BAB IV ANALISA. Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISA. Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISA Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Dalam UUD Pasal 29 ayat (2) IV.1. Pendahuluan Jaminan kebebasan beragama dengan jelas diatur dalam UUD pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 1 Ada dua kebebasan beragama yang dijamin dalam Pasal 29 ayat 22 UUD Pertama, kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama atau kepercayaanya. Kedua, kemerdekaan setiap warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara khusus tulisan ini akan membahas jaminan kebebasan warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Hal ini juga dijamin dalam deklarasi HAM PBB sebagai bagian dari forum eksternum. Namun pada kenyataannya jaminan kebebasan beribadat menurut agamanya terus terusik oleh kejadian pelanggaran kebebasan beragama. Berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) mencatat sebanyak 786 gereja dirusak, dibakar atau ditutup sejak prokalmasi 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember Sementara menurut laporan pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM, sejak tahun telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja. 1 Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Mahkama Konstitusi Indonesia, 2009), 1. 60

2 Menurut hasil laporan PGI dan hasil penelitian para penggiat kebebasan beragama di Indonesia, tindakan intoleransi tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang mengatur mekanisme pendirian rumah ibadat dan sekaligus menjadi syarat ijin mendirikan rumah ibadah. Walaupun PBM berlaku untuk semua agama, namun syarat-syarat dalam PBM sangat sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Dengan demikian PBM memberi peluang terciptanya tindakan intoleransi dan diskriminatif bagi agama minoritas. Pelanggaran kebebasan beragama yang diakibatkan PBM seakan bertolak belakang dengan jaminan kebebasan beragama yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Sedangkan salah satu dasar hukum dari PBM ini adalah UUD pasal 29 ayat (2) hal ini dikuatkan dengan pernyataan pemerintah bahwa peraturan ini tidak melanggar jaminan kebebasan beragama. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah PBM ini sesuai atau tidak dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Hal tersebut dilakukan dengan mengkaji kebebasan beragama yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri menurut perspektif kebebasan beragama UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Hasil kajian kebebasan beragama UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) kemudian ditinjau menurut perspektif kebebasan beragama dalam konven-konven internasional atau deklarasi HAM. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah semangat kebebasan beragama dalam UUD pasal 29 ayat (2) sesuai dengan semangat kebebasan beragama dalam konven internasional atau deklarasi HAM. Sebab, Indonesia telah meratifikasi hasil konven-konven internasional dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tentang jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan ke dalam UUD 1945 dan UU. Indonesia akan mendapat sanksi dari dunia internasional apabila tidak dapat melaksanakan jaminan kebebasan beragama secara konsisten. Peraturan Bersama Menteri mengatur pendirian rumah ibadah. Pengaturan pendirian rumah ibadah merupakan pembatasan pendirian rumah ibadah. Dengan dibatasinya pendirian rumah ibadah sekaligus membatasi umat untuk beribadah. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) 61

3 dengan jelas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaanya. Berdasarkan urian di atas penulis menyimpulkan, bahwa dengan diaturnya pendirian rumah ibadah sama dengan mengatur kebebasan beragama. Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengkaji apa makna pengaturan kebebasan beragama dalam peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan beragama? Untuk maksud menjawab pertanyaan tersebutlah pembahasan dalam bab IV dilakukan. IV.2. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Konvenan Internasioanal tentang Jaminan Kebebasan Beragama Menurut John Locke Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu tidak ada kekuasan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya. 2 Pengertian ini secara substansi tidak berbeda dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 yang menyatakan Hak Asasi Manusia adalah seprangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan rumusan di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara. Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian hak asasi manusia (HAM) yang telah dimufakati dan dideklarasikan dalam konvensi-konvensi internasioanl baik yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) atau Internasional 2 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2003),

4 Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan konvenan Internasional lainnya tentang hak sipil. 3 Kebebasan sendiri menurut perspektif HAM adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan, ketiadaan kendala (hambatan), kekuasan untuk memilih tindakan seseorang atau sering disebut kebebasan dasar (fundamental freedom). 4 Kebebasan beragama atau berkeyakinan menurut Deklarasi Universal tentang Hak- Hak Asasi Manusia dalam artikel ke 18 adalah Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk beralih agama atau kepercayaan, dan juga kebebasan, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, serta baik di depan umum maupun pribadi, untuk memperlihatkan agama atau kepercayaannya, dengan jalan mengajarkan, mempraktekkan, beribadat atau melakukan kewajiban-kewajiban agama. 5 Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan menurut perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) terbagi dalam dua aspek. Pertama, kebebasan internal (forum internum), pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan eksternal (forum externum) pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan, secara individu di dalam masyarakat, di muka publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan di dalam pengajaran, pengamalan dan peribadahannya. 6 Komentar umum komite HAM PBB yang merupakan penafsiran otoritatif atas ketentuan Konvenan internasional hak sipil dan politik mempertegas uraian di atas dengan 3 Nicola Colbran, KebebasanBeragamaatauberkeyakinan:SeberapaJauh(Yogyakarta:Kanisius,2010), John Kelsay & Sumner B. Twiss, Agama dan Hak-hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Interfidei, 2007),Iii. 5 Olaf H Schumann, Dialog AntarUmatBeragama(Jakarta:BPKGunungMulia, 2008), SitiMusdahMulia,MerayakanKebebasanBeragama, ed. ElzaPeldiTaher, (Jakarta: ICRP&KOmpas, 2009),

5 menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya meliputi dua dimensi, yaitu individual dan kolektif. Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada individu maupun individu harus melakukannya bersama-sama dengan orang lain. Dengan demikian sebuah kelompok keagamaan juga mempunyai hak untuk mengekspresikan atau melaksanakan kepercayaan agama mereka. 7 Komentar umum pasal 18 juga mengandung 2 aspek yaitu kebebasan berkeyakinan atau beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Dengan demikian pasal ini melindungi dua aspek kebebasan beragama yaitu kebebasan spiritual seseorang (forum internum) dan kebebasan mengeluarkan (manifestasi) keberadaan spiritual tersebut serta mempertahankannya di depan publik (forum eksternum). 8 Untuk jaminan kebebasan memilih atau memeluk agama (forum internum) tidak dapat dikurangi atau dibatasi (non-derogable rights) sedangkan jaminan kebebasan mengekspresikan (manifestasi) ajaran agama dapat dibatasi (derogable). Pembatasan negara terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama (forum eksternum) harus didasarkan pada alasan untuk menjaga ketertiban umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat (public health and morals). Dan bentuk pembatasan ini harus dinyatakan dengan Undangundang. Sebagai contoh, pelarangan terhadap sekte David Coresh di New Mexico dan Children of God. Sekte ini dilarangan karena dianggap membahayakan nyawa orang lain dan nyawa para pengikutnya. Sedangkan untuk Children of God sekte ini dilarangan karena berpotensi menimbulkan ganguan terhadap moral masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memperhatikan norma-norma hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945 maupun instrumen internasional hak asasi manusia. 7 Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme,34. 8 Ibid.,

6 Dalam komentar umum komite HAM PBB terhadap pasal 18 pembatasan harus terkait secara langsung dan sepadan dengan kebutuhan khusus yang mendasarinya. Pebatasan tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif. 9 Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan memiliki pengertian berikut setiap pembedaan, penyampingan, pelarangan atau pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan. 10 Prinsip ini tidak berbeda dengan deklarasi HAM tentang Penghapusan semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan Pasal 2 ayat (2) ungkapan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan berarti pembedaan, pengeluaran, pelarangan atau pilih kasih berdasarkan agama atau kepercayaan yang bertujuan atau berakibatkan pembatalan atau peruskan pada pengakuan penikmatan atau pelaksanaan HAM dan kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan. 11 Penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama menjadi salah satu prinsip utama dalam dalam jaminan kebebasan beragama menurut perspektif HAM. Itulah sebabnya PBB membuat deklarasi khusus tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama/kepercayaan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) tidak seorangpun menjadi target diskriminasi yang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok orang atau orang atas dasar agama/kepercayaan. Ayat (2) tidak seorangpun dapat dipaksa yang mengurangi kebebasan beragama/berkeyakinan sesuai dengan pilihannya terkait dengan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan ini, negara memiliki kewajiban sebagai berikut mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghilangkan diskriminasi 9 Kebebasan beragama, Stanley Adi Prasetyo,Pluralisme, Ibid.,

7 mengerahkan segala upaya untuk mengundangkan atau menghapuskan perundang-undangan apabila diperlukan untuk melarang diskriminasi apapun mengambil segala langkah yang tepat untuk memerangi diskriminasi berbasis agama atau keyakinan. Uraian di atas memberikan keterangan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap warga negaranya bahkan setiap orang yang ada di wilayahnya dari tindakan intoleransi dan diskriminasi. Negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi diskriminasi berbasis agama tersebut. Ketentuan ini kemudian diatur dalam norma hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa pemangku kewajiban HAM sepenuhnya tak lain adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. 12 Ketentuan tersebut merujuk pada penjelasan dalam komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Dalam menjalankan kewajibannya pemerintah sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama, pemerintah harus menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak asasi manusia tersebut. Pemerintah yang berfungsi sebagai penyelenggara negara semestinya harus berfungsi sebagai penjamin sekaligus penjaga agar hak-hak setiap warga negara tidak ada yang terlanggar. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut pemerintah tidak boleh campur tangan dan mengintervensi dalam menentukan hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable rights). 13 Hal ini dikarenakan, memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan sesuatu yang dianugerahkan oleh negara atau pemerintah, namun sesuatu yang dimiliki setiap individu dan kelompok agama semata-mata karena mereka manusia. 12 Stanley AdiPrasetyo, Pluralisme, Dialog dankeadilan, Ibid.,

8 IV.3. Kebebasan Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) Ditinjau Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Hak Asasi Manusia (HAM) Perdebatan tentang HAK Asasi Manusia (HAM) menurut Jimly Asshiddiqei, telah mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencar-gencarnya diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Perdebatan itu terekam dengan jelas di dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas draf konstitusi untuk negara Indonesia yang akan dibentuk. 14 Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengesahkan UUD Ada lima Hak Asasi Manusia yang termuat dalam UUD Pertama pasal 27, tentang persamaan dan kesamaan hukum serta mendapatkan hak penghidupan yang layak. Kedua pasal 28, tentang hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Ketiga, pasal 29, tentang hak memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaan. Keempat, pasal 31 hak mendapatkan pengajaran/pendidikan. Dan kelima, hak farkir miskin dan anak terlantar. 15 Sedangkan seperti kita ketahui deklarasi HAM baru dilaksanakan tahun Jadi sebagai bangsa kita boleh bangga karena pengakuan dan perlindungan terhadap HAM telah terlebih dahulu kita lakukan. Namun kebanggaan tersebut hanya isapan jempol belaka apabila kita memperhatikan laporan dari para pemerhati HAM di Indonesia yang menunjukan kasus pelanggran kebebasan beragama sangat tinggi. Tercatat 135 pelanggran kebebasan beragama sepanjang tahun 2007 menurut SETARA Institut. 16 Sementara tahun 2010 terjadi 216 pelanggran kebebasan beragama, 17 dan ditahun 2011 baru sampai pertengah tahun sudah tercatat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta :Prenada Media, 2005), v. 15 Ibid., Siti Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan Beragama, Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme & Dialog Keadilan,

9 kasus pelanggran kebebasan beragama. 18 Tidaklah heran apabila komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2012 mendesak Indonesia untuk menghapuskan diskriminasi berdasarkan agama. 19 Melihat kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah jaminan kebebasan beragama yang terdapat dalam konstitusi belum dapat sepenuhnya menjamin kebebasan beragama? Dan apakah kebebasan beragama yang dimaksud UUD 1945 pasal 29 ayat (2) sesuai atau tidak dengan kebebasan beragama yang dimaksud dalam deklarasi HAM? Pada prinsipnya UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) merupakan bagian dari pengakuan negara atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya. Jaminan yang diberikan negara terhadap Pasal 29 merupakan bentuk penegasan dari pemerintah terhadap kebebasan beragama dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaan masing-masing warga negara. 20 Menurut pengertian ini negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya terhadap pelanggran kebebasan beragama. Prinsip ini sesuai dengan komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Bahkan negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi diskriminasi berbasis agama. Pemerintah menurut Pasal 29 ayat (2) secara eksplisit hanya diberikan tugas untuk menjamin kebebasan beragama. Namun kata menjamin menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai menanggung dan memenuhi. Pengertian ini dapat dikatakan sama dengan kewajiban pemerintah menurut Deklarasi HAM bahwa dalam 18 Aries setiawan&syahrulansyari,pelanggaran Kebebasan Beragama Tinggi. diakses 12 June diakses 5 January Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragam Dalam Perspektif UUD,

10 menjalankan kewajibannya sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama, pemerintah harus menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak asasi manusia tersebut. Menurut penulis atas dasar kesesuaian prinsip tersebut pemerintah dengan mudah meratifikasi ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 71 yang berbunyi Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang - undang ini, peraturan perundang- undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia. 21 Kebebasan beragama setiap individu untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dijamin secara utuh dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Tidak ada pembedaan jaminan kebebasan antara keduanya. Dengan kata lain sifat jaminan kebebasan yang diberikan pada kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama sama. Hal ini berbeda dengan jaminan kebebasan beragama menurut deklarasi HAM. Menurut perspektif HAM kebebasan memeluk agama merupakan bagian dari kebebasan internal (forum internum) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat nasional sekalipun. Sedangkan kebebasan beribadat menurut agamanya merupakan bagian dari kebebasan eksternal (forum eksternum) dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan untuk membatasi kebebasan tersebut. Jaminan kebebasan beragama untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menurut Soepomo tidak boleh dibatasi. Karena tidak ada perbedaan jaminan antara memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, maka hal ini berlaku sama. Berdasarkan keterangan di atas penulis berpendapat pembatasan kebebasan beragama baik itu memeluk agama ataupun beribadat menurut agama merupakan pelanggaran kebebasan. 21 Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme,

11 Walaupun pembatasan dapat dilakukan pemerintah terhadap kebebasan eksternal (forum eksternum), namun syarat ketentuan pembatasan tetap menjamin kebebasan beragama. Berdasarkan komentar umum Komite HAM PBB nomor 22 terhadap Pasal 18, Pemerintah hanya boleh melakukan pembatasan dengan alasan untuk menjaga ketertiban umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat (public health and morals) dan kebebasan fundamental lainnya. Ketentuan selanjutnya adalah pembatasan tidak diperbolehkan apabila peraturan tersebut mengintervensi kebebasan memanisfestasikan agama atau keyakinan seseorang. 22 Dan pembatasan terhadap manisfestasi agama seseorang hanya diperbolehkan jika pembatasan tersebut tidak diskriminatif. Rumusan Pasal 29 ayat (2) dengan rumusan Pasal 18 deklarasi HAM secara prinsip sama. Siti Musdah Mulia juga menyatakan bahwa jaminan kebebasan beragama dalam Pasal 29 senafas dengan Pasal 18 deklarasi HAM. Menurut penulis hal yang membedakan adalah Pasal 18 DUHAM memiliki operasional hukum untuk melaksanakan jaminan kebebasan tersebut, sehingga memberikan kejelasan kebebasan apa yang dijamin secara penuh dan kebebasan apa yang dapat dibatasi serta bagaimana membatasinya. Dengan adanya kejelasan seperti ini, pembatasan tidak menjadi persoalan dalam jaminan kebebasan beragama. Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dalam Deklarasi Penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dengan jelas melarang segala tindakan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan negara diberi tugas untuk mencegah serta memberikan perlindungan bagi setiap orang yang mendapat perlakuan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama. Ketentuan ini secara eksplisit tidak ada diatur dalam Pasal 29 ayat (2). Namun, para pendiri bangsa dalam perdebatannya menegaskan bahwa pokok pikiran UUD yang disusun menerima aliran pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham 22 Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan beragama atau Bekeyakinan Seberapa Jauh,

12 perseorangan. Negara berdaarkan pikiran ini adalah negara persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya tanpa ada perbedaan berdasarkan etnis, suku, golongan dan agama. Pokok pikiran tersebut semakin dikuatkan dengan bersepaktanya para pendiri bangsa untuk menghapuskan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Dengan dihapusnya 7 kata dalam sila pertama pancasila mengakibatkan hilangnya keistimewaan Islam. Hilangnya keistimewaan Islam sebagai agama mayoritas menurut penulis adalah penegasan para pendiri bangsa seluruh warga negara sama, setara kedudukannya dan derajatnya. Dihapusnya ketujuh kata dalam sila pertama Pancasila (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) menurut Yudi Latif adalah penolakan ideologi Islam sebagai ideologi negara. Dengan demikian, negara kembali kepada gagasan negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Menurut pemahaman ini hubungan negara dan agama menjadi netral. Kenetralan negara atas agama secara tegas ditekankan dalam deklarasi HAM tentang agama dan tentang penghapusan intoleransi dan diskriminasi. Dalam menjalankan kewenangannya negara berkewajiban untuk tetap netral dan tidak memihak 23 IV.4. Kebebasan Beragama Menurut Perspektif PBM Ditinjau Dalam Kebebasan Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri bertujuan untuk mengatur kehidupan beragama. Konteks kehidupan beragama di Indonesia yang majemuk membutuhkan pengaturan kehidupan beragama. Hanya saja, dalam membuataturan hukum harus konsisten dengan amanat Pancasila dan UUD Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. 24 Oleh sebab itu, pengaturan kehidupan beragama bertujuan untuk melindungi dan menjamin keamanan umat 23 Ibid., Ibid., 8. 71

13 beragama dari tindakan intimidasi dan diskriminasi jika warganya akan melaksanakan ajaran agama. Tujuan di atas merupakan bagian dari prinsip kebebasan beragama. Kebebasan Beragama yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2) sebagaimana telah diuraikan dalm Bab II menjadi perspektif untuk melihat apakah peraturan Bersama Menteri menjamin kebebasan beragama dan tidak melanggar prinsip kebebasan beragama. Untuk menguji apakah Peraturan Bersama Menteri tidak melanggar prinsip kebebasan beragama dan bersifat diskriminatif atau tidak, ada dua hal pokok dalam Peraturan Bersama Menteri yang akan dikaji menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Pertama, maksud dan tujuan pembentukan Peraturan Bersama Menteri. Kedua, dampak yang ditimbulkan akibat Peraturan Bersama Menteri terhadap pendirian rumah ibadah. Pertama, maksud dan tujuan peraturan Bersama Menteri dibentuk untuk mengontrol dan mengatur pendirian rumah ibadah. Pengontrolan dan pengaturan pendirian rumah ibadah sama dengan bentuk pembatasan pendirian rumah ibadah. Pembatasan pendirian rumah ibadah secara tidak langsung merupakan pembatasan umat beragama untuk beribadah. Sebab untuk beribadah umat beragama memerlukan rumah ibadah. Dengan demikian beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Oleh sebab itu, pembatasan pendirian rumah ibadah merupakan upaya penghambatan pemeluk agama untuk dapat beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Dalam kaitannya tentang jaminan kebebasan beragama, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) dengan tegas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi setiap warga negara untuk memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Ada dua kebebasan beragama yang dijamin dalam pasal 29 ayat (2). Pertama, jaminan kebebasan untuk memilih dan/atau memeluk agama atau kepercayaannya. Kedua, jaminan kebebasan untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. 72

14 Berdasarkan uraian di atas bahwa beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah, maka pendirian rumah ibadah bagian dari kebebasan beribadah. Apabila negara menjamin kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya, maka negara juga harus menjamin kebebasan warga negara untuk membangun rumah ibadahnya. Menurut hemat penulis pembatasan pendirian rumah ibadah mengakibatkan terhambatnya pemeluk agama untuk beribadah. Selain menghambat pemeluk agama untuk beribadah, pembatasan pendirian rumah ibadah adalah upaya menghalang-halangi pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya. Dengan terhambat dan terhalang-halanginya umat beragama untuk beribadah, maka pada saat itu umat beragama kehilangan kebebasan beragamanya dalam beribadah. Hilangnya kebebasan umat beragama untuk beribadah sama dengan hilangnya jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Jadi pembatasan pendirian rumah ibadah merupakan pelanggran terhadap jaminan kebebasan beragama. Hilangnya jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya menurut penulis merupakan pengingkaran terhadap semangat para pendiri bangsa pada saat merumuskan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2). Menurut Moh. Yamin rumusan Undang-undang ini merupakan jaminan hak rakyat sebagai manusia merdeka. Pernyataanya Yamin ditegaskan pula oleh Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945 dengan menyatakan bahwa negara berdasarkan pada ke-tuhanan dan dasar kemanusiaan, atas dasar ini negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pengakuan dasar kemanusiaan yang kemudian dijamin kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa tidak hanya pada jaminan untuk memeluk agamanya, tetapi juga jaminan untuk beribadat menurut agamanya. Jadi dengan hilangannya jaminan kebebasan untuk beribadah menurut agamanya, maka hilang pula pengakuan dasar kemanusiaan warga negara. 73

15 Tafsiran Moh Mahfud MD terhadap pasal 29 tidak jauh berbeda dengan semangat para pendiri bangsa dalam merumuskan pasal ini. MenurutMoh. Mahfud MD pasal 29 ayat (2) merupakan pengakuan agama sebagai hak asasi manusia. Pasal itu juga menegaskan soal tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaan masing-masing warga negara. 25 Berdasarkan uraian di atas negara tidak berhenti pada pengakuan agama sebagai hak asasi manusia. Konsekuensi dari itu, negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negara apabila kebebasan beragama tersebut dirampas/hilang berupa pembatasan atau penghalang-halangan warga negara dalam memeluk agama atau beribadah menurut agama atau kepercayaanya. Berdasarkanpemahaman di atas penulis berpendapat ketidak-mampuannegara memberikan perlindungan bagi warga negara yang hak kebebasan beragamanya dirampas oleh kelompok intoleran adalah kegagalan negara melaksanakan amanat konstitusi yang juga merupakan amanat para pendiri bangsa. Namun, apabila justru yang merampas/menghilangkan jaminan kebebasan beragama dari warga negara adalah pemerintah, maka pemerintah telah mengkhianati konstitusi negara ini dan sekaligus para pendiri bangsa. Jadi pembatasan pendirian rumah ibadah yang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri merupakan pengkhianatan pemerintah terhadap konstitusi negara dan para pendiri bangsa. Kedua,untuk kajiandampak-dampak pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM terhadap jaminan kebebasan beragama menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) akan menjadikan ketentuan keperluaan nyata menjadi pokok pembahasaan. Menurut ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri pendirian rumah ibadah berdasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh. Keperluan nyata disini adalah rumah ibadah yang hendak dibangun 25 Ibid.,9. 74

16 digunakan minimal oleh 90 orang dan mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang. Menurut Weinata Sairin ketentuan minimal 90 orang pengguna rumah ibadah menunjukan Peraturan Bersama ini lebih mementingkan kuantitas/jumlah pengguna rumah ibadah, dan ini jelas lebih menguntungkan kelompok mayoritas agama di mana pun berada di seluruh wilayah Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan uraian di atas, Setara Institut juga menilai ketentuan minimal 90 orang pengguna/umat untuk mendirikan rumah ibadah merupakan produk hukum untuk membatasi kelompok lain dalam hal ini kelompok minoritas. Sebab pengaturan ini tidak menjadi masalah bagi pemeluk agama mayoritas sedangkan merugikan bagi pemeluk agama minoritas. Dengan memperhatikan keterangan di atas menurut penulis ketentuan ini telah merampas jaminan kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Tidak hanya itu, ketentuan ini menciptakan ketidak setaraan warga negara dalam beragama atau berkeyakinan. Tidak hanya ketentuan pengguna rumah ibadah 90 orang yang menjadi kesulitan agama minoritas. Ketentuan pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang juga sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Apalagi menurut hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan mayoritas penduduk negeri ini masih belum dapat menerima adanya rumah ibadah pemeluk agama lain berdiri di daerahnya. Sebanyak 68.2% masyarakat tidak suka ada rumah ibadah agama lain di lingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak keberatan. Berdasarkan fakta di atas, maka ketentuan ini dapat digunakan kelompok intoleran dari agama mayoritas untuk membenarkan tindakannya dengan tidak memberikan ijin pendirian rumah ibadah.dalam situasi ini kelompok intoleran telah merampas jaminan kebebasan beragama dari pemeluk agama minoritas. 75

17 Urian di atas mendeskripsikan pengaturan pendirian rumah ibadah yang berdasarkan keperluaan nyata dan sungguh-sungguh yaitu pengguna rumah ibadah minimal 90 orang dan mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang merupakan pengaturan yang memberikan keistimewaan bagi agama mayoritas. Keistimewaan tersebut digunakan untuk merampas kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Sedangkan jaminan kebebasan beragam menurut UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menurut penulis tidak memberikan ruang kepada siapa pun melakukan pembatasan kebebasan beragama apalagi sampai pada tindakan perampasan kebebasan beragama. Hal ini sesuai dengan tanggapan Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945 pada saat peserta rapat memperdebatkan jaminan kebebasan beragama dalam pasal 29. Soepomo dengan tegas memberikan penjelasan bahwa Pasal 29 ayat 2 merupakan penegasan bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya. Selanjutnya Soepomo menegaskan pasal ini tidak memberikan peluang terhadap pembasatan kebebasan beragama.walaupun pasal ini awalnya hasil kompromis, namun kompromi sekali-kali bukan bermaksud untuk membatasi kemerdekaan penduduk untuk beragama. Jadi pengaturan kebebasan beragama yang bersifat pembasatan berdampak pada terampasanya jaminan kebebasan beragama warga negara tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Jaminan kebebasan untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya atau kepercayaannya berlaku untuk setiap warga negara. Hal ini merupakan dasar dan cita-cita bersama pendiri bangsa pada saat merancang UUD Menurut Soepomo dasar-dasar pokok pikiran dan cita-cita itu adalah menerima aliran pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut paham ini adalah negara persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. 76

18 Menurut penulis berdasarkan uraian di atas negara menjadikan dan sekaligus menjamin setiap warga negara dengan latar belakang suku, agama dan golongnnya mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama.dalam perspektif demikian, maka pengaturan pengguna rumah minimal 90 orang yang hanya mengakibatkan sulitnya pemeluk agama minoritas mendirikan rumah ibadah bertentangan dengan semangat pokok-pokok pikiran para pendiri bangsa ini. Sebab, walaupun pengaturan ini berlaku untuk semua warga negara, namun sifat pengaturan ini cenderung hanya untuk mempersulit atau membatasi kebebasan beragama dari agama minoritas. Dapatlah dikatakan pengaturan ini bersifat diskriminatif bagi pemeluk agama minoritas. Dan hal ini tidak sesuai dengan pokok-pokok pikiran dan cita-cita para pendiri bangasa. Setelah syarat keperluan nyata di atas terpenuhi ijin mendirikan rumah ibadah belum dapat dikeluarkan apabila belum mendapat rekomendasi dari FKUB setempat dalam tingkat kabupaten/ kota atau provinsi. Keanggotaan FKUB berdasarkan representatif jumlah perbandingan pemeluk agama setempat. Tentu saja perwakilan agama mayoritas akan lebih banyak dari perwakilan agama minoritas. Dalam situasi seperti ini tidaklah sulit bagi agama mayoritas untuk mendapatkan rekomendasi, namun menyulitkan bagi agama minoritas. Salah satu hasil inventalisir permasalahan pemberdayaan FKUB yang dilakukan Prof. Dr. HM. Atho. Mudzharmenemukan justru FKUB yang mempersulit ijin pendirian rumah ibadah. Dari urian di atas penulis berpendapat bahwa ketentuan rekomendasi masyarakat sekitar minimal 60 orang dan rekomendasi FKUB pada prinsip sama yaitu pemberian hak istimewa bagi agama mayoritas. Hak istimewa tersebut ialah agama mayoritas diberikan kewenangan untuk menentukan apakah agama minoritas bisa beribadah di rumah ibadahnya atau tidak. Pemberian hak istimewa bagi agama mayoritas merupakan tindakan diskriminatif bagi agama minoritas. Dan hal ini berbenturan dengan semangat para pendiri bangsa saat merumusakan dasar negara dan UUUD Sebab sepakatnya para pendiri bangsa untuk 77

19 menghapuskan tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya, merupakan kesepakatan para pendiri bangsa untuk menghilangkan keistimewaan satu kelompok atau golongan yang dalam hal ini adalah agama Islam. Pemberian hak istimewa diberikan karena agama Islam adalah agama mayoritas. Kesepakatan menghilangkan keistimewaan Islam berarti kesepakatan untuk menjadikan semua warga negara sama, punya hak dan kewajiban yang sama, tidak ada kelompok, golongan atau agama yang lebih tinggi dan tidak ada kelompok, golongan atau agama yang lebih rendah. Penghapusan ke-tujuh kata tersebut bukan hanya menghilangkan keistimewan Islam, namun penegasan para pendiri bangsa bahwa setiap warga negara bebas memeluk agamanya dan beribadat sesuai dengan agamanya. Hal ini sekaligus penegasan para pendiri bangsa bahwa tidak boleh ada pembatasan bagi setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Dengan prinsip seperti ini, maka tidak boleh ada tindakan intimidasi dan diskriminasi dari satu kelompok pada kelompok lainnya. Hasil kajian pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri memperlihatkan bahwa pengaturan ini bersifat membatasi dan mengontrol pendirian rumah ibadah. Pembatasan dan pengontrolan rumah ibadah mengakibatkan terhambat dan terhalanghalanginya umat untuk beragama menurut agamanya. Dan pada situasi tersebut warga negara telah kehilangan jaminan kebebasan beribadah menurut agamanya yang telah berikan negara melalui UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Berdasarkan hal ini penulis berpendapat bahwa pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama menteri bertentangan dengan prinsip jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Dengan demikian dibuatnya Peraturan Bersama Menteri oleh pemerintah adalah bukti pemerintah tidak konsisten memberikan jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya. 78

20 IV.5. Kebebasan Beragama Menurut Peraturan Bersama Menteri Ditinjau Menurut Perspekitf Kebebasan Beragama Deklarasi HAM Penutupan dan pengruskan rumah ibadah khususnya gereja di Indonesia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tercatat dalam kurun waktu sebanyak gereja mengalami ganguan berupa penutupan dan pengruskan. 26 Data ini tidaklah mengejutkan apabila mengacu pada hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama terhadap pembangunan rumah ibadah sangat rendah. Hasil survey menunjukan sebanyak 68.2% masyakat tidak suka ada rumah ibadah agama lain dilingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak keberatan. Hal yang paling sangat disesalkan adalah pemerintah justru memfasilitasi masyarakat untuk mengekspresikan sikap intoleran tersebut melalui Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian rumah ibadah. Pemerintah mengkleim pendirian rumah ibadah merupakan bagian dari ekspresi keagamaan (manifestasi agama) yang dapat dibatasi. Jaminan kebebasan beragama menurut perspektif HAM juga memberikan pembatasan terhadap manifestasi agama. Pembatasan manifestasi agama dalam perspektif HAM tidak boleh mengakibatkan pengurangan penikmatan jaminan kebebasan beragama. Sedangkan dalam uraian di atas terlihat pembatasan pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri justru mengakibatkan pengurangan penikmatan jaminan kebebasan beragama. Melihat kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah pembatasan manifestasi agama (pendirian rumah ibadah) sesuai dengan prinsip pembatasan manifestasi agama dalam jaminan kebebasan beragama menurut perspektif HAM Gereja-Yang-Dirusak-dan-Ditutup. Diakses 9 February

21 Berdasarkan urian dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa maksud pemerintah melakukan pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM untuk menjaga ketertiban umum. Tujuan ini bersesuain dengan komentar umum pasal 18 paragraf 8 yang menyatakan pemabatasan terhadap kebebasan eksternal harus didasarkan pada alasan untuk menjaga ketertiban umum. Ketertiban publik yang dimaksud menurut perspektif HAM adalah pencegahan kekacauan publik. 27 Berdasarkan pengertian ini penulis berpendapat bahwa pemerintah menganggap kehadiran rumah ibadah dapat membawa kekacauan dalam masyarakat. Pembatasan manifestasi agama yang bertujuan untuk menjaga keamanan publik tidak diperbolehkan kalau peraturan tersebut mengintervensi kebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang. Sedangkan pembatasan dalam PBM telah mengakibatkan terhambat atau terhalang-halanginya umat untuk beribadah menurut agamanya. Terhambat dan terhalanginya umat untuk beribadah jelas merupakan tindakan intervensi terhadap kebebasan beribadah menurut agamanya. Dampak intervensi terhadap kebebasan beribadah di atas mengakibatkan pengurangan atau bahkan hilangnya jaminan kebebasan beragama. Sebab dalam Pasal 29 ayat (3) deklarasi HAM pembatasan tidak boleh mengurangi jaminan kebebasan beragama yang telah diberikan. 28 Mengacu pada deklarasi penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama, pembatasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama. 29 Komentar Umum komite HAM PBB juga menyatakan pembatasan tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara-cara diskriminatif. Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan memiliki pengertian berikut setiap pembedaan, penyampingan, pelarangan atau 27 Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan Berkeyakinan, Ibid., Ibid.,

22 pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan. Pembatasan yang bersifat intoleransi dan diskriminasi merupakan pelanggaran kebebasan beragama. 30 Secara eksplisit pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM tidak ada ketentuan yang bersifat intoleran dan diskriminasi terhadap satu agama tertentu. Namun ketentuan pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan masyarakat sekitar terbukti dijadikan pembenaran sikap intoleransi berdasarkan agama. Sikap intoleransi berdasarkan agama tersebut dapat dilihat dari sikap masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah agama lain dilingkungannya. Bahkan masyarakat intoleran ini tidak segan merampas jaminan kebebasan beragama pemeluk agama tertentu dengan melakukan penutupan bahkan perusakan rumah ibadah dengan dalih tindakan mereka didasarkan peraturan yang ada dalam PBM. Jadi walaupun secara jelas tidak ada ketentuan yng bersifat intoleransi dan diskriminasi dalam PBM, namun tidak dapat dipungkiri dalam penerapannya PBM telah memicu sekaligus memfasilitasi sikap intoleransi dan diskriminasi dalam masyarakat. Menurut Pasal 18 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Pasal 9 ayat (2) Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia, pembatasan terhadap kebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan hanya dibenarkan apabila ditentukan oleh Undang-undang. 31 Namun pemerintah melakukan pembatasan terhadap manifestasi agama dengan Peraturan Bersama Menteri. Peraturan Bersama Menteri menurut UU No. 12 Tahun 2011tentang Peraturan Perundangundangan Republik Indonesiamerupakan bagian dari perundang-undangan. Timbul 30 Ibid., Kebebasan beragama,

23 pertanyaan dari sini, mengapa pemerintah melakukan pembatasan terhadap manifestasi agama bukan dengan Undang-undang melainkan Peraturan Bersama Menteri? Pembentukan Peraturan Bersama Menteri belum memiliki peraturan yang mengatur bagimana proses, prosedur dan tata cara pembentukannya. Peraturan Bersama Menteri dibentuk hanya berdasarkan pada kebiasaan. Menurut kebiasaannya, untuk menyususn Peraturan Bersama Menteri dibentuk tim antar departemen kementerian yang bekerjasama untuk merumuskan. Dan sesudahnya masing-masing menteri bertanda tangan. 32 Dengan memperhatikan seluruh proses di atas, untuk membuat Peraturan Bersama Menteri mekanismenya tidaklah rumit karena tanpa harus melibatkan DPR. Penulis menduga kemudahan untuk membentuk Peraturan Bersama Menteri inilah yang menjadi pertimbangan mengapa pembatasan manifestasi agama dalam hal ini pendirian rumah ibadah dilakukan dengan Peraturan Bersama Menteri.Namun yang harus ditegaskan adalah penggunaan PBM untuk membatasi menifestasi agama telah melanggar ketentuan yang diatur dalam deklarasi HAM tentang jaminan kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri telah mengatur sesuatu hal diluar kewenangnnya. Menurut perspektif HAM dalam melaksanakan tugasnya pemerintah tidak boleh mencampuri atau mengintervensi kebebasan beragama. Namun pemerintah diberikan wewenang untuk membatasi kebebasan memanifestasikan agama. Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah bentuk campur tangan pemerintah terhadap kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri ini mengatur mekanisme pendirian rumah ibadah. Sedangkan beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Sedangkan pengaturan dalam PBM menyebabkan terampasnya jaminan kebebasan pemeluk agama untuk beribadat menurut agamanya. 32 Ibid.,

24 Apabila memperhatikan pengaturan dalam PBM tidak ada pelarangan beribadah terhadap satu kelompok agama tertentu. Pengaturan dalam PBM berlaku untuk semua agama tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini PBM jelas tidak melanggar prinsip kebebasan beragama. Karena Indonesia telah meratifikasi kebebasan beragama menurut HAM, maka pembatasan terhadap manifestasi agama tidaklah bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa banyak rumah ibadah yang tidak diperbolehkan dibangun? Dan mengapa banyak rumah ibadah yang ditutup bahkan dirusakan? Dan seluruh tindakan tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri. Menurut penulis justru disitulah keunggulan Peraturan Bersama Menteri ini semua terlihat normal dan tidak ada yang salah. Namun pada waktu ketentuan ini diterapkan baru dampaknya akan terlihat. Akan ada pelarangan pendirian rumah ibadah, penutupan bahkan pengrusakan. Semua tindakan tersebut didasari Peraturan Bersama Menteri. Walaupun seluruh tindakan tersebut didasari Peraturan yang dibuat pemerintah, namun yang melakukan perampasan jaminan kebebasan beragama bukan pemerintah melainkan masyarakat. Dalam situasi seperti di atas tidak tahu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap tindakan perampasan jaminan kebebasan beragama tersebut. Kelompok masyarakat intoleran tidak dapat dipersalahkan karena tindakannya didasarkan pada sebuah peraturan yang di buat pemerintah. Pemerintah tidak dapat sepenuhnya dikatakan gagal memberikan jaminan kebebasan beragama, sebab pemilik rumuh ibadah juga salah melanggar ketentuan yang sudah di atur. Dengan memperhatikan seluruh urian tersebut penulis berpendapat, ketidak mampuan pemerintah untuk bersikap netral terhadap desakan masyoritas kemudian mengambil jalan keluar dengan membuat PBM. PBM memfasilitasi kelompok intoleran yang merasa punya hak lebih mengekspresikan tindakannya. Mekaniksme PBM yang ada ditangan masyarakat menjadikan pemerintah tidak dapat disalahkan. 83

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

BAB V PENUTUP. merumuskannya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap BAB V PENUTUP V.1. Kesimpulan Konteks kemajemukan beragama di Indonesia menjadikan prinsip kebebasan beragama begitu penting. Para pendiri bangsa telah menyadari akan pentingnya hal ini yang kemudian merumuskannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini penting karena kemajemukan itu mempunyai dua dimensi. Dan hal ini juga berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini penting karena kemajemukan itu mempunyai dua dimensi. Dan hal ini juga berlaku BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Pluralitas agama di Indonesia adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Pluralitaas merupakan fakta sosiologis yang harus dijunjung tinggi,

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. Bahwa setiap manusia,

Lebih terperinci

BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA Pasal 29 Ayat (2)

BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA Pasal 29 Ayat (2) BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA 1945 Pasal 29 Ayat (2) II.1. Pengantar Indonesia merupakan negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modren adalah negara yang pembentukannya didasarkan

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H. TRAINING OF TRAINER (TOT) PENGEMBANGAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA BAGI GADIK SATUAN PENDIDIKAN POLRI Hotel Jogjakarta Plaza, 21 24 Maret 2016 MAKALAH HAM dan Kebebasan Beragama Oleh: M. syafi ie, S.H.,

Lebih terperinci

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR A. FAKTA HUKUM 1. Bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI Antonio Prajasto Roichatul Aswidah Indonesia telah mengalami proses demokrasi lebih dari satu dekade terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 1998. Kebebasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS 2017 Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si KOALISI PEREMPUAN INDONESIA Hotel Ambara, 19 Januari 2017 Pengertian Keadilan dan Kesetaraan Gender

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati,

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia (HAM) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. Orang lain tidak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin maju mensyaratkan para pekerja yang cakap, profesional dan terampil.

BAB I PENDAHULUAN. semakin maju mensyaratkan para pekerja yang cakap, profesional dan terampil. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Problem tenaga kerja di Indonesia sangatlah kompleks. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang. Jumlah pertumbuhan

Lebih terperinci

Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama...

Deklarasi Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama... DEKLARASI PENGHAPUSAN SEMUA BENTUK INTOLERANSI DAN DISKRIMINASI BERDASARKAN AGAMA ATAU KEPERCAYAAN (Diumumkan oleh resolusi Sidang Perserikatan Bangsa- Bangsa No. 36/55 pada tanggal 25 Nopember 1981) -

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 tanggal 19 Juli 2010 atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa macam suku, adat istiadat, dan juga agama. Kemajemukan bangsa Indonesia ini secara positif dapat

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA DOSEN PENGAMPU : HARI SUDIBYO S.KOM UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA NAMA: HERI SANTOSO NIM: 11.11.5151

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di hadapan Tuhan. Manusia dianugerahi akal budi dan hati nurani sehingga mampu membedakan yang

Lebih terperinci

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.170, 2008 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Pancasila Material ; Filsafat hidup bangsa, Jiwa bangsa, Kepribadian bangsa, Sarana tujuan hidup bangsa, Pandangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

HAK KEBEBASAN BERAGAMA

HAK KEBEBASAN BERAGAMA HAK KEBEBASAN BERAGAMA Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-4) FH UNSRI JAMINAN HUKUM Peraturan-peraturan yang menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia tercantum dalam UUD

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------- KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016

Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016 Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016 Pokok Bahasan Memahami substansi hak-hak sipil dan politik Memahami teori dan aturan hukum hak- hak sipil dan politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama adalah penghubung antara manusia dengan Tuhan. Setiap manusia berhak menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1945

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCE NING THE ABOLlT1ON OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

11MKCU. PENDIDIKAN PANCASILA Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara. .Drs. Sugeng Baskoro, M.M.

11MKCU. PENDIDIKAN PANCASILA Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara. .Drs. Sugeng Baskoro, M.M. Modul ke: Fakultas 11MKCU Program Studi Manajemen PENDIDIKAN PANCASILA Makna dan aktualisasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara.drs. Sugeng Baskoro, M.M. Pengertian sila Ketuhanan Yang

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Dra.Hj.Rosdiah Salam, M.Pd. Dra. Nurfaizah, M.Hum. Drs. Latri S,

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK: Sebuah Pengantar

HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK: Sebuah Pengantar HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK: Sebuah Pengantar (Civil and Political Rights: An Introduction) R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hak Asasi Manusia Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Oleh Asep Mulyana Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern,

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Pancasila Material ; Filsafat hidup bangsa, Jiwa bangsa, Kepribadian bangsa, Sarana tujuan hidup bangsa, Pandangan

Lebih terperinci

KISI KISI UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN

KISI KISI UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN KISI KISI UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Nama Sekolah : MTsN 1 Kota Serang Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan Kelas / Kur : VII / K13 Semester : Ganjil Kompetensi Inti :

Lebih terperinci

d. Hak atas kelangsungan hidup. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang.

d. Hak atas kelangsungan hidup. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang. BAB II PEMBAHASAN A. Hak Dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Menurut UUD 1945. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.144, 2015 HAM. Rencana Aksi. Nasional. Tahun 2015-2019. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA. Pengertian HAM

HAK ASASI MANUSIA. Pengertian HAM HAK ASASI MANUSIA Pengertian HAM HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati yang fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap

Lebih terperinci

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2013 HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut

Lebih terperinci

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan

BAB I. memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah. dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG

PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 37 SEMARANG Jl. Sompok No. 43 Telp. 8446802 Semarang Website.www.smp 37.smg.sch.id Email: smp 37 smg @ yahoo.co.id ULANGAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

ATAU BERKEPERCAYAAN. Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights. Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat

ATAU BERKEPERCAYAAN. Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights. Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) Oleh: Despan Heryansyah,

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin NEGARA = State (Inggris), Staat (Belanda),Etat (Perancis) Organisasi tertinggi

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

TEMA: PERAN DPR-RI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA. Kamis, 12 November 2009

TEMA: PERAN DPR-RI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA. Kamis, 12 November 2009 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PIDATO KETUA DPR-RI PADA ACARA ULANG TAHUN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIPOL) KE-15 UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA DAN DIES NATALIS KE-56 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG KETENTRAMAN, KETERTIBAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) KONSEP DASAR HAM Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Kompetensi Dasar : 3.1 Menganalisis upaya pemajuan, Penghormatan,

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana BAB V KESIMPULAN Tidak dapat dipungkiri, setelah dianutnya gagasan hak asasi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat internasional sejak saat itu telah memiliki satu standar bersama dalam

Lebih terperinci

RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN SALINAN RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat C. Konsep

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia sejak berdiri adalah negara hukum, bukan negara yang mendasarkan kepada satu jenis agama secara khusus dalam menjalankan sistem kehidupan

Lebih terperinci