MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan Barat) R O I S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan merupakan gagasan atau karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan untuk program sejenis diperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Bogor, Juli 2011 Rois NRP.P

3 ABSTRACT The exploitation of swamp land is still limited when compared to the cultivation of dry land or irrigated land. Some of the factors that make the exploitation of swamp area far from expectation and its yields not maximum, for example 1) the wrong perception of farmers that the farming they are doing now has given high income, 2) a lack of capital, 3) low technological access, 4) characteristics of farmer s subsistence, and 5) tradition-based farming. This study was aimed to formulate a resources-based swamp land development model to increase land productivity and farmer Income. This research was conducted in the Sub-District of Sungai Ambangah in the District of Sungai Raya, and the Sub- District of Pasak Piang in the District of Sungai Ambawang, in the Regency of Kubu Raya, West Kalimantan Province. The analysis of each crop cultivated in both Sungai Ambangah and Pasak Piang gave the following results respectively for both areas; (1) rice with the R/C ratio of 3,30 and 4,80; (2) rubber with B/C ratio of 1,23 and 24,35; and (3) palm with the B/C ratio of 1,52. These results, if linked to the value of Appropriate Living Needs (ALN) and the minimum land area (ML) that must be fulfilled, indicate that the farmers in Sungai Ambangah could reach only 26,92% of ALN and require a minimum land of about 3,15 hectares; whereas the farmers of Pasak Piang could meet 34,53% of ALN and need a minimum land of approximately 2,54 hectares. Further, the sustainability status for the five dimensions in the existing condition of Sungai Ambangah obtained the index value of 54,82% or the category of sustainable enough for the institutional dimension, while the other four dimensions got the value of less than 50,00%, or categorized as less sustainable. As for the village of Pasak Piang, it got the index value of 52,19% or the category of sustainable enough also for the institutional dimension, whereas the other four dimensions obtained the value of less than 50,00% or considered less sustainable. The model formulated from the results of this study is based on the available local resources in both research sites, a model of sustainable farm development on swamp lands (UTLRL). Conceptually, this is also called an integrated farming model, that is, by integrating crops and livestock. The recommended policies formulated from the results of this study include: (1) the pattern of farming and increased cropping index, (2) maintenance of livestock, (3) the provision of farm capital, (4) the availability of micro finance institutions, (5) the active role of agricultural extension agencies, (6) farmers and farmer groups, (7) support from research institutions and higher education, and (8) post-harvest management and marketing. Key words: model management, swamp land, local resources, sustainable farming

4 RINGKASAN ROIS. Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, IRSAL LAS, MUNIF GHULAMAHDI, dan MACHFUD. Indonesia mempunyai lahan rawa seluas 33,40 juta hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawa lebak dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%. Secara umum, pemanfaatan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala fisik lahan maupun non fisik. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor non fisik sebagai penyebab sehingga pengusahaan rawa lebak masih jauh dari harapan dan belum memberikan hasil yang maksimal, antara lain 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsistem petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Penelitian bertujuan (1) untuk mengidentifikasi karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak, (2) menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak, (3) menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak, (4) mengetahui indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak, (5) mengetahui variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, dan (6) merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di dua desa, yaitu Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, dari bulan Februari sampai bulan Oktober Metode yang digunakan adalah studi literatur, survey dan observasi langsung ke lapangan, wawancara, dan analisis laboratorium. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui survey lapangan, analisis laboratorium, wawancara dan studi literatur. Analisis data meliputi: (1) analisis deskriptif, (2) analisis kesesuaian lahan, (3) analisis kelayakan usahatani, (4) analisis keberlanjutan, (5) analisis leverage, (6) analisis Monte Carlo, (7) analisis kebutuhan pemangku kepentingan, (8) analisis prospektif, (9) analisis pendapatan dan kebutuhan ramahtangga, (10) analisis kebutuhan hidup layak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman utama yang diusahakan oleh petani di rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang terdiri atas: tanaman padi, tanaman karet dan kelapa sawit. Sedangkan kelas kesesuaian lahan aktual pada masing-masing satuan penggunaan lahan yaitu pada kelas sesuai marginal (S3nr), dengan faktor pembatas adalah ph tanah, baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Analisis usahatani masing-masing tanaman yang diusahakan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang berturut-turut adalah (1) tanaman padi nilai R/C ratio 3,30 dan 4,8; (2) tanaman karet nilai benefit cost (B/C) ratio 1,23 dan 24,35, dan (3) tanaman kelapa sawit diperoleh nilai B/C ratio adalah 1,52. Hasil analisis pendapatan usahatani pada kondisi eksisting, apabila dihubungkan

5 dengan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas lahan minimal (Lm) yang harus dipenuhi, maka petani di Desa Sungai Ambangah hanya dapat memenuhi sebesar 26,92% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit adalah 11,48, 5,49 dan 2,21 hektar. Sedangkan untuk petani di Desa Pasak Piang dapat memenuhi sebesar 34,53% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit 12,63, 3,76 dan 2,21 hektar. Selanjutnya, status keberlanjutan untuk lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah diperoleh nilai indeks sebesar 54,82% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Untuk Desa Pasak Piang diperoleh nilai indeks sebesar 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan juga untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Variabel-variabel dominan yang perlu dilakukan perbaikan pada kelima dimensi, masing-masing adalah: [1] Dimensi ekologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) periode tergenang, (2) produktivias lahan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) produktivias lahan, (2) kandungan bahan organik, (3) periode tergenang, dan (4) penggunaan pupuk. [2] Dimensi ekonomi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, (4) produksi usahatani, dan (5) ketersediaan modal usahatani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. [3] Dimensi sosial budaya untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, dan (3) jumlah rumah tangga petani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. [4] Dimensi teknologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (2) pengendalian gulma, dan (3) pemupukan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) jumlah alat pemberatasan jasad penggangu, (2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3) ketersediaan mesin pascapanen. [5] Dimensi kelembagaan untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) keberadaan petugas penyuluh lapangan, (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (3) keberadaan lembaga sosial. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Dari ketiga skenario yang disusun, skenario III, yang memberikan nilai indeks keberlanjutan dan nilai pendapatan usahatani yang tertinggi untuk kedua desa penelitian. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh untuk masing-masing dimensi, berturut-turut adalah yaitu 59,71%, 92,91%, 90,55%, 76,68% dan 85,70% untuk Desa Sungai Ambangah dan 79,89%, 67,11%, 80,18%, 72,58% dan 76,23% untuk Desa Pasak Piang. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari tiga tanaman yang diusahakan berturut-turut adalah Rp ,-, Rp ,- dan Rp ,60,- per hektar per tahun untuk Desa Sungai Ambangah dan Rp ,-, Rp ,- dan Rp Rp ,60,- per hektar per tahun untuk Desa Pasak Piang. Model yang dirumuskan dari hasil penelitian ini yang didasarkan ketersediaan sumberdaya lokal yang ada di kedua lokasi penelitian adalah model pengembangan usahatani lahan rawa lebak (UTLRL) berkelanjutan.

6 Implementasi model pengelolaan lahan rawa lebak ini disebut juga model pertanian terpadu. Penerapan dari model pertanian terpadu dimaksud adalah bentuk integrasi antara tanaman dan ternak. Hasil simulasi model di Sungai Ambangah petani yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, belum dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sedangkan untuk petani yang mempunyai lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit, sebanyak 22,50% telah memenuhi KHL dan sisanya sebanyak 77,50% belum memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dengan melakukan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya masing-masing 1 2 ekor sapi (s1 s2) dan ekor itik (i1-12) dapat memenuhi KHL. Untuk petani di Desa Pasak Piang yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, dari seluruh kombinasi penggunaan lahan yang ada sebanyak 16,67% dapat memenuhi KHL. Dan sisanya sebanyak 83,33% belum dapat memenuhi KHL. Sedangkan untuk petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit sebanyak 58,33% dapat memenuhi KHL, dan sisanya sebanyak 41,67% belum dapat memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dapat dilakukan dengan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya 1-3 ekor sapi (s1 s3) dan ekor itik (i1 i3). Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini berupa: (1) pola tanam dan meningkatkan indeks pertanaman, (2) pemeliharaan ternak, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (5) peran aktif lembaga penyuluhan pertanian, (6) peran aktif petani dan kelompok tani, (7) dukungan lembaga riset dan PT, dan (8) pengelolaan pasacapanen dan pemasaran hasil. Keywords: model pengelolaan, lahan rawa lebak, sumberdaya lokal, usahatani, berkelanjutan

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan Barat) R O I S Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R

9 Penguji pada Ujian Tertutup (Rabu, 27 April 2011): 1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.S. (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Menejemen, IPB) 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc (Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka (Kamis, 21 Juli 2011): 1. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc (Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian) 2. Dr. Ir. Sandra A. Azis, M.S. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB)

10 Judul Disertasi : Nama : Rois NRP. : P Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat) Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua Prof(r). Dr. Ir. Irsal Las, M.S Anggota Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Anggota Dr. Ir. Machfud, M.S Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. M.Agr Tanggal Ujian: 21 Juli 2011 Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah kebijakan pengelolaan rawa lebak, dengan judul Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan di Kalimantan Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS, Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Machfud, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran, dan koreksian-koreksiannya yang kritis dan tajam sehingga menambah kualitas disertasi ini. 3. Rektor Universitas Panca Bhakti dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti Pontianak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Sri Mulatsih, MS, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Menejemen IPB, dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc, Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, sebagai Dosen Penguji pada Ujian Tertutup. 5. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian, dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS, Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. 6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI, melalui penelitian program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T). 8. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, khususnya dinas teknis terkait, Bapak Sarja, SP dan Ibu Ir. Yerlina sebagai kepala BPP Sungai Ambawang dan Sungai Raya, PPL di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, yang telah memberikan bantuan dan informasinya. 9. Para mahasiswa Iskandar, Muhammad Irsad, Johandi, Risi, yang telah membantu dan para Ketua dan Anggota Kelompok Tani serta masyarakat, baik di Desa Sungai Ambangah maupun di Desa Pasak Piang yang telah memberikan informasi dengan segala kesungguhan membantu peneliti selama proses pengumpulan data.

12 10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. 11. Orang Tua dan Mertua saya, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan. 12. Istriku Irma Saftariana, SH dan putra putriku Filza Ghassani Ladupa dan Hafizt Ghilman Ramadhan Ladupa atas segala pengertian, pengorbanan, ketabahan serta doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2011 Rois

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 29 Januari 1967, merupakan putra keempat dari enam bersaudara dari ayah Hasbi Ladupa dan Ibu Siti Maemunah. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, lulus pada tahun Pada tahun 2000 penulis mengikuti program Magister Pertanian (S2) di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, pada Program Studi Ilmu Tanah. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007, dengan Beasiswa BPPS diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak Maret 1994 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak di lingkungan Koordinator Perguruan Tinggi (Kopertis) Wilayah XI Kalimantan. Artikel ilmiah penulis berjudul Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat telah diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: , Volume II Nomor 2 Nopember Artikel berjudul Model Pengembangan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani akan diterbitkan pada Jurnal Sumberdaya Lahan dan Lingkungan edisi Oktober Artikel berjudul Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Usahatani di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kabupaten Kubu Raya siap terbit dalam Jurnal Agrosains ISSN: , Volume 8, Nomor 1 April Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.. xv xix xxiii I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah 1.5 Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty) II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Rawa Lebak Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak. 2.3 Sumberdaya Lokal Produktivitas Pendapatan Petani Analisis Usahatani Indikator kelayakan usahatani Kebutuhan Hidup Layak 2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan 2.8 Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat. 3.3 Disain Penelitian Rancangan Penelitian Jenis dan Sumber Data Data fisik tanah dan iklim Data tanaman Data sosial,ekonomi teknologi dan kelembagaan

15 IV V VI 3.6 Metode Pengumpulan Data 3.7 Teknik Pengambilan Sampel. 3.8 Analisis Data Analisis deskriptif Analisis kesesuaian lahan Analisis kelayakan usahatani Analisis keberlanjutan Analisis Leverage Analisis Monte Carlo Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (Stakeholder) Analisis prospektif Analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga Analisis kebutuhan hidup Layak (KHL) 3.9 Rekomendasi Kebijakan. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. 4.1 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk. 4.2 Penggunaan Lahan, Topografi dan Iklim. 4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Karakteristik Lahan dan Petani Rawa Lebak Jenis Tanaman, Produktivitas, dan Kendala Usahatani 4.6 Analisis Kesesuaian Lahan ANALISIS PENDAPATAN DAN KEBUTUHAN RUMAHTANGGA. 5.1 Analisis Kelayakan Usahatani Usahatani padi Usahatani karet Usahatani Kelapa Sawit. 5.2 Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga Pendapatan rumahtangga petani Pengeluaran rumahtangga petani Tingkat pemenuhan rumahtangga petani 5.3 Analisis Kebutuhan Hidup Layak dan Luas Lahan Minimal. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6.1 Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi

16 VII VIII IX Keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya Keberlanjutan rawa lebak dimensi teknologi Keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan Pola indeks keberlanjutan usahatani rawa lebak dalam diagram layang Variabel-Variabel Dominan dalam Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Atribut sensitif yang mempengaruhi sistem pengelolaan rawa lebak Kebutuhan pemangku Kepentingan Faktor penting untuk keberlanjutan pengelolaan rawa Lebak 6.3 Skenario Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan 6.4 Nilai Indeks Keberlanjutan masing-masing skenario dan gabungan antara MDS dan kebutuhan Stakeholders dari lima Dimensi dan Nilai BC ratio, Persentase KHL, dan Lm antara Kondisi Eksisting dengan masing-masing Skenario.... MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN USAHATANI DI RAWA LEBAK Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Pengolahan padi Sekam Dedak. 7.3 Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak Berdasarkan Sumberdaya Lokal Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) REKOMENDASI KEBIJAKAN.. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Saran. DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

17 DAFTAR TABEL Halaman Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan Parameter kimia dan fisik serta metode analisis yang digunakan. Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data... Kategori indeks dan status keberlanjutan. Pedoman penilaian Pengaruh antar faktor... Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.. Kemungkinan skenario model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan Luas wilayah, Ibukota Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten Kubu Raya.. Jumlah penduduk Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin (jiwa) Penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2008 Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya. Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya.. Suhu udara ( o C) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten KubuRaya... Kelembaban udara (%) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya. Pertumbuhan ekonomi, PDRB dan nilai LQ menurut sektor Kabupaten Kubu Raya tahun (Persen).. Kondisi fisik lahan, Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang. Selisih rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dibanding anjuran di lahan rawa lebak Sungai Ambangah dan Pasak Piang Keragaan umum dan status kepemilikan lahan petani di Sungai Ambangah dan Pasak Piang.. Jenis tanaman, produksi, kendala dan peluang perbaikan usahatani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya dan Pasak Piang.. Nilai penerimaan dan pendapatan petani berdasarkan produksi eksisting beberapa jenis tanaman di rawa lebak (Rp/th) Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Sungai Ambangah.. Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Sungai Ambangah Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Pasak Piang Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Pasak Piang

18 Hasil analisis usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th).. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah (ha). Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang (ha). Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)... Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah.. Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang. Hasil analisis usahatani kelapa sawit di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Hasil analisis sensitivitas usahatani kelapa sawit di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang.. Jenis usaha non pertanian responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani (Rp/bln). Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha ternak (Rp/bln). Sumber dan rata-rata nilai rendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan tukang bangunan (Rp/bln). Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha kios (Rp/bln) Rata-rata nilai pengeluaran rumahtangga petani rawa lebak Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan dan jumlah pengeluaran (Rp/bln) Kebutuhan Hidup Layak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang per Tahun... Pendapatan petani dari hasil usahatani padi, karet dan kelapa sawit terhadap KHL (%) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th).. Luas lahan minimal (Lm) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

19 Piang dari masing-masing tanaman yang diusahakan terhadap KHL Atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang.. Nilai Stress dan R 2 status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak dimasing-masing lokasi penelitian. Perbedaan Indeks keberlanjutan antara Rap-Lebak (MDS) dengan Monte Carlo Pada masing-masing Lokasi Penelitian. Penggabungan dan penyederhanaan kebutuhan para pemangku kepentingan... Faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan berdasarkan bobotnya Penyederhanaan/penggabungan faktor-faktor penting berdasarkan prioritas untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Uraian masing-masing skenario untuk pengembangan model pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang... Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario I untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario I Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario II untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario II... Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario III untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang... Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario III.. Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Nilai BC ratio, persentase KHL (%) dan Lm (ha/kk) antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang.. Pendapatan dan nilai tambah pendapatan dari kondisi eksisting terhadap masing-masing skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang.. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah. Jarak Euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Pasak Piang Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

20 Piang... Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos di wilayah Kecamatan Polokarta tahun Komposisi sekam... Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP). Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional (Rp/Bulan).. Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th).. Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak. Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak. Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak Pola tanam pada suatu daerah irigasi Pola tanam di rawa lebak Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal. Pola usahatani tanaman pangan (padi jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak.. Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak.. Matriks luas kepemilikan lahan petani berbasis padi untuk memenuhi KHL Rekomendasi kebijakan model usahatani rawa lebak berkelanjutan

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Karangka pemikiran penelitian. 6 2 Peta lokasi penelitian [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten Kubu Raya, [c] Kecamatan Sungai Raya, dan [d] Kecamatan Sungai Ambawang Struktur tujuan, metode, variabel dan keluaran/output penelitian.. Diagram layang indeks keberlanjutan. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem. Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten Kubu Raya... Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya... Suhu ( o C) rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya Kelembaban (%) udara rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya Distribusi penduduk menurut suku bangsa dikabupaten Kubu Raya Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang.. Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang.. Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah. Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang.. Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah

22 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Sungai Ambangah... Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Pasak Piang.. Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Sungai Ambangah... Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Pasak Piang.. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Sungai Ambangah Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Pasak Piang.. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Sungai Ambangah Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Pasak Piang. Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009) Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya lokal... Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak. Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak

23 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil analisis contoh tanah lebak Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya Hasil analisis contoh tanah lebak Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kriteria penilaian sifat kimia tanah... Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah tadah hujan Kriteria kesesuaian lahan untuk karet. Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit.... Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah... Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari usahatani padi di rawa lebak Desa Pasak Piang..... Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambanga Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Pasak Piang. Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kelapa sawit di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th).. Proyeksi produksi karet kering dan estimasi produksi lateks.. Perkiraan produksi TBS, minyak sawit dan inti sawit pada berbagai umur tanaman kelapa sawit.. Atribut dan skor keberlanjutan ekologi di rawa lebak Atribut dan skor keberlanjutan ekonomi di rawa lebak. Atribut dan skor keberlanjutan sosial budaya di rawa lebak Atribut dan skor keberlanjutan teknologi di rawa lebak Atribut dan skor keberlanjutan kelembagaan di rawa lebak Simulasi pola pertanian terpadu berbagai praktek usahatani dari berbagai tanaman berbasis sumberdaya tanaman lokal dan jenis ternak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah. Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang... Simulasi pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL Simulasi pendapatan petani di Desa Pasak Piang berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL

24 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia terdapat lahan rawa meliputi areal 33,40 39,40 juta hektar (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998), sedangkan menurut Ardi et al., (2006) luas lahan ini diperkirakan sekitar 33,40 juta hektar yang terdiri dari rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut seluas 24,20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, yang umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Papua 5,20 juta hektar (Balai Penelitian Rawa, 2005). Berdasarkan sistem klasifikasi Ramsar, lahan rawa atau lahan basah terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan basah buatan (Puspita, 2005). Rawa lebak (swamps land) termasuk ke dalam lahan basah daratan. Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas total 14,64 juta hektar memiliki ekosistem lahan basah seluas hektar (Hikmatullah et al., 2008). Dari luasan tersebut, terdapat sekitar hektar adalah rawa lebak. Dan baru sekitar hektar atau sekitar 27,6% yang telah dimanfaatkan (Dinas Pertanian Provinsi Kalbar, 2008). Rawa lebak umumnya merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau. Genangan air merupakan watak bawaan (inherence) dan sebagai ciri hidro-ekologi rawa sehingga dapat menjadi unsur pembeda utama, antara satu daerah dengan lainnya, sekalipun dalam satu kawasan (Noor, 2007). Ekosistem rawa lebak merupakan dataran banjir, dan dibeberapa tempat selain untuk kegiatan pertanian, juga memiliki kontribusi penting bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan, dan dari kegiatan ini rawa lebak dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein hewani, jalur transportasi, kesempatan kerja dan juga sebagai sumber penghasilan alternatif (Sulistiyarto, 2008). Dalam keadaan tergenang, rawa lebak lebih sesuai untuk usaha tanaman padi, oleh sebab itu padi merupakan salah satu komoditi penting dalam sistem usahatani di rawa lebak. Dari total lahan rawa lebak yang telah diusahakan untuk pertanian, hampir 91 persen diusahakan untuk usahatani padi dengan pola

25 tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan dua kali padi setahun baru sekitar 9 persen (Sudana, 2005). Pada kondisi kering rawa lebak banyak diusahakan tanaman palawija (Waluyo, 2000). Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan varietas unggul, produktivitas padi di lahan rawa lebak dapat mencapai 2,0 2,5 ton per hektar (Noor, 2007), dan tanaman kedelai mencapai 1,2 1,9 ton hektar (Waluyo dan Ismail, 1995). Namun demikian, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi (Noor, 2007). Rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan berubah jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau permukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto, 2006). Dengan kondisi demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan diatur dalam pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi. Kenyataan membuktikan bahwa lahan rawa lebak sampai saat ini belum dapat memberikan produktivitas seperti yang diharapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al., (2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya: (1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah memberikan hasil yang maksimal, (2) kurangnya modal, (3) akses teknologi yang rendah, (4) sifat subsisten petani dan (5) berusahatani karena kebiasaan. Disisi lain, beberapa faktor yang mendukung dalam pengembangan usahatani seperti padi, terong, labu/waluh di lahan rawa lebak menunjukkan tingkat keuntungan yang cukup baik yang dinyatakan dengan R/C > 1 atau menguntungkan diusahakan, kontribusi usahatani terhadap pendapatan cukup besar dilihat dari pendapatan bersih petani, dan pemasaran hasil yang dapat

26 diserap pasar walaupun pasar lokal. Peluang pengembangan usahatani di lahan ini cukup besar, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung ketahanan pangan di daerah maupun nasional (Zuraida et al., 2006). Selanjutnya, adanya potensi lahan rawa lebak yang tersedia masih cukup luas, yang apabila diasumsikan bahwa 10 persen saja dari luas yang tersedia dapat dikelola/dimanfaatkan untuk padi dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari nol kali menjadi satu kali tanam, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar ton menjadi ton dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton per hektar. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton per hektar atau bahkan 4 ton per hektar (Irianto, 2006). Konversi lahan yang terjadi beberapa tahun terakhir terhadap ketahanan pangan nasional merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya, masalah pangan tersebut tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat progresif. Artinya, walaupun luas lahan yang dikonversi per tahun selama periode t 0 (pada tahun ke-0) hingga t n (pada tahun ke-n) adalah tetap, namun peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan tersebut akan semakin besar. Dengan kata lain, masalah pangan yang disebabkan oleh setiap hektar lahan yang dikonversi akan semakin besar dari tahun ke tahun (Irawan, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan apabila tidak segera diatasi dapat menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya lahan yang dapat dijadikan lahan persawahan, terutama di daerah Pulau Jawa. Oleh karena itu, usaha pemanfaatan dan pengelolaan rawa lebak untuk mengatasi kondisi di atas, merupakan sesuatu hal yang sangat penting dan strategis. Mengingat laju konversi lahan dan kebutuhan pangan nasional setiap tahun terus mengalami peningkatan. Kebutuhan luas lahan baku untuk sawah menurut Las (2010) mencapai 8,3 juta hektar, sementara lahan kering potensial yang tersedia dan sesuai untuk tanaman semusim hanya tersisa 7,0 juta hektar. Hal ini memaksa untuk memanfaatkan lahan rawa lebak yang ketersediaannya cukup luas. Namun demikian, dalam pemanfaatan rawa lebak untuk usahatani

27 memerlukan penanganan yang spesifik, hal itu ditunjukkan adanya permasalahan yang cukup kompleks. Penyusunan model usahatani yang bersifat spesifik dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada yang sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan sosial budaya masyarakat setempat dan terpadu sangat diperlukan. Kepentingan produksi atau ekonomi disatu sisi menjadi sesuatu hal yang penting diperhatikan karena dalam hal mempertahankan kelangsungan kehidupan mereka, tidak akan terlepas dari usaha pemenuhan kebutuhan. Dilain pihak, kepentingan ekologi atau lingkungan juga menjadi hal penting dan tidak dapat diabaikan, karena dalam proses produksi selain membutuhan sumberdaya dalam hal ini lahan sebagai modal juga dihasilkan produk dan limbah sebagai hasil sampingan (Daniel, 2004). Untuk itu, dalam upaya mencapai keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya, diperlukan suatu strategi dan pendekatan interdisiplin untuk mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dengan pendekatan interdisiplin dimaksud, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada diharapkan terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan rawa lebak ke arah yang lebih baik. Dan dalam pemanfaatannya dapat menekan dan mengurangi terjadinya kerusakan kawasan rawa lebak sehingga sebagai suatu ekosistem yang spesifik rawa lebak tetap terpelihara dan terjaga kelestariannya. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan Tujuan Khusus Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak 2. Menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak 3. Menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak

28 4. Menganalisis indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak 5. Menganalisis variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan 1.3 Kerangka Pemikiran Pemanfaatan rawa lebak oleh masyarakat dilatari oleh potensinya sebagai sumberdaya, desakan kebutuhan akan lahan, dan pangan serta kemampuan indegeneus knowledge dari petani dalam memanfaatkan lahan rawa lebak. Tetapi pada kenyataannya pemanfaatan lahan rawa lebak untuk usahatani, belum dapat memberikan hasil secara optimal. Hal tersebut dapat dipahami, karena rawa lebak disamping mempunyai fungsi ekologis dan fungsi produksi juga sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai karakteristik yang fragil dan labil. Keterbatasan ketrampilan, teknologi, modal dan sarana pendukung yang ada mengakibatkan pengelolaan lahan rawa lebak masih sangat terbatas dan belum diperolah hasil yang maksimal sehingga belum mampu memberikan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat tani yang memanfaatkan rawa lebak sebagai sumber pendapatan keluarga. Menyadari akan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan rawa lebak, diantaranya pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan ekosistem rawa lebak, melakukan pendekatan sosial kemasyarakatan, pendekatan ekonomi, teknologi dan kelembagaan serta memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Dari pendekatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan. Dengan adanya perbaikan faktor-faktor di atas, maka ekosistem rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai lahan usahatani dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, diharapkan juga dapat berdampak terhadap perbaikan kondisi sosial masyarakat, dan akhirnya ekosistem rawa lebak tetap terpelihara dan lestari sebagai salah satu kekayaan ekosistem yang spesifik. Banyaknya faktor yang berperan dan rumit serta kompleksnya masalah yang dihadapi, maka pengembangan sistem usahatani lahan rawa lebak perlu dilakukan secara terpadu yang diformulasikan dalam suatu model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani berkelanjutan. Hasil dari penelitian ini adalah tersusunnya model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani

29 berkelanjutan di lokasi studi. Kerangka berpikir dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 1. Fungsi Ekologis Lahan Rawa Lebak Fungsi Produksi Karateristik fisik, kimia dan biologi Produktivitas Rendah Sistem Usahatani Sosial Ekonomi Sarana prasarana Ekologi Sosial Ekonomi Teknologi Kelembagaan Sumberdaya Lokal Rekomendasi Model Pengembangan UT Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Perumusan Masalah Potensi lahan rawa lebak yang sesuai untuk usaha pertanian masih cukup luas, di pihak lain, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas, dan walaupun sudah dimanfaatkan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Padahal peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai modal dalam pembangunan pertanian dalam arti luas. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya, karena karakeristik khas yang dimiliki oleh rawa lebak. Budidaya pertanian di lahan rawa lebak, sebagai lahan marginal yang rapuh menghadapi berbagai kendala diantaranya adalah kendala biofisik lahan, sosial ekonomi, dan kelembagaan (Qomariah et al., 2006). Beberapa kendala fisik diantaranya; adanya genangan air, ph tanah yang rendah, adanya kandungan zat racun (aluminium, besi, hidrogen sulfida, natrium), tanah miskin hara baik makro dan mikro, serta adanya serangan hama/penyakit dan gulma. Sedangkan kendala sosial ekonomi diantaranya; keterbatasan modal dan sebagian petani masih mencari pekerjaan di luar usahataninya. Kendala

30 kelembagaan diantaranya adalah lemahnya peran kelompok tani (KT), dikarenakan kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominasi pengaruh intervensi para pihak luar terhadap kelompok tani (Slamet, 2003), rendahnya peran koperasi unit desa (KUD), dan petugas penyuluh lapang (PPL). Hasil penelitian Anantanyu (2009) di tiga kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan pertanian pada umumnya masih berada pada kategori sedang, dan lemahnya dukungan lembaga keuangan (LK), kurangnya permodalan dan kurang tersedianya kelembagaan permodalan perdesaan yang mampu memberikan kredit usahatani yang cukup dengan bunga rendah (Fadjry et al., 2006). Berbagai kendala di atas dapat diatasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan diantaranya adalah (1) pengembangan bertahap berdasar atas pemanfaatan sumberdaya (resource base) dan sistem usahatani terpadu (integrated farming system); (2) pemilihan komoditas yang sesuai, didukung penerapan teknologi spesifik lokasi (tipologi lahan dan genangan air); (3) kesesuaian komoditas dengan dinamika pasar; (4) konsep tata air sesuai kondisi lahan dan kebutuhan pertanian; (5) efisiensi sistem kelembagaan agribisnis; (6) peningkatan sarana dan prasarana penunjang; dan (7) pengembangan kemandirian dan partisipasi serta kesejahteraan masyarakat (petani dan swasta). Kemandirian petani dianggap sebagai tujuan akhir dari suatu usaha pembangunan pertanian. Sedangkan partisipasi petani adalah derajat keseluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani menjadi bagian/anggota (Anantanyu, 2009). Hal lain yang juga memerlukan perhatian ekstra adalah penyediaan sumberdaya manusia yang terampil (penyuluh). Keberadaan sumberdaya manusia (SDM) pertanian diharapkan dapat berperan aktif dari mulai pembukaan lahan, pelaksanaan budidaya, pasca panen, dan pemasaran hasil. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Dapat digunakan dalam penetapan arah dan strategi kebijakan dalam pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa lebak secara berkelanjutan

31 2. Model pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk pemanfaatan lahan rawa lebak di tempat lain 3. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi, pengkajian dan penelitian lebih lanjut 1.6 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini terletak pada pengintegrasian berbagai komponen usahatani dan dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal yang digunakan untuk penyusunan model pengelolaan lahan rawa lebak yang berbasis pada pola tanam dan integrated farming dalam rangka peningkatan pendapatan petani di rawa lebak. Komponen usahatani dimaksud adalah sumberdaya lahan, air, modal, sarana produksi, tenaga kerja. Dimensi keberlanjutan dimaksud adalah ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Sumberdaya lokal yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya teknologi yang ada di lokasi penelitian.

32 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Rawa Lebak Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai lembah atau tanah rendah (Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007). Sedangkan kata lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007). Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak, misalnya di Jambi, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan disebut baruh dan watun; Kalimantan Timur disebut rapak atau kelam. Sedangkan Mac Kinnon et al. (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa lebak pada musim hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.

33 Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa (swamps) dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (non tidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Sedangkan menurut Subagjo (2006) tipologi rawa lebak didasarkan pada ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan Lama Ketinggian genangan (cm) genangan < > 100 < 3 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak tengahan 3 6 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak dalam > 6 bulan Lebak dangkal Lebak dalam Lebak dalam Sumber: Subagjo (2006) Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan. Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun (arti lahan rawa lebak), yaitu watun I, II, III dan IV (Anwarham, 1989; Ar-Riza, 2000). Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut: Watun I Watun II : wilayah sepanjang depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter), dengan hidrotopografinya relatif paling tinggi. : wilayah sepanjang depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun I.

34 Watun III : wilayah sepanjang depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih rendah dari watun II. Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah. Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung (deepwater land). Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut. Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai. Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan air rembesan (seepage) dari sekitarnya. Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya. 2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak Lahan rawa lebak (Noor, 2007) termasuk ekologi lahan basah (wetland) yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang. Bentuk wilayah yang menyerupai cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase yang jelek. Lahan rawa lebak merupakan dataran banjir sungai dengan beda muka air antara musin hujan dan musin kemarau lebih dari 2 meter, disamping itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-5 meter di atas permukaan laut. Fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah yang berlereng 4 10 persen, sehingga tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut air laut (Irianto, 2006). Tanah lahan rawa lebak dapat berupa tanah organik

35 (gambut), tanah mineral endapan sungai, dan endapan marin. Pada tanah gambut, kematangan gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan pada tanah mineral tekstur umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat berdebu, dengan konsistensi lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15 persen (Permentan No 14 tahun 2009). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April, sedangkan bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu udara pada kawasan ini berkisar antara o C dan kelembaban nisbi 80-90%. Pengaruh iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai kawasan terbuka. Penguapan pada kawasan terbuka cukup tinggi, sehingga suhu udara dapat mencapai o C (Ismail et al., 1996; Arifin et al., 2006 dalam Noor, 2007). 2.3 Sumberdaya Lokal Sumberdaya (resources) mempunyai banyak pengertian diantaranya adalah (1) persediaan, baik cadangan maupun yang baru; (2) suatu input dalam proses produksi; (3) suatu atribut dari lingkungan yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi oleh keadaan sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan; (4) sebagai hasil penilaian manusia terhadap unsur-unsur lingkungan hidup yang diperlukannya; dan dapat pula didefenisikan (5) sebagai unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya dan memenuhi kebutuhannya (Soerianegara, 1979). Sumberdaya (resources) yang ada dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu (1) sumberdaya manusia; (2) sumberdaya alam; dan (3) sumberdaya teknologi. Sumberdaya manusia adalah sumberdaya yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai subyek (pelaku) sekaligus obyek, yang mempunyai peran sangat penting dalam memanfaatkan, mengelola dan memelihara sumberdaya yang ada. Sedangkan sumberdaya alam (natural resources) adalah semua

36 aspek lingkungan yang bukan buatan manusia dan terdapat pada permukaan bumi, di udara, di dalam bumi, di laut, di dalam laut, di dasar dan di bawah dasar laut (Zen, 2001). Selanjutnya, sumberdaya teknologi yang secara definisi dimaknai sebagai hasil buah pikir dari suatu pengetahuan. Teknologi itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Teknologi secara luas dapat terdiri dari, tecnoware (perangkat teknis), humanware (perangkat manusia), inforware (perangkat informasi) dan orgaware (perangkat organisasi). Keempat komponen tersebut, selalu berperan dalam sebuah proses transformasi, tepatnya dalam merubah suatu input menjadi output (Sasmojo, 2001). Input atau masukan menurut (Sewoyo, 2001) dapat berupa bahan baku alami (bahan mineral, bahan biologis), dan atau bahan setengah jadi (bahan kimia, bahan bangunan, bahan pakaian). Sedangkan output atau keluaran dapat berupa barang-barang konsumsi (makanan, obat, peralatan, perabotan). Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan sumberdaya lokal, yaitu (1) sumberdaya manusia dengan segala pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat lokal, tradisional atau asli; (2) sumberdaya alam adalah sumberdaya yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dimana mereka telah berinteraksi secara turun temurun; dan (3) sumberdaya teknologi adalah sumberdaya hasil olah-pikir dan uji-coba yang telah mereka lakukan, dan kemudian menjadi semacam pengetahuan/teknologi mereka tentang sistem alam yang terakumulasi melalui proses yang cukup panjang untuk selanjutnya diwariskan secara lisan. Biasanya hasil uji-coba dalam bentuk teknologi tersebut menurut Mitchell (2000), tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Dan akhirnya, bagaimana ketiga sumberdaya lokal tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan usahatani di rawa lebak. 2.4 Produktivitas Produktivitas diartikan sebagai keinginan manusia untuk meningkatkan mutu kehidupan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan supaya terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Produktivitas dapat pula diartikan sebagai ukuran efisiensi, efektivitas dan kualitas dari setiap sumber yang digunakan selama produksi berlangsung dengan membandingkan jumlah yang dihasilkan (keluaran) dengan setiap sumberdaya yang digunakan (masukan). Unsur-unsur produktivitas: (1) efisiensi, produktivitas sebagai rasio

37 keluaran dengan masukan merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya (masukan) terencana dengan pemakaian masukan yang sebenarnya. Jadi pengertian efisiensi berorientasi pada masukan. Efisiensi dapat dipahami sebagai kegiatan penghematan sumber-sumber dalam kegiatan produksi, seperti penghematan pemakaian bahan, uang, tenaga kerja, waktu, air dan sebagainya; (2) efektivitas, menggambarkan seberapa jauh target yang ditetapkan dapat tercapai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Efektivitas berorientasi pada keluaran; dan (3) kualitas, masukan dan kualitas proses akan menentukan kualitas keluaran. Keluaran yang berkualitas baik, akan meningkatkan rasio keluaran dengan masukan dalam nilai tambah, berarti meningkatkan produktivitas. Dalam konteks pertanian, produktivitas berperan penting dalam mencapai kecukupan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah ketersediaan air, kondisi lahan, input produksi dan pemeliharaan. 2.5 Pendapatan Petani Pendapatan adalah seluruh penerimaan dapat berupa uang atau barang dari hasil usaha atau produksi. Pendapatan rumahtangga dapat diartikan sebagai jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan subsistem. Pendapatan formal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Sedangkan pendapatan subsistem adalah penghasilan yang diperoleh dari faktor produksi yang dinilai dengan uang (Mulyanto dan Ever, 1982). Pendapatan rumahtangga dapat juga didefenisikan sebagai seluruh penerimaan yang didapat setiap rumahtangga atau lebih disederhanakan adalah sebagai balas jasa dari faktorfaktor ekonomi (Anonim, 2000). Ada keterkaitan yang erat antara pendapatan, faktor produksi dan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Selanjutnya menurut (Tjahyono, 1987) besarnya pendapatan petani dapat berasal dari usahatani dan non tani. Mosher dalam Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa semua petani menginginkan kesentosaan dalam keluarganya. Sehingga kebutuhan keluarga selalu dapat dipenuhi semuanya. Oleh karena itu, petani akan selalu berusaha untuk meningkatkan intensitas usahataninya dengan berbagai cara agar supaya pendapatannya menjadi meningkat. Berkaitan dengan hal ini, Pendapatan dari usahatani diperoleh dengan menjumlahkan semua pendapatan yang diperoleh

38 dari usahatani yang dilakukannya. Sedangkan penghasilan dari luar usahatani diperoleh dari penjumlahan seluruh penghasilan sampingan yang dilakukan di luar usahatani. Menurut Soekartawi (2002) perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah, dengan tingkat pengeluaran rumah tangga lebih besar dari pendapatan, maka tingkat konsumsi tidak hanya dibiayai oleh pendapatan mereka saja, melainkan dari sumber lain seperti tabungan yang dimiliki, penjualan harta benda, atau pinjaman bentuk lain. Biasanya semakin tinggi tingkat pendapatan, maka konsumsi yang dilakukan rumah tangga akan semakin besar pula. Bahkan seringkali dijumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi kualitas barang yang diminta juga bertambah. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani ditinjau dari faktor sosial dan ekonomi antara lain adalah tingkat pendidikan, jarak kebun dari rumah, jam kerja efektif, jumlah tenaga kerja dan input produksi. Tingkat pendidikan merupakan modal utama, dengan jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, maka besar kemungkinannya untuk dapat menerima inovasi maupun gagasan-gagasan baru yang dapat memperbaiki kegiatan usahatani. Pengambilan keputusan untuk menghindari risiko usahatani dapat dilakukan dengan tingkat pendidikan yang memadai (Hermanto, 2005). 2.6 Analisis Usahatani Indikator kelayakan usahatani Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan dibidang pertanian. Menurut Pujosumarto (1995), kriteria investasi yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan suatu kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain melalui cara perhitungan, revenue cost ratio (R/C ratio) atau benefit cost ratio (B/C ratio). Analisis usahatani yang dimaksudkan adalah analisis biaya dan pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi tanaman dan pendapatan. Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi dalam setiap jenis tanaman yang diusahakan. Secara garis besar biaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak

39 tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi, 2002). Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan harga produksi, diperlukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi meningkat 20% Produksi tetap dan harga produksi naik 20% Produksi turun dan harga produksi naik 20% Kebutuhan Hidup Layak Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah sangat beragam, antara lain menurut: (1) BKKBN, kemiskinan adalah suatu keadaan keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan dua kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (2) BPS, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari kalori per kapita per hari, dan (3) Bappenas (2002), kemiskinan mencakup unsur-unsur: (a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan sanitasi); (b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; (d) ketidakmampuan menyalurkan aspirasinya; sedangkan (4) Sajogyo (1977) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskinan untuk wilayah Indonesia dispesifikasi atas tiga tingkat kemiskinan yang mencakup konsepsi Nilai Ambang Kecukupan Pangan yaitu miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam (Rp/bln) yang ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di

40 perdesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah perdesaan berkisar antara kg per orang per tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar antara kg per orang per tahun. Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, yakni apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi, asuransi dan tabungan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg per th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). 2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Rifai dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang diperuntukan bagi produksi di lapangan pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Defenisi usahatani menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) adalah kegiatan dibidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi dibidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya alam, modal dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang bermanfaat bagi manusia. Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam, faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan produksi. Modal dalam usahatani yaitu: 1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul saluran air. 2. Bangunan-bangunan seperti; kandang ternak, lumbung, gudang.

41 3. Alat-alat pertanian dan mesin; alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu, cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan mesin pemungut hasil. 4. Tanaman dan ternak. 5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari, bibit, pupuk, obat, pengendali hama dan penyakit tanaman. 6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan. Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Dalam pengambilan keputusan, patani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu: 1. Penentuan perkembangan harga Penentuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku; 2. Kombinasi beberapa cabang usaha Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun; 3. Pemilihan cabang usaha Penentuan cabang usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan ekonomi seperti: luas lahan usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, keadaan harga diwaktu cabang usaha itu menghasilkan; 4. Penentuan cara produksi Penentuan cara produksi terdiri atas: penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam dan lain sebagainya; 5. Pembelian sarana produksi yang diperlukan Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk atau membeli peralatan; 6. Pemasaran hasil pertanian Masalah pemasaran yang sering dihadapi petani adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan dan lain-lain;

42 7. Pembiayaan usahatani Biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen); dan 8. Pengelolaan modal dan pendapatan Perubahan usahatani kearah yang lebih komersiil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk komsumsi keluarga. Usahatani dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu subsistem dan komersial. Usahatani subsistem diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan penggunaan alat yang masih sederhana, sedangkan usahatani komersial lebih berorientasi bisnis dan diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar agar keuntungan yang diperoleh semakin besar. Sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada lingkungan baik lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi pada tingkat mikro maupun makro. Menurut Adnyana (2001) beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan sistem usahatani berkelanjutan, yaitu (1) sistem usahatani yang ingin dicapai sedapat mungkin diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya internal untuk mensubtitusi penggunaan sumberdaya eksternal; (2) mengurangi penggunaan pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya yang tidak dapat pulih; (3) menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal; (4) memperluas penerapan rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk meningkatkan kesuburan tanah, pengendalian hama penyakit, meningkatkan produktivitas dan menekan risiko; dan (5) mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta penanaman tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan kesuburan tanah. Menurut Suryana et al. (1998) konsep berkelanjutan mengandung pengertian bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alan dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usahatani konservasi, penerapan

43 pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertanian. Perlu pula diterapkan prinsip pengembangan sistem usahatani berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa sistem usahatani perlu memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus-menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Departemen Pertanian, 2001). Menurut Pambudy (1999) sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang pertanian, kegiatan usahatani perlu pula dilaksanakan melalui pendekatan teknis, terpadu, dan agribisnis: (1) pendekatan teknis, dilakukan dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian dengan upaya: (a) penggunaan bibit unggul; (b) menekan kejadian hama dan penyakit tanaman melalui kegiatan penolakan, pencegahan, penyelidikan, pemberantasan, dan pengendalian penyakit, dan (c) penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman; (2) pendekatan terpadu, dengan cara melakukan pembinaan secara pasif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu teknologi produksi, ekonomi dan sosial. Penerapan teknologi produksi dilakukan melalui: perbaikan mutu bibit, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengelolaan tanah. Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan mengorganisir petani dalam kelompok tani dan koperasi; dan (3) Pendekatan agribisnis, sistem agribisnis berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usahatani yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani. Sistem agribisnis juga merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) yang mencakup empat subsistem (Saragih, 2000). Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pupuk, dan pestisida; (2) subsistem agribisnis budidaya pertanian (on-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang selama ini disebut sebagai kegiatan budidaya pertanian; (3) subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengola dan memperdagangkan hasil pertanian; (4) subsistem

44 jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi kegiatan usahatani seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, Balai Penyuluh Pertanian (BPP), kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian. Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu: (1) subsistem pengadaan dan distribusi sarana dan prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya; (2) subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, jagung dan lain-lain; (3) subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan (4) subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah dan lain-lain. 2.8 Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan Indikator keberlanjutan adalah alat yang digunakan untuk memberikan infomasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas sebuah sistem di masa mendatang dari berbagai level tujuan (ekologi, ekonomi, sosial), penggunaannya dianggap penting karena menjadi informasi bagi perencanaan dan pengembangan sistem selanjutnya. Walker dan Router (1996) menggolongkan indikator ini dalam dua tipe, yaitu (1) indikator kondisi, yaitu indikator yang menjelaskan kondisi sistem pada saat ini relatif terhadap kondisi yang diharapkan, dan (2) indikator trend, yaitu indikator yang menjelaskan perubahan dalam sistem berdasarkan waktu sehingga dapat digunakan untuk memonitor kecenderungan yang akan terjadi di dalam sistem. Chen et al., (2002) merekomendasikan indikator untuk menilai keberlanjutan pertanian berdasarkan tekanan populasi, degradasi lingkungan, penggunaan sumberdaya yang tidak efesien dan manajemen sumberdaya yang tidak tepat. Food Agriculture Organization (FAO, 2000) menggunakan indikator seperti rasio lahan pertanian terhadap populasi, proporsi lahan irigasi, produksi pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik untuk menilai situasi umum dari produksi pertanian di Negara-negara berkembang. Beragamnya indikator yang digunakan, menunjukkan bahwa pemilihan indikator harus disesuaikan dengan tujuan dan karateristik sistem yang sedang dihadapi. Pemilihan indikator yang tepat adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan analisis keberlanjutan sistem yang akan dilakukan.

45 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, terletak di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling, yaitu dipilih langsung dua desa tersebut. Oleh karena itu, penelusuran data dan informasi mencakup kedua desa yang bersangkutan. Kemudian dari dua desa terpilih ditentukan secara sengaja petani yang tinggal di kawasan dan sekitar rawa lebak. Penelitian lapangan untuk memperoleh data dan informasi faktual sesuai dengan tujuan dan persoalan yang dikaji. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 sampai dengan bulan Oktober [a] [b] [c] Gambar 2 Peta lokasi penelitian: [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten Kubu Raya, [c] Kecamatan Sungai Raya, dan [d] Kecamatan Sungai Ambawang [d]

46 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan data yang dikumpulkan terdiri dari: (1) bahan kimia dan Munsell Soil Color Chart yang digunakan untuk analisis kimia dan fisik tanah; (2) wadah untuk sampel tanah berupa plastik; (3) bahan kuesioner untuk keperluan wawancara; dan (4) peta lokasi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan data yang dikumpulkan terdiri dari; bor tanah, ph meter, GPS, kompas, kamera seperangkat alat laboratorium untuk analisis tanah, dan alat tulis kantor. 3.3 Disain Penelitian Tahap awal dari penelitian ini dimulai dengan memotret secara menyeluruh dan komprehensif keadaan karakteristik rawa lebak dan persoalan berkenaan dengan masyarakat petani di sekitar rawa lebak, selanjutnya merumuskan atau mendisain model berdasarkan keadaan tersebut. Aspek utama yang menjadi fokus perhatian adalah mengidentifikasi dan memetakan interaksi antara petani dengan rawa lebak serta elemen-elemen kunci yang mempengaruhinya. Setelah melakukan identifikasi dan pemetaan interaksi kemudian dilanjutkan dengan identifikasi kebutuhan petani menurut skala prioritasnya (Storey, 1999). Kebutuhan diilustrasikan sebagai suatu hubungan yang saling terkait. Elemen-elemen kunci yang menjadi dasar pengelolaan diperoleh dengan mengidentifikasi dan memilah sejumlah faktor penting yang diperoleh secara parsial pada masing-masing dimensi penelitian yang dikaji. Selanjutnya elemen kunci yang diperoleh dikonfirmasikan kembali melalui diskusi bersama dengan pakar dan stakeholder terkait dalam bentuk expert meeting/focus group discussion. Dengan demikian maka proses dan mekanisme perumusan disain pengelolaan rawa lebak merupakan kesepakatan atau hasil bersama oleh seluruh stakeholder (Schonhuth dan Kievelitz, 1984). Disain penelitian pada Gambar 3 menunjukkan tahapan dan alur kegiatan yang dilakukan dalam penyelesaian studi ini. Dalam hal ini sasaran akhir yang ingin dicapai adalah disain model pengelolaan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan usahatani secara berkalanjutan (tujuan umum penelitian). Untuk keperluan perumusan model, maka dilakukan pengkajian terhadap aspek biofisik, sosial ekonomi petani, kelembagaan, serta sarana dan

47 prasarana yang ada di kawasan rawa lebak. Pada masing-masing aspek kajian yang ditelaah dilakukan pengumpulan data dan informasi sesuai dengan variabel dan parameter yang diukur. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara parsial dengan menggunakan berbagai instrumen dan alat analisis disesuaikan dengan substansi yang ditelaah/dikaji. Hasil analisis parsial dan fakta-fakta aktual lainnya yang diperoleh di lapangan kemudian disintesis (secara deskriptif) untuk dijadikan dasar penyusunan model sesuai dengan sasaran dan tujuan yang diinginkan. Dalam penelitian ini tujuan penelitian 1, 2, 3, 4, dan 5 merupakan tujuan antara yang disintesis untuk menjawab tujuan penelitian 6 (sebagai tujuan umum penelitian). Secara rinci struktur tujuan, metode, variabel analisis, dan keluaran penelitian dapat dilihat pada Gambar 3

48 TUJUAN PENELITIAN METODE PENGUMPULAN DATA VARIABEL & DATA/INFORMASI ANALISIS DATA KELUARAN/OUTPUT PENELITIAN 26 Tujuan 1: Karakteristik rawa lebak dan petani Tujuan 2: Analisis kesesuaian lahan 1. Survey: pengamatan langsung, pengambilan contoh tanah dan wawancara - Sui Ambangah - Pasak Piang 1. Karakteristik rawa lebak 2. Karakteristik sosekbud petani 3. Pendapatan & kebutuhan RT 1. Deskriptif 2. Analisis kesesuaian lahan 3. Analisis R/C; B/C 4. Analisis KHL 1. Jenis rawa lebak 2. Struktur pendapatan & pengeluaran RT 3. Keragaan petani,dan usahatani Tujuan 3: Analisis kelayakan usahatani Tujuan 4: Mengetahui indeks dan status keberlanjutan dan variabel dominan Tujuan 5: Disain model dan kebijakan pengelolaan rawa lebak berkelanjutan 2. Wawancara dan PRA: - Sui Ambangah - Pasak Piang 3. Observasi - Kawasan RL - Diluar Kaw. RL 4. Penelusuran dokumen: - Laporan penelitian - Laporan dinas - Dokumen2 lainnya 5. Wawancara mendalam - Pakar - Informan kunci 1. Teknis budidaya RL 2. Penggunaan saprotan 3. Sarana prasarana pendukung 1. Kondisi biofisik RL 2. Fakta dan fenomena lainya 1. Data/informasi SDA,SDM,SDT lokal, utilitas, dll 2. Jenis kegiatan/proyek, kebijakan serta hasil pelaks. 1. Masalah-masalah dlm pengelolaan. RL 2. Alternatif solusi pemecahan masalah 3. Harapan di masa depan 1. Analisis MDS 2. Analisis leverage 3. Monte Carlo 1. Analisis stakeholder 2. Analisis prospektif Sintesis Ket: aliran informasi dan kesatuan atribut yg disentesis untuk menyusun model Gambar 3 Struktur tujuan, metode, variabel dan keluaran/output penelitian 1. Indeks & status keberlanjutan 2. Atribut penting 3. Nilai random error 1. Faktor penting 2. Faktor-faktor yg berpengaruh Sumberdaya lokal Model Pengelolaan RL Berkelanjutan

49 3.4 Rancangan Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka rancangan penelitian yang digunakan terdiri dari, (1) studi literatur (desk study); (2) survey dan observasi langsung ke lapangan (direct observation); (3) wawancara (interview dan indepth interview); dan (4) analisis tanah di laboratorium. Studi literatur, dilakukan untuk memperluas dan melengkapi hasil kajian yang terkait dengan lingkup penelitian. Penelusuran literatur dilakukan terhadap berbagai laporan dan dokumen hasil-hasil penelitian terkait, serta data dan informasi dari sumbersumber lain. Survey dan observasi langsung ke lapangan (direct observation), dilakukan untuk mengetahui dan melihat secara langsung berbagai keadaan dan perilaku petani dan stakeholders lainnya, serta keberadaan dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Hasil kegiatan ini digunakan sebagai dasar klarifikasi dan cek silang (cross check) terhadap berbagai informasi yang ada. Wawancara (interview), dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi kuantitatif dan kualitatif dari kelompok sasaran (responden) yang telah ditetapkan. Data dan informasi yang dikumpulkan berkenaan dengan karakteristik ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan. Sedangkan in-depth interview, dilakukan untuk mengetahui kebutuhan stakeholders, permasalahan yang dihadapi, harapan dan pendapat yang terkait dengan masalah pengembangan pertanian berkelanjutan dan lingkungan di rawa lebak secara lebih mendalam dan komprehensif. Kelompok sasaran dalam wawancara ini adalah informan kunci (key informan) yang memiliki kompetensi (pakar) dengan kajian yang ditelaah. Analisis laboratorium, dilakukan terhadap contoh tanah dari masingmasing penggunaan lahan (eksisting) yang ada di dua lokasi penelitian. Petani yang menjadi sampel (responden) dari penelitian ini adalah petani yang bertempat tinggal dan yang berusahatani di rawa lebak, terkecuali responden pakar. Penetapan jumlah sampel (responden) mengacu pada pendapat Arikunto (1993); (1) apabila obyek penelitian jumlahnya kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya; (2) jika jumlahnya besar atau lebih dari 100 dapat diambil antara persen atau persen atau lebih, tergantung waktu, tenaga, dana, luas wilayah pengamatan, atau besar sedikitnya data, dan besarnya risiko penelitian serta tingkat homogenitas sampel. Sedangkan responden pakar berasal dari daerah lain, karena pemilihan pakar yaitu para ahli atau praktisi yang memiliki keahlian, reputasi dan atau pengalaman pada aspek yang terkait dengan penelitian ini.

50 3.5 Jenis dan Sumber Data Data fisik tanah dan iklim Dalam kegiatan survey lapangan dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel tanah dan pengumpulan data iklim. (1) Data tanah yang diamati, yaitu melalui pengamatan dan pengukuran di lapangan meliputi: bentuk lahan, lereng, drainase, kedalaman efektif, kedalaman sulfidik, bahaya erosi, bahaya banjir, batuan permukaan, dan kemudahan pengolahan. (2) Pengambilan contoh tanah untuk analisis laboratorium dilakukan pada masing-masing satuan penggunaan lahan yang ada, yaitu di lahan pertanaman padi, kebun karet dan kebun kelapa sawit. Dalam hal ini, ketiga tanaman tersebut paling umum diusahakan oleh petani setempat. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara stratified random sampling. Setiap satuan penggunaan lahan yang ada, diambil contoh tanah komposit masing-masing untuk lahan sawah pada kedalaman 0 30 cm, sedangkan untuk kedua lahan karet dan kelapa sawit, diambil pada kedalaman cm. Selanjutnya, contoh tanah tersebut dianalisis di laboratorium untuk diperoleh data berupa: ph, kandungan bahan organik, N total, P tersedia, kation-kation dapat tukar (K, Na, Ca, Mg), Kapasitas Tukar Kation, kejenuhan basah, Al dan H dapat tukar, dan tekstur. Parameter kimia dan fisik serta metode analisis tanah yang digunakan selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter kimia dan fisik serta metode analisis yang digunakan Parameter kimia dan fisik ph H2O C organik (%) N total (%) P2O5 (ppm) K-tersedia (cmol + kg -1 ) Na (cmol + kg -1 ) Ca (cmol + kg -1 ) Mg (cmol + kg -1 ) KTK (cmol + kg -1 ) Kejenuhan basa (%) Al-dd (cmol + kg -1 ) H-dd (cmol + kg -1 ) Tekstur (3 fraksi) Metode analisis Gelas elektroda Walkley and Black Kjeldhal Bray I Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak NH 4 OAc 1N ph:7 Ekstrak KCl 1N Ekstrak KCl 1N Pipet (gravimetri) (3) Data iklim berupa: data curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara merupakan data sekunder yang dikumpulkan atau diambil dari stasiun

51 meteorologi yang terdekat dengan lokasi penelitian dalam hal ini adalah Stasiun Meterologi Supadio Pontianak Data tanaman Data dan informasi sistem budidaya tanaman diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara terhadap petani. Data tersebut meliputi: jenis benih atau bibit yang digunakan, asal benih atau bibit, teknis penanaman dan jarak tanam, waktu tanam, pemeliharaan (pemupukan, pengairan, pengendalian hama penyakit, penyiangan, pemangkasan), produksi, pasca panen dan pemasaran Data sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan Data sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan diperoleh melalui wawancara langsung ke petani, pedagang, petugas penyuluh lapangan, tokoh masyarakat, aparat desa dan kecamatan, para pakar dan juga melalui pengumpulan dokumen mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi. Jenis data, sumber data dan teknik pengumpulan data secara lengkap disajikan pada Tabel 3. No Jenis Data Tabel 3 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data 1. Tanah (fisik dan kimia), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban udara), fisiografi. 2. Sistem usahatani (benih/bibit yang digunakan, pemeliharaan: pemupukan, pengendalian hama penyakit; panen, produksi, pemasaran) 3. Sosial ekonomi petani (demografi, pemilikan lahan, jumlah anggota keluarga, jumlah usia produktif, curahan tenaga kerja, penggunaan saprodi, biaya hidup, harga saprodi, harga komoditas, pengeluaran-pendapatan usahatani dan non usahatani, preferensi petani terhadap komoditas dan rawa lebak) 4. Kelembagaan (kebijakan sumber penyediaan saprodi, lembaga keuangan, KUD, sistem penanganan hasil, ketersediaan informasi dan teknologi, pelayanan penyuluhan) 5. Infrastruktur pendukung (pasar, jalan, gudang, pabrik pengolahan, pompa air, irigasi, alsintan) Ket: PRA (Participatory Rural Appraisal) Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Primer Pengambilan contoh dan analisis tanah, pengukuran di lapang Sekunder Studi literatur, dokumentasi dan laporan dinas terkait Primer Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Laporan penelitian, jurnal, dokumen Primer Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Laporan penelitian, jurnal, dokumen Primer Desk study, PRA, Survey dan observasi lapang, wawancara (interview dan indepth interview) Sekunder Studi literatur dan dokumen Primer Desk study, PRA, Survey, observasi lapang, dan wawancara (interview dan indepth interview)

52 3.6 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan secara partisipatif melalui diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, pengambilan contoh tanah, serta pengamatan langsung terhadap sistem usahatani di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, peta, laporan hasil penelitian, dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. 3.7 Teknik Pengambilan Sampel Sampel responden untuk analisis kondisi sosial ekonomi petani terdiri dari ketua kelompok dan anggota kelompok tani yang dipilih secara acak (random sampling). Dari sembilan kecamatan yang ada di Kabupaten Kubu Raya ditentukan secara sengaja (purposive) dua kecamatan sebagai sampel yang mewakili daerah rawa lebak. Responden dipilih secara acak (random sampling), sebanyak 25 persen dari 174 kepala keluarga yaitu 45 responden di Desa Sungai Ambangah, dan 25 persen dari 112 kepala keluarga yaitu 28 responden di Desa Pasak Piang. Responden pakar ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak sembilan orang yang mewakili semua pemangku kepentingan atau mewakili unsur birokrasi, akademisi, LSM, dan Masyarakat, seperti Ketua Bappeda Kabupaten Kubu Raya, ahli pengelolaan sumberdaya lahan, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ahli dibidang pengairan dan rawa, dan berbagai instansi teknis yang berhubungan dengan pengembangan sistem usahatani (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan). Dasar pertimbangan dalam penentuan responden ini dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Keberadaan responden dan kesediaan untuk dijadikan responden. 2. Memiliki reputasi, kedudukan atau jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti. 3. Telah memiliki pengalamanan dalam bidangnya. 3.8 Analisis Data Sesuai dengan tujuan penelitian serta jenis data sifat data yang dikumpulkan, maka analisis data yang dilakukan meliputi: (1) analisis deskriptif, (2) analisis kesesuaian lahan, (3) analisis kelayakan usahatani, (4) analisis keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, (5) analisis leverage, (6) analisis Monte Carlo, (7) analisis kebutuhan pemangku kepentingan, (9) analisis

53 prospektif, (9) analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga, dan (10) analisis kebutuhan hidup layak Analisis deskriptif Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (khususnya tujuan 1), maka pelaksanaan penelitian bersifat eksploratif-deskriptif. Arah penelitian adalah penemuan kriteria rawa lebak dan keragaan petani yang ada di lokasi penelitian berdasarkan kondisi faktual di lapangan. Selanjutnya dibuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat terhadap fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang ditelaah dan merumuskan berbagai alternatif solusi sesuai dengan aspek yang dikaji. Untuk mendapatkan data dan informasi objektif sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka dilakukan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik yaitu: survey dan pengukuran langsung di lapangan, wawancara (interview dan indepth interview), dan studi literatur Analisis kesesuaian lahan Analisis kesesuian lahan dilakukan untuk mendapatkan kesesuaian penggunaan lahan untuk penggunaan suatu jenis tanaman tertentu, melalui pendekatan matching atau kecocokan antara kualitas dan sifat-sifat tanah (land qualities/land characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh suatu komoditas pertanian yang berbasis lahan (Djaenudin et al., 2003) Analisis kelayakan usahatani Analisis usahatani yang dilakukan adalah analisis revenue cost ratio (RCR) dan benefit cost ratio (BCR). Kedua analisis ini untuk mengetahui apakah usahatani yang dijalankan saat ini, menguntungkan atau tidak menguntungkan. Analisis R/C ratio dan B/C ratio dengan menggunakan persamaan Soekartawi (2002): n B t Σ i=0 (1+i) t B/C= (1) n C t Σ i=0 (1-t) t Keterangan : B t = manfaat tahun ke-t i = discount rate (%) C t = biaya pada tahun ke-t t = tahun (umur) Apabila nilai R/C ratio atau B/C ratio lebih besar dari satu, maka usahatani dikatakan menguntungkan dikembangkan, sebaliknya bila R/C ratio

54 atau B/C ratio lebih kecil dari satu, maka usahatani tidak menguntungkan untuk dikembangkan. Dalam penilaian kelayakan usahatani tanaman dengan mempertimbangkan, yaitu: (1) umur ekonomis untuk tanaman tahunan yang diusahakan dalam hal ini tanaman karet dan kelapa sawit, masing-masing sampai umur 35 tahun untuk tanaman karet yang didasarkan hasil informasi/wawancara terhadap petani di lapangan dan 25 tahun untuk tanaman kelapa sawit; (2) tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah 18%. Tingkat suku bunga berperilaku progresif untuk mengurangi nilai sekarang terhadap hasil dan manfaat yang diperoleh di waktu yang akan datang. Semakin jauh waktu dipilih ke depan, semakin kecil nilai manfaat untuk waktu yang akan datang. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas (Monde, 2008). Analisis ini dengan berpatokan kepada kenaikkan pendapatan dan penurunan produksi dan biaya produksi. Analisis ini dilakukan dengan mengasumsikan nilai-nilai yang diperoleh terhadap kemungkinan yang akan terjadi dengan perubahan sebesar 20%: - Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap - Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap - Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap - Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap - Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi naik 20% - Produksi tetap harga naik 20% - Produksi turun dan harga naik 20% Analisis keberlanjutan Untuk mengetahui kondisi dan tingkat keberlanjutan usahatani di lahan rawa lebak saat ini dan hasil penyusunan skenario untuk masa yang akan datang, dilakukan analisis keberlanjutan dengan menggunakan metode rapid appraisal menggunakan analisis Rap-Lebak (Rap-lebak). Analisis ordinasi Rap- Lebak dengan metode MDS dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) tahap penentuan atribut sistem usahatani rawa lebak yang meliputi lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan; (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; (3) tahap analisis ordinasi

55 Rap-lebak dengan metode MDS dengan menggunakan software Rap-Lebak excel untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma; (4) penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem usahatani saat ini berdasarkan lima dimensi yang menjadi indikator keberlanjutan. Pada setiap dimensi terdiri dari tujuh hingga delapan atribut yang mencerminkan keberlanjutan usahatani di rawa lebak dan masing-masing atribut tersebut diberikan penilaian/skor. Skor ini menunjukkan nilai dalam kisaran baik (good) dan buruk (bad). Berdasarkan skor tersebut kemudian dilakukan analisis mengunakan ordinasi statistik yang disebut Multi Dimensional Scalling (MDS). Jika nilai indeks lebih dari 50% maka sistem yang dikaji tersebut dapat dikategorikan berkelanjutan (sustainable) dan apabila nilai indeks kurang dari 50% maka sistem yang dikaji dianggap belum berkelanjutan. Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kategori indeks dan status keberlanjutan Nilai Indeks 0 24, , , ,00 Kategori Buruk : Tidak berkelanjutan Kurang : Kurang berkelanjutan Cukup : Cukup berkelanjutan Baik : Sangat berkelanjutan Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi di atas, dapat pula divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) sebagaimana ditunjukkan Gambar 4. Dimensi Ekologi Dimensi Kelembagaan Dimensi Ekonomi Dimensi Teknologi Dimensi Sosial Budaya Gambar 4 Diagram layang indeks keberlanjutan

56 3.8.5 Analisis Leverage Analisis laverage (daya ungkit) dilakukan untuk mengetahui atribut yang sensitif dan intervensi yang perlu dilakukan. Hasil analisis laverage dinyatakan dalam bentuk persen (%) perubahan root mean square (RMS) dari masingmasing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut-atribut dengan persentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan (Kavanagh, 2001; Pitcher dan David, 2001). Atau semakin besar perubahan root mean square (RMS), maka semakin sensitif peranan atribut tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan Analisis Monte Carlo Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Analisis ini merupakan metode simulasi statistik untuk mngetahui pengaruh random error pada proses pendugaan dan diperlukan untuk mempelajari efek ketidakpastian dari beberapa faktor seperti (1) kesalahan pembuatan skoring dalam setiap atribut, (2) dampak keragaman skoring dari perbedaan penilaian, (3) stabilitas MDS dalam running, dan (4) tinggi nilai S- Stress dari algoritma ASCAL. Jika perbedaan antara hasil perhitungan MDS dan Monte Carlo kurang dari satu, maka sistem yang dikaji cukup baik atau sesuai dengan kondisi nyata (Kavanagh, 2001; Pitcher dan David, 2001). Nilai S-stress dan koefisien determinasi (R 2 ) berfungsi juga untuk mengetahui perlu tidaknya penambahan atribut, dan sekaligus mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan keadaan yang sebenarnya. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan dua titik yang berdekatan terhadap titik asal ordinasi. Sedangkan penentuan jarak dalam MDS didasarkan pada euclidian distance (Fauzi dan Anna, 2005). Dalam ruang berdimensi n dengan persamaan sebagai berikut: d =...(2) Ordinasi dari obyek atau titik kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij). d ij = + βδ ij + ε...(3) Untuk meregresikan persamaan di atas, digunakan metode least squared bergantian berdasarkan akar eucludian distance (square distance) atau disebut dengan metode ALSCAL (Fauzi dan Anna, 2005). Metode ini mengoptimalkan

57 jarak kuadrat (squared distance = d ijk ) terhadap data kuadrat (titik asal = O ijk ), dalam ruang tiga dimensi (i,j,k) yang disebut S-Stress, sesuai dengan persamaan berikut:...(4) Jarak kuadrat merupakan jarak euclidian, sesuai dengan persamaan berikut:...(5) Goodness of fit dalam MDS untuk mengukur ketepatan konfigurasi dari suatu titik yang dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit mencerminkan besaran nilai S-Stress dari R 2. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good fit, sedangkan nilai S-stress yang tinggi menunjukkan sebaliknya (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Kavanagh and Pitcher (2004), model yang baik atau hasil analisis cukup baik, apabila nilai S-Stress kurang dari 0,25 (S<0,25), dan R 2 mendakati 1 (100%) Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (Stakeholder) Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penting yang berpengaruh dan berperan dalam sistem pengembangan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Analisis ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan identifikasi kebutuhan semua pemangku kepentingan terhadap rawa lebak. Berbagai kebutuhan stakeholder tersebut kemudian diformulasikan dalam bentuk deskripsi faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder pengelolaan kawasan rawa lebak pada masa yang akan datang. Faktor-faktor ini menjadi masukan dalam skenario yang akan disusun Analisis prospektif Analisis prospektif dilakukan untuk menyusun skenario arahan kebijakan dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh dan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) menetapkan tujuan, (2) melakukan identifikasi kriteria, (3) mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan, (4) analisis pengaruh antara faktor, (5) membangun dan memilih skenario, dan (6) implikasi skenario (Bourgeois, 2007).

58 Penentuan faktor kunci dalam analisis ini dilakukan dengan menggabungkan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh terhadap kinerja sistem dari hasil analisis keberlanjutan dan faktor kunci yang diperoleh dari analisis kebutuhan. Pengaruh antar faktor kunci diberikan nilai (skor) oleh pakar dengan menggunakan pedoman seperti pada Tabel 5. Skor Keterangan Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat Sumber: Hardjomidjojo, 2006 Tabel 5 Pedoman penilaian Pengaruh antar faktor diisi dengan memberikan angka pada masingmasing faktor dengan pedoman sebagai berikut: (1) Jika faktor tersebut tidak ada pengaruh terhadap faktor lain, jika ya diberikan nilai 0 (2) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya kecil, diberikan nilai 1, dan jika pengaruh sedang, diberikan nilai 2. (3) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya diberikan nilai 3. Pengaruh antar faktor selanjutnya disusun ke dalam bentuk matriks sebagaimana Tabel 6. Tabel 6 Pengaruh antar faktor Dari A B C D... Terhadap A B C D... Sumber: Bourgeois, 2007 Untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan yang terbaik pada masa yang akan datang, dilakukan penentuan faktor-faktor penting/faktor pengungkit/elemen-elemen kunci dari beberapa faktor yang telah disusun sebelumnya. Faktor-faktor penting/pengungkit tersebut, dianggap faktor kunci yang sangat berpengaruh terhadap model pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan. Penentuan faktor-faktor penting/pengungkit dilakukan dengan cara seperti pada Gambar 5.

59 Pengaruh (1) (2) Faktor Penentu (DrivingVariables) INPUT Faktor Penghubung (Leverage Variables) STAKE (3) (4) Faktor Bebas (Marginal Variables) UNUSED Faktor Terkait (Output Varables) OUTPUT Ketergantungan Gambar 5 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004), yaitu: a. Kuadran 1 (driving variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variables) yang paling kuat dalam sistem. b. Kuadran 2 (leverage variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat. Faktor c. Kuadran 3 (outout variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d. Kuadran 4 (marginal variables), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah). Berdasarkan faktor-faktor penting/faktor pengungkit yang diperoleh di atas, selanjutnya dijadikan sebagai alternatif dalam penyusunan skenario. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang Faktor penting Keadaan yang mungkin terjadi 1 1A 1B 1C 2 2A 2B 2C 3 3A 3B 3C... n... na... nb... nc

60 Berdasakan hasil dari Tabel 7, langkah selanjutnya adalah membangun skenario rekomendasi kebijakan pengembangan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan dengan beberapa kemungkinan skenario seperti Tabel 8. Tabel 8 Kemungkinan skenario model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan Skenario Uraian Urutan faktor 1 Bertahan pada kondisi saat ini, dengan perbaikan terbatas 2 Melakukan perbaikan tetapi tidak maksimal 3 Melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terintegrasi Analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga Untuk mengetahui pendapatan rumahtangga petani dilakukan analisis dengan menjumlahkan penghasilan semua anggota keluarga (kepala keluarga, istri, anak, dan anggota lainnya) yang bersumber dari luar kegiatan usahatani maupun dari kegiatan usahatani yang dihitung dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya dihitung proporsi pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usahatani. Pada saat yang sama, dilakukan perhitungan kebutuhan rumahtangga dengan menjumlahkan semua kebutuhan rumahtangga, baik untuk kebutuhan primer, sekunder, dan kebutuhan tersier yang juga dihitung dalam suatu periode tertentu. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dan inventarisasi berbagai macam kebutuhan berdasarkan prioritas pemenuhannya. Dalam hal ini kebutuhan rumahtangga dibatasi pada kebutuhan-kebutuhan pokok (kebutuhan primer). Langkah berikutnya, dilakukan formulasi keseimbangan antara kebutuhan dengan penghasilan rumahtangga Analisis kebutuhan hidup layak (KHL) Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, maka dilakukan analisis kebutuhan hidup layak (KHL). Dalam hal ini kebutuhan hidup layak didasarkan pada kebutuhan dasar, yaitu untuk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan sosial. Analisis ini dilakukan dengan cara menyetarakan jumlah pendapatan bersih yang diperoleh setiap rumahtangga petani untuk dapat hidup layak yaitu minimal senilai beras 320 kg/th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). Pedoman yang dipakai untuk perhitungan adalah:

61 - Nilai setara 320 kg beras per orang per tahun untuk memenuhi 3 (tiga) kebutuhan hidup primer (pangan, sandang, papan) dengan rincian 8,9 kg beras x 3 x 12 bulan = 320,4 kg atau dibulatkan 320 kg/org/th (100%). Dalam sehari kebutuhan hidup per orang sebesar 290 gram beras, sebulan 290 gram x 30 = 8,9 kg per bulan. - Untuk kebutuhan kesehatan dan rekreasi 50% x 320 kg beras/org/th - Kebutuhan pendidikan 50% x 320 kg beras/org/th. - Kebutuhan sosial, asuransi dll. 50% x 320 kg beras/org/th. Untuk melengkapi hasil analisis ini dilanjutkan dengan analisis kebutuhan lahan minimal yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup layak, yaitu dengan mengkonversi nilai kebutuhan hidup layak ke nilai produktivitas lahan minimum. Dalam penetapan luas lahan minimal (Lm), digunakan persamaan: Lm = KHL/Pb, dimana: Pb adalah pendapatan bersih per hektar (Monde, 2008). 3.9 Rekomendasi Kebijakan Dari serangkaian analisis yang dilakukan, selanjutnya disusun rekomendasi. Rekomendasi kebijakan dalam bentuk model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan, merupakan tujuan utama dari penelitian ini. Rekomendasi kebijakan ini diharapkan dapat menjadi bahan rancangan kebijakan untuk pengelolaan rawa lebak di Kabupaten Kubu Raya pada khususnya dan daerah lain pada umumnya.

62 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kubu Raya merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Kalimantan Barat dengan luas wilayah mencapai 6 985,24 km 2 (Tabel 9). Secara geografis, Kabupaten Kubu Raya berada di sisi Barat Daya Provinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0 o Lintang Utara sampai dengan 1 o 0 15 Lintang Selatan dan 109 o Bujur Timur sampai dengan 109 o Bujur Timur yang terdiri dari sembilan kecamatan dan 106 desa. Dari Sembilan Kecamatan yang ada, kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Kecamatan Batu Ampar seluas 2 002,70 km 2 atau 28,86 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya dan kecamatan dengan wilayah terkecil adalah Kecamatan Rasau Jaya yaitu 111,70 km 2 atau 1,59 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya. Sedangkan luas wilayah Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang sebagai lokasi penelitian masing-masing dengan luasan 929,30 km 2 atau 13,30 persen dan 726,10 km 2 atau 10,40 persen dari luas Kabupaten Kubu Raya (Tabel 9 dan Gambar 6). Tabel 9 Luas wilayah, Ibukota Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten Kubu Raya No Kecamatan Ibukota Kecamatan Luas Area (km 2 ) Jumlah Desa 1 Batu Ampar Padang Tikar 2 002, Terentang Terentang 786, Kubu Kubu 1 211, Teluk Pakedai Teluk Pakedai 291, Sungai Kakap Sungai Kakap 453, Rasau Jaya Rasau Jaya 111, Sungai Raya a) Arang Limbung 929, Sungai Ambawang Kuala 726,10 13 Ambawang b) 9 Kuala Mandor B Kuala Mandor 473,00 5 Jumlah 6 985, Keterangan: a) dan b) Lokasi Penelitian Sumber: Kabupaten Kubu Raya Dalam Angka, 2009

63 13% 10% 7% 29% Batu Ampar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap 2% 6% 4% 17% 11% Rasau Jaya Sungai Rayaa) Sungai Ambawangb) Kuala Mandor B Gambar 6 Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten Kubu Raya Penduduk di Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin sampai tahun 2009 sebanyak jiwa laki-laki dan jiwa perempuan atau dengan total sebanyak jiwa (Tabel 10). Penduduk ini tersebar di sembilan kecamatan. Penyebaran penduduk terlihat belum merata dimana kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terpadat yaitu Kecamatan Sungai Raya dengan jumlah penduduk sebesar jiwa, kemudian diikuti Kecamatan Sungai Kakap sebanyak jiwa dan Kecamatan Sungai Ambawang sebanyak jiwa. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk yang tersedikit adalah Kecamatan Terentang yaitu hanya mencapai jiwa. Tabel 10 Jumlah penduduk Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin (jiwa) No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Batu Ampar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya Sungai Raya Sungai Ambawang Kuala Mandor B Jumlah Sumber: Kabupaten Kubu Raya Dalam Angka, 2009

64 4.2 Penggunaan Lahan, Topografi dan Iklim Penggunaan tanah di Kabupaten Kubu Raya yang tertinggi adalah hutan lebat mencapai ,55 hektar atau 31,02 persen, sedangkan penggunaan tanah yang terendah adalah untuk permukiman yang hanya mencapai 2 393,30 hektar atau 0,34 persen dari luas wilayah Kabupaten Kubu Raya seluas ,00 ha (Tabel 11). Tabel 11 Penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2008 No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Permukiman 2 393,30 0,34 2 Perkebunan Rakyat ,84 11,76 3 Perkebunan Besar 3 525,50 0,50 4 Kebun Campuran ,29 2,03 5 Sawah ,50 1,45 6 Tegalan / Ladang ,30 5,65 7 Semak ,26 9,73 8 Hutan Sejenis ,80 8,98 9 Hutan Lebat ,55 31,02 10 Hutan Belukar ,66 28,58 Jumlah ,00 100,00 Sumber: RTRW Kab. Kubu Raya, 2008 Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya sebagian besar berupa wilayah datar mencapai 96,04% (Tabel 12). Dan terdapat sejumlah kecil wilayah dengan kelerengan yang sangat curam (1,05%). Tabel 12 Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya No Lereng (%) Luas (ha) Persentase (%) ,20 96, ,00 2, ,80 0,50 4 > ,00 0,55 Jumlah ,00 100,00 Sumber: RTRW Kab. Kubu Raya, 2008 Curah hujan di Kabupaten Kubu Raya selama 10 tahun terakhir berdasarkan data dari Stasiun Supadio Pontianak tahun 2010 (Tabel 13 dan Gambar 7), menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan terendah yaitu pada bulan Agustus mencapai 185,58 mm, sedangkan curah hujan tertinggi pada bulan Januari mencapai 346,44 mm per bulan. Dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 274,53 mm per bulan. Klasifikasi iklim lokasi penelitian menurut Scmidt and Ferguson termasuk tipe C atau beriklim basah dengan ratarata bulan basah mencapai tujuh bulan per tahun yang terjadi pada bulan Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember, Januari dan Februari.

65 Tabel 13 Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya Bln Rerata Jan 582,0 306,4 466,9 349,4 384,2 290,5 184,0 281,0 124,5 262,0 233,5 346,44 Peb 164,4 253,0 76,5 296,6 351,3 166,3 345,4 91,7 106,4 66,9 274,1 219,26 Mar 169,0 269,1 285,9 201,8 215,6 221,6 137,3 202,5 209,8 291,0 286,1 248,97 Apr 178,7 357,1 334,9 213,7 312,0 258,0 260,2 314,2 321,4 372,2 210,2 313,26 Mei 63,0 160,7 141,5 146,5 386,3 409,8 228,2 61,9 233,8 182, ,80 Jun 301,7 223,4 136,0 133,9 113,4 167,8 219,7 437,5 101,8 135, ,06 Jul 194,7 301,5 153,7 212,6 249,1 151,7 40,6 311,7 317,1 121, ,46 Ags 371,8 154,8 164,0 206,5 18,9 161,7 57,2 142,4 279,0 299, ,58 Sep 340,8 155,2 107,6 132,0 308,9 229,6 171,0 215,1 200,5 189, ,02 Okt 252,7 345,4 210,7 301,9 181,8 538,3 129,7 590,7 565,2 381, ,83 Nop 343,1 469,0 362,3 334,3 351,3 309,5 296,8 249,5 246,2 668, ,00 Des 191,0 183,5 297,4 257,2 421,6 140,9 477,2 365,7 426,1 309, ,98 Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010 Sedangkan curah hujan dalam bentuk diagram batang Gambar 7 menunjukkan distribusi curah hujan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 atau selama 10 tahun terakhir. 800 CURAH HUJAN (mm/bln) Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des BULAN TAHUN 2000 TAHUN 2001 TAHUN 2002 TAHUN 2003 TAHUN 2004 TAHUN 2005 TAHUN 2006 TAHUN 2007 TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010 Gambar 7 Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya Suhu udara di Kabupaten Kubu Raya berdasarkan data dari Stasiun Supadio Pontianak tahun 2010 (Tabel 14 dan Gambar 8), menunjukkan bahwa suhu rata-rata bulanan terendah 25,35 o C yaitu pada bulan Februari, sedangkan suhu tertinggi 27,33 o C pada bulan Mei.

66 Tabel 14 Suhu udara ( o C) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya Bln Rerata Jan 26,1 26,1 26,2 26,4 26,4 26,6 26,3 26,7 26,7 26,2 26,7 26,30 Peb 26,2 26,6 26,6 26,5 26,7 26,9 26,8 26,7 24,5 26,2 27,3 25,35 Mar 26,7 26,6 26,9 26,7 26,9 27,1 27,3 26,7 26,1 26,7 26,7 26,45 Apr 26,3 26,6 26,8 26,6 26,8 27,2 25,8 26,8 25,9 27,2 27,9 26,34 Mei 27,4 27,2 27,5 27,7 27,3 27,1 26,9 27,1 27,1 28,0 0 27,33 Jun 27,1 26,7 27,0 27,4 27,4 27,3 26,9 26,7 27,0 27,8 0 27,13 Jul 27,1 26,5 27,3 26,7 26,0 27,0 27,9 26,7 26,6 27,2 0 26,90 Ags 26,3 27,2 27,1 27,3 27,2 27,3 27,4 26,9 26,8 27,7 0 27,12 Sep 26,6 26,1 27,0 26,7 26,4 26,9 26,6 27,1 27,0 27,7 0 26,81 Okt 26,2 26,5 26,8 26,7 26,7 26,4 26,9 26,5 26,3 26,7 0 26,57 Nop 26,4 26,2 26,4 26,4 26,3 26,1 26,5 26,1 26,9 26,5 0 26,38 Des 26,1 26,1 26,8 26,2 26,0 26,1 26,5 26,2 26,1 26,4 0 26,25 Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010 Sedangkan suhu udara di lokasi penelitian dalam bentuk diagram garis sebagaimana disajikan pada Gambar Suhu Rerata Bulanan (oc) SUHU RERATA BULANAN 24 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Bulan Jul Ags Sep Okt Nop Des Gambar 8 Suhu ( o C) rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya Kelembaban udara rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian baik di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang, menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu mencapai 83%, sedangkan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Desember mencapai 89,10%. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.

67 Tabel 15 Kelembaban udara (%) rata-rata bulanan tahun di Kabupaten Kubu Raya Bln Rerata Jan ,91 Peb ,45 Mar ,91 Apr ,82 Mei ,40 Jun ,90 Jul ,60 Ags ,00 Sep ,90 Okt ,70 Nop ,00 Des ,10 Sumber: Stasiun Klimatologi Supadio-Pontianak, 2010 Sedangkan kelembaban udara di lokasi penelitian dalam bentuk diagram garis sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Kelembaban Udara Rerata Bulanan (%) Kelembaban Rerata Bulanan Bulan Gambar 9 Kelembaban (%) udara rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya 4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Suku yang ada di Kabupaten Kubu Raya meliputi suku Melayu, Madura, Jawa/Sunda, Bugis, Cina, Dayak dan lain-lain. Warga keturunan Cina merupakan suku yang terbanyak mencapai 48,37 persen, kemudian diikuti Jawa mencapai 17,19 persen, Melayu 16,98 persen, Dayak 10,97 persen dan Bugis 8,33 persen. Sedangkan suku Madura hanya mencapai 4,53 persen (Gambar 10).

68 11.00% 11.00% 17% 5% Melayu Madura Jawa/Sunda 17% Bugis Cina 48.00% 8.00% Dayak Lain-lain Gambar 10 Distribusi penduduk menurut suku bangsa di Kabupaten Kubu Raya Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kubu Raya, cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 16). Sektor yang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2003 dan 2004 adalah sektor listrik, gas dan air minum, sedangkan pada tahun 2005 dan 2006 adalah sektor pertanian. Selanjutnya berdasarkan data tahun 2006 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terdapat tiga sektor utama yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDRB Kabupaten Kubu Raya, secara berturut-turut adalah sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kemudian, berdasarkan nilai Location Quation (LQ) sektor unggulan Kabupaten Kubu Raya adalah sektor industri pengolahan dan sektor pertanian, hal itu ditunjukkan oleh nilai LQ yang lebih besar dari 1. Tabel 16 Pertumbuhan ekonomi, PDRB dan nilai LQ menurut sektor Kabupaten Kubu Raya tahun (persen) Sektor Tahun PDRB KKR Nilai LQ Sektor Thn 2006 Thn 2006 Pertanian 5,82 7,17 8,77 10, ,97 1,13 Pertambangan dan ,00 0,00 Penggalian Industri Pengolahan 1,85 1,85 1,85 1, ,95 2,23 Listrik, Gas dan Air 7,95 8,03 8,10 8, ,98 0,75 Minum Bangunan 5,84 5,85 5,85 5, ,27 0,18 Perdagangan, Hotel dan 1,01 1,02 1,03 1, ,67 0,54 Restoran Pengangkutan dan 4,03 4,17 4,37 4, ,79 0,82 Komunikasi Keuangan, Persewaan 4,80 4,96 5,15 5, ,65 0,57 dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa 10,59 14,96 15,03 15, ,04 0,58 Jumlah 3,37 3,98 4,52 5,20 Sumber: Hasil olahan

69 4.4 Karakteristik Lahan dan Petani Rawa Lebak Berdasarkan hasil orientasi lapangan dan informasi yang dihimpun dari beberapa petani dan aparat desa pada saat penelitian, menunjukkan bahwa kondisi lahan rawa lebak di kedua lokasi penelitian sejak tahun 2004 dengan adanya reklamasi sungai, relatif tidak mengalami penggenangan yang cukup lama, kecuali pada beberapa lokasi masih terjadi banjir apabila hujan lebat. Dan apabila terjadi banjir, penggenangan hanya berlangsung paling lama sekitar 2 minggu. Menurut penduduk setempat hal itu disinyalir akibat dari: (1) kapasitas sungai ambangah dan sungai pasak piang di bagian hilir tidak dapat menampung beban debit banjir akibat terjadinya pendangkalan karena banyaknya sedimen pada bagian dasar sungai, sedimen yang terbentuk sebagai akibat adanya aktivitas penebangan hutan di bagian hulu sungai. Sebagaimana yang ditemukan oleh Noor (2007) bahwa selain aktivitas penebangan hutan, juga adanya aktivitas berat seperti pertambangan, perlandangan intensif dan hutan yang gundul dapat berakibat pendangkalan sungai di bagian hilir. (2) tinggi genangan untuk lahan sawah hanya sekitar 40 cm khususnya sawah-sawah yang terletak di dekat sungai. Kondisi ini, apabila menggunakan batasan menurut kriteria Subagjo pada halaman 10, maka dari total luasan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah yang mencapai 260 hektar dan 221 hektar di Desa Pasak Piang tidak masuk dalam kategori lahan rawa lebak karena batasan tinggi atau lama genangan pada kedua lokasi penelitian tersebut tidak terpenuhi. Menurut Noor (2007) rawa lebak yang telah mengalami pengatusan (drainase) setelah dilakukan reklamasi sehingga muka air turun dan lahan tidak lagi tergenang secara permanen, kecuali hanya beberapa hari apabila hujan lebat, semestinya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai lahan rawa lebak. Lahan semacam ini lebih sesuai dikategorikan sebagai lahan tadah hujan karena karakter rawa lebak yang terkait genangan tidak lagi melekat secara inherence. Lahan semacam ini umumnya sudah dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit, karet, jeruk, dan sebagainya. Keadaan fisik lahan di kedua Desa, memperlihatkan kandungan unsur hara yang bervariasi, mulai dari sangat rendah sampai tinggi, ph tanah di kedua lokasi sangat rendah hanya berkisar antara 3,23 sampai 3,38 dengan kandungan C organik yang sangat tinggi, KTK dan N total yang tinggi. Tekstur tanah di Desa Sungai Ambangah adalah lempung liat berdebu dan debu berliat untuk Desa Pasak Piang (Tabel 17).

70 Tabel 17 Kondisi fisik lahan, Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Parameter Sungai Ambangah Pasak Piang - Temperatur udara rata-rata tahunan - Bulan kering (<100 mm/th) - Curah hujan tahunn - Drainase tanah - Tekstur tanah - Kedalaman efektif - Gambut: - kematangan - Ketebalan - KTK tanah - ph - N total - P 2O 5 tersedia - K - Periode banjir - Frekuensi - Salinitas - Kejenuhan aluminium - Kedalaman pirit - Struktur - Konsistensi - Kemiringan lahan - Batu dipermukaan - Singkapan batuan (rock outocrops) - Total bahaya erosi : 26,4-27,2 : 1-2 bulan : 3 142,3 mm/th : agak terhambat : lempung liat berdebu : sedang (50 cm) : - : - : 24,59 cmol(+)/kg : 3,24 : 0,47% : 13,67 ppm : 0,25 cmol(+)/kg : ringan : - : 2 ds/cm : - : >100 cm : - : - : <3% : 0% : 0% : ringan : 26,4 27,2 : 1-2 bulan : 3 142,3 mm/th : agak terhambat : debu berliat : dalam (>75 cm) : - : - : 26,84 cmol(+)/kg : 3,38 : 0,78% : 6,16 ppm : 0,19 cmol(+)/kg : ringan : - : 1 ds/cm : - : >150 cm : - : - : <3% : 0% : 0% : ringan Sumber: Hasil pengamatan, analisis laboratorium dan data Stasiun Meterologi Supadio Petani responden baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang dalam penggunaan faktor produksi khususnya pupuk secara rata-rata belum menggunakan pemupukan sesuai anjuran di dalam kegiatan usahatani mereka. Hal itu terlihat dari selisih pemberian pupuk oleh petani di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang yang dibandingkan dengan anjuran pemupukan yang seharusnya diberikan menurut rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPTP Kalbar (Tabel 18). Tabel 18 Selisih rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dibanding anjuran di lahan rawa lebak Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sungai Ambangah Pasak Piang Uraian Ratarata*rata Anjuran**) Selisih Rata- Anjuran Selisih 1. Produksi (t/gkg) 1,1 1,9 0,8 0,9 1,9 1,0 2. Faktor Produksi - Urea (kg) - SP-36 (kg) - KCl (kg) - Pupuk Kandang (t) - Kapur (t) ,2 2,0 > ,2 2, ,0 2, ,0 2,0 Sumber: *) hasil wawancara; **) BPTP Kalbar, 2009

71 Berdasarkan Tabel 19 diperoleh gambaran bahwa karakteristik petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang khususnya dari sisi umur, didominasi petani yang berusia 30 sampai 50 tahun masing-masing mencapai 60,1% dan 82,2%. Hal ini menunjukkan bahwa petani yang ada tergolong pada kelompok usia produktif. Umur berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan serta pengalaman. Pengalaman merupakan sumberdaya untuk kesiapan dirinya belajar lebih lanjut (Vacca dan Walker dalam Jarmie, 1985). Umur seseorang juga berkaitan dengan kapasitas belajar, penurunan kapasitas belajar seseorang berlangsung secara drastis pada umur 60 tahun yaitu pada fase usia lanjut. Umur seseorang berhubungan juga dengan kapasitas kerja dan produktivitas kerja Distribusi petani berdasarkan tingkat pendidikan, baik di Desa Sungai Ambangah maupun di Desa Pasak Piang lebih didominasi oleh yang berpendidikan Sekolah Dasar. Akan tetapi, di Desa Sungai Ambangah ditemukan petani yang berpendidikan tinggi (diploma), sedangkan di Desa Pasak Piang pendidikan tertinggi petani hanya mencapai tingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan menurut Houle (1975), merupakan proses pengembangan pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, yang dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan-perubahan. Perubahan menurut Wiraatmadja (1977) adalah perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengamalan yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya pada sesuatu yang dipelajarinya, disamping itu hasil-hasil belajar yang perlu diperoleh dari pendidikan yang telah diikuti seseorang akan menentukan semangatnya untuk belajar (Slamet, 1975). Sedangkan rata-rata jumlah anggota keluarga petani mencapai 4,3 jiwa untuk Desa Sungai Ambangah dan 4,2 jiwa di Desa Pasak Piang. Status kepemilikan lahan di kedua Desa adalah milik sendiri. Dan secara keseluruhan petani tergabung dalam kelompok tani. Distribusi petani berdasarkan luas lahan garapan untuk tanaman padi di Desa Sungai Ambangah didominasi petani yang memiliki luas lahan garapan >0,5 1,0 (40,2%) dan >1,0 2,0 (37,2%) dan Desa Pasak Piang >1,0 2,0 (35,7%) dan >1,0 2,0 (32,1%). Sedangkan distribusi petani berdasarkan luas lahan garapan tanaman karet di Sungai Ambangah didominasi oleh yang memiliki luas lahan garapan antara >1,0 2,0 (27,4%), tetapi di Desa Pasak Piang didominasi oleh responden yang memiliki luas lahan garapan >1,0 2,0 (52,2%). Distribusi petani berdasarkan

72 luas lahan garapan tanaman kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang semua responden memiliki luas lahan garapan antara >0,5 1,0. Jumlah lahan garapan berdasarkan masing-masing luas kepemilikan di Desa Sungai Ambangah berturut-turut dari yang tertinggi yaitu >0,5 1,0 hektar mencapai 41,3% diikuti luas >1,0 2,0 hektar mencapai 29,3%, 0-0,5 hektar mencapai 16,3% dan >2 hektar hanya mencapai 13,1%. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang berturut-turut dari yang tertinggi yaitu >0,5 1,0 hektar mencapai 39,0% diikuti luas >1,0 2,0 hektar mencapai 27,2%, 0 0,5 hektar mencapai 21,4% dan >2 hektar hanya mencapai 12,4%. Distribusi petani berdasarkan pengalaman berusahatani khususnya komoditas padi berkisar antara 10 hingga 20 tahun, di Sungai Ambangah mencapai 56,8%, sedangkan Pasak Piang mencapai 53,7%. Selengkapnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Keragaan umum dan status kepemilikan lahan petani di Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Klasifikasi Keterangan 1 Usia (th) < > 50 2 Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA 3 Jumlah Anggota Keluarga (jiwa) 4 Status Kepemilikan Lahan 5 Tergabung dalam kelompok Tani 6 Luas Lahan Garapan (ha) Padi Karet Sawit Diploma >6 Millik sendiri Sewa Ya Tidak 0 0,5 >0,5 1,0 >1,0 2,0 >2 ha 0 0,5 >0,5 1,0 >1,0 2,0 >2 0 0,5 >0,5 1,0 >1,0 2,0 >2 Jumlah petani (%) Sungai Pasak Piang Ambangah 13,6 10,7 20,4 39,3 27,4 32,2 38,6 17,8 2,2 45, ,2 6,8 33,3 42,3 24, ,6 40,2 37,2 9,0 0,0 22,7 27,4 15,9 0,0 22,7 0,0 0,0-53,5 25,1 21,4-42,9 35,7 21, ,4 35,7 32,1 10,8 0,0 12,2 52,2 19,5 0,0 35,4 0,0 0,0

73 Lanjutan No Klasifikasi Keterangan 7 Pengalaman berusahatani padi (th) Jumlah 0 0,5 >0,5 1,0 >1,0 2,0 >2 ha > 20 Jumlah petani (%) Sungai Pasak Piang Ambangah 16,3 21,4 41,3 39,0 29,3 27,2 13,1 12,4 29,5 56,8 13,5 Jumlah responden (petani) Sumber : Hasil wawancara 28,5 53,7 17,8 4.5 Jenis Tanaman, Produktivitas, dan Kendala Usaha Tani Hasil analisis pendahuluan tentang jenis tanaman, produktivitas, kendala usahatani dan peluang perbaikan sebagaimana disajikaan pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa tiga tanaman utama yang diusahakan oleh masyarakat di daerah rawa lebak adalah padi, karet dan kelapa sawit. Namun demikian rata-rata produksi yang dihasilkan khususnya tanaman padi dan karet, relatif rendah baru mencapai 1,0 ton per hektar di Sungai Ambangah dan 0,8 ton per hektar per tahun di Pasak Piang untuk padi. Untuk tanaman karet berkisar antara 0,99 ton per hektar di Sungai Ambangah dan 0,95 ton per hektar per tahun di Pasak Piang. Dan kelapa sawit belum berproduksi. Tabel 20 Jenis tanaman, produksi, kendala dan peluang perbaikan usahatani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Kelompok Tanaman Tanaman Semusin Tanaman Tahunan Jenis Tanaman Padi 1. Sungai Ambangah 2. Pasak Piang Karet 1. Sungai Ambangah 2. Pasak Piang Kelapa Sawit*) Sumber: Hasil wawancara Rata-rata Produksi (ton/ha) 1,0 0,8 0,99 0,95 Indeks Penanaman Kendala Usahatani 1. Indeks penanaman, pemupukan belum sesuai anjuran, penggunaan varietas lokal, ketersediaan air, ph rendah, adanya serangan H/P, luas lahan garapan sempit. 2. Modal terbatas, terbatasnya tenaga kerja, waktu tanam masih berdasarkan kebiasaan/adat 1. Jenis lokal, tanaman tua, Jarak tanam, tanpa pemupukan, kualitas produk rendah 2. Harga ditentukan pembeli Ket: *)umur tanaman ± 2,5 tahun saat penelitian

74 Tingkat produksi padi terendah 0,6 ton/ha di Desa Pasak Piang dan tertinggi 1,3 ton/ha di Desa Sungai Ambangah. Secara parsial tingkat produksi padi di Desa Sungai Ambangah mencapai 0,8 1,3 ton/ha/tahun dengan produksi rata-rata adalah 1,0 ton/ha/tahun. Sedangkan di Desa Pasak Piang hanya mencapai 0,6 1,1 ton/ha/tahun dengan produksi rata-rata adalah 0,8 ton/ha/tahun. Nilai produksi tersebut jika dikonversikan dengan harga gabah kering giling (GKG) setempat yang hanya mencapai Rp3 000,- per kg, maka penerimaan petani di Sungai Ambangah setara dengan Rp ,- dan di Pasak Piang setara dengan Rp ,-. Sedangkan tingkat produksi komoditas karet di Desa Sungai Ambangah dari data yang diperoleh mencapai 0,72 ton/ha terendah dan tertinggi 1,26 ton/ha dan 0,5 ton terendah dan tertinggi 1,20 ton/ha di Pasak Piang, dengan rata-rata produksi adalah 0,99 ton/ha/tahun di Sungai Ambangah dan 0,95 ton/ha/tahun di Pasak Piang. Untuk tanaman kelapa sawit belum berproduksi dan saat penelitian dilaksanakan tanaman kelapa sawit baru berumur sekitar 2,5 tahun. Dari dua tanaman yang telah menghasilkan dilakukan analisis, dan hasilnya sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Nilai penerimaan dan pendapatan petani berdasarkan produksi eksisting beberapa jenis tanaman di rawa lebak (Rp/th) Rata-rata Produksi Rata-rata Nilai Produksi Produksi (ton/ha) Jenis (ton/ha) (Rp/thn/ha) Tanaman Sungai Ambangah Pasak Piang Sungai Ambangah Pasak Piang Sungai Ambangah Pasak Piang Padi*) 0,8 1,3 0,6 1,1 1,0 0, Karet**) 0,72 1,26 0,5 1,20 0,99 0, Kelapa Sawit***) Sumber: hasil olahan Ket: *) Harga GKG di kedua lokasi penelitian Rp3 000,- per kg **) Harga karet Rp8 000/kg di Sungai Ambangah, dan Rp7 000,-/kg di Pasak Piang ***) Harga TBS Rp1 300,- per kg 4.6 Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan mencocokan antara data kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Djaenudin et al., 2003).

75 Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Sungai Ambangah Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas Temperatur (tc) Temperatur rarata ( o C) 26,4 27,2 S1 26,4 27,2 S1 26,4 27,2 S1 Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75) S1 S1 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75) S1 S1 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Lempung Liat Berdebu sedang (50-75) Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) S2 S1 S2 S2 S2 S2 Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) 24,59 S1 24,59 S1 24,59 S1 ph H2O 3,24 S3 3,24 S3 3,24 S3 Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) <3 S1 <3 S1 <3 S1 Bahaya erosi Sangat rendah S1 Sangat rendah S1 Sangat rendah S1 Bahaya Banjir (fh) Genangan F1 S2 F1 S2 F1 S2 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) 0 0 S1 S1 Kelas Kesesuain Lahan S3nr S3nr S3nr Aktual Sumber: Hasil olahan; Anilisis laboratorium; dan Stasiun Meterologi Supadio Pontianak Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di Desa Sungai Ambangah (Tabel 22), dengan memasukan data-data tanah dan iklim ke dalam pedoman kesesuaian lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual yaitu pada kelas S3nr dengan faktor pembatas ph tanah, baik untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit. Faktor pembatas yang ditemukan ini, dapat diperbaiki dengan cara pemberian kapur, sehingga ph tanah di Desa Sungai Ambangah, dapat mencapai kisaran ph optimal untuk ketiga jenis pemanfaatan lahan yang dimaksud. Dari hasil pemberian kapur tersebut di atas, maka kelas kesesuaian lahan potensial yang diperoleh menjadi kelas S2rc/fh dengan faktor pembatas adalah tekstur dan genangan air. Selengkapnya disajikan pada Tabel S1 S1 0 0 S1 S1 S1 S1

76 Tabel 23 Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Sungai Ambangah Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Kelas Kelas Kelas Kelas Potensial Aktual Potensial Aktual Kelas Aktual Kelas Potensial Temperatur (tc) Temperatur rarata ( o C) S1 S1 S1 S1 S1 S1 Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) ph H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 Bahaya Banjir (fh) Genangan S2 S1 S2 S1 S2 S1 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) S1 S1 S1 S2 S2 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2rc S2rc S2rc Kelas Kesesuain Lahan Potensial Keterangan: Pembatas: S1: sangat sesuai tc: temperatur nr: retensi hara lp: penyiapan lahan S2: cukup sesuai wa: ketersediaan air eh: bahaya erosi S3: sesuai marginal rc: media perakaran fh: bahaya banjir Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di Desa Pasak Piang Tabel 24, dengan memasukan data-data tanah dan iklim ke dalam pedoman kesesuaian lahan untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit, maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual diperoleh pada kelas S3nr dengan faktor pembatas ph tanah, baik untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit.

77 Tabel 24 Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Pasak Piang Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas Nilai Data Kelas Temperatur (tc) -Temperatur rarata ( o C) 26,4 27,2 S1 26,4 27,2 S1 26,4 27,2 S1 Ketersediaan Air -Curah hujan bln ke 1 (mm) -Curah hujan bln ke 2 (mm) -Curah hujan bln ke 3 (mm) -Curah hujan bln ke 4 (mm) -Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) ph H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Debu berliat dalam (>75) 26,84 3,38 <3 Sangat rendah S1 S1 S2 S1 S1 S3 S1 S1 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Debu berliat dalam (>75) 26,84 3,38 <3 Sangat rendah S1 S1 S2 S1 S1 S3 S1 S1 346,44 219,26 248,97 313,26 84,25 Agak terhambat Debu berliat dalam(>75) 26,84 3,38 <3 Sangat rendah Bahaya Banjir (fh) Genangan F1 S2 F1 S2 F1 S2 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) 0 0 S1 S1 0 0 S1 S1 0 0 S1 S1 Kelas Kesesuain Lahan Aktual S3nr S3nr S3nr Sumber: Hasil olahan; Anilisis laboratorium; dan Stasiun Meterologi Supadio Pontianak S1 S1 S2 S2 S1 S3 S1 S1 Faktor pembatas yang ditemukan ini, dapat diperbaiki dengan cara pemberian kapur, sehingga ph tanah di Desa Pasak Piang tersebut, dapat mencapai kisaran ph optimal untuk ketiga jenis tanaman yang dimaksud. Dengan demikian kelas kesesuaian lahan potensial yang diperoleh menjadi kelas S2rc/fh dengan faktor pembatas adalah tekstur dan genangan air. Selengkapnya disajikan pada Tabel 25.

78 Tabel 25 Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Pasak Piang Persyaratan Penggunaan Lahan/Karakteristik Lahan Kelas Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Padi Ladang Karet Kelapa Sawit Kelas Kelas Kelas Kelas Potensial Aktual Potensial Aktual Kelas Potensial Temperatur (tc) Temperatur rarata ( o C) S1 S1 S1 S1 S1 S1 Ketersediaan Air (wa) Curah hujan bln ke 1 (mm) Curah hujan bln ke 2 (mm) Curah hujan bln ke 3 (mm) Curah hujan bln ke 4 (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Tekstur *) Kedalaman tanah (cm) Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) ph H2O Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S2 S1 S1 Bahaya Banjir (fh) Genangan S2 S1 S2 S1 S2 S1 Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) S1 S1 S1 S2 S2 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S2 S2 S1 S3 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2rc S2rc S2rc Kelas Kesesuain Lahan Potensial Keterangan: Pembatas: S1: sangat sesuai tc: temperatur nr: retensi hara lp: penyiapan lahan S2: cukup sesuai wa: ketersediaan air eh: bahaya erosi S3: sesuai marginal rc: media perakaran fh: bahaya banjir

79 V. ANALISIS PENDAPATAN DAN KEBUTUHAN RUMAHTANGGA 5.1 Analisis Kelayakan Usahatani Berbagai cara penilaian atau analisis usahatani dibidang pertanian telah dikembangkan dan digunakan. Cara penilaian yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis return cost ratio atau R/C ratio dan benefit cost ratio atau B/C ratio. Pada prinsipnya analisis R/C ratio dan B/C ratio adalah sama, hanya saja pada analisis B/C data yang dipentingkan adalah besarnya manfaat. Sedangkan analisis R/C, data yang dipentingkan adalah besarnya penerimaan. Dari hasil analisis ini diharapkan dapat diketahui apakah usahatani yang sedang berlangsung di lokasi studi sudah berjalan secara efektif dan efisien. Dikatakan efektif apabila suatu usahatani dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran yang melebihi masukkan (Soekartawi, 2002). Secara umum hasil investigasi di lapangan diketahui bahwa tingkat pendapatan petani usahatani dari tanaman padi dan tanaman karet di Desa Sungai Ambangah dan Desa Pasak Piang relatif berbeda kecuali untuk tanaman kelapa sawit Usahatani padi Hasil wawancara lebih lanjut terhadap petani di Sungai Ambangah bahwa penerimaan usahatani padi mencapai Rp3,0 juta per hektar, sedangkan di Pasak Piang hanya mencapai Rp2,4 juta per hektar per tahun. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh perbedaan dalam hal penggunaan pupuk, di Desa Sungai Ambangah penggungaan pupuk urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis 100 kg, 50 kg, dan 50 kg. Sedangkan di Desa Pasak Piang penggunaan pupuk masing-masing hanya mencapai 25 kg urea, 25 kg SP 36, dan tanpa diberikan pupuk KCl (Tabel lampiran 7 dan 8). Adanya perbedaan pemberian input produksi ini, mengakibatkan total biaya produksi (pengeluaran) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang juga berbeda. Di Sungai Ambangah biaya produksi (pengeluaran) usahatani padi mencapai Rp ,- sedangkan di Pasak Piang hanya mencapai Rp ,- per hektar. Perbedaan biaya pengeluaran tersebut juga berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh. Tingkat pendapatan yang diperoleh dengan tanpa memperhitungkan nilai sewa lahan dan pajak masing-masing adalah Rp2,09 juta per hektar per

80 tahun di Sungai Ambangah dan Rp1,9 juta per hektar per tahun di Pasak Piang, dengan nilai R/C rasio masing-masing 3,3 dan 4,8. Selengkapnya hasil analisis tersebut disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Hasil analisis usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Sungai Ambangah Pasak Piang Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) R/C ratio , ,80 Sumber: Hasil olahan Hasil uji sensitivitas usahatani padi pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, masih memberikan nilai ekonomi yang positif. Apabila asumsi-asumsi ini terjadi, maka untuk nilai R/C ratio pada semua asumsi yang berupa penurunan produksi, harga dan biaya produksi lebih besar dari 1 atau menguntungkan. Berdasarkan nilai R/C ratio tersebut, menunjukan bahwa usahatani padi di Desa Sungai Ambangah masih menguntungkan untuk diusahakan. Selengkapnya hasil analisis tersebut disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah (ha) No Asumsi Penerimaan Pengeluaran Total pendapatan R/C ratio (Rp) (Rp) (Rp) 1 Tanpa fluktuasi ,30 2 Biaya produksi ,75 naik 20% 3 Harga produksi ,64 turun 20% 4 Harga turun dan biaya naik 20% ,20 5 Produksi dan ,11 harga turun 20% 6 Produksi dan ,76 harga turun 20% dan biaya naik 20% 7 Produksi tetap ,96 harga naik 20% 8 Produksi turun ,16 harga naik 20% Ket: *Diskonto 18% Hasil uji sensitivitas usahatani padi pada kondisi eksisting di Desa Pasak Piang, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masingmasing 20%, juga masih memberikan nilai ekonomi yang positif. Apabila asumsiasumsi ini terjadi, maka untuk nilai R/C ratio pada semua asumsi yang berupa penurunan produksi, harga dan biaya produksi juga lebih besar dari 1 atau

81 menguntungkan. Berdasarkan nilai R/C ratio tersebut, menunjukkan bahwa usahatani padi di Desa Pasak Piang juga masih menguntungkan untuk diusahakan (Tabel 28). Tabel 28 Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang (ha) No Asumsi Penerimaan Pengeluaran Total pendapatan R/C ratio (Rp) (Rp) (Rp) 1 Tanpa fluktuasi ,80 2 Biaya produksi ,00 naik 20% 3 Harga produksi ,84 turun 20% 4 Harga turun dan biaya naik 20% ,20 5 Produksi dan ,07 harga turun 20% 6 Produksi dan ,56 harga turun 20% dan biaya naik 20% 7 Produksi tetap ,76 harga naik 20% 8 Produksi turun ,61 harga naik 20% Sumber: Hasil Olahan Usahatani karet Hasil investigasi di lapangan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang, diketahui bahwa tanaman karet yang diusahakan petani saat ini telah berumur sekitar 25 tahun. Secara umum bahwa tanaman karet hanya berproduksi sampai umur 30 tahun, tetapi menurut informasi yang diperoleh melalui petani di lapangan tanaman karet dapat berproduksi sampai umur tahun. Namun demikian, untuk keperluan dalam tulisan ini, analisis usahatani karet dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan. Dari hasil investigasi lebih lanjut diketahui bahwa produksi karet yang diperoleh dapat mencapai 990 kg per hektar di Sungai Ambangah dan 950 kg per hektar di Pasak Piang dengan harga mencapai Rp8 000,- per kg di Sungai Ambangah dan Rp7 000,- per kg di Pasak Piang. Dengan demikian pendapatan setiap rumahtangga petani dalam setahun pada kondisi eksisting untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masingmasing sebesar Rp ,- dan Rp ,- per tahun (Tabel 29). Sedangkan proyeksi pendapatan petani untuk tahun ke 27 hingga tahun ke 34 masing-masing desa penelitian ini, secara lengkap disajikan pada Tabel lampiran 9 dan 10.

82 Tabel 29 Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Sungai Ambangah Pasak Piang Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) B/C ratio , ,35 Sumber: Hasil Olahan Dari hasil analisis usahatani karet, petani di Desa Pasak Piang memperoleh pendapatan 46,17% lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah. Perbedaan pendapatan dikedua lokasi penelitian ini lebih disebabkan oleh perbedaan dalam hal pemberian input produksi. Biaya input produksi menurut Soekartawi (2002) diklasifikasi sebagai biaya tidak tetap atau biaya variabel contohnya adalah biaya untuk sarana produksi. Dalam hal ini pemberian dan penggunaan pestisida dalam proses pemeliharaan tanaman karet di Desa Pasak Piang lebih rendah jika dibandingkan dengan Desa Sungai Ambangah. Hal itu mengakibatkan, komponen biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan usahatani karet di Desa Pasak Piang juga menjadi rendah. Hasil analisis Tabel 29 menunjukkan bahwa komponen biaya pengeluaran di Desa Pasak Piang hanya mencapai 7,59% dari biaya pengeluaran di Desa Sungai Ambangah. Konsekuensi dari keadaan ini, petani dikedua lokasi penelitian tersebut memperoleh pendapatan yang berbeda pula. Hasil uji sensitivitas usahatani karet Tabel 30 pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, hanya pada saat produksi dan harga turun dan biaya naik, pada saat produksi tetap dan harga naik, dan pada saat produksi turun dan harga naik nilai B/C ratio lebih besar dari 1. Sedangkan pada kondisi biaya produksi naik, harga produksi turun, harga turun dan biaya naik, dan produksi dan harga turun nilai B/C ratio yang diperoleh lebih kecil dari 1 (Tabel 30).

83 Tabel 30 Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah No Asumsi Penerimaan Pengeluaran Total pendapatan B/C ratio (Rp) (Rp) (Rp) 1 Tanpa fluktuasi ,23 2 Biaya produksi ,86 naik 20% 3 Harga produksi ,78 turun 20% 4 Harga turun dan biaya naik 20% ,49 5 Produksi dan ,43 harga turun 20% 6 Produksi dan ,19 harga turun 20% dan biaya naik 20% 7 Produksi tetap ,68 harga naik 20% 8 Produksi turun ,14 harga naik 20% Sumber: Hasil Olahan Selanjutnya hasil uji sensitivitas usahatani karet di Desa Pasak Piang, apabila terjadi penurunan atau kenaikkan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, semua asumsi yang dianalisis menunjukkan nilai B/C ratio lebih besar dari 1. Berdasarkan nilai B/C ratio tersebut, menunjukkan bahwa usahatani karet di Desa Pasak Piang menguntungkan untuk diusahakan (Tabel 31). Tabel 31 Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang No Asumsi Penerimaan Pengeluaran Total pendapatan B/C ratio (Rp) (Rp) (Rp) 1 Tanpa fluktuasi ,35 2 Biaya produksi , ,4 20,12 naik 20% 3 Harga produksi ,13 turun 20% 4 Harga turun dan biaya naik 20% , ,4 16,61 5 Produksi dan ,91 harga turun 20% 6 Produksi dan , ,4 13,09 harga turun 20% dan biaya naik 20% 7 Produksi tetap ,70 harga naik 20% 8 Produksi turun ,36 harga naik 20% Sumber: Hasil Olahan

84 5.1.3 Usahatani kelapa sawit Berdasarkan hasil investigasi terhadap petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang diketahui bahwa kelapa sawit yang diusahakan saat ini masih berumur 2,5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kurang lebih 6 12 bulan ke depan tanaman kelapa sawit akan memasuki masa berbunga dan berbuah. Secara umum, pertumbuhan kelapa sawit di lapangan juga sangat baik. Pada Tabel lampiran 11 memperlihatkan bahwa komponen biaya pada tahun pertama relatif lebih besar jika dibandingkan dengan pada tahun kedua dan ketiga. Hal ini dikarenakan adanya komponen biaya pembelian bibit tanaman dan pembukaan lahan. Pada tahun pertama sampai tahun ketiga pendapatan petani dari usahatani kelapa sawit masih negatif, dan memasuki tahun keempat pendapatan usahatani mulai positif. Pendapatan usahatani kelapa sawit cukup signifikan diperoleh masing-masing dari yang tertinggi adalah pada tahun ke 18, 22, 23 dan 24. Tabel 32 Hasil analisis usahatani kelapa sawit di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Uraian Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) B/C ratio Sumber: Hasil Olahan Sungai Ambangah dan Pasak Piang , , ,60 1,52 Dari hasil analisis usahatani tanaman kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Tabel 32, memperlihatkan bahwa petani di kedua desa tersebut hanya memperoleh pendapatan masing-masing sebesar Rp ,60,- per tahun selama usahatani kelapa sawit diusahakan. Sedangkan nilai B/C ratio diperoleh adalah 1,52 atau dikategorikan menguntungkan. Hasil uji sensitivitas usahatani kelapa sawit pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, apabila terjadi penurunan produksi, harga, dan biaya produksi masing-masing 20%, secara umum masih menguntungkan. Apabila asumsi-asumsi ini terjadi, maka nilai B/C ratio pada kondisi tanpa fluktuasi, produksi dan harga turun dan biaya naik, produksi tetap harga naik, dan produksi turun harga naik, memberikan nilai lebih besar dari 1, sedangkan apabila produksi dan harga turun, dan produksi dan harga dan biaya naik 20%, maka nilai B/C ratio masing-masing hanya mencapai 0,92 dan 0,60 atau tidak menguntungkan, karena lebih kecil dari 1 (Tabel 33).

85 Tabel 33 Hasil analisis sensitivitas usahatani kelapa sawit di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang No Asumsi Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp) Total pendapatan (Rp) B/C ratio 1 Tanpa fluktuasi , ,59 1,52 2 Biaya produksi naik 20% , , ,99 1, Harga produksi turun 20% Harga turun dan biaya naik 20% Produksi dan harga turun 20% Produksi dan harga turun 20% dan biaya naik 20% Produksi tetap harga naik 20% , ,97 1, , , ,37 1, , ,98 0, , , ,38 0, , ,46 2,61 8 Produksi turun harga naik 20% Sumber: Hasil Olahan , ,97 1, Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga Pendapatan rumahtangga petani Secara teoritis, kebutuhan hidup anggota rumahtangga dapat dipenuhi melalui dua sumber pendapatan, yaitu dari curahan tenaga kerja (labour income) dan dari luar curahan tenaga kerja (non labour income). Pendapatan yang bersumber dari curahan tenaga kerja, dapat berasal dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Sedangkan pendapatan yang bersumber dari luar curahan tenaga kerja, dapat berasal dari transfer income dan property income. Pendapatan menurut Tarbiah (2009) adalah selisih antara penerimaan dan biaya. Sumber pendapatan/penghasilan rumahtangga petani seperti yang disajikan pada Tabel 34, menggambarkan bahwa masyarakat yang berdomisili di kawasan rawa lebak pada umumnya mengandalkan penghasilan rumahtangga dari kegiatan pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan dan sebagian kecil peternakan dan usaha warung dan berprofesi sebagai tukang kayu/bangunan. Rumahtangga petani yang dijadikan sebagai responden sebanyak 45 responden di Sungai Ambangah dan 28 responden di Pasak Piang secara keseluruhan (100%) mengandalkan penghasilan dari kegiatan pertanian, walaupun sebagian kecil juga mengandalkan penghasilan dari kegiatan sampingan. Terdapat 3 orang petani (6,7%) dari 45 orang responden di Desa

86 Sungai Ambangah, juga memiliki penghasilan dari luar usahatani, dalam hal ini adalah pendapatan bersumber dari usaha warung atau kios sembako. Dan masing-masing 2 orang petani lainnya (4,4%), memiliki penghasilan dari kegiatan usaha peternakan ayam dan menjadi tukang kayu atau buruh bangunan. Sedangkan di Desa Pasak Piang terdapat 2 orang petani (7,4%) dari 28 orang responden memiliki penghasilan dari luar usahatani, yaitu usaha warung atau kios sembako. Dan terdapat 8 orang petani (29,6%), memiliki penghasilan dari usaha ternak yaitu babi dengan banyaknya ternak yang diusahakan bervariasi berkisar dari 5 25 ekor per petani. Masing-masing dari jumlah ternak yang ada terdiri dari 2 ekor induk dan sisanya adalah anaknya. Tabel 34 Jenis usaha non pertanian responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sungai Ambangah Pasak Piang No Jenis usaha Jumlah Persen Jumlah Persen responden ( % ) responden ( % ) (org) (org) 1 Ternak 2 4,4 8 29,6 2 Tukang bangunan 2 4, Warung/kios 3 6,4 2 7,4 Jumlah 7 15, ,0 Sumber: Hasil wawancara Dari usaha ternak setiap tahun petani di kedua Desa tersebut menjual hasil ternak mereka rata-rata 2 3 ekor per tahun. Berat rata-rata berkisar kg per ekor, dengan harga jual di lokasi penelitian sebesar Rp20 000,- per kg (Tabel 35). Sedangkan dari usaha sebagai tukang, khususnya kepala tukang di Desa Sungai Ambangah sekitar Rp50 000,- per hari, dengan jumlah hari kerja dalam seminggu adalah 6 hari, maka dalam sebulan dapat diperoleh penghasilan dari usaha sebagai tukang bangunan tersebut sebesar Rp ,-. Namun demikian penghasilan dari usaha ini bersifat insidental dan sangat tergantung dari adanya pembangunan rumah dan sejenisnya. Sedangkan dari usaha warung atau kios, petani responden di kedua lokasi penelitian dapat memperoleh penghasilan atau keuntungan masing-masing Rp11 500,- dan Rp7 500,- dari penjualan berbagai kebutuhan harian (sabun, indomie, rokok dll). Rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing sebesar Rp ,- per bulan dan Rp per bulan, dimana sekitar 29,6% dan 90,5% bersumber dari usahatani, sekitar 66,7% dan 9,7% bersumber dari luar usahatani. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil

87 usahatani khususnya di Desa Pasak Piang sangat tinggi sedangkan untuk Desa Sungai Ambangah secara relatif cukup tinggi. Tabel 35 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Sumber penghasilan rumahtangga petani Sungai Ambangah Nilai Persen Penghasilan ( % ) (Rp/bln) Pasak Piang Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen ( % ) 1 Hasil usahatani a. Padi , ,1 b. Karet , ,3 c. Kelapa sawit Jumlah dari hasil UT , ,5 2 Luar UT (ternak)*) , ,4 3 Penghasilan lain-lain a. Kios b. Tukang bangunan**) ,6 66, ,2 0 Jumlah dari luar UT , ,7 Jumlah Sumber: Hasil wawancara; Rata-rata di jual 2 (40 kg) ekor per tahun dengan harga Rp20 000,- kg; **)Upah tukang Rp per hari Kontribusi pendapatan seperti yang disajikan pada Tabel, tidak baku dan statis, melainkan sewaktu-waktu dapat berubah. Perubahan dimaksud terutama sangat tergantung pada ketersediaan lapangan kerja dalam hal ini pembangunan rumah. Demikian pula halnya, pendapatan dari usaha warung dan hasil penjualan ternak. Sedangkan sumber penghasilan yang relatif tetap adalah dari hasil kegiatan usatahani dan ini diperlihatkan dengan 100% responden menggantungkan sumber penghasilan mereka dari kegiatan usahatani. Dengan demikian, penghasilan pokok atau utama petani di kedua lokasi penelitian diperoleh dari hasil usahatani. Kontribusi pendapatan rumahtangga petani responden di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani yang dijalani saat ini masingmasing hanya sebesar Rp ,- per bulan dan Rp ,- per bulan. Dari pendapatan tersebut, masing-masing sekitar 20,0% di Sungai Ambangah dan 70,3% di Pasak Piang bersumber dari usahatani karet, dan sekitar 9,6% dan 20,1% bersumber dari usahatani padi.

88 Tabel 36 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani (Rp/bln) No Sumber penghasilan rumahtangga petani Sungai Ambangah Nilai Persen Penghasilan (%) (Rp/bln) Pasak Piang Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) 1 Hasil usahatani a. Padi , ,1 b. Karet , ,3 c. Kelapa sawit Jumlah , ,4 Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha ternak seperti yang disajikan pada Tabel 37. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan luar usahatani dalam hal ini adalah penghasilan yang bersumber dari usaha ternak, masing-masing sebesar Rp ,- per bulan dan Rp ,- per bulan. Dari penerimaan tersebut sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan 3,7% dan 8,4% bersumber dari usaha ternak. Tabel 37 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha ternak (Rp/bln) No Sumber penghasilan rumahtangga petani Sungai Ambangah Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) Pasak Piang Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) 1 Hasil usahatani a. Padi , ,1 b. Karet ,3 c. Kelapa sawit Luar UT , ,4 (ternak)*) Jumlah , ,8 Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan; Rata-rata dijual 2 ekor (40 kg) per tahun dengan harga Rp20 000, per kg. Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha warung atau kios seperti yang disajikan pada Tabel 38. Dari hasil analisis

89 menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan penghasilan lain, dalam hal ini penghasilan dari usaha warung atau kios adalah masing-masing sebesar Rp ,- per bulan dan Rp ,- per bulan. Dari penghasilan ini, sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan 0,6% dan 1,2% bersumber dari usaha warung atau kios. Tabel 38 Sumber dan rata-rata nilai rendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan tukang bangunan (Rp/bln) No Sumber penghasilan rumahtangga petani Sungai Ambangah Nilai Persen Penghasilan (%) (Rp/bln) Pasak Piang Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) 1 Hasil usahatani a. Padi , ,1 b. Karet ,3 c. Kelapa sawit Penghasilan lainlain - Kios , ,2 Jumlah , ,6 Sumber: Hasil wawancara dan hasil olahan Kontribusi pendapatan petani dari hasil kegiatan usahatani dan usaha sebagai tukang atau buruh bangunan seperti yang disajikan pada Tabel 39. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga petani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan penghasilan lain, dalam hal ini dari usaha menjadi tukang atau buruh bangunan adalah masing-masing sebesar Rp ,- per bulan dan Rp ,- per bulan. Dari penghasilan tersebut, sekitar 29,6% dan 90,4% bersumber dari usahatani, dan sekitar 66,1% di Sungai Ambangah bersumber dari penghasilan sebagai tukang atau buruh bangunan, namun demikian penghasilan yang bersumber dari hasil usaha menjadi tukang atau buruh bangunan bersifat insedentil (sementara/tergantung adanya kegiatan pembangunan rumah atau sejenisnya), sedangkan di Pasak Piang tidak ditemukan adanya responden yang berprofesi sebagai tukang atau buruh bangunan.

90 Tabel 39 Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil usahatani dan usaha kios (Rp/bln) No Sumber penghasilan rumahtangga petani Sungai Ambangah Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) Pasak Piang Nilai Penghasilan (Rp/bln) Persen (%) 1 Hasil usahatani a. Padi , ,1 b. Karet ,3 c. Kelapa sawit Penghasilan lain-lain - Tukang bangunan**) ,1 0 0 Jumlah , ,4 Sumber: Hasil wawancara; **)Upah tukang Rp per hari Pengeluaran rumahtangga petani Alokasi pengeluaran petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan makan. Dari rata-rata pengeluaran rumahtangga sebesar Rp ,- per bulan di Desa Sungai Ambangah dan Rp per bulan di Desa Pasak Piang, sebanyak 68,5% pengeluaran petani di Desa Sungai Ambangah dan sebanyak 61,5% pengeluaran petani di Desa Pasak Piang diperuntukan untuk memenuhi keperluan makanan. Pengeluaran untuk kebutuhan makanan di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang tersebut, masing-masing 37,0% dan 35,1% digunakan untuk membeli beras dan sisanya 31,5% dan 26,4% untuk kebutuhan selain beras yaitu lauk-pauk. Kecilnya porsi pengeluaran untuk kebutuhan selain beras seperti lauk-pauk (terutama sayur) karena sebagian besar kebutuhan akan lauk tersebut, diperoleh dari hasil usaha di pekarangan atau daerah sekitar tempat tinggal dan hanya membeli bahanbahan keperluan lain yang tidak bisa diperoleh atau diambil dari sekitar tempat tinggal mereka, seperti bumbu-bumbuan, garam, ikan asin dan lain-lain. Struktur pengeluaran rumahtangga di kedua desa penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 40 menggambarkan adanya variasi pengeluaran selain untuk keperluan bahan pokok dalam hal ini adalah kebutuhan untuk makanan.

91 No Tabel 40 Rata-rata nilai pengeluaran rumahtangga petani rawa lebak Alokasi pengeluaran rumahtangga petani Sungai Ambangah Persen ( % ) Nilai pengeluaran (Rp/bln) Pasak Piang Nilai pengeluaran (Rp/bln) Persen ( % ) 1 Makanan pokok a. Beras , ,1 b. Lauk-pauk , ,4 Jumlah Makanan , ,5 2 Bukan Makanan , ,9 3 Pakaian , ,6 4 Pendidikan , ,2 5 Pengeluaran lain-lain , ,8 Total Jumlah Sumber: Hasil wawancara Komponen pengeluaran yang disajikan pada Tabel 40 dibatasi hanya pada pengeluaran rutin yang harus dikeluarkan setiap rumahtangga. Pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti biaya perbaikan rumah, pengobatan, dan biaya sosial lainnya tidak diperhitungkan karena sifatnya insidental dan besarnya sulit diprediksi secara pasti. Untuk pengeluaran bukan makanan, dibatasi hanya pada kebutuhan rutin yang dianggap harus dipenuhi oleh sebagian anggota masyarakat, yaitu kopi/teh dan gula. Kebutuhan ini sudah menyatu dengan masyarakat perdesaan secara turun-temurun dan kepentingannya dianggap setingkat lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan makan. Pengeluaran rutin lainnya adalah perawatan kesehatan, yaitu untuk sabun mandi dan sabun cuci. Khusus untuk pakaian, sebenarnya bukanlah merupakan pengeluaran rutin rumahtangga. Pada umumnya pengeluaran ini dilakukan setahun sekali dan bagi sebagian keluarga bukan merupakan suatu keharusan. Kebutuhan untuk pembelian pakaian biasanya dikeluarkan menjelang Hari Raya baik Idul Fitri maupun hari raya Natal dan/atau pada saat tahun ajaran baru khusus bagi mereka yang memiliki anak sekolah. Menurut pengakuan masyarakat, dari berbagai komponen pengeluaran seperti yang diilustrasikan pada Tabel 40 di atas, yang harus selalu dipenuhi adalah pengeluaran untuk keperluan bahan makanan sedangkan kebutuhan lainnya masih dapat ditunda Tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani Secara keseluruhan tingkat pemenuhan kebutuhan petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan disajikan pada Tabel 41.

92 Tabel 41 Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis penghasilan dan jumlah pengeluaran (Rp/bln) No Penerimaan Jenis penghasilan (Rp/bln) Desa Sungai Pasak Piang Ambangah 1. Usahatani UT dan Ternak UT dan Warung/kios UT dan Tukang UT + Ternak + kios + tukang Pengeluaran Jumlah Pendapatan Jumlah Pendapatan Jumlah Pendapatan Jumlah Pendapatan Jumlah Pendapatan 5 td Sumber: Hasil olahan; Ket: td=tidak ada data Tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani sekitar 60% rumahtangga petani di Desa Sungai Ambangah tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan hanya sekitar 10% yang dapat memenuhi kebutuhan, yaitu rumahtangga petani yang mempunyai penghasilan selain dari usahatani juga mempunyai penghasilan tambahan dari usaha menjadi tukang atau buruh bangunan (Tabel 41). Kelebihan anggaran rumahtangga petani ini mencapai Rp ,- per bulan. Rumahtangga petani yang mempunyai penghasilan dari usahatani dan usaha lainnya dalam hal ini adalah penghasilan dari usaha ternak, kios dan menjadi tukang dari hasil survey di lapangan, tidak ditemukan adanya responden rumahtangga petani yang mempunyai penghasilan sebagaimana dimaksud. Sedangkan rumahtangga petani di Desa Pasak Piang secara keseluruhan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Namun demikian dari hasil tersebut memperlihatkan bahwa rumahtangga petani yang memiliki kekurangan atau defisit anggaran kebutuhan rumahtangga adalah petani yang hanya mengharapkan sumber penghasilan dari usahatani yaitu sebesar -Rp Sedangkan kekurangan anggaran kebutuhan rumahtangga pada urutan

93 berikutnya adalah dari usahatani dan usaha warung atau kios yang mengalami defisit sebesar -Rp ,- per bulan. Berdasarkan komposisi ini tentunya dapat disimpulkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga untuk kedua desa yaitu Sungai Ambangah secara relatif hanya rumahtangga petani yang mempunyai sumber penghasilan dari usahatani dan usaha sebagai tukang atau buruh bangunan yang dapat terpenuhi, sedangkan untuk Desa Pasak Piang semua jenis sumber penghasilan belum terpenuhi. Perhitungan nilai pengeluaran yang digunakan ini belum memperhitungkan, pengeluaran yang sifatnya insidental seperti pengobatan, biaya sosial, rokok, dan pengeluaran tidak terduga lainnya. Jika semua pengeluaran ini dimasukkan maka defisit keuangan rumahtangga petani akan semakin besar. Disamping itu, jumlah dan komposisi pengeluaran rumahtangga petani relatif konstan, sedangkan jumlah dan komposisi penerimaan rumahtangga setiap saat berubah, karena tidak ada sumber penerimaan rutin yang tetap. Walaupun dari penjualan hasil karet relatif tetap, tetapi kadangkadang harga jual yang ditetapkan oleh pembeli dalam hal ini adalah pedagang pengumpul juga bervariasi (fluktuatif), hal ini terjadi karena lembaga pemasaran yang tetap seperti KUD atau yang lainnya belum ada. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani yang bersumber dari kegiatan usahatani. 5.3 Analisis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas Lahan Minimal (Lm) Untuk mengetahui apakah pendapatan petani dari kegiatan usahatani yang mereka jalankan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang, telah memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Kebutuhan Hidup Layak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang per Tahun Harga Jumlah Jenis Persen Kg Pengeluaran Kebutuhan beras*) anggota pengeluaran (%) beras (Rp/org/th) (Rp/KK/th) (Rp/kg) keluarga KFM Pendidikan Kesehatan Sosial dan Tabungan KHL Sumber: Data primer diolah; Ket: *) harga beras saat penelitian

94 Nilai KHL baik petani di Desa Sungai Ambangah maupun di Pasak Piang sebesar Rp ,- per KK per tahun dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang (Tabel 42). Dari hasil analisis usahatani terhadap tiga komoditas (padi, karet dan kelapa sawit) yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah mencapai Rp ,- per hektar per tahun, dengan rincian padi mencapai Rp ,-, karet Rp ,- per hektar per tahun dan kelapa sawit belum menghasilkan. Sedangkan rata-rata jumlah pendapatan petani di Desa Pasak Piang mencapai Rp ,- per hektar per tahun, dengan rincian padi Rp ,-, karet Rp ,- per hektar per tahun dan kelapa sawit belum menghasilkan. Secara rinci pendapatan petani di kedua desa tersebut disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 Pendapatan petani dari hasil usahatani padi, karet dan kelapa sawit terhadap KHL (%) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th) Desa Sungai Ambangah Pendapatan petani per jenis tanaman (Rp/ha/tahun) Padi Karet Kelapa sawit Jumlah (Rp) ,92 Pasak Piang ,53 Sumber: Data primer diolah Persentase terhadap KHL (%) Pendapatan rata-rata petani di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dalam setahun dari ketiga jenis tanaman yang diusahakan, masing-masing Desa mencapai Rp ,- dan Rp ,- (Tabel 43). Pendapatan rata-rata petani ini apabila dihubungkan dengan standar kebutuhan hidup layak di kedua lokasi penelitian tersebut yang mencapai Rp ,- per kepala keluarga per tahun (lihat Tabel 42), dari hasil tersebut rumahtangga petani untuk Desa Sungai Ambangah baru memenuhi sekitar 26,92% dari kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga. Sedangkan rumahtangga petani untuk Desa Pasak Piang baru memenuhi sekitar 34,53% dari kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga. Analisis luas Lahan minimal (Lm) dari masing-masing tanaman yang diusahakan oleh petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang yaitu padi, karet dan kelapa sawit, sebagaimana disajikan pada Tabel 44.

95 Tabel 44 Luas lahan minimal (Lm) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari masing-masing tanaman yang diusahakan terhadap KHL Jenis Tanaman Sungai Ambangah Pasak Piang Lm (ha) Lm (ha) Padi Karet Kelapa sawit 11,48 5,49 2,21 12,63 3,76 2,21 Sumber: Hasil olahan Luas lahan minimal (Lm) untuk masing-masing tanaman yang diusahakan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang yang dapat memenuhi KHL petani, berturut-turut untuk tanaman padi, karet dan kelapa sawit adalah 11,48 hektar dan 12,63 hektar, 5,49 hektar dan 3,76 hektar dan 2,21 hektar dan 2,21 hektar (Tabel 44).

96 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6.1 Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi Analisis status keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, dilakukan melalui analisis keberlanjutan dengan Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut Rap-Lebak. Dimensi yang dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Indeks dan status keberlanjutan dari masing-masing dimensi diperlukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada masa yang akan datang terhadap atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi pengelolaan rawa lebak Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi ekologi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut. Kedelapan atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekologi. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) persentase luas lahan garapan, (2) penggunaan pupuk, (3) kelas kesesuaian lahan, (4) kandungan bahan organik tanah, (5) produktivitas lahan, (6) periode tergenang, (7) periode kekeringan, dan (8) ketersediaan sistem irigasi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 11a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi mencapai 35,55% atau pada kategori kurang berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Ekologi Sungai Ambangah UP Ketersediaan sistem irigasi Periode kekeringan 20 Periode tergenang Produktivitas lahan BAD GOOD Kandungan bahan organik tanah Kelas kesesuaian lahan Penggunaan pupuk -40 DOWN Persentase luas lahan -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) Gambar 11 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah (b)

97 Hasil analisis leverage dimensi ekologi, dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 11b), terdapat dua atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) periode tergenang, dan (2) produktivitas lahan. Kedua atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi tersebut diketahui mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Periode tergenang perlu dikelola dengan baik, karena penggenangan dapat menyebabkan perubahan-perubahan sifat kimia tanah, yang ditentukan oleh potensial reduksioksidasi (redoks). Pada ph 7 dengan nilai potensial redoks mv mulai terjadi reduksi nitrat (denitrifikasi), antara mv mulai terbentuk Mn 2+, pada 300 mv tidak ada O 2 bebas, pada 250 mv tidak ada nitrat, pada 150 mv mulai terbentuk Fe 2+, pada - 50 mv mulai terjadi reduksi sulfat membentuk H 2 S (Marschner, 1986). Untuk memperbaiki produktivitas lahan dapat dilakukan dengan menerapkan sistem usahatani konservasi melalui, pengaturan pola tanam, penambahan bahan organik dengan daur ulang sisa panen dan gulma, serta penerapan budidaya lorong (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Penerapan teknologi tersebut akan berdampak terhadap meningkatnya ketersediaan P dan bahan organik tanah serta menurunnya kadar Al. Hasil penelitian Arief dan Irman (1993) disimpulkan bahwa pemberian amelioran berupa kapur, pupuk kandang, daun gamal, jerami padi dan kieserit mampu meningkatkan hasil padi gogo dan kedelai di tanah podzolik merah kuning. Pupuk diketahui berperan penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pupuk yang diberikan dapat menjadi tambahan unsur hara yang sudah ada di dalam tanah, sehingga jumlah unsur hara yang ada dalam tanah tersebut dapat tersedia untuk mensuplai kebutuhan tanaman. Dengan demikian, kedua atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang (Gambar 12a) memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi hanya mencapai 45,36% atau pada kategori kurang berkelanjutan.

98 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute 60 RAPLEBAK Ordination UP Ketersediaan sistem irigasi Analisis Leverage Dimensi Ekologi Pasak Piang 40 Periode kekeringan 20 Periode tergenang Produktivitas lahan BAD GOOD Kandungan bahan organik tanah Kelas kesesuaian lahan Penggunaan pupuk -40 Persentase luas lahan -60 DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) (b) Gambar 12 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang Dari hasil analisis leverage dimensi ekologi dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 12b), terdapat empat atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) kandungan bahan organik tanah; (2) produktivitas lahan; (3) periode tergenang, dan (4) penggunaan pupuk. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi tersebut juga mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut yang lainnya. Kandungan bahan organik tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Bahan organik tanah diketahui berperan dalam hal menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah, dapat berperan dalam hal perubahan unsur hara dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia untuk tanaman. Ketersediaan bahan organik juga penting sebagai nutrisi untuk aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme. Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup, juga dapat memperbaiki kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan dalam pengelolaan tanah. Pengaruh lain dari bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah berhubungan dengan sifat porositas tanah. Porositas tanah berhubungan dengan aerasi tanah, dan status kadar air tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air, sehingga tanah tersebut dapat menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain terhadap peningkatan kapasitas tukar kation, kapasitas pertukaran anion, ph tanah daya sanggah tanah dan terhadap keharaan tanah (Atmojo, 2003). Dengan demikian,

99 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute keempat atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan tujuh atribut yang dilakukan dalam analisis keberlanjutan. Ketujuh atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) pendapatan rata-rata petani, (2) produksi usahatani, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) harga produk usahatani, (5) ketersediaan sarana produksi, (6) keuntungan usahatani, dan (7) efesiensi ekonomi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 13a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi mencapai 35,04% atau pada kategori kurang berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Sungai Ambangah UP Efesiensi ekonomi Keuntungan usahatani 20 Ketersediaan sarana produksi 0 GOOD BAD Harga produk usahatni Ketersediaan modal usahatani Produksi usahatani (a) (b) Gambar 13 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Hasil analisis leverage dimensi ekonomi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 13b) terdapat lima atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, (4) produksi usahatani, dan (5) ketersediaan modal usahatani. DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Pendapatan rata-rata petani Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Kelima atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sarana dan prasarana pertanian merupakan sumberdaya yang penting dalam mendukung (b)

100 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute kegiatan usahatani, hal ini tidak hanya berlaku ditingkat lahan pertanian (on farm) akan tetapi juga berlaku pada skala yang lebih luas seperti dalam proses pengolahan, pemasaran hasil, pasca panen, dan sebagainya. Keuntungan atau pendapatan usahatani yang merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan. Penerimaan usahatani menurut Soekartawi (2002) adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Keuntungan usahatani sangat tergantung dari produksi usahatani dan harga produk usahatani. Produk usahatani sangat tergantung dari ketersediaan sarana dan input produksi. Dengan demikian atribut-atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 14a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi mencapai 24,20% atau pada kategori buruk = tidak berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Pasak Piang UP Efesiensi ekonomi Keuntungan usahatani 20 Ketersediaan sarana produksi 0 GOOD BAD Harga produk usahatni Ketersediaan modal usahatani Produksi usahatani DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Pendapatan rata-rata petani Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) Gambar 14 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang (b) Hasil analisis leverage dimensi ekonomi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 14b), terdapat empat atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dengan demikian, keempat atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang.

101 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute Produk usahatani dari segi kualitas dan kuantitas sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan aplikasi sarana produksi (pupuk, pestisida) yang sesuai. Harga produk usahatani juga akan berpengaruh terhadap keuntungan usahatani. Harga produk usahatani juga dipengaruhi oleh efisiensi ekonomi. Makin efisien suatu proses produksi, maka semakin besar keuntungan yang diperoleh, tidak terkecuali dalam proses produk hasil pertanian Keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan tujuh atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Ketujuh atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial budaya. Adapun atribut tersebut terdiri atas (1) status kepemilikan lahan, (2) jumlah rumah tangga petani, (3) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (4) peran adat dalam kegiatan pertanian, (5) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (6) tingkat pendidikan formal petani, dan (7) intensitas konflik. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 15a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya mencapai 43,89% atau pada kategori kurang berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Sungai Ambangah UP Inensitas konflik Tingkat pendidikan formal petani 20 Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian GOOD BAD -20 Peran adat dalam kegiatan pertanian Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Jumlah rumah tangga petani -40 DOWN Status kepemilkan lahan -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) Gambar 15 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Hasil analisis leverage dimensi sosial budaya, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 15b), terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) pola hubungan (b)

102 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute masyarakat dalam usaha pertanian berupa kerjasama dalam hal penanaman, panen atau kegiatan lainnya, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, dan (3) jumlah rumah tangga petani. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hal ini diperlihatkan dalam berbagai penelitian (misalnya Evans, 1982; Lorenz, 1966), yang menunjukkan bahwa disamping faktor dalam diri manusia (intrinsik) terdapat faktor luar (ekstrinsik) yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama dengan orang atau kelompok lain secara baik. Untuk selanjutnya faktor ini disebut sebagai faktor penunjang. Faktor penunjang yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama secara selaras dan serasi dapat digolongkan menjadi dua hal, yaitu peluang dan stimulasi. Aspek peluang pertama-tama dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah orang dalam suatu lingkup atau wilayah. Dengan mengikuti penyuluhan pertanian, maka keterbatasan-keterbatasan dan segala permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam hal kegiatan usahataninya dapat dicarikan solusi jalan keluarnya. Sedangkan ketersediaan rumah tangga petani merupakan salah satu sumberdaya khususnya sumberdaya manusia yang berperan dalam mendukung kelancaran kegiatan usahatani. Dengan demikian, ketiga atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 16a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya mencapai 48,30% atau pada kategori kurang berkelanjutan. RAPLEBAKOrdination Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Pasak Piang UP Inensitas konflik Tingkat pendidikan formal petani GOOD BAD -20 Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian Peran adat dalam kegiatan pertanian Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Jumlah rumah tangga petani DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Status kepemilkan lahan Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) Gambar 16 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang (b)

103 Hasil analisis leverage dimensi sosial budaya, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 16b) terdapat enam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan di rawa lebak saat ini, yaitu (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. Keenam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Perbedaan atribut sensitif untuk dimensi sosial budaya baik jumlah atribut maupun jenis atribut antara Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang secara faktual di lapangan memungkinkan terjadi. Dari hasil diskusi dan wawancara terhadap petani di lokasi studi khususnya Desa Pasak Piang, diperoleh informasi bahwa kegiatan usahatani yang mereka lakukan masih sangat bergantung terhadap nilai-nilai budaya lokal seperti dalam penentuan waktu tanam. Penentuan waktu tanam ditentukan oleh Tetua Adat atau Tokoh Adat yang oleh masyarakat disana menyebutnya sebagai Tuha tahun. Dan hasil cross check terhadap Tetua Adat yang ditemui Bapak Herkulanus Utuh berusia sekitar 65 tahun menurut pengakuan yang bersangkutan, membenarkan apa yang menjadi keyakinan masyarakat disana dalam penentuan waktu tanam. Melalui arahan dan penentuan waktu tanam dari Tetua Adat, masyarakat yakin bahwa mereka akan berhasil dalam kegiatan usahataninya, dan apabila melanggar akan mendapatkan kegagalan dalam usahatani. Ini berlaku untuk kegiatan usahatani padi khususnya, karena menanam padi menurut kepercayaan mereka merupakan suatu bentuk pelestarian kebudayaan. Menanam padi bagi mereka merupakan hal yang mendasar dan wajib, karena hasil padi tidak untuk diperjualbelikan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga mereka, kalaupun hasil panen berlebih disimpan sebagai cadangan untuk kebutuhan dimasa yang akan datang apabila terjadi gagal panen Keberlanjutan rawa lebak dimensi teknologi Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi teknologi di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Kedelapan atribut tersebut, diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi. Adapun atribut tersebut adalah (1) pengolahan tanah, (2) pemupukan,

104 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute (3) pengendalian gulma, (4) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (5) ketersediaan mesin pompa air, (6) ketersediaan mesin pasca panen, dan (7) pola tanam, dan (8) jadual tanam Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 17a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi mencapai 37,53% atau pada kategori kurang berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Teknologi Sungai Ambangah UP Pola tanam Ketersediaan mesin pasca panen 20 Ketersediaan pompa air 0 BAD GOOD Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian Gulma Pemupukan -40 DOWN Pengolahan tanah -60 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) (b) Gambar 17 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Hasil analisis leverage dimensi teknologi, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 17b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (2) pengendalian gulma, dan (3) pemupukan. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dengan demikian, ketiga atribut sensitif tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 18a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi mencapai 28,92% atau pada kategori kurang berkelanjutan.

105 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Teknologi Pasak Piang 60 Jadual tanam UP 40 Pola tanam Ketersediaan mesin pasca panen 20 Ketersediaan mesin pompa air BAD GOOD Jml alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Pemupukan DOWN Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Pengolahan tanah Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) (b) Gambar 18 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang Hasil analisis leverage dimensi teknologi, dari delapan atribut yang dianalisis (Gambar 18b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) jumlah alat pemberatasan jasad penggangu, (2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3) ketersediaan mesin pasca panen. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama dan penyakit terhadap tanaman di lokasi penelitian cukup beragam diantaranya adalah penggerak batang (Ostrinia furnacalis Guenee) pada tanaman padi, jamur akar putih (Rigidoporus lignosus) pada tanaman karet, dan serangan belalang pada tanaman kelapa sawit. Serangan hama dan penyakit tersebut, oleh petani disana tidak dilakukan pengendalian secara intensif, tetapi umumnya dibiarkan oleh mereka. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang dapat dilakukan penerangan atau penyuluhan terhadap petani agar supaya intensitas pengendalian penyakit ini lebih ditingkatkan Keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan Analisis indeks dan status keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang menggunakan delapan atribut untuk dilakukan analisis keberlanjutan. Kedelapan atribut tersebut diperkirakan sebagai atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi kelembagaan. Adapun atribut tersebut terdiri dari (1) keberadaan kelempok tani, (2) intensitas pertemuan kelompok tani, (3) keberadaan lembaga sosial, (4) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (5) ketersediaan petugas penyuluh pertanian, (6)

106 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute kondisi prasarana jalan desa, (7) keberadaan balai penyuluh pertanian, dan (8) kios saprodi. Hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Sungai Ambangah pada Gambar 19a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan mencapai 54,82% atau pada kategori cukup berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Sungai Ambangah 200 Ketersediaan kios saprodi 150 keberadaan balai penyuluh pertanian 100 Kondisi prasarana jalan desa Keberadaan petugas penyuluh pertanian 50 BAD UP Ketersediaan lembaga keuangan mikro 0 GOOD Keberadaan lembaga sosial Intensitas pertemuan kelompok tani -50 DOWN Keberadaan kelompok tani -100 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) (b) Gambar 19 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 19b) terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) keberadaan petugas penyuluh lapangan, (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (3) keberadaan lembaga sosial. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sebagaimana diketahui bahwa tanpa modal, suatu usaha tidak akan dapat berjalan walaupun syarat-syarat yang lain untuk menjalankan atau mendirikan suatu usaha sudah dimiliki. Untuk maksud tersebut, biasanya sebelum suatu usaha dijalankan, terlebih dahulu dilakukan analisis pemodalan. Analisis pemodalan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan tanah atau sewa lahan serta biaya investasi seperti pembelian bibit, pupuk, biaya tenaga kerja dan pascapanen. Dari hasil wawancara di lapangan, semua responden mengatakan mereka kekurangan modal. Untuk mengatasi kekurangan modal tersebut, diperlukan lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman modal usaha, maka keberadaan lembaga keuangan skala mikro merupakan salah satu alternatif jalan keluarnya (Tim Penulis PS, 2008).

107 Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute Sedangkan dalam konteks lembaga sosial dimaksudkan adalah lembaga yang dapat mengatur individu-individu dalam berinteraksi. Suparlan (2004) dalam Rudito dan Femiola (2008) menjabarkan secara lebih rinci bahwa dalam pranata sosial komuniti, diatur status dan peran untuk melaksanakan aktivitas pranata yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa peran-peran tersebut terangkai membentuk sebuah sistem yang disebut sebagai pranata sosial atau institusi sosial yakni sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan yang diadakan dan dibakukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, keberadaan lembaga penyedia modal dan lembaga sosial sebagai atribut sensitif merupakan atribut yang perlu mendapat perhatian. Dengan tersedianya kedua lembaga tersebut diharapkan nilai indeks dimensi ini akan menjadi meningkat dimasa yang akan datang. Sedangkan hasil analisis keberlanjutan untuk Desa Pasak Piang pada Gambar 20a dapat diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan mencapai 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan. RAPLEBAK Ordination Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Pasak Piang 200 Ketersediaan kios saprodi 150 keberadaan balai penyuluh pertanian 100 Kondisi prasarana jalan desa Keberadaan petugas penyuluh pertanian 50 BAD UP Ketersediaan lembaga keuangan mikro GOOD Keberadaan lembaga sosial Intensitas pertemuan kelompok tani -50 DOWN Keberadaan kelompok tani -100 Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) (a) (b) Gambar 20 Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa lebak Desa Pasak Piang Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan, dari tujuh atribut yang dianalisis (Gambar 20b) terdapat dua atribut sensitif yang mempengaruhi usahatani di rawa lebak saat ini, yaitu (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Kedua atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan ini juga sama dengan atribut sensitif untuk Desa Sungai Ambangah di atas, dengan demikian berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka kedua atribut sensitif ini, merupakan atribut

108 penting untuk diperhatikan apabila ingin meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masa yang akan datang. Selanjutnya Tabel 45, menunjukkan atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak berdasarkan hasil analisis leverage terhadap seluruh atribut yang diberikan penilaian. Dari 38 atribut yang diberikan penilaian terhadap rawa lebak di Desa Sungai Ambangah, diperoleh 16 atribut sensitif. Sedangkan di Desa Pasak Piang dari 38 atribut yang diberikan penilaian, diperoleh 19 atribut sensitif. Selanjutnya atribut-atribut sensitif ini akan digunakan sebagai faktor penting/faktor pengungkit untuk memperbaiki status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak pada masa yang akan datang, baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Tabel 45 Atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Sungai Ambangah Pasak Piang No Atribut sensitif Skor No Atribut sensitif Skor ,0 11,6 9,5 7,5 7, Harga produk usahatani Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Produksi usahatani Pola hubungan masyarakat dalam usahatani Ketersediaan lembaga keuangan mikro Ketersediaan modal usahatani Rumahtangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Keberadaan petugas penyuluh lapangan Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Periode tergenang Jumlah rumah tangga petani Produktivitas lahan Keberadaan lembaga sosial Pemupukan 7,1 7,0 6,8 6,7 6,6 6,5 6,4 5,9 5,7 5,6 5, Peran adat dalam kegiatan pertanian Harga produk usahatani Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Pola hubungan masyarakat dalam usahatani Jumlah rumah tangga petani Ketersediaan sarana produksi Kandungan bahan organik tanah Produktivitas lahan Keuntungan usahatani Efesiensi ekonomi Periode tergenang Tingkat pendidikan formal petani Intensitas konflik Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan mesin pompa air Penggunaan pupuk Ketersediaan mesin pasca panen 15,6 14,5 12,5 11,5 9,5 9,0 8,9 8,2 8,1 7,9 7,5 7,1 7,0 6,8 6,7 6,0 5,6 5,3 5, Pola indeks keberlanjutan usahatani rawa lebak dalam diagram layang Nilai indeks untuk setiap dimensi di Desa Sungai Ambangah Gambar 21 menunjukkan adanya keragaman antara satu dimensi dengan dimensi yang lain. Dari diagram layang ini dapat diketahui bahwa dimensi mana yang lebih diutamakan untuk dikelola agar dimensi tersebut menjadi cukup berkelanjutan atau nilai indeks di atas 50% atau bahkan nilai indeksnya bisa lebih besar dari 75% (kategori berkelanjutan).

109 Dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan yang mempunyai nilai indeks relatif terbesar yaitu 54,82% (cukup berkelanjutan), jika dibandingkan dengan empat dimensi lainnya yang semuanya berada pada kategori kurang berkelanjutan. Dimensi yang paling rendah nilai indeks keberlanjutannya adalah dimensi ekonomi yang hanya mencapai 35,04% (kurang berkelanjutan). Keadaan ini sesuai dengan hasil analisis dimensi ekonomi Gambar 13a, hasil ini menunjukkan bahwa apabila ingin ditingkatkan status keberlanjutan dari kategori kurang menjadi cukup berkelanjutan, perlu mengelola atribut-atribut sensitif yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi, terutama mengelola harga produk usahatani, ketersediaan sarana produksi, keuntungan usahatani, produksi usahatani, dan ketersediaan modal usahatani. Sedangkan nilai indeks untuk setiap dimensi di Desa Pasak Piang Gambar 22 juga menunjukkan adanya keragaman antara satu dimensi dengan dimensi yang lain. Dari diagram layang ini dapat diketahui bahwa dimensi mana yang lebih diutamakan untuk dikelola agar dimensi tersebut menjadi berada pada kategori nilai indeks juga di atas 50% (kategori cukup berkelanjutan) atau di atas 75% (kategori berkelanjutan). Dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan yang mempunyai nilai indeks sebesar 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan, sedangkan tiga dimensi lainnya yaitu ekologi, sosial budaya dan teknologi berada pada kategori kurang berkelanjutan, dan satu dimensi yaitu ekonomi berada pada kategori tidak berkelanjutan atau dengan nilai indeks keberlanjutan hanya mencapai 24,20%. Keadaan ini sesuai dengan hasil analisis dimensi ekonomi Gambar 14a. Dari hasil ini, mengindikasikan bahwa apabila dimensi ini ingin ditingkatkan status keberlanjutan dari kategori tidak berkelanjutan menjadi cukup berkelanjutan atau bahkan berkelanjutan, maka perlu mengelola atributatribut sensitif yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi. Atribut-atribut sensitif tersebut adalah mengelola harga produk usahatani, ketersediaan sarana produksi, keuntungan usahatani, dan efisiensi ekonomi.

110 Sungai Ambangah Pasak Piang Kelembaga an Ekologi Ekonom Kelembaga an Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial Budaya Teknologi Sosial Budaya Gambar 21 Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Sungai Ambangah Gambar 22 Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa lebak di Pasak Piang Nilai S-Stress yang dihasilkan dimasing-masing dimensi, mempunyai nilai yang lebih kecil dari ketentuan (<0.25), dengan asumsi bahwa semakin kecil dari 0,25 semakin baik. Sedangkan nilai Koefesien Determinasi (R 2 ) disetiap dimensi cukup tinggi (mendekati 1). Dengan demikian, kedua parameter statistik tersebut menunjukkan seluruh atribut yang digunakan dalam setiap dimensi di kedua lokasi penelitian sudah cukup baik menerangkan keberlanjutan sistem pengelolaan rawa lebak (Tabel 46). Tabel 46 Nilai Stress dan R 2 status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak dimasing-masing lokasi penelitian Parameter dan lokasi Dimensi keberlanjutan penelitian Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan S-Stress Sungai 0, , , , , ambangah Pasak Piang 0, , , , , R 2 Sungai 0, , , , , Ambangah Pasak Piang 0, , , , , Sumber: Data primer diolah Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak pada selang kepercayaan 95 persen didapatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan (<1) antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo (Tabel 47). Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis dari kedua metode tersebut membuktikan bahwa (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, (2) ragam pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) proses

111 analisis yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan (4) kesalahan pemasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari. Perbedaan ini juga menunjukkan bahwa sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Beberapa parameter hasil uji statistik ini menunjukkan bahwa metode Rap-Lebak cukup baik dipergunakan sebagai salah satu instrumen dalam evaluasi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak. Tabel 47 Dimensi keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan Perbedaan Indeks keberlanjutan antara Rap-Lebak (MDS) dengan Monte Carlo Pada masing-masing Lokasi Penelitian Sumber: Data primer diolah Indeks keberlanjutan (%) MDS MONTE CARLO Sungai Pasak Sungai Pasak Ambangah Piang Ambangah Piang 39,55 45,36 38,86 45,88 35,04 24,20 35,87 24,32 43,89 48,30 43,58 48,47 37,53 28,92 37,83 29,60 54,82 52,19 54,35 52,77 Perbedaan (selisih) Sungai Ambangah 0,69 0,83 0,31 0,30 0,47 Pasak Piang 0,52 0,12 0,17 0,68 0, Variabel-Variabel Dominan dalam Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Disain pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak secara berkelanjutan dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun skenario pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Penyusunan skenario tersebut, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap pengembangan model tersebut. Untuk mendapatkan faktor-faktor kunci tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif ditahap ini, dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu (1) menentukan faktor kunci yang diperoleh dari atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan lahan rawa lebak pada saat ini, (2) mengidentifikasi faktor kunci dimasa depan yang diperoleh melalui analisis kebutuhan dari semua pihak yang berkepentingan atau pemangku kepentingan (stakeholders), dan (3) melakukan kombinasi antar faktor kunci ditahap satu dan tahap dua. Dari kombinasi ini akan diperoleh faktor kunci gabungan kondisi saat ini (existing condition). Dengan demikian faktor kunci yang diperoleh adalah faktor kunci yang merupakan representasi dari kebutuhan bersama.

112 6.2.1 Atribut sensitif yang mempengaruhi sistem pengelolaan rawa lebak 1. Desa Sungai Ambangah Berdasarkan hasil analisis leverage terhadap lima dimensi yang mempengaruhi pengelolaan lahan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah, diperoleh 16 atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dan menjadi faktor penting/faktor pengungkit sebagaimana disajikan pada Tabel 44. Dari 16 faktor penting tersebut, dilakukan penyeleksian kembali untuk memperoleh faktor-faktor penting yang selanjutnya faktor penting tersebut, akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan skenario. Untuk memperoleh faktorfaktor penting tersebut dilakukan analisis prospektif terhadap 16 atribut sensitif di atas. Hasil analisis prospektif Gambar 23, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 12 faktor penting yang terdiri dari (1) ketersediaan modal usahatani, (2) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (3) harga produk usahani, (4) ketersediaan sarana produksi, (5) keuntungan usahatani, (6) produksi usahtani, (7) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (8) rumahtangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (9) pengendalian gulma, (10) periode tergenang, (11) jumlah rumah tangga petani, dan (12) pemupukan Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Ketersediaan modal usahatani Ketersediaan sarana produksi Harga produk usahatani Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Jumlah rumah tangga petani Pengaruh Produksi usahatani Pola hubungan masyarakat dlm usahatani RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Pemupukan Produktivitas lahan Keuntungan usahatani Pengendalian gulma Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial Periode tergenang Ketergantungan Gambar 23 Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Sungai Ambangah

113 2. Desa Pasak Piang Berdasarkan hasil analisis leverage terhadap lima dimensi yang mempengaruhi pengelolaan lahan rawa lebak di Desa Pasak Piang, diperoleh 19 atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dan menjadi faktor penting/faktor pengungkit sebagaimana disajikan pada Tabel 44. Dari 19 faktor penting tersebut, dilakukan penyeleksian kembali untuk memperoleh faktor-faktor penting yang selanjutnya faktor penting tersebut, akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan skenario. Untuk memperoleh faktor-faktor penting tersebut dilakukan analisis prospektif terhadap 19 atribut sensitif tersebut. Hasil analisis prospektif Gambar 24, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 12 faktor penting yang terdiri dari (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) harga produk usatahi, (3) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (4) pola hubungan masyarakat dalam usahatani, (5) ketersediaan sarana produksi, (6) kandungan bahan organik tanah, (7) produktivitas lahan, (8) keuntungan usahatani, (9) efesiensi ekonomi, (10) periode tergenang, (11) tingkat pendidikan formal petani, dan (12) ketersediaan lembaga keuangan mikro Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60 Keuntungan usahatani 1.40 Kandungan bahan organik tanah Pengaruh Pola hub. Masyarakat dlm usahatani Peran adat dalam kegiatan pertanian Jumlah rumah tangga petani Intensitas konflik Harga produk usahatani RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Produktivitas lahan Tingkat pendidikan formal Ketersediaan sarana produksi Efesiensi ekonomi Periode tergenang Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Ketersediaan lembaga keuangan mikro Ketergantungan Gambar 24 Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Pasak Piang

114 6.2.2 Kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders) Hasil wawancara terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders), baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang terhadap pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan pada masa yang akan datang yang didasarkan atas jenis tanaman yang telah diusahakan saat ini, maka diperoleh beberapa kebutuhan yang perlu mendapatkan perhatian. Kebutuhan tersebut, dikelompokkan berdasarkan jenis tanaman, maka didapatkan masing-masing untuk tanaman padi, yaitu diperlukan: (1) jenis padi unggul, (2) peningkatan indeks pertanaman padi, (3) pemupukan rasional, (4) pemeliharaan yang intensif, (5) peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian, dan (6) teknis budidaya konservasi rawa lebak; untuk tanaman karet, yaitu diperlukan: (1) peremajaan tanaman, (2) penggunaan jenis yang unggul, (3) teknologi pengolahan yang memadai, dan (4) pemelihaaran yang intensif; dan untuk tanaman kelapa sawit, yaitu diperlukan: (1) keterpaduan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, (2) penegakkan penerapan tataruang sektor pertanian, (3) perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik), (4) industri pengolahan, dan (5) dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi. Selanjutnya dari ketiga kebutuhan pemangku kepentingan untuk masing-masing komoditas, dilakukan penggabungan dan penyederhanaan terhadap kebutuhan yang relatif sejenis. Tabel 48, menunjukkan kebutuhan para pemangku kepentingan terhadap tiga komoditas yang diusahakan oleh masyarakat di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang. Tabel 48 No Penggabungan dan penyederhanaan kebutuhan para pemangku kepentingan Kebutuhan pemangku kepentingan 1 Diperlukan adanya keterpaduan kebijakan pusat dan daerah 2 Penegakan penerapan tataruang sektor pertanian 3 Diperlukan adanya dukungan lembaga riset dan PT 4 Diperlukan teknis budidaya konservasi rawa lebak 5 Perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana 6 Penggunaan jenis unggul spesifik lokasi 7 Peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat 8 Pemupukan yang rasional 9 Pemeliharaan yang intensif 10 Diperlukan peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian 11 Teknologi pengolahan yang memadai 12 Industri pengolahan Sumber: Hasil wawancara dan olahan

115 Dari hasil penggabungan dan penyederhanaan Tabel 47, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 12 kebutuhan para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan rawa lebak. Selanjutnya untuk memperolah kebutuhan yang paling penting (faktor penting) dari 12 kebutuhan stakeholders tersebut, dilakukan analisis prospektif. Hasil analisis Gambar 25 menunjukkan bahwa kebutuhankebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan dalam rangka untuk perbaikan pengelolaan rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang di masa yang akan datang, terdiri dari (1) pemeliharaan yang intensif, (2) peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi, (3) teknis budidaya konservasi, (4) keterpaduan kebijakan antara pusat dan daerah, (5) penegakkan penerapan tataruang sektor pertanian, (6) pemupukan rasional, (7) dukungan lembaga riset dan PT, (8) teknologi pengolahan yang memadai, (9) peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian, dan (10) penggunaan jenis unggul. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Pengaruh Keterpaduan kebijakan Penegakan penerapan pusat dan daerah tataruang Dukungan lembaga riset dan PT Teknis budidaya konservasi RL Pemeliharaan yang intensif Peningkatan IP padi Peningkatan sarana dan prasarana Indutri pengolahan Teknologi pengolahan Pemupukan rasional yg memadai Peran lembaga penyuluhan pertanian Penggunaan jenis unggul Ketergantungan Gambar 25 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Faktor penting untuk keberlanjutan pengelolaan rawa lebak Untuk mengembangkan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa yang akan datang, maka dilakukan penggambungan antara faktorfaktor penting/pengungkit yang telah didapatkan dari hasil analisis keberlanjutan

116 Rap-Lebak yang menggambarkan kondisi saat ini (eksisting) terhadap Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, dan hasil analisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders) yang menggambarkan kondisi yang diharapkan pada masa yang akan datang. Hasil gabungan yang dilakukan antara hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan diperoleh masing-masing, yaitu 23 faktor penting/pengungkit untuk Desa Sungai Ambangah, dan 23 faktor penting/pengungkit untuk Desa Pasak Piang. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 49. Desa Tabel 49 Sungai Ambangah Pasak Piang Faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan berdasarkan bobotnya Faktor-faktor penting/pengungkit Analisis keberlanjutan Analisis kebutuhan pemangku kepentingan 1 ketersediaan modal usahatani 2 jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 3 harga produk usahani 4 ketersediaan sarana produksi 5 keuntungan usahatani 6 produksi usahtani 7 ketersediaan kembaga keuangan mikro 8 RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 9 pengendalian gulma 10 periode tergenang 11 jumlah rumah tangga petani 12 pemupukan 1 peran adat dalam kegiatan pertanian 2 harga produk usatahi 3 RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian 4 pola hubungan masyarakat dalam usahatani 5 ketersediaan sarana produksi 6 kandungan bahan organik tanah 7 produktivitas lahan 8 keuntungan usahatani 9 efesiensi ekonomi 10 periode tergenang 11 tingkat pendidikan formal petani 12 ketersediaan lembaga keuangan mikro 1 keterpaduan kebijakan pusat dan daerah 2 penegakan penerapan tataruang sektor pertanian 3 dukungan lembaga riset dan PT 4 perbaikan teknis budidaya konservasi rawa lebak lokal 5 perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana 6 penggunaan jenis unggul spesifik lokasi 7 peningkatan indeks pertanaman dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat 8 pemupukan yang rasional 9 pemeliharaan yang intensif 10 peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian 11 industri pengolahan

117 Selanjutnya, faktor penting/pengungkit Tabel 49 di atas, terlebih dahulu dilakukan penggabungan antara faktor penting hasil analisis keberlanjutan dan hasil analisis kebutuhan pemangku kepentingan untuk masing-masing desa. Selain dilakukan penggabungan, juga dilakukan strukturisasi berdasarkan bobot masing-masing faktor penting tersebut. Hal itu dilakukan agar diketahui urutan prioritas dari masing-masing faktor penting/pengungkit tersebut. Hasil selengkapnya sebagaimana disajikan pada Tabel 50. Tabel 50 No Penyederhanaan/penggabungan faktor-faktor penting berdasarkan prioritas untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Penyederhaan/penggabungan faktor-faktor penting Pasak Piang Sungai Ambangah ketersediaan modal usahatani (3,77) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu (3,05) harga produk usahani (1,58) pemeliharaan yang intensif (1,43) peningkatan IP dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat (1,42) perbaikan teknis budidaya konservasi RL lokal (1,31) keterpaduan kebijakan pusat - daerah (1,25) penegakan penerapan tataruang sektor pertanian (1,21) jumlah rumah tangga petani (0,96) dukungan lembaga riset dan PT (0,95) industri pengolahan (0,94) pemupukan yang rasional (0,91) peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian (0,73) periode tergenang (0,72) pengendalian gulma (0,66) penggunaan jenis unggul spesifik lokasi (0,61) perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana (0,39) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian (0,38) ketersediaan kembaga keuangan mikro (0,22) keuntungan usahatani (0,21) produksi usahtani (0,19) 1 keuntungan usahatani (1,74) 2 kandungan bahan organik tanah(1,55) 3 pola hubungan masyarakat dlm usahatani (1,46) 4 pemeliharaan yang intensif (1,43) 5 peningkatan IP dan pola tanam padi berdasarkan kondisi setempat (1,42) 6 peran adat dalam kegiatan pertanian (1,32) 7 perbaikan teknis budidaya konservasi rawa lebak (1,31) 8 keterpaduan kebijakan pusat dan daerah (1,25) 9 penegakan penerapan tataruang sektor pertanian (1,21) 10 harga produk usatahi (1,20) 11 rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian (1,02) 12 dukungan lembaga riset dan PT (0,95) 13 industri pengolahan (0,94) 14 ketersediaan lembaga keuangan mikro (0,93) 15 produktivitas lahan (0,92) 16 pemupukan yang rasional (0,91) 17 tingkat pendidikan formal petani (0,90) 18 periode tergenang (0,82) 19 perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana (0,77) 20 efesiensi ekonomi (0,75) 21 peningkatan peran lembaga penyuluhan pertanian (0,73) 22 penggunaan jenis unggul spesifik lokasi (0,61) Hasil penyederhaan/penggabungan di atas, diperoleh 21 faktor penting untuk Desa Sungai Ambangah dan 22 faktor penting untuk Desa Pasak Piang (Tabel 50). Selanjutnya dari faktor-faktor penting dimasing-masing desa tersebut, dilakukan analisis prospektif untuk mendapatkan faktor-faktor penting yang selanjutnya akan dijadikan sebagai faktor penyusun skenario untuk mendisain model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa akan datang.

118 Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 1.60 Pengaruh Jumlah rumah tangga petani Pengendalian gulma Harga produk usahatani Keuntungan usahatani Pemupukan yang rasional Ketersediaan modal Rumah tangga petani usahatani Peningkatan indeks yg pernah mengikuti pertanaman padilembaga penyuluh penyuluhan pertanian pertanian Dukungan lembaga Produksi usahatani riset dan PT Ketersediaan lembaga keuangan mikro Industri pengolahan Periode tergenang Alat pemberantasan jasad pengganggu Perbaikan sarana dan prasarana Teknis budidaya konservasi RL Pemeliharaan yang Penerapan tataruang intensif sektor pertanian Penggunaan jenis unggul spesifik Keterpaduan kebijakan Ketergantungan Gambar 26 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Desa Sungai Ambangah Hasil analisis prospektif berupa matriks pengelompokkan empat kuadran untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 26, dapat diidentifikasi pengaruh dan ketergantungan faktor-faktor dalam upaya pengelolaan rawa lebak berkelanjutan. Kuadran I (kiri atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Pada kuadran ini terdiri dari sebelas faktor; yaitu (1) keuntungan usahatani, (2) rumahtangga yang mengikuti penyuluhan pertanian, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) peningkatan indeks pertanaman padi, (5) pengendalian gulma, (6) pemupukan yang rasional, (7) harga produk usahatani, (8) dukungan lembaga riset dan PT, (9) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (10) lembaga penyuluh pertanian, dan (11) produksi usahatani. Kesebelas faktor pada kuadran I merupakan variabel penentu yang digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran II (kanan atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem namun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel penghubung (stake) di dalam sistem. Hasil analisis menunjukkan, faktor dengan pengaruh kuat dan dengan ketergantungan yang tinggi tidak ditemui. Kuadran III (kanan bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi

119 terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel terkait (output) di dalam sistem. Kuadran ini hanya terdapat satu faktor, yaitu faktor keterpaduan kebijakan. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari sembilan faktor, yaitu (1) jumlah rumahtangga petani, (2) periode tergenang, (3) alat pemberantasan jasad pengganggu, (4) industri pengolahan, (5) perbaikan sarana dan prasana, (6) teknis budidaya konservasi rawa lebak, (7) pemeliharaan yang intensif, (8) penggunaan jenis unggul, dan (9) penerapan tataruang sektor pertanian. Berdasarkan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor Gambar 26 di atas, dari 21 faktor kunci yang teridentifikasi didapatkan sebelas faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan faktor yang rendah. Kesebelas faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat kondisi (state) yang mungkin terjadi di masa depan untuk pengelolaan rawa lebak berkelanjutan di Desa Sungai Ambangah.

120 Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Pengaruh Peran adat dalam kegiatan pertanian Pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian Tingkat pendidikan formal petani Periode tergenang Dukungan lembaga riset dan PT Harga produk usahatani Produktivitas lahan Efesiensi ekonomi Keuntungan usahatani Ketersediaan lembaga keuangan mikro Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Peningkatan indeks pertanaman padi Lembaga penyuluh pertanian Perbaikan sarana dan prasarana Pemeilharaan yang intensif Industri pengolahan Teknis budidaya konservasi RL Kandungan bahan organik tanah Pemupukan yang rasional Penerapan tataruang sektor pertanian Pengunaan jenis unggul Keterpaduan kebijakan Ketergantungan Gambar 27 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil analisis leverage dan pemangku kepentingan di Desa Pasak Piang Hasil analisis prospektif berupa matriks pengelompokkan empat kuadran untuk Desa Pasak Piang Gambar 27, juga dapat diidentifikasi pengaruh dan ketergantungan faktor-faktor dalam upaya pengelolaan rawa lebak berkelanjutan. Kuadran I (kiri atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Pada kuadran ini terdiri atas tujuh faktor; yaitu (1) dukungan lembaga riset dan PT, (2) peran adat dalam kegiatan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) perode tergenang, (5) harga produk usahatani, (6) produktivitas lahan, dan (7) keuntungan usahatani. Ketujuh faktor pada kuadran I, merupakan variabel penentu yang digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran II (kanan atas) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh kuat terhadap kinerja sistem namun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel penghubung (stake) di dalam sistem. Pada kuadran ini terdiri atas lima faktor, yaitu (1) lembaga penyuluh pertanian, (2) efesiensi ekonomi, (3) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (4) perbaikan sarana dan prasarana, dan (5) rumahtangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian. Kuadran III (kanan bawah) merupakan kelompok faktor

121 yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga digunakan sebagai variabel terkait (output) di dalam sistem. Kuadran ini terdapat empat faktor, yaitu (1) pemeliharaan yang intensif, (2) penggunaan jenis unggul, (3) penerapan tataruang sektor pertanian, dan (4) keterpaduan kebijakan. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan kelompok faktor yang memiliki pengaruh lemah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri atas enam faktor, yaitu (1) tingkat pendidikan formal petani, (2) peningkatan indeks pertanaman, (3) industri pengolahan, (4) teknis budidaya konservasi, (5) pemupukan yang rasional, dan (6) kandungan bahan organik tanah. Berdasarkan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor Gambar 27 di atas, dari 22 faktor kunci yang teridentifikasi didapatkan tujuh faktor yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan faktor yang rendah. Dan lima faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar factor. Keduabelas faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat kondisi (state) yang mungkin terjadi di masa depan untuk pengelolaan rawa lebak berkelanjutan di Desa Pasak Piang. 6.3 Skenario Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan Pengembangan model pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan dilakukan dengan analisis keberlanjutan terhadap kondisi saat ini (eksisting) dan analisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders). Analisis keberlanjutan dengan MDS diperoleh nilai indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi. Dimensi yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pengelolaan rawa lebak sebanyak lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dari kelima dimensi tersebut mencakup 37 atribut. Hasil analisis leverage, terhadap kelima dimensi keberlanjutan, diperoleh atribut-atribut sensitif yang berpengaruh dalam pengelolaan rawa lebak. Terhadap atribut-atribut sensitif tersebut, kemudian dilanjutkan dengan analisis prospektif untuk menentukan faktor-faktor penting/pengungkit yang diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang akan dibangun dalam upaya untuk mendisain model pengelolaan rawa lebak secara berkelanjutan.

122 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan untuk mengetahui preferensi kebutuhan stakeholders pada masa yang akan datang. Faktor-faktor yang menjadi kebutuhan pemangku kepentingan tersebut, kemudian dianalisis dengan analisis prospektif untuk memperoleh faktor-faktor penting/pengungkit terhadap pengelolaan rawa lebak berkelanjutan pada masa yang akan datang. Selanjutnya faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan analisis pemangku kepentingan digabungkan dan untuk selanjutnya dilakukan analisis prospektif, untuk memperoleh faktor-faktor penting/pengungkit yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menyusun skenario pengembangan model pengelolaan rawa lebak. Skenario yang akan dibangun, menggunakan tiga skenario yaitu skenario I, skenario II, dan skenario III, ketiganya merupakan gambaran kondisi masa depan. Pada setiap skenarioskenario tersebut, akan dilakukan beberapa perbaikan terhadap faktor-faktor penting/pengungkit yang diperoleh sebelumnya. Selanjutnya, skenario-skenario yang telah ditetapkan kemudian disimulasikan melalui analisis MDS, untuk dinilai kembali indeks dan status keberlanjutannya. Tabel 51 menggambarkan perubahan kondisi (state) pada masing-masing skenario yang akan disusun. Tabel 51 Uraian masing-masing skenario untuk pengembangan model pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Skenario I II III Uraian Tetap pada kondisi saat ini dan dilakukan sedikit perbaikan melalui peningkatan skoring pada beberapa faktor penting khususnya pada dimensi yan tidak berkelanjutan Melakukan perbaikan melalui peningkatan skoring terhadap beberapa faktor penting pada semua dimensi, tetapi tidak maksimal Melakukan perbaikan melalui peningkatan skoring terhadap beberapa faktor penting pada semua dimensi, secara maksimal Perbaikan terhadap faktor-faktor penting melalui ketiga skenario, dilakukan dengan cara meningkatkan nilai skor terhadap atribut sensitif atau faktor penting baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Pada skenario I, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Perubahan skoring dimaksud selengkapnya pada Tabel 52.

123 Tabel 52 Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario I untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Atribut sensitif/faktor penting Dimensi ekologi Periode tergenang Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi Harga produk usahatani Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Produksi usahatani Ketersediaan modal usahatani Harga produk UT Ketersediaan sarana produksi Keuntungan UT Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya Pola hub. Masyarakat dlm pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Jumlah RT petani Peran adat dlm kegiatan pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Pola hub. Masyarakat dlm pertanian Jumlah RT petani Tingkat pendidikan formal petani Intensitas konflik Dimensi teknologi Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Pemupukan Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Ketersediaan mesin pompa air 3. Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan petugas penyuluh lapangan Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial Sumber: Hasil Olahan Skoring Saat ini (eksisting) Sui Pasak Sui Ambangah Piang Ambangah Skenario I Pasak Piang Hasil perubahan nilai skor pada beberapa dimensi keberlanjutan di skenario I Tabel 52, selanjutnya dianalisis kembali dengan menggunakan Rap- Lebak, untuk mengetahui peningkatan indeks keberlanjutan yang telah disusun. Pada skenario I, untuk Desa Sungai Ambangah atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, ketersediaan sarana produksi, rumah

124 tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, pemupukan, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan ketersediaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, ketersediaan mesin pompa air, dan ketersediaan lembaga keuangan mikro. Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak Tabel 53, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario I No Dimensi Nilai indeks (%) Eksisting Skenario I Selisih Sui Pasak Sui Pasak Sui Pasak Ambangah Piang Ambangah Piang Ambangah Piang 1 Ekologi 39,55 45,36 45,29 54,00 5,74 8,64 2 Ekonomi 35,04 24,20 54,43 44,54 19,39 20,34 3 Sosial Budaya 43,89 48,30 48,39 55,82 4,50 7,52 4 Teknologi 37,53 28,92 42,30 40,33 4,77 11,41 5 Kelembagaan 54,82 52,19 56,74 56,78 1,59 5,37 6 Gabungan 45,40 44,92 47,59 50,01 2,19 5,09 Sumber: Hasil olahan Pada skenario II, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Untuk Desa Sungai Ambangah atribut yang dinaikkan skornya terdiri atas: produktivitas lahan, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, pengendalian gulma, dan keberadaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya terdiri atas: produktivitas lahan, penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan mesin pasca panen, dan ketersediaan lembaga keuangan mikro. Perubahan skoring dimaksud selengkapnya pada Tabel 54.

125 Tabel 54 Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario II untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Atribut sensitif/faktor kunci Dimensi ekologi Periode tergenang Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi Harga produk usahatani Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Produksi usahatani Ketersediaan modal usahatani Harga produk UT Ketersediaan sarana produksi Keuntungan UT Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya Pola hub. Masyarakat dlm pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Jumlah RT petani Peran adat dlm kegiatan pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Pola hub. Masyarakat dlm pertanian Jumlah RT petani Tingkat pendidikan formal petani Intensitas konflik Dimensi teknologi Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Pemupukan Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu 2. Ketersediaan mesin pompa air 3. Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan petugas penyuluh lapangan Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial Sumber: Hasil Olahan Skoring Saat ini (eksisting) Sui Pasak Sui Ambangah Piang Ambangah Skenario II Pasak Piang Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak pada skenario II, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel

126 Tabel 55 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario II No Dimensi Nilai indeks (%) Eksisting Skenario II Selisih Sui Ambangah Pasak Piang Sui Ambangah Pasak Piang Sui Ambangah Pasak Piang 1 Ekologi 39,55 45,36 50,89 68,46 11,34 23,10 2 Ekonomi 35,04 24,20 74,93 60,26 39,89 36,06 3 Sosial Budaya 43,89 48,30 56,38 66,40 12,49 18,10 4 Teknologi 37,53 28,92 60,28 51,98 22,75 23,06 5 Kelembagaan 54,82 52,19 63,35 64,31 8,20 12,90 6 Gabungan 45,40 44,92 56,69 56,16 11,29 11,24 Sumber: Hasil olahan Sedangkan pada skenario III, dengan melakukan peningkatan nilai skor terhadap beberapa atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Untuk Desa Sungai Ambangah atribut yang dinaikkan skornya pada skenario ini terdiri atas: produktivitas lahan, pola hubungan masyarakat dalam kegiatan pertanian, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan keberadaan petugas penyuluh pertanian. Sedangkan untuk Desa Pasak Piang, atribut yang dinaikkan nilai skornya pada skenario ini terdiri atas: penggunaan pupuk, ketersediaan sarana produksi, rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, ketersediaan mesin pasca panen, ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan keberadaan lembaga sosial. Perubahan skoring dimaksud selengkapnya pada Tabel 56.

127 Tabel 56 Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada skenario III untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Atribut sensitif/faktor kunci Dimensi ekologi Periode tergenang Produktivitas lahan 1. Kandungan BO tanah 2. Produktivitas lahan 3. Periode tergenang 4. Penggunaan pupuk Dimensi ekonomi Harga produk usahatani Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Produksi usahatani Ketersediaan modal usahatani Harga produk UT Ketersediaan sarana produksi Keuntungan UT Efesiensi ekonomi Dimensi sosial budaya Pola hub. Masyarakat dlm pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Jumlah RT petani Peran adat dlm kegiatan pertanian RT petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Pola hub. Masyarakat dlm pertanian Jumlah RT petani Tingkat pendidikan formal petani Intensitas konflik Dimensi teknologi Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Pengendalian gulma Pemupukan Jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu Ketersediaan mesin pompa air Ketersediaan mensin pasca panen Dimensi kelembagaan Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan petugas penyuluh lapangan Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan mikro Keberadaan lembaga sosial Sumber: Hasil Olahan Skoring Saat ini (eksisting) Sui Pasak Sui Ambangah Piang Ambangah Skenario IIII Pasak Piang Hasil analisis menggunakan Rap-Lebak pada skenario III, menunjukkan bahwa juga terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel

128 Tabel 57 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario III No Dimensi Nilai indeks (%) Eksisting Skenario III Selisih Sui Ambangah Pasak Piang Sui Ambangah Pasak Piang Sui Ambangah Pasak Piang 1 Ekologi 39,55 45,36 59,71 79,89 20,71 34,53 2 Ekonomi 35,04 24,20 92,91 67,11 57,87 42,91 3 Sosial Budaya 43,89 48,30 90,55 80,18 46,66 31,88 4 Teknologi 37,53 28,92 76,68 72,58 39,15 43,66 5 Kelembagaan 54,82 52,19 85,70 76,23 30,55 24,82 6 Gabungan 45,40 44,92 62,70 62,92 17,30 18,00 Sumber: Hasil olahan 6.4 Nilai Indeks Keberlanjutan masing-masing Skenario dan Gabungan antara MDS dan Kebutuhan Stakeholders dari lima Dimensi dan Nilai BC ratio, Persentase KHL, dan Lm antara Kondisi Eksisting dengan masing-masing Skenario Sebelum dilakukan penyusunan rekomendasi model pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan melalui tiga skenario, Tabel 58 di bawah ini merangkum hasil analisis berupa: nilai indeks keberlanjutan masing-masing skenario dan nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders. Hasil selengkapnya sebagaimana disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, nilai indeks keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Desa / Dimensi Sungai Ambangah Ekologi 39,55 Ekonomi 35,04 Sosial budaya 43,89 Teknologi 37,53 Kelembagaan 54,82 Gabungan 45,40 Pasak Piang Ekologi 45,36 Ekonomi 24,20 Sosial budaya 48,30 Teknologi 28,92 Kelembagaan 52,19 Gabungan 44,92 Sumber: Hasil olahan Nilai indeks keberlanjutan (%) Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III 45,29 54,43 48,39 42,30 56,74 47,59 54,00 44,54 55,82 40,33 56,78 50,01 50,89 74,93 56,38 60,28 63,35 56,69 68,46 60,26 66,40 51,98 64,31 56,16 59,71 92,91 90,55 76,68 85,70 62,70 79,89 67,11 80,18 72,58 76,23 62,92 Hasil analisis keberlanjutan antara masing-masing skenario dan kondisi saat ini (eksisting) yang dirangkum dalam bentuk diagram layang-layang (kite

129 diagram) sebagaimana disajikan pada Gambar 28 dan 29. Untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 28 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil pada skenario I, yaitu terdapat dua dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 54,43% dan 56,74%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 50,89 74,93% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 59,71% untuk dimensi ekologi atau pada kategori cukup berkelanjutan, dan empat dimensi lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 76,68 92,91% atau pada kategori berkelanjutan. Untuk Desa Pasak Piang Gambar 29 memperlihatkan bahwa kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil pada skenario I, yaitu terdapat tiga dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 54,00%, 55,82%, dan 56,78%. Untuk skenario II, diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara ,46% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Dan pada skenario III, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 67,11% untuk dimensi ekonomi dan 72,58% untuk dimensi teknologi atau keduanya pada kategori cukup berkelanjutan, dan tiga dimensi lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 76,23 80,18% atau pada kategori berkelanjutan. Tabel 59 di bawah ini merangkum hasil analisis berupa: nilai BC ratio, persentase KHL dan Lm antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang untuk masing-masing skenario. Tabel 59 Nilai BC ratio, persentase KHL (%) dan Lm (ha/kk) antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Desa Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Sungai Ambangah B/C ratio 2,02 2,04 2,16 2,29 Padi 3,3 3,37 3,67 3,87 Karet 1,23 1,25 1,35 1,41 Sawit 1,52 1,53 1,55 1,57 KHL (%) 29,92 30,98 32,02 37,39 Lm (ha/kk) 3,15 2,99 2,35 1,91 Padi 11,48 11,23 10,2 9,49 Karet 5,49 5,35 4,8 4,42 Sawit 2,21 2,13 1,79 1,56

130 Pasak Piang B/C ratio 10,22 11,20 13,29 13,49 Padi 4,8 5,3 5,89 6,51 Karet 24,35 26,75 29,44 32,35 Sawit 1,52 1,55 1,59 1,63 KHL (%) 35,7 39,5 43,78 48,39 Lm (ha/kk) 2,54 1,84 1,06 0,22 Padi 12,63 11,28 9,77 8,14 Karet 3,76 3,41 3,02 2,6 Sawit 2,21 1,81 1,32 1,10 Sumber: Hasil olahan, 1) Benefit Cost ratio, 2) Kebutuhan Hidup Layak, 3) Luas Lahan Minimal Hasil tiga skenario yang telah disusun Tabel 59 diperoleh nilai B/C ratio gabungan tiga tanaman yang diusahakan dan kemudian dibandingkan antara kondisi eksisting dengan skenario I, II dan III, memperlihatkan peningkatan nilai B/C ratio masing-masing sebesar 0,02, 0,14 dan 0,27 untuk Desa Sungai Ambangah dan 0,98, 3,07 dan 3,27 di Pasak Piang. Persentase nilai kebutuhan hidup layak (KHL) antara kondisi eksisting dan skenario I, II dan III, juga terjadi peningkatan masing-masing sebesar 1.06%, 2,10% dan 7,47% untuk Desa Sungai Ambangah dan 3,80%, 8,08% dan 12,69% di Pasak Piang. Untuk nilai luas lahan minimal (Lm), gabungan tiga tanaman yang diusahakan dan juga dibandingkan antara kondisi eksisting dengan skenario I, II dan III, memperlihatkan penurunan kebutuhan luas lahan minimal, masingmasing seluas 2,99 ha/kk, 2,35 ha/kk dan 1,91 ha/kk di Desa Sungai Ambangah dan 1,84 ha/kk, 1,06 ha/kk dan 0,22 ha/kk di Pasak Piang. Tabel 60 Pendapatan dan nilai tambah pendapatan dari kondisi eksisting terhadap masing-masing skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang Desa/ Pendapatan (Rp/ha/th) Nilai tambah pendapatan (Rp/ha/th) Jenis tanaman Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Skenario I Skenario II Skenario III Sui Ambangah Padi Karet Kelapa sawit*) , , , , , , ,06 Jumlah , , , , , , ,06 Pasak Piang Padi Karet , , , , , ,62 Kelapa sawit*) , , , , , ,56 Jumlah , , , , , , ,18 Sumber: Hasil olahan Ket: *)Nilai perkiraan pendapatan per tahun per hektar

131 Dari hasil analisis tiga skenario di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan petani dari saat ini (eksisting) terhadap masing-masing skenario, dari masing-masing komoditas yang diusahakan yaitu padi, karet dan kelapa sawit baik di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang selengkapnya disajikan pada Tabel 60. Hasil analisis Tabel 59 menunjukkan bahwa petani di Desa Sungai Ambangah pada skenario I, II, dan III akan memperoleh peningkatan pendapatan dari keadaan saat ini (eksisting) masing-masing sebesar Rp ,3,- Rp ,- dan Rp ,-. Sedangkan untuk petani di Desa Pasak Piang, menunjukkan bahwa pada skenario I, II, dan III akan memperoleh peningkatan pendapatan dari keadaan saat ini (eksisting) masing-masing sebesar Rp ,04,- Rp ,61,- dan Rp ,12,-. Hasil analisis keberlanjutan antara masing-masing skenario dan kondisi saat ini (eksisting) yang dirangkum dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) sebagaimana disajikan pada Gambar 28 dan 29. Untuk Desa Sungai Ambangah Gambar 28 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil adalah untuk skenario I, hanya terdapat dua dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan, masing-masing sebesar 54,43% dan 56,74%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 50,89 74,93% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 59,71% untuk dimensi ekologi atau pada kategori cukup berkelanjutan, dan keempat dimensi yang lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan, berkisar antara 76,68 92,91% atau pada kategori cukup berkelanjutan dan sangat berkelanjutan (baik).

132 SUNGAI AMBANGAH Dimensi Kelembagaan Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Teknologi Dimensi Sosial Budaya Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Gambar 28 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Sungai Ambangah Sedangkan untuk Desa Pasak Piang Gambar 29 memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, diperoleh hasil untuk skenario I, terdapat tiga dimensi yang dikategorikan cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan, masing-masing sebesar 54,00%, 55,82%, dan 56,78%. Untuk skenario II, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 51,98 68,46% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk semua dimensi. Sedangkan pada skenario III, dari kelima dimensi yang dianalisis diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 67,11% untuk dimensi ekonomi dan 72,58% untuk dimensi teknologi atau keduanya pada kategori cukup berkelanjutan, dan tiga dimensi lainnya diperoleh nilai indeks keberlanjutan berkisar antara 76,23 80,18% atau pada kategori cukup berkelanjutan dan sangat berkelanjutan (baik). PASAK PIANG Dimensi Ekologi Dimensi Kelembagaan Dimensi Ekonomi Dimensi Teknologi Dimensi Sosial Budaya Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Gambar 29 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Pasak Piang

133 Dari masing-masing skenario yang telah disusun di atas, diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting. Untuk memilih skenario yang terbaik, dari ketiga skenario tersebut, didasarkan pada perhitungan jarak euclidian antara nilai indeks keberlanjutan pada kondisi eksisting dengan nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario baik untuk Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada Tabel 61 dan 62 Tabel 61 Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di Desa Sungai Ambangah A. Eksisting dan Skenario I No Dimensi X2 X1 X2- X Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan 45,29 54,43 48,39 42,30 56,74 B. Eksisting dan Skenario II Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan C. Eksisting dan Skenario III Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan 59,71 92,91 90,55 76,68 85,70 39,55 35,04 43,89 37,53 55, ,55 35,04 43,89 37,53 55,15 Sumber: Data primer dan hasil olahan 5,74 19,39 4,50 4,77 1,59 (X2-X1) 2 Y2 Y1 Y2- Y ,38 3,93 9, ,69 6,25 13, ,25 0,92 5, ,44 4,18-2, ,06 6,65 0,59 (Y2-Y1) Σ(X 2-X 1) 2 : Σ(Y 2-Y 1) 2 : (a+b): distance: Σ(X 2-X 1) 2 : Σ(Y 2-Y 1) 2 : (a+b): distance: ,16 57,87 46,66 39,15 30, ,87 34,39 24,74 21,93 9,56 3,93 6,25 0,92 4,18 6,65 19,80 28,14 23,82 17,75 2,91 Σ(X 2-X 1) 2 : Σ(Y 2-Y 1) 2 : (a+b): distance: 392, Hasil analisis pada Tabel 61 menunjukkan bahwa di Desa Sungai Ambangah, diperoleh jarak euclidian antara kondisi eksisting dengan skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 21,83%, 30,35% dan 60,57%. Dari hasil tersebut, diperoleh bahwa nilai euclidian yang terbesar adalah pada skenario III atau jarak yang paling baik. Dengan demikian dari ketiga skenario yang disusun untuk Desa Sungai Ambangah, yang terbaik adalah skenario III.

134 Tabel 62 Jarak Euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario di desa Pasak Piang A. Eksisting dan Skenario I No Dimensi X 2 X 1 X 2-X 1 (X 2-X 1) 2 Y 2 Y 1 Y 2-Y 1 (Y 2-Y 1) Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan 54,00 44,54 55,82 40,33 56,78 45,36 24,20 48,30 28,92 51,41 8,64 20,34 7,52 11,41 5, ,88 34,52 21,81-3,55 4,28 2,26 18,10 8,34 1,76 4,25 0,62 16,42 13,47 5,31 0,03 0, , , ,1961 0,0009 Σ(X 2-X 1) 2 : (Y 2-Y 1) 2 : 2906,6387 (a+b): 2202,6981 distance: 39,8511 B. Eksisting dan Skenario II Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan 68,46 60,26 66,40 51,98 64,31 C. Eksisting dan Skenario III Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi Kelembagaan 79,89 67,11 80,18 72,58 76,23 45,36 24,20 48,30 28,92 51,41 45,36 24,20 48,30 28,92 51,41 23,10 36,06 18,10 23,06 12,9 533, , ,6 166,41 3,30 42,45 30,62-4,66 7,58 2,26 18,10 8,34 1,76 4,25 1,04 24,35 22,28 6,42 3,33 1, Σ(X 2-X 1) 2 : Σ(Y 2-Y 1) 2 : ,8 (a+b): distance: ,53 42,91 31,88 43,66 24,82 Sumber: Data primer dan hasil olahan ,37 47,69 34,87-12,56 22,60 2,26 18,10 8,34 1,76 4,25 8,11 29,59 26,53 14,32 18,35 Σ(X 2-X 1) 2 : (Y 2-Y 1) 2 : (a+b): distance: 65, , , , , Sedangkan hasil analisis pada Tabel 62 menunjukkan bahwa di Desa Pasak Piang, diperoleh jarak euclidian antara kondisi eksisting dengan skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 39,85%, 43,12% dan 45,60%. Dari hasil tersebut, diperoleh bahwa nilai euclidian yang terbesar juga pada skenario III atau jarak yang paling baik. Dengan demikian bahwa dari ketiga skenario yang disusun untuk Desa Pasak Piang, yang terbaik adalah skenario III.

135 VII. MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN USAHATANI DI RAWA LEBAK 7.1 Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumberdaya buatan. Berdasarkan Undang-Undang RI tentang Sistem Budidaya Tanaman Nomor 12 Tahun 1992, disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Sedangkan pasal 3 disebutkan bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan: a). meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b). meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c). mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Hasil observasi lapangan dan studi literatur menunjukkan bahwa sumberdaya lokal potensial yang terdapat di lokasi penelitian yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pengembangan rawa lebak untuk kegiatan usahatani berkelanjutan yang dipilah menjadi empat kelompok yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung. Tabel 63 menyajikan potensi sumberdaya lokal di kawasan rawa lebak baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Tabel 63 Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang No Jenis dan Potensi Sumberdaya Sui Ambangah Lokasi / Desa Pasak Piang 1. Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk (jiwa) Penduduk berdasarkan jenis kelamin (jiwa) - Laki-laki Perempuan Keterangan

136 Lanjutan No Jenis dan Potensi Sumberdaya Sui Ambangah Lokasi / Desa Pasak Piang Penduduk berdasarkan usia produktif (jiwa) tahun tahun tahun tahun - > 59 tahun Penduduk berdasarkan pendidikan (jiwa) - Tdk sekolah/putus sklh - Tamat SD - Tamat SLTP - Tamat SLTA - PT / Akademi Sumberdaya Alam a. Luas Wilayah (ha) b. Tanah dan Iklim - Terletak dibawah garis katulistiwa - Altitude (m dpl) - Kemiringan wilayah (%) - Lapisan Top Soil (cm) - ph tanah - Tingkat kesuburan tanah - Suhu ( o C) - Curah hujan (mm/th) - Kelembaban (%) c.tanaman/vegetasi - Tanaman Budidaya 1. Semusim ,31 BT dan 0,21 LS < sedang , Padi, jagung, ubi kayu, ketelah rambat, kacang tanah, talas/keladi < Sedang , Padi, jagung, ubi kayu, talas/keladi, ketela rambat. Keterangan 2. Tahunan 3. Hortikultura Karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, sagu Durian, rambutan, jeruk, langsat, pisang, manggis, pepaya, nenas, lidah buaya, cabe rawit, bawang daun, kacang panjang, timun, terong, tomat, jahe, serai, anggrek. Karet, kelapa sawit, kopi, lada, kelapa Pisang, rambutan, jengkol, langsat, nanas, kacang panjang, bawang daun, tomat, terong, cabe rawit, serai, timun. 4. Non Budidaya/hutan (ha) Tidak ada data d. Peternakan Sapi, kambing, Sapi, ayam, ayam, itik, angsa kambing, itik, dan babi babi. e. Perikanan air tawar Lele, nila dan mas Lele, nila, mas, bawal

137 Lanjutan No Jenis dan Potensi Sumberdaya Sui Ambangah f. Jenis padi lokal palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut 3. Sumberdaya Teknologi a. Penyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang (jml) b. Teknologi Pengendalian Organisme Pengganggu (OPT) melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (jml) c. Teknologi pembuatan kompos (jml) d. Teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan (jml) e. Penyuluhan teknis peningkatan Indeks Pertanaman (IP) (jml) f. Pelatihan teknik okulasi (jml) g. Penyuluhan teknis pemeliharaan ternak (sapi dan ayam) (jml) h. Penyuluhan teknis pengendalian penyakit ternak (jml) i. Pelatihan manajemen kelompok (jml) 4. Sumberdaya Kelembagaan/Istitusi Pendukung a. Universitas dan BPTP (jml) - PT/Akademi Pertanian - BPTP - BPP b. Kelembagaan kelompok tani (klp) - Kelompok tani - Anggota kelompok - Gapoktan Lokasi / Desa Pasak Piang palawang, sampit, pantat ulat, angkung, siam, langsat, katumbar, purun, padi putih, talang dan pulut Keterangan 1 1 Dilaksanakan pada bulan April Dilaksanakan sekolah lapang pengedalian hama terpadu (SLPHT) bulan Mei Agtus Dilaksanakan percontohan/dem plot pada bulan April Dilaksanakan pelatihan/demplot pada bulan Juni Agustus Dilaksanakan pada bulan Mei Dilaksanakan pada bulan Sepetember Dilaksanakan pada bulan Juli Dilaksanakan pada bulan Oktober Dilaksanakan pada bulan April Terletak di Ibukota Provinsi Terletak di Ibukota Kec.

138 Lanjutan No Jenis dan Potensi Sumberdaya c. Kelas Kelompok Tani (klp) - Pemula - Lanjut - Madya - Utama d. Kelembagaan pemerintahan desa (jml) - LPMD - BPD - PKK - KUD - Posyandu e. Kelompok informal - Kelompok arisan ibu - Kelompok yasinan f. Kelompok informal Sui Ambangah Lokasi / Desa Pasak Piang Keterangan - Tuha tahun - 1 Bp. Julim Ita g. Bank/lembaga - - keuangan mikro h. Pasar/kios saprotan - Pasar - Kios saprotan i. Alsintan (jml) - Hand tracktor - Mids blower - Punsa - Hand sprayer - Power threser - Muler gabah Sumber: Hasil observasi dan wawancara; BPP Sungai Raya (2010) dan Sungai Ambawang (2010); Kec. Sungai Raya Dalam Angka (2009) dan Kecamatan Sungai Ambawang Dalam Angka (2009) Pada Tabel 63, menunjukkan bahwa terdapat lima potensi sumberdaya yang ada, yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya pendukung lain. Potensi sumberdaya manusia, di Desa Sungai Ambangah dengan jumlah penduduk mencapai jiwa apabila dihubungkan dengan luas wilayah di desa tersebut mencapai ha, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 32 jiwa per km 2, sedangkan di Desa Pasak Piang dengan jumlah penduduk jiwa dengan luas wilayah yang tersedia mencapai hektar, maka rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah mencapai 18 jiwa per km 2. Berdasarkan mata pencaharian penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing mencapai sebanyak 72% dan 67% mengandalkan sumber penghasilan mereka dari kegiatan pertanian, sedangkan sebanyak 28% dan 33% dari kegiatan non pertanian

139 Berdasarkan umur penduduk di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang masing-masing sebanyak 41,62% dan 38,15% berusia antara tahun atau yang berusia produktif untuk bekerja disektor pertanian, sedangkan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan didominasi mereka yang berpendidikan setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan sekolah dasar (SD) untuk Desa Sungai Ambangah berturut-turut dari yang tertinggi mencapai 39,70%, jiwa 32,29% dan 19,77%. Sedangkan di Pasak Piang berturut-turut mencapai 77,84% tidak sekolah atau putus sekolah, sebanyak 11,53% tamat SD, dan sebanyak 6,13% tamat SLTP. Berdasarkan keadaan sumberdaya iklim dan tanah, secara umum menunjukkan bahwa kedua desa masih sesuai untuk pengembangan kegiatan pertanian baik pertanian tanaman semusim, pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan, dan perikanan air tawar. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pertanian tersebut, sudah dilakukan oleh masyarakat tani dikedua desa, secara turun-temurun dari orang tua mereka. Di Desa Sungai Ambangah sudah dilakukan sejak tahun 1956, sedangkan untuk Desa Pasak Piang sudah dilakukan sejak tahun Secara umum petani di kedua desa penelitian telah memperoleh informasi tentang teknologi sistem usahatani. Informasi tersebut, berupa punyuluhan penggunaan benih bermutu dan pemupukan berimbang, teknologi pengendalian organisme pengganggu (OPT) dan pengendalian hama terpadu (PHT), teknologi pembuatan kompos, teknis budidaya tanaman campuran/sela diantara tanaman perkebunan, pelatihan teknis peningkatan indeks pertanaman (IP), teknik okulasi, pemeliharaan dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan menejemen kelompok Tabel 63. Disiminasi informasi teknologi ini diberikan dalam bentuk pelatihan dan demplot percontohan (Balai Penyuluhan Pertanian Sungai Ambawang, 2010 dan Balai Penyuluh Pertanian Sungai Raya, 2010). Untuk Desa Pasak Piang, informasi teknologi tersebut telah disampaikan pada tahun Sedangkan untuk Desa Sungai Ambangah beberapa dari informasi teknologi tersebut belum diberikan, diantaranya adalah teknis pengendalian OPT dan PHT, teknis peningkatan IP, teknis pemeliharaan ternak dan pengendalian penyakit ternak serta pelatihan manajemen kelompok. Sumberdaya kelembagaan dan institusi pendukung lainnya yang tersedia sangat berperan dalam menunjang kegiatan pertanian dikedua desa tersebut,

140 meliputi institusi pendidikan pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kelembagaan kelompok tani dan kelas kelompok tani, kelembagaan pemerintahan desa, lembaga keuangan mikro, pasar dan kios sarana produksi pertanian (saprotan) Tabel 63. Institusi informal seperti kelompok arisan ibu-ibu dan kelompok yasinan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kelompok ini setiap bulan mengadakan pertemuan. Untuk kegiatan arisan dilakukan bergilir disetiap rumah para peserta arisan. Setelah kegiatan arisan, biasanya mereka para ibu-ibu melakukan pengajian bersama yang dipimpin oleh seorang pandai mengaji atau ustad. Untuk kelompok yasinan bapak-bapak dilakukan sebulan sekali yaitu malam jumat dan diikuti dengan pembelajaran mengenai tata cara memandikan mayat dan kadang-kadang diisi dengan ceramah agama dalam rangka untuk meningkatkan keimanan mereka, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Sapingi salah satu pengurus masjid di Desa Sungai Ambangah. Untuk Desa Pasak Piang kelompok informal ini tidak ada. Hal itu dikarenakan masyarakat tani di desa Pasak Piang didominasi oleh Suku Dayak yang beragama non muslim. Beberapa responden petani muslim yang ditemui mengungkapkan bahwa kelompok yasinan pernah dibentuk dan pernah melakukan kegiatan pengajian, dan ceramah agama, tetapi kegiatan itu berlangsung tidak terlalu lama dan kemudian berhenti atau dengan kata lain kurang aktif. Hal lain yang menarik diperhatikan pada saat dilakukan wawancara terhadap kepala desa (Bapak Markus) dan bapak tetua adat, bahwa kelompok informal yang dinamakan Tuha Tahun (terdiri atas tiga orang) atau tetua adat yang dipimpin oleh Bapak Julim Ita khusus di Desa Pasak Piang. Tuha Tahun ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap sistem budidaya khususnya padi. Peran dari Tuha Tahun, mulai dari rencana tanam sampai waktu akan dilakukan pemanenan semuanya atas arahan dan petunjuk dari Tuha Tahun. Hal itu menurut petani disana, agar supaya apa yang mereka lakukan dalam budidaya padi tersebut dapat memberikan berkah dan diperoleh hasil panen yang baik. 7.2 Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak Berdasarkan hasil investigasi di lapangan diperoleh data bahwa panen padi pada tahun 2009 mencapai luas 574 hektar. Dari luas panen ini dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan yaitu mencapai ton

141 berat segar panen. Jerami padi yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai pakan sapi dewasa berkisar ekor sepanjang tahun. Dan apabila panen padi dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun artinya jumlah ternak sapi yang dapat mengkonsumsi pakan jerami tersebut menjadi ekor per tahun. Potensi jerami kurang lebih adalah 1,4 kali dari hasil panen gabah kering giling (GKG). Jadi kalau hasil panen padi dalam bentuk GKG sekitar 6 kuintal, maka jerami kering yang akan diperoleh tinggal dikali dengan 1,4. Dari dasar perhitungan ini, dengan menggunakan data dari Deptan, dimana produktivitas padi secara nasional adalah 48,95 ku/ha dengan produksi padi sebesar 57,157 juta ton, maka dapat diperkirakan jumlah jerami yang dihasilkan secara yaitu mencapai 80,02 juta ton. Sebagai perbandingan, berikut ini disajikan hasil penelitian Karyaningsih et al. (2008), dari luasan sawah yang diusahakan tanaman padi ha dengan produksi gabah kering panen (GKP) ton. Hasil samping panen padi berupa limbah jerami padi yang konversinya per hektar mencapai 5 ton. Penyusutan jerami segar menjadi kompos mencapai 50% (Balittanah, 2008). Dengan berpatokan pada angka tersebut maka wilayah Kecamatan Polokarto menghasilkan limbah jerami padi sebanyak ton dan hanya 65% yang dijadikan pupuk kompos sehingga diperoleh sumber pupuk sebanyak ton. Potensi jerami setiap desa di Kecamatan Polokarto disajikan pada Tabel 64. Desa Tabel 64 Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos di wilayah Kecamatan Polokarta tahun 2007 Bakalan Mranggem Kemasan Kenokorejo Godog Luas panen (ha) Produksi gabah (GPP) ton Produksi jerami (ton) Jerami yang dikomposkan (ton) 2 083, , , , ,00 Produksi kompos (ton) 1 041,63 828, ,63 854, ,25 Jumlah , ,26 Sumber: Karyaningsih et al. (2008) Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8 10 kg setiap hari. Dan bentuk kotoran cair (urine) mencapai 8 10 liter per hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi pupuk organik diharapkan akan menghasilkan 4 5 kg per hari. Dengan demikian, pada luasan sawah satu hektar akan menghasilkan sekitar 7,3 11,0 ton pupuk organik. Dipihak lain, penggunaan pupuk organik

142 pada lahan persawahan adalah 2 ton per hektar, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 2,7 hektar dengan dua kali tanam. Jerami yang dihasilkan dari sisa-sisa panen, dapat pula diolah terlebih dahulu menjadi kompos dan selanjutnya dapat dikembalikan lagi ke tanah. Kompos jerami ini secara bertahap dapat menambah kandungan bahan organik tanah, dan berperan dalam mengembalikan kesuburan tanah. Kompos selain dibuat dari jerami dapat juga dibuat dari seresah atau sisa-sisa tanaman lain. Rumput-rumputan, sisa-sisa daun dan batang, atau daun-daun tanaman lain. Pada prinsipnya semua limbah organik dapat dijadikan kompos. Jika jerami dibuat kompos, maka rendemen kompos yang dihasilkan mencapai 60%, dengan demikian dalam satu hektar sawah dapat dihasilkan 4,11 ton kompos. Kompos jerami memiliki potensi hara yang sangat tinggi. Berikut ini hasil analisis kompos jerami yang dibuat dengan waktu pengomposan 3 minggu yaitu Rasio C/N 18,88, C 35,11%, N 1,86%, P 2 O 5 0,21%, K 2 O 5,35%, dan air 55%. Dari data tersebut, kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3kg urea, 5,8 kg SP 36, dan 89,17kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton kompos kering. Apabila dikonversi secara nasional, kompos jerami setara dengan 1,09 juta ton urea, 0,15 juta ton SP 36, dan 2,35 juta ton KCl atau 3,6 juta ton NPK. Jumlah ini kurang lebih 45% dari komsumsi pupuk nasional di tahun 2007 untuk pertanian atau setara dengan Rp5,42 trilyun. Di lain pihak, penggunaan pupuk anorganik di perkebunan rakyat saat ini diyakini belum optimal, karena harga yang relatif tidak terjangkau dan ketersediaannya sering terhambat. Mencermati kondisi ini, sehingga arah kebijakan penggunaan pupuk ke depan lebih mengutamakan penggunaan pupuk organik. Optimalisasi penggunaan pupuk organik melalui pemanfaatan bahan baku yang dapat diperoleh secara in situ di kebun yang dapat berupa limbah jarami padi, jagung, janjang kosong tandan segar/limbah cair kelapa sawit, kulit kakao, kulit kopi, jambu mete, serta blotong tebu, dan sebagainya. Dapat pula dilakukan dengan cara limbah organik dari kebun (pangkasan tanaman utama atau naungan, gulma, pelepah dan janjang kelapa sawit, kulit kopi, kakao, sisa tanaman atau hijauan tanaman lainnya), terlebih dahulu dibuat kompos. Selain produk bahan sampingan di atas, dari kegiatan penanaman dan pengolahan gabah padi menjadi beras dapat pula diperoleh beberapa produk turunan lainnya seperti sekam dan dedak.

143 7.2 1 Pengolahan padi Pengolahan padi menjadi beras, secara prinsip, melibatkan beberapa tahapan yakni (a) pemisahan kotoran, (b) pengeringan dan penyimpanan padi, (c) pengupasan kulit (husking), (d) penggilingan (milling), dan (e) pengemasan dan distribusi. Pemisahan kotoran dari padi hasil panen di sawah dilakukan karena masih banyak terbawa kotoran lain seperti jerami, daun, batang bahkan benda lain yang tidak diinginkan seperti batu dan pasir. Kotoran ini akan mengganggu proses pengeringan terutama penyerapan kalori dan penghambatan proses pengolahan pada tahapan berikutnya. Kadar air padi hasil panen sangat bervariasi antara 18 25%, bahkan dalam beberapa kasus dapat lebih besar. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sampai sekitar 14% sehingga memudahkan dan mengurangi kerusakan dalam penyosohan dan proses selanjutnya. Kadar air yang terlalu tinggi menyulitkan pengupasan kulit dan menyebabkan kerusakan (pecah atau hancur) karena tekstur yang lunak. Penyosohan adalah pengupasan kulit padi yang merupakan tahapan paling penting dari keseluruhan proses. Pengupasan kulit adalah proses menghilangkan gabah padi menjadi beras yang secara prinsip sudah dapat dimasak untuk dimakan. Proses selanjutnya hanyalah penyempurnaan dari penyosohan dan untuk meningkatkan kebersihan. Gabungan dari sosoh serta kebersihan dan keutuhan biji adalah ukuran mutu beras putih. Tahapan penggilingan adalah proses penyempurnaan penyosohan dan pelepasan lapisan penutup butir beras. Teknologi penggilingan sudah sangat berkembang untuk menghasilkan beras putih yang baik. Proses ini dibagi lagi menjadi penyosohan, pemutihan (whitening) dan pengkilapan (shining). Walaupun demikian, inti proses ini adalah untuk memisahkan lapisan penutup semaksimal mungkin. Selain proses utama tersebut ada beberapa tambahan yakni proses pemisahan yang dimaksudkan untuk mendapatkan beras putih utuh dan murni. Oleh karena itu, proses pemisahan terdiri dari pemisahan kotoran dari benda atau bahan lain (seperti batu, daun dan benda atau bahan lainnya) dan pemisahan beras yang kurang baik (muda, busuk, berjamur, berwarna dan rusak/pecah). Perkembangan teknologi dalam rangka untuk menghasilkan kualitas beras yang baik telah berkembang cukup pesat, diantaranya teknologi

144 pemisah batu, pemisah beras berdasarkan warna (color sorter), pemisah biji pecah (rotary shifter) dan pemisah biji menurut panjang (lenght grader). Tahap akhir dari proses pengolahan adalah pengemasan yang ditujukkan untuk memudahkan dalam pengangkutan dan distribusi. Perkembangan terkini di bidang pengemasan menambah atribut produk yakni estetika, dayatarik, informasi produk dan perbaikan daya simpan. Dewasa ini, teknologi pengemasan beras sudah sangat canggih, teknologi tersebut, meliputi keragaman bentuk, rupa, ukuran dan cara atau metoda Sekam Dalam proses pengolahan gabah padi menjadi beras, juga dihasilkan produk sampingan berupa sekam. Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi (Kartika, 2009). Volume sekam yang dihasilkan dari proses penggilingan tersebut mencapai 17% dari Gabah kering giling (GKG). Untuk penggilingan padi yang berkapasitas 5 ton/jam beras putih atau sekitar 7 ton GKG/jam akan dihasilkan sekam sekitar 0,85 ton/jam atau sekitar 8,5 ton/hari. Berat ini setara dengan 25 m 3 /hari atau m 3 /tahun. Volume yang besar ini akan menjadi masalah serius dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan baik. Sekam tersusun dari palea dan lemma (bagian yang lebih lebar) yang terikat dengan struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam konsentrasi tinggi. Kandungan silica diperkirakan berada dalam lapisan luar (De Datta, 1981) sehingga permukaannya menjadi keras dan sulit menyerap air, dan berfungsi dalam mempertahankan kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya (Houston, 1972). Silica sekam dalam bentuk tridymite dan crytabolalite mempunyai potensi juga sebagai bahan pemucat minyak nabati (Proctor dan Palaniappan, 1989). Komposisi sekam dapat dilihat pada Tabel 65.

145 Tabel 65 Komposisi sekam Kandungan Persentase C-organik 45,06 N-total 0,31 P-total 0,07 K-total 0,28 Mg-total 0,16 SiO 3 33,01 Sumber: Hidayati (1993) Dari komposisi kimia sekam Tabel 65, dapat diketahui potensi penggunaannya terbatas sebagai sumber C-organik tanah dan media tumbuh (dari kandungan karbon organik yang tinggi) serta bahan pemurnian dan bahan bangunan (dari kandungan silica yang tinggi). Karbon yang tinggi juga mengindikasikan banyaknya kandungan kalori sekam. Proses yang diperlukan untuk pemanfaatan tersebut terdiri atas: 1. Pelunakan tekstur dan pengembangan permukaan Pelunakan ditujukan untuk memperbaiki dayaserap (absorption), pengurangan volume, dan lebih apseptis karena diperoses dengan panas dan tekanan tinggi. Sekam yang telah lunak dan mengembang dapat digunakan untuk media gundukan tanaman padi, palawija, dan persemaian (padi, cabai), bedengan tomat, bahan kompos, dan lapisan alas tidur ternak. Alat untuk pelunakkan sekam saat ini, sudah dipasarkan secara komersial. 2. Pengarangan (carbonizing) Pengarangan adalah proses pembakaran dengan oksigen terbatas. Arang padi mempunyai beberapa kegunaan (Bantacut, 2006), antara lain: a. mempertahankan kelembaban: apabila arang ditambahkan ke dalam tanah akan dapat mengikat air dan melepaskannya jika tanah menjadi kering, b. mendorong pertumbuhan (proliferation) mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan tanaman, c. penggembur tanah: menghindari pengerasan tanah karena sifatnya yang ringan, d. pengatur ph: arang dapat mengatur ph dalam situasi tertentu, e. menyuburkan tanah: kandungan mineral arang adalah hara tanaman, f. membantu melelehkan salju karena arang yang disebarkan di atas salju akan menyerap panas yang dapat mencairkan salju, dan g. menyerap kotoran sebagai bahan pemurnian dalam pengolahan air, minyak, sirup dan sari buah.

146 Dalam proses pengarangan juga dihasilkan cairan hasil kondensasi asap yang disebut wood vinegar yang mengandung konsentrasi formaldehid tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan lainnya seperti ikan, tahu, dan bakso. 3. Pembakaran Kandungan karbon yang tinggi juga mengindikasikan bahwa sekam mempunyai kalori yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi panas. Banyak penggilingan padi menengah dan besar menggunakannya sebagai bahan bakar pengering padi. Penggunaan yang sama juga dapat dijumpai pada pembakaran batu bata. Abu sisa pembakaran mengandung SiO 2 sekitar 85% sehingga baik digunakan untuk pembuatan bahan bangunan (seperti papan semen) dan bahan pemurnian minyak (kelapa). Abu sekam memperbaiki daya serap air, kerapatan, perubahan panjang dan konduktifitas panas papan semen pulp. Penggunaan abu dalam pemucatan minyak kelapa dapat memperbaiki kejernihan Dedak Persentase dedak mencapai 10% dari GKG. Penggilingan dengan kapasitas beras putih sebesar 5 ton/jam akan menghasilkan dedak sebanyak 0.7 ton/jam atau sekitar 7 ton/hari. Jumlah ini cukup potensial untuk dikelola. Volume dedak sekitar 600 liter/ton, maka akan dihasilkan sekitar 12 m 3 dedak setiap harinya. Dedak adalah bagian padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung pati sebesar 13,8%, serat 23,7-28,6%, pentosan 7,0-8,3%, hemiselulosa 9,5-16,9%, selulosa 5,9-9,0%, asam poliuronat 1,2%, gula bebas 5,5-6,9% dan lignin 2,8-3,0% (Juliano dan Bechtel, 1985). Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan. Berbasis pada kandungan bahannya, maka dedak dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Minyaknya dapat diambil melalui ekstraksi menggunakan pelarut, protein dan vitaminnya berguna sebagai nutrisi makanan. Namun demikian, upaya pemanfaatan tersebut secara ekonomi belum menguntungkan. Ekstraksi minyak melibatkan investasi yang besar dan hanya layak pada skala yang besar pula. Ini berarti pengolahan terintegrasi pada penggilingan tidak dapat dilakukan.

147 Sejauh ini, dedak bukan lagi sebagai limbah tetapi telah menjadi hasil samping yang mempunyai pasar tersendiri. Pengguna utama dedak adalah industri pakan ternak. Pemanfaatan lain yang telah berkembang dan peralatannya sudah dijual secara komersial adalah mengolahnya menjadi pellet. Kandungan hara yang tinggi menjadikan pellet dedak dapat digunakan untuk pakan ternak terutama unggas dan pupuk organik. Bahkan dalam kondisi aplikasi awal, pellet dedak dapat menghambat pertumbuhan gulma apabila disebarkan pada permukaan tanah. Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka ke depan sistem pengolahan padi perlu dikembangkan menuju ke sistem pengolahan yang terintegrasi, mengingat peran dan fungsi dari industri dan hasil sampingan atau turunan dari pengolahan padi tersebut. Pola berpikir seperti ini dapat menyebabkan industri penggilingan padi, dapat memberikan nilai tambah dan tidak seperti yang banyak terjadi saat ini, karena dihadapkan dengan berbagai persoalan lingkungan. Dalam sistem pengolahan yang terintegrasi, memandang semua bagian bahan baku adalah bahan yang harus dimafaatkan untuk menghasilkan produk yang bernilai (ekonomi dan lingkungan). Secara keseluruhan, model terpadu mempunyai beberapa keuntungan antara lain tidak mencemari lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku dan memperoleh manfaat ekonomi total (baik langsung maupun tidak). 7.3 Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak Berdasarkan Sumberdaya Lokal Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengelolaan rawa lebak yang selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu penanaman sekali dalam setahun untuk tanaman padi yaitu dilakukan penanaman pada bulan Agustus hingga September dengan waktu panen dilakukan pada bulan Februari atau selama tujuh bulan. Jenis padi yang digunakan umumnya adalah jenis lokal diantaranya palawang, pantat ulat dan pulut lihat Tabel 63. Kalaupun jenis unggul seperti ciherang yang digunakan oleh petani disana, akan diusahakan oleh mereka apabila benih tersebut berasal dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi sekitar 60 persen dari responden tidak menyukai dalam hal penggunaan jenis unggul yang diberikan oleh pemerintah, dengan alasan bahwa bantuan yang diberikan umumnya tidak bersamaan dengan waktu tanam yang berlaku disana. Biasanya terlambat dari waktu tanam. Selain itu, pengusahaan padi unggul bantuan pemerintah harus dipupuk dalam

148 hal ini pupuk organik, karena kalau tidak dilakukan pemupukan biasanya padi tersebut tidak berisi atau hampa. Dipihak lain pupuk menurut mereka tidak tersedia. Untuk padi jenis lokal, tanpa dilakukan pemupukan tetap memberikan hasil. Untuk tanaman karet saat penelitian ini dilaksanakan telah berumur kurang lebih 30 tahun. Dan jenis karet yang diusahakan adalah karet jenis lokal. Hasil observasi di lapangan, kondisi kebun tidak terawat, banyak terserang penyakit seperti Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus), busuk bidang sadap (Phytophthora palmivora dan Ceratocystis fimbriata), mati pucuk (Colletotrichum gloeosporoides), gulma tumbuh sangat banyak, jarak tanaman yang tidak teratur. Sedangkan keadaan kebun kelapa sawit, pada saat penelitian baru berumur sekitar 2,5 tahun. Penanaman dengan jarak tanam yang teratur yaitu 9x9x9m yang juga ditumbuhi oleh gulma, akan tetapi gulma yang ada tidak separah di kebun karet. Berkenaan dengan pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk mengembangkan usahatani berkelanjutan di lokasi penelitian, sesuai hasil analisis sebelumnya dan dihubungkan dengan daya dukung dan ketersediaan sumberdaya lokal serta sasaran yang diinginkan, maka penerapan sistem pertanian terpadu adalah alternatif sistem pertanian yang perlu dilakukan. Model pengelolaan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) dari hasil penelitian ini merupakan suatu bentuk rekomendasi kebijakan. Dari tiga skenario yang disusun sebagai alternatif pilihan dalam penerapan pengelolaan lahan rawa lebak berkelanjutan, dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya lokal di lokasi penelitian, maka skenario yang direkomendasikan dari penelitian ini adalah skenario III baik di Desa Sungai Ambangah maupun Desa Pasak Piang. Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan lahan rawa lebak adalah sistem pertanian terpadu. Sebelum dijelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan diuraikan tentang sistem pertanian terpadu. Sistem pertanian terpadu artinya pertanian yang mengintegrasikan antara tanaman dan ternak di dalam suatu lahan usahatani. Sebaliknya sistem pertanian campuran adalah pertanian yang mengusahakan beberapa jenis tanaman pada suatu hamparan lahan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek sistem pertanian ini dapat menekan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan (Suryana et al. 1995), sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani. Tambahan pendapatan

149 petani, berasal dari peningkatan berat badan sapi, nilai pupuk organik dan peningkatan produksi gabah kering giling. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dwiyanto dan Haryanto (2001) dalam Soekardono (2009) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani tersebut hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Dimana sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Menurut Sulaimen (2009) pertanian terpadu atau integrated farming adalah usaha pertanian dengan kelola berkesinambungan, sehingga tidak dikenal limbah sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping dari salah satu sub bidang usaha menjadi bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih terkait. Ilustrasi yang sederhana adalah pada usaha budidaya jagung, produk bukan hanya jagung pipilan kering sedangkan biaya pembuangan batangnya di lahan dan dibakar menjadi beban/cost, tetapi dalam pertanian terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage (pakan ternak ruminansia) atau disimpan sebagai pakan kering, sehingga untuk jumlah yang memenuhi kriteria ekonomis justru akan membuka cluster ekonomi baru. Konsep pertanian terpadu diutamakan pada pendayagunaan sumberdaya yang tersedia ditingkat petani dengan prinsip yang menserasikan tiga faktor penting manusia, lahan dan ternak yang berinteraksi secara sembiosa mutualistis guna membuat sistem usahatani menjadi lebih produktif (Tim P3PK-UGM, 1988) antara Lahan, tanaman dan ternak. Ternak dapat diberi makanan tidak hanya rumput, melainkan juga dari limbah pertanian. Selain itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatan limbah ternak berupa kotoran ternak. Kotoran ternak atau biasa disebut pupuk kandang dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk atau dijadikan kompos. Selanjutnya kompos ini dapat dijadikan sebagai pupuk. Pupuk kandang dan kompos, selain dapat digunakan sendiri oleh petani, juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Menurut Devendra (1993) dalam Dwiyanto (2001), ada delapan keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system), yaitu (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya risiko, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi

150 penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output, dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Rangnekar et al. (1995) menyatakan pertanian terpadu mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi risiko dan daur ulang biomasa. Ternak diketahui juga dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem dan Zemmelink (1995) menyebutkan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu, ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar dari residu tanaman. Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering menjadi pakan utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda. Selain memproduksi daging dan susu, ternak dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani, seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal, pada kawasan persawahan dapat dikembangkan usaha pemeliharaan sapi. Hal ini berkaitan dengan adanya jerami padi yang berlimpah setiap kali musim panen. Untuk memanfatkan potensi pakan berserat tersebut, perlu dikembangkan rencana unit usaha yang meliputi unit proses peningkatan kualitas nutrisi jerami padi, unit pemanfaatan jerami padi yang telah diproses sebagai pakan sapi, unit pembuatan pupuk organik serta unit pemanfaatan pupuk organik untuk menjaga kelestraian kesuburan lahan persawahan. Dengan demikian pada satu kawasan persawahan dapat menghasilkan padi sebagai produk utama, daging sebagai hasil usaha peternakan. Penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan memberikan peluang untuk menambah kandungan bahan organik tanah serta mikrobiologi tanah. Dengan penggunaan pupuk organik juga diharapkan akan mengurangi biaya pupuk anorganik. Dalam kaitannya dengan penyediaan pupuk organik tersebut, maka pemeliharaan sapi pada lahan persawahan dan kebun (karet, kelapa sawit)

151 dapat memberikan peluang besar untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada pada kawasan tersebut, misalnya jerami padi yang dapat digunakan sebagai pakan sapi yang pada gilirannya sapi akan menghasilkan kotoran yang dapat diproses menjadi pupuk organik. Dengan demikian pada lahan persawahan tersebut, selain menghasilkan pangan dalam bentuk beras juga akan mampu menghasilkan daging. Lahan pertanian memerlukan pupuk organik untuk mempertahankan kesehatan tanah serta kecukupan unsur hara tanaman. Integrasi sapi pada lahan persawahan ini pada prinsipnya untuk memanfatkan potensi sumberdaya lokal setempat dalam rangka mempertahankan kesehatan lahan melalui siklus unsur hara secara sempurna dari sawah, jerami, sapi pupuk organik dan kembali ke sawah lagi (BPTP, 2003). Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangat menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk pakan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman harus saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usahatani. Sistem pengolahan ternak sapi/kerbau dalam suatu kawasan pertanian hendaknya dapat disesuaikan dengan jenis tanaman pangan yang diusahakan. Ternak yang dipelihara dirancang, sehingga tidak menggangu tanaman yang diusahakan. Dalam hal ini tanaman pangan sebagai komponen utama dan ternak menjadi komponen kedua. Ternak diberikan makanan hasil limbah (jerami) dari sawah, atau ternak dapat digembalakan di pinggir atau pada lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil, sehingga ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan pakan yang tumbuh di sekitar lahan/tempat tersebut. Sistem ini, ternak dapat mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urine dan kotoran padatnya. Praktek pertanian terpadu pada dasarnya adalah suatu praktek pertanian yang telah populer dikalangan petani, bahkan telah banyak dilakukan. Dalam prakteknya petani dapat memanfaatkan limbah tanaman (misal jerami) sebagai

152 pakan ternak sehingga tidak perlu mencari pakan lagi, petani juga dapat menggunakan tenaga sapi/kerbau dalam pengolahan tanah, dan ternak sapi/kerbau dapat digunakan sebagai investasi (tabungan) yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan yang mendesak. Praktek pertanian terpadu merupakan praktek pertanian yang perlu digalakan, mengingat sistem ini di samping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga rencana kecukupan daging dalam negeri dan sekaligus dapat mengurangi bahkan terlepas dari ketergantungan impor daging dan ternak serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha peternakan. Oleh karena itu, upaya ini dapat digalakan pada tingkat petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi, serta produksi susu. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa berkelanjutan. Integrasi ternak dan tanaman, tidak hanya terbatas pada budidaya padi (pangan) atau hortikultura dengan sapi dan kerbau saja, namun dapat dikembangkan lebih luas melalui integrasi dalam sistem lahan kering dan perkebunan. Semuanya tergantung dari usaha pertanian yang dikembangkan setempat, sehingga limbah pertanian dapat bervariasi seperti misalnya limbah jerami padi di lahan sawah, limbah jerami jagung di lahan kering, dan limbah dari berbagai tanaman lainnya. Demikian juga dalam pemilihan jenis ternak, tidak hanya terbatas pada pengusahaan hewan besar seperti yang telah disebutkan di atas, namun juga dapat diintegrasikan antara ternak unggas (ayam, itik) atau ternak lain. Kotoran ternak unggas cukup potensial dimanfaatkan sebagai pupuk, karena kandungan hara dalam kotoran ayam relatif cukup tinggi yang dapat mencapai 2,6 % N, 3,1 % P dan 2,4 % K. Praktek ini juga telah banyak dilakukan di daerah perkebunan. Dengan praktek ini pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal. Di dalam implementasinya, tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua. Praktek ini dapat diperoleh keuntungan antara lain :(1) dari tanaman perkebunan dapat menjamin tersedianya tanaman peneduh bagi ternak, sehingga dapat

153 mengurangi stress karena cuaca yang kurang menguntungkan bagi ternak, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembalinya air seni dan kotoran berupa padatan ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, serta membatasi pertumbuhan gulma, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya. Konsep dan pemikiran sistem integrasi ternak-tanaman dalam menunjang kebijakan pengembangan agribisnis peternakan menjadi sangat penting selain upaya meningkatkan produktivitas pertanian secara terpadu. Peranan peternakan dalam ekosistem mempunyai posisi yang cukup penting dengan adanya keuntungan-keuntungan sampingan seperti produksi pupuk kandang yang mutlak dibutuhkan dalam melestarikan tanah sebagai basis ekologi, disamping menunjang sektor kehidupan sebagai produsen hewani dan tenaga kerja. Dengan demikian kesuburan tanah dapat ditingkatkan yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi usahatani per satuan luas tanah. Disisi lain, hasil sampingan dari tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Interaksi ternak dengan tanah menurut Idham et al. (2005) mempunyai tiga aspek yaitu: 1) adaptasi ternak secara biologi, 2) kemampuan lahan menghasilkan hijauan pakan ternak dan 3) pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia. Gambar 30 menunjukkan integrasi antara tanaman baik tanaman pangan dan tanaman perkebunan dengan ternak sapi, kambing, ayam dan itik. Dari tanaman pangan dan tanaman perkebunan dapat diperoleh hasil segar tanaman. Selain itu, juga diperoleh limbah yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak atau limbah tersebut diolah terlebih dahulu menjadi kompos. Ternak, selain dapat menghasilkan produk segar, juga menghasilkan limbah padat dan cair yang dapat digunakan dalam proses pembuatan kompos. Integrasi tanaman dan ternak ini pada akhirnya dapat memberikan pendapatan tambahan bagi petani (Rustam et al., 2009).

154 Gambar 30 Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009) Untuk mendapatkan gambaran tentang sejauh mana keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil usaha peternakan, maka berikut ini disajikan hasil analisis ekonomi usaha peternakan, khususnya ternak sapi, kambing, itik dan ayam. Perhitungan di bawah ini hanya difokuskan kepada pendapatan dari hasil penjualan daging dan telur, tanpa diikuti dengan perhitungan pendapatan dari limbah (urine dan feces) yang dihasilkan oleh masing-masing ternak tersebut. 1. Ternak Sapi Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang sudah dikenal secara luas dikalangan masyarakat perdesaan, bahkan telah banyak diusahakan baik untuk skala peternakan rakyat maupun skala peternakan besar. Menurut Soehadji (1992), komposisi peternakan rakyat untuk masing-masing jenis ternak pengusahaan sapi potong dan sapi perah mencapai 99,6%, dan 91,1%. Namun, kontribusi usaha ternak sapi terhadap pendapatan usahatani keluarga relatif masih rendah. Untuk itu, pengembangan usaha ternak sapi menjadi suatu sistem agribisnis hendaknya lebih mengutamakan kesejahteraan dan tidak mematikan usaha peternakan rakyat. Melihat kondisi sosial ekonomi peternak yang ada di perdesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani, maka

155 pengembangan agribisnis peternakan rakyat tidak terlepas dari usahatani lainnya, sehingga peningkatan skala usaha ternak harus mengkombinasikan berbagai faktor produksi yang dimiliki agar hasil yang diperoleh lebih optimal (Noferdiman dan Novra, 2002). Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan mini ranc sebesar 1,10. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp ,- sampai Rp ,- per ekor per per bulan dengan rentang waktu 4 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp3,5 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp5 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan sapi bibit, rata-rata lama waktu pemeliharaan sampai menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1 (satu) tahun dengan harga jual berkisar antara Rp1,6 2 juta. Jadi rata-rata penghasilan setiap bulannya berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,-. Penghasilan sebesar ini diperoleh tanpa membeli pakan (zero cost), dimana pakan disediakan sendiri oleh peternak, baik untuk penggemukan maupun pembibitan. 2. Ternak Kambing Kambing merupakan salah satu komoditas ternak yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ternak ini banyak dipelihara di perdesaan, karena telah dikenal kemampuannya beradaptasi pada lingkungan yang sederhana, miskin pakan, dan dapat lebih efesien dalam mengubah pakan berkualitas rendah menjadi air susu dan daging. Selain itu, pemeliharaannya relatif muda, kambing juga sebagai penghasil kompos dan merupakan tabungan keluarga sewaktuwaktu dapat dijual. Pemeliharaan ternak ini hanya memerlukan luasan lahan yang relatif sempit, mudah dipasarkan, biaya pemeliharaannya rendah, dapat memanfaatkan hasil sampingan pertanian, dan mempunyai adaptasi yang tinggi dengan risiko yang rendah (Knipscheer et al., 1983). Ternak kambing cukup banyak dipelihara petani di lokasi penelitian, disamping usahatani tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Potensi pengembangan usahatani tanaman ternak di lokasi penelitian cukup besar mengingat produktivitas tanaman padi yang dihasilkan belum maksimal.

156 Hasil analisis usaha ternak kambing oleh Badan Pengkajian Pertanian Lampung (2009), menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) ekor yang terdiri atas 1 (satu) jantan dan 8 (delapan) ekor betina dapat diperoleh pendapatan sebesar Rp per tahun. Uraian selengkapnya disajikan pada Tabel 66. Tabel 66 Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP) Perlakuan Uraian Kontrol + BSP Penerimaan (Rp/th) Total biaya (Rp/th) Pendapatan (Rp/th) Ket : Skala usaha 9 ekor (1 pejantan + 8 induk) Pakan tradisional petani (hijauan/limbah pertanian) Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung (2009) 3. Ternak Itik Meskipun tidak sepopuler ternak ayam, itik mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur dan daging. Jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lain, ternak itik mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki daya tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, usaha ternak itik memiliki risiko yang relatif lebih kecil, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan (Budiraharjo, 2006). Hasil sarasehan pengembangan peternakan itik di Jawa Tengah, ternak itik merupakan salah satu aset nasional dan sekaligus komoditas yang bisa diandalkan sebagai sumber gizi dan sumber pendapatan masyarakat. Menurut Suparwoko dan Waluyo (2009) ternak itik mempunyai potensi yang cukup potensial di lahan rawa lebak dengan menggunakan paket teknologi perlakukan pakan dan pemeliharaan secara semi intensif dan intensif. Hasil pengkajian yang dilakukan, angka kematian sangat rendah pada semi intensif dan tidak ada kematian pada pemeliharaan secara intensif. Dan sistem pemeliharaan secara semi intensif dapat meningkatkan produksi telur sebesar 40,36%. Hasil penelitian Anggraeni (2002) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak itik dalam sebulan berdasarkan sistem pemeliharaan tradisional dapat mencapai Rp ,51,- per bulan dengan jumlah itik yang diusahakan sebanyak 50 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 67.

157 Tabel 67 Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional (Rp/Bulan) Uraian Penerimaan Total biaya Pendapatan Sistem pemeliharaan tradisional 50 ekor 200 ekor >500 ekor , , , , Sumber: diolah dari Anggraeni (2002) 4. Ternak Ayam Ternak ayam, merupakan jenis unggas yang telah umum diusahakan oleh masyarakat perdesaan, khususnya ayam buras (lokal). Ayam buras merupakan singkatan dari Ayam Bukan Ras atau ayam kampung Suci (2009). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan membantu dalam penyediaan pangan bergizi hewani (Togatorop, 1994). Ayam buras juga diketahui mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan, sehingga dapat ditemukan diseluruh pelosok Indonesia (Zubaedah, 1993). Namun demikian usaha ini, masih menemui berbagai kendala, seperti tingginya tingkat kematian. Hal ini lebih disebabkan oleh latar belakang teknis pemeliharaan oleh masyarakat, yang memperlakukan sebagai usaha sampingan, dengan tujuan untuk diambil daging dan telurnya sebagai penambah gizi keluarga serta dijual pada saat membutuhkan uang. Dengan kata lain, usaha ini hanya merupakan pelengkap, tanpa didorong oleh manfaat lain dari hasil ternak ayam tersebut. Oleh karena itu, cara pandang seperti ini perlu dirubah ke arah sistem beternak yang lebih baik atau berorientasi agribisnis. Peternak ayam buras, biasanya membiarkan ayam-ayam mereka berkeliaran (diumbar) di kebun atau di pekarangan dalam mencari makan, karena peternak jarang memberi pakan pada ayam-ayamnya. Mengingat keberadaan dan pemilikan ayam buras yang sudah umum dikalangan masyarakat di perdesaan, maka usaha untuk meningkatkan peranan ayam buras dalam upaya meningkatkan produktivitas serta pengembangan sistem produksi yang lebih baik. Upaya ini dapat dimulai dengan jalan melakukan penyeleksian terhadap bibit-bibit ayam. Selanjutnya diikuti dengan perbaikan sistem pemeliharaan. Perbaikan sistem pemeliharaan meliputi sistem perkandangan, perbaikan mutu pakan dan pemeliharaam kesehatan ternak. Selain faktor teknis, juga perlu adanya pembinaan motivasi ke arah usaha yang bernilai ekonomis untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. Untuk

158 mencapai keberhasilan tersebut, maka perlu dilakukan suatu program penyuluhan dan pembinaan untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam melakukan usahatani ayam buras yang lebih ekonomis. Hasil penelitian Suci (2009) menunjukkan bahwa pendapatan usaha ternak ayam dalam setahun berdasarkan sistem pemeliharaan umbaran atau tradisional dapat mencapai Rp per tahun dengan jumlah ayam buras yang diusahakan sebanyak 10 ekor. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 68. Tabel 68 Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th) No Uraian Biaya (Rp) I. Investasi (Modal tetap) - Kandang Induk Anak + pemanas Bibit ayam betina 9 ekor Bibit ayam jantan 1 ekor Jumlah II. Biaya Produksi 1 tahun a. Pakan - Ayam dewasa Ayam muda 2-4 bulan Anak ayam 0 2 bulan b. Vaksin - Induk + jantan Ayam muda Anak ayam c. Penyusutan kandang 20% III. Jumlah Pendapatan - Produksi telur ±35 butir/periode Penjualan ayam 45 ekor x Rp 22000/ekor Jumlah Keuntungan dalam setahun (I II III) Sumber: Suci (2009) Dari uraian-uraian di atas, selanjutnya dilakukan simulasi integrasi pola pertanian terpadu. Hal ini dimasudkan untuk memperoleh pola integrasi antara tanaman dan ternak yang dapat dilakukan di kedua lokasi penelitian. Pola integrasi ini dilakukan, dengan mempertimbangan ketersediaan dan kesesuaian lahan, karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Dan hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dari hasil simulasi ini adalah seberapa besar kontribusi dari usaha tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani. Simulasi pola pertanian terpadu yang memungkinkan untuk diimplementasikan di kedua lokasi penelitian ini secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 19. Selanjutnya dari hasil simulasi pola integrasi Tabel Lampiran 19, dilakukan juga perhitungan besarnya kanaikan pendapatan yang diperoleh petani

159 dari masing-masing pola usahatani yang disusun. Hasil tersebut berupa asumsi penerimaan usahatani sebagaimana disajikan pada Tabel Lampiran 20. Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Sungai Ambangah Tabel Lampiran 20, menunjukkan bahwa untuk integrasi tanaman dengan ternak sapi bentuk p11 (padi ratun padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi padi, kelapa sawit), bentuk p15 (padi ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing model p34 (padi ratun padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti model p42 (padi padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi ratun padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti model p65 (padi padi, karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam model p80 (padi ratun padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p88 (padi padi, karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit). Estimasi pendapatan dari hasil simulasi model pertanian terpadu di Desa Pasak Piang Tabel Lampiran 21, menunjukkan bahwa untuk integrasi dengan ternak sapi model p11 (padi ratun padi) dan karet dan kelapa sawit diperoleh pendapatan tertingi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p19 (padi padi, kelapa sawit), model p7 (padi ratun, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak kambing bentuk p34 (padi ratun padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p42 (padi padi, karet, kelapa sawit), bentuk p38 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak itik bentuk p57 (padi ratun padi karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p65 (padi padi karet, kelapa sawit), bentuk p61 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit). Selanjutnya integrasi dengan ternak ayam bentuk p80 (padi ratun padi, karet, kelapa sawit) diperoleh pendapatan tertinggi sebesar Rp ,- per tahun diikuti bentuk p88 (padi padi karet, kelapa sawit), bentuk p84 (padi ratun jagung, karet, kelapa sawit).

160 Dari hasil simulasi penyusunan pola integrasi Tabel Lampiran 19, selanjutnya dipilah masing-masing berdasarkan jenis tanaman dan jenis ternak. Adapun integrasi tersebut terdiri atas integrasi padi, jagung, karet dan kelapa sawit. Uraian lebih selengkapnya untuk masing-masing pola tanam tersebut disajikan berikut ini. 1. Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal Berikut ini Tabel 69, memperlihatkan bentuk-bentuk pola usahatani antara tanaman padi dan jagung dengan masing-masing jenis ternak. No Simbol pola tanam Tabel 69 Pola usahatani (padi) dan jenis ternak Musim tanam dengan berbagai pola dan ternak MT 1 MT 2 Jenis ternak Padi Ratun Padi/Jagung Pola usahatani (padi) dan jenis ternak 1. p1 padi - - Sapi 2. p24 padi - - Kambing 3. p47 padi - - Itik 4. p70 padi - - Ayam Pola usahatani (padi - ratun) dan jenis ternak 1. p4 padi ratun - Sapi 2. p27 padi ratun - Kambing 3. p50 padi ratun - Itik 4. p73 padi ratun - Ayam Pola usahatani (padi - ratun - padi) dan jenis ternak 1. p8 padi ratun padi Sapi 2. p31 padi ratun padi Kambing 3. p54 padi ratun padi Itik 4. p77 padi ratun padi Ayam Pola usahatani (padi - ratun - jagung) dan jenis ternak 1. p12 padi ratun jagung Sapi 2. p35 padi ratun jagung Kambing 3. p58 padi ratun jagung Itik 4. p81 padi ratun jagung Ayam Pola usahatani (padi - padi) dan jenis ternak 1. p16 padi - padi Sapi 2. p39 padi - padi Kambing 3. p62 padi - padi Itik 4. p85 padi - padi Ayam Pola usahatani (padi - jagung) dan jenis ternak 1. p20 padi - jagung Sapi 2. p43 padi - jagung Kambing 3. p66 padi - jagung Itik 4. p89 padi - jagung Ayam Sumber: Hasil olahan

161 Selanjutnya Tabel 70 berikut ini memperlihatkan bentuk-bentuk pola integrasi dan musim tanam padi dan jagung terhadap masing-masing jenis ternak. Tabel 70 Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak Musim tanam, pola tanam dan jenis ternak Simbol pola MT1 MT2 Jenis ternak tanam Padi ratun Padi/Jagung p1 Padi - - Sapi p4 Padi Ratun - Sapi p8 Padi Ratun Padi Sapi p12 Padi Ratun Jagung Sapi p16 Padi - Padi Sapi p20 Padi - Jagung Sapi p2 Padi - - Kambing p27 Padi Ratun - Kambing p31 Padi Ratun Padi Kambing p35 Padi Ratun Jagung Kambing p39 Padi - Padi Kambing p43 Padi - Jagung Kambing p47 Padi - - Itik p50 Padi Ratun - Itik p54 Padi Ratun Padi Itik p58 Padi Ratun Jagung Itik p62 Padi - Padi Itik p66 Padi - Jagung Itik p70 Padi - - Ayam p73 Padi Ratun - Ayam p77 Padi Ratun Padi Ayam p81 Padi Ratun Jagung Ayam p85 Padi - Padi Ayam p89 Padi - Jagung Ayam Sumber: Hasil olahan 2. Pola usahatani Karet Berikut ini Tabel 71 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman karet dengan masing-masing ternak. No Tabel 71 Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak Simbol pola tanam Pola tanamam karet dan ternak Tanaman Jenis ternak 1. p2 Karet Sapi 2. p25 Karet Kambing 3. p48 Karet Itik 4. p71 karet Ayam Sumber: Hasil olahan

162 3. Pola usahatani Kelapa Sawit Berikut ini Tabel 72 memperlihatkan bentuk-bentuk integrasi tanaman perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit dengan masing-masing jenis ternak. Tabel 72 Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak No Simbol pola tanam Pola tanamam perkebunan dan ternak Tanaman Jenis ternak 1. p3 Kelapa sawit Sapi 2. p26 Kelapa sawit Kambing 3. p49 Kelapa sawit Itik 4. p72 Kelapa sawit Ayam Sumber: Hasil olahan 7.4 Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam Tanaman Setahun Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan (Wikipedia diakses tanggal, 23 Maret 2011). Atau dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi yang kompleks dengan melibatkan berbagai proses fisik, kimia dan biologi dalam memproses input untuk menghasilkan produk (output). Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan usahatani lahan rawa lebak (UTLRL) hasil penelitian ini yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terpadu. Penerapan konsep pertanian ini dimaksudkan agar supaya terjadi peningkatkan produksi dan pendapatan petani di kawasan rawa lebak. Konsep pengelolaan tanaman secara terpadu dan sekaligus sumberdaya terpadu, melalui pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terintegrasi dan dengan dukungan teknologi yang memiliki efek sinergis sehingga mampu meningkatkan produktivtas tanaman secara berkelanjutan (sustainable). Adapun ciri dari konsep pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, yaitu:

163 1. Keterpaduan/Integrasi Keterpaduan yang dimaksudkan adalah tidak hanya terbatas pada keterpaduan tanaman dan sumberdaya input, namun melibatkan keterpaduan yang luas, meliputi keterpaduan institusi (pemerintah ataupun swasta), sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keterpaduan analisis. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman secara terpadu, tidak hanya mempertimbangkan subsistem produksi tetapi sudah merencanakan sampai kepada subsistem pemasaran, termasuk kelembagaan pendukung sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan. 2. Sinergisme Efek sinergisme adalah efek yang saling mendukung/menguatkan antara komponen yang satu dengan komponen lainnya. Pemanfaatan sinergisme antara komponen-komponen produksi yang akan diterapkan bertujuan untuk mendapatkan output hasil yang lebih tinggi. Misalnya penggunaan teknologi pembuat kompos, mekanisme dan proses yang dibuat selain dapat digunakan untuk memupuk tanaman sehingga akan menaikkan ketersediaan unsur hara yang ada di lapisan olah tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi secara lebih efisien. Penggunaan varietas unggul, akan lebih bersinergi dengan kualitas benih yang prima (baik kualitas genetik, fisik ataupun kualitas fisiologi) dengan kriteria daya tumbuh benih yang lebih seragam (minimal 90%). Benih dengan kualitas yang lebih prima dapat tumbuh lebih cepat, perakarannya akan tumbuh lebih kuat dengan distribusi akar yang lebih baik sehingga dapat memanfaatkan air dan unsur hara secara optimal. 3. Partisipatif Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan dengan cara melibatkan semua pihak yang berkepentingan mulai dari petani, swasta, penyuluh serta instansi terkait mulai dari identifikasi, pelaksanaan sampai kepada evaluasi kegiatan. Dengan demikian komponen utama yang akan di integrasikan dalam sistem ini dapat berjalan secara kontinyu karena telah mengakomodasikan dan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan petani yang pada umumnya kekurangan modal untuk mengelola usahataninya secara optimal. Dalam penerapannya, partisipasi petani dan swasta sangat diperlukan untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan di lahannya. Misalnya introduksi pembuat alur, alat penyiang, mesin pengola hasil dan penyediaan

164 benih unggul berkualitas serta penyediaan pupuk perlu partisipasi swasta yang dapat bermitra dengan petani dalam menyediakan sarana produksi, penyediaan jasa alsintan (alat dan mesin pertanian) serta dapat menampung hasil usahatani dengan harga yang layak. Dengan cara tersebut akan tercipta suatu pola kemitraan dengan asas saling membutuhkan dan saling menguntungkan sehingga baik petani maupun swasta memiliki posisi tawar yang kuat. Oleh sebab itu, dalam implementasinya, penerapan sistem pertanian terpadu di awali dengan identifikasi permasalahan baik masalah teknis, maupun sosial-ekonomi dan budaya, mengetahui potensi sumberdaya, baik sumberdaya lahan atau buatan yang dapat menunjang keberhasilan melalui studi pemahaman perdesaan partisipatif (PRA/Participartory Rural Appraisal). Pemilihan komponen pendukung lainnya yang tepat dalam rangka penerapan pelaksanaan pertanian terpadu, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sinergisme yang tinggi. Dalam penerapannya, ada berbagai komponen yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan, yaitu (1) pola usahatani, benih atau bibit unggul, (2) pemeliharaan dan pemupukan, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) petani dan kelompok tani, (5) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (6) peran aktif lembaga penyuluh pertanian, (7) dukungan lembaga riset dan perguruan tinggi dan (8) pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil. Beberapa faktor atau komponen yang menyusun model ini dapat dipilah atas faktor input, proses dan output. Tujuan akhir yang ingin dicapai atau output dari model ini adalah berupa terjadinya peningkatan produksi dan pendapatan petani. Uraian lebih lanjut tentang faktor input, proses dan output adalah berikut: 1. Pola usahatani, benih atau bibit unggul. Penggunaan bahan tanaman yang bermutu bersertifikat merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung keberhasilan pengelolaan tanaman. Peran benih sangat penting pada komoditas pertanian, karena benih merupakan carrier technologi. Benih/bibit merupakan cetak biru dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan, dan terdesentralisasi. Oleh sebab itu, ketersediaan benih/bibit bermutu dari varietas/jenis unggul sangat strategis karena menjadi tumpuan utama dalam pencapaian keberhasilan usahatani. Industri benih/bibit sebagai salah satu subsistem dalam sistem agribisnis bersifat profit oriented, maka peran pemerintah untuk mengupayakan kondisi

165 yang menguntungkan (favorable), mulai dari pelestarian dan pengelolaan plasma nutfah sebagai materi genetik varietas/jenis unggul, pengembangan varietas unggul, produksi benih/bibit dan sertifikasi, hingga pengawasan mutu benih/bibit. Pada saat ini penggunaan benih unggul dan bermutu masih belum optimal, dan masih terbatas untuk usaha pertanian khususnya skala perusahaan dan kegiatan yang dibiayai dan terbatas pada beberapa komoditi antara lain kelapa sawit, kakao, kapas dan tembakau. Permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya adopsi varietas unggul tanaman yaitu ketidaktahuan adanya benih unggul dan bermutu, terbatasnya ketersediaan dan sekaligus distribusi benih unggul juga masih terbatas. Penggunaan benih unggul dan bermutu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Dalam penggunaan benih unggul dapat diperoleh keuntungan antara lain dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan per satuan waktu, disamping itu meningkatkan mutu hasil yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Pemilihan suatu jenis tanaman yang akan digunakan disuatu daerah biasanya didasarkan pada kesesuaian varietas dengan lingkungan pertumbuhan setempat (spesifik lokasi) serta sesuai dengan kebutuhan petani. Dalam banyak kasus, petani pada umumnya kekurangan modal untuk menerapkan usahataninya secara optimal. Karena itu, banyak petani menggunakan benih dari penanamannya sendiri tanpa seleksi lapangan 2-3 generasi untuk hibrida dan beberapa siklus untuk jenis bersari bebas, kecuali pada wilayah pengembangan yang telah terbentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha benih. Benih dengan kualitas yang prima (daya tumbuh dan vigornya cukup tinggi) diperlukan untuk memacu keseragaman dan kecepatan pertumbuhan. Benih dengan kualitas fisiologi yang tinggi (daya tumbuh minimal 90%) juga lebih toleran pada kondisi lingkungan tumbuh yang kurang optimal dibandingkan benih dengan kualitas fisiologi yang lebih rendah, serta lebih efektif memanfaatkan pupuk dan hara lain yang ada di dalam tanah. Pada lingkungan pertumbuhan yang sama dengan manipulasi hara yang sama, benih dengan vigor yang tinggi akan tumbuh lebih baik. Selain penggunaan benih atau bibit unggul, untuk meningkatkan hasil tanaman diperlukan berbagai input produksi diantaranya pupuk, pestisida,

166 dan herbisida. Selain itu, penerapan sistem budidaya tanaman berupa pengaturan pola tanam (cropping patern) dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, juga bertujuan untuk meningkatkan produksi per satuan luas lahan. Sebagaimana diketahui bahwa pola tanam, dapat meningkatkan hasil tanaman. Pola tanam adalah suatu sistem dalam menentukan jenis-jenis tanaman atau pergiliran tanaman, pada suatu daerah tertentu yang disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada pada periode musim hujan dan musim kemarau. Mengacu kepada kebijakan pembangunan pertanian, pengembangan pola tanam dan diversifikasi usahatani di lahan sawah memiliki justifikasi yang kuat. Bersamaan dengan kebijakan diversifikasi tersebut di atas, perlu terus dilakukan penelitian dan pengembangan pola tanam dengan mempertimbangkan aspek yang luas pada berbagai agroekosistem. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan pola tanam mengacu pada kerangka kerja dan metodologi yang diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan (Partodiharjo, 2003): (a) penelitian dan pengembangan pola tanaman harus berkaitan erat dengan mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi, dan peluang yang tersedia; (b) pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian pola tanam yang dikaji dalam rangka perolehan umpan balik dan memperlancar proses adopsi teknologi; (c) keikutsertaan peneliti dengan tim yang bersifat multi-disiplin dari bidang keahlian ilmu tanah, tanaman, perlindungan tanaman, dan sosial ekonomi; dan (d) penekanan sasaran penelitian dan pengembangan pola tanam untuk meningkatkan intensitas tanam dan dapat diterima petani. Diversifikasi usahatani dan pertanian bukanlah hal yang baru bagi sebagian besar petani skala kecil di Indonesia (Kasryno, 2000). Pada awalnya, petani melakukan diversifikasi usahatani adalah untuk memenuhi keragaman kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam konteks ekonomi, diversifikasi pertanian diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar dan meningkatkan pendapatan petani dengan tingkat stabilitas yang lebih tinggi. Dengan demikian diversifikasi pertanian (demand driven farming system diversication) memerlukan instrument kebijakan pembangunan pertanian yang berbeda dengan diversifikasi intensifikasi usahatani (supply driven) dengan sasaran utama memenuhi kebutuhan dan memperoleh surplus produksi (Rusastra, 2004). Dalam penerapan pola tanam, biasanya

167 tanaman palawija diusahakan dalam bentuk pergiliran tanaman di lahan sawah tadah hujan dan sawah berpengairan. Adapun pola tanam yang umumnya dianjurkan menurut Tanga (2007) berdasarkan ketersediaan irigasi sebagaimana Tabel 73. Tabel 73 Pola tanam pada suatu daerah irigasi Ketersediaan air Pola tanam Air cukup Padi padi palawija Air terbatas Padi padi palawija (sebagian areal) atau Padi padi (sebagian areal) - palawija Air sangat terbatas Padi palawija palawija Sumber: Tanga (2007) Pola tanam merupakan sub sistem dari sistem budidaya tanaman, merupakan jenis-jenis tata urutan tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah tertentu selama satu jangka waktu tertentu. Komponen-komponen penting dalam sistem pola tanam yaitu agroklimat, tanah, tanaman, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Sasaran utama penerapan pola tanam yang tepat adalah produksi yang secara agronomis dapat mencapai hasil yang maksimum. Tujuan dari penerapan pola tanam diantaranya adalah: (1) menghindarkan adanya ketidakseragaman tanaman, (2) melaksanakan waktu tanam sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan, (3) efesien dalam hal penggunaan air irigasi, (4) mempertahankan kontinuitas hasil tanaman, (5) meningkatkan hasil tanaman, dan (6) dapat mengurangi biaya pemeliharaan. Pada umumnya lahan rawa lebak dapat ditanami jenis palawija varietas unggul berumur pendek yang penanamannya dilakukan setelah padi, pemanfaatan lahan rawa lebak dapat dilakukan dengan baik pada umumnya disaat awal musim kemarau. Pola tanam yang biasa digunakan yaitu: pola tanam satu kali dalam setahun dan pola tanam dua kali dalam setahun. Bentuknya adalah sebagaimana Tabel 74.

168 Tabel 74 Pola tanam di rawa lebak Pola Tanam Satu kali tanam dalam setahun Jenis Tanaman Padi Jagung Dua kali tanam dalam setahun Padi padi Padi jagung Berbagai pola penanaman tumpangsari juga diketahui telah terbukti unggul dalam pola tanam di lahan kering (Indrawati et al., 1993). Di samping sebagai upaya diversifikasi komoditas, pola tumpangsari terbukti dapat memanfaatkan lahan dan energi dengan lebih baik (Karimuna dan Daud, 1992). Sebagai contoh hasil penelitian Pribadi (2007), pola tanam jagung dan sambiloto, dapat memanfaatkan komponen agroekosistem lahan apabila tersusun dalam suatu bentuk kombinasi yang memiliki sifat saling melengkapi (komplementari) dan berhubungan dalam interaksi yang bersifat sinergis (positif). Interaksi yang terjadi dalam bentuk pola tanam ini dapat mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, dan peningkatan diversifikasi usaha, peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Selain pola tanam, sistem penanaman ratun adalah suatu teknis budidaya yang cukup strategis diterapkan dalam sistem usahatani padi di rawa lebak. Pada sistem ratun, spesies padi yang memiliki "high regeneration ability", (keturunan padi liar Oryza longistaminafa) mampu menghasilkan tunas-tunas ratun yang produktif dari rumpun setelah dipanen dan sangat sesuai untuk dikembangkan dalam sistem ratun (De Data dan Bernasor, 1988). Pada daerah tertentu, panen kedua diharapkan dapat dicapai melalui pemanfaatan ratun. Ratun atau singgang (Jawa) atau turiang (Sunda) merupakan rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali menghasilkan anakan baru yang selanjutnya dapat dipanen (Flinn dan Mercado, 1988; Islam et al., 2008). Sistem ini dikembangkan pertama kali di areal persawahan dekat pantai di bagian selatan Amerika Serikat pada awal tahun Setelah varietas padi keturunan 0. longisfaminata diintroduksikan, kegiatan sistem ratunisasi semakin menyebar dan sangat

169 diminati oleh petani di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki musim tanam terbatas (Jones dan Snyder, 1987). BoIlich et al. (1988) juga melaporkan bahwa pada tahun 1985 di Lemont, Texas, lahan sawah seluas 160 ha diusahakan secara komersial, pertanaman padi utama menghasilkan sebesar 8,2 t/ha gabah kering giling (GKG) dan padi ratun mampu menghasilkan sebesar 3,6 t/ha GKG, sehingga total produksi dapat mencapai 11,6 t/ha GKG. Hasil studi memberikan gambaran bahwa, diestimasikan sekitar 30% areal sawah di daerah tropik di Asia atau sekitar 26,63 juta ha, mempunyai hasil rata-rata 57 t/ha pada tanaman utama, apabila dilaksanakan sistem ratun diperkirakan hasil ratun rata-rata 50% dari tanaman utama, sehingga sumbangan padi ratun akan mencapai 35,95 juta ton setiap tahun (Krishnamurthy, 1988). Selain sifat genetik, dalam menghasilkan tunas produktif juga sangat tergantung dari tinggi pemotongan batang padi, waktu panen, dan pengaturan air irigasi. Waktu panen yang paling baik ketika batang padi belum terlalu kering atau relatif masih hijau sehingga secara fisiologi akan berkemampuan untuk menghasilkan anakan ratun (Gris, 1965 dalam Krishnamurthy, 1988). Tunas ratun yang muncul dari pangkal batang rumpun mirip dengan bibit muda, sedangkan tunas ratun dari buku atas mirip bibit yang sudah tua. Hasil penelitian Jones (1993) menunjukkan bahwa tingginya rumpun ratun dari permukaan tanah dapat berpengaruh pada jumlah malai dan jumlah gabah per malai. Hasil tertinggi dipanen dari singkal padi setinggi 0,2 dan 0,3 m, dibandingkan pemotongan setinggi 0,1, 0,4 dan 0,5 m dari permukaan tanah. Sistem ratun dengan tinggi rumpun padi 0,15 dan 0,20 m menghasilkan padi lebih baik dari tinggi singka 0,5 m. Kemudian informasi terakhir menyebutkan bahwa di Thailand, rumpun padi yang dipotong dipangkal malai lalu direbahkan lurus barisan mampu menghasilkan padi seperti tanaman awal (utama), apabila dilakukan pemupukan dan pemeliharaan yang sama seperti halnya tanaman utama. Dari hasil penelitian Isgianto et al. (1993) di Kebun Jambegede, Kendalpayak, Mojosari, Ngale dan Genteng (Jawa Timur) pada musim hujan (MH) 1992/1993 dan musim kemarau (MK) 1993 menunjukkan bahwa varietas IR64, IR66 dan Semeru dapat dibudidayakan secara ratun apabila tidak terjadi endemi penyakit tungro, sedangkan varietas IR72 dan Krueng Aceh cukup baik dibudidayakan secara ratun di lahan yang tidak endemik hama

170 wereng coklat. Sistem ratunisasi varietas IR64, IR72, Semeru dan IR66 menghasilkan padi yang sama pada pemotongan 5 atau 15 cm. Salah satu unsur hara yang penting dan harus tersedia bagi tanaman adalah nitrogen. Menurut Vergara et al. (1988) pemberian N meningkatkan hasil padi sistem ratun. Setiap varietas mempunyai respon yang berbeda terhadap pupuk nitrogen (Balasubramanian et al., 1970). Kebutuhan N untuk padi sawah adalah kg N ha-1(taslim et al., 1989). Evatt dan Beachell (1960) menyebutkan bahwa kebutuhan pupuk padi sistem ratun hanya 75% dari tanaman utama. Menurut De Datta dan Bernasor (1988) kebutuhan N optimal untuk padi sistem ratun 60 kg N per ha. Di China, pemberian 0-69 kg meningkatkan jumlah anakan varietas Aiyou 2. Di Columbia vide De Datta (1988) pemberian kg N per ha memperoleh hasil sistem ratun 3,8 ton per ha pada varietas CICA-4. Balasubramanian et al (1970) melaporkan bahwa pemberian nitrogen 125 kg per ha segera setelah panen utama, hasil padi sistem ratun berupa hasil gabah kering, hasil jerami dan produktivitas anakan nyata lebih tinggi dari pada pemberian 75 kg N per ha. Hasil penelitian Evatt dan Beachell (1960) juga Chaterjee et al. (1982) menyebutkan bahwa pemberian P dan K tidak berpengaruh nyata terhadap hasil ratun. Selanjutnya De Datta dan Bernasor (1988), melaporkan bahwa pupuk P dan K tidak perlu diberikan bila sudah diberikan pada tanaman padi utama (Sutisna, 2006). Keunggulan ratun, selain memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, juga hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam (Ambili dan Rosamma, 2002; Santos et al., 2003). Fenomena ratun tersebut telah menjadi pemikiran banyak ahli (Aswidinnoor et al., 2008). Vergara et al. (1988) mendeskripsikan beberapa karakter agronomi yang merupakan prasyarat tanaman ratun, antara lain vigoritas sistem perakaran tanaman utama dan konsentrasi karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman utama. Oleh karena itu, kemampuan padi menghasilkan ratun akan menjadi nilai tambah dalam peningkatan produksi per musim tanam. Umur tanaman ratun yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama, erat hubungannya dengan pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benih atau bibit. Pada tanaman utama terdapat tiga fase

171 pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Namun untuk tanaman ratun yang sejak keluar anakan sering diikuti juga keluarnya bunga, hanya mengalami dua fase pertumbuhan, yaitu fase reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung sama pada semua genotipe padi, yaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan sehingga umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari saja (Vergara, 1995). Secara morfologi anakan ratun dapat muncul dari setiap buku sehingga jumlah anakan ratun dapat melebihi tanaman utama, namun besar kecilnya batang atau anakan yang dihasilkan sangat tergantung pada cadangan karbohidrat yang tersisa pada tanaman utama setelah panen (Mahadevappa dan Yogeesha, 1988). Jumlah gabah total per malai sebagai kumulatif dari jumlah gabah isi dan gabah hampa berkisar antara 122,7-389,0 butir, hasil ini berbeda nyata antar kelompok genotipe. Jumlah gabah isi tanaman utama berkisar antara 65,3-266,3 butir. Terdapat sebagian kecil genotipe yang memenuhi kriteria sebagai padi ideal seperti yang dikemukakan oleh Zhengjin et al. (2005), yaitu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih dari 160 butir. Genotipe tersebut adalah varietas Ciapus, dan galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F Fenomena lain yang tampak dari hasil pengamatan adalah tingginya persentase gabah hampa, yang berkisar antara 21,6-60,1%. Tanaman ratun memiliki ukuran malai yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama kecuali genotipe Fatmawati, IPB106-F-8-1, BP205D-KN dan B9833C-KA-14 yang hampir sama dengan panjang malai tanaman utama. Hal tersebut sejalan dengan tampilan tanaman ratun pada genotipegenotipe tersebut yang relatif lebih vigor dibandingkan dengan genotipe lain. Jumlah gabah total tanaman ratun pada sebagian besar genotipe lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Namun demikian beberapa genotipe mampu menghasilkan jumlah gabah tanaman ratun yang setara dengan tanaman utama yaitu genotipe BP138F-KN-23, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66 dan B9858D-KA-55. Keempat genotipe tersebut mampu menghasilkan jumlah gabah total tanaman ratun yang sama atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Tanaman ratun beberapa galur padi tipe baru

172 sawah dan varietas padi tipe baru secara rata-rata mampu menghasilkan gabah yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe-genotipe yang mampu menghasilkan ratun dengan jumlah gabah tinggi atau setara dengan tanaman utama, ternyata memiliki persen gabah hampa yang cukup tinggi, walau lebih rendah dibandingkan kehampaan pada tanaman utama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor pembatas produktivitas dalam pengisian biji tanaman ratun mirip dengan faktor pembatas pengisian biji pada tanaman utama. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pada tanaman ratun dapat didekati dengan cara meningkatkan produktivitas pada tanaman utama. Mengacu dari berbagai informasi yang telah diuraikan di atas, dan kondisi faktual di lapangan, rekomendasi pola tanam yang dapat diusulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 75. Tabel 75 Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis sumberdaya tanaman lokal Pola Tanam Jenis Tanaman Waktu Tanam I Padi lokal ratun Agustus/September Februari II Padi lokal ratun padi unggul Agustus/September Februari - April/Mei III Padi lokal padi unggul Agustus/September Februari dan April - Juli IV Padi lokal palawija Agustus/September Februari dan April - Juli V Padi lokal padi ratun palawija Sumber: Hasil olahan 2. Pemeliharaan dan pemupukan Agustus/September Februari dan Februari Maret dan April - Juli Di dalam rangka pemupukan tanaman yang diusahakan praktek pertanian terpadu dapat memanfaatkan pupuk kandang. Pupuk kandang yang diberikan, dapat diperoleh dari hasil usaha ternak yang dipelihara secara bersama-sama dalam sistem pertanian terpadu. Dalam praktek usahatani di rawa lebak petani di kedua lokasi penelitian mengalokasikan anggaran untuk pembelian pupuk (NPK) masing-masing mencapai 37,20% di Desa Sungai Ambangah dan 22,56% di Pasak Piang dari total biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam untuk padi dan setiap tahun untuk tanaman karet dan kelapa sawit. Dengan memanfaakan kotoran ternak yang ada, hal itu dapat mengurangi biaya produksi dalam kegiatan usahatani. Demikian pula

173 sebaliknya ternak yang dipelihara dalam sistem pertanian terpadu dapat memanfaatkan jerami, tanaman jagung (biji dan batang) sebagai pakan ternak. 3. Ketersediaan modal usahatani Sumber modal dalam kegiatan UTLRL dapat dihimpun melalui sumber pembiayaan partisipatif berupa iuaran yang secara teknis dapat dibuat kesepakatan lebih lanjut tentang jumlah yang harus dikeluarkan/dibebankan kepada setiap petani. Modal ini dikumpulkan pada setiap kali panen. Selain pengumpulan modal melalui partisipatif di atas, dapat pula berupa sumber pembiayaan pendukung yang berbentuk bantuan atau investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi/kabupaten atau dari sumber lain. Selain sumber pembiayaan yang telah disebutkan sebelumnya alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan yang ada seperti perbankan. Mekanisme untuk mendapatkan pinjaman ini dapat melibatkan pihak perguruan tinggi atau lembaga lain yang dapat berperan untuk membantu dalam hal perhitungan-perhitungan kalayakannya. Mekanisme pengumpulan dana dari berbagai sumber dan pengelolaan lebih lanjut serta mekanisme pembiayaan atau kredit bantuan kepada petani untuk modal usahatani diserahkan kepada lembaga keuangan mikro petani rawa lebak (LKMPRL). 4. Petani dan kelompok tani Setiap petani dalam mengusahakan sistem pertanian terpadu, harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh petani. Pemberdayaan kelompok tani dapat dilakukan dengan cara membentuk kelompok yang baru atau memberdayakan dan memaksimalkan kelompok yang sudah ada. Hal ini dimaksudkan agar supaya terjadi efesiensi dan efektifitas usaha khususnya dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan kegiatan lain seperti pemasaran hasil usahatani. 5. Ketersediaan lembaga keuangan mikro. Lembaga ini merupakan bagian dari sistem pertanian terpadu yang perlu dibentuk dan diberdayakan. Karena salah satu persoalan yang dihadapi oleh petani rawa lebak saat ini adalah keterbatasan modal dalam penyediaan input produksi. Hal ini apabila tidak dicarikan jalan keluarnya, maka pola penerapan sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman dan ternak akan menjadi beban baru terhadap petani rawa lebak. Pembentukan

174 LKMPRL menjadi hal yang tidak terpisahkan, karena sistem perkreditan pertanian yang ada masih kurang berpihak pada petani secara penuh. Dengan kehadiran LKMPRL diharapkan dapat menciptakan iklim yang menunjang kegiatan usahatani. Hal ini mengingat LKMPRL yang berskala kecil bersifat lebih lentur sesuai karakteristik masyarakat petani setempat, karena LKMPRL dibentuk dari dan untuk mereka. Untuk mengisi kebutuhan LKMPRL, dapat ditempuh berbagai cara yaitu (1) menciptakan lembaga baru, (2) memberi tugas baru atau menitipkan program pada lembaga yang telah ada, dan (3) menyempurnakan lembaga yang telah ada. Pemilihan alternatif sebaiknya dilakukan dengan indikator besarnya beban ekonomi program maupun kecepatan berhasilnya program. 6. Peran aktif lembaga penyuluh pertanian Dalam kegiatan usahatani khususnya pertanian rakyat, keterlibatan lembaga penyuluh pertanian merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam memberikan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani. Keterbatasan partisipasi lembaga ini dapat disiasati dengan cara membangun kreativitas petani, baik sebagai individu maupun dalam bentuk kelompok tani. Petani dalam hal ini, untuk mendapatkan dan mengetahui informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan usahatani yang baik, seperti teknis pemupukan, pemberantasan hama penyakit tanaman dan ternak, pemangkasan, panen dan pascapanen, pemasaran produk usahatani serta teknis pemeliharaan ternak dapat dilakukan melalui tukar menukar informasi antar petani atau kelompok tani. 7. Dukungan lembaga riset dan PT Perguruan Tinggi, BPTP dan BPP merupakan institusi pendukung yang dapat berperan dalam hal transfer inovasi teknologi dan juga berperan dalam pendampingan terhadap petani dalam memberikan advokasi dan bimbingan dalam mengatasi pernasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani. Selain itu, petani dan usahataninya dapat dijadikan sebagai wahana untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh petani, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan riset lebih lanjut. 8. Pengelolaan pascapanen dan pemasaran hasil Produk hasil usahatani dalam proses lebih lanjut yang dikenal dengan pasca panen termasuk pemasaran hasil. Fungsi pengolahan hasil dan pemasaran merupakan salah satu faktor penting dalam memecahkan masalah

175 penghambat bagi pembangunan pertanian selama ini (Soetrisno, 1988). Untuk perlu diterapkan adalah sistem pemasaran produk pertanian yang efesien untuk diproses oleh industri. Seperti diketahui, sistem pemasaran produk pertanian umumnya kurang efisien sehingga menyebabkan besarnya kehilangan, kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga harga produk bahan mentah untuk industri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah. Produk usahatani pada tahap lebih lanjut, juga dapat dikelola menjadi produk lain yang dapat berkontribusi dalam rangka memberikan nilai tambah usaha. Nilai tambah ini dapat diartikan sebagai peningkatan manfaat dari produk pertanian. Yang dimaksud adalah nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain, nilai tambah adalah merupakan sejumlah nilai jasa (return) terhadap faktor produksi modal tetap, tenaga kerja, dan ketrampilan menejemen pengelolaan (Wright, 1987). Dalam rangka mengelola produk pertanian untuk memperoleh nilai tambah, hendaknya didekati dengan kajian yang lebih mendasar. Kajian untuk memperoleh nilai tambah produk hasil pertanian dapat pula dilakukan dengan melibatkan lembaga riset, perguruan tinggi dan BPTP. Dalam hal peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produksi pertanian. Peningkatan produksi diharapkan dapat memberikan jaminan pendapatan petani. Meningkatnya pendapatan petani diharapkan dapat menciptakan surplus keuangan yang selanjutnya dapat diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan daya beli petani khususnya pada produk lain yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani. 7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa Lebak (UTLRL) Secara skematis hubungan antara faktor dan komponen yang menyusun model sistem pertanian terpadu yang dirumuskan dalam penelitian ini, sebagaimana disajikan pada Gambar 31.

176 Gambar 31 Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya lokal Bentuk pertanian terpadu yang dapat ditawarkan dari hasil penelitian ini terdiri atas berbagai pola sesuai dengan kondisi kepemilikan lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh petani di kedua lokasi penelitian. Pola yang dirumuskan ini dalam rangka mengakomodir, yaitu 1) petani yang hanya memiliki lahan usahatani padi dan karet, dan 2) petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit. Dari jenis kepemilikan lahan usahatani oleh petani di lokasi penelitian tersebut, selanjutnya dilakukan simulasi model usahatani terpadu yang memberikan nilai pendapatan tertinggi Tabel Lampiran 21 dan 22. Selain pertimbangan aspek ekonomis, penentuan kedua jenis ternak dalam penerapan model ini dilakukan berdasarkan ketersediaannya di lokasi penelitian dan pengetahuan petani terhadap usaha ternak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar supaya lebih memudahkan di dalam pemeliharaan dan adopsi teknologi pengelolaannya. Implementasi bentuk model pertanian terpadu terpilih, secara lengkap diuraikan berikut ini. 1. Pola usahatani tanaman Pangan, Perkebunan dan Ternak berbasis sumberdaya tanaman pangan lokal Pola usahatani antar tanaman pangan, perkebunan dan ternak yaitu p93, p95 atau pola (padi, karet dan sapi), (padi, karet dan itik), memberikan pandapatan masing-masing sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Dan integrasi p101, p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi), (padi, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 76.

177 Tabel 76 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak No Simbol Pola (padi karet) dan ternak pola Tanaman Jenis ternak Nilai pendapatan tanam Padi Karet Kelapa sawit (Rp) Pola usahatani (padi karet) dan ternak 1. p93 Padi Karet - Sapi p95 Padi Karet - Itik Pola usahatani (padi karet - sawit) dan ternak 1. p101 Padi Karet Kelapa sawit Sapi p103 Padi Karet Kelapa sawit Itik Sumber: Hasil olahan Hasil usahatani p103 atau pola (padi, karet, kelapa sawit dan itik) Gambar 32 menunjukkan hasil pendapatan tertinggi mencapai Rp ,- dan diikuti integrasi p101 pola (padi, karet, kelapa sawit dan sapi) mencapai Rp Sedangkan pola p93 atau pola (padi, karet dan sapi) hanya mencapai Rp ,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 32. Pendapatan (Rp/thn) p93 p95 p101 p103 Pola usahatani Gambar 32 Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak 2. Pola usahatani musin tanam 1 (MT1) dan (MT2) (padi/jagung) dan Tanaman Perkebunan dan Ternak Pola usahatani p5, p51 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi), (padi - ratun, karet dan itik), dapat memberikan pandapatan petani sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Integrasi p9, p55 atau pola (padi - ratun, padi, karet dan sapi), (padi - ratun, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan memberikan pendapatan sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Sedangkan integrasi p13, p59 atau pola (padi - ratun, jagung, karet dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet dan itik), memberikan pendapatan Rp ,- dan Rp ,-.

178 Integrasi p11, p15, p57 dan p61 atau pola (padi - ratun, padi, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, jagung, karet, sawit dan sapi), (padi - ratun, padi, karet, sawit dan itik), dan (padi - ratun, jagung, karet, kelapa sawit dan itik), memberikan pendapatan masing-masing sebesar Rp ,-, Rp ,-, Rp ,-, dan Rp ,-. Integrasi p17, p63 atau pola (padi, padi, karet dan sapi) (padi, padi, karet dan itik), memberikan pendapatan sebesar Rp dan Rp ,-. Integrasi p21, p67 atau pola (padi, jagung, karet dan sapi), (padi, jagung, karet dan itik), juga memberikan pendapatan Rp ,- dan Rp ,-. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 77. No Tabel 77 Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet, sawit) dan ternak Simbol pola tanam Musim tanam dengan berbagai pola (padi jagung) dan ternak MT 1 MT 2 Perkebunan Padi Ratun Karet Kelapa sawit Pola usahatani (padi - ratun), karet, sawit dan ternak Jenis ternak Nilai pendapa tan (Rp) 1 p5 padi ratun - karet - Sapi p51 padi ratun - karet - Itik Pola usahatani (padi - ratun - padi), karet, sawit dan ternak 1 p9 padi ratun padi karet - Sapi p55 padi ratun padi karet - Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p13 padi ratun jagung karet - Sapi p59 padi ratun jagung karet - Itik Pola usahatani (padi - ratun - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p11 padi ratun padi karet sawit Sapi p15 padi ratun jagung karet sawit Sapi p57 padi ratun padi karet sawit Itik p61 padi ratun jagung karet sawit Itik Pola usahatani (padi - padi), karet, sawit dan ternak 1 p17 padi - padi karet - Sapi p63 padi - padi karet - Itik Pola usahatani (padi - jagung), karet, sawit dan ternak 1 p21 padi - jagung karet - Sapi p67 padi - jagung karet - Itik Sumber: Hasil olahan Hasil usahatani p57 dan p11 atau pola (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan itik) dan (padi - ratun, padi, karet, kelapa sawit dan sapi) Gambar 33, menunjukkan hasil pendapatan tertinggi masing-masing mencapai Rp dan Rp ,-. Pendapatan ini dapat melewati nilai KHL yang diperlukan oleh petani di lokasi penelitian masing-masing sebesar 5,19% dan 1,91%. Sedangkan integrasi p61, p53, p15 dan p7 atau pola (padi - ratun, jagung,

179 karet, kelapa sawit dan itik), (padi - ratun, sawit dan itk), (padi - ratun, jagung, kelapa sawit dan sapi), dan (padi - ratun, kelapa sawit dan sapi) berturut-turut mencapai Rp ,-, Rp ,-, Rp ,- dan Rp ,-. Dari hasil ini petani masih memerlukan berturut-turut sekitar 2,99%, 5,39%, 6,52% dan 8,92% untuk memenuhi KHL. Sedangkan integrasi p5 atau pola (padi - ratun, karet dan sapi) hanya mencapai Rp11 856,81,- atau memerlukan sekitar 50,59% untuk memenuhi KHL petani di lokasi penelitian. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar Pandapatan (Rp/thn) p5 p51 p9 p55 p13 p59 p11 p57 p17 p63 p21 p67 Pola usahatani Gambar 33 Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak 3. Integrasi usahatani berdasarkan luas kepemilikan lahan petani Integrasi usahatani (tanaman dan ternak) yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) petani baik di Desa Sungai Ambangah maupun Pasak Piang sebagaimana disajikan dalam bentuk matriks Tabel 78.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI

VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6. Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi Analisis status keberlanjutan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK Yang terhormat: Hari/Tanggal : Senin /11 Pebruari 2008 Pukul : 09.00 WIB Bupati

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

Eni Siti Rohaeni. Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Kalimantan Selatan ABSTRAK

Eni Siti Rohaeni. Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Kalimantan Selatan ABSTRAK ANALISIS USAHATANI BERBASIS PADI DAN TERNAK SAPI SERTA KONTRIBUSI PENDAPATAN TERHADAP KEBUTUHAN HIDUP LAYAK DI LAHAN KERING (STUDI KASUS DI DESA SUMBER MAKMUR, KECAMATAN TAKISUNG, TANAH LAUT) Eni Siti

Lebih terperinci

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan

Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Pengelolaan Sumbedaya Air untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Padi Secara Berkelanjutan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Water Resource Management to Increase Sustainably of Rice Production in Tidal

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT

PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT Volume 23 No. 1, Januari Maret 2017 p-issn: 0852-2715 e-issn: 2502-7220 PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT Endang Sari Simanullang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DAN SAYURAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

KAJIAN PERBAIKAN USAHA TANI LAHAN LEBAK DANGKAL DI SP1 DESA BUNTUT BALI KECAMATAN PULAU MALAN KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH ABSTRAK

KAJIAN PERBAIKAN USAHA TANI LAHAN LEBAK DANGKAL DI SP1 DESA BUNTUT BALI KECAMATAN PULAU MALAN KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH ABSTRAK KAJIAN PERBAIKAN USAHA TANI LAHAN LEBAK DANGKAL DI SP1 DESA BUNTUT BALI KECAMATAN PULAU MALAN KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH M. A. Firmansyah 1, Suparman 1, W.A. Nugroho 1, Harmini 1 dan

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F

SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN. Oleh: RINI AGUSTINA F SKRIPSI PEMANFAATAN AIR PADA BENDUNG KECIL DI SUB DAS CIOMAS - DAS CIDANAU, BANTEN Oleh: RINI AGUSTINA F14103007 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PEMANFAATAN

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELAUI INOVASI (P4M2I)

SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELAUI INOVASI (P4M2I) SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELAUI INOVASI (P4M2I) Dr. Dewa K. S. Swastika Dr. Bambang Irawan Ir. Herman Supriadi, MS Dr. Edi Basuno Ir. Endang L. Hastuti,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRACT...

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

Rismarini Zuraida dan A. Hamdan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan

Rismarini Zuraida dan A. Hamdan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DAN SAYURAN DI LAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN: Kasus Desa Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik Kabupaten Hulu Sungai Utara Income Improvement of Rice and Vegetable

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh ZURIANI

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS. Oleh ZURIANI ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI PADI DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS Oleh ZURIANI 107039001 PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 Judul : Analisis Produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting di Indonesia termasuk salah satu jenis tanaman palawija/ kacang-kacangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. penting di Indonesia termasuk salah satu jenis tanaman palawija/ kacang-kacangan yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merill) adalah salah satu komoditi tanaman pangan yang penting di Indonesia termasuk salah satu jenis tanaman palawija/ kacang-kacangan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Desa Pandu Senjaya merupakan wilayah dengan potensi pengembangan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Desa Pandu Senjaya merupakan wilayah dengan potensi pengembangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa Pandu Senjaya merupakan wilayah dengan potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Pangkalan Lada, Kabupaten Kotawaringin Barat, selain beberapa desa

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2004 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU ABSTRAK FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU Umi Pudji Astuti, Wahyu Wibawa dan Andi Ishak Balai Pengkajian Pertanian Bengkulu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PADI DI KECAMATAN SEBANGKI KABUPATEN LANDAK JURNAL PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PADI DI KECAMATAN SEBANGKI KABUPATEN LANDAK JURNAL PENELITIAN ANALISIS KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PADI DI KECAMATAN SEBANGKI KABUPATEN LANDAK JURNAL PENELITIAN OLEH: GUNARDI DWI SULISTYANTO DR. NOVIRA KUSRINI, SP, M.SI MASWADI, SP, M.SC SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK 7.1. Pola Usahatani Pola usahatani yang dimasukkan dalam program linier sesuai kebiasaan petani adalah pola tanam padi-bera untuk lahan sawah satu

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK

PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK 1 Hutwan Syarifuddin, 1 Wiwaha Anas Sumadja, 2 Hamzah, 2 Elis Kartika, 1 Adriani, dan 1 Jul Andayani 1. Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO

KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Gambar 3.6: Hasil simulasi model pada kondisi eksisting

Gambar 3.6: Hasil simulasi model pada kondisi eksisting Dari hasil analisi sensitivitas, maka diketahui bahwa air merupakan paremater yang paling sensitif terhadap produksi jagung, selanjutnya berturut-turut adalah benih, pupuk, penanganan pasca panen, pengendalian

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH

DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SAWAH (Studi Kasus : Desa Pematang Setrak, Kec Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai) Ikram Anggita Nasution

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai juga merupakan tanaman sebagai

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan

Lebih terperinci

PERAN KUALITAS LAHAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS DAN DAYA SAING PRODUK HORTIKULTURA

PERAN KUALITAS LAHAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS DAN DAYA SAING PRODUK HORTIKULTURA PERAN KUALITAS LAHAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS DAN DAYA SAING PRODUK HORTIKULTURA Prof. Benny Joy Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Pertanian Hortikultura Hortikultura merupakan komoditas

Lebih terperinci

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II) dan tahun terakhir pelaksanaan Repelita VI. Selama kurun waktu Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

Kontribusi Usahatani Padi dan Usaha Sapi Potong Terhadap Pendapatan Keluarga Petani di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah

Kontribusi Usahatani Padi dan Usaha Sapi Potong Terhadap Pendapatan Keluarga Petani di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah Kontribusi Usahatani Padi dan Usaha Sapi Potong Terhadap Pendapatan Keluarga Petani di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah Albina Br Ginting ABSTRACT This study aims to: 1). to

Lebih terperinci

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MH. Togatorop dan Wayan Sudana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor ABSTRAK Suatu pengkajian

Lebih terperinci

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI MELALUI UPBS UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN LOGISTIK BENIH DI SUMATERA UTARA

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI MELALUI UPBS UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN LOGISTIK BENIH DI SUMATERA UTARA PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI MELALUI UPBS UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN LOGISTIK BENIH DI SUMATERA UTARA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A14104684 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI e-j. Agrotekbis 2 (3) : 332-336, Juni 2014 ISSN : 2338-3011 ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI Analysis of income and feasibility farming

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian diantaranya yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

Produksi Kedelai; Strategi Meningkatkan Produksi Kedelai Melalui PTT, oleh Ir. Atman, M.Kom. Hak Cipta 2014 pada penulis

Produksi Kedelai; Strategi Meningkatkan Produksi Kedelai Melalui PTT, oleh Ir. Atman, M.Kom. Hak Cipta 2014 pada penulis 202 Judul Bab 204 Produksi Kedelai; Strategi Meningkatkan Produksi Kedelai Melalui PTT, oleh Ir. Atman, M.Kom. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-889398;

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU 189 Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bengkulu 7 Juli 2011 ISBN 978-602-19247-0-9 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci