DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG"

Transkripsi

1 DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG OLEH PUSPASARI AISAH PRAYITNO H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN PUSPASARI AISAH PRAYITNO. Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi serta Faktor-fator yang Mempengaruhi Adopsi Pupuk Organik Provinsi Lampung (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI). Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB Indonesia sehingga sektor pertanian bukan lagi menjadi sektor utama perekonomian Indonesia. Terjadinya degradasi mutu lahan di sejumlah lahan pertanian intensif merupakan salah satu penyebab turunnya produksi sektor pertanian. Sehingga fungsi utama sektor pertanian sebagai penyokong ketahanan pangan tidak dapat tercapai. Pertanian organik dianggap sebagai solusi yang tepat karena dapat memperbaiki unsur hara tanah dan dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Pemerintah mulai memberikan subsidi pupuk organik di tahun 2008 yang berfokus pada sub-sektor tanaman pangan agar ketahanan pangan dapat tercipta. Provinsi Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian dengan jumlah responden sebanyak 60 petani responden. Petani ragu untuk mengadopsi pupuk organik karena selain dari sisi biaya produksi yang tinggi juga masih banyak petani belum mengetahui manfaat ekonomi dan lingkungan dari pupuk organik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan usahatani padi di Provinsi Lampung serta mengetahui faktorfaktor penentu pengadopsian pupuk organik di tingkat petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis usahatani dan metode logit. Hasil analisis usahatani dilakukan dari data usahatani sebelum menggunakan BLP (Bantuan Langsung Pupuk) Organik dan sesudah menggunakan BLP Organik menunjukkan adanya peningkatan produksi padi sebesar 22,26 persen dan peningkatan biaya yang cukup besar yaitu 15,35 persen namun keuntungan petani tetap meningkat sebesar 45 persen. Hasil model logit menunjukkan variabel luas lahan, jumlah persil lahan dan total biaya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pupuk organik. Variabel yang sangat mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik yaitu luas lahan dengan hasil Odds Ratio 22,535. Produksi dan pendapatan petani yang meningkat menjadi bukti bahwa program subsidi pupuk organik memberikan dampak positif terhadap produksi dan pendapatan. Subsidi pupuk organik sebaiknya tetap diberikan dan perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut serta pembinaan kepada petani agar dapat memproduksi pupuk organik secara swadaya, sehingga petani dapat terus mengadopsi pupuk organik walaupun tanpa subsidi. Kata kunci : Subsidi Pupuk Organik, Analisis Usahatani, Model Logit

3 DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG Oleh PUSPASARI AISAH PRAYITNO H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Puspasari Aisah Prayitno Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi serta Faktorfaktor yang Mempengaruhi Adopsi Pupuk Organik Provinsi Lampung dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing, Lukytawati Anggraeni, Ph.D NIP Mengetahui, Ketua Departemen, Tanggal Kelulusan: Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Mei 2012 Puspasari Aisah Prayitno H

6 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Puspasari Aisah Prayitno, lahir di Bogor pada tanggal 21 agustus Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ir. H. Bayu Ainal Prayitno (Alm) dan Ibu Sendi Rita Puspasari. Penulis memulai pendidikan di Tk Bhayangkari IV dan lulus pada tahun Pendidikan dasar di SD Negeri Panaragan Kidul 2 Bogor pada tahun 1996 dan lulus pada tahun Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 7 Bogor dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Rimba Madya dan lulus pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga mendapatkan beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM) pada tahun Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi mahasiswa. Penulis aktif dalam organisasi kampus yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada periode sebagai staf divisi INTEL (Internal Relationship). Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis, antara lain seksi Logstran EXTRAVAGANZA 2009, seksi Sponsorship POCER (Politik Ceria) pada tahun 2010, Seksi Humas BAFEST (Bogor Art Festival) pada tahun 2011.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulis berharap melalui skripsi ini dapat menguraikan suatu dampak subsidi pupuk organik terhadap produksi dan pendapatan padi dan faktorfaktor yang mempengaruhi adopsi pupuk organik. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Bapak Dr. Muhammad Firdaus selaku penguji utama dan Ibu Dewi Ulfah Wardani, M.Si sebagai penguji komisi pendidikan atas kritik dan saran terhadap skripsi ini. 3. Pusat Studi Pengembangan Pedesaan dan Perkotaan atas bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Eyang putri, mamah dan adik-adik tercinta (Rahayu Aisah Prayitno, Sekarsari Zania Prayitno dan Muhamad Yuri Ismail Prayitno) yang telah memberikan dukungan, doa dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan. 5. Om Samsul Hadi, ST, Tante Novitasari Noumi, ST dan Om Cahaya Umarisa Prayitno, SE atas bantuan dan motivasi yang diberikan.

8 6. Seluruh keluarga Ilmu Ekonomi 45 khususnya Isti, Erma, Dewi, Bayu, Ina, Andini, Sheila dan Andra atas kebersamaan dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman satu bimbingan Chrisgerson Rudor, Farida Ayu Brilianty, Herdiana Puspitasari dan Fikanti Zuliastry yang telah memberikan saran, kritik dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini. 8. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Bogor, Mei 2012 Puspasari Aisah Prayitno H

9 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...iii DAFTAR GAMBAR...iv DAFTAR LAMPIRAN...v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian...7 II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi Analisis Usaha Tani Teori Adopsi Model Pilihan Binary Dinamika Subsidi Pupuk Organik di Indonesia Penelitian-penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran...27 III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pemilihan Responden Metode Analisis Data Metode Analisis Pendapatan Usahatani... 30

10 ii Uji Beda Nilai Tengah Metode Logit IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK Gambaran Umum Provinsi Lampung Gambaran Umum Kabupaten Lampung Utara Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur Gambaran Umum Subsidi Pupuk Organik Provinsi Lampung...43 V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG Karakteristik Petani Responden Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pupuk Organik...52 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...58 DAFTAR PUSTAKA...59

11 iii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. PDB atas Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun Perkembangan Subsidi Pupuk Tahun Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun 2011 Menurut Sub Sektor Produk Domestik Regional Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha di Provinsi Lampung Tahun Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi Lampung Produksi Tanaman Bahan Makanan Provinsi Lampung Tahun Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi menurut Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun Statistik Tanaman Pangan Lampung Utara Statistik Tanaman Pangan Kabupaten Lampung Timur Tahun Karakteristik Responden Petani Padi Lampung Karakteristik Lahan Responden Petani Padi Provinsi Lampung Hasil Uji Beda Hasil Pendugaan Parameter Model Logit Hasil Pendugaan Model Logit untuk Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengadopsian Pupuk Organik Provinsi Lampung...54

12 iv DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi Model Probabilitas Linear dan Logit Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun Kerangka pemikiran Peta Provinsi Lampung Peranan Pertumbuhan Masing-masing Sektor Terhadap Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lampung Timur Tahun POG dan POC bersubsidi yang didistribusikan oleh PT Pertani... 68

13 v DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Prosedur Penetapan Kelompok Tani Penerima BLP Sesuai Permentan No: 37/Permentan/SR.130/5/ Spesifikasi Kemasan Pupuk Organik Merek Bintang Kuda Laut yang Disalurkan Melalui PT Pertani Analisis Usahatani Petani Padi Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) Analisis Usahatani Petani Padi Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (P) Fungsi Logit Petani Penerima subsidi Pupuk Organik di Provinsi Lampung Output model logit Pola penanaman padi pada pertanian organik... 77

14 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Indonesia hingga saat ini didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Secara kumulatif ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi terhadap total PDB Indonesia di tahun 2011 sebesar 53,56 persen. Pada Tabel 1.1 dapat dilihat sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB Indonesia yaitu 15,40 persen dengan pertumbuhan rata-rata 3,89 persen ditiap tahunnya (BPS, 2011). Tabel 1.1 PDB atas Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun Lapangan Usaha Tahun (Triliun Rp) Growth (persen) 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 271,5 284,6 295,9 304,4 3,89 2. Pertambangan dan Penggalian 171,3 172,5 180,2 186,4 2,87 3. Industri Pengolahan 538,1 557,8 569,8 595,3 3,43 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 13,5 15,0 17,1 18,0 10,12 5. Konstruksi 121,8 131,0 140,3 150,1 7,21 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 340,4 363,8 368,6 400,6 5,63 7. Pengangkutan dan Komunikasi 142,3 165,9 191,6 217,4 15,18 8. Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 183,7 198,8 208,8 220,6 6,30 9. Jasa-jasa 181,7 193,0 205,4 217,8 6,23 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Pertanian dapat dikatakan memiliki peranan yang strategis dalam aspek kemanusiaan sehubungan dengan fungsi utamanya sebagai penyokong pangan

15 2 (Koestiono et al, 2010). Menurut Undang-Undang Indonesia Nomor 41 tahun 2009 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Mayoritas masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi padi sebagai pangan utama, oleh karena itu ketahanan pangan berkaitan erat dengan tingkat produksinya Produksi Konsumsi Sumber : BPS, 2011 Gambar 1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi Tingkat produksi padi memiliki tren yang meningkat di tiap tahunnya. Pada tahun 2006 produksi padi sebesar 54,45 juta ton dan di tahun 2009 produksi padi meningkat sebesar persen menjadi 64,39 juta ton. Walaupun produksi padi cenderung meningkat dari tahun ke tahun tetapi belum mampu mengimbangi kebutuhan dalam negeri (Gambar 1.1). Kenyataan ini disebabkan oleh pertambahan penduduk yang terus meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan produktivitas (Purnama, 2006).

16 3 Pemerintah memberlakukan kebijakan memperbesar keran impor untuk mengatasi rendahnya tingkat produksi bahan pangan dalam negeri ini, (Tambunan, 2009). Impor beras Indonesia tahun 2010 sebanyak ton dengan nilai US$ (BPS, 2010). UN Comtrade (2010) menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam negara pengimpor beras terbesar di Dunia dengan pertumbuhan rata-rata dari tahun sebesar 28,4 persen. Bahkan di tahun 2011 Indonesia kembali impor beras sebanyak ton (BPS, 2012). Faktor utama rendahnya produksi padi adalah terjadinya degradasi mutu lahan di sebagian besar lahan pertanian intensif. Berbagai hasil penelitian mengindikasikan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah (kurang dari 2 persen) dimana ukuran C-organik agar produktivitas optimal setidaknya 2,5 persen. Degradasi mutu lahan disebabkan oleh perilaku petani Indonesia yang cenderung menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan demi terciptanya produksi tinggi tanpa mengetahui pengaruh jangka panjangnya terhadap lingkungan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang mampu meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi mutu lahan (Balitbang, 2006). Sehingga, pupuk organik dipandang sangat memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan produksi pertanian dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Oleh karena itu, petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang, dengan cara mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mensubstitusi pengurangan tersebut dengan peningkatan penggunaan pupuk organik. Untuk mempercepat proses tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Pupuk

17 4 Organik (BLP Organik) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.30/Permentan/OT.140/6/2008 (PSP3, 2010). Perkembangan realisasi anggaran subsidi pupuk selama kurun waktu secara nominal mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 15,2 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 18,4 triliun pada tahun 2010 dan meningkat ditahun 2011 sebesar Rp 18,8 triliun. Pada Tabel 1.2 bahwa subsidi pupuk organik mengalami pertumbuhan sangat pesat terutama dalam volume pupuk organik yang diberikan dari ton di tahun 2008 menjadi ton tahun 2011 dengan pertumbuhan 146 persen (Kemenkeu, 2012). Tabel 1.2 Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun Uraian Tahun Growth (persen) Subsidi Pupuk (triliun) 15,2 18,3 18,4 18,8 7,71 Volume (ribu ton) , Harga Pokok Produksi (ribu/ton) ,1 1525,5 1665,1 1,88 Harga Eceran Tertinggi (ribu/ton) ,33 Sumber : Kementerian Pertanian, 2012 Berdasarkan laporan Kemenkeu (2012) peningkatan anggaran subsidi pupuk tersebut sejalan dengan upaya untuk mendukung, menjaga serta meningkatkan program ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk pertanian. Selain subsidi pupuk organik, dalam upaya memberikan dukungan terhadap program revitalisasi pertanian, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi benih. Realisasi anggaran dalam kurun waktu mengalami peningkatan sebesar Rp 2 triliun atau tumbuh rata-

18 5 rata 101,9 persen per tahun, dari Rp 0,1 triliun tahun 2006 menjadi Rp 2,2 triliun pada tahun Program BLP Organik dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) dilandasi pemikiran bahwa pupuk organik dan benih unggul merupakan faktor kunci dalam meningkatkan produktivitas. Wilayah cakupan program BLP Organik telah mencakup 199 kabupaten yang tersebar di 29 provinsi (Kementerian Pertanian, 2011) termasuk Provinsi Lampung. Alokasi BLP Organik untuk Provinsi Lampung sebesar ton dan menempati posisi keenam dari total alokasi BLP Organik di tingkat Nasional. 1.2 Perumusan Masalah Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya berkaitan dengan masalah ketahanan pangan saat ini adalah rendahnya produktivitas dibanding permintaannya (Simatupang dan Maulana, 2006). Hal tersebut sejalan dengan perilaku petani Indonesia yang mementingkan produksi tinggi tanpa memperhatikan lingkungan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat mengembalikan unsur hara dalam tanah dan juga meningkatkan produksi. Kekurangan dari pupuk organik yaitu volume penggunaan pupuk organik yang lebih banyak dari penggunaan pupuk anorganik sehingga berimbas pada biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Oleh karena itu, pemerintah memilih kebijakan subsidi pupuk organik yang berupa Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik) untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik.

19 6 Petani ragu untuk mengadopsi pupuk organik karena selain dari sisi biaya produksi yang tinggi juga masih banyak petani belum mengetahui manfaat ekonomi dan lingkungan dari pupuk organik. Kekhawatiran lain yang muncul adalah ketika BLP Organik sudah dihapuskan sehingga pengeluaran petani sangat membengkak. Studi PSP3 (2010) menunjukkan hasil positif dari BLP Organik, terkait produksi dan pendapatan padi namun, belum ada informasi terkait faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik setelah diberikan subsidi. Sehingga penelitian ini menjadi perlu dilakukan agar terciptanya pertanian yang berkelanjutan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi di Provinsi Lampung. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu pengadopsian pupuk organik di tingkat petani. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun hal-hal yang menjadi manfaat dari penelitian ini, adalah : 1. Memberikan gambaran kebijakan subsidi pupuk organik terhadap sektor pertanian khususnya padi di Provinsi Lampung. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dikhususkan oleh pemerintah untuk merumuskan mekanisme

20 7 kebijakan subsidi pupuk organik yang paling efektif dalam mendukung sektor pertanian serta sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian ini terbatas pada petani padi yang mendapatkan bantuan langsung pupuk organik dan benih unggul tahun anggaran 2010 yang didistribusikan PT Pertani untuk Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.

21 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat (Zarkasih, 2010). Menurut Handoko dan Patriadi (2005) subsidi merupakan pembayaran yang diberikan pemerintah kepada badan usaha maupun rumah tangga dengan harapan tercapainya kondisi yang lebih baik. Subsidi dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Subsidi langsung dapat berbentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya sedangkan subsidi tidak langsung berbentuk pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya. Menurut Rini (2006) subsidi dapat berbentuk: 1. Subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan produk tersebut. 2. Subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap dapat membantu neraca perdagangan negara. 3. Subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerjaan dan mengurangi pengangguran.

22 9 4. Subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya. Sesuai dengan uraian diatas maka subsidi uang tunai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subsidi produksi, dimana peningkatan output produknya ditanggung oleh pemerintah dengan cara menanggung sebagian biaya produksi yaitu pupuk organik dan benih unggul agar harga jual kepada masyarakat dapat dicapai Analisis Usaha Tani Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan petani dalam berusahatani adalah menggunakan seefisien mungkin sumberdaya yang dimiliki. Prinsip analisis biaya merupakan prinsip terpenting karena petani hanya dapat mengatur biaya produksi dalam usahataninya namun mereka tidak mampu mengatur harga komoditi yang dijualnya atau memberikan nilai kepada komoditi tersebut. Jika tidak ada peningkatan harga komoditi yang dihasilkan maka petani harus mengurangi biaya per satuan komoditi yang dihasilkan bila petani ingin meningkatkan pendapatan bersih usahataninya (Soekartawi et al, 1986). Berdasar pada Soekartawi (1986) penggolongan biaya produksi dilakukan berdasarkan sifatnya yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap ialah biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi. Petani harus tetap membayarnya berapapun jumlah komoditi yang

23 10 dihasilkan usahataninya. Biaya tetap menjadi sangat penting apabila petani memikirkan tambahan investasi seperti alat pertanian, tenaga kerja, mesin pertanian atau bangunan. Tiap tambahan investasi dapat dilakukan jika petani mampu membelinya dan dapat memberikan keuntungan dalam jangka panjang. Biaya tidak tetap yaitu biaya yang berubah apabila luas usahanya berubah dan ada jika terdapat suatu barang yang diproduksi oleh petani. Usahatani yang baik adalah usahatani yang bersifat produktif dan efisien dengan produktivitas tinggi dan berkelanjutan. Soekartawi (2006) menjelaskan secara garis besarnya organisasi usahatani terdiri dari unsurunsur pokok produksi usahatani yang terdiri dari lahan, bibit, pupuk, obatobatan pertanian dan tenaga kerja, dimana unsur-unsur produksi tersebut mempunyai peranan yang cukup penting dalam usahatani. Menurut Soekartawi (1986) pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual serta sebagai ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar dalam menaksir pendapatan kotor. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, pertama pendapatan atas seluruh biaya tunai yaitu biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani, kedua pendapatan atas biaya total dimana semua input milik petani juga diperhitungkan sebagai biaya dan dihitung dengan analisis rasio penerimaan dan biaya serta analisis rasio pendapatan dan biaya. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, pengeluaran tunai usahatani yaitu

24 11 jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai dan pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup yang berbentuk benda sehingga nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani dan nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani. Selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani disebut pendapatan tunai usahatani dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai (Soekartawi et al, 1986). Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani. Penerimaan kotor usahatani yaitu nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. Dalam menaksir pendapatan total usahatani semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar (Soekartawi et al, 1986). Keberhasilan usahatani ditentukan oleh hasil analisis pendapatan usahatani. Gambaran keadaan aktual usahatani didapatkan dari analisis pendapatan usahatani sehingga evaluasi dengan perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang dapat dilakukan. Informasi yang dibutuhkan dalam perhitungan pendapatan usahatani yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan (Purba, 2005).

25 12 Analisis pendapatan usahatani dirasa kurang cukup untuk menyatakan apakah usahatani tersebut memberikan keuntungan atau tidak. Perhitungan lebih lanjut yaitu perhitungan rasio R/C dan rasio B/C. Rasio pendapatan dan biaya (R/C) merupakan perbandingan pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Sedangkan, rasio manfaat dan biaya (B/C) merupakan perbandingan manfaat yang didapat dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi (Purba, 2005). Nilai rasio R/C dan B/C lebih dari satu artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya sebaliknya jika nilai rasio R/C dan B/C lebih kecil dari satu maka usahatani tersebut mengalami kerugian karena untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya yang dikeluarkan (Purba, 2005) Teori Adopsi Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh (Suharyanto, 2001). Adopsi teknologi disektor pertanian merupakan hasil dari kegiatan suatu komunikasi pertanian sehingga terkait dengan pengaruh interaksi antar individu, antar kelompok, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga dipengaruhi oleh interaksi antar kelompok dalam masyarakat (Rangkuti, 2007). Adopsi teknologi sebagai hasil atas penerimaan teknologi oleh pemakai akhir didasarkan pada persepsi kemanfaatan serta kemudahan dalam

26 13 penggunaan teknologi tersebut menghasilkan perilaku dan perhatian untuk menggunakan teknologi baru (Bahmanziari, 2003). Persepsi akan manfaat serta kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi baru tersebut menjadi penting agar petani mau mengadopsinya seperti halnya pupuk organik. Menurut Pattanayak (1983) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu : 1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. 2. Resource endowment digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada teknologi baru. Umumnya resource endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi. 3. Insentif pasar merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi. 4. Faktor biofisik diharapkan mampu mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan seperti kualitas lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah akan berkorelasi positif dengan kesediaan mengadopsi teknologi pertanian.

27 14 5. Resiko dan ketidakpastian memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan Model Pilihan Binary Penggunaan pupuk anorganik jangka panjang akan menyebabkan degradasi mutu lahan. Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha memenuhi kebutuhan ekonominya tanpa memperhatikan sisi lingkungan (Purba, 2005). Degradasi mutu lahan dapat diatasi dengan penggunaan pupuk organik. Kekurangan dari pupuk organik dibanding pupuk anorganik adalah volume penggunaannya yang lebih banyak. Pendugaan peluang apakah petani akan menggunakan pupuk organik atau tidak dengan menggunakan model Pilihan Binary. Pilihan Binary mengasumsikan individuindividu dihadapkan pada suatu pilihan diantara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut. Masalah yang sifatnya pilihan binary menurut Pindyck and Rubinfeld (1991) dapat dijawab dengan tiga model yaitu linear probability model, probit model dan logit model. Model linier mempunyai kelemahan karena terdapat kemungkinan nilai peluang berada di luar kisaran (0-1) sehingga sulit dilakukan pendugaan.

28 15 Model probit dan model logit memilki nilai peluang selalu berada pada kisaran (0-1), namun model probit lebih rumit perhitungannya dan sukar diduga dibandingkan model logit. Model logit mempunyai nilai peluang selalu berada pada kisaran 0-1 maka dari itu memiliki ragam relatif kecil (Juanda, 2009). Sehingga, model logit digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi pupuk organik non-subsidi. Model logit didasari oleh Fungsi Peluang Logit Kumulatif dan model ini dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991) : P = (α + βx ) =... (1) Jika ruas kanan dan ruas kiri persamaan (1) dikalikan dengan (1 + ), sehingga diperoleh : (1 + e )P = 1...(2) persamaan (2) dibagi dengan P i dan kemudian dikurangi 1, maka diperoleh : e = 1 =...(3) Berdasarkan definisi = 1/, diperoleh : e =...(4) Dengan menggunakan logaritma dikedua sisi, sehingga: Z = log...(5) Sehingga didapat persamaan regresi:

29 16 Dimana : P i : Peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk orang ke-i β : Nilai koefisien yang didapatkan dari regresi. X i : Variabel bebas (i = 1,2,3,...,n) e i : Galat acak Penjabaran rumus diatas menunjukkan bahwa salah satu karakteristik penting dari model logit bahwa model ini mentransformasi masalah prediksi peluang dalam selang (0 atau 1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil - ~ logit(p i ) ~ (Juanda, 2009). Sumber : Wonnacot, 1979 Gambar 2.4 Model Probabilitas Linear dan Logit Model Probabilitas linear dan logit dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut. Kurva linear yang berbentuk garis lurus menjelaskan bahwa pada model probabilitas linear dengan penambahan nilai X secara konstan akan meningkatkan

30 17 nilai P secara konstan. Dalam kenyataannya, bertambahnya X secara konstan tidak menghasilkan pertambahan dalam P secara konstan. Salah satu solusinya adalah memotong model probabilitas linear dengan cara membelokkan garis horizontal ketika mencapai 0 atau 1 (Wonnacot, 1979). Sehingga, terdapat model logit dengan bentuk kurva seperti huruf S. 2.2 Dinamika Subsidi Pupuk Organik di Indonesia Pembangunan pertanian untuk mewujudkan pertanian tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu caranya melalui peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan dengan mendorong petani untuk menerapkan teknologi pertanian (Manaf, 2000). Teknologi pertanian yang dimaksud adalah teknologi modern, tanpa penggunaan teknologi modern, maka hasil panen tidak akan sebesar yang diharapkan. Salah satunya berupa penggunaan pupuk dan benih unggul sebagai salah satu input dalam usahatani (PSP3, 2010). Pemerintah selalu berupaya mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis agar dapat meningkatkan produksi pertanian. Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi pupuk, sehingga tercapai cukupnya pasokan dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani (Manaf, 2000). Pupuk sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 42/Permentan/OT.140/09/2008 adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung. Pupuk anorganik yaitu pupuk hasil proses rekayasa secara

31 18 kimia, fisika dan atau biologi yang merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Petani Indonesia memiliki kecenderungan untuk menggunakan pupuk anorganik yang tinggi untuk mengejar hasil yang tinggi pada lahan sawah tanpa mempertimbangkan kandungan bahan organik tanah yang menurun, baik jumlah maupun kualitasnya. Menurut Rachman (2009) hal tersebut disebabkan terjadinya penimbunan hara dalam tanah, terkurasnya hara mikro dari tanah yang tidak pernah diberikan melalui pupuk anorganik, terganggunya keseimbangan hara dalam tanaman, lebih pekanya tanaman terhadap serangan hama dan penyakit serta terganggunya perkembangan jasad renik yang menguntungkan dalam tanah. Presiden RI menyatakan bahwa potensi sektor pertanian dapat ditingkatkan jika kendala-kendala seperti produktivitas, efisiensi usaha, konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana pertanian serta terbatasnya kredit dan infrastruktur pertanian dapat teratasi dengan baik. Usaha pemerintah dalam menangani masalah produktivitas yaitu membantu petani dengan memberikan bantuan input produksi berupa pemberian subsidi pupuk. Menurut Anjak (2006) pemberian subsidi pupuk masih sangat diperlukan petani Indonesia. Hal tersebut dilandasi dengan dua argumentasi yaitu sebagai kewajiban pemerintah untuk membantu petani yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian, dan juga sebagai pelindung petani miskin dari ancaman eksternal akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga eksistensi sektor pertanian di masa depan.

32 19 Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Jenis pupuk bersubsidi yaitu, pupuk anorganik (urea, superphose, ZA, NPK) dan pupuk organik (granul dan cair). Pupuk yang umum dipakai pada tanaman pangan adalah pupuk urea dan NPK. Pupuk urea digunakan untuk merangsang pertumbuhan vegetatif, sedangkan pupuk NPK sebagai penambah unsur N pada tanah agar tanah tetap subur (Manaf, 2000). Kebijakan subsidi pupuk bersifat dinamis sesuai dengan kondisi lingkungan strategis. Subsidi pupuk untuk pupuk urea diberikan sejak tahun 1969 guna mendorong produktivitas dan produksi pangan nasional. Sejak itu, subsidi pupuk urea terus diberikan dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi (HET) sampai terjadinya krisis pada tahun Krisis multidimensional dan tekanan dari IMF memaksa pemerintah harus mencabut subsidi pupuk urea selama 1 tahun yakni tahun 1999 sampai Selama penghapusan subsidi pupuk urea kompensasi yang diberikan yaitu peningkatan harga Gabah Kering Giling (GKG) dari Rp menjadi Rp per kg yang berlaku sejak tanggal 1 Desember 1998 (Ilham, 2001). Peningkatan harga pupuk urea dunia akibat peningkatan harga gas sebagai komponen terbesar pembuatan pupuk urea sejak tahun 2000 memaksa pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk urea domestik dalam rangka membantu petani dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Subsidi pupuk urea tahun diberikan dalam bentuk insentif gas domestik dan tahun 2003 pemerintah meningkatkan serta memperluas subsidi, tidak saja subsidi

33 20 gas untuk urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya yaitu SP-36, ZA dan NPK (Rachman, 2009). Pada tahun 2008 pemberian subsidi pupuk organik mulai dilaksanakan melalui program Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik) bertujuan mendukung petani dengan cara memberikan pupuk organik secara cuma-cuma. Program BLP Organik yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 provinsi dan memakan biaya sangat besar yaitu Rp. 383,4 miliar (PSP3, 2010). Di tahun 2010 wilayah cakupan program BLP Organik telah mencakup 199 kabupaten yang tersebar di 30 provinsi (Kementerian Pertanian, 2010). Pemberian BLP Organik selalu dibarengi dengan pemberian BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul). Program BLBU dimulai tahun 2007 kepada petani di 29 provinsi yang tersebar di 249 kabupaten dan pada tahun 2010 program ini terlaksana di 21 Provinsi yang tersebar di 261 kabupaten. Pada Tabel 2.1 alokasi subsidi pupuk terbesar di tahun 2011 yaitu pupuk urea sebesar 5,1 juta ton atau sebesar 52,28 persen dari total volume pupuk bersubsidi. Pupuk NPK menempati urutan terbesar kedua yaitu 2,3 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun persen. Kedua pupuk anorganik tersebut memang memiliki kontribusi yang baik bagi peningkatan hasil produksi, namun pemakaian pupuk anorganik dalam jangka panjang akan memberi dampak negatif bagi lingkungan seperti degradasi mutu lahan. Penggunaan pupuk organik untuk mengatasi dampak tersebut adalah hal yang tepat, sehingga mulai tahun 2008 mulai diberlakukan subsidi pupuk organik.

34 21 Tabel 2.1 Perkembangan Subsidi Pupuk Tahun Uraian Growth (persen) Subsidi Pupuk (triliun rupiah) 3,2 6,3 15,2 18,3 18,4 18,8 52,25 Faktor-faktor yang mempengaruhi : a. Volume (ribu ton) , ,9 12,03 - Urea , SP , ZA , NPK , , Organik , b. Harga Pokok Produksi (Rp000/ton) - Urea , , , SP , , , ZA , NPK , , , Organik , , ,1 2 c. Harga Eceran Tertinggi (Rp000/ton) - Urea SP ZA NPK Organik Sumber : Kementrian Pertanian, 2012 Bahan dasar pupuk organik dapat berasal dari berbagai sumber limbah pertanian seperti sisa tanaman, sisa panen, pangkasan tanaman pagar, sisa media tanam jamur, pupuk hijau seperti orok-orok, serta kotoran hewan. Umumnya, kohe (kotoran hewan) dibiarkan oleh para peternak atau dibuang ke sungai. Tercampurnya kohe dengan tanah dan air sungai menghasilkan polusi tanah dan air, hal ini dapat merusak kesehatan orang menggunakan air yang telah terkontaminasi oleh kohe. Mengolah kohe menjadi pupuk organik secara langsung mengurangi masalah polusi air, tanah dan udara (PSP3, 2010). Bahan-bahan

35 22 tersebut dapat dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan penambahan mikroba perombak bahan organik serta pengkayaan dengan hara lain (Rusastra et al, 2005). Pupuk kandang mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan pupuk alam yang lain maupun pupuk buatan (Rochmah, 2009). Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik yang intensif dalam periode waktu panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air. Sebagai konsekuensinya, setiap turun hujan aliran air permukaan tanah menjadi berlebihan yang mengakibatkan longsor dan banjir. Pemberian pupuk organik secara berkelanjutan akan memperbaiki daya serap dan daya simpan air oleh tanah sehingga akan mengurangi terjadinya banjir dan longsor. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produktivitas tanaman serta peningkatan pendapatan petani (PSP3, 2010). Pupuk organik dalam Permentan RI nomor 42/Permentan/OT.140/09/2008 adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk granul atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pengembangan pupuk organik merupakan langkah strategis untuk meningkatkan produksi pertanian yang berkelanjutan. Pemberian pupuk organik

36 23 bersubsidi dinilai sesuai dengan kondisi sebagian besar petani yang meminimumkan biaya. Berdasarkan alokasi program BLP Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian, Direktur Jendral Prasarana dan Sarana menugaskan kepada PT Pertani (Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero) dan PT Berdikari (Persero) untuk menyalurkan BLP Organik kepada kelompok tani penerima di masing-masing wilayah tanggung jawabnya dengan memperhatikan penetapan calon petani dan calon lokasi penerima BLP Organik oleh Gubernur. Tabel 2.2 Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun 2011 Menurut Sub Sektor Sub Sektor Jenis dan Jumlah Pupuk Bersubsidi (Ton) Urea SP-36 ZA NPK Organik Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Perikanan Budidaya Cadangan Nasional Jumlah Sumber : Kementrian Pertanian, 2011 BLP Organik difokuskan pada tanaman pangan. Pemberian pupuk organik bersubsidi lebih banyak di subsektor tanaman pangan karena sesuai dengan salah satu tujuan BLP Organik yaitu meningkatkan produksi tanaman pangan khususnya padi, jagung dan kedelai (PSP3, 2010). Pada tahun 2011 alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk subsektor tanaman pangan sebesar ton

37 24 (Tabel 2.2) atau sebesar 65 persen dari jumlah alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Thousands Triliun Rupiah Pupuk Total Pupuk Organik Sumber : Kementrian Pertanian, 2012 Gambar 2.1 Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun Volume bantuan langsung yang diberikan pemerintah berupa pupuk organik tercatat mengalami peningkatan 146 persen dari tahun (Tabel 2.1). Tahun 2008 merupakan tahun pertama diberikannya subsidi pupuk organik dengan volume hanya sebesar 68 ribu ton dan terus berkembang hingga tahun 2011 volume subsidi pupuk organik sebesar 704 ribu ton. (Kementrian Pertanian, 2012). Pada gambar 2.1 subsidi pupuk organik pun terus mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi di tahun 2010 sebesar 39,97 persen dari Rp 961 miliar di tahun 2009 menjadi Rp 1,6 triliun.

38 Penelitian-penelitian Terdahulu Penelitian yang berhubungan dengan subsidi pupuk telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah studi Osario et al (2008) menganalisis subsidi pupuk urea di Indonesia dengam metode 2SLS. Implikasi dari kebijakan subsidi pupuk adalah penggunaan pupuk Urea dan SP-36 diatas takaran yang disarankan dimana hal tersebut berdampak negatif bagi unsur hara dalam tanah. Tujuan dari pemberian subsidi tersebut adalah mengurangi harga pupuk di pasaran agar petani kecil dapat tetap menggunakan pupuk. Pemberian subsidi pupuk dikatakan tidak tepat sasaran karena sebagian besar yang menikmati subsidi tersebut adalah kalangan petani kaya bahkan sebesar 60 persen dari total alokasi subsidi pupuk dinikmati oleh 40 persen petani besar. Penelitian Marisa (2011) tentang Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk di Kabupaten Bogor. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah dengan adanya HET untuk pupuk bersubsidi dari pemerintah maka petani dapat menghemat pengeluaran pupuk sebesar 44,72 persen dari pengeluaran seharusnya. Namun, kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dikarenakan hasil presentase ketepatan yang kurang dari 80 persen dimana subsidi pupuk dinilai tidak efektif pada prinsip tepat harga, tepat tempat dan tepat jumlah. Prinsip tepat waktu menjadi satu-satunya prinsip yang terpenuhi. Hasil regresi berganda menyatakan variabel luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy benih dan dummy efektivitas harga mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (10 persen) berarti variabel independen tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi.

39 26 Studi yang dilakukan oleh Kasiyati (2004) di Jawa Tengah menunjukkan hasil positif dari subsidi pupuk terhadap produksi output petani yang meningkat sebesar Rp juta. Selain itu, pengadaan pupuk bersubsidi mampu memberikan insentif bagi produsen pupuk untuk menambah produksi pupuk sebesar Rp juta. Adanya subsidi pupuk juga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani sebesar Rp ,87 juta. Dampak penghapusan subsidi pupuk menjadi penelitian Andari (2001) yang menghubungkan permintaan pupuk dan produksi padi di Jawa Barat. Hasil pendugaan koefisien input dalam fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukan penghapusan subsidi pupuk tidak akan menurunkan produksi padi karena petani lebih mementingkan usaha untuk memaksimalkan produksi dibanding keuntungan yang didapat. Hasil lainnya yang berkaitan dengan permintaan pupuk menunjukkan kenaikan harga pupuk tidak menurunkan permintaan pupuk sendiri. Studi Yuliarmi tahun 2006 tentang faktor-faktor penentu adopsi teknologi pemupukan berimbang, di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Hasil yang didapat adalah rata-rata poduksi petani peserta pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta pemupukan berimbang. Hasil dari metode logit memperlihatkan bahwa variabel harga gabah, biaya pupuk dan luas lahan berpengaruh secara nyata pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Variabel lainnya yaitu resiko produksi, keuntungan usahatani, pendidikan petani dan pengalaman usahatani bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan pada tujuh Provinsi tahun 2010 menyatakan bahwa pemberian BLP

40 27 (Bantuan Langsung Pupuk) dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) terhadap produktivitas usahatani padi meningkat 17,56 persen dari sebelumnya. Dampak terhadap kesempatan kerja pun meningkat 7,5 persen. Target penurunan penggunaan pupuk anorganik seperti Urea, TSP dan KCl tercapai karena terjadi peningkatan penggunaan pupuk organik sebesar 52,9 persen. Secara keseluruhan, pendapatan usahatani padi meningkat sebesar 34,56% antara sebelum dan sesudah menggunakan BLBU dan BLP, yakni dari Rp /ha menjadi Rp /ha. Keuntungan bukan hanya dirasakan petani, Perusahaan yang memproduksi POG mengalami peningkatan produksi dan pendapatan. Perekonomian Nasional pun meningkat dengan adanya BLP dan BLBU tersebut. 2.5 Kerangka Pemikiran Penggunaan pupuk organik dinyatakan mampu meningkatkan produktivitas sehingga pemberian subsidi pupuk organik diharapkan dapat memotivasi petani untuk mengadopsi pupuk organik dengan cara mengurangi biaya produksi. Perhitungan pendapatan petani pada penelitian ini menggunakan analisis usahatani atas dasar biaya tunai dan biaya total. Setelah mengetahui pendapatan petani maka dilakukan pendugaan model logit untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi pupuk organik. Setelah didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi diharapkan terjadi pengadopsian pupuk organik di level petani agar terciptanya pertanian yang berkelanjutan.

41 Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran 28

42 29 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yaitu survey rumah tangga petani yang mendapat BLP Organik dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) didistribusikan oleh PT Pertani di Provinsi Lampung tahun anggaran 2010 oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB). Data sekunder sebagai penunjang diperoleh dari dokumen tertulis atau laporan yang terdapat di berbagai instansi atau departemen yang terkait dengan masalah penelitian seperti Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, Kementrian Keuangan serta instansi lainnya. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan Provinsi Lampung sebagai penerima BLP Organik terbesar keenam dan sentra produksi padi tingkat Nasional. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Pada Kabupaten Lampung Timur, Kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Raman Utara. Sedangkan pada Kabupaten Lampung Utara, Kecamatan yang dipilih untuk sampel adalah Abung Timur. Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda yaitu sebelum menggunakan BLP Organik dan setelah menggunakan BLP Organik.

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi. Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori-teori Teori Subsidi. Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Teori Subsidi Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat (Zarkasih, 2010). Menurut Handoko

Lebih terperinci

menggunakan BLP Organik dan setelah menggunakan BLP Organik.

menggunakan BLP Organik dan setelah menggunakan BLP Organik. 29 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yaitu survey rumah tangga petani yang mendapat BLP Organik dan

Lebih terperinci

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 45 V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 5.1 Karakteristik Petani Responden Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

SALINAN NOMOR 5/E, 2010 SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO MOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA MOJOKERTO TAHUN 2010 WALIKOTA MOJOKERTO, Menimbang

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA SURABAYA TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

sosialisasi kepada kelompok tani.

sosialisasi kepada kelompok tani. LAMPIRAN 64 65 Lampiran 1 Prosedur Penetapan Kelompok Tani Penerima BLP Sesuai Permentan No: 37/Permentan/SR.130/5/2010 1) Direktorat Jendral Tanaman Pangan melakukan sosialisasi program bantuan pupuk

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2011 BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat) Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1149 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara SALINAN PROVINSI MALUKU PERATURAN WALIKOTA TUAL NOMOR 04 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2015 WALIKOTA TUAL,

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG 1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan yang cukup strategis bagi sebuah negara. Peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan makanan utama merupakan peran strategis terkait

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah memberikan kontribusi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2009

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 PERATURAN GUBERNUR BANTEN MOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci