RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut"

Transkripsi

1 SINTESIS HASIL LITBANG RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi evlap_p3kr@yahoo.co.id web :

2

3 EXECUTIVE SUMMARY RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut memiliki lima komponen riset yaitu: (5.1.) Klasifikasi Tipologi dan Sebaran HRG; (5.2.) Teknologi Rehabilitasi HRG Terdegradasi; (5.3.) Informasi Adaptasi Fenologi Jenis Pohon HRG; (5.4.) Alternatif Pengelolaan HRG Dengan Pola Partisipatif; dan (5.5.) Dampak Deforestasi HRG Terhadap Emisi GRK. Kegiatan RPI 5 dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh Singkil, HLG Londerang, Jambi, HRG Sumsel, HRG Sebangau, Kalteng, KHDTH Tumbang Nusa, Kalteng, dan HRG Papua. RPI 5 dilaksanakan oleh lima unit kerja Badan Litbang Kehutanan yaitu: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, Balai Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTKSDA) Samboja, dan BPK Manokwari. Dari serangkaian riset selama 5 tahun ( ), RPI 5 telah menghasilkan beberapa capaian berupa data, informasi dan rancangan IPTEK. Terkait dengan Luaran 5.1. Tim riset RPI 5, telah memperoleh data sebaran dan tipologi HRG di Sumatera dan Kalimantan. Data dari Papua belum dapat ditampilkan karena masih memerlukan klarifikasi di lapangan. Klasifikasi tipologi HRG difokuskan pada penyusunan kriteria dan indikator untuk HRG terdegradasi, serta kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan konservasi flora dan fauna. Kriteria dan indikator hutan gambut terdegradasi yang diusulkan disajikan berikut ini : Ekosistem gambut yang masih baik dengan indikator: a. kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih tertutup tanaman keras alami; b. kedalaman muka air tanah di musim kemarau dibawah 100 cm; c. bersifat hidrofilik dengan ph 4; d. serta nilai redoks potensial < 200 (mv). Ekosistem gambut terdegradasi dengan indikator : a. tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; b. kedalaman muka air tanah 100 cm; c. bersifat hidrofobik dengan ph < 4; d. serta nilai redoks potensial 200 (mv). Atas dasar tutupan vegetasinya, ekosistem gambut terdegradasi selanjutnya dikelompokkan menjadi : a. terdegradasi ringan, dimana masih terdapat jenis pohon pioneer dan jenis pohon klimax; b. terdegradasi sedang, masih tersisa jenis pohon pioneer; c. terdegradasi berat, tidak tersisa jenis pioneer maupun jenis klimax. Dari ex PLG Kalteng diusulkan kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan konservasi flora dan fauna. Rancangan kriteria dan indikator yang diusulkan mencakup empat komponen yaitu: 1. Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17 Indikator, 2. Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator, 3. Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5%) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan, Mata Pencaharian, Pendapatan dan Penduduk) dan empat indikator, i

4 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah melakukan penelitian tiga topik riset terkait rehabilitasi yaitu: (1) uji jenis pohon potensial; (2) uji implementasi pola rehabilitasi; dan (3) uji penambatan kanal. Riset rehabilitasi dilakukan di HRG Jambi, Sumsel dan Kalteng. Sebanyak 52 jenis pohon potensial yang dikelompokan sebagai berikut: 15 jenis pohon lokal HRG, 25 jenis keluarga dipterokarpa, 7 jenis pohon cepat tumbuh non gambut, dan 3 jenis pohon penghasil bio-diesel telah diuji di lahan gambut terdegradasi. Pola rehabilitasi yang diuji adalah: (a) Percepatan suksesi alam (plot uji di HLG Sei Buluh, Jambi). (b) Rehabilitasi dengan minimum input manajemen lahan (plot uji di CKPP Taruna Jaya Kalteng). (c) Rehabilitasi dengan optimum input manajemen lahan (plot uji di area PT WKS Jambi). Hasil sementara uji rehabilitasi di Jambi dan Sumsel mengindikasikan bahwa penanaman pada lahan gambut tanpa pengaturan tata air dan pembebasan gulma yang intensif akan menekan tingkat survival dan pertumbuhan tanaman. Di sisi lain, pengelolaan HRG dengan sistim drainase, meningkatkan survival dan pertumbuhan pohon, namun diindikasikan terjadi penurunan permukaan lahan (subsiden). Penurunan permukaan lahan di HRG dengan drainase di Sumsel sebesar 17 cm/tahun. Upaya penambatan kanal dinilai belum efektif dalam mempertahankan muka air tanah pada kondisi ideal. Pada tahun 2013 dan 2014 plot uji di HLG Londerang, Jambi dan KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng terbakar. Plot uji penanaman yang masih utuh ada di PT. WKS Jambi dan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Terkait luaran 5.3., dari pengamatan selama dua tahun (2010 dan 2011) telah diperoleh data fenologi dari 28 jenis pohon HRG di dua lokasi yaitu HRG Senepis, Riau dan HRG Tumbang Nusa, Kalteng. Data ini baru dapat dimanfaatkan untuk memprediksi musim berbunga dan berbuah jenis HRG. Sedangkan untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim, pengamatan harus dilakukan pada jangka panjang (minimum 10 tahun). Terkait luaran 5.4., konsep pengelolaan HRG dengan pola partisipatif dikaji di KHDTK Tumbang Nusa dan TN Sebangau, Kalteng. Di KHDTK Tumbang Nusa, masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan HRG bekas terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan pola penanamannya. Pohon yang akan dikembangkan dalam kegiatan rehabilitasi didasarkan pada preferensi dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan konservasi. Namun demikian pola kolaborasi ini amat ditentukan oleh sosial budaya masyarakat setempat. Oleh sebab itu riset serupa masih perlu dilakukan pada berbagai kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif. Terkait luaran 5.5., riset deforestasi HRG dan kaitannya dengan emisi GRK yang dilakukan di Kabupaten Katingan Kalteng, telah memformulasikan persamaan allometrik pendugaan cadangan biomas. Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa yang selanjutnya dikonversi menjadi serapan CO 2. ii

5 Hasil perhitungan menunjukan bahwa serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO 2 e/ha/thn. Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO 2 e/ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden), atau ada surplus serapan karbon sebesar 10 ton CO 2 e/ha/thn. Hasil serupa juga ditunjukan pada riset lanjutan yang dilakukan di lahan gambut Kabupaten Katingan pada HRG dengan sistim drainase (kanal). Serapan CO 2 pada tutupan hutan yang terdegradasi karena adanya drainase adalah sebesar 41,74 ton CO 2 e/ha/th. Dilihat dari emisinya, tutupan hutan ini mengemisikan CO 2 sebesar 30,79 ton/ha/th, atau lebih tinggi sebesar sekitar 20 ton CO 2 e/ha/th dibanding HRG tanpa drainase. Di sisi lain tingginya emisi karbon masih diimbangi dengan surplus resapan sebesar 11 ton CO 2 e/ha/th. Target penurunan emisi di Kabupaten Katingan akan dapat ditempuh melalui penambatan kanal, penanggulangan kebakaran gambut, percepatan rehabilitasi, dan pemanfaatan gambut terdegradasi dengan memperhatikan aspek ekologi gambut. Strategi rehabilitasi HRG terdegradasi didasarkan pada tingkat kerusakan dan status kawasannya. Adapun pola rehabilitasi dan jenis lokal HRG yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : 1. Pada HRG dengan tingkat kerusakan ringan, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola percepatan suksesi alam, 2. Pada HRG dengan tingkat kerusakan sedang, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola minimum input manajemen lahan, 3. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Produksi, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan. Penanaman dapat menggunakan jenis asli HRG ataupun jenis pohon cepat tumbuh non gambut, 4. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Konservasi dan Hutan Lindung, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan, panambatan kanal dan penanaman menggunakan jenis pioneer dan klimaks asli HRG. 5. Jenis lokal HRG yang direkomendasikan untuk upaya rehabilitasi adalah: untuk kelompok jenis pioneer: Dyera lowii, Crotoxylon arborescens, Combretocarpus rotundatus dan Melaleuca leucadendron; untuk jenis klimaks yang direkomendasikan adalah: Shorea balangeran, Vatica rassak, Alseodaphne sp. dan Gonystylus bancanus. Kata Kunci : Hutan Rawa Gambut (HRG), tipologi HRG, rehabilitasi, fenologi, pola partisipatif, degradasi hutan, emisi gas rumah kaca (GRK) dan serapan karbon. iii

6

7 KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun , Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun (Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 35 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan memperoleh IPTEK pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Sampai dengan akhir 2014, ke 35 kegiatan penelitian tersebut telah dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, BPK Manokwari, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber daya Alam Samboja. Output ke 35 kegiatan penelitian tersebut kemudian disintesis untuk melihat kemajuan/capaian kinerja RPI, dan menilai apakah kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras (in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun Dalam Buku Sintesis RPI Tahun ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk informasi ilmiah dan teknologi diantaranya, produk purangpos untuk rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar, informasi tipologi dan sebaran HRG, paket teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi, pola pembungaan dan pembuahan 28 jenis pohon HRG, bentuk kelembagaan dengan pola partisipatif, serta dampak-dampak deforestasi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis akhir RPI ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline data dalam kegiatan-kegiatan litbang yang akan datang di bidang HRG. Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP v

8

9 TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5 KOORDINATOR : Dr. Ir. Herman Daryono Sub Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc PELAKSANA : Puskonser BPK Aek Nauli : Dr. Taulana Sukandi, M.Sc Dr. I Wayan Susi Darmawan, M.Si Ir. Atok Subiakto, M.App Ir. Sukaesih Pradjadinata, M.Sc Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si Mawazin, SSi Budi Narendra, S.Hut, MS : Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut BPK Banjarbaru : Triwira Yuwati, S.Hut., M.Sc Ir. Sudin Panjaitan BPK Manokwari : Ir. David Seran (Alm) Dr. Pudja Mardi Utomo, MP BPK Palembang Balitek KSDA Samboja : : Ir. Bastoni, M.Sc Adi Kunarso, S.hut., M.Sc Ardianto Wahyu Nugroho, S.Hut vii

10

11 DAFTAR ISI Hal. EXECUTIF SUMMARY... i KATA PENGANTAR... v TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 1 C. Metode Sintesis Antara... 3 D. Luaran... 3 E. Pelaksana... 3 II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN RAWA GAMBUT (RPI 5.1.)... 3 A. Pendahuluan... 3 B. Kegiatan Litbang... 4 C. Hasil Penelitian Tahun III. TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI (RPI 5.2.)... 9 A. Pendahuluan... 9 B. Kegiatan Litbang C. Hasil Penelitian IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG (RPI 5.3.) A. Pendahuluan B. Kegiatan Litbang C. Hasil Penelitian V. ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA PARTISIPATIF (RPI 5.4.) A. Pendahuluan B. Kegiatan Litbang C. Hasil Penelitian VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) (RPI 5.5.) A. Pendahuluan B. Kegiatan Litbang C. Hasil Penelitian VII. SINTESIS A. Klasisfikasi Tipologi dan Sebaran HRG (RPI 5.1.) B. Teknologi Rehabilitasi HRG (RPI 5.2.) C. Adaptasi Fenologi Jenis-jenis HRG (RPI 5.3.) D. Alternatif Pengelolaan HRG dengan Pola Partisipatif (RPI 5.4) E. Dampak Deforestasi HRG terhadap Penurunan Emisi 26% (RPI 5.5.) ix

12 DAFTAR ISI (lanjutan) Hal. VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA x

13 DAFTAR TABEL Tabel Hal. 1. Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan lahan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan dan agroforest di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011) Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim drainase Serapan karbon pada tiga kondisi HRG terdegradasi xi

14

15 DAFTAR GAMBAR 1. S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka) di kawasan PT WKS, Jambi a. Penyebaran petak pengamatan studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi petak pengamatan) b. Taman Nasional Sebangau. Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa Tumbang Hiran (sumber: BTN Sebangau, 2013) Penyebaran kelas diameter di tiga tipe hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 = hutan terbakar ringan tahun 1997; HT04 = hutan terbakar sedang tahun 2004) Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi Hal. xiii

16

17 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan rawa gambut (HRG) Indonesia merupakan kawasan hutan dengan ekosistem unik yang luasnya 20,2 juta Ha atau sekitar 15% dari luas kawasan hutan Indonesia yang saat ini tersisa sekitar 133,7 Ha. HRG tersebar di beberapa kepulauan yaitu Sumatera (6,4 juta Ha), Kalimantan (4,8 juta Ha) dan Papua (3,7 juta Ha). HRG merupakan kawasan hutan lahan basah (wetland) dengan lantai hutan berupa timbunan bahan organik yang merupakan stok karbon yang tinggi. HRG merupakan sumberdaya lahan dan hutan dengan potensi ekonomi yang tinggi baik dari potensi hasil hutan, stok karbon dan kandungan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Di samping potensi ekonomi, HRG juga merupakan kawasan yang yang memiliki kemampuan penyerapan karbon tinggi. Potensi serapan karbon pada HRG ditaksir sebesar 200 tc/ha (Agus, 2007). HRG juga merupakan habitat dari banyak satwa dilindungi seperti harimau, gajah, bekantan, dll. Walaupun potensi ekonomi HRG yang tinggi, di sisi lain ekosistem HRG sangat rentan terhadap perubahan lingkungan akibat proses pemanfaatan lahan.karakteristik umum lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik yang tinggi, ph yang rendah, Nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah, sehingga tingkat kesuburannya rendah. Kondisi ini yang belum banyak dipahami baik oleh penentu kebijakan maupun masyarakat yang ingin memanfaatkan kawasan HRG. Akibat kekeliruan dalam pemanfaatan HRG, banyak terjadi kerusakan pada kawasan HRG. Oleh sebab itu, HRG merupakan ekosistem yang unik namun rentan, sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana. Akibat kebijakan dalam pemanfaatan HRG yang tidak mempertimbangkan faktor ekologi HRG, hampir 50% HRG telah terdegradasi sehingga potensi ekonomi dan fungsi lingkungannya menghadapi masalah dan tantangan yang harus ditangani pemerintah dengan bijak pula. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan HRG, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian ijin baru dan tata kelola hutan dan lahan gambut yang lebih dikenal dengan Moratorium Gambut. Badan Litbang Kehutanan juga telah menetapkan aspek HRG menjadi salah satu RPI dari tahun 2010 sampai dengan B. Rumusan Masalah Kondisi ekonomi yang stabil dengan pertumbuhan ekonomi pertahunnya sebesar 4-6% mendorong berkembangnya investasi di berbagai sektor, termasuk sektor yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Di sisi lain, perkembangan jumlah penduduk sebesar 3% pertahun juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan sebagai sumber kehidupan. Salah satu tipe lahan yang banyak mendapat tekanan untuk dikonversi adalah HRG. Tekanan terhadap HRG yang puncaknya terjadi pada tahun 1995 dengan diluncurkannya proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar untuk lahan pertanian. Dewasa ini sekitar 50% kawasan HRG atau sekitar Ha telah mengalami kerusakan, dan tekanan terhadap HRG masih terus berlangsung. Pengelolaan HRG Sintesis

18 memerlukan informasi terkini tentang tipologi dan sebaran HRG yang terletak mulai dari Indonesia Bagian Barat (Aceh) sampai Indonesia Bagian Timur (Papua). Minimnya informasi terkait informasi kondisi tipologi dan sebaran HRG dijadikan komponen litbang pertama pada RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan HRG sebagai lahan untuk produksi berbagai komoditas pertanian. Pemanfaatan HRG oleh masyarakat sekitar hutan diawali dengan pembukaan lahan yang umumnya dengan tebas bakar. Masalah kebakaran hutan merupakan masalah tahunan yang yang sudah menjadi isu internasional. Kawasan HRG yang terbakar dikelompokan dalam tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah. Seperti diketahui bahwa hutan gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran hutan dan mudah mengalami kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman, defisiensi unsur hara, subsidence dan peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008; Barchia, 2006; Wibisono et al., 2005; Najiyati et al., 2005; Limin, 2004). Berbeda dengan hutan alam lahan kering, tingkat kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan oleh kerusakan HRG lebih tinggi dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan sebagian masyarakat untuk berpartisipasi penanaman dengan menggunakan jenis pohon asli setempat. Masyarakat menilai bahwa jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang tidak perlu ditanam karena alam telah menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap dapat mengusahakan lahan gambut dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari jenis pohon hutan mereka lebih memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat transmigran). Pemilihan jenis menjadi isu penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis terpilih harus memiliki kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat. Aspek rehabilitasi HRG bekas terbakar menjadi komponen kedua dalam RPI 5. Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al., 2005; Daryono, 2000; Soerianegara dan Lemmens, 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Namun benih dan bibit jenis andalan HRG mulai sulit diperoleh. Kelangkaan benih dan bibit diindikasikan akibat adanya perubahan iklim. Masalah kelangkaan benih dan bibit, menjadi salah satu komponen dalam RPI 5 yang berjudul adaptasi fenologi jenis-jenis pohon HRG. Salah satu komponen stakeholder HRG adalah masyarakat sekitar hutan. Komunitas ini hidupnya bergantung dari lahan HRG, sehingga masyarakat sekitar hutan seringkali menjadi penyebab kerusakan HRG karena kegiatan pembukaan lahan yang seringkali diperparah dengan menggunakan api. Agar HRG dapat dikelola secara lestari, maka masyarakat disekitarnya harus ikut dilibatkan dan dapat memanfaatkan HRG secara bijaksana. Komponen ke empat dalam RPI 5 adalah litbang pengelolaann HRG dengan pola partisipatif. Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Komponen 5 Sintesis

19 pada RPI 5 adalah litbang dampak deforestasi HRG dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26%. C. Tujuan dan Sasaran Tujuan RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut (RPI 5) adalah mendapatkan IPTEK pengelolaan HRG secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Sasaran penelitian integratif ini adalah agar tersedia informasi dan data, serta paket teknologi yang diperlukan dalam pengelolan HRG meliputi: 1. Data dan informasi mengenai tipe dan sebaran HRG terdegradasi; 2. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi biofisik hutan; 3. Tersedia data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG; 4. Tersedia data dan informasi pencegahan dan pengendalian kebakaran HRG; 5. Tersedia data dan informasi pola pembungaan dan pembuahaan jenis-jenis HRG; 6. Tersedia data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif; 7. Tersedia data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK; D. Luaran RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut mencakup lima luaran, yang menjadi komponen peneltian pada RPI 5 untuk meyediakan : 1. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi biofisik hutan; 2. Data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi; 3. Data dan informasi pola pembungaan dan pembuahan jenis-jenis HRG; 4. Data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif; 5. Data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK; E. Pelaksana Pelaksanaan komponen penelitian RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Puskonser dan lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan yaitu: 1. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi 2. Balai Penelitiaan Kehutanan Aek Nauli 3. Balai penelitian Kehutanan Palembang 4. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 5. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja 6. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Sintesis

20 II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN RAWA GAMBUT (RPI 5.1.) A. PENDAHULUAN Degradasi Hutan Rawa Gambut (HRG) disebabkan oleh beragam faktor, antara lain penebangan ilegal, penjarahan, kebakaran hutan, perambahan liar, banjir, tsunami dan lainnya. Perbedaan faktor penyebab tersebut mempengaruhi karakteristik dan tipologi lahan dan vegetasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Tipe dan karakteristik rawa gambut dataran rendah tentu juga akan berbeda dibandingkan lahan gambut dataran tinggi. Oleh karenanya untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi rawa gambut diperlukan informasi yang tepat dan spesifik mengenai karakteristik biofisik dan tipologi rawa gambut yang telah terdegradasi. Informasi ini akan menjadi landasan ilmiah dalam penyusunan beragam kriteria dan indikator hutan rawa gambut yang tedegradasi untuk diaplikasikan pada penetapan kebijakan pada suatu kawasan sesuai dengan fungsinya. Sampai saat ini kondisi penutupan lahan gambut belum seluruhnya diketahui, bahkan informasi luas HRG di Indonesia beragam. Agar luas dan kondisi penutupan HRG dapat diperoleh secara akurat, maka perlu dilakukan kegiatan invetarisasi HRG pada masingmasing kawasan di Indonesia. Mengingat karakteristik HRG yang berbeda dengan hutan lahan kering, inventarisasi dengan sistim sensus tidak mudah dilakukan. Cara yang lebih praktis dalam inventarisasi adalah dengan penafsiran citra satelit, namun harus diikuti ground check dengan jumlah sampling yang memadai. Pada kawasan yang dibebani hak pengelolaan (IUPHHK), kegiatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan IHMB. B. KEGIATAN LITBANG 1. Review Kondisi Biofisik HRG di Sumatera Bagian Utara Karakteristik biofisik dan lingkungan Hutan Rawa Gambut yang diukur adalah: (a) Ketebalan Gambut; (b) Aras Air Tanah; (c) Penurunan Tanah dan (d) Pengukuran tambahan lainnya. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada tiga kelompok hutan rawa gambut yakni : (1) Kelompok rawa gambut Bakongan dan (2) Trumon di Kabupaten Aceh Selatan dan (3) Kelompok hutan rawa gambut Singkil di Aceh Singkil. Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut No. Lokasi Titik Ikat Deskripsi Singkat Lokasi 1. Desa Ujung N ,9 - Ditemui gambut dengan kedalaman 4,60 m; Padang E ,6 - Suhu di lokasi 38,22 0 C dengan kelembaban 65,69 %; Kecamatan Kluet - Hasil diskusi dengan masyarakat setempat mengatakan Selatan bahwa pada tahun 1974 lokasi ini masih berupa hutan lebat, lalu HPH masuk tahun 1975 dan membuka hutan rawa gambut, kini yang tersisa adalah lahan yang 2. Desa Ujung Mangki Kec. Bakongan N ,8 E ,8 terbuka dan alang-alang serta pakis. - Ketebalan gambut tidak terlalu tebal yaitu 90 cm; - Suhu 35,50 0 C dan kelembaban 61,20%. - Beberapa asosiasi yang ditemukan adalah pakis, melastoma dan perdu-perduan. Sintesis

21 No. Lokasi Titik Ikat Deskripsi Singkat Lokasi 3. Desa Ujung N ,9 - Kedalaman gambut 2,70 m; Padang E ,0 - Suhu di lokasi 36,44 0 C, dengan kelembaban 64,21%; Kecamatan - Asosiasi yang ditemukan: beberapa perdu. Bakongan - Lokasi ini sebelumnya hutan lebat, sejak 3 tahun yang lalu dibuka. Saat ini tidak ada pohon yang tersisa. 4. Desa Ujong Tano Kec. Trumon 5. Desa Pinto Rimba Kec. Trumon N 02 o E 97 o N 02 o E 97 o Desa Kuala Baru N 02 o E 97 o Desa Caritas N 02 o 18 5 E 97 o Desa Batang N 02 o Desa Pulo SarokKec. Singkil 10. Desa Ujung Bawang Kec. Singkil E 97 o N 02 o E 97 o N 02 o E 98 o Ketebalan gambut cm; - Vegetasi didominasi akar-akaran, perdu dan pakis. - Ketebalan gambut cm; - Vegetasi didominasi akar-akaran dan pakis. - Ketebalan gambut cm; - Sebagian besar pohon dan vegetasi lainnya mati akibat limpasan air laut pada saat tsunami. - Ketebalan gambut cm. - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Ketebalan gambut cm; - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Pembuatan kanal untuk drainase akan membuat subsiden yang cukup besar. - Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring. - Ketebalan gambut cm; - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya tersisa pakispakisan; - Terjadi subsiden (penurunan permukaan tanah hingga 150 cm akibat gempa bumi).; - Perubahan salinitas mengakibatkan banyak vegetasi pohon pada hutan rawa gambut dan mangrove mati. - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Pembuatan kanal untuk drainase akan menyebabkan subsidensi yang cukup besar. - Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring. 2. Review Tipe dan Sebaran HRG di Sumatera Bagian Utara Kegiatan ini dilakukan dengan memadukan pendekatan analisis citra satelit dan survey pengukuran lapangan pada berbagai tipe dan kondisi hutan rawa gambut. Hasil analisa citra satelit Landsat MSS-5 (Multi Spectral Scanner) rekaman tahun 1990 (Wahjunto et al., 2005) digunakan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di wilayah lahan gambut Pulau Sumatera pada masa lalu. Citra satelit Landsat Thematic Mapper-7 (TM-7) di daerah Sumatera hasil rekaman tahun 2010 dianalisis untuk identifikasi informasi penyebaran dan ketebalan gambut melalui analisis penggunaan lahan pada saat ini (existing land-use) sebagai pedoman dalam menentukan sebaran dan luasan total lahan gambut Sumatera, tetap mengacu pada data/informasi tipe, sebaran dan ketebalan gambut hasil kajian tahun Citra satelit Landsat Thematic Mapper-7 (TM-7) hasil rekaman tahun juga digunakan untuk identifikasi dan inventarisasi penyebaran lahan gambut. Sintesis

22 3. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di HRG ex PLG Kalteng Penelitian ini bertujuan untuk menyusun Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator (RPKI) kawasan konservasi flora dan fauna pada HRG di areal eks PLG Kalteng. Sasaran penelitian untuk Tahun 2012 adalah tersedianya data dan informasi hasil penentuan Nilai Total K&I (NTKI) dan hasil pengujiannya. Penelitian dilakukan di sekitar Camp Release dan sekitar Camp Bagantung. Kedua lokasi tersebut berada di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Metode survey digunakan untuk pengumpulan data primer dengan rincian sebagai berikut: 1. Pembuatan jalur transek dan/atau penentuan titik secara purposive berdasarkan keterwakilannya dilakukan untuk pengumpulan data vegetasi dan satwa. 2. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan. Responden dan nara sumber ditentukan secara purposive berdasarkan keterwakilannya. 4. Klasifikasi Tipologi dan Sebaran Hutan Rawa Gambut Berdasarkan Kondisi Biofisik Hutan di Papua Provinsi Papua sendiri memiliki lebih dari 10 juta ha lahan gambut, namun informasi terkait tipologi, sebaran dan kondisi biofisiknya masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hutan rawa gambut seperti tipologi, karakteristik dan sebaran hutan rawa gambut di tanah Papua. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2012 s/d November 2012 di Kabupaten Sarmi dan dilakukan kembali pada bulan November Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan cara survey areal yang berpotensi memiliki gambut. Selanjutnya dilakukan pencatatan jenis dan tipe vegetasi yang ada dan dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisa. C. HASIL PENELITIAN TAHUN Sebaran dan Kondisi Biofisik HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Sebaran utama hutan rawa gambut (HRG) ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Di pulau lain seperti Sulawesi juga ada HRG namun jumlahnya kurang dari 2% dari total luas HRG di Indonesia. Luas dan sebaran HRG untuk masing-masing pulau utama disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Parameter Sumatera Kalimantan Papua Luas 7,2 juta Ha 6,5 juta Ha 10,9 juta Ha Sebaran Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Papua Barat, Papua Bagian Tengah dan Papua Bagian Selatan Kondisi HRG sekunder terdegradasi HRG sekunder terdegradasi HRG perawan, HRG Sintesis

23 Parameter Sumatera Kalimantan Papua ringan dan berat ringan dan berat sekunder terdegradasi Kedalaman cm cm cm Jenis pohon klimaks Jelutung, ramin, meranti, punak, perepat, gelam, beriang Jelutung, ramin, meranti, balangeran, perupuk, gerunggang Pulai, terentang, nyatoh, merbau, gempol, akasia, sagu Periode genangan 9 12 bulan 3 12 bulan 4 12 bulan Papua merupakan pulau yang memiliki kawasan HRG terluas di Indonesia. Kondisi hutannya pun relatif lebih baik dibandingkan HRG yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan HRG di papua relatif masih lebih rendah dibandingkan di Sumatera dan Kalimantan. Komposisi jenis pohon klimaks HRG di Papua berbeda dengan yang ada di Sumatera dan Papua. Perbedaan vegetasi di Indonesia bagian Barat (Sumatera dan kalimantan) dan Indonesia bagian Timur (Papua) akibat sejarah evolusi dan geologi lempeng bumi yang secara imaginer dipisahkan oleh garis Wallace. Berdasarkan ketebalannya, gambut dalam (> 2 meter) mendominasi lahan rawa gambut di Sumatera (46%) dan Kalimantan (49%). Sedangkan di Papua, gambut dangkal dan sedang (< 2 meter) adalah yang terluas (88%). 2. Kondisi Kimia Tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Tingkat kesuburan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan relatif rendah dengan keasaman yang tinggi. Data lahan gambut di Papua belum dapat disajikan karena masih memerlukan klarifikasi lapangan. Kandungan bahan organik lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cukup tinggi (> 18%), namun kandungan mineralnya sangat rendah sampai sedang, seperti ditunjukan dari pada Tabel 3. Konsekuensi dari kondisi ini, perubahan fungsi HRG menjadi perkebunan akan memerlukan biaya tinggi untuk pengolahannya. Tabel 3. Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Parameter Sumatera Kalimantan Papua ph (H 2 O) 3,3 3,5 3,3 4,2 n.a. C-org (%) 18,3 61,9 23,0 57,3 n.a. N-total (%) 0,5 0,7 0,6 1,2 n.a. P-total (ppm) 11,6 13,5 18,0 38,8 n.a. Pyrite (ppm) n.a. 103,0 237,1 n.a. Ca (me/100g) 3,3 6,2 1,3 29,2 n.a. Mg (me/100g) 2,0 2,7 1,4 3,5 n.a. K (me/100g) 0,2 0,7 0,1 0,3 n.a. Na (me/100g) 0,4 0,7 0,1 0,9 n.a. KTK (me/100g) 58,8 73,8 96,4 153,9 n.a. KB (%) 7,5 28,0 4,0 29,0 n.a. Tanah HRG di Sumatera dan Kalimantan bersifat masam. Tingginya keasaman lahan selalu diikuti dengan tingginya nilai tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Demikian pula tanah HRG ini mengandung pirit. Kadar C-organik umumnya > 20%. Hasil analisis menunjukkan terjadinya peningkatan nilai sifat kimia tanah gambut pada lahanlahan pertanian yang dikelola intensif. Peningkatan tersebut terutama pada lapisan permukaan, kecuali kadar C-organik, kemudian menurun dengan kedalaman tanah. Sintesis

24 Dinamika unsur hara umumnya beragam hanya pada lapisan atas (0-40 cm) yang berhubungan dengan intensitas pengelolaan dan fluktuasi air tanah. 3. Tingkat Degradasi HRG Atas dasar fungsi tata airnya, tingkat degradasi HRG dibagi menjadi: (a) ekosistem gambut yang masih baik, dan (b) ekosistem gambut terdegradasi. Adapun indikator untuk masing-masing kategori adalah : Ekosistem gambut yang masih baik: (a) kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih tertutup tanaman keras alami; (b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau maksimum 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan ph 4; (d) serta nilai redoks potensial < 200 (mv). Sedangkan ekosistem gambut terdegradasi bila : (a) tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau diatas 40 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan ph < 4; (d) serta nilai redoks potensial 200 (mv). Kriteria ekosistem gambut yang masih baik (lestari) antara lain adalah (a) kubah gambut masih berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30% dan masih tertutup tanaman jenis pohon lokal; (b) Kedalaman muka air tanah di musim kemarau maksimum 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan ph 4; (d) serta nilai Redoks potensial < 200 (mv). Sedangkan ekosistem gambut dinilai telah rusak (terdegradasi) apabila (a) Tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) Kedalaman muka air tanah di musim kemarau diatas 450 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan ph < 4; (d) serta nilai Redoks potensial 200 (mv). Berdasarkan kriteria ini hampir sebagian besar ekosistem hutan rawa gambut di pesisir pantai Barat Aceh termasuk kategori terdegradasi. Berdasarkan penutupan vegetasinya sebagian besar ekosistem hutan rawa gambut telah berubah menjadi ekosistem hutan sekunder. Sebagian hutan gambut sekunder yang berada di pinggir jalan telah dikonversi menjadi areal perkebunan (umumnya kelapa sawit). Sebagian besar hutan sekunder tersebut kemudian menjadi lahan terlantar dan terdegradasi. Atas dasar tutupan vegetasinya tingkat degradasi HRG dibagi dalam tiga kondisi yaitu: 1. HRG terdegradasi ringan masih ada jenis klimaks dan pioneer dengan potensi pohon dengan diameter diatas 40 cm kurang dari 30 m 3 /ha 2. HRG terdegradasi sedang, tersisa hanya jenis pioneer dan tidak ada jenis pohon klimaks. 3. HRG terdegradasi berat, tidak ada vegetasi pohon baik pioneer maupun klimaks Tingkat degradasi HRG akan menentukan pola rehabilitasinya. Semakin berat degradasinya, semakin intensif pola rehabilitasinya. Pola rehabilitasi akan dijelaskan pada Bab III buku sintesa ini. Sintesis

25 4. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di HRG ex PLG Kalteng Penelitian Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator kawasan konservasi di HRG ex PLG Kalteng diarahkan pada K&I untuk Kawasan Konservasi Flora dan Fauna sehingga hanya mengambil K&I yang erat berhubungan dengan aspek tumbuhan dan satwa. Pada penelitian ini telah ditentukan sebanyak empat prinsip: (1) Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17 Indikator, (2) Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator, (3) Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5 %) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan, Mata Pencaharian, Pendapatan, dan Penduduk) dan 9amper9o Indikator, (4) Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Setelah dilakukan simulasi untuk berbagai kondisi, maka dapat ditentukan tingkat Nilai Konservasi sebagai berikut: 1. Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST) dengan NTKI > Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dengan NTKI > Nilai Konservasi Sedang (NKS) dengan NTKI = Hasil pengujian di lokasi sekitar Camp Release dan sekitar Camp Bagantung menunjukan NTKI masing-masing 2.352,12 dan 2.370,12.Hal ini menunjukan bahwa ke dua lokasi termasuk dalam kategori NKST. Kesimpulan pertama dari penelitian ini adalah bahwa, kriteria flora dan fauna pada prinsip Biologi merupakan kriteria kunci sehingga mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam Prinsip Biologi. Oleh karena itu Kriteria Flora dan Kriteria Fauna, terutama untuk 9amper9or Status Konservasi, mempunyai pengaruh besar dalam menentukan nilai Prinsip Biologi. Indikator Pendapatan yang Berasal dari Hutan pada kriteria Pendapatan serta 9amper9or Kepadatan Penduduk pada kriteria Penduduk, menunjukkan tingkat rendah. Namun demikian, hal ini perlu diwaspadai mengingat kecenderungen kebutuhan hidup dan kepadatan penduduk yang terus meningkat sehingga berpotensi untuk memanfaatkan hutan secara illegal. Sebagai kesimpulan kedua, lokasi tempat pengujian nilai K&I yaitu sekitar Camp Release dan sekitar camp Bagantung mempunyai NTKI yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 1.352,12 dan 1370,12. Nilai-nilai ini masuk dalam kategori Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST). Sintesis

26 III. TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI (RPI 5.2.) A. PENDAHULUAN Hutan sekunder dan terdegradasi merupakan gambaran umum tentang sumber daya hutan di Indonesia. Mengingat tingkat kerusakan HRG yang telah mencapai 50% dari luas total HRG, maka rehabilitasi merupakan kegiatan wajib dalam pengelolaan HRG. Oleh karena itu, komponen rehabilitasi bagian sangat penting dalam RPI 5. Seperti dijelaskan pada sub bab sebelumnya awasan HRG yang terbakar terbagi dalam tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah. Seperti diketahui bahwa hutan gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran hutan dan mudah mengalami kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman, defisiensi unsur hara, subsidence dan peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008; Barchia 2006; Wibisono et al. 2005; Najiyati et al. 2005; Limin 2004). Berbeda dengan hutan alam lahan kering, tingkat kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan oleh kerusakan HRG lebih tinggi dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan sebagian masyarakat untuk berpartisipasi penanaman dengan menggunakan jenis pohon asli setempat. Masyarakat menilai bahwa jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang tidak perlu ditanam karena alam telah menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap dapat mengusahakan lahan gambut dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari jenis pohon hutan mereka lebih memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat transmigran). Pemilihan jenis pohon menjadi isue penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis pohon terpilih harus memiliki kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat. Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al. 2005; Daryono. 2000; Soerianegara dan Lemmens. 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Seleksi diperlukan untuk menentukan jenis mana digunakan pada tahap awal rehabilitasi dan jenis mana untuk tahap lanjut atau tahap pengkayaan. B. KEGIATAN LITBANG TAHUN Kegiatan litbang rehabilitasi hutan rawa gambut (HRG) telah dilakukan oleh banyak pihak, namun banyak paket teknologi yang dihasilkan masih spesifik lokal sehingga aplikasinya terbatas pada kawasan lokasi uji. Kegiatan litbang rehabilitasi HRG terdegradasi yang dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh, HLG. Londerang, Jambi, Sumsel, dan KHDTK Tumbang Nusa Kalteng, dirancang untuk menghasilkan paket teknologi yang lengkap dan dapat diaplikasikan pada beragam tipologi HRG di Indonesia. 1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami Hutan rawa gambut di pantai barat Aceh telah rusak sebelum tsunami. Di Kecamatan Bakongan dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan serta Desa Pulo Sarok, Desa Ujung Sintesis

27 Bawang, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, puluhan hektar hutan rawa gambut ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Setelah tsunami, sebagian besar hutan ini menjadi lebih rusak. Penilaian ekologi terhadap daerah ini menunjukkan bahwa air laut yang terperangkap pada saat tsunami telah meningkatkan salinitas lahan gambut. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang mematikan bagi vegetasi yang tumbuh diatasnya 2. Pengamatan Karakteristik Lahan dan Hutan Rawa Gambut Terdrainase Kegiatan ini dilaksanakan melalui kegiatan survey pada bentang lahan gambut sepanjang 29 km di daerah Kayuagung Sepucuk dan Kebun Konservasi Plasma Nutfah Ramin dan Tanaman Kehutanan di Kabupaten OKI. Ke dua lokasi adalah hutan dan lahan rawa gambut yang telah didrainase dan dikelilingi oleh areal perkebunan kelapa sawit. Karakteristik lahan dan hutan rawa gambut yang diukur adalah: a) kondisi hidrologi (curah hujan, tinggi, fluktuasi dan durasi genangan air dan air tanah), b) karakteristik tanah (kedalaman dan subsidensi gambut, sifat-sifat kimia dan fisik gambut), c) jenis-jenis vegetasi. 3. Pengamatan Pertumbuhan Jenis-Jenis Pohon Lokal Pada Berbagai Kondisi Hidrologi Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kebun Konservasi Plasma Nutfah Ramin dan Tanaman Kehutanan pada areal seluas 20 hektar di daerah Kedaton, Kabupaten OKI. Kebun percobaan yang telah dikelilingi oleh kanal perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi dua bagian, yaitu: areal dengan parit yang dibendung/ditabat dan areal yang tidak dibendung. Pada setiap areal dibuat embung atau sumur kecil untuk memantau permukaan air tanah. Embung dibuat pada setiap jarak 100 meter membentuk rangkaian grid. Areal telah ditanami dengan beberapa jenis pohon lokal (jelutung, punak, meranti rawa, gemor). Variabel yang diukur adalah tinggi dan diameter tanaman, tinggi dan fluktuasi permukaan air tanah. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 2 kali per tahun, pengukuran permukaan air tanah dilakukan setiap bulan. 4. Kajian Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Terbakar Di Jambi dan Kalimantan Tengah Kegiatan penelitian dengan judul Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar di Jambi dan Kalteng difokuskan pada pengukuran dan perawatan berkala pada plot uji di HLG Londerang, Jambi; pengembangan plot uji dengan menerapkan input manajemen intensif di kawasan HTI PT Wira Karya Sakti; serta pengembangan plot percepatan suksesi alam di HLG Sei Buluh, Jambi. C. HASIL PENELITIAN Hasil capaian kegiatan litbang rehabilitasi HRG yang dilakukan oleh 5 Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Kehutanan yaitu Puskonser, Bogor, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, BPTKSDA Samboja dan BPK Manokwari, dapat Sintesis

28 memberikan gambaran bagi strategi rehabilitasi HRG terdegradasi yang amat tergantung dari tingkat kerusakannya. Hasil-hasil sampai dengan akhir tahun 2012 masih harus diklarifikasi dengan data pengukuran selanjutnya. Beberapa kesimpulan dan rekomendasi sementara telah dapat diformulasikan pada sintesa antara ini seperti disajikan pada paragraf berikut. 1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami Pengukuran pertumbuhan awal dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam. Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman dan persen hidup. Rata-rata tinggi tanaman dan persen hidup 3 bulan setelah tanaman pada ke dua plot ujicoba disajikan pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh Lokasi Plot Ujicoba No. Parameter Trumon Aceh Selatan Singkil Aceh Singkil Tinggi Rata-rata % Hidup Tinggi Rata-rata % Hidup 1. Alstonia scholaris Gluta renghas Anthocephalus cadamba Terminalia catappa Dari sampel di atas terlihat bahwa persentase hidup masing-masing jenis di setiap plot sampel seragam, persentase hidup tertinggi pada masing-masing plot ada pada jenis ketapang (Terminalia catappa) yaitu 86% di Trumon, dan 80% di Singkil. Ini menunjukkan bahwa ketapang selain mampu tumbuh di daerah pantai juga tumbuh sangat baik di daerah rawa gambut. 2. Karakteristik Lahan dan HRG dengan Manajemen Drainase Kedalaman gambut awal diukur pada tahun 2007 sebelum lahan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Pengukuran kedua dilakukan pada tahun 2012 setelah lahan didrainase dan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada tahun 2007 kedalaman gambut rata-rata 487,3 cm dan tahun 2012 menjadi 412,6 cm atau telah mengalami penurunan kedalaman gambut (subsidensi) rata-rata 74,73 cm selama 5 tahun atau 14,9 cm/tahun. Pada periode Mei Desember 2012 jumlah curah hujan yang jatuh pada Kebun Konservasi Plasma Nutfah (plot percobaan) sebesar mm dan jumlah hari hujan 88 hari dengan estimasi volume air m 3 /ha. Curah hujan terendah terjadi pada bulan September sebesar 20 mm dan jumlah hari hujan 2. Cura hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 389 mm dan jumlah hari hujan 22. Kedalaman air tanah terendah 117 cm terjadi pada bulan September dan tertinggi 13 cm pada bulan Desember. Sebelum aktivitas pembukaan kanal untuk mendrainase air, lahan gambut pada lokasi ini masih tergenang setinggi 25 cm pada bulan Mei 2010 dan 2 tahun setelah pembuatan kanal permukaan air tanah menurun sedalam 70 cm menjadi 45 cm di bawah permukaan gambut di bulan yang sama. Kedalaman gambut awal tahun 2007 adalah 600 cm dan Sintesis

29 menurun menjadi 550 cm pada tahun 2012 atau gambut telah mengalami subsidensi sedalam 50 cm (rata-rata 10 cm/tahun). 3. Pertumbuhan Tanaman Uji Rehabilitasi Sumatera Selatan Pertumbuhan tanaman rehabilitasi jenis jelutung (Dyera lowii), punak (Tetramerista glabra), meranti (Shorea belangeran) dan gemor (Alseodaphne sp.) dipengaruhi oleh kedalaman air tanah. Semakin dalam penurunan air tanah, daya hidup tanaman rehabilitasi menurun. Pola yang sama terjadi pada riap tinggi dan riap diameter tanaman rehabilitasi. Rehabilitasi hutan rawa gambut bersulfat masam dapat dilakukan dengan memanfaatkan permudaan alam gelam (M. leucadendron) yang tumbuh melimpah pada areal hutan bekas kebakaran. Kerapatan kecambah gelam satu bulan setelah kebakaran berkisar antara 8 sampai kecambah/m2 tergantung jarak dari tegakan pohon induk. Pertumbuhan permudaan alam gelam yang tumbuh pada lahan gambut sangat dalam dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan tegakan. Permudaan buatan gelam diprioritaskan pada lahan rawa gambut bersulfat masam yang tidak ada atau sangat rendah tingkat permudaan alamnya 4. Uji Kesesuaian Jenis untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Terbakar Pengembangan IPTEK rehabilitasi HRG bekas terbakar diarahkan pada teknik manajemen lahan (minimum input manajemen lahan di HRG Londerang serta optimum input manajemen lahan di kawasan PT WKS) serta kelompok komoditi pohon. Plot uji yang dibangun akan dapat menghasilkan paket teknologi rehabilitasi menyangkut manajemen lahan dan jenis pohon yang direkomendasikan. Pertumbuhan pohon pada plot uji di Jambi dan Kalteng, disajikan pada Tabel 5 s/d 10. Salah satu model rehabilitasi lahan gambut terdegradasi berat adalah melakukan penanaman dengan jenis pohon penghasil bio-diesel. Uji penanaman jenis penghasil biodiesel dilakukan di HLG Londerang yang merupakan lahan terdegradasi bekas terbakar dengan tingkat degradasi berat (tidak ada vegetasi tingkat pohon). Kawasan HRG ini juga rawan ekspansi tanaman sawit oleh masyarakat. Pada lahan HRG dengan kondisi ini penanaman harus dilakukan dengan segera dan menggunakan jenis cepat tumbuh. Pada umumnya masyarakat tidak akan menjarah lahan yang telah ditanami oleh pemerintah. Pada lahan gambut dengan tingkat kerusakan berat, sasaran rehabilitasi adalah menghindarkan penjarahan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan. Informasi terkait kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi sangat diperlukan dalam penyusunan rencana rehabilitasi lahan. Informasi kesesuain lahan yang akurat diperoleh dari plot uji jenis yang dibangun pada lahan gambut. Telah dibangun plot seleksi jenis tanaman pada lahan gambut terdegradasi. Jenis pohon yang diuji mencakup jenis pohon cepat tumbuh non gambut, jenis pohon keluarga dipterokarpa, jenis pohon penghasil bio-diesel an jenis pohon lokal HRG. Hasil pengujian disajikan pada tabel-tabel berikut. Sintesis

30 Tabel 5. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang No. Jenis Jumlah yang Persen Tumbuh (%) Tinggi (cm) Ditanam 6 bln 12 bln 6 bln 12 bln 1 Ficus variegata 54 97,50 60,00 110,10 128,8 2 D.moluccana 61 73,96 53,70 70,23 80,6 3 A.cadamba 54 88,89 40,74 80,65 62,6 4 A.macrophylla 57 84,48 39,66 56,28 95,00 5 Dyera lowii ,78 29,41 67,38 82,0 6 Ficus calosa 58 57,41 24,07 58,35 74,4 7 N.orientalis 40 50,00 25,00 52,72 56,9 8 O.sumatrana Tabel 5, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat tumbuh non gambut dengan pola minimum input manajemen lahan di HLG Londerang. Tabel 6, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat tumbuh non gambut dengan pola optimum input manajemen lahan di kawasan HTI PT WKS, Jambi. Tabel 6. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS No. Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm) 0 bln 6 bln 12 bln 24 bln 0 bln 6 bln 12 bln 24 bln 1 A.macrophylla ,56 13,7 13,9 66,0 65,5 96,4 216,4 2 P.pinnata ,4 78,9 73,0 117,6 175,2 3 F.variegata ,34 33,3 15,6 63,1 70,0 99,2 169,9 4 A.cadamba ,22 27,8 22,2 61,4 57,4 73,2 162,6 5 N.orientalis ,11 91,1 73,3 53,7 62,2 90,1 154,6 6 F.callosa ,78 75,6 28,9 34,9 56,7 86,8 148,0 7 D.moluccana ,67 5,1 11,1 47,4 61,6 47,4 60,0 Jenis pohon cepat tumbuh non gambut yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Pengamia pinnata, Ficus variegata dan Anthocephalus macrophylus. Namun demikian mengingat ketiganya bukan jenis asli lahan gambut, maka evaluasi harus dilakukan minimal sampai dengan umur tebang jenis cepat tumbuh yang berkisar antara 6 8 tahun. Jenis-jenis dipterokarpa juga diuji kemampuan tumbuhnya di lahan gambut di HLG Londerang (25 jenis) dan di kawasan PT WKS, Jambi (3 jenis). Keluarga dipterokarpa merupakan jenis dominan hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. Pengujian jenis dipterokarpa sebelumnya telah dilakukan di kawasan HTI PT Indah Kiat, Riau. Dua jenis dipterokarka yaitu Shorea leprosula dan S. selanica. Sampai dengan umur 15 tahun (setengah daur tebang), kedua jenis tersebut tumbuh baik di lahan gambut Perawang, Riau (Gambar 1) dan telah menghasilkan bunga dan buah. Bila jenis yang diuji tumbuh baik dan mancapai masa reproduksi (berbunga dan berbuah), maka dapat disimpulkan bahwa jenis tersebut dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru tempat jenis tersebut diuji. RPI 5 kembali menguji jenis-jenis dari keluarga dipterokarpa di dua lokasi lahan gambut Jambi. Data pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang, Jambi dan kawasan PT WKS, Jambi disajikan pada Tablel 5 dan 6. Namun sangat disayangkan plot uji di HLG Londerang, Jambi terbakar pada tahun 2013 dan Sedngkan plot di kawaan PT WKS masih tetap terjaga. Sintesis

31 Tabel 7. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang No. Jenis Ditanam Persen tumbuh Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln 1 Shorea leprosula 58 63,8 43,1 66,5 80,7 2 S.selanica 83 72,3 39,7 59,6 64,2 3 S.parvifolia 13 69,2 23,1 62,0 110,0 4 S.seminis 30 81,1 46,7 62,1 73,1 5 S.smithiana 36 83,3 36,1 62,1 75,4 6 S.stenoptera 3 66,7 66,7 47,5 67,5 7 S.javanica ,1 47,1 61,9 76,8 8 S.pinanga 8 75,0 25,0 68,7 90,0 9 S.fallax 24 87,5 50,0 47,1 69,3 10 S.ovalis 31 58,1 19,3 48,2 57,3 11 S.guiso 19 63,2 47,4 56,9 82,4 12 S.uliginosa 34 82,4 50,0 57,5 64,0 13 S.multiflora 7 71,4 28,6 39,2 86,0 14 S.balangeran 18 66,7 33,3 57,5 66,2 15 S.macrophylla 5 60,0 60,0 56,5 119,3 16 S.mecisopteryx 6 50,0 16,7 26,7 30,0 17 S.johorensis 21 57,2 14,3 57,5 76,7 18 S.virescens 36 0,0 0,0 0,0 0,0 19 Hopea odorata 45 73,3 33, ,5 20 H.dryobalanoides 16 93,8 37,5 51,6 60,2 21 H.gregaria 57 71,9 40,3 48,8 67,4 22 H.cernua 36 47,2 19,4 49,4 54,0 23 Dryobalanops lanceolata 26 65,4 19, ,4 24 Anisoptera marginata 40 72,5 42, ,6 25 Parashorea spp 6 83,3 66, ,5 Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014 Tabel 8. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS No Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm) 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 1 S.belangeran ,8 35,6 27,8 67,6 84,5 127,9 366,5 2 S.selanica ,6 22,2 11,1 48,8 58,9 63,6 184,5 3 S.leprosula ,1 13,9 0 34,2 55,7 65,1 0 Berbeda dengan pengujian sebelumnya Shorea leprosula tidak dapat bertahan hidup di lahan gambut PT WKS. Namun jenis lain yang diuji yaitu S.balangeran dan S. selanica masih dapat bertahan tumbuh. Perbedaan kemampuan tumbuh kemungkinan diakibatkan dengan sistim pengolahan lahan di PT WKS yang dibersihkan dengan total. Sehingga bibit ter-ekspose cahaya matahari penuh (Gambar 2). Sintesis

32 Gambar 1. S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau Gambar 2. Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka) di kawasan PT WKS, Jambi Kelompok jenis pohon yang diuji selanjutnya adalah jenis pohon penghasil bio-diesel yaitu Schleiera oleosa, Pongamia pinnata dan Callophylum inophyllum. Pengujian dilakukan di HLG Londerang. Pongamia pinnata (malapari) menunjukan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua jenis lainnya. Tabel 9. Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang No Jenis Ditanam Persen tumbuh (%) Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln 1 Schleiera oleosa 61 64,29 18,03 96,63 46,7 2 Pongamia pinnata 56 62,29 26,8 50,11 81,5 3 Callophylum inophyllum 38 64,26 52,6 30,45 56,36 Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014 Kelompok jenis pohon terakhir yang diuji adalah jenis lokal HRG yang diuji di tiga lokasi yaitu HLG Londerang, Jambi (8 jenis), di CKPP Kalteng (7 jenis) dan di PT WKS, Jambi (7 jenis). Salah satu tujuan pengujian jenis lokal HRG adalah untuk mengetahui kemampuan jenis pohon lokal untuk tumbuh pada habitat yang telah mengalami kerusakan Sintesis

33 berat. Pertumbuhan jenis-jenis pohon lokal HRG di ketiga lokasi uji disajikan pada Tabel 10, 11 dan 12. Tabel 10. Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi No. Jenis Ditanam Persen Tumbuh Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln 1 Gonystylus bancanus 37 45,9 27,0 60,2 72,1 2 Uranda scorpiodes 66 68,2 37,9 43,9 54,1 3 Diospyros malam 50 56,0 52,0 28,9 40,2 4 Callophyllum soulatri 42 66,7 69,0 40,3 54,3 5 Callophyllum macrospermum 43 81,6 48,8 39,9 56,8 6 Quercus bennetii 20 60,7 50,0 57,5 56,8 7 Momalium caryophyllaceum 43 90,7 48,8 29,3 37,8 8 Dillenia excelsa 14 64,3 21,4 46,2 59,3 Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014 Tabel 11. Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan No. Jenis Ditanam Tumbuh Persen jadi Tinggi (cm) 1 Dyera lowii ,0 2 Crotoxylon arborescens ,9 3 Shorea uliginosa ,9 4 S. balangeran ,0 5 Callophyllum macrospermum ,1 6 Uranda scorpiodes ,1 7 Combretocarpus rotundatus ,0 Tabel 12. Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS No Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm) 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 1 Xylopia fusca ,9 43,8 33,3 42,9 62,9 86,1 192,0 2 C.inophyllum ,9 33,3 22,2 42,3 61,1 34,67 30,5 3 Quercus sp ,5 31,1 21,1 61,4 60,5 61,2 168,7 4 U.scorpiodes ,3 12,3 16,7 66,5 55,7 68,6 195,0 5 M.caryophyllaceum ,7 33,3 13,9 32,2 44,6 53,17 139,4 6 C.macrospermum ,7 22,2 11,1 29,5 43,8 53,3 350,0 7 A.umbrelifolia , ,5 16,9 0 0 Tabel 10, 11 dan 12 menunjukan bahwa jenis lokal HRG dapat tumbuh di semua lokasi uji, namun demikian pertumbuhan awalnya (sampai dengan umur 2 tahun) relatif lebih lambat dibandingkan dengan jenis cepat tumbuh non gambut. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan tumbuh jenis yang ditanaman di lahan gambut adalah kebakaran lahan, seperti yang terjadi di HLG Londerang, Jambi. Walaupun jenis lokal HRG khususnya kelompok jenis pioneer dapat tumbuh di berbagai tingkat degradasi lahan, namun kebakaran lahan akan menggagalkan setiap usaha rehabilitasi. Oleh sebab itu upaya penanganan kebakaran lahan gambut yang efektif harus diupayakan dengan berbagai aspek pendekatan seperti sosial, budaya, ekonomi dan teknis. Sintesis

34 IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG (RPI 5.3.) A. PENDAHULUAN Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang berlangsung saat ini akibat meningkatnya suhu bumi. Peningkatan suhu bumi diyakini akibat meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer. Aktivitas manusia modern yang banyak terkait dengan penggunaan bahan bakar dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bijaksana diyakini sebagai sumber emisi GRK. Perubahan iklim mempengaruhi proses biologi pada ekosistem bumi. Salah satu efek dari perubahan iklim adalah berubahnya pola reproduksi beragam jenis tanaman termasuk jenis-jenis pohon HRG. Berubahnya pola reproduksi pohon mengakibatkan tidak tersedianya benih dan bibit untuk berbagai tujuan penanaman seperti rehabilitasi hutan. Keberhasilan upaya rehabilitasi HRG khususnya dengan jenis potensial lokal amat tergantung dari ketersediaan anakan alamnya. Dewasa ini semakin sulit untuk memperoleh anakan dari jenis potensial HRG. Data fenologi jenis pohon HRG sangat diperlukan dalam upaya penyelamatan sumberdaya genetik untuk pemanfaatan jangka panjangnya. B. KEGIATAN LITBANG 1. Kajian Fenologi Studi fenologi jenis potensial hutan rawa gambut dilakukan di dua lokasi yaitu : (1) Sei Senepis, Riau. Pengamatan dilakukan pada 15 jenis potensial HRG; dan (2) Tumbang Nusa, Kalteng. Pengamatan dilakukan pada 19 jenis potensial HRG. Pengamatan dilakukan secara periodik (sekali dalam dua minggu) oleh pengamat lokal pada pohon-pohon yang telah ditandai. Pada pengamatan dilakukan pencatatan fase fenologi pohon yang diamati yaitu: (1) berbunga/bg; (2) buah muda/bm; (3) buah tua/bt; dan (4) gugur bunga/gb. Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks tahap fenologi bulanan pada jenis yang diamati. C. HASIL PENELITIAN 1. Fenologi Jenis Potensial HRG Hasil pengamatan selama satu tahun anggaran di dua lokasi pengamatan telah menghasilkan informasi awal tentang fenologi yang disajikan pada Tabel 13. dan 14. Walaupun informasi rangkaian pembungaan sampai buah masak disajikan secara utuh, namun karena bulan pengamatan yang hanya 10 bulan maka perkembangan selanjutnya dilakukan prediksi atas dasar pengetahuan masyarakat petani hutan lokal. Agar dapat mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis HRG, pengamatan fenologi perlu dilakukan secara berkelanjutan minimal dengan periode pengamatan 5 tahun. Sintesis

35 Tabel 13. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau JENIS Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Okt Nov Dec Balam B G B G B M B M B T B T Bintangor B M * B T * BT* B G B G B M B M Darah-darah B G * B M * B M * B T* B T* - B G Durian B M * B T * B G B G B M B M Mempisang Gemor B G * B M * B M * B T* B T* B G Meranti batu Meranti bunga Suntai/Nyatoh B M * B T * B T * B G B G B M Pasak linggo B G B G B M B M B T B T Punak B G B G B M B M B T B T Ramin B G B G B M B M B T B T Serapat Simpur Terentang B T * B G B G B M B M B T Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua. Tabel 14. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng JENIS Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Geronggang - - BG* BG B M B M B T B T B T Pempaning BT* BG* BG* B M B M B T B T BG BG BG BM* Darah-darah BM* BT* BG* BG* B M B M B T BG BG BM* Punak BG* BG B M B M B T Maharuang BG* BG* B M B M B M B T Malam-malam - Merapat - Nyatoh BG* BG* BM B M B M B T Balangeran Ramin Meranti bunga BG* BG* B M B M B T Pisang-pisang Pasir-pasir Terentang BG* BG B M B M B M B M B T B T B T Kapurnaga BM* BT* BT* BG BG BM* Lilin-lilin Kompas BG* B G B M B M?? Merapat - - BG* BG* B M B M B M B M B T B T B T - Pantung BG BG GB Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua; GB = Gugur bunga. Sintesis

36 Pada pengamatan bulan Desember 2010, medang lendir (gemor) sedang berbunga, diprediksikan buah akan masak/tua (BT) pada bulan April dan Mei Kesempatan memperoleh benih jenis potensial HRG merupakan kesempatan yang langka. Oleh sebab itu bagi para pihak yang berkepentingan khususnya dalam penyelamatan jenis-jenis gemor dapat memanfaatkan masa berbuah yang diprediksi pada bulan April dan Mei 2011 untuk mendapatkan materi genetiknya. Sintesis

37 V. ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA PARTISIPATIF (RPI 5.5.) A. PENDAHULUAN Hutan rawa gambut (HRG) merupakan ekosistem yang unik karena memiliki biodiversitas flora dan fauna yang khas, seperti Gonystylus bancanus, Dyera polyphylla, Alseodaphne sp., Cratoxylum sp., Shorea teysmaniana dan Diospyros sp., yang memiliki nilai ekonomi, serta mampu menyimpan bahan organik dalam bentuk karbon di bawah permukaan tanah dalam bentuk biomassa vegetasi. Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki HRG terluas, selain Sumatera dan Papua (Wahyunto et al., 2004; Ritung et al., 2011). Hutan rawa gambut memiliki arti penting bagi fungsi-fungsi ekologis, hidrologis, biokimia dan nilai-nilai sosial. Pentingnya ekosistem HRG telah mendapat perhatian pemerintah. Secara nasional telah disusun dan dicanangkan Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan yang bertujuan untuk : (1) meningkatan kesadartahuan dan pengetahuan mengenai lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan, dan (2) meningkatkan dan mendorong kerjasama antar Kabupaten/Kota/ Provinsi secara kolektif dengan pengelolaan lahan gambut, dan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing (Departemen Dalam Negeri, 2006). Pengelolaan partisipatif merupakan salah bentuk model perhutanan sosial. Saat ini perhutanan sosial merupakan wujud perubahan paradigma pembangunan kehutanan, dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pembangunan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan dapat mengubah penghidupan. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan HRG penting dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Diperlukan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta monitoring, serta adanya skema insentif bagi masyarakat yang telah menjaga hutan dan sumber daya lahan (Dipokusumo, 2011). Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat merupakan salah satu kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan hutan dengan pola partisipatif yaitu: (1) program pembangunan hutan kemasyarakatan (HKm) berdasarkan Permenhut nomor P.52/Menhut-II/2011, (2) hutan desa berdasarkan Permenhut P.53/Menhut-II/2011, dan (3) hutan tanaman rakyat (HTR) berdasarkan Permenhut P.31/Menhut-II/2013. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengelolaan hutan dapat berpihak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. B. KEGIATAN LITBANG 1. Studi Biofisik HRG Kondisi hutan gambut dipelajari melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan vegetasi, kedalaman gambut dan muka air tanah. Data biofisik yang diamati berupa sifat kimia dan biologi tanah lokasi penelitian di hutan rawa gambut bekas terbakar dan Sintesis

38 dibandingkan dengan kondisi alaminya. Kedalaman gambut diukur dengan bor gambut, sekaligus untuk mengambil sampel gambut di berbagai kedalaman dan mengukur muka air tanah. Sampel gambut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa bulk density, kadar bahan organik gambut, dan kadar abu dengan menggunakan metode loss on ignition (LOI) (Agus et al., 2011). Analisa vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling menggunakan petak bersarang berukuran 20m x 100m dan petak kecil di dalamnya berukuran 5m x 40m (Hairiah et al., 2011). 2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan akan dilibatkan dalam pengelolaan HRG bekas terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan penanaman, dengan menerapkan pola-pola partisipatif. Untuk mengetahui jenis-jenis penting bagi masyarakat, dilakukan pengumpulan data dengan cara wawancara semi terstruktur. Jenis tanaman akan dipilih berdasarkan hasil wawancara dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan konservasi. C. HASIL PENELITIAN TAHUN Studi Biofisik Lokasi kegiatan di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa dan di Sekitar Taman Nasional Sebangau. Peta petak pengamatan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3.a. Penyebaran petak pengamatan studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi petak pengamatan) Gambar 3.b. Taman Nasional Sebangau. Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa Tumbang Hiran (sumber: BTN Sebangau, 2013) Analisa sifat kimia tanah gambut di berbagai tipe lahan menunjukkan adanya variasi parameter kimia tanah (Tabel 15). Sintesis

39 Individu Tabel 15. Tipe Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan lahan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah ph KCl Ntotal (%) P Bray (ppm) KTK (me/100g) Pirit (ppm) Kadar Abu (%) Kedalaman gambut (cm) HS HS HT HT AF_JH AF_JR AF_JK Keterangan: HS1= hutan rawa gambut sekunder plot 1; HS2 = hutan rawa gambut sekunder plot 2; HT97 = hutan rawa gambut terbakar tahun 97; HT04 = hutan rawa gambut terbakar tahun 2004; AF_JH = agroforest jelutung dan pohon hutan; AF_JR = agroforestri jelutung dan rambutan; AF_JK = agroforest jelutung dan karet. Lahan gambut di Tumbang Nusa memiliki kedalaman bervariasi, mulai dari kedalaman cm. Tidak tertutup kemungkinan, adanya kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 m. Gambut bersifat masam, dengan kisaran ph 3,7-4,2, dan kapasitas tukar kation tertinggi di hutan sekunder dan terendah di hutan bekas terbakar tahun 2004 (tingkat kerusakan sedang). Tipe agroforest jelutung dan tanaman hutan (tumih dan gerunggang) memiliki kadar pirit tertinggi, hal ini diduga karena terbongkarnya gambut akibat aktivitas usaha tani setelah gambut mengalami kebakaran. Pada Gambar 4. terlihat distribusi kelas diameter hutan rawa gambut sekunder menyebar dengan normal mengikuti pola kurva J, dimana jumlah permudaan paling banyak, dan masih dapat dijumpai kelas diameter hingga lebih dari 50 cm. Sedangkan pada tipe hutan terbakar ringan, sebaran diameter hanya mencapai kisaran cm, dan tidak terdapat pohon-pohon dewasa berdiameter besar. Pada hutan terbakar dengan tingkat kerusakan sedang (kebakaran berulang dan terakhir pada tahun 2004), kelas diameter pohonnya tidak lebih dari 20 cm. Di ketiga tipe hutan, kurva distribusi menyebar normal, dengan jumlah permudaan lebih tinggi daripada pohon dewasa. HS Kelas Diameter (cm) Gambar 4. Penyebaran kelas diameter di tiga tipe hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 = hutan terbakar ringan tahun 1997; HT04 = hutan terbakar sedang tahun 2004). Sintesis

40 Kerapatan jenis pohon di ke tiga tipe hutan menurun sesuai dengan tingkat kerusakan hutan. Hutan sekunder memiliki kerapatan pohon paling tinggi, kemudian hutan dengan tingkat kerusakan ringan dan hutan dengan tingkat kerusakan sedang memiliki kerapatan jenis pohon yang rendah. Pada lahan milik, di mana masyarakat mengelola lahan dengan berkebun dengan sistem agroforestri, terlihat bahwa agroforest karet+jelutung memiliki tingkat kerapatan pohon yang lebih tinggi daripada agroforest jelutung+rambutan. Rambutan hasil okulasi memiliki tajuk melebar, sehingga kerapatan pohon per luasan area lebih rendah dibandingkan dengan agroforest jelutung+pohon hutan dan jelutung +karet. Tabel 16. Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan dan agroforest di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Tipe Luas plot (ha) Kerapatan (Individu/ha) Jumlah jenis Jenis dominan HS 0, Calophyllum inophylum (Bintangur) HT97 0, Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) HT04 0, Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) AF_Jelutung+pepohonan 0, Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) AF_Jelutung+Rambutan 0, Nephelium lappaceum (Rambutan) AF_Jelutung+Karet 0, Hevea brassiliensis (Karet) 2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat Survey persepsi masyarakat dilakukan di Kecamatan Jabiren yang terdiri dari delapan desa dengan luas area ha dengan jumlah populasi 8300 orang dari 2110 kepala keluarga (household). Pemilihan desa dilakukan berdasarkan dari variasi tipologi ke tiga desa, yaitu luas lahan rawa atau rawa gambut, yang dapat menentukan pengelolaan lahan dan usaha tani masyarakat. Menurut BPP Jabiren (2010), luas lahan rawa/rawa gambut di Tumbang Nusa, Pilang dan Jabiren berturut-turut sebesar , dan ha, dengan luas lahan kering berturut-turut 2.255, dan ha. Terlihat bahwa desa Tumbang Nusa memiliki area rawa dan rawa gambut yang paling luas di antara desa yang lain. Hal ini menyebabkan masyarakat desa Tumbang Nusa tidak dapat mengandalkan hidupnya dari bertani atau berkebun, karena hambatan faktor alam. Dari 35 orang responden, kepemilikan lahan sawah berkisar antara 0-7 ha dan lahan kebun berkisar antara 0->45 ha. Tidak ada satu pun responden dari Desa Tumbang Nusa yang memiliki lahan sawah. Komoditas pertanian dan perkebunan utama di ketiga desa karet dengan jumlah produksi karet 0.81 ton/ha/tahun (stdv: 0.72). Komoditas lain yang dapat dikembangkan di lahan gambut dangkal dan bernilai ekonomi adalah tanaman buah rambutan, cempedak dan paken (Durio kutejensis). Persepsi masyarakat petani terhadap kondisi gambut saat ini adalah lebih baik dibandingkan dengan kondisi gambut 5-10 tahun yang lalu. Ini diakibatkan karena gambut yang telah diolah menjadi semakin terdekomposisi sehingga sesuai untuk usaha pertanian. Kelembagaan dalam pengelolaan usaha tani dan kebun, mencakup adanya kelompok tani, koperasi dan pertemuan kerohanian (baik untuk nasrani maupun muslim). Kelompok tani di Kecamatan Jabiren mendapatkan bimbingan dan penyuluhan dari BPP, di mana satu orang penyuluh bertugas untuk satu desa. Menurut BPP (2010) tercatat 45 kelompok tani Sintesis

41 di seluruh desa di Kecamatan Jabiren, dengan delapan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Metode penyuluhan dilakukan dengan cara bimbingan teknis, ceramah dan diskusi, yang dilakukan dengan frekuensi 5-8 kali setahun (tergantung keperluan). Dalam pengelolaan lahan gambut, petani tentu memiliki berbagai kendala. Kendala utama dalam usaha perkebunan adalah kebakaran hutan (42.9% responden). Modal dan drainase menjadi kendala tetapi tidak terlalu berarti, karena masih dapat diatasi. Sedangkan hama dan penyakit kurang menjadi masalah dalam pengelolaan kebun di lahan gambut. Masalah di bidang kehutanan, sebagian besar petani (70%) yang menanam jelutung (Dyera polyphylla) dan Shorea balangeran tidak melakukan pemeliharaan dan pencegahan kebakaran di musim kemarau. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN. Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN. Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif. Pengelolaan HD Kalawa, merupakan tipe partisipasi fungsional, dengan pendekatan bottom up. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat terhadap hutan desa dan pengelolaan partisipatif di hutan desa masih rendah, dan beranggapan HD tidak memberikan keuntungan (baik ekonomi, ekologi dan social) bagi masyarakat dan lingkungan, akan tetapi sebagian besar responden memiliki motivasi yang tinggi untuk menjaga hutan. Analisis kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman ( kekepan ) menunjukkan ada 4 faktor internal dan eksternal yang menjadi karakteristik pengelolaan TNS secara partisipatif, sedangkan pengelolaan HD Kalawa memiliki 5 faktor internal dan eksternal. Sintesis

42 VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) (RPI 5.5.) A. PENDAHULUAN Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun Emisi karbon nasional tergolong tinggi yaitu setara dengan 638,975 giga ton CO 2 untuk total emisi, dan untuk emisi akibat alih fungsi hutan sebesar 36%. Salah satu tipe hutan di Indonesia adalah hutan rawa gambut (HRG) yang lahannya mengandung stok karbon terbesar pada ekosistem hutan. Potensi serapan karbon pada HRG tergolong tinggi yaitu sebesar 200 ton/ha (Agus, 2007). Di lain pihak diyakini emisi karbon dari HRG tergolong tinggi, oleh sebab itu upaya penurunan emisi dari HRG akan berpengaruh nyata terhadap emisi karbon nasional. Pengurangan emisi karbon dari HRG bersifat kompleks karena adanya variasi alami kedalaman gambut dan variasi vegetasi alaminya. Selain itu, adanya kenyataan bahwa lahan gambut telah dimanfaatkan secara luas baik untuk hutan tanaman, perkebunan maupun pertanian. Pengurangan emisi harus didukung oleh peningkatan serapan karbon yang didominasi oleh tumbuhan HRG. Biosekuestrasi adalah penyerapan dan penyimpanan gas karbondioksida dari atmosfer melalui proses-proses biologi. Proses biologi ini terjadi melalui peningkatan fotosintesis untuk menyerap emisi gas karbondioksida dari atmosfer melalui praktek-praktek seperti reforestasi, pencegahan deforestasi dan rekayasa genetik maupun melalui peningkatan karbon organik tanah di kawasan hutan. Data karbon stok, karbon organik tanah pada lanskap HRG sangatlah bervariasi dan kondisi ini tentunya akan mempengaruhi kualitas data yang tersedia. Adanya variasi data yang tinggi ini menghasilkan tingkat ketidakpastian data yang tinggi pula (high uncertainty) dan hal ini menjadi masalah yang selalu ditemui dalam kegiatan inventarisasi karbon stok, karbon organik tanah dan emisi metana pada lanskap HRG. Contoh tingginya uncertainty pada inventarisasi emisi HRG adalah data emisi kebakaran gambut memiliki variasi yang sangat tinggi dari beberapa hasil studi yang dibandingkan. Hal ini disebabkan oleh HRG memiliki tipologi yang sangat spesifik baik itu dari tingkat kematangan gambutnya maupun variasi jenis yang hidup di hutan lahan gambut. Penyediaan data karbon stok (melalui biosekuestrasi) dan data karbon organik tanah merupakan data penting yang diperlukan dalam upaya perhitungan tingkat serapan karbon di HRG. B. KEGIATAN LITBANG Emisi GRK seperti CO 2, CH 4, N 2 O, dll., diyakini merupakan penyebab terjadinya pemanasan global yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Beberapa kesepakatan internasional seperti Kyoto Protokol dan REDD telah diratifikasi oleh banyak negara termasuk Indonesia. Negara-negara maju sepakat untuk menurunkan tingkat emisi GRK, dan Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun Untuk memonitor progres penurunan emisi diperlukan data baik Sintesis

43 berupa biomas maupun emisi GRK. Penelitian Dampak Deforestasi HRG terhadap Emisi GRK bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap aspek lingkungan, serta upaya target penurunan emisi 26% di sektor kehutanan. Kegiatan yang telah dilakukan adalah pengukuran biomas tegakan HRG dan pengukuran emisi gas CO2 di HRG bekas kebakaran, HRG bekas tebangan dan HRG terdegradasi dengan sistim drainase. 1. Pengukuran Biomasa Tegakan HRG Pengukuran biomasa tegakan dilakukan di HRG bekas tebangan tahun 1990 dan 1995 di Kalteng. Pengukuran biomasa dilakukan untuk menaksir cadangan karbon tegakan, nekromas, seresah dan tumbuhan bawah. Pengukuran biomasa tegakan meliputi tingkat pancang (DBH 2,5 cm 9,9 cm) dan tingkat tiang (DBH 10 cm 19,9 cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada subplot dengan radius 7,32 m. Sedangkan pengukuran biomasa tegakan tingkat pohon (DBH > 20 cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada annular plot dengan radius 17,95 m. Setelah mendapatkan data DBH semua tegakan, kemudian memasukkan data DBH tersebut kedalam persamaan allometrik yag telah diperoleh pada tahun sebelumnya. 2. Pengukuran Emisi Gas CO2 Pengukuran emisi gas CO 2 dilakukan dengan metode chamber pada HRG primer, HRG bekas tebangan tahun 1990 dan tahun 1995; dan HRG terdegradasi dengan sistim drainase serta yang sudah dikonversi menjadi kebun sawit dan karet. Pengambilan sampel gas dilakukan pagi, siang dan sore hari. C. HASIL PENELITIAN 1. Hutan Gambut Bekas Kebakaran Persamaan allometrik yang diperoleh dari hasil penelitian pada masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: (a) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran berulang tiap tahun, Berat kering total = 0,098 (DBH) 2,350 (R 2 = 0,977); (b) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah tiga tahun, Berat kering total = 0,069 (DBH) 2,602 (R 2 = 0,951); (c) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah delapan tahun, Berat kering total = 0,091 (DBH) 2,501 (R 2 = 0,943); dan (d) di lokasi hutan rawa gambut primer, Berat kering total = 0,102 (DBH) 2,559 (R 2 = 0,982). Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut: di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran berulang tiap tahun sebesar 11,6 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah tiga tahun sebesar 32,3 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah delapan tahun sebesar 60,6 ton/ha dan di lokasi hutan rawa gambut primer sebesar 169,9 ton/ha. Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor serapan) dari hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun yang pulih setelah tiga tahun dan delapan tahun memiliki rerata sebesar 3,7 ton C/ha/tahun atau setara 13,57 ton CO 2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun, setelah tiga tahun, setelah delapan tahun dan hutan rawa gambut primer masing-masing Sintesis

44 adalah sebesar 4,3 m; 1,9 m; 2,0 m dan 4,3 m. Nilai ph di lokasi penelitian berkisar antara 3,5 sampai dengan 4,1. Suhu lingkungan di lokasi penelitian berkisar antara 24 0 C sampai dengan 40 0 C. Untuk water level berkisar antara 15 cm sampai dengan 128 cm. Sementara itu, tingkat persentase penutupan tajuk berkisar antara 1 % sampai dengan 99 %. 2. Hutan Gambut Bekas Tebangan Berdasarkan persamaan allometrik lokal biomassa total Y = 0,061 (DBH x kerapatan jenis kayu x tinggi total) 1,464 maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa pancang, tiang dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut: Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990 sebesar 34,79 ton/ha (pancang dan tiang), 56,21 ton/ha (pohon); Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1995 sebesar 47,56 ton/ha (pancang dan tiang), 15,35 ton/ha (pancang, tiang dan pohon); dan di lokasi hutan rawa gambut primer sebesar 164,25 ton/ha. Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor serapan) C (karbon) dari hutan rawa gambut bekas tebangan yang telah pulih setelah 17 tahun dan 22 tahun memiliki rerata masing-masing sebesar 1,68 tonc/ha/tahun dan 1,88 ton C/ha/tahun atau setara 6,53 ton CO 2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa gambut primer masing-masing adalah sebesar 2,5 m; 2,0 m dan 4,3 m dengan potensi simpanan C masing-masing sebesar 1.642,69 tonc/ha; 1.461,72 tonc/ha dan 3.209,19 tonc/ha. Emisi gas CO 2 pada hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa gambut primer masing-masing sebesar 34,68 ton CO 2 /ha/tahun; 21,90 ton CO 2 /ha/tahun dan 14,60 ton CO 2 /ha/tahun. Berdasarkan analisis tren dinamika pemulihan biomassa karbon, maka diperlukan waktu perkiraan 41,79 tahun pada hutan rawa gambut bekas tebangan untuk mendekati jumlah biomassa karbon pada hutan rawa gambut primer. Nilai ph di lokasi penelitian berkisar antara 3,4 sampai dengan 4,0. Suhu lingkungan di lokasi penelitian berkisar antara 24 0 C sampai dengan 28 0 C. Untuk water level di lokasi hutan gambut bekas tebangan berkisar antara 3 cm sampai dengan 120 cm. Sementara itu, tingkat persentase penutupan tajuk berkisar antara 90% sampai dengan 95%. Hutan gambut pada dasarnya memiliki keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu, hutan gambut juga memiliki fungsi jasa lingkungan yang tinggi juga seperti fungsi hidrologi dan fungsi simpanan karbon.pendekatan konservasi dengan upaya perlindungan hutan gambut merupakan pilihan yang tepat dalam pengelolaan hutan gambut yang terganggu akibat kebakaran. Jika suatu hutan gambut telah terganggu akibat kebakaran dan kemudian terjadi kebakaran lagi maka kemungkinan besar hutan gambut tersebut akan sulit pulih kembali dan bisa terjadi disklimaks atau sulitnya pencapaian kembali ekosistem klimaks pada hutan gambut. Spesies-spesies tanaman yang memiliki potensi serapan biomassa maupun cadangan karbon yang tinggi serta memiliki tingkat keberadaan yang tinggi pada semua klaster penelitian dapat dijadikan pilihan bagi upaya rehabilitasi di hutan gambut yang terdegradasi akibat kebakaran hutan. Sintesis

45 Hasil penelitian ini memberikan data dan informasi untuk mendukung upaya moratorium sebagaimana Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dalam Inpres tersebut, salah satu isinya menyebutkan bahwa salah satu tugas Menteri Kehutanan adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem. Hasil penelitian ini dapat mendukung upaya-upaya restorasi ekosistem dengan melakukan pemilihan spesies seperti jenis Ilex cymosa Blume., Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser. dan Cratoxylon arborescens Bl. yang memiliki resiliensi tinggi untuk hidup dan tumbuh pada semua lokasi hutan gambut bekas kebakaran sehingga upaya restorasi yang dilakukan akan semakin tinggi keberhasilannya. Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang di dalamnya menyebutkan target penurunan emisi setiap bidang (Tabel 17). Tabel 17. Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011) Bidang Target penurunan (Gt CO 2 e) 26% 41% Kehutanan dan lahan gambut 0,672 (87,6%) 1,039 (87,4%) Pertanian 0,008 (1,0%) 0,011 (0,9%) Energi dan Transportasi 0,036 (4,7%) 0,056 (4,7%) Industri 0,001 (0,1%) 0,005 (0,4%) Limbah 0,048 (6,3%) 0,078 (6,6%) Total 0,767 (100%) 1,189 (100%) Nilai serapan karbon sebesar 13,57 ton CO 2 eq/ha/tahun dapat digunakan sebagai removal factor untuk penghitungan emisi dengan pendekatan nett emission khususnya di Kalimantan Tengah pada areal hutan gambut bekas terbakar. Hasil penelitian ini juga memberikan acuan pihak lain untuk pendugaan cadangan biomassa karbon berdasarkan persamaan allometrik yang diperoleh. 3. Hutan gambut terdegradasi dengan sistim drainase Hasil pengukuran emisi CO 2 pada lahan gambut terdegradasi dengan sistim drainase, dan HRG yang telah dikonversi menjadi kebun karet dan sawit disajikan pada Tabel 18 berikut. Sintesis

46 Tabel 18. Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim drainase Lokasi pengukuran CO 2 (mg/m 2 /jam) CO 2 (ton/ha/th) HRG terdegradasi 351,50 30,79 Kebun karet 269,14 23,58 Kebun sawit 337,87 29,60 Analisis statistik terhadap hasil pengukuran emisi CO 2 menunjukkan adanya pengaruh nyata dari perbedaan penutupan lahan (hutan terdegradasi, kebun karet dan kebun sawit) terhadap emisi CO 2. Emisi karbon pada hutan terdegradasi lebih tinggi dibandingkan emisi pada kebun (sawit dan karet). Tingginya emisi pada hutan terdegradasi disebabkan oleh adanya saluran drainase yang dibuat secara intensif di sekitar hutan. Akses pada hutan tersebut dibuka dengan membuat jalan masuk. Saluran drainase dibuat membelah hutan dengan kedalaman saluran bervariasi mencapai 2 meter dan lebarnya mencapai 3 meter (Gambar 5) Gambar 5. Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi Pada kebun karet dan sawit, meskipun gambutnya didrainase namun sistim drainasenya tidak seintensif yang ada di kawasan hutan terdegradasi. Kondisi lapangan lainnya yang memungkinkan terjadinya perbedaan angka emisi antara lain perbedaan ketebalan gambut. Tutupan hutan memiliki rerata ketebalan gambut 2,20 m, sedangkan karet dan sawit ketebalan gambutnya masing-masing 1,82 dan 1,68 m. Ketebalan gambut ini juga berpengaruh terhadap dinamika nilai fluks CO 2 yang dihasilkan, baik pada proses keluarnya gas CO 2 maupun proses dekomposisi yang menghasikan gas CO 2 (Sylvia et al., 1998). Hasil pengukuran serapan karbon yang dilakukan dengan metode chamber dari ketiga kondisi tutupan lahan gambut (HRG terdegradasi, HRG konversi kekebun karet dan kebun sawit) disajikan pada Tabel 19 berikut. Sintesis

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT KOORDINATOR : DR. HERMAN DARYONO Bogor, Maret 2015 Tim pelaksana : Cut Rizlani, Bastoni, Adi Kunarso, Syahban, Taulana Sukandi, Sukaesih Pradjadinata, Hesti

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut UjI COBA TEKNIK BIO REMEDIASI BERBAGAI KONDISI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DI SUMSEL Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Sulfat Masam dengan Jenis Melaleuca

Lebih terperinci

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi Oleh Bastoni dan Tim Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

Lebih terperinci

CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME

CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME BOGOR, 13 NOV NO Kegiatan Target Output Penelitian dan Pengembangan Produktifitas Hutan 1. Laporan Hasil Penelitian Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu 1.1 Studi Kebutuhan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan

Lebih terperinci

RPI 1. KONSERVASI DAN REHABILITASI KAWASAN HUTAN DAN LAHAN

RPI 1. KONSERVASI DAN REHABILITASI KAWASAN HUTAN DAN LAHAN RPI 1. KONSERVASI DAN REHABILITASI KAWASAN HUTAN DAN LAHAN 25 Agustus 2014, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor 1.Sub RPI Konservasi dan rehabilitasi lahan kering (Dr. Haruni Krisnamurti)

Lebih terperinci

KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM

KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF TAHUN 2015 2019 KODEFIKASI RPI 13 KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM Koordinator Ari Wibowo Sub Koordinator Niken Sakuntaladewi Deden Djaenudin

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

Beberapa Permasalahan di Hutan dan Lahan Gambut

Beberapa Permasalahan di Hutan dan Lahan Gambut PENGEMBANGAN INOVASI KOMODITAS RAMAH GAMBUT: POTENSI DAN TANTANGAN Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kick-Off Seminar Bogor, 13 Oktober 2016 Beberapa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI SINTESIS RPI 4 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN Koordinator Endro Subiandono Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, 2015 Luaran RPI-4 dan Strategi Pencapaiannya Melalui berbagai Kegiatan Penelitian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Nomor: SK.24/VIII-SET/2010 TENTANG PENETAPAN PENELITIAN INTEGRATIF

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG Balai Besar CAPAIAN KEGIATAN LITBANG 10-14 CAPAIAN RENSTRA 10-14 B2PD 1. Pengelolaan Hutan Alam /sub kegiatan A. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari 1) pembinaan/pengayaan intensif di hutan alam pasca

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Matrik Keterkaitan Program Nasional, Program Badan Litbang dan Program Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Tahun

LAMPIRAN 1. Matrik Keterkaitan Program Nasional, Program Badan Litbang dan Program Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Tahun LAMPIRAN 1. Matrik Keterkaitan Program Nasional, Program Badan Litbang dan Program Balai Penelitian Kean Banjarbaru Tahun 2010 2014 PROGRAM NASIONAL Program Penelitian dan Pengembangan Departemen Kean

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS BADAN LITBANG KEHUTANAN 2010-2014 V I S I Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan yang terkemuka dalam mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan di dalamnya terdapat beranekaragam flora dan fauna. Hutan rawa gambut memainkan suatu peranan yang penting

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN TANAMAN, RESTORASI EKOSISTEM DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM YOGYAKARTA, NOPEMBER 2014

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN TANAMAN, RESTORASI EKOSISTEM DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM YOGYAKARTA, NOPEMBER 2014 RUMUSAN SEMINAR NASIONAL BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN TANAMAN, RESTORASI EKOSISTEM DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM YOGYAKARTA, 19-20 NOPEMBER 2014 Seminar Nasional Benih Unggul untuk Hutan Tanaman, Restorasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim. Surakarta, 8 Desember 2011

Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim. Surakarta, 8 Desember 2011 Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim Surakarta, 8 Desember 2011 BALAI BESAR LITBANG SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO PERMASALAHAN HUTAN ALAM TERFRAGMENTASI HUTAN PRIMER LOA (KONDISI BAIK, SEDANG) LOA RUSAK PENERAPANTEKNOLOGI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Koordinator : Judul Kegiatan : Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN Permata Hotel, 13 November 2014 PUSKONSER MELAKSANAKAN 7 RPI YANG DIKELOMPOKKAN KE DALAM 3 PROGRAM LITBANG PROGRAM 2 : HUTAN ALAM PROGRAM 4 : BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA PENYEBAB Kebakaran hutan penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan Salah

Lebih terperinci

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi TUJUAN: MENYEDIAKAN IPTEK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN ALAM PRODUKSI UNTUK MENDUKUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN MENUJU TERWUJUDNYA KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SASARAN: TERSEDIANYA

Lebih terperinci

CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI

CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI CAPAIAN RENSTRA 2014 CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEAN AEK NAULI 2010-2014 Bogor, 13-14 NOPEMBER 2014 1 BALAI PENELITIAN KEAN AEK NAULI Visi : Terwujudnya Balai Peneitian Kehutanan Aek Nauli sebagai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Dr. Muhammad Syakir, MS Kepala Kongres Nasional VII Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) dan Seminar Pengelolaan Lahan Sub-optimal Secara

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Taryono Darusman 1, Asep Mulyana 2 dan Rachmat Budiono 3 Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan

Lebih terperinci

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL

Lebih terperinci

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

POTRET GAMBUT KALIMANTAN POTRET GAMBUT KALIMANTAN Disusun Oleh: 1) Firman Dermawan Yuda, S.Hut., M.Sc. (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan Pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH P3E Kalimantan) 2) Riza Murti Subekti, S.Hut.,

Lebih terperinci

PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP

PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 04 I 27 Juli 2016 USAID LESTARI PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP Penulis: Christopher Bennett Editor: Suhardi Suryadi PENGANTAR

Lebih terperinci

Setitik Harapan dari Ajamu

Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu: Pelajaran tentang Sukses Pemanfaataan Gambut Dalam untuk Sawit Oleh: Suwardi, Gunawan Djajakirana, Darmawan dan Basuki Sumawinata Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN OLEH : SOENARNO PUSAT PENELITIAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB terus merosot dari1,5% pada 1990-an menjadi sebesar 0,67% pada tahun 2012 (Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II) dan tahun terakhir pelaksanaan Repelita VI. Selama kurun waktu Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci