MODEL PENCEGAHAN MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA TECHNICAL BRIEF
|
|
- Yanti Cahyadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 VERSION 2.2 APRIL 24, 2016 Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM MODEL PENCEGAHAN MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA TECHNICAL BRIEF PANDE JANURAGA AANG SUTRISNA VIDIA DARMAWI
2 1 MODEL PENCEGAHAN MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA PENDAHULUAN Penularan HIV melalui transmisi seksual merupakan jalur utama penyebaran HIV di Indonesia. Estimasi dan proyeksi epidemi HIV menunjukan 90% dari 70,000 80,000 infeksi baru HIV per tahun pada tahun terjadi melalui hubungan seks, sedangkan penularan melalui pertukaran alat suntik tidak steril hanya 3% dan 7% lainnya adalah penularan dari ibu kepada bayinya. Estimasi ini konsisten dengan persentase faktor risiko kasus AIDS yang dilaporkan hingga akhir 2015 yaitu 80% heteroseksual, 8% homoseksual (LSL), 4% Ibu positif HIV ke anaknya, dan 3% Penasun. Selama ini penanggulangan HIV-AIDS pada populasi kunci yaitu WPS, LSL dan Waria terutama terlaksana berkat dorongan inisiatif global berupa bantuan finansial yang memiliki konsekuensi berwarna dan dinamisnya perkembangan kebijakan dan program penanggulangan HIV-AIDS pada populasi ini, namun apapun itu, program penanggulangan HIV-AIDS pada kelompok ini hampir seluruhnya merupakan intervensi kesehatan spesifik yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV melalui transmisi seksual. Meskipun telah banyak dilaporkan bahwa intervensi spesifik lebih efisien diterapkan terutama pada negara-negara dengan keterbatasan sumber daya, telah dilaporkan beberapa kelemahan termasuk yang ditemukan dalam rangkaian penelitian I dan II Kebijakan dan Program HIV & AIDS Dalam Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, diantaranya: 1) berkembangnya sistem ganda atau paralel dalam sistem kesehatan, 2) kekhawatiran akan tergerusnya sumber daya dari sistem kesehatan kepada intervensi kesehatan spesifik yang memiliki skema pendanaan perbeda, serta yang paling ditakutkan adalah 3) lemahnya insentif dan adopsi sistem kesehatan terutama di daerah untuk mendukung upaya penanggulangan yang kemudian mengancam keberlanjutan program. Diperlukan upaya sistematis untuk mengintegrasikan intervensi kesehatan spesifik pencegahan melalui transmisi seksual kedalam tatanan keorganisasian sistem kesehatan pada umumnya dengan memperhatikan aspek struktural dan fungsional yang mampu menjamin keberlangsungan layanan di tingkat akar rumput. Terkait hal tersebut mengacu pada SKN 2012 serta serta arah kebijakan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan , pengembangan pelayanan kesehatan diharapkan mengacu pada 3 hal penting yaitu (1) Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer (2) Penerapan Pendekatan Keberlanjutan Pelayanan (Continuum of Care) (3) Intervensi Berbasis Risiko Kesehatan. Oleh karena itu penelitian ini mencoba membangun model layanan dalam Program PMTS yang dapat dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan terdepan yaitu Puskesmas dan jejaringnya. Model dibangun dengan mempertimbangkan berbagai peraturan, kebijakan dan pedoman yang telah ada, serta rekomendasi program prioritas sehingga diharapkan mampu menjawab kebutuhan akan konsep dan pola integrasi intervensi kesehatan spesifik pencegahan melalui transmisi seksual kedalam sistem pelayanan di Puskesmas dan jejaringnya. TUJUAN MODEL 1. Menjabarkan layanan dan kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual yang dapat dilaksanakan di tingkat layanan primer (Puskesmas dan jejaringnya) serta tingkatan integrasinya dengan layanan atau kegiatan mainstream (umumnya) di Puskesmas 2. Menjabarkan model kebijakan operasional yang dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya layanan atau kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer Puskesmas dan jejaringnya
3 2 TAHAPAN PENGEMBANGAN MODEL Pengembangan model layanan dan kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer Puskesmas dan jejaringnya dilakukan melalui tahapan berikut: 1. Studi literatur (literature review) terhadap literatur internasional, nasional, dokumen kebijakan dan laporan program untuk menghasilkan kertas kerja model layanan dan kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer Puskesmas dan jejaringnya 2. Studi Delphi dengan tujuan untuk membentuk konsensus model layanan dan kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer Puskesmas dan jejaringnya 3. Penyusunan dokumen model final layanan dan kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer Puskesmas dan kejaringnya 4. Desiminasi model TIM PENYUSUN Model dikembangkan oleh tiga orang konsultan PKMK FK UGM yaitu: 1. Pande Putu Januraga 2. Aang Sutrisna 3. Vidia Darmawi Tim bekerjasama dengan peneliti internal PKMK UGM yang terdiri dari: 1. Ignatius Praptoraharjo 2. Eviana Hapsari Dewi 3. Hersumpana 4. M Suharni 5. Ita Perwira 6. Swasti Sempulur KERANGKA KERJA MODEL PENDEKATAN CONTINUUM OF INTEGRATION SEBAGAI DASAR BERPIKIR INTEGRASI LAYANAN Dalam mengembangkan model layanan pencegahan melalui transmisi seksual, tim menggunakan pendekatan continuum of integration untuk memetakan tingkat integrasi layanan atau kegiatan di tingkat layanan primer Puskesmas dan jejaringnya. Pendekatan ini dipilih dengan tidak sematamata memandang integrasi sebagai keharusan melainkan sebagai metode untuk menghasilkan layanan yang dapat diakses, berkeadilan dan juga memenuhi kebutuhan dasar semua pihak dan tentunya berkelanjutan. Definisi operasional continuum of integration yang digunakan dalam model ini diadopsi dari Doherty et al 1996 dan Blount 2003 dengan membagi tingkatan integrasi menjadi coordinated services, co-located services dan terakhir integrated services. Berikut adalah definisi operasional masing-masing tingkatan integrasi layanan dan kegiatan yang digunakan dalam model ini:
4 3 1. Coordinated services/layanan terkoordinasi o o Level 1 kolaborasi minimal (minimal collaboration) Pelayanan atau kegiatan dilakukan di fasilitas yang terpisah dengan sistem yang berbeda dengan sistem penyelenggaraan layanan Puskesmas. Penyelenggara layanan atau kegiatan berkomunikasi secara minimal atau cukup jarang dengan pihak Puskesmas. Komunikasi dilakukan tergantung kebutuhan pelayanan bagi individu atau kelompok masyarakat. Level 2 Kolaborasi dasar secara terpisah (basic collaboration at distance) Pelayanan atau kegiatan dilakukan di fasilitas yang terpisah dengan puskesmas serta menggunakan sistem yang berbeda, tetapi pelaksana layanan atau kegiatan yang terpisah dan puskesmas memandang satu sama lainnya sebagai sumber informasi sehingga berkomunikasi secara periodik tentang kelompok atau individu yang dilayani. 2. Co-located services/layanan di lokasi yang sama o o Level 3 kolaborasi dasar di lokasi yang sama (basic collaboration onsite) Layanan berada di dalam lokasi yang sama dengan layanan mainstream, tetapi dapat berbagi atau tidak berbagi ruang yang sama. Sistem yang digunakan masih terpisah tetapi komunikasi menjadi sangat intens karena berada di lokasi yang sama. Saling rujuk layanan atau kegiatan sangat mungkin terjadi karena berada dalam lokasi yang sama. Pemberi layanan merasa sebagai bagian dari sebuah tim meskipun belum jelas bagaimana mekanisme kerjanya sehingga keputusan terhadap kelompok atau individu yang dilayani masih dilakukan secara mandiri oleh masing-masing pemberi layanan. Level 4 - Kolaborasi erat dengan beberapa komponen sistem terintegrasi (close collaboration with some system integration) Mulai ada beberapa sub-sistem layanan atau kegiatan yang diintegrasikan dengan layanan mainstream, pembagian tugas dan kewenangan antar pemberi layanan dalam satu lokasi sudah jelas. 3. Integrated services/layanan yang terintegrasi o o Level 5 Pendekatan kolaborasi dan terintegrasi (Close Collaboration Approaching an Integrated Practice) Level kolaborasi dan integrasi layanan/kegiatan cukup tinggi, masing masing provider jelas merupakan anggota dari satu kesatuan layanan dengan komunikasi personal yang cukup intens. Tujuannya adalah efisiensi dan efektivitas layanan dengan peran dan fungsi yang jelas, meskipun beberapa komponen sistem masih sulit diintegrasikan misalnya rekam medis pasien. Level 6 Transformasi kolaborasi penuh (Full Collaboration in a Transformed/Merged Practice) Tingkatan integrasi tertinggi, layanan dan kegiatan diselenggarakan dalam satu kesatuan layanan (transformed-merged) terhadap kelompok atau perseorangan secara menyeluruh (as a whole). Prinsip layanan berlaku untuk semua kelompok atau individu pasien tidak hanya kelompok atau individu spesifik.
5 4 KOMPONEN LAYANAN PENCEGAHAN MELALUI TRANSMISI SEKSUAL Selanjutnya untuk memetakan apa saja layanan atau kegiatan minimal pencegahan melalui transmisi seksual yang ada di tingkat layanan primer serta tentu saja tingkat integrasi masingmasing layanan atau kegiatan tersebut, tim penyusun menggunakan rujukan utama PMK Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang membagi dimensi pelayanan pencegahan melalui transmisi seksual ke dalam 4 kelompok kegiatan utama yaitu: 1. Peningkatan peran positif pemangku kepentingan lokal 2. Komunikasi perubahan perilaku yang berazaskan pemberdayaan 3. Jaminan ketersediaan dan akses kondom dan pelicin 4. Manajemen IMS yang komprehensif Penggunaan rujukan utama ini adalah untuk memastikan bahwa model yang disusun telah didasarkan pada bentuk nyata pelayanan pencegahan yang sudah ada di tingkat paling dasar sehingga modifikasi atau perubahan yang ditawarkan adalah bentuk perbaikan dari model praktis yang ada saat ini. Mengingat bahwa selama ini indikator kegiatan dalam pelaksanaan kegiatan PMTS masih lebih terbatas pada pelayanan dan kegiatan bagi populasi WPS yang terlokalisasi saja serta pembatasan definisi pencegahan melalui transmisi seksual hanya pada upaya perubahan perilaku untuk memakai kondom dan pengendalian IMS maka fokus usulan perbaikan model praktis akan mengadopsi konsep pencegahan yang lebih komprehensif pada seluruh populasi kunci dan masyarakat luas dengan menyertakan pendekatan treatment as prevention di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan di atas ditambah dengan hasil kajian terhadap berbagai literatur yang ada terutama terkait efektifitas kegiatan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat pemberi pelayanan tingkat primer, maka susunan komponen layanan akan dikelompokkan sebagai berikut: 1. Penyediaan dan distribusi kondom termasuk lubrikan 2. Manajemen IMS termasuk sirkumsisi 3. Pencegahan berbasis ART termasuk di dalamnya perluasan tes HIV 4. Penguatan peran lintas sektor di tingkat layanan primer 5. Pendidikan kesehatan dan pemberdayaan komunitas Sangat disadari bahwa pelaksanaan layanan di atas sangat bergantung pada dukungan struktural (structural supports) di tingkat organisasi layanan dan juga dimensi atau fungsi sistem kesehatan, sehingga kemudian pembahasan pada model layanan juga akan mengakomodir dukungan struktural yang dibutuhkan untuk mensukseskan layanan pencegahan.
6 5 KERANGKA KERJA (FRAMEWORK) MODEL PMTS DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER 1. Sistem 2. Situasi epidemi dan konteks 3. Organisasi layanan 1. Pembiayaan kesehatan 2. SDM Kesehatan 3. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan 4. Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan 5. Pemberdayaan masyarakat 1. Epidemi terkonsentrasi/meluas 2. Kondisi stigma dan 1. SDM 1.1. Komposisi profesional kesehatan 1.2. Pelatihan 2. Infrastruktur puskesmas 2.1. IT 2.2. Teknologi kedokteran/kesehatan 2.3. Ketersediaan space-ruangan 3. Struktur organisasi 3.1. Tugas dan kewenangan 3.2. SOP termasuk SOP klinik 3.3. Budaya organisasi 4. Logistik pencegahan dan alkes MODEL LAYANAN (Health service delivery model) Domain PMTS Continuum of integration* Co-ordinated Co-located Integrated DOMAIN KINERJA LAYANAN Akses Hubungan penyediapopulasi kunci Kesinambungan layanan (continuity) Kepuasan layanan 1. Ketersediaan 2. Cakupan 3. Keberlangsungan 1. Komunikasi interpersonal 2. Respectfulness 3. Trust 4. Kompetensi kultural 1. Kesinambungan hubungan (relational continuity) 2. Kesinambungan informasi 1. Indeks/score kepuasan pelanggan 2. Indeks/score kepuasan stakeholders
7 6 KAJIAN TERHADAP MODEL PRAKTIS YANG BERLAKU SAAT INI Dalam menyusun usulan model pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat pelayanan primer Puskesmas dan jejaringnya, tim melakukan kajian terhadap model praktis yang berlaku saat ini dan kemudian masalah terkait yang membuat model praktis tersebut tidak mampu secara optimal menjamin ketersediaan, keterjangkauan, keadilan dan kesinambungan layanan pencegahan. Berikut adalah ringkasan dari kajian per kelompok layanan atau kegiatan: Penyediaan dan distribusi kondom termasuk lubrikan Dukungan regulasi: PMK , PMK , PMK , SE Menkes , Pedoman LKB-2012, Pedoman PMTS-2010, Pedoman PMTS Paripurna 2014 Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: 1. Penyediaan kondom dan distribusi kondom di Puskesmas dan klinik IMS swasta 2. Penyediaan kondom dan distribusi di outlet-outlet kondom di lokasi dan hotspot 3. Distribusi kondom lewat petugas lapangan dan peer educator 4. Penjualan kondom di berbagai toko obat, apotik dan berbagai jenis toko atau mart lainnya Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: 1. Penyediaan dan distribusi kondom serta lubrikan untuk program PMTS d 141 kab/kota prioritas di kelola oleh KPA dengan dominansi dukungan pendanaan GF dan sebagian kecil APBN Menko PMK. 2. Penyediaan dan distribusi kondom dari BKKBN masih terbatas untuk aseptor KB dan belum ada mekanisme khusus untuk populasi kunci yang menggunakan kondom sebagai alat pencegahan penularan HIV dan IMS lainnya. Selain itu distribusi kondom melalui BKKBN masih menempatkan perempuan sebagai satu-satunya saluran, peran lak-laki masih terbatas. Lubrikan belum termasuk alat kesehatan yang disediakan oleh BKKBN. 3. Meskipun mayoritas pengadaan ada di KPAN dan BKKBN, kedua lembaga ini tidak memiliki struktur dan SDM sampai di akar rumput untuk mendistribusikan kondom dan lubrikan sampai ke tingkat layanan. 4. Distribusi kondom dari BKKBN dan KPA tidak selalu melalui Ditbinfar, sehingga ketika kondom didrop ke Dinas Kesehatan, jika gudang tidak mencukupi, maka penyimpanan tidak bisa dijamin baik. Seringkali mengalami keterlambatan pengiriman, gudang farmasi penuh dan tempat penyimpanan tidak memenuhi syarat sehingga mempengaruhi kualitas kondom. Jumlah kiriman tidak sesuai dengan kebutuhan (bisa kurang atau lebih) karena juga tergantung jatah kondom yang didapat di daerah. 5. Model distribusi kondom kepada populasi kunci masih bergantung pada melalui petugas lapangan dari PR GF-ATM (sebagai bagian paket IPP, cakupannya 18%-67%), fasilitas kesehatan (cakupannya 8%-22%) dan outlet lainnya (cakupannya 1%-20%) 6. Model outlet kondom hanya berlaku efektif di lokasi atau hotspot yang sudah teridentifikasi dengan jelas, tantangannya adalah distribusi pada kelompok yang lebih tersembunyi misalnya jejaring LSL dan WPSTL. 7. Pendistribusian kondom melalui penjangkau lapangan atau pendidik sebaya menghadapi tantangan sosial terkait isu prostitusi dan pelarangan aktivitas LGBT oleh komponen pemerintah dan masyarakat
8 7 8. Tantangan sosial, budaya dan politik masih menjadi polemik dalam layanan kondom untuk program PMTS. Dalam banyak kasus keberadaan kondom bisa dianggap sebagai bukti adanya prostitusi sehingga merupakan tantangan bagi keberlangsungan outlet kondom 9. Belum ada prioritas pendanaan kondom oleh sektor kesehatan, walaupun telah didukung dengan Permenkes tentang Petunjuk Teknis BOK mengenai kondom program HIV. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan berperan sebagai Pembina teknis dalam pemanfaatan dana BOK. Kendalanya, belum tentu sektor non-kesehatan dalam jajaran Pemda, memahami urgensi pengadaan alat pencegahan HIV (kondom) terkait tingkat epidemi yang dialami. Aturan dana DAK non-fisik masih memungkinkan Dinkes Provinsi mengajukan pengadaan barang melalui DAK non-fisik, dengan kuantitas sbg buffer (tidak banyak). Belum pernah ada contoh Puskesmas yang mengadakan kondom bersumber dana DAK non-fisik. Agak sulit utk mengadakan jenis barang yang sama (kondom) oleh 2 instansi, yaitu BKKBN atau sektor Kesehatan. Manajemen IMS Dukungan regulasi: PMK , SE Menkes , Pedoman IMS-2011, SE Dirjen P2PL Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: 1. Pelayanan kesehatan perorangan primer berupa pemeriksaan dan pengobatan IMS baik di dalam gedung maupun dengan mobile klinik 2. Pelayanan kesehatan masyarakat primer berupa skrining dan surveilans IMS Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: 1. Layanan ini sudah terintegrasi baik secara kebijakan, manajemen pengelolaan maupun teknis pelayanan kedalam pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) Puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Jumlah Puskesmas yang menyediakan layanan ini meningkat dari 92 (2010) menjadi 801 (2015) dengan hasil cakupan Puskesmas untuk kasus IMS dengan gejala pada semua populasi kunci meningkat dari 11%-40% (2011) mennjadi 12% -54% (2015) 2. Belum ada kebijakan, sistem dan mekanisme pelayanan IMS dalam pelayanan kesehatan masyarakat primer (PKMP) yang jelas walaupun beberapa model pelayanan seperti pengobatan presumtif berkala Gonore dan Klamidia serta penapisan pada WPS dan Waria pernah /(masih?) dilakukan. 3. Sarana, prasarana dasar untuk menyediakan layanan ini sudah masuk dalam standar Puskesmas tetapi operasional PKMP berupa layanan mobile masih sebagian besar di dukung dana GF-ATM 4. Ada beberapa klinik non-puskesmas yang menyelenggarakan PKPP dan PKMP, misalnya di Jakarta dan Bali, layanan ini untuk populasi tertentu dengan hasil yang cukup baik
9 8 Pencegahan berbasis ART termasuk di dalamnya perluasan tes HIV Dukungan regulasi: PMK , Pedoman LKB-2012, SE Dirjen P2PL , PerPres , PMK , Kepemenkes , SE Menkes , Pedoman ART-2011 Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: 1. Tes HIV dalam bentuk VCT (mobile dan dalam gedung), PITC, PMTCT 2. Pengobatan ARV Masalah di tingkat sistem, organisasi, dan layanan: 1. Layanan tes HIV ini sudah cukup terintegrasi baik secara kebijakan, organisasi maupun teknis pelayanan kedalam PKPP dan PKMP Puskesmas yang ditunjuk dan terlatih. Jumlah PKM yang menyediakan layanan ini meningkat dari 385 (2010) menjadi 1,391 (2015) dan mulai terintegrasi dengan layanan ANC dan TB. 2. Penyediaan 95% sarana layanan tes disediakan oleh pemerintah dan 5% nya oleh GF-ATM. Model pembiayaan sebagian besar operasional PKMP berupa layanan mobile sebagai salah satu layanan KT HIV yang cukup efektif menjangkau populasi kunci yang sulit, masih berasal dari dana GF-ATM 3. Ada beberapa klinik non-puskesmas yang menyelenggarakan PKPP layanan tes untuk populasi tertentu dengan hasil yang cukup baik 4. Cakupan layanan tes meningkat pada semua populasi kunci kecuali Lelaki Berisiko Tinggi dari 19-64% (2007) menjadi 50-89% 5. Layanan pengobatan ART sebagai pencegahan dan PEP akibat kecelakaan di tempat kerja sudah terintegrasi secara kebijakan dengan PKPP di Puskesmas, sedangkan integrasi sistem dalam mendukung layanan dan integrasi pelayanan masih memiliki banyak ruang untuk peningkatan. Hingga 2014 sebanyak 333 Puskesmas sudah menyediakan layanan ini dan ditargetkat menjadi 1,558 Puskesmas di tahun Sistem pembiayaan dan distribusi ART belum dapat terintegrasi penuh dengan sistem manajemen logistik puskesmas dan masih bersifat vertikal dikelola oleh Kemenkes % kebutuhan ART lini pertama ditanggung oleh APBN, sedangkan lini ke 2 dan 5% lini pertama masih dibantu GF-ATM47 8. Belum ada kebijakan PrEP Penguatan peran lintas sektor di tingkat layanan primer Dukungan regulasi: Pedoman LKB 2012, PMK Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: 1. Pokja lokasi pada WPS yang berbasis lokalisasi 2. Pokja tempat kerja untuk WPS yang berbasis tempat kerja (WPSTL) 3. Pokja berbasis wilayah Masalah di tingkat sistem, organisasi dan layanan: 1. Dukungan pendanaan, Sumber Daya dan teknis operasional pokja masih berasal dari utamanya sistem kesehatan melalui jejaring KPA dan OMS yang bergantung pada pendanaan bersumber donor, belum terlihat peran pendanaan, Sumber Daya dan teknis operasional dari instansi lintas sektor seperti dinas sosial dan satpol PP
10 9 2. Target penutupan lokalisasi oleh Kemensos menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kinerja pokja lokasi, pergeseran pola kerja WPSL ke WPSTL sangat mungkin terjadi dan keberadaan pokja berbasis tempat kerja masih sulit dibentuk karena rendahnya keterlibatan instansi terkait seperti dinas sosial, pariwisata, perijinan, dll Pendidikan kesehatan dan pemberdayaan komunitas Dukungan regulasi: PMK , SKB , SE Menkes Kegiatan yang saat ini tersedia di tingkat layanan primer: 1. Menyasar masyarakat luas: a. Penyediaan media pendidikan kesehatan masyarakat di Puskesmas dan klinik IMS lainnya b. Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan pembentukan kader siswa peduli AIDS dan narkoba (KSPAN) c. Kader desa peduli AIDS (KDPA) atau Warga Peduli AIDS (WPA) atau kader LKB di beberapa daerah d. Kampanye Kesehatan Reproduksi: Aku Bangga Aku Tahu (ABAT), Generasi Genre dari BKKBN 2. Menyasar populasi kunci a. Pendidikan kesehatan melalui petugas lapangan atau pendidik sebaya pada populasi kunci dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, pemakaian kondom dan akses ke layanan kesehatan IMS dan HIV-AIDS. Aktivitas dilakukan secara langsung atau bersama-sama dengan layanan mobile clinic tes HIV-IMS b. Pembentukan jejaring dan pemberdayaan ekonomi kelompok populasi kunci seperti kelompok dampingan sebaya (KDS) bagi ODHA dan kelompok-kelompok ekonomi kreatif seperti KDS Melati di Bali Masalah di tingkat sistem, organisasi dan layanan: 1. Pendekatan penjangkauan melalui media sosial perlu ekstra hati-hati, terkait UU ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (No. 11/2008) dan Undang-Undang tentang Pornografi (No. 44/2008). Banyak situs web organisasi LGBT baik Indonesia maupun internasional telah diblokir oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau Kementerian Komunikasi dan Informasi 2. Target penutupan semua lokalisasi di Indonesia pada tahun 2019 oleh Kementrian Sosial, akan meningkatkan jumlah dan sebaran lokasi kecil dan tersembunyi. Hal ini menyebabkan tatanan perorganisasian populasi WPS akan semakin menantang dengan petugas penjangkau yang makin besar karena harus menyebar ke banyak lokasi baru. 3. Di sebagian besar lokasi, petugas penjangkau di bawah naungan LSM, dan LSM masih mengandalkan bantuan sepenuhnya dari lembaga internasional untuk melakukan penjangkauan di kantong-kantong lokasi. Padahal proporsi bantuan international semakin menurun, dari 65% ke 57% (NASA 2012). 4. Lebih lanjut dalam prakteknya banyak petugas penjangkau yang ditempatkan di Puskesmas tetapi masih bertanggung jawab pada OMS/LSM yang menyebabkan kurang maksimalnya kinerja petugas penjangkau yang ditempatkan di Puskesmas. Petugas penjangkau merasa tdk memiliki kewajiban melapor, dan di sisi lain puskesmas tidak dalam posisi mengontrol kinerja petugas penjangkau, karena petugas penjangkau direkrut dan didanai melalui Dinas Kesehatan.
11 10 5. Cakupan layanan IPP di tingkat komunitas dan komunikasi interpersonal untuk mengurangi perilaku berisko semakin menurun. Hal ini dapat di lihat dari perbandingan persentase populasi kunci yang pernah menerima > 3 kali IPP dari petugas lapangan dalam 1 tahun terakhir hasil STBP 2007 (2%-47%) dan 2011 (1%-19%). 6. Isu sosial terkait pelarangan aktivitas berkumpul LGBT menghambat penyebarluasan informasi kesehatan secara langsung, sementara jumlah populasi LSL yang semakin banyak belum diimbangi dengan jumlah tenaga penjangkau dan petugas lapangan 7. Selama ini belum ada upaya nyata untuk mengupayakan link antara pendidikan kesehatan dan pemberdayaan terutama kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Data hasil penjangkauan menunjukkan cakupan yang tinggi tetapi akses ke pemeriksaan IMS, test HIV dan ART masih terbatas yang menyebabkan cascade pelayanan tes dan pengobatan menjadi lebar. USULAN MODEL PELAYANAN DI TINGKAT PRIMER Dengan memperhatikan kondisi layanan terkini dan kemudian hasil kajian terhadap berbagai permasalahan di tingkat sistem, organisasi dan layanan pencegahan melalui transmisi seksual serta kajian literatur internasional dan nasional terkait efektivitas layanan pencegahan melalui transmisi seksual, model yang dapat diusulkan dari tingkat layanan, organisasi dan sistem kesehatan adalah sebagai berikut: Model layanan pengadaan dan distribusi kondom Tingkat pelayanan primer: 1. Coordinated services dengan kolaborasi minimal untuk distribusi kondom pada pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) swasta dimana kondom tersedia di berbagai tempat penjualan dan klinik. Di tingkat klinik kesehatan reproduksi pembagian kondom kepada setiap pasien wajib dilakukan. 2. Colocated services (close collaboration) untuk distribusi kondom pada pelayanan kesehatan masyarakat primer (PKMP) melalui petugas penjangkau lapangan. Petugas penjangkau lapangan dapat dibayar melalui organisasi masyarakat sipil (OMS) atau kontrak kerja langsung dengan Dinas Kesehatan atau KPAK dimana pengkoordinasian tugas dan mekanisme monitoring serta evaluasi pelaksanaannya berada di tingkat Puskesmas. Petugas penjangkau tetap melakukan pelaporan kegiatannya kepada pihak yang membayar. 3. Integrated services untuk distribusi kondom pada perorangan yang mengakses layanan IMS, VCT dan KB Kebutuhan di tingkat organisasi layanan 1. Menambahkan komponen distribusi kondom dalam SIHA dan berupaya menginntegrasikan laporan SIHA dengan laporan SIMPUS. Kebutuhan di tingkat sistem kesehatan 1. Advokasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah untuk penyediaan dan distribusi kondom di layanan kesehatan reproduksi (KIA/KB, IMS), dan lokasi transaksi seks komersial. 2. Advokasi pemenuhan logistik kondom dari BKKBN kepada layanan untuk klinik IMS (dual protection). 3. Advokasi pemenuhan logistik kondom program HIV dari BOK dan APBD kepada layanan Puskesmas
12 11 4. Advokasi penganggaran tenaga penjangkau lapangan melalui tenaga kontrak dinas kesehatan atau KPAK 5. Advokasi dana BLM untuk kegiatan pemberdayaan populasi kunci kepada Kementerian Sosial/ Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat; untuk mendukung kegiatan OMS melalui skema dana hibah/ bantuan sosial (Gubernur, Bupati/Walikota). 6. Advokasi ke aparat hukum terkait fungsi outlet kondom dan fungsi kondom sebagai alat kesehatan Model manajemen IMS Tingkat pelayanan primer: 1. Integrated practiced dimana layanan diagnosis dan pengobatan IMS dilakukan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) yang wajib diberikan Puskesmas, layanan berada dalam satu gedung dan jika dilakukan mobile merupakan bagian dari kegiatan mobile clinic Puskesmas. 2. Integrated practiced dimana layanan sirkumsisi sukarela dilakukan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) yang dapat diberikan Puskesmas terutama di daerah epidemi terkonsentrasi meluas atau daerah dengan mayoritas masyarakat yang tidak mempraktekkan sirkumsisi. 3. Integrated practiced untuk penapisan IMS baik di dalam gedung Puskesmas maupun di mobile clinic. 4. Coordinated care (basic collaboration at distance) untuk layanan diagnosis dan pengobatan IMS yang dilakukan di klinik IMS swasta dan dokter praktek swasta baik dokter umum maupun dokter spesialis. Puskesmas dan dokter atau klinik IMS swasta memandang satu sama lainnya saling melengkapi. Dokter swasta dan klinik IMS wajib melaporkan data IMS sebagai bagian dari surveilans pasif Dinkes dan sistem rujukan dapat terjadi diantara pemberi layanan. Kebutuhan di tingkat organisasi layanan 1. Pelatihan tata kelola IMS terutama dokter dan bidan secara regular mengingat mobilitas staff klinik Puskesmas yang cukup tinggi 2. Penjaminan ketersediaan alat dan obat terkait IMS 3. SOP dan pedoman tata laksana IMS di tingkat layanan primer termasuk untuk PPT, PPP dan penapisan IMS Kebutuhan di tingkat sistem kesehatan 1. Advokasi pendanaan untuk penapisan IMS dan PPP serta presumtif berkala Gonore dan Klamidia 2. Advokasi penerapan aturan untuk memastikan dokter praktek dan klinik swasta melaporkan kasus IMS yang ditangani misalnya dikaitkan dengan konsekuensi perpanjangan STR
13 12 Model pencegahan berbasis ART termasuk di dalamnya perluasan tes HIV Tingkat pelayanan primer: 1. Integrated practiced di Puskesmas dimana layanan tes HIV (VCT, PITC, PMTCT) dilakukan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) yang wajib diberikan Puskesmas, layanan berada dalam satu gedung dan jika dilakukan mobile merupakan bagian dari kegiatan mobile clinic Puskesmas. 2. Coordinated care (basic collaboration at distance) untuk layanan tes HIV yang dilakukan di klinik swasta dan dokter praktek swasta baik dokter umum maupun dokter spesialis. Puskesmas dan dokter atau klinik IMS swasta memandang satu sama lainnya saling melengkapi. Dokter swasta dan klinik IMS wajib melaporkan data tes HIV dalam sistem SIHA VCT sebagai bagian dari surveilans pasif Dinkes dan sistem rujukan dapat terjadi diantara pemberi layanan. 3. Integrated practice di Puskesmas untuk layanan ART termasuk post exposure profilaksis (PEP)akibat kecelakaan kerja sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan perorangan primer (PKPP) yang wajib diberikan Puskesmas, layanan berada dalam satu gedung. 4. Coordinated care (basic collaboration at distance) untuk layanan ART yang dilakukan di RS, klinik swasta dan dokter praktek swasta baik dokter umum maupun dokter spesialis. Puskesmas dan dokter atau klinik IMS swasta memandang satu sama lainnya saling melengkapi. Seluruh pemberi layanan wajib melaporkan data ART dalam sistem SIHA ART sebagai bagian dari surveilans pasif Dinkes dan sistem rujukan dapat terjadi diantara pemberi layanan. 5. Colocated services (close collaboration) untuk pendampingan ODHA (pendamping/dukungan sebaya) melalui petugas penjangkau lapangan. Petugas penjangkau lapangan dapat dibayar melalui organisasi masyarakat sipil (OMS) atau kontrak kerja langsung dengan Dinas Kesehatan atau KPAK dimana pengkoordinasian tugas dan mekanisme monitoring serta evaluasi pelaksanaannya berada di tingkat Puskesmas. Petugas penjangkau tetap melakukan pelaporan kegiatannya kepada pihak yang membayar. Kebutuhan di tingkat organisasi layanan 1. Pedoman pemberian ART di Puskesmas 2. Pelatihan pemberian ART 3. Jaminan distribusi dan ketersediaan ARV di Puskesmas 4. SOP pendampingan ODHA Kebutuhan di tingkat sistem kesehatan 1. Advokasi penganggaran tenaga penjangkau lapangan melalui tenaga kontrak dinas kesehatan atau KPAK 2. Advokasi dana BLM untuk biaya transport petugas lapangan kepada Kementerian Sosial/ Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat; untuk mendukung kegiatan OMS melalui skema dana hibah/ bantuan sosial (Gubernur, Bupati/Walikota).
14 13 Model penguatan peran lintas sektor di tingkat layanan primer Tingkat pelayanan primer: Coordinated services dengan kolaborasi mendasar secara terpisah. Terdapat beberapa instansi yang bekerja sama dengan Puskesmas ada di dalamnya dimana terjadi pertemuan secara rutin untuk menghilangkan hambatan-hambatan dan menciptakan kondisi lingkungan administrativepolitis, keorganisasian, dan sosio-kultural untuk implementasi program yang efektif. Kegiatan rutin pertemuan dengan para pihak untuk memperoleh dukungan terhadap model layanan yang diharapkan. Pembentukan pokja lokasi dan tempat kerja adalah bonus dari kolaborasi lintas sektor ini. Kebutuhan di tingkat organisasi layanan: 1. Pelatihan advokasi bagi Puskesmas 2. Pembiayaan pertemuan rutin lewat BOK Kebutuhan di tingkat sistem kesehatan: Penguatan kerjasama dan koordinasi lintas sektor melalui optimalisasi fungsi Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sekunder (PKMS) oleh Dinas Kesehatan. Model pendidikan kesehatan dan pemberdayaan komunitas: Tingkat pelayanan primer untuk masyarakat luas: 1. Intergrated services untuk penyediaan informasi kesehatan reproduksi dan HIV-AIDS di Puskesmas 2. Coordinated services dengan kolaborasi mendasar secara terpisah antara pihak sekolah dengan Puskesmas dalam hal pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja, komunikasi dilakukan bergantung kebutuhan pelayanan pendidikan kesehatan. 3. Coordinated services dengan kolaborasi mendasar secara terpisah antara pihak desa dengan Puskesmas dalam hal pemberian pendidikan kesehatan terkait HIV-IMS di masyarakat luas 4. Coordinated services dengan kolaborasi minimal untuk pendidikan kesehatan melalui media massa yang bisa dilakukan oleh LSM, Universitas, Dinkes, RS dan donor dengan mengkampanyekan Puskesmas sebagai salah satu pusat layanan pencegahan dan pengobatan yang ramah dan berkualitas Tingkat pelayanan primer untuk populasi kunci: 1. Coordinated services dengan kolaborasi mendasar secara terpisah oleh petugas penjangkau dari LSM tidak ditempatkan di Puskesmas masih relevan dalam sub-populasi kunci. 2. Co-located services oleh petugas penjangkau yang terutama berasal dari komunitas dibayar oleh Dinas Kesehatan atau KPAK atau OMS tetapi ditempatkan di Puskesmas. Puskesmas dapat mengatur pembagian tugas dan kewenangan petugas yang ditempatkan di Puskesmas 3. Coordinated services dengan kolaborasi minimal untuk pendidikan kesehatan melalui media media sosial. Hal ini dilakukan layanan bekerjasama dengan OSM, dunia pendidikan/universitas dan/atau lembaga donor, mengingat kapasitas dan sumber daya yang terbatas. Kegiatan terutama dalam hal penggunaan media (tidak terbuka) misalnya mailing list, wa grup, phone tree, untuk penyebaran informasi di kalangan populasi kunci
15 14 Kebutuhan di tingkat organisasi layanan 1. Pelatihan petugas penjangkau dan pendidik sebaya terutama untuk penjangkauan melalui sosial media 2. Pengembangan materi pendukung komunikasi ini (selebaran, banner) mengenai layanan yang dapat diakses oleh masyarakat termasuk populasi kunci, bekerja sama dengan Seksi Promosi Kesehatan Dinkes Kabupaten dan Provinsi dalam pemanfaatan dana BOK dan APBD untuk mempromosikan Puskesmas penyedia layanan HIV-AIDS terpadu termasuk tes HIV, serta terus mempopulerkan pesan Abstinen dan Setia pada Pasangan. 3. Pelatihan bagi awak media agar aware dan menaruh perhatian terhadap isu penanggulangan HIV secara positif. 4. Peningkatan pembiayaan untuk advokasi media massa terutama pada epidemi terkonsentrasi-meluas
16 15 Secara ringkas model yang ditawarkan per dimensi layanan pencegahan melalui transmisi seksual di tingkat layanan primer dapat dipetakan ke dalam tabel berikut: Domain PMTS Pengadaan dan distribusi kondom Tabel Model Layanan Pencegahan Melalui Transmisi Seksual Continuum of integration* Co-ordinated Co-located Integrated Distribusi kondom pada Distribusi kondom pada Distribusi kondom pada pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan perorangan yang mengakses perorangan primer (PKPP) masyarakat primer (PKMP) layanan IMS, VCT dan KB swasta dimana kondom melalui petugas tersedia di berbagai penjangkau lapangan. tempat penjualan dan Petugas penjangkau klinik. Di tingkat klinik lapangan dapat dibayar kesehatan reproduksi melalui organisasi pembagian kondom masyarakat sipil (OMS) kepada setiap pasien atau kontrak kerja wajib dilakukan. langsung dengan Dinas Kesehatan atau KPAK dimana pengkoordinasian tugas dan mekanisme monitoring serta evaluasi pelaksanaannya berada di tingkat Puskesmas. Petugas penjangkau tetap melakukan pelaporan kegiatannya kepada pihak yang membayar. Manajemen IMS termasuk sirkumsisi Diagnosis dan pengobatan IMS oleh dokter dan klinik swasta dikoordinasikan pelaporannya ke puskesmas Diagnosis dan pengobatan IMS pada perorangan di dalam puskesmas Mobile diagnosis dan pengobatan IMS pada puskesmas dengan jumlah populasi kunci memadai Penapisan IMS pada populasi kunci baik dalam gedung maupun luar gedung Pencegahan berbasis ART termasuk perluasan tes HIV Tes HIV yang dilakukan klinik swasta baik milik LSM maupun sektor privat, penyedia layanan wajib mengkoordinasikan hasil tes dalam sistem SIHA VCT Layanan ART oleh klinik dan RS swasta, penyedia layanan wajib mengkoordinasikan hasil layanan dalam sistem SIHA ART Pendampingan ODHA oleh petugas penjangkau atau lapangan yang dibayar oleh Dinkes, dimana pengkoordinasian dan pelaporan kegiatannya tetap berada di bawah kendali puskesmas Pelayanan sirkumsisi pada perorangan yang datang ke puskesmas Tes HIV baik VCT maupun PITC pada perorangan yang datang ke Puskesmas Mobile VCT pada puskesmas dengan jumlah populasi kunci memadai Layanan ART pada perorangan di dalam gedung puskesmas Profilaksis pasca pajanan di dalam gedung puskesmas
17 16 Domain PMTS Penguatan peran lintas sektor di tingkat layanan primer Continuum of integration* Co-ordinated Co-located Integrated Pre exposure profilaksis akibat kecelakaan kerja di dalam gedung puskesmas Pertemuan koordinasi secara rutin dengan instansi dan organisasi terkait dengan tujuan mengidentifikasi masalah dan strategi untuk meningkatkan efektifitas layanan. Kegiatan dapat difasilitasi oleh KPAK, Dinas Kesehatan atau oleh puskesmas sendiri Penjangkauan populasi kunci oleh petugas lapangan yang dibayar oleh Dinkes, dimana pengkoordinasian dan pelaporan kegiatannya tetap berada di bawah kendali puskesmas Pendidikan kesehatan dan pemberdayaan komunitas Pembinaan program kesehatan reproduksi di sekolah Pembinaan program pendidikan kesehatan reproduksi di masyarakat luas Kolaborasi dengan LSM, Universitas, Dinkes, RS dan instansi lain yang memungkinkan untuk kampanye kespro di media massa Koordinasi dengan petugas lapangan LSM yang tidak ditempatkan di Puskesmas dalam penjangkauan sub-sub populasi kunci tertentu Koordinasi untuk kampanye melalui sosial media dengan LSM, universitas, donor, dll Penyediaan informasi kesehatan reproduksi dan HIV- AIDS di Puskesmas
DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya
DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait
Lebih terperinciSurvei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya
Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait pengembangan
Lebih terperinciPESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL
POLICY BRIEF 03 PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB)
Lebih terperinciKebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012
Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012 Priscillia Anastasia Koordinator PMTS 1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia
Lebih terperinciSITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015
SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia
Lebih terperinciKebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia
Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang
Lebih terperinciMODEL PENCEGAHAN HIV MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA
MODEL PENCEGAHAN HIV MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA MODEL PENCEGAHAN HIV MELALUI TRANSMISI SEKSUAL DI TINGKAT PELAYANAN PRIMER PUSKESMAS DAN JEJARINGNYA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi
Lebih terperincikomisi penanggulangan aids nasional
1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan
Lebih terperinciSITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013
SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka HIVdanAIDS
Lebih terperinciIntegrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung
Lebih terperinciPelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL
Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan
Lebih terperinciSituasi HIV & AIDS di Indonesia
Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila
Lebih terperinciInformasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan
Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.
Lebih terperinciIsu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia
Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Budi Utomo HIV Cooperation Program for Indonesia Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang 4-7 September 2013 Topik bahasan Memahami kebijakan
Lebih terperinciSatiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN
Lebih terperinciImplementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang
Hasil Riset Operasional Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang Kerjasama PKMK FK UGM dengan Kemenkes RI Forum Jaringan Kebijakan
Lebih terperinciIntegrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Department of Foreign
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap
Lebih terperinciHASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH
HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH Upaya Penyelamatan Perempuan & Anak dari Kematian Sia-Sia Karena HIV & AIDS Bahan masukan RPJMD Propinsi Jawa Tengah TAHUN 2013-2018
Lebih terperinciProgram Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,
Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, 2014-2015 Sang Gede Purnama, Partha Muliawan, Dewa Wirawan A. Abstrak
Lebih terperinciKEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013
KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS
Lebih terperinciLaporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan
Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Hotel Inna Garuda Yogyakarta Kamis, 6 Oktober 2011 Pertemuan Nasional AIDS IV tanggal 3-6 Oktober
Lebih terperinciAIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM
AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS
Lebih terperinciSRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015
SRAN 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Per 1 September 2015 Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional Tahun 2015 Bab 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan
Lebih terperinciRevisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev
www.aidsindonesia.or.id MARET 2014 L ayanan komprehensif Berkesinambungan (LKB) merupakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun
Lebih terperinciLEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014
LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,
PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER
Lebih terperinciCall for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS)
Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia
Lebih terperinciANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG
ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG KEBIJAKAN DALAM PERMENKES 21/2013 2030 ENDING AIDS Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru Menurunkan hingga meniadakan kematian
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg
No.122, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. TB. Penanggulangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciUntuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!
Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KEGIATAN
KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan
Lebih terperinciLatar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia
Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)
Lebih terperinciCall for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG
Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun
Lebih terperincidan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :
Lebih terperinciKERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN
KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN A.Latar Belakang Berdasarkan laporan UNAIDS 2006 menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang hidup 39,4 juta orang, dewasa 37,2 juta penderita,anak-anak dibawah
Lebih terperinciPESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF
POLICY BRIEF 06 AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA PESAN POKOK Kontribusi peneli an terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan AIDS adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat
16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang
Lebih terperinciSKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan
Lebih terperinciSITUASI HIV/AIDS RIAU
SITUASI HIV/AIDS RIAU 10 PROVINSI DI INDONESIA DENGAN KASUS AIDS TERBANYAK SD DES 2010 4500 4000 3500 3000 2500 3995 3771 3728 3665 2000 1747 1500 1000 500 1125 944 591 535 507 0 DKI Jakarta Jawa Timur
Lebih terperinciPROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS SERTA SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2017
PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS SERTA SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2017 KPAP adalah Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta, di
Lebih terperinciPESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?
POLICY BRIEF 02 PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? Akselerasi Strategic Use of An retroviral (SUFA) selama ini telah
Lebih terperinciPanduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti
Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO I. Panduan untuk Peneliti Persiapan: 1. Pastikan anda sudah mengkonfirmasi jadwal dan tempat diskusi dengan informan. 2. Pastikan anda sudah mempelajari CSO/CBO
Lebih terperinciANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. dr Endang Sri Rahayu
ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL dr Endang Sri Rahayu g. DIY berada pada level epidemi terkonsentrasi, dan berpotensi menjadi level
Lebih terperinciMODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM
MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO TAHUN 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 Pendahuluan... 3 Kegiatan
Lebih terperinciGLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN
PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling
Lebih terperinciPencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.
Lebih terperinciCall for Proposal IMPLEMENTATION UNIT (IU) PROGRAM PENJANGKAUAN WPS DAN PELANGGANNYA REGION IV (PAPUA, PAPUA BARAT, MALUKU, MALUKU UTARA)
Call for Proposal IMPLEMENTATION UNIT (IU) PROGRAM PENJANGKAUAN WPS DAN PELANGGANNYA REGION IV (PAPUA, PAPUA BARAT, MALUKU, MALUKU UTARA) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), memperkirakan
Lebih terperinciLayanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV. Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES
Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan Peningkatan Retensi ARV Kasubdit HIVAIDS dan PIMS KEMENKES Latar Belakang Hasil estimasi dan proyeksi HIV/AIDS (Kemkes, 2014): > 1jt ODHA pad th 2025 Akan terus
Lebih terperinciMemperkuat Peran Daerah
Memperkuat Peran Daerah dalam Penanggulangan HIV/AIDS Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional September 2016 Pokok bahasan Input utama: Kebijakan dan dukungan nasional Penguatan
Lebih terperinciOLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )
PROPOSAL PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT (PKM) TENTANG PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TABANAN II TAHUN 2012 OLEH A A ISTRI YULAN
Lebih terperinciDAFTAR ISI Deskripsi dan uraian umum Daftar isi
DAFTAR ISI Deskripsi dan uraian umum Daftar isi Ringkasan i Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah 1 Rumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Target Penelitian 5 Bab II Tinjauan Pustaka Definisi AIDS dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan utama dan menjadi beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan
Lebih terperinciPertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program
www.aidsindonesia.or.id AGUSTUS 2012 A gustus 2012 kali ini terasa special. Pertama karena pada tanggal 17 diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 67. Kedua, yaitu bersamaan dengan
Lebih terperinciKEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV
KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV disampaikan oleh : Kasi Resisten obat Nurjannah, SKM M Kes Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI Epidemilogi
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP
BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota Malang Berdasarkan hasil evaluasi konteks program skrining IMS dengan VCT di LP Wanita
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang
Lebih terperinciKebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia
Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan
Lebih terperinciPerPres 75 /2006 vs PerPres 124 /2016 Peran KPAN,dan Kab/Kota Kewenangan KPA paska PerPres 124/ 2016 Rekomendasi Penutup
Yayasan Vesta Indonesia, 28 Februari 2017 PerPres 75 /2006 vs PerPres 124 /2016 Peran KPAN,dan Kab/Kota Kewenangan KPA paska PerPres 124/ 2016 Rekomendasi Penutup PERPRES 75/2006 Sekretariat KPAN ditunjuk
Lebih terperinciterm of reference Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Nasional
term of reference Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Nasional Angkatan ke 3 Periode Februari April Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Department
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena
Lebih terperinciASK Laporan Analisis Kebijakan
A. Informasi Wawancara Laporan Analisis Kebijakan Provinsi Kota/Kabupaten Jenis Kelamin Informan Nama Informan Nama Lembaga Nama Pewawancara 1. DKI Jakarta 2. DI Yogyakarta 3. Jawa Timur Surabaya 1. Laki-laki
Lebih terperinciSilabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana
Silabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Kompetensi (Competency Statement) Mampu merencanakan, mengambil keputusan, mengevaluasi
Lebih terperinciPedoman Program PMTS ii
hhh Pedoman Program PMTS ii KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa kita haturkan, atas terbitnya buku Pedoman Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (Pedoman PMTS). Epidemi HIV telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang
Lebih terperinciTIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,
GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya (CDC, 2016). WHO (2016) menunjukkan bahwa terdapat
Lebih terperinciSOSIALISASI APLIKASI SISTIM INFORMASI HIV-AIDS & IMS (SIHA) HARTAWAN Pengelola Program PMS dan HIV
SOSIALISASI APLIKASI SISTIM INFORMASI HIV-AIDS & IMS (SIHA) HARTAWAN Pengelola Program PMS dan HIV LATAR BELAKANG DATA DAN INFORMASI LENGKAP, AKURAT, TEPAT WAKTU PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERDASARKAN BUKTI
Lebih terperinciKPA Nasional Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
www.aidsindonesia.or.id KPA Nasional Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Kilas laporan Kabar Menara Topas 9 Laporan Kegiatan Bulan Juli 2011 Laporan Perkembangan HIV dan AIDS Juni 2011 Pertemuan Tim Pelaksana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kasus HIV/AIDS di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Banyak ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)
Lebih terperinciDr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan
Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi
Lebih terperinciTantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Oleh : Agus Aribowo i HIV/AIDS dan Respon Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir
Lebih terperinciPendampingan Pembiayaan Program HIV- AIDS (Akses Layanan) dari APBD II di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kaltim. Tri Astuti Sugiyatmi Khairul Arbiati
Pendampingan Pembiayaan Program HIV- AIDS (Akses Layanan) dari APBD II di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Kaltim Tri Astuti Sugiyatmi Khairul Arbiati Kondisi HIV di Kota Tarakan Kasus pertama di Tarakan
Lebih terperinciPeluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM. dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL
Peluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL SISTEMATIKA Situasi HIV di Indonesia Kebijakan Upaya Pengendalian HIV & IMS Sistim Pembiayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk
Lebih terperinciWALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,
WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan
Lebih terperinciBUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO
SALINAN BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,
Lebih terperinciMONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS
MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS JUM AT, 8 APRIL 2016 DI JAVA TEA HOUSE, YOGYAKARTA KEBIJAKAN TERKAIT MONEV PROGRAM PENANGGULANGAN HIV&AIDS SECARA NASIONAL, MONEV PLAN PROGRAM PENANGGULANGAN
Lebih terperinciBAB II RUANG LINGKUP KLINIK PKBI-ASA
BAB II RUANG LINGKUP KLINIK PKBI-ASA 2.1.Gambaran Umum Klinik PKBI-ASA 2.1.1. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Klinik PKBI-ASA PKBI didirikan pada 23 desember 1957 oleh sekelompok indivdu dari kalangan
Lebih terperinciMATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011
MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan A. Latar Belakang
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,
Lebih terperinciHasil Penelitian INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DALAM KERANGKA SISTEM KESEHATAN DI KOTA MEDAN
Hasil Penelitian INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DALAM KERANGKA SISTEM KESEHATAN DI KOTA MEDAN oleh: Lita Sri Andayani, SKM, MKes Dr.dr. Juliandi Harahap, MA (Tim Peneliti Universitas Sumatera
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciW A L I K O T A Y O G Y A K A R T A
W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PUSKESMAS LAYANAN SATU ATAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
Lebih terperinci