BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Spondias pinnata Klasifikasi Tanaman b a c Gambar 2.1. Tanaman kedondong hutan (S. pinnata (L. F.) Kurz) Keterangan : a) Tanaman S. pinnata, b) Daun S. pinnata, c) buah S. pinnata Kingdom : Plantae Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Sapindales : Anacardiaceae : Spondias : Spondias pinnta (L. F.) Kurz (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1994) 6

2 Deskripsi Tanaman Tanaman S. pinnata merupakan pohon yang memiliki tinggi ± 20 m dengan batang tegak, bulat, berkayu, permukaan batang halus, percabangan simpodial dimana batang pokok sulit ditentukan, dan berwarna putih kehijauan. Daun tanaman S. pinnata berwarna hijau, termasuk tipe daun majemuk berbentuk lonjong dengan jumlah ganjil. Letaknya tersebar dengan pangkal runcing, ujung meruncing, pertulangan daun menyirip, tepi daun rata, panjang daun 5-8 cm, dan lebar daun 3-5 cm. Bunga tanaman S. pinnata merupakan bunga majemuk yang berwarna putih kekuningan, berbentuk malai, terletak pada ketiak daun dan pada ujung cabang. Panjang bunga cm dengan kelopak berwarna ungu yang memiliki panjang ± 5 cm. Benang sari berjumlah delapan dengan warna kuning, mahkota bunga berjumlah empat sampai lima, berbentuk lanset dan berwarna putih kekuningan. Tanaman S. pinnata memiliki buah buni yang berbentuk lonjong, berdaging, dengan diameter ± 5 cm, berserat, dan berwarna hijau kekuningan. Biji buah berbentuk bulat, berserat kasar, dan berwarna putih kekuningan. Akar tanaman ini merupakan akar tunggang yang berwarna coklat tua (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1994). Penampakan tanaman S. pinnata ditunjukkan pada gambar Kandungan Kimia dan Bioaktivitas Tanaman Penelitian Dwija et al. (2013) melaporkan bahwa ekstrak metanol daun S. pinnata aktif sebagai antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR. Penelitian lain juga menyebutkan ekstrak etanol 80% daun S. pinnata mengandung senyawa golongan terpenoid, polifenol, dan flavonoid, dan memiliki aktivitas

3 8 antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR dengan persentase hambatan sebesar 94,94% pada konsentrasi 10 mg/ml dan 100% pada konsentrasi 100 mg/ml (Medisina, 2012). Penelitian Ramayanti (2013) menyatakan bahwa ekstrak etanol 80% daun S. pinnata pada konsentrasi 50 mg/ml aktif sebagai antituberkulosis terhadap isolat M. tuberculosis H 37 Rv dengan persentase hambatan sebesar 100%. Penelitian lain menyebutkan bahwa, daun S. pinnata yang diekstraksi secara bertingkat menggunakan pelarut n-heksana dan etanol 80% memiliki aktivitas sebagai antituberkulosis terhadap M. tuberculosis MDR (Savitri, 2013) Studi Keamanan yang Pernah Dilakukan Penelitian Purwani (2013) mengenai evaluasi keamanan ekstrak melalui uji toksisitas akut menunjukkan bahwa, ekstrak etanol 80% daun S. pinnata yang diperoleh dengan cara digesti serbuk daun S. pinnata menggunakan etanol 80% termasuk ke dalam kategori slightly toxic dengan nilai LD 50 sebesar 8,66 g/kgbb pada mencit betina dan nilai LD 50 sebesar 8,80 g/kgbb pada mencit jantan. Penelitian Mahadewi (2014) dan Kusuma (2014) melaporkan bahwa pada uji toksisitas akut pada hewan coba mencit jantan dan betina galur balb/c yang diberikan ekstrak terpurifikasi, yang diperoleh dengan ekstraksi bertingkat diawali dengan maserasi daun S. pinnata menggunakan n-heksana dan dilanjutkan dengan digesti menggunakan etanol 80% yang diberikan sekali pada dosis 0,015; 0,15; 1,5; dan 15 g/kgbb yang diamati dalam waktu 24 jam tidak memiliki potensi ketoksikan. Pada mencit betina, tingkat keamanan ekstrak termasuk dalam kategori practically nontoxic dengan nilai LD 50 sebesar 15,002 g/kgbb

4 9 (Mahadewi, 2014) dan pada mencit jantan tingkat keamanan ekstrak termasuk ke dalam kategori relatively harmless dengan nilai LD 50 sebesar 33,210 g/kgbb (Kusuma, 2014). Pada penelitian Kusuma (2014), penggunaan ekstrak secara berulang dosis 0,2; 1; dan 2 g/kg BB selama 31 hari yang diberikan pada mencit jantan tidak menunjukkan potensi ketoksikan pada organ hati dan ginjal, sedangkan pada penelitian Mahadewi (2014) pemberian ekstrak etanol daun S. pinnata secara berulang yang diberikan pada mencit betina dengan dosis 0,2; 1; dan 2 g/kgbb menunjukkan potensi ketoksikan pada organ hati yang ditunjukkan dengan adanya degenerasi dan nekrosis sel hati serta terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Pada organ ginjal juga dilaporkan terjadi degenerasi dan nekrosis sel tetapi tidak mempengaruhi peningkatan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dan klirens kreatinin. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak terpurifikasi memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada ekstrak etanol total dan dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada mencit jantan dan mencit betina. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan mencit betina lebih sensitif terhadap senyawa toksik dibandingkan dengan mencit jantan (Elya et al., 2010). Evaluasi batas aman penggunaan ekstrak etanol daun S. pinnata pada masa organogenesis telah dilakukan melalui uji teratogenik menggunakan mencit betina galur balb/c. Pengujian tersebut meliputi pengamatan terhadap penampilan reproduksi induk dan kelainan morfologi pada fetus. Pemberian ekstrak etanol daun S. pinnata pada masa organogenesis menunjukkan terjadi penurunan berat badan akhir induk yang signifikan pada pemberian ekstrak dosis 5 g/kgbb

5 10 dibandingkan dengan kelompok kontrol (Erawati, 2014). Pada dosis ini juga ditemukan jumlah fetus lahir mati dan jumlah fetus yang mengalami resorpsi paling banyak. Menurut Siburian dan Marlinza (2009), senyawa kimia golongan flavonoid, terpenoid dan polifenol dalam ekstrak bahan alam dapat menyebabkan fetus mengalami resorpsi, karena dapat mempengaruhi lingkungan uterus. Lingkungan uterus selama fase embrio sangat peka terhadap hormon ovarium terutama progesteron yang dapat mempengaruhi daya hidup embrio. Lingkungan uterus yang kurang baik akan menyebabkan embrio tidak berkembang, akibatnya embrio akan mengalami resorpsi, sehingga persentase fetus yang hidup menjadi berkurang. Selain itu pada penelitian Erawati (2014) dilaporkan terjadi penurunan bobot dan panjang fetus setelah perlakuan ekstrak dengan dosis 2 dan 5 g/kgbb. Berkurangnya berat dan panjang fetus adalah indikasi adanya hambatan pertumbuhan fetus. Hambatan pertumbuhan terjadi apabila agensia teratogenik mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, pengurangan laju biosintesis yang berkaitan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein, atau mukopolisakarida (Price dan Wilson, 2005). Pada morfologi fetus ditemukan juga fetus dengan hidrosefalus setelah perlakuan ekstrak dosis 5 g/kgbb (Erawati, 2014) Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu teknik penarikan kandungan aktif dari tanaman dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Prinsip ekstraksi adalah melarutnya

6 11 senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar pada pelarut nonpolar. Proses ekstraksi dimulai dari kontak pelarut dengan dinding sel tumbuhan, penetrasi pelarut ke dalam sel tumbuhan, pelarutan zat aktif dalam sel, difusi zat aktif ke luar sel, dan pengumpulan zat aktif yang telah terektraksi (Sticher, 2008). Defating adalah proses penghilangan lemak dan senyawa yang tidak diinginkan pada sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Adapun pelarut yang digunakan dalam proses defatting daun yaitu petroleum eter, kloroform dan n-heksana. Defatting menggunakan pelarut kloroform dan n- heksana untuk menghilangkan senyawa non polar alami terutama senyawa lilin tanaman, lemak-minyak nabati, minyak atsiri, dan alkaloid (Hougton dan Raman 1998; Seidel, 2012). Maserasi merupakan metode yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia pada pelarut yang sesuai di tempat yang terlindung dari cahaya matahari dan pada suhu ruangan dengan sesekali pengadukan. Keuntungan dari metode ini adalah penggunaan peralatan yang sederhana dan mudah diperoleh serta pengerjaannya yang mudah (Seidel, 2012). Digesti merupakan maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu o C (Departemen Kesehatan RI, 2000). Keuntungan metode digesti ini adalah kekentalan pelarut berkurang dan daya melarutkan cairan penyari akan meningkat. Selain itu, waktu ekstraksi simplisia dengan metode digesti akan lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi (Handa, 2008).

7 Uji Teratogenik Uji teratogenik merupakan salah satu uji toksikologi yang bersifat khas. Uji ini digunakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa terhadap janin pada hewan bunting. Hewan uji yang digunakan paling tidak dua jenis, roden dan nirroden. Dalam pemilihan hewan uji, yang perlu diperhatikan adalah umur, berat badan, keteraturan daur estrus, dan kerentanan hewan uji terhadap teratogen. Uji ini memiliki manfaat sebagai patokan batas aman dan resiko penggunaan obat tertentu oleh wanita hamil, terutama berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya (Donatus, 2005). Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam uji teratogenik adalah peringkat dosis, frekuensi, dan saat pemberian senyawa uji, serta pengamatannya. Menurut Donatus (2005), dalam penentuan dosis sekurang-kurangnya digunakan tiga peringkat dosis, yang berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua janin, dan dosis yang tidak memiliki efek teratogenik. Kemudian masa pengamatan uji ini dimulai sejak diakhirinya masa bunting hewan uji, yaitu sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah sesar Teratologi dan Teratogen Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan wujud dari perkembangan yang menyimpang dari sifat, struktur, dan fungsi alaminya yang meliputi studi tentang perkembangan abnormal dan cacat bawaan. Teratogen atau disebut dengan zat embriotoksik merupakan suatu agensia yang bekerja selama masa perkembangan janin atau fetus dimana jika diberikan agensia ini secara nyata akan mempengaruhi perkembangan janin atau fetus sehingga

8 13 menimbulkan efek yang berubah-ubah mulai dari letalis sampai kelainan bentuk (malformasi) dan keterhambatan pertumbuhan (Loomis, 1979; Leveno et al., 2009). Malformasi janin disebut terata dan zat kimia yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau zat teratogenik. Wujud dari efek teratogen dapat menimbulkan cacat struktural, penghambatan pertumbuhan, dan kematian. Ada tidaknya pemajanan teratogen yang menghasilkan kelahiran abnormal tergantung pada berbagai faktor. Dua dari banyak faktor penting adalah dosis (tingkat pemajanan) dan waktu pemajanan. Efek waktu pemajanan pada teratogenesis dapat terjadi karena variasi kejadian selama masa yang berbeda pada periode organogenesis. Hal ini dapat dijadikan bahwa waktu pemajanan zat teratogenik merupakan hal yang kritis dalam menentukan efek yang potensial. Pemajanan selama masa awal (awal implantasi) berpengaruh pada kematian embrio. Pemajanan pada masa akhir (pada manusia di trisemester ketiga) sangat mungkin berpengaruh pada penghambatan pertumbuhan. Pemajanan pada masa pertengahan (masa organogenesis) akan sangat mungkin berpengaruh pada kerusakan struktur. Pemajanan teratogen selama periode kritis perkembangan janin kemungkinan besar akan menyebabkan malformasi pada sistem organ (Loomis, 1979). Price dan Wilson (2005) menyatakan bahwa, suatu agensia teratogen akan menimbulkan hambatan pertumbuhan apabila agensia tersebut mempengaruhi proliferasi sel, interaksi sel, pengurangan laju biosintesis yang berkaitan dengan penghambatan sintesis asam nukleat, protein, dan

9 14 mukopolisakarida. Dalam hal ini kaitannya pada periode organogenesis, dimana periode ini adalah periode kritis yang paling sensitif dan rentan terhadap pajanan agensia-agensia yang bersifat toksik maupun teratogenik (Santoso, 1990; Kumolosasi et al., 2004) Proses Perkembangan Fetus Perkembangan fetus atau janin terdiri dari tiga periode antara lain periode implantasi, periode embrionik, dan periode fetus. Periode implantasi terjadi setelah fertilisasi atau pembuahan yaitu suatu proses bersatunya sel ovum dengan sel spermatozoa sehingga membentuk zigot. Zigot kemudian berkembang dan akan mengalami pembelahan, dalam proses ini terjadi serangkaian pembelahan mitosis yang menyebabkan sitoplasma zigot semakin banyak dan terus membelah sehingga terbentuk morula (tampak seperti buah arbei). Kemudian morula berkembang menjadi blastokista membentuk rongga blastocoel. Memban luar sel akan membentuk trofoblas kemudian berubah menjadi korion lalu membentuk plasenta, dan bagian dalam trofoblas akan menghasilkan cairan amnion. Pada bagian dalam membran kemudian membentuk massa sel yang akan berkembang menjadi embrio (Isnaeni, 2006; Sadler, 2006). Selanjutnya, periode embrionik dibagi lagi menjadi tiga antara lain prasomit, somit dan pascasomit. Pada periode prasomit, lapisan primer embrio dan membran fetus terbentuk dalam massa sel dalam. Pada periode somit, ditandai dengan munculnya segmen metamerik dorsal yang prominen, kemudian ditentukan pola dasar sistem tubuh dan organ utama. Periode pascasomit ditandai dengan pembentukan bagian luar tubuh. Periode pascasomit merupakan fase

10 15 organogenesis, dimana pada fase ini terjadi diferensiasi pembentukan organ tubuh, sehingga pada fase ini merupakan fase paling peka terjadinya malformasi anatomik dan pengaruh buruk lainnya dengan beberapa kemungkinan yaitu pengaruh letal, pengaruh subletal dan gangguan fungsional (Santoso, 1990; Sperber, 1991). Periode organogenesis pada manusia dimulai pada hari ke-13 sampai hari ke-60 sedangkan pada mencit galur balb/c dimulai pada hari ke-6 sampai hari ke-15 kebuntingan, bila hari kawin dianggap hari ke-0 kebuntingan (Widiyani dan Sagi, 2001). Periode fetus terjadi setelah organogenesis hingga saat lahir. Tahap ini ditandai dengan munculnya pusat osifikasi dan pergerakan pertama dari fetus (Sperber, 1991) Pemeriksaan Struktur Skeleton Skeleton Skeleton merupakan serangkaian tulang yang menyusun tubuh dan mempunyai fungsi yang sangat penting. Fungsi tulang yaitu sebagai penunjang dan pemberi bentuk tubuh; pelindung alat-alat vital tubuh; penyusun rangka tubuh; tempat melekatnya otot; tempat pembentukan sel-sel darah merah; dan tempat penyimpan mineral seperti kalsium dan fosfor (Sloane, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan skeleton terdiri dari tiga komponen yaitu : a. Senyawa organik Senyawa organik utama penyusun tulang adalah protein. Protein utama penyusun tulang adalah kolagen tipe 1 yang merupakan 90-95% bahan organik

11 16 utama sedangkan sisanya adalah medium homogen yang disebut substansi dasar (Baron, 2008). b. Substansi dasar tulang Substansi dasar terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah dengan proteoglikan khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Fungsi utama dari bahan tersebut belum diketahui, akan tetapi diduga membantu pengendapan garam kalsium. Bahan anorganik utama adalah garam kristal yang diendapkan di dalam matriks tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat yang dikenal sebagai kristal hidroksiapatit. Kalsium berperan dalam proses pembentukan struktur tulang dan gigi (Guyton and Hall, 2006; Murray, 2003). c. Komponen sel Komponen sel terdiri dari 4 tipe sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas (Deftos, 2014). Sel osteoprogenitor berasal dari mesenkim, yang merupakan jaringan penghubung yang masih bersifat embrional, sehingga sel osteoprogenitor masih memiliki kemampuan untuk mitosis. Sel ini berfungsi sebagai sumber sel baru dari osteoblas dan osteoklas selama pertumbuhan tulang. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berasal dari sel osteoprogenitor dan ditemukan di permukaan tulang. Sel ini bertanggung jawab pada pembentukan dan proses mineralisasi tulang. Osteoblas mensintesis kolagen dan glikosaminoglikan dari matriks tulang dan peranannya dalam proses mineralisasi tulang. Mineral dalam sistem kerangka memiliki fungsi untuk membuat tulang menjadi kuat (Robling et al., 2006).

12 17 Osteosit memiliki peran dalam memelihara homeostasis mineral tulang. Proses ini terjadi ketika osteosit menerima sinyal hormonal dari kelenjar paratiroid, maka organ lainnya akan mengeluarkan pesan kimia tersendiri yang akan memasuki aliran darah dan mengatur ekskresi mineral melalui ginjal. Selain itu, osteosit juga berperan terhadap kepadatan tulang (Habib, 2006). Osteoklas berasal dari sel hematopoietik yang merupakan prekusor makrofag. Osteoklas berperan pada proses resorpsi tulang. Selama proses resorpsi, osteoklas akan mensekresi ion hidrogen dan enzim lisosom. Ion hidrogen yang dibentuk dari karbonik anhidrase memasuki membran plasma untuk melarutkan matriks tulang dan enzim lisosom yaitu kolagenase dan katepsin K dikeluarkan untuk kemudian mencerna matriks tulang (Deftos, 2014) Proses Perkembangan Skeleton Berdasarkan jaringan penyusunnya, tulang dibedakan menjadi tulang rawan (kartilago) dan tulang keras (Sloane, 2004). Tulang rawan bersifat lentur, dan dibentuk oleh sel-sel mesenkim. Di dalam kartilago tersebut akan diisi oleh osteoblas. Osteoblas merupakan sel-sel pembentuk tulang keras. Osteoblas akan mengisi jaringan sekelilingnya dan membentuk osteosit (sel-sel tulang). Sel tulang dibentuk secara konsentris (dari arah dalam ke luar). Setiap sel-sel tulang akan mengelilingi pembuluh darah dan serabut saraf, membentuk sistem Havers. Di sekeliling sel-sel tulang ini terbentuk senyawa protein membentuk matriks tulang. Matriks tulang akan mengeras karena adanya garam kapur (CaCO 3 ) dan garam fosfat atau Ca 3 (PO 4 ) 2 (Irianto, 2004).

13 18 Di dalam sel tulang terdapat sel-sel osteoklas. Adanya sel osteoklas menyebabkan tulang akan berongga, kemudian rongga ini kelak akan berisi sumsum tulang. Osteoklas membentuk rongga sedangkan osteoblas membentuk osteosit baru ke arah luar. Dengan demikian, tulang akan bertambah besar dan berongga (Irianto, 2004). Secara garis besar, rangka tubuh manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kerangka aksial dan kerangka apendikular. Kerangka aksial berfungsi dalam perlindungan organ-organ dalam dan memberi bentuk tubuh sedangkan kerangka apendikular berfungsi dalam sistem gerak. Kerangka aksial tersusun atas tulang belakang (vertebrae), tulang dada (sternum), dan tulang rusuk (costae), sedangkan tulang-tulang penyusun kerangka apendikular yaitu telapak tangan (metakarpus) dan telapak kaki atau metatarsus (Sloane, 2004) Bentuk Kelainan Skeleton Secara normal kerangka manusia dengan mencit hampir sama. Rangka tubuh manusia secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerangka aksial dan kerangka apendikular. Penampakan struktur kerangka normal mencit ditunjukkan pada gambar 2.2.

14 19 Gambar Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Mencit (Margaret, 2008). Pada gambar 2.2 terlihat kerangka aksial terdiri dari tulang belakang (vertebrae) yang tersusun atas 7 servik (tulang leher), 12 toraks (tulang punggung), 5 lumbar (tulang pinggang), dan 1 koksigea (tulang ekor, 4 ruas berfusi menjadi 1); tulang dada (sternum) tersusun atas 1 manubrium (hulu), 1 gladiolus (badan), dan 1 xifoid (taju pedang); tulang rusuk (costae) yang tersusun atas 7 pasang rusuk sejati, 3 pasang rusuk palsu, dan 2 pasang rusuk melayang, serta tulang tempurung kepala atau cranium (Sloane, 2004). Struktur kerangka costae dan sternebrae secara jelas ditunjukkan pada gambar 2.3. Gambar Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Tulang Rusuk (costae) dan Tulang Dada (Sternebrae) Mencit (Margaret, 2008).

15 20 Pada gambar 2.4. terlihat penampakan struktur kerangka normal dari ruas tulang telapak kaki (metatarsal). Metatarsal tersusun atas 10 ruas tulang telapak kaki yang terdapat dari kedua telapak kaki kanan dan kiri. Jumlah ruas metatarsal sama dengan jumlah ruas metakarpus yaitu berjumlah 10 ruas (Sloane, 2004). Gambar Penampakan Struktur Skeleton Normal pada Tulang Telapak Kaki (Metatarsus) Mencit (Margaret, 2008). Beberapa bentuk kelainan skeleton yang terjadi akibat pemajanan zat embriotoksik dapat dilihat pada terjadinya penghambatan pertumbuhan tulang yang ditandai dengan penurunan jumlah ruas metakarpus dan metatarsus, penghambatan pertumbuhan costae, kelainan pada costae, serta adanya malformasi pada vertebrae dibandingkan dengan kontrol normal (Santoso, 2006; Setyawati dan Yulihastuti, 2011). Berdasarkan pada penelitian Setyawati dan Yulihastuti (2011) menyatakan bahwa pemajanan agensia teratogenik yang diberikan pada masa organogenesis dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tulang. Pemajanan agensia teratogenik kemungkinan dapat melewati sawar plasenta. Adanya agensia teratogenik dalam plasenta akan menghambat transfer nutrisi dari induk ke fetus dan menghambat metabolisme nutrisi yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan organ-organ fetus, termasuk bahan

16 21 mineral untuk kalsifikasi. Pemajanan zat agensia teratogenik yang bersifat kolagenase misalnya enzim bromelin dari buah nanas (Ananas comosus) juga berakibat pada terjadinya degradasi kolagen sebagai bahan pembentuk tulang, sehingga dapat menghambat kalsifikasi tulang rawan pada ruas metakarpus dan metatarsus fetus. Kelainan pada penulangan costae biasanya dapat dilihat pada bentuk costae antara lain berupa costae fusi, adanya jembatan costae, serta costae bergelombang, dan kelainan penulangan ini juga dapat dilihat dari jumlah penulangan costae. Bentuk kelainan costae ditunjukkan pada gambar 2.5. Gambar Bentuk costae fetus : a). Costae normal, b). Costae fusi dan adanya jembatan costae, c). Costae bergelombang (Setyawati dan Yulihastuti 2011). Costae fusi disebabkan karena arah pertumbuhan tonjolan bakal costae dari vertebrae tidak beraturan dan di beberapa tempat jarak antara rusuk yang berurutan sangat dekat. Costae-costae yang berdekatan, ketika tumbuh memanjang, ada yang cenderung saling bersinggungan. Saat osifikasi, costaecostae yang bersinggungan diosifikasi bersama sehingga akhirnya terjadi fusi. Malformasi vertebrae terjadi karena gangguan pada proses segmentasi. Penggabungan dan kelainan pembentukan vertebrae terjadi pada awal perkembangan (Setyawati dan Yulihastuti, 2011). Menurut Habib (2006), asupan

17 22 nutrisi yang mengandung isoflavon (misalnya genestein dan daidzein) dapat menyebabkan hambatan terhadap penulangan karena senyawa ini memiliki potensi estrogenik. Pemeriksaan skeleton fetus merupakan bagian penting dari uji teratogenik karena pembentukan skeleton selama organogenesis merupakan proses yang sangat rentan dipengaruhi oleh zat yang dikonsumsi selama kebuntingan. Dalam kisaran dosis embriotoksik, jika semakin tinggi dosis maka akan mengakibatkan respon yang lebih tinggi. Akibatnya akan terjadi penghambatan pertumbuhan, malformasi sampai kematian intrauterin dan resorpsi (Santoso, 2006). Pemeriksaan perkembangan skeleton terdiri dari pemeriksaan perkembangan kerangka aksial yaitu costae, sternebrae, dan vertebrae dan kerangka apendikular yaitu metakarpus dan metatarsus (Setyawati dan Yulihastuti, 2011) Metode Pemeriksaan Perkembangan Fetus dengan Pewarnaan Alcian Blue-Alizarin Red Metode pewarnaan Alcian Blue-Alizarin Red digunakan untuk mengetahui susunan tulang rawan dan tulang keras berdasarkan perbedaan penyerapan terhadap zat warna. Tujuan penggunaan pewarnaan ganda ini karena tulang fetus tersusun dari beberapa jenis tulang yaitu tulang rawan dan tulang keras. Masing-masing akan memiliki afinitas yang berbeda dalam penyerapan zat warna sehingga akan terlihat perbedaan jenis tulang tersebut. Ruas tulang yang terwarnai Alizarin Red (merah) adalah tulang keras, sedangkan ruas tulang yang terwarnai Alcian Blue (biru) adalah tulang rawan (Cortes et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae,

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae, merupakan salah satu tanaman yang dimanfaatkan secara tradisional sebagai obat batuk (Syamsuhidayat

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Spondias pinnata terhadap Berat Badan Mencit Betina Galur Balb/c selama Kebuntingan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Spondias pinnata terhadap Berat Badan Mencit Betina Galur Balb/c selama Kebuntingan Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Spondias pinnata terhadap Berat Badan Mencit Betina Galur Balb/c selama Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Spondias pinnata terhadap Berat Badan Mencit Betina

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 80% SKELETON FETUS MENCIT

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 80% SKELETON FETUS MENCIT PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 80% DAUN Spondias pinnata TERHADAP STRUKTUR SKELETON FETUS MENCIT SKRIPSI IDA AYU MADE KESUMA DEWI 1108505038 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tumbuh-tumbuhan, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tumbuh-tumbuhan, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tumbuh-tumbuhan, dimana terdapat 40.000 jenis tumbuhan yang hidup dan 7.500 jenis diantaranya diketahui sebagai tumbuhan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

JARINGAN PADA HEWAN & MANUSIA

JARINGAN PADA HEWAN & MANUSIA JARINGAN PADA HEWAN & MANUSIA TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Menjelaskan pengertian dan fungsi jaringan embrional 2. Menjelaskan ciri dan fungsi jaringan epitelium 3. Menjelaskan ciri dan fungsi jaringanjaringan

Lebih terperinci

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. Jaringan Tulang 1. Jaringan Tulang Rawan 2. Jaringan Tulang Keras / Sejati 1. Jaringan Tulang Rawan Fungsi jaringan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sudah semakin meluas, tetapi pemakaian obat tersebut tanpa mempertimbangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. sudah semakin meluas, tetapi pemakaian obat tersebut tanpa mempertimbangkan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan tanaman obat dan herbal di kalangan masyarakat saat ini sudah semakin meluas, tetapi pemakaian obat tersebut tanpa mempertimbangkan dosis dan lama pemakaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kunyit (Curcuma domestica) 2.1.1 Taksonomi Tanaman a) )) b) Gambar 1. Tanaman kunyit a) Rumpun (kiri) dan bunga (kanan) b) Rimpang kunyit Klasifikasi dari kunyit (Curcuma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun. Negara maju maupun di Negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun. Negara maju maupun di Negara berkembang. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak hanya di Negara maju maupun di Negara berkembang. Microwave oven adalah oven yang menggunakan bantuan

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan

INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan INDIKTOR 14: Menjelaskan sifat, ciri-ciri, dan fungsi jaringan pada tumbuhan dan hewan 1. Jaringan Tumbuhan a. Jaringan Meristem (Embrional) Kumpulan sel muda yang terus membelah menghasilkan jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedondong hutan memiliki klasifikasi sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedondong hutan memiliki klasifikasi sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedondong Hutan (Spondias pinnata) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman kedondong hutan memiliki klasifikasi sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis Nama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan kandungan kimia ekstrak dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak. Hasil pemeriksaan kandungan kimia ekstrak air bawang

Lebih terperinci

Tulang Rangka Manusia dan Bagian-bagiannya

Tulang Rangka Manusia dan Bagian-bagiannya Gambar Kerangka Manusia Tulang Rangka Manusia dan Bagian-bagiannya Rangka mempunyai fungsi sebagai berikut : Penopang dan penunjang tegaknya tubuh. Memberi bentuk tubuh. Melindungi alat-alat atau bagian

Lebih terperinci

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Tulang Rawan Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Suatu tulang rawan memiliki khondrosit yang tersimpan di dalam ruangan (lacunae) dalam matriks ekstraselular. Tulang rawan mengandung banyak air (menyebabkannya

Lebih terperinci

SW PENGARUH EKSTRAK RIMPANG TEMU PUTIH

SW PENGARUH EKSTRAK RIMPANG TEMU PUTIH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati nomor dua di dunia setelah Brazilia dengan ribuan spesies tumbuhan yang tersebar di hutan tropika (Agoes, 2009). Berbagai jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

Jaringan Hewan. Compiled by Hari Prasetyo

Jaringan Hewan. Compiled by Hari Prasetyo Jaringan Hewan Compiled by Hari Prasetyo Tingkatan Organisasi Kehidupan SEL JARINGAN ORGAN SISTEM ORGAN ORGANISME Definisi Jaringan Kumpulan sel sejenis yang memiliki struktur dan fungsi yang sama untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

EMILDA No.BP :

EMILDA No.BP : UJI EFEK TERATOGEN EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) TERHADAP FETUS MENCIT PUTIH SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh EMILDA No.BP : 07131075 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2012 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak sekali radiasi. Radiasi dalam istilah fisika, pada dasarnya adalah suatu

I. PENDAHULUAN. banyak sekali radiasi. Radiasi dalam istilah fisika, pada dasarnya adalah suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah radiasi sering dianggap menyeramkan, sesuatu yang membahayakan, mengganggu kesehatan, bahkan keselamatan. Padahal di sekitar kita ternyata banyak sekali radiasi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gladiol Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan pada bentuk daunnya yang sempit dan panjang seperti pedang. Genus gladiolus terdiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. salah satu jenis tanaman dari famili Moraceae dengan nama botanis

TINJAUAN PUSTAKA. salah satu jenis tanaman dari famili Moraceae dengan nama botanis BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Sukun (Artocarpus altilis) Pohon sukun banyak ditanam di pekarangan dan telah dikenal masyarakat luas. Bentang keragaman genetiknya sangat luas, dari Sumatra, Jawa, Kalimantan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Gambut. memungkinkan terjadinya proses pelapukan bahan organik secara sempurna

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Gambut. memungkinkan terjadinya proses pelapukan bahan organik secara sempurna TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Tanah gambut terbentuk dari bahan organik sisa tanaman yang mati diatasnya, dan karena keadaan lingkungan yang selalu jenuh air atau rawa, tidak memungkinkan terjadinya proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Berenuk (Crescentia cujete L). a. Sistematika Tumbuhan Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionata Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa. 6 3 lintas, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Apabila koefisien korelasi antara peubah hampir sama dengan koefisien lintas (nilai pengaruh langsung) maka korelasi tersebut menjelaskan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji ) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Durian 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian Menurut Rahmat Rukmana ( 1996 ) klasifikasi tanaman durian adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3). BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Nilai Rendemen Ekstrak Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3). 2. Deskripsi Organoleptik Ekstrak Ekstrak berbentuk kental, berasa pahit, berwarna hitam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa 2.1.1 Klasifikasi Rhizophora stylosa Menurut Cronquist (1981), taksonomi tumbuhan mangrove Rhizophora stylosa sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang mempunyai jenis 180 jenis. Tanaman gladiol ditemukan di Afrika, Mediterania, dan paling banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh II. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu ternak unggas yang mempunyai potensi besar untuk dibudidayakan karena dalam pemeliharaannya tidak membutuhkan area

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Kadar Enzim SGPT dan SGOT Pada Mencit Betina Setelah Pemberian Ekstrak Rimpang Rumput Teki Tabel 1. Kadar Enzim SGPT pada mencit betina setelah pemberian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

KELAINAN STRUKTUR ANATOMI SKELETON FETUS MENCIT AKIBAT KAFEIN

KELAINAN STRUKTUR ANATOMI SKELETON FETUS MENCIT AKIBAT KAFEIN BIOSCIENTIAE Volume 1, Nomor 2, Juli 2004 Halaman 2330 Versi online: http://bioscientiae.tripod.com KELAINAN STRUKTUR ANATOMI SKELETON FETUS MENCIT AKIBAT KAFEIN Heri Budi Santoso Program Studi Biologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi memotong, menghaluskan, dan mencampur makanan (Hall, 2011). Bagian keras dari gigi adalah

Lebih terperinci

BAB VII SISTEM UROGENITALIA

BAB VII SISTEM UROGENITALIA BAB VII SISTEM UROGENITALIA Sistem urogenital terdiri dari dua system, yaitu system urinaria (systema uropoetica) dan genitalia (sytema genitalia). Sistem urinaria biasa disebut sistem ekskresi. Fungsinya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seledri Kedudukan tanaman seledri dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub-Divisi Kelas Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. elektromagnet. Berdasarkan energi yang dimiliki, gelombang elektromagnetik dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. elektromagnet. Berdasarkan energi yang dimiliki, gelombang elektromagnetik dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Medan Elektromagnetik dan pengaruhnya Medan elektromagnetik adalah medan yang terjadi akibat pergerakan arus listrik. Interaksi antara medan listrik dan medan magnet tersebut menghasilkan

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA A. GINJAL SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA Sebagian besar produk sisa metabolisme sel berasal dari perombakan protein, misalnya amonia dan urea. Kedua senyawa tersebut beracun bagi tubuh dan harus dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki keunggulan antara lain pemeliharaan yang mudah serta memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

Lebih terperinci

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan tanaman obat sebagai alternatif pengobatan telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Hal tersebut didukung dengan kekayaan alam yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Bunga Matahari

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Bunga Matahari 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Bunga Matahari Menurut Kristio (2007) dalam taksonomi tumbuhan, bunga matahari dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS

SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS 1 SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS SMA REGINA PACIS JAKARTA Ms. Evy Anggraeny Proses Menstruasi 2 Ada empat fase 1. Fase menstruasi 2. Fase folikel/proliferasi 3. Fase luteal/ovulasi 4.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Srikaya (Annona squamosa L.). 2.1.1 Klasifikasi tanaman. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. Klasifikasi tanaman buah srikaya (Radi,1997):

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamplung Nyamplung memiliki sebaran yang luas di dunia, dari Afrika, India, Asia Tenggara, Australia Utara, dan lain-lain. Karakteristik pohon nyamplung bertajuk rimbun-menghijau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.)

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN 4.. Analisis Data 4... Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) Gambar 4.. Makroskopis daun saga (Abrus precatorius L.) Tabel 4.. Hasil

Lebih terperinci

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (Sukandar et al., 2009). Diabetes menurut WHO (1999) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan di era modern ini semakin beragam bahan yang digunakan, tidak terkecuali bahan yang digunakan adalah biji-bijian. Salah satu jenis biji yang sering digunakan

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulang merupakan suatu jaringan ikat tubuh terkalsifikasi yang terdiri dari matriks dan sel-sel. Tulang mengandung matriks organik sekitar 35%, dan matriks anorganik

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 15. SISTEM GERAK MANUSIALatihan Soal 15.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 15. SISTEM GERAK MANUSIALatihan Soal 15.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 15. SISTEM GERAK MANUSIALatihan Soal 15.1 1. Kelompok tulang di bawah ini yang termasuk tulang pipa adalah... Tulang hasta, tulang paha tulang betis Tulang hasta, tulang belikat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen (Sesamum indicum L) 1. Sistematika Tanaman Tanaman wijen mempunyai klasifikasi tanaman sebagai berikut : Philum : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Sub-divisi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG 2014 PEMANFAATAN LIMBAH TULANG Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P Fakultas Peternakan Unhas PEMANFAATAN LIMBAH TULANG Oleh : Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P Tulang merupakan salah satu hasil ikutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT

PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini industri dan perdagangan produk herbal serta suplemen makanan di seluruh dunia yang berasal dari bahan alami cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia,

Lebih terperinci

SISTEM GERAK Tanpamu, AKU bagaikan PATUNG

SISTEM GERAK Tanpamu, AKU bagaikan PATUNG M O D U L T A N P A M U, A K U b a g a i k a n P A T U N G 1 SISTEM GERAK Tanpamu, AKU bagaikan PATUNG Oleh: HERWIM ENGGAR PRATIWI Pembimbing: Dr. Hadi Suwono, M.Si Dra. Nursasi Handayani, M.Si UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informasi Mengenai Buncis Secara Umum Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari Amerika. Buncis merupakan tanaman musim panas yang memiliki tipe

Lebih terperinci

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan 1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Pengertian pertumbuhan adalah Proses pertambahan volume dan jumlah sel sehingga ukuran tubuh makhluk hidup tersebut bertambah besar. Pertumbuhan bersifat irreversible

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Tanaman okra merupakan tanaman terna tahunan dengan batang yang tegak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Tanaman okra merupakan tanaman terna tahunan dengan batang yang tegak. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Okra (Abelmoschus esculentus L.) Klasifikasi tanaman okra adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malvales Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum Pengaruh FRAKSI HEKSAN EKSTRAK ETANOL DAUN LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) terhadap serum glutamate piruvat transaminase PADA TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mangrove Excoecaria agallocha 2.1.1 Klasifikasi Excoecaria agallocha Klasifikasi tumbuhan mangrove Excoecaria agallocha menurut Cronquist (1981) adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Makroskopis Tulang Kelinci Implan terlihat jelas sebagai massa berbentuk padat berwarna putih pada bagian korteks hingga bagian medula tulang. Hasil pemeriksaan makroskopis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel A. Pengertian Sel Sel adalah unit strukural dan fungsional terkecil dari mahluk hidup. Sel berasal dari bahasa latin yaitu cella yang berarti ruangan kecil. Seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996). Jumlah korpus luteum ini memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat kehamilan, terjadi peningkatnya kebutuhan janin untuk masa pertumbuhannya, sebagai respon ibu melakukan perubahan metabolisme secara jumlah maupun intensitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dislipidemia merupakan perubahan-perubahan dalam profil lipid yang terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density

Lebih terperinci

SISTEM GERAK PADA MANUSIA

SISTEM GERAK PADA MANUSIA LAPORAN PENELITIAN SISTEM GERAK PADA MANUSIA OLEH : RESTI GHITA PRIBADI XI IPA 6 35 SMA NEGERI 3 BANDUNG SISTEM GERAK PADA MANUSIA A. Macam-Macam Organ Penyusun Sistem Gerak Fungsi Rangka Pada Manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup

Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup A. Pertumbuhan dan Perkembangan Hewan Pertumbuhan dan perkembangan hewan dimulai sejak terbentuknya zigot. Satu sel zigot akan tumbuh dan berkembang hingga terbentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Hidroponik Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam (soilless culture). Media tanam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang berkembang pesat. Pada 2013 populasi broiler di Indonesia mencapai 1.255.288.000 ekor (BPS,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi tanaman jeruk nipis 1. Klasifikasi Klasifikasi jeruk nipis menurut (Sarwono,2001) adalah sebagai berikut : Regnum Devisi Sub Divisi Class Subclass Ordo Family Genus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dephut, 1998): Kingdom : Plantae Divisio : Spematophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pakcoy merupakan tanaman dari keluarga Cruciferae yang masih berada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pakcoy merupakan tanaman dari keluarga Cruciferae yang masih berada 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pakcoy (Brassica chinensis L.) Pakcoy merupakan tanaman dari keluarga Cruciferae yang masih berada dalam satu genus dengan sawi putih/petsai dan sawi hijau/caisim. Pakcoy

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tempuyung (Sonchus arvensis L) adalah salah satu tanaman obat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tempuyung (Sonchus arvensis L) adalah salah satu tanaman obat yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tempuyung (Sonchus arvensis) Tempuyung (Sonchus arvensis L) adalah salah satu tanaman obat yang berkasiat sebagai pemecah batu ginjal (Winarto. W. P. & Tim Karyasari,

Lebih terperinci

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN IKAT SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI. Kompetensi Dasar 1. Mengetahui penyusun jaringan ikat 2. Memahami klasifikasi jaringan ikat 3. Mengetahui komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kreatinin Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Kadar protein tertinggi terdapat pada pakan perlakuan D (udang rebon 45%) yaitu dengan persentase sebesar 39,11%. Kemudian diikuti pakan perlakuan C (udang rebon 30%)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kemiri Gambar 1. Biji Kemiri Sumber : Wikipedia, 2016 Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan salah satu tanaman tahunan yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae (jarak-jarakan).

Lebih terperinci