UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI RISA ASRIYANI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI RISA ASRIYANI F"

Transkripsi

1 UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI RISA ASRIYANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 SHELF LIFE OF SYMBIOTIC YOGHURT IN VARIETY OF PACKAGING MATERIALS AND STORAGE TEMPERATURES Risa Asriyani, Liesbetini Hartoto and Erliza Hambali Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Symbiotic yoghurt was made by combination of probiotic culture (Bifidobacterium longum and Lactobacillus acidophilus) and non-probiotic bacteria (Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus) with instant soy bean flour as prebiotic source. This yoghurt was packaged in three different types of packaging namely HDPE, PET and glass bottle under three different temperatures (room temperature, 2-4 C and 7-9 C). Critical parameters of shelf life determination were titratable acidity, total of coliform bacteria, and organoleptic acceptance. Storage time caused decrease of symbiotic yoghurt quality which was characterized by increased titratable acidity and total of coliform bacteria also organoleptic deterioration. Shelf life of symbiotic yoghurt was determined based on how long the critical parameter was attained a minimum limit quality of yoghurt in SNI about yoghurt. Shelf life of symbiotic yoghurt stored at room temperature with HDPE bottle was one day, whereas with PET bottle and glass bottle were 2 days. At 2-4 C, the shelf life in HDPE and PET bottle was 21 days, whereas the shelf life in glass bottle was 14 days. At 7-9 C, the shelf life in HDPE bottle was 7 days, whereas the shelf life in PET bottle and glass bottle were 10 days and 21 days respectively. The result showed that the best shelf life was obtained by used HDPE bottle and storage at 2-4 C. Keywords : Packaging material, shelf life, storage temperatures, symbiotic yoghurt.

3 RISA ASRIYANI. F Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Erliza Hambali RINGKASAN Yoghurt simbiotik yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan menggabungkan bakteri probiotik (Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus) dan bakteri non probiotik (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dengan sumber prebiotik dari kacang kedelai yang telah diolah menjadi kedelai bubuk instan (tepung kedelai). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan serta melakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan. Analisis awal dilakukan terhadap yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan. Analisis dilakukan terhadap parameter kritis umur simpannya yang meliputi total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Yoghurt simbiotik kemudian dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu HDPE, PET, dan gelas serta disimpan pada tiga suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang, suhu 2-5 C, dan suhu 7-9 C. Pengujian yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang dilakukan selama 3 hari penyimpanan. Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) dan uji koliform yoghurt simbiotik pada dua suhu dingin dilakukan selama 28 hari penyimpanan. Batasan mutu dan batas minimum yoghurt simbiotik menggunakan SNI mengenai yoghurt untuk penentuan umur simpannya. Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel dan analisis deskriptif. Lama penyimpanan menyebabkan penurunan mutu yoghurt simbiotik yang ditandai dengan meningkatnya total asam tertitrasi, bertambahnya total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Penurunan mutu yang paling cepat terjadi saat yoghurt simbiotik disimpan pada suhu ruang yang ditandai dengan meningkatnya TAT, pertumbuhan bakteri koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang melebihi standar SNI dalam waktu kurang dari satu minggu penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan, semakin lambat laju penurunan mutu yoghurt simbiotik. Sedangkan semakin rendah permeabilitas kemasan semakin cepat peningkatan TAT dan pertumbuhan koliform tetapi semakin lambat penurunan mutu organoleptiknya. Umur simpan yoghurt dapat ditentukan dari faktor kritis kerusakan yang paling cepat. Yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang umur simpannya adalah 1 hari saat dikemas dalam botol HDPE, dan 2 hari saat dikemas dalam botol PET dan gelas. Pada penyimpanan suhu 2-4 C, umur simpannya adalah 21 hari saat dikemas dalam botol HDPE dan PET, dan 14 hari saat dikemas dalam botol gelas. Pada suhu penyimpanan 7-9 C, umur simpannya adalah 7 hari saat dikemas dalam botol HDPE, 10 hari dalam botol PET, dan 21 hari saat dikemas dalam botol gelas. Akan tetapi, dengan melihat hasil dari ketiga faktor kritisnya, umur simpan yang paling lama (yang terbaik) adalah yoghurt simbiotik yang dikemas dalam botol HDPE pada penyimpanan suhu 2-4 C.

4 UMUR SIMPAN YOGHURT SIMBIOTIK DENGAN VARIASI BAHAN KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh RISA ASRIYANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2012 Yang membuat pernyataan Risa Asriyani F

6 Hak cipta milik Risa Asriyani, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

7 BIODATA PENULIS Risa Asriyani dilahirkan di Tasikmalaya pada 13 Mei 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Tata Zenal Mutakin dan Nina Nurhayati. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Salawu II ( ), dan melanjutkan ke SMP Negeri I Singaparna ( ). Pada Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Singaparna Tasikmalaya dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mengambil pilihan mayor Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain menjalani aktivitas akademik, penulis juga aktif menjadi pengurus di Lembaga Dakwah Kampus Al Hurriyyah IPB ( ) dan Forum Bina Islami FATETA (2009). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan dan kompetisi. Pada tahun 2010, penulis beserta tim GREENTECH EMC berhasil lolos dan didanai dalam Program Mahasiswa Wirausaha Bidang Perdagangan dan Jasa yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) IPB. Pada tahun 2011 penulis beserta tim mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan yang berhasil lolos dan didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Selain itu, penulis melaksanakan program praktik lapangan di PT. Amanah Prima Indonesia dengan judul Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi, Penyimpanan, dan Penggudangan Produk TOZA Juice di PT Amanah Prima Indonesia. Pada masa akhir perkuliahan, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Umur Simpan Yoghurt Simbiotik dengan Variasi Bahan Kemasan dan Suhu Penyimpanan. Penyelesaian skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. selaku dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Erliza Hambali selaku pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M. Si. selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi. 3. SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) yang telah mendukung penelitian penulis. 4. Bapak Encep dan Mbak Hani serta ERIF FARM Cisarua atas bantuan penyediaan alat dan bahan penelitian penulis. 5. Para laboran di laboratorim TIN yaitu Pak Edi, Pak Sugi, Ibu Ega, Pak Gun, Ibu Sri, Ibu Rini dan Pak Diky atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Orang tua tercinta, De Iman, De Nurul, Mang Edi dan keluarga besar yang selalu memberikan motivasi, do a terbaik dan dukungan moril maupun materil kepada penulis. 7. Sahabatku Zulhadiati Agustina yang selalu setia membantu, menemani, dan menyemangati penulis saat penelitian hingga lulus sidang, juga untuk Ria, Lili, Nunung, Ghilda, Dayu, Wardah, dan teman-teman TIN 44 semuanya, yang selalu saling menyemangati, membantu, dan mendoakan penulis hingga selesainya skripsi ini. 8. Sahabat Lolly Pop atas kebersamaan, do a, dan ukhuwah yang begitu indah selama 4,5 tahun ini, SDM LDK AH 2011 dan Sahabat GREENTECH atas kebesamaannya dalam melatih jiwa wirausaha dan motivasi yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk penulisan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2012 Penulis i

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup... i iii iv v II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Segar Kedelai Bakteri Asam Laktat (BAL) Yoghurt Simbiotik Suhu Penyimpanan Yoghurt Viabilitas BAL dalam Yoghurt Simbiotik Pengemasan Umur Simpan III. METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Waktu dan Tempat Penelitian Metode IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Yoghurt Simbiotik Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan Total Asam Tertitrasi Koliform Perubahan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan Penentuan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik Viabilitas Yoghurt Simbiotik V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN ii

10 DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi Susu Sapi... Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar... Tabel 3 Kandungan Gizi dalam Setiap 100 gram Biji Kedelai Kering... Tabel 4. SNI Yoghurt... Tabel 5. Viabilitas BAL selama 15 hari Penyimpanan Suhu Refrigerasi... Tabel 6. Daya Tembus Plastik terhadap N 2, O 2, CO 2, dan H 2 O... Tabel 7. Densitas Bahan Kemasan Yoghurt Simbiotik... Tabel 8. Hasil Analisis Awal Yoghurt Simbiotik... Tabel 9. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu Ruang... Tabel 10. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu 2-4 C... Tabel 11. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik selama Penyimpanan Suhu 7-9 C... Tabel 12. Penentuan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik... Tabel 13. APM/g Sampel apabila Menggunakan 3 Tabung untuk setiap Tingkat Pengenceran 10-1 (0,1), 10-2 (0,01), dan 10-3 (0,001) g/ml Sampel... Halaman iii

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Lactobacillus bulgaricus... Gambar 2. Streptococcus thermophilus... Gambar 3. Bifidobacterium longum... Gambar 4. Lactobacillus acidophilus... Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt Simbiotik... Gambar 6. Diagram Alir Penelitian... Gambar 7. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu Ruang... Gambar 8. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu 2-4 C... Gambar 9. Histogram Perubahan TAT Yoghurt Simbiotik pada Penyimpanan Suhu 7-9 C... Gambar 10. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu Ruang... Gambar 11. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu 2-4 C... Gambar 12. Histogram Perubahan Total Koliform selama Penyimpanan Suhu 7-9 C... Halaman iv

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa... Lampiran 2. Hasil Analisis TAT Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan... Lampiran 3. Hasil Analisis Total Koliform Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan... Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian v

13 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 2981, 2009). Menurut Wahyudi (2006), yoghurt mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi daripada susu segar sebagai bahan dasar dalam pembuatan yoghurt, terutama karena meningkatnya total padatan, sehingga kandungan zat-zat gizi lainnya juga meningkat. Umur simpan yoghurt juga lebih lama dibandingkan susu segar. Yoghurt biasanya dibuat dengan menggunakan dua jenis bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus sebagai starter. Namun, kedua bakteri ini tidak bisa hidup dalam saluran pencernaan yang keasamannya sangat tinggi. Jika bakteri tersebut mati saat mencapai usus kecil, maka keuntungan bakteri bagi kesehatan saluran pencernaan akan berkurang (Helferich dan Westhoff, 1980). Untuk itu, dikembangkan yoghurt probiotik yang ditambahkan dengan BAL yang bersifat probiotik, misalnya Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus casei, dan Bifidobacterium yang dapat hidup dan melakukan metabolisme di dalam usus. Hull et al. (1992) mendefinisikan probiotik sebagai suplemen makanan yang mengandung kultur murni atau campuran dari mikroba hidup yang menguntungkan bagi manusia atau hewan dengan cara menjaga keseimbangan mikroba indigenous (mikroba asli yang hidup dalam saluran pencernaan). Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikroflora usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Untuk menstimulasi pertumbuhannya, bakteri probiotik dapat dipadukan dengan sumber prebiotik. Prebiotik dinyatakan sebagai bahan pangan yang tidak dapat dicerna (nondigestible) yang menguntungkan bagi inang dengan menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan atau aktivitas bakteri tertentu dalam kolon inang (Gibson dan Robertfroid, 1995). Bahan pangan sumber prebiotik misalnya kacang kedelai, talas, umbi garut, ubi jalar, dan sukun. Prebiotik harus berada dalam makanan yang dikonsumsi dan banyak mengandung oligosakarida. Menurut Muchtadi (2005), oligosakarida adalah karbohidrat berbobot molekul rendah yang terdiri dari tiga sampai sepuluh gugus gula sederhana (monosakarida). Contohnya adalah rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa yang terdapat dalam bahan pangan nabati seperti kacang-kacangan (misalnya kedelai) dan beberapa jenis umbiumbian (misalnya ubi jalar). Oligosakarida tidak dapat dicerna dalam usus karena manusia tidak mempunyai enzim yang sesuai untuk mencernanya sehingga tidak dapat diserap usus. Selanjutnya oligosakarida akan difermentasi (digunakan sebagai sumber energi) oleh bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan, sehingga dapat menstimulir pertumbuhan bakteri probiotik dan menekan bakteri patogen dalam pencernaan. Kacang kedelai merupakan salah satu sumber prebiotik. Kacang kedelai mengandung rafinosa dan stakiosa sebagai oligosakarida utama. Berdasarkan percobaan terhadap manusia, secara umum rafinosa dan oligosakarida kedelai lainnya menunjukkan aktivitas prebiotik meskipun terdapat hasil yang bervariasi (Gibson, 2004). Dewasa ini dikembangkan produk pangan dengan konsep simbiotik yang memadukan sumber prebiotik dan bakteri probiotik. Keuntungan produk simbiotik adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi, sehingga bisa didapatkan manfaat yang lebih sempurna dengan mengkonsumsinya. Hasil penelitian Maduningsih 1

14 (2008) menunjukkan bahwa berdasarkan jumlah L. acidophilus dan B. longum di dalam kolon dan kemampuan menghambat pertumbuhan E. coli, mengkonsumsi yogurt simbiotik secara nyata mempengaruhi populasi bakteri probiotik L. acidophilus dan B. longum di dalam saluran pencernaan. Salah satu produk pangan dengan konsep simbiotik yaitu yoghurt simbiotik. Dalam penelitian ini, yoghurt simbiotik dibuat dengan menggabungkan bakteri probiotik (Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus) dan bakteri non probiotik (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) dengan sumber prebiotik dari kacang kedelai yang telah diolah menjadi kedelai bubuk instan. Pada saat baru diproduksi, mutu yoghurt simbiotik dianggap dalam keadaan 100%, namun akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi hingga mencapai batas umur simpannya. Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi, di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan suatu produk pangan merupakan parameter untuk mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan. Pemilihan kemasan yang tepat terkait dengan kemampuan kemasan dalam melindungi produk dan kondisi (suhu) saat penyimpanan dan distribusi akan mempengaruhi kualitas yoghurt simbiotik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan. Yoghurt simbiotik yang telah diproduksi dikemas dalam tiga jenis kemasan botol yaitu HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene Terephtalate), dan kemasan botol gelas, kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yaitu suhu ruang (±28 C), 2-4 C, dan suhu 7-9 C. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan serta melakukan penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan variasi bahan kemasan dan suhu penyimpanan. 1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada : 1. Pembuatan yoghurt simbiotik dengan menggunakan 4 jenis bakteri yaitu Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus dengan sumber prebiotik dari kedelai bubuk instan. 2. Penentuan umur simpan yoghurt simbiotik dengan metode ESS (Extended Storage Studies) atau metode konvensional selama 28 hari penyimpanan. 3. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu ruang (±28 C) serta chiller bersuhu 2-4 C dan 7-9 C. 4. Kemasan yang diujikan dalam penentuan umur simpan yoghurt simbiotik adalah botol plastik HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene Terephtalate), dan botol gelas. 5. Parameter kritis yang digunakan untuk menduga umur simpan yoghurt simbiotik yaitu total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. 2

15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Segar Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (SNI , 2011). Susu segar mempunyai sifat amfoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Potensial ion hidrogen (ph) susu segar terletak antara 6,5-6,7. Jika dititrasi dengan alkali dan katalisator fenoftalein (PP), total asam dalam susu diketahui hanya 0,10-0,26 %. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian, keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa fosfat kompleks, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai ph air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila ph dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pembusukan oleh bakteri (Saleh, 2004). Komposisi air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi/peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu. Keseluruhan faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor yang ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen. Komponenkomponen susu yang terpenting adalah protein dan lemak. Kandungan protein susu berkisar antara 3-5%, sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3-8 %. Kandungan energi susu adalah 65 kkal (Saleh, 2004). Secara umum, komposisi susu sapi dapat dilihat pada Tabel 1 dan syarat mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Susu Sapi Komponen Komposisi (%) Air 87,4 Protein 3,5 Lemak 3,5 Laktosa 4,8 Abu 0,7 Kalsium 0,1 Fosfor 0,09 Sumber : Buckle, et al. (1985) Komponen-komponen air susu secara lebih rinci adalah sebagai berikut (Wahyudi, 2006). 1. Kadar Air Air susu mengandung air 87,90%, yang berfungsi sebagai bahan pelarut bahan kering. Air di dalam susu sebagian besar dihasilkan dari air yang diminum ternak sapi. 2. Kadar Lemak Air susu merupakan suspensi alam antara air dan bahan terlarut di dalamnya. Salah satu diantaranya adalah lemak. Kadar lemak di dalam air susu adalah 3,45%. Kadar lemak sangat berarti dalam penentuan nilai gizi air susu. Bahan makanan hasil olahan dari bahan baku air susu seperti mentega, keju, krim, susu kental dan susu bubuk banyak mengandung lemak. 3

16 Tabel 2. Syarat Mutu Susu Segar No. Karakteristik Satuan Syarat a. Berat jenis (pada suhu 27,5 C) minimum g/ml 1,0270 b. Kadar lemak minimum % 3,0 c. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8 d. Kadar protein minimum % 2,8 e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada perubahan f. Derajat asam SH 6,0-7,5 g. ph - 6,3-6,8 h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif i. Cemaran mikroba maksimum : 1. Total Plate Count 2. Staphylococcus aureus 3. Enterobacteriaceae CFU/ml CFU/ml CFU/ml 1x10 6 1x10 2 1x10 3 j. Jumlah sel somatis maksimum Sel/ml 4x10 5 k. Residu antibiotika (Golongan Penisilin, Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) - Negatif l. Uji Pemalsuan - Negatif m. Titik beku C -0,520 s.d -0,560 n. Uji peroksidase - Positif o. Cemaran logam berat maksimum : 1. Timbal (Pb) 2. Merkuri (Hg) 3. Arsen (As) (SNI : 2011 Susu Segar-Bagian 1: Sapi) µg/ml µg/ml µg/ml 0,02 0,03 0,1 3. Kadar Protein Kadar protein di dalam air susu rata-rata 3,20% yang terdiri dari 2,70% kasein (bahan keju) dan 0,50% albumin, berarti 26,50% dari bahan kering air susu adalah protein. Di dalam air susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit. Protein di dalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan konsumsi. 4. Kadar Laktosa Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat di dalam air susu. Laktosa tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di dalam air susu sebesar 4,60% dan ditemukan dalam keadaan terlarut. Laktosa terbentuk dari dua komponen gula yaitu glukosa dan galaktosa. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa jenis mikroba pembentuk asam laktat. 5. Kandungan Vitamin Kadar vitamin di dalam air susu tergantung dari jenis makanan yang diperoleh ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin diukur dengan satuan International Units (IU) dan mg. Vitamin yang terdapat dalam lemak adalah vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Sedangkan Vitamin yang larut di dalam air susu, tergolong vitamin B komplek, vitamin C, vitamin A, provitamin A, dan vitamin D. Vitamin yang larut di dalam air susu yang terpenting adalah B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat. Bila air susu dipanaskan, dipasteurisasi atau disterilisasi maka 10 30% vitamin B1 akan hilang, dan vitamin C akan hilang 20 60%. 4

17 6. Enzim Enzim berfungsi sebagai katalis biologis yang mempercepat perubahan suatu bahan menjadi bahan lain dengan jalan hidrolisis. Enzim yang terkenal adalah peroksidase, reduktase, katalase dan fosfatase. Dengan adanya pemanasan, enzim tidak akan berfungsi lagi. 2.2 Kedelai Kedelai (Glycine max, (Linn.) Merrill) merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi andalan sebagai sumber utama protein masyarakat di Indonesia. Selain itu banyak negara yang mengandalkan kedelai sebagai bahan makanan yang kaya akan protein, seperti Cina bagian utara, Korea, Jepang, dan Thailand (Suprapti, 2003). Setiap 100 gram kedelai mengandung 34,9 gram protein, 18,1 gram lemak, 34,8 gram karbohidrat, serat 4,9 gram dan kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B (Departemen Kesehatan RI,1994). Kandungan gizi dalam setiap 100 gram biji kedelai kering dapat dilihat pada Tabel 3. Protein kedelai sebagian besar terdiri dari globulin (85-95%) dan sisanya yaitu albumin, protease, prolamin, dan glutelin. Titik isoelektris protein kacang kedelai yaitu pada ph 4,1-4,6 (Koswara, 1995). Sebagian protein tidak dapat dikonsumsi secara langsung melainkan seringkali digunakan sebagai bahan baku untuk pengembangan produk-produk kedelai yang bernilai gizi tinggi seperti susu kedelai, minyak kedelai, tepung kedelai, tempe, tahu, kecap, dan berbagai jenis produk olahan lainnya. Pengolahannya pun dapat dilakukan dengan cara tradisional atau modern dan dengan cara fermentasi atau non fermentasi (Surahman, 2005). Tabel 3. Kandungan Gizi dalam Setiap 100 gram Biji Kedelai Kering Kandungan Gizi Proporsi Nutrisi dalam Biji Kalori (kal) 268,00 Protein (g) 30,90 Lemak (g) 15,10 Karbohidrat (g) 30,10 Kalsium (mg) 196,00 Fosfor (mg) 506,00 Zat besi (mg) 6,90 Vitamin A (SI) 95,00 Vitamin B1 (mg) 0,93 Vitamin C (mg) 0,00 Air (g) 20,00 Bagian yang dapat dimakan (%) 100,00 Sumber: Rukmana (1997) Kacang kedelai merupakan salah satu sumber prebiotik. Kacang kedelai mengandung rafinosa dan stakiosa sebagai oligosakarida utama. Kandungan oligosakarida pada kedelai berupa rafinosa sebesar 8.27 ± 0.21 mg/g dan stakiosa sebesar ± 0.37 mg/g (basis kering) (Saifatah, 2011). Berdasarkan percobaan terhadap manusia, secara umum rafinosa dan oligosakarida kedelai lainnya menunjukkan aktivitas prebiotik meskipun terdapat hasil yang bervariasi (Gibson, 2004). Oligosakarida adalah karbohidrat berbobot molekul rendah, terdiri dari tiga sampai 10 gugus gula sederhana (monosakarida). Awalnya senyawa ini digolongkan sebagai antinutrisi karena dapat menyebabkan timbulnya gas dalam perut (flatulensi). Contoh oligosakarida adalah rafinosa, stakiosa, 5

18 dan verbaskosa yang terdapat dalam bahan pangan nabati seperti kacang-kacangan (misalnya kedelai) dan beberapa jenis umbi-umbian (misalnya ubi jalar). Oligosakarida berguna karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri yang merugikan dalam usus (Muchtadi, 2005). Oligosakarida, termasuk yang disebut diatas (rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa) serta yang lainnya (laktulosa, galaktosil-sukrosa, galaktosil-laktosa, dan xylo-oligosakarida), tidak dapat dicerna dalam usus karena manusia tidak mempunyai enzim yang dibutuhkan untuk mencernanya. Akibatnya, oligosakarida tersebut tidak dapat diserap usus. Selanjutnya, oligosakarida akan difermentasi (digunakan sebagai sumber energi) oleh bakteri-bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan. Penelitian-penelitian mutakhir menunjukkan oligosakarida yang tidak dicerna dan diserap dalam usus kecil, akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat dalam usus besar, dan selanjutnya akan mengubah komposisi bakteri usus dimana bakteri yang menguntungkan yaitu Bifidobacterium (bakteri bifidus) dan Lactobacillus bertambah jumlahnya, sedangkan bakteri yang merugikan seperti Clostridium, Coliform, dan Enterococci menurun jumlahnya (Muchtadi, 2005). 2.3 Bakteri Asam Laktat (BAL) Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Secara morfologis, bakteri asam laktat dibagi menjadi kelompok coccus (sel berbentuk bulat) dan bacillus (sel berbentuk batang). Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, bakteri asam laktat dibagi menjadi bakteri anaerob fakultatif yang tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen (Lactobacillus, Streptococcus) dan bakteri anaerob obligat yang tumbuh tanpa adanya oksigen (Bifidobacterium). Bakteri asam laktat juga dikelompokkan menurut tipe fermentasi asam laktat, yaitu bakteri tipe homofermentatif dan heterofermentatif (Moulder, 1968). Bakteri homofermentatif menghasilkan asam laktat (hampir 90%) dan sedikit asam asetat dari metabolisme pentosa (Schlegel dan Schmidt, 1994), sedangkan bakteri heterofermentatif memproduksi asam laktat, asam sitrat, CO 2, polisakarida dan etanol dari metabolisme heksosa, serta komponen lain seperti diasetil dan asetaldehid sebagai pembentuk flavor (Jay, 1978). Bakteri asam laktat, pada umumnya menghasilkan sejumlah besar asam laktat dari fermentasi substrat energi karbohidrat. Asam laktat yang dihasilkan dari metabolisme karbohidrat akan dapat menurunkan nilai ph lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam (Winarno dan Fernandez, 2007). Bakteri asam laktat (BAL) memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik melalui keterlibatannya pada fermentasi makanan maupun kemampuan tumbuh pada saluran intestin. Pada fermentasi makanan, selain memberikan rasa khas, bakteri ini juga memberikan daya awet karena kemampuannya menghasilkan produk metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri patogen (Harmayani et al., 2001). Bakteri yang termasuk kelompok BAL adalah Aerococcus, Allococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus (Ali dan Radu, 1998). BAL yang umum digunakan dalam produk probiotik adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium. Golongan BAL tersebut di antaranya adalah L. acidophilus, L. casei, L. johnsonii, L. reuteri, L. rhamnosus, L. gasseri, L. bulgaricus, B. longum, B. lactis,dan B. bifidum (Surono, 2004). Pada penelitian ini digunakan empat jenis bakteri asam laktat, yaitu : 6

19 Lactobacillus bulgaricus L. bulgaricus adalah salah satu bakteri yang digunakan sebagai kultur starter dalam pembuatan yoghurt. Bakteri ini tidak dapat hidup dalam usus namun hanya bertahan selama sekitar tiga jam setelah masuk ke dalam usus bersama dengan yoghurt yang diminum (Yoguchi et al,. 1992). Bakteri ini memiliki sifat reduksi litmus yang kuat, tidak tahan garam (6,5%) dan bersifat termodurik (Rahman et al,. 1992). Bakteri termodurik tumbuh baik pada suhu C dengan suhu pertumbuhan minimum pada suhu 5-10 C seperti Steptococcus dan Lactobacillus (Buckle et al., 1985). Berdasarkan kebutuhannya terhadap oksigen, bakteri ini tergolong anaerob fakultatif, yang dapat tumbuh dengan adanya oksigen dan tetap dapat tumbuh secara anaerob apabila oksigen tidak tersedia. L. bulgaricus termasuk bakteri Gram positif berbentuk batang, bersifat homofermentatif (menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dalam fermentasi), membutuhkan nutrisi yang lengkap untuk pertumbuhannya, suhu pertumbuhan optimal sekitar 45 C dan tidak dapat tumbuh pada suhu 10 C (Tamime dan Robinson, 1991). Mikroba ini tumbuh sangat baik pada ph optimum 5,5 dan pertumbuhannya dapat terhenti pada ph 3,5-3,8 (Jay, 2000). L. bulgaricus berperan dalam menghasilkan rasa khas dan tajam. Lactobacillus juga menghasilkan metabolit-metabolit yang menjadi sumber dan citarasa yang spesifik dan substansisubstansi yang bersifat menghambat terhadap pertumbuhan mikroba yang tidak sesuai. L. bulgaricus menghasilkan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan senyawa penghambat yang disebut bulgarikan. Keberadaannya dapat mengawetkan produk dengan menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan serta meningkatkan keamanan produk pangan. Gambar 1. Lactobacillus bulgaricus (www. sciencephoto.com) Streptococcus thermophilus S. thermophilus merupakan pasangan dari L. bulgaricus dalam pembuatan yoghurt. Seperti halnya L. bulgaricus, bakteri S. thermophilus ini tidak tahan hidup dalam usus manusia (Yoguchi et al., 1992). Menurut Tamime dan Robinson (1989), bakteri ini dapat mereduksi litmus milk dan katalis negatif. S. thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya berdasarkan pertumbuhan pada suhu 45 C dan tidak dapat tumbuh pada suhu 10 C. S. thermophilus merupakan bakteri asam laktat yang berbentuk bulat atau lonjong, Gram positif, anaerob fakultatif sehingga masih toleran terhadap lingkungan dengan kandungan oksigen dalam jumlah terbatas, homofermentatif, membutuhkan nutrisi yang lengkap untuk pertumbuhannya dengan suhu optimal sekitar 45 C. Bakteri ini tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6,5% dengan ph optimum untuk pertumbuhannya sekitar 6,5. Pertumbuhan S. thermophilus akan terhenti pada ph 4,2-4,4. Ciri khas adanya bakteri ini adalah dalam suatu media menghasilkan asam yang segar karena produk utama bakteri ini adalah asam laktat (Helferich dan Westhoff, 1980). 7

20 Gambar 2. Streptococcus thermophilus (www. buyprobiotics.com) Bifidobacterium longum Bifidobacterium tumbuh dominan pada dinding usus sehingga mencegah dinding usus dari kolonisasi bakteri yang tidak diinginkan (E. coli) atau khamir (Candida) (Tamime dan Robinson, 1999). Bifidobacterium sangat efektif untuk melawan bakteri yang merugikan atau patogen yang masuk dari luar maupun bakteri yang merugikan dalam saluran pencernaan seperti Shigella dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli, dan bakteri lainnya. Bakteri ini memproduksi zat-zat yang merupakan asam organik rantai pendek terutama asam laktat dan asam asetat, dan bisa juga menghasilkan zat bersifat antibiotik (Winarno et al., 2003). Yaeshima dalam Pramoedito (1997), melaporkan bahwa B. longum merupakan pilihan terbaik diantara galur bakteri bifido. Di Indonesia, bakteri ini telah dicoba sebagai starter dalam pembuatan yoghurt (Suryono, 1996) dan pembuatan kefir (Pramoedito, 1997) dengan hasil produk yang memuaskan. Bifidobacterium longum bersifat homofermentatif dengan memfermentasi susu secara anaerob menghasilkan produk metabolit utama berupa asam laktat dan sedikit asam asetat (Tamime, 2005). Sebagai salah satu galur bakteri bifido, B. longum dilaporkan tumbuh dengan baik pada suhu C, ph 1,0-3,0, dan aktif memfermentasi laktosa, sukrosa, galaktosa dan menghasilkan asam laktat dan asam asetat (Holt et al., 1994). Bakteri ini membentuk koagulan dengan cepat dan tingkat pertumbuhan yang stabil. Gambar 3. Bifidobacterium longum (www. sciencephoto.com) Lactobacillus acidophilus L. acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang dari famili Lactobacillaceae yang termasuk golongan Gram positif, bersifat mesofilik dan tidak dapat membentuk spora. L. acidophilus bersifat homofermentatif dengan asam laktat sebagai produk utama fermentasi karbohidrat (Rahman et al., 1992). L. acidophilus banyak ditemukan pada bagian akhir usus kecil dan bagian awal usus besar. Bakteri ini memproduksi asam organik, hidrogen peroksida dan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau bakteri pembusuk, hal ini menunjukkan sifat antimikroba bakteri 8

21 Gram positif lebih kuat daripada bakteri gram negatif. Hal itu juga yang menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba L. acidophilus paling kuat dalam menghambat bakteri patogen. L. acidophilus dalam saluran pencernaan dapat juga menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau pembusuk yang menyebabkan gangguan pada usus, diare dan gangguan pencernaan serta berperan dalam menjaga kesehatan (Kanbe, 1992). Karakteristik bakteri L. acidophilus diantaranya: (1) tidak tumbuh pada suhu 15 o C dan tidak dapat memfermentasi ribosa, (2) suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara o C dan ph optimum 5,5-6,0, (3) di dalam susu sapi, bakteri ini memproduksi 0,3-1,9% DL asam laktat; asam yang dihasilkan mempunyai kemampuan yang berbeda antar galur, (4) umumnya membutuhkan nutrisi berupa asetat, riboflavin, asam pantotenat, kalsium, niasin dan asam folat, (5) resisten terhadap asam empedu dan, (6) memproduksi threonine aldolase dan alcohol dehydrogenase yang mempengaruhi aroma (Kanbe, 1992). Gambar 4. Lactobacillus acidophilus ( 2.4 Yoghurt Simbiotik Yoghurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (SNI 2981, 2009). SNI yoghurt disajikan pada Tabel 4. Yoghurt sebagai salah satu produk fermentasi susu dikenal sebagai pangan probiotik. Menurut Nakazawa dan Hosono (1992), yoghurt adalah produk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat (BAL), yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Namun, berdasarkan beberapa penelitian, kedua bakteri asam laktat ini, atau yang dikenal sebagai kultur tradisional yoghurt ternyata diketahui tidak dapat bertahan melalui lambung dan usus kecil. Bakteri yoghurt akan mati di dalam lambung karena keasaman yang sangat tinggi. Jika BAL mati pada saat mencapai usus kecil, keuntungan bakteri bagi kesehatan saluran pencernaan akan berkurang (Ballongue, 1993 dalam Salminen dan Von Wright, 1993). Oleh karena itu, pada saat ini di negara-negara maju mulai dikembangkan penelitianpenelitian terhadap bakteri asam laktat lain yang dapat dimanfaatkan sebagai kultur probiotik, terutama dari kelompok Lactobacillus dan Bifidobacteria, seperti Bifidobacterium longum, Bidobacterium bifidum, Bifidobacterium breve, Lactobacillus acidophilus, dan Lactobacillus plantarum. Modifikasi komposisi bakteri saluran pencernaan agar didominasi oleh bakteri menguntungkan seperti Lactobacilli dan Bifidobacteria dapat dilakukan melalui konsumsi bakteri hidup yang disebut probiotik (Collins dan Gibson, 1999) dan konsumsi bahan pangan khusus (prebiotik) (Gibson dan Roberfroid, 1995; Roberfroid, 2000). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup dalam suplemen 9

22 bahan makanan yang memberikan efek menguntungkan bagi manusia dengan menjaga keseimbangan bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Fuller, 1989). Bakteri probiotik dimasukkan ke dalam tubuh secara oral dan dapat bertahan hidup sampai usus manusia. Oleh karena itu, yang sangat penting dari suatu produk pangan probiotik adalah mengandung sejumlah mikroba yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan dapat bertahan hidup pada saluran pencernaan manusia sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh (Yuguchi, et al. dalam Nakazawa dan Hosono, 1992). Konsep probiotik dapat juga dikombinasikan dengan prebiotik, yaitu bahan makanan dalam bentuk dietary fiber atau oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia, tetapi bersifat menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri penghuni kolon, seperti Bifidobacteria. Contoh produk prebiotik adalah selulosa, FOS (frukto oligosakarida), oligosakarida kedelai, dan laktulosa. Prebiotik adalah senyawa oligosakarida atau peptida yang tidak dapat dicerna dengan segera, sehingga dalam saluran usus mendukung pertumbuhan probiotik. Prebiotik berupa serat tidak larut yang menjadi makanan bagi probiotik. Serat ini dapat diperoleh melalui makanan seperti sayuran dan buah-buahan. Berbagai jenis umbi seperti ubi jalar, talas, singkong, kedelai, pisang, dan bawang putih mengandung prebiotik (Winarno dan Fernandez, 2007). Susu kedelai mengandung serat makanan atau dietary fiber (erabinogalaktan, selulosa) dan soybean oligosakarida (stakiosa dan rafinosa) yang diketahui tidak dapat dicerna oleh usus manusia karena mukosa usus tidak mempunyai enzim pencernanya, yaitu a-galaktosidase. Namun, bahanbahan tersebut dapat dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri baik dalarn saluran pencernaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan keaktifannya (Winarno et al., 2003). Penggabungan probiotik dan prebiotik menghasilkan bentuk manajemen mikroflora baru, yaitu simbiotik. Istilah simbiotik meskipun masih terdengar asing, namun temyata sudah merupakan trend dalam pengembangan pangan fungsional. Contoh produk simbiotik adalah Bifidobacteria dengan FOS (fruktooligosakarida) pada produk susu bayi (Winarno et al., 2003) dan yoghurt simbiotik. Keuntungan produk simbiotik adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga bisa didapatkan manfaat yang lebih sempurna dengan mengkonsumsinya. 10

23 Tabel 4. SNI Yoghurt No. Kriteria Uji Satuan 1 Keadaan Yoghurt tanpa perlakuan panas setelah fermentasi Yoghurt Yoghurt rendah lemak Yoghurt tanpa lemak Yoghurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi Yoghurt Yoghurt rendah lemak Yoghurt tanpa lemak 1.1 Penampakan - cairan kental-padat cairan kental-padat 1.2 Bau - normal/khas normal/khas 1.3 Rasa - asam/khas asam/khas 1.4 Konsistensi - homogen homogen 2 Kadar lemak (b/b) % min 3,0 0,6-2,9 maks 0,5 min 3,0 0,6-2,9 maks 0,5 3 Total padatan susu bukan lemak (b/b) % min 8,2 min 8,2 4 Protein (Nx6,38) (b/b) % min 2,7 min 2,7 5 Kadar abu (b/b) % maks 1,0 maks 1,0 6 Keasaman (dihitung sebagai asam laktat) (b/b) 7 Cemaran logam % 0,5-2,0 0,5-2,0 7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3 maks. 0,3 7.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 20,0 maks. 20,0 7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0 7.4 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03 8 Arsen mg/kg maks. 0,1 maks 0,1 9 Cemaran mikroba 9.1 Bakteri koliform APM/g atau koloni/g maks. 10 maks Salmonella - negatif/25g negatif/25g 9.3 Listeria monocytogenes - negatif/25g negatif/25g 10 Jumlah bakteri starter* koloni/g Min Sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi) (SNI : Yoghurt) 11

24 2.5 Suhu Penyimpanan Yoghurt Suhu penyimpanan yang baik untuk yoghurt biasanya dilakukan di dalam refrigerator yang bersuhu ± 4 C. Yoghurt akan menjadi kental atau memadat jika disimpan dalam refrigerator. Selain itu, yoghurt akan stabil atau tahan sampai satu minggu atau lebih (Winarno dan Fernandez, 2007). Menurut Jay (2000), yoghurt yang disimpan pada suhu 5 C masih memiliki sifat-sifat yang baik selama 1-2 minggu. Suhu yang ideal untuk penyimpanan yogurt adalah 7 C atau lebih rendah (Rahman et al., 1992). Menurut Tamime dan Robinson (1989) setelah masa inkubasi, yoghurt harus didinginkan agar produksi asam laktat dapat dikontrol. Yoghurt yang telah jadi harus segera diturunkan suhunya menjadi dibawah 10 C dan dipertahankan sampai dikonsumsi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi kimia dan biologi pada yoghurt, yang disebabkan oleh aktivitas metabolisme starter dan mikroba yang mengkontaminasi yoghurt. Rahman et al., (1992) menambahkan bahwa yoghurt yang telah terkoagulasi dalam proses inkubasi harus segera disimpan pada suhu dingin dengan tujuan untuk mencegah pembentukan asam yang berkelanjutan dan menghambat aktivitas kultur laktat. Penggunaan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat laju reaksi kimia, reaksi enzimatik, dan pertumbuhan mikroba tanpa menyebabkan kerusakan produk. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan pada bahan pangan antara lain kerusakan fisiologi, kerusakan enzimatik, maupun kerusakan mikrobiologi. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua. Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara 4 C sampai 7 C. Pada kisaran suhu tersebut pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Penyimpanan suhu rendah biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu tergantung pada jenis bahan pangan. 2.6 Viabilitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Yoghurt Simbiotik Viabilitas menunjukkan kemampuan hidup bakteri asam laktat (total BAL yang masih hidup) dalam yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian Elizabeth (2003), viabilitas bakteri asam laktat (BAL) dalam produk yoghurt simbiotik adalah sekitar 10 9 CFU/ml. Selama penyimpanan, terjadi penurunan jumlah BAL pada hari ke-3. Menurut Rahayu dan Christanti (1991), penurunan jumlah BAL tersebut mungkin disebabkan oleh penyesuaian BAL terhadap lingkungan barunya sehingga pertumbuhannya terhambat. Setelah hari ke-6, jumlah BAL kembali meningkat dan menurun kembali pada hari ke-15. Tabel 5 berikut adalah data viabilitas BAL selama 15 hari penyimpanan. Tabel 5. Viabilitas BAL selama 15 Hari Penyimpanan Suhu Refrigerasi Penyimpanan Suhu Refrigerasi Ulangan I (CFU/ml) Ulangan 2 (CFU/ml) Rata-rata (CFU/ml) H-0 3,6 x ,9 x ,75 x 10 9 H-3 2,8 x ,0 x ,9 x 10 9 H-6 2,9 x ,0 x ,45 x 10 9 H-9 5,4 x ,0 x ,2 x 10 9 H-12 5,1 x ,9 x x 10 9 H-15 3,2 x ,2 x ,2 x 10 9 Sumber : Elizabeth (2003) 12

25 Dari Tabel 5 diatas terlihat bahwa selama 15 hari penyimpanan, viabilitas BAL-nya masih berada dalam kisaran 10 9, bahkan nilainya lebih tinggi dibandingkan viabilitas pada hari ke-0. Hal ini juga terjadi pada hasil penelitian Hartoto (2003) dimana viabilitas BAL pada hari ke-0 sampai hari ke-15 penyimpanan masih berada pada kisaran 10 9 CFU/ml. Hasil penelitian Mulyani et al. (2008) menunjukkan bahwa total BAL pada es krim probiotik dengan menggunakan starter Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum dengan perbandingan 1 : 2 pada umur simpan 30 hari sebanyak 6,4 x 10 8 CFU/ml. Angka ini masih memenuhi standar internasional untuk minuman probiotik yaitu minimal 10 7 CFU/ml (Davidson et al., 2000). Hasil penelitian Hekmat dan McMahon (1992) menunjukkan bahwa populasi Lactobacillus acidophillus pada es krim tanpa penambahan prebiotik dari frukto oligosakarida (FOS) yang disimpan pada suhu -29 C selama satu minggu sebanyak 1,5 x 10 8 CFU/ml, sedangkan populasi Bifidobacterium bifidum sebanyak 2,5 x 10 8 CFU/ml. Setelah penyimpanan 17 minggu populasi L. acidophillus sebanyak 3 x 10 6, sedangkan Bifidobacterium bifidum sebanyak 1 x 10 7 CFU/ml. Jika es krim ditambahkan dengan FOS sebagai sumber prebiotik maka viabilitas bakteri tersebut akan lebih tinggi. Pertumbuhan L. acidophilus terbaik pada konsentrasi asam laktat 0,6-0,7% pada suhu 5-20 C (Foster et al., 1957). Semakin lama waktu penyimpanan, total asam laktat pada yoghurt akan mengalami peningkatan dan pertumbuhan bakteri asam laktat biasanya menjadi terhambat karena tingginya keasaman yoghurt. Namun berdasarkan hasil kajian Cahyanti, pada penyimpanan hari ke-12 sampai dengan hari ke-16 terjadi indikasi L. acidophilus adaptif terhadap kondisi asam ekstraseluler. Kullen dan Klaenhammer (1999, dalam Yousef dan Juneja, 2003) menyatakan asidifikasi medium pertumbuhan mengubah ekspresi gen L. acidophilus melalui peningkatan aktivitas protontranslocating ATP-ase untuk sitoplasmanya. Diduga melalui mekanisme adaptasi tersebut, dapat dipertahankan jumlah L. acidophilus seperti pada awal masa simpan. Bifidobacterium longum tumbuh optimal pada ph 1,0-3,0 (Holt et al., 1994) sehingga pada kondisi yoghurt yang semakin asam pertumbuhannya lebih optimal. Berdasarkan hasil penelitian Septiawan (2011), viabilitas yoghurt setelah penyimpanan selama 15 hari masih tergolong tinggi yaitu lebih dari 10 9 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Nighswonger et al. (1996) menunjukkan bahwa yoghurt dengan viabilitas berkisar pada 10 7 CFU/ml saat masa awal penyimpanan dapat tetap mempertahankan viabilitasnya setelah 28 hari penyimpanan pada suhu 7 C. 2.7 Pengemasan Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antara lain adalah permeabilitas terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna dari produk, tidak bereaksi sehingga tidak merusak bahan maupun citarasa, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah dikerjakan secara maksimal dan harganya murah. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Secara umum fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah sebagai berikut (Syarief et al., 1989). Mewadahi produk selama distribusi dari produsen hingga ke konsumen, agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan, pasta atau butiran. 13

26 Melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari sinar ultraviolet, panas, kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk. Sebagai identitas produk, dalam hal ini kemasan dapat digunakan sebagai alat komunikasi dan informasi kepada konsumen melalui label yang terdapat pada kemasan. Meningkatkan efisiensi, misalnya: memudahkan penghitungan (satu kemasan berisi 10, 1 lusin, 1 gross dan seterusnya), memudahkan pengiriman dan penyimpanan. Hal ini penting dalam dunia perdagangan. Melindungi pengaruh buruk dari produk di dalamnya, misalnya jika produk yang dikemas berupa produk yang berbau tajam, atau produk berbahaya seperti air keras, gas beracun dan produk yang dapat menularkan warna, maka dengan mengemas produk dapat melindungi produk-produk lain di sekitarnya. Memperluas pemakaian dan pemasaran produk, misalnya penjualan kecap dan sirup yang semula dikemas dalam botol gelas, namun sekarang berkembang dengan menggunakan kemasan botol plastik. Menambah daya tarik calon pembeli. Sebagai sarana informasi dan iklan. Memberi kenyamanan bagi konsumen. Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air dan cahaya (cahaya tampak, inframerah atau ultraviolet). Perlindungan mikrobiologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi dalam dua golongan utama yaitu : a. Kerusakan yang disebabkan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja (perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologis). b. Kerusakan yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang digunakan (kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambah citarasa yang diinginkan) Bahan Kemasan Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan sebelum memilih bahan dan jenis kemasan adalah : Kemasan tersebut harus dapat melindungi produk dari kerusakan fisik dan mekanis. Mempunyai daya lindung yang baik terhadap gas dan uap air. Harus dapat melindungi dari sinar ultra violet. Tahan terhadap bahan kimia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini maka dapat ditentukan jenis bahan kemasan yang sesuai dengan produk yang akan dikemas. Permeabilitas berbagai kemasan plastik terhadap gas dan uap air dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut. 14

27 Tabel 6. Daya Tembus Plastik terhadap N 2, O 2, CO 2, dan H 2 O Plastik tipis Polyethylene (kerapatan rendah) Polyethylene (kerapatan tinggi) Polystirene Polyamide (nylon 6) Polypropilene Polyvinyl chloride (rigid) Polyester (mylar) atau Polyethylene terephtalate (PET) Polyvinylidene chlorida Rubber hydrochloride (pliofilm NO) Polyvinyl acetat Ethyl cellulosa Cellulose acetat Daya tembus plastik terhadap N 2, O 2, CO 2, dan H 2 O N ,7 2,9 0,1-0,4 0,05 0,0094 0, ,8 O 2 (suhu 30 ο C) 55 10,6 11,0 0,38 23,0 1,2 0,22 0,053 0,3 0, ,8 CO , ,53 0,29 1, H 2 O (25 ο C, RH 90%) Sumber : Buckle et al. (1988) Berdasarkan Tabel 6 tersebut, dapat diketahui bahwa plastik Polyester (PET) memiliki daya tembus (permeabilitas) terhadap N 2, O 2, dan CO 2 yang lebih rendah dibandingkan daya tembus polietilen kerapatan tinggi (HDPE), sedangkan sifat permeabilitas terhadap air (H 2 O) untuk plastik HDPE lebih rendah daripada PET. Permeabilitas gas yang besar pada suatu plastik menunjukkan bahwa plastik tersebut bukanlah barrier yang baik terhadap gas yang dimaksud. Daya tembus gas dan uap air berbanding terbalik dengan densitas plastik. Semakin besar densitas plastik, maka daya tembus gas dan uap air terhadap plastik tersebut semakin kecil. Tabel 7. Densitas Bahan Kemasan Yoghurt Simbiotik Jenis kemasan Densitas (g/m 3 ) HDPE 0,941 PET 1,4 Gelas 2,49 Berdasarkan Tabel 7. diatas, daya tembus (permeabilitas) gas dan uap air terhadap plastik tersebut mulai dari yang terendah sampai tertinggi yaitu kemasan gelas, PET, kemudian HDPE. Dengan demikian, menurut sifatnya kemasan dengan permeabilitas yang paling rendah yaitu gelas lebih baik daripada kemasan PET dan HDPE karena dapat menahan masuknya gas dan uap air lebih baik. Bierley, et al. (1988), mengemukakan bahwa plastik dengan densitas yang rendah menandakan bahwa plastik tersebut memiliki struktur yang terbuka, artinya mudah atau dapat ditembusi fluida seperti air, oksigen atau CO 2. Sebaliknya, plastik dengan densitas yang tinggi memiliki struktur yang tertutup atau susunan rantai-rantai polimernya yang lebih rapat sehingga permeabilitasnya terhadap air 15

28 dan gas lebih rendah. Jadi, nilai densitas plastik sangat penting dalam menentukan sifat-sifat plastik yang berhubungan dengan pemakaiannya. Bahan pangan yang berbentuk cair dapat dikemas dalam kemasan yang berasal dari bahan plastik, gelas, maupun logam tergantung karakteristik dari bahan yang dikemas. Yoghurt yang beredar di pasaran sebagian besar dikemas dalam kemasan plastik dan ada pula yang dikemas dalam kemasan gelas. Kemasan plastik yang biasa digunakan diantaranya HDPE (High Density Polyethylene), PET (Polyethylene Terephtalate), PP (Polypropylene), dan PS (Polystyrene). Fitriyanti (2010) melakukan penentuan umur simpan yoghurt kacang hijau dengan menggunakan 3 jenis kemasan yaitu botol HDPE, PP, dan gelas dengan kemasan terbaik yaitu botol gelas. Yoghurt disarankan untuk disimpan pada suhu rendah di bawah 4 C, sedangkan kemasan PP mudah pecah jika disimpan pada suhu tersebut. Dengan demikian, kemasan PP tidak disarankan untuk mengemas yoghurt. Pada penelitian ini digunakan 3 jenis kemasan, yaitu kemasan botol HDPE, PET, dan gelas. Ketiga jenis kemasan ini dipilih karena mudah ditemui di pasaran. High Density Polyethylene (HDPE) High Density Polyethylene merupakan salah satu jenis plastik yang populer di kalangan masyarakat. Plastik ini dihasilkan pada tekanan dan suhu rendah (50-70 C), tahan terhadap suhu 120 C, kedap air, dan kedap udara (Syarief dan Halid, 1989). Menurut Buckle et al. (1987), plastik HDPE mampu memberikan perlindungan terbaik terhadap air (uap air), lemak, serta asam dan basa. Pada polietilen berdensitas rendah (low density) terdapat sedikit cabang pada rantai antara molekulnya yang menyebabkan plastik ini memiliki densitas yang rendah, sedangkan polietilen yang berdensitas tinggi (high density) mempunyai jumlah rantai cabang yang lebih banyak dibanding jenis low density. Dengan demikian, polietilen berdensitas tinggi (high density) memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Ikatan hidrogen antar molekul juga berperan dalam menentukan titik leleh plastik (Harper, 1975). HDPE memiliki sifat penahan dan kekakuan yang baik, dan sangat cocok untuk produk-produk kemasan dengan usia penyimpanan yang pendek seperti susu. Jenis bahan kemasan plastik tersebut sering digunakan pada botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, dan lain-lain. Polyester atau Polyethylene Terephtalate (PET) PET adalah hasil kondensasi polimer etilen glikol dan asam tereptalat, dan dikenal dengan nama dagang mylar (Syarief et al., 1989). Jenis plastik ini banyak digunakan untuk laminasi yang bertujuan meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan, sehingga banyak digunakan sebagai kantung makanan. Sifat-sifat plastik PET adalah : Tembus pandang (transparan), bersih dan jernih. Adaptasi terhadap suhu tinggi (300 C) sangat baik. Permeabilitasnya terhadap uap air dan gas rendah. Tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam organik dari buah-buahan, sehingga dapat digunakan untuk mengemas minuman sari buah. Tidak tahan terhadap asam kuat, fenol dan benzil alkohol. Kuat dan tidak mudah sobek. Tidak mudah dikelim dengan menggunakan pelarut. 16

29 Gelas Gelas dan porselen merupakan kemasan yang paling tahan terhadap air, gas ataupun asam, atau memiliki sifat yang inert. Menurut Crosby (1981), botol gelas merupakan barrier yang baik untuk benda padat, cair, dan gas. Hal ini menyebabkan gelas menjadi bahan pelindung yang sangat baik dari kotaminasi bau dari luar sehingga citarasa produk dapat dipertahankan. Julianti dan Nurminah (2006) menyatakan bahwa sebagai bahan kemasan, gelas memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan kemasan gelas adalah : - Kedap terhadap air, gas, bau-bauan dan mikroorganisme. - Inert dan tidak dapat bereaksi atau bereaksi ke dalam bahan pangan. - Kecepatan pengisian hampir sama dengan kemasan kaleng. - Sesuai untuk produk yang mengalami pemanasan dan penutupan secara hermetis. - Dapat didaur ulang. - Dapat ditutup kembai setelah dibuka. - Transparan sehingga isinya dapat diperlihatkan dan dapat dihias. - Dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk dan warna. - Memberikan nilai tambah bagi produk. - Rigid (kaku), kuat dan dapat ditumpuk tanpa mengalami kerusakan. Kemasan gelas juga mempunyai kelemahan antara lain : - Berat sehingga biaya transportasi mahal. - Resistensi terhadap pecah dan mempunyai thermal shock yang rendah. - Dimensinya bervariasi. - Berpotensi menimbulkan bahaya yaitu dari pecahan kaca. 2.8 Umur Simpan Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi tersebut, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroba, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktorfaktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lemak, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun. Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka (literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004a). Nilai pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan 17

30 produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Pada penentuan umur simpan berdasarkan komplain konsumen (consumer complaints), produsen menghitung nilai umur simpan berdasarkan komplain atas produk yang didistribusikan. Untuk mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di laboratorium. Umur simpan produk susu fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bahan baku, formulasi produk, proses, pengisian, pengemasan, penyimpanan, distribusi, dan penanganan oleh konsumen. (Man dan Jones, 1999). Syarief et al. (1989) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas antara lain : 1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan O 2 dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya. 3. Kondisi atmosfir terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk dari perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat Penentuan Umur Simpan Menurut Arpah (2001), secara umum penentuan umur simpan dari produk pangan dilakukan dengan salah satu cara diantara tiga kategori, yaitu : 1. Percobaan dirancang dengan cara menentukan umur simpan produk yang ada. 2. Percobaan dirancang dengan cara mempelajari pengaruh faktor spesifik dan kombinasi dari berbagai faktor seperti suhu penyimpanan, bahan pengemas, atau bahan tambahan makanan. 3. Percobaan dilakukan untuk menentukan umur simpan dari produk yang sedang dikembangkan. Secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT) (Syarief et al., 1989). Setelah umur simpan produk pangan dapat diduga, kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu ESS dan ASS atau ASLT (Floros dan Gnanasekharan 1993). Extended Storage Studies (ESS) Penentuan umur simpan produk dengan ESS, yang juga sering disebut sebagai metode konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisis 18

31 parameter mutu yang relatif banyak serta mahal. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan. Accelerated Storage Studies (ASS atau ASLT) Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3-4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Kesempurnaan model secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh (dari metode ASS) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001). 19

32 III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kultur starter dan untuk produksi yoghurt simbiotik adalah adalah kultur starter cair (Steptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum, dan Lactobacillus acidophilus), susu sapi segar, bubuk kedelai instan, dan fruktosa. Sedangkan, bahan yang digunakan untuk analisis antara lain indikator PP, NaOH 0,1 N, aquades, media Lactose Broth, NaCl, dan alkohol. Alat yang digunakan dalam produksi sampai penyimpanan yoghurt simbiotik antara lain labu erlenmeyer, kapas, aluminium foil, autoklaf, pembakar bunsen, korek api, inkubator, jam, kompor gas, takaran, panci, pengaduk, termometer, kemasan, dan chiller. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain labu erlenmeyer, buret, pipet Mohr, gelas ukur, tabung Durham, autoklaf, clean bench, pembakar bunsen, korek api, alkohol, jarum Ose, inkubator, dan sendok. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai pada tanggal 11 Februari sampai dengan 14 Maret Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorim Bioindustri, Pengemasan dan Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Darmaga Bogor. Pelaporan hingga ujian berlangsung dalam waktu dua bulan dimulai pada bulan Maret-April Metode Penelitian Pembuatan Yoghurt Simbiotik Pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan peremajaan kultur cair campuran keempat bakteri. Sebanyak 300 ml susu sapi segar disterilisasi pada suhu 121 C selama 5 menit. Selanjutnya, susu steril tersebut didinginkan hingga mencapai suhu 45 C. Empat jenis kultur starter Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus diinokulasikan sebanyak 5% (v/v) pada susu sapi murni steril kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 15 jam sehingga diperoleh kultur kerja. Proses pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan mencampurkan (homogenisasi) 10 liter susu segar dengan 0,75% (75 gram) bubuk kedelai instan. Setelah itu, susu tersebut dipasteurisasi hingga mencapai suhu C sambil diaduk dan dipertahankan suhunya selama 15 menit. Susu kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai sekitar 45 C dan diinokulasi dengan kultur kerja sebanyak 3% (v/v) secara aseptis. Proses fermentasi berlangsung dalam keadaan tertutup rapat. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 16 jam yaitu sampai mencapai ph 4,2-4,4 saat menjadi yoghurt. Penambahan fruktosa sebagai pemanis dilakukan setelah inkubasi (proses fermentasi) selesai sebanyak 8% (v/v). Yoghurt simbiotik kemudian dikemas ke dalam tiga jenis kemasan botol yaitu HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml yang telah disterilkan dengan air panas. Pengemasan dilakukan secara manual di atas uap air mendidih. Diagram alir pembuatan yoghurt simbiotik dapat dilihat pada Gambar 5. 20

33 Setelah diperoleh yoghurt simbiotik, selanjutnya dilakukan analisis awal yoghurt simbiotik untuk mengetahui kondisi atau karakteristik awal yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan. Hasil analisis ini dijadikan acuan untuk mengetahui perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Analisis awal yang dilakukan pada yoghurt simbiotik meliputi total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Parameter mutu organoleptik yang diuji selama penyimpanan yaitu penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. sama seperti analisis yang dilakukan selama penyimpanan Penyimpanan Yoghurt Yoghurt simbiotik yang dikemas dengan 3 jenis bahan kemasan botol yaitu High Density Polyethylene (HDPE), dan Polyethylene Terephtalate (PET) dan botol gelas (kaca) disimpan dalam chiller bersuhu 2-4 C, 7-9 C, dan suhu ruang (±28ᵒC) Pengujian Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan Yoghurt simbiotik dalam kemasan yang sudah disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan meliputi uji total asam tertitrasi (TAT), uji total koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang dijadikan parameter kritis umur simpan yoghurt selama empat minggu. Pengujian yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang dilakukan pada hari ke-0 sampai ke-3 penyimpanan. Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) dan penurunan mutu yoghurt simbiotik pada penyimpanan suhu dingin dilakukan pada hari ke 0,3,7,10,14,21,dan hari ke-28 penyimpanan, sedangkan uji koliform dilakukan setiap satu minggu sekali selama empat minggu yaitu pada hari ke-0,7,14,21,dan hari ke-28 penyimpanan. 21

34 300 ml susu sapi segar 10 liter susu sapi segar Kultur cair St:Lb:Bl:La 5% (v/v) Sterilisasi 121 C selama 5 menit Pendinginan sampai suhu 45 C Inokulasi Homogenisasi Pasteurisasi sampai suhu C, selama 15 menit Bubuk kedelai instan 0,75 % (b/v) Inkubasi pada suhu 37 C selama 15 jam Pendinginan sampai suhu 45 C Kultur kerja Inokulasi (3 % v/v) Inkubasi pada suhu ruang selama16 jam Fruktosa 8% (v/v) Pencampuran Yoghurt simbiotik Pengemasan dengan botol HDPE, PET, dan gelas Gambar 5. Diagram alir pembuatan yoghurt simbiotik Pengolahan Data Data pengamatan yang diperoleh selama penyimpanan yoghurt simbiotik selanjutnya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan dianalisis secara deskriptif. Dengan demikian, tidak dapat diketahui apakah suatu perlakuan maupun interaksi antar perlakuan memiliki hasil yang berpengaruh nyata (signifikan) atau tidak. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. 22

35 Pembuatan yoghurt simbiotik Pengemasan dengan 3 jenis bahan kemasan : HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml Analisis awal : TAT, total koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang meliputi penampakan, bau, rasa, dan konsistensi Penyimpanan pada 3 suhu : suhu ruang selama 3 hari, 2-4 ο C dan 7-9 ο C selama 28 hari Analisis perubahan mutu selama penyimpanan : TAT, total koliform, dan penurunan mutu organoleptik Pembandingan hasil uji dengan SNI : Yoghurt Penentuan umur simpan yoghurt simbiotik Gambar 6. Diagram alir penelitian 23

36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Yoghurt Simbiotik Pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan peremajaan kultur cair yang terdiri dari campuran keempat bakteri yaitu Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus. Tahap ini merupakan suatu proses regenerasi bakteri sebelum diinokulasikan ke susu untuk pembuatan yoghurt. Media yang digunakan untuk peremajaan kultur adalah susu murni steril. Susu murni sebanyak 300 ml disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 C selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk mematikan semua bakteri patogen dalam susu yang dapat mengganggu pertumbuhan BAL dan dapat mengkontaminasi yoghurt sebagai produk akhir. Menurut Rahman, dkk (1987), pada umumnya semakin tinggi pemanasan yang diberikan pada susu, pertumbuhan kultur akan semakin baik. Susu steril didinginkan hingga mencapai suhu C. Susu kemudian diinokulasi dengan 5% (v/v) kultur cair dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 15 jam, sehingga dihasilkan kultur kerja. Kultur kerja inilah yang akan digunakan sebagai starter dalam pembuatan yoghurt simbiotik. Pada dasarnya, pembuatan yoghurt meliputi empat tahapan penting, yaitu pemanasan susu, inokulasi, fermentasi, dan refrigerasi, tetapi banyak modifikasi terhadap keempat tahapan tersebut (Helferich dan Westhoff, 1980). Pemanasan susu dilakukan pada suhu C selama 15 menit bersamaan dengan kedelai bubuk instan sebanyak 0,75% (v/v) yang berperan sebagai sumber prebiotik. Menurut Robinson dan Tamime (1991), pemanasan susu sangat penting untuk dilakukan dalam pembuatan yoghurt. Keuntungan dari pemanasan susu antara lain : a. Menginaktivasi mikroba awal yang tidak diinginkan yang dapat bersaing dengan bakteri yoghurt. b. Denaturasi whey protein (albumin dan globulin) agar yoghurt yang dihasilkan lebih kental. c. Mengurangi jumlah oksigen dalam susu, sehingga kultur starter yang secara normal bersifat mikroaerofilik dapat tumbuh dengan baik. d. Merusak protein susu dalam batas-batas tertentu agar dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh kultur yoghurt untuk pertumbuhannya. Helferich dan Westhoff (1980) menambahkan bahwa pemanasan susu pada suhu C selama 15 menit dapat menghasilkan rasa yang lebih disukai. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya reaksi pencoklatan sebagai akibat dari reaksi antara lisin dengan gula susu. Susu yang telah dipateurisasi didinginkan terlebih dahulu sampai 43 C. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), pendinginan dilakukan sampai suhu inkubasi yang optimum yaitu 40 C 45 C. Tujuan pendinginan susu sebelum dilakukan inokulasi adalah untuk menurunkan suhu susu setelah pemanasan sampai kondisi yang optimum bagi pertumbuhan kultur yoghurt. Jika susu terlalu panas, maka kultur yoghurt akan mati. Inokulasi kultur kerja sebanyak 3% dari volume susu dilakukan pada saat suhu susu telah mencapai suhu inkubasi optimum tersebut. Setelah inokulasi selesai, susu diinkubasi pada suhu ruang selama 16 jam yaitu sampai terbentuk gel dan ph turun sampai di bawah 4,5 saat menjadi yoghurt. Menurut Winarno et al. (2003) dasar fermentasi susu atau pembuatan yoghurt adalah proses fermentasi komponen gula yang ada di dalam susu, terutama laktosa menjadi asam laktat dan asamasam lainnya. Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat meningkatkan citarasa dan meningkatkan keasaman atau menurunkan ph-nya. Semakin rendah ph atau derajat keasaman susu setelah fermentasi akan menyebabkan semakin sedikitnya mikroba yang mampu bertahan hidup dan 24

37 menghambat proses pertumbuhan mikroba patogen dan mikroba perusak susu, sehingga umur simpan susu dapat menjadi lebih lama. Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi susu oleh kultur yoghurt adalah sebagai berikut (Tamime dan Robinson, 1991). 1. Kultur starter yoghurt memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan menghasilkan asam laktat. 2. Asam laktat yang dihasilkan secara berangsur-angsur akan mengawali ketidakstabilan misel kasein, atau kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat atau stirat kasein. 3. Sejumlah kasein misel dan atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada ph 4,6-4,7. 4. Interaksi antara α-la/β-lg dengan к-kasein (diikat oleh jembatan SH dan SS) sebagian melindungi misel kasein ini untuk melawan ketidakstabilan dan menghasilkan jaringan sel atau matriks dari struktur reguler yang terperangkap di dalamnya. Pada awal inkubasi, Streptococcus thermophilus akan tumbuh lebih cepat dan mendominasi proses fermentasi menghasilkan sejumlah asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil, dan asam format. Ketersediaan asam format dan perubahan pada potensial oksidasi-reduksi pada medium susu akan menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Sementara itu, aktivitas proteolitik dari Lactobacillus bulgaricus menghasilkan peptida dan asam amino yang digunakan oleh Streptococcus thermophilus untuk tumbuh (Oberman, 1985). Jay (1978) menambahkan bahwa Streptococcus thermophilus berperan besar dalam menghasilkan citarasa asam, sementara Lactobacillus bulgaricus bertanggungjawab dalam menghasilkan aroma melalui produksi asam laktat dan asetaldehida. Pada proses pembentukan asam laktat, laktosa mula-mula dihidrolisis oleh starter menjadi glukosa dan galaktosa atau galaktosa-6-fosfat oleh enzim beta-d-galaktosidase dan beta-dfosfogalaktosidase yang dihasilkan oleh S. thermophilus dan L. bulgaricus. Pada proses metabolisme, glukosa diubah menjadi asam laktat melalui jalur glikolisis, sedangkan galaktosa diakumulasikan. Asam asetat, asetaldehida, aseton, asetoin, dan diasetil merupakan hasil dari proses fermentasi. Flavor yang dihasilkan disebabkan oleh pembentukan asam laktat dan asetaldehida. L. bulgaricus memproduksi asetaldehida dari piruvat (Helferich dan Westhoff, 1980). Susu tersebut nantinya akan terkoagulasi menjadi kental karena adanya penggumpalan protein susu. Kasein merupakan protein terbesar yang terdapat di dalam susu dan kasein ini sangat dipengaruhi oleh perubahan keasaman (ph). Susu mempunyai ph 6,6-6,8, jika ph susu kurang dari 4,6 maka kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi menjadi gel yoghurt (Helferich dan Westhoff, 1980). Yoghurt yang sudah terbentuk ditambahkan dengan fruktosa sebanyak 8% (v/v). Hyvonen dan Slotte (1983) yang disitasi oleh Suarni (1990) menyatakan bahwa penambahan sukrosa sebagai pemanis yoghurt dapat dilakukan sebelum atau sesudah proses fermentasi. Pada penelitian ini, pemanis (fruktosa) ditambahkan setelah proses fermentasi. Fruktosa dipilih sebagai pengganti sukrosa karena memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi. Yoghurt simbiotik kemudian dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu botol HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml. Proses pengemasan dilakukan secara manual di atas uap panas yang berasal dari air yang dididihkan. Setelah pengemasan selesai, yoghurt simbiotik disimpan pada 3 suhu penyimpanan, yaitu suhu ruang (±28 C), suhu 2-4 C, dan suhu 7-9 C. Pada hari yang sama yaitu hari ke-0 penyimpanan dilakukan analisis awal terhadap yoghurt simbiotik sebagai acuan terhadap penurunan mutu yoghurt selama penyimpanan. Analisis dilakukan terhadap tiga parameter kritis penyimpanan yoghurt yaitu total asam tertitrasi (TAT), total koliform, 25

38 dan penurunan mutu organoleptik sama seperti pengujian yang dilakukan selama penyimpanan. Kondisi yoghurt simbiotik selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan hasil analisis awal dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Hasil Analisis Awal Yoghurt Simbiotik Parameter Satuan Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) % 1,27 Total koliform APM/g 7 Penurunan Mutu Organoleptik a. Penampakan - Berupa cairan kental padat b. Bau - Normal/khas yoghurt c. Rasa - Asam/khas yoghurt d. Konsistensi - Homogen Dari Tabel 8 diatas, dapat diketahui bahwa TAT awal yoghurt simbiotik mencapai 1,27 %. Menurut Tamime dan Robinson (1989), yoghurt yang baik memiliki total asam laktat 0,85-0,95%. Plain yoghurt memiliki karakteristik asam, berflavor green apple, dengan tingkat keasaman 0,9-1,2%. Nilai TAT yang tinggi pada awal pengujian ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan starter sebesar 3% (v/v). Jay (1978) menyatakan bahwa penambahan kultur starter yang baik adalah sekitar 2% dari volume susu. Semakin banyak jumlah starter yang ditambahkan, maka semakin banyak bakteri asam laktat yang bekerja mengubah laktosa menjadi asam laktat sehingga nilai TAT yoghurt meningkat dengan cepat. Hal ini didukung dengan lama inkubasi pada suhu ruang selama jam, yang pada penelitian ini digunakan waktu maksimal inkubasi tersebut yaitu 16 jam. Semakin lama yoghurt berada pada suhu ruang, aktivitas bakteri asam laktat terus berjalan, sehingga nilai TAT juga meningkat dengan cepat selama penyimpanan (Field, 1979). Pada pengukuran kadar total asam laktat, jumlah asam dihitung sebagai asam laktat yang terbentuk selama fermentasi karena asam laktat merupakan asam yang dominan dalam yoghurt. Peningkatan kadar total asam laktat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas enzimatis bakteri asam laktat yang terus memecah laktosa menjadi asam laktat. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), asam laktat dibentuk dari hasil glikolisis glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa berasal dari hasil hidrolisis laktosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri L. bulgaricus dan S. thermophilus yang merombak laktosa menjadi asam laktat melalui lintasan metabolisme. Hasil analisis awal terhadap koliform diperoleh hasil positif mengandung bakteri patogen (koliform) sebanyak 7 APM/g. Analisis koliform biasanya digunakan sebagai standar kualitas air dan sebagai indikasi tingkat higienitas bahan pangan. Keberadaan koliform yang cukup tinggi pada saat analisis awal diperkirakan terjadi karena adanya kontaminasi silang pada saat proses pengemasan yang masih kurang steril. Kontaminasi silang dapat terjadi dari kemasan botol yang disterilkan dengan air panas yang kemungkinan masih mengandung bakteri koliform sehingga perlu dicari metode sterilisasi kemasan botol plastik dan gelas yang tepat tanpa menyisakan cemaran mikroba. Hasil analisis awal untuk parameter mutu organoleptik menunjukkan penampakan yoghurt simbiotik berupa cairan kental padat hasil dari penggumpalan kasein, bau normal/khas yoghurt dan rasa asam/khas yoghurt dihasilkan dari aktivitas bakteri asam laktat, dan konsistensi yoghurt yang homogen karena fermentasi mengubah bagian cair susu menjadi bentuk padatan (mengental) sehingga menjadi homogen. 26

39 4.2 Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan Total Asam Tertitrasi Total asam tertitrasi merupakan pengukuran semua asam, baik asam yang terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi (Frazier dan Westhoff, 1979). Dalam yoghurt, nilai tersebut sebanding dengan jumlah asam laktat. Hal tersebut disebabkan selama proses fermentasi yoghurt dengan menggunakan BAL dihasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Asam laktat yang dihasilkan ini menyebabkan penurunan ph susu atau meningkatkan keasaman susu. Kasein merupakan protein utama dalam susu yang terpengaruh oleh perubahan ph atau keasaman ini. Jika ph susu menjadi sekitar 4,6 atau lebih rendah, maka kasein tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal) dan membentuk gel yoghurt. Gel yoghurt ini berbentuk semi solid (setengah padat) dan menentukan tekstur yoghurt. Selain berperan dalam pembentukan gel yoghurt, asam laktat juga memberikan ketajaman rasa, rasa asam dan menimbulkan aroma khas pada yoghurt (Koswara, 1995). Perubahan TAT pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Histogram perubahan TAT yoghurt simbioik pada penyimpanan suhu ruang. Hasil pengamatan total asam tertitrasi yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan (H-0) adalah 1,27% untuk semua sampel karena belum ada perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Penyimpanan yoghurt akan berpengaruh terhadap jumlah asam laktat yang dihasilkan. Setelah penyimpanan pada suhu ruang, terjadi peningkatan rata-rata nilai TAT sampai hari terakhir penyimpanan baik pada kemasan botol HDPE, PET, maupun gelas. Pada hari terakhir penyimpanan yaitu hari ke-3, nilai TAT yoghurt simbiotik pada kemasan gelas paling tinggi yaitu mencapai 2,012%. Uji TAT yoghurt simbiotik pada suhu ruang dilakukan selama 3 hari penyimpanan karena nilai TAT terukur pada hari tersebut sudah melewati batas standar SNI yoghurt yaitu maksimal 2%. Sedangkan pada kemasan HDPE dan PET, nilai TAT masih di bawah standar SNI tetapi hampir mencapai 2%, yaitu masing-masing senilai 1,890% dan 1,994%. Nilai TAT yoghurt simbiotik pada kemasan HDPE adalah yang paling rendah di akhir penyimpanan. Penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan terjadinya peningkatan nilai TAT yang sangat cepat. Dalam tiga hari penyimpanan, nilai TAT yoghurt simbiotik hampir mencapai dan ada yang melewati batas maksimal standar SNI yoghurt untuk TAT yaitu 2%. Hal ini terjadi karena suhu ruang (±28 C) mendekati suhu optimal bagi pertumbuhan mikroba dalam susu. Menurut Winarno dan Ivone (2007), Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimal pada suhu C, Streptococcus thermophilus 27

40 pada suhu C, Bifidobacterium longum pada suhu C, dan Lactobacillus acidophilus pada suhu C. Dengan penyimpanan pada suhu ruang yang paling mendekati suhu optimum pertumbuhannya, maka aktivitas kultur campuran Steptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus tidak terhambat sehingga jumlah asam laktat yang dihasilkan juga meningkat dengan cepat sampai beberapa waktu tertentu. Dengan demikian, nilai TAT (kadar asam laktat terukur) juga meningkat dengan cepat. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik selama penyimpanan pada suhu 2-4 C terlihat pada Gambar 8. Gambar 8. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik pada suhu penyimpanan 2-4 C. Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa ketiga jenis kemasan menunjukkan kecenderungan nilai TAT yang meningkat selama penyimpanan dengan pola yang sama, namun lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang. Pada hari terakhir penyimpanan, nilai TAT tertinggi adalah pada kemasan PET sebesar 1,445% sedangkan nilai TAT terendahnya pada kemasan gelas yaitu sebesar 1,429%. Nilai TAT tertinggi selama penyimpanan suhu ini masih di bawah 1,5%, yaitu yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE pada penyimpanan hari ke-7 dengan nilai TAT sebesar 1,454%. Kisaran peningkatan nilai TAT yoghurt simbiotik pada suhu penyimpanan ini tidak terlalu besar, terutama pada kemasan PET dan gelas. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik selama penyimpanan pada suhu 7-9 C terlihat pada Gambar 9. Gambar 9. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik pada suhu penyimpanan 7-9ᵒC. 28

41 Hasil pengamatan TAT yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan (H-0) adalah 1,27%. Secara umum grafik nilai TAT cenderung meningkat dari awal sampai akhir penyimpanan, namun nilainya lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu 2-4 C tetapi lebih rendah dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang (±28 C). Nilai TAT di hari terakhir penyimpanan pada suhu 7-9ᵒC lebih dari 1,5% yaitu mencapai 1,782% pada yoghurt simbiotik dalam kemasan PET. Nilai TAT terendah pada akhir penyimpanan yaitu yoghurt dalam kemasan gelas sebesar 1,580%. Laju peningkatan nilai TAT yoghurt simbiotik pada suhu 7-9 C lebih cepat daripada yang disimpan pada suhu 2-4 C, karena semakin rendah suhu penyimpanan, aktivitas bakteri asam laktat semakin terhambat dalam menghasilkan asam laktat sehingga berpengaruh terhadap nilai total asam tertitrasi. Secara keseluruhan, TAT tertinggi pada akhir penyimpanan dicapai oleh yoghurt simbiotik yang dikemas dengan botol gelas dan disimpan pada suhu ruang. Nilai TAT tersebut melebihi batas standar SNI yoghurt untuk TAT yaitu mencapai 2,012%. Dari empat bakteri asam laktat yang digunakan, tiga diantaranya yaitu Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan Lactobacillus acidophilus bersifat anaerob fakultatif (hidup dengan sedikit oksigen atau tanpa oksigen sama sekali) dan Bifidobacterium longum bersifat anaerob obligat (hidup tanpa adanya oksigen). Pada bakteri yang bersifat anaerob fakultatif, adanya oksigen akan memacu metabolisme ke arah respiratif membentuk biomassa, sedangkan tanpa adanya oksigen, akan memacu metabolisme ke arah fermentatif untuk menghasilkan asam laktat. Oleh karena itu, dengan jumlah oksigen minimal, pertumbuhan BAL lebih optimal dan total asam laktat yang dihasilkan juga semakin banyak. Dari ketiga jenis kemasan yang digunakan, kemasan gelas memiliki permeabilitas terhadap oksigen yang paling rendah diikuti oleh PET kemudian HDPE. Oleh karena itu, dari setiap suhu penyimpanan, yoghurt simbiotik dalam kemasan gelas cenderung memiliki nilai TAT yang lebih tinggi diikuti oleh PET kemudian HDPE. Dari setiap jenis kemasan, penyimpanan yoghurt simbiotik pada suhu ruang paling tinggi diikuti oleh suhu 7-9 C kemudian 2-4 C. Dengan demikian, semakin tinggi suhu penyimpanan nilai TAT juga semakin cepat peningkatannya. Hal ini terjadi karena pada penyimpanan suhu ruang yang paling mendekati suhu optimal pertumbuhan, bakteri asam laktat dapat beraktivitas mengubah laktosa menjadi asam laktat dengan baik sehingga total asam laktat meningkat dengan cepat dan nilai TAT juga cepat peningkatannya. Sedangkan semakin rendah suhu penyimpanan, aktivitas bakteri untuk mengubah laktosa menjadi asam laktat terhambat sehingga peningkatan total asam laktat berjalan lambat dan nilai TAT juga lambat peningkatannya. Total asam akan meningkat selama penyimpanan (Utami, 1995). Peningkatan total asam terjadi sebagai akibat aktivitas bakteri yang memecah laktosa yang ada dalam susu menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Menurut Fardiaz (1992), bakteri asam laktat yang tergolong homofermentatif dapat mengubah lebih dari 85% glukosa atau heksosa lainnya menjadi asam laktat Total Koliform Bakteri koliform tergolong ke dalam famili Enterobacteriaceae bersifat gram negatif, berbentuk batang, memfermentasi laktosa, fakultatif anaerob dan suhu optimumnya 37 C (Buckle,et al.,1997). Menurut Jawetz dkk.(1980), koliform terdiri dari Escherichia coli ( E. coli), Klebsiella, Enterobacter dan Citrobacter. Di dalam grup koliform ini Citrobacter memiliki sifat paling lambat memfermentasi laktosa, sehingga memerlukan waktu inkubasi lebih dari 24 jam bahkan sampai dua kali 24 jam. Koliform merupakan mikroba komensal atau sebagai flora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia. Bakteri ini dipakai sampai sekarang dipakai sebagai indikator tingkat 29

42 sanitasi suatu produk bahan makanan maupun minuman yang dikonsumsi oleh hewan maupun manusia (Suarjana, 2009). Uji keberadaan koliform dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri koliform dalam yoghurt simbiotik. Keberadaan koliform dapat dijadikan indikasi tingkat higienitas suatu produk pangan. Kelompok koliform mencakup bakteri yang bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif, batang gram negatif, dan tidak membentuk spora. Koliform memfermentasikan laktosa dengan pembentukan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35 C (Lay, 1994). Untuk menduga jumlah koliform dalam sampel, digunakan metoda angka paling mungkin (APM). Media yang digunakan dalam uji ini yaitu Lactose Broth. Dalam uji ini, setiap tabung yang menghasilkan gas dalam masa inkubasi diduga mengandung bakteri koliform. Uji dinyatakan positif bila terlihat gas dalam tabung Durham. Kemudian, tabung-tabung yang positif atau menghasilkan gas akan menunjukkan angka indeks, angka ini disesuaikan dengan Tabel APM untuk menentukan jumlah koliform dalam sampel (Lay, 1994). Hasil pengujian total koliform pada suhu ruang dapat dilihat pada Gambar hari 1 hari 2 hari Gambar 10. Histogram perubahan total koliform selama penyimpanan suhu ruang Yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang diuji keberadaan koliformnya mulai hari ke- 0 sampai hari ke-2 penyimpanan. Pengujian total koliform hanya dilakukan sampai hari ke-2 penyimpanan karena pada hari tersebut, total koliform untuk keseluruhan sampel sudah melebihi standar SNI yoghurt untuk total koliform yaitu 10 APM/g (SNI 2981, 2009). Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada H-0 penyimpanan, jumlah koliform pada sampel sebanyak 7 APM/g. Seiring dengan lamanya penyimpanan, jumlah koliform semakin meningkat. Setelah penyimpanan satu hari pada suhu ruang, jumlah koliform pada kemasan HDPE sudah mencapai 15 APM/g sehingga tidak dilakukan pengujian lagi pada hari ke-2, sedangkan pada kemasan PET dan gelas menurun. Penurunan koliform pada hari ke-2 dapat terjadi karena sampel tidak diambil dari satu botol kemasan yang sama, tetapi botol berbeda dengan jenis kemasan yang sama sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan kontaminasi koliform. Pada penyimpanan hari ke-2, jumlah bakteri koliform meningkat cepat hingga melebihi standar SNI yoghurt untuk koliform yaitu pada kemasan PET mencapai 27 APM/g, sedangkan pada kemasan gelas mencapai 150 APM/g yang merupakan jumlah koliform terbanyak dari 30

43 ke tiga sampel selama penyimpanan. Hasil pengujian koliform selama penyimpanan suhu 2-4 C dapat dilihat pada Gambar hari 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari Gambar 11. Histogram perubahan total koliform selama penyimpanan suhu 2-4 C. Uji koliform dilakukan setiap satu minggu sekali mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-28 penyimpanan untuk yoghurt yang disimpan pada suhu dingin yaitu 2-4 C dan 7-9 C. Jumlah koliform sampel sebelum penyimpanan (hari ke-0) adalah 7 APM/g. Setelah penyimpanan pada suhu 2-4 C, terjadi perubahan nilai koliform yang bervariasi untuk kemasan yang berbeda. Yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE jumlah koliformnya masih memenuhi standar SNI sampai akhir penyimpanan yaitu sebanyak 3 APM/g pada penyimpanan hari ke-28. Untuk kemasan PET dan gelas, jumlah koliformnya melebihi standar SNI pada hari ke-21 penyimpanan yaitu 11 APM/g untuk kemasan PET dan 43 APM/g untuk kemasan gelas. Oleh karena itu, yoghurt dalam kedua kemasan ini tidak dilakukan uji koliform lagi pada hari ke-28. Hasil pengujian koliform selama penyimpanan suhu 7-9 C dapat dilihat pada Gambar

44 0 hari 7 hari 14 hari 21 hari Jumlah Gambar koliform 12. Histogram sampel sebelum perubahan penyimpanan total koliform (hari selama ke-0) adalah penyimpanan 7 APM/g. suhu Setelah 7-9 C. Setelah penyimpanan pada suhu 7-9 C, secara umum total koliform mengalami peningkatan pada pengujian hari ke-21 penyimpanan meskipun pada dua pengujian sebelumnya total koliform mengalami penurunan. Hal ini dapat terjadi karena pengambilan sampel dilakukan pada botol yang berbeda dari pengujian awal sehingga memungkinkan adanya perbedaan jumlah kontaminasi koliform. Pada hari ke-21 penyimpanan, total koliform pada semua jenis kemasan mengalami peningkatan yaitu 15 APM/g untuk kemasan HDPE, 28 APM/g pada yoghurt simbiotik dalam kemasan PET, dan 36 APM/g pada yoghurt simbiotik dalam kemasan gelas. Nilai ini sudah melebihi standar SNI yoghurt untuk koliform. Oleh karena itu, tidak dilakukan pengujian lagi pada hari ke-28 penyimpanan. Berdasarkan jenis kemasan, secara umum kisaran total koliform dari yang tertinggi sampai yang terendah pada setiap suhu penyimpanan yaitu gelas, PET, kemudian HDPE. Yoghurt simbiotik dalam kemasan gelas selalu memiliki jumlah koliform yang paling banyak pada semua suhu penyimpanan, terutama saat yoghurt disimpan dalam suhu ruang yang kandungan koliformnya mencapai 150 APM/g. Bakteri koliform ada yang bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif. Berdasarkan jenis kemasan, pada kemasan gelas yang mempunyai permeabilitas oksigen terendah, pertumbuhan koliformnya paling cepat diikuti oleh PET kemudian HDPE seiring dengan peningkatan permeabilitasnya. Dengan demikian, koliform yang mengkontaminasi yoghurt simbiotik kemungkinan bersifat anaerobik fakultatif karena tumbuh memfermentasi laktosa lebih cepat pada keadaan sedikit oksigen yaitu dalam kemasan gelas. Fermentasi laktosa oleh koliform menghasilkan asam dan gas (CO 2 dan H 2 ), sehingga dari segi TAT, kemasan gelas mempunyai nilai yang paling tinggi diikuti oleh PET dan HDPE karena ada sumbangsi asam yang dihasilkan oleh cemaran koliform. Pada ketiga suhu penyimpanan, secara umum pada awal penyimpanan terjadi peningkatan total koliform yang lambat. Semakin lama disimpan terjadi peningkatan total koliform dengan cepat. Hal ini kemungkinan terjadi karena pada awal penyimpanan, viabilitas BAL mengalami peningkatan dan semuanya aktif bekerja memproduksi zat anti bakteri sehingga peningkatan total koliform menjadi lambat. Semakin lama disimpan, viabilitas BAL menurun sehingga terjadi peningkatan total koliform yang cepat. 32

45 Berdasarkan suhu penyimpanan, secara umum kisaran total koliform terendah adalah yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu 2-4 C dan yang paling tinggi adalah pada yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang. Pertumbuhan koliform paling cepat pada suhu ruang (±28 C) karena mendekati suhu optimal pertumbuhannya yaitu 37 C. Jadi semakin rendah suhu penyimpanan, kisaran jumlah rata-rata koliform juga semakin rendah. Kandungan koliform yang paling rendah diantara ketiga kemasan tersebut adalah yoghurt simbiotik kemasan HDPE dalam suhu 2-4 C yang kandungan koliformnya < 3 APM/g pada hari terakhir penyimpanan. Bakteri koliform adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai indikator penentuan kualitas sanitasi makanan dan air (Servais, 2007). Habitat koliform adalah usus atau nonintestinal (tanah, air) dan mungkin meliputi: Escherichia coli, Aeromonas hydrophila, Enterobacter cloacae, Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter spesies. Jenis bakteri ini memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas apabila diinkubasi pada C. Oleh karena itu, yoghurt pada penyimpanan suhu ruang yang paling dekat dengan suhu optimal pertumbuhannya, bakteri koliform dapat tumbuh dan melakukan fermentasi laktosa lebih baik daripada pada yoghurt yang disimpan pada suhu rendah Perubahan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan Seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan, yoghurt simbiotik dapat mengalami penurunan mutu organoleptik. Mutu organoleptik yoghurt dalam SNI meliputi keadaan penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. Keadaan yoghurt disebut normal ketika keadaan yoghurt seperti pada SNI 2981 tahun 2009 mengenai yoghurt yaitu penampakannya berupa cairan kental padat, baunya normal/khas yoghurt, rasanya asam/khas yoghurt, dan konsistensinya homogen. Jika yoghurt sudah tidak memenuhi kriteria tersebut, maka dikatakan tidak normal. Pengujian mutu organoleptik dilakukan sendiri tanpa menggunakan panelis. Hasil pengamatan mutu organoleptik selama penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan Suhu Ruang Suhu Hari Kemasan Penampakan Bau Rasa Konsistensi HDPE Normal Normal Normal Normal 0 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 1 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal Ruang HDPE Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 2 PET Normal Tidak normal Tidak normal Normal Gelas Normal Tidak normal Tidak normal Normal HDPE Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 3 PET Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal Gelas Normal Tidak normal Tidak normal Normal 33

46 Yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan memiliki penampakan, bau, rasa, dan konsistensi yang normal. Setelah penyimpanan satu hari pada suhu ruang, yoghurt dalam kemasan HDPE sudah tidak normal dari segi bau, rasa, dan konsistensi sedangkan pada kemasan PET dan gelas semua kriteria masih dalam keadaan normal (Tabel 9). Pada kedua kemasan ini, kondisi tidak normal mulai terjadi pada hari ke-2 penyimpanan yaitu dari segi bau dan rasa. Kondisi yang sama terjadi pada kemasan gelas pada hari ke-3 penyimpanan sedangkan pada kemasan PET semua kriteria sudah tidak normal seperti halnya dengan yoghurt dalam kemasan HDPE. Apabila salah satu kriteria telah ada yang tidak normal berarti sudah tidak memenuhi SNI yoghurt untuk keadaan organoleptik. Dengan demikian, yoghurt simbiotik yang paling cepat rusak adalah yang dikemas dalam plastik HDPE, kemudian PET dan gelas. Berdasarkan daya tembusnya, HDPE memiliki permeabilitas terhadap terhadap gas (O 2 dan CO 2 ) dan uap air yang lebih tinggi dibandingkan PET dan gelas. Selain itu, dengan ditunjang oleh penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan yoghurt dalam kemasan HDPE paling cepat mengalami kerusakan. Penyimpanan yoghurt dalam suhu ruang lebih banyak menimbulkan kerusakan mutu organoleptik dari segi bau dan rasa dibandingkan pada penampakan dan konsistensi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat dalam menghasilkan asam laktat pada suhu ruang yang lebih cepat dibandingkan saat disimpan pada suhu rendah sehingga mempengaruhi bau dan rasa yoghurt. Hasil pengamatan mutu organoleptik selama penyimpanan suhu 2-4 C dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan Suhu 2-4 C. Suhu Hari Kemasan Penampakan Bau Rasa Konsistensi HDPE Normal Normal Normal Normal 0 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Normal Normal Normal 3 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Normal Normal Normal 7 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Normal Normal Normal 10 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal 2-4 C HDPE Normal Normal Normal Normal 14 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Tidak normal HDPE Normal Normal Normal Tidak normal 21 PET Normal Normal Normal Tidak normal Gelas Normal Normal Normal Tidak normal HDPE Normal Normal Normal Tidak normal 28 PET Normal Normal Normal Tidak normal Gelas Normal Normal Normal Tidak normal 34

47 Kondisi awal yoghurt sebelum penyimpanan adalah normal dari segi penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. Berdasarkan hasil pengujian mutu organoleptik yang terlihat pada Tabel 10 di atas, yoghurt simbiotik dalam kemasan gelas mulai tidak normal pada hari ke-14 penyimpanan dari segi konsistensi. Kondisi ini terjadi pada yoghurt dalam kemasan HDPE dan PET mulai hari ke-21 penyimpanan. Kondisi yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ini tidak normal pada segi konsistensi saja, sedangkan dari segi penampakan, bau dan rasa masih normal sampai hari terakhir penyimpanan yaitu H-28. Hal ini terjadi karena penyimpanan yoghurt pada suhu rendah dapat menghambat bakteri asam laktat dalam mengubah laktosa menjadi asam laktat. Hasil pengamatan mutu organoleptik selama penyimpanan suhu 7-9 C dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Pengamatan Mutu Organoleptik Selama Penyimpanan Suhu 7-9 C. Suhu Hari Kemasan Penampakan Bau Rasa Konsistensi HDPE Normal Normal Normal Normal 0 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Normal Normal Normal 3 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Normal Tidak normal Tidak normal 7 PET Normal Normal Normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 10 PET Normal Tidak normal Tidak normal Normal Gelas Normal Normal Normal Normal 7-9 C HDPE Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 14 PET Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal Gelas Normal Normal Normal Normal HDPE Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 21 PET Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal Gelas Normal Tidak normal Normal Normal HDPE Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal 28 PET Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal Gelas Normal Tidak normal Tidak normal Normal Kondisi awal yoghurt sebelum penyimpanan adalah normal dari segi penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. Berdasarkan hasil pengujian mutu organoleptik yang terlihat pada Tabel 11 di atas, yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE mulai tidak normal pada hari ke-7 penyimpanan dari segi rasa dan konsistensi. Yoghurt dalam kemasan PET mulai menunjukkan kondisi tidak normal dari segi bau dan rasa pada hari ke-10 penyimpanan. Sedangkan yoghurt dalam kemasan gelas mulai tidak normal dari segi bau pada hari ke-21 penyimpanan. Penyimpanan yoghurt pada suhu ini juga lebih banyak menimbulkan perubahan mutu yoghurt dalam hal bau dan rasa seperti halnya dalam penyimpanan suhu ruang sehingga penyimpanan yoghurt pada suhu yang lebih rendah lebih disarankan. 35

48 Berdasarkan jenis kemasan, laju penurunan mutu organoleptik yang paling cepat adalah pada yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE pada penyimpanan suhu ruang dan 7-9 C, juga pada kemasan gelas saat disimpan pada suhu 2-4 C. Jika dilihat dari permeabilitanya, kemasan HDPE memliki permeabilitas terhadap gas dan uap air yang paling tinggi dibandingkan kemasan PET dan gelas sehingga lebih cepat mengalami kerusakan terutama pada suhu ruang dan 7-9 C. Sedangkan berdasarkan suhu penyimpanan, laju penurunan mutu yang paling cepat adalah yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang. Laju penurunan mutu organoleptik semakin lambat saat suhu penyimpanan yoghurt simbiotik semakin rendah. Dengan demikian, suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan mutu organoleptik. 4.3 Penentuan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi. Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat ditentukan dengan menggunakan acuan titik kritis. Umur Simpan ditentukan oleh faktor kritis kerusakan yang paling cepat (Syarief, 2008). 1. Mikrobiologis : Bakteri, kapang, dan khamir 2. Kimiawi : Klorofil, vitamin C, tiamin, karoten, riboflavin, dan aspartam. 3. Gizi/Nutrisi : Protein, lemak, dan mutu/daya cerna 4. Biokimia/fungsionalitas : Aktivitas enzim, probiotik, dan aktivitas antioksidan 5. Fisik/Fisikokimia : Kekentalan, kekerasan, warna, dan stabilitas emulsi 6. Organoleptik/sensori : Tekstur, penampakan, warna, bau, dan rasa. Menurut Koswara (2004), data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba. Analisis sifat fisik dapat juga dilakukan dengan pengamatan sifat organoleptik. Penurunan mutu secara fisik dapat dilihat dari mulai terjadinya sineresis. Faktor kritis kerusakan yang paling cepat untuk yoghurt simbiotik dalam penelitian ini yaitu total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan evaluasi sensori yaitu penurunan mutu organoleptik. Hasil pendugaan umur simpan berdasakan ketiga faktor kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pendugaan Umur Simpan Yoghurt Simbiotik Suhu penyimpanan Jenis kemasan Umur simpan (hari) TAT Koliform Mutu Organoleptik Ruang (±28 C) HDPE PET Gelas C HDPE PET Gelas C HDPE PET Gelas

49 Umur simpan yoghurt dapat ditentukan dari kerusakan yang paling cepat. Untuk yoghurt yang disimpan pada suhu ruang umur simpannya adalah 1 hari untuk yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE, dan 2 hari untuk yoghurt dalam kemasan PET dan gelas. Pada penyimpanan suhu 2-4 C, umur simpannya adalah 21 hari untuk yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE dan PET, dan 14 hari dalam kemasan gelas. Pada suhu penyimpanan 7-9 C, umur simpannya adalah 7 hari dalam kemasan HDPE, 10 hari dalam kemasan PET, dan 21 hari dalam kemasan gelas. Akan tetapi, dengan melihat hasil dari ketiga faktor kritis diatas, yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE pada penyimpanan suhu 2-4 C memiliki umur simpan yang paling lama (yang terbaik) karena untuk mengemas produk susu paling cocok dikemas dalam botol plastik HDPE. 4.4 Viabilitas Yoghurt Simbiotik Viabilitas menunjukkan kemampuan hidup bakteri asam laktat (total BAL yang masih hidup) dalam yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Selain dari ketiga faktor kritis diatas, viabilitas bakteri asam laktat (BAL) juga menjadi faktor yang penting dalam yoghurt simbiotik. Hal ini disebabkan pada yoghurt simbiotik harus dipertahankan jumlah BAL hidup yang masih di atas standar yaitu minimal 10 7 CFU/ml selama penyimpanan (Davidson et al., 2000). Berdasarkan hasil penelitian Elizabeth (2003), viabilitas BAL awal (sebelum penyimpanan) dalam produk yoghurt simbiotik adalah sekitar 10 9 CFU/ml. Dalam penelitian ini, viabilitas BAL yoghurt simbiotik selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi jumlahnya masih berada pada kisaran 10 9 CFU/ml pada hari terakhir penyimpanan. Dengan demikian, penambahan kedelai bubuk instan pada yoghurt simbiotik berpengaruh terhadap viabilitas BAL dalam yoghurt tersebut terutama setelah dikonsumsi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Maduningsih (2008) yang menunjukkkan bahwa Lactobacillus acidophilus pada perlakuan yoghurt simbiotik lebih besar (11,32±0,98 log10 cfu/g), dibandingkan kontrol (9,56±0,3l log10 cfu/g) dan perlakuan yogurt probiotik (9,28±0,66 log10 cfu/g). Jumlah Bifidobacterium longum mencapai 11,48±0,94 log10 cfu/g nyata dipengaruhi oleh prebiotik FOS. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa kandungan FOS di dalam yoghurt meningkatkan viabilitas dan pertumbuhan probiotik L. acidophilus dan B. longum di dalam sistem pencernaan sehingga memberikan efek kesehatan bagi tubuh melalui keseimbangan mikroflora usus. Berdasarkan hasil penelitian Septiawan (2011), viabilitas yoghurt setelah penyimpanan selama 15 hari masih tergolong tinggi yaitu lebih dari 10 9 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Nighswonger et al. (1996) menunjukkan bahwa yoghurt dengan viabilitas berkisar pada 10 7 CFU/ml saat masa awal penyimpanan dapat tetap mempertahankan viabilitasnya setelah 28 hari penyimpanan pada suhu 7 C. 37

50 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Analisis awal sebelum penyimpanan menunjukkan bahwa yoghurt simbiotik memiliki nilai total asam tertitrasi (TAT) sebesar 1,27%, total koliform sebesar 7 APM/g, dan mutu organoleptik yang normal baik dari segi penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. Yoghurt simbiotik memiliki penampakan berupa cairan kental padat, bau normal/khas yoghurt, rasa asam/khas yoghurt, dan konsistensinya homogen sesuai dengan standar SNI tentang yoghurt. Parameter kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan yoghurt simbiotik adalah total asam tertitrasi, total koliform, dan mutu organoleptik. Lama penyimpanan menyebabkan penurunan mutu yoghurt simbiotik yang ditandai dengan meningkatnya total asam tertitrasi, bertambahnya total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Penurunan mutu yang paling cepat terjadi saat yoghurt simbiotik disimpan pada suhu ruang yang ditandai dengan meningkatnya TAT, pertumbuhan bakteri koliform yang cepat, dan penurunan mutu organoleptik yang melebihi standar SNI dalam waktu kurang dari satu minggu penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan, semakin lambat laju penurunan mutu yoghurt simbiotik. Sedangkan semakin rendah permeabilitas kemasan semakin cepat peningkatan TAT dan pertumbuhan koliform tetapi semakin lambat penurunan mutu organoleptiknya. Umur simpan yoghurt dapat ditentukan dari faktor kritis kerusakan yang paling cepat. Yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang umur simpannya adalah 1 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol HDPE, dan 2 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol PET dan gelas. Pada penyimpanan suhu 2-4 C, umur simpannya adalah 21 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol HDPE dan PET, dan 14 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol gelas. Pada suhu penyimpanan 7-9 C, umur simpannya adalah 7 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol HDPE, 10 hari yang dikemas dengan botol PET, dan 21 hari untuk yoghurt yang dikemas dengan botol gelas. Akan tetapi, dengan melihat hasil dari ketiga faktor kritisnya, umur simpan yang paling lama (yang terbaik) adalah yoghurt simbiotik yang dikemas dengan botol HDPE pada penyimpanan suhu 2-4 C. 5.2 Saran Adanya bakteri koliform dalam yogurt simbiotik mengindikasikan proses kerja yang masih kurang aseptis saat pembuatan dan pengemasannya. Proses pengemasan yoghurt simbiotik yang dilakukan secara manual diatas uap air mendidih masih berpeluang terjadinya kontaminasi silang ke dalam yoghurt simbiotik. Oleh karena itu diperlukan proses kerja yang lebih aseptis dan higienis dalam hal bahan, alat, dan pekerja. Proses pengemasan juga harus lebih steril dengan menggunakan aseptic packaging. Pada saat pengemasan, produk dan kemasan jangan dibiarkan kontak dengan udara sehingga tidak terjadi kontaminasi dan dapat memperpanjang kualitas produk. Penentuan umur simpan dengan metode ESS (Extended Storage Studies), sebaiknya tidak hanya dilihat dari faktor kritis saja tetapi semua parameter disarankan untuk dilakukan juga termasuk analisis fisik, kimia, dan proksimat. Selain itu, perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai viabilitas bakteri asam laktat dalam yoghurt simbiotik selama penyimpanan, juga penambahan aroma dan rasa pada yoghurt simbiotik untuk memperoleh yoghurt simbiotik yang siap dikonsumsi. 38

51 DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E., E. Liviawaty., dan I. Rostini Pemanfaatan Limbah Sayuran untuk Memproduksi Biomasa Lactobacillus plantarum sebagai Bahan Edible Coating dalam Meningkatkan Masa Simpan Ikan Segar dan Olahan. Laporan Akhir. Unpad. Bandung. Anonim. Lactobacillus bulgaricus bacteria. [diakses 14 April 2012]. Anonim. Probiotics Gallery. [diakses 14 April 2012]. Ali. G.R.R. and S. Radu Isolation and Screening of Bacteriocin Producing LAB from Tempeh. University of Malaysia. Arpah Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Association of Official Analitycal Chemist (AOAC) Official Methods of Analytical Chemistry. AOAC.int., Washington D. C. Ballongue, J Bifidobacteria and Probiotic Action. Di dalam Salminen, S dan A. von Wright (eds) Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker. Inc., New York. Bierley, A.W., R.J. Heat and M.J. Scott, Plastic Materials Properties and Aplications. Chapman and Hall Publishing, New York. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton Ilmu Pangan. Terjemahan. UI Press, Jakarta. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton Ilmu Pangan. Terjemahan Hadi Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton Ilmu Pangan. Terjemahan. UI Press, Jakarta. Buckle K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton Food Science. Australian Vice- Chacellons Comite. pp Cahyanti, A. N. Kajian Pertumbuhan Probiotik Lactobacillus acidophilus dan Kandungan Asam Lemak dalam Susu Kambing Fermentasi Selama Penyimpanan. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Semarang. Semarang. Collins, M.D. dan G.R. Gibson Probiotics, Prebiotics, and Symbiotics : Approaches for Modulating the Microbial Ecology of The Gut. Am J Clin Nutr 69: 1052S-1057S. Crosby, N. T. (1981). Food Packaging Material : Aspect of Analysis and Migration of Contaminant. Applied Science Publisher. London. Davidson, R.H., S. E. Duncan., C. R. Hackey., W. N. Eigel and J. W. Boling Probiotic culture survival and implications in fermented frozen yogurt characteristic. J. Dairy Sci.83: Departemen Kesehatan RI Daftar Komposisi Bahan Makanan. Yogyakarta. Dewan Standarisasi Nasional SNI Standar Mutu Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 39

52 Dewan Standarisasi Nasional SNI 2981: Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional SNI : Susu Segar-Bagian 1 : Sapi. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Elisabeth, D. A. A Pembuatan Yoghurt Simbiotik dengan Menggunakan Kultur Campuran Streptococcus thermophilus, Lactobacillus casei strain shirota dan Bifidobacterium breve. [Skripsi]. ITP FATETA. IPB. Bogor. Fanworth, E. R Probiotics and Prebiotics. Di dalam : Wildman REC, editor. Nutraceuticals and Functional Foods. CRC Press. New York. Fardiaz, S Mikrobilogi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Field, L. M Fundamentals of Food Microbiology. AVI Publishing Comp. Inc., Westport, Connecticut. Fitriyanti, N Pendugaan Umur Simpan Yoghurt Kacang Hijau. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Floros, J. D. and V. Gnanasekharan Shelf Life Prediction of Packaged Foods : Chemichal, Biological, Physical, and Nutritional Aspects. G. Chlaralambous (Ed.). Elsevier Publ., London. Foster, E. M., F. E. Nelson, M. L. Speck, R. N. Doetsch, and J. C. Olson Dairy Microbiology. Prentice Hall, Inc., New Jersey. Frazier, W. C. Dan D. Westhoff Food Microbiology 3 rd Company, New York. Edition. Mc. Graw Hill Book Fuller, R A Review : Probiotics in Man and Animals. J. Appl. Bacteriol. 66: Gibson, G. R. dan M. B. Roberfroid Dietary Modulation of The Human Colonic Microbiota: Introducing The Concept of Probiotics. J Nutr 125: Gibson, G. R Fibre and Effects on Probiotics (The Prebiotics Concept). Clinical Nutrition Suplements (2004). 1 : Hariyadi, R. T., N. Anjaya, Suliantari, L. Nuraida, dan B. Satiawiharja Penuntun Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hariyadi, P Prinsip-prinsip Pendugaan Masa Kadaluwarsa dengan Metode Accelerated Shelf Life Test. Pelatihan Pendugaan Waktu Kadaluwarsa (Self Life). Bogor, 1 2 Desember Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harper Handbook of Plastic and Elastomer. Westing House Electric Corporation. Baltimore. Maryland. Hartoto, M Pembuatan Yoghurt Simbiotik dengan Menggunakan Kultur Campuran: Streptococcus thermophilus, Bifidobacterium bifidum, dan Lactobacillus casei strain shirota. ITP. FATETA. IPB. Bogor. Hekmat, S. and D. J. McMahon Survival of Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium bifidum in Ice Cream for Use as a Probiotic Food. J. Dairy Sci. 75:

53 Helferich, W. dan D. Westhoff All About Yogurt. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams In Bergey s Manual of Determinative Bacteriology. Ninth edition. The Williams and Wilkins Co., Baltimore. Hull, R. R., Conway, P. L., dan Evans, A. J Probiotics Foods : a New Opportunity. Food Australia 44: Institute of Food Science and Technology Shelf Life of Food. J. Food Sci. 39: Ishibashi, N., and S. Shimamura Bifidobacteria: Research and Development in Japan. Food Technology. 46: Jawetz, E., Melnick, J.L. and Alberg, E.A Review of Medical Microbiology. 14 thed., Lange Medical Publication. Los Altos. Jay, M. J Modern Food Microbiology. 2 nd ed. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Jay, J. M Modern Food Microbiology. 6 th Edition. Aspen Publishers Inc., Maryland. Julianti, E. dan Nurminah, M Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Kanbe, M Traditional Fermented Milks of The World. In: Nazakawa, Y., and A. Hosono (ed.). Function of Fermented Milks : Challenge for the Health Science. Elsevier Science Publisher. Koswara, S Teknologi Pengolahan Kedelai menjadi Makanan Bermutu. Cetakan ketiga, Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Koswara, S Evaluasi Sensori dalam Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self Life). Bogor, 1 2 Desember Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lay, B. W Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lisal, J. S Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus besar. J. Med. Nus. 26(4): Maduningsih, G. L Stabilitas Bakteri Probiotik Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium longum dalam Yogurt Susu Kambing di dalam Saluran Pencernaan Tikus. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Man, C. M. D. dan A. A. Jones (ed) Shelf Life Evaluation of Foods. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland. Marsh, Kenneth, dan B. Bugusu Food Packaging-Roles, Materials, and Environmental Issues. J. Food Science Vol 72 : R39-R-57. Moulder, J. W Bacterial Metabolism in Textbook of Microbiology. 19 th ed. Toppan Co. Ltd. Tokyo. Muchtadi, D Oligosakarida yang Menyehatkan. Department of Food Science and Technology IPB. Bogor. 41

54 Mulyani, S., A. M. Legowo dan A. A. Mahanani Viabilitas Bakteri Asam Laktat, Keasaman dan Waktu Pelelehan Es Krim Probiotik Menggunakan Starter Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2) : Nakazawa, Y. dan A. Hosono Functions of Fermented Milk Challenges for The Health Science. Elsevier Applied Science. London. Nighswonger, B. D., M. M. Brashears, dan S. E. Gilliland Viability of Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei in Fermented Milk Product during Refrigerated Storage. J Dairy Sci 79 : Oberman, H Fermented Milk. Di dalam Wood, B. J. B. (ed). Microbiology of Fermented Food. Volume 1. Elsevier Applied Science. New York. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan Dasar-dasar Mikrobiologi. Cetakan 1 Jilid 2. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press). Jakarta. Poeloengan, M Pengujian Yoghurt Probiotik pada Pertumbuhan Bakteri. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Rahayu, W. P. Dan W. Christanti Pembuatan Soyghurt Berflavor Buah dan Mutunya Selama Penyimpanan. Bul. Pen. Ilmu Tek. Pangan III (1) : Rahayu, W.P., H. Nababan, S. Budijanto, dan D. Syah Pengemasan, Penyimpanan dan Pelabelan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Rahman, A, S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Sukantari, C. C. Nurwitri Teknologi Fermentasi Susu. Labotatorium Mikrobiologi Pangan, PAU. Bogor. Rahman, A., S. Fardiaz., W. P. Rahayu, Suliantari dan C. C. Nurwitri Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Roberfroid, M,. B, Prebiotics and Probiotics: Are They Functional Foods. Am J Clin Nutr 71: 1682S-1687S. Rukmana, R. (1997). Kacang Hijau dan Budi Daya Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Saifatah, L Analisis Oligosakarida pada Dua Puluh Produk Minuman Bubuk Komersial Berbasis Kedelai. [Skripsi]. FATETA IPB. Bogor. Saleh, E Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara. Medan. Schlegel, H. G. dan K. Schmidt Mikrobiologi Umum. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Septiawan, R Pembuatan Yoghurt Simbiotik dengan Menggunakan Bakteri Asam Laktat Indigenus sebagai Bahan Fungsional Antidiare. [Skripsi]. FATETA. IPB. Bogor. Servais, P. et al Fecal Bacteria in The Rivers of the Seine Drainage network (France): Sources, Fate and Modeling. Université Libre de Bruxelles. Bruxelles. Suarjana, I. G. K Kualitas Air Minum Ternak Ayam Petelur di Desa Piling Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan di Tinjau dari Jumlah Bakteri Coliform. Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Bali. 42

55 Suarni Mempelajari Pengaruh Umur Starter terhadap mutu Yoghurt. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Prtanian Bogor. Bogor. Suprapti, L. M Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta. Surahman, D. N., Pengaruh Jenis Penstabil (Gelatin dan Agar Batang) dan Konsentrasi Penstabil terhadap Produk Soyghurt. UPT. Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna- LIPI. Subang. Surono, I. S Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya. Jakarta. Suryono Studi Pengaruh Penggunaan Bifidobacteria terhadap Flavor Yoghurt. [Tesis]. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syarief. R., S. Santausa dan Isyana Teknologi Pengemasan Pangan. Teknologi Pangan. Penerbit PT. Media. Jakarta. Syarief, R. dan Halid, H Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta. Syarief, R Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bogor. Tamime, A. Y. dan R. K. Robinson Yoghurt: Science and Technology. 1 st Edition. Pergaman Press London. Tamime, A. Y. dan R. K. Robinson Yoghurt Science and Technology. Woodhead Publishing Ltd. Cambridge. Tamime, A. Y. dan R. K. Robinson Yoghurt: Science and Technology. 2 nd Edition. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge. Tamime, A.Y Probiotic Dairy Products. Blackwell Publishing Ltd. United Kingdom. pp Utami, N Pengaruh Penambahan Kultur Yoghurt pada Media Susu Murni dan Susu Skim Cair terhadap Karakteristik dan Daya Simpan Yoghurt. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wahyudi, M Proses Pembuatan dan Analisis Mutu Yoghurt. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1, Teknisi Litkayasa Pelaksana pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. Winarno, F. G. dan S. L. B. Jenie Kerusakan Bahan Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G, Ahnan, W.W dan W. Widjajanto Flora Usus dan Yoghurt. MBrio Press. Bogor. Winarno, F. G. dan Fernandez, I. E Susu dan Produk Fermentasinya. Mbrio Press. Bogor. Yousef, A. E. dan V. K. Juneja Microbial Stress Adaptation and Food Safety. CRC Press. New York. Yuguchi, H. T. Goto dan S. Okonogi Fermented milk, Lactic Drinks and Intestinal Microflora. Di dalam: Y. Nakazawa and A. Hosono (Editors). Function of Fermented Milk: Challenge for The Health Science. Elsevier Applied Science. New York. 43

56 LAMPIRAN

57 Lampiran 1. Prosedur Analisa 1. Total Asam Tertitrasi (AOAC, 1995) Derajat asam adalah jumlah ml NaOH yang diperlukan untuk menetralkan 100 ml sampel dengan fenolftalein (PP) sebagai indikator. Jumlah asam laktat dalam susu dapat dihitung dengan cara titrasi menggunakan alkali dan indikator PP. Indikator PP berwarna putih dalam larutan asam dan merah pada basa, sedangkan dalam keadaan setimbang berwarna merah muda. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator PP 1%. Sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah muda yang tidak lenyap lagi sewaktu dihomogenkan. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam laktat (BM asam laktat = 90). % asam laktat = V NaOH x N NaOH x 1/10 x 90 V sampel 2. Uji Keberadaan Koliform (SNI , 1992) Uji keberadaan koliform diawali dengan membuat larutan pengencer berupa garam fisiologis (NaCl 0,85%) kemudian dimasukkan ke dalam tabung ulir sebanyak 9 ml. Garam fisiologis digunakan untuk membuat sampel dengan pengenceran 10-1, 10-2, dan Sebanyak masing-masing 1 ml pengenceran contoh 10-1 (1:10) dipipet dan dimasukkan ke dalam 3 tabung ulir yang berisi 5 ml Lactose Broth yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik. Dengan cara yang sama juga dilakukan terhadap pengenceran 10-2 (1:100) pada tiga tabung kedua dan 10-3 (1:1000) pada 3 tabung ketiga. Setiap pengenceran digunakan pipet yang baru dan steril. Semua tabung kemudian disimpan di dalam inkubator pada suhu 36±1 C selama 24 dan 48 jam. Setelah diinkubasi selama 24 jam, jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing pengenceran dicatat, sedangkan tabung yang tidak membentuk gas diinkubasi kembali pada suhu 36±1 C selama 24 jam. Jumlah tabung yang membentuk gas setelah inkubasi pada 24 jam kedua dicatat kembali. Tabung yang membentuk gas menunjukkan reaksi positif dan dapat diperlakukan untuk uji selanjutnya. Jumlah tabung-tabung yang positif atau menghasilkan gas pada uji lanjut ini akan menunjukkan angka indeks. Angka ini disesuaikan dengan Tabel APM untuk menentukan jumlah koliform yang paling mungkin ada di dalam sampel. Tabel APM koliform per 1 gram sampel dapat dilihat pada Tabel Perubahan Mutu Organoleptik Pengamatan sifat organoleptik dilakukan untuk mengetahui penurunan mutu organoleptik yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Pengamatan dilakukan terhadap penampakan, bau, rasa, dan konsistensi oleh penulis. Keadaan yoghurt disebut normal ketika keadaan yoghurt seperti pada SNI 2981 tahun 2009 mengenai yoghurt yaitu penampakannya berupa cairan kental padat, baunya normal/khas yoghurt, rasanya asam/khas yoghurt, dan konsistensinya homogen. Jika yoghurt sudah tidak memenuhi kriteria tersebut, maka dikatakan tidak normal. Jika salah satu segi sudah ada ketidaknormalan, maka lama penyimpanan saat pengamatan tersebut diduga sebagai umur simpan yoghurt simbiotik. 44

58 Tabel 13. APM/g Sampel apabila Menggunakan 3 Tabung untuk Setiap Tingkat Pengenceran 10-1 (0,1), 10-2 (0,01), dan 10-3 (0,001) g/ml Sampel. Tabung yang positif Tabung yang positif APM 0,1 0,01 0,001 0,1 0,01 0, < (SNI : Yoghurt) APM >

59 Lampiran 2. Hasil Analisis TAT Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan Suhu Kemasan Ulangan Hari ,287 1,539 1,746 1,863 HDPE 2 1,251 1,557 1,791 1,917 rata-rata 1,269 1,548 1,769 1,890 Ruang 1 1,287 1,521 1,845 1,989 PET 2 1,251 1,557 1,913 1,998 rata-rata 1,269 1,539 1,879 1, ,287 1,485 1,845 2,016 Gelas 2 1,251 1,494 1,800 2,007 rata-rata 1,269 1,490 1,823 2,012 Suhu Kemasan Ulangan Hari ,287 1,305 1,305 1,341 1,413 1,368 1,449 HDPE 2 1,251 1,337 1,355 1,287 1,359 1,436 1,431 rata-rata 1,269 1,321 1,330 1,314 1,386 1,402 1, ,287 1,274 1,373 1,386 1,382 1,395 1, C PET 2 1,251 1,278 1,310 1,346 1,409 1,413 1,467 rata-rata 1,269 1,276 1,341 1,366 1,395 1,404 1, ,287 1,341 1,319 1,409 1,476 1,440 1,413 Gelas 2 1,251 1,395 1,395 1,431 1,400 1,413 1,445 rata-rata 1,269 1,368 1,357 1,420 1,438 1,427 1,429 Suhu Kemasan Ulangan Hari ,287 1,413 1,233 1,602 1,458 1,728 1,616 HDPE 2 1,251 1,413 1,395 1,517 1,503 1,647 1,665 rata-rata 1,269 1,413 1,314 1,559 1,481 1,688 1, ,287 1,305 1,422 1,589 1,602 1,647 2, C PET 2 1,251 1,391 1,566 1,625 1,539 1,638 1,526 rata-rata 1,269 1,348 1,494 1,607 1,571 1,643 1, ,287 1,341 1,512 1,548 1,485 1,553 1,575 Gelas 2 1,251 1,395 1,476 1,512 1,494 1,607 1,584 rata-rata 1,269 1,368 1,494 1,530 1,490 1,580 1,580 46

60 Lampiran 3. Hasil Analisa Total Koliform Yoghurt Simbiotik selama Penyimpanan. Suhu Ruang Kemasan Hari HDPE 7 15 PET Gelas Suhu 2-4 C 7-9 C Kemasan Hari HDPE PET Gelas HDPE PET Gelas

61 Lampiran 4. Dokusmentasi Penelitian a. Kondisi Yoghurt Simbiotik selama penyimpanan pada suhu ruang Hari penyimpanan Jenis kemasan HDPE PET GELAS Keterangan : Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa seiring dengan lamanya penyimpanan pada suhu ruang, terjadi penggembungan botol karena adanya kontaminasi koliform yang menghasilkan asam dan gas (CO 2 dan H 2 ). 48

62 b. Kondisi yoghurt simbiotik selama penyimpanan pada suhu 2-4 ο C dan 7-9 ο C Hari penyimpanan Jenis kemasan HDPE PET Gelas s28 Keterangan : Pada suhu penyimpanan yang lebih rendah yaitu 2-4 C dan 7-9 C, terlihat penggembungan botol HDPE pada hari ke-28 penyimpanan. Sineresis (pemisahan whey) mulai terjadi pada hari ke-21 penyimpanan. 49

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Hampir semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita terdapat dalam susu. Susunan nilai gizi yang sempurna ini

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Yoghurt merupakan minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh mikroorganisme. Yoghurt telah dikenal selama ribuan tahun dan menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoghurt adalah poduk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat Lactobacillus bulgaricus dan Strepcoccus thermophilus, dengan atau tanpa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu TINJAUAN PUSTAKA Susu segar Susu adalah susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS Sifat-sifat fisis-mekanis kemasan yang digunakan untuk mengemas yogurt kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, dapat

Lebih terperinci

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995), es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau dari campuran susu, lemak hewani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu ialah cairan hasil sekresi yang keluar dari kelenjar susu (kolostrum) pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu ialah cairan hasil sekresi yang keluar dari kelenjar susu (kolostrum) pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Susu Susu ialah cairan hasil sekresi yang keluar dari kelenjar susu (kolostrum) pada dinding-dinding alveoli dalam pundi susu hewan yang sedang menyusui anaknya.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh:

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh: LAPORAN AKHIR PKM-P Formulasi dan Daya Terima Susu Fermentasi yang Ditambahkan Ganyong (Canna edulis. Kerr) sebagai Minuman Sinbiotik Serta Daya Hambatnya Terhadap Pertumbuhan E.coli. Oleh: Babang Yusup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah yang sehat dan bersih yang digunakan untuk bahan utama makanan yang sangat komplit. Susu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogurt adalah pangan fungsional yang menarik minat banyak masyarakat untuk mengkonsumsi dan mengembangkannya. Yogurt yang saat ini banyak dikembangkan berbahan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsumsi produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Produk-produk fermentasi dapat berbahan dari produk hewani maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu awal hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di Indonesia produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Hasil olahan fermentasi yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, dan (6) Hipotesis Penelitian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Masalah Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah pengembangan santan menjadi minuman susu kelapa. Santan kelapa sebagai bahan baku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010).

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras adalah salah satu jenis sereal yang dikonsumsi hampir satu setengah populasi manusia dan kira-kira 95% diproduksi di Asia (Bhattacharjee, dkk., 2002). Terdapat beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Yogurt adalah bahan makanan yang terbuat dari susu yang

I. PENDAHULUAN. Yogurt adalah bahan makanan yang terbuat dari susu yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogurt adalah bahan makanan yang terbuat dari susu yang difermentasikan oleh bakteri asam laktat. Yogurt mempunyai rasa yang unik yaitu mempunyai rasa asam dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuatan Yoghurt Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Pembuatan Yoghurt Page 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Protein sebagai salah satu komponen gizi yang dibutuhkan manusia. Protein ini dapat diperoleh dari bahan nabati ataupun hewani. Dari bahan hewani salahs atunya adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan antara bangsa-bangsa sapi asli Indonesia (Jawa dan Madura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia,

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari segala ciptaannya. Sekecilkecilnya makhluk ciptaannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yoghurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yoghurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Yoghurt Yoghurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijelaskan dalam firman-nya dalam surat al-baqarah ayat 168 sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. dijelaskan dalam firman-nya dalam surat al-baqarah ayat 168 sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik dari rizqi yang terdapat di bumi. Hal tersebut telah dijelaskan dalam firman-nya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogurt merupakan produk semi solid yang dibuat dari susu standarisasi dengan penambahan aktivitas simbiosis bakteri asam laktat (BAL), yaitu Streptococcous thermophilus

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mikroorganisme tersebar luas di alam seperti di udara, air, tanah, dalam saluran pencernaan hewan, pada permukaan tubuh dan dapat dijumpai pula pada pangan. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tempe merupakan produk pangan khas Indonesia berbahan kedelai yang diolah melalui fermentasi kapang Rhizopus oligosporus. Tempe sangat familiar dikalangan masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih (Brassica oleracea) merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dapat dipasarkan tanpa terpengaruh musim. Di Jawa Tengah,

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat dan Kegunaan Penelitian, Kerangka pemikiran, Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil olahan fermentasi sudah banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. Salah satu yang populer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pampekan, merupakan kerabat dekat durian yaitu masuk dalam genus Durio.

I. PENDAHULUAN. Pampekan, merupakan kerabat dekat durian yaitu masuk dalam genus Durio. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Durian Lay (Durio kutejensis) atau dikenal juga dengan sebutan Pampekan, merupakan kerabat dekat durian yaitu masuk dalam genus Durio. Buah durian lay tergolong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minuman Sinbiotik Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik atau eubiotik (Gourbeyre et al., 2010). Sinbiotik atau eubiotik adalah salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia telah banyak mengenal produk pangan fermentasi antara lain yang berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat

PENDAHULUAN. absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat banyak villi. Pada permukaan

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih merupakan bahan pangan yang banyak ditemukan di Indonesia dan sudah tidak asing bagi masyarakat. Kubis putih dapat hidup pada dataran tinggi salah satunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Whey Whey adalah hasil dari pembuatan keju secara tradisional ataupun modern dalam jumlah banyak yaitu ± 83% dari volume susu yang digunakan. Pembuatan semihard cheese dan soft

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Kita mengenal tempe, oncom, kecap, tahu, yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu. Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia

Lebih terperinci

TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL), KADAR LAKTOSA DAN KEASAMAN WHEY YANG DIFERMENTASI DENGAN Bifidobacterium bifidum PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA

TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL), KADAR LAKTOSA DAN KEASAMAN WHEY YANG DIFERMENTASI DENGAN Bifidobacterium bifidum PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL), KADAR LAKTOSA DAN KEASAMAN WHEY YANG DIFERMENTASI DENGAN Bifidobacterium bifidum PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh ANITA RAHMAWATI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali dijual olahan susu fermentasi, salah satunya adalah yoghurt. Yoghurt memiliki nilai gizi yang lebih besar daripada susu segar karena terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi. Jamur juga termasuk bahan pangan alternatif yang disukai oleh semua lapisan masyarakat. Salah satu jamur yang banyak

Lebih terperinci

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Status gizi merupakan salah satu penentu kualitas kesehatan manusia. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi buruk pada tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan minuman terhadap kesehatan, sehingga memicu berkembangnya produk-produk pangan yang memiliki

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteri Asam Laktat (BAL) Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri yang bersifat Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat atau batang serta memiliki kemampuan mengubah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam famili Brassicaceae, tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, yaitu pada ketinggian 800-2000 m di atas permukaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yoghurt merupakan proses fermentasi dari gula susu (laktosa) menjadi asam laktat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yoghurt merupakan proses fermentasi dari gula susu (laktosa) menjadi asam laktat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Yoghurt Yoghurt atau yogurt adalah produk yang dihasilkan melalui fermentasi bakteri pada susu. Berbagai jenis susu dapat digunakan untuk membuat yoghurt, tapi produksi yoghurt

Lebih terperinci

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan

Pembuatan Yogurt. 1. Pendahuluan Pembuatan Yogurt 1. Pendahuluan Yoghurt merupakan salah satu olahan susu yang diproses melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur organisme yang baik, salah satunya yaitu bakteri asam laktat. Melalui

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PEMBUATAN FORMULA YOGURT SINBIOTIK DAN PENGUKURAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI YOGURT SINBIOTIK Pembuatan yogurt sinbiotik dilakukan terhadap 4 formula berdasarkan kombinasi kultur

Lebih terperinci

SUSU FERMENTASI BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

SUSU FERMENTASI BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK PENGOLAHAN SUSU SUSU FERMENTASI Materi 12 TATAP MUKA KE-12 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, Maksud dan tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka Berpikir, Hipotesa penelitian dan Waktu dan tempat penelitian.

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing Segar

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing Segar 17 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing Segar Analisis sifat fisik dan kimiawi susu kambing segar sebagai bahan baku untuk pembuatan yogurt pada penelitian ini

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM

BAB I. PENDAHULUAN. bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik yang bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM merupakan penyebab

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manfaat bagi proses metabolisme tubuh karena mengandung berbagai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manfaat bagi proses metabolisme tubuh karena mengandung berbagai PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan salah satu produk pangan yang memiliki banyak manfaat bagi proses metabolisme tubuh karena mengandung berbagai nutrisi seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi buah tropis di Indonesia cukup beragam, salah satu buah yang dibudidayakan adalah buah nanas yang cukup banyak terdapat di daerah Lampung, Subang, Bogor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu adalah cairan yang dihasilkan dari sekresi kelenjar mammae hewan mamalia yang fungsi utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak hewan yang baru lahir.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1% dari total populasi bakteri. Populasi BAL,

I. PENDAHULUAN. manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1% dari total populasi bakteri. Populasi BAL, I. PENDAHULUAN Bakteri asam laktat (BAL) adalah salah satu mikroorganisme utama dalam saluran pencernaan manusia normal. Populasinya di dalam saluran pencernaan manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing (mamae) yang berasal dari pemerahan pada mamalia dan mengandung lemak, protein, laktosa, serta berbagai jenis vitamin (Susilorini,

Lebih terperinci

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani Agro inovasi Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yoghurt merupakan salah satu bentuk produk minuman hasil pengolahan susu yang memanfaatkan mikroba dalam proses fermentasi susu segar menjadi bentuk produk emulsi

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. permintaan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya kesadaran masyarakat Indonesia akan kebutuhan gizi dan bertambahnya tingkat pendapatan mayarakat, menyebabkan permintaan bahan pangan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produk probiotik diharapkan mengandung sel probiotik hidup dalam jumlah tertentu, namun aktivitas metabolismenya diharapkan tidak menyebabkan perubahan pada produk

Lebih terperinci

adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan Bakteri probiotik merupakan bakteri baik yang dapat memberikan keseimbangan

adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan Bakteri probiotik merupakan bakteri baik yang dapat memberikan keseimbangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu produk pangan fungsional yang banyak dikembangkan saat ini adalah produk pangan dengan menggunakan bakteri probiotik. Produk pangan probiotik merupakan produk

Lebih terperinci

Susu segar-bagian 1: Sapi

Susu segar-bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Susu segar-bagian 1: Sapi ICS 67.100.01 Badan Standardisasi Nasional Copyright notice Hak cipta dilindungi undang undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN

LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN Lactobacillus sp. DAN Streptococcus sp. DENGAN VARIASI SUKROSA DAN POTONGAN BUAH MANGGA Optimization of Manufacturing

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR SILVI DIANA SHOFI L0C

TUGAS AKHIR SILVI DIANA SHOFI L0C TUGAS AKHIR Pengaruh Suhu dan ph Dalam Pembuatan Minuman Probiotik Sari Buah Nanas (Ananas Comosus) Dengan Starter Lactobacillus Bulgaricus Menggunakan Alat Fermentor ( The Influence of Temperature and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan susu segar sebagai bahan dasarnya, karena total padatan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan susu segar sebagai bahan dasarnya, karena total padatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini banyak sekali minuman fermentasi yang dijual dipasaran, salah satunya yoghurt. Yoghurt mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan susu segar sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

Susu Fermentasi dan Yogurt

Susu Fermentasi dan Yogurt Susu Fermentasi dan Yogurt A. TUJUAN PRAKTIKUM Mengetahui dan mampu melakukan proses fermentasi pada produk susu B. PENDAHULUAN Susu segar mengandung berbagai komponen zat gizi lengkap yang sangat bermanfaat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat dari kombinasi produk-produk susu, gula, dengan atau tanpa telur, dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat dari kombinasi produk-produk susu, gula, dengan atau tanpa telur, dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Es Krim Menurut Arbuckle (1986) es krim sebagai produk makanan beku yang dibuat dari kombinasi produk-produk susu, gula, dengan atau tanpa telur, dengan atau tanpa penambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan tentang gizi mendorong orang untuk mendapatkan bahan pangan yang sehat dan berkualitas agar dapat diandalkan untuk meningkatkan dan memenuhi

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Kefir adalah susu yang difermentasi dengan Kefir Grains yang terdiri dari berbagai jenis bakteri asam laktat dan ragi. Kefir, sejenis susu fermentasi yang terbuat dari bakteri hidup.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon.

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon. 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya peningkatan konsumsi masyarakat akan daging dan bergesernya pola konsumsi masyarakat dari mengkonsumsi daging segar menjadi daging olahan siap konsumsi menjadi

Lebih terperinci

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat, kebutuhan produk pangan sumber protein terus meningkat. Produk

Lebih terperinci

Pengaruh waktu dan Nutrien dalam pembuatan yoghurt dari susu dengan starter plain Lactobacillus Bulgaricus menggunakan alat fermentor

Pengaruh waktu dan Nutrien dalam pembuatan yoghurt dari susu dengan starter plain Lactobacillus Bulgaricus menggunakan alat fermentor TUGAS AKHIR Pengaruh waktu dan Nutrien dalam pembuatan yoghurt dari susu dengan starter plain Lactobacillus Bulgaricus menggunakan alat fermentor ( The Influence of Time and Nutrient in The Manufacture

Lebih terperinci

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengenalan Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis Amerika. Ubi jalar dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak abad II sebelum Masehi susu kedelai sudah dibuat di negara Cina, dan kemudian berkembang ke Jepang. Setelah Perang Dunia II baru berkembang ke Asia Tenggara.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK YOGHURT TERSUBTITUSI SARI BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA-BEDA

KARAKTERISTIK YOGHURT TERSUBTITUSI SARI BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA-BEDA KARAKTERISTIK YOGHURT TERSUBTITUSI SARI BUAH NAGA (Hylocereus polyrhizus) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA-BEDA Muhammad Saeful Afwan 123020103 Pembimbing Utama (Ir. H. Thomas Gozali,

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR TUGAS AKHIR PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR (MANUFACTURE OF COW S MILK YOGHURT WITH THE HELP OF MICROORGANISMS IN PLAIN YOGHURT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan pengetahuan tentang pangan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan telah meningkatkan minat masyarakat terhadap pangan fungsional. Pangan fungsional

Lebih terperinci

TEKNOLOGI FERMENTASI PANGAN. Agroindustrial Departement, Faculty of Agricultural Technology, Brawijaya University

TEKNOLOGI FERMENTASI PANGAN. Agroindustrial Departement, Faculty of Agricultural Technology, Brawijaya University TEKNOLOGI FERMENTASI PANGAN Agroindustrial Departement, Faculty of Agricultural Technology, Brawijaya University SEJARAH FERMENTASI Berasal dr bahasa latin fervere artinya adalah merebus (to boil) Terkait

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan. kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus

PENDAHULUAN. Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan. kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus PENDAHULUAN Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan manfaat kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus mampu menunjang aktivitas manusia. Produksi produk pangan

Lebih terperinci