Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara"

Transkripsi

1 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara PUSAT DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2015

2 TIM PENYUSUN Pengarah Sekretaris Jenderal KESDM M. Teguh Pamudji Penanggung Jawab Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM Agung Wahyu Kencono Ketua Kepala Bidang Analisis dan Evaluasi Data Strategis Sugeng Mujiyanto Tim Penyusun Bambang Edi Prasetyo Agus Supriadi Aang Darmawan Tri Nia Kurniasih Feri Kurniawan Khoiria Oktaviani Ameri Isra Ririn Aprillia Qisthi Rabbani Dini Anggreani Indra Setiadi ISBN: Penerbit Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta Telp. : (021) ext 1224 Fax : (021) pusdatin@esdm.go.id Cetakan Pertama, Hak Cipta dilindungi undang undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. i Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

3 KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat perkenan-nya laporan mengenai Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) dapat kami selesaikan. Laporan Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) memberikan gambaran tentang perkembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu, khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagian besar data dan informasi dalam laporan ini diperoleh dari laporan berkala yang disampaikan oleh Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara KESDM, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, dan Pusdatin KESDM. Akhirul kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penyusunan laporan ini. Diharapkan, laporan ini dapat menjadi referensi bagi pimpinan Kementerian ESDM, BUMN, dan pihak lain dalam upaya mengembangkan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jakarta, Desember 2015 Penyusun. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara ii

4 UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada para profesional di bawah ini yang telah membagi waktu dan informasi yang berharga sehingga buku ini dapat diterbitkan. Ir. Darsa Permana, M. Si., Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Drs. Harta Haryadi, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Drs. Jafril, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Ir. Yudo Supriyantono, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Drs. Bambang Yuniarto, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara Dr. Sumedi, S.P. Institut Pertanian Bogor Dr. Sudi Mardianto. Institut Pertanian Bogor iii Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

5 RINGKASAN EKSEKUTIF Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) diarahkan pada penciptaan nilai tambah sumber daya alam sehingga pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif dapat terwujud. Hal ini memungkinkan semua wilayah di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensinya masing - masing. Pembangunan ekonomi yang dimaksud tidak dikendalikan oleh pusat namun pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjaga keuntungan kompetitif nasional. Dalam Undang - Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Pasal 102 dinyatakan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. sehubungan dengan hal tersebut, maka pada setiap kegiatan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara diwajibkan meningkatkan nilai tambah. Penerapan peningkatan nilai tambah ini memberikan dampak terhadap wilayah penghasil mineral mentah (dalam hal ini Provinsi Sulawesi Tenggara), dampak ini meliputi dampak positif maupun negatif. Dampak positif lebih dominan ke dampak jangka panjang sedangkan dampak negatif dominan ke dampak jangka pendek. Dampak terhadap perekonomian nasional dilihat dari investasi pabrik smelter di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar USD 3,8 miliar atau sekitar 20,11 % dari investasi pabrik smelter secara nasional. Beroperasinya perusahaan yang membangun smelter pada tahun-tahun berikutnya, sesuai dengan studi kelayakan yang mereka buat, mengakibatkan terjadinya kenaikan pada tenaga kerja yang terlibat, baik dalam kegiatan smelter maupun penambangan. Pada tahun 2015, tenaga kerja naik menjadi orang, dengan perincian orang pada smelter dan orang pada penambangan. Pada tahun 2016, naik lagi menjadi orang, dengan perincian orang pada smelter dan orang pada penambangan. Sementara pada tahun 2017, angka penyerapan tenaga kerja menjadi orang, terdiri atas orang pada smelter dan orang pada penambangan. Angka ini sudah melampaui jumlah tenaga kerja pada tahun 2013 ketika kebijakan PNT belum dilaksanakan, yakni orang. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara iv

6 DAFTAR ISI Tim Penyusun... i Kata Pengantar... ii Ucapan Terimakasih... iii Ringkasan Eksekutif... iv Daftar Isi... v Daftar Tabel... vii Daftar Lampiran... ix BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maksud dan Tujuan Metodologi Jenis dan Metode Pengumpulan Data Pengolahan Data Landasan Hukum... 6 BAB 2 KONDISI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 2.1. Geografis Sarana dan Prasarana Kependudukan dan Angkatan Kerja Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara BAB 3 KONDISI SMELTER NIKEL DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 3.1. Cadangan dan Sumber Daya Nikel Pertambangan Nikel di Sulawesi Tenggara Pola Pemenuhan Bijih Nikel... BAB 4 ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SMELTER DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 4.1. Analisis Dampak Ekonomi Pembangunan Pabrik Pengolahan dan pemurnian nikel Dampak terhadap Produk Domestik Regional Bruto Dampak terhadap Tenaga Kerja (SDM) Dampak terhadap Pendapatan Rumah Tangga v Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

7 Backward Linkage (Keterkaitan ke Belakang) dan Linkage (Keterkaitam ke Depan) Dampak terhadap Pengembangan Masyarakat Pendapatan/Perek (CSR) Sekitar Smelter Dampak terhadap Pendapatan/Perekonomian Nasional Tabel Input-Output Keterkaitan Ke Belakang (Backward Linkages) Keterkaitan Ke Depan (Forward Linkages) Kebutuhan Nikel dan Kondisi Perekonomian Tahun 2006 Sebelum Dilakukan Pengolahan (Smelter) Skenario Alternatif I Skenario Alternatif II BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara vi

8 Daftar Gambar Gambar 1.1. Peta Koridor Ekonomi Indonesia... 2 Gambar 1.2. Koridor Ekonomi Sulawesi... 3 Gambar 2.1. Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara Gambar 2.2. Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa Gambar 2.3. Sebaran Cadangan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara Gambar 2.4. Persentase penduduk usia 15+ di Provinsi Sulawesi Tenggara Gambar 3.1. Jumlah IUP Nikel Operasi Produksi di Sulawesi Tenggara Gambar 3.2. Peta Sebaran Mineral Provinsi Sulawesi Tenggara Gambar 3.3. Status IUP Nikel di Sulawesi Tenggara Gambar 3.4. Smelter Nikel PT. Cahaya Modern Metal Industri Gambar 3.5. Pengerjaan Fondasi Pabrik PT. Kembar Emas Sultra 22 Gambar 4.1. Koridor Pembangunan Ekonomi Sulawesi (MP3EI) Gambar 4.2. Backward linkage dan Forward linkage industri pengolahan nikel Gambar 4.3. Grafik Penggunaan Dana Comdev Sektor ESDM Tahun vii Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

9 Gambar 4.4. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Komoditas Gambar 4.5. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Provinsi Gambar 4.6. Proyeksi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, Gambar 4.7. Kenaikan Ekspor Bijih Nikel ( ) Gambar 4.8. Perkiraan Nilai Ekspor Mineral Tahun Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara viii

10 Daftar Tabel Tabel 2.1. Cadangan Nikel Provinsi Sulawesi Tenggara... Tabel 2.2. Jumlah Perusahaan Konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara Tabel 2.3. Kontribusi Pertumbuhan Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara... Tabel 3.1. Status IUP Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara... Tabel 3.2. Perusahaan yang telah Menandatangani Pakta Integritas Membangun Smelter... Tabel 3.3. Penjualan Bijih Nikel per kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara... Tabel 3.4. Produksi dan Konsumsi Bijih Nikel Dalam Rangka Pembangunan Smelter... Tabel 3.5. Distribusi Pasokan Bijih Nikel per Kabupaten... Tabel 4.1. Potensi Sumber Daya Bahan Galian Nikel Provinsi Sulawesi Tenggara... Tabel 4.2. PDRB atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah) Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010, Tabel 4.3. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010, 2012 s.d Tabel 4.4. Realisasi Dana Comdev Subsektor Mineral dan Batubara Tahun Tabel 4.5. Penyaluran Program Kemitraan Berdasarkan Sektor Usaha... Tabel 4.6. Penyaluran Program Bina Lingkungan Berdasarkan Sektor Usaha... Tabel 4.7. Nilai Ekspor Bijih Nikel (Perusahaan Tahap Konstruksi Tahun 2015)... Tabel 4.8. Prakiraan Nilai Ekspor Refinery Product... Tabel 4.9. Tabel Input-Output untuk Sistem Perekonomian dengan Tiga Sektor Produksi... Tabel Transaksi atas Dasar Harga Pembeli, 32 Sektor (juta rupiah)... Tabel Keterkaitan ke Belakang dan Keterkaitan Ke Depan... Tabel Skenario Produk Biih Nikel Sulawesi Tenggara Dikonsumsi sebagian dan di ekspor sebagian/dikonsumsi seluruhnya ix Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

11 Daftar Lampiran Lampiran1. Daftar IUP Operasi Produksi yang Aktif Melaksanakan Kegiatan Lampiran2. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Nikel di Sulawesi Tenggara... Lampiran3. Rekap Data Smelter Nikel... Lampiran4. Data Rencana Produksi Smelter Nikel Lampiran5. Perusahaan yang Membangun Smelter Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara x

12 xi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nikel merupakan komoditas utama sektor pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Potensi sumber daya mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara cukup besar, yaitu sebesar 97,4 miliar ton yang tersebar dalam luas 480 ribu Ha. Periode telah dilakukan penambangan mineral nikel sebanyak 56,9 juta ton sehingga sumber daya yang tersedia saat ini sebanyak 97,3 miliar ton mineral nikel. Perbandingan antara produk bijih nikel dengan produk Ferronikel (FeNi) adalah sebesar 377 : 1, ini menandakan bahwa pada periode tersebut kesadaran untuk meningkatkan nilai tambah produk hasil pertambangan melalui Pengolahan dan Pemurnian masih sangat minim. Jumlah perusahaan yang mengusahakan penambangan mineral nikel sebanyak 2 KK dan 438 IUP, tersebar di beberapa Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, 2015). Kekayaan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara tidak didukung oleh sarana prasarana untuk meningkatkan nilai tambahnya. Kurangnya infrastruktur transportasi dan terbatasnya pasokan energi menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan. Sehubungan dengan itu, optimalisasi pemanfaatan mineral melalui pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral dapat menjadi kekuatan industri bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel harus segera diwujudkan agar dapat memajukan perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya serta mampu mendorong perekonomian nasional. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebuah pola induk Pemerintah Indonesia untuk mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara merata (Gambar 1.1). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 1

14 Sumber : Kemenko Perekonomian, 2011 Gambar 1.1. Peta Koridor Ekonomi Indonesia Dalam MP3EI, Sulawesi Tenggara masuk ke dalam Koridor Sulawesi dengan tema Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan serta Pertambangan Nikel Nasional. (Gambar 1.2). Tema pembangunan koridor ekonomi tersebut sejalan dengan potensi kekayaan yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu, Provinsi Sulawesi Tenggara ideal untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus yang sedang digalakkan oleh Pemerintah. 2 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

15 Sumber : Kemenko Perekonomian, 2011 Gambar 1.2. Koridor Ekonomi Sulawesi Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus dengan studi kasus Provinsi Sulawesi Tenggara perlu dilaksanakan. Provinsi Sulawesi Tenggara kaya akan Sumber Daya Nikel tetapi masih belum mampu menjadi pendorong perekonomian daerah Maksud dan Tujuan Maksud dari kegiatan Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah untuk melakukan kajian kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dampak ini meliputi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 3

16 dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan peningkatan nilai tambah mineral bijih yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara serta sebagai dasar untuk menyusun usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu khususnya Provinsi Sulawesi Tenggara. Mengetahui dampak pembangunan smelter untuk dijadikan gambaran usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel Metodologi Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh tim Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) melalui studi literatur, rapat koordinasi, Focus Group Discussion (FGD) dan atau konsinyering dengan narasumber dari stakeholder terkait serta kunjungan langsung ke Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis yang dilakukan menggunakan model input output Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Pada saat perhitungan, semua diasumsikan bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi tahun 2006 di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan pertimbangan, belum adanya perkembangan teknologi yang dipakai dalam mengolah produk mentah nikel. Asumsi tersebut dipakai guna untuk melakukan pendekatan perhitungan serta mengurangi bias yang dihasilkan dari perhitungan yang dilakukan Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data sekunder. Yaitu, data yang diperoleh dari berbagai sumber (bukan melalui pengamatan langsung). Sumber data berasal dari Dinas Pertambagan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat dan Statsistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tenggara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara 4 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

17 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hasil-hasil penelitian sebelumnya dan pustaka lainnya yang terkait Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis agar dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan yang sedang diteliti sehingga kita dapat membuat kesimpulan-kesimpulan sebagai hasil temuan dari permasalahan yang ada. Pengolahan data dalam kegiatan Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) menggunakan model input output. Model ini merupakan uraian statistik, disajikan dalam bentuk matriks yang menjelaskan keterkaitan transaksi antara industri barang dan jasa dalam rentang waktu tertentu. Aspek yang paling penting dalam perekonomian adalah hubungan antar industri. Hubungan ini bersifat saling terkait satu dengan yang lainnya. Output satu industri menjadi input industri lainnya. Oleh karena itu, perubahan suatu industri ikut mempengaruhi perubahan pada industri lainnya, yang artinya perubahan input bagi industri lain. Dengan demikian secara berantai pengaruh ini akan dirasakan oleh industri yang berkaitan tadi. Dari hubungan seperti itu, jelas terlihat hubungan timbal balik. Pengaruh perubahan dalam satu industri dengan industri lain akan bergerak secara berantai. Hubungan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu : Hubungan langsung (direct effect), adalah pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan. Misalnya, kalau industri feronikel meningkat jumlahnya (produksi diserap 100% di dalam negeri) maka permintaan akan nikel akan meningkat juga. Termasuk permintaan listrik, bahan bakar, angkutan dan sebagainya. Hubungan tidak langsung (indirect effect), adalah pengaruh terhadap industri yang outputnya tidak digunakan dalam input bagi keluaran industri yang bersamgkutan. Misalnya, pengaruh industri feronikel terhadap industri perkebunan. Hubungan sampingan, adalah pengaruh yang tidak langsung yang lebih panjang lagi jangkauannya daripada Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 5

18 pengaruh langsung tersebut di atas. Misalnya, peningkatan produksi feronikel akan meingkatkan pendapatan buruh industri, atau peningkatan jumlah buruh yang berarti pula peningkatan sejumlah buruh tersebut. Dengan peningkatan pendapatan ini maka permintaan atau kebutuhan beras dapat naik. Sebagai langkah akhir dari proses pengolahan data, dibutuhkan analisis dan evaluasi agar memperoleh gambaran yang lebih mendalam dari data yang diolah. Pengumpulan data melalui studi literatur, rapat koordinasi, FGD, kunjungan lapangan. Selanjutnya data diolah untuk mendapatkan usulan rekomendasi Landasan Hukum Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) terkait dengan peningkatan nilai tambah mineral nikel yang juga dapat meningkatkan aspek sosial ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya dan nasional pada umumnya. Dasar hukum yang melatari analisis dan evaluasi ini adalah : a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ; b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; c. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; f. Peratuan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; g. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; 6 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

19 h. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; i. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri; j. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2013 tentang Percepatan Pelaksanaan Peningkatan Nilai Tambah melalui Pengolahan dan Pemurnian; k. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ; l. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; m. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; n. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara; o. Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 39 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah dan Pengendalian Ekspor Mineral dan Batubara di Wilayah Sulawesi Tenggara. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 7

20 BAB 2 KONDISI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 2.1. Geografis Secara geografis, Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara 02 45'-06 15' LS dan membentang dari barat ke timur di antara ' ' BT. Batas administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebaga berikut (Gambar 2.1): Utara Selatan Timur Barat Sumber : Sulawesitenggaraprov.go.id Gambar 2.1. Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara : Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan : Prov. Nusa Tenggara Timur di Laut Flores : Prov. Maluku di Laut Banda : Prov. Sulawesi Selatan di Teluk Bone 8 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

21 Luas wilayah keseluruhan Provinsi Sulawesi Tenggara adalah km 2, dengan 74,25% ( km 2 ) berupa perairan laut dan 25,75% ( km 2 ) berupa daratan. Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 10 wilayah Kabupaten (Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Buton Utara, Konawe Utara), dan dua wilayah kota (Kota Kendari dan Kota Bau-Bau). Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki beberapa sungai yang melintasi hampir seluruh kabupaten/kota. Sungai-sungai tersebut pada umumnya potensial untuk berbagai keperluan, baik untuk industri, rumah tangga maupun irigasi. Daerah aliran sungai, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) Konawe Utara, melintasi Kabupaten Kolaka, dan Konawe. DAS tersebut seluas 7.150,68 km² dengan debit air rata-rata 200 m³/detik. Bendungan Wakotobi yang menampung aliran sungai tersebut, mampu mengairi persawahan di daerah Konawe seluas ha. Selain itu, masih dapat dijumpai banyak aliran sungai di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan debit air yang besar sehingga berpotensi untuk pembangunan dan pengembangan irigasi, seperti: Sungai Lasolo di Kabupaten Konawe, Sungai Roraya di Kabupaten Bombana (Kecamatan Rumbia, dan Poleang), Sungai Wandasa dan Sungai Kabangka Balano di Kabupaten Muna, Sungai Laeya di Kabupaten Kolaka, dan Sungai Sampolawa di Kabupaten Buton. Sulawesi Tenggara yang terletak di daerah khatulistiwa dengan ketinggian pada umumnya di bawah meter, sehingga rata-rata wilayahnya beriklim tropis. Panjang garis pantai adalah Km serta memiliki 651 buah pulau, 290 buah pulau belum memiliki nama dan baru 85 buah pulau yang memiliki nama dan berpenghuni. Pada tanggal 8 Januari 2015, melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 diterbitkan RPJMN yang menetapkan 14 Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa, salah satunya di Kabupaten Konawe yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2.2). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 9

22 Sumber : Buku III RPJMN 2015 s.d Gambar 2.2. Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa Untuk mendukung kawasan industri prioritas luar Jawa seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan sumber daya alam berupa mineral nikel. Mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara sangat berlimpah dan tersebar di Kabupaten Konawe Utara, Kolaka Utara, Konawe, Kolaka, Bombana, Konawe Selatan, dan Buton, dengan total luas sebaran ,77 Ha (gambar 2.3). Cadangan nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebesar ,72 Wmt (Tabel 2.1). Kabupaten Konawe Utara merupakan kabupaten dengan jumlah cadangan nikel terbesar, yaitu ,72 Wmt dengan luasan ,03 Ha. 10 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

23 Sumber : Bappeda Sultra Gambar 2.3. Sebaran Cadangan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara Tabel 2.1. Cadangan Nikel Provinsi Sulawesi Tenggara LOKASI CADANGAN NIKEL (Wmt) Kab. Konawe Utara Kab. Bombana ,00 Kab. Kolaka ,00 Kab. Konawe Selatan ,00 Kab. Kolaka Utara ,00 Kab. Konawe ,00 Kab. Buton & Kota. Bau- Bau ,00 TOTAL ,72 Sumber : Bappeda Sultra Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 11

24 2.2. Sarana dan Prasarana Pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana sangat dibutuhkan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Konstruksi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dapat berupa jalan, tempat tinggal, gedung perkantoran, jembatan, dan sebagainya. Jumlah perusahaan konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 adalah sebanyak perusahaan, di tahun 2013 menurun menjadi perusahaan (Tabel 2.2). Penurunan jumlah perusahaan konstruksi ini diikuti dengan penurunan jumlah tenaga kerja. Persentasi jumlah tenaga kerja Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 sebesar 6,40%, menurun pada tahun 2013 menjadi 5,50% (Statistika Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014). Tabel 2.2. Jumlah Perusahaan Konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara Sumber : Statistik Indonesia, BPS Catatan : e Angka Perkiraan 2.3. Kependudukan dan Angkatan Kerja Jumlah penduduk Sulawesi Tenggara tahun 2013 berjumlah 2,36 juta jiwa. Jumlah ini diproyeksikan bertambah sebanyak 42 ribu jiwa dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan jumlah penduduk tidak diikuti dengan laju pertambahan penduduk, pada tahun 2013 laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,81% dari sebelumnya 1,83% di tahun Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

25 Dengan luas wilayah sekitar km 2, secara rata-rata setiap km 2 wilayah Sulawesi Tenggara ditinggali oleh 62 orang penduduk, dengan rata-rata 4 orang per rumah tangga. Pada tahun 2013, persentase penduduk usia 15+ angkatan kerja adalah sebesar 62,86%, sedangkan yang bukan angkatan kerja sebesar 21,14%, kelompok yang mengurus rumah tangga, 9,16% kelompok yang berstatus sekolah, 2,94% pengangguran, dan 3,91% kelompok lainnya (Gambar 2.4). Sumber : Sakernas, 2013 Gambar 2.4. Persentase penduduk usia 15+ di Provinsi Sulawesi Tenggara Keterbatasan lapangan kerja menyebabkan tidak semua angkatan kerja yang tersedia terserap di pasar kerja. Selain itu, tenaga kerja di beberapa bidang telah tergantikan oleh mesin serta teknologi yang tinggi Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara Sektor utama perekonomian berasal dari Pertanian, Perdagangan dan Jasa - jasa. Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor cenderung menuju ke arah positif sampai dengan tahun 2013, termasuk sektor Pertambangan dan Penggalian yang tumbuh sebesar 0,63%. Hanya saja, sejak berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009, yang salah satu di antaranya mengamanatkan peningkatan nilai tambah mineral, pertumbuhan sektor Pertambangan menurun dari 43,03% Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 13

26 pada tahun 2012 menjadi 6,74% pada tahun 2013, menurun lagi menjadi -1,49% pada kuartal 3 tahun Dari keseluruhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara, sektor Pertambangan memberikan kontribusi negatif, yakni sebesar -0,13% di tahun 2014 (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Kontribusi Pertumbuhan Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara Sumber : BI Sultra 2.5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan satuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional, sehingga batasan wilayah tidak selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Bagian-bagian wilayah ini mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian, istilah wilayah menekankan hubungan yang sangat penting antarmanusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Wilayah pengembangan seperti Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah perwilayahan untuk tujuan pengembangan ekonomi atau wilayah untuk pembangunan (development). Tujuan pembangunan ini terkait dengan lima kata kunci, yaitu: 1) pertumbuhan; 2) penguatan keterkaitan; 3) keberimbangan; 4) kemandirian; 5) keberlanjutan. 14 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

27 Pengertian pembangunan dalam sejarah dan perkembangannya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada: 1) penekanan pertumbuhan ekonomi, 2) penekanan pertumbuhan dan kesempatan kerja, 3) penekanan pertumbuhan dan pemerataan, 4) penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), 5) penekanan pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan 6) penekanan pembangunan berkelanjutan (suistainable development). Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan ekonomi wilayah (provinsi) di Indonesia sangat beragam, karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002). Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan ekonomi wilayah (provinsi) di Indonesia adalah sebagai berikut: 1) Sebagai pusat pertumbuhan (growth center). Pengembangan wilayah (provinsi) tidak hanya bersifat internal wilayah (provinsi), namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah (provinsi) sekitarnya, bahkan secara nasional. 2) Pengembangan wilayah (provinsi) memerlukan upaya kerja sama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah (provinsi). 3) Pola pengembangan wilayah (provinsi) bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. Dalam pengembangan wilayah (provinsi), mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan wilayah (provinsi). Dalam pemetaan strategi pengembangan wilayah (provinsi) satu wilayah (provinsi) pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di dalam pelaksanaannya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 15

28 Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam terutama mineral nikel. Kekayaan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan mampu menjadi pemicu bagi pengembangan ekonomi. Dalam konteks internasional, perekonomian dunia yang bergerak cepat, seperti globalisasi dan pasar bebas yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika sosial, politik, dan budaya, mengakibatkan kebutuhan terhadap berbagai komoditi, termasuk komoditi mineral nikel dapat memacu pertumbuhan ekspor di negara pemilik sumber daya mineral. Berdasarkan pertimbangan di atas, pengembangan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan bagian penting dalam pembangunan suatu negara, provinsi, kabupaten/ kota untuk menghadapi persaingan perubahan ekonomi wilayah yag baik dengan mempertimbangkan aspek sumber daya yang dimiliki, aspek internal, sosial, dan pertumbuhan ekonomi. 16 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

29 BAB 3 KONDISI SMELTER NIKEL DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 3.1. Cadangan dan Sumber Daya Nikel Mengingat banyaknya batuan yang termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Bagian Timur, yang didominasi oleh batuan ultrabasa, maka Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi endapan mineral logam yang sangat erat kaitannya dengan batuan tersebut, yaitu mineral-mineral logam dasar, seperti nikel, besi, dan kromit. Berdasarkan batuan pembawanya (batuan ultrabasa), endapan nikel di daerah ini memiliki sebaran yang meliputi beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton, dan Kota Bau-Bau (Gambar 3.1) Kab. Buton Kab. Bombana Kab. Konawe Kab. Konawe Utara Kab. Konawe Selatan 1 7 Kab. Kolaka Kab. Kolaka Utara Kota Bau- bau Lintas Kabupaten Lintas Propinsi Sumber : Puslitbang Tekmira ESDM Gambar 3.1. Jumlah IUP Nikel Operasi Produksi di Sulawesi Tenggara Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 17

30 Luas sebaran endapan nikel diperkirakan mencapai ,13 Ha, dengan status kawasan ,84 Ha (59%) masuk kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), Ha (35%) kawasan Hutan Lindung (Hl), dan , 28 Ha (5%) masuk dalam kawasan Hutan Konservasi. Dalam upaya pengembangan Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor strategis, maka empat dari tujuh kabupaten yang menjadi alternatif untuk pembangunan industri pertambangan adalah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka Utara, dan Kolaka (Gambar 3.2). Sumber : Bappeda Prov. Sultra Gambar 3.2. Peta Sebaran Mineral Provinsi Sulawesi Tenggara Pertambangan Nikel di Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sumber daya nikel cukup besar. Dari jumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan masing-masing Kabupaten/Provinsi sebanyak 528 IUP, 350 IUP (66%) adalah IUP nikel. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara didominasi oleh kegiatan usaha nikel (Gambar 18 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

31 3.3). IUP nikel terbanyak ada di Kabupaten Konawe Utara, dan di posisi kedua berada di Kabupaten Kolaka Utara, berikutnya Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton, serta sedikit di Kabupaten lainnya Jumlah IUP Sumber : Puslitbang Tekmira ESDM Gambar 3.3. Status IUP Nikel di Sulawesi Tenggara Jumlah IUP nikel yang masih aktif melakukan kegiatan produksi per Oktober 2013 hanya 61 IUP (17%), status operasi produksi 166 IUP (47%), dan eksplorasi 184 IUP (52%). Ada enam daerah yang banyak memiliki IUP nikel, yaitu Kabupaten Konawe Utara 157 IUP dengan operasi produksi aktif sebanyak 14 IUP, Kolaka Utara 50 IUP dengan 10 IUP operasi produksi aktif, Kabupaten Konawe 46 IUP dengan tiga IUP operasi aktif, Kabupaten Kolaka 31 IUP dengan 15 IUP-nya berstatus IUP operasi aktif, Kabupaten Konawe Selatan 29 IUP dengan tiga IUP operasi aktif dan Bombana 19 IUP dengan 4 IUP operasi aktif (Tabel 3.1). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 19

32 No Tabel 3.1. Status IUP Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten /Daerah Jumlah IUP IUP Nikel Operasi Produksi Operasi Produksi Aktif Eksplorasi 1 Buton Bombana Butur Muna Konawe Konawe Utara Konawe Selatan Kolaka Kolaka Utara Bau bau Lintas Kabupaten Lintas Provinsi Kontrak karya Jumlah Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013, luas wilayah IUP nikel yang aktif melakukan kegiatan produksi mencapai Ha (atau 118 Km 2 ), berarti hanya 0,3% dari luas daratan Sulawesi Tenggara ( km2). Daerah yang paling luas digunakan untuk kegiatan penambangan adalah Konawe Utara (42.441Ha) dan Kolaka (8.864 Ha). Dari jumlah IUP operasi produksi aktif dan telah menandatangani pakta integritas membangun pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel ada tujuh perusahaan (Tabel 3.2). Tiga perusahaan yang telah mempunyai kemajuan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel per 30 September 2013, adalah PT. Cahaya Modern Metal Industri, PT. Kembar Mas dan PT. Cinta Jaya. 20 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

33 Tabel 3.2. Perusahaan yang telah Menandatangani Pakta Integritas Membangun Smelter Perusahaan Investasi Mineral Kabupaten PT Cahaya Modern Metal Industri Smelter Nikel Konawe PT Kembar Mas Smelter Nikel Konawe Utara PT BMS Group Smelter Nikel Konawe Utara PT Jilin Smelting Indonesia Smelter Nikel Bombana PT Jian Metal Indonesia Smelter Nikel Konawe Utara PT Elit Kharisma Utama Smelter Nikel Konawe Utara PT Cinta Jaya Smelter Nikel Konawe Utara Terkait dengan peraturan larangan ekspor bijih nikel, maka di Provinsi Sulawesi Tenggara ada 20 perusahaan yang akan membangun smelter nikel (Lampiran 1). Di antara keduapuluh perusahaan tersebut, ada enam perusahaan dengan tingkat kemajuan pembangunan smelter mencapai di atas 30%, yaitu PT. Jilin Metal, PT. Bintang Smelter Indonesia di Konawe Selatan; PT. Cahaya Modern Metal Industri di Konawe; PT. Kembar Emas Sultra, PT. Karyatama Konawe Utara di Konawe Utara; PT. Bhinneka Sekarsa Adidaya di Kolaka Utara. Selain itu, ada tujuh perusahaan yang telah menandatangani pakta integritas membangun smelter per tanggal 26 april Ketujuh perusahaan tersebut tersebar di tiga kabupaten, yaitu Konawe Utara lima perusahaan, Konawe satu perusahaan, dan Bombana satu perusahaan. Salah satu perusahaan yang telah menandatangani fakta integritas untuk membangun smelter adalah PT Cahaya Modern Metal Industri di Kabupaten Konawe telah mencapai lebih dari 60% (Gambar 3.4). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 21

34 Gambar 3.4. Smelter Nikel PT. Cahaya Modern Metal Industri Sedangkan PT Kembar Emas Sultra, yang juga telah menandatangani fakta integritas, baru menyelesaikan pembangunan smelter-nya sekitar 30%, atau tahap pengerjaan konstruksi (Gambar 3.5). Gambar 3.5. Pengerjaan Fondasi Pabrik PT. Kembar Emas Sultra 22 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

35 Apabila diasumsikan bahwa penjualan bijih nikel identik dengan jumlah yang diproduksi, maka jumlah produksi nikel selama periode , atau sampai sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih nikel bulan Januari 2014 dapat dilihat pada Tabel 3.3. Pada Tabel tersebut menunjukkan tingkat penjualan bijih nikel pada tahun 2012 sebesar 18,678,250 ton, dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang mencapai 29,431,002 ton, atau mengalami peningkatan sebesar 58%. Secara nominal kenaikan produksi paling tinggi adalah di Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe Utara yang masing-masing mengalami kenaikan 4,898,505 ton dan 3,448,050 ton (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Penjualan Bijih Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara No Kabupaten Tahun Kenaikan Nominal % 1 Konawe Utara 5,707,841 9,155,891 3,448, Buton 842,014 1,252, , Kolaka Utara 3,043,410 4,239,776 1,196, Bombana 562,382 1,094, , Konawe Selatan 2,618,297 7,516,802 4,898, Konawe 56,758-56, Kolaka 3,458,715 3,547,825 89, Prov. Sultra 2,388,833 2,623, , Jumlah 18,678,250 29,431,002 10,752, Sebagian sumber daya nikel di Sulawesi Tenggara sudah diolah oleh PT Aneka Tambang di Kolaka yang menghasilkan FeNi, dan satu perusahaan di Konawe yang menghasilkan nickel pig iron (NPI). Sebagian besar produksi bijih nikel yang diproduksi tersebut diekspor ke Tiongkok dan Jepang. Ironisnya, untuk memenuhi kebutuhan nikel dalam negeri, Indonesia harus mengimpor kembali nikel yang sudah diolah di Jepang. Pengembangan industri pengolahan pemurnian nikel, seperti antara lain melalui proses dapat meningkatkan nilai tambah kekayaan nikel bagi perekonomian daerah dan nasional. Ada Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 23

36 beberapa teknologi proses pengolahan dan pemurnian nikel selain menggunakan proses mond, seperti pengolahan biji nikel laterit dan peningkatan perolehan total nikel dan kobal pada proses leaching bijih nikel laterit. Pada saat ini sudah ada teknologi pengolahan dan pemurnian nikel berkadar rendah yang dapat menjadi peluang untuk mengolah bijih nikel. Bijih nikel laterit merupakan salah satu sumber bahan logam nikel yang banyak terdapat di Sulawesi Tenggara, dengan kandungan nikelnya lebih kecil dari 2% dan belum termanfaatkan dengan baik. Proses pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah pada bijih nikel laterit jenis limonit dan jenis saprolit telah berhasil dilakukan. Selain itu, telah ditemukan cara untuk memperbaiki kinerja proses leaching dengan AAC (Ammonia Ammonium Carbonate) terhadap bijih nikel laterit kadar rendah yang kandungan magnesiumnya sampai 15%, yaitu dengan penambahan bahan aditif baru seperti kokas dan garam NaCl yang digabungkan dengan aditif konvensional sulfur ke dalam pellet. Dengan mengolah bijih nikel menjadi ferronickel, harganya dapat meningkat dari USD55/ton menjadi USD232/ton, atau meningkatkan nilai komoditi sekitar 400%. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya nikel sampai ke proses pengolahannya harus memperhatikan berbagai faktor, yaitu pasokan bijih nikel, pasokan energi, dan kemudahan - kemudahan utama lainnya yang diperlukan oleh investor maupun calon investor yang akan membangun smelter. Jika smelter berdiri, maka akan ada tambahan pemasukan bagi negara sebesar 300%, ketimbang nikel hasil tambang diekspor dalam bentuk bijih. Smelter yang akan dibangun juga bakal menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, produksi tambang juga lebih terkendali, memacu industri hilir karena ketersediaan bahan baku dalam negeri, serta mengurangi kerusakan lingkungan karena mineral yang tidak dimanfaatkan dapat dikembalikan. Smelter yang akan dibangun juga akan memberikan efek berantai yang positif di sektor perekonomian, dengan adanya pemasok dan industri-industri ikutannya, dan pastinya meningkatkan lapangan kerja. Selain itu, akan terjadi pemerataan perekonomian, karena industri tidak hanya terpusat di Jawa tapi juga di daerahdaerah lain. 24 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

37 Bijih nikel baru sebagian kecil yang diolah menjadi ferronikel dan nikel matte, sedangkan sebagian besar masih diekspor dalam bentuk bijih sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih mineral. Perlu adanya investasi untuk pengembangan industri smelter ferro nikel atau produk olahan lainnya, misalnya minimal untuk pemrosesan crude ferro nickel (5-10% Ni), yang selanjutnya dapat diproses menjadi ferro nickel seperti yang dilakukan PT Aneka Tambang. Berdasarkan kuesioner dan wawancara dengan pemilik IUP nikel di Sulawesi Tenggara, diperoleh informasi bahwa sebagian besar IUP kecil tidak akan membangun smelter dan mereka mengharapkan ada investor untuk membangun smelter yang kebutuhan bijih nikelnya dipasok dari IUP-IUP kecil tersebut. Permasalahan yang dihadapi para pemegang IUP kecil adalah keterbatasan kemampuan finansial untuk membangun smelter, jumlah cadangan dan teknologi Pola Pemenuhan Bijih Nikel Pola pemenuhan bijih nikel untuk smelter di Sulawesi Tenggara berdasarkan pada rencana pembangunan smelter dan kebutuhan bijih, jumlah IUP produksi bijih, dan jumlah cadangan. Jumlah perusahaan yang sudah dan merencanakan membangun smelter nikel adalah sebanyak 20 perusahaan dan jumlah IUP aktif produksi sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih adalah tersebar di Konawe Selatan lima smelter delapan IUP, Konawe Utara delapan smelter 14 IUP, Kolaka Utara tiga smelter 10 IUP, Bombana dua smelter empat IUP, Kolaka satu smelter 16 IUP, dan Konawe satu Smelter 3 IUP. Jumlah serapan bijih nikel dari rencana smelter tersebut adalah sebanyak ton per tahun dengan kadar Ni berkisar antara 1,1-1,9%. Di sisi lain jumlah rata - rata produksi nikel per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar ton, maka jumlah bijih nikel yang tidak terserap per tahun sebanyak ton. Apabila dirinci sesuai dengan rencana pembangunan smelter, maka serapan bijih untuk smelter di masing-masing daerah adalah di Konawe Selatan sebanyak ton, Konawe Utara ton, Kolaka Utara ton, Bombana ton, Kolaka ton, dan Konawe ton. Apabila dikaitkan dengan jumlah IUP yang aktif melakukan kegiatan produksi (60 IUP) dan tingkat konsumsi bijih nikel pada smelter di masing-masing daerah, menunjukkan adanya potensi kelebihan pasokan sebesar Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 25

38 ton/tahun. Kelebihan pasokan ini hanya memperhatikan jumlah IUP yang aktif melakukan kegiatan produksi dan belum termasuk potensi pasokan bijih nikel dari IUP produksi tidak aktif yang jumlahnya mencapai 164 IUP (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Produksi dan Konsumsi Bijih Nikel Dalam Rangka Pembangunan Smelter Kabupaten Produksi tidak aktif Jumlah IUP Produksi Aktif Produksi (ton) Kapasitas (ton) Kelebihan Pasokan (ton) Konawe Utara Buton Kolaka Utara Bombana Konawe Selatan Konawe Kolaka Jumlah Kelebihan pasokan bijih nikel mengindikasikan ada beberapa IUP aktif produksi tidak melakukan kegiatan penambangan karena perusahaan smelter pada umumnya bekerja sama dengan IUP - IUP besar (grup) dan belum menyentuh pada IUP - IUP kecil. Untuk mengatasi permasalahan ini ada tiga skenario yang dapat ditempuh, yaitu: a. Mendistribusikan keseluruhan potensi kosumsi bijih nikel untuk smelter kepada seluruh IUP aktif produksi secara merata untuk masing-masing wilayah. b. Membangun smelter pada wilayah yang kelebihan pasokan bijih. c. Memasok bijih nikel di suatu daerah ke wilayah yang kekurangan pasokan. Untuk skenario a, distribusi bijih nikel pada umumnya dapat dipenuhi oleh daerah setempat, kecuali daerah Bombana dan Konawe yang kekurangan pasokan, maka pemenuhan bijihnya dapat dipenuhi dari IUP dari luar daerah atau dari IUP Produksi (pasif) daerah setempat. Sedangkan di daerah Buton ada lima IUP 26 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

39 produksi aktif, empat di antaranya dimiliki oleh PT Arga Morini Indah (empat IUP) dengan luas lahannya mencapai Ha, cukup potensial membangun smelter atau kerja sama dengan investor lain, sehingga produksi bijih nikel dari IUP di wilayah ini dapat dapat ditampung oleh smelter tersebut. Skenario b dapat dicapai melalui konsorsium antara para pemilik IUP produksi aktif/pasif skala kecil atau para pemilik IUP kecil dengan calon investor (custom plant). Konsorsium pembangunan smelter dapat dilakukan melalui pengumpulan modal dari masing-masing pemilik IUP, dan setiap IUP dapat memasok bijih nikel yang disesuaikan dengan rasio kontribusi modal yang diserahkan untuk membangun smelter tersebut. Skenario c dapat dilakukan dengan memasok bijih nikel dari suatu daerah ke daerah yang mempunyai kekurangan pasokan (Tabel 3.5), seperti Kabupaten Bombana yang memiliki 4 IUP aktif produksi dengan kemampuan memasok bijih nikel hanya ton/tahun, tetapi potensi konsumsinya mencapai ton/tahun. Demikian juga dengan Kabupaten Konawe yang memiliki tiga IUP aktif produksi dengan kemampuan memasok bijih nikel hanya ton/tahun, tetapi potensi konsumsinya mencapai ton/tahun. Tabel 3.5. Distribusi Pasokan Bijih Nikel per Kabupaten Kabupaten Jumlah Bagian IUP Potensi Pasokan per Produksi konsumsi (ton) IUP (ton) Aktif Konawe Utara Buton Kolaka Utara Bombana Konawe Selatan Konawe Kolaka Jumlah Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 27

40 BAB 4 ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SMELTER DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA 4.1. Analisis Dampak Ekonomi Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Nikel Koridor Pembangunan Ekonomi Sulawesi Tenggara Dalam rangka mendukung pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) , salah satu strategi utama yang digunakan adalah mengembangkan koridor-koridor ekonomi melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di setiap pulau/kepulauan dengan mengembangkan klaster industri berbasis sumber daya alam. Mengingat Indonesia terdiri atas ribuan pulau dengan berbagai kekhasan yang dimilikinya, terutama ditinjau dari aspek kekayaan sumber daya alam, penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan lokasi demografi, maka percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dibagi dalam enam Koridor Ekonomi (KE). Keenam KE tersebut adalah: a. KE Sumatera; b. KE Jawa c. KE Kalimantan; d. KE Sulawesi dan Maluku Utara; e. KE Bali Nusa Tenggara; f. KE Papua Maluku. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) , Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk ke dalam KE Sulawesi dan Maluku Utara, di samping Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo, dengan tema pengembangan adalah Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan dan Perikanan Nasional, dan fokus pada pertambangan nikel untuk diolah menjadi bahan komoditi ekspor setengah jadi dan komoditi produk jadi (Gambar 4.1). Dengan demikian terlihat bahwa KE Sulawesi dan Maluku Utara 28 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

41 memang bertumpu kepada hasil-hasil tambang yang patut dikembangkan, khususnya sumber daya dan cadangan tambang nikel yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi dan Maluku Utara yang cukup besar. Rencana Pabrik Pengolahan dan Pemurnian (Smelter) Nikel Di Provinsi Sulawesi Tenggara Tambang nikel merupakan andalan utama Provinsi Sulawesi Tenggara, yang mampu meningkatkan perekonomian daerah. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Minerba KESDM tahun 2015 dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, ada dua puluh lima perusahaan besar yang yang akan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara dan seluruhnya akan beroperasi mulai pada tahun 2018, yaitu: 1. PT. Cahaya Modern Metal Industri 2. PT. Antam Fe-Ni 3. PT. Antam Pomala (Ekspansi) 4. PT. Macika Mada Madana 5. PT. Integra Mining Nusantara 6. PT. Karyatama Konawe Utara 7. PT. Sambas Mineral Mining 8. PT. Putra Mekongga Mining 9. PT. Stargate Pacipic Resources 10. PT. Jilin Metal Indonesia (Billy Group) 11. PT. Bososi Pratama 12. PT. Cinta Jaya 13. PT. Bhineka Sekarsa Adidaya 14. PT. Cipta Djaya Surya 15. PT. Elit Kharisma Utama 16. PT. Konawe Nikel Nusantara 17. PT. Kembar Emas Sultra 18. PT. Riota Jaya Lestari 19. PT. Sriwijaya Raya 20. PT. Bola Dunia Mandiri 21. PT. Surya Saga Utama 22. PT. Bintang Smelter Indonesia (Ifishdeco) 23. PT. Dharma Rosadi Internasional 24. PT. Pulau Rusa Tamita 25. PT. Tristaco Mineral Makmur. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 29

42 Terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan proses pengolahan dan pemurnian bagi berbagai jenis mineral termasuk mengolah nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain, sebelum diekspor, di satu sisi akan membuka peluang bagi peningkatan penyerapan tenaga kerja dan PAD melalui pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian nikel tersebut, namun di sisi lain diperlukan upaya untuk pengadaan energi dalam rangka mengoperasikan pabrik pengolahan/pemurniannya, di samping perbaikan/ pengadaan infrastruktur. Sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara beserta pemerintah kabupaten/ kota agar nikel dapat dijadikan andalan bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari 25 pabrik pengolahan dan pemurnian nikel, ada 20 pabrik pengolahan yang sudah siap berproduksi. Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Gambar 4.1. Koridor Pembangunan Ekonomi Sulawesi (MP3EI) 30 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

43 Di bidang energi, tidak terlalu banyak potensi yang dapat dikembangkan, sebab Provinsi Sulawesi Tenggara tidak memiliki sumber daya energi yang besar (sektor pengadaan listrik dan gas hanya 0,03% dari struktur PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2014). Potensi batubara yang dimiliki Provinsi Sulawesi Tenggara tidak terlalu signifikan untuk memasok kebutuhan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel. Padahal, pengolahan nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain memerlukan energi yang sangat besar, sehingga mau tidak mau Provinsi Sulawesi Tenggara terpaksa harus membangun sumber daya energi untuk mendukung pabrik pengolahan dan pemurnian nikel tersebut atau mendatangkan sumber energi dari luar Provinsi. Atas dasar kenyataan di atas, pengembangan industri pengolahan nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain di Provinsi Sulawesi Tenggara memerlukan upaya dan kerja keras, baik dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, agar mampu secepatnya merealisasikan rencana pabrik pengolahan dan pemurnian. Untuk itu kebijakan yang dapat mendorong investor baru atau meningkatkan investasi yang sudah ada, terutama dalam penyediaan energi, menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 31

44 Tabel 4.1. Potensi Sumber Daya Bahan Galian Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara No Kabupaten Sumber Daya (Ton) Total Produksi Periode Sumber Daya Tersisa (Ton) Kadar Hasil Uji Laboratorium Sampel Bahan Galian 1 Kab Konawe Utara , , ,72 Ni=1,91-2,4%; Fe=14,07-17,47% 2 Kab Bombana , , ,00 3 Kab Kolaka , , ,10 Ni=2,17%; Fe=34% 4 Kab Konawe Selatan , , ,00 5 Kab Kolaka Utara , , ,71 6 Kab Buton dan Kota Bau- Bau Ni=2,11-2,13%; Fe=21,96-23,03% Ni=1,76-1,9%; Fe=18,1-20,18% , , ,00 Ni=2-2,07%; Fe=20,10-34% 7 Kab. Konawe , , ,00 Ni=1,8-2%; Fe=18,03-16,25% 8 Lintas Kabupaten ,00 J u m l a h , , ,53 Sumber : Dinas Pertambangan ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara, Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

45 Dampak Ekonomi Pabrik Pengolahan Dan Pemurnian Nikel Sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri sebagai bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah mineral dan/atau batubara (Pasal 102 dan Pasl 103 ayat (1)). Khusus untuk mineral nikel, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Di Dalam Negeri, menjelaskan bahwa mineral nikel wajib dimurnikan terlebih dulu sebelum dijual ke luar negeri. Ini berarti mineral nikel harus diekspor dalam bentuk logam, bukan konsentrat. Oleh karena itu, pembangunan smelter nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara akan menghasilkan logam nikel dalam bentuk nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain. Dengan adanya rencana pembangunan pabrik pengolahan (smelter) nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara akan memberikan dampak, baik positif maupun negatif, bagi wilayah tersebut. Dampak positif dari rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel terhadap ekonomi dan sosial di Provinsi Sulawesi Tenggara secara langsung akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan perekonomian dan pembangunan daerah termasuk masyarakat di dalamnya, sehingga akan menyebabkan: 1. meningkatnya perekonomian daerah berupa peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); 2. bertambahnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (meningkatnya lapangan pekerjaan); 3. adanya peningkatan pendapatan setiap rumah tangga; 4. adanya pengaruh keterkaitan dari kegiatan ekonomi backward linkage (pengaruh keterkaitan kebelakang) maupun forward lingkage (pengaruh keterkaitan ke depan). Adapun dampak negatif yang mungkin muncul adalah: 1. kehilangan pendapatan sementara dari sektor pertambangan karena berhentinya kegiatan tambang, hingga pabrik pengolahan selesai dan produksi dimulai (comissioning); 2. terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara hingga pabrik pengolahan selesai, sehingga terdapat angka pengangguran terhadap tenaga kerja langsung dan tidak langsung untuk sementara; Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 33

46 3. laju pertumbuhan ekonomi bawah terhambat disebabkan CSR/ Comdev dari yang selama ini diperoleh dari perusahaan tambang untuk sementara berhenti; 4. untuk sementara terjadi keresahan sosial dari masyarakat yang selama ini hidup tergantung dari pekerjaan tambang; 5. terganggunya pasar dunia yang selama ini tergantung kepada bahan mentah Indonesia Dampak terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam suatu negara selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa yang dihasilkan perusahaan/orang asing yang berada di negara bersangkutan. Sedangkan pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam wilayah/kabupaten/kota/provinsi selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa yang dihasilkan perusahaan/ orang asing yang berada di wilayah bersangkutan. PDB maupun PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan, merupakan indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu. a) PDB maupun PDRB atas dasar berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun untuk mengetahui pergeseran dan struktur ekonomi wilayah/kabupaten/kota/provinsi/negara bersangkutan; b) PDB maupun PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun wilayah/kabupaten/kota/provinsi/ negara bersangkutan. Berdasarkan harga konstan tahun 2010, pada tahun 2012, pendapatan regional bruto Provinsi Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp59,78 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, maka pendapatan perkapita sebesar Rp Di tahun 2013, pendapatan regional meningkat 34 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

47 menjadi Rp64,27 triliun dan jumlah penduduk menjadi jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi menjadi Rp68,30 triliun dan jumlah penduduk sebanyak jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp (lihat Tabel 4.2). Selama tiga tahun terakhir ( ), perkembangan ekonomi Sulawesi Tenggara menunjukkan pertumbuhan ratarata 6,26% setiap tahunnya. Dari Tabel 4.1 dapat diketahui Sektor Pertambangan memberikan kontribusi paling tinggi kedua setelah Sektor Pertanian dan Kehutanan, sementara sektor penyumbang terkecil adalah Sektor Pengadaan Listrik dan Gas. Jika melihat pertumbuhan ekonomi ini, maka angka pertumbuhan di Provinsi Sulawesi Tenggara lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,02%, meski pangsa sumbangan Provinsi Sulawesi Tenggara masih relatif kecil terhadap perekonomian nasional yang besarnya rata-rata sudah mencapai angka Rp2.000 triliun lebih, yaitu hanya sebesar 0,54%. Berdasarkan harga berlaku menurut lapangan usaha, pada tahun 2012, pendapatan regional bruto Provinsi Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp64,69 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, maka pendapatan perkapita sebesar Rp Di tahun 2013, pendapatan regional meningkat menjadi Rp71,04 triliun dan jumlah penduduk jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi menjadi Rp78,62 triliun dan jumlah penduduk sebanyak jiwa, sehingga pendapatan per kapita sebesar Rp (lihat Tabel 4.3). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 35

48 Tabel 4.2. PDRB atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah) Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010, No Lapangan Usaha LP 1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan , , ,78 9,11 2 Pertambangan dan Penggalian , , ,78-4,83 3 Industri Pengolahan , , ,04 7,74 4 Pengadaan Listrik, Gas , , ,72 10,60 5 Pengadaan Air , , ,37 6,97 6 Konstruksi , , ,94 12,61 7 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Motor , , ,97 8,30 8 Transportasi dan Pergudangan , , ,28 5,13 9 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum , , ,18 9,41 10 Informasi dan Komunikasi , , ,45 2,92 11 Jasa Keuangan , , ,34 9,44 12 Real Estate , , ,07 6,64 13 Jasa Perusahaan , , ,54 9,74 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib , , ,51 12,98 15 Jasa Pendidikan , , ,00 13,98 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial , , ,94 12,13 17 Jasa Lainnya , , ,41 12,93 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SULAWESI TENGGARA , , ,30 6,26 Penduduk Pertengahan Tahun PDRB Perkapita ADHB Tahun Dasar 2010 (rupiah) Ket : 2012: Angka Sementara; 2013: Angka Sangat Sementara; 2014: Angka Sangat-Sangat Sementara 36 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

49 Tabel 4.3. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010, 2012 s.d 2014 No Lapangan Usaha Struktur PDRB (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan , , ,05 25,64 2 Pertambangan dan Penggalian , , ,66 20,14 3 Industri Pengolahan , , ,20 5,97 4 Pengadaan Listrik, Gas , , ,10 0,03 5 Pengadaan Air , , ,85 0,21 6 Konstruksi , , ,19 12,33 7 Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Motor , , ,13 11,73 8 Transportasi dan Pergudangan , , ,89 4,37 9 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum , , ,19 0,58 10 Informasi dan Komunikasi , , ,56 1,88 11 Jasa Keuangan , , ,63 2,33 12 Real Estate , , ,08 1,64 13 Jasa Perusahaan , , ,82 0,20 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib , , ,74 6,04 15 Jasa Pendidikan , , ,40 4,56 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial , , ,18 0,97 17 Jasa Lainnya , , ,49 1,39 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO , , ,17 100,00 Penduduk Pertengahan Tahun PDRB Perkapita ADHB Tahun Dasar 2010 (rupiah) : Angka Sementara; 2013: Angka Sangat Sementara; 2014: Angka Sangat Sangat Sementara Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 37

50 Selama tiga tahun terakhir ( ), perkembangan ekonomi Sulawesi Tenggara berdasarkan harga berlaku menunjukkan pertumbuhan ekonomi (produk domestik regional bruto) rata-rata sebesar 10,24% setiap tahunnya. Dari Tabel 4.3 dapat diketahui Sektor Pertambangan memberikan kontribusi paling tinggi kedua (20,14%) setelah Sektor Pertanian dan Kehutanan (25,64%), sementara sektor penyumbang terkecil adalah sektor pengadaan listrik dan gas (0,03%). Perhitungan Produk Regional Bruto Ada 3 (tiga) pendekatan untuk menghitung PDB maupun PDRB, yaitu: 1. Metode Nilai Produksi Untuk menghitung pendapatan nasional dengan menjumlahkan dari seluruh nilai tambah barang dan jasa yang dalam 1 tahun. Apabila dalam 1 tahun ada 100 barang dan jasa, maka 100 barang dan jasa tersebut harus dikalikan dengan harga satuannya masing-masing, kemudian dijumlahkan. Untuk menghitung PDB/PDRB dengan pendekatan ini dapat dirumuskan : Y = ((Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) ) Keterangan : Y = Besaran PDB/PDRB Q = kuantitas P = harga Jumlah output masing-masing sektor merupakan jumlah output seluruh perekonomian. Ada kemungkinan output yang dihasilkan suatu sektor perekonomian berasal dari output sektor lain atau dapat juga merupakan input bagi sektor ekonomi yang lain lagi. Jika tidak berhati-hati akan terjadi penghitungan ganda (double counting) bahkan multiple counting. Akibatnya angka PDB bisa sangat besar sekali dari angka sebenarnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam perhitungan PDB dengan metode nilai produksi, yang dijumlahkan adalah nilai tambah (value added) masing-masing sektor. 2. Metode Pengeluaran / Konsumsi Untuk menghitung pendapatan nasional dengan metoda pengeluaran atau konsumsi yaitu dengan menjumlahkan 38 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

51 seluruh pengeluaran yang dilakukan seluruh rumah tangga ekonomi / pelaku Ekonomi (RTK, RTP, RTG, RT Luar Negeri) dalam suatu Negara selama satu tahun. Untuk menghitung PDB/PDRB dengan pendekatan ini dapat dirumuskan : Keterangan : Y = Besaran PDB/PDRB C = Household Consumption I = Investment Expenditure G = Government Expenditure X = Ekspor M = Impor Y = C + I + G + (X M) a. Pengeluaran RT Konsumen/Masyarakat (Household consumption) Pengeluaran rumah tangga dipakai untuk konsumsi akhir, baik barang dan jasa yang habis dalam tempo setahun atau kurang (durable goods) maupun barang yang dapat dipakai lebih dari setahun/barang tahan lama (non-durable goods) untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga seperti membeli beras/lauk pauk/bayar listrik dan lain-lain. b. Pengeluaran RT Perusahaan (Investment Expenditure) Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) merupakan pengeluaran sektor dunia usaha (perubahan stok, baik berupa barang jadi maupun barang setengah jadi). Ada dua macam pengeluaran RT Perusahaan (Investment Expenditure): 1) Investasi untuk pembelian modal tetap (investasi gedung/ mesin). 2) Investasi untuk pembelian persediaan (investasi bahan baku/bahan setengah jadi dan bahan jadi). Dalam metoda penghitungan berdasarkan Pengeluaran = Pengeluaran Perusahaan & Pengeluaran Pemerintah disatukan dalam komponen pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) dan komponen perubahan stok. c. Pengeluaran RT Pemerintah (Government Consumption) / G Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 39

52 Pengeluaran Pemerintah yang digunakan untuk membeli barang dan jasa akhir (government expenditure). Sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk tunjangantunjangan sosial tidak masuk dalam perhitungan konsumsi pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat, ada dua macam pengeluaran RT pemerintah: 1) Pengeluaran untuk konsumsi (perlengkapan dan peralatan kantor/ bayar gaji pegawai). 2) Pengeluaran untuk investasi (bangun jembatan/irigasi/ pembangkit listrik/jalan, dan lain-lain). d. Ekspor Neto (Net Export)/selisih nilai ekspor dengan impor Ekspor neto yang positif menunjukkan ekspor lebih besar daripada impor. Perhitungan ekspor neto dilakukan bila perekonomian melakukan transaksi dengan perekonomian lain (dunia). Ekspor (menjual barang ke LN sehingga nilainya perlu diperhitungkan), Impor (membeli barang ke LN sehingga nilainya tidak perlu diperhitungkan dalam pendapatan nasional). Yang harus diperhitungkan adalah Ekspor Netonya [X - M]. 3. Metode Pendapatan Untuk menghitung pendapatan nasional dengan metode pendapatan adalah dengan menjumlahkan seluruh pendapatan (sewa/rent, gaji/wage, bunga/interest, keuntungan/profit) yang diterima pemilik faktor produksi (pemilik tanah/gedung, tenaga kerja, pemilik modal/uang/aset, pengusaha) dalam suatu negara selama satu tahun. Keterangan : Y = Besaran PDB/PDRB R = Pendapatan rent W = Pendapatan wage I = Pendapatan interest P = Pendapatan profit Y = R + W + I + P Dari ketiga metoda perhitungan pendapatan nasional tersebut, maka dengan metoda pengeluaran yaitu: 40 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

53 Y = C + I + G + (X M) dapat dihitung dampak adanya pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, terhadap peningkatan pendapatan regional daerah tersebut. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2, seluruh rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel yang berjumlah 20 perusahaan akan menanamkan modalnya dalam bentuk investasi sebesar USD5.904,9 juta atau setara Rp 84 triliun lebih (kurs rupiah per Oktober 2015 sebesar Rp14.250/1 USD) dan Rp1 triliun lebih, sehingga total investasi dari seluruh smelter berjumlah Rp85,23 triliun. Dengan rencana pembangunan seluruh smelter tersebut selesai antara tahun , maka rata-rata investasi selama tiga tahun mencapai Rp28,41 triliun. Dengan demikian, keberadaan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara akan memberikan dampak positif yang sangat besar bagi pengembangan wilayah daerah tersebut dalam bentuk meningkatnya pendapatan regional Provinsi Sulawesi Tenggara setelah berjalannya pabrik pengolahan dan pemurnian mulai tahun 2016 sebesar jumlah investasi yang ditanamkan oleh pabrik tersebut, yaitu sebesar: Y = C + I (Rp /Rp 28,41 triliun) + G + (X M) Sebagaimana diketahui, PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan harga konstan tahun 2010, pada tahun 2012 tercatat sebesar Rp59,78 triliun dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, maka pendapatan perkapita sebesar Rp Di tahun 2013, pendapatan regional meningkat menjadi Rp64,27 triliun dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa dan pendapatan perkapita sebesar Rp Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi menjadi Rp68,30 triliun dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa dengan pendapatan per kapita sebesar Rp (lihat Tabel 4.5). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 41

54 Dengan adanya investasi dari pabrik pengolahan dan pemurnian selama tahun rata-rata sebesar Rp28,41 triliun, maka PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp ,30 juta + investasi pabrik (Rp ,66 juta) = Rp ,96 juta (Rp 96,71 triliun). Tahun 2017 meningkat menjadi Rp96,71 triliun + Rp28,41 triliun = Rp125,12 triliun. Pada tahun 2018, setelah seluruh pabrik selesai, akan meningkat lagi menjadi Rp125,12 triliun + Rp28,41 triliun = Rp153,53 triliun Dampak terhadap Tenaga Kerja (SDM) Kesempatan kerja secara tidak langsung berkaitan dengan pendapatan nasional/pdb atau pendapatan regional/pdrb. Tingginya jumlah pekerja akan menyebabkan naiknya PDRB. Makin banyak barang dan jasa yang dihasilkan karena besarnya angkatan kerja, makin tinggi PDRB wilayah tersebut, yang memungkinkan dilakukannya tabungan yang selanjutnya dapat digunakan untuk investasi, selanjutnya investasi akan memperbesar kesempatan kerja. Masalah lain yang berkaitan dengan PDRB dan kesempatan kerja adalah tingkat produktivitas tenaga kerja wilayah tersebut. PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara akan naik jika terjadi peningkatan angkatan kerja juga peningkatan produktivitas tenaga kerja di wilayah tersebut. Hal sebaliknya, pengangguran kerja secara tidak langsung berkaitan juga dengan PDRB. Tingginya jumlah pengangguran di wilayah bersangkutan akan menyebabkan turunnya PDRB. Makin banyak pengangguran makin sedikit barang dan jasa yang dihasilkan, makin kecil PDRB wilayah tersebut, yang memungkinkan tabungan wilayah tersebut makin kecil, selanjutnya pendapatan untuk investasi juga menurun, dan akan memperkecil peluang kesempatan kerja. Selama kurun waktu angkatan kerja di Provinsi Sulawesi Tenggara meningkat rata-rata setiap tahunnya sebesar 1,71%. Pada tahun 2009 tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Tenggara berjumlah jiwa dan meningkat menjadi jiwa pada tahun Dengan adanya pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi, memberikan dampak positif dengan adanya penyerapan tenaga kerja mulai tahun 2015 sebanyak jiwa dan akan terus meningkat setiap tahunnya sesuai dengan 42 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

55 dimulainya operasi pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di wilayah tersebut. Sehingga jumlah tenaga kerja di Provinsi Sulwesi Tenggara pada tahun 2015 berjumlah jiwa jiwa menjadi jiwa, dan akan terus meningkat sesuai dengan rencana penyelesaian pabrik pengolahan Dampak terhadap Pendapatan Rumah Tangga (RTK) Menghitung pendapatan nasional dengan memakai metoda pendapatan, yaitu dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang diperoleh oleh faktor-faktor produksi antara lain dengan menjumlahkan seluruh pendapatan sewa yang diterima oleh faktor produksi pemilik gedung/tanah ditambah dengan penjumlahan seluruh gaji atau seluruh pendapatan rumah tangga yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja ditambah penjumlahan bunga (interest) yang diterima faktor produksi pemilik modal/aset ditambah penjumlahan seluruh keuntungan yang diterima pemilik faktor produksi Pengusaha dalam suatu negara selama satu tahun, yang dirumuskan: Keterangan : Y = Besaran PDB/PDRB R = Pendapatan rent W = Pendapatan wage I = Pendapatan interest P = Pendapatan profit Y = R + W + I + P Oleh sebab itu rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara yang berjumlah 20 perusahaan, berdasarkan analisis sebelumnya akan meningkatkan pendapata PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara (Y). Berdasarkan analisis sebelumnya, adanya investasi dari pabrik pengolahan dan pemurnian selama tahun rata-rata sebesar Rp28,41 triliun, sehingga PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp68,3 miliar + investasi pabrik (Rp28.41 triliun = Rp96.71 triliun. Tahun 2017 meningkat menjadi Rp96,71 triliun + Rp28,41 triliun = Rp 125,12 triliun. Dan pada tahun 2018, Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 43

56 setelah seluruh pabrik selesai, meningkat menjadirp125,12 triliun + Rp28,41 triliun = Rp153,53 triliun. Dengan meningkatnya PDRB (Y) dari Rp68,30 triliun (2014) menjadi Rp153,53 triliun (2018), maka peningkatan PDRB di Provinsi Sulawesi Tenggara akibat beroperasinya pabrik smelter nikel akan memberikan dampak positif dari sisi pendapatan rumah tangga, yaitu meningkatkan pendapatan/gaji yang diterima rumah tangga atau pendapatan/gaji yang diterima faktor produksi tenaga kerja. Ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga atau pendapatan yang diperoleh oleh tenaga kerja akibat meningkatnya PDRB di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang secara langsung adalah meningkatnya UMR (upah minimum regional) yang akan berubah setelah selesainya pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di wilayah tersebut. Aspek kedua, yang juga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga/tenaga kerja, adalah peningkatan upah karena adanya peningkatan keahlian yang diberikan tenaga kerja, yang biasanya sebagai tenaga kerja buruh yang bekerja pada sektor pertambangan penghasil bahan mentah, menjadi tenaga kerja yang berkeahlian (profesional) yang bekerja pada sektor pertambangan penghasil bahan olahan. Peningkatan pendapatan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga atau pendapatan gaji yang diterima oleh tenaga kerja di wilayah tersebut dapat dirumuskan, sebagai berikut: Y (meningkat) = R (meningkat) + W (meningkat) + I (meningkat) + P (meningkat) dengan peningkatan secara fluktuatif dimana salah satu indikator bisa tidak meningkat dan indikator yang lain meningkat lebih besar. R = pendapatan rent/sewa dari pemilik tanah/bangunan, W = pendapatan wage/gaji dari rumah tangaga/tenaga kerja, I = pendapatan interest/bunga dari pemilik modal/aset, P = pendapatan profit/laba dari pengusaha/pemilik enterpreneur/ kewirausahaan. 44 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

57 Backward Linkage (Keterkaitan Ke Belakang) dan Forward Linkage (Keterkaitan Ke Depan) Menurut Hirscman, dalam sektor produksi mekanisme pendorong pembangunan (inducement mechanism) yang tercipta sebagai akibat adanya hubungan antara berbagai industri dalam menyediakan barang-barang yang digunakan sebagai bahan mentah dalam industri lainnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pengaruh keterkaitan ke belakang (backward linkage effects) dan pengaruh keterkaitan ke depan (forward linkage effects). Pengaruh keterkaitan ke belakang adalah tingkat rangsangan yang diciptakan oleh pembangunan suatu industri terhadap perkembangan industri-industri yang menyediakan input (bahan baku) bagi industri tersebut, sedangkan pengaruh keterkaitan ke depan adalah tingkat rangsangan yang diciptakan oleh pembangunan suatu industri terhadap perkembangan industri-industri yang menggunakan produk industri yang pertama sebagai input (bahan baku) mereka. Setiap industri membutuhkan hubungan atau keterkaitan dengan industri lainnya dalam mewujudkan keberlanjutan industrinya. Kebutuhan bahan mentah, pertukaran informasi, dan proses pemasaran menjadi faktor dalam keterkaitan antar industri. Hal inilah yang disebut linkage industri. Dalam menyediakan barang-barang yang digunakan sebagai bahan mentah dalam industri lainnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage). Keterkaitan ke belakang merupakan keterkaitan yang terjadi ketika suatu industri menyebabkan pertumbuhan industri-industri lainnya yang menyediakan input (bahan baku) bagi industri tersebut, sedangkan keterkaitan ke depan merupakan keterkaitan yang terjadi ketika barang produksi dari suatu industri digunakan sebagai input (bahan baku) bagi industri yang lain. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satu industri yang mempunyai backward dan forward linkage adalah industri pemurnian nikel. Dalam keterkaitan ke belakang (backward Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 45

58 linkage), industri pengolahan nikel yang sangat dominan berpengaruh atau dipengaruhi oleh sektor penambangan dan penggalian (kesiapan jumlah bijih nikel sebagai input bahan baku industri pengolahan sebesar 12,494 juta ton dibanding produksi saat ini yang hanya mencapai 9,493 juta ton), selanjutnya industri listrik gas dan air bersih, infrastuktur jalan dan jembatan, konstruksi, perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan, komunikasi, perbankan, dan industri jasa. Dalam keterkaitannya ke depan (forward linkage), sifatnya sangat meluas dan terkait dengan begitu banyak industri lainnya. Industri pemurnian nikel terkait dengan industri nikel katoda, nikel mate, dan NPI, dan logam nikel. Masing-masing industri tersebut kemudian akan terkait lagi dengan industri lainnya hingga menjadi produk barang jadi baik berupa industri besi baja slab, industri besi baja billet, nikel platting, nikel paduan. Dari industri tersebut terkait lagi dengan industri peralatan rumah tangga, industri pembuatan kapal, industri konstruksi, industri elektronik, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut: Sumber : Kementerian Perindustrian, 2015 Gambar 4.2. Backward Linkages dan Forward Linkages Industri Pengolahan Nikel 46 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

59 4.2. Dampak terhadap Pengembangan Masyarakat Sekitar Smelter Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu bentuk kontribusi perusahaan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitar proyek, baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat. Menurut World Bank, CSR adalah komitmen dari bisnis untuk berkontribusi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehingga berdampak baik bagi bisnis sekaligus baik bagi kehidupan sosial. Para pengamat bisnis juga mengartikan CSR sebagai bentuk komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan beserta keluarganya, masyarakat lokal, dan masyarakat secara lebih luas. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan (disebut triple bottom line). Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Upaya CSR yang berkelanjutan dimaksud untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha. Tanggung jawab sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta semakin kuatnya jaringan kemitraan antara masyarakat, pemerintah dengan dunia usaha (Wahyudi, I., 2008). Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan strategi bisnis yang dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup suatu perseroan, termasuk perusahaan pembangunan smelter nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam hal ini, terdapat tiga komponen yang harus diperhatikan oleh perseroan yaitu (Widjaja, G., 2008): 1) Sustainability Ekonomi Dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan wajib memenuhi tujuan dasarnya, Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 47

60 yaitu mencari keuntungan. Perusahaan akan dapat menjaga sustainability sosial dan lingkungan jika perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan. Bisnis perusahaan smelter terkait dengan beberapa hal, antara lain: pasokan bahan baku, pengolahan dan pemurnian hasil tambang, konstribusi terhadap pendapatan negara baik dari pajak maupun PNBP, serta penguatan fiskal pemerintah Pusat dan Daerah. 2) Sustainability Sosial Berdirinya sebuah perusahaan ditengah masyarakat tentunya akan membawa dampak tertentu pula bagi masyarakat setempat. Sustainability sosial terkait dengan upaya perusahaan dalam mengutamakan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. 3) Sustainability Lingkungan Perusahaan seringkali dipandang memiliki andil yang besar dalam terjadinya global warming. Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan. Hal ini berarti CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagia sentra laba (profit center) di masa mendatang (Widjaja A.T, 2008). Limbah B3 yang dihasilkan dari proses produksi smelter harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni zero waste melalui 3R (reuse, recycle, recovery). Hal yang penting adalah masyarakat sekitar jangan hanya dikasih limbahnya saja, tapi program CSR dan pengembangan masyarakat smelter harus diberikan. Pelaksanaan CSR di bidang pertambangan mineral dan batubara di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan, antara lain: UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan CSR di antara undang-undang yang ada saat ini tidak seragam. UU Nomor 25 Tahun 2007 mewajibkan seluruh penanam modal melaksanakan program CSR perusahaan, sedangkan UU Nomor 40 Tahun 2007 hanya mewajibkan korporasi yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. 48 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

61 Pengaturan sumber pembiayaan CSR juga masih belum seragam. Menurut Pasal 88 UU Nomor 19 Tahun 2003, dana CSR diambil dari laba bersih perusahaan yang berarti bukan merupakan biaya bagi perusahaan, sedangkan menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 74 ayat (2), sumber pembiayaan CSR wajib dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya bagi perseroan. Dengan disahkannya UU Nomor 40 Tahun 2007, pelaksanaan CSR oleh perseroan yang sebelumnya merupakan tanggung jawab nonhukum berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). CSR sebagai tanggung jawab sosial perusahaan harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Tanggung jawab sosial perusahaan dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis (Sukarmi, 2013). Berkaitan dengan biaya CSR, UU Nomor 36 Tahun 2008, yang merupakan perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983, telah mengakomodasikannya dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai m, yang mengatur jenis-jenis sumbangan sehubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat dibiayakan oleh perusahan, yaitu: sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, pembangunan infrastruktur sosial, fasilitas pendidikan serta pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti semakin banyak biaya terkait CSR yang boleh menjadi pengurang penghasilan bruto yang diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun Pengaturan lebih lanjut biaya CSR diatur melalui PP Nomor 93 Tahun 2010 yang memuat persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang memperoleh insentif perpajakan terkait biaya CSR, yaitu: hanya perusahaan/wajib Pajak yang telah memperoleh keuntungan secara fiskal yang dapat membebankan biaya tanggung jawab sosial perusahaan (memperoleh insentif pajak penghasilan). Wajib Pajak yang belum memperoleh keuntungan secara fiskal (menurut laporan SPT Tahunan) tindak memperoleh insentif PPh atau tidak dapat membebankan biaya-biaya terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Adanya perlakukan yang berbeda terhadap Wajib Pajak yang berkomitmen melaksanakan tanggung jawab sosial Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 49

62 perusahaan dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak (tax compliance) dan bahkan dapat mendorong Wajib Pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avoidance). Adanya kewajiban bagi perseroan untuk menganggarkan biaya CSR pada awal tahun berdampak adanya ketidakpastian apakah memperoleh insentif pajak atau tidak, tergantung kinerja perseroan pada akhir tahun. Penelitian yang dilakukan Spicer, Song, dan Yarbrough menemukan hubungan yang signifikan antara tax fairness dan tax evasion, dimana ketika pembayar pajak menganggap bahwa sistem pajak adalah adil maka tingkat penghindaran pajak (tax avoidance) akan berkurang, atau dengan kata lain pembayar pajak semakin patuh dalam membayar pajaknya. Program CSR berdampak positif bagi masyarakat tergantung kepada orientasi dan kapasitas perusahaan smelter, dan terutama pemerintah (Pusat dan Daerah) sebagai pengelola sumber daya alam. Orientasi dan kapasitas perusahaan smelter sangat ditentukan oleh sejauh mana pemahamannya terhadap CSR sebagai salah satu investasi social untuk keberlangsungan bisnisnya, yaitu: 1) Meningkatkan citra perusahaan. Melakukan kegiatan CSR, konsumen dapat lebih mengenal perusahaan sebagai perusahaan yang selalu melakukan kegiatan yang baik bagi masyarakat. 2) Memperkuat citra (brand) perusahaan. Melalui kegiatan memberikan product knowledge kepada konsumen dengan cara membagikan produk secara gratis, dapat menimbulkan kesadaran konsumen akan keberadaan produk perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan. 3) Mengembangkan kerja sama dengan para pemangku kepentingan. Melaksanakan kegiatan CSR, perusahaan tentunya tidak mampu mengerjakan sendiri, jadi harus dibantu dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, masyarakat, dan universitas lokal. Maka perusahaan dapat membuka relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan tersebut. 50 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

63 4) Membedakan perusahaan dengan pesaingnya. Jika CSR dilakukan sendiri oleh perusahaan, perusahaan mempunyai kesempatan menonjolkan keunggulan komparatifnya sehingga dapat membedakannya dengan pesaing yang menawarkan produk atau jasa yang sama. 5) Menghasilkan inovasi dan pembelajaran untuk meningkatkan pengaruh perusahaan. Memilih kegiatan CSR yang sesuai dengan kegiatan utama perusahaan memerlukan kreativitas. Merencanakan CSR secara konsisten dan berkala dapat memicu inovasi dalam perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan peran dan posisi perusahaan dalam bisnis global. Studi Bank Dunia (Lawrence, 2003) menunjukkan peran pemerintah terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain. Intinya manfaat CSR bagi masyarakat yaitu dapat mengembangkan diri dan usahanya sehingga sasaran untuk mencapai kesejahteraan tercapai. Dampak pengembangan masyarakat sekitar smelter ditelusuri berdasarkan perpajakan di atas dapat dikelompokan sebagai berikut: 1) Pelaksanaan CSR tanpa melalui lembaga tidak mendapat insentif Pajak kepada Wajib Pajak Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 51

64 Pelaksanakan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan bantuan/sumbangan ke masyarakat tanpa melalui lembaga resmi tidak dapat membebankan biaya yang dikeluarakan (tidak memperoleh insentif pajak). Pasal 2 PP Nomor 93 Tahun 2010 mengatakan bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya CSR agar dapat membebankan biaya yang dikeluarkan harus memenuhi syarat bahwa lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai, korporasi yang melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan memberikan barang kena pajak hasil produk perusahaan secara langsung ataupun melalui lembaga resmi harus membayar PPN sebesar 10% dari nilai barang yang diserahkan yang dikategorikan sebagai PPN atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak sebagaimana diataur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. 2) Penggunan dana CSR untuk lingkungan hidup memperoleh insentif pajak. Perusahaan dalam menerapkan CSR yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam. Dilihat dari ketentuan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) berbunyi biaya pengolahan limbah merupakan biaya yang dapat dikurangkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak. Untuk perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan pada Pasal 9 ayat (1) huruf c butir 5 diatur bahwa pembentukan atau pemupukan dana cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pembelian material yang merupakan Barang Kena Pajak untuk membangun fasilitas pengolahan limbah tetap terutang PPN. Demikian juga atas pembayaran jasa atau imbalan dalam pembangunan fasilitas pengolahan limbah akan terhutang PPh Pasal 21/Pasal 26 atau Pasal 23/Pasal 26 UU Nomor 36 Tahun Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

65 3) Praktek CSR dalam bentuk pemberian hasil produk secara cuma-cuma tidak memperoleh insentif pajak. Perusahaan yang melakukan promosi dengan membagibagikan produknya sebagai sampel di masyarakat, berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 biaya yang dikeluarkan tersebut bukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (tidak memperoleh insentif pajak) karena merupakan pemberian kenikmatan atau natura seperti yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 Tahun Apabila perusahaan memilih untuk menyerahkan produknya untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maka perusahan harus membayar PPN sebesar 10% dari nilai produk yang disumbangkan kepada masyarakat. 4) CSR di bidang pendidikan dan kesehatan diberikan insentif pajak. Perusahaan dapat melaksanakan program tanggung jawab sosialnya ke masyarakat berupa aktivitas di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, yang dapat diberikan oleh perusahaan berupa pemberian beasiswa kepada siswasiswa berprestasi ataupun siswa yang tidak mampu, ataupun sumbangan untuk penyediaan sarana dan prasarana sekolah. Di bidang kesehatan, perusahaan biasanya memberikan bantuan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas, program khitanan massal, imunisasi untuk masyarakat umum dan program lainnya. Apabila program CSR dilaksanakan dalam bentuk pemberian beasiswa, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU Nomor 36 Tahun 2008 dapat dibiayakan oleh perusahaan pemberi beasiswa. Dari sisi penerima beasiswa, beasiwa tersebut merupakan penghasilan yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (3) huruf l UU Nomor 38 Tahun ) CSR untuk pengembangan regional dan komunitas memperoleh fasilitas pajak dalam mengembangkan wilayah. Perusahaan pertambangan dan perkebunan membangun infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, isu perpajakan yang dapat ditarik dari permasalahan tersebut adalah pembangunan infrastruktur wilayah itu akan berakibat positif bagi mobilitas perusahaan dan wilayah sekitar. Sehingga perkembangan perekonomian masyarakat sekitar dapat Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 53

66 meningkat. Perusahaan dapat mengurangi biaya-biaya yang terjadi karena ketiadaan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tersebut dapat dikurangkan sebagai pengurang dalam penghasilan bruto. Sehingga dalam jangka panjang akan terjadi penurunan biaya produksi yang akan berakibat pada meningkatnya laba perusahaan. Program pengembangan masyarakat (CSR) merupakan salah satu kebijakan Sektor ESDM mengenai peningkatan nilai tambah komoditas pertambangan, di samping melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri, peningkatan muatan lokal (local content), dan penyerapan tenaga kerja dari lokal. Di Sektor ESDM, community development (comdev) adalah bagian dari tanggung jawab korporat (Corporate Social Responsibility, CSR) yang merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut berikut komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Keseluruhan peran sektor ESDM memiliki satu muara tujuan, yaitu mengkonversi keunggulan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, berupa potensi energi dan mineral, yang dikenal sebagai comparative advantage yang merupakan keunggulan yang bersifat sementara menjadi keunggulan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikenal sebagai competitive advantage yang merupakan keunggulan yang bersifat kualitas. Upaya mengkonversi comparative advantage menjadi competitive advantage yang paling potensial adalah melalui peningkatan kualitas SDM dalam bidang pendidikan. Pendidikan berdampak besar dalam meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (ability), dan budi pekerti (attitude). Implementasi program CSR secara nyata, yaitu dengan pemberian beasiswa, bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan sarana olah raga, pelatihan, bantuan tenaga guru, dan pelatihan bagi guru, pembangunan tempat ibadah, pengadaan air bersih, pemberdayaan pertanian dan peternakan secara modern. Pada tahun 2013, realisasi dana comdev dan CSR sektor ESDM yang digunakan untuk pengembangan masyarakat dan untuk mendukung kegiatan di masyarakat sebesar Rp1,688 triliun dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp2,12 triliun atau 79,77%, 54 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

67 realisasinya mencapai Rp 2.26 triliun. Dana ini berasal dari perusahaan pertambangan umum, perusahaan migas, dan perusahaan listrik (Gambar 4.3). Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah KESDM 2013 Gambar 4.3. Grafik Penggunaan Dana Comdev Sektor ESDM Tahun Kewajiban untuk melaksanakan CSR telah diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sejalan dengan hal tersebut, maka sesuai dengan Pasal 108 dan Pasal 109 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menyusun program comdev. Program comdev dilakukan dalam rangka mempersiapkan kehidupan pasca tambang (life after mining) bagi daerah maupun masyarakat sekitarnya serta sebagai investasi yang memiliki nilai keuntungan jangka panjang, yaitu dengan diperolehnya social license to operate. Realisasi comdev dikatakan berhasil apabila mampu menciptakan kemandirian masyarakat, bukan ketergantungan, sehingga tujuan dan cita-cita konsep pembangunan berkelanjutan benar-benar dapat dicapai dan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan daerah khususnya. Pembangunan subsektor mineral dan batubara akan terus berkelanjutan bila dalam implementasinya memperhatikan Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 55

68 keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tentunya dengan didukung oleh program dan alokasi dana yang tepat sasaran. Adapun yang menjadi hambatan dan permasalahan tidak terealisasinya target kinerja jumlah anggaran comdev subsektor mineral dan batubara disebabkan oleh tidak stabilnya harga pasar internasional akibat over supply bagi beberapa komoditas mineral dan batubara berdampak pada sebagian perusahaan menghentikan kegiatan operasi produksi, dan hal ini tentunya mengurangi alokasi peruntukan dana comdev. Perusahaan PKP2B yang melaksanakan comdev sebanyak 68 perusahaan, antara lain PT. Berau Coal, PT. Kaltim Prima Coal, PT. Adaro Indonesia, PT. Arutmin, dan PT. Gunung Bayan Pratama Coal. Sedangkan perusahaan KK yang melaksanakan comdev sebanyak 17 perusahaan, antara lain PT. Freeport Indonesia, PT. Newmont Nusa Tenggara, PT. Nusa Hamahera Minerals, PT. Vale Indonesia, dan PT. Natarang Mining. Pertumbuhan anggaran comdev untuk IUP/BUMN dalam kurun waktu lima tahun terakhir sebesar 55%/tahun. Pertumbuhan anggaran comdev untuk PKP2B dalam kurun waktu lima tahun terakhir sebesar 18,3% dan pertumbuhan anggaran comdev untuk KK dalam kurun waktu lima tahun terakhir rata-rata mengalami penurunan sebesar -6,8%. Namun demikian, ditengah lesunya perekonomian dunia akibat tekanan resesi di beberapa negara tujuan ekspor komoditas mineral dan batubara, anggaran comdev untuk keseluruhan KK/PKP2B dan IUP/BUMN mencatatkan pertumbuhan yang positif sebesar 1,8%/tahun. Tabel 4.4. Realisasi Dana Comdev Subsektor Mineral dan Batubara Tahun No Perusahaan Realisasi (Rp. Juta) IUP/ BUMN PKP2B KK Total Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah KESDM Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

69 Realisasi anggaran comdev dilaksanakan oleh perusahaan melalui program-program sebagai berikut: 1) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Perusahaan untuk keperluan a) Pelatihan pemuda/masyarakat dalam keahlian khusus yang dimiliki oleh perusahaan, seperti; mengelas, bubut, bengkel. b) Pelatihan keterampilan kreatif dengan memanfaatkan bahan limbah industri, dan penyaluran penjualannya (bekerja sama dengan dinas terkait). 2) Pemberdayaan masyarakat berupa Peningkatan Ekonomi Penduduk sekitar a) Membentuk kelompok untuk membantu meningkatkan kualitas, kuantitas dan packaging, serta jaringan menjual. b) Memanfaatkan hasil produksi untuk dimanfaatkan sebagai gift perusahaan. c) Melatih tenaga kerja local yang mempersiapkan rehabilitasi lahan pertambangan. 3) Pelayanan Masyarakat, berupa Bantuan Bencana Alam dan Donasi/ Charity/Filantropi a) Peningkatan Pendidikan Penduduk Sekitar. b) Pemberian beasiswa bagi murid sekolah berprestasi. c) Pemberian bantuan sarana dan prasarana pendidikan. 4) Pengembangan Infrastruktur, berupa Sarana, seperti Sarana Ibadah, Sarana Umum, Sarana Kesehatan, dan lainnya. Berdasarkan perkiraan dampak pembangunan smelter terhadap pengembangan masyarakat sekitar proyek di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah di antaranya: 1) Pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga bisa meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat, 2) Pembangunan infrastuktur publik dan fasilitas sosial, operasi smelter akan membangun berbagai fasilitas publik untuk mendukung operasinya dan dalam aktivitasnya diharapkan juga membangun fasilitas sosial untuk karyawan smelter yang dalam Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 57

70 insteraksi sosialnya tidak tertutup kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar proyek, 3) Program Pendidikan, dimana perusahaan terkait memberikan bantuan baik berupa program beasiswa untuk anak-anak sekolah dan gerakan pembasmian buta huruf lainnya, 4) Gerakan penghijauan, dimana usaha pembangunan smelter nikel ini diharapkan sebagai ujung tombak gerakan pelestarian lingkungan yang berkesinambungan, 5) Pemeliharaan biosatwa untuk mendukung upaya perlindungan satwa-satwa di daerah pusat pendirian pabrik, sehingga ekosistem alam yang tetap terjaga dan lestari, 6) Pemeliharaan amdal lingkungan, sebagai usaha minimalisasi dampak terhadap kerusakaan lingkungan dari aktifitas pabrik sehingga keseimbangan alam tetap terjaga, dan 7) Pemberdayaan masyarakat sekitar, yaitu pemberian latihanlatihan yang bersifat edukatif temasuk bantuan modal bagi warga sekitar sehingga terbentuk masyarakat yang mandiri baik secara ekonomi maupun secara psikologis. Begitu besar peranan dari dibangunnya smelter nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara tentunya harus didasarkan kepada kebijakan Pemerintah serta pro rakyat dan lingkungan sehingga terjadi timbal-balik yang saling menguntungkan; tidak untuk saat ini, namun juga untuk masa yang akan datang. Usaha pendirian smelter harus terencana sehingga arah pembangunan makin jelas dan berdampak positif bagi masyarakat, lingkungan, dan kultur sosial masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut ini akan dibahas kondisi pembangunan smelter beberapa perusahaan dan dampaknya terhadap pengembangan masyarakat sekitar proyek. PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk Sejak tahun , realisasi produksi feronikel dari Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) di Provinsi Sulawesi Tenggara selalu mencapai target produksi. Pada tahun 2014, realisasi produksi feronikel mencapai ton, menurun jika dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai ton. Sejak tahun 2011, realisasi ekspor feronikel selalu di atas target yang telah 58 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

71 ditetapkan, tetapi pada tahun 2013 realisasi ekspor feronikel jauh di bawah target yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan saat itu harga feronikel sedang turun sehingga stock yang ada disimpan. Sampai dengan Februari 2015, realisasi ekspor feronikel telah mencapai Ton Ni. Sama halnya dengan feronikel, sejak tahun 2011 realisasi produksi bijih nikel (ore) melebihi target yang telah ditetapkan walaupun pada tahun 2014, target produksi bijih nikel tidak tercapai. Sejak tahun 2010, realisasi ekspor bijih nikel selalu di atas target yang telah ditetapkan, tetapi ada tahun 2013 realisasi ekspor feronikel sedikit di bawah target yang telah ditetapkan. Masalah-masalah yang dialami PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk adalah masih dibutuhkan pendanaan untuk FHT, SGA dan Anode Slime dengan jumlah total investasi mencapai USD3,34 miliar (Rp40 triliun). Sepanjang tahun telah disalurkan dana sebesar Rp59,77 miliar untuk program kemitraan kepada mitra binaan dengan mayoritas sektor perdagangan dan perkebunan. Sedangkan untuk Program Bina Lingkungan telah disalurkan dana sebesar Rp40,88 miliar dengan mayoritas untuk bantuan sarana dan prasarana umum. Sektor usaha yang paling banyak disalurkan dana program kemitraan adalah sektor perdagangan dan perkebunan. Sedangkan yang paling sedikit adalah sektor pertanian dan peternakan (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Penyaluran Program Kemitraan Berdasarkan Sektor Usaha No Sektor Usaha Jumlah Penyaluran Jumlah Mitra (Rp.) 1. Industri Perdagangan Pertanian Peternakan Perkebunan Perikanan Jasa Total Sumber: PT. Antam Tbk., 2015 Program bina lingkungan menyalurkan dana terbesar untuk bantuan sarana dan prasarana umum, sedangkan yang terendah adalah untuk pengentasan kemiskinan (Tabel 4.6). Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 59

72 Tabel 4.6. Penyaluran Program Bina Lingkungan Berdasarkan Sektor Usaha No Sektor Bantuan Jumlah Penyaluran (Rp.) 1. Bencana Alam Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kesehatan Prasarana/sarana Umum Sarana Ibadah Pelestarian Alam Pengentasan Kemiskinan Total Sumber: PT. Antam Tbk., 2015 Selain itu, PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk juga memberikan beasiswa sejak tahun Sampai saat ini penerima manfaat sudah mencapai 536 orang dengan total biaya mencapai Rp6,49 miliar. Berdasarkan kondisi di atas, maka beroperasinya pabrik smelter PT. Antam Tbk. di Provinsi Sulawesi Tenggara masih diperlukan beberapa hal agar dampaknya terhadap pengembangan masyarakat sekitar proyek dapat dioptimalkan, yaitu: a) Perlunya peningkatan sinergi kemitraan BUMN di daerah. b) Dalam rangka mengurangi kesenjangan, diperlukan sinergitas antara pemerintah dan BUMN. c) Integrasi dengan perusahaan daerah. d) Peningkatan sinergi antar BUMN. PT. Vale Indonesia (Inco) PT Vale Indonesia (Inco) berencana membangun pabrik smelter (pabrik pengolahan) baru di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Pembangunan di lokasi baru ini juga dibarengi ekspansi tahap kedua smelter Soroako, Sulawesi Selatan. Total nilai investasi proyek di Kolaka akan menghabiskan sekitar USD1,5 miliar. Perseroan akan menggabungkan kombinasi pendanaan internal, loan, dan dari mitra strategis. Untuk pengembangan di Kolaka, perseroan akan menggandeng Sumitomo Metal Mining Co Limited dengan membentuk perusahaan patungan (joint venture/jv). Pabrik 60 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

73 pengolahan bijih nikel ini memiliki kapasitas kurang lebih ton Ni dalam MSP (mixed sulfide precipitate) per tahun. Untuk proyek ini PT Vale Indonesia menjalankan program pengembangan masyarakat di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Hal ini menjadi mandat karena PT Vale memiliki wilayah Kontrak Karya seluas hektar di provinsi tersebut. Kegiatan CSR PT Vale di Sulawesi Tenggara telah dilaksanakan sejak tahun Atas usulan Pemerintah Kabupaten Kolaka, PT Vale mengalokasikan dana CSR 2014 untuk mendukung pengembangan visi kawasan tanaman pangan. Wilayah yang ditargetkan menjadi lumbung padi dan kedelai di Kolaka adalah Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada. Potensi area persawahan di Lamedai mencapai hektar, meskipun hingga kini baru sekitar 700 hektar sawah produktif yang digarap oleh petani. Ada enam paket kegiatan yang masuk dalam alokasi CSR PT Vale tahun anggaran Dana yang diserap untuk keseluruhan paket berjumlah Rp3 miliar. Paket-paket kegiatan CSR tersebut diserahterimakan dari PT Vale kepada Pemkab Kolaka pada 6 Januari Manajemen PT Vale melakukan seremoni tanam pohon dan panen raya di area persawahan Dusun Bali Jaya, Desa Lamedai. Pelaksanaan CSR di Desa Lamedai ini bisa menjadi percontohan bagi daerah lain karena adanya prinsip kemitraan antara Perusahaan, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Selain itu, prinsip transparansi juga tampak dalam realisasi program. Prinsipprinsip itu menjadi pendorong keberlanjutan yang menjadi inti dari program CSR. Kegiatan program pengembangan masyarakat PT Vale ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat. Selain bermitra dengan Pemerintah Daerah, masyarakat juga menunjukkan semangat partisipasi dan kemitraan sejak sosialisasi program. Mereka merelakan tanahnya diambil untuk pembuatan saluran irigasi dan jalan usaha tani, serta bersedia bergotong-royong membantu pengerjaan paket kegiatan. PT. Bintang Smelter Indonesia (BSI) PT BSI beroperasi di Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Smelter yang dibangun PT BSI berkapasitas ton nickel pig iron per tahun. Dengan investasi sekitar USD100 juta, proyek itu ditargetkan selesai tahun 2015, dikerjakan dua tahap. Pembangunan smelter tahap pertama berproduksi pada Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 61

74 akhir tahun Smelter ini menggunakan energi batubara. Sedangkan konstruksi dan mesin pabrik dari China, baik rakitan konstruksi maupun mesinnya. Nickel Pig Iron (NPI) yang diproduksi PT BSI berkadar minimal 10% nikel. Produk ini merupakan bahan baku utama industri baja tahan karat (stainless steel). Smelter NPI tersebut membutuhkan sekitar tenaga kerja. PT Ifishdeco sendiri saat ini juga mempekerjakan sebanyak 612 karyawan yang umumnya tenaga lokal. Kehadiran usaha pertambangan dan industri nikel di Tinanggea, mendorong pertumbuhan sosial ekonomi daerah dan masyarakat sekitar proyek. Peluang masyarakat sekitar untuk memasarkan produksinya makin terbuka lebar. Karyawan pertambangan dan industri yang ribuan jumlahnya itu membutuhkan bahan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi dari daerah lokal. Untuk itu, bantuan bersifat langsung dari PT BSM selama ini disalurkan melalui program CSR dan comdev. Bantuan itu meliputi antara lain pembangunan jembatan, pembuatan sumur bor untuk irigasi pertanian, pembangunan rumah-rumah ibadah. Dana comdev sendiri telah disalurkan sekitar Rp960 juta dalam dua tahap, meliputi 25 desa di sekitar tambang yang dibina. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi perhatian PT Ifishdeco. Tugas mulia itu diwujudkan melalui bantuan satu unit kendaraan ambulans untuk Rumah Sakit Umum Kabupaten Konawe Selatan, dan penyediaan air bersih bagi warga di beberapa desa berupa sumur bor. Bantuan yang sangat signifikan bagi peningkatan kualitas SDM adalah pemberian beasiswa bagi sekitar 100 mahasiswa S1, S2, dan S3. Para peserta berasal dari berbagai kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara. Bantuan ini direalisasikan melalui kerja sama PT BSM dengan Universitas Haluoleo Dampak Terhadap Pendapatan/Perekonomian Nasional Pembangunan ekonomi pada dasarnya mempunyai tiga dimensi pokok, yaitu: sektoral, kewilayahan, dan waktu. Waktu merupakan dimensi dinamis dalam kegiatan atau proses pembangunan. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah (value added). Dari dimensi pembangunan tersebut, dalam kurun waktu tertentu akan dicapai dua nilai tambah pokok, yaitu: nilai tambah sektoral atau vertikal yang memberi dampak pertumbuhan bagi pendapatan nasional atau 62 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

75 PDB, serta nilai tambah kewilayahan untuk memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat (Soelistijo, dkk., 2003). Dalam perspektif ekonomi makro, khususnya model inputoutput, nilai tambah suatu sektor atau input primer merupakan selisih antara total output dan input antara (intermediate input). Nilai tambah suatu sektor merupakan pendapatan atau balas jasa yang diperoleh oleh faktor-faktor produksi, antara lain pendapatan dari tenaga kerja (upah dan gaji) dan surplus usaha (keuntungan) karena entrepreneurship. Upaya untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar dari hasil pertambangan pada dasarnya dimaksudkan agar pendapatan faktor-faktor produksi di dalam negeri juga meningkat, baik pendapatan tenaga kerja, keuntungan perusahaan maupun pajak pertambahan nilai untuk kepentingan perekonomian domestik. Teori commodity trap atau jebakan komoditas menyebutkan bahwa negara-negara sedang berkembang sulit untuk keluar dari cara pandang agar dari bahan-bahan mentah (komoditas) harus diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Negara-negara tersebut sulit untuk keluar dari jebakan komoditas. Hal ini terkait dengan industri dan kapitalisme global yang tak rela jika sebuah negara berkembang meningkatkan diri sebagai negara pengolah bijih mineral, bukan lagi sebagai penjual bijih mineral mentah (Didiek, 2014). Dalam teori perdagangan internasional, kebijakan pembatasan ekspor merupakan bagian dari politik perdagangan (proteksi) untuk melindungi industri dalam negeri serta menjaga ketersediaan pasokan bagi kebutuhan domestik. Dampak ekonomi jangka pendek hampir semuanya negatif, karena akan mengganggu penerimaan negara, defisit neraca perdagangan, melemahnya nilai tukar, penurunan pendapatan perusahaan domestik, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan pada gilirannya pengangguran. Dampak positifnya baru terlihat dalam jangka panjang, berupa tumbuhnya industri dalam negeri, meningkatnya nilai tambah produk, hingga pada gilirannya perluasan investasi, penguatan kapasitas produksi dan kesempatan kerja. Itupun dengan catatan bahwa sebuah kebijakan proteksi harus diikuti dengan peta jalan (roadmap) yang jelas, terukur serta perlakuan yang komprehensif terhadap eksternalitas dan dampak-dampak jangka pendek (Pattilouw, 2012). Kebijakan pembatasan ekspor mineral pada dasarnya dimaksudkan untuk agenda jangka panjang dan cenderung kurang memperhatikan proses serta dinamika jangka pendek. Akibatnya, mekanisme operasional yang terbangun cenderung bersifat reaktif. Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 63

76 Ketidaksiapan kelembagaan birokrasi, infrastuktur, dan energi merupakan faktor-faktor yang menghambat proses serta dinamika atas kebijakan jangka pendek yang diberlakukan. Tentu saja untuk mencapai sebuah tujuan jangka panjang, dinamika jangka pendek mesti diperhitungkan dan disiasati secara tepat. Pembahasan dampak pembangunan smelter terhadap pendapatan/ perekonomian nasional dalam bab ini akan dibatasi pada aspek investasi, nilai tambah ketenagakerjaan dari aspek kewilayahan, nilai ekspor yang memengaruhi pendapatan nasional atau PDB, dan penerimaan negara yang terkait dengan pemberlakuan kebijakan PNT mineral sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun Analisis akan dilihat dampak secara nasional kemudian dibandingkan dengan dampak smelter nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dilihat dari rencana pembangunan pabrik smelter yang akan dilakukan oleh perusahaan pertambangan berbagai jenis mineral logam dan bukan logam, diperkirakan akan terjadi investasi besarbesaran di wilayah yang menjadi pusat kegiatan pertambangan tersebut. Investasi di bidang pertambangan besi tercatat paling besar, disusul kemudian oleh pertambangan nikel dan bauksit. Total investasi diperkirakan mencapai hampir USD18.867,29 juta. Adapun lokasi pembangunan smelter, investasi terbesar berada Banten (USD7 miliar), disusul oleh Sulawesi Tenggara (USD4,8 miliar), Kalimantan Barat (USD4,6 miliar), Sulawesi Tengah (USD1,3 miliar), dan Kalimantan Selatan (USD1,1 miliar). Investasi di provinsi lainnya, yaitu Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau, antara USD48 juta USD300 juta (Yunianto, 2014). Data rencana investasi berdasarkan komoditas dan berdasarkan provinsi dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5. Dampak terhadap perekonomian nasional dilihat dari investasi pabrik smelter di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar USD 3,8 miliar atau sekitar 20,11 % dari investasi pabrik smelter secara nasional. Investasi smelter di Provinsi Sulawesi Tenggara yang terbesar adalah berasal dari PT. Wijaya Inti Nusantara (Jilin Metal) di Konawe Selatan dan PT. Jilin Metal di Bombana masing-masing sebesar USD2,3 miliar (Lampiran 5). 64 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

77 Gambar 4.4. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Komoditas Kalimantan Tengah INVESTASI PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN Kep. Riau Kalimantan Barat A.1.4. Peta 48 juta Sebaran USD Kebutuhan Investasi Energi Investasi 4,6 milyar USD Investasi 94 juta USD Maluku Utara Investasi 300 juta USD Jawa Barat Investasi 230 juta USD Sulawesi Tenggara Investasi 3,8 milyar USD Sulawesi Tengah Investasi 1,3 milyar USD Investasi Banten 7 milyar USD Investasi Jawa Timur 250 juta USD Investasi Kalimantan Selatan 1,1 milyar USD Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, 2013 Gambar 4.5. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Provinsi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 65

78 Dari hasil verifikasi yang dilakukan terhadap pertambangan mineral yang memiliki ET (Eksportir Terdaftar), yang terdiri atas pertambangan bijih nikel, bijih besi, bauksit, bijih mangan, galena, dan ilmenit, dapat dihitung proyeksi kebutuhan tenaga kerjanya. Dengan asumsi seluruh perusahaan tambang hasil verifikasi merealisasikan rencananya untuk membangun pabrik smelter, maka diperkirakan akan terjadi penurunan jumlah tenaga kerja, dari semula orang pada tahun 2013 menjadi orang pada tahun Tenaga kerja pada tahun 2014 ini terdiri atas orang bekerja pada smelter dan orang pada kegiatan penambangan (Gambar 4.6). Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (2013) Gambar 4.6. Proyeksi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, Beroperasinya perusahaan yang membangun smelter pada tahun-tahun berikutnya, sesuai dengan studi kelayakan yang mereka buat, mengakibatkan terjadinya kenaikan pada tenaga kerja yang terlibat, baik dalam kegiatan smelter maupun penambangan. Pada tahun 2015, tenaga kerja naik menjadi orang, dengan perincian orang pada smelter dan orang pada penambangan. Pada tahun 2016, naik lagi menjadi orang, dengan perincian orang pada smelter dan orang pada 66 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

79 penambangan. Sementara pada tahun 2017, angka penyerapan tenaga kerja menjadi orang, terdiri atas orang pada smelter dan orang pada penambangan. Angka ini sudah melampaui jumlah tenaga kerja pada tahun 2013 ketika kebijakan PNT belum dilaksanakan, yakni orang. Dengan melihat perkembangan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertambangan mineral selama periode , maka berarti salah satu tujuan penerapan kebijakan PNT sudah tercapai, yaitu meningkatnya jumlah tenaga kerja (Yunianto, 2014). Dari hasil analisis diperkirakan pengangguran hanya akan terjadi pada periode tahun , tetapi tidak pada tahun 2017 yang justru berada pada level di atas tahun 2013 sebelum kebijakan PNT diberlakukan. Setelah tahun 2017, pertumbuhan smelter diperkirakan akan terus berlanjut, yang berarti penyerapan tenaga kerja juga diharapkan terus bertambah (Yunianto, 2014). Berdasarkan data penyerapan tenaga kerja smelter nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, penyerapan tenaga kerja sebesar orang. Jumlah ini hanya untuk pekerja di smelter, belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan ekonomi yang mendukung smelter dan merupakan multiplier effect dari kegiatan smelter, seperti tenaga kerja di kegiatan transportasi, penyuplai bahan pokok, jasa keteknikan, jasa perdagangan, dan lainnya. Ketika UU Nomor 4 Tahun 2009 diberlakukan, para pengusaha tambang mineral tampaknya menyadari bahwa pemerintah cq. Kementerian ESDM akan menerapkan kebijakan PNT mineral dan batubara sebagaimana tertuang pada Pasal 103 UU Nomor 4 Tahun Persoalannya, meskipun dalam pasal tersebut jelas-jelas disebutkan bahan galian yang diproduksi harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri sebelum diekspor, para pengusaha sebenarnya tidak tahu persis seperti apa bentuk kebijakan yang akan dibuat. Untuk itu, mereka mengambil jalan pintas dengan berusaha menggenjot produksi sebanyak-banyaknya. Tidak mengherankan jika hanya dalam jangka waktu empat tahun, ekspor bijih berbagai jenis mineral meningkat sangat tajam; ekspor bijih nikel naik delapan kali lipat selama kurun waktu (Gambar 4.7). Berdasarkan perhitungan (Gambar 4.8), terlihat pertumbuhan nilai ekspor produk pengolahan dan pemurnian tahun cukup signifikan tinggi, dari USD4,62 miliar menjadi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 67

80 USD17,88 miliar. Nilai ekspor produk konsentrat (O) yang diberi relaksasi bisa diekspor sampai tahun 2017 relatif stabil berturut-turut selama tahun sekitar USD3,65 miliar, USD2,19 miliar, dan USD4,98 miliar. Sedangkan bila ekspor bijih akan diperbolehkan, dari perhitungan sangat tidak signifikan karena ekspor bijih/raw material secara selektif hanya akan membantu nilai ekspor sebesar USD672 juta, atau 5% dari total nilai ekspor produk material. Berdasarkan hasil perhitungan bila masih ekspor bijih diperoleh manfaat sebagai berikut: a) tahun 2015, nilai ekspor akan meningkat sebesar USD672 juta (5% dari total nilai ekspor); b) tahun 2016, nilai ekspor akan bertambah 6% dari nilai ekspor bijih/raw material; c) ekuitas perusahaan yang sedang menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian akan terbantu. Sedangkan resiko yang harus ditanggung bila masih mengekspor bijih (nikel) adalah: a) IUP yang akan menyelesaikan pembangunan smelter nikel akan dirugikan, padahal mereka telah patuh terhadap kewajiban PNT; b) terdapat penolakan dari IUP yang sedang menyelesaikan pembangunan smelter-nya; c) Pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari negara yang telah berinvestasi di Indonesia (China, Ukraina, Australia, etc); d) sulit mengendalikan kegiatan penyelundupan apabila raw material diperkenankan untuk diekspor kembali. Terkait dengan nilai ekspor, Indonesia diperkirakan akan kehilangan devisa sebesar USD3,6 miliar menyusul kebijakan larangan ekspor bijih yang diberlakukan mulai awal tahun Hal ini sejalan dengan penurunan nilai ekspor mineral yang terjadi pada tahun Pada tahun yang sama, negara juga akan kehilangan penerimaan negara sebesar Rp6 triliun yang berasal dari pajak, serta Rp2 triliun dari PNBP. Namun dengan meningkatnya nilai ekspor pada tahun 2015, maka secara otomatis penerimaan negara akan terdorong naik, meskipun masih di bawah penerimaan negara pada tahun Penerimaan negara pada tahun 2016 dan tahun 2017 juga praktis akan meningkat di atas penerimaan negara pada 68 Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

81 tahun 2013 menyusul peningkatan nilai ekspor pada kedua tahun tersebut. Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (2013) Gambar 4.7. Kenaikan Ekspor Bijih Nikel ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (2013) Gambar 4.8. Perkiraan Nilai Ekspor Mineral Tahun Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara 69

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL Jakarta, 12 Februari 2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai banyak kekayaan alam yang melimpah baik yang dapat diperbaharui (renewable resources) maupun yang tidak

Lebih terperinci

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit, bijih besi dan pasir besi serta mangan) sebagian besar dijual ke luar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan

MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan Rubrik Utama MP3EI Pertanian : Realisasi dan Tantangan Oleh: Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor olume 18 No. 2, Desember

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017

CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017 CAPAIAN SUB SEKTOR MINERAL DAN BATUBARA SEMESTER I/2017 #energiberkeadilan Jakarta, 9 Agustus 2017 LANDMARK PENGELOLAAN MINERBA 1 No Indikator Kinerja Target 2017 1 Produksi Batubara 477Juta Ton 2 DMO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan sumber daya mineral yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan dapat mendukung bagi perekonomian

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Gambar 3.A.1 Peta Koridor Ekonomi Indonesia - 54 - BAB 3: KORIDOR EKONOMI INDONESIA A. Postur Koridor Ekonomi Indonesia Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara yang dilewati garis khatulistiwa. Negara tropis tersebut memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi.

I. PENDAHULUAN. utama ekonomi, pengembangan konektivitas nasional, dan peningkatan. dalam menunjang kegiatan ekonomi di setiap koridor ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia telah dituangkan pada program jangka panjang yang disusun oleh pemerintah yaitu program Masterplan Percepatan Perluasan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA TUGAS AKHIR Oleh: FARIDAWATI LATIF L2D 001 418 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

ISBN: Dampak Hilirisasi Bauksit Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kalimantan Barat

ISBN: Dampak Hilirisasi Bauksit Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kalimantan Barat ISBN: 978-602-0836-25-6 Dampak Hilirisasi Bauksit Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kalimantan Barat PUSAT DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2016 i TIM PENYUSUN

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil tambang baik mineral maupun batubara merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Hasil tambang baik mineral maupun batubara merupakan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang baik mineral maupun batubara merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan (non renewable) yang dikuasai negara, oleh karena itu pengelolaannya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN BOMBANA, KABUPATEN WAKATOBI, DAN KABUPATEN KOLAKA UTARA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UU 29/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN BOMBANA, KABUPATEN WAKATOBI, DAN KABUPATEN KOLAKA UTARA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

UU 29/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN BOMBANA, KABUPATEN WAKATOBI, DAN KABUPATEN KOLAKA UTARA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Copyright (C) 2000 BPHN UU 29/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN BOMBANA, KABUPATEN WAKATOBI, DAN KABUPATEN KOLAKA UTARA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA *14385 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 29 TAHUN

Lebih terperinci

Untuk itu, kami berpesan kepada para mahasiswa yang akan menjalani pendidikan selama tiga

Untuk itu, kami berpesan kepada para mahasiswa yang akan menjalani pendidikan selama tiga Contents Suhuindonesia.com Politeknik Industri Logam Morowali akan menjadi pusat inovasi teknologi dan pengembangan produk berbasis nikel. Sekolah tinggi vokasi yang pembangunannya difasilitasi oleh Kementerian

Lebih terperinci

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang - 2 - Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km 2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG

PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG TON PERSEN BAB 1 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 - PERKEMBANGAN BONGKAR BARANG Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 2009 2010 2011 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00-10.00-20.00-30.00 VOLUME

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

Trenggono Sutioso. PT. Antam (Persero) Tbk. SARI

Trenggono Sutioso. PT. Antam (Persero) Tbk. SARI Topik Utama Strategi Pertumbuhan Antam Melalui Penciptaan Nilai Tambah Mineral Trenggono Sutioso PT. Antam (Persero) Tbk. trenggono.sutiyoso@antam.com SARI Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

Lebih terperinci

Materi USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I

Materi USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I Materi USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I Percepatan Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara Sebagai Pusat Industri Pertambangan Nasional Oleh, Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur Alam S U L A W E S I T E

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, Maret 2015

Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, Maret 2015 Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung, Maret 2015 MINERAL LOGAM Terdapat 24 komoditi mineral yang memiliki nilai sumber daya dan cadangan yang sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN BIREUEN

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN BIREUEN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

2017, No telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2017, No telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.451, 2017 KEMENDAGRI. Cabang Dinas. UPT Daerah. Pembentukan. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia I.102 PENGOLAHAN BIJIH NIKEL KADAR RENDAH UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI BAJA TAHAN KARAT Dr. Solihin, M.Env., Ir. Puguh Prasetiyo, Dr. Ir. Rudi Subagja, Dedy Sufiandi ST, Immanuel Ginting ST Lembaga Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit,

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

KEYNOTE SPEECH BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG KEYNOTE SPEECH BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Yogyakarta, 19 Juni 2012 DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DAFTAR ISI I. KEBIJAKAN SUBSEKTOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan baja yang masih terus tumbuh didukung oleh pembangunan sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual Growth Rate/CAGR (2003 2012)

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

Realisasi Investasi PMDN dan PMA Tahun 2017 Melampaui Target

Realisasi Investasi PMDN dan PMA Tahun 2017 Melampaui Target Realisasi Investasi PMDN dan PMA Tahun 2017 Melampaui Target Jakarta, 30 Januari 2018 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mempublikasikan data realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.641, 2015 KEMENPU-PR. Eksploitasi. Iuran. Pengairan. Bangunan. Pemeliharaan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat serta pencapaian taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel,

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, timah hitam,

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

Oleh: ARI YANUAR PRIHATIN, S.T. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah

Oleh: ARI YANUAR PRIHATIN, S.T. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah Pelaksanaan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Tata Kelola Kegiatan Usaha Pertambangan di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Oleh: ARI YANUAR PRIHATIN, S.T. Kepala Dinas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN PENDAHULUAN Menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam bidang pertambangan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan setiap individu. Pangan merupakan sumber energi untuk memulai segala aktivitas. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun

Lebih terperinci

Jakarta, 15 Desember 2015 YANG SAYA HORMATI ;

Jakarta, 15 Desember 2015 YANG SAYA HORMATI ; Sambutan Menteri Perindustrian Pada Acara Pengukuhan Pengurus Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) & Talkshow Realita dan Arah Keberlanjutan Industri Pengolahan dan Pemurnian

Lebih terperinci

V E R S I P U B L I K

V E R S I P U B L I K PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR A14111 TENTANG PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN PT GUNUNG KENDAIK OLEH PT MEGA CITRA UTAMA LATAR BELAKANG 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci