BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER DAN SENGKETA BERSENJATA DI PALESTINA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER DAN SENGKETA BERSENJATA DI PALESTINA"

Transkripsi

1 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER DAN SENGKETA BERSENJATA DI PALESTINA 2.1 Sejarah Hukum Humaniter Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian West Phalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) di Eropa. 1 Masing-masing Negara memiliki ideologi tersendiri termasuk cara untuk bertahan dari ancaman Negara lain. Tidak jarang suatu sengketa kenegaraan diakhiri dengan peperangan. Peperangan terjadi karena dari kedua belah pihak saling mempertahankan ideologi masing-masing maupun untuk mempertahankan kedaulatan negaranya. Suatu perang bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun dan memakan korban nyawa hingga ratusan bahkan jutaan nyawa Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, h. 18

2 19 Hukum Humaniter Intenasional merupakan bagian Hukum Intenasional Umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu khususnya dalam situasi tertentu (perang) dan akibat perang (perlindungan (korban perang). 2 Fokus Hukum Humaniter Internasional adalah untuk melindungi individu-individu musuh saat sengketa bersenjata, sementara fokus Hukum Internasional Hak Asasi Manusia untuk melindungi individu dari kesewenangan dan pelanggaran yang dilakukan negara yang bersangkutan. 3 Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembanganperkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai konvensi lainnya di bidang hukum. 2.2 Pengertian Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter 2 Masyhur Effendi, 1994, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hakamrata, Usaha Nasional, Surabaya, h Zayyid bin Abdel Karim al-zayyid, 2008, ICRC, Pengantar Hukum Humaniter Internasional Dalam Islam, Komite Internasional Palang Merah, h.22

3 20 Di Indonesia, istilah prinsip hukum seringkali digunakan bersamasama dengan asas hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia asas memiliki arti suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, sedangkan prinsip didefinisikan sebagai asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir). 4 Istilah prinsip merupakan istilah lain yang dikenal dalam Bahasa Inggris yaitu principle. Dalam Black s Law Dictionary, principle diterjemahkan sebagai basic rule, law, or doctrine. 5 Menurut penulis, kata asas maupun prinsip bisa disepadankan penggunaannya karena dari segi terminologi memiliki definisi yang sama, yaitu suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir. Pasal 38 Ayat (1) Statute of International Court of Justice selain mengatur mengenai konvensi internasional dan Hukum kebiasaan Internasional, mengatur pula mengenai the general principles of law recognized by civilized nations yang berarti prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4 Poerwadarminta WJS, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h Garner, Brian A, (Ed), Black s law dictionary, Ninth Edition, West-Thomson Reuters, 2009, h. 1313

4 21 Selanjutnya, United Nations General Assembly Resolution 2625 tahun 1970 tentang Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States in Accordance With The Charter of The United Nations juga memiliki konsep mengenai prinsip-prinsip Hukum Internasional yaitu: 6 a. The principle that states shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any states, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations; b. The principle that states shall settle their international disputes by peacefull means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered; c. The duty not to intervens in matter within the domestic jurisdiction of any state, accordance with the charter; d. The duty of any states to co-operate with one another in accordance with the charter; e. The principle of equal rights and self-determination of peoples; f. Ther principle of sovereign equality of states 6 UN Documents Gathering a Body of Global Agreements, 2625 (XXV) Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States in Accordance With The Charter of The United Nations, diakses terakhir tanggal 11 Mei 2014

5 22 g. The principle that states shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in accordance with the charter. Seperti yang dijelaskan menurut huruf (a) The principle that states shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any states, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations, tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni : a. Segenap anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai dan menggunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam; b. Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Advisory Opinion Mahkamah Internasional juga membahas tentang the principles and rules applicable in armed conflicts. Adapun pendapat mahkamah tersebut dapat dikutip sebagai berikut: The proportionality principle may thus not in itself exclude the use of nuclear weapons in self-defence in al1 circumstances. But at the same time, a use of

6 23 force that is proportionate under the law of self-defence, must, in order to be lawful, also meet the requirements of the law applicable in armed conflict which comprise in particular the principles and rules of humanitarian law. 7 Ada dua literatur berbahasa Indonesia yang memiliki kualifikasi berbeda mengenai prinsip-prinsip Hukum Humaniter. Prof. KPGH. Haryomataram, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter mengkualifikasikan tiga prinsip, yaitu : 8 1. Kepentingan Militer (military necessity) 2. Kemanusiaan (humanity) 3. Ksatriaan (chivalry) Sedangkan Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman dalam buku Hukum Humaniter, dalam Studi Hubungan Internasional mengakualifikasikan prinsip-prinsip Hukum Humaniter menjadi delapan prinsip Hukum Humaniter sebagai bagian dari suatu sistem Hukum Humaniter Internasional, satu sama lainnya saling melengkapi, menjelaskan, dan membantu penafsirannya. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah : 9 1. Kemanusiaan 7 Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapon, International Court of Justice, Advisory Opinion of 8 July 1996, para 42, diakses terakhir tanggal 26 Februari Haryomataram, op.cit, h Ambarwati, 2010, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h.41

7 24 2. Necessity (kepentingan) 3. Proporsionalitas (proportionality) 4. Distinction (pembedaan) 5. Prohibition of causing unneccessary suffering (prinsip Hukum Humaniter Internasional tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya) 6. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello 7. Ketentuan minimal Hukum Humaniter Internasional 8. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum Humaniter Internasional Berikut pengertian dari prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional 1. Kemanusiaan Kemanusiaan berasal dari kata manusia yang berarti mahluk yang bearakal budi; Kemanusiaan memiliki arti yaitu sifat-sifat manusia ; secara manusia (2) segala sesuatu yang layak bagi manusia, seperti kasih sesama hidup. 10 Berdasarkan arti kata tersebut prinsip kemanusiaan berarti dalam sengketa besenjata haruslah memperhatikan asas-asas kemanusiaan sehingga tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebih. h Poerwadarminta WJS, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

8 25 2. Necessity atau Kepentingan Berasal dari kata penting yang berarti amat perlu ; amat utama; sangat berharga; sangat berguna 11 sedangkan kepentingan memiliki arti keperluan : sesuatu yang penting negara. 12 Jadi kepentingan ini merupakan suatu kepentingan yang menyangkut keperluan negara, yang dalam Hukum Humaniter Internasional menyangkut mengenai kepentingan militer suatu negara. 3. Distinction atau pembedaan Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan obyek kekerasan dan siapa yang dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan sehingga dijadikan obyek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan ibid h ibid h Ambarwati, Op.cit, h. 45

9 26 4. Prohibition of causing unneccessary suffering (prinsip Hukum Humaniter Internasional tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya) Dalam perjanjian-perjanjian internasional dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional, prinsip ini difomulasikan sebagai berikut : a. Dalam setiap sengketa bersenjata, hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih metode atau alat peperangan adalah tidak terbatas. b. Dilarang menggunakan senjata, baik proyektil dan materiil, serta metode peperangan yang sifatnya menyebabkan luka yang berlebihan atau pernderitaan yang tidak seharusnya. Dilarang menggunakan metode atau cara peperangan tertentu yang bisa diharapkan untuk merusak lingkungan yang meluas, berjangka panjang, dan parah Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan perang). Dengan kata lain, Hukum Humaniter internasional mengikat para 14 Ambarwati, Op.cit, h. 47

10 27 pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut. 6. Ketentuan minimal Hukum Humaniter Internasional Ketentuan minimal yang dalam Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya, Dalam semua Konvensi Jenewa I sampai dengan IV ) memang ditetapkan untuk situasi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Namun, karena disebut sebagai ketentuan minimal, ketentuan ini juga harus dihormati dalam sengketa bersenjata internasional. 7. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan Hukum Humaniter Internasional Salah satu kewajiban Negara untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional adalah kewajiban untuk menyebarluaskan Hukum Humaniter Internasional, baik di kalangan militer maupun sipil. Di samping itu, cukup banyak tindakantindakan lain yang perlu dipersiapkan di masa damai utuk mengantisipasi kerugian dan penderitaan akibat perang untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional. Termasuk kewajiban Negara untuk membuat peraturan nasional yang memuat sanksi hukum bagi setiap orang atau warga negaranya

11 28 yang melakukan tindakan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Karena itu, prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional memerlukan dukungan, kesadaran negara, organisasi-organisasi internasional yang ada. Tanpa dukungan tersebut, sukar kiranya dapat berjalan dengan baik. Disinilah negara-negara yang berdaulat dalam melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dihargai dengan iktikad baik Istilah dan Pengaturan Asas Proporsionalitas Dalam Kamus Bahasa Inggris Umum, proportionality yang memiliki arti perbandingan, yang berasal dari kata proportional artinya sebanding. 16 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia proporsional diartikan sebagai sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang. 17 Dalam Black s Law Dictionary, proportionality dimaknai sebagai : The principle that the use of force should be in proportion to the threat or grievance the use of force. 18 prinsip bahwa penggunaan kekuatan harus dilakukan 15 Masyhur Effendi, op.cit, h John M. Echols dan Hassan Shadily, 2010, Kamus Inggris Indonesia An English Dictionary, Pt Gramedia Jakarta, h Garner, Brian A, (Ed), Black s Law Dictionary, Ninth Edition, West-Thomson Reuters, 2009, h. 1338

12 29 secara proporsional terhadap ancaman atau penderitaan dalam penggunaan kekuatan. Menurut Dictionary of International Law of Armed Conflicts prinsip proporsionalitas (proportionality principle) diartikan sebagai prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan 19 Berdasarkan eksplorasi kata di atas maka pinsip proporsionalitas dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang dalam Hukum Humaniter Internasional yang menentukan dalam melakukan suatu penyerangan haruslah sebanding dengan apa yang ingin dicapai, tidak melakukan penyerangan secara membabi buta dan tidak melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil. Prinsip ini juga menjelaskan bahwa suatu penyerangan tidak boleh mengakibatkan dampak yang meluas bagi penduduk sipil, baik itu dari segi wilayah yang diserang maupun dalam hal penggunaan senjata untuk berperang. Ada sejumlah pengaturan mengenai Prinsip Proporsionalitas dalam instrumen-instrumen Hukum Internasional yakni : 19 Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, h. 90 seperti dikutip dalam diakses terakhir tanggal 24 Februari 2014

13 30 1. Pasal 25 Konvensi Den Haag IV Tahun 1907 yakni penyerangan atau pemboman dengan alat apapun terhadap kota-kota, kampung-kampung, pemukiman atau bangunan-bangunan yang tidak dipertahankan adalah dilarang. 2. Pasal 57 Ayat (2) (a) Protokol Tambahan I tahun 1949 yang berbunyi (a) mereka yang merencanakan atau memutuskan dilancarkannya suatu serangan harus : (i) melakukan segala sesuatu yang mungkin dikerjakan untuk meneliti bahwa sasaran-sasaran yang akan diserang bukanlah orang-orang sipil maupun obyek-obyek sipil dan tidak berada dibawah perlindungan khusus, melainkan sasaran militer di dalam pengertian ayat (2) dan Pasal 52 dan bahwa ketentuan-ketentuan dari Protokol ini tidak melarang untuk menyerang; (ii) mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dikerjakan dalam memilih alat-alat dan cara-cara serangan, dengan mengingat untuk menghindarkan, dan dalam keadaan apapun mengurangi, kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, terluka orang-orang sipil dan rusaknya obyek-obyek sipil; (iii) berusaha untuk mengambil keputusan untuk melancarkan suatu serangan dapat diduga akan mengakibatkan kerugian yang tidak perlu

14 31 berupa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya obyek-obyek sipil. Atau gabungan dan semuanya itu. Yang merupakan hal-hal berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyata dan langsung yang semula diharapkan 3. Pasal 8 Statuta Roma 1998 tentang Kejahatan Perang : 1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan perang pada khususnya ketika dilakukan sebagai bagian dari perencanaan atau kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai dampak skala luas dari kejahatan itu. 2. Untuk tujuan Statuta ini, kejahatan perang berarti : (a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa pada 12 Agustus yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini terhadap orangorang atau kekayaan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan: (b) Pelanggaran-pelanggaran yang berat lainnya terhadap hukum dan hukum adat yang berlaku dalam sengketa bersenjata internasional, dalam kerangka kerja yang ditetapkan dari Hukum Internasional; (c) Dalam sengketa bersenjata bukan bersifat internasional, pelanggaran-pelanggaran serius Pasal 3 Konvensi Jenewa Keempat tanggal 12 Agustus 1949.

15 32 (d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan ketegangan-ketegangan seperti krusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadis dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa. (e) Pelanggaran-pelanggaran hukum serius lainnya dan hukum tradisional yang berlaku di dalam sengketa bersenjata yang bukan bersifat internasional. (f) Ayat 2 (f) berlaku bagi sengketa bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi gangguan internal dan ketegangan-ketegangan seperti kerusuhan, tindakan-tindakan isolasi dan sporadis dari pelanggaran dan tindakantindakan lain dari sifat yang serupa. 4. Dalam Hukum Kebiasaan, Aturan 14 Customary International Humanitarian Law mengenai Proporsionalitas dalam Penyerangan menyatakan sebagai berikut: Melancarkan penyerangan yang bisa diperkirakan bakal menimbulkan kerugian ikutan berupa korban tewas sipil, korban luka sipil, atau kerusakan obyek sipil, atau gabungan ketiga hal tersebut, yang merupakan hal yang berlebihan, dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkrit dan langsung yang ingin dicapai, adalah dilarang. 5. Salah satu yurisprudensi yang membahas prinsip proporsionalitas adalah Advisory Opinion Legality of The Threat or Use Of Nuclear

16 33 Weapon Paragraf 41 dari Advisory Opinion tersebut menyatakan sebagai berikut: The submission of the exercise of the right of self-defence to the conditions of necessity and proportionality is a rule of customary international law. As the Court stated in the case concerning Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America) : there is a "specific rule whereby selfdefence would warrant only measures which are proportional to the armed attack and necessary to respond to it, a rule well established in customary international law" (I. C. J. Reports 1986, p. 94, para. 176). This dual condition applies equally to Article 51 of the Charter, whatever the means of force employed. Penggunaan asas proporsionalitas selain digunakan secara internasional juga diterapkan oleh Tentara Nasional Indonesia yang tercantum dalam buku saku Tentara Nasional Internasional. 2.4 Sejarah Sengketa Bersenjata di Palestina Palestina merdeka dari Pemerintah Utsmani setelah perang Dunia Pertama dengan bantuan tentara Inggris. Namun, Palestina tidak pernah mampu mencapai sebuah negara yang damai dan aman yang justru pernah dinikmatinya di bawah Pemerintahan Utsmani. Dalam rentang waktu hampir satu abad, ribuan orang yang tak berdosa telah terbunuh oleh teror, pembantaian, dan penyiksaan bangsa Israel Institute For International Law and Justice New York University School Of Law, diakses terakhir tanggal 25 Februari Harun Yahya, 2005, Palestina 1 Zionisme & Terorisme Israel, Dzikra, Bandung, h.7

17 34 Sejak 1920-an, perpindahan orang Yahudi yang di organisasi oleh Zionis telah dengan mantap mengubah keadaan demografi Palestina dan telah menjadi sebab terpenting berkepanjangannya sengketa. Statistik yang terkait dengan peningkatan penduduk Yahudi ini secara langsung membuktikan kenyataan ini. Angka-angka ini adalah penduduk penting tentang bagaimana sebuah kekuatan penjajahan, kekuatan tanpa hukum atas tanah tersebut, datang untuk merampok hak-hak penduduk asli. 22 Hingga tahun 1947, terdapat orang Yahudi di Palestina dan 1,3 juta orang Palestina. Antara tanggal 29 November 1947 dan tanggal 15 Mei 1948, ketika Palestina diberi dinding pembatas oleh PBB, Israel menganeksasi tiga perempat wilayah Palestina. Selama masa itu, jumlah orang Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun drastis dari menjadi akibat serangan dan pembantaian. Sebagian terbunuh dan sebagian lainnya terusir. 23 Selanjutnya masalah Palestina ditangani oleh PBB. Setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya Majelis Umum PBB menyetujui rencana pembagian Palestina menjadi 3 bagian. Melalui Resolusi Majelis Umum PBB 22 ibid, h ibid, h. 55

18 35 A/RES/181/(II) tanggal 29 Nopember 1947, disebutkan, bahwa Palestina akan menjadi: Negara Arab dengan wilayah Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramalah, Hebron, Jalur Gaza dan Jaffah; 2. Negara Yahudi dengan wilayah : Soffad, Tiberias, Haifa, Tulkaen, Ramlet, Sahara Negeb dan Jaffa; 3. Yerussalem sebagai wilayah pengawasan Internasional. Pada pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, dengan Yerusalem menjadi kota internasional, Orang-orang Palestina dan Arab merasa bahwa itu adalah ketidakadilan yang mendalam untuk mengabaikan hak-hak mayoritas penduduk Palestina. Liga Arab dan lembaga Palestina menolak rencana partisi, dan membentuk tentara relawan yang menyusup ke Palestina dimulai pada bulan Desember Dua puluh satu tahun setelah perampasan Israel atas Gaza, Los Angeles Times menguraikan konsekuensinya: Hanya sekitar 2200 penghuni tetap Yahudi yang tinggal di Jalur Gaza, yang telah ditangkap dari Mesir, tetapi mereka menduduki sekitar 30% dari 135 mil persegi area. Lebih dari BBC News World Edition, UN Partition Plan, stm diakses terakhir tanggal 25 Februari 2014

19 36 orang Palestina, kebanyakan pengungsi dimasukkan dengan berdesakan sekitar separuh jalur, membuatnya salah satu area yang paling padat penduduk di dunia. Sisa daratan Gaza telah ditunjuk zone perbatasan terlarang oleh tentara Status Hukum Jalur Gaza Jalur Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur laut tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur. Jalur Gaza memliki panjang sekitar 41 kilometer dan lebar antara 6 sampai 12 kilometer. Populasi di Jalur Gaza berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa. Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi palestina yang melarikan diri ke Gaza setelah meletusnya perang Arab-Israel tahun Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir tahun 1948, yang ditetapkan melalui perjanjian genjatan senjata Israel- Mesir pada tanggal 24 Februari Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam perang enam hari pada tahun Berdasarkan Perjanjian Damai Oslo yang disahkan pada tahun 1993 otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan admistratif yang mengelola pusat kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan mesir. Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun Jalur Gaza merupakan bagian Ralph Schoenman, 2007, Sejarah Zionisme Yang Tersembunyi, Sajadah Press,-----, h.

20 37 dari teritori Palestina sejak bulan Juli 2007, setelah pemilihan umum legislatif Palestina 2006 dan setelah pertempuran Gaza Hamas menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza yang kemudian membentuk Pemerintahan Hamas di Gaza. 27 Hamas bukanlah gerakan yang baru mnucul saat didirikan pada tanggal 14 Desember Hamas adalah hasil metamorfosis dari sebuah gerakan yang telah dilakukan oleh rakyat Palestina yang tergabung dalam wadah Ikhwanul Muslimin pada tahun Sehingga gerakan Hamas ini merupakan gerakan yang sudah memiliki akar cukup kuat dan panjang, terhitung sejak dimulainya sengketa di Palestina. 28 Pemerintahan Hamas di Palestina merupakan upaya yang muncul akibat ketidakpuasaan rakyat Palestina atas upaya-upaya pemerintah Palestina sebelumnya yang tidak membuat Palestina mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. 27 Academia.edu, Konflik Israel-Palestina: Jalur Gaza Dalam Persengketaan, diakses terakhir tanggal 24 Februari Wahid Prabowo, 2013, Hamas Death or Freedom Sejarah Panjang Para Syahid Palestina Menantang Israel dan Sekutunya, Palapa, Jogjakarta, h.13

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Negara Berasal dari kata : sovereignty (Inggris) superanus (Latin) Berarti : yang teratas kekuasaan tertinggi Pengertian Kedaulatan: Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Prinsip Pembeda (Distinction Principle) dalam Konflik Bersenjata di Suriah Menurut Hukum Humaniter Internasional Implementation of Distinction Principle in

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Tujuan dari

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Erwin Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Email :erwin_80@yahoo.co.id Abstract Armed conflict (war) have been there

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi arab. Perang ini diawali oleh unjuk rasa di Benghazi pada 15 Februari 2011,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR Oleh Yelischa Felysia Sabrina Pane Ida Bagus Sutama Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia 1. Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia 1. Hak Asasi Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia 1. Hak Asasi Manusia pada awalnya lahir dikarenakan adanya pergolakan sosial pada masyarakat Eropa, yang menginginkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat

PENDAHULUAN. yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah hak asasi manusia merupakan isu internasional dan menjadi bahan perbincangan yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun

Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun 1967 1972 Oleh: Ida Fitrianingrum K4400026 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang diuraikan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Email : firman.yusticia86@gmail.com ABSTRAK Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa belahan dunia. Salah satu dari konflik tersebut adalah konflik Israel

BAB I PENDAHULUAN. beberapa belahan dunia. Salah satu dari konflik tersebut adalah konflik Israel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdamaian dunia yang selalu dikumandangkan oleh Persatuan Bangsa- Bangsa (PBB) sepertinya masih membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terwujud. Akibat berbagai hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perperangan sejak dahulunya adalah hal yang tidak diinginkan semua orang karena

BAB I PENDAHULUAN. Perperangan sejak dahulunya adalah hal yang tidak diinginkan semua orang karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perperangan sejak dahulunya adalah hal yang tidak diinginkan semua orang karena akibat yang ditimbulkan begitu sangat besar,tak hanya harta benda tetapi juga nyawa yang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENGGUNAAN SENJATA KIMIA DALAM KONFLIK BERSENJATA ANTAR NEGARA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 1 Oleh : Queency Gloria Sumeke 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Enny Narwati * Abstract Law of naval warfare did not develop since Den Haag Convention in 1907. In 1994, international community

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama

BAB I PENDAHULUAN. perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama dalam literatur-literatur

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

DAFTAR PUSTAKA. J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 DAFTAR PUSTAKA Buku Aigins, Rosalyn, UN Peacekeeping 1946-1967 Documentary and Commentary Vol 1,Middle East.London 1969. Ambarwaty, Denny Ramadhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam studi

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) Oleh: Ida Primayanthi Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II PENGATURAN MENGENAI HAK ANAK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Children), merupakan

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan-hubungan internasional pada hakikatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara yang diadakan oleh negara-negara baik yang bertetangga ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia internasional yang sangat panjang telah berhasil mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti semakin banyaknya

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI WILAYAH YANG MENGALAMI KONFLIK BERSENJATA. Oleh : Dentria Cahya Sudarsa*

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI WILAYAH YANG MENGALAMI KONFLIK BERSENJATA. Oleh : Dentria Cahya Sudarsa* PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI WILAYAH YANG MENGALAMI KONFLIK BERSENJATA Oleh : Dentria Cahya Sudarsa* Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK INDONESIA, RESOLUSI DK PBB, DAN FATF RESOLUSI DK PBB

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE USE, STOCKPILING, PRODUCTION AND TRANSFER OF ANTI-PERSONNEL MINES AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

bersenjata. Selain direkrut sebagai kombatan, anak-anak seringkali juga menjadi target

bersenjata. Selain direkrut sebagai kombatan, anak-anak seringkali juga menjadi target Perlindungan Anak Palestina dari Kekerasan Oleh: Adzkar Ahsinin Pendahuluan Umm Fadi, seorang Ibu dari 3 orang anak perempuan dan 1 anak laki-laki yang tinggal di Tal al-sultan menyatakan sulit untuk menjelaskan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto rubiyanto.151161@gmail.com Abstract In fact Humanitary law had been arranged for civil defence organization. In reality some countries

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan tertinggi memiliki peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan tertinggi memiliki peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan tertinggi memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Dalam menjalankan perannya tersebut, negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perang merupakan suatu peristiwa yang memiliki umur yang sama tua nya dengan peradaban manusia di muka bumi ini. Dimana perang itu lahir dari hubungan-hubungan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk

Lebih terperinci