (tahun kedua). 18

19 Tahun Kedua (2015) 3. Tahap Implementasi dan Ujicoba Model dan Rencana Pembelajaran Inklusif Pada tahap ini akan dilakukan penelitian eksperimen untuk menguji efektivitas model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya (tahap 2) terhadap peningkatan hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris. Ujicoba akan dilakukan pada salah satu mata kuliah Bahasa Inggris yang diikuti oleh mahasiswa tunanetra pada semester genap tahun akademik 2014/2015. Dua variabel bebasnya adalah model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris oleh mahasiswa tunanetra. Variabel hasil pembelajaran mata kuliah bahasa Inggris mahasiswa tunanetra akan diukur lewat test yang akan diberikan kepada mahasiswa tunanetra peserta eksperimen di awal dan akhir tindakan (pretest dan posttest). Penelitian eksperimen ini akan dilakukan dengan menggunakan model Pretest- Posttest Control Group Design dengan satu macam perlakuan (Arikunto, 2003), yang dilakukan pada satu kelompok eksperimen dan satu kelompok pembanding. Model eksperimen dilakukan seperti yang digambarkan pada Gambar 1. E : O 1 x O 2 P : O 1 x O 2 Gambar 1. Pretest-Postest Control Group Design Keterangan : E = Kelompok Eksperimen P = Kelompok Pembanding O 1 = Pretest O 2 = Posttest Eksperimen ini untuk menjawab 3 (tiga) hipotesis penelitian: 1. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris. 2. Ho : Penggunaan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris. 19

20 3. Ho : Penggunaan model strategi pembelajaran inklusif dan model media pembelajaran inklusif bahasa Inggris tidak meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa tunanetra dalam mata kuliah bahasa Inggris. 4. Tahap Penyempurnaan Model Pembelajaran Inklusif Tahap terakhir ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra, yang sudah disempurnakan setelah melalui ujicoba dan revisi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam tahap ini meliputi: a. Melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris dan ahli pembelajaran inklusif tentang hasil uji coba model pembelajaran inklusif bahasa Inggris bagi mahasiswa tunanetra. b. Menyempurnakan model berdasarkan hasil ujicoba dan masukan dari para dosen dan ahli sehingga dihasilkan model pembelajaran inklusif bahasa Inggris yang lebih baik bagi mahasiswa tunanetra untuk dijadikan model bagi pelaksanaan pembelajaran inklusif mata kuliah lainnya. Secara ringkas, prosedur dan tahapan penelitian ini dapat disajikan pada Gambar berikut. Gambar 2. Diagram Alir Penelitian 20

21 BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1 Anggaran Biaya Ringkasan anggaran biaya yang diusulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: No Jenis Pengeluaran Biaya Yang Diusulkan (Rp.) Tahun I Tahun II 1 Gaji dan Upah Peralatan Penunjang Bahan Habis Pakai Perjalanan Lain-Lain: publikasi, seminar, lainnya Jumlah Jadwal Penelitian No Jenis Kegiatan 1 Identifikasi masalah dan kebutuhan 2 FGD dengan dosen dan mahasiswa tunanetra 3 Penyusunan model strategi dan media pembelajaran 4 Penyusunan rencana pembelajaran 5 Tinjauan ahli 6 Finalisasi model pembelajaran 7 Pelaporan hasil tahun ke-1 8 Penentuan kelompok eksperimen dan kontrol 9 Ujicoba model 10 FGD dan verifikasi model 11 Penyempurnaan model 12 Pelaporan hasil tahun ke-2 13 Diseminasi hasil Tahun I Tahun II

22 DAFTAR PUSTAKA Depdiknas Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) UNESCO (1994). Jakarta: Depdiknas. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Media Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Hastuti, Endah Dwi Meningkatkan Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris dengan Model Make a Match pada Siswa Tunarungu Wicara dan Tunagrahita Kelas VII SMPLB. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni Hal Nababan, M.R., Nugroho, R.A., Sunardi Strategi Penerjemahan oleh Penerjemah Tunanetra. Working Paper at International Conference on Language and Culture at Works, 5 7 November Sebelas Maret University. Nawawi, Ahmad Pendidikan Inklusi bagi Anak Low Vision. Bandung: Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI Bandung. Rudiyati, Sari Pembelajaran Membaca dan Menulis Braille Permulaan pada Anak Tunanetra di SLB Tunanetra. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 9 No. 1 Juni Hal Sri Mulatsih, Sunardi, Muhammad Rifqi Pengembangan Model Pembelajaran Writing Berbasis Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Sunanto, Juang Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (Jassi_Anakku) Vol. 8 No. 2 Desember Hal Tarsidi, Didi Komputer dan Ketunanetraan. Diakses 12 Februari 2013 dari Tarsidi, Didi Dampak Ketunaan pada Pembelajar Bahasa. Diakses 12 Februari 2013 dari Tarsidi, Didi Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Perguruan Tinggi. Makalah pada International Workshop on Inclusive Education, Universitas Brawijaya Malang, November Van der Akker, J Principles and Methods of Development Research in Jan Van der Akker, Robert M. Bearch, Kent Gutafson, Nienke Nieveen, and Tjeerd Polmps (Eds.). Design Approaches and Tools in Action and Training. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 22

23 23

24 24

25 25

26 26

27 27

28 28

29 29

30 30

31 31

32 32

33 33

34 34

35 35

36 36

37 37

38 38

39 39

40 40

41 Lampiran 5. Surat Pernyataan Ketua Peneliti 41

USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN KE-2) MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN KE-2) MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI Kode/Nama Rumpun Ilmu: 531/Sastra (dan Bahasa) Inggris USULAN PENELITIAN HIBAH BERSAING (TAHUN KE-2) MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI TIM PENGUSUL:

Lebih terperinci

Media Pembelajaran Sintaksis Bahasa Inggris bagi Mahasiswa Tunanetra

Media Pembelajaran Sintaksis Bahasa Inggris bagi Mahasiswa Tunanetra Media Pembelajaran Sintaksis Bahasa Inggris bagi Mahasiswa Tunanetra Sunardi 1, Raden Arief Nugroho 2, Budiharjo 3 1,2 Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Dian Nuswantoro 3 Teknik Informatika,

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MODEL PEMBELAJARAN INKLUSIF BAHASA INGGRIS BAGI MAHASISWA TUNANETRA DI PERGURUAN TINGGI Tahun ke-1 (pertama) dari rencana 2 (dua) tahun TIM PENGUSUL: Sunardi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. BPK Penabur Cimahi, 11 Juli Mohamad Sugiarmin

PENDIDIKAN INKLUSIF. BPK Penabur Cimahi, 11 Juli Mohamad Sugiarmin PENDIDIKAN INKLUSIF sugiarmin_2006@yahoo.co.id BPK Penabur Cimahi, 11 Juli 2009 Target yang diharapkan pada peserta Pemahaman Peserta Memahami konsep Pendidikan Inklusif Peserta Memahami keragaman peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus yang akan datang. Pendidikan

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, Amandemen IV Pembukaan, alinea IV yaitu dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

Lebih terperinci

Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Jenjang Pendidikan Tinggi

Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Jenjang Pendidikan Tinggi Telaah Disabilitas dan Pendidikan Inklusif* Didi Tarsidi Disabilitas dan Pendidikan Inklusif pada Jenjang Pendidikan Tinggi Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia PEMBAHASAN Tulisan ini mencoba

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN 2016 Oleh SRI DELVINA,S.Pd NIP. 198601162010012024 SLB NEGERI PELALAWAN KEC. PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of Productive Employement and Social Integrationyaitu Promote equal access to all levels of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih terperinci

SIKAP TOLERANSI TERHADAP SISWA PENYANDANG DISABILITAS DALAM SEKOLAH INKLUSI (Studi Kasus Pada Siswa SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI

SIKAP TOLERANSI TERHADAP SISWA PENYANDANG DISABILITAS DALAM SEKOLAH INKLUSI (Studi Kasus Pada Siswa SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI 1 SIKAP TOLERANSI TERHADAP SISWA PENYANDANG DISABILITAS DALAM SEKOLAH INKLUSI (Studi Kasus Pada Siswa SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI DWI INDARYANTI A. 220090157 PENDIDIKAN PANCASILA DAN

Lebih terperinci

PANDUAN HIBAH INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KHUSUS DI PERGURUAN TINGGI TAHUN 2018

PANDUAN HIBAH INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KHUSUS DI PERGURUAN TINGGI TAHUN 2018 PANDUAN HIBAH INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KHUSUS DI PERGURUAN TINGGI TAHUN 2018 Direktorat Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, & Pendidikan

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif Juang Sunanto dan Hidayat Departemen Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun desain

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Nurul Hidayati Rofiah 1*, Muhammad Ragil Kurniawan 2 1,2 PGSD UAD *Email: nurulhidayati@pgsd.uad.ac.id Keywords: Wajib belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sesungguhnya bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha 1.1.1 Bentuk Usaha Sebagai dampak berkembangnya suatu organisasi dan teknologi, menyebabkan pekerjaan manajemen pendidikan semakin kompleks.

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.926, 2017 KEMENRISTEK-DIKTI. Pendidikan Khusus. Pendidikan Layanan Khusus. PT. PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam pendidikan, terus menerus melakukan upaya pembaharuan untuk meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan juga menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali seperti dijelaskan dalam

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah BAB I A. Latar Belakang Masalah Pendidikan harus mendapatkan dukungan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraannya bagi masyarakat dengan sebaik-baiknya. Fungsi pendidikan baik bersifat formal maupun non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia memiliki kewajiban pada warga negaranya untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada warga negara lainnya tanpa terkecuali termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa dampak yang luar biasa pada mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan juga pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan oleh siswa sehingga menjadi kebiasaan. Dalam pendidikan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelum ini, selanjutnya penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tunanetra adalah orang yang mengalami kerusakan pada mata, baik itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk hidup di lingkungan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada seluruh anak untuk memperoleh layanan pendidikan tanpa adanya diskriminasi, yaitu pendidikan

Lebih terperinci

Tim Pengembang Model Bahan Ajar SDLB Tunarungu. : Dra. Diah Harianti, M.Psi. : Drs. NS Vijaya, KN, MA.

Tim Pengembang Model Bahan Ajar SDLB Tunarungu. : Dra. Diah Harianti, M.Psi. : Drs. NS Vijaya, KN, MA. Final MODEL BAHAN AJAR KELOMPOK MATA PELAJARAN ESTETIKA DAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN BERWAWASAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA UNTUK SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNARUNGU (SDLB-B) KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang membawahi Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, pelaksanaan ditingkat provinsi khususnya di Provinsi

Lebih terperinci

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Volume Nomor September 2014 E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 221-229 Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Setiap warga Negara memiliki hak yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkomunikasi merupakan suatu hal yang mendasar bagi semua orang. Banyak orang yang menganggap bahwa berkomunikasi itu suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Namun,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017 1119 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No. 067261 MEDAN MARELAN Dahniar Harahap* 1 dan Nina Hastina 2 1,2) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan,

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Warga Negara Republik Indonesia yang memiliki keragaman budaya, perbedaan latar belakang, karakteristik, bakat dan minat, peserta didik memerlukan proses pendidikan

Lebih terperinci

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal

Lebih terperinci

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENGUKURAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) RINGAN MELALUI PEMBELAJARAAN KOOPERATIF SETTING INKLUSIF SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri Abstrak: Salah satu masalah

Lebih terperinci

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS (Model Bahan Ajar Program Khusus Tunarungu SLB) Oleh: Tim Pengembang KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT KURIKULUM

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU 234 STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU Rezka B. Pohan 1, Wahid Munawar 2, Sriyono 3 Departemen Pendidikan Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr.

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, dihadapkan pada banyak tantangan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya juga pendidikan. Semakin hari persaingan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak semua anak, terbuka untuk semuatanpa memandang latar belakang setiap individudikarenakan mereka tumbuh dari lingkungan dan budaya yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang berkebutuhan khusus (tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan, autisme, lambat belajar dan tunalaras),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk dapat memperoleh pendidikan melekat pada semua

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengembangkan kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Melalui pernyataan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Kemampuan membaca permulaan mendasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memenuhi dan melindungi hak asasi tersebut dengan memberikan kesempatan

Lebih terperinci

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kunci penting dalam menentukan masa depan suatu bangsa. Pengertian pendidikan sendiri ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak yang dilahirkan di dunia ini tidak selalu tumbuh dan berkembang secara normal. Ada diantara anak-anak tersebut yang mengalami hambatan, kelambatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik dalam hal perkembangan potensinya dalam semua aspek. Sejalan dengan perkataan A.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Seperti sebuah lagu yang baru saja diluncurkan, pendidikan inklusif mendapat sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang dilaksanakan secara sadar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan menjadi sesuatu hal yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang terbilang pokok bagi kehidupan setiap manusia. Mengapa demikian, karena dengan pendidikan seorang manusia bisa mengetahui

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus. SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta) Nurjanah K8409047 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tinjauan mengenai Pendidikan Inklusi a. Pengertian Pendidikan Inklusi Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan keadaan normal saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3-4 bulan. Bila ibu merangsang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PNDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS, PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DAN/ATAU PEMBELAJARAN LAYANAN KHUSUS PADA PENDIDIKAN TINGGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kualitas manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pendidikan adalah hak bagi setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan bagi

Lebih terperinci

PENGUMUMAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MELALUI JALUR OFFLINE DAN ONLINE Nomor: 425/464/ /2018 TAHUN PELAJARAN 2018/2019

PENGUMUMAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MELALUI JALUR OFFLINE DAN ONLINE Nomor: 425/464/ /2018 TAHUN PELAJARAN 2018/2019 PENGUMUMAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) MELALUI JALUR OFFLINE DAN ONLINE Nomor: 425/464/101.6.11.10/2018 TAHUN PELAJARAN 2018/2019 I. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu modal seseorang untuk meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Pada dasarnya setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia agar mampu menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban

Lebih terperinci

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu perkembangan anak supaya lebih progresif baik dalam perkembangan akademik maupun emosi sosialnya sehingga mereka dapat

Lebih terperinci

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi peserta didik memperoleh layanan pendidikan yang bermutu adalah hak. Tidak terkecuali peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Sejauh ini layanan pendidikan

Lebih terperinci