Laporan Akhir KAJIAN ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Akhir KAJIAN ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL"

Transkripsi

1 KAJIAN ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL DIREKTORATT TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BAPPENAS 2013

2 TIM PENYUSUN Penanggungjawab: Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA (Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah) Ketua Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan (TPRK): Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP (Direktur Tata Ruang dan Pertanahan) Anggota TPRK: Ir. Dwi Haryawan S, MA Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP Mia Amalia, ST, M.Si, Ph.D Ir. Nana Apriyana, MT Ir. Rinella Tambunan, MPA Herny Dawaty, SE, ME Khairul Rizal, ST, MPP Santi Yulianti, SIP, MM Aswicaksana, ST, MT, M.Sc Agung M. H. Dorodjatoen, ST, M.Sc Raffli Noor, S.Si Tenaga Ahli: Dr. Irene Eka Sihombing, SH, MH Dr. Ir. Nunu Novianto, Idham Khalik Tenaga Pendukung: Sylvia Krisnawati Cecep Saryanto i

3 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas perkenan-nyalah KAJIAN ARAH KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL dapat terlaksana dengan baik. Kajian merupakan salah satu rangkaian dalam rangka penyusunan perencanaan pembangunan nasional untuk periode lima tahun mendatang. Sebagaimana amanat dari UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) agar Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun kerangka kebijakan pembangunan nasional. Pada taahun 2014 mendatang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sekaligus tahap penyusunan RPJMN Perumusan kebijakan pembangunan nasional diharuskan untuk mengidentifikasi berbagai capaian pelaksanaan pembangunan periode sebelumnya serta menjaring isu strategis dan permasalahan yang diprakirakan akan terjadi pada masa yang akan datang. Isu strategis tersebut diperlukan untuk menyusun kerangka kebijakan dan program pada periode perencanaan pembangunan berikutnya. Berkaitan dengan hal di atas, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas melaksanakan kajian untuk bidang penataan ruang dan pengelolaan pertanahan nasional. Kajian dimulai dengan desk study (review kebijakan, evaluasi pelaksanaan pembangunan periode sebelumnya), focus group discussion/fgd, kunjungan ke daerah, dan seminar nasional. Kesemuanya dilakukan sebagai rangkaian dalam kerangka penyusunan RPJMN Semoga kajian ini dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Demikian dan terima kasih. Jakarta, Desember 2013 Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP ii

4 DAFTAR ISI TIM PENYUSUN... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Sasaran Sistematika Pembahasan... 3 BAB II REVIEW KEBIJAKAN DAN INDIKATOR BIDANG PERTANAHAN Review Kebijakan Bidang Pertanahan Deskripsi Kasus Pertanahan Kasus Pertanahan Nasional Klasifikasi Kasus Pertanahan Identifikasi Akar Permasalahan Arahan Kebijakan terkait Bidang Pertanahan (RPJPN dan RPJMN ) Capaian Kegiatan Prioritas Bidang Pertanahan BAB III ANALISIS PERMASALAHAN, ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN BIDANG PERTANAHAN Pengelolaan Pertanahan Kebijakan Sistem Publikasi Negatif Redistribusi Tanah Penyelesaian Perkara Kasus Pertanahan Kebijakan Pencadangan Tanah Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan Konfirmasi permasalahan di Lombok dan Samarinda BAB IV RUMUSAN ARAH KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan Pembentukan Bank Tanah Kebijakan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan BAB V RENCANA TINDAK Rencana Tindak Jangka Pendek Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform Rencana Tindak Jangka Menengah Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan Pembentukan Bank Tanah Rencana Tindak Jangka Panjang Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform iii

5 5.3.3 Kebijakan SDM Bidang Pertanahan BAB VI PENUTUP Kesimpulan Rekomendasi iv

6 DAFTAR TABEL Tabel 1 Perbandingan Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara Tabel 2 Tabel Alokasi Tanah Objek Land Reform Tabel 3 Tabel Redistribusi Tanah Tabel 4 Perbandingan antara sistem publikasi negatif dengan sistem publikasi positif Tabel 5 Perbandingan Pengadilan Khusus Pertanahan di Beberapa Negara Tabel 6 Tabel Usulan Kebijakan Pengelolaan SDM BPN v

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Proporsi Kasus Pertanahan Berdasarkan Subjek Gambar 2 Diagram Fenomena Penyediaan Tanah Objek Redistribusi Gambar 3 Ilustrasi Pengelolaan Sumberdaya Manusia di BPN vi

8 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanahair dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Kedua ayat ini mengandung makna bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh Bangsa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa seluruh tanah yang terdapat di wilayah Indonesia merupakan tanah bersama Bangsa Indonesia. Didasarkan kepada Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, diakui kepemilikan secara individu di dalam konsep tanah bersama. Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan (Maria Soemardjono, 2009.) Dalam praktek, falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah ini kurang dipahami sehingga tidak sedikit isu pertanahan. Terdapat dua isu yang menonjol pada tahun 2012 yaitu (i) pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; dan (2) terjadinya kasus-kasus perselisihan pertanahan. Pada awal tahun 2012, berbagai media massa nasional banyak memberitakan mengenai kasus pertanahan, beberapa diantaranya adalah yang terjadi di Mesuji-Lampung, Bima-Nusa Tenggara Barat, Harjokuncaran-Jawa Timur, Situbondo-Jawa Timur, dan Pangkalan Udara Atang Sanjaya-Jawa Barat. Berdasarkan data pada Tahun 2011 tercatat secara nasional telah terjadi kasus sengketa (Tribunnews, Mei 2012). Munculnya kasus pertanahan tersebut berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan. Dalam skala lokal, sengketa tanah yang terjadi di Mesuji-Lampung dan Bima-Nusa Tenggara Barat berdampak pada kondisi sosial, pertahanan, dan keamanan serta terindikasi sebagai bentuk pelanggaran HAM berat karena bentrokan yang terjadi sampai merenggut korban jiwa (Vivanews, Januari 2012). Sengketa yang berkepanjangan di Bima-Nusa Tenggara Barat juga menyebabkan terbakarnya kantor pemerintah sehingga menggangu pelayanan masyarakat. Selain itu dampak ekonomi juga dirasakan oleh ASDP Pelabuhan Sape yang menderita kerugian hingga mencapai 1 milyar rupiah akibat aksi masyarakat Bima yang menduduki Pelabuhan Sape selama 5 hari (Detiknews, Desember 2011). Bila ditinjau dari sisi obyeknya, kasus pertanahan dapat berbentuk: 1) pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati dengan Hak Guna Usaha (HGU) baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir, 2) sengketa kawasan hutan, 3) sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambangan, 4) tumpang tindih atau sengketa batas, tanah bekas 1

9 milik adat (girik) dan tanah bekas Hak Eigendom, 5) tukar-menukar tanah bengkok desa/tanah kas desa menjadi aset Pemda, 6) tanah eks partikelir, 7) putusan pengadilan yang tidak dapat diterima dan dijalankan. Sedangkan bila dilihat dari subyek (pihak-pihak yang bermasalah), kasus pertanahan terjadi baik antar masyarakat (termasuk investor), masyarakat dengan instansi pemerintah, maupun antar instansi pemerintah. Terjadinya kasus pertanahan tersebut menunjukkan belum baiknya administrasi pertanahan di Indonesia, belum kuatnya kepastian hukum hak atas tanah dan memberikan gambaran bahwa tanah belum dapat memberikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada Negara (Pasal 2 UUPA) diperlukan peran negara dalam mengelola sumberdaya alam termasuk tanah agar benar-benar dapat memberi kemakmuran bagi rakyat Indonesia (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional. Pada tanggal 14 Januari 2012, diterbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22) Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). UU ini kemudian dilengkapi dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Diterbitkannya UU Pengadaan Tanah dirasakan perlu karena peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebelumnya belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan. Ketentuan perundang-undangan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan yang berlaku sebelum Undang-Undang ini adalah sebagai berikut. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah; Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Melengkapi Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden di atas, diterbitkan juga beberapa peraturan berikut. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas 2

10 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Jika diperhatikan, seluruh ketentuan perundang-undangan yang terbit sebelum UU Pengadaan Tanah, berbentuk Keputusan, baik Keputusan Menteri maupun Keputusan Presiden. Meskipun maksud dan tujuan penerbitan semua ketentuan tersebut untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, namun pada kenyataannya, kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dalam pelaksanaannya tetap mengalami kesulitan. Meskipun dalam UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksanaanya masih terdapat hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional, diharapkan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dapat lebih terukur, karena proses pengadaan tanah dapat dilakukan dalam kurun waktu terhitung sejak dokumen perencanaan resmi diterima oleh gubernur paling cepat (tanpa adanya gugatan) selama 319 hari kerja dan paling lama (dengan adanya gugatan) selama 583 hari kerja. 1.2 Tujuan dan Sasaran Dokumen ini disusun untuk memberikan gambaran secara garis besar mengenai perkembangan terkini bidang pertanahan, serta memberikan ulasan singkat dan usulan kebijakan secara umum kepada pengambil keputusan di tingkat nasional. Comment [IK1]: Contohnyasepertiapa? Comment [be2]: Contohnya, bahwa dalam asas-asas perolehan tanah, tidak diperkenankan adanya konsinyasi, akan tetapi justru dalam UU ini dimuat tentang konsinyasi, yang kemudian berakibat kepada hapusnya hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya. Hal ini sangat bertentangan, karena hapusnya hubungan hukum dengan sebidang tanah, harus didahului dengan peruatan hukum, misalnya saja pelepasan hak, pembebasan hak, pencabutan hak. (Eka Sihombing) 1.3 Sistematika Pembahasan Laporan ini disusun dengan sistematika bab I berisi latar belakang, tujuan dan sasaran kegiatan, sistematika pembahasan. Bab II berisi review kebijakan dan indikator bidang pertanahan Bab III adalah analisis permasalahan, isu strategis dan tantangan bidang pertanahan , sedangkan bab IV adalah rumusan arah kebijakan dan program bidang pertanahan. Diakhiri dengan Bab V penutup. 3

11 BAB II REVIEW KEBIJAKAN DAN INDIKATOR BIDANG PERTANAHAN Review Kebijakan Bidang Pertanahan Kebijakan pertanahan di Indonesia mengalami reformasi pada tahun 1960, di mana sebelumnya berlaku dualisme di bidang hukum tanah dan hak-hak perorangan atas tanah, yaitu Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (lebih dikenal dengan sebutan UUPA) pada tanggal 24 September 1960 diakhirilah keanekaragaman tersebut dalam rangka diadakannya apa yang pada waktu itu disebut agrarian reform, yang antara lain meliputi bidang hukum tanah. Dengan adanya UUPA dan berbagai peraturan pelaksanaannya, tersusun dan tersedia suatu perangkat peraturan hukum di bidang pertanahan hasil unifikasi yang merupakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal untuk semua tanah yang ada di Indonesia. Hukum Tanah Nasional ini penyusunannya didasarkan kepada Hukum Adat. (Lihat Pasal 5 UUPA). Politik pertanahan yang menjadi dasar penyusunan UUPA adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Penjelasan resmi pasal tersebut menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penjelasan tersebut bermakna kekuasaan yang diberikan kepada negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu meletakan kewajiban kepada negara untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan negara Indonesia dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam Penetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dinyatakan bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pernyataan demikian dijumpai juga dalam Konsiderans Menimbang, pasal 1 dan pasal 2 UUPA, bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Meskipun belum sepenuhnya sempurna, dalam kenyataannya Hukum Tanah Nasional telah berhasil memberikan dukungan kepada kegiatan pembangunan di segala bidang dalam penyediaan, dan pemanfaatan tanah yang diperuntukkan serta kepastian hukum dalam penguasaan dan penggunaannya. Tetapi karena adanya kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusan peraturannya, Hukum Tanah Nasional dalam pelaksanaannya memungkinkan penafsiran yang menyimpang dari semangat dan tujua diadakannya peraturan yang bersangkutan. Oleh karena itu pelaksanaan Hukum Tanah Nasional seringkali dirasakan sebagai tidak menjamin 4

12 perlindungan, bahkan menimbulkan rasa diperlakukan tidak adil bagi rakyat yang tanahnya diiperlukan untuk kegiatan pembangunan. Padahal Hukum Tanah Nasional jelas memuat rumusan asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan perlindungan bagi siapapun yang menguasai tanah secara sah terhadap gangguan dari pihak manapun, termasuk gangguan dari pihak penguasa sekalipun, bilamana gangguan itu tidak ada dasar hukumnya. Contoh penyimpangan lain adalah penafsiran mengenai hakikat dan lingkup lembaga Hak Menguasai Negara yang diatur dalam Pasal 2 UUPA. Pasal tersebut dimaksudkan sebagai tafsir otentik hakikat pengertian dikuasai dala Pasal 33 ayat (3) UUD Dalam praktek, pengertian dikuasai itu ditafsirkan seakan-akan memberikan wewenang yang tidak terbatas kepada Pemerintah, hingga dalam pelaksanaannya menimbulkan rasa tidak puas. Dalam hukum kita pembatasan dasarnya adalah hakikat negara kita sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berdasarkan apa yang dikemukakan tersebut, perangkat Hukum Tanah Nasional yang ada sekarang perlu dilengkapi dan diadakan penyempurnaan ketentuan dan rumusan lembagalembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang secara lengkap dan jelas memuat ketentuan-ketentuan hukum yang dapat menghindarkan penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian benar-benar akan dapat diciptakan kepastian hukum dan diberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari, yang memerlukan penyediaan dan penguasaan tanah. Pelaksanaan pembangunan yang diharapkan benar-benar akan dirasakan pada kebijakan baru, yang kembali kepada semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan dari UUPA. Usaha penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA yang merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional dan memperbaiki rumusan ketentuankketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang, dengan tetap mempertahankan: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan rumusan pernyataan para founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia dan konstitusinya. Hukum Adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan lembaga-lembaga hukum baru dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang. Semangat, tujuan, konsepsi, asas-asas dasar, lembaga-lembaga hukum dan sistem serta tata susunannya. Undang-Undang yang akan menyempurnakan isi dan rumusan ketentuan UUPA akan membatasi obyek pengaturannya pada sumber daya alam tanah saja, yaitu tanah dalam pengertian yuridis sebagai permukaan bumi. 2.2 Deskripsi Kasus Pertanahan Dalam Hukum Tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA: (1) Atas dasar Hak Menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. 5

13 Dari pasal ini diketahui tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Dari ayat (2) pasal 4 UUPA diketahui hal-hal sebagai berikut: Bahwa yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. Batas penggunaan tanah dinyatakan dalam pasal 4 ayat (2) dengan kata-kata: sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang ini (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Adapun batasan kewenangan menggunakan tanah yang dimaksud itu, diatur dalam Pasal 8 UUPA yang menyebutkan bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan ruang angkasa perlu diatur. Dalam penjelasan pasal 8 UUPA disebutkan, karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat (2) hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaankekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Dalam pengelolaan dan penggunaannya tanah memiliki nilai ekonomi yang strategis, yang sering kali menimbulkan permasalahan dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah. Selain itu terbatasnya akses terhadap tanah terutama oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang menggunakan tanah sebagai sumber utama perekonomian mereka mengakibatkan tanah sering dijadikan alasan atas terjadinya konflik-konflik antar masyarakat, maupun antar masyarakat dengan pihak lain. Kasus pertanahan yang terjadi di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan belum menemukan metode penyelesaian yang tidak menimbulkan kerugian bagi pihak yang bersengketa. Maraknya kasus pertanahan yang terjadi mengindikasikan pelaksanaan sistem pengelolaan pertanahan yang belum optimal serta menghambat program-program pembangunan yang sedang berjalan. Peningkatan jumlah kasus pertanahan tentu menjadi perhatian penting untuk dicarikan jalan keluar sehingga tanah dapat dikelola dan dimanfaatkan sebagai asset yang dapat memberikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Sistem pengelolaan pertanahan sebagai salah satu kunci dalam penyelesaian kasus dan sengketa pertanahan perlu mengalami perubahan, selain untuk mereduksi jumlah kasus pertanahan serta untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan tersebut tentu perlu dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus pertanahan yang terjadi sehingga dapat ditarik pembelajaran dan akar permasalahan agar dapat diselesaikan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengklasifikasi kasus pertanahan menjadi konflik, sengketa dan perkara. Konflik merupakan permasalahan pertanahan yang memiliki nuansa/aspek 6

14 sosial dan politik yang luas, sedangkan sengketa adalah permasalahan pertanahan yang tidak memiliki nuansa sosial politik yang begitu luas, umumnya antar individu. Kemudian perkara merupakan konflik dan sengketa yang sudah masuk ke pengadilan baik itu pengadilan negeri, tinggi, maupun PTUN. Terjadinya sengketa dan konflik pertanahan karena adanya perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan, nilai antara dua pihak atau lebih mengenai status tanah, status penguasaan, status kepemilikan, status surat keputusan mengenai kepemilikan atas tanah tertentu, yang berkepanjangan dan dianggap merugikan salah satu pihak dan muncul kepermukaan. BPN juga mengelompokkan kasus pertanahan menjadi 8 (delapan) tipologi yaitu: 1) Penguasaan dan pemilikan tanah; 2) Penetapan hak dan pendaftaran tanah; 3) Batas atau letak bidang tanah; 4) Pengadaan/Pembebasan Tanah; 5) Tanah Obyek Landreform; 6) Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir; 7) Tanah ulayat/adat; dan 8) Pelaksanaan putusan pengadilan. Selain itu, BPN juga membagi kasus pertanahan berdasarkan sektor yaitu: pertanahan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Pengelompokkan tipologi tersebut dilakukan BPN untuk memudahkan pemetaan dan penanganan kasus di internal BPN. Namun pengelompokkan tersebut belum dapat memetakan pihak-pihak yang terkait dan langkah koordinasi apa yang diperlukan serta langkah kebijakan yang harus dilakukan guna penanganan dan pencegahan kasus pertanahan tersebut. Mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan yang telah dilakukan selama ini adalah: (i) pengajuan sengketa berasal dari masyarakat, (ii) pengkajian yuridis, fisik para pihak dan (iii) penanganan. Untuk penanganan di BPN dikenal istilah gelar internal baik internal pusat maupun daerah serta gelar eksternal dengan mengundang berbagai pihak yang berperkara. Apabila mekanisme ini sudah selesai maka akan keluar 2 (dua) keputusan yaitu selesai diluar pengadilan (musyawarah) atau selesai melalui pengadilan. Data BPN pada tahun 2012 mencatat kasus pertanahan yang terdiri atas sengketa, konflik dan perkara. Dari jumlah tersebut, baru kasus yang telah diselesaikan. Munculnya kasus-kasus pertanahan yang diliput oleh berbagai media massa pada awal tahun 2012 merupakan akumulasi dari kasus pertanahan yang telah berlangsung lama dan tidak terselesaikan. Bagian berikut akan menjelaskan beberapa kasus besar yang mendapat perhatian publik. 2.3 Kasus Pertanahan Nasional Berdasarkan data kasus bidang pertanahan yang ada, terdapat beberapa kasus pertanahan gencar diberitakan secara nasional. Untuk mengetahui substansi permasalahan tersebut maka disusun deskripsi kasus pertanahan dari beberapa sumber sebagai berikut. 1) Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus Mesuji. Deskripsi kasus dibangun atas interpretasi dari laporan TGPF yang sebenarnya amat kabur dalam menggambarkan substansi perselisihan. 2) Tabel Konflik yang bersumber dari Direktorat Konflik, Badan Pertanahan Nasional. Pada beberapa kasus, Tabel tidak secara lengkap menyebutkan deskripsi klaim pihak berselisih serta dasar kepemilikan yang dimiliki masing-masing pihak atau dengan kata lain informasi tidak berimbang. 3) Berita elektronik. Kebalikan dengan Tabel Konflik dari BPN, media berita elektronik lebih memberikan informasi bukti kepemilikan masyarakat. 7

15 Dengan keterbatasan informasi tersebut, telah disusun deskripsi beberapa kasus pertanahan nasional, sebagai berikut: a. Kasus Pertanahan di Kabupaten Mesuji-Lampung dan Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan Kasus pertanahan ini terjadi dibeberapa lokus yang berbeda dengan keterlibatan berbagi pihak yang bersengketa. Berdasarkan laporan TGPF terdapat 3 lokasi yang terlibat dalam permasalahan tersebut dengan penjelasan sebagai berikut: Kasus Pertanahan di Register 45, Kabupaten Mesuji Lampung Permasalahan pada Register 45 mencuat pada tanggal 6 November 2010, saat terjadi kontak kekerasan pada demo yang dilakukan atas penggusuran lahan yang melibatkan masyarakat dari lima desa di Kabupaten Tulang Bawang. Kekerasan terjadi antara masyarakat dengan aparat polisi dan menjatuhkan satu korban tewas dan satu orang luka tembak. Permasalahan ini dipicu oleh penambahan luasan Hak Penguasaan Hutan Industri (HPHI) kepada PT. Silva Inhutani Lampung (SIL) seluas Ha pada tahun Penambahan luasan HPHI tersebut berada pada lokasi tiga Desa, yaitu (i) Desa Talang Gunung; (ii) Desa Tanjung Harapan; dan (iii) Desa Setajim yang sudah ada sejak Tahun Ke tiga desa tersebut pada tahun 1999 berkembang menjadi 5 desa dengan dua desa tambahan yaitu (i) Desa Pelita Jaya; dan (ii) Desa Labuhan Batin. Kasus Pertanahan di Areal Perkebunan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI), Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji Lampung Permasalahan pada areal Perkebunan PT. BSMI terjadi pada tahun 1997 akibat munculnya protes dari masyarakat atas penerbitan SK HGU oleh Kepala BPN bagi PT. BSMI seluas Ha yang juga diperluas 2500 Ha. Pada awalnya PT BSMI menerima ijin lokasi untuk perkebunan sawit seluas Ha, dengan rincian peruntukan Ha untuk kebun dan 7000 Ha sebagai kebun plasma yang dikerjakan oleh masyarakat tiga desa, yaitu (i) Desa Kagungan Dalam; (ii) Desa Sri Tanjung; dan (iii) Desa Nipah Kuning. Namun hingga tahun 1997 belum dilakukan penyerahan lahan seluas 7000 kepada masyakarat untuk digarap sesuai dengan kesepakatan. Selain itu PT BSMI juga belum membayarkan ganti rugi seluas 5000 Ha pada masyarakat penggarap yang telah ada sebelumnya. Kasus Pertanahan di Desa Sungai Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Permasalahan lahan di Desa Sodong diawali dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) seluas 3.193,90 untuk perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Sodong kepada PT. Sumber Wangi Abadi (SWA) pada tahun HGU tersebut diberikan dengan syarat PT. SWA mendirikan perkebunan plasma seluas dari total luas yang diberikan HGU. Namun hingga tahun 2002 PT. SWA tidak mampu melaksanakan kewajibannya sehingga pada tahun 2010 masayarakat menduduki lahan PT. SWA. Pendudukan lahan tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya bentrokan antara pihak pengamanan swakarsa perusahaan dengan masyarakat dan mengakibatkan 7 orang tewas. b. Kasus Pertanahan di Desa Harjokuncaran, Malang Jawa Timur Permasalahan tanah yang terjadi di Dusun Mulyosari dan Dusun Kranjan di Desa Harjokuncaran-Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang melibatkan pihak masyarakat dengan Angkatan Darat. Permasalahan ini terjadi akibat perebutan kepemilikan lahan seluas 666 Ha yang saat ini dikuasai oleh Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando daerah Militer V/Brawijaya dengan masyarakat Dusun Mulyosari dan Kranjan. 8

16 Masyarakat mengajukan gugatan disertai bukti kepemilikan Surat Sertipikat Leter C yang dimiliki 900 orang / 200 KK atas lahan tersebut. c. Kasus Pertanahan di Alastlogo, Pasuruan Jawa Timur Kasus Pertanahan ini dipicu dengan tuntutan masyarakat Desa Alastlogo, Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan untuk pengembalian tanah seluas 3.676,335 Ha yang diberikan kepada TNI AL melalui SK Hak Pakai No. 209/HP/35/1992 dan SK No. 278/HP/35/1992. Berdasarkan keputusan MA juga telah ditetapkan TNI AL sebagai pemilik sah SHP No. 1/Alastlogo, namun warga masih melakukan penuntutan pengembalian tanah tersebut. Berkenaan dengan kasus tersebut dilakukan beberapa tindakan penyelesaian dengan dilakukannya tinjauan lapangan pada tanggal Desember 2011 oleh Tim Penyelesaian Tanah TNI AL di Grati Pasuruan, berdasarkan Surat Perintah Direktur Jenderal Kekuatan Pertanahan Kementerian Pertahanan No. SPRIN/422/XII/2011 tanggal 5 Desember 2011 (BPN sebagai anggota), dengan hasil sebagai berikut: Kesepakatan pelaksanaan relokasi dengan dasar penetapan Menteri Pertahanan mengenai lahan TNI AL di Grati Kabupaten Pasuruan secara keseluruhan sebagai daerah latihan militer dan dulakukan penyesuaian RTRW Dibutuhkan payung hukum yang jelas untuk pelaksanaan relokasi. Perlunya penyampaikan saran pendapat sesuai dengan Tupoksi masing-masing sebagai bahan dalam penyusunan kajian hukum oleh Kementerian Pertahanan. Agar pelaksanaannya lebih cepat maka permasalahan ini perlu diangkat dalam Sidang Kabinet untuk mendapat dukungan dari Presiden. d. Permasalahan Tanah Pangkalan Udara Atang Sanjaya, Sukamulya, Bogor Jawa Barat Perselisihan klaim hak atas tanah seluas 10 Ha di Blok Cibitung dan Blok Cikoleang antara masyarakat Desa Sukamulya, Desa Kertajaya, dan Desa Tamansari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan TNI AU, Pangkalan Udara Atang Sanjaya. Permasalahan ini sebenarnya telah terjadi sejak lama namun kembali meruncing pada tahun Konflik dipicu pada saat TNI AU membangun Water Training di lokasi tersebut. Pada data TNI AU, tanah tersebut termasuk dalam aset TNI berdasarkan Inventaris Kekayaan Negara (IKN) seluas 1000 Ha. Hingga tahun 2011 masih dilakukan upaya untuk penyelesaian kasus tersebut. (Sumber: BPN) 2.4 Klasifikasi Kasus Pertanahan Kasus pertanahan di Indonesia dapat pula dikategorikan berdasarkan subjek, yaitu dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami konstelasi dan peta kasus pertanahan di Indonesia, baik secara vertikal maupun horizontal. Konstelasi dan peta kasus pertanahan menjadi input penting dalam mempercepat penyelesaian kasus pertanahan. Pertanyaan siapa melakukan apa dan motifnya apa dapat ditelisik melalui subjek yang terlibat dalam kasus pertanahan. Peran yang dimainkan oleh subjek tersebut dapat dijadikan pintu masuk dalam percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Berikut dipaparkan tipologi kasus pertanahan berdasarkan subjek yang terlibat. 1) Antar Instansi Pemerintah Kasus pertanahan yang melibatkan antar instansi pemerintah mempunyai kecenderungan berhubungan dengan kewenangan dalam pengaturan wilayah secara sektoral terhadap hamparan fisik tanah, baik itu terjadi antar instansi pemerintahan pusat maupun antar wilayah 9

17 kabupaten/kota. Secara keseluruhan persentase kasus antar instansi pemerintah ini relatif kecil, hanya mencapai 1,95% dari keseluruhan kasus sampai dengan tahun 2006, yakni dari kasus yang terbagi menjadi 322 konflik, sengketa dan perkara pertanahan. Kasus tersebut terbagi menjadi beberapa tipologi, yakni: 2) Antar Instansi Pemerintah Pusat Kasus yang melibatkan antar instansi pemerintah pusat berkenaan dengan kewenangan kementerian/lembaga dalam mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah secara sektoral. Misalnya antara kementerian kehutanan dengan pertambangan, kehutanan dengan BPN, pertambangan dengan kehutanan dengan perkebunan, pertambangan dengan BPN, perambangan dengan kementerian lingkungan. 3) Antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat Kasus pertanahan yang melibatkan pemerintah daerah berhadapan dengan pemerintah pusat ataupun kementerian berkenaan dengan kewenangan atas wilayah, misalnya antara kementerian kehutanan dengan pemerintah kabupaten/kota berkenaan dengan kawasan hutan. 4) Antara Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota Kasus antar pemerintah daerah biasanya terjadi antar wilayah kabupaten/kota berkenaan dengan batas wilayah. Batas wilayah yang berupa unsur geografis seperti sungai berpotensi memunculkan konflik batas wilayah. Beberapa kasus yang pernah muncul berkaitan dengan batas wilayah ini adalah konflik antara Kabupaten Ciamis dan Cilacap serta Pasuruan dan Sidoarjo. 5) Antara Masyarakat dengan Pemerintah Masyarakat yang dimaksudkan disini dapat berupa orang per orang ataupun badan hukum, baik badan hukum profit maupun non profit. Pengelompokan ini untuk menghilangkan dikotomi antara masyarakat dan swasta yang selama ini mendapatkan perlakuan yang berbeda. Kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat dan instansi pemerintah mencapai 26,6% dari keseluruhan kasus yang tercatat di BPN sebelum tahun Jumlah ini tersebar ke dalam tiga tipologi yang meliputi kasus antara: Masyarakat (kolektif) dengan instansi pemerintah sebesar 8,2%; Masyarakat (perorangan) dengan instansi pemerintah sebesar 13,5%; dan Badan hukum dengan instansi pemerintah sebesar 4,9%. 6) Antarmasyarakat Kasus yang melibatkan subjek antar masyarakat menempati porsi terbesar, yakni mencapai 71,45%. Proporsi ini merupakan akumulasi dari paling tidak 5 (lima) tipologi kasus yang berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah, batas bidang tanah maupun persoalan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kelima tipologi yang mendasarkan pada subjek hak tersebut adalah: Masyarakat dengan masyarakat secara kolektif sebesar 2%; Perorangan dengan perorangan sebesar 36,85%; Perorangan dengan badan hukum sebesar 18,1%; Badan hukum dengan badan hukum sebesar 2,4%; dan Badan hukum dengan masyarakat sebesar 12,1%. 10

18 Tipologi di atas menunjukkan bahwa kasus pertanahan yang melibatkan antar anggota masyarakat menempati posisi tertinggi (71,45%). Secara detail, kasus yang melibatkan orang perorang mencapai proporsi terbesar, yakni 36,85%, meskipun dapat dipastikan bahwa luasan tanahnya relatif kecil, dibandingkan dengan kasus yang melibatkan badan hukum maupun instansi pemerintah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat dan ketergantungan hidup masyarakat terhadap tanah masih sangat tinggi. Di samping itu, tampak pula bahwa kepastian hukum hak atas tanah juga menjadi masalah yang belum terselesaikan. Berdasarkan kondisi ini, maka diperlukan berbagai strategi pengelolaan pertanahan yang berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui keadilan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemberian kepastian hukum hak atas tanah secara kuat. Sumber: BPN (2012) Gambar 1 Proporsi Kasus Pertanahan Berdasarkan Subjek 2.5 Identifikasi Akar Permasalahan Akar permasalahan kasus pertanahan dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu (1) secara umum normatif; dan (2) teknis pengelolaan pertanahan dalam koridor hukum nasional; dan (3) perbedaan dasar pemahaman atas hukum tanah yang berlaku. 1) Normatif Akar permasalahan secara normatif terbagi kedalam 2 bagian yaitu kesejahteraan dan kepastian hukum hak atas tanah, berikut merupakan penjelasan akar permasalahan secara normatif: 11

19 a. Kesejahteraan Secara umum kasus pertanahan banyak muncul dan berkembang pada lokasi dengan masyarakat yang belum sejahtera secara ekonomi. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya tanah yang merupakan satu-satunya sumber perekonomian masyarakat menimbulkan banyak perselisihan. Perebutan kepemilikan/penguasaan atas tanah pada lokasi dengan masyarakat yang kurang belum sejahtera terjadi baik terhadap lahan legal (dengan bukti kepemilikan) maupun illegal (penyerobotan). b. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Salah satu penyebab mencuatnya permasalahan mengenai tanah/kasus pertanahan diakibatkan oleh kepastian hukum hak atas tanah yang belum memberikan jaminan terhadap kepemilikan tanah. Tidak adanya jaminan kepastian hukum atas tanah mengakibatkan perselisihan berupa perebutan status hak atas tanah yang pada proses penyelesaiannya belum dapat melindungi hak dari pemilik sebenarnya atas tanah yang disengketan. 2) Teknis Pengelolaan Pertanahan Secara teknis, terjadinya kasus pertanahan dikarenakan oleh beberapa sebab sebagai berikut: a. Penggunaan Sistem Pendaftaran Tanah Negatif. Maraknya kasus pertanahan yang disebabkan oleh kepastian hukum atas tanah disebabkan oleh penggunaan sistem pendaftaran tanah negative di Indonesia. Pada sistem pendaftaran tanah negatif dilakukan pencatatan terhadap tanah, namun pencatatan tanah tersebut bukan merupakan bukti hak kepemilikan. Dalam hal ini reforma agraria sangat perlu memperjuangkan perubahan sistem pendaftaran negatif menjadi positif. Sistem pendaftaran tanah positif memberikan jaminan atas kepemilikan tanah seseorang oleh negara sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat apabila terjadi sengketa. b. Cakupan Peta Dasar Pertanahan yang Minim. Cakupan Peta Dasar Pertanahan secara nasional saat ini hanya meliputi 10% dari luas total wilayah daratan nasional. Ketersediaan peta dasar pertanhan menjadi penting karena merupakan dasar dalam penyusunan peta pertanahan lainnya seperti peta kepemilikan (sertipikat), peta nilai tanah, peta land use, peta neraca kesesuaian rencana, peta cadangan tanah, dll. c. Minimnya jumlah tanah setsertipikasi. Berdasarkan data yang tersedia jumlah total tanah bersertipikat/yang telah tersertipikasi mencapai 46,79% dari total luasan bidang tanah ± 87 Juta bidang tanah nasional. Proses sertipikasi khusus untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terkendala oleh syarat pelunasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPPHTB). d. Penguasaan Tanah Terlantar. Penguasaan tanah tanpa adanya proses hukum dilakukan oleh masyarakat miskin pada bidang-bidang tanah yang dianggap terlantar. Penguasaan tanpa proses hukum tersebut dilakukan dan digunakan tidak hanya untuk digarap namun juga diperjual belikan sehingga menimbulkan kesempatan yang lebih besar untuk terjadinya sengketa pertanahan. 3) Perbedaan Dasar Pemahaman Atas Hukum Tanah yang Berlaku Indonesia memiliki hukum pertanahan yang mengatur secara jelas mengenai tata cara baik kepemilikan maupun proses jual beli. Namun penggunaan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan khususnya pada wilayah ulayat/adat terutama wilayah timur Indonesia. Adanya perbedaan penggunaan hukum tanah di berbagai wilayah di Indonesia seringkali menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga sistem tenurial dan pola kerjasama pemanfaatan 12

20 berdasarkan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya matrikulasi penyamaan pemahaman konsep terlebih dahulu. Model-model pengenalan konsep atau modifikasi tenurial pada sistem pertanahan nasional perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mengakomodasi model permasalahan kasus pertanahan ini. 2.6 Arahan Kebijakan terkait Bidang Pertanahan (RPJPN dan RPJMN ) Apabila kita mengutip arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagaimana amanat UU No. 17 Tahun 2007Bidang Pertanahan tercantum dalam Misi 5 Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan. Beberapa substansi yang terkait dengan bidang pertanahan meliputi: (a) menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif; (b) melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi; (c) penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform, agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah; (d) penyempurnaan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat; (e) peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan (Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN , Hal 67-68). Selanjutnya Arah Kebijakan Pertanahan adalah melaksanakan pengelolaan pertanahan secara utuh, terintegrasi melalui Reforma Agraria, dengan prinsip-prinsip dasar (a) memanfaatkan tanah secara berkeadilan; (b) memperbaiki kesejahteraan masyarakat; dan (c) mendukung pembangunan berkelanjutan. Guna mendukung arah kebijakan ini, ditentukan strategi berdasarkan fokus prioritas, yaitu: (a) peningkatan penyediaan peta pertanahan; (b) pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), di mana kedua strategi ini merupakan prequisite condition dari strategi bidang pertanahan lainnya, yaitu (c) peningkatan kinerja pelayanan pertanahan, dan (d) penataan penegakan hukum pertanahan. Strategi yang telah ditetapkan tersebut dilaksanakan dengan cara penyediaan peta pertanahan (peta dasar, peta tematik, peta potensi nilai tanah), legalisasi aset (sertifikasi) tanah masyarakat, redistribusi tanah, penyusunan neraca penatagunaan tanah, inventarisasi dan identifikasi tanah terlantar, peningkatan akses layanan pertanahan melalui Larasita, tersusunnya rancangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan bidang pertanahan, penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan. 2.7 Capaian Kegiatan Prioritas Bidang Pertanahan Dalam RPJMN bidang pertanahan menjadi bagian dari beberapa prioritas pembangunan nasional. Berkaitan dengan Prioritas Nasional 4 penanggulangan Kemiskinan, dilaksanakan kegiatan pengelolaan pertanahan provinsi dengan target bidang tanah yang diredistribusi. Adapun capaian sampai dengan tahun 2012 adalah bidang tanah. Berkaitan dengan Prioritas Nasional 5 Ketahanan Pangan dilaksanakan kegiatan pengembangan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan hubungan masyarakat dengan jumlah rancangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka mendukung UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan yang ditargetkan sebanyak 5 paket dan sampai tahun 2012 telah tercapai 3 paket. Berkaitan dengan Prioritas Nasional 6 Iinfrastruktur 13

21 kegiatan prioritasnya adalah penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan target sebanyak 5 paket, dan sampai dengan tahun 2012 telah tercapai 3 paket. Berkaitan dengan Prioritas Nasional 7 Iklim Usaha dan Iklim Investasi, kegiatan prioritasnya adalah pengelolaan pertanahan provinsi dan informasi pertanahan meliputi sebagai berikut (i) Cakupan peta pertanahan dengan target Ha, dan capaian sampai dengan tahun 2012 adalah Ha; (ii) Terlaksananya legalisasi aset dengan target bidang, dan capaian sampai dengan tahun 2012 sebanyak bidang ; (iii) Penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan dengan target kasus dan capaian sampai dengan tahun 2012 adalah kasus; (iv) Peningkatan akses layanan pertanahan melalui LARASITA (kab/kota) dengan target 419, dengan capaian sampai dengan tahun 2012 adalah Berkaitan dengan Prioritas Nasional 8 Energi adalah Inventarisasi dan identifikasi tanah terindikasi terlantar, dengan target Ha, dan capaian sampai dengan tahun 2012 adalah 428 Satuan Pekerjaan (SP). Sedangkan berkaitan dengan Prioritas Nasional 10 Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik adalah kegiatan Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah tertentu dengan target 885 SP, dan capaian sampai dengan tahun 2012 adalah 551 SP. Berdasarkan beberapa indikator capaian kegiatan yang terkait dengan Prioritas Nasional di atas, dalam tiga tahun berturut-turut ( ) terdapat tiga kegiatan yang tidak mencapai target, yaitu: (a) redistribusi tanah; (b) inventarisasi P4T; dan (c) legalisasi aset (sertifikasi). Terdapat satu indikator kegiatan terkait Prioritas Nasional yang dalam tiga tahun berturut-turut mencapai target, yaitu Penyusunan Peta Pertanahan. Dari ke empat indikator tersebut, dua diantaranya memerlukan perhatian khusus, karena trend pencapaian RKP di bawah Trend Pencapaian RPJMN, yaitu: (a) redistribusi tanah dan (b) legalisasi aset (sertifikasi). Secara umum dapat dikatakan bahwa ketika terdapat kebijakan program di bidang pertanahan seharusnya kasus pertanahan berkurang. Akan tetapi yang terjadi ternyata meskipun kebijakan pertanahan sudah dilakukan, tidak hanya menurunkan kasus pertanahan malah semakin meningkat. 14

22 BAB III ANALISIS PERMASALAHAN, ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN BIDANG PERTANAHAN Pengelolaan Pertanahan Hasil identifikasi akar permasalahan yang menyebabkan kasus pertanahan, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan sistem pengelolaan pertanahan nasional saat ini yang belum berjalan optimal. Beberapa kebijakan eksisting pertanahan nasional yang kemudian teridentifikasi sebagai isu strategis untuk dicari penyelesaiannya meliputi sebagai berikut Kebijakan Sistem Publikasi Negatif Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, kemudian dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang berlaku sejak 8 Oktober 1997.Pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia adalah pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang haknya (rechtskadaster), dengan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya. Sertipikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran hak atas tanah termasuk perubahan-perubahan yang menyangkut subyeknya, status haknya dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan terhadap tanahnya merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan di dalam ketentuan pasal 19 ayat (1) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA.Sertipikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanah bukti yang mutlak/sempurna menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima (oleh Hakim) sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang akan memutuskan alat pembuktian mana yang benar dan apabila ternyata data dari Pendaftaran Tanah tidak benar maka diadakan perubahan dan pembetulan atas keputusan pengadilan tersebut. Inilah yang disebut sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di negara kita baik oleh PP 10/1961 maupun PP 24/1997. Contoh putusan yang membuktikan sistem publikasi negatif adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No. 495/Sip/1975 yang menyebutkan bahwa Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam perkara ini). Sehubungan dengan hal tersebut maka terjadi tuntutan terhadap penyempurnaan sistem publikasi negatifyang dirasakan memiliki kelemahan terutama dalam hal kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah yang namanya terdaftar dalam sertipikat dan pihak ketiga yang beritikad baik (calon pembeli/kreditur). Dalam banyak kasus, pemegang hak yang memiliki sertipikat hak atas tanah, kapanpun tanpa ada batasan jangka waktu tertentu dapat kehilangan hak, karena gugatan pihak lain yang berakibat pembatalan sertipikat di tangannya. Beberapa kasus yang dapat ditunjukkan sebagai berikut. 15

23 Kasus Tanah Graha Niaga di jalan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan, yang diperoleh pihak Graha Niaga melalui jual beli, namun kemudian digugat oleh pihak-pihak yang mengaku ahli waris ex-pemilik tanah di lokasi di mana telah berdiri bangunan bertingkat 24 lantai; Kasus pembatalan peralihan, pemecahan, dan penggabungan pada tanah Hak Milik Nomor 21dan 22/Cipete Udik, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 19 April 1990 Nomor 1300K/Pdt/1988 jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 31 Maret 1993 Nomor 53/PK/Pdt/1993. Keputusan Kepala BPN Nomor 42-VIII-1990 tentang Pembatalan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Sk. 186/HGB/DA/79, tanggal 9 Juli 1979 dan Pembatalan Pendaftaran Hak Guna Bangunan Nomor 346/Palmerah atas nama Dr. H.J. Naro, SH. Untuk dapat menjawab tuntutan perbaikan sistem publikasi tersebut, sebenarnya sudah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan memasukkan tendensi yang mengarah kepada sistem publikasi positif dalam lingkup pengaturan prosedur pengumpulan data sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta pemeiharaannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatankegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun unsur kehati-hatian ataupun accountibility tidak cukup mengurangi kelemahan sistem publikasi negatif. PP 24/1997 berusaha mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif itu degan mengukuhkan lembaga rechtsverwerking yang dikenal dalam Hukum Adat melalu yurisprudensi dalam pasal 32 ayat (2). Sistem publikasi negatif yang tidak menjamin kepastian hukum hak atas tanah sehingga memunculkan peluang pembatalan hak atas tanah, berimplikasi negatif terhadap pembangunan nasional seperti sebagai berikut. Rendahnya daya saing Indonesia dalam percaturan global terhadap investor yang masuk; Potensi konflik antar masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional, termasuk mengancam integritas NKRI; Menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat; Dalam praktek pendaftaran tanah yang menjadi masalah adalah sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan sejauh mana perlindungan hukum terhadap orang yang dengan itikad baik mengadakan perbuatan hukum berdasarkan data tersebut, dan ternyata datanya tidak benar. Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung kepada sistem publikasi apa yang dianut dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah. 1) Sistem Publikasi Positif Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Konsekwensi dari penggunaan sistem ini adalah bahwa dalam proses pendaftarannya harus benar-benar diteliti bahwa orang yang minta pendaftarannya memang berhak atas tanah yang didaftar tersebut dalam arti dia memperoleh tanah itu dengan sah dari pihak yang benar-benar 16

24 berwenang memindahtangankan hak atas tanah tersebut dan batas-batas tanah tersebut adalah benar adanya. Oleh karenanya sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak. Setelah diadakan penelitian barulah hak yang diberikan didaftar dengan membukukannya dalam Buku Tanah termasuk peristiwa-peristiwa dan perbuatan hukum yang terjadi kemudian. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan Sertipikat. Di dalam sistem pendaftaran hak pun untuk setiap penciptaan hak baru dan perbuatanperbuatan hukum yang menimbulkan perubahan juga harus dibuktikan dengan akta. Namun dalam penyelenggaraan pendaftarannya bukan aktanya yang didaftarkan melainkan haknya yang diciptakan dari perubahan-perubahannya. Akta merupakan sumber datanya. Sistem publikasi positif dianut antara lain di Australia, Singapura, Jerman, Swiss dan negaranegara Commonwealth. Sistem pendaftaran hak di Australia yang dikenal dengan Torrens System dikembangkan oleh Sir Robert Torrens sejak 1858 yang dimulai di Australia Selatan dalam bentuk Real Property Act atau Torrens Act. Sistem ini dianggap sangat memberikan perlindungan mutlak kepada pihak yang namanya tercantum dalam Sertipikat. Pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang hak lah yang membuat orang tersebut sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. Dari hasil pendafataran tanah mennurut Torrens System ini menghasilkan setipikat yang merupakan alat bukti mutlak yang tidak dapat lagi digugat, dibatalkan oleh keputusan Hakim. Adapun bagi pemilik sesungguhnya yang dirugikan karena adanya pendaftaran tersebut, akan mendapatkan kompensasi dari asurasi Title Insurance yang juga diterapkan di negara-negara yang menganut sistem publikasi positif. Beberapa kelebihan sistem publikasi positif sebagai berikut. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertipikat. Adanya peranan aktif pejabat kadaster. Mekanisme penerbitan sertipikat dapat dengan mudah diketahui publik. Sedangkan beberapa kelemahan sistem publikasi positif, antara lain: Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya, karena tanah tersebut telah ada sertipikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah lagi. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang mahal. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan administrasi. 2) Sistem Publikasi Negatif Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif, negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai pemegang hak benar-benar orang yang berhak, karena menurut sistem ini, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang diilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Dalam sistem ini negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang minta pendaftaran. Oleh karena itu dia sewakti-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftarpun tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah itu dengan itikad baik. Dengan demikian pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif tidak memberika kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai pemegang hak, karena negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Dalam sistem publikasi negatif, pada umumnya digunakan sistem pendaftaran akta. Di sini tidak ada Buku Tanah dan tidak pula 17

25 diterbitkan sertipikat. Yang merupakan tanda bukti hak adalah akta atau turunan akta yang sudah dibubuhi tanda pendaftaran. Dalam sistem ini berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus iuris. Jadi walaupun telah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa dia pemegang hak yang sebenarnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, negara-negara yang bersistem publikasi negatif, menggunakan lembaga acquisitive verjaring. Kelebihan dari sistem publikasi negatif adalah: Pemegang hak sesungguhnya terlindungi dari pihak lain yang tidak berhak atas tanahnya. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertipikat. Tidak ada batasan waktu bagi pemilik tanah sesungguhnya untuk menuntut haknya yang telah disertipikatkan pihak lain. Sedangkan kelemahan sistem publikasi negatif adalah: Tidak ada kepastian atas keabsahan sertipikat karena setiap saat dapat/mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya. Peranan pejabat Pendaftaran Tanah/kadaster yang pasif tidak mendukung ke arah akurasi dan kebenaran data yang tercantum di dalam sertipikat. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang demikian (kurang transparan) kurang dapat dipahami masyarakat awam. Dalam praktek kedua sistem ini tidak pernah digunakan secara murni. Sistem publikasi positif memberi beban terlalu berat kepada negara sebagai pendaftar. Apabila ada kesalahan dalam pendaftaran, negara harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Untuk itu penelitian dilakukan secara cermat yang mengakibatkan lambatnya proses pendaftaran dan untuk semua risiko itu biasanya negara mengenakan biaya yang mahak untuk pendaftaran, untuk menyediakan suatu dana khusus menghadapi tuntutan ganti kerugian jika terjadi kesalahan pada pihak pejabat dalam melaksanakan pendaftaran. Comment [IK3]: Maksudnya? Bolehgabuistilahsepertiinidibuat note utkpenjelasannya. Comment [IK4]: Maksudnya? Bolehgabuistilahsepertiinidibuat note utkpenjelasannya. Dst 3) Sistem publikasi menurut UUPA dan PP 24/1997 Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP 24/1997 adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Jadi, sistemnya bukan negatif murni. Hal ini ternyata dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, yang menyatakan: pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pernyataan ini mengandung arti bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha, agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran. Sehingga, selama tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya, data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari, maupun dalam berperkara di pengadilan. Demikian pula data yang dimuat dalam sertipikat hak, sepanjang data tersebut sesuai dengan yang ada dalam buku tanah dan peta pendaftaran Redistribusi Tanah Landreform merupakan salah satu dari Panca Program (Agrarian Reform) di Indonesia. Landreform sendiri meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Adapun tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf 18

26 hidup para petani terutama petani keci dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sesuai dengan tujuan tersebut dan mengingat situasi dan kondisi agraria di Indonesia pada waktu itu, maka program landreform meliputi. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee atau guntai; Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah negara; Pengaturan soal pegembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-agian yang terlampau kecil. Dari uraian di atas, salah satu strategi yang dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai, tanah swapraja, dan tanah negara. Namun demikian secara operasional, program ini tidak berjalan lancar karena berbagai kendala baik yang bersifat politis, teknis, administrasi dan legal. Maria Soemardjono menyebutkan bahwa data sampai dengan Juni 1998 menunjukkan dari hektar tanah obyek landreform, baru di redistribusi hektar (56,4%), dengan jumlah penerima sebanyak keluarga petani. Ini berarti setelah hampir 40 tahun, ternyata baru separuh dari tanah obyek landreform itu yang bisa dibagikan. Dengan melihat perbandingan antara luas tanah usaha tani dan tanah obyek landreform, persentase keluarga petani penerima redistribusi di Indonesia tentu sangat kecil. Di sisi lain, program redistribusi tidak selesai dengan telah diterimanya pembagian tanah. Tindak lanjut berupa pelayanan kemudahan memperoleh kredit, bantuan pemasaran hasil prodduksi dan dorongan untuk ikut serta daam koperasi merupakan dukungan yang sangat diperlukan. Tanpa dukungan nyata, petani yang mengalami kesulitan hidup akan dengan mudah menjual tanahnya kepada pihak lain. Salah satu arah kebijakan pembaruan agraria (reforma Agraria) sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001TentangPembaruan AgrariaDanPengelolaan Sumberdaya Alam adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatantanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Ini berarti kegiatan Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Permasalahan mendasar pertanahan, di mana sebagian kecil penduduk Indonesia menguasai tanah yang amat luas sedangkan di sisi lain sebagian besar penduduk harus hidup di tanah yang sempit. Sehingga kemudian program Land Reform melalui re-distribusi tanah melakukan koreksi agar sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasannya layak secara ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk menjamin keadilan semua pihak, tentunya perlu batas waktu dan parameter kinerja di mana pada satu waktu kegiatan redistribusi tanah dinyatakan selesai dan proporsi IP4T telah dikoreksi ke tingkat yang layak baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. 19

27 Sebagai gambaran perbandingan, berikut disajikan perbandingan pelaksanaan landreform di beberapa negara seperti China, Filipina, Brasil, dan Thailand, sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut. Tabel 1 Perbandingan Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara Negara Waktu Pelaksanaan Redistribusi Tanah Dampak Periode Pertama 5 Tingkat pertumbuhan perkapita China tahun ( ) Rata-rata 25% dari pertanian sebesar 1,3% luas desa Filipina Periode Kedua 3 Tahun ( ) 14 Tahun ( ) 41 ribu hektar 8 Tahun ( ) Thailand 22 Tahun ( ) 5,54 juta hektar tanah 6,22 juta hektar tanah Brasil 8 Tahun ( ) 85.8 juta hektar Sumber: Risnarto (2006) 1, Syarief, E. (2012) 2 Angka kemiskinan dari 33% penduduk pedesaan menjadi 4% dari penduduk pedesaan Pembangunan perumahan/ permukiman yang diintegrasikan dengan redistribusi tanah Penerapan teknologi usaha tani yang dikembangkan IRRI untuk pertanian tanah sawah Pembangunan pisik seperti jaringan irigasi, kolam penampung air, jalan usahatani serta sarana dan prasarana irigasi, perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah selama periode tahun , penurunan kerusakan hutan selama periode serta indikator ekonomi peserta landreform dapat dianalisis keberhasilannya. Menyelesaikan konflik yang berkelanjutan antara kelompok agrobisnis besar dan pertanian keluarga, membantu untuk membuat' kompensasi sosial dan distribusi kekayaan Implementasi redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria di Indonesia telah dimulai pelaksanaannya pada periode Tahun 1961 sampai dengan Tahun Namun demikian pelaksanaan pada perode tersebut dinilai kurang berhasil, karena sesungguhnya periode Tahun baru dilaksanakan pada tahap studi persiapan, dan pada Tahun baru dilaksanakan pilot project uji coba pada skala kecil di Jogjakarta. Pelaksanaan land reform tersebut terhenti pada Tahun 1965 setelah terjadi tragedi G 30 S PKI. Pada jaman Orde Baru, program reforma agraria dicoba untuk kembali dilaksanakan dengan bentuk yang berbeda, yaitu melalui program penyebaran penduduk/tramsigrasi yang dibarengi dengan Program PIR (Perkebunan Inti Rakyat), dll. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini memiliki tujuan antara lain: (i) Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ke arah yang lebih adil; (ii) Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (iii) Memperbaiki akses rakyat kepada sumber- 1 Risnarto, 2006, Analisis Manajemen Agraria Indonesia, Program Pascasarjana-Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), 2 Elza Syarief, 2012, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan 20

28 sumber ekonomi, terutama tanah; (iv) Mengurangi kemiskinan; (v) Menciptakan lapangan kerja; (vi) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii) Menguatkan ketahanan pangan dan energi. Sampai dengan Tahun 2012, atau 5 (lima) tahun pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), masih terdapat berbagai permasalahan, yaitu kelangkaan tanah yang dapat dijadikan sumber tanah objek reforma agraria (TORA), dan terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan. Tanah yang menjadi tanah objek reforma agraria (TORA) sebagaimana telah disusun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria berasal dari 8 jenis kategori status tanah, yakni (i) Tanah negara bekas tanah terlantar; (ii) Tanah kawasan hutan produksi konversi; (iii) Tanah negara berasal dari sumber lainnya (tanah negara bebas, tanah negara bekas hak barat, tanah negara berasala dari tanah timbul); (iv) Tanah negara bekas swapraja; (v) Tanah negara berasal bekas pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi; (vi) Tanah negara berasal dari pelepasan kawasan hutan; (vii) Tanah negara berasal dari tukar menukar atau perbuatan hukum keperdataan lainnya dalam rangka Reforma Agraria; dan (viii) Tanah yang diserahkan oleh pemegang haknya kepada negara untuk Reforma Agraria. Namun demikian setelah dimulai pada era Tahun 60an hingga saat ini, terdapat kelangkaan sumber tanah yang dapat menjadi TORA dan sebagian besar hanya tinggal berasal dari tanah negara yang meliputi kawasan hutan yang dapat dikonversi dan tanah terlantar. Namun pada pelaksanaannya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non hutan memerlukan beberapa persyaratan khusus sehingga proses perubahannya memerlukan waktu yang lama. Selain itu, BPN juga mengalami kesulitan dalam menetapkan sebidang tanah sebagai tanah terlantar karena beberapa hal yaitu (i) pemegang hak dapat melakukan upaya teknis untuk menghindari status tanah terlantar; (ii) Data subjek untuk penerima reforma agraria belum tersedia dengan baik; (iii) Ketentuan tentang tata cara pengaturan (delivery mechanism) pelaksanaan redistribusi tanah belum jelas secara operasional; (iv) Pengukuran kadastral dan identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) belum mencakup seluruh wilayah nasional. Secara kronologis perkembangan alokasi obyek (TORA) maupun pelaksanaan redistribusi disajikan pada tabel sebagai berikut. Tabel 2 Tabel Alokasi Tanah Objek Land Reform Tahun Luas Rata-rata/th Sumber: Renstra BPN Tabel 3 Tabel Redistribusi Tanah Tahun Luas (ha) Rata-rata/tahun

29 Sumber: Direktorat Landreform, BPN (2013) Sementara itu permasalahan lainnya terkait dengan implementasi redistribusi tanah yang telah dilakukan adalah terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan oleh pemerintahan kepada masyarakat miskin kepada pihak lain dikarenakan masyarakat miskin penerima tidak memiliki akses sumberdaya yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut. Sehingga pada akhirnya program redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan, belum dapat menunjukan hasil yang signifikan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin. Gambar 2 Diagram Fenomena Penyediaan Tanah Objek Redistribusi 22

30 3.1.3 Penyelesaian Perkara Kasus Pertanahan Fenomena sengketa tanah yang muncul ke permukaan, baik sengketa antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, pemerintah dengan pemerintah maupun antar masyarakat itu sendiri semakin marak. Menurut Arie Sukanti Hutagalung, sebagian besar muncul sebagai akibat pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, perumahan, pariwisata maupun perkebunan skala besar. Di luar Jawa sengketa sengketa hak adat atas tanah dengan pemilik modal besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan hak adat atas tanah dengan pemilik modal besar yang mendapatkan konsesi pengusahaan hutan, pertambangan, termasuk pertambangan minyak dan gas bumi, dan pengembangan agribisnis dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah Orde Baru, pada saat itu, yang banyak bersifat adhoc, inkonsisten, dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Struktur hukum pertanahan menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terjadi pertentangan dengan Undang- Undang di bidang Agraria, seperti UU Kehutanan, UU Mineral dan Batubara, UU pertambangan minyak dan gas bumi, dan lain-lain. Keseluruhan Undang-Undang ini mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai obyek yang sama. Benturan di lapangan tidak dapat dihindari terjadi antara penggunaan dan penafsiran Undang-Undang yang berbeda oleh pejabat pemerintahan sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan tanah yang sama. Perbedaan antar Undang-Undang tersebut tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial Undang-Undang tersebut tidak integratif. Menurut Maria S.W. Sumardjono (tahun..), secara garis besar permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu. a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan lain-lain. b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang landreform. c. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan. d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah. e. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dari segi yuridis praktis, Boedi Harsono lebih merinci masalah tanah yang dapat disengketakan, sebagai berikut: a. Sengketa mengenai bidang tanah yang mana yang dimaksudkan; b. Sengketa mengenai batas-batas bidang tanah; c. Sengketa mengenai luas bidang tanah; d. Sengketa mengenai status tanahnya: tanah negara atau tanah hak; e. Sengketa mengenai pemegang haknya; f. Sengketa mengenai hak yang membebaninya; g. Sengketa mengenai pemindahan haknya; h. Sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapan luasnya untuk suatu proyek pemerintah atau swasta; i. Sengketa mengenai pengosongan tanah; j. Sengketa mengenai pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan lainnya; k. Sengketa mengenai pembatalan haknya; 23

31 l. Sengketa mengenai pencabutan haknya; m. Sengketa mengenai pemberian haknya; n. Sengketa mengenai penerbitan sertipikatnya; o. Sengketa mengenai alat-alat pembuktian adanya hak atau perbuatan hukum yang dilakukan dan sengketa-sengketa lainnya. Menurut Maria S.W. Sumardjono, tidak dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan. Kesamaan pemahaman terhadap konsep diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yangsolid dan adil nagi pihak-pihak yang meminta keadilan. Permasalahan yang memerlukan kesamaan persepsi tersebut misalnya berkenaan dengan: a. Hak ulayat suatu masyarakat hukum adat, yang meliputi: 1) Konsepsinya; 2) Kriteria berlakunya, yang berkaitan dengan subyek haknya, yakni masyarakat hukum adat yang bersangkutan, obyek haknya, yakni wilayah yang menjadi lebensraum-nya, dan kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tersebut untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum antara anggota masyarakat hukum dan tanah wilayahnya; dan 3) Ganti kerugian yang diberikan kepada masyrakat hukum adat tersebut jika tanahnya diperlukan untuk pembangunan atau keperluan lain. b. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, berkenaan dengan: pengertian kepentingan umum, ruang lingkup kegiatannya, tata cara melakukan musyawarah, dan penentuan ganti kerugiannya. c. Sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, berkenaan dengan: kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang mengandung cacat hukum, dan cara pembatalan dan atau penyelesaiannya. d. Tanah Negara, yang meliputi: pengertiannya, ruang lingkupnya, serta proses terjadinya. e. Penggarapan rakyat atas tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan, dan lain-lain yang meliputi: status tanah yang digarap, penguasaan de facto oleh rakyat, dan prinsipprinsip penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Pemindahan hak atas tanahh karena jual beli, yang berkaitan dengan: sahnya jual beli, fungsi pendaftaran hak atas tanah, dan perlinddungan kepada pihak ketiga yang beritikad baik. Seperti halnya sengketa di bidang lain, maka sengketa tanah dapat diselesaikan dengan cara: a. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. b. Penyelesaian melalui badan peradilan, yaitu diajukan ke pengadilan umum secara perdata c. Penyelesaian melalui badan peradilan, yaitu diajukan ke pengadilan umum secara pidana, jika sengketanya mengenai penyelesaian mengenai penyelesaian pemakaian tanah secara illegal yang dimungkinkan oleh UU 51/Prp/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya Comment [IK5]: Maksudnya? Bolehgabuistilahsepertiinidibuat note utkpenjelasannya. 24

32 d. Penyelesaian melalui badan peradilan, yaitu diajukan ke pengadilan melalui peradilan tata usaha negara. Untuk diketahui bahwa Indonesia sebenarnya pernah memiliki pengadilan khusus terkait bidang pertanahan pada tahun 1964 dalam konteks landreform hingga akhirnya pengadilan khusus tersebut dihapuskan pada tahun Terhitung sejak penghapusannya, setiap konflik pertanahan kemudian diselesaikan dalam pengadilan umum 3, sampai pada perkembangannya bahkan masuk ranah pengadilan lainnya seperti telah disebutkan sebelumnya. Dalam prakteknya, tiga pengadilan yang berbeda tersebut dapat melakukan acara peradilan pada kasus yang sama dengan hasil keputusan yang berbeda-beda. Sebagai contoh dimana satu kasus ditangani oleh 2 (dua) pengadilan berbeda dengan 3 (tiga) acara peradilan yang berbeda didalamnya adalah pada kasus Saudara I Wayan Tama di Bali, pada gugatan pertama tanggal 15 April Untuk kasus gugatan tersebut, Pengadilan Negeri pada akhirnya menghasilkan keputusan yang memenangkan penggugat berdasarkan keputusan PN Denpasar No. 83/Pdt.G/2000/PN-Dps (berdasarkan PK MA-RI No.61 PK/Pdt/2004), sedangkan pada PTUN setelah melalui proses peninjauan kembali MA, berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali MA-RI Nomor 08 PK/TUN/2005l 28 Desember 2005, memenangkan pihak tergugat, yaitu Kanwil BPN Provinsi Bali dan Kantah BPN Kabupaten Badung. Lebih lanjut, kemudian dalam gugatan pidana Kanwil BPN terhadap Saudara I Wayan Tama, setelah berproses panjang, diputuskan oleh MA, melalui keputusan pada tanggal 21 Januari 2008 yang memenangkan Saudara I Wayan Tama. Dua pengadilan dengan tiga acara peradilan berbeda menghasilkan tiga keputusan yang saling berbeda satu dengan lainnya. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada Tahun 2012 saja telah terjadi kasus pertanahan di seluruh Indonesia dan jumlah tersebut telah meningkat tajam jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi di Tahun 2006 yaitu sebanyak kasus. Adapun dalam beberapa tahun terakhir, persentase akumulasi perkara bidang pertanahan yang diajukan ke Mahkamah Agung diperkirakan berkisar antara 65% hingga 70% dari keseluruhan perkara yang ditangani setiap tahunnya. Dengan demikian terlihatlah potensi konflik yang meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat potensi putusan berbagai pengadilan yang berbeda dengan putusan yang berbeda pula pada kasus pertanahan yang sama Kebijakan Pencadangan Tanah Intensitas kebutuhan pembangunan yang semakin meningkat serta kondisi makin terbatasnya ketersediaan tanah secara simultan berakibat pada semakin sulitnya optimalisasi pemanfaatan penggunaan tanah, khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga yang terjadi kemudian adalah pertentangan kepentingan antar pihak atas sebidang tanah yang sama. Akibat praktis yang ditimbulkan adalah pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembebasan lahan terutama terkait eksekusi pembebasan penguasaan lahan dan pembiayaannya yang menjadi sangat mahal. Itu semua terlihat melalui banyaknya kasus pembebasan tanah yang berlarut-larut. Disisi lain, hak penduduk lain yang lebih membutuhkan dan mampu memanfaatkan bidang tanah tersebut dengan segera, menjadi tidak terpenuhi sehingga potensi kesejahteraan yang akan didapat menjadi tidak dapat terwujud. 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform 25

33 Dengan demikian praktek pencadangan tanah oleh swasta bertentangan dengan keadilan sebagaimana dicantumkan Pasal 33, UUD Perkembangan terkini yang terjadi kemudian adalah penguasaan tanah oleh badan usaha swasta dalam skala luas untuk dimanfaatkan jauh di waktu yang akan datang. Pencadangan tanah seperti ini sebenarnya merupakan praktek spekulasi dan menurut peraturan perundangan termasuk dalam kategori penelantaran tanah. Praktek seperti itu banyak dilatarbelakangi faktor mencari keuntungan semata dengan mendapatkan perbedaan harga tanah saat dibeli dengan saat dijual kembali (dimanfaatkan) dalam masa waktu yang panjang hingga tahun kemudian oleh pihak yang terlibat didalamnya. Badan usaha swasta yang bergerak di bidang properti dengan status kepemilikan tanah berupa Hak Guna Bangunan (HGB), dan di bidang perkebunan dengan status kepemilikian tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU), serta sebagai badan usaha swasta yang bergerak dalam penyiapan tanah untuk kawasan perindustrian dengan regulasi Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) dan Kawasan Siap Bangun (Kasiba) teridentifikasi yang paling sering melakukan praktek seperti ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penguasaan tanah dalam skala luas tadi tidak diusahakan untuk mendorong pembangunan ekonomi tetapi cenderung dimanfaatkan sebagai objek spekulasi dan investasi oleh beberapa pihak tertentu. Lebih dari itu, luasan tanah yang terindikasi diterlantarkan tersebut telah menjadi agunan serta dibebankan haknya melalui hak tanggungan di lembaga keuangan/perbankan. Sebenarnya PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar telah menetapkan dalam Pasal 6, bahwa bila dalam tiga tahun sejak hak diberikan tidak dilakukan pemanfaatan, maka bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai teridentifikasi terlantar. Peringatan diberikan tiga kali masing-masing dalam waktu 1 bulan, dan bila tetap tidak dilakukan pemanfaatan sesuai dengan peruntukan ijin yang diberikan, kemudian bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar dan dikuasai negara. Sebagai contoh ilustrasi, bila pada Tahun 2007 sebuah perusahaan membeli tanah seluas 17,3 Ha dengan status kepemilikan HGU atau HGB di kawasan Kuningan, Jakarta untuk dibangun sebuah properti dan Ha di Bogor, kemudian perusahaan tersebut menetapkan bidangbidang tanah tersebut sebagai cadangan tanah perusahaannya (Bank Tanah), perlu dicermati pemanfaatan selama tiga tahun sejak hak diberikan. Bila kemudian, selama lebih dari tiga tahun properti yang dimintakan ijin dengan HGU dan HGB tidak dibangun dan bahkan pada Tahun 2011 (empat tahun kemudian) sebagian dari 17,5 Ha bidang tanah di Kuningan, Jakarta, misalnya seluas 3 Ha kemudian dijual kepada pihak perusahaan properti swasta lainnya, sebenarnya perusahaan pertama pemilik lahan 17,3 Ha dan Ha tersebut telah melakukan penelantaran tanah dan melanggar PP No.11 Tahun 2010 serta bertentangan dengan Pasal 33, UUD Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai instansi Pemerintah yang melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia (Perpres Nomor 10 Tahun 2006 jo Perpres Nomor 85 Tahun 2012). Wilayah kewenangan BPN meliputi wilayah nasional daratan bukan hutan seluas kurang lebih 67,08 juta Ha. Dalam melaksanakan tupoksi di atas, pada akhir tahun 2012 BPN RI berkekuatan pegawai negeri sipil sebanyak orang dengan rincian: (1) Pegawai BPN Pusat berjumlah orang, atau 7,14 %; (2) sebanyak orang atau sekitar 18,39 %, tersebar di 33 Kantor Wilayah BPN 26

34 Propinsi, serta (3) sebanyak orang atau sekitar 74,47%. tersebar di 426 Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan 29 Perwakilan kantor Pertanahan seluruh Indonesia. Secara kronologis di awal pembentukannya pada tahun 1988/1989, berdasarkan keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988, BPN memiliki SDM sejumlah orang. Adapun dalam kurun waktu 10 tahun berikutnya pada tahun 1997/1998 kondisi jumlah SDM BPN tergolong tetap yaitu berjumlah atau hanya mengalami peningkatan sebanyak 334 orang. Menjadi catatan bahwa pada awal tahun 2013 ini jumlah SDM BPN-RI justru mengalami pengurangan yang cukup signifikan dari tahun 1997/1998 yaitu berkurang sebanyak orang menjadi sekitar orang. Dari hasil evaluasi sementara, BPN secara ideal diharapkan memiliki kekuatan pegawai negeri sipil sebanyak orang, dengan proporsi kompetensi ideal untuk juru ukur sekitar orang. Dengan demikian terlihat bahwa kekuatan SDM BPN masih jauh dari memadai untuk dapat memberikan pelayanan pertanahan nasional yang baik. Selain itu dari sisi pola penyebaran SDM, tercatat sebagian besar hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Bali serta kotakota besar lainnya di Indonesia, seperti Makasar, Medan, dll. Di sisi lain, saat ini BPN sedang memiliki prioritas utama dalam kegiatan percepatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dimana pada Tahun 2012 baru mencapai 11% dari wilayah nasional. Dari aspek proporsi kompetensi, saat ini jumlah sumberdaya manusia juru ukur/surveyor masih sangat kurang yaitu baru mencapai sekitar orang dari total kebutuhan ideal sekitar orang. Pada saat ini di Tahun 2012, proporsi pegawai BPN untuk juru ukur bila dibandingkan dengan keseluruhan orang, baru mencapai 8%. Kebijakan penerimaan pegawai yang berjalan belum mengarah pada upaya mencapai kekuatan ideal, termasuk proporsi juru ukur sebagai ujung tombak pelayanan pertanahan nasional. 3.2 Konfirmasi permasalahan di Lombok dan Samarinda Dari hasil Focus Group Discussion baik yang diselenggarakan di Lombok maupun Samarinda, ditemukan permasalahan di bidang pertanahan sebagai berikut: 1) Tentang Pendaftaran Tanah (jaminan kepastian hukum) a. Terjadi tumpang tindih penguasaan tanah kehutanan. Di kawasan hutan terdapat bidang tanah yang terdaftar atas nama seseorang, dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah. b. Jaminan kepastian hukum berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah adat oleh masyarakat hukum adat. c. Pengurusan tanah adat menjadi tanggung jawab siapa, apakah pemerintah provinsi ataukah pemerintah kabupaten. d. Di Kaltim ada 771 permasalahan tumpang tindih antara tanah untuk pertambangan, Hak Guna Usaha, tanah kehutanan, dan tanah perkebunan. e. Ketiadaan Peta Dasar sehingga mempersulit pemberian jaminan kepastian hukum. f. Masalah hilangnya tanda batas yang sudah dipasang di kawasan hutan. g. Pensertipikatan tanah-tanah kas desa, agar tidak di klaim oleh pihak lain. h. Peta pertanahan 2010 dengan kondisi di lapangan yang berbeda. 2) Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum a. Sulitnya memperoleh tanah untuk kepentingan umum: pemberian ganti rugi disertai janji kepada masyarakat untuk tetap dapat menggunakan tanahnya sebagai tempat untuk 27

35 mencari nafkah sementara proyek belum dilaksanakan. Akibatnya, ketika proyek sudah akan dilaksanakan, masyarakat tetap menempati tanah untuk tempat mencari nafkah. b. Sulitnya memperoleh tanah, karena sebagian besar diakui sebagai miliknya masyarakat, meskipun penguasaannya tanpa alas hak. c. Sulitnya memperoleh tanah (di Lombok: untuk memperpanjang landasan pacu), karena tidak diketahui pemilik dari tanah-tanah di lokasi tersebut. d. Sulitnya musyawarah untuk melepaskan hak atas tanah dan penentuan besarnya ganti kerugian. e. Diperlukan pemahaman tentang karakteristik masyarakat setempat, agar pembebasan tanah dapat dilaksanakan. 3) Tentang Redistribusi Tanah Pertanian a. Undang-Undang 56/Prp/1960 yang dianggap tidak lagi relevan. b. Tanah-tanah hasil redistribusi, dijual kembali oleh penerima karena kebutuhan keuangan. 4) Tentang Sengketa Tanah a. Sengketa tanah pertambangan, tanah-tanah kehutanan. b. Sengketa tanah antara pemerintah dengan pihak ketiga, berkaitan dengan tanah sebagai aset pemerintah. c. Sengketa tanah Hak Ulayat, diperlukan adanya kepastian tentang adanya Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 5) Tentang Sumber Daya Manusia Di Bidang Pertanahan Sangat minimnya juru ukur, di salah satu Kantor Pertanahan Samarinda, hanya ada satu orang juru ukur. Berangkat dari isu strategis di bidang pertanahan, diperoleh konfirmasi di lapangan kebenaran (fakta) berkaitan dengan isue strategis tersebut. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam penyusunan Rencana Pembangunan JangkaMenengahNasional(RPJMN ) di bidang pertanahan. 28

36 BAB IV RUMUSAN ARAH KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah teridentifikasi dan kebijakan pengelolaan pertanahan nasional eksisting selanjutnya diperlukan upaya perbaikan terhadap isu-isu strategis sebagaimana dijelaskan pada Bab 3. Untuk itu sistem pengelolaan pertanahan nasional akan diarahkan ke dalam beberapa pokok kebijakan sebagai berikut: 4.1 Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Positif Sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang menggunakan sistem stelsel negatif telah teridentifikasi tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik sertipikat atau pemilik hak atas tanah tersebut. Penggunaan sistem ini memicu timbulnya berbagai permasalahan dalam bidang pertanahan yang kemudian memicu terjadinya konflik dan sengketa tanah. Di lain sisi, kepastian hukum atas kepemilikan tanah akan mengurangi kasus klaim kepemilikan oleh pihak lain yang tidak berhak pada sebidang tanah sehingga mendorong pembentukan iklim investasi ekonomi yang kondusif yang pada akhirnya berpengaruh kepada menguatnya daya saing perekonomian nasional di dunia internasional. Pemerintah perlu mencermati kelebihan dan kekurangan dari dua sistem pendaftaran tanah yang berbeda, yaitu sistem pendaftaran tanah publikasi negatif yang selama ini dilaksanakan di satu sisi, dan sistem pendaftaran tanah publikasi positif di sisi lain. Berikut merupakan tabel perbandingan sistem pendaftaran tanah positif dan negatif. Tabel 4 Perbandingan antara sistem publikasi negatif dengan sistem publikasi positif No Kelebihan/ Sistem Pendaftaran Akta/ Pendaftaran Kelemahan Tanah Negatif 1. Karakter 1. Lembar sertipikat merupakan alat Dasar bukti hak; 2. Informasi publikasi dalam lembar sertipikat tidak dijamin kebenaran. Dianggap benar hingga terbukti salah; 3. Obyek pendaftaran adalah lembar sertipikat. 4. Bila terjadi sengketa akibat sertipikat sah ganda, negara tidak mengganti kerugian finansial yang terjadi. 2. Kelebihan 1. Secara filosofis akademis tidak disyaratkan pengujian yuridis maupun teknis sehingga proses pendaftaran dapat dilaksanakan dengan cepat dan murah. 3. Kelemahan 1. Bila terjadi kehilangan ataupun kerusakan pada lembar sertipikat, Sistem Pendaftaran Hak/ Pendaftaran Tanah Positif 1. Lembar sertipikat merupakan alat publikasi dan bukan alat bukti hak; 2. Informasi publikasi dalam sertipikat dijamin kebenarannya oleh negara; 3. Obyek pendaftaran adalah hak atas tanah; 4. Bila terjadi sengketa akibat sertipikat sah ganda, negara mengganti kerugian finansial yang terjadi. 1. Bila terjadi kehilangan ataupun kerusakan pada lembar sertipikat, sepanjang identitas pemilik dapat dibuktikan, sertipikat dengan informasi publikasi yang sama dapat dengan cepat dicetak ulang. 2. Lembar sertipikat menjadi tidak cukup berharga untuk dipalsukan sehingga secara logis dapat memperkecil potensi sengketa dan konflik. 1. Secara filosofis akademis diperlukan pengujian yuridis dan 29

37 No Kelebihan/ Kelemahan Sumber: Djatmiko, B. (2009) 4 Sistem Pendaftaran Akta/ Pendaftaran Tanah Negatif seluruh proses pendaftaran perlu diulang kembali untuk dapat mencetak ulang sertipikat dengan informasi publikasi yang sama; 2. Lembar sertipikat menjadi amat berharga sehingga menjadi obyek pemalsuan yang justru memperbesar potensi sengketa dan konflik. Sistem Pendaftaran Hak/ Pendaftaran Tanah Positif teknis sehingga proses pendaftaran dibandingkan dengan sistem negatif menjadi lebih lama dan lebih mahal; Dengan demikian terlihat bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah, diperlukan perubahan sistem pendaftaran tanah nasional dari sistem publikasi negatif menuju sistem publikasi positif. Sistem pendaftaran posistif, selain meningkatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanah bagi setiap penduduk, disisi lain juga akan meningkatkan kepastian hukum dalam penyediaan lahan bagi pembangunan karena lebih jelas dan pasti pihak yang berhak atas bidang tanah yang perlu dibebaskan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Pada dasarnya walaupun secara hukum formal sistem pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif, namun beberapa karakter publikasi positif telah mulai diaplikasikan sebagai pelengkap dalam kebijakan pendaftaran tanah nasional. Hal ini terlihat dalam proses pendaftaran tanah yang melibatkan panitia ajudikasi atau panitia penilai sebagaimana diterangkan dalam PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Terdapatnya panitia penilai atau panitia ajudikasi terhadap bidang tanah yang akan didaftarkan merupakan salah satu ciri penggunaan karakter pendaftaran tanah secara positif Namun demikian, untuk melakukan penjaminan atas kepastian hak kepemilikan tanah masih diperlukan persiapan panjang yang matang terutama dari kemampuan keuangan negara dalam melakukan ganti rugi pada kasus dimana sertipikat yang telah diterbitkan terbukti oleh Pengadilan sebagai tidak sah. Saat ini, masih besar potensi terjadinya sertipikat ganda mengingat dua faktor yang amat terkait, yaitu : (i) cakupan peta dasar pertanahan yang baru mencapai 11% dari wilayah nasional daratan bukan hutan; serta (ii) cakupan wilayah bidang tanah yang bersertipikat baru mencapai 47% dari wilayah nasional daratan bukan hutan. Untuk itu sebelum dilakukan perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi publikasi positif, perlu dilakukan beberapa langkah teknis meliputi : (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan. Terkait dengan potensi terjadinya kesalahan negara dalam menerbitkan sertipikat, diasumsikan bahwa tingkat kesalahan yang mengakibatkan beban keuangan negara dalam menyediakan ganti rugi, akan mencapai tingkat yang dapat dikelola bila cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah nasional yang telah bersertipikat, keduanya mencapai 80 (atau 90) % dari wilayah nasional daratan bukan hutan. Pada kondisi ini, diyakini bahwa secara teknis kemungkinan terjadi sertipikat sah ganda menjadi amat kecil sehingga bila memang masih terjadi, resiko beban keuangan negara dalam memberikan ganti rugi masih dapat dikelola dengan baik. Selain itu, sebagai konsekuensi logis penjaminan kebenaran informasi batas bidang tanah pada sistem stelsel positif, perlu dilakukan publikasi atas setiap proses pendaftaran (registrasi) 4 Boedi Djatmiko, 2009, Sistem Pendaftaran Tanah, 30

38 yang pada akhirnya setiap batas antara dua bidang tanah harus terukur pada skala rinci yang sama di setiap persil yang berkaitan. Premis tersebut berimplikasi kepada perlunya pengukuran batas hutan pada skala yang sama untuk dapat memberikan kepastian hukum hak atas bidang tanah yang berbatasan dengan hutan. Lebih jauh, pendaftaran bidang kawasan hutan yang diwajibkan untuk didaftarkan sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, sebagaimana secara implisit dituangkan dalam UUPA Pasal 19 ayat (1), perlu juga dipublikasikan dalam bentuk sertipikat. Selama ini pengertian sertipikat selalu dikaitkan dengan alas hak yang melekat pada bidang tanah, namun sesungguhnya alas hak hakikatnya adalah salah satu informasi yang dipublikasikan. Sehingga dalam kasus sertipikat hutan, dapat saja diterbitkan sertipikat tanpa memberikan alas hak pada kawasan hutan tersebut. Dengan demikian UUPA tidak diposisikan bertentangan dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahkan keduanya dapat saling melengkapi dan menguatkan. 4.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform Telah teridentifikasi sebelumnya beberapa hal terkait pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia selama ini, yaitu (i) Bahwa pelaksanaan redistribusi tanah tidak memiliki kerangka waktu; sedangkan di sisi lain; (ii) Tanah sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) semakin langka, dan saat ini sebagian besar TORA bersumber dari (i) perlepasan kawasan hutan; dan (ii) tanah terlantar; dan (iii) Terjadi pengalihan hak atas tanah segera setelah bidang tanah diserahkan kepada penduduk miskin, walaupun tidak melalui transaksi jual beli formal (di bawah tangan), karena penduduk miskin bersangkutan tidak memiliki sumber daya untuk mengolah dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Mengingat keadaan nyata pada masih terdapatnya ketimpangan tajam terhadap proporsi pemilikan dan penguasaan tanah (IP4T), terutama masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke sumber daya tanah, dengan memperhatikan amanat UUPA dan telah diperkuat dengan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Indonesia perlu melanjutkan kebijakan pelaksanaan redistribusi tanah yang merupakan bagian dari sebuah reforma besar, Reforma Agraria. Namun demikian dengan memperhatikan beberapa masalah yang teridentifikasi, tentunya kebijakan redistribusi tanah saat ini perlu disempurnakan dan dilengkapi sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pokok-pokok penyempurnaan kebijakan redistribusi tanah adalah: 1) Redistribusi tanah sebagai bagian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) harus dilengkapi dengan kerangka waktu pelaksanaan; Mengingat pengalaman Filipina, Brasil, dan Thailand, dimana seperti Brasil, Indonesia juga memiliki masalah sengketa tanah skala besar yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, kemudian seperti Thailand, Indonesia juga berambisi mengembangkan teknologi pangan untuk mewujudkan kebijakan swa sembada pangan nasional. Pada kasus Filipina, dibutuhkan 14 tahun upaya redistribusi tanpa pengembangan teknologi dan tanpa penyelesaian konflik skala besar. Mengingat selain kebutuhan untuk menyelesaikan konflik skala besar juga terdapat kebutuhan untuk mengakomodasi pengembangan teknologi pertanian dan pangan, untuk itu kemudian diusulkan bagi Indonesia untuk melakukan redistribusi tanah dalam kurun waktu 10 tahun secara bertahap, yaitu : 31

39 a. Tahap I, dalam waktu 5 tahun; Selain melakukan identifikasi potensi rinci, berapa luas dan lokasi sumber TORA, dan melakukan pelaksanaan redistribusi itu sendiri, penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan skala nasional (besar) menjadi prioritas utama pada tahap ini. Pengembangan teknologi pertanian dan pangan juga harus sudah dimulai dengan bekerjasama dengan instansi Pemerintah terkait dan juga dunia usaha swasta. Sebagai gambaran pengalaman negara-negara lain, Filipina berhasil melakukan redistribusi seluas 5,96 juta Ha; Thailand telah melakukan redistribusi tanah seluas 6,22 Juta Ha, dan Brasil setelah menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan skala besar berhasil melakukan redistribusi tanah seluas 85,8 juta Ha; b. Tahap II, dalam waktu 5 Tahun; Pelaksanaan redistribusi sejalan dengan pengembangan teknologi pertanian dan pangan. Pengembangan interkoneksi antara usaha petani kecil dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta badan usaha besar dengan fokus kepada orientasi eksport di dunia internasional. 2) Penyediaan input sumberdaya pendamping bagi penerima program redistribusi tanah Access Reform; Dalam upaya mengeluarkan penduduk miskin dari jebakan kemiskinan (poverty trap), di mana dalam pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah telah terjadi penyimpangan dengan mengalihkan hak atas tanah yang telah diserahkan, Pemerintah perlu melengkapi pemberian bidang tanah dengan sumber daya lain yang dibutuhkan penduduk miskin penerima untuk dapat mengolah dan memanfaatkan tanah redistribusi. Bila bidang tanah redistribusi dianggap sebagai asset, maka sumber daya pelengkap yang diperlukan dapat dianggap sebagai access menuju tingkat kesejahteraan yang lebih layak. Dengan demikian diusulkan kebijakan penyediaan sumberdaya pelengkap ini dipopulerkan sebagai kebijakan Access Reform. Sumber daya pelengkap dapat meliputi: (i) pinjaman uang sebagai modal usaha kecil/menengah; (ii) penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan/atau pupuk; (iii) penyediaan teknologi dan/atau alat produksi; (iii) pelatihan-pelatihan; (iv) bantuan pemasaran termasuk pengembangan pasar baru; (v) pemberian sumber daya lainnya bagi keperluan peningkatan kesejahteraan terkait pengelolaan dan pemanfaatan bidang tanah redistribusi. 3) Pembangunan interkoneksi usaha; Secara akademis sebenarnya pembangunan interkoneksi usaha merupakan bagian dari bantuan pemasaran dan pengembangan pasar baru, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak mendapat cukup perhatian dan dilakukan dengan seadanya. Untuk itu diusulkan pembangunan interkoneksi menjadi sub kebijakan tersendiri. Upaya pembangunan interkoneksi membutuhkan koordinasi yang kuat, yang dapat diterima oleh seluruh stakeholder terkait, meliputi berbagai Instansi Pemerintah terkait, badan usaha swasta, dan petani miskin atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Diusulkan Bappenas dapat menjadi Leading Institution dalam mengkoordinasikan pembangunan interkoneksi usaha ini. Tujuan utama dari pembangunan interkoneksi ini adalah membangun apa yang dikenal sebagai Innovation System atau di beberapa negara juga dikenal sebagai Technology Policy 32

40 dalam skala kecil yang dikhususkan bagi petani miskin penerima redistribusi tanah. Dalam innovation system, selain hubungan timbal balik antara pasar-produksi-lembaga litbang, feedback dari pasar atas permintaan spesifikasi tertentu atas barang produk dan/atau innovasi product juga amat penting dan strategis. Setelah kedua tahapan redistribusi tanah diatas selesai dilaksanakan dalam 10 tahun, di awal tahun ke-11 harus dilakukan pemberhentian program secara formal untuk mengkomunikasikan ke publik bahwa kebijakan pelaksanaan redistribusi tanah dan access reform telah selesai dilaksanakan dan dihentikan. Pernyataan dihentikan amat penting karena berdasarkan pengalaman seringkali suatu program menjadi berkelanjutan atau menjadi kegiatan rutin. Untuk kasus redistribusi, justru akan menjadi tidak adil bagi masyarakat golongan menengah ke atas karena aktivitas ekonominya tidak dapat berjalan dengan optimal. 4.3 Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan Hasil keputusan beberapa pengadilan yang berbeda pada beberapa acara peradilan yang juga berbeda untuk kasus yang sama, selain akan menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan antara pihak-pihak yang bersengketa, juga akan merusak kepastian hukum hak atas tanah yang pada akhirnya juga mempengaruhi iklim investasi suatu negara. Salah satu faktor utama penyebab perbedaan keputusan di atas adalah minimnya pengetahuan pertanahan dari para hakim penyelenggara acara peradilan tersebut. Selain itu juga dibukanya opsi banding yang sama dengan kasus peradilan lainnya, baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, menyebabkan rentang waktu penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan menjadi hampir tidak terbatas. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mendasar di sektor kebijakan penyelesaian permasalahan pertanahan pada acara peradilan yang dengan memperhatikan praktek selama ini, secara logis seharusnya paling tidak meliputi: (i) pelibatan hakim khusus yang menguasai permasalahan teknis pertanahan; (ii) pembatasan jenis pengadilan bagi penyelesaian kasus pertanahan; (iii) pembatasan banding yang boleh dilakukan. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia, sebagaimana pengalaman negara lain pada hal yang sama, membutuhkan sebuah pengadilan khusus di bidang pertanahan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, karena selain adil dan lebih berkepastian hukum serta dilakukan dengan cepat, juga meniadakan kemungkinan keputusan berbagai pengadilan yang berbeda-beda untuk kasus pertanahan yang sama. Tujuan Pembentukan Tabel 5 Perbandingan Pengadilan Khusus Pertanahan di Beberapa Negara Pengadilan Tanah dan Lingkungan, New South Wales Australia Penyediaan fasilitas untuk penyelesaian sengketa tanah di negara bagian New South Wales, Australia. Secara lebih spesifik memiliki 8 yurisdiksi (lingkup kewenangan mengadili); sengketa pertanahan, air, bangunan, ganti rugi, pencemaran lingkungan, pertambangan Pengadilan Gugatan Tanah, Afrika Selatan Mengadili masalah hukum dalam kasus penetapan kembali hak atas tanah sebagai akibat penerapan Undang-Undang yang bersifat diskriminatif dan rasial (apartheid), serta beberapa kasus dalam lingkup perlindungan buruh tani terhadap pengusiran ilegal 33

41 Struktur Kelembagaan Sumberdaya Manusia Sumber: Pengadilan Tanah dan Lingkungan, Pengadilan Gugatan Tanah, Afrika New South Wales Australia Selatan Pengadilan Tanah dan Lingkungan Pengadilan Gugatan Tanah berkedudukan pada tingkatan berkedudukan sebagai High Court Supreme Court dan pada proses (Pengadilan Tinggi) dibawah Court of peradilannya hanya dapat Appeal (Mahkamah Agung) dan melakukan satu kali upaya hukum Constitutional Court (Mahkamah banding ke Court of Appeal dan Konstitusi) sebagai hierarki tertinggi Court of Criminal Appeal agar proses serta hanya dapat melakukan satu kali penyelesaian sengketa lebih singkat upaya hukum banding ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk kasus tertentu agar proses penyelesaian sengketa lebih singkat Komposisi pengadilan terbentuk Pengadilan Gugatan Tanah dipimpin oleh 1 (satu) hakim ketua yang oleh seorang presiden (ketua) ditetapkan oleh gubernur negara pengadilan yang ditunjuk oleh bagian New South Wales, 5 (lima) Presiden Republik Afrika Selatan di hakim lainnya, serta 9 (sembilan) bawah pengawasan Komisi Pelayanan komisioner yang dipilih berdasarkan Yudisial. Hakim lainnya bisa ditunjuk keahlian teknis khusus tertentu yang oleh Presiden Republik Afrika Selatan dimilikinya seperti pada bidang setelah melalui konsultasi dengan perencanaan wilayah, arsitektur, presiden (ketua) pengadilan dan serta engineering. Adapun Komisi Pelayanan Yudisial. Juru sita penunjukkan panitera, asisten serta juru taksir biasanya ditunjuk panitera, dan staf lain disesuaikan hakim dari masyarakat umum yang dengan UU Jasa Publik Tahun 1979 dinilai memiliki keahlian dan kapasitas khusus dimana didalamnya tidak harus selalu memiliki kualifikasi legal. Terdapat juga panitera yaitu wasit yang berfungsi sebagai penyelidik perkara, serta komisioner yang bertugas memanggil orang hadir setelah hakim menerima hasil interogasi (oleh panitera) untuk dijadikan barang bukti Department of Justice and Constitutional Development of South Africa 5, New South Wales Public School 6, Association of Commonwealth Criminal Lawyers Pembentukan Bank Tanah Memperhatikan Pasal 9, ayat (3), dan Pasal 15, ayat (i) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terlihat bahwa negara memiliki kewenangan untuk melakukan pencadangan tanah. Berbeda dengan badan usaha swasta, negara dalam Department of Justice and Constitutional Development, The Land Claims Court of South Africa, New South Wales Public School, About The Land and Environment Court, Association of Commonwealth Criminal Lawyers, South African Criminal Court System, 34

42 melakukan pencadangan tanah tidak terikat waktu untuk melakukan pemanfaatan pada bidangbidang tanah yang dikuasai karena pada akhirnya, setiap bidang tanah yang dikuasai negara akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33, UUD Praktek pencadangan tanah secara umum dikenal dengan terminologi Bank Tanah, dan di Indonesia secara luas dilakukan baik oleh badan usaha swasta, maupun BUMD, dan BUMN. Entitas badan hukum yang mewakili negara secara khusus untuk melakukan pencadangan tanah, atau Bank Tanah itu sendiri justru belum dimiliki oleh Negara Indonesia. Terkait dengan telah terbitnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dimana negara diberi kewenangan untuk melepaskan hak penduduk atas bidang tanah yang diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum, dengan syarat kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, sebenarnya sudah saatnya Indonesia memiliki institusi Bank Tanah yang merupakan badan hukum yang mewakili negara dalam melakukan pencadangan tanah bagi keperluan negara. Pada prakteknya Bank Tanah harus bisa menjadi instrumen utama dalam mencegah terjadinya spekulasi harga tanah, dimana perlu ditetapkan bahwa secara falsafah Bank Tanah tidak diperbolehkan mendapat untung dari selisih harga penjualan tanah yang dimilikinya. Untuk itu secara logis, dalam teknis pengelolaannya terdapat dua opsi, yaitu : a. Tidak mengambil selisih harga, dalam arti menjual bidang tanah terkait sesuai dengan harga ketika dibeli; Pada opsi ini seluruh biaya operasional organisasi Bank Tanah dibiayai melalui APBN. b. Menetapkan selisih harga tertentu; Pada opsi ini, keuntungan dibatasi maksimal 5% dan harus digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan operasional organisasi Bank Tanah. Dengan demikian diharapkan, selain keadilan sosial dapat diwujudkan penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum juga dapat lebih terjamin dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu juga terlihat jelas bahwa praktek pencadangan tanah atau lebih dikenal dengan Bank Tanah, hanya boleh dilakukan oleh organisasi badan hukum yang mewakili negara dan tidak dapat atau tidak boleh dilakukan oleh badan hukum swasta (atau pun badan usaha swasta). 4.5 Kebijakan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan Memperhatikan kebutuhan pelayanan pertanahan dan kekuatan jumlah pegawai BPN saat ini, perlu disusun kebijakan penerimaan PNS baru yang dapat merubah jumlah dan komposisi PNS menjadi lebih ideal. Dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan organisasi birokrasi yang efektif dan efisien, kemudian beberapa pokok kebijakan yang diusulkan adalah : 1) Jumlah total PNS mencapai sekitar orang atau bertambah sekitar orang dari posisi Tahun 2012 yang berjumlah orang; 2) Komposisi jumlah PNS antara kompetensi juru ukur dengan bukan juru ukur adalah 40 : 60, di mana pada saat ini berada pada proporsi 8 :

43 Gambar 3 Ilustrasi Pengelolaan Sumberdaya Manusia di BPN Asumsi dan strategi pelaksanaan untuk mencapai kekuatan dan komposisi kompetensi yang ideal, adalah sebagaimana di uraikan berikut : 1) Diasumsikan : (i) kemampuan penerimaan PNS baru rata-rata setiap tahun adalah orang; dan (ii) rata-rata jumlah PNS pensiun per tahun adalah 930 orang; 2) Jangka waktu yang digunakan adalah 10 tahun, disesuaikan dengan masa berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pada tahun ) Pada 2 tahun pertama, digunakan asumsi penerapan moratorium untuk penerimaan SDM bukan juru ukur, dengan formasi penerimaan juru ukur yang mencapai orang 4) Pada tahun ke 3-5, formasi penerimaan adalah dan 150 (juru ukur dan bukan juru ukur) 5) Pada tahun ke 5-10, formasi penerimaan adalah dan 300 (juru ukur dan bukan juru ukur) 6) Dalam kurun waktu 10 tahun, formasi purnajabatan menggunakan asumsi data saat ini dengan total jumlah SDM yang purnajabatan sebanyak 930 setiap tahunnya (442 juru ukur dan 488 bukan juru ukur). Jangka Waktu (Tahun) Usulan kegiatan pengelolaan melalui penggunaan beberapa asumsinya tersebut secara lebih jelas diilustrasikan pada tabel sebagai berikut: Penerimaan (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur Tabel 6 Tabel Usulan Kebijakan Pengelolaan SDM BPN Jumlah Penerimaan (Orang) Pensiun/ Purnajabatan (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur Jumlah Purnajabatan (Orang) Jumlah Sumber Daya Manusia (Orang) Juru Ukur Non Juru Ukur Persentase Jumlah SDM Juru Ukur Non Juru Ukur Eksisting % 92% % 87% % 82% % 78% % 75% % 72% % 69% 36

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN 2015-2019 DEPUTI MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH Jakarta, 21 November 2013 Kerangka Paparan 1. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Indonesia

White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Indonesia ii iii iv v vi DAFTAR ISI Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... vi BAB I Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tantangan... 3 1.3 Tujuan... 3 1.4 Sistematika

Lebih terperinci

WHITE PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

WHITE PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) WHITE PAPER KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL 2013 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) KATA PENGANTAR Berbagai kasus pertanahan yang

Lebih terperinci

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) SERI REGIONAL DEVELOPMENT ISSUES AND POLICIES (15) PERTANAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) 11 November 2011 1 KATA PENGANTAR Buklet nomor

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Profil Pertanahan Provinsi Kalimantan Barat Kementerian PPN / Bappenas

KATA PENGANTAR. Profil Pertanahan Provinsi Kalimantan Barat Kementerian PPN / Bappenas KATA PENGANTAR Tanah atau agraria berasal dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

Evaluasi Prioritas Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria untuk Input Penyusunan RPJMN

Evaluasi Prioritas Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria untuk Input Penyusunan RPJMN Evaluasi Prioritas Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria untuk Input Penyusunan RPJMN 2015-2019 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan 2013 i Penyusun Rekomendasi Kebijakan Pengarah:

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM GUNAWAN SASMITA DIREKTUR LANDREFORM ALIANSI PETANI INDONESIA JAKARTA 10 DESEMBER 2007 LANDASAN FILOSOFI TANAH KARUNIA TUHAN

Lebih terperinci

Total Tahun

Total Tahun RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH 2010-2014 KEGIATAN PRIORITAS NASIONAL DAN KEGIATAN PRIORITAS BIDANG REFORMA AGRARIA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (BERDASARKAN PERPRES NO.5 TAHUN

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 KEMENTERIAN/LEMBAGA : BADAN PERTANAHAN NASIONAL 1 PROGRAM PENGELOLAAN PERTANAHAN NASIONAL 1.444,6 1.631,8 1.862,0 2.033,3 1.1 Pengelolaan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010 MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN BIDANG: WILAYAH DAN TATA RUANG (dalam miliar rupiah) PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS 2012 2013 2014 I PRIORITAS BIDANG PEMBANGUNAN DATA DAN INFORMASI SPASIAL A

Lebih terperinci

II. VISI, MISI, DAN TUJUAN PEMBANGUNAN PERTANAHAN. B. Misi Yang Akan Dilaksanakan. A. Visi Pembangunan Pertanahan

II. VISI, MISI, DAN TUJUAN PEMBANGUNAN PERTANAHAN. B. Misi Yang Akan Dilaksanakan. A. Visi Pembangunan Pertanahan Rencana Strategis (RENSTRA) BPN RI Tahun 2010-2014. II. VISI, MISI, DAN TUJUAN PEMBANGUNAN PERTANAHAN A. Visi Pembangunan Pertanahan R encana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pendukung Lainnya Oleh M. Noor Marzuki Direktur Pengadaan Tanah Wilayah I Badan

Lebih terperinci

Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang

Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENDATAAN, PERENCANAAN, DAN PENGELOLAAN TANAH DI KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang agraris sehingga tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan rakyat. Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM

LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM Oleh : HENDRA SUKARMAN, S.H., S.E., M.H. *) ABSTRACT Iplementasi of the mandate of the People's Consultative Assembly Decree

Lebih terperinci

oleh: Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

oleh: Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP Direktur Tata Ruang dan Pertanahan oleh: Dr. Ir. Oswar Mungkasa, MURP Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Seminar Transmigrasi Dalam Perspektif Pengembangan Wilayah, Kependudukan dan Ekonomi Pedesaan Jakarta, 4 Desember 2013 OUTLINE PAPARAN

Lebih terperinci

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan I. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Laporan KEGIATAN PILOT PROJECT REFORMA AGRARIA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN NASIONAL (BAPPENAS) SEKRETARIAT REFORMA AGRARIA NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah. Tanah mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara yang corak kehidupan serta perekonomian rakyatnya masih bercorak agraris, sebagian besar kehidupan rakyatnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN DI KAWASAN

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

TIM PENYUSUN. Penanggungjawab: Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA (Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah)

TIM PENYUSUN. Penanggungjawab: Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA (Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah) TIM PENYUSUN Penanggungjawab: Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA (Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah) Ketua Tim Pelaksana: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP (Direktur Tata Ruang dan Pertanahan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur sebagaimana yang telah dicita-citakan. Secara konstitusional bahwa bumi, air,

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur sebagaimana yang telah dicita-citakan. Secara konstitusional bahwa bumi, air, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya masih bercorak agraria, maka bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Lebih terperinci

LAPORAN Pemantauan dan Evaluasi Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria Tahun Anggaran 2014

LAPORAN Pemantauan dan Evaluasi Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria Tahun Anggaran 2014 LAPORAN Pemantauan dan Evaluasi Bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Reforma Agraria Tahun Anggaran 2014 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas i Penyusun Rekomendasi Kebijakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional

BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL. A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional 24 BAB II PENGATURAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL A. Latar Belakang Lahirnya Program Pembaharuan Agraria Nasional Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR I. UMUM Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa

Lebih terperinci

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN

REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA NASIONAL

HUKUM AGRARIA NASIONAL HUKUM AGRARIA NASIONAL Oleh : Hj. Yeyet Solihat, SH. MKn. Abstrak Hukum adat dijadikan dasar karena merupakan hukum yang asli yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum adat ini masih harus

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 Juli 2008 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Balai Petitih Kantor

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan manusia, sehingga dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatannya manusia

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG UNDANG-UNDANG NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: a. bahwa untuk memacu kemajuan Provinsi Lampung pada umumnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MESUJI DI PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. penting untuk kepentingan pembangunan perekonomian di Indonesia, sebagai

BAB I PENDAHULAN. penting untuk kepentingan pembangunan perekonomian di Indonesia, sebagai 1 BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara yang bercorak agraris, bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk kepentingan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak

1.PENDAHULUAN. masih memerlukan tanah ( K. Wantjik Saleh, 1977:50). sumber penghidupan maupun sebagai tempat berpijak 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bidang perkebunan merupakan salah satu bidang yang termasuk ke dalam sumber daya alam di Indonesia yang memiliki peranan strategis dan berkontribusi besar

Lebih terperinci

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, DAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, DAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

2013, No Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang P

2013, No Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2013 PERTAHANAN. Pengadaan. Pembangunan. Badan Pertanahan Nasional. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi, air dan ruang angkasa atau kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia. Dan oleh

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENDAYAGUNAAN TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR DENGAN

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Sesuai penegasan Kepala BPN RI: Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) bukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatu program terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial dan

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1488, 2013 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Dekosentrasi. Lingkungan Hidup. Penyelenggaraan. Petunjuk Teknis PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa ketimpangan persebaran

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia. Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat seiring dengan lajunya pertambahan

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agenda pembaruan agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 salah satunya adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1873, 2016 KEMEN-ATR/BPN. RTRW. KSP. KSK. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia di jaman modern saat ini. Hal ini terlihat dari ketergantungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan sosio-politis yang

I. PENDAHULUAN. diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan sosio-politis yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sebuah wacana penting dalam ranah civil society. Bagi Indonesia, wacana HAM diterima, dipahami, dan diaktualisasikan dalam bingkai

Lebih terperinci

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur No.104, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DIKBUD. Kebudayaan. Pemajuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusional Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3) Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusional Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3) Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Negara sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus. 19 BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA A. Pengertian Tanah Terlantar Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sertifikat ganda..., Joshua Octavianus, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Sertifikat ganda..., Joshua Octavianus, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Di dalam sistem hukum nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan kontitusi yang berlaku di negara kita yaitu Undang Undang

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata No.1275, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. PRONA. Percepatan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Bumi ini manusia memiliki ketergantungan dengan tanah yang dimilikinya, sehingga manusia memiliki hak dan kewajibannya dalam mengelola dan memanfaatkan segala yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai 14 BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA 3.1. Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Pentingnya kegiatan pendaftaran tanah telah dijelaskan

Lebih terperinci

Dalam Tabel 1.1 terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Kota Depok menunjukkan peningkatan secara signifikan. Peningkatan jumlah penduduk

Dalam Tabel 1.1 terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Kota Depok menunjukkan peningkatan secara signifikan. Peningkatan jumlah penduduk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ciri-ciri kependudukan di Indonesia selain jumlah penduduk yang besar, adalah bahwa kepadatan penduduk di perkotaan tinggi, penyebaran penduduk desa kota dan

Lebih terperinci