BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tahun yang lalu oleh Rokitansky sebagai adanya kelenjar epitel dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tahun yang lalu oleh Rokitansky sebagai adanya kelenjar epitel dan"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Endometriosis (awalnya bernama adenomioma) ditemukan 150 tahun yang lalu oleh Rokitansky sebagai adanya kelenjar epitel dan stroma ektopik di endometrium. Endometriosis adalah penyakit jinak yang didefinisikan sebagai adanya jaringan kelenjar dan stroma endometrium ektopik atau di luar dari kavum uteri dan dihubungkan dengan nyeri pelvik dan infertilitas. Kelenjar dan stroma ekstra uterin atau lesi endometriosis dapat ditemukan di berbagai tempat terutama ovarium dan pada permukaan organ rongga pelvik Dulu, implan jaringan endometriosis yang klasik dikenal sebagai lesi yang gelap, berwarna biru-hitam, bersifat seperti bubuk yang terbakar, berada di bawah lapisan peritoneal. Sekarang, endometriosis ditemukan dalam berbagai jenis dan bentuk lainnya. Lesi dapat bervariasi warna, dari merah sampai coklat, hitam, putih atau kuning; lesi juga dapat ditemukan dalam bentuk yang jernih atau vesikel merah. Bentuk dari lesi bergantung pada lokasi, suplai darah, perdarahan yang terjadi, ada tidaknya fibrosis, dan dapat merefleksikan subtipe fenotipe dari penyakit ini. Pada kenyataannya, beberapa peneliti mempercayai bahwa lesi atipikal dapat memiliki aktivitas biokimia yang lebih kompleks dan dapat menjadi tipe implan yang paling penting untuk ditemukan.5,

2 2.2 Epidemiologi Pada umumnya endometriosis paling sering ditemukan pada usia reproduksi. Insidensi pastinya belum diketahui, namun prevalensinya pada kelompok tertentu sering ditemukan.prevalensi endometriosis pada ovarium masih belum pasti diketahui. Endometriosis mempengaruhi 510% pada semua wanita usia reproduktif dan 60-80% dari wanita infertil atau wanita dengan nyeri pelvis, dengan usia rata-rata 25 hingga 30 tahun.4-6,11,19 Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki siklus ovulatoar yang biasanya terjadi pada umur antara 20 sampai 45 tahun dibandingkan dengan wanita yang memiliki siklus anovulatoar yang berumur perimenars atau perimenopause, yaitu sebesar 22%. Di Amerika Serikat, endometriosis mempengaruhi 5-10% wanita usia reproduktif.5 Di Indonesia sendiri ditemukan 15-25% wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis. 2.3 Etiopatogenesis Hingga endometriosis. kini belum Banyak diketahui teori yang secara disebut pasti ikut penyebab berperan dari dalam patogenesis endometriosis, sehingga endometriosis juga disebut sebagai penyakit penuh teori.1,13,20-22 Ada berbagai teori mengenai endometriosis diantaranya: Teori Sampson/Teori implantasi Endometriosis Peritoneal: Teori menstruasi retrograd adalah prinsip tertua yang menjelaskan etiologi 7

3 endometriosis, yang dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, mengajukan mekanisme yang paling banyak diterima mengenai terjadinya endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (retrograd) dari sel endometrium yang luluh melalui saluran tuba ke dalam kavum peritoneum dan berimplantasi pada permukaan peritoneum. Endometriosis dipercaya sebagai akibat dari defek molekuler yang membantu survival jaringan endometrium pada debris menstruasi di peritoneum.10,12,23 Profil ekspresi gen yang dikarakteristikkan oleh microarray pada endometrium wanita dengan dan tanpa endometriosis, menunjukkan bahwa beberapa gen target progesteron mengalami disregulasi selama jendela implantasi, yaitu saat endometrium terpapar pada kadar progesteron paling tinggi Penelitian eksperimental Wiltz menyatakan stroma dan epitel endometrium dapat dengan mudah dan cepat melekat pada mesotelium (invasi transmesotelial terjadi antara jam)24 Teori Metaplasia dikemukakan oleh Meyer, yang mengatakan bahwa lesi endometriosis terbentuk akibat transformasi (metaplasia) dari sel-sel epitel coelomic yang berasal dari saluran Muller, sehingga terbentuk jaringan endometrium yang menjadi dasar terjadinya endometriosis. Teori ini disebut teori coelom metaplasia bahwa endometriosis berasal dari metaplasia sel khusus pada lapisan mesotelial dari visceral dan peritoneum. Faktor hormonal atau imunologi diperkirakan merangsang transformasi sel endometrium atau peritoneal normal ke jaringan normal. Menurut teori ini, sel-sel 8

4 embrio sisa dari Wolffian atau saluran Mullerian bertahan dan berkembang menjadi lesi endometriosis. Namun, teori ini tidak sempurna karena tidak dapat menjelaskan lesi endometriosis yang ditemukan di daerah diluar perjalanan duktus Mullerian Inflamasi dan Respon Imun Data yang cukup telah menyatakan bahwa endometriosis dihubungkan dengan sebuah keadaan inflamasi subklinis peritoneum yang ditandai oleh peningkatan volume cairan peritoneum, peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan peritoneum (terutama makrofag dengan peningkatan aktivitasnya) dan peningkatan sitokin inflamasi, faktor pertumbuhan dan substansi penyokong angiogenesis. Tingkat aktivasi basal yang lebih tinggi dari makrofag peritoneum pada pasien dengan endometriosis dapat mengganggu fertilitas dengan cara menurunkan motilitas sperma, meningkatkan fagositosis sperma atau mengganggu fertilisasi, mungkin dengan meningkatkan menyokong kadar sitokin pertumbuhan seperti sel-sel TNF-α. Makrofag endometrium dapat dengan cara mensekresi growth factor dan angiogenetic factor seperti epidermal growth factor (EGF), macrophage-derived growth factor (MDGF), fibronektin dan adhesion molecule seperti integrin. Setelah perlekatan sel-sel endometrium ke peritoneum, terjadi invasi dan pertumbuhan lebih lanjut yang tampaknya diregulasi oleh matrix metalloproteinase (MMP) dan tissue factors pathway inhibitor.28,29 9

5 Sitokin inflamasi memainkan peran sentral dalam regulasi proliferasi, aktivasi, motilitas, adhesi, kemotaksis dan morfogenesis dari sel. Beberapa sitokin seperti IL-1, IL-5, IL-6, IL-8, IL-15, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), TNF-α, transforming growth factor-β (TGF-β) dan Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed dan Secreted (RANTES) telah diimplikasikan dalam patogenesis endometriosis. Ekspresi TNF-α, IL-8, dan MCP-1 lebih tinggi pada endometriosis tingkat dini dan menurun pada endometriosis tingkat lanjut, sementara ekspresi TGF-β menurun dengan penurunan keparahan penyakit. RANTES juga meningkat dalam cairan peritoneum wanita dengan penyakit yang lebih berat Gambar 1. Imunobiologi Endometriosis32 Sistem imun manusia sehat menyingkirkan sel-sel endometrium ektopik dan mencegah implantasi dan perkembangannya menjadi 10

6 lesi endometriosis. Proses ini mungkin difasilitasi oleh perubahan apoptosis sel-sel endometrium yang normalnya meningkat pada akhir siklus menstruasi tetapi proses apoptosis ini secara signifikan menurun pada endometriosis. Dengan demikian pada wanita sehat, sel-sel endometrium yang didiseminasi ke dalam lokasi ektopik mungkin diprogram untuk mengalami kematian dan dengan mudah dieliminasi oleh sistem imun.29,30,33,34 Endometriosis dapat disebabkan oleh penurunan pembersihan selsel endometrium cairan peritoneum akibat penurunan aktivitas sel Natural Killer (NK)atau penurunan aktivitas makrofag. Penurunan sitotoksisitas yang dimediasi secara seluler terhadap sel-sel endometrium autolog telah dihubungkan dengan endometriosis.33,34 Endometriosis merupakan kondisi inflamasi dimana sejumlah besar leukosit direkrut dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis sehingga terjadi perubahan jumlah dan fungsi dari leukosit ini dalam endometrium eutopik dan cairan peritoneum dan juga dalam lesi endometriosis. Makrofag, sel NK, limfosit T, limfosit B, sel mast dan sel dendritik meningkat dalam lesi endometriosis sebagai melalui ekstravasasi dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis dimana terjadi perubahan fungsi sel T regulator yang mempengaruhi terjadinya endometriosis dan progresifitasnya.32,33,34 Peranan Makrofag, fagosit mononuklear (monosit dan makrofag) ditemukan pada kebanyakan jaringan tubuh dan berperan vital dalam sistem imun innate dan sistem imun didapat. Monosit yang 11

7 bersirkulasi yang diproduksi disumsum tulang dari progenitor mieloid bersama adalah prekursor untuk makrofag jaringan. Monosit mampu berdiferensiasi menjadi sel-sel efektor yang heterogen secara morfologi dan secara fungsional, termasuk makrofag yang tinggal dalam jaringan dan makrofag inflamasi.selama proses inflamasi, monosit direkrut ke jaringan yang mengalami jejas dengan cara melekat ke endotel pembuluh darah dan mengikuti gradien haptotaktik dan kemotaktik lokal sebelum berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag baik yang tinggal di dalam jaringan atau yang baru direkrut adalah sumber utama kemokin dalam jaringan. 29,32,-34 Makrofag mononuklear mengikuti neutrofil ke dalam inflamasi, memfagosit debris seluler dan material asing dan akhirnya keluar dari tempat inflamasi. Makrofag bisa diaktifkan secara klasik (M1 makrofag) atau diaktifkan secara alternatif (M2 makrofag), tetapi ada heterogenitas substansial dalam fenotip makrofag, karena sebagian peran luas yang makrofag jalankan dalam respon inflamasi dan dalam mempertahankan homeostasis jaringan. 32 Makrofag mempertahankan host dengan pengenalan, fagositosis dan destruksi mikroorganisme yang menyerang dan juga berperan sebagai scavenger, membantu untuk membersihkan sel-sel yang mengalami apoptosis dan debris seluler. Makrofag mensekresikan berbagai sitokin, faktor pertumbuhan, enzim-enzim, dan prostaglandin yang membantu memperantarai fungsinya sendiri sementara menstimulasi pertumbuhan dan proliferasi tipe sel lain. 12

8 Makrofag memiliki habitat normal pada cairan peritoneum dan jumlah dan aktivitasnya sangat meningkat pada wanita dengan endometriosis. Daripada bekerja sebagai scavenger (makrofag M1) untuk mengeliminasi sel-sel endometrium ektopik, makrofag peritoneum yang diaktifkan secara alternatif (makrofag M2) dan monosit sirkulasi pada wanita dengan endometriosis tampaknya menyokong endometriosis dengan mensekresi faktor pertumbuhan dan sitokin yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan menghambat fungsi scavengernya Aktivasi alternafif makrofag (makrofag M2) adalah langkah kunci dalam perkembangan endometriosis dimana peningkatan makrofag M2 ini akan mensekresi dan meningkatkan konsentrasi sitokin, prostaglandin, komponen komplemen, dan faktor pertumbuhan seperti tumor necrosis factor-β (TNF-α), IL-6, dan transforming growth factor-β (TGF-β). Normalnya sel-sel endometriosis yang masuk ke kavum peritoneal disingkirkan oleh makrofag. Mekanisme aberasi pada endometriosis ini mengakibatkan tidak efektifnya sistem pembersihan imunologis terhadap agen asing. Makrofag M2 dan peningkatan kadar sitokin mengakibatkan inisiasi, progresi dan pertumbuhan sel-sel endometrium juga neovaskularisasi.32,34-35 Makrofag M2 lebih berperan dibandingkan makrofag M1 dalam patogenesis endometriosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor genetik, hormonal dan lingkungan. Sebuah penelitian menyatakan bahwa estrogen meningkatkan aktivitas makrofag M2 melalui 13

9 reseptor estrogen yang diekspresikan pada permukaannya. Di bawah pengaruh estrogen ini makrofag M2 akan mensekresikan sitokin dan faktor pertumbuhan (seperti VEGF, hepatocyte growth factor, dan TNF-α) yang berkontribusi terhadap perkembangan dan persistensi endometriosis.30-32,35 Proses kemotaktik sel inflamasi oleh kemokin dimediasi oleh reseptor spesifik kemokin. Fungsi kemokin sebagai regulator motilitas dan orientasi leukosit adalah sebagai mediator proinflamasi, imunomodulator kuat (aktivasi dan diversifikasi limfosit), modifier biologis fungsi eritrosit dan faktor angiogenik. Kemokin berikatan dan mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan leukosit. 29, kemokin CCL5 yang juga dikenal sebagai RANTES (regulated upon activation, normal T cell expressed and secreted). RANTES atau CCL5 dihasilkan dari stroma endometrium dan dipengaruhi oleh estrogen yang dominan estrogen lokal dari aromatase. RANTES memberi sinyal pada T limfosit untuk diaktifkan menghasilkan sitokin.29,35 Hampir setiap wanita mengalami menstruasi retrograd setiap bulannya. Dan secara fisiologis setiap sel endometrium akan menyebabkan reaksi inflamasi dengan menghasilkan MCP-1 dan RANTES dari sel stroma dan kelenjar endometrium yang dipicu oleh estrogen yang dihasilkan dari proses aromatase yang diketahui ekspresinya tinggi pada jaringan endometriosis. Bahan kemokin ini 14

10 yang berpengaruh terhadap rekrutmen dari monosit dan makrofag ke jaringan lesi endometriosis.29,32,35 Peningkatan jumlah makrofag ditemukan dalam cairan peritoneal penderita dengan endometriosis. Makrofag ini juga ditemukan memiliki efek stimulasi pada jaringan endometrium, dibandingkan dengan makrofag wanita tanpa endometriosis yang memiliki efek penekanan Perubahan cairan peritoneum yang menunjukkan peningkatan aktivitas makrofag, sekresinya adalah beberapa sitokin yang menyebabkan terjadinya proses apoptosis patologis. Hal ini terutama ditemukan pada endometriosis berat dengan infertilitas, dimana terjadi proses tersebut pada sel granulosa ovarium dengan ditemukan kadar Interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 yang tinggi pada cairan peritoneum. Pertumbuhan lebih lanjut dari sel endometrium akibat menstruasi retrograd kemungkinan juga melibatkan sistem imun penderita endometriosis. Suatu proses imunologi yang sangat komplek dan saling terkait diduga berperan pada pertumbuhan lebih lanjut dari sel endometrium yang terlepas. Hal ini berhubungan dengan dijumpainya sel limfoid pada implant endometriosis. Selain itu dijumpai juga adanya peningkatan kadar makrofag dan limfosit T didalam cairan peritoneum. Keadaan ini mungkin merupakan salah satu awal dari proses inflamasi yang komplek. Terjadi pula peningkatan kadar sitokin dan growth factor yang dihasilkan oleh leukosit atau sel lain. Mereka dapat berperan sebagai autokrin yang 15

11 berpengaruh pada sel induknya sendiri dan parakrin yang berpengaruh pada sel disekitarnya atau masuk peredaran darah maupun rongga tubuh yang cukup jauh. Para peneliti menemukan jenis sitokin yang meningkat diantaranya adalah RANTES (Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted), IL1 (Interleukin-1), IL-6 dan TNF (Tumor Necrosis Factor). Sedangkan faktor pertumbuhan yang meningkat pada penderita endometriosis diantaranya adalah VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). IL-1 merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam mengatur inflamasi dan respon imun. IL-1 yang dihasilkan oleh aktif monosit dan macrophage, memiliki dua macam reseptor yaitu reseptor alfa dan beta, tetapi keduanya dapat dihambat dengan satu macam reseptor antagonis IL-1. IL-1 beta dapat memicu faktor angiogenesis seperti VEGF dan IL-6 sehingga terjadi pertumbuhan pembuluh darah pada stroma endometriosis, tetapi tidak pada stroma endometrium normal Pada penelitian Djaganata SP, didapatkan bahwa jumlah sel NK dengan ekspresi sel NK (CD56) adalah tidak ada perbedaan signifikan antara jaringan endometriosis dibandingkan dengan jaringan endometrium normal. Temuan ini menggambarkan bahwa sel imun seluler terutama sel NK tidak merespon dengan baik sebagaimana reaksi normal terhadap keadaan inflamasi/terinfeksi yang seharusnya sel NK tersebut meningkat dalam jumlah dan teraktivasi untuk mengatasi keadaan tersebut. Diduga pada wanita 16

12 dengan endometriosis terjadi defek kuantitatif dan kualitatif pada sel NK dikarenakan kegagalan dalam aktivasi yang disebabkan dari menurunnya IL-2 sebagai imunodilator sel NK dan kegagalan sel NK saat pengenalan sel target (sel endometrium ektopik), sel NK mengenali sel target dengan mendeteksi adanya ekspresi MHC kelas 1 pada permukaan sel target, apabila dijumpai MHC kelas 1 maka akan timbul sinyal negatif terhadap sel NK dan kemudian sel NK akan mengekspresikan KIRs, karena itu sel NK tidak tertarik/terikat ke jaringan lokal inflamasi (jumlah yang sama pada wanita normal), dan tidak teraktivasi seperti keadaan normal tanpa inflamasi. Sel NK menganggap sel endometrium ektopik adalah sel yang normal, walaupun tidak pada tempat semestinya. Dapat disimpulkan pada wanita dengan endometriosis mengalami gangguan sistem imun tubuh seluler pada cairan rongga peritoneum. Sistem imun tubuh seluler (makrofag, limfosit dan sel NK) tidak dapat secara adekuat membersihkan jaringan endometrium ektopik yang berada di cairan rongga peritoneum, dan justru mendukung terjadinya proses implantasi, angiogenesis, proliferasi, dan imortalitas sel endometrium ektopik sehingga terjadi endometriosis. Hal ini mungkin disebabkan dari kegagalan sel NK merespon keadaan pada endometriosis, yaitu saat pengenalan sel target, ketidakseimbangan respon dan produksi sitokin M1 yang lebih rendah dibandingkan M2, dan Th1 yang lebih rendah dibandingkan Th2, sehingga terjadi penurunan jumlah (penurunan jumlah dari 17

13 keadaan semestinya/keadaan inflamasi) dan aktivitas sel-sel imun seluler, yaitu dengan fungsi sitotoksis yang rendah dan produksi sitokin yang tinggi dalam cairan peritoneum. Penelitian ini pada dasarnya hanya mendeteksi terjadinya penurunan jumlah (kuantitatif) sel NK.30, Diagnosis Endometriosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejala klinis saja. Diduga endometriosis jika memiliki masalah tentang fertilitas, nyeri haid, nyeri saat berhubungan dan nyeri pelvis kronis. Mekanisme terjadinya nyeri pada endometriosis ini mungkin disebabkan oleh peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.11,14,20,21,22 Perdarahan tidak teratur yang berhubungan dengan endometriosis diperkirakan terjadi pada 11-34% penderita endometriosis. Hal ini dikatakan diakibatkan oleh adanya kelainan pada ovarium yang luas sehingga fungsi ovarium terganggu. Perdarahan ini juga dihubungkan dengan terjadinya peningkatan kadar estrogen dan berkurangnya progesteron yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan eutopik endometrium penderita endometriosis.10,23 Banyak juga wanita yang menderita endometriosis tetapi tidak memiliki keluhan. Gold standard untuk diagnosis endometriosis memakai pemeriksaan laparoskopi dengan atau tanpa biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Namun cara-cara penegakan diagnosis dimulai dengan 18

14 anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi, pemeriksaan penunjang non invasif dan pemeriksaan serum CA 125 tetap diperlukan, meskipun serum CA-125 mungkin dapat meningkat pada endometriosis derajat sedang dan berat, ketentuan ini tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin.12, Klasifikasi Sistem klasifikasi endometriosis oleh American Society for Reproductive Medicine (ASRM) yang telah direvisi berdasarkan penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul-de-sac posterior.1 19

15 Gambar 2. Klasifikasi Endometriosis Berdasarkan The American Society for Reproductive Medicine yang Direvisi 20

16 Penyakit yang minimal (stadium I) dengan skor: 1-5 dan ringan (stadium II) dengan skor: 6-15 dikarakteristikkan dengan implan yang menyebar kecuali pada daerah superfisial di tuba fallopi atau ovarium, tanpa skar atau perlekatan pada anterior atau posterior permukaan ovarium. Penyakit yang sedang (stadium III) dengan skor: 16-40, dikarakteristikkan dengan implan multipel atau endometrioma berukuran kecil ( 2 cm) meliputi satu atau kedua ovarium, minimal perlekatan peritubular atau periovarium; tersebar dengan parut dan retraksi pada struktur lainnya. Penyakit yang berat (stadium IV) dengan skor: > 40 dikarakteristikkan dengan endometrioma ovarium yang besar, perlekatan tuba atau ovarium, obstruksi tuba, obliterasi cul-de-sac, meliputi uterosakral dengan keterlibatan usus atau traktus urinarius yang nyata Penatalaksanaan Penatalaksanaan endometriosis berdasarkan keluhan dari penderita, lokasi lesi endometriosis, tujuan pengobatan dan keinginan untuk hamil. Pada wanita penderita endometriosis derajat minimal sampai ringan dapat dilakukan penatalaksanaan ekspektatif. Seperti Sutton dan rekan (1997), endometriosis yang telah dikonfirmasi melalui laparoskopi derajat minimal dan ringan yang dilakukan ekspektatif selama 1 tahun 29% pasien mengalami regresi penyakit, 42% tidak mengalami perubahan dan 29% mengalami perkembangan penyakitnya. Penatalaksanaan endomeriosis yaitu terapi medikamentosa, tetapi pembedahan dan teknologi reproduksi dengan bantuan. Terapi medikamentosa banyak 21

17 bermanfaat untuk mengatasi keluhan nyeri tetapi kurang bermanfaat untuk masalah infertilitas. Tujuan utama terapi medikamentosa pada endometriosis adalah menghentikan pertumbuhan dan aktivasi lesi endometriosis. Obat medikamentosa adalah kombinasi, progestin, konvensional anti yang inflamasi derivate non androgen, dipakai pada steroid,pil GnRH terapi kontrasepsi agonist, GnRH antagonistdan aromatase inhibitor.14,15 Gambar 3. Algoritma diagnostik dan penatalaksanaan pada wanita dengan endometriosis. COCs = combination oral contraceptives; GnRH= gonadotropin releasing hormone; IUI = intrauterine insemination; NSAIDs = nonsteroid anti inflammatory drugs.14 22

18 2.7Reseptor Progesteron (PR) Progesteron, adalah modulator kunci fungsi reproduksi normal, termasuk ovulasi, uterus, perkembangan kelenjar mamae, dan ekspresi respon seksual. Progesteron adalah hormon steroid yang sangat penting sebagai regulator fisiologi reproduksi wanita normal. Progesteron disekresikan terutama oleh korpus luteum yang berkembang di ovarium setelah ovulasi. Progesteron mempengaruhi beberapa jaringan dan organ, termasuk otak, payudara, uterus, ovarium, dan serviks. Hormon progesteron ditemukan berperan dalam fungsi proliferasi atau memicu diferensiasi terutama pada epitel. Progesteron menghalangi proliferasi yang dipengaruhi oleh estrogen pada endometrium normal.walaupun begitu, peran progesteron terus diteliti karena estrogen dan progesteron bersama-sama berperan dalam proliferasi sel stroma endometrium.7,22,37 Hormon steroid seperti estradiol dan progesteron yang lipofilik dan masuk kedalam sel dan inti dengan menyebarkan melalui plasma dan membran nuklir. Setelah di inti, steroid menemukan protein yang dikenal sebagai reseptor karena mereka mengikat ligan yang sama dengan afinitas tinggi dan spesifisitas. Reseptor progesteron pada model mencit mengkonfirmasi perlunya progesteron pada proses reproduksi yang normal dan pengaruhnya pada berbagai jenis sel.21,22 Reseptor progesteron yang teraktivasi juga memainkan peran penting dalam remodelling jaringan uterus. Uterus terdiri dari tipe sel heterogen dengan gelombang sinkron dari proliferasi dan diferensiasi sebagai respon terhadap perubahan siklik pada kadar 23

19 estrogen dan progesteron Pada manusia, efek progesteron yang dimediasi oleh PR dengan inisiasi alternatif transkripsi dari dua promotor yang berbeda. Dua isoform ini adalah PR-A dan PR-B yang dihasilkan gen tunggal dengan transkripsi di dua promotor yang berbeda dan dengan inisiasi translasi di dua promotor distal dan proksimal yang diduga untuk reseptor estrogen, yang disebut Estrogen Response Element (ERE). PR-A dan PR-B memiliki sekuensi yang identik, dimana PR-B lebih panjang dengan 164 asam amino di N-terminal yang diapit oleh (Activation Factor) AF-1 dan AF-2, PR-A dan PR-B secara fungsional mediator yang berbeda dari kerja progesteron pada epitelium uterin. Fungsi kedua reseptor ini juga berbeda. Studi pada tikus dengan ablasi selektif isoform PR mengungkapkan bahwa PR-A diperlukan untuk ovulasi dan modulasi efek antiproliferatif progesteron di dalam uterus, dan PR-B diperlukan untuk perkembangan normal dan fungsi kelenjar mammae. Bukti terbaru telah menyarankan adanya isoform reseptor progesteron ketiga fungsional, yaitu PR-C, yang diyakini memainkan peran penting dalam persalinan. 23 PR-C tidak memiliki N terminal PR dan satu finger zinc dari domain ikatan DNA, sehingga inaktif dalam transkipsi tetapi dapat berikatan dengan hormon, dimerisasi, dan terletak di nukleus. Beberapa laporan in vitro menunjukkan bahwa PR-C dapat memicu atau menghambat aktivitas PR-A/B melalui pengaruh dengan memberikan sinyal, namun belum dipahami dengan baik.24 24

20 PR terdiri dari DNA Binding Domain (DBD) dan terminal karboksil Ligand Binding Domain (LBD). Sebagai tambahan, PR memiliki beberapa fungsi aktivasi dan inhibisi, yang akan memicu atau menghambat aktivasi transkipsi oleh PR. Dalam keadaan inaktif, PR memiliki kompleks kaperon multiprotein yang inaktif. Ikatan progestin pada PR akan menyebabkan perubahan konformasional, disosiasi kaperon, dimerisasi, dan mengikat ke elemen respon progestin pada promoter gen target, memicu sekresi koaktivator spesifik dan faktor transkripsi. Selain itu, PR akan mengaktifkan transkripsi melalui jalur non genomik seperti aktivasi sinyal kaskade second messenger dan cross talk reseptor dengan sinyal faktor pertumbuhan.22,42-45 Meskipun urutan LBD dari PR-A dan PR-B adalah identik, akan tetapi kemampuan ligannya berbeda untuk dapat menginduksi perubahan konformasi dalam PR.58Dari sudut pandang mekanisme kerja, dari pengamatan dilihat bahwa PR-A saja sudah cukup untuk mendukung ovulasi yang normal,yang menunjukkan bahwa interaksi antara heterodimeric PR-A dan protein PR-B tidak diharuskan untuk dapat mengatur progestin penting yang responsif terhadap gen target yang terkait dengan ovulasi. Ekspresi rahim dari isoform PR-A diperlukan tidak hanya untuk menghambat proliferasi estrogen-induced tetapi juga yang disebabkan oleh progesteron yang bekerja melalui protein PR-B.46 Meskipun mekanisme yang tepat yang mendasari kegiatan diferensial dari dua isoform PR manusia tidak sepenuhnya dipahami, terdapat beberapa hipotesis mengenai kompleksisitas ini. Studi struktur- 25

21 fungsi menunjukkan bahwa domain Activation Factor (AF3) terletak di regio sekuensi upstream PR-B, yang tidak ditemukan dalam PR-A. PR-B spesifik mengkode AF3 yang tidak dijumpai dari PR-A. Domain ini berkontribusi terhadap aktivitas transkripsi dengan menekan aktivitas domain inhibitor pada urutan umum untuk PR-A dan PR-B. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa kedua reseptor memiliki konformasi yang berbeda dalam sel sehingga PR-A dan PR-B berinteraksi dengan koregulator yang berbeda. 28,43-45 Rasio dari isoform individu bervariasi dalam jaringan reproduksi sebagai akibat dari perkembangan dan status hormonal dan selama karsinogenesis. Pengikatan progesteron untuk PR-B menghasilkan rangsangan dari kegiatan proliferasi di dalam rahim; Namun, ekspresi rahim dari isoform PR-A diperlukan untuk menginhibisi proliferasi progesteron yang diinduksi melalui fungsi PR-B. Stimulasi PR-A dengan progesteron juga telah dilaporkan untuk mempromosikan diferensiasi selsel. Selamaovulasi in vivo, hilangnya aktivitas proliferasi tampaknya terkait erat dengan regulasi LH dan fungsi sel cumulus. Fungsi sel cumulus dibedakan, seperti produksi progesteron, sintesis Hyaluronan, atau penutupan komunikasi gap junction, yang terlibat dalam pematangan meiosis oosit kumulus tertutup. Dengan demikian, rasio tinggi PR-A untuk ekspresi PR-B berperan penting dalam diferensiasi sel cumulus Berbeda dengan ekspresi dominan dari salah satu isoform PR sering diamati dalam jaringan hewan, dalam jaringan manusia normal in vivo, termasuk payudara dan rahim, semua sel epitel dengan PR+ 26

22 memiliki tingkat PR-A dan PR-B yang sama. Penelitian Aupperlee dkk. (2007) menunjukkan bahwa PR-A dan PR-B merupakan regulator transkripsi fungsional yang unik, mampu mengatur transkripsi gen secara berbeda dalam konteks promotor yang sama, dan mampu mengenali promotor yang sama sekali berbeda.25 Conneely dkk. (2000), melakukan penelitian kultur jaringan yang menunjukkan bahwa PR-A dan PR-B memiliki bahan transaktivasi berbeda secara spesifik terhadap tipe sel dan promoternya. PR-B ditemukan berfungsi sebagai aktivator transkipsi kuat dari beberapa target gen PR yang diregulasi oleh kedua reseptor. Bila dalam 1 sel ada 2 isoform ini, PR-A yang meningkat dapat menekan PR-B dan sebaliknya. Mekanisme ini dilakukan melalui terminal N dan komunikasi intramolekular PR-A.26,27 Banyak ligan untuk PR telah disintesis dan digunakan dalam pengobatan klinis dan penelitian. Ligan agonis maupun antagonis berinteraksi dengan PR untuk mengaktifkan atau menekan ekspresi gen dalam sel target. Agonis progesteron seperti progestin, medroksiprogesteron asetat, noretindron asetat, megestrol asetat memiliki kemampuan untuk menekan proliferasi endometrium yang diinduksi estrogen. Sedangkan antiprogestin seperti onapriston, mifepriston, asoprisinil, ulipristal asetat, memiliki efek sebaliknya.1,14-17,

23 2.8 Peran Reseptor Progesteron pada Endometriosis Uterus terdiri dari tipe sel heterogen dengan gelombang sinkron dari proliferasi dan diferensiasi sebagai respon terhadap perubahan siklik pada kadar estrogen dan progesteron. Gelombang hormonal ini juga mengatur rekruitmen sel inflamasi, apoptosis, hancurnya jaringan, dan regenerasi. Hormon progesteron ditemukan berperan dalam fungsi proliferasi atau memicu diferensiasi terutama pada epitel. Reseptor progesteron yang teraktivasi juga memainkan peran penting dalam remodelling jaringan uterus Endometrium adalah dinding uterus yang terus tumbuh, proliferasi, regresi, dan mengulang siklus kembali dalam regulasi hormon steroid. Diyakini bahwa hormon progesteron berada dalam kadar abnormal pada kompartemen endometrium eutopik dan ektopik pada wanita dengan endometriosis, tidak jelas apakah ini merupakan efek langsung, kausal berkaitan dengan infertilitas, atau dapat digunakan untuk tujuan diagnostik.42 Telah diketahui dengan jelas bahwa ada pengaruh estrogen pada endometriosis. Namun, peran progesteron pada endometriosis belum dipahami dengan jelas karena progesteron ditemukan protektif terhadap kanker endometrium dan hanya sedikit pasien endometriosis yang menerima manfaat dari terapi progestin. Walaupun begitu, peran progesteron terus diteliti karena estrogen dan progesteron bersama-sama berperan dalam proliferasi sel stroma endometrium.7,22,42 Walau sensitif terhadap estrogen, endometriosis tampaknya 28

24 memiliki komplemen unik terhadap reseptor hormon steroid dibandingkan dengan endometrium eutopik. Sebagai contoh, beberapa peneliti melaporkan kadar ERβ yang tinggi dan kadar ERα yang rendah pada jaringan endometriosis manusia dan sel-sel stroma primer jika dibandingkan dengan jaringan dan sel endometrium eutopik.24,25 PR adalah gen target prototipe dari estrogen receptor (ERα) di beberapa tipe sel termasuk sel epitel keganasan payudara. ERα memediasi induksi PR oleh estradiol (E2).52,54Defisiensi ERα pada endometriosis dapat menyebabkan kegagalan E2 untuk menginduksi ekspresi PR, mengakibatkan defisiensi PR sekunder dan resistensi progesteron pada wanita dengan endometriosis. Observasi in vivo menunjukkan bahwa E2 menginduksi ekspresi ERα pada jaringan uterus tikus.30 Sangat mungkin bahwa E2 memiliki peran dalam meregulasi ekspresi ERα pada sel stroma endometrium manusia. Tetapi, kuantitas besar E2 yang diproduksi melalui aktivitas aromatase lokal, ditambah kadar ERβ yang tinggi pada sel stroma endometriosis, dapat mengganggu regulasi dan menekan ekspresi ERα. Kadar ERβ yang tinggi menekan ekspresi ERα dan respon terhadap estradiol di sel stroma endometriosis melalui ikatan dengan DNA nonklasik di promotor ERα yang digunakan bergantian. ERβ juga meregulasi proses siklus sel dan dapat berkontribusi terhadap proliferasi sel-sel stroma endometriosis Walaupun terdapat fakta bahwa kedua sekuens promoter PR yang diajukan menunjukkan respon terhadap E2, keduanya tidak memiliki sekuens ERE klasik Beberapa elemen regulasi nonklasik (AP1, SP1) 29

25 di promoter PR manusia telah dilaporkan. Beberapa lokasi telah menunjukkan ikatan ERα dan ERβ.28,41-49 Kadar kritis ERα perlu untuk induksi PR yang tergantung E2 di sel-sel stroma endometrium. Penempatan daerah promoter PR dengan berbagai rasio ERα dengan ERβ mungkin diperlukan untuk menentukan efek E2 pada ekspresi PR. Rasio ERα dan ERβ yang sangat rendah pada sel-sel stroma endometriosis mungkin bertanggung jawab untuk pergeseran dari stimulasi E2 menjadi inhibisi E2 terhadap ekspresi PR di sel-sel stroma endometriosis PR adalah salah satu gen yang responsif terhadap E2, dan E2 bekerja di jaringan endometrium eutopik dan sel stroma untuk meningkatkan tingkat respon endometrium terhadap progesteron.28 Sebagai kontras, mrna dan kadar protein PR tidak meningkat pada jaringan endometriosis yang dibiopsi setelah terekspos kadar E2 tinggi saat fase proliferatif akhir ataupun pada jaringan endometriosis yang telah diterapi dengan E2. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspresi PR yang diinduksi E2 mengalami gangguan pada endometriosis.26 Pada penelitian terbaru mengenai kadar reseptor steroid pada sel endometrium dan endometriosis, kadar mrna ERα lebih rendah secara signifikan (tujuh kali lipat) pada sel-sel stroma endometriosis dibandingkan sel stroma endometrium. Kadar mrna ERβ lebih tinggi secara signifikan (34 kali lipat) pada sel-sel stroma endometriosis, sedangkan kadarnya di sel stroma endometrium sangatlah rendah atau bahkan tidak 30

26 dijumpai. Rerata rasio ERα terhadap ERβ adalah 841 dan 21 pada sel-sel stroma endometriosis. Kadar mrna total PR and PR-B pada sel stroma endometriosis lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan sel stroma endometrium. Kadar protein ERα dan ERβ berbeda secara signifikan pada kedua kelompok, serupa dengan temuan terkait kadar mrna. Sel-sel stroma endometriosis mengandung ERβ yang amat tinggi dan ERα dan PR yang lebih rendah secara signifikan jka dibandingkan dengan sel-sel stroma endometrium.52,54 Di endometrium, mekanisme progesteron dilakukan melalui ikatan pada PR di sel stroma. Pembuluh darah yang mengangkut progesteron (P4) terletak dekat ke sel stroma. Kontak awal antara progesteron dan aktivasi PR dimediasi oleh koaktivator reseptor steroid (SRC).35 Koaktivator akan berinteraksi dengan reseptor DBD dan LBD dengan bantuan SNURF, GT198, dan HMG. DBD PR diperlukan untuk mengikat urutan DNA elemen responsif tertentu, tapi lebih sedikit yang diketahui tentang fungsi koaktivaktor nuklir yang mengikat DBD.40,56 PR stroma yang diaktivasi P4 di sirkulasi akan memproduksi banyak faktor parakrin termasuk asam retinoat. Masuknya asam retinoat dimediasi oleh uptake reseptor RBP-retinol dari sirkulasi. Retinol dikonversi ke asam retinoat, yang kemudian ditransportasi oleh cellular RA binding protein-2 (CRABP2) ke nukelus. RA-RAR akan menentukan keseimbangan diferensiasi dan apoptosis pada sel stroma endometrium. PR diketahui memicu STRA6 dan CRABP2 stroma serta menganggu metabolisme RA oleh enzim CYP26B1 dan CYP26A1. Asam retinoat dan 31

27 mediator parakrin lainnya kemudian akan memicu diferensiasi sel epitel dan menghambat mekanisme proliferasi sel yang dipicu estradiol (E2). Implantasi endometriosis berkaitan dengan aromatase dan 17β- hydroxysteroid dehydrogenase tipe 1, yaitu suatu enzim yang merubah androstenedione menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Pada keadaan ini didapati penurunan dari 17β-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 yang menonaktifkan estrogen Asam retinoat dapat memicu enzim 17βHSD2, yang mengubah E2 aktif ke estron yang lemah (E1) di sel epitel. Peningkatan PR akan meningkatkan proses ini dan sebaliknya.37 Ekspresi dari PR dalam epitel, stroma dan kompartemen seluler miometrium berada di bawah kendali estrogen dan progesteron. Estrogen merangsang dan progesteron menghambat pertumbuhan endometrium. Selain berikatan langsung dengan reseptor estrogen atau progesteron, ada bukti kuat bahwa terdapat interaksi parakrin antara epitel dan stroma sel di endometrium menjadi mediator resepon terhadap hormonal

28 Gambar 4. Mekanisme kerja reseptor progesteron59 Dalam endometrium manusia, tingkat ekspresi isoform PR diatur secara berbeda selama siklus menstruasi yang normal. Profil ekspresi gen dalam pemeriksaan microarray di endometrium wanita dengan endometriosis menunjukkan bahwa sejumlah progesteron gen disregulasi selama masa implantasi seperti glukodelin yang lebih rendah pada jaringan endometriosis.56 Sebagai contoh, PR-A adalah isoform PR dominan dan tetap dalam stroma, tapi ekspresi kedua isoform PR menurun dalam sel epitel endometrium selama fase sekresi. Penelitian Jericevic dkk. (2004) pada mencit dengan delesi PR-A/B menunjukkan bahwa sel epitel endometrium menjadi lebih hiperplastik.56,60 33

29 Penelitian Mangal dkk. (1997) menunjukkan 17β-estradiol menginduksi ekspresi PR-B lebih dari ekspresi PR-A di endometrium manusia. Namun, belum ditetapkan mengapa ekspresi penurunan subtipe PR terjadi pada endometriosis tergantung estrogen. Pada penelitian lain, Mote dkk. dengan imunohistokimia menunjukkan bahwa ekspresi PR-A dan PR-B meningkat selama fase proliferasi dan mencapai ekspresi tertinggi selama fase akhir proliferasi. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi isoform PR bergantung hormonal dapat menentukan inhibisi atau stimulasi kerja progestogen.40,41 Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang kontroversial. Kao dkk. (2003) melakukan pemeriksaan microarray pada sel dari biopsi jaringan endometrium ektopik wanita endometriosis dan normal pada hari 8-10 setelah lonjakan LH pertengahan siklus. Burney dkk. (2007) yang membandingkan ekspresi gen ektopik dan eutopik endometriosis pada manusia menemukan penurunan respon progesteron normal. Berbeda dengan penelitian, D Amora dkk. (2009) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan polimorfisme PROGINS (salah satu varian gen PR) pada wanita endometriosis.3,9,14 Perbedaan ini dapat disebabkan karena PR memiliki dua isoform. Pada keadaan patologis pada endometrium, kadar kedua isoform biasanya tidak seimbang. Oleh karena itu, peneliti terus berupaya mencari proses ketidakseimbangan kedua isoform PR. Terdapat variasi penelitian walaupun kebanyakan penelitian menunjukkan downregulasi PR-B, sesuai dengan teori bahwa PR-A yang lebih banyak berperan dalam transkipsi 34

30 dan translasi sel.3,9 Terlebih lagi, kadar kedua isoform PR, terutama PR-B, lebih rendah secara signifikan pada endometriosis jika dibandingkan dengan endometrium eutopik.5,26 Penelitian Igarashi dkk. (2005) dilakukan untuk mengetahui ekspresi PR-A dan PR-B di endometrium. Sampel adalah jaringan biopsi endometrium ektopik dari seluruh sukarelawan wanita penderita endometriosis yang telah menjalani pembedahan. Dilakukan analisis in vivo ekspresi PR-A dan PR-B di endometrium dari wanita dengan endometriosis dan kontrol. Hasil penelitian adalah ditemukan rasio PRB/PR-A lebih rendah pada jaringan endometrium dari wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan jaringan normal.10 Attia dkk. (2000) melakukan penelitian untuk menentukan bahwa aksi progesteron pada target gen endometriosis dilakukan oleh homodimer PR-B, di mana PR-A berperan sebagai supresor fungsi PR-B. Pada 18 jaringan endometrium normal, PR-B ditemukan pada 17 sampel dengan kadar yang meningkat. PR-A ditemukan pada seluruh jaringan endometriosis namun dalam kadar yang rendah. Pada 18 jaringan endometriosis, tidak ditemukan PR-B namun ditemukan PR-A dalam kadar yang rendah. Tidak adanya PR-B pada jaringan endometrium dapat menjadi gambaran atas rendahnya rasio kelenjar/stroma dibandingkan endometrium normal.43,56,60-63 Treloar dkk. (2005) pada 900 wanita tidak menemukan hubungan antara endometriosis dengan peningkatan PR-B. Wu dkk. (2006) dan Sasaki dkk. (2001) menunjukkan bahwa pada jaringan endometriosis 35

31 ektopik, terjadi downregulasi PR-B, PR-A tetap, akibat hipermetilasi PR-B. Selain itu, ditemukan bahwa PR-B menurun karena represi oleh reseptor estrogen yang sangat tinggi dalam sel stroma Akan tetapi, Fazleabas et al. (2003) menemukan tidak ada perbedaan signfikan antara rasio PR-B/PR-A pada jaringan endometriosis dibandingkan jaringan normal. Bahkan, Lee dkk. (2009) menunjukkan ada peningkatan rasio PR-B/PR-A dan penurunan mrna PR-A pada jaringan endometrium ektopik model endometriosis mencit dibandingkan kontrol. Wu dkk. (2006) telah menunjukkan bukti penurunan enzim 17HSD2 pada peningkatan PR terutama PR-B dalam jaringan endometriosis. Berchuck dkk. (2004) pertama sekali menyatakan bahwa penurunan risiko endometriosis oleh karena adanya peningkatan PR-B.56,60,64 Berbagai penelitian juga menemukan adanya resistensi progesteron pada endometriosis. Sel stroma endometriosis yang gagal merespon progesteron akan mengalami penurunan rangsangan asam retinoat. Hal ini juga akan menyebabkan turunnya enzim 17BetaHSD2 dan kegagalan inaktivasi estradiol menjadi estron. Selain itu, juga ditemukan berbagai defek pada jalur asam retinoat, kombinasi dengan tingkat estradiol yang tinggi, defek progesteron ini akan lebih mempromosikan endometriosis.49,64-67 Penelitian Attia dkk. (2000) menunjukkan bahwa resistensi progesteron dapat dijelaskan akibat tidak ada satupun transkrip dari protein PR-B dan adanya PR-A pada lesi ektopik. Resistensi progesteron ini terjadi akibat gangguan transduksi sinyal progesteron yang disebabkan 36

32 inflamasi kronik, tetapi juga akibat perubahan epigenetik kromatin yang menentukan responsitivitas sel endometrial.43,56-58 Peneliti lain juga menunjukkan penurunan risiko endometriosis karena peningkatan produksi PR-B. Semua hal ini berkontribusi dalam patogenesis endometriosis Gambar 5. Ekspresi PR pada jaringan endometriosis51 37

33 2.9 Kerangka Teori Asam Arakidonat ER-β COX-2 ER-α PGE2 PR-B RA SF1 17βHSD2 Aromatase Estron Estradiol Kolesterol 17βHSD1 Stroma Endometrium MCP-1 RANTES L-Selektin Makrofag M1 M2 ENDOMETRIOSIS Inflamasi kronik/pembentukan peritoneal fibrosis Perdarahan secara siklik dalam rongga Peningkatan reaksi autoantibodi (sitokin), antiinflamasi, growth factor Implantasi dan invasi sel ektopik 38

34 2.10 Kerangka Konsep Ekspresi reseptor progesteron B (PR-B) VARIABEL INDEPENDEN Jaringan endometriosis VARIABEL DEPENDEN 39

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal.

BAB I. Pendahuluan. yang berasal dari implantasi endometriosis dan pertumbuhan jaringan. endometrium yang mencapai rongga peritoneal. BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Penelitian. Endometriosis merupakan penyakit yang timbul pada 10% wanita reproduktif dan memiliki gejala nyeri pelvis, dismenorea, dan infertilitas. 1 Endometriosis

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang umum terjadi yang ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar rongga uterus dan penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan infertilitas. Sampel merupakan pasien rawat inap yang telah menjalani perawatan pada Januari 2012-Juli 2013. Data

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Infertilitas dalam arti klinis didefinisikan sebagai Ketidakmampuan seseorang atau pasangan untuk menghasilkan konsepsi setelah satu tahun melakukan hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal:

BAB I PENDAHULUAN. Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik. adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis adalah kelainan ginekologi dengan karakteristik adanya implantasi jaringan endometrium di lokasi ektopik, misal: peritoneum panggul, ovarium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Jumlah penduduk merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh setiap negara, karena membawa konsekuensi di segala aspek antara lain pekerjaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup

Lebih terperinci

PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K)

PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K) PENGARUH DIOXIN TERHADAP ENDOMETRIOSIS Oleh : Dr Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG(K) Abstrak Endometriosis adalah masalah ginekologi yang sering ditemui, namun penyebab pastinya belum diketahui. Penelitian

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Tumor jinak pelvik Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Definisi Massa pelvik merupakan kelainan tumor pada organ pelvic yang dapat bersifat jinak maupun ganas Tumor jinak pelvik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. kehamilan ektopik yang berakhir dengan keadaan ruptur atau abortus. 12 Kehamilan 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Kehamilan Ektopik Terganggu Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi diluar rongga uteri. Lokasi tersering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

Pengertian. Endometriosis

Pengertian. Endometriosis Endometriosis Pengertian Endometriosis Suatu penyakit jinak yang didefinisikan dengan adanya kelenjar endometrium atau pun stroma ektopik (diluar uterus) yang sering dihubungkan dengan nyeri panggul dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan bersifat monoklonal. 1,2 Prevalensi mioma uteri di Amerika serikat sekitar 35-50%. 1

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tumor ganas ovarium adalah penyebab kematian akibat tumor ginekologi yang menduduki urutan ke empat di Amerika Serikat. (1-10) Laporan statistik kanker Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini

BAB I PENDAHULUAN. endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Endometriosis merupakan suatu keadaaan ditemukannya jaringan endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini dideskripsikan sejak 1860 dan menjadi salah

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan

Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan Terdiri dari beberapa proses seperti: 1. Perubahan anatomis dan fisiologis miometrium Pertama, terjadi pemendekan otot polos miometrium

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 4 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Endometriosis Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun sampai mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan merupakan penyebab kematian kedua pada wanita setelah kanker

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik atau buruknya pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

Pend h a uluan Etiologi PUD B l e dik um t e h a i u t pas iti Beberapa pilihan terapi

Pend h a uluan Etiologi PUD B l e dik um t e h a i u t pas iti Beberapa pilihan terapi TERAPI HORMONAL & NONHORMONAL DALAM PENATALAKSANAAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI (PUD) Pendahuluan Etiologi PUD Belum diketahui i pasti Beberapa pilihan terapi Pendahuluan Pembagian : PUD akut kronis Perimenarcheal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia (Shibuya et al., 2006).

Lebih terperinci

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 Dilepas ke sirkulasi seluruh tubuh Mengatur fungsi jaringan tertentu Menjaga homeostasis Berada dalam plasma, jaringan interstitial

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause Seiring dengan bertambahnya usia, banyak hal yang terjadi dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada manusia. Namun, pada suatu saat perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uterus 2.1.1. Anatomi dan Histologi Uterus Uterus berbentuk seperti buah pir dan berdinding tebal. Yang terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, cavum uteri. Ukuran dari fundus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik adalah salah satu penyebab kematian utama karena merokok (Barnes PJ., 2007). PPOK merupakan masalah kesehatan global yang menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tumor ganas ovarium tipe epitel adalah penyebab kematian kanker ginekologi utama di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 70 wanita di Amerika Serikat terkena tumor ganas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menstruasi A. Pengertian Menstruasi Menstruasi merupakan keadaan fisiologis, yaitu peristiwa keluarnya darah, lendir ataupun sisa-sisa sel secara berkala. Sisa sel tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sindroma Ovarium Polikistik Sejak 1990 National Institutes of Health mensponsori konferensi Polikistik Ovarium Sindrom (PCOS), telah dipahami bahwa sindrom meliputi suatu spektrum

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Indonesia, karsinoma payudara menduduki ranking kedua setelah kanker

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prognosis Kanker Payudara Prognosis dipengaruhi oleh ukuran tumor, metastasis, derajat diferensiasi, dan jenis histopatologi. Menurut Ramli (1994), prognosis kanker payudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami

BAB I. PENDAHULUAN. berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan menopause sebagai berhentinya siklus menstruasi disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan pada usus besar dan rektum. Gangguan replikasi DNA di dalam sel-sel usus yang diakibatkan oleh inflamasi kronik dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama kehamilan, wanita dihadapkan pada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah abortus. Abortus adalah kejadian berakhirnya kehamilan secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ketujuh pada wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 239.000 kasus baru kanker ovarium dan 152.000 kasus meninggal dunia

Lebih terperinci